Hari Ini dan Perubahan yang Segera

advertisement
2016
Hari Ini dan Perubahan yang Segera
halaman 1
halaman 2
halaman 3
DAFTAR ISI
Jakarta
Hari Ini
24
28
31
34
37
41
KONTRIBUTOR
SUARA MUDA
Asmat, Je dan Arsitektur Indonesia - Paskalis Krisno A.
Efek Transportasi Umum Berbasis Digital
Terhadap Ruang Publik Jakarta - Vera Poernomo
Mencari Wajah Jakarta Melalui Kampung Kota - Resha Kambali
Jakarta, Sampah, dan Warganya - Laura Rosenthal
Revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Kota Tua -Einstein
Kode Etik Arsitek Sebuah Refleksi Tata Laku - Einstein
JEJAK HARI INI
Bakti dan Cinta Tiga Nama
15
New Urban Agenda:
Narasi Lama, Perspektif Baru
14
Ary Sulistyo
Martin Suryajaya
Ria Febrianti
Adalah
pengajar
lepas
arsitektur
di
beberapa
universitas di Jakarta dan aktif
di konsultan lingkungan. Ary
juga merupakan penulis dan
peneliti yang aktif di IPLBI
(Ikatan Peneliti Lingkungan
Binaan Indonesia). Saat
ini Ary merupakan bagian
dari UPK (Unit Pengelola
Kawasan) Kota Tua Jakarta.
Adalah lulusan Filsafat STF
Driyarkara yang banyak menulis
tentang filsafat, politik, ekonomi,
dan Marxisme. Martin merupakan
penulis di beberapa media beraliran
kiri, seperti Indoprogress dan
Problem Filsafat. Martin juga
banyak menelurkan buku-buku
filsafat seperti Sejarah Estetika dan
novel Kiat Sukses Hancur Lebur.
Saat ini Martin bekerja sebagai
Staf Ahli bidang Kebudayaan
di Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sangat dikenal dikalangan
arsitek dan komunitas pecinta
cagar budaya di Indonesia. Ria
merupakan direktur program
dari PDA (Pusat Dokumentasi
Arsitektur) dan menjadi salah
satu kontributor buku Tegang
Bentang. Saat ini dia banyak
terlibat pada proyek-proyek
revitalisasi Kota Tua dan
kampanye tentang cagar budaya
ke masyarakat awam.
LINTAS ILMU
81
88
92
Reporting From The Front:
Motif dan Politik Etis Arsitek
18
92
Tantangan Arsitektur Partisipatori
Toponimi Kawasan
Kota Tua Ruang Kita
halaman 4
halaman 5
KONTRIBUTOR
Cepi Sabre
Adalah arsitek yang juga dikenal sebagai penulis. Dia lebih senang
menganggap dirinya sebagai arsitek partikelir yang kadang-kadang
menulis untuk mempertahankan eksistensi. Cepi tinggal di Malang,
karya-karya tulisanya meliputi artikel di portal-portal populer hingga
Buku Kumpulan Cerpen, Kotak Hitam.
Astrid Sri Haryati
Adalah arsitek perempuan yang menjadi founder dan CEO dari Terra
Lumen. Karirnya telah malang melintang di manca negara dengan
menjadi direktur penghijauan bagi Kota San Fransisco. Saat ini
menjabat Kordinator Bidang Penghargaan IAI Jakarta dan fokus di
bidang Urban Strategies and Sustainable Property Development.
Topik Utama:
Errik Irwan
People: Publik dan Masa Depan Arsitektur
Mendistribusikan Kuasa:
Kompleksitas Kebutuhan akan Urbanisme Partisipatoris
Membaca Tanah Jakarta
Tatap Muka: Astrid Sri Haryati
Tatap Muka: Martinus Izaak
Hantu Pruitt - Igoe
52
55
60
62
66
70
Adalah arsitek muda yang juga menjadi ilustrator komik Gump n
Hell. Errik juga menjadi salah satu motor Komunitas Arsitektur
Semarang (KAS) yang banyak bergerak dalam pendokumentasian
juga produksi-produksi wacana arsitektur bagi komunitas
Semarang. Komik Gump n Hell sendiri pernah menjadi salah satu
pemberitaan dalam The Guardian Cities edisi Jakarta Week.
Hans Han
Gump N Hell
46
Essay Foto
Hans Han
Centrum
74
Adalah mahasiswa di Wellesley College, Boston. Pertengahan 2016
lalu Hans bekerja sama dengan UPC menyelenggarakan pameran foto
‘Harta Kota’ yang dihelat di Kampung Tongkol Jakarta Utara. Hans
berlatar belakang studi tentang ekonomi dan antropologi. Karya foto
Hans bisa kita nikmati pada Memo edisi kali ini di bagian Gallery.
halaman 6
halaman 7
EDITORIAL
Kepengurusan IAI Jakarta (2015-2018)
Ketua
: Stevanus J Manahampi, IAI
Wakil Ketua
: I. Ariko Andikabina
II. Ardiansyah
Sekretaris
: I. Astrid Susanti
II.Dinar Ari Wijayanti
Bendahara
: I. Theresia Asri W. Purnomo
II. Erick Budhi Yulianto, IAI
Bidang
Keprofesian dan Regulasi : Martinus R. Izaak, IAI
Pengabdian Profesi
: Ario Danar
Pendidikan, Pengkajian dan Riset : Priscilla Epifania, IAI Penghargaan
: Astrid Sri Haryati
Sayembara: Rachmad Widodo, IAI
Pelestarian, Revitalisasi dan Perkotaan : Slamet Nugroho, IAI
Media dan Publikasi
: Taufik Hidayat
Event: Rendy Dharmawan
Tim Redaksi Memo 2016:
Editor : Sylvania Hutagalung
Tim : Taufik Hidayat
Emanuela Esti Hapsari
Errik Irwan
Cuang Benny
Bima Nurin
MEMO 2016
©IAI JAKARTA
HARI INI DAN
PERUBAHAN YANG SEGERA
Jakarta adalah kata lain dari Indonesia. Definisi yang ambisius ini
tak lepas dari sejarah panjang dan lapis-lapis dalam ruang Kota
Jakarta yang memang merangkum Indonesia dalam skala yang
lebih kecil. Kesadaran akan kompleksitas dan signifikansi Jakarta
telah mendorong banyak pihak, termasuk arsitek, untuk terus
membicarakan dan melakukan perubahan di dalam ruang kota.
Arsitek, dengan segala keunikan ilmunya, sebenarnya
menawarkan sebuah posisi strategis yang memungkinkannya
menjadi hub dan katalis dari sebuah perubahan. Arsitektur
adalah sebuah kerangka berfikir strategis, dimana kearsitekturan
sebenarnya tidak didefinisikan melalui kehadiran bangunan
semata, namun pada kehadiran fungsi. Sebagai profesi, sayangnya,
arsitek mempunyai batasan-batasan yang masih coba dicarikan
solusinya. Kita tidak hanya berbicara tentang perangkat regulasi
yang belum lengkap yang membuat kolaborasi lintas ilmu
menjadi tidak efektif, namun juga ego-ego sektoral yang harus
ditaklukkan jika ingin masalah kota menjadi masalah bersama
dengan sense of urgency yang padu pula.
Memo IAI Jakarta dengan tema ‘Jakarta Hari Ini’ adalah salah
satu respon IAI Jakarta dalam mewadahi, mengelaborasi, dan
menjembatani, para profesional arsitek dengan awam, dalam
membaca dan memahami permasalahan bersama tentang Kota
Jakarta saat ini. Sebagai arsitek, kita harus selalu memegang etik,
bahwa pengabdian kita adalah sebesar-besarnya untuk masyarakat,
tanpa melupakan bahwa kita hanyalah sebagian kecil dari semesta
kehidupan yang kompleks. Perubahan ke arah yang baik hanya
bisa terjadi ketika kita menyadari bagian kita, melakukan yang
terbaik di sana, dan membuka diri untuk dialog dan kerja sama
lintas batas.
halaman 8
halaman 9
ILUSTRASI JAKARTA
Gambar yang ‘ramai’ dan campur baur berbagai dinamika di
dalamnya menunjukkan kepadatan dengan segala konsekuensinya.
Beberapa isu besar Jakarta tahun ini ikut disinggung lewat
gambaran aktivitas anak-anak.
Kampung padat dan tata ruang yang tidak beraturan menyajikan
visual Jakarta berupa mozaik jika dilihat dari atas. Kampungkampung dan tata ruang ini membentuk struktur sosial yang
terlihat besar namun sesungguhnya rapuh. Ini digambarkan dalam
bentuk segitiga yang adalah huruf ‘A’ dari Jakarta. Dan Jakarta
adalah medan pertarungan merebut puncak piramida kekuasaan
nasional.
3 kata untuk menggambarkan Jakarta Hari Ini:
kepadatan, struktur (kelas) sosial, mozaik ruang-ruang.
Dunia anak-anak merefleksikan kondisi terkini
Jakarta (anak-anak yg gemar berimajinasi
sekaligus meniru dunia orang dewasa). Anak-anak
adalah simbol masa depan. Meskipun nakal sering
berbuat salah namun pada anak-anak masih
terbentang harapan lebih besar untuk belajar dan
berubah, dibanding orang dewasa yang sudah
terlanjur terbentuk. Segala ketegangan yang
tercipta dalam aktivitas bermain merupakan hal
wajar bagian dari proses belajar sehingga anakanak akan punya cukup modal pengalaman guna
membentuk Jakarta yang lebih baik.
halaman 11
jejak 2016
halaman 10
halaman 12
halaman 13
Redaksi
BAKTI DAN CINTA
TIGA NAMA
With the loss of Han Awal, we lost a great man, a friend
and a distinguished architect. Our thoughts are with his
wife Ibu Daisy, children and grandchildren. For me the
message that he suddenly passed away caused confusion
and sadness. It is difficult to express myself. My friend and
fellow architect Han Awal left this world. I am filled with
gratitude that I knew him and worked with him, may Pak
Han rest in God’s grace in peace.
For decades Pak Han and I were friends who understood
each other with a few words, I have learned a lot from
him and will remember him with warmth in my heart,
the memory of a great and wise man. As an architect,
he was among the greatest of his generation; his skill was
undisputed. Like no other he saw the opportunity to use the
knowledge of the past to build up the future.
Cor Passchier - Architect
Former vice-President of the Royal Society of Dutch
architects ‘BNA’ and honoured member of the Ikatan
Arsitek Indonesia ‘IAI’ for Han Awal
Tahun 2016 mungkin akan menjadi tahun yang
sulit dilupakan bagi dunia arsitektur Indonesia. Di tahun
ini, arsitektur Indonesia kehilangan 3 arsitek terbaiknya,
yaitu Achmad Noeman, Sandi Siregar, dan yang terakhir
Han Awal. Ketiga tokoh ini sangat lekat dengan dunia
keprofesian arsitek di Indonesia dan, dengan kapasitas dan
karakternya masing-masing, telah menjagai Ikatan Arsitek
Indonesia (IAI) sejak awal didirikan. Bagi arsitek generasi
muda, tiga nama ini adalah legenda yang menjadi referensi
dan teladan dalam masa-masa awal berpraktek arsitektur.
Kehilangan ketiganya sekaligus, tak pelak, menjadi duka
mendalam bagi banyak arsitek dari segala lapis usia.
Ilustrasi : Bobby Irandita
IAI Jakarta, dalam sebuah makan siang bersama,
mendapat sebuah kesempatan luar biasa karena bisa
duduk dan bertukar cerita dengan Ketua IAI Nasional,
Ahmad Djuhara, dan mantan Presiden Royal Society
of Dutch Architects (BNA), Cor Passchier. Keduanya
adalah tokoh penting yang sekaligus menjadi sahabat
dari ketiga nama tersebut. Sebagai hi-profile architects,
mungkin kita tak asing dengan sosok Achmad Noe’man,
Sandi Siregar, dan Han Awal yang dikemas oleh media.
Namun jauh lebih dalam, ketiga tokoh ini juga ternyata
adalah sosok arsitek yang sangat membumi, dan
meninggalkan kesan mendalam bagi kolega dan para
sahabat.
Secara khusus, Cor Passchier mempunyai kesan
mendalam akan sosok Han Awal, yang telah dianggapnya
sebagai sahabat dan keluarga. Beliau masih dengan jelas
mengingat sebuah peristiwa dimana pada suatu masa
di akhir tahun 1980an, beliau menyambangi Indonesia
untuk sebuah seminar. Ketika itu beliau diinapkan
di Hotel President (sekarang Pullman Hotel). Beliau
mengingat jelas bagaimana beliau diantar langsung oleh
Han Awal dari Bandara ke hotel. Saat itu Cor Passchier
adalah wakil presiden Ikatan Arsitek Belanda (BNA).
Lalu, setengah bergurau berliau berkata, “Mengapa
Kamu menginapkan Saya di Hotel Presiden? Saya hanya
Wakil Presiden.” Pak Han, dengan sikap kepala yang
khas dan gaya bicaranya yang lugu, membalas, “Kami
tidak punya Hotel Wakil Presiden.”
Lelucon ini diakui Cor Passchier menjadi
jejak yang sulit untuk dilupakannya dari sosok seorang
Han Awal. Terlebih karena kepergian sang legenda
hanya berjarak dua minggu dari jadwal peluncuran
buku ‘Building in Indonesia, 1600-1960’, sebuah
buku yang ditulis beliau dan sedianya akan menjadi
kenang-kenangan bagi persahabatan dua pribadi dan
dua oraganisasi keprofesian arsitek di Indonesia dan
Belanda. Sosok Han Awal, mau tidak mau, adalah
halaman 14
halaman 15
salah satu simpul penting dalam kerja sama erat oleh dua
organisasi ini sejak lama.
Hal senada juga diakui oleh ketua IAI Nasional,
Ahmad Djuhara. Baginya Han Awal adalah orang yang ramah
dan selalu menganggap serius siapapun orang muda yang
bertanya kepadanya. Jarak usia yang jauh tidak membuat
jarak personal diantara keduanya. Djuhara mengungkapkan
bahwa bagi Han Awal semua orang setara. Dia mengingat
ada sebuah sayembara yang dia menangkan beberapa tahun
lalu dimana dewan juri dipimpin oleh Han Awal, namun
dalam lain kesempatan Han Awal memenangi sayembara
yang dijuri olehnya. Tidak ada posisi senior atau junior di
sana. Setiap profesional adalah arsitek yang menginginkan
yang terbaik bagi dunia arsitektur Indonesia.
Sebagai orang yang telah lama aktif di IAI, Ahmad
Djuhara mengenal secara pribadi ketiga tokoh, dan ini
sedikit banyak membuatnya berat untuk mengungkapkan
betapa dalamnya kehilangannya dunia keprofesian arsitek.
Di sisi lain kepergian mereka juga menjadi pengingat betapa
pentingnya untuk bersegera melakukan regenerasi dan
kaderisasi demi estafet yang baik kedepannya.
Ketiga tokoh, dalam karirnya, mempunyai
kekhasannya sendiri-sendiri. Jika Han Awal dikenal sebagai
seorang konservatoris, kita tentu mengenal Achmad
Noe’man sebagai orang yang halus walau tegas. Kiprahnya
sangat banyak dibidang etik. Namun begitu, Sandi Siregar
termasuk sosok yang sepi dari pemberitaan. Sandi Siregar,
menurut seorang Ahmad Djuhara, bukanlah orang yang
mudah didekati, atau mudah dekat dengan orang lain.
Namun baginya Sandi Siregar adalah sosok guru, baik dari
sejak bangku kuliah hingga ketika keduanya terjun sebagai
arsitek praktisi dan anggota IAI.
Sandi Siregar penah menjabat Ketua Dewan
Pendidikan Arsitektur. Dalam banyak kesempatan, baik itu
raker, rapat, dan forum-forum, keduanya sering bertemu
dan bertukar pandangan mengenai pendidikan arsitektur,
tentang hukum, juga tentang peraturan dalam dunia
keprofesian. Begitupun dalam perjalanan meloloskan
Undang-undang Arsitek, Sandi Siregar menjadi sosok yang
begitu dekat dan sering menjadi tempat bertukar fikiran.
Bagi Djuhara, sebagai seorang arsitek, Sandi
Siregar adalah orang yang sangat berjasa dalam pendidikan
profesi di Indonesia. Beliau adalah orang berfikir sangat
panjang dan komprehensif terutama dalam rancangan
PPArs (Pendidikan Profesi Arsitektur) jauh sebelum orang
menyadari tentang pentingnya pendidikan profesi. Ketika
di tahun 1994 pendidikan arsitektur di perguruan tinggi
dijadikan 4 tahun, Sandi Siregar adalah orang pertama yang
menyadari adanya bahaya jika para sarjana arsitektur muda
tidak dilengkapi dengan pendidikan tentang keprofesian.
Dan begitulah di tahun 2006 beliau mulai merancang
sistem pendidikan profesi, lalu kemudian diujicobakan di
tahun 2009. PPArs menjadi sumbangan yang sangat besar
bagi keprofesian arsitek di Indonesia karena untuk pertama
kalinya organisasi keprofesian mengambil peran aktif
menjembatani dunia pendidikan dengan dunia profesi.
Diakui oleh Djuhara, prinsip dan filosofi arsitektur dari
seorang Sandi Siregar menjadi acuan bagi keprofesian di
Indonesia dalam banyak level dan dalam banyak konteks.
Langsung atau tidak langsung, di mata Ketua IAI
Nasional, ketiga tokoh ini adalah penjaga marwah IAI
dalam hal kode etik. Semuanya teguh dan tegas, terlepas dari
karakternya masing-masing. Harus diakui, dengan rentang
usia organisasi yang panjang, IAI masih mempunyai banyak
sekali pekerjaan rumah yang belum tuntas, terkait UU
Arsitek dan juga tata kelola keprofesian di Indonesia. Namun
baginya IAI adalah alat, bukan tujuan. Organisasi, termasuk
IAI, adalah sebuah cara yang bisa dipakai untuk mencapai
sebuah tujuan yang tidak bisa dicapai jika kita sendirian. IAI
adalah ikatan dari banyak arsitek yang bersepakat dengan
sebuah perangkat nilai dan pandangan yang sama mengenai
profesi ini. Maka seharusnya tidak boleh ada seorangpun
yang dipaksa untuk menjadi anggota IAI. Menjadi anggota
IAI seharusnya menjadi pilihan yang paling logis ketika
itu menyangkut penyelenggaraan keprofesian arsitek yang
baik. Ini adalah teladan yang terus menerus ditunjukkan
oleh ketiga tokoh. Ini pula yang harus diteruskan kepada
generasi arsitek berikutnya.
Arsitektur adalah tentang karya dan lingkungan
yang terbangun. Bukan sekedar maket, bukan sekedar
gambar. Jadi aparesiasi kepada arsitek seharusnya juga
menyangkut sejauh mana kontribusinya terhadap produk
arsitekturnya di dunia nyata. Kepergian ketiga tokoh ini
menjadi penyemangat bagi arsitek-arsitek angkatan muda,
bahwa integritas dan konsistensi dalam profesi memerlukan
kerja keras dan pengorbanan. Kita tidak boleh bergantung
hanya pada tiga nama. Harus ada yang menggantikan, yang
melapisi, dan meneruskan apa yang sudah mereka mulai.
Kita semua akan sangat kehilangan, namun
proses estafet harus segera dilakukan. Cinta dan bakti dari
ketiga tokoh ini menjadi teladan bagi kita, bukan untuk
dikultuskan, namun dihormati sesuai dengan harkatnya.
Orang-orang ini tidak pernah dipilih IAI, tapi mereka
memilih untuk berkiprah bagi IAI. Mereka punya pilihan
untuk tidak berkontribusi, tapi mereka memilih sebaliknya.
Bukankah kita juga seharusnya memilih hal yang sama?
halaman 16
halaman 17
NEW URBAN AGENDA:
Narasi Lama, Perspektif Baru
W
Astrid Sri Haryati
arga Ibu Kota telah lama memimpikan ruang hidup
yang humanis, beridentitas lokal, dan mempunyai performa
yang baik. Jakarta, sebagai pusat dari semua denyut kehidupan
yang ada di Indonesia membutuhkan struktur berkota yang
khusus. Proses berdemokrasi yang sehat dan bagaimana warga
bisa berkontribusi, baik dalam konteks keseharian berkota
maupun dalam pemilihan pemimpin selanjutnya, menjadi
dinamika yang tidak bisa dihindari. Hal ini menuntut adanya
korelasi antara Jakarta dan kota-kota lain dalam ekosistem
global dunia, secara pemikiran demikian pun secara aksi.
Aspirasi dan sumbangsih kita bersama sebagai warga ibukota
menjadi tulang punggung dari pembentukan ruang-ruang
kota yang layak huni, ramah, dan kompetitif.
Namun, beberapa pertanyaan yang masih menjadi
ganjalan dari pertumbuhan Kota Jakarta, adalah, bagaimana
kita bisa bergerak menuju masa depan yang lebih baik apabila
kita belum sepakat dan memiliki benchmark terhadap kondisi
dasar kita sekarang? Langkah-langkah seperti apa yang harus
kita ambil dalam menjawab isu sosial, budaya, politik maupun
ekonomi bersama? Bagaimana kita sebagai arsitek benar-benar
paham terhadap kontribusi kita dalam kerangka pemikiran
dan aksi tersebut?
Dalam event 20 tahun sekali, Prepatory Committee
(Prepcom) III UN Habitat, yang dihelat di Surabaya bulan
Juli 2016 lalu, kita bisa membaca narasi-narasi lama tentang
isu pemukiman dan perumahan melalui tema yang diangkat,
‘United Cities and Local Government.’ Pada konferensi
lanjutan yang diadakan di Quito, Ekuador, Oktober 2016
lalu, kita semakin merasakan desakan untuk terjadinya
kolaborasi dan kerjasama menyeluruh seluruh warga dunia,
melalui perwakilan mereka di Persatuan Bangsa-Bangsa. Ini
telah menjadi tujuan jangka panjang, baik bagi Indonesia
dan banyak Negara-negara lain di dunia. Kesepakatan untuk
mendukung pencapaian target bersama ini tertuang di dalam
2030 Agenda for Sustainable Development. Dokumen
ini mencakup berbagai kesepakatan antar Negara, seperti,
Sustainable Development Goals, the Paris Agreement on
Climate Change, the Sendai Framework for Disaster Risk
Reduction 2015-2030, the Small Island Developming States
Accelerated Modalities of Action (SAMOA) Pathway, dan the
Instanbul Plan for Action on Least Developed Countries.
New Urban Agenda, yang juga dikenal sebagai Habitat III, menjadi
langkah pertama dari realisasi, integrasi, dan koordinasi di level global hingga
skala regional, nasional, sub-nasional, dan lokalitas dalam pelaksanaannya. New
Urban Agenda, terutama pada butir Target no. 11, secara khusus menggarisbawahi
komitmen PBB dalam membangun kota dan lingkungan pemukiman yang
inklusif, aman, berketahanan, dan berkelanjutan.
Di dalam draft naskah New Urban Agenda yang disampaikan tahun
ini, kita bisa membaca sebuah perspektif baru yang lebih ringkas, yang
berorientasi pada aksi, memiliki pandangan jangka panjang, universal, secara
ruang membentuk keterpaduan, juga selaras dengan tren global yang terus
berkembang. Pendekatan yang dipakai bukanlah pendekatan yang generic,
dimana one-size fits-all, namun yang mampu memfasilitasi detil-detil dan
konteks dari kawasannya, dimungkinkan untuk bertransformasi, termasuk
mempertimbangkan berbagai realita, konteks, budaya, dan unsur sejarah dari
lanskap perkotaan dan pemukiman.
Apakah artinya ini untuk kita?
Bagaimanakah kita bisa terus mengusahakan adanya sinergi antara kota
kita masing-masing dengan berbagai kota di berbagai negara lainnya?
Ada baiknya kita mulai dari pemahaman kualitas unggulan dari New Urban
Agenda ini dan apa yang masih perlu diperbaiki.
Draft New Urban Agenda memiliki beberapa penekanan dalam aspek-aspek
sebagai berikut:
1. Hak Asasi Manusia di Perkotaan, yaitu hal-hal yang
memastikan adanya mekanisme perlindungan hak asasi
yang riil.
2. Skala Kota Regional, yang artinya mendukung tata kelola,
termasuk skala metropolitan, dengan memperhatikan
aspek-aspek berdemokrasi di dalamnya.
3.Konteks Gender, yaitu sebuah pendekatan yang
memungkinkan kemudahan akses ke program-program
yang mendukung, diantaranya hak pemukiman,
menghindari kekerasan, serta pentingnya kesetaraan
dalam penataan ruang dan bentukan peluang kerja.
4. Agenda Sosial, yaitu menghindari segregasi kelas dengan
menggarisbawahi pentingnya kota yang polycentric
dan inklusif. Juga terdapat perhatian khusus terhadap
dampak proses jentrifikasi serta akses ke ruang publik
untuk semua warga tanpa terkecuali.
5. Kualitas Hidup, yaitu memastikan akses ke air bersih dan
energi, adanya ketahanan pangan, jaminan kesehatan,
kualitas udara yang baik, juga konteks perkotaan yang
layak huni dan menarik.
6. Hak Pemukiman, yaitu komitmen untuk melaksanakan
kebijakan publik yang terbaik untuk memenuhi hak
bermukim di level nasional maupun lokal, jaminan untuk
pengadaan permukiman yang mencukupi dengan akses ke
pelayanan dasar dan infrastruktur yang diperlukan, juga
adanya jaminan perlindungan dan keberlanjutan dari hak
tersebut, misalnya untuk penyewa, sehingga pendekatanpendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sosial
yang dibantu dengan proses administratif yang mudah,
yang bisa mendukung keberlanjutan hak tersebut, serta
halaman 18
halaman 19
solusi berbasis komunitas.
7.Perlindungan Warga oleh Otorita Lokal, yaitu
menyoroti peran pemerintah daerah dalam menjamin
hak warga negara, pembentukan sistem perekonomian
yang adil dan merata, dan peningkatan kinerga
pemerintah daerah, terutama dalam aspek finansial
termasuk yang mempengaruhi pendapatan nasional.
8. Ekonomi Informal, yaitu perhatian terhadap sektor
informal di level pemukiman dan kesempatan kerja.
9. Dari enam target yang tertuang dalam Sustainable
Development Goals, ada hal-hal yang berkaitan
dengan isu lahan yang menuntut perhatian dari
pemerintah, baik pusat maupun daerah. Karena itu
sangat diperlukan penyamaan visi bersama, begitupun
komitmen untuk pemenuhan “kebutuhan perumahan
murah yang aman dan memadai yang menyediakan
akses ke pelayanan dasar dan juga perbaikan
pemukiman kumuh sebelum tahun 2030”.
Walau demikian, demokrasi dalam konteks perkotaan yang
tertuang di dalam draft New Urban Agenda ini belum mengikutsertakan
peran masyarakat di luar kegiatan monitoring dan evaluasi. Juga belum ada
pemahaman yang menyeluruh tentang demokrasi sebagai sistem politik yang
penting dalam proses pembangunan kota. Selain itu juga masih diperlukan
penyamaan perspektif tentang kepentingan-kepentingan bersama terutama
untuk aspek-aspek perkotaan yang mendasar dan yang sebaiknya diwajibkan
seperti ruang publik, kualitas udara, air, energi, dan sumber alam lainnya.
Pengertian tentang ruang publik dan kepentingan bersama di dalam ruang
publik menjadi isu penting yang masih harus dielaborasi dalam kerangka kerja
tata kelola pemerintahan, termasuk hal-hal non fisik seperti hak berkebudayaan.
Kerangka komitmen New Urban Agenda ini membuka kesempatan yang
lebih besar bagi pemerintahan daerah untuk berperan aktif terutama dalam
kepastian adanya kebijakan yang adil, tidak distorsi, juga hadirnya sistem makro
ekonomi yang bertanggung jawab dan transparan. Semangat desentralisasi
juga menuntut pemerinah daerah untuk mengambil bagian dalam gerakan
pemberantasan korupsi dan praktek-praktek kecurangan pajak, yang telah
membebani kondisi finansial kita selama ini.
Harus disadari, kota-kota kita masih sarat dengan ketimpangan
fasilitas yang membuat kota menjadi tidak kondusif untuk berbisnis, yang
membuat tidak adanya jaminan akan pertumbuhan ekonomi yang inklusif
yang kemudian membuat mandeknya berbagai strategi lain yang mendukung
kepentingan publik. Kurangnya rekomendasi yang kreatif terhadap skema
pendanaan untuk pemukiman juga menjadi sorotan sejalan dengan bergesernya
preferensi orang-orang dalam kepemilikan rumah beberapa tahun terakhir,
dari rumah sewa dan co-op.
Beberapa hal lain yang cukup sensitif akan kondisi dunia akhir-akhir ini
adalah mengenai isu pemukiman yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan,
terutama untuk daerah-derah yang terdampak oleh konflik, peperangan,
penjajahan, maupun penggusuran di kawasan yang berbatasan dengan teritori air,
penambangan sumber daya alam, degradasi dari kawasan penting bersejarah, serta
hal-hal lain yang sejenis. Isu diskriminasi pun secara menyeluruh membutuhkan
perhatian lebih, terutama dalam dukungan bagi pekerja wanita dalam mengasuh
anak yang dinilai masih belum memadai.
Hal terakhir yang perlu kita perhatikan, sebagai arsitek yang menjadi
bagian dari warga kota, kita memerlukan perhatian yang lebih menyeluruh
terhadap transformasi ruang perkotaan yang resilien tanpa harus menunggu
terjadi bencana. Strategi perkotaan menuju kota yang berketahanan juga harus
memperhatikan adanya masalah-masalah yang terjadi karena aspek perubahan
iklim dan kondisi lingkungan, ekonomi, demografi, teknologi, politik, sosial dan
lainnya. Aspek-aspek ini harus disadari menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dalam strategi adaptasi perkotaan kita ke depannya.
Lalu apa yang riil dan bisa kita lakukan hari ini?
Sebagai warga dunia, mulailah untuk mengerti skala dari dampak
keputusan yang kita ambil sehari-hari. Kita adalah bagian dari sebuah ekosistem
besar yang saling bergantung. Sebagai warga negara, tidak perlu menunggu
dipanggil untuk memulai menggerakan sesuatu yang positif dan yang bisa menjadi
magnet bagi solusi kota terbaik.
Sebagai warga kota, jangan takut untuk berkontribusi dalam bentuk
dan skala apapun. Masing-masing memiliki peran yang luar biasa penting dalam
kebersamaan kehidupan ‘berkota’. Bagaimanapun juga kita adalah bagian dari
sebuah ‘persetujuan untuk berkota’, baik secara administratif, sosial maupun
budaya.
Marilah kita mulai saat ini juga.
halaman 20
halaman 21
Politik Etis Arsitek
Secara keprofesian, pameran akbar di Venesia, Italia ini
setidaknya berhasil mengangkat kembali beberapa pertanyaan
mendasar, seperti, bagaimanakah arsitek memposisikan dirinya
ditengah tuntutan akan kolaborasi (bersama komunitas) yang
jauh dari karakter kerja otonom yang biasa dikenal arsitek. Lalu,
ada juga sorotan mengenai kecenderungan arsitek yang selalu
haus akan privilase. Dalam sejarah arsitektur kita tentu tak asing
dengan arsitek-arsitek besar dengan karya arsitektur mereka yang
monumental dan ikonik, yang seakan menjadi pembenaranpembenaran dari banyak penyimpangan baik secara teknis maupun
etik. Kecenderungan sifat narsistik dari arsitek pun tak pelak
menimbulkan tanya, apakah agenda di balik kuratorial tahun ini
murni sebuah usaha memahami krisis dan tantangan jaman, atau
hanya sebuah hasrat narsisme berbalut niat baik untuk membantu
golongan yang selama ini kurang beruntung?
Reporting From The Front:
Motif dan Politik Etis Arsitek
Penghujung tahun 2016, tepatnya tanggal 27 November
2016 lalu, menjadi sebuah titik penting dalam kalender
arsitektur dunia dengan berakhirnya Venice Architecture
Biennale 2016. Pameran arsitektur terbesar ini sering
dijadikan acuan untuk menandai agenda dan arah
pergerakan arsitektur global terkini. Walau begitu, ajang ini
masih meninggalkan beberapa kritik dan pertanyaan dasar
tentang keprofesian arsitek.
Tak seperti biasanya, Biennale tahun ini berusaha
mengelaborasi isu-isu sosial dan mencoba menampilkan
arsitektur sebagai sesuatu yang masih berjalan, bukan
sesuatu yang selesai. Tema biennale yang diangkat oleh sang
kurator, Alejandro Aravena, yaitu ‘Reporting From The Front’
langsung mendapat tanggapan yang beragam dari banyak
arsitek dunia. Aravena menjelaskan, seperti yang dikutip
oleh The Guardian, bahwa arsitek punya kewajiban etik yang
sama dengan para jurnalis dalam menjelaskan situasi yang
nyata dari masyarakat saat ini. Masih menurut penerima
Pritzker 2015 ini, pemakaian kata ‘The Front’ adalah untuk
menjelaskan situasi dimana arsitek seharusnya menjadi yang
pertama dalam melihat dan memanfaatkan potensi-potensi
yang ada di dalam bangunan atau ruang sehingga mampu
memberikan kebaikan sebesar-besarnya kepada publik.
Namun, tentu, usaha seperti ini bukan yang pertama
dan terbukti sangat rawan terperosok dalam romantisme,
eksploitasi hal-hal sentimentil, dan menjadi komoditas yang
akhirnya tidak konstruktif secara arsitektural.
Kritik akan motif memang tidak berlebihan mengingat
isu-isu sosial memang bukan isu yang sederhana, dan arsitektur
sendiri tampaknya belum dipandang sebagai instrumen yang
efektif untuk bisa menjadi problem solver, bahkan oleh para
profesionalnya sendiri. Kenyataan ini kemudian dibaca, oleh
beberapa kritikus, sebagai sebuah bentuk ketidakpercayaan diri
arsitek. Kemunculan praktik arsitektur komunitas (arsitektur yang
dilakukan bersama-sama komunitas) pun terbukti membutuhkan
metoda dan kerangka berfikir yang jauh berbeda dengan praktik
arsitek formal pada umumnya. Salah satu alasan yang memperkuat
hipotesa: motivasi menjadi juru selamat adalah sesuatu yang muluk
ketika tidak disertai kesadaran bahwa arsitek dan masyarakat
adalah rekan yang setara dengan ilmu yang saling melengkapi.
Aravena, dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh
The Guardian, pernah menekankan bahwa biennale kali ini
adalah sebuah usaha untuk meletakkan aspek-aspek sosial, politik,
ekonomi, dan lingkungan dalam sebuah spektrum yang sama.
Namun, pertanyaan berikutnya, seefektif apa sebuah pameran
bisa menjadi alat untuk memproduksi wacana dan bahkan solusi
bagi konteks krisis di masa kini? Sebulan sudah, sejak penutupan
Venice Architecture Biennale 2016, dan banyak ahli masih
merasa bahwa biennale masih berupa gagasan-gagasan ide dan
sekumpulan hipotesa, ketimbang sebuah pembacaan lugas akan
hal-hal yang empirik dengan rumusan-rumusan masalah yang
jernih. Arsitektur sebagai imagi yang diterjemahkan kedalam
sebuah pameran, sedikit banyak membuatnya berjarak dengan
konteks dan relevansinya akan kenyataan sehari-hari.
Indonesia dan Ajang Pameran Arsitektur Dunia
Tidak seperti dua tahun lalu, Indonesia tidak mengambil bagian
dalam Venice Architecture Biennale tahun ini. Walau begitu, 23
arsitek Indonesia secara mandiri ikut memeriahkan pameran akbar
ini dengan membuat jangkar isu “Fortress Europe” sebagai respon
terhadap gonjang-ganjing politik yang ada di Eropa saat ini. Arsitek
Budi Pradono, sebagai inisiator pameran, mengungkapkan bahwa
“Fortress Europe” merupakan metafora dari permasalahan utama
halaman 22
halaman 23
di Eropa, terutama yang menyangkut arus imigran dengan segala
gesekan sosial, krisis ekonomi, juga intrik politik dalam badan
Uni Eropa. Tema ini diangkat sebagai gambaran akan kerumitan
yang juga dihadapi banyak negara-negara lain di dunia saat ini.
Tanpa mengurangi apresiasi dari sebuah niat baik untuk
mengharumkan nama bangsa, pameran ini pun tak lepas dari
sebuah pertanyaan akan motif. Jika agenda kuratorial yang di
gagas Aravena begitu membumi dan mencoba mendudukkan
negara-negara dunia ke-2 dan ke-3 di tempat utama sebagai
sumber pembelajaran dan diskusi (karena dianggap mengandung
contoh kasus nyata dan menawarkan metoda-metoda baru yang
bisa dikembangkan sebagai terobosan), mengapa kita tidak
menggali dan mengangkat apa yang memang menjadi isu hangat
di dalam negeri sembari menawarkan sebuah topik perbincangan
yang seru bagi komunitas global?
Sebagai negara berkembang dengan usia demokrasi yang
masih cukup muda, Indonesia menjadi tempat eksperimen yang
menarik. Krisis dan keterbatasan, baik secara infrastruktur fisik
maupun regulasi, menjadikan Indonesia kaya akan terobosan.
Biaya murah, teknologi yang rendah, dan tantangan-tantangan
secara politik menjadikan arsitektur harus kembali ke akarnya.
Dalam sebuah kasus menarik di Kampung Tongkol,
sekelompok arsitek mengadakan eksperimen sosial dengan
mencoba menciptakan momentum titik balik bagi sebuah
komunitas yang terancam digusur, melalui sebuah produk
arsitektur berupa co-housing yang diberi nama Rumah
Contoh. Arsitek-arsitek muda tersebut, yang tergabung dalam
Architecture Sans Frontiere Indonesia (ASF-ID), mengaku
apa yang sedang mereka lakukan di sana merupakan sebuah
percobaan dan masih terus bergulir hingga saat ini. Dalam
kondisi kritis seperti di Kampung Tongkol, arsitektur dipandang
sebagai sebuah alat, bukan tujuan: sesuatu yang berproses bukan
tentang keterbangunan semata. Dalam banyak liputan media,
jelas terbaca bahwa apa yang mereka lakukan adalah upaya untuk
membuka ruang dialog yang lebih besar dan efektif, baik secara
politik yaitu antara warga dengan pemangku kekuasaan, juga
secara keilmuan yaitu antara arsitektur dengan keilmuan lainnya.
November lalu, dalam sebuah penelitian yang dilakukan
Rembuk!, yang juga didukung oleh IAI Jakarta, eksperimen di
Kampung Tongkol berhasil menjadi titik temu sebuah diskusi
mengenai estetika yang menjadi eksplorasi menarik secara
keilmuan filsafat dan keilmuan arsitektur. Perbincanganperbincangan akademik yang mengupas lapis-lapis masalah dari
beberapa sudut pandang merupakan hal yang menimbulkan
kegairahan tersendiri bagi arsitek, mengingat selama ini arsitektur
Indonesia jarang sekali ditajamkan oleh sesuatu di luar dirinya
sendiri. Pameran-pameran dan diskusi-diskusi masih didominasi
topik-topik disekitar rancang bangun. Kolaborasi dan diskusi lintas
ilmu diakui masih sulit dilakukan mengingat sering kali sense of
urgency akan sebuah permasalahan tidak terjadi serentak sehingga
sulit membangun perbincangan yang setara dengan perspektif
yang sama.
Setiadi Sopandi, salah satu kurator paviliun Indonesia pada
Venice Architecture Biennale 2014, mengakui bahwa keikutsertaan
Indonesia dalam ajang pameran arsitektur dunia, seperti Venice
Biennale, harus disikapi secara proporsional. Artinya pilihan
untuk ikut atau tidak mesti ditakar dengan manfaat, tujuan, dan
usaha-usaha yang realistis demi penyelenggaraan praktek profesi
yang lebih konstruktif dan hadirnya iklim kritik yang sehat melalui
produksi-produksi wacana yang relevan. Diakuinya, pameran masih
belum menjadi wadah diskusi yang tepat, terutama bagi komunitas
arsitektur di Indonesia. Ketika diminta pendapatnya mengenai
pengalamannya berpameran di Venice Architecture Biennale 2014
(mewakili Indonesia, untuk pertama kalinya), arsitek yang juga
peneliti ini menjelaskan bagaimana jarak yang jauh, dan perbedaan
referensi antara apa yang menjadi isu dalam negeri dan isu global,
menjadikan ajang seperti Venice Architecture Biennale sering kali
punya jarak dengan audiens lokal. Belum lagi secara strategis, ajang
Venice Biennale belum bisa dimanfaatkan sebagai jalur untuk
mempromosikan arsitek Indonesia di panggung dunia karena
terbentur regulasi industri konstruksi yang masih belum akan
selesai sampai satu atau dua generasi kedepan. Biennale arsitektur
tidak bisa disamakan dengan Biennale seni, karena secara lembaga
pun keduanya punya kematangan yang jauh berbeda. Sejak awal,
biennale arsitektur memang mempunyai tendensi ke arah kultural
lebih besar, berbeda dengan biennale seni yang sudah lazim dipakai
seniman untuk mendongkrak nilai dari karya-karya seninya.
Venice Architecture Biennale 2016 memang telah usai.
Kita tentu menanti agenda berikutnya yang akan diangkat oleh
event akbar dua tahunan ini. Reporting From The Front, diluar
segala kekurangannya, menjadi agenda yang tidak boleh selesai.
Dia harus terus menjadi kerangka berfikir semua arsitek yang
merindukan hadirnya parktik profesi yang mampu menjawab
tantangan masanya. Mencuplik sedikit catatan dari kurator
paviliun Indonesia di tahun 2014, kita sebagai arsitek, seharusnya
lebih terdorong untuk peka melihat kebutuhan arsitektur di
dalam negeri kita sendiri, alih-alih tergiur berebut panggung
tanpa berhitung tentang manfaat. Kita tidak perlu terburu-buru
melompat menuju medan pertempuran baru sebelum menimbang
semua untung ruginya. Kita tak perlu terburu-buru menuju solusi
ketika sebenarnya yang perlu kita lakukan hanyalah merumuskan
masalah secara jernih. Bagaimanapun, ditengah kompleksitas
permasalahan kita saat ini, kita harus berhenti berandai-andai
dan perlu benar-benar bersentuhan dengan kenyataan. Terkadang
cara terbaik untuk menyelesaikan masalah adalah dengan
menyampaikannya apa adanya.
halaman 25
suara muda
halaman 24
halaman 26
halaman 27
Paskalis Krisno Ayodyantoro
Asmat, Je, dan
Arsitektur Indonesia
Hamparan karpet hijau bertabur kapas putih
terpecah oleh liuk-liukan coklat cair, hutan yang masih
sangat lebat dengan gumpalan awan-awan di atasnya,
terbelah oleh sungai-sungai yang besar berwarna cokelat.
Begitulah Agats, kota kecil di selatan papua. Kota Agats
terletak diantara kota besar Merauke dan Timika. Dahulu,
agats adalah sebuah kota dengan rumah-rumah kayu
berpanggung yang dihubungkan oleh kanal-kanal kecil.
Kano atau kapal kecil menjadi satu-satunya transportasi
untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sekarang
kota Agats adalah kota dengan bangunan lengkap dengan
jalan-jalan yang melayang. Agats adalah pintu atau gerbang
menuju tempat tempat yang di diami oleh Suku Asmat di
sekitarnya.
***
Dalam eksplorasi kami ke Agats, kami singgah di
Kampung Er dan kampung Sawa di Barat Laut Kota Agats.
Ada sekitar 12 rumpun kecil Suku Asmat yang mengelilingi
kota Agats baik dari pinggir laut hingga daerah Korowai
yang agak tinggi. Kami tertarik dengan bangunan panjang
yang bernama Je. Di kampung Er dan Kampung Sawa
terdapat masing masing sebuah Je yang mewadahi beberapa
klan dalam rumah tersebut.
Menurut tradisi, rumah utama orang Suku Asmat
ada dua macam. Yang pertama adalah rumah bujang atau
Je, Jew, Jeu atau Yai yang di tempati oleh para pemuda yang
belum menikah. Bangunan ini dibangun di atas tiang kayu
yang tingginya sedikit di atas pasang tertinggi di kawasannya
dengan panjang mengikut tungku-tungku berderet yang
mewakili perwakilan klan. Dimensinya mencapai 50-80
meter dengan lebar 8-10 meter. Dahulu setiap klan keluarga
memiliki satu rumah bujang yang menghadap langsung ke
sungai atau kanal sebagai satu-satunya akses transportasi.
Bangunan lainnya adalah rumah keluarga yang
didiami oleh keluarga inti, suami, istri dan anak-anaknya.
Setiap istri memiliki dapur. Sama seperti Je, bangunan
rumah keluarga dibangun dari kayu yang ada di sekitar
lingkungan dengan susunan daun sagu sebagai atap, gabagaba sagu sebagai dinding rumah dan anyaman daun
sagu sebagai tikar. Secara bahan, Bangunan tradisi asmat
memiliki daur ekologis yang baik. Tidak menyisakan
sampah yang tak terserap bumi. Ada satu lagi bangunan
sementara dimana orang asmat mendirikan tempat tinggal
sementara ketika mencari bahan makanan atau bahan
bangunan di hutan yang dinamakan Bivak.
Je pada masa lalu berfungsi sebagai balai desa
dimana seluruh warga kampung membicarakan masalah
kampung. Je terbagi menjadi 2 bagian. Ada kepala Aipmu,
yang biasanya juga adalah kepala perang atau pimpinan
adat yang ahli dalam bidang tertentu seperti ahli pencerita
dongeng (tareyatakam-ipit), ahli pelantun lagu (so-ipit),
ahli penabuh tifa (em-ipit), atau ahli seniman pahat
patung (Wow-ipit). Sedangkan satu Je sendiri memiliki
kepala Je yang diakui kekuasaannya berdasarkan pengaruh
dan kemampuannya dalam banyak hal.
Karena kondisi sebagian besar daerah Asmat adalah
tanah rawa dan lumpur, ruang untuk kegiatan bersama
ada di dalam. Je sebagai pusat komunitas digunakan untuk
meneruskan pendidikan dasar termasuk adat istiadat
asmat dan menentukan Upacara penting. Upacara penting
itu seperti upacara kematian, upacara pembuatan tifa,
pesta ulat sagu, upacara perahu lesung (tsyimbu), Upacara
pembuatan patung leluhur (Mbismbu), dan upacara
pembuatan Je (Yentpokmbu) itu sendiri.
halaman 28
halaman 29
sosial masyarakat dan bagaimana rumah adat menyatukan
masyarakat lewat manajemen konstruksi bergotong royong
dan melanggengkan praktek tradisi yang terbentuk dalam
masyakarat.
Banyak ahli berpendapat bahwa bangunan Je adalah
pusat kehidupan dan hidup berkomunitas Suku Asmat. Je
adalah wadah tradisi untuk diteruskan ke generasi selanjutnya.
***
Masuknya modernisasi, agama, dan pengaruh
budaya luar turut serta mengubah budaya Suku Asmat. Para
tetua adat banyak mengeluhkan perubahan dinamika karena
hilangnya Je sebagai tempat meneruskan tradisi Asmat. Je
yang dahulu merupakan wadah komunitas berkumpul dan
tempat untuk bermusyawarah kini hilang. Je banyak dibakar
pada saat kolonialisasi berlangsung baik pada saat penjajahan
Belanda maupun pada saat proses masuknya Papua ke
Indonesia. Je di bakar karena dianggap sebagai pusat tempat
penentuan perang dan dianggap primitif.
Je yang dahulu diletakkan di tengah-tengah klan
kini diletakkan di tengah kampung. Orientasi yang dahulu
menghadap ke sungai atau kanal kini berubah ke arah jalanjalan linear setapak melayang yang dikenalkan oleh para
pendatang. Sekolah modern menggantikan pendidikan
dasar yang biasanya dilakukan lewat pendongengan atau
penabuhan tifa dari tua-tua ke generasi muda. Sayangnya
pendidikan yang diberikan oleh sekolah modern tidak
diimbangi dengan pemberian pendidikan tradisi adat istiadat
yang melekat selama ini oleh orang Asmat.
***
Kita, seperti juga dengan masyarakat Asmat,
bergulat dengan masa depan. Beberapa Orang Asmat merasa
kehilangan identitasnya ketika bangunan yang menjadi tempat
membentuk karakter dan budayanya hilang. Keberadaan dan
pembangunan rumah adat yang dikerjakan secara gotong
royong oleh masyarakat terbukti menjadi salah satu cara
bagaimana tradisi terus dilangsungkan dan diteruskan. Proses
pembangunan mengingatkan fungsi penting tentang tatanan
Mendokumentasikan pembangunan kembali
rumah adat yang semakin hilang adalah satu cara
mempertahankan getok tular, yaitu menularkan
pengetahuan lewat praktik. Bila Sang arsitek modern
mengembangkan keprofesian lewat magang dan
pengalaman membangun di tempat arsitek senior, maka
pada arsitektur vernakular melalui pembangunan kembali
fisik rumah adat secara bergotong royong. Keterlibatan
profesi arsitek tidak hanya memperpanjang perkembangan
pengetahuan sosial budaya lewat upacaranya, tetapi juga
salah satu pendidikan bagaimana arsitek memahami
fungsi dasar arsitektur yang melayani masyarakat dan
peka terhadap lingkungan alamnya beserta seluruh solusi
yang ada di sekitarnya. Arsitektur vernakular kemudian
menjadi titik kritis karena menjadi inspirasi pemecahan
masalah bagaimana arsitektur menggunakan potensi sosial
dan lingkungan sekitar secara efisien dan tuntas, juga
tanpa melupakan bubuhan subyektif yang indah. Terlebih
arsitektur vernakular di Indonesia seringkali menjadi
contoh arsitektur yang tanggap bencana.
halaman 30
halaman 31
Vera Poernomo
Efek Transportasi Umum
Berbasis Digital Terhadap
Ruang Publik Jakarta
D
isadari atau tidak, globalisasi menjadi katalis perubahan di banyak tempat di
dunia, termasuk juga di Indonesia. Kota Jakarta sebagai titik centrum dari Indonesia
juga mengalami fenomena yang menjadi isu global, yaitu isu digitalisasi. Kita tentu ingat
bahwa sekitar dua dekade lalu, era digital ditandai dengan menjamurnya warung internet
(warnet) yang menjamur di pinggir jalan sampai ke gang-gang sempit. Pada masa itu,
wajah kota, terutama yang menjadi sentra pendidikan, mempunyai ruang publik yang
khas, yang mencoba mengakomodari kehadiran warnet-warnet ini.
Seiring waktu, dengan perkembangan telepon pintar (smartphone), lansekap permainan
kemudian ikut berubah. Smartphone membuat orang semakin punya keleluasaan
mengakses internet secara privat. Kehadiran warnet semakin tidak diperlukan, begitu
produsen smartphone berhasil mengeluarkan produk telekomunikasi yang bisa
menggabungkan fungsi komputer, game, dan telepon. Akses internetpun semakin
dipermudah dengan tawaran paket-paket internet murah dari penyedia layanan
telekomunikasi di Indonesia. Gabungan keduanya mendorong para pengembang
aplikasipun untuk semakin menunjukkan giginya. Pasar mereka tentu saja setiap
pengguna telepon pintar. Karena apalah artinya telepon pintar tanpa aplikasi. Semakin
maraknya aplikasi mendorong pebisnis untuk masuk ke era digital terutama dalam hal
bisnis jasa berbasis aplikasi.
Secara khusus kehadiran Go-jek beberapa tahun belakangan menjadi fenomena tersendiri.
Ini karena Go-jek berhasil membalikkan banyak hitung-hitungan bisnis konvensional dan
membuktikan diri sebagai yang terdepan dalam hal bisnis layanan jasa berbasis aplikasi.
Tentu saja fenomena Go-jek mendorong banyak pebisnis mulai memasuki peruntungan
yang sama. Terutama dalam hal jasa transportasi, ada beberapa transportasi online berbasis
aplikasi yang sudah beroperasi. Di antaranya adalah :
1Gojek
2
Grab Bike
3
Grab Car
4Uber
5
Bajaj App
6Transjek
7
Wheel Line
8Bangjek
9OjekSyar’i
10Bluejek
Banyak pendapat yang berkembang di masyarakat bahwa kehadiran
transportasi berbasis digital mempermudah konsumen untuk
mendapatkan servis transportasi yang bervariasi dan bersaing. Premis
ini tentu berangkat dari perubahan perilaku masyarakat yang semakin
praktis, yang juga diikuti oleh pilihan pebisnis untuk beralih ke format
digital jika tak ingin kehilangan pelanggannya. Perubahan sosial yang
kentara diantaranya, kita sudah jarang masyarakat yang menunggu
taxi di pinggir jalan. Masyarakat sekarang lebih membuka telepon
pintar mereka, masuk ke sebuah aplikasi, memesan, dan taxi akan
menjemput ke rumah. Berbeda sekali dengan jaman sebelum adanya
aplikasi transportasi. Bagi yang memiliki rumah di gang, harus keluar
jalan besar lalu menyetop taxi. Perubahan-perubahan budaya seperti
ini sedikit banyak ikut merubah ruang Kota Jakarta beberapa tahun
terakhir.
Kita tahu bahwa sebelum Go-jek ada, pengendara ojeg memiliki
pangkalan di beberapa titik pemukiman atau pun di tepi jalan.
Sebelum ada Uber dan Grab Car, Taxi konvensional selalu diberikan
keistimewaan tersendiri di lobby entrance mall ataupun hotel. Seiring
dengan bertumbuhnya bisnis jasa transportasi berbasis aplikasi, ada
sebuah pertanyaan yang menggelitik saya, dimanakah kendaraankendaraan tersebut parkir ketika tidak berpenumpang?
Dari beberapa penelusuran mandiri yang saya lakukan, saya
menemukan beberapa fakta mengenai tempat parkir sementara bagi
pengendara/rider dari jasa transportasi berbasis aplikasi ini. Bagi para
pengendara Go-jek dan sejenisnya, acap kali mereka berseteru dengan
rekan-rekan mereka para ojeg pangkalan. Namun, tidak jarang juga,
mereka berbagi tempat seperti yang terdapat di pangkalan ojek 63
Gajah Mada, Jakarta Barat , yang bahkan beroperasi 24 jam penuh.
Belum lama ini juga, Go-jek Indonesia telah hadir di fX Sudirman. Ini
untuk pertama kalinya ojek berada di Mall eksklusif, yang selama ini
selalu steril dengan layanan jasa seperti ini.
Lalu, apakah cukup upaya-upaya di atas?
Kita tahu bahwa jumlah transportasi berbasis digital tersebut semakin
bertambah setiap harinya. Selain dikarenakan banyaknya permintaan
pengguna, murahnya serta mudahnya mendapatkan kendaraan pribadi
untuk dijadikan alat transportasi berbasis digital menjadikan tingginya
peningkatan jumlah kendaraan berbasis digital tersebut.
halaman 32
halaman 33
Resha Kambali
Mencari Wajah Jakarta Melalui
Kampung Kota
Sebagai Arsitek, kita dituntut untuk mengikuti
kebutuhan pengguna ruang, perubahan-perubahan yang
terjadi ini menjadi tantangan tersendiri bagi arsitek dan
perencana kota. Bagaimana kita harus bereaksi terhadap
menjamurnya transportasi berbasis digital ini? Perencana
kota dan arsitek tentunya harus sama-sama memikirkan
bagaimana Kota Jakarta di masa depan dapat menjadi
suatu kota yang pintar, dimana ruang, waktu dan
penggunanya dapat berinteraksi dan bersinergi dengan
baik dan berkelanjutan.
Apakah semua ruang publik harus menyediakan
ruang istimewa untuk mereka? Apakah itu mungkin?
Berapa banyak agar cukup? Ruang Publik apa saja yang
harus menyediakan ruang istimewa bagi transportasi
berbasis digital tersebut? Bagaimana sirkulasi yang
nyaman untuk mereka yang tidak menganut azas antri?
Apakah kita perlu mengadopsi desain gedung parker
bertingkat yang popular di Jepang? Apakah kita sebagai
Arsitek Indonesia dapat menciptakan gedung parkir/
pangkalan kendaraan motor roda dua yang efektif
dan efisien? Bagaimana cara menggabungkan semua
kebutuhan ruang tersebut agar dapat terakomodir dengan
baik di dalam satu tapak?
Sebagai warga kota, kita tentu berharap
kemajuan itu sebangun dengan kebaikan, baik bagi
warga dan bagi Kota Jakarta sendiri. Dahulu, sebelum
munculnya transportasi umum berbasis digital, kita
kerap menyaksikan pedestrian yang terpotong dan
disalahgunakan sebagai pangkalan ojeg. Jalan dua
jalur bisa menjadi satu jalur karena adanya kendaraankendaraan (mikrolet/taxi) yang mangkal di jalur samping.
Bagaimana dengan sekarang? Setelah menjamurnya Grab
Car, Uber, Go-jek dan layanan jasa transportasi berbasis
aplikasi lainnya, apakah arsitek dan perencana kota di
Indonesia dapat membantu menata ruang publik Jakarta
hari ini dan masa depan?
H
ampir sebagian besar perkembangan kota di
utara Pulau Jawa mempunyai tipe penyebaran yang
berawal dari aktifitas yang berada di pantai sebagai
pelabuhan. Sunda Kelapa contohnya, begitu tersohor
selama beratus tahun sebagai pelabuhan tersibuk
pengumpul keuntungan pundi-pundi ekonomi
masyarakat. Perdagangan di pelabuhan tidak bisa
disangkal, melalui banyak proses yang membuatnya
secara alami akan semakin besar dan menciptakan
titik-titik perekonomian baru sebagai penunjang.
Pada perkembangannya kota tradisional Jakarta mulai
merambah ke arah selatan saat diciptakan tatanan
perkotaan melalui jalan-jalan strategis. Namun, seperti
disinggung sebelumnya, kota Jakarta merupakan kota
tradisional yang tanpa melalui perencanaan yang matang.
Saat itu tidak pernah terbayangkan, Jakarta akan dihuni
12 juta orang yang masih akan terus bertambah.
Dalam ruang Kota Jakarta, titik-titik area perekonomian,
titik area pemukiman tersebar secara acak. Walau saat ini
Jakarta telah tersadarkan tentang perencanaan kota pun,
fungsi pengawasan tidak berjalan dengan baik. Lagilagi motivasi ekonomi menjadi magnet berjuta orang
sangat pindah ke jakarta. Adanya kegiatan ekonomi
berarti juga adanya komunitas penyokong perekonomian
tersebut, dalam hal ini para pekerja. Pekerja bisa
dikatakan merupakan salah satu pelaku utama terciptanya
kampung-kampung kota di Jakarta. Mulanya mereka
datang dengan acak, tujuan utamanya untuk mengadu
peruntungan, lalu beberapa lama kemudian mereka
akan menemukan kesamaan sosial diantara sesamanya.
Kesamaan sosial inilah yang mendasari mereka
membentuk komunitas, baik didasarkan pada etnis, pada
bidang pekerjaan ataupun persamaan nasib. Mereka akan
memulai untuk membangun tempat tinggal di balik titiktitik kegiatan perekonomian tersebut tanpa terpola.
halaman 34
halaman 35
“Kampung kota ini hanya perlu tangan-tangan peduli
dari pemangku kekuasaan, untuk dapat tetap hidup
berdampingan dengan modernitas.”
Kampung Jawa, Kampung Bugis, Kampung Arab,
Kampung Betawi sebagai empunya Jakarta, bahkan
Kampung Portugis, semua tersebar tak berpola.
Contohnya di Kampung Portugis, pada saat penjajah
Portugis datang ke Jawa, pengaruh Portugis yang terjadi
tentu tidak hanya di pelabuhan saja. Secara kehidupan
sosial pun pengaruh Portugis sedikit banyak akan masuk.
Di kampung Portugis sampai saat ini masih ditemukan
orang-orang berbahasa campuran Portugis-Jawa, begitu
pun makanan asli Portugis. Kampung Bugis, akan selalu
berdiam diri di pesisir pantai karena sejatinya Bugis
adalah suku pelaut yang sangat handal. Potong kayu,
bangun perahu, terbangkan layar, menanti angin laut dan
angin darat, menghitung rasi bintang untuk menentukan
arah, tentu ini bukan barang mudah untuk dikuasai.
Kampung Arab, tersohor sebagai pedagang-pedagang
ulung yang melang-lang buana dari jazirah timur tengah
sampai ke titik mana pun di dunia tidak terkecuali Jawa.
Kampung jawa, tipe pekerja keras yang tidak kenal lelah
pergi bekerja melabuhkan diri di mana pun di pelosok
Indonesia. Tidak lupa Kampung Betawi sebagai empunya
Jakarta yang mempunyai lahan-lahan strategis, yang
mereka bentuk ataupun jual kepada siapapun yang perlu.
Beribu suku asli di Indonesia, yang tersebar
tentunya tanpa terencana, memiliki aroma khas
dari budaya nya, bermandikan keelokan dalam
bersikap dengan sesamanya. Jakarta, sebagai melting
pot, adalah wajah Indonesia itu sendiri. Berbicara
mengenai kemajemukan Jakarta tak lain halnya dengan
kemajemukan Indonesia dalam sebuah bangsa. Namun,
yang membedakan adalah Jakarta sebagai sebuah kota
terbentuk dari wajah-wajah kampung yang sudah sejak
zaman dahulu mengakar budaya dan sosial kultur nya
didalam Jakarta. Kampung kota seperti orang menyebut
nya, adalah harta dari Jakarta hari ini. Tradisi mereka
menghadirkan keindahan pembentukan identitas kota
ditengah kemodernan gedung-gedung tinggi pencakar
langit Jakarta.
Alih-alih memilih untuk terus mengeksplorasi hutan beton dan kaca
di Jakarta, kadang kala ada perlunya kita pikirkan sejenak keelokan
kampung kota di tengah Jakarta. Kota tanpa identitas tidak akan
meninggalkan memori yang membekas bagi orang-orang yang tinggal atau
menyinggahinya. Kampung kota ini hanya perlu tangan-tangan peduli
dari pemangku kekuasaan, untuk dapat tetap hidup berdampingan dengan
modernitas. Membuang jauh-jauh apa yang telah ada jauh sebelum hutan
beton hadir di Jakarta adalah sebuah tindakan terburu-buru. Kampung
kota hanya perlu ditata kembali, dikaji kembali, didampingi untuk dapat
hidup sesuai dengan gaya hidup modern masyarakat luar biasa Jakarta.
Namun, tanpa menghilangkan kultur budaya yang telah dimilikinya sejak
penghuni nya datang ke Jakarta berpuluh tahun lalu, bahkan beratus tahun
lalu. Apakah Jakarta hari ini akan terus mencintai identitasnya, ataukah
membuang jauh-jauh apa yang sejatinya telah menjadi kultur didalamnya,
mari kita bertanya.
halaman 36
halaman 37
Laura Rosental
Jakarta,
Sampah,
dan Warganya
S
ampah adalah masalah yang dimiliki setiap kota.
Mulai dari masalah pembuangan akhir sampai pada
masalah pengelolaan sampah tersebut. Hendak
dikemanakan? Diapakan? Dan bagaimana? Banyak
yang gagal melihat sampah sebagai bagian dari isu
desain yang sangat krusial. Hal ini mungkin disebabkan
ideologi yang didapatkan disetiap perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan arsitektur, yang jarang
memberi pengayaan tentang aspek ekonomi dan ekologi
dalam proses perancangan di studio.
Dalam sebuah artikel di media arus utama
nasional, Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Isnawa
Adji, mengatakan bahwa DKI Jakarta merupakan kota
dengan volume sampah sebesar 6.500-7.000 ton per hari.
Volume tersebut sangat tinggi jika dibandingkan dengan
kota-kota besar di Eropa yang hanya menghasilkan
sampah 1.500-2.000 ton per hari (sumber: beritasatu.
com). Masalah sampah Jakarta tidak akan selesai jika
terus saja berharap dari ketersediaan lahan yang akan di
gunakan sebagai TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
Masalah sampah sedemikian beratnya sehingga
tidak akan mampu jika ditangani oleh pemerintah
seorang diri. Hal ini tidak sejalan dengan konsepsi
awam yang menganggap bahwa masalah sampah adalah
masalah peraturan dan jatah pemerintah, yang sebenarnya
memperburuk penanganan sampah ibu kota. Padahal
ada banyak cara yang bisa di lakukan warga DKI untuk
bisa “meringan” kan beban sampah kota. Hal ini sudah
diatur pada Peraturan Pemerintah (PP) No.81 Tahun
2012 Tentang Pengeolaan Sampah Rumah Tangga dan
Sampah sejenis Sampah Rumah Tangga (Pasal 35 ayat
1), yang berbunyi, “Masyarakat berperan serta dalam
proses pengambilan keputusan, penyelenggaraan, dan
pengawasan dalam kegiatan pengelolaan sampah rumah
tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga.”
J
akarta sudah tergolong Darurat Sampah karena tidak
memiliki TPA dan tidak adanya sistem pengelolaan
sampah kawasan sebagaimana amanat regulasi tentang
sampah. Kondisi pengelolaan sampah di Provinsi DKI
Jakarta juga tidak menunjukkan arah yang jelas dalam
menyelesaikan masalah sampah kota. Padahal, menyadari
urgentnya masalah sampah, dan terbatasnya kemampuan
pemerintah, masyarakat DKI Jakarta seharusnya
juga ada kemandirian dalam penanganan sampah.
Sebagai catatan, tumpukan sampah yang dihasilkan
dalam tiga hari membutuhkan waktu seminggu untuk
mengolahnya. Pemerintah tentu telah melakukan
berbagai upaya untuk mengatasi sampah, namun sejauh
ini baru dalam tahap mengurangi volume, sedangkan
untuk mengolah sampah yang sudah menumpuk di
tempat pembuangan akhir (TPA) belum ditemukan cara
yang efektif.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) ikut mengambil bagian dalam
pengelolaan sampah dari hilir, sesuai dengan kebijakan
peraturan menteri (Permen) nomor 19/2013 yang
mewajibkan PT PLN (Persero) mengambil langkahlangkah serta membuat kebijakan guna merangsang
sektor energy terbarukan dari sampah untuk pasokan
listrik dari pembangkit listrik tenaga (PLT) sampah yang
melibatkan investor.
Apa artinya ini?
I
ni artinya, sampah yang tadinya hadir sebagai ekses,
akan berubah menjadi komoditas, yang ditakutkan
tidak hanya menjadikan sampah sebagai komoditas,
tapi bisa malah mendorong peningkatan produksi
sampah karena permintaan untuk energi.
Sekali lagi, bagaimanakah kita bisa
mengelaborasi hal-hal di atas di dalam bingkai
arsitektur? Definisi arsitektur sebenarnya sangatlah
luas. Tetapi dalam rangka pengembangan industry
arsitektur ini sebagai bagian dari industry kreatif, maka
arsitektur didefinisikan sebagai wujud hasil penerapan
pengetahuan, ilmu, teknologi, dan seni secara utuh
dalam menggubah ruang dan lingkungan binaan,
sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia,
sehingga dapat menyatu dengan keseluruhan lingkungan
ruang dari tingkat makro sampai dengan tingkat mikro.
Pada skala makro, arsitektur berkaitan
dengan perencanaan tata kota (town planning, hingga
perencanaan transportasi, urban/rural planning),
landscape planning, urban design. Sedangkan dalam
skala mikro dimulai dari perencanaan interior ruangan
hingga bangunan termasuk eksterior maupun taman. halaman 38
halaman 39
Leo Einstein Franciscus
Revitalisasi
Kawasan Cagar
Budaya Kota Tua
Sebagai Destinasi
Wisata Jakarta
Definisi lingkungan adalah kombinasi antara kondisi
fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air,
energy surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas
tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi
ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan
lingkungan fisik tersebut. Secara definisi, kita dengan mudah
melihat relasi antara permasalahan sampah dengan arsitektur,
namun secara praktek sehari-hari tidak sesederhana itu.
S
ampah adalah salah satu permasalahan utama yang terjadi
di lingkungan kita, karena memang secara langsung bahwa
lingkungan juga menghasilkan sampah. Dalam konsep alam
murni, kita tidak mengenal istilah sampah. Alam mempunya daur
alami yang akan memanfaatkan semua hal yang ada didalamnya
secara total. Tidak ada sampah karena tidak ada yang tersisa
yang tidak berguna di alam. Ketika manusia hadir, dengan segala
peradaban modern nya, istilah sampah mulai dikenal. Manusia,
melalui revolusi industry, mulai mempunyai kecepatan produksi
dan konsumsi yang jauh lebih besar di banding alam. Inilah yang
kemudian membuat segala aspek kehidupan manusia pasti akan
menghasilkan sampah. Begitupun dalam praktik kerja arsitek dan
industry arsitektur.
T
Kita tentu tak asing dengan berbagai slogan penanganan sampah
yang dikenal dengan istilah 4R, yaitu reduce, reuse, recyle, dan
replace. Reduce (Mengurangi) mempunyai prinsip bahwa sebisa
mungkin lakukan minimalisasi barang atau material yang kita
pergunakan. Semakin banyak kita menggunakan material, semakin
banyak sampah yang dihasilkan. Reuse (Memakai kembali)
menganjurkan untuk sebisa mungkin pilihlah barang-barang yang
bisa dipakai kembali. Hindari pemakaian barang-barang yang
disposable. Hal ini dapat memperpanjang waktu pemakaian barang
sebelum ia menjadi sampah. Recycle (Mendaurulang); sebisa
mungkin, barang-barang yang sudah tidak berguna lagi, bisa didaur
ulang. Dan terakhir, replace (Mengganti), adalah dengan teliti
barang yang kita pakai sehari-hari. Gantilah barang-barang yang
hanya bisa dipakai sekali dengan barang yang lebih tahan lama. Juga
telitilah agar kita hanya memakai barang-barang yang lebih ramah
lingkungan, Misalnya, ganti kantong keresek kita dengan keranjang
bila berbelanja, dan jangan pergunakan styrofoam karena kedua
bahan ini tidak bisa didaur secara alami.
Batavia berkembang pesat pada abad ke-17 dan mendapat julukan
“Ratu dari Timur”, antara lain karena letaknya yang strategis baik dari segi
geografis maupun lalu lintas perdagangan internasional. Meskipun pada
perkembangan selanjutnya Batavia mengalami kemunduran dalam lingkungan
fisik perkotaannya, sehingga mendapat julukan ‘Kuburan Orang Belanda’.
Kanal-kanal diisi karena munculnya wabah tropis di dalam dinding kota
karena sanitasi buruk. Kota ini mulai meluas ke selatan setelah epidemi
tahun 1835 dan 1870 mendorong banyak orang keluar dari kota sempit itu
menuju Weltevreden (sekarang daerah sekitar Lapangan Merdeka). Batavia
kemudian menjadi pusat administratif Hindia Timur Belanda. Tahun 1942,
selama pendudukan Jepang, Batavia berganti nama menjadi Jakarta sebagai
ibukota Indonesia sampai sekarang. Tahun 1972 Gubernur Jakarta Ali Sadikin
mengeluarkan dekrit yang resmi menjadikan Kota Tua sebagai situs warisan
yang bertujuan melindungi sejarah arsitektur kota atau setidaknya bangunan
yang masih tersisa.
ahun 1526, Fatahillah, dikirim oleh Kesultanan Demak, menyerang
pelabuhan Sunda Kelapa di Kerajaan Hindu Pajajaran, kemudian
dinamai Jayakarta. Kota ini hanya seluas 15 hektar dan memiliki
tata kota pelabuhan tradisional Jawa. Tahun 1619, VOC menghancurkan
Jayakarta di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Satu tahun kemudian,
VOC membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavieren,
leluhur bangsa Belanda. Kota ini terpusat di sekitar tepi timur Sungai
Ciliwung, saat ini Lapangan Fatahillah. Kota ini diatur dalam beberapa blok
yang dipisahkan oleh kanal . Kota Batavia selesai dibangun tahun 1650. Batavia
kemudian menjadi kantor pusat VOC di Hindia Timur. halaman 40
halaman 41
Kawasan Kota Tua Batavia merupakan kawasan Cagar Budaya DKI
Jakarta. Cagar budaya adalah daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan
peri kehidupannya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya kepunahan.
Kawasan Cagar Budaya dapat berupa suatu situs lansekap dengan monumen
benda bersejarah tapi juga dapat berupa sekumpulan bangunan. Sekumpulan
bangunan ini dapat berupa kompleks dengan fungsi beragam atau sejenis.
Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah dan swasta untuk
menanggulangi warisan era kolonial Belanda yang menjadi kawasan cagar
budaya dan destinasi wisata?
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki beberapa program,
diantaranya Pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah Kota Tua Batavia.
Tujuan Pelestarian bangunan dan kawasan bersejarah, Menurut UU RI No.11
tahun 2010 Cagar Budaya bertujuan untuk melestarikan warisan budaya bangsa
dan warisan umat manusia, mempromosikan warisan budaya bangsa kepada
masyarakat Internasional. Sehingga secara tidak langsung Kawasan Kota Tua
menjadi destinasi wisata dan bangunan Cagar Budaya sebagai kekayaan budaya
untuk dikelola, dikembangkan, dimanfaatkan sebaik-baiknya, sebesar-besarnya
untuk kepentingan pembangunan dan citra positif Jakarta sebagai Ibukota
Negara dan daerah tujuan wisata. Bentuk kegiatan Pelestarian yang dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah Revitalisasi.
Revitalisasi merupakan upaya menghidupkan kembali sebuah distrik
suatu kawasan kota yang telah mengalami degradasi, melalui intervensi ekonomi,
sosial dan fisik. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyusun pengembangan wisata
sejarah Kota Tua. Tujuannya sebagai tujuan wisata yang tidak hanya melihat dari
sisi pariwisatanya saja, namun dari sisi budaya dan sejarah yang terkandung di
dalamnya. Pengembangan Kota Tua dengan merevitalisasi gedung-gedung tua di
kawasan wisata Old Batavia. Rencana revitalisasi pemanfaatan gedung perlahanlahan terwujud. Kawasan Cagar Budaya Kota Tua Batavia merupakan kekayaan
budaya bangsa Indonesia yang tersimpan, dan harus ditunjukkan kepada seluruh
dunia. Kota Tua berhasil masuk dalam tentative list World Heritage Site (daftar
usulan situs warisan dunia) yang diajukan kepada UNESCO tahun 2016.
R
evitalisasi
akan
segera
terwujud
sebagai Destinasi wisata Jakarta
PT Pembangunan Kota Tua Jakarta (JOTRC), sebagai pihak yang terlibat
langsung dalam revitalisasi, menyambut tantangan dari Gubernur DKI Jakarta, Basuki
Tjahaja Purnama untuk menyelesaikan proyek revitalisasi dalam waktu dua tahun.
Proses revitalisasi tidak hanya dilakukan pada bangunan fisik, namun pembangunan
atmosfer masa lampau. Dalam pembenahan di Kota Tua JOTRC melibatkan berbagai
kelompok yang merupakan stakeholders dari Kota Tua, seperti urban planner, ahli
retorasi, dan sejarah hingga komunitas lokal setempat. Kawasan revitalisasi Kota Tua
mencakup 384 herktar dari Sunda Kelapa – Pinangsia dan 134 hektare di sekitar
Museum Fatahilah. Kota Tua Batavia memiliki 248 gedung cagar budaya, sebagian
besar gedung berada di Jakarta Barat. Sebanyak 86 bangunan di Kota Tua, Taman Sari,
Jakarta Barat telah masuk daftar cagar budaya. Beberapa di antaranya ada yang sudah
selesai dikonservasi, termasuk Gedung Pos Indonesia, Musem Sejarah Jakarta, Cafe
Batavia, gedung kantor Jasindo Museum Seni Rupa, Wayang, Arsip Ekspor Impor,
Bank Mandiri, Museum Bank Indonesia, Jembatan Gantung, dan Museum Bahari.
Puluhan bangunan akan direvitalisasi.
Sepuluh Gedung Cagar Budaya telah direnovasi, diantaranya enam blok gedung milik
Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), gedung Dasaat, gedung Olveh van 1879,
gedung Kerta Niaga milik PPI di Jalan Pintu Besar Utara, dan Apotek Chung Hwa di
Jalan Pintu Besar Selatan. Selain itu Gedung Kerta Niaga di Kalibesar Timur nomor 8
dan nomor 9 yang rencananya akan dijadikan sebagai pusat kuliner. Badan usaha milik
negara PPI menjadi penentu perubahan besar lingkungan di Kota Tua. Sebab, sebagian
besar gedung cagar budaya di sana milik PPI. Usaha menghidupkan kembali kawasan
ini bergantung pada PPI meski peran PT JOTRC (Jakarta Old Town Revitalization
Corp) ikut menentukan.Revitalisasi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kembali
nilai historis, nilai ekonomi gedung-gedung tersebut dan menjadi destinasi wisata
Jakarta.
halaman 42
halaman 43
Steve A. S
Kode Etik Arsitek :
Sebuah Refleksi Tata Laku
A
rsitek telah dikenal sebagai sebuah profesi
yang diakui di Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Setiap
tahunnya profesi ini terus mengalami pertumbuhan,
melahirkan banyak generasi-generasi penerus yang
semakin kreatif dan kompetitif. Eksistensi keprofesian
arsitek di Indonesia kemudian tergabung dalam sebuah
ikatan yang dinamakan Ikatan Arsitek Indonesia, yang
mana eksistensinya kemudian diakui dan setara dengan
kedudukan organisasi arsitek mancanegara. Sebagai sebuah
ikatan keprofesian, IAI kemudian menerapkan kaidahkaidah maupun batasan yang selayaknya harus dipatuhi.
Kaidah maupun batasan ini bukan menekankan tentang
bagaimana kemampuan teknis arsitek dalam mengolah tata
ruang, memahat bentukan bangunan, ataupun memoles
dinding-dinding menjadi indah, melainkan sebagai sebuah
kaidah yang mengatur kegiatan profesional, sehingga
arsitek juga perlu menyadari peran, porsi, dan posisinya
dalam menjalankan profesinya, terhadap sesama rekan
kerja, pengguna jasa, maupun masyarakat umum.
Kode Etik ini kemudian berperan dalam
membantu menyadarkan dan mengarahkan bahwa peran
seorang arsitek dalam melahirkan karyanya tidak semata
dilihat dari pendekatan konseptual maupun teknis semata.
Namun begitu, etik, sebagai kaidah tata laku akan selalu
bergerak mengikuti pengetahuan dan wawasan arsitek akan
teknologi bangunan terkini. Kedua hal ini mempunyai
hubungan sebab akibat yang menarik seperti yang tertuang
dalam beberapa poin dari Kode Etik Arsitek dan Kaidah
Tata Laku Profesi Arsitek berikut:
Standar Etika 1.3 : Standar Keunggulan
Arsitek selalu berupaya secara terus menerus untuk
meningkatkan mutu karyanya, antara lain
melalui
pendidikan, penelitian, pengembangan, dan penerapan
arsitektur.
Standar Etika 1.6 : Arsitektur, Seni, dan Industri
Konstruksi
Arsitek bersikap terbuka dan sadar untuk memadukan arsitektur
dengan seni-seni terkait dan selalu berusaha menumbuhkembangkan ilmu dan pengetahuan dalam memajukan proses dan
produk industri konstruksi.
Kaidah Tata Laku 4.301
Sebagai seorang profesional, arsitek harus terus menerus
mengembangkan kepakarannya, ketrampilan, dan wawasan
keprofesiannya.
Prinsip-Prinsip Kaidah Spesifik Kaidah Profesi : (2)
Kemampuan Profesional
Menyajikan suatu hasil karya, memerlukan tingkatan kompetensi
tertentu, seperti: pengetahuan, keahlian teknis, sikap, dan
juga pengalaman. Karena itu seorang profesional sepatutnya
hanya menangani pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan
profesionalnya. Sejalan dengan hal ini, seorang profesional wajib
mengikuti perkembangan pengetahuan dan teknik-teknik baru
di bidangnya, meningkatkan serta mengasah ketrampilan dan
tingkat kompetensinya, dan berperan serta dalam suatu program
pendidikan yang berkesinambungan sepanjang hayatnya.
Bertolak dari pasal-pasal ini, maka sudah sepatutnya
arsitek terus mengikuti perkembangan teknologi konstruksi,
contohnya wawasan dan pengetahuan akan material yang
diterapkan ataupun digunakan pada rancangannya. Pemilihan
material sudah seharusnya dilakukan dan dipikirkan secara
objektif, tanpa pengaruh dari konflik kepentingan manapun.
Sekarang, ditinjau pada perspektif yang berbeda,
supplier material akan menjadi pihak yang sudah selayaknya akan
memperkenalkan dan memasarkan material miliknya pada para
arsitek, dan juga pada pihak-pihak lain yang terkait. Supplier dalam
berbagai cara, tentunya akan berusaha semaksimal mungkin untuk
memasarkan produk-produknya, dan tentunya agar diaplikasikan
dalam karya arsitek; terlebih lagi bagi arsitek dengan nama besar,
tentu akan meningkatkan nilai prestis dari produk ini sendiri.
Cara-cara yang lazim diketahui antara lain adalah menyambangi
kantor-kantor konsultan arsitek (dan desainer-desainer lainnya)
dan mengadakan presentasi produk; mengundang tim konsultan
arsitek untuk datang ke pabrik dimana material itu diproduksi;
mengundang tim konsultan arsitek untuk datang ke proyek-proyek
terbangun yang sudah menggunakan produk bersangkutan; dan
halaman 44
halaman 45
sebagai ‘sponsor’ mengadakan trip/perjalanan bersama tim
arsitek sebagai calon pengguna, ataupun pada pihak lain untuk
mempertahankan koneksi yang sudah terjalin. Tidak jarang pula
supplier berani memberikan ‘amplop’ bagi konsultan yang telah
banyak menggunakan produk-produknya, dan masih banyak
lagi bentuk-bentuk lainnya.
Apakah metode ini akan mempengaruhi objektifitas
dalam pengambilan keputusan pemilihan material? Pemilihan
material sebaiknya dilakukan arsitek secara netral dan objektif,
tanpa ada perbedaan kepentingan seperti yang tertuang pada
kaidah berikut:
Kaidah Tata Laku 3.401
Arsitek wajib menghindari pertentangan atau perbedaan
kepentingan dengan menolak suatu penugasan dan memberi
penjelasan secara terbuka kepada pengguna jasa, semua
pertentangan kepentingan yang diperkirakan atau yang tidak
dapat dihindarkan akan merugikan pengguna jasa, masyarakat,
dan lingkungan. Arsitek dapat mengadakan kerjasama
(partnership) dengan bidang jasa industri konstruksi lain selama
tidak terdapat pertentangan kepentingan.
Kaidah Tata Laku 3.106
Arsitek akan menerima imbalan jasa maupun bentuk imbalan
lainnya hanya yang sesuai dengan kesepakatan yang tertera
dalam perjanjian hubungan kerja atau penugasan, dan tidak
dibenarkan menerima ataupun meminta kepada pihak lain
dalam bentuk apapun.
Dalam praktek keprofesian, tidak jarang, hal-hal berbau
etika menjadi ritnangan tersendiri bagi arsiek untuk bersikap
professional. Berbagai cara yang dilakukan supplier sudah
sepatutnya kita pertanyakan, atau setidaknya direnungkan
kembali, apakah dapat dianggap sebagai cara yang tepat?
Pertanyaan ini yang sekiranya harus diendapkan, supaya
sekiranya dapat menjadi bahan refleksi bagi para arsitek. Apakah
cara-cara ini bisa dianggap menyalahi peraturan? Apakah
pemenuhan sebuah tuntutan bagi para arsitek untuk mengikuti
perkembangan industri konstruksi? Ataukah memang sebuah
kelaziman dari sudut pandang dunia industri konstruksi?
Jawabannya kembali kepada pribadi masing-masing sebagai
arsitek.
halaman 46
Jakarta
Hari Ini
halaman 47
halaman 48
halaman 49
Errik Irwan
Gump N Hell
halaman 50
halaman 51
halaman 52
halaman 53
halaman 54
halaman 55
halaman 56
halaman 57
People:
Publik dan Masa
Depan Arsitektur
Almarhum Han Awal,
pernah
mengingatkan
dalam sebuah wawancara,
bahwa arsitek mempunyai
super klien, yaitu publik.
Publik di sini bukan hanya
menyangkut
masyarakat
awan saja, namun semua
pemakai jasa arsitek, mulai
dari pemerintah, organisasi,
korporasi, hingga pribadi.
Sebagai
arsitek
kita
mungkin harus berhati-hati
untuk tidak membatasi
definisi dari publik, karena
dengan kesadaran ini kita
mengakui bahwa profesi
ini memerlukan kelenturan
dalam melihat kebutuhan
yang beragam, begitupun
komunikasi yang perlu
dibangun agar arsitektur
tidak lari dari alasan-alasan
utama yang membuatnya
ada. Peran publik dalam
arsitektur sangat signifikan
dan
bahkan
menjadi
salah satu faktor penting
yang memberi arti dalam
arsitektur.
Hal inilah yang coba diurai dalam sebuah bincang arsitektur
berjudul “People” yang berlangsung pada tanggal 13 Agustus
2016 lalu. Bincang arsitektur yang diorganisir oleh Anabata
ini mengundang dua arsitek perempuan kenamaan, Momoyo
Kaijima dari Atelier Bow Wow, dan Marina Tabassum dari
Marina Tabassum Architects. Keduanya merupakan sosok yang
menarik karena selain sama-sama arsitek perempuan muda
yang menjadi perbincangan saat ini, keduanya juga mengupas
aspek publik (people) dari pendekatan yang berbeda.
Berbicara mengenai publik, mau tak mau kita harus siap
membuka diri dengan segala kemungkinan. Publik tak punya
satu wajah. Publik pun merupakan terminologi yang cair,
karena definisi ini bisa berubah seiring dengan berubahnya
komposisi dan kebutuhan sang publik. Dalam konteks praktik
Marina Tabassum, yang berkebangsaan Bangladesh, publik
diterjemahkan menjadi sebuah bangsa.
Bangladesh, sebuah negara dengan umur yang sangat muda,
bisa dibilang hampir tanpa sumber daya yang berarti.
Bangladesh berada dalam masa-masa yang penting karena
sebagai bangsa, dia memerlukan sebuah identitas yang bisa
mengikat seluruh masyarakatnya. Peran inilah yang kemudian
diambil oleh Marina Tabassum melalui praktik arsitekturnya,
yaitu memberi identitas kepada sebuah bangsa, sebuah
masyarakat yang baru merdeka. Arsitektur menjadi sebuah
pondasi yang mempersiapkan lapis-lapis sejarah untuk bisa
dibangun dibangun di atasnya.
Mendisain sebuah bangsa, seperti yang diakui oleh Marina
Tabassum, adalah tugas yang pelik karena arsitektur mengambil
peran yang sangat besar. Arsitektur di konteks ini tidak lagi
hadir sebagai bangunan, namun sebuah dialog yang terjadi
antara arsitektur dengan masyarakat. Perbincangan seperti ini
tak pelak membutuhkan sebuah bentuk bahasa dan teknik
komunikasi arsitektural yang baru, melampaui bahasa gambar
dan grafis. Dalam posisi ini arsitek dan arsitekturnya tidak
bisa serta-merta memakaikan satu wajah tertentu. Arsitek
tidak boleh menjadi diktator atau tirani yang menempelkan
label begitu saja. Ini yang diakui oleh Marina Tabassum sebagai hal yang terberat
mengingat arsitek selalu mempunyai godaan untuk menjadi ‘tuhan’.
Mungkin kesadaran ini yang menjadikan karya-karya Marina Tabassum menarik.
Marina Tabassum terkenal dengan sensitivitasnya akan material dan pembacaan laku
masyarakat dalam berbudaya. Salah satu karyanya, Masjid Bait Ur Rouf di Dhaka,
menjadi contoh yang sangat menarik dimana dia berhasil mengelaborasi nilai-nilai
budaya yang dipegang kuat oleh masyarakat sekitar, dengan estetika baru, tanpa
melupakan aspek lokalitas melalui olah materialnya yang mengagumkan. Karya
ini tak pelak berhasil meraih The Aga Khan Award for Architecture 2016 untuk
kategori Religious Building. Hal lain yang menarik dari karya ini adalah, sistem
crowd funding yang dipakai untuk mendanai proyeknya. Crowd funding dipilih
karena dinilai bisa menjadi jalan dimana masyarakat berpartisipasi mendukung
pembangunannya sehingga tercipta ikatan antara bangunan dan masyarakat.
Metoda membangunnya yang tak biasa menjadikan karya ini tidak saja menjadi
wadah secara fisik, namun juga menjadi pengikat dari masyarakat yang memakai
dan yang berada disekitarnya.
Dalam konteks Bangladesh, bangsa yang masih mencari jati diri ini, kita tidak
berbicara bangsa melalui sosok pemerintah dan semua aspek politiknya. Kita
berbicara bangsa melalui apa yang melekat pada mereka, yaitu karakter budayanya
yang dimanifesatasikan kedalam bahasa-bahasa material dan bentuk-bentuk
arsitekturnya. Kita tahu, sebagai pecahan India, kemudian Pakistan, Bangladesh
bergulat dengan pertanyaan, siapakah bangasa Bangladesh? Masa lalu yang
pahit memaksa mereka untuk melepaskan diri dari bayang-bayang saudarasaudara serumpunnya. Karya arsitektur mengemban sebuah misi penting sebagai
pembentuk identitas, sebuah misi yang diharapkan bisa bertahan lama hingga
mencapai dua atau tiga generasi ke depan.
Hal ini kontras dengan praktik yang dilakukan oleh Momoyo Kaijima, dari
Atelier Bow Wow. Publik dalam kontek praktik Momoyo lebih mengarah kepada
integrasi antara pemerintah kota, masyarakat di sebuah kawasan tertentu, dan para
profesional. Tidak seperti Bangladesh, dalam koteks Jepang, komunitas adalah istilah
yang asing. Masyarakat Jepang sangat kental dengan urbanisasi dan industrialisasi
sehingga hampir tidak pernah ditemui organisasi berbasis komunitas. Namun itu
tidak berarti bahwa kerja-kerja bersama komunitas tidak pernah terjadi. Salah
satu contoh kasus yang menarik bisa kita temukan dalam sebuah proyek di Kota
Kitamoto dimana Atelier Bow Wow bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat,
dan insinyur/arsitek dalam menciptakan ruang publik yang manusiawi. Titik berat
karya Atelier Bow Wow, seperti yang diungkapkan oleh Momoyo, tidak terdapat
pada karya terbangun semata, namun pada prosesnya.
Dalam proyek Kitamoto, Ateliar Bow Wow, berhasil melakukan provokasi dan
aktivasi ke masyarakat sehingga aktif mengambil peran dalam tata kelola kota
yang inklusif. Proyek Kitamoto menjadi contoh yang menarik ketika masyarakat,
pemerintah dan profesional bersama-sama menyiapkan kota untuk sebuah
perubahan yang drastis. Kitamoto terkenal dengan kantong penduduk berusia
lanjut. Proyek yang memakan waktu pengerjaan selama 5 tahun ini kemudian
melakukan banyak perubahan bertahap, dimulai dari pengurangan laju dan
intensitas lalu lintas melalui konversi jalan raya ke ruang terbuka publik, pengadaan
pasar-pasar rakyat, dan mengadakan sebuah sistem tata kelola kota yang baru,
dimana masyarakat terlibat di dalamnya. Proyek ini berhasil membuktikan bahwa
karakter ruang baru bisa terjadi ketika relasi antara aktor-aktor kota (pemerintah,
insinyur, arsitek) dan masyarakat dikuatkan dan diberi ruang dialog yang baik.
halaman 58
halaman 59
Redaksi
Dalam kedua kasus ini, Bait Ur Rouf dan Kota Kitamoto, kita bisa
melihat bagaimana arsitektur dan publik mempunyai pola interaksi
yang berbeda, karena itu dimanifesatsikan dalam metoda yang berbeda
pula. Dalam kasus Bait Ur Rouf, arsitektur menjadi benang yang
menjahit banyak kebutuhan tanpa kehadiran negara. Sementara di kasus
Kitamoto, arsitektur hadir sebagai ruang dialog yang memungkinkan
negara dan masyarkat menjadi satu tim kerja yang efektif. Kehadiran
publik mendorong arsitek dan arsitektur untuk bekerja dengan cara-cara
yang berbeda dan dengan spektrum yang lebih luas. Kita bisa melihat
sebuah kegairahan baru, dimana akhirnya masyarakat melihat bahwa
arsitektur adalah bagian yang nyata dari hidup mereka sehari-hari.
Kesadaran seperti ini mendorong sebuah keinginan untuk mengambil
peran yang akhirnya memperkaya karakter praktek dari arsitek sendiri.
Kita harus mengakuti, tidak sedikit arsitek yang masih terjebak dengan
fetisme akan bentuk, akan permainan warna, dan hal-hal yang kasat
mata. Sementara dalam kontestasi global, kita berhadapan dengan halhal yang kompleks, yang tidak bisa selesai hanya dengan kalimat atau
gambar, atau bangunan sekalipun. Sering kali yang diperlukan adalah
dialog, antara arsitek dengan pemakai, arsitek dengan masalah, pemakai
dengan kebutuhannya sendiri, dan banyak hal lagi. Ini seharusnya
yang harus lebih disadari oleh arsitek, bahwa kebutuhan yang berbeda
memerlukan metoda dan pendekatan yang berbeda pula. Kita, sebagai
arsitek, dituntut untuk mengembangkan semua bahasa desain yang
lebih lentur, dimana masalah tidak hanya didefinisikan sebagai sesuatu
yang harus segera diselesaikan. Bisa jadi masalah adalah prekondisi yang
memaksa kita untuk mengambil jalan memutar sehingga kita bertemu
dengan kondisi-kondisi lain yang mempengaruhi pertimbangan kita
akan desain.
Momoyo Kaijima, dalam kalimat penutupnya, berpendapat bahwa
arsitek harus selalu berangkat dari sebuah programming yang bisa
dipakai sebagai dasar untuk bertukar fikiran. Arsitek harus mulai berfikir
bagaimana mengembangkan sebuah programming secara arsitektural
yang bisa memancing perbincangan dan diskusi dari berbagai pihak
dengan berbagai latar belakang. Inilah yang memungkinkan terjadinya
komunikasi yang intens, sesuatu yang bisa melahirkan kesepakatan dan
perspektif yang sama dalam memandang kota. Arsitektur akhirnya tidak
lagi identik dengan bangunan, namun sebuah set komunikasi baru, atau
sebuah riset. Program arsitektural yang praktis dan memang aplikatif
jika dipakai di tengah masyarakat akan menjadi katalis yang baik dalam
menjamin terjadinya kerja sama lintas batas dalam konteks kota.
Di masa depan, kedua arsitek ini mengakui, publik akan menjadi nyawa
bagi arsitektur. Krisis akan memaksa arsitek dan arsitektur membuka
diri terhadap kolaborasi. Relevansi akan praktik profesipun akan banyak
didefinisikan pada sejauh mana arsitek bisa membaca dan berdialog
dengan publik. Menyadari hal ini, mungkin sudah saatnya kita semua
bertanya sudahkah kita siap meninggalkan zona nyaman kita dan
membuka diri dengan perubahan dan segala konsekwensinya?
Mendistribusikan Kuasa: Kompleksitas
Kebutuhan akan Urbanisme
Partisipatoris
S
Teks wawancara dengan
Jeremy Till yang terbit di
Majalah MONU. Tulisan
dialihbahasakan
dari
artikel di Archdaily, 18
Februari 2016, sebagai
pengantar diskusi Refleksi
Rumah
Contoh
yang
didukung oleh IAI Jakarta.
ebagai sebuah profesi dengan kekuatan untuk merubah wajah kota
dan lingkungan – yang artinya juga ikut merubah kehidupan yang ada di
dalamnya – industri arsitektur sering kali menjelma menjadi bisnis yang
sangat kontroversial; tak jarang, rencana-rencana pengembangan sebuah
kawasan malah menjadi pemicu prasangka dikalangan masyarakat lokal,
hal yang kemudian menyiratkan bahwa arsitektur adalah sosok jahat
yang harus dilawan.
Salah satu cara yang dianggap bisa menyelesaikan permasalahan ini
adalah dengan partisipasi, yaitu usaha untuk melibatkan publik untuk
ikut ambil bagian dalam proses perancangan, walaupun dikalangan
arsitek sendiri banyak yang skeptis bahwa cara ini akan efektif. Di sisi
lain, kita harus mengakui saat ini tanggung jawab arsitek kian tergerus
oleh kehadiran insinyur dan MP, kita dihadapkan dengan sebuah
pertanyaan, apa yang akan tersisa pada profesi ini ketika publik pun
diberi hak untuk ikut menetukan arah desain?
Dalam upaya untuk memahami tantangan ini, dalam wawancara
yang dikutip dari MONU Magazine yang berjudul “Participatory
Urbanism,” Bernd Upmeyer mencoba menggali opini dari Jeremy Till,
seorang arsitek Inggris, penulis, dan pengajar arsitektur yang telah
banyak menelurkan tulisan tentang pentingnya melepaskan kontrol
dalam praktek seorang arsitek dan mengundang komunitas setempat
untuk ikut serta dalam proses desain.
Wawancara ini dilakukan pada tanggal 3 September 2015.
Bernd Upmeyer: Di tahun 2005, Anda adalah salah satu editor dan
kontributor dalam buku “Architecture and Participation” yang dalam
pengantarnya dikatakan, berhasil menyatukan praktisi-praktisi kaliber
internasional dengan para teoris, beberapa diantaranya merupakan
pionir dari gerakan partisipatori di tahun 1960an yang menjadi panutan
bagi para penggiat partisipatori masa kini. Bisakah Anda menceritakan
kembali beberapa hal tentang masa-masa awal partisipatori? Kapan dan
bagaimana masyarakat diperkenalkan tentang arsitektur dan proses
perencanaan kota? Manakah dari proyek yang Anda sebutkan dalam
tulisan Anda, yang menurut Anda sangat menarik dan cukup berhasil?
Jeremy Till: Salah satu hal yang menurut Saya menarik dari sejarah
partisipatori, kalau boleh Saya mengambil contoh, adalah orang-orang
seperti Giancarlo De Carlo. Kami menerjemahkan dan menerbitkan
teks dari Giancarlo De Carlo yang berjudul “Architecure’s Public.”
De Carlo dan tokoh-tokoh partisipatory lainnya memakai partisipasi
sebagai cara untuk mendekonstruksi apa yang selama ini dipercaya
menjadi tujuan profesi arsitek atau desainer. Saya merasa bahwa aspek
partisipasi ini sangat menarik karena dia mempertanyakan banyak
premis yang menjadi landasan dari profesi arsitek selama ini – premis
halaman 60
individu unggul-pahlawan, premis tentang kontrol, premis
tentang keahlian, dan lain sebagainya. Partisipatori, tak
pelak, menantang dan mengusik beberapa standar yang
sudah menjadi konvensi selama ini.
BU: Tahun 1960an mungkin adalah tahun dimana proses
partisipatori diperkenalkan pertama kali, dengan skala
yang lebih substantif, yaitu kedalam proses desain dan
perencanaan.
JT: Ya, benar, itu adalah masa dimana banyak arsitek,
termasuk diantaranya N. John Habraken dan Giancarlo
De Carlo, melakukan banyak percobaan. Kurun tahun
1960an - 1980an adalah masa-masa emas dari partisipatori
dan revolusi ide. Bahkan dalam beberapa contoh proyek
partisipatif ada hal menarik dimana 20% anggaran biaya
publik berhasil dihemat melalui proses anggaran partisipatif,
itu adalah proses dimana masyarakat mempunyai
kesempatan untuk menentukan bagaimana dan untuk apa
dana publik dipakai. Di beberapa kota di Brazil, seperti
Porto Alegre, anggaran partisipatif merupakan bagian dari
proses berkota. Proporsi dari anggaran pembiayaan kota di
tentukan melalui teknik-teknik partisipatif yang terbuka,
yang salah satunya mensyaratkan adanya rapat warga. Hal
ini sangat menarik.
BU: Menurut kontributor dari buku ini, kondisi-kondisi
spasial dan tipe praktik rancang kota/arsitektur seperti
apakah yang dimungkinkan hadir ketika masyarakat
dilibatkan dalam proses desain?
JT: Menurut Saya, yang terlihat secara umum adalah
lahirnya rasa kolektivitas yang kuat dan rasa berbagi yang
lebih di dalam ruang-ruang publik, juga hadirnya ruangruang yang tidak melalui proses pemrograman. Sekali
lagi, hal ini sangat berbeda dengan apa yang disyaratkan
pada praktik-praktik profesi arsitek pada umumnya yang
selalu mencoba mengendalikan semua hal. Saya memang
membuat generalisasi pada konteks ini, tapi dalam
praktik partisipatif setiap orang memang dimungkinkan
untuk bersama-sama menciptakan ruang publik yang
benar-benar publik. Ini karena dalam proses partisipasi
keutamaan berada pada bagaimana ruang dihuni dan
digunakan, bukan pada standar-standar yang berlaku
secara arsitektural.
Menegosiasikan Harapan
BU: Dalam artikel Anda “The Negotiation of Hope”
yang merupakan bagian dari buku “Architecture and
Participation” Anda menyatakan bahwa tantangan utama
dari proses partisipasi adalah bagaimana menetapkan dasar
nilai dan membuat orang-orang menyadari kebaikan dari
sebuah ikatan (sosial), sebuah kesadaran yang bagi banyak
arsitek masih merupakan hal yang asing, namun ini
adalah kesadaran yang harus ada jika arsitektur ingin tetap
relevan di masa depan. Menurut Anda mengapa partisipasi
sebegitu relevannya?
halaman 61
JT: Benarkah Saya pernah berkata seperti itu? Itu cukup
provokatif. Saya kira partisipasi sebenarnya bukan agen
tunggal untuk menumbuhkan kesadaran itu. Saya
menulis “The Negotiation of Hope” sebelum saya menulis
“Architecture Depends,” di tulisan yang terakhir saya
beragumen bahwa arsitektur harus menyadari tanggung
jawab politis dan sosialnya, dan partisipasi seperti ini
seharusnya menjadi bagian dalam menciptakan tanggung
jawab sosial. Jika arsitektur ingin benar-benar menjadi
disiplin yang memungkinkan kolaborasi dan punya
kesadaran sosial, maka partisipasi, dalam pemaknaan
secara harafiah, harus menjadi bagian dari sebuah disiplin
ilmu yang benar-benar baru. Elemen-elemen lainnya juga
penting dan harus tetap kita lakukan, tapi proses negosiasi,
cara kita bercakap-cakap, dan proses komunikasi adalah
aspek-aspek yang sangat penting dalam menemukan
tujuan-tujuan sosial yang tepat dalam berarsitektur.
BU: Walau begitu, dalam artikel yang Anda tulis, Anda
membandingkan ‘partisipasi’ dengan nilai-nilai dalam
olimpiade yang menekankan ‘kemenangan,’ nilai-nilai
yang biasanya dimengerti oleh atlet-atlet yang kecewa dan
marah. Apa sebenarnya yang sangat mengecewakan dari
partisipasi?
JT: Yang Saya maksud dalam artikel itu sebenarnya
adalah, partisipasi bisa saja menjadi alat politik dalam
proses berdemokrasi. Sering kali dia menjadi partisipasi
yang palsu, dimana arsitek, perancang kota, atau desainer
berpura-pura melibatkan masyarakat. Dalam konteks
ini, partisipasi hanya menjadi syarat dari sebuah proses
politik tetapi dia sebenarnya tidak benar-benar melibatkan
orang-orang di dalamnya. Partisipan hanya digunakan
oleh arsitek dan perancang kota untuk memenuhi sebuah
kriteria namun secara teknis tidak menjadikannya elemen
yang penting dalam proses pengerjaan proyek.
BU: Menurut Anda apakah ada cara untuk menghindari
hal ini?
JT: Ada, namun Anda harus punya komitmen dan Anda
harus menganggapnya serius. Dan untuk bisa begitu,
Anda harus melepas kontrol. Menurut Saya inilah hal yang
paling sulit untuk dilakukan dalam profesi ini. Saya tidak
hanya berbicara tentang profesi arsitek sajas, namun semua
profesi. Semua keprofesian dibangun atas dasar keahlian
dan keahlian ini digunakan sebagai mekanisme kontrol.
Dalam partisipasi, Anda harus melepaskan kontrol itu dan
melebur menjadi professional dalam bentuk yang lain.
Harus ada pengakuan bahwa keahlian Anda sama baik dan
bergunanya dengan keahlian dari bidang lain, meskipun
berbeda. Bagaimanapun, ‘melepas kontrol’ adalah ancaman
serius bagi dasar-dasar keprofesian.
BU: Tapi, jika arsitek dan perancang kota harus melepas
kuasa dan mulai berbagi pengetahuan dengan dan kepada
warga, apa yang tersisa bagi mereka? Menurut Koolhaas,
arsitektur telah menjadi sebuah profesi yang kalah,
dimana arsitek telah kehilangan semua kontrol, posisi ini
meletakkan arsitek di bawah profesi-profesi lainnya. Saat
ini, kontraktor-kontraktor besar berusaha sedapat mungkin
untuk tidak bekerja sama dengan arsitek, yaitu dengan
mempekerjakan ahli-ahli dalam tim internal mereka. Jadi
jika arsitek harus kehilangan kontrol dalam satu-satunya
hal yang tersisa bagi profesi ini, lalu apa lagi yang tertinggal
bagi kita? Apa posisi arsitek sekarang ditengah-tengah
keprofesian lainnya?
JT: Anda mengungkapkannya dengan baik, karena ruang
lingkup kontrol yang dipunyai arsitek saat ini memang
berkurang jauh dari masa-masa sebelumnya, sampai-sampai
yang tersisa hanyalah visual tentang arsitektur itu sendiri,
yang menjadi satu-satunya alat arsitek untuk mengklaim
bahwa kejayan arsitektur dulu pernah ada. Namun Saya
juga berargumen bahwa fokus kepada visual justru akan
membawa arsitek semakin jauh dari proses berarsitektur
dengan semua aspek-aspek sosialnya. Jika kita ingin
memberi definisi baru kepada arsitektur sebagai alat yang
mampu membantu kita untuk membayangkan masa depan
– masa depan secara sosial dan spasial – maka menurut hemat
saya, kita harus merubah cara-cara arsitektur berproduksi,
melampaui nilai-nilai visualnya. Kita perlu melakukan
kolaborasi dan berbagi. Jika hal ini mungkin, maka artinya
masih ada harapan untuk arsitek, karena itu artinya mereka
masih mampu menyumbangkan sebuah ilmu yang unik,
yang tidak dipunyai profesi lain. Saya benar-benar percaya
bahwa arsitek mempunyai bagasi tentang ilmu-ilmu sosial,
ilmu-ilmu tentang ruang, yang mereka dapatkan melalui
pendidikan di perguruan tinggi dan mereka kembangkan
melalui praktik professional mereka. Ini adalah keahlian
yang luar biasa jika dipakai untuk memberdayakan dan
membangun sebuah konstruksi sosial yang baru.
BU: Apakah ini yang Anda maksud ketika Anda menyebut
tentang perlunya “partisipasi yang transformatif ”? Apakah
hal ini dimungkinkan terjadi jika arsitek mau meletakkan
dirinya sebagai warga, dan warga mau meletakkan dirinya
sebagai ahli, sehingga kedua belah pihak bisa bekerja
bersama dengan lebih baik?
JT: Dengan menyebutkan istilah ‘ahli-warga,’ atau ‘wargaahli,’ saya tidak bermaksud mengatakan bahwa seluruh
warga harus menjadi ahli, tapi sang ahli mengakui ilmu
yang dipunyai warga dan mengakui bahwa ilmu itu juga
valid dan relevan sebagaimana ilmu yang dipunyai oleh
arsitek sebagai ahli. Ilmu yang dipunyai warga ini hanya
terkonstruksi melalui bahasa yang berbeda. Jadi, caracara kita berkomunikasi perlu beradaptasi satu sama lain
sehingga semua ilmu bisa kita kumpulkan dan pelajari
bersama.
BU: Dalam perencanaan kota dan arsitektur, bila
dibandingkan dengan keprofesian lain seperti kedokteran,
jurang antara ilmu yang dipunyai ahli dengan ilmu yang
dipunyai oleh masyarakat sangat kecil karena semua
orang dengan mudah bisa berpendapat tentang apa itu
bangunan dan apa itu kota. Tidak seperti bedah jantung,
dimana orang-orang sangat buta tentang prosesnya. Di sini,
partisipasi jelas sekali tidak bisa disamaratakan ke semua hal
dan kesemua profesi.
JT: Ya, Saya tentu tidak mengharapkan partisipasi dalam
proses bedah jantung yang Saya jalani. Ada hirarki yang
berbeda mengenai ilmu yang terkandung dalam profesiprofesi yang ada. Secara awam, dokter dan pengacara berada
pada level ilmu yang kuat, dan arsitek berada pada level
ilmu yang lemah. Hal ini menyiratkan kasta yang terjadi
antara ilmu-ilmu yang kuat dengan ilmu-ilmu yang lemah,
dan arsitek mencoba menyeberang ke kasta ilmu yang
kuat dengan ‘memaksakan’ ilmu mereka sebagai simbol
kontrol dan kuasa. Sebagai bagian dari usaha ini, arsitek
sering meminggirkan orang lain dengan tidak memakai
metoda partisipasi dalam praktik arsitekturnya, arsitek
mencoba untuk tetap otonom. Untuk bisa tetap kuat,
arsitek memilih untuk tidak melibatkan partisipasi. Walau
begitu, seperti yang saya gambarkan dalam “Architecture
Depends,” mungkin ada bentuk-bentuk khusus dari ilmu
arsitektur yang bisa sangat efektif ketika berhubungan
dengan kondisi-kondisi tak pasti dan khususnya yang terkait
keberagaman. Ilmu-ilmu yang kuat cenderung mematikan
hal-hal seperti ini, dia tidak cocok dengan kondisi tak
pasti dan keberagaman. Dalam ilmu kedokteran, pasien
dipandang sebagai badan yang pasif dan dokter terkadang
dikritik karena memanipulasi dan menyalahgunakan kuasa
dan ilmu yang mereka punya.
BU: Dalam artikel Anda “The Negotiation of Hope,” Anda
juga mengatakan bahwa partisipasi diterima secara luas, dan
terkadang secara buta, sebagai cara yang lebih baik dalam
melakukan banyak hal, khususnya dalam perencanaan kota,
namun tidak dalam arsitektur. Menurut Anda, dimanakah
perbedaan antara perencanaan kota dengan arsitektur
dalam hal partisipasi? Apakah skala menjadi isu?
JT: Menurut Saya, skala membuat banyak perbedaan. Dalam
perencanaan kota, karena secara politis ada tuntutan untuk
proses yang demokratis dan karena proses perencanaan kota
selalu melibatkan proses sosial, maka keterlibatan warga
akan selalu terjadi. Walau begitu, khusus untuk kondisi
pemerintah di Inggris saat ini, proses perencanaan kota
tidak lagi terlalu melibatkan partisipasi warga.
BU: Anda juga menyebutkan lebih lanjut, bahwa partisipasi,
sebagai metoda yang dibakukan dan banyak disalahartikan,
telah mengaburkan fakta bahwa dalam proses partisipatori,
ada tingkatan-tingkatan keterlibatan, mulai dari ‘partisipasi
sebagai pilihan’ hingga kontrol penuh oleh warga. Dan
bagaimana kontrol penuh oleh warga sebenarnya merupakan
bentuk ideal dari partisipatori walau dalam kenyataannya
hampir tidak mungkin terjadi di dalam arsitektur. Bisakah
Anda mengelaborasi hal ini?
JT: Maksud Saya, bahwa proses perencanaan kota dan proses
arsitektur akan selalu melibatkan kuasa, dan kita tidak
akan pernah bisa menghindarinya atau menghilangkan
struktur dari kuasa ini. Arsitek selalu hadir dengan sebuah
pengetahuan, dan pengetahuan adalah kuasa. Jadi walaupun
kita selalu mulai dengan niat yang sangat baik, akan selalu
ada isu tentang kuasa dalam proses partisipatif dan ini
selalu berujung pada kesimpulan bahwa bentuk partisipasi
penuh hampir tidak mungkin dilakukan. Tapi jika Anda
mengakui adanya kuasa ini dan memperlakukannya secara
bertanggung jawab, maka proses partisipasi yang terjadi
halaman 62
halaman 63
[...] proses perencanaan kota dan proses arsitektur akan selalu melibatkan
kuasa, dan kita tidak akan pernah bisa menghindarinya atau menghilangkan
struktur dari kuasa ini. Arsitek selalu hadir dengan sebuah pengetahuan,
dan pengetahuan adalah kuasa. Jadi walaupun kita selalu mulai dengan
niat yang sangat baik, akan selalu ada isu tentang kuasa."
setidaknya akan terasa tulus, dibandingkan partisipasi yang
hanya sebagai gimmick.
akan membuat semuanya semakin rumit. Bahkan sebelum
adanya partisipasi sebenarnya telah banyak orang juga yang
terlibat. Banyak hal yang bisa menjadi rumit bahkan sulit
untuk ditangani.
JT: Ya! Dan karena banyak bangunan saat ini yang
sebenarnya hanya manifestasi dari ekonomi, sangat sedikit
niat dari pengembang atau bahkan klien untuk melibatkan
lebih banyak orang untuk berproses bersama, karena
hal ini akan mempengaruhi efisiensi secara ekonomi.
Akhirnya proses produksi ruang-ruang di dalam kota akan
dikendalikan oleh pengembang dan menejer proyek, bukan
pengguna.
Limitasi dalam Partisipasi
semuanya ikut dirugikan. Menurut saya, tidak masalah
jika arsitek membawa ilmunya kepada khalayak awam,
namun ini juga harus disertai kesediaan sang arsitek untuk
menerima ilmu lain di luar ilmunya.
BU: Menurut Anda, dimanakah partisipasi bisa efektif?
Dalam skala apa atau dalam proyek apakah cara ini lebih
cocok untuk diaplikasikan?
BU: Bagi saya, kutipan ini terdengar seakan arsitek diminta
untuk melepaskan kuasanya, namun masyarakat tidak
mengambil alih kuasa itu.
JT: Menurut Saya, partisipasi sangat cocok diaplikasikan
pada kondisi dimana masyarakat dimungkinkan untuk
menggunakan ilmu mereka sendiri. Karena itu mungkin
cara ini sangat cocok untuk ruang-ruang publik, karena
masyarakat tahu bagaimana ruang publik yang cocok
untuk mereka dan semua orang berhak berpendapat. Walau
begitu, skalanya sebaiknya tidak terlalu besar karena, jelas,
ada kompleksitas dalam lapisan-lapisan kota yang membuat
proses partisipasi yang ideal menjadi sulit terjadi.
JT: Bukan, bukan artinya masyarakat tidak mengambil
alih kuasa sang arsitek, tapi masyarakat tidak mendapat
keuntungan apapun dari ilmu yang ditawarkan oleh sang
arsitek. Ini yang menempatkan mereka semua pada posisi
yang lemah dan semua orang akhirnya dirugikan.
BU: Menurut Anda, dimanakah limitasi dari proses
urbanisme yang partisipatif yang mungkin dilakukan, dan
seberapa transparan seharusnya sebuah proses regulasi dalam
kota dilakukan sebelum hadir hal-hal yang kompleks yang
kemudian membuatnya menjadi sulit untuk di tata dan
berfungsi? Sebagai contoh, Anda tentu tidak membiarkan
orang lain ikut berpartisipasi dalam proses desain rumah
kediaman Anda di jalan Orchard.
JT: Masalah sebenarnya dari partisipasi adalah aspek
sosial dan kenyataan bahwa hanya beberapa persen saja
dari masyarakat yang tertarik untuk berpartisipasi. Anda
tidak akan pernah bisa menjangkau keseluruhan anggota
komunitas. Namun tetap, hal ini bukanlah alasan untuk
tidak mencobanya.
JT: Yah, sebenarnya ada beberapa orang, contohnya Paul
Mason, yang berpendapat bahwa struktur kapitalisme saat
ini sedang digugat oleh bentuk-bentuk komunikasi baru.
Kita harus mempersiapkan diri untuk struktur dan formasi
baru ini. Contohnya, saat ini sudah banyak kantor-kantor
baru, seperti Architecture 00, yang melakukan hal luar
biasa melalui cara-cara kolaboratif dan partisipatif dalam
menciptakan ruang.
BU: Orang-orang yang punya waktu lebih cenderung lebih
tertarik untuk berpartisipasi.
BU: Dan apakah usaha ini berhasil? Apakah Anda bisa
mengatakan bahwa ini sebuah kesuksesan?
JT: Ya, tepat. Hal terburuk adalah mencoba melihat
partisipasi sebagai bentuk konsensus. Markus Miessen
menyatakan dengan lantang dalam bukunya bahwa
memandang partisipasi, sebagai bentuk konsensus, justru
adalah hal yang keliru. Kita harus bisa menerima bahwa
partisipasi juga adalah proses konfrontasi, dan hal terbaik
yang bisa dihasilkan dari proses ini juga ditemukan dalam
karakter antagonisnya.
JT: Oh iya, bahkan mengagumkan. Mereka baru saja
menyelesaikan sebuah gedung di London yang dikerjakan
melalui proses partisipatif. Mereka juga telah merancang
‘Wiki House’, sebuah sistem desain yang terbuka dengan
menggunakan perangkat CNC untuk memungkinkan
proyek-proyek kecil bisa dilakukan secara partisipatif
karena memungkinkan open access dan kolaborasi dalam
prosesnya.
BU: Pernahkan Anda terlibat dalam proses partisipatif,
dimana Anda menjadi entah sang ahli atau warga kota?
Jika iya, bagaimana pendapat Anda? Apa yang menurut
Anda aneh dalam prosesnya yang membuat Anda ingin
mentertawakannya atau bahkan sedih karenanya?
BU: Seperti yang terjadi pada slogan ‘sustainable’, partisipasi
dalam arsitektur dan perancangan kota berada pada tahap
yang kritis karena banyak firma-firma baru yang terlibat
yang menyalahartikannya sebagai strategi pencitraan
dan akhirnya berkompromi, diatur dan didikte oleh
kepentingan komunitas, pemerintah, organisasi, partai, dll.
Menurut Anda apakah ini juga terjadi pada proyek-proyek
Architecture 00 dan di Inggris secara umum?
JT: Yah, ketika mendesain rumah pribadi dan ketika Anda
menjadi desainer sekaligus klien, Anda sebenarnya sedang
dalam proses berkomunikasi secara terus menerus dan
partisipatif kalau tidak bisa dikatakan terinternalisasi secara
laku.
BU: Dan dimana sebenarnya Anda melihat batas dari
proses partisipatori ini secara umum?
JT: Ketika berfikir tentang batas partisipatori, Saya sering
teringat dengan kata-kata dari Gillian Rose tentang arsitektur
komunitas: “Sang arsitek turun kelas, dan masyarakat tidak
mengambil alih posisinya.” Menurut Saya, ini kutipan yang
luar biasa. Apa yang coba disampaikannya, jika kita artikan
secara luas, adalah bahwa arsitek dituntut untuk bisa
melepaskan segalanya, termasuk pengetahuannya (karena
pengetahuan adalah kuasa, dan kekuasaan adalah sesuatu
yang buruk karena sifatnya menaklukkan). Dengan begitu,
bahkan dalam kondisi terburuk di arsitektur komunitas,
semua arsitek hanya diperbolehkan untuk menggoreskan
pensilnya (kalau sekarang menggerakkan tetikusnya)
jika dia dalam status mewakili masyarakat. Namun jika
arsitek kehilangan kemampuannya untuk mengaplikasikan
ilmunya, maka tidak akan ada yang diuntungkan dan
BU: Pernahkah Anda berfikir bahwa mungkin sebenarnya
masyarakat juga tidak tertarik untuk mengambil alih kuasa
atau berpartisipasi? Kondisi ini juga bisa menjadi masalah.
JT: Saat ini saya sedang terlibat dalam sebuah proyek
seperti ini di University of the Arts di London, dimana
kami sedang merencanakan pembangunan gedung bagi
dua jurusan baru. Saya disini menjadi klien, bukan sang
arsitek, dan sangat menarik untuk melihat bagaimana
semua kontrol dan kuasa terdistribusi.
BU: Melibatkan lebih banyak orang dalam proses jelas
BU: Bagaimana kemudian Anda melihat kelanjutannya?
Karena, jelas, tak semua proyek partisipatori, baik
yang arsitektural maupun perencanaan kota, mampu
menghasilkan
demokrasi
yang
sebenar-benarnya,
mendorong kesadaran awam, dan transparansi,
akuntabilitas, juga efektifitas. Menurut Anda apakah situasi
ini akan menjadi lebih buruk atau keadaan bisa berubah
jika praktek partisipatori lebih banyak dilakukan?
JT: Itu hanya omong kosong. Para ekonom adalah corong
suara neo-liberalisme, dan dengan begitu mereka tidak
mendukung apapun yang bisa menghambat pekerjaan
kontraktor dan pengembang atas nama efisiensi ekonomi.
Jika Anda melihat contoh-contoh partisipatori yang terjadi
di Belanda atau di Jerman, maka Anda akan melihat proses
partisipatori yang melibatkan warga secara terintegrasi.
Secara khusus, Anda bisa menemukan gedung-gedung
di Belanda hasil gerakan partisipatori, juga karya tokoh
seperti N. John Habraken. ‘Open building’ di Belanda,
yang dibangun berdasarkan tulisan Habraken, tidak serta
merta melibatkan warga secara konvensional, namun
melibatkan ruang-ruang produksi baru yang mensyaratkan
teknik-teknik kolaborasi.
BU: Jika Anda bisa memberikan gambaran masa depan
tentang urbanisme partisipatori, apa yang akan Anda
katakan? Dimanakah partisipatori akan terjadi di masa
depan, maksudnya di titik mana dia akan terjadi secara
lebih intensif, tepat guna, dan benar-benar memberi
pengaruh?
JT: Kalau suasana hati Saya sedang baik, optimis, dan
tidak sedang intens berfikir tentang neo-liberalisme, maka
Saya akan mengajukan kontrak sosial dan sistem ekonomi
yang berbeda. Lalu Saya bisa membayangkan bentuk
baru dari masyarakat juga bentuk baru dari kolaborasi
dan partisipasi. Setelah itu Saya baru bisa membayangkan
sebuah kolektifitas dan bentuk sosial yang baru di masa
depan.
BU: Saya melihat, internet jelas akan memainkan peran
penting dalam proses partisipatori di masa depan, terutama
ketika berbicara tentang bangunan-bangunan publik di
dalam kota
JT: Ya, maksudnya, semuanya sudah berada dalam sebuah
kontrol. Internet sudah menjadi sebuah kekuatan yang
besar dan bentuk-bentuk komunikasi baru akhirnya
akan lahir untuk melawan sistem kontrol yang dibangun
oleh kapitalisme ini. Entah itu artinya kapitalisme akan
meredefinisi dirinya, seperti yang sering dikatakan oleh
Marx, atau kita bisa merebut momen ini dan memberi
arah baru bagi sistem yang ada sekarang agar lebih peka
terhadap isu sosial dan lingkungan.
halaman 64
halaman 65
“Tanah Jakarta secara alami bukanlah tanah yang bisa mengakomodasi
pembangunan besar-besaran. Alasan ini seharusnya menyadarkan kita bahwa
syahwat pembangunan yang berlebihan hanya akan mempercepat kematian
Redaksi
Membaca Tanah Jakarta
w
Tanah, sebagai elemen
geologi mempunyai arti
yang sangat penting,
tidak saja dari sudut
pandang ilmiah, tapi
juga dari sudut pandang
keteknikan. Tanah
adalah lapisan bumi yang
berada di permukaan,
yang telah, sedang dan
terus menerus mengalami
perubahan dalam
fungsi waktu. Membaca
tanah akan banyak
membantu kita dalam
memahami sejarah dan
bagaimana merencanakan
pembangunan yang
berkelanjutan di masa
depan.
arga
Jakarta,
bahkan mungkin Indonesia,
akhir-akhir ini sedang ramai
memperdebatkan isu reklamasi
di Teluk Jakarta. Reklamasi
yang di gadang-gadang akan
menjadi paket solusi untuk
mengatasi banjir dan fenomena
penurunan tanah di jakarta
ternyata tidak serta merta
mendapat penerimaan yang
bulat. Pro kontra ini tidak saja didasarkan pada beberapa studi yang
mengatakan bahwa reklamasi ternyata tidak menyelesaikan masalah
banjir Jakarta, tapi juga kenyataan bahwa tanah Jakarta tidak akan
berhenti turun walau reklamasi dilakukan.
Seorang peneliti geodesi dari Institut Teknologi Bandung, Hasanuddin
Z Abidin, berpendapat bahwa ada beberapa faktor penyebab penurunan
tanah, yaitu adanya kompaksi alamiah (proses mencapai kestabilan
tanah secara alami), penyedotan air tanah dalam jumlah besar, beban
struktur bangunan, serta aktivitas tektonik. Jika faktor kompaksi
alamiah memang tidak bisa dihindari, faktor-faktor yang berkaitan
dengan pembangunan dan aktifitas manusia mungkin akan menarik
untuk kita telaah agar kita lebih mengerti bagaimana karakter tanah
Jakarta sebenarnya.
***
Wilayah Jakarta bisa dibedakan menjadi dua wilayah besar,
yaitu daerah selatan Jakarta yang relatif tak terlalu besar peran faktor
kompaksi alamiahnya dan daerah utara Jakarta yang masih mengalami
kompaksi alamiah. Endapan wilayah selatan relatif lebih tua bila
dibandingkan dengan wilayah utara Jakarta, karenanya rata-rata tanah
di wilayah selatan Jakarta lebih stabil.
Dari sebuah hasil penelitian di tahun 2007 hingga 2011,
tercatat daerah Pantai Mutiara mengalami penurunan hingga 40 cm.
Di beberapa tempat lain, seperti Tanjung Priok dan daerah utara Jakarta
lainnya tercatat penurunan tanah 1-15 cm per tahunnya. Penurunan
tanah terbesar yang pernah tercatat adalah di kawasan Cengkareng dan
Kalideres (Barat Laut Jakarta), dan kawasan Kemayoran-Sunter (Timur
Laut Jakarta).
Banyak ahli yang setuju bahwa penurunan tanah di Jakarta
tidak bisa dihentikan karena ada faktor alamiah di dalamnya. Namun
penurunan tanah tidak terjadi terus menerus dan merata. Kecepatan
penurunan tanah bervariasi secara spasial (ruang) dan temporal
(waktu). Hal ini juga dipengaruhi oleh tingkat pengambilan
air tanah, karakter lapisan endapan, serta peningkatan beban struktur
bangunan di suatu wilayah. Walau tidak bisa dihentikan, laju penurunan
Jakarta sendiri.”
tanah Jakarta bisa ditekan jika penurunan akibat aktifitas
manusia bisa diminimalkan atau dihentikan. Persoalan
yang tertinggal adalah: bagaimana merumuskan metodemetode membangun yang ramah dengan tanah Jakarta?
Secara garis besar, penurunan tanah di Jakarta dapat
disebabkan oleh 3 hal, yaitu: Penurunan tanah secara alami
(natural subsidence), pengambilan air tanah secara besarbesaran (Groundwater extraction), dan beban bangunan
(Settlement). Chaidir Anwar Makarim, guru besar
geoteknik di Universitas Tarumanegara mengungkapkan
bahwa faktor penyedotan air tanah, baik untuk keperluan
konsumsi maupun pembangunan menjadi salah satu
penyebab masalah penurunan tanah yang cukup
mengkhawatirkan akhir-akhir ini.
Pakar yang juga mendalami bidang geoforensik ini
mengungkapkan pengalamannya dalam mengatasi kasuskasus pembangunan yang tidak sejalan prinsip-prinsip
geoteknika. Wilayah Jakarta sebagian besar diduduki oleh
tanah lunak hingga sangat lunak. Terbentang dari Hotel
Indonesia sampai Monas. Tanah lunak juga terdapat
di daerah Cempaka Putih, daerah sekitar UNTAR dan
Universitas Trisakti, Pluit, dan Latumenten. Menurut
beliau, satu hal yang harus diingat ketika membangun
di kawasan tanah lunak adalah tidak boleh sembarangan
menyedot air. Oleh Karena itu proses pengendalian kadar
air dalam pekerjaan konstruksi (Dewatering) harus sangat
terinci dan disertakan ke dalam Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL).
Salah satu kasus yang pernah ditangani beliau
adalah kasus gagal struktur oleh pengembang Apartemen
di kawasan Menteng oleh pengembang besar. Gagal
struktur ini dipicu oleh pembangunan basement 4
lantai tanpa disertai rencana dewatering yang matang.
Pada salah satu dinding diafragmanya ternyata terdapat
keropos seluas 1.2 m² yang kemudian mengakibatkan
longsor. Insiden gagal struktur ini tak pelak ikut merusak
bangunan-bangunan cagar budaya yang banyak terdapat
di sekitar lokasi proyeks.
Chaidir adalah arbiter bersertifikat yang sering
dipakai sebagai saksi ahli dalam kasus-kasus malpraktek
konstruksi di Indonesia. Ia mengakui bahwa kasus
malpraktek konstruksi di Indonesia semakin meningkat
karena kurangnya pemahaman arsitek dan insinyur sipil
tentang peraturan dan metode membangun yang benar.
Alasan-alasan ekonomi juga diakui beliau sering menjadi
latar belakang kelalaian-kelalaian praktik konstruksi.
Biaya konstruksi yang murah, cepat, dan tidak sesuai
standar sering menjadi penyebab buruknya konstruksi
(bad workmanship) di Jakarta.
Kasus-kasus perusakan bangunan akibat proses
dewatering yang tidak cermat sudah banyak terjadi.
Salah satu yang paling parah adalah kasus pembangunan
Grand Indonesia yang merusak bangunan Kedutaan Besar
Australia dan Rusia, juga Hotel Sanur (sekarang Hotel
Pullman). Begitupun ketika gedung BPPT melakukan
pekerjaan konstruksi di bawah tanah, proses dewatering
yang buruk membuat stabilitas tanah sekitar rusak sehingga
merusak pusat perbelanjaan Sarinah.
Dalam kasus gagal struktur Apartemen di
kawasan Menteng tadi, Chaidir Makarim menjelaskan
bahwa setidaknya ada dua pelanggaran yang terjadi. Yang
pertama adalah perusakan bangunan cagar budaya dan
gangguan lingkungan akibat praktik Bad Workmanship.
Kerugian yang timbul ini dapat digugat secara
keperdataan. Dalam Undang-undang diatur bahwa klaim
akibat cacat desain bisa mencapai maksimal 10% dari
harga bangunan. Klaim lain juga bisa didapat akibat cacat
pelaksanaan yang menyebabkan gangguan lingkungan,
apalagi terdapat situs cagar budaya yang dilindungi
Undang-undang. Lalu pelanggaran kedua adalah jika
terdapat kasus perizinan yang tidak lengkap. Dalam hal
ini pihak pemerintah kota bisa ikut dipersalahkan karena
menerbitkan izin pelaksanaan tanpa disertai kelengkapan
AMDAL.
***
Masih menurut beliau, proses penghitungan dan
perencanaan dewatering sendiri tidak bisa dilakukan di
atas kertas saja. Karakter tanah lunak yang sangat mudah
bergerak membuatnya membutuhkan pengamatan dan
penelitian lapangan yang tidak sebentar. Apalagi jika
ternyata di bawah tanah lunak ini terdapat tanah yang
berpasir (dispersif ), maka laju pergerakan tanah akibat
penyedotan air akan semakin besar. Fenomena ini dikenal
juga dengan gejala piping. Alasan-alasan inilah yang
menyebabkan proses dewatering di tanah lunak menjadi
mahal sehingga sering diabaikan oleh pengembangpengembang nakal.
Sesederhana menyedot air, kita harus menyadari
bahwa konsekuensi yang terjadi terhadap tanah bisa
sangat besar. Kita memang tidak bisa menghentikan
penurunan tanah yang memang terjadi oleh alasanalasan alami. Namun kita bisa menguranginya dengan
melakukan metode-metode membangun yang benar,
berwawasan lingkungan, dan punya perspektif
berkelanjutan. Tanah Jakarta secara alami bukanlah tanah
yang bisa mengakomodasi pembangunan besar-besaran.
Alasan ini seharusnya menyadarkan kita bahwa syahwat
pembangunan yang berlebihan hanya akan mempercepat
kematian Jakarta sendiri,
halaman 66
halaman 67
Redaksi
Arsitektur:
Sebuah Strategic Thinking
Arsitek dan arsitektur
terlalu lekat dengan
bangunan. Sekian lama,
asosiasi ini membuat kita
sulit untuk memisahkan
mana nilai-nilai yang
mendasar dan mana
nilai-nilai yang hanya
melekat pada keduanya.
Astrid Sri Haryati, seorang
arsitek perempuan yang
jejak karirnya telah
malang melintang hingga
ke manca negara, berbagi
pandangannya mengenai
masa depan praktek profesi
arsitek di Jakarta. Obrolan
disela makan pagi bersama
ini terjadi secara spontan
namun layak untuk
disimak.
Redaksi (RED): Beberapa tahun terakhir ini Jakarta tengah gencar
berbenah. Kita juga melihat sebuah fenomena dimana arsitek semakin
aktif bersuara terkait ruang Kota Jakarta. Tak bisa dipungkiri, banyak
yang tengah diusahakan oleh pemerintah untuk menciptakan Kota
Jakarta yang lebih manusiawi. Ngomong-ngomong tentang pemerintah,
petahana kerap lebih memilih untuk menggunakan dana CSR
dibanding APBD Kota Jakarta, yang nota bene menjadi kritik keras
karena dituding menjadi celah praktek Public-Private Partnership yang
tidak sehat. Bagaimana pendapat Anda?
Astrid Sri Hayati (ASH): Komposisi APBD sekarang memang tidak
memungkinkan untuk menopang pembangunan daerah seutuhnya.
Sebagian besar APBD diserap untuk gaji pegawai, hanya kurang dari
20% yang bisa dipakai untuk mendanai pembangunan, gak nampol
banget kan. Kalau memang demikian adanya, kita harus disiplin
untuk juga berani melakukan kerja sama dengan PPP (Public-Private
Partnership) seperti CSR. Seperti apa, ya contohnya jika pabrik semen,
kenapa tidak dibuat program sosial per-semenan misalnya. Potensi
utamanya bisa di tonjolkan untuk dijadikan apa dan apa, sesuatu yang
lebih konstruktif. Jadi kitanya juga gak jauh-jauh amat untuk ngerti.
Gak apa-apa juga untuk bantu-bantu sesuatu yang populer, misalnya
program katarak, yang banyak kita lihat. Tapi sekali lagi, apakah itu
yang dibutuhkan oleh populasi produktif kita? Sementara anak-anak
umur 16 tahun, 18 tahun, kebingungan gak bisa masuk sekolah.
Sekolah seperti SMK kurang. Kenapa gak bikin SMK per-semenan?
Ini cuma contoh doang ya. Ada hal-hal yang sebenarnya jatuhnya lebih
kontekstual, lebih konstruktif.
Di Amerika, contohnya, ada namanya TIF (Tax Incremental Financing)
yang sifatnya regional. Let’s say, daerah Angke, coba bikin TIF aja disana,
lalu di gedhein. Jadi semua hal, termasuk income daerah itu, investasinya
tidak boleh keluar dari daerah itu. Semuanya dicekok-cekokin kesitu.
Jadinya gak kejadian lagi tuh, ada daerah yang ada income namun tidak
pernah mendapatkan benefit. Soalnya selalu income larinya ke tengah,
ke pusat, baru disebar. Dilariin ke tengah lagi, baru disebar lagi. Dengan
semangat disentralisasi ini bisa jadi alasan juga supaya yang namanya
PAD, pendapatan daerah masing-masing, itu jangan dimasukkan ke
akunnya tengah lalu disalurkan ke Jakarta yang lain. Disinilah titik
dimana kita harus disiplin terhadap pelaksanaan. Karena kalau ngga
begitu, yang namanya fairness, atau keadilannya ga akan kejadian tuh.
Leadernya harus berani. Berani dilempar tomat, sedikit haha…
Pengalaman saya praktek di luar negeri, ada perbedaan San Fransisco
dengan Chicago. Walikotanya Chicago itu cuek bebek. Dia kan sebelas
tahun jadi walikota karena memang gak ada batasnya. Tapi memang
bukan karena dia populer, tapi memang dia berani mengambil
keputusan. ‘Pokoknya dikerjakan dulu, habis itu saya benerin,’ begitu
prinsipnya. Daripada pow wow, Kumbaya, nunggu
semuanya setuju. Emang ada yang semuanya setuju? Yang
penting dikerjakan dulu, baru bisa tahu mana yang bisa
diperbaiki. Dia berani dilempar tomat, dalam tanda kutip
ya.
Yang walikota San Fransisco, duileh, karena dia pengen
jadi senator, pengen jadi presiden, pengen jadi apa, yang
ada tuh hati-hati banget. Khan susah! Kalau kita mau
merubah sesuatu kayak gitu khan jadi reseh. Yang begini
jadinya bukan leader lagi dia.
RED: Anda pernah mengatakan bahwa tiap kota
seharusnya punya branding-nya sendiri-sendiri. Misalnya
kota Bandung mau jadi apa, Semarang jadi apa,
Surabaya jadi apa. Tapi Jakarta ini ingin jadi semuanya.
Ingin jadi pusat ekonomi, juga pusat pemerintahan dan
pusat penumpukan populasi. Semua orang ingin tinggal di
sini. Dengan kondisi seperti ini, menurut Anda, kira-kira
bagaimana Jakarta ke depan?
ASH: Yang memang kita suka
lupa itu skala. Arsitek banyak
yang suka bikin TOD dimanamana, work, live, play di situ
semua. Jadinya bikinnya
rounding. Apalagi yang di
Jakarta tuh, suka banget
mewarnai. Di sini perumahan,
di sini pusat bisnis, di sini
untuk leisure. Padahal dari
kantor ke rumah dua jam, sama
aja jadinya kayak ke Bandung.
Padahal kan idealnya relasi-relasi antar zona ini seperti
hub and hook, seperti layaknya sepeda. Sepeda kan ada
ruas kecil, ada ruas besar. Kalau ruas yang kecil muternya
kenceng, kalau ruas yang besar muternya lambat. Dimanamana pasti ada wilayah yang muternya lambat dan ada yang
muternya kenceng. Tapi semuanya harus dihubungkan
dengan rel. Sepeda itu ada yang roda depannya yang
lambat, roda belakangnya kenceng. Tapi kan semuanya
ikut muter. Sama dengan kota. Kalau semua wilayah ikut
muter bersama, pusat kota itu jadinya gak cuma satu, tapi
ada banyak. Idealnya memang pusat kota itu ada beberapa,
lalu terdapat cluster-cluster. Kalau Jakarta ada Kebayoran,
Menteng, dan lain-lain. Udah bener tuh kita namain. Tapi
kemudian cluster-cluster ini tidak perform. Kebayoran
misalnya, menjadi bad hook community. Padahal harusnya
di situ lengkap. Jakarta itu seharusnya up town dan down
town nya tuh bersinergi. Masing-masing wilayah ini juga
jangan satu dimensi.
Nah, sekarang bagaiman kita harus mendisiplinkan diri,
sementara orang gak mau digusur? Jadinya compaction.
Gak apa-apa! Jadinya solusinya bukan digusur, tapi nilai
wilayah itu yang ditingkatkan. Walau tetap akan terjadi
relokasi, namun bukan gusur jauh jatuhnya. KTP warga
yang direlokasi seharusnya tidak jadi berubah. Warga
gusuran Kebayoran Baru harusnnya tetap ber-KTP
Kebayoran Baru setelah digusur. Untuk hal-hal seperti
ini, pemimpinnya harus berani. Tapi masyarakatnya juga
harus diajak ngobrol bareng-bareng. Kasih pengertian
bahwa digusur artinya tidak dibuang jauh-jauh dari
habitat awal. Konsekwensi lainnya, pemerintah juga
harus berani membeli lahan mahal.
RED: Kita juga tahu harga tanah di Indonesia sudah
tidak masuk akal. Kalau di luar negeri, perbandingan
harga tanah dengan pembangunan itu paling banyak
25%. Sementara di Indonesia, contohnya di PIK, bisa
mencapai 60%, untuk harga tanahnya saja. Karena
alasan ini, harga proyek menjadi sangat tinggi, dan
seringnya arsitek yang akhirnya dipotong fee nya.
ASH: Di Indonesia memang tidak
dikenal eminent domain, seperti di
Amerika dan Eropa. Untuk fungsi
publik, pemilik lahan itu harus
willing untuk ngasih karena untuk
kepentingan publik. Kalau di kita
kan gak gitu. Walau ditungguin juga,
ada saja yang gak mau jual. Kalau di
luar, pemilik lahan seperti ini harus
mau menjual, tinggal bagaimana kita
set up regulasi mengenai harganya,
jadi mereka tidak bisa semena-mena.
Itulah pentingnya eminent domain,
domain publik yang ‘harus’. Tapi, ya, Pemdanya juga
harus bisa kerja. Jangan ngambil keputusan karena
proyek, tapi program.
Program itu ga perlu banyak, tiga saja sudah cukup.
Proyeknya yang mungkin jadi 100. Jadi melakukan
sesuatu itu gak super over janji ya. Dan Pemda harus clear
juga, apalagi proyeknya yang multi years. Kan kita harus
merayakan sesuatu. Misalnya proyeknya 10 tahun, apa
iya harus menunggu 10 tahun untuk melihat hasil. Tiap
tahun itu harus ada achievement.
RED: Di Jakarta, kita sering melihat bahwa swasta itu
lebih dominan dari pemerintah. Seakan pemerintah
dikangkangi oleh swasta. Bagaimana menurut Anda?
ASH:Terkadang kita lupa berbicara dengan bahasa
manfaat. Kita lebih sering berbicara dengan bahasa
pukulan. Yang hadir jadinya bukan insentif, tapi
punishment. Contohnya, pabrik yang harus digusur,
karena memang harus kan. Mana ada lagi pabrik yang ada
di tengah kota, harusnya gak boleh. Tapi seringnya surat
ke pemimpin pabrik cuma pemberitahuan bahwa pabrik
halaman 68
halaman 69
”Terkadang kita lupa berbicara dengan bahasa manfaat.
Kita lebih sering berbicara dengan bahasa pukulan.
Yang hadir jadinya bukan insentif, tapi punishment.”
harus pindah, titik! Padahal harusnya ada surat tambahan yang merinci, insentif yang
akan didapatkan oleh pabrik dan karyawannya di tempat yang baru itu apa. Begitu juga
insentif perpajakan karena pabrik itu pindah, seharusnya ada. Intinya, banyak pelaku
usaha yang jadi tidak kondusif untuk menjadi partner itu karena mereka gak kebayang
manfaatnya itu akan seperti apa. Tawaran-tawaran insentif ini bisa meliputi tax holiday
atau fasilitas untuk kesejahteraan pegawai. Ini yang dinamakan proses partisipasi. Masak
mereka diminta melakukan sesuatu dengan cara digonggong, ya gak ada yang maulah.
Kalau kita mau tahan nafas sedikit saja, kita bisa bikin master plan kota, yang ga harus
rigid tapi adaptif. Kadang-kadang kita ga harus fixing sesuatu yang gak broken, kira-kira
begitu ya. Kita tidak harus memaksakan pembangunan. Di masyarakat ada namanya
titik optimum, dimana itulah titik masyarakat paling sejahtera, bukan secara angka
ya. Di kondisi ini, kita harus mampu memberi mereka gambaran ‘what’s possible’
dengan kapasitas mereka sebagai individu. Masalah kapan mereka bisa mencapai ‘what’s
possible’ itu, ya itu masalah lain. Karena secara esensi mereka punya kemerdekaan untuk
menentukan pace mereka masing-masing. Tapi paling tidak dalam sebuah kawasan atau
deliniasi, diberikan pandangan, “Kalau Anda berperan seperti ini, melaksanakannya
seperti ini, maka akan bisa menghasilkan seperti ini.”
Ada hal yang menarik, di Kalkuta dan di kota kecil Sao Paolo di Brazil, mereka membuat
panduan visi kota. Misalnya, Anda guru, Anda diberi visualisasi sebagai guru Anda bisa
berpartisipasi seperti apa dan menghasilkan apa. Bahkan Ibu-ibu rumah tangga juga
punya tempat di visi kota. Ini yang kadang-kadang tidak disadari, bahwa kemampuan
berimajinasi itu tidak dimiliki oleh semua orang. Esensi kota dalam bahasa latin adalah
perjanjian untuk terus bersama-sama. Jadi kalau kita tidak berjalan bersama itu bukan
kota namanya.
Dalam hal bersama-sama ini, satu sama lain harus membantu memberi visualisasi
bagaimana masing-masing orang mendapat tempat dan menjalankan perannya di
dalam kota. Mungkin secara fisik kotanya akan terlihat biasa-biasa saja, namun secara
psikologis, setiap warga kota merasakan tempat dan fungsinya di dalam ruang kota.
RED: Anda juga sering mengatakan bahwa arsitektur adalah strategic thinking.
Bagaimana Anda menguraikan istilah ini?
ASH: Dalam proses berkota, peran masing-masing aktor tidak bisa dibatasi, namun
harus fokus. Pemerintah itu fokusnya infrastruktur publik. Infrastruktur publik
maksudnya apa? Kalau jati diri Jakarta ini sudah sama-sama disetujui jadi pusat semua
fungsi, maka karakter infrastruktur publiknya harus spesifik dengan kebutuhan karakter
kota ini.
H-A-R-U-S!
Habis itu baru, peran selebihnya bisa dikerjasamakan. Untuk private sector, lead yang
ditunggu itu adalah nilai tata lahan. Secara kawasan, nilai tata lahan itu seharusnya
berbentuk bola-bola, bukan seperti yang terjadi di SCBD dan Mega Kuningan saat
ini, gradasinya sangat tajam antara koridor sepanjang jalan utama dengan yang di
daerah belakangnya. Luar biasa itu, sangat tidak humanis!
Saat ini kita bisa memanfaatkan LRT sebagai stimulan untuk menciptakan bola-bola
ini di sepanjang koridornya. Tidak semua titik koridor potensial untuk dibuat TOD.
Tiap dua TOD ada satu bola besar yang diataranya hanya ada fungsi pemerintahan
saja. Diantaranya ada bola Senayan, bola Lebak Bulus, biar konsep ‘to live, work, and
play’ itu bisa terjadi.
Untuk bisa sampai kesana, pemerintah harus punya leadership yang baik. Tidak juga
artinya menjadi bulldog, karena kalau begini, pemerintah dan private sector akhirnya
menjadi lawan yang berhadap-hadapan. Kalau kondisinya begini, keinginan private
sector untuk menjadi partnernya sudah nol. Dan ini sayang sekali.
Di Indonesia juga ada fenomena menarik. Arsitektur dan politik itu bagai minyak
dan air. Rata-rata yang memberikan pendapat, yang mempunyai opini, dengan yang
benar-benar mencoblos itu berbeda. Populasi pemilih yang memakai hak suaranya itu
beda banget! Karena itu apapun yang kita sampaikan, kita sering tersandera dengan
kenyataan ini. Karena itu, sebagai profesional, kita seharusnya berfikiran terbuka.
Siapapun pemimpinnya, kita seharusnya selalu membuka pintu dialog. Setidaknya
mereka akan terbukakan fikirannya akan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh
Jakarta dari sudut pandang profesional arsitek. Kita adalah komponen stake holder
yang bisa bersuara dalam ruang kota kita. Sayang banget kalau netral itu selalu
diartikan menjadi pasif.
Untuk awam yang mungkin tidak mengerti posisi penting arsitek di Indonesia,
pertama-tama yang harus kita tegaskan adalah, kita arsitek adalah strategic thinker,
bukan hanya ngurusin bangunan saja. Kita harus berani bilang gak mau bangun,
bahkan jika telah ada bangunan, kita berani delete itu bangunan. Sering kali arsitek
itu selalu adding. NO! Architect could do extracting too. Karena tanggung jawab kita
adalah fungsi. Kita tidak bilang harus ada gedung, yang harus ada itu fungsi. Lucunya
di sekolah kita hanya diajarkan menggambar bangunan. Bagaimana mendelete
bangunan? Wah,gak ada kan itu di sekolah. That’s why, identitas kita itu selalu hanya
bangunan. Kita hanya ditelpon karna ada bangunan. Nggak dong, harusnya kita
ditelpon karena ada manusia di situ.
Arsitek selalu menganggap tools kita adalah
bangunan. Padahal tools kita yang sebenarnya
adalah otak kita. Ketika kita menggambar,
atau menolak menggambar itu adalah juga
ke-arsitekturan
halaman 70
halaman 71
Redaksi
Inisiatif Praktisi Demi
Hadirnya Peraturan
Tentang Teknis Bangunan
Gedung yang Tepat Guna
Peraturan mengenai teknis bangunan gedung di Indonesia memang terkenal rumit karena
menyerap banyak sekali peraturan dari luar. Hal ini sedikit banyak menjadi halangan tersendiri
dalam terciptanya penyelenggaraan praktik profesi yang baik di Indonesia. IAI Jakarta sendiri,
tidak seperti kepengurusan yang lalu-lalu, mengadakan satu kelompok forum yang dinamakan
Bidang Regulasi, yang khusus mengadakan kajian dan diskusi terkait peraturan mengenai
teknis bangunan gedung di Jakarta. Wawancara ini dilakukan dengan Martinus Izaak, ketua
Bidang Regulasi IAI Jakarta mengenai kondisi praktek profesi arsitek dari perspektif regulasi.
bagaimana, aturannya ada di peraturan tentang kebakaran.
Jadi terpecah-pecah. Idealnya memang dijadikan satu
dulu, seperti tahun 2009 lalu, pernah coba dirumuskan
melalui praturan teknis bangunan gedung (tinggi). Saya
sempat ikut dulu dalam proses perumusannya, tapi entah
mengapa, sampai sekarang peraturan itu belum disahkan
juga. Memang harus diakui banyak sekali faktor, salah
satunya peraturan ini begitu banyak dan detil-detilnya
rumit. Sebenarnya pecahan-pecahan ini telah ada di SNI.
Ada SNI akses, ada SNI exit, ada SNI tentang bangunan
gedung, semua ini telah ada. Namun SNI tidak bisa
kita pakai sebagai peraturan. SNI ini harus dituangkan
lagi menjadi Perda, lalu peraturan pelaksanaannya harus
dituangkan lagi menjadi Pergub, begitu idealnya.
Di tahun 2009 itu, IAI sempat ikut membantu, terintegrasi
malah, dalam hal penyusunan peraturan ini. Waktu itu
kita membentuk pokja untuk membantu perumusan
Rancangan Peraturan Gubernur untuk Peraturan Teknis.
Jadi, begitulah, kekurangan kita saat ini adalah tidak
adanya satu peraturan yang menyeluruh, dimana temanteman arsitek praktisi bisa mencari referensi di satu tempat.
RED: Tapi harus kita sadari bahwa posisi IAI adalah
organisasi non-profit dan tidak terintegrasi dengan
struktur apapun dalam pemerintahan. Bagaimana
kita memposisikan diri ditengah kebutuhan akan
dilihat bagaimana tata cara agar bisa menjadi peraturan
perundangan, baru bisa diusulkan untuk disahkan. Itu
yang menurut saya membuat waktu untuk melahirkan
peraturan yang baik dan menyeluruh itu menjadi lama.
Kalau ditanyakan mengenai peran IAI disini, maka
menurut saya pribadi, sebagai organisasi dari arsitekarsitek yang berpraktik, yang memakai peraturan ini
nantinya, kita bisa mengambil inisiatif dan berperan aktif
untuk mengajukan usulan-usulan. Hanya sejauh itu yang
bisa dan mungkin untuk kita lakukan. Untuk mengambil
posisi strategis, sebagai organisasi yang terintegrasi dengan
pemerintahan dan terlibat dalam pembuatan peraturan,
saya rasa sulit. Saya lebih senang menyebut kita sebagai
inisiator, tanpa bermaksud mendahului pemerintah.
Ini karena sebagai pemakai, kita tahu apa saja yang kita
butuhkan dan apa saja yang masih kurang dari peraturan
teknis bangunan kita selama ini.
Kalaupun tidak diakomodasi, kita bisa terus bersuara.
Karena siapa lagi yang akan melakukannya kalau tidak
kita? Saya khawatir jika kita tidak segera menyusun
peraturan teknis bangunan yang padu dan menyeluruh,
kita akan terbisa dengan budaya maklum. Atau yang
lebih parah, jika ada pihak asing yang masuk dan
menyadari belum ada peraturannya, maka mereka pasti
akan memakai peraturan yang berlaku di tempat mereka
atau peraturan umum internasional, yang nota bene,
belum tentu cocok dengan konteks kita. Kita hanya akan
menjadi subordinat mereka.
REDAKSI (RED): Jakarta terkenal dengan pembangunan yang
peraturan yang tepat, dengan kendala secara politis
RED: Saat ini, IAI Jakarta di bidang regulasi sangat
membabi buta. Kita semua sadar bahwa banyak sekali bolong
seperti ini?
gencar membahas regulasi tentang kebakaran di
dan kekurangan dalam peraturan dan perundang-undangan,
MI: Kita sadar bahwa sebenarnya IAI itu berada di hilir,
bukan di hulu. Kita, sebagai praktisi, sebenarnya adalah
pemakai. Itu juga alasan dari kepengurusan IAI Jakarta
periode ini untuk mengadakan Bidang Regulasi. IAI sadar,
kita memang sebagai pemakai, namun sebagai pemakai
kita menyadari kekurangan-kekurangan yang menghambat
praktik kita sehari-hari. Apa yang bisa kita lakukan untuk
menyikapi kondisi ini? Ya, kita bisa bikin pokja regulasi,
kita bisa bikin diskusi, bikin forum-forum regulasi dalam
menyikapi kasus-kasus yang dihadapi Dengan begini ada
materi-materi yang diusulkan ke Pemda.
banyak forum dan diskusi. Apa sebenarnya yang
khususnya yang menyangkut bangunan dan gedung di Jakarta.
Lubang paling besar itu terdapat dimana?
Martinus Izaak (MI): Kalau kita berbicara tentang lubang dalam
peraturan kita, itu sebenarnya hal yang relatif. Peraturan di Indonesia,
di Jakarta khususnya, termasuk yang paling lengkap. Memang idealnya
ada satu perturan bangunan teknis yang berlaku universal di seluruh
Indonesia, yang harusnya kompatibel untuk semua. Masalah kita
sebenarnya, peraturan yang satu ini belum jadi, namun dia terpencarpencar di banyak titik. Ada peraturan tentang kebakaran sendiri,
peraturan tentang sarana teknis penyelamatan jiwa sendiri, peraturan
tentang tata bangunan sendiri, sehingga teman-teman praktisi itu
kesulitan. Kalau dia mau melihat peraturan tentang satu hal, dia
harus melihat semuanya dulu. Otomatis, kalau dia missed di salah satu
peraturan, ada kemungkinan dia akan missed di banyak titik nantinya.
Contoh kasus nih, bangunan diatas empat lantai sudah harus memakai
lift. Untuk itu ada peraturan sendiri mengenai lift. Nanti ada lagi
peraturan yang mengatur, banguan diatas empat lantai itu memakai lift
yang salah satunya adalah lift kebakaran. Nanti standar lift kebakaran itu
Sebenarnya saya sendiri bingung dengan jenjang struktur
peraturan di pemerintahan. Seharusnya untuk menjadi
peraturan itu ada dulu usulan draf, atau kajian teknis,
atau mungkin naskah akademis. Itu nantinya yang akan
diangkat, lalu diuji, diminta masukan dari para ahli dan
pakar, dari akademisi begitupun dari profesional. Setelah
itu semua hasilnya nanti akan diuji kembali, diseminarkan
Setelah diuji, nanti baru dibawa kebagian hukum,
sangat urgent dari peraturan tentang kebakaran ini?
MI: Jakarta sudah mulai banyak gedung tinggi. Tadinya
rata-rata cuma 20 lantai, sekarang rata-rata 40 lantai.
Bahkan saat ini yang sedang dalam pembangunan, ada
yang akan mencapai 111 lantai. Hal ini akan semakin
banyak ditemui kedepannya karena tanah semakin sulit
namun kebutuhan itu terus ada. Apakah melalui teknis
bangunannya atau karena adanya intervensi dari luar.
Sebagai arsitek yang merancang gedung, kita tentu ingin
sedapatnya teknis bangunan memungkinkan pengguna
gedung bisa selamat tanpa ada intervensi dari luar.
RED: Tepatnya poin-poin apa saja yang perlu
dituangkan dalam peraturan segera?
halaman 72
halaman 73
Bahkan beberapa konsultan asing suka bilang, bahwa
untuk peraturan, Indonesia itu adalah yang terlengkap
sedunia, karena semua peraturan diadopsi dan
dimasukkan. Namun ini yang menjadi kesulitan bagi
IM: Untuk kasus bangunan tinggi, yang paling penting dan pertama harus diperhatikan
adalah akses eksit dan exit pelepasan, itu adalah dua hal yang paling penting. Setelah itu
standar-standar keselamatan lain, katakanlah standar teknis dari lantai pelepasan dan
kelengkapan-kelengkapan lainnya. Terus yang paling penting lainnya adalah toleransi
ruang untuk kita memungkinkan intervensi dari luar, dalam hal ini pemadam kebakaran,
untuk masuk dan membantu. Jika terjadi keadaan yang mengancam keselamatan, kita,
mau tidak mau, pasti membutuhkan bantuan dari luar. Karena sistem emergency yang
ada di bangunan itu sangat terbatas, hanya sekitar 2 jam. Pada saat terjadi kebakaran,
biasanya pasti berlangsung lebih dari 2 jam. Karena itu, dalam merancang, temanteman perencana diharapkan memberikan toleransi ruang yang lebih agar akses masuk
dari bantuan dari luar ini bisa terjadi dengan lebih leluasa.
Terus mengenai sirkulasi vertikal dari bangunan tinggi juga sangat penting. Kita harus
punya tangga yang pressurized, yang artinya bertekanan positif, dan terproteksi terhadap
api. Dia juga harus memenuhi standar-standar teknis mengenai dimensi, ukuran, jenis
material, dan lain sebagainya. Begitupun dengan lift. Bangunan diatas empat lantai
harus punya lift, diantaranya lift kebakaran. Dalam bangunan tinggi, sebenarnya
cara paling efektif untuk mencapai titik kebakaran itu adalah melalui lift kebakaran.
Pengalaman saya bertemu dengan beberapa perencana asing, fire engineer mereka selalu
bilang bahwa lebih cepat melalui lift kebakaran.
Jadi begitulah kira-kira peraturan dalam bangunan tinggi mengenai kebakaran yang
perlu segera kita tuangkan dalam peraturan formal maupun peraturan pelaksanaan
yang detil. Sebenarnya, sekali lagi, peraturan-peraturan seperti ini sudah ada di
Indonesia, namun sifatnya masih adopsi dari peraturan luar semua. Ada peraturan dari
Singapura, dari Hongkong, juga dari NFPA, yaitu sumber dari segala sumber peraturan
tentang keselamatan gedung. Semua peraturan ini sekarang dimasukkan kedalam SNI.
Namun sekali lagi, SNI bukan peraturan. Saya suka menyarankan kepada teman-teman
perencana di lapangan, sementara peraturan resmi kita belum ada, coba dilihat saja apa
yang ada di SNI. Bahkan beberapa konsultan asing suka bilang, bahwa untuk peraturan,
Indonesia itu adalah yang terlengkap sedunia, karena semua peraturan diadopsi dan
dimasukkan. Namun ini yang menjadi kesulitan bagi teman-teman praktisi karena
terpecah-pecah dan mereka keteteran dalam mengikutinya.
RED: Apakah ada contoh kasus yang menarik, yang bisa menunjukkan tentang
pentingnya peraturan mengenai kebakaran ini sendiri?
MI: Ada dua contoh yang menarik. Salah satunya adalah rencana tower Pertamina di
Kuningan yang terdiri dari 99 lantai. Karena ada 99 lantai, maka lantai evakuasinya
harusnya banyak ya. Karena lantai evakuasi itu kan per 20 lantai. Nah, ada perbedaan
yang mendasar di sini. Menurut peraturan kita, standar dari lantai evakuasi itu harus
terbuka. Sementara konsultan yang menangani tower itu, maju ke kami dengan
membawa fire engineernya, mengatakan bahwa ini harus tertutup. Sehingga ketika
kami mengajukan prescription, yang menurut peraturan di sini harus terbuka, mereka
mengatakan bahwa yang mereka ajukan itu tertutup berdasarkan performance based,
dengan disertai semua naskah tinjauan dan tentunya mereka bertanggung jawab
dengan keputusan itu. Di luar negeri memang ternyata lebih banyak yang memakai
yang tertutup, tentu dengan berbagai alasan dan peraturan yang berlaku di sana.
Ini menarik, karena dalam berkali-kali rapat mengenai perizinan tower ini, kami harus
menemukan cara untuk menelaah dan menerima apa yang di luar preskripsi. Bukan
teman-teman praktisi karena terpecah-pecah dan
mereka keteteran dalam mengikutinya.
karena mereka konsultan dari luar negeri, namun karena dari semua telaahtelaah mereka, kita juga melihat apa yang mereka ajukan, walau berbeda dengan
peraturan yang ada di sini, memang berdasarkan pengalaman lapangan mereka.
Karena itu namanya performance based. Jadi kami juga mau tidak mau, tidak
menemukan alasan untuk menolak apa yang mereka ajukan. Juga harus diakui,
peraturan mengenai lantai pelepasan kita tidak selengkap mereka, jadi ketika
mereka mengajukan desain diluar preskripsi dengan performance based, kita
harus menerima. Kalau kondisinya kita sudah punya peraturannya, preskripsinya,
maka kita bisa menguji apa yang mereka ajukan. Tapi karena kita tidak lengkap
peraturannya, maka kita harus menerima apa yang mereka ajukan. Hal ini juga
yang terjadi pada Signature Tower yang punya 111 lantai. Dari kedua contoh
ini kita melihat bahwa ketika bangunan telah lebih dari 40 lantai, mau tidak
mau, kita harus punya perhatian khusus terhadap peraturan kebakaran untuk
bangunan gedung dan peraturan kebakaran lainnya.
RED: Selain peraturan tentang kebakaran, ada agenda lainkah yang
sedang intens dilakukan oleh Bidang Regulasi IAI Jakarta?
MI: Kita juga sedang intens berdiskusi tentang peraturan tentang tata bangunan.
Kita tahu jakarta menghadapi masalah tata ruang yang serius. Namun ini masih
jauh perjalanannya karena menyangkut banyak sekali pihak. Namun itu tetap
menjadi agenda utama kita, selain peraturan tentang kebakaran, dan satu lagi
ternyata, peraturan tentang perumahan.
Ini juga agenda yang penting karena perumahan di Jakarta saat ini didominasi
oleh perumahan vertikal, namun kebiasaan bermukim masyarakat kita belum
siap. Ada banyak aspek yang terkait disini, misalnya aspek sosiocultural, bagaimana
menyiapkan masyarakat yang biasanya tinggal di landed house untuk bisa tinggal
di vertical housing. Peletakan kamar mandi di pinggir agar tidak dipakai cuci
jemur, meter-meter listri yang harus di taruh di luar, tangga kebakaran yang
terbuka agar tidak menjadi lokasi kejahatan, dan lain-lain.
Ini juga menyangkut aspek ekonomi. Secara standar, hall sirkulasi itu lebarnya 1.8m,
namun di konteks Indonesia ini terlalu lebar. Kalau terlalu lebar, jadinya rawan
untuk dipergunakan untuk hal-hal yang tidak semestinya. Misalnya dijadikan
teras, dijadikan penumpukan barang-barang, yang akhirnya mengganggu fungsi
utamanya sebagai jalur sirkulasi. Belum lagi bicara pemborosan. Lebar ekstra
itu bila dikalikan panjang, jadinya berbicara pemborosan ruang yang luar biasa.
Bayangkan biaya yang ditanggung pemerintah untuk ruang ekstra yang akhirnya
tidak efektif itu. Di bulan Januari 2017, kami akan mengadakan dialog terbuka
menyangkut akses eksit dan pada bulan Maret 2017 akan mengadakan dialog
terbuka tentang perumahan. Kami mengundang rekan-rekan praktisi untuk ikut
ambil bagian dan membantu kita mengusulkan materi peraturan yang tepat guna
ke pemerintah daerah kita kedepannya.
halaman 74
halaman 75
Hantu Pruitt-Igoe
Ketika persoalan relokasi warga kembali marak dibicarakan,
saya adalah salah satu orang yang mungkin terlalu cepat mengambil
kesimpulan. Mengacu pada ingatan masa kuliah tentang PruittIgoe di Amerika, saya merasa bahwa relokasi kaum miskin kota ke
apartemen adalah solusi instan — bahkan bukan solusi sama sekali
— untuk permasalahan perumahan di kota-kota besar. Buat arsitek
seperti saya, apa yang terjadi di Pruitt-Igoe menyedihkan sekaligus
membingungkan. Dia menyedihkan karena, menurut saya, itu adalah
tragedi arsitektur terburuk kedua setelah runtuhnya Menara Babel.
Keduanya sama-sama mewakili ambisi besar manusia, satu ingin jadi
pencakar langit pertama, satu lagi ingin jadi kompleks apartemen
terbesar — dan dua-duanya gagal. Dan dia membingungkan
karena Pruitt-Igoe di masanya dipuji-puji setinggi langit. Film The
Pruitt-Igoe Myth membuat saya menyadari bahwa kasus ini begitu
kompleks.
Cepi Sabre
Artikel
berikut
merupakan
pengemasan ulang dari catatan
penulis pasca pemutaran dan
diskusi publik film dokumenter
“The Pruitt-Igoe Myth” (2012)
di Kafe Pustaka – Universitas
Negeri Malang (13/6) bersama
Prof. Djoko Saryono M.Pd, Dr.
Mundi Rahayu M.Hum, dengan
moderator Robbani Amal Romis.
Pemutaran
diselenggarakan
atas kerjasama Rumah Inspirasi
Malang,
Malabar,
Save
Hutan
Kreativa,
Kota
IUPS,
Kafe Pustaka – UM, Selamat
Pagi Creative, dan ASF-ID.
Bagi saya, ada tiga pertanyaan yang mengemuka. Satu,
apakah dia adalah contoh dari kegagalan arsitek dan arsitektur? Dua,
apakah dia adalah kesalahan pemerintah kota dalam mengambil
kebijakan publik? Dan tiga, apakah dia justru menunjukkan bahwa
ada yang salah dalam masyarakat kita? Ketika orang dikumpulkan
dalam jumlah yang begitu besar — 2870 unit apartemen — efeknya
ternyata bisa begitu merusak!
Namun karena saya arsitek, maka saya cuma akan membicarakan
yang pertama saja.
Bagi banyak orang, sumber kegagalan Pruitt-Igoe dari
sudut pandang arsitektur — yang sayangnya tidak diperlihatkan di
film — adalah sistem sirkulasinya. Pruitt-Igoe menggunakan sistem
transportasi vertikal yang disebut skip stop elevator, artinya lift di
unit bangunan itu tidak berhenti di setiap lantai. Dari 11 lantai
yang ada, lift-nya hanya akan berhenti di lantai 1, 4, 7, dan 10, yang
difungsikan sebagai ruang komunal, laundry, dan shaft sampah.
Ini sebenarnya mirip dengan sistem di halte-halte dalam sistem
transportasi biasa, hanya saja dia vertikal. Tujuannya sederhana:
supaya orang tetap punya waktu untuk bertemu dengan orang lain,
untuk menjadi manusia yang tidak individualis, saling berbagi,
minimal berbagi ruang di tangga dan di lantai-lantai jangkar itu.
Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, justru di
lantai-lantai bersama inilah sering terjadi kejahatan; mulai dari
perampokan, pemerkosaan, sampai peredaran narkoba. Pada kasus
Pruitt-Igoe, lampu-lampu dirusak, sampah — karena tidak cepat
ditangani pengelola gedung — dibakar di tempat, alih-alih dibuang
lewat shaft¬-nya, lantai itu dipenuhi asap dan membuat pandangan
semakin buruk. Lalu, “Bum!” Kejahatan terjadi bukan hanya karena
ada niat, tapi juga karena ada kesempatan.
Lalu semua diperburuk oleh masalah-masalah pemeliharaan; pipapipa bocor, pemanas ruangan tidak berfungsi di musim dingin, termasuk
tingginya angka kriminalitas. Polisi pun enggan masuk ke kawasan itu karena
dilempari bahkan ditembaki dari atas. Bayangkan saja 33 bangunan 11 lantai
dalam satu lokasi, cuma Maddog atau Robocop saja yang berani masuk ke
sana. Dan akhirnya, seperti kutipan dari Charles Jencks, “Arsitektur modern
sudah mati di St. Louis pada tanggal 15 Juli 1972 sekitar jam 3.30,” mengacu
pada tanggal mulai diledakkannya kompleks superblok Pruitt-Igoe.
Masalah-masalah Arsitektural dan Non Arsitektural
dalam Kasus Pruitt-Igoe
Pruitt-Igoe bukan satu-satunya superblok yang pernah dibangun, walau —
sepanjang yang saya tahu— dia adalah satu-satunya komplek apartemen
yang gagal secara fungsional. Dan karena skala kegagalannya yang begitu
mengerikan, bahkan arsiteknya, Minoru Yamasaki, pernah berkata, “Saya
tidak pernah mengira kalau manusia bisa begitu merusak.”
Superblok ini sempat menjadi tren solusi untuk masalah perumahan di
kota-kota besar. Di Berlin dibangun Horseshoes Estate (1925), Unite
d’Habitation di Marseille (1952), bahkan di Fujian, Cina, ada bangunan
yang disebut Fujian Tulou yang sudah dibangun dan dihuni sejak tahun
1300-an. Di St. Louis sendiri, selain Pruitt-Igoe, Yamasaki juga membangun
apartemen Cochran Garden yang bertahan sampai tahun 2006. Kompleks
apartemen ini dirubuhkan pada tahun 2008, untuk alasan finansial (tax
mismanagement).
Banyak yang ragu apakah sistem sirkulasi vertikal skip stop elevator
tadi adalah satu-satunya penyebab terjadinya kegagalan fungsi apartemen
ini. Jane Jacob, salah satu kritikus arsitektur modern menyebutkan bahwa
warga di Pruitt-Igoe mengalami dehumanisasi karena mereka dipaksa untuk
mengingkari individualismenya. Selama ini kita merasa bahwa menjadi
individualis adalah buruk, tapi ketika orang dipaksa untuk menjadi komunal,
hasilnya bisa jadi di luar dugaan. Namun sistem ini sebenarnya juga bukan
hal yang baru. Le Corbusier menerapkannya di apartemen rancangannya,
Unite d’Habitation. Lantai-lantai yang secara ekonomis bernilai tinggi justru
dijadikan ruang publik, dan seperti sudah saya sebut tadi, tetap baik-baik
saja.
Kritik lain ditujukan untuk Arsitektur Modern yang cenderung
simplisistis. Di bawah jargon-jargon seperti form follows function, less is
more, dan ornament is a crime, tampilan arsitektur modern memang terlihat
sederhana dan membosankan. Bayangkan Anda berada di sebuah lokasi yang
luasnya kurang lebih 23 hektar dengan 33 bangunan setinggi 11 lantai, dan
semuanya nyaris serupa. Tidak bisa tidak Anda akan merasa seperti butiran
debu; Anda akan terjatuh dan tak bisa bangkit lagi, tenggelam, tersesat dan
tak tahu arah jalan pulang. Dan ini dicurigai memicu timbulnya perasaan
tidak nyaman yang berujung pada terjadinya kejahatan, walaupun tuduhan
ini masih harus dibuktikan lebih lanjut.
Apa pentingnya arsitek berteori?
Arsitek, mulai memikirkan banyak
hal, bahkan hal-hal yang berada di luar
dirinya sendiri, salah satunya adalah
masalah-masalah sosial.
halaman 76
halaman 77
Kasus Pruitt-Igoe dan Keprofesian Arsitek
“Arsitek seperti anak
“Pruitt-Igoe bukan
Pertama kita harus meluruskan duduk perkaranya.
Alasan utama pembangunan Pruitt-Igoe bukanlah untuk
menyelesaikan permasalahan pemukiman kumuh dan
menolong kaum miskin kota agar bisa tinggal di tempat
yang lebih layak. Saya tidak ingat pernah mendengar ada
pemerintah yang begitu baik pada warganya, terutama
warga miskin. Di tahun 1940-an St. Louis memang
padat dan menumbuhsuburkan kawasan kumuh di sisi
utara dan selatannya. Namun hal lainnya adalah, adanya
jumlah signifikan, yaitu sekitar 30% dari kelompok
kelas menengah atas, yang keluar dari kota ini. Jadi hal
pertama yang pemerintah kota pikirkan untuk untuk
menyelamatkan kotanya adalah menemukan cara supaya
orang-orang tidak terus eksodus. Ada dua alternatif yang
dipikirkan waktu itu. Satu, membangun pusat kota,
membuatnya sedemikian menarik sehingga orang betah
tinggal di dalamnya, atau, dua, menyerang langsung
sumber penyakitnya, yaitu kawasan kumuh.
kecil yang diberi
satu-satunya superblok
mainan baru. Mereka
yang pernah dibangun,
nyaris bisa mem-
walau — sepanjang yang
buat apa saja, den-
saya tahu— dia adalah
gan besar dan tinggi
satu-satunya komplek
seberapa saja, dan
apartemen yang gagal
sebanyak apa saja.
secara fungsional. Dan
Cepat, tepat, massal.
karena skala kegagalannya
Atau dalam satu kata:
yang begitu mengerikan,
mesin. Disadari atau
bahkan arsiteknya, Minoru
tidak, arsitektur telah
Yamasaki, pernah berkata,
berubah menjadi
‘Saya tidak pernah mengira
mesin.”
kalau manusia bisa begitu
Kasus Pruitt-Igoe menjadi kasus menarik bagi
keprofesian arsitek. Profesi arsitek sendiri mengalami
evolusi. Sejak masa revolusi humanis di masa renaisans,
arsitek yang dulunya adalah tukang-tukang anonim
berubah menjadi profesi yang formal dan mandiri. Dan
evolusi ini menemukan bentuknya dan mulai mantap
pada masa Revolusi Prancis. Tumbangnya raja-raja dan
bangkrutnya para tuan tanah juga mengubah klien yang
dilayani oleh para arsitek. Sekarang mereka melayani
orang-orang kaya baru. Repotnya, orang-orang kaya baru
ini tidak punya kepedulian yang mendalam terhadap ilmu
pengetahuan dan seni. Berbeda dengan raja-raja atau tuan
tanah yang dikelilingi ilmuwan, penyair, seniman, juga
arsitek. Di titik ini, arsitek kemudian perlu pembenaran
moral, butuh argumentasi atas desain-desainnya, maka
di sinilah arsitek mulai berteori. Hal yang tidak pernah
dilakukan ketika mereka masih menjadi tukang-tukang
anonim. Dan di antara orang-orang kaya baru ini,
pemerintah termasuk di dalamnya.
merusak.’”
Apa pentingnya arsitek berteori?
Arsitek, mulai memikirkan banyak hal, bahkan
hal-hal yang berada di luar dirinya sendiri, salah satunya
adalah masalah-masalah sosial. Perlu diketahui juga bahwa
di masa itu, antara tahun 1920-1960-an, arsitektur diisi
oleh arsitek-arsitek yang bisa dianggap sebagai nabinya
dunia arsitektur. Le Corbusier contohnya, percaya bahwa
arsitektur bisa mencegah terjadinya revolusi yang berbasis
pertarungan kelas. Dia mengatakan, “Arsitektur atau
revolusi!” Sebegitu pede-nya arsitek di jaman itu, CIAM,
organisasi arsitek modern dunia, bahkan berani menyebut
bahwa “arsitektur adalah seni sosial.” Saya kemudian
diingatkan pada Romo Mangun yang di tahun 1980-an
pernah berkata bahwa arsitektur seharusnya dimasukkan
ke dalam ilmu sosial. Apa yang terjadi di Pruitt-Igoe,
menurut saya, adalah eksperimen sosial yang sedang
dilakukan oleh arsiteknya.
Saya akan berhati-hati untuk menyematkan kata
‘gagal’ dalam kasus ini. Pruitt Igoe mungkin gagal, tapi
metodenya, nanti dulu. Saya percaya bahwa setiap karya
arsitektur membawa semangat jamannya. Di jaman itu,
seperti tadi sudah saya katakan, blok-blok masif apartemen
sedang menjadi tren. Ini adalah buah dari revolusi industri,
penemuan baja dan lembaran kaca yang lebih besar. Arsitek
seperti anak kecil yang diberi mainan baru. Mereka nyaris
bisa membuat apa saja, dengan besar dan tinggi seberapa
saja, dan sebanyak apa saja. Cepat, tepat, massal. Atau
dalam satu kata: mesin. Disadari atau tidak, arsitektur
telah berubah menjadi mesin.
Saya kira yang terjadi di Indonesia adalah efek
dari developmentalisme di masa lalu. Jangankan tata kota,
bahkan makanan pun, orang se-Indonesia Raya dipaksa
untuk makan nasi semua. Kita sering berlaku seperti
dukun ketimbang dokter. Dokter, memerlukan sekolah
yang lama, lalu harus melalui serangkaian prosedur dalam
menemukan masalah dan menentukan solusinya. Dukun
tidak. Mereka menyebarkan selebaran di lampu merah,
menyebut sudah menemukan satu obat untuk semua
penyakit, dari kadas sampai kencing manis, dari korengan
sampai jantung koroner. Masalah yang kita lihat di kotakota di seluruh Indonesia, walaupun sekilas sama, tapi
sebenarnya cuma gejala saja. Penyebabnya bisa lain, cara
mengobatinyapun pasti berbeda. Yang perlu kita lakukan
sebagai arsitek, saya rasa, adalah menjadi dokter, bukan
dukun.
halaman 78
halaman 79
halaman 80
halaman 81
halaman 82
halaman 83
halaman 84
halaman 85
Martin Suryajaya
Tantangan Arsitektur
Partisipatoris
Pada akhir tahun 2015 dan awal 2016, sekelompok arsitek muda
yang tergabung dalam Architecture Sans Frontières Indonesia
(ASF-ID) melakukan pendampingan arsitektur pada masyarakat
Kampung Tongkol di tepi kali Ciliwung, Jakarta. Inisiatif datang
dari warga. Posisi kampung yang terletak di tepi kali Ciliwung
sekaligus membelakangi tembok benteng Belanda yang merupakan
situs cagar budaya membuat Kampung Tongkol rentan menjadi
target penggusuran. Mengantisipasi ancaman penggusuran inilah
seorang tokoh penggerak masyarakat setempat yang akrab dipanggil
Mas Gugun mengundang kawan-kawan ASF-ID untuk melakukan
uji-coba penataan-ulang ruang hidup yang melibatkan warga.
Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa pemukiman urban
di tepi kali (dan berdampingan dengan situs cagar budaya) dapat
tumbuh dalam koeksistensi yang saling-menunjang dengan keadaan
sekeliling dan, dengan demikian, menjadi lenyaplah rationale bagi
penggusuran terhadapnya.
Demikianlah, akhirnya terjadi kerja bersama membangun rumah
contoh di Kampung Tongkol yang konstruksinya selesai pada
bulan Januari 2016. Dengan dana talangan yang berhasil dihimpun
oleh Architect Coalition for Housing Right (ACHR) sebesar 160
juta rupiah, warga kampung berhasil membangun ulang sebuah
rumah yang dihuni tujuh keluarga. Rumah contoh ini dirancang
menjadi tiga lantai dengan dua lantai pertama dikonsepkan sebagai
ruang hunian yang disekat-sekat, sedangkan lantai ketiga sedianya
dimaksudkan sebagai ruang bersama.
***
Saya sendiri tidak mendalami kajian arsitektur. Namun berkat
diskusi dengan kawan-kawan ASF-ID dan forum Rembuk!, saya
beroleh gambaran tentang apa yang menjadi isu-isu penting dalam
arsitektur kontemporer. Salah satunya ialah peran dan posisi
arsitek dalam membidani lahirnya perubahan sosial melalui kerja
arsitektural. Profesi arsitek dan seni arsitektur itu sendiri dengan
mudah dikooptasi oleh kepentingan industri yang hanya memperalat
keindahan sekaligus mengerdilkan gagasan keindahan itu sendiri
demi mendulang laba sebesar-besarnya. Masalah perubahan sosial
dianggap bukan urusan arsitek. Arsitektur partisipatoris merupakan
salah satu jawaban terhadap permasalahan tersebut.
Gagasan kunci arsitektur partisipatoris adalah bahwa seluruh
halaman 86
halaman 87
kekuasaan penentu keputusan arsitektural berada di tangan warga.
Persoalannya kemudian: siapakah yang dimaksud dengan “warga”?
Baiklah kita coba artikan warga sebagai pihak yang berkepentingan
terhadap konstruksi arsitektural yang akan dihasilkan lewat campurtangan arsitek. Pengertian ini tentunya meliputi juga klien bermodal
besar dalam praktik arsitektur konvensional. Dalam kerja-kerja arsitektur
konvensional seperti membangun hunian mewah atau mall, bukankah
arsitek kerapkali juga mesti menurut pada selera klien yang memegang
kendali atas modal? Tidakkah visi pengembang macam Agung Podomoro
Group atau Agung Sedayu Group ikut menentukan apa yang dirancang
arsitek-upahan mereka? Dalam pembangunan piramida di Mesir Kuno,
tidakkah keputusan Firaun ikut menentukan kerja para juru-bangun
yang mengawasi para pekerja? Dengan kata lain, tidakkah sang klien
bermodal besar atau sang penguasa itu ikut berpartisipasi dalam kerja
arsitektural? Apakah itu yang dimaksud arsitektur partisipatoris? Kalau
ya, maka bukankah setiap kerja arsitektural—dan seni arsitektur itu
sendiri—secara inheren sudah berciri partisipatoris? Dan sudah jelas—
dari visi Agung Podomoro Group ataupun Firaun—bahwa hal itu sama
sekali tak berhubungan dengan cita-cita perubahan sosial. Apakah itu
berarti tak ada hubungan yang niscaya antara partisipasi dan perubahan
sosial dalam praktik arsitektur partisipatoris?
Dihadapkan pada persoalan ini, kita dipaksa untuk memeriksa kembali
konsep “warga”. Mau tidak mau, konsep “warga” dalam arsitektur
partisipatoris bukanlah konsep yang netral secara ekonomi-politik. Sebab
kalau kita mengartikan “warga” sebagai siapa saja yang berkepentingan
terhadap proyek arsitektural, yang kepadanya sang arsitek bekerja,
maka gagasan tentang arsitektur partisipatoris itu sendiri akan menjadi
sebanal arsitektur konvensional. Karena itu, kita mesti mengakui bahwa
konsep “warga” dalam arsitektur partisipatoris itu dicirikan oleh struktur
ekonomi-politik masyarakat. “Warga” mesti diposisikan sebagai kaum
marginal, kaum yang tertindas oleh tata ekonomi-politik yang berlaku.
“Warga”, dengan kata lain, mesti dipandang sebagai kategori politik.
Tanpa pengertian itu, kita akan kembali pada business as usual. Dengan
demikian, nampak bahwa arsitektur partisipatoris tak mungkin ingkar
pada dimensi politisnya sendiri, bahwa kerja arsitektur partisipatoris
adalah suatu kerja politik.
Persoalan kemudian muncul. Kalau ciri politis dalam arsitektur
partisipatoris menuntut peran aktif sang arsitek dalam menyulut
kesadaran politik dalam benak warga, tidakkah ini bertentangan dengan
ciri partisipatoris dalam arsitektur partisipatoris yang meniscayakan
sentralnya peran warga sebagai pengambil keputusan arsitektural
utama, yang menempatkan warga sebagai pusat gravitasi seluruh kerja
arsitektural?
***
Gagasan kunci arsitektur partisipatoris adalah bahwa seluruh
kekuasaan penentu keputusan arsitektural berada di tangan warga.
Warga dalam konsepsi arsitektur partisipatoris adalah pusat kebenaran. Namun arsitek
yang setia pada visi arsitektur partisipatoris, harusnya setia pada visi politik-nya, didorong
oleh kewajiban untuk membantu membuka jalan menuju perubahan sosial yang
sesungguhnya, yang barangkali belum disadari warga—jalan menuju perubahan sosial
yang sebenarnya. Dengan demikian, kita berhadapan pada dua kebenaran: kebenaran
warga dan kebenaran arsitek. Di atas kertas, dalam permenungan intelektual, keduanya
dengan mudah dapat disatukan: idealnya, warga dan arsitek tinggal berdialog saja maka
akan tercapai kesatuan kebenaran. Namun di lapangan persoalannya sama sekali tidak
sederhana. Tidak ada kondisi ideal di sana.
Problem ini juga nampak dalam kerja arsitektural yang didukung ASF-ID di Kampung
Tongkol. Kamil bercerita, beberapa bulan setelah rumah contoh selesai dibangun, ia
kembali berkunjung ke sana dan mendapati fakta bahwa common room yang diciptakan
di lantai 3 ternyata sudah ditempati oleh satu keluarga baru dan ruang yang tersisa
digunakan sebagai gudang. Kenyataan ini bukannya tak berkaitan dengan keyakinan
kukuh warga sejak awal bahwa rumah yang akan dibangun harus distruktur oleh sekatsekat yang akan menandai teritori milik masing-masing keluarga. Artinya, terdapat
tendensi untuk mengorbankan pengorganisasian kolektif atas ruang demi kepemilikan
privat atas ruang. Warga memang bukan malaikat (dan memang tidak seharusnya
dipandang sebagai malaikat). Cara mereka berpikir dan bertindak dikondisikan oleh
lingkungan sekitarnya dan struktur ekonomi-politik yang melatarinya, dalam hal ini
lingkungan kebudayaan urban dan tata ekonomi kaum miskin kota Jakarta. Dalam
suasana ini, wajar bila warga cenderung bersikap individualistik—itu sudah bagian dari
metode mereka untuk bertahan hidup selama ini di perkampungan kumuh perkotaan
yang keras.
Apa yang bisa disimpulkan dari sini? Menurut saya, itu menunjukkan adanyakontradiksi
yang belum terpecahkan di ranah hubungan sosial. Membangun hunian baru yang lebih
baik tidak serta-merta mengubah hubungan sosial menjadi lebih baik. Itu adalah dua
jenis kerja yang berbeda, sekalipun terkait. Kaum miskin di tiap-tiap perkampungan
kumuh kota besar tidak akan bertahan tanpa bersatu sebagai entitas kolektif. Berjuang
sendiri-sendiri, dengan mengandalkan tenaga seorang diri atau satu keluarga saja,
akan membuat mereka digulung oleh kenyataan ekonomi-politik urban. Masalahnya,
kenyataan kebudayaan urban pula yang mendorong mereka ke arah individualisme,
mencerabut mereka dari satu-satunya sarana untuk bertahan hidup. Ke manapun mereka
menoleh, mereka melihat individu dengan barang miliknya sendiri. Ideologi inilah yang
mendorong mereka untuk mempertahankan tanah sejengkal milik mereka sendiri, kalau
perlu dengan cara baku-tikam dengan tetangganya.
Pertanyaannya buat sang arsitek partisipatoris: mesti bagaimana menghadapi warga
semacam ini? Sang arsitek tahu bahwa mereka tidak akan selamat kalau terus
mengekalkan kepentingan diri sendiri masing-masing. Sang arsitek tahu bahwa mereka
hanya bisa selamat kalau mereka memupuk kesadaran kolektif dan kultur gotong-royong.
Namun apa yang mesti dilakukan bila ternyata warga sendiri memilih membuang
halaman 88
halaman 89
ruang-ruang kolektif demi mengamankan ruang privatnya sendiri dan dengan begitu,
tanpa mereka sadari, pelan-pelan melenyapkan satu-satunya syarat keberadaan mereka
sendiri? Haruskah sang arsitek, dengan tanggung-jawab politiknya pada visi arsitektur
partisipatoris, mengintervensi warga dan menunjukkan jalan ke arah pengorganisasian
ruang kolektif baru? Ataukah sang arsitek hanya bisa menyerahkan masalahnya pada
mereka dengan anggapan bahwa toh bangunan sudah selesai, kerja arsitek sudah selesai?
Haruskah sang arsitek partisipatoris menenangkan-diri dengan mengulang-ulang dalam
hatinya “reorganisasi hubungan sosial bukan urusan arsitek”? Tapi bukankah masyarakat
adalah seperti juga suatu bangunan—sesuatu yang hidup bersama—dan sang arsitek
partisipatoris yang bertanggung-jawab mesti juga menjadi seorang “arsitek masyarakat”?
Sederhananya, pertanyaan pokok sang arsitek partisipatoris adalah ini: mestikah arsitek
mengintervensi warga apabila dipandangnya ada gelagat ke arah yang kontra-produktif
terhadap cita-cita jangka panjang partisipasi itu sendiri? Namun pertanyaan tersebut
merupakan muara dari suatu pertanyaan purba.
Di sini kita sebetulnya berhadapan dengan sebuah teka-teki tua dalam sejarah pemikiran
politik. Teka-teki itu dapat dirumuskan dalam sebaris pertanyaan: dapatkah rakyat
keliru? Pertanyaan ini serupa sungai bawah tanah yang menghubungkan berbagai benua
pemikiran politik sepanjang zaman, mulai dari fasisme, liberalisme, sosialisme hingga
anarkisme. Dan tak hanya pemikiran politik, tetapi juga semua pemikiran yang beririsan
dengan problem politik (termasuk pemikiran seni-budaya, yang di dalamnya terdapat
pula arsitektur) dilatari oleh pertanyaan purba itu. Postulat demokratik mewajibkan
kita mengukur benar-salahnya suatu tindakan politik dengan menjadikan kepentingan
rakyat sebagai mistarnya kebenaran politik. Suatu tindakan politik adalah keliru apabila
itu bertentangan dengan kepentingan rakyat dan benar apabila bersesuaian dengannya.
Namun pertanyaan purba kita lebih tricky. Sungguhkah rakyat selalu benar sehingga bisa
dijadikan acuan dalam mengukur segala fenomena politik? Jangan-jangan mistar kita salah
dan butuh dikalibrasi ulang?
Di sini kita perlu teliti membedakan apa yang disebut “suara rakyat” dan “kepentingan
rakyat”. Kebenaran politik diukur dari keseuaian dengan “kepentingan rakyat”, dan itu
tidak sama dengan “suara rakyat”. Rakyat bisa saja bersuara lantang mendukung fasisme.
Tapi apakah itu sesuai dengan kepentingannya sebagai rakyat? Tentu tidak, sebab fasisme
justru menghancurkan kepentingan rakyat dan menggantikannya dengan kepentingan
sang pemimpin. Namun, apabila memang ada gap antara “suara rakyat” dan “kepentingan
rakyat” sehingga “kepentingan rakyat” bisa saja diamankan oleh seorang atau sekelompok
orang yang menahkodai bahtera politik sekalipun itu bertentangan dengan “suara rakyat”,
tidakkah ini membatalkan semangat dasar demokrasi itu sendiri, yakni bahwa rakyat lah
yang seharusnya mengatur dirinya sendiri. Kalau begitu, apakah demokrasi adalah gagasan
yang kontradiktif?
Apabila mau dirumuskan secara ringkas, persoalan kita adalah tegangan antara partisipasi
dan kompetensi. Semua pemikir anti-demokrasi di sepanjang zaman selalu memobilisir
argumen soal kompetensi untuk mencampakkan klaim partisipasi. Pertanyaan pokok
mereka: kompetenkah rakyat dalam mengetahui kepentingannya sendiri sehingga dapat
mengatur dirinya sendiri? Sebaliknya, semua pemikir pro-demokrasi di seluruh sejarah
selalu mengedepankan partisipasi di atas kompetensi. Pertanyaan pokok mereka: adilkah
tatanan politik di mana partisipasi seluruh rakyat digantikan dengan klaim kompetensi
segelintir elit dalam menerawang rahasia kepentingan rakyat dan memimpin tatanan
politik berdasarkan terawangan itu?
Tapi apa hubungan ini semua dengan arsitektur partisipatoris? Gantilah istilah “rakyat”
dalam beberapa paragraf di atas dengan istilah “warga” dan kita akan temui bahwa
dilema kaum demokrat adalah juga dilema sang arsitek partisipatoris. Ini, bagi saya,
adalah tantangan terbesar arsitektur partisipatoris pada tataran konseptual. Para arsitek
partisipatoris mesti berpikir keras mengenai masalah-masalah partisipasi versus kompetensi,
suara warga versus kepentingan warga dan semacamnya karena masalah-masalah itu pasti
mereka hadapi di lapangan dalam berbagai manifestasinya.
Di Bawah Bayang-Bayang Negara
Ada satu catatan lagi berkenaan dengan tantangan arsitek partisipatoris. Sering kita
dengar keluhan atau rerasan di antara arsitek partisipatoris, demikian pula di kalangan
perupa partisipatoris, bahwa praktik-praktik partisipatoris seperti timbul-tenggelam dan
tak pernah berhasil mengkonsolidasikan kekuatan ke dalam skala yang lebih massif. Di
seni rupa, misalnya, praktik seni partisipatoris sudah muncul pada tahun 1980-an oleh
Moelyono tanpa perbesaran skala yang berarti sampai kemudian muncul bentuk baru seni
partisipatoris sekitar 20 tahun kemudian oleh Jatiwangi art Factory. Ada kesan bahwa
praktik-praktik partisipatoris dalam seni dan arsitektur hanya terjadi dalam skala kecilkecilan dan sporadis. Padahal masing-masing praktisinya punya mimpi tentang perubahan
sosial yang tentu saja melibatkan banyak variabel dan mau tak mau mesti berurusan
setidaknya dengan pengaruh di tingkat nasional. Mengapa demikian?
Saya menduga akar persoalannya ada pada pendekatan yang dianut para praktisinya. Seni
partisipatoris era 1980-an berkembang dalam lingkup pengaruh gerakan masyarakat sipil
dan LSM yang ketika itu sedang gandrung pada visi “small is beautiful”. Ada semacam
prasangka yang bersumber pada “hati nurani”. Misalnya kecemasan bahwa pembangunan
skala makro akan melenyapkan ketahanan komunitas lokal yang otonom, ketakutan
bahwa segala bentuk akumulasi akan membuat manusia jadi serakah, kekhawatiran bahwa
pengorganisasian secara massif akan membawa birokratisasi dan alienasi.Sehingga muncul
persepsi bahwa lebih baik membuat gerakan mikro di tingkat akar rumput, kecil-kecil,
yang berorientasi pada subsistensi komunitas dan otonomi dari pengaruh kekuasaan. Biar
kecil asal sesuai hati nurani—boleh jadi asumsi advokasi macam inilah yang membuat
praktik seni partisipatoris tidak bisa berekskalasi hingga ke level nasional.
halaman 90
halaman 91
Namun sejarah menunjukkan: kapitalisme tidak bisa dilawan dengan
berkebun di rumah sendiri, otoritarianisme tidak bisa ditumbangkan
dengan olah raga dan imperialisme tidak bisa dihancurkan dengan
ngopi-ngopi terpelajar. Kecil adalah kecil.
Praktik seni partisipatoris, termasuk juga arsitektur partisipatoris,
rasanya perlu memeriksa kembali asumsi-asumsi dasarnya sendiri.
Adakah kita terjebak dalam romantisasi gerakan kecil dan otonom?
Adakah kita selama ini hanyut dalam nina-bobo hati nurani? Salah satu
kisah pengantar tidur paling populer di kalangan aktivis sedap malam
sampai sekarang adalah cerita hantu tentang negara. Konon, negara
itu seperti makhluk raksasa angker dari dasar samudra dengan kepala
menyerupai gurita dan punggung ditumbuhi sayap naga. Seperti
Cthulhu dalam dongeng Lovecraft, negara merupakan personifikasi
dari kedurjanaan paripurna. Cara kita memandang negara seperti ini,
dalam banyak hal, memang dibenarkan oleh praktik negara Orde Baru
yang sejak lahirnya ditandai dengan pembantaian dan penyiksaan
jutaan orang. Dari pengalaman 32 tahun itulah kita mewarisi sikap
berjarak tiap kali nama “negara” disebut. Untuk sebagian kasus,
memang benar bahwa praktik negara yang represif itu masih berlanjut
hingga kini. Inilah yang membuat para praktisi seni partisipatoris
kukuh memposisikan di luar negara dan, sebagai akibatnya, cenderung
kembali merayakan toko kelontong pencerahannya sendiri.
Kita mesti mengubah sikap mental semacam itu. Mesti disadari
bahwa tumbangnya Orde Baru juga membuka lapangan intervensi
politik yang baru. Negara pasca-Orde Baru semestinya tidak lagi
dilihat sebagai bangunan monolitik tempat bersemayamnya rohroh jahat, tetapi sebagai situs kontestasi antar berbagai kelompok
yang selalu dapat berubah wataknya seturut pasang-surut kekuatan
kelompok-kelompok yang bertarung di sana. Tentu ada risiko kita
terombang-ambing oleh apa yang dewasa ini sering disebut-sebut
sebagai “pertarungan antar faksi elit oligarkis”. Hal itu wajar saja
dan pembelajaran politik muncul dari situ. Artinya, para praktisi
arsitektur partisipatoris menjajaki kemungkinan melibatkan negara
dan organisasi keprofesian kalau memang mencita-citakan perluasan
gerak yang signifikan. Contoh yang bisa saya berikan adalah apa yang
dikerjakan oleh kolektif seniman di Jatiwangi art Factory. Dalam
menggelar kerja seni partisipatorisnya, mereka dapat melibatkan satu
desa (rekor skala terbesar praktik seni partisipatoris di Indonesia setahu
saya) karena membangun hubungan dekat dengan kepala desa dan
aparatur desa. Mereka melibatkan tentara, polisi dan sekolah-sekolah
untuk menggelar Festival Musik Tanah Liat. Mereka tidak jijik pada
aparatus ideologis dan aparatus represif negara yang diteorikan Louis
Althusser. Mereka meninggalkan “prasangka kelas menengah” mereka
tentang Negara dan berpikir konkrit untuk membesarkan keterlibatan
warga. Ini contoh yang bagus.
Saya tidak punya ilusi bahwa negara dan para aktivis seni partisipatoris
akan berjalan berdampingan secara harmonis menuju hari esok
yang cerah. Dalam momen-momen tertentu, pada isu-isu tertentu,
kita memang perlu menyatakan sikap melawan negara. Tapi sikap
antagonistik ini tidak bisa digeneralisasi menjadi sikap umum terhadap
negara, kecuali kita mau memencilkan diri sendiri. Para aktivis seni
partisipatoris perlu melihat segala kemungkinan yang bisa digunakan
untuk memperbesar skala operasinya: bangun jejaring dengan simpul
seni partisipatoris lain, dari cabang seni lain, dengan gerakan sosial,
bekerja dengan negara sejauh ada kepentingan gerakan yang bisa
dimajukan, dan seterusnya. Dengan kata lain, bangun kekuatan terlebih
dulu. Semua ini mensyaratkan pergeseran cara pandang terhadap negara
dan politik secara keseluruhan. Dan ini memang tidak mudah. Itulah
tantangan praktis yang dihadapi arsitektur partisipatoris.
*
Bisa disimpulkan bahwa terdapat dua tantangan besar yang menghadang
gerakan arsitektur partisipatoris (dan juga seni partisipatoris) di Indonesia.
Yang pertama ialah tantangan konseptual untuk menempatkan secara
jernih hubungan antara “suara warga” dan “kepentingan warga”, antara
klaim partisipasi dan klaim kompetensi. Yang kedua ialah tantangan
praktis untuk menempatkan negara sebagai situs kontestasi antar
kepentingan bersifat cair dan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
perluasan skala gerakan arsitektur (dan seni) partisipatoris. Apabila
kedua tantangan ini berhasil dijawab, maka masa depan arsitektur dan
seni partisipatoris di Indonesia sungguh cerah.
18 November 2016
halaman 92
halaman 93
Pengetahuan kita tentang nama suatu daerah atau kawasan (disini
penulis mengambil contoh suatu kawasan destinasi wisata sudah
terkenal) pasti menimbulkan tanya, darimana nama itu berasal? Seperti
misalnya Tangkuban Perahu? Ancol? Dan seterusnya. Dalam pemberian
nama sebuah tempat tentunya memiliki sejarah yang begitu panjang,
sepanjang sejarah manusia sendiri berawal. Inilah yang dinamakan
toponimi2 , yang mungkin tidak asing lagi bagi kalangan geograf dan
linguis. Sebenarnya penamanan sebuah tempat juga sudah bermula
pada legenda3 suatu daerah. Tangkuban perahu terkait dengan tokoh
Sangkuriang yang ingin memperistri Dayang Sumbi (ibunya). Secara
sosial pr
ilaku ini dianggap menyimpang, tetapi kenyataannya
ada yang dinamakan oedipus complex (Sigmund Freud) dan dalam cerita
mitologi Yunani juga ada.
TOPONIMI:
PENAMAAN DAN PEMAKNAAN
KAWASAN UNTUK PEMBANGUNAN
Ary Sulistyo
Toponimi berasal dari bahasa Yunani, topos yang berarti tempat
dan onoma yang berarti nama. Kini toponimi diartikan sebagai
bahasan ilmiah tentang nama tempat, asal usul, arti, penggunaan,
dan tipologinya. Suatu toponimi merupakan nama dari tempat,
wilayah, atau suatu bagian lain dari permukaan bumi, termasuk
yang bersifat alami (seperti sungai) dan yang buatan (seperti kota).
Jawatan topografi Belanda, yang dibentuk akhir abad 19, diberi
nama Topografisch Dienst dibawah Departemen Van Oorlog
KNIL. Pada masa pendudukan Jepang bernama Sokuryo Kyoku
hingga pada tahun 1945. Pada mulanya pemetaan pada masa
Herman Willem Daendels (1808-1811) masih sangat terbatas, baru
sebatas Jawa dan Madura dan untuk kepentingan militer.
Gagasan mewujudkan nama-nama suatu tempat di Indonesia telah
digagas dalam “United Nations Pilot Training Course on Taponomy”
yang diselenggarakan di Indonesia dan di prakarsai oleh Bakosurtanal
pada tahun 1982 di Cisarua, Bogor. Pengetahuan taponomi ini dipicu
oleh Indonesia dengan melaporkan kepada Konferensi PBB tentang
pembakuan nama-nama geografis mengenai jumlah pulaunya (Rais,
2008: xi). Pengetahuan tentang nama suatu tempat dapat didasarkan
legenda (cerita rakyat), karakteristik suatu daerah, faktor alam dan
sejarah. Nama Jakarta adalah nama yang ke-empat berganti yang
semula Sunda Kalapa, Jayakarta, Batavia, kemudian jadi Jakarta. Nama
Cunda Kalapa identik dengan kerajaan Sunda Pajajaran yang beribukota di Pakuan dimana Cunda Kalapa adalah pelabuhan yang banyak
ditumbuhi pohon kelapa pada abad ke 11 (?). Jayakarta sendiri adalah
nama yang diberikan oleh Sultan Agung dari Kerajaan Demak pada
tahun 1524 karena telah berhasil merebut pelabuhan Sunda Kalapa
dari tangan Portugis. Jaya berarti menang, Karta berarti daerah yang
direbut kembali. Batavia diberikan oleh seorang Belanda JP Coen
setelah merebut kembali dari Sultan Agung dan diperuntukkan sebagai
kota benteng dan pelabuhan untuk menyaingi pelabuhan Banten (yang
mendominasi perdagangan lada dan kapuk). Sedangkan nama Jakarta
lebih sering diucapkan (kolokial) dari kata Jayakarta. Begitu pula
Yogyakarta berasal dari Kuthagara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat4
yang dipimpin oleh Sultan HB I (Panembahan Senopati) setelah
perjanjian Giyanti 1755 yang memisahkan Mataram Islam menjadi
dua yaitu Solo dan Yogya. Contoh lainnya adalah Kota Depok sesuai
dengan makna kata ‘depok’ yang disandangnya, depok berasal dari kata
padepokan dan padepokan berasal dari patapan yang merujuk pada
arti yang sama yaitu “tempat bertapa” atau ‘tempat pendidikan’; yang
pada intinya mencari ilmu. Demikian pula kawasan pusat perbelanjaan
Nama unsur rupabumi (topografis) yang baku akan dihimpun
dalam suatu gazetir1 , baik ditingkat pusat maupun daerah. Harus
diakui bahwa sebagian besar unsur fisik rupabumi, baik alami
maupun buatan yang tersebar di wilayah Indonesia masih belum
mempunyai nama, apalagi sampai ke tingkat pembakuan nama.
Belum banyak masyarakat mengetahui tentang pembakuan nama
tempat (toponim). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah
beberapa kali mendesak setiap Negara untuk segera melaksanakan
pembakuan nama.
Melalui Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2006, pemerintah
Indonesia telah membentuk Tim Nasional Pembakuan Nama
Rupabumi yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri. Sebagai
tindak lanjut Keputusan Presiden tersebut, Menteri Dalam
Negeri membentuk Tim Pelaksana yang dipimpin oleh Kepala
BAKORURTANAL (sekarang Badan Informasi Geospasial/BIG).
Tim inilah yang secara langsung melaksanakan tugas, mulai dari
peningkatan sumberdaya manusia sampai terbentuknya suatu
gazetir. Sejalan dengan itu, di daerah dibentuk Panitia Pembakuan
Nama Rupabumi (PPNR) tingkat provinsi dan kabupaten/kota
(Diklat Bakosurtanal, 2011).
Gazetir adalah sebuah kamus atau direktori geografi sekaligus refensi penting untuk mencari informasi tempat
dan nama tempat yang disertai peta atau atlas lengkap.
1
Rais, Jacub, et al., 2008. Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya Yang Panjang Dari Pemukiman Manusia Dan
Tertib Administrasi. Jakarta: Pradnya Paramita.
3
Legenda diartikan sebagai cerita rakyat yang tentang asal mula suatu tempat. Biasanya tokoh-tokohnya adalah
fiktif (tidak ada dalam sumber sejarah) ada pula yang ada. Secara filosofis merupakan pengejawantahan dari sifatsifat manusia atau prilaku sosial lainnya.
2
halaman 94
halaman 95
di Kota Solo yaitu Pasar klewer (yang terkenal dengan batiknya),
dahulu adalah pasar yang terkenal karena para pedagang baju batik
menjajakan dagangannya dengan menggantung (dalam bahasa Jawa
dinamakan pating klewer). Maka, tidak mengherankan dalam suatu
kawasan yang notabene adalah kawasan unik secara langsung pastinya
akan dinamakan sesuai dengan keunikannya. Penamaan dengan nama
binatang juga berlaku. Kampung Rawa Bebek, di Bekasi dahulu
dikenal warga sebagai tempat yang banyak bebeknya, tetapi kini tidak
karena telah dirubah menjadi pemukiman dan pertokoan. Nama rawa
dimungkinkan dulunya adalah daerah situ/rawa/berair.
Selain kawasan hunian, ada pula nama suatu tempat yang didasarkan
pada karakteristik bentang alam alami (natural lanscapes features) 5
suatu daerah, semisal orang daerah Pantai Kidul Yogya meyebut bukit
dengan nama gumuk (contoh gumuk pasir). Di Lampung, orangorang menyebut sungai dengan nama Way seperti Way Sekampung.
Di Sumbawa orang-orang menyebut gunung atau bukit dengan nama
Olat, seperti Olat Dodo di daerah Selatan Kabupaten Ropang, Nusa
Tenggara Barat yang kini mejadi hak konsesi tambang PT. Newmont
Nusa Tenggara. Bahkan di Puncak Jayawijaya, terdapat nama-nama
puncaknya seperti Puncak Sudirman (diambil dari nama Panglima
Sudirman), Puncak Juliana (Ratu Belanda Juliana), dan lain-lain.
Gunung Bromo yang dihuni oleh orang Tengger (baca: tenger) karena
banyak orang Hindu pasca-Majapahit (abad ke 15) yang “bertengger”
di gunung, maka dinamakan orang Tengger. Kebesaran Majapahit
juga terdapat pada nama-nama suatu daerah di Indonesia, seperti
nama daerah Mancapahi dekat daerah Luwuk, Sulawesi Selatan, yang
diperkirakan orang-orang Majapahit telah ada pada abad ke 15 M.
Daerah ini terkenal dengan logamnya.
Selain nama-nama tersebut, yang merupakan daerah dengan
karakteristik tertentu, maka sementara dapat disimpulkan bahwa
aspek toponimi menjadi nilai tambah (added value) dari suatu objek
wisata. Siapa yang menyangka bahwa durian yang berasal dari daerah
dukuh Rasuan, Kabupaten OKU (Ogan Komering Ulu), Sumatera
Selatan adalah daerah penghasil buah duku yang ter-manis seIndonesia mengalahkan duku-duku dari daerah lain. Demikian juga
pulau-pulau yang ada di Indonesia, sebagai contoh di Kepulauan
Seribu. Nama Pulau Cipir mungkin saja berasal dari banyak pohon
kecipir yang di tanam. Pulau Untung Jawa mungkin saja berasal dari
nama yang diberikan oleh orang-orang Jawa yang tinggal di pulau
Rais et al., 2008. Ibid., hlm. 87.
Lihat Budi Sulistyo, 2008. “Survei Toponim Pulau-Pulau di Indonesia,” dalam Toponimi Indonesia... Rais, et al.,
2008. Hlm. 129—149.
5
6
tersebut. Beda halnya dengan Pulau Onrust (Kepulauan Seribu) dulu
terkenal dengan istilah “heir light on de rust” (di sini lampu padam!).
Belanda menamakan Pulau Onrust terkait aktivitas pelabuhan dan
perkapalan pada abad 17-18 dan mulai surut pada abad ke 19-20.
Tetapi yang menjadi masalah adalah banyak pulau-pulau terluar di
Indonesia yang belum memiliki nama baik pulau-pulau atol maupun
pulau-pulau kecil lainya6 . Perlunya pembedaan bahwa apakah itu
pulau atau bukan karena sering ditemukan di lapangan, pengamatan
dari kejauhan terdapat kenampakan yang menyerupai pulau, namun
setelah pengamatan dari dekat ternyata ditemukan sebaran tumbuhan
bakau dan pada saat pasang tinggi daratannya tenggelam (Sulistiyo,
2008: 130). Sebagai contoh, Pulau Sambiki (Provinsi Maluku Utara)
secara definitif merupakan daratan yang terbentuk secara alami dan
selalu berada di atas permukaan air pada saat pasang tertinggi. Hal ini
sesuai dengan kesepakatan UNCLOS (United Nations Convention on
the Law of The Sea) tahun 1982.
Semoga pengetahuan toponimi dapat menjadi
pertimbangan langkah ahli arsitektur dan arsitektur
l ansekap serta urbanis dengan memahami makna
sebuah nama/tempat/kawasan/daerah dalam konteks
kekinian secara keilmuan teknis yang dimiliki. Serta
lebih memahami permasalah secara bottom-up.
Pembangunan kawasan lebih melihat pada ‘pola dan
fungsi’ kawasan dibandingkan dengan hanya ‘struktur’nya saja (pemukiman, infrastruktur, dan sarana).
halaman 96
Ria Febrian
halaman 97
KOTA TUA
RUANG KITA
Dalam upaya melestarikan warisan Kotatua yang sangat beragam ini,
pada tahun 2014 hingga 2016 UNESCO Jakarta dan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan lewat pendanaan Indonesia Fund in Trust,
menyelenggarakan program “Old City, New Vision: First phase project
for the revitalisation of Kota Tua, Jakarta through sustainable tourism
and heritage conservation”.
Kotatua – Jakarta – Sunda Kelapa hingga kemudian berganti
menjadi Batavia - kota pusat VOC untuk Asia dan Afrika di abad ke
17 hingga 18 - adalah kota pelabuhan ternama yang sangat ramai.
Dikenal sebagai Queen of the East – Ratu dari Timur yang menarik
dan banyak dikunjungi oleh manusia dari beragam etnis dan suku
bangsa. Lapisan-lapisan sejarah dan budaya dari masa lalu sebagian
masih dapat terlihat jejaknya kini. Tidak hanya kawasan, bangunan
dan struktur (benda) namun juga kehidupan sosial budaya (tak
benda).
UNESCO Jakarta bekerja sama dengan berbagai komunitas dan institusi
terkait memetakan kebutuhan untuk kemudian menyusun programprogram yang strategis. Ikatan Arsitek Indonesia, Pusat Dokumentasi
Arsitektur, dan AusHeritage kemudian ditunjuk menjadi rekanan
UNESCO Jakarta untuk menyusun Information KIT – Caring for your
heritage building, berupa petunjuk praktis untuk pemilik dan pengelola
bangunan tua, arsitek, kontraktor dan staff pemerintah yang bekerja
dalam bidang pelestarian. Peluncurannya diadakan di Stasiun Kota –
Beos, bekerja sama dengan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jakarta.
Keragaman warisan akulturasi budaya yang ada di Kotatua sangat
kaya, mulai dari bangunan dan struktur seperti Museum Sejarah
Jakarta, Jembatan Kota Intan, Klenteng Dharma Bakti, dan rumahrumah orang Moor di Pekojan, hingga tradisi budaya seperti
kuliner pecinan di Glodok, ritual buka bersama tiap 27 Ramadhan
bersama warga keturunan Arab di Pekojan, musik keroncong yang
dipengaruhi Portugis hingga pelabuhan tradisional kapal Phinisi
yang masih ada hingga sekarang.
Modul dalam information KIT ini kemudian juga diaplikasikan dalam
program pelatihan untuk arsitek, pemilik atau pengelola bangunan
tua, kontraktor, staf dalam jajaram Pemprov. DKI, perwakilan staff
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan staff Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dari 10 kota terpilih.
Secara total ada sekitar 120 peserta dari berbagai daerah di Indonesia
yang mengikuti program ini.
Pemerintah provinsiDKI Jakarta sejak tahun 2014 mengambil
pendekatan proaktif untuk isu-isu serius yang dihadapi Kotatua
dan memimpin inisiatif untuk melestarikan dan merevitalisasi
kawasan Kotatua, sementara juga mencari peluang pembangunan
berkelanjutan bagi masyarakat lokal dan bisnis. Dalam kerangka ini
Pemerintah provinsi Jakarta bekerja sama dengan PT. Pembangunan
Kotatua Jakarta telah mengambil sejumlah inisiatif penting seperti
melestarikan beberapa bangunan terpilih di Kotatua serta penciptaan
‘zona kreatif ’ baru di kawasan tersebut. Pemerintah Indonesia,
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, juga mendukung
program revitalisasi kawasan dengan memberikan perhatian khusus
untuk memastikan pelestarianbangunan bersejarah mengacu pada
kaidah Undang-undang Cagar Budaya no.11 tahun 2010.
“Old City, New Vision: First phase project for the
revitalisation of Kota Tua, Jakarta through sustainable
tourism and heritage conservation”
Tak hanya pelatihan, diselenggarakan pula Heritage Clinic, sebuah upaya
untuk memfasilitasi para pemilik, pengelola bangunan tua dan warga
untuk memperoleh informasi mengenai tata cara pelestarian bangunan
sesuai dengan kaidah benar dalam bentuk kegiatan konsultasi dengan
para ahli pemugaran bangunan cagar budaya untuk mendapatkan
bantuan penilaian dan rekomendasi. Heritage Clinic yang dilaksanakan
bersama Ikatan Arsitek Indonesia dan Pusat Dokumentasi Arsitektur
Indonesia ini, adalah yang pertama di Indonesia dengan melibatkan
berbagai pihak. UNESCO Jakarta juga memberikan dana stimulan
masing-masing sebesar 250 juta untuk 2 pengelola bangunan cagar
budaya yakni Historia Food & Bar dan Kedai Seni Djakarte di Kotatua
yang dilaksanakan dalam bentuk Pilot Site dengan melibatkan arsitek
ahli pelestarian dan kontraktor berpengalaman memugar. Program ini
tidak hanya sebagai model pembelajaran bagi pengelola, namun melalui
papan informasi proyek yang dibuat sedemikian rupa, warga yang datang
ke Kotatua memperoleh penjelasan lengkap mengenai bagaimana proses
memugar bangunan tua sesuai dengan kaidah yang benar. Di akhir
pekerjaan, arsitek bersama ahli dari AusHeritage dan Pusat Dokumentasi
menyusun sebuah Conservation Managament Plan bagi pemilik
atau pengelola bangunan, agar mendapat panduan lengkap langkah
selanjutnya dalam pengelolaan bangunan cagar budayanya.
halaman 98
halaman 99
Dalam rangka pengusulan dan masuknya Kotatua Jakarta sebagai
nominasi UNESCO World Heritage Site, diselenggarakan pula workshop
persiapan dokumen (nomination dossier) dan pameran Preparation for
UNESCO World Heritage Site: Kotatua Jakarta bersama Jakarta Old
Town Revitalization Cooperation.
Bersama dengan komunitas Local Working Group Destination
Management Operation (LWG DMO) Kotatua Jakarta, dan Universitas
Tarumanagara, UNESCO juga melaksanakan program Cultural
Mapping untuk 4 sub-kawasan di Kotatua dan sekitarnya yakni Glodok,
Pekojan, Kotatua di zona inti, dan Luar Batang. Kegiatan ini memetakan
seluruh aktifitas budaya yang berlangsung di masa kini baik kuliner,
ritual, aktifitas seni serta komunitas kreatif yang bekerja di Kotatua
maupun sumber alam yang dimilikinya. Hal ini dilakukan bersama warga
di wilayah masing-masing, agar muncul rasa memiliki dan penghargaan
terhadap aset budaya yang dimilikinya serta dikemudian hari warga dan
komunitas dapat mengelola dan dilibatkan dalam aktifitas wisata berbasis
pelestarian yang memiliki nilai ekonomi berkelanjutan.
Kreatifitas UNESCO Jakarta tak hanya berhenti di situ, bersama
dengan Asosiasi Disain Grafis Indonesia, Kementerian Pariwisata, dan
30 komunitas di Kotatua yang tergabung dalam LWG DMO Kotatua
Jakarta mengadakan kegiatan Destination Branding Kotatua. Kegiatan
Destination Branding ini adalah yang pertama kali diadakan dengan
melibatkan komunitas, warga dan pemangku kepentingan yang ada di
Kotatua. Bertujuan untuk mencari ikon-ikon terbaik dari setiap identitas
dan karakter budaya yang khas di Kotatua untuk kemudian dikemas
menjadi berbagai produk disain dan promosi wisata yang menarik.
Beberapa pameran juga diselenggarakan seperti Kisah Konservasi
bersama Ruang Rupa, Historic Urban Landscape bersama Jakarta Old
Town Revitalization Cooperation, Heritage Trade Fair berupa pameran
bahan bangunan khusus untuk pemugaran, dan di akhir seluruh program
UNESCO mengadakan pameran bertajuk Kotatua Ruang Kita bersama
dengan Pusat Dokumentasi Arsitektur, Ikatan Arsitek Indonesia dan
LWG DMO Kotatua Jakarta.
Kotatua Ruang Kita: Merayakan Keberagaman dan
Kolaborasi
Beragam kegiatan telahdilaksanakan oleh UNESCO Jakarta sejak 2014 hingga
2016 bekerja sama dengan berbagai pihak seperti Kementerian Pekerjaan
Umum, UPK Kota Tua Jakarta, Pusat Konservasi Cagar Budaya Kotatua Jakarta,
Ikatan Arsitek Indonesia, Pusat Dokumentasi Arsitektur, Local Working Group
Destination Management Organization (LWG DMO) Kotatua Jakarta, PT.
Pembangunan Kota Tua Jakarta, Universitas Tarumanagara, Asosiasi Disain
Grafis Indonesia, Universitas Indonesia, ASF Indonesia, Institut Kesenian
Jakarta, Faber Castle, 3Buwana Komunika, bersama-sama dengan warga yang
tinggal di sekitar Kotatua seperti Pekojan, Glodok, Luar Batang, Komunitas
Anak Kali Ciliung (Kampung Tongkol, Lodan dan Kerapu) dan 30 komunitas
yang aktif berkegiatan di Kotatua Jakarta.
Sebagai bentuk apresiasi kepada setiap institusi serta komunitas yang telah
terlibat dan merayakan keberagaman berbagai bentuk kolaborasi, UNESCO
menutup seluruh kegiatannya di tahun 2016 dalam bentuk pameran Kotatua
Ruang Kita. Tidak ingin mengadakan pameran yang melulu menekankan pada
teknik atau dogma-dogma pelestarian yang berat, pameran kali ini justru ingin
mengangkat tema manusia, budaya, dan kreatifitas yang masih berlangsung di
Kotatua. Hal ini penting, karena upaya pelestarian apapun yang akan dilakukan
ke depan di Kotatua Jakarta tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia
yang ada di dalamnya. Mereka menjadi bagian untuk menjamin pelestarian
yang berkelanjutan. Pameran utama berlangsung di lantai 2 Historia Food
and Bar, dan pameran pendukung tentang Komunitas Anak Kali Ciliwung
diadakan di lantai 2 Kedai Seni Djakarte.
Seakan belum kehabisan energinya, pameran yang dibuka 23 Juni lalu juga
dimeriahkan beragam acara lezat bergizi selama sebulan penuh hingga akhir
Juli 2016. Setiap acara dilakukan melibatkan komunitas dalam konsep
menyediakan beragam ruang aktifitas agar tiap lapisan warga dapat memilih
sesuai minatnya.
Ruang Warga diterjemahkan sebagai kegiatan Placemaking di Glodok dan
Pekojan untuk memetakan masalah, aset dan potensi bersama warga untuk
menciptakan ruang public yang lebih nyaman, aman, bernilai ekonomis dan
juga menyenangkan.
Ruang Inovasi adalah forum berbagi para pelaku bisnis kreatif di Kotatua
untuk meninspirasi para investor menjalankan investasi dengan semangat dan
kecintaan akan aset sejarah dan budaya.
Ruang Jelajah diadakan tidak hanya untuk mengenalkan tempat-tempat unik
tematik baru yang belum dikenal seperti Banking Tour dan Hidden Treasure,
namun juga menggali aspek kelezatan kuliner hingga mengunjungi warga di
Glodok dan Pekojan yang bercerita mengenai sejarah budaya leluhur, berbuka
halaman 100
halaman 101
puasa bersama dengan warga Pekojan dan bertandang ke Kampung
Tongkol-Lodan-Kerapu untuk tidak hanya melihat upaya warga
menata bantaran sungai namun juga mendengar kisah tentang jejakjejak kastil dan tembok timur Batavia. Sebuah interaksi yang tidak
biasa, melibatkan komunitas dan warga.
Ruang Kreatifitas adalah ruang yang memfasilitasi pekerja seni di
Kotatua agar dapat meningkatkan keahlian membuat skesta obyek
Kotatua, workshop adaptasi interior Kedai Seni bersama arsitek dan
disainer interior muda, serta melukis dengan kopi dengan obyek
bangunan tua untuk meningkatkan kecintaan pada sejarah.
Ruang Sejarah berupaya menambah gizi pengetahuan akan sejarah di
Kotatua tidak hanya bagi pencintanya namun juga para pelaku wisata.
Ruang Cagar Budaya dilakukan dengan beragam aktifitas seperti
pelatihan pelestarian untuk para arsitek, Heritage Clinic, peningkatan
pemahaman tentang Historic Urban Landscape, sosialisasi registrasi
cagar budaya, Coffee Morning berupa pertemuan 4 institusi pemerintah
untuk koordinasi upaya pelestarian di Kotatuahingga kegiatanMuseum
Clinic oleh 3Buwana Komunika, yang merupakan museum clinic
pertama di Indonesia.
Ruang Budaya menjadi atraksi menarik tak hanya dalam hal mengasah
kemampuan membatik bersama Sahabat Budaya, namun juga
pertunjukan musik hadrah bersama Tim Hadrah Taman Fatahillah
Kotatua Jakarta dan pemutaran film-film dokumenter Kotatua yang
diproduksi oleh Reza Tuasikal.
Walaupun program UNESCO di Kotatua Jakarta telah berakhir pada
bulan Juli 2016, namun dengan strategi menggerakan dan melibatkan
berbagai institusi dan komunitas dalam seluruh aktifitasnya, adalah
untuk memastikan bahwa tongkat estafet kegiatan dapat terus berlanjut
di masa mendatang.
Informasi
lebih
lanjut
lestarikanbangunantua.info/
dapat
dilihat
di:
http://www.
halaman 102
2016
Download