VALIDASI DAN PENGEMBANGAN ALGORITMA SUHU PERMUKAAN LAUT PATHFINDER SATELIT NOAA – AVHRR DI PERAIRAN UTARA PAPUA HILDA ISNIAWATI NELA BADA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 RINGKASAN HILDA ISNIAWATI NELA BADA. Validasi dan Pengembangan Algoritma Suhu Permukaan Laut Pathfinder Satelit NOAA – AVHRR di Perairan Utara Papua. Dibimbing oleh BISMAN NABABAN dan BIDAWI HASYIM. Perairan utara Papua dikenal mempunyai karakter oseanografi yang dinamis, perairan ini adalah tempat berkumpulnya massa air yang datang dari bumi belahan selatan melalui South Equatorial Current (SEC) serta North Equatorial Cuanter Current (NECC). Bercampurnya kedua massa air yang berbeda karakteristik ini menyebabkan perairan ini menjadi subur dengan kelimpahan hayati yang cukup tinggi. Suhu permukaan laut (SPL) merupakan salah satu faktor yang dapat menganalisis fenomena yang terjadi di perairan utara Papua. Data SPL ini dapat diestimasi secara langsung oleh sensor yang bekerja pada spectrum infra merah termal seperti satelit National Oceanic and Atmospheric Administration – Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA – AVHRR). Untuk mengestimasi SPL, telah banyak dikembangkan algoritma, namun pengembangan algoritma tersebut umunya dilakukan dan divalidasi di daerah lintang menengah dan tinggi. Oleh karena itu, demi meningkatkan tingkat akurasi atau ketelitian estimasi SPL dari satelit terkait, maka pengembangan algoritma SPL diperairan tropis khususnya perairan Indonesia sangat penting dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pola dan variabilitas SPL serta pengembangan dan validasi algoritma estimasi SPL Pathfinder dari satelit NOAA – AVHRR di perairan utara Papua. Lokasi penelitian adalah perairan utara Papua. Penelitian ini menggunakan data (1) SPL hasil pengukuran Buoy TAO pada kedalaman 1.5 m, yang direkam per satu jam/hari selama 9 tahun (2001 – 2009) dan data diambil di tiga titik stasiun (S1, S2, dan S3). Data ini diperoleh dari situs NOAA (http://www.pmel.noaa.gov/tao_deliv); dan (2) citra satelit NOAA – AVHRR dengan resolusi 4 x 4 km2 yang merupakan composite data harian, mingguan dan bulanan dengan quality test nomor 7 algoritma SPL Pathfinder selama 9 tahun (2001 – 2009) yang diperoleh dari situs NASA (http://poet.jpl.nasa.gov). Secara umum nilai SPL satelit dan hasil pengukuran di perairan utara Papua pada tahun 2001 – 2009 berkisar antara 27.10 – 31.90 °C. Pada musim timur (Juni – September) SPL hasil pengukuran (rata – rata 29.39 °C) dan satelit (rata – rata 28.95 °C) pada 3 stasiun lebih tinggi dibandingkan dengan nilai SPL pada musim barat (Desember – Februari) hasil pengukuran (rata – rata 29.08 °C) dan satelit (rata – rata 28.95 °C). Secara umum, SPL siang dan malam hari baik dari hasil pengukuran maupun satelit tidak menunjukkan perbedaan yang nyata kecuali pada perairan dekat pantai (stasiun 3). Hasil penelitian menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) antara SPL satelit dan hasil pengukuran masih relatif rendah yaitu sekitar 65%, hal ini menyimpulkan bahwa sekitar 35% faktor luar mempengaruhi hubungan keduanya. Secara umum hasil pengembangan algoritma estimasi SPL dengan menggunakan data raw satelit dan hasil pengukuran juga menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) yang relatif kecil yaitu sekitar 65%. Hal ini mungkin dikarenakan pengaruh absorpsi gelombang elektromagnetik yang diemisikan permukaan laut oleh atmosfer yang berubah – ubah terkait dengan perbedaan waktu dan musim. Hasil ini menunjukkan bahwa algoritma ini belum dapat digunakan sebagai alat estimasi SPL yang sahih dari satelit untuk perairan utara Papua. VALIDASI DAN PENGEMBANGAN ALGORITMA SUHU PERMUKAAN LAUT PATHFINDER SATELIT NOAA – AVHRR DI PERAIRAN UTARA PAPUA SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh : HILDA ISNIAWATI NELA BADA C54061432 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 © Hak cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang 1. 2. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian/seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul: VALIDASI DAN PENGEMBANGAN ALGORITMA SUHU PERMUKAAN LAUT PATHFINDER SATELIT NOAA – AVHRR DI PERAIRAN UTARA PAPUA adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Skripsi ini. Bogor, 9 Agustus 2011 HILDA ISNIAWATI NELA BADA C54061432 SKRIPSI Judul Penelitian Nama Mahasiswa NIM Departemen : VALIDASI DAN PENGEMBANGAN ALGORITMA SUHU PERMUKAAN LAUT PATHFINDER SATELIT NOAA – AVHRR DI PERAIRAN UTARA PAPUA : Hilda Isniawati Nela Bada : C54061432 : Ilmu dan Teknologi Kelautan Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. NIP. 19651206 199103 1 002 Dr. Ir. Bidawi Hasyim, M.Si. NIP. 19531019 198003 1 001 Mengetahui, Kepala Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Si NIP. 19580909 198303 1 003 Tanggal Lulus : 9 Agustus 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada penulis sehingga Skripsi ini dapat selesai. Skripsi yang berjudul Validasi dan Pengembangan Algoritma Suhu Permukaan Laut Pathfinder Satelit NOAA – AVHRR di Perairan Utara Papua merupakan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi Keluatan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Keluarga tercinta, bapak Muhammad Ishak, S.P dan ibu Heni Gustinawati, serta adik tersayang Muhammad Helmis Ramadhan, atas semangat dan do’a yang selalu diberikan. 2. Bapak Dr. Ir. Bisman Nababan, M.Sc. dan Bapak Dr. Ir. Bidawi Hasyim, M.Si. selaku pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, arahan serta bimbingan selama penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc selaku dosen penguji dan Bapak Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T selaku Ketua Komisi Pendidikan S1 Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan yang telah memberikan masukan untuk perbaikan skripsi ini. 4. Dosen dan staf penunjang Departemen ITK-IPB, atas bantuannya selama penulis menyelesaikan studi di IPB. 5. Welmar Olfan Basten Barat atas dukungan dan do’a yang selalu diberikan. 6. Teman-teman seperjuangan ITK 43 untuk kebersamaan selama kuliah, praktikum, dan fieldtrip, khususnya Kristina dan Romdon, serta bang Iqbal 37 atas bantuanya selama pengolahan data. 7. Keluarga besar HMI Cabang Bogor, khususnya HMI Komisariat C (Perikanan). 8. Seluruh warga ITK. 9. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian dan penulisan skripsi ini. Semoga Skripsi ini dapat berguna baik untuk penulis sendiri maupun pihak lain. Bogor, Agustus 2011 Hilda Isniawati Nela Bada DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................ x ............................................................................ xi .......................................................................... xiii DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1. PENDAHULUAN .......................................................................... 1.1. Latar belakang ...................................................................... 1.2. Tujuan ................................................................................... 1 1 2 2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2.1. Suhu Permukaan Laut ........................................................... 2.2. Karakteristik Perairan Indonesia Utara Papua ....................... 2.3. Satelit NOAA – AVHRR ........................................................ 2.4. Karakteristik Buoy TAO ......................................................... 2.5. Algoritma Estimasi Suhu Permukaan Laut dari Data Citra Satelit NOAA - AVHRR ......................................................... 3 3 7 9 12 3. BAHAN DAN METODE ................................................................ 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 3.2. Data Penelitian ...................................................................... 3.3. Pengolahan Data .................................................................. 3.3.1. Data Hasil Pengukuran Suhu Permukaan Laut ............ 3.3.2. Data Satelit Suhu Permukaan Laut .............................. 3.3.3. Perhitungan Nilai Korelasi (R2) dan RMSE (Root Mean Square Error) ........................................... 3.3.4. Uji Beda Nilai Tengah (Uji-t) ......................................... 3.3.5. Metode Pengembangan Algoritma SPL ....................... 20 20 21 21 21 23 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 4.1. Variabilitas Musiman Suhu Permukaan Laut ......................... 4.2. Karakteristik Suhu Permukaan Laut Hasil Pengukuran dan Satelit Harian dan Mingguan ........................................... 4.3. Validasi Data Satelit dan Data Hasil Pengukuran Suhu Permukaan Laut Harian dan Mingguan .................................. 4.4. Pengembangan Algoritma Suhu Permukaan Laut ................. 28 28 5. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 5.1. Kesimpulan ........................................................................... 5.2. Saran .................................................................................... 50 50 51 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 52 ......................................................................................... 56 LAMPIRAN ix 15 25 26 26 33 38 45 DAFTAR TABEL halaman 1. Waktu Peluncuran NOAA – AVHRR ........................................... 10 2. Karakteristik Satelit NOAA – AVHRR ........................................... 11 3. Karakteristik Panjang Gelombang Satelit NOAA – AVHRR 4. Rumus persamaan regresi linear dan non linear 5. ........... 12 .......................... 27 Persen data satelit non valid pada stasiun 1 ................................ 39 6. Persen data satelit non valid pada stasiun 2 ................................ 39 7. Persen data satelit non valid pada stasiun 3 ................................ 39 8. RMSE data harian ......................................................................... 44 9. RMSE data mingguan ...................................................................... 45 10. Nilai R2 hubungan SPL satelit dan SPL hasil pengukuran data harian berdasarkan pemisahan data siang dan malam ............................... 46 11. Nilai R2 hubungan SPL satelit dan SPL hasil pengukuran data mingguan berdasarkan pemisahan data siang dan malam ............... 46 12. Nilai R2 hubungan SPL satelit dan SPL hasil pengukuran data harian berdasarkan penggabungan data siang dan malam.......................... 48 13. Nilai R2 hubungan SPL satelit dan SPL hasil pengukuran data mingguan berdasarkan penggabungan data siang dan malam ......... 48 x DAFTAR GAMBAR halaman 1. Konfigurasi Satelit NOAA – AVHRR .............................................. 11 2. Konfigurasi buoy TAO sepanjang Khatulistiwa di Samudera Pasifik (TAO Buoy array along equator in Pacifik) ................................... 13 3. Komponen Buoy TAO TRITON ..................................................... 14 4. Lokasi Penelitian, S1, S2, dan S3 merupakan stasiun SPL hasil pengukuran ........................................................................... 20 5. Diagram alir pengolahan data hasil pengukuran ............................ 22 ................................... 25 7. Data SPL hasil pengukuran, (a) nilai SPL pada malam hari dan (b) nilai SPL pada siang hari ......................................................... 30 8. Data SPL satelit pada malam hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3 ..................................................................................... 31 9. Data SPL satelit pada siang hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3 ..................................................................................... 32 10. Grafik data hasil pengukuran dan data satelit SPL harian pada malam hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3 ............. 34 11. Grafik data hasil pengukuran dan data satelit SPL harian pada siang hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3 ............... 35 12. Grafik data hasil pengukuran dan data satelit SPL mingguan pada malam hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3 ............. 36 13. Grafik data hasil pengukuran dan data satelit SPL mingguan pada siang hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3 ............... 37 14. Grafik regresi linear data hasil pengukuran dan data satelit SPL harian pada malam hari, (a) stasiun 1 pada 1x1 piksel, (b) stasiun 1 pada 3x3 piksel, (c) stasiun 2 pada 1x1 piksel, (d) stasiun 2 pada 3x3 piksel, (e) stasiun 3 pada 1x1 piksel, (f) stasiun 3 pada 3x3 piksel, .......................................................................................... 40 15. Grafik regresi linear data hasil pengukuran dan data satelit SPL harian pada siang hari, (a) stasiun 1 pada 1x1 piksel, (b) stasiun 1 pada 3x3 piksel, (c) stasiun 2 pada 1x1 piksel, (d) stasiun 2 pada 3x3 piksel, (e) stasiun 3 pada 1x1 piksel, (f) stasiun 3 pada 3x3 piksel, .......................................................................................... 41 6. Prosedur pengolahan data SPL Pathfinder xi 16. Grafik regresi linear data hasil pengukuran dan data satelit SPL mingguan pada malam hari, (a) stasiun 1 pada 1x1 piksel, (b) stasiun 1 pada 3x3 piksel, (c) stasiun 2 pada 1x1 piksel, (d) stasiun 2 pada 3x3 piksel, (e) stasiun 3 pada 1x1 piksel, (f) stasiun 3 pada 3x3 piksel, .......................................................................................... 42 17. Grafik regresi linear data hasil pengukuran dan data satelit SPL mingguan pada siang hari, (a) stasiun 1 pada 1x1 piksel, (b) stasiun 1 pada 3x3 piksel, (c) stasiun 2 pada 1x1 piksel, (d) stasiun 2 pada 3x3 piksel, (e) stasiun 3 pada 1x1 piksel, (f) stasiun 3 pada 3x3 piksel, .......................................................................................... 43 18. Grafik regresi linear data SPL hasil pengukuran dan data raw satelit suhu permukaan laut harian ......................................................... 47 19. Grafik regresi linear data SPL hasil pengukuran dan data raw satelit suhu permukaan laut mingguan ................................................... 47 20. Grafik regresi linear data SPL hasil pengukuran dan data raw satelit gabungan antara siang dan malam berdasarkan data harian, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, (c) stasiun 3 ........................................ 49 21. Grafik regresi linear data SPL hasil pengukuran dan data raw satelit gabungan antara siang dan malam berdasarkan data mingguan, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, (c) stasiun 3 ........................................ 49 xii DAFTAR LAMPIRAN halaman 1. Data SPL hasil pengukuran yang didownload perjam/hari ............ 57 2. Data SPL satelit NOAA – AVHRR Pathfinder level 7 .................... 58 3. Perhitungan uji nilai tengah (uji-t) ................................................. 59 4. Sintax yang digunakan untuk memisahkan SPL hasil pengukuran antara siang dan malam hari ........................................................ 60 xiii 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suhu permukaan laut merupakan salah satu faktor yang mendapat banyak perhatian dalam penelitian kelautan dan penginderaan jauh, karena data tersebut dapat dimanfaatkan untuk mempelajari proses fisika dan biologi di lautan serta kaitannya dengan kehidupan organisme di laut. Wilayah perairan di utara Papua dikenal mempunyai karakter oseanografi yang sangat dinamis. Perairan wilayah ini merupakan tempat berkumpulnya massa air yang datang dari bumi belahan selatan melalui South Equatorial Current (SEC) dan utara dari samudera pasifik melalui North Equatorial current (NEC) serta North Equatorial Cuanter Current (NECC) (Wyrtki, 1961; Kashino et al., 2011). Secara langsung suhu berpengaruh terhadap kehidupan organisme seperti laju fotosintesis tumbuhan dan fisiologi hewan seperti metabolisme dan reproduksi. Secara tidak langsung, suhu berpengaruh terhadap daya larut O2 yang akan digunakan untuk respirasi biota laut (Nybakken, 1988). Saat ini pengukuran suhu permukaan laut (SPL) telah dipermudah oleh adanya teknologi penginderaan jauh yang dapat mendeteksi SPL secara sinoptik yang dapat digunakan untuk mempelajari proses perubahan fisik permukaan laut. SPL dapat diestimasi secara langsung oleh sensor satelit yang bekerja pada spectrum infra merah termal seperti satelit National Oceanic and Atmospheric Administration – Advanced Very High Resolution Radiometer (NOAA – AVHRR). Satelit ini memiliki sensor berupa radiometer yang menggunakan 6 sensor yang merekam radiasi pada panjang gelombang yang berbeda. Untuk mengestimasi SPL, telah banyak dikembangkan algoritma seperti IR SST (Infra Red Sea Surface Temperature) (Evans dan Podestà, 1998), MCSST (Multy Chanel Sea Surface Temperature), NLSST (Non Linear Sea 1 2 Surface Temperature) (Walton et al. 1998 dalam Kumar et al., 2003), dan PFSST (Pathfinder Sea Surface Temperature) (Quirin et al., 2008). Pengembangan algoritma SPL ini umumnya dilakukan dan divalidasi di daerah lintang menengah dan tinggi. Khusus untuk perairan tropis, pengembangan dan validasi algortima SPL masih jarang dilakukan mengingat sumber daya dan fasilitas yang sangat terbatas. Faktor cuaca yang memiliki frekuensi tutupan awan tinggi serta curah hujan yang tinggi menjadikan algoritma yang dikembangkan di lintang menengah dan tinggi (algoritma yang tersedia saat ini) menjadi kurang cocok diaplikasikan untuk perairan Indonesia (lokal) (Nababan, 2009). Faktor kisaran SPL yang cukup tinggi di perairan sub tropis dan lintang tinggi menjadikan algoritma SPL yang ada saat ini kurang akurat dan kurang tepat juga diaplikasikan untuk perairan Indonesia yang memiliki kisaran SPL yang relatif rendah. Oleh karena itu, demi meningkatkan tingkat akurasi atau ketelitian estimasi SPL dari satelit terkait, maka pengembangan algoritma SPL diperairan tropis khususnya perairan Indonesia sangat penting dilakukan. Untuk penelitian ini data hasil pengukuran dari buoy Tropical Atmosphere Ocean (TAO) yang terletak di perairan utara Papua dan data SPL dari satelit NOAA – AVHRR Pathfinder 5.0 digunakan untuk pengembangan dan validasi algoritma SPL untuk perairan utara Papua. 1.2. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari pola dan variabilitas SPL serta pengembangan dan validasi algoritma estimasi SPL dari satelit NOAA – AVHRR di perairan utara Papua. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan Laut Suhu air laut merupakan faktor yang mendapatkan banyak perhatian dalam pengkajian – pengkajian kelautan. Data suhu air laut tersebut dapat dimanfaatkan untuk mempelajari gejala – gejala fisik di lautan dan kaitannya dengan kehidupan organisme di laut (Nontji, 2005). Nybakken (1988) menyatakan bahwa pengaruh suhu secara langsung terhadap kehidupan organisme adalah dalam hal laju fotosintesis tumbuhan dan proses fisiologi hewan, khususnya aktivitas metabolisme dan siklus reproduksi. Secara tidak langsung, suhu berpengaruh terhadap daya larut oksigen yang digunakan untuk respirasi biota laut. Daya larut oksigen berkurang jika suhu naik, sebaliknya daya larut oksigen meningkat jika suhu air laut menurun. Penelitian tentang suhu permukaan laut ini sudah banyak dilakukan di Indonesia seperti Ambarwulan (2006) melakukan penelitian mengenai pendugaan suhu permukaan laut perairan Delta Mahakam dari citra satelit landsat 7 ETM + kanal 61 (low gain) dan kanal 62 (high gain) dengan menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Gubbons et al. (1989). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa suhu permukaan laut pada Delta Mahakam tanggal 24 Mei 2003 berkisar antara 25 – 27 °C dengan menggunakan kanal 61, sedangkan estimasi SPL dengan menggunakan kanal 62 berkisar antara 25 – 34 °C. Perbedaan kisaran estimasi tersebut terjadi karena adanya perbedaan karakteristik antara kedua kanal tersebut. Narieswari (2006) melakukan penelitian mengenai estimasi suhu permukaan laut Delta Berau menggunakan kanal thermal infra red citra Terra ASTER. Penelitian ini membandingkan penggunaan dua metode untuk estimasi suhu permukaan laut yaitu algoritma Alley dan Nilsen (2001) dan algoritma 3 4 Kishino (2002). Algoritma Alley dan Nilsen menggunakan satu kanal berdasarkan suhu pancarannya (brightness temperature). Algoritma Kishino menggunakan semua nilai suhu pancaran dari ke lima kanal. Perhitungan dengan algoritma Alley dan Nilsen menunjukan bahwa penggunaan kanal 13 menghasilkan suhu permukaan laut estimasi yang paling mendekati SPL in situ dibandingkan menggunakan empat kanal lainnya. Perhitungan dengan algoritma Kishino juga memberikan hasil nilai SPL yang mendekati SPL in situ dengan suhu maksimum mencapai 27 °C. Pola sebaran dengan menggunakan algoritma Alley & Nilsen hampir sama dengan pola yang ditunjukkan algoritma Kishino. Adanya perbedaan antara SPL in situ dan SPL hasil estimasi disebabkan pengukuran SPL in situ pada bulan Agustus 2005 tidak bertepatan pada saat akuisisi citra satelit tanggal 18 Juni 2004. Suhu air laut dipermukaan sangat bergantung pada jumlah panas yang diterima dari matahari. Daerah – daerah yang paling banyak menerima panas matahari adalah daerah pada lintang 0 (ekuator), sehingga suhu air laut yang tertinggi akan ditemukan di daerah tersebut. Daerah tropis lebih banyak menerima panas dibandingkan daerah kutub, hal ini disebabkan sinar matahari yang merambat melalui atmosfer akan lebih banyak kehilangan panas sebelum sampai ke daerah kutub dibandingkan dengan daerah ekuator (Hutabarat dan Evans, 1985). Suhu permukaan laut (SPL) di Indonesia berkisar antara 28 – 31 °C (Nontji, 2005), pada daerah yang sering mengalami proses upwelling seperti Selat Makassar bagian selatan kisaran SPL umumnya antara 26.40 – 31.00 °C (Rosyadi, 2011). Menurut Wyrtki (1961), kondisi lapisan permukaan laut tropis adalah hangat dan variasi suhu tahunannya adalah kecil, tetapi variasi suhu hariannya tidak terlalu tinggi dibandingkan dengan subtropis dan polar. Variasi 5 suhu rata – rata tahunannya lebih kecil dari 2 °C di daerah khatulistiwa, tetapi beberapa tempat seperti di Laut Banda, Laut Arafura, Laut Timor, dan Selatan Jawa mempunyai variasi yang lebih besar yaitu 3 °C – 4 °C. Suhu permukaan laut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu presipitasi, evaporasi, kecepatan angin, intensitas cahaya matahari, dan faktor – faktor fisika yang terjadi di dalam kolom perairan (Tubalawoni, 2001 ; Srihadiyanti, 1986). Presipitasi yang terjadi di laut melalui curah hujan yang dapat menurunkan suhu permukaan laut, sedangkan evaporasi dapat meningkatkan suhu permukaan akibat adanya aliran bahang dari udara ke lapisan permukaan perairan. Pada umumnya pergerakan massa air disebabkan oleh angin. Angin yang berhembus dengan kencang dapat mengakibatkan terjadinya percampuran massa air pada lapisan atas dengan dibawahnya yang mengakibatkan sebaran suhu menjadi homogen. Suhu perairan bervariasi baik secara horizontal maupun vertikal. Secara horizontal suhu bervariasi sesuai dengan garis lintang dan secara vertikal sesuai dengan kedalaman. Sebaran suhu secara vertikal di perairan Indonesia pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan homogen (mixed layer) di bagian atas, lapisan termoklin ditengah, dan lapisan dingin di bagian bawah (Nontji, 2005). Stratifikasi suhu di perairan Indonesia menurut Ilahude (1999), yaitu : a. Lapisan homogen Pada daerah tropis, pengadukan ini dapat mencapai kedalaman 50 – 100 m dengan suhu berkisar 26 – 30 °C dan gradien tidak lebih dari 0.03 °C/m. Lapisan ini sangat dipengaruhi oleh musim dan letak geografis. Pada musim timur/tenggara, lapisan ini dapat mencapai 30 – 40 m dan 6 bertambah dalam pada musim barat, yaitu mencapai 70 – 90 m sehingga mempengaruhi siklus vertikal dari perairan. b. Lapisan termoklin Lapisan termoklin dapat dibagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan termoklin atas (main thermocline) dan termoklin bawah (secondary thermocline). Suhu pada lapisan termoklin atas lebih cepat menurun dibandingkan dengan lapisan termoklin bawah, yaitu 27 °C pada 100 m menjadi 8 °C pada kedalaman 300 m atau rata – rata penurunan suhu dapat mencapai 9.5 °C/100 m, sedangkan pada termoklin bawah suhu masih terus turun dari 8 ⁰C pada 300 m menjadi 4 °C pada kedalaman 600 m atau rata – rata penurunan mencapai 1.3 °C/100 m. c. Lapisan dalam Pada lapisan ini suhu turun menjadi sangat lambat dengan gradien suhu hanya mencapai 0.05 °C/100 m, lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500 m. pada daerah tropis kisaran suhu di lapisan ini antara 2 – 4 °C. d. Lapisan dasar Di lapisan ini suhu biasanya tidak berubah lagi sampai ke dasar perairan. Pada samudera berarti dari kedalaman 3000 m sampai 5000 m. Suhu air laut juga mengalami variasi dari waktu ke waktu sesuai kondisi meteorologis yang mempengaruhi perairan tersebut. Suhu permukaan laut mempunyai hubungan dengan keadaan lapisan air laut yang terdapat di bawahnya, sehingga data suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai indikator untuk mendeteksi fenomena yang terjadi dilaut seperti front (pertemuan dua massa air), arus, pengangkatan massa upwelling dan aktivitas biologis organisme (Robinson, 1985). 7 Deteksi suhu permukaan laut juga dapat digunakan untuk mengetahui lokasi penangkapan ikan oleh para nelayan (Indrawati, 2000). Data yang diperoleh dari citra satelit dianalisis berdasarkan fenomena dan kenampakan masing – masing parameter yang digabung dengan karakteristik ikan untuk memperoleh informasi tentang daerah potensi penangkapan ikan. Hasil analisa tersebut menjadi informasi dalam bentuk peta zona potensi ikan (ZPI) (PPRUK, 2004). 2.2. Karakteristik Perairan Indonesia Utara Papua Perairan utara Papua dikenal mempunyai karakter oseanografi yang sangat dinamis. Perairan wilayah ini adalah tempat berkumpulnya massa air yang datang dari bumi belahan selatan melalui South Equatorial Current (SEC) dan utara dari Samudera Pasifik melalui North Equatorial current (NEC) serta North Equatorial Cuanter Current (NECC) (Kashino et al., 2011). Bercampurnya kedua massa air yang berbeda karakteristiknya sangat mempengaruhi keragaman salinitas terutama dilapisan termoklin dan lapisan pertengahan perairan. Pada wilayah ini selalu muncul suatu pusaran massa air (eddy) yang dikenal dengan Halmahera Eddy. Variabilitas Halmahera Eddy berkolerasi erat dengan neraca bahang dan air tawar di lapisan permukaan wilayah equator Pasifik Barat (Harsono, 2011). Dalam Nontji (2005), pada bulan Juni – Agustus arus kuat datang dari utara Irian yang terlebih dulu melingkari ujung selatan Halmahera yang akan berbelok dan kembali ke samudera Pasifik bersatu dengan arus Sakal Khatulistiwa. Pada musim timur, di atas perairan utara Papua, angin muson tenggara bertiup dari tenggara menuju barat laut. Angin muson tenggara ini mempengaruhi kuatnya arus khatulistiwa selatan (Southern Equatorial Current) di perairan utara Papua dan penguapan yang tinggi di perairan Indonesia sehingga 8 dapat menaikkan nilai salinitas perairan. Selain itu, pada musim ini arus sakkal ekuator utara juga mencapai kecepatan maksimum dan membawa massa air dari belahan bumi selatan. Pada musim barat di atas perairan utara Papua yang berada di bumi bagian selatan berhembus angin muson barat laut yang bergabung dengan angin passat timur laut yang dibelokkan ke tenggara saat melintasi garis khatulistiwa, sedangkan untuk wilayah yan berada di bumi bagian utara angin yang berhembus merupakan angin passat timur laut. Kondisi angin ini berpengaruh terhadap curah hujan yang terjadi di perairan utara Papua, yang akan mengakibatkan pengenceran air laut yang akan menurunkan nilai salinitas (Wyrtki, 1961). Dengan karakteristik oseanografi yang sangat dinamis, perairan ini menjadi subur dengan kelimpahan hayati yang cukup tinggi. Pada wilayah ini angin pasat terjadi sepanjang tahun. Di sepanjang perairan tropis pasifik angin pasat ini menyeret massa air hangat tropis ke bagian barat samudera dan mengumpul di wilayah tropis perairan utara Papua. Oleh karena itu, wilayah ini dikenal dengan kolam air hangat (warm pool). Massa air ini dikenal memiliki suhu hangat (> 29 °C) dan berkadar garam rendah (< 32 ‰) (Wyrtki, 1961). Hasegawa (2009) menyatakan bahwa secara musiman perairan utara Papua sangat subur yang dipicu ketika muncul Madden Julian Oscilation (MJO) dalam variasi skala 60 – 90 harian. Madden Julian Oscilation (MJO) merupakan suatu osilasi yang ditemukan oleh Rolland Madden dan Paul Julian pada tahun 1971 ketika menganalisa anomali angin di daerah tropis Pasifik. Madden Julian Oscilation (MJO) adalah fluktuasi musiman atau gelombang atmosfer yang terjadi di kawasan tropic, MJO berkaitan dengan variable cuaca penting dipermukaan maupun lautan ada lapisan atas dan bawah. MJO mengindikasi osilasi aktifitas 9 pertumbuhan awan – awan sepanjang jalur di mulai dari atas perairan Afrika timur hingga perairan pasifik bagian barat (utara Papua) (NOAA, 2005). 2.3. Satelit NOAA – AVHRR Satelit NOAA adalah satelit lingkungan dan cuaca yang dioperasikan oleh NOAA (National Ocean and Atmospheric Administration) Amerika. Satelit ini muncul untuk menggantikan generasi satelit sebelumnya, yaitu seri TIROS (Television and Infra Red Observation Sattelite, tahun 1960 – 1965) dan seri IOS (Infra Red Observation Sattelite, tahun 1970 – 1976). Berdasarkan orbit satelitnya, NOAA dibagi menjadi dua macam yaitu orbit geostasioner dan orbit polar. Satelit NOAA dengan orbit geostasioner adalah satelit yang memonitor belahan bumi bagian barat pada ketinggian 22.240 mil di atas permukaan bumi, sedangkan satelit NOAA dengan orbit polar adalah satelit yang memonitor bumi pada ketinggian 540 mil di atas permukaan bumi (NOAA, 2008). Satelit NOAA termasuk kedalam satelit sistem pasif, sumber tenaga utama untuk mengirim gelombang elektromagnetik berasal dari matahari. Pada umumnya satelit NOAA merekam suatu wilayah sebanyak 2 kali waktu siang dan 2 kali pada malam hari. Saat ini di atmosfer Indonesia melintas lima seri NOAA pada setiap harinya yaitu NOAA 14, NOAA 15, NOAA 16, NOAA 17, dan NOAA 18. Waktu peluncuran satelit NOAA – AVHRR dari generasi ke generasi dapat dijelaskan pada Tabel 1. 10 Tabel 1. Waktu Peluncuran NOAA AVHRR Satelite NOAA 6 Waktu Peluncuran 27 Juni 1979 NOAA 7 23 Juni 1981 7 Juni 1986 5 kanal NOAA 8 28 Maret 1983 31 Oktober 1985 4 kanal NOAA 9 12 Desember 1984 11 Mei 1994 5 kanal NOAA 10 17 September 1986 Masih beroperasi 4 kanal NOAA 11 24 September 1988 14 Mei 1991 13 September 1994 15 Desember 1994 5 kanal 9 Agustus 1993 30 Desember 1994 13 Mei 1998 21 Agustus 1993 23 Mei 2007 5 kanal NOAA 12 NOAA 13 NOAA 14 NOAA 15 Akhir Misi Kanal Keterangan 16 November 1986 4 kanal Sudah tidak beroperasi tahun 1987 Sudah tidak beroperasi tahun 1987 Dihentikan pada tanggal 29 Desember 1985 Dihentikan pada tanggal 13 Februari 1998 Kemampuan saluran inframerah menurun sejak tahun 1994 Gagal pada akhir misi 5 kanal 5 kanal Masih 6 kanal beroperasi NOAA 16 21 Januari Masih 6 kanal 2000 beroperasi NOAA 17 24 Juni 2002 Masih 6 kanal beroperasi NOAA 18 20 Mei 2005 Masih 6 kanal beroperasi (sumber : Tungalagsalkhan dan Guenther, 2008) Sudah tidak beroperasi sejak 5 Februari 1995 Tidak beroperasi setelah akhir misi Masih beroperasi Masih beroperasi Masih beroperasi Masih beroperasi Masih beroperasi Stasiun bumi NOAA di Indonesia terdapat di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang berada di Jakarta dan Biak, kantor Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) yang berada di Jakarta, dan The Southeast Asian Center for Ocean Research and Monitoring (SEACORM) yang 11 berada di Perancak Bali. Konfigurasi satelit NOAA dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini. Gambar 1. Konfigurasi Satelit NOAA – AVHRR (http://podaac.jpl.nasa.gov/SeaSurfaceTemperature/AVHRRPathfinder) Data AVHRR di gunakan untuk peramalan cuaca harian dan pembuatan peta suhu permukaan laut yang dapat dimanfaatkan untuk prediksi daerah penangkapan ikan. Spesifikasi dari satelit NOAA – AVHRR ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik Satelit NOAA – AVHRR Dimensi Berat Daya Batas Desain Orbit Tinggi : 165 in (4.19 m) Diameter : 75 in (1.88 m) Solar Array Area : 180.6 ft2 (16.8 m) 4920 lbs (2231. 7 kg) 879.9 W > 2 tahun Ketinggian : 870 km Kemiringan : 98.856 ° Waktu Matahari Lokal : 13:40 982.5 lbs (445.6 kg) 450 W Sekitar 14:00 Berat Peralatan Daya Peralatan Rata – rata Waktu Matahari Ketika Melewati Ekuator Rata – Rata 870 km Ketinggian (sumber : http://projects.osd.noaa.gov./IJSP/charecteristic.htm) 12 Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) adalah sensor radiasi yang digunakan untuk menentukan suhu permukaan. Sensor ini berupa radiometer yang menggunakan 6 detector yang merekam radiasi pada panjang gelombang yang berbeda – beda seperti yang ditunjukan pada Tabel 3. Tabel 3. Karakteristik Panjang Gelombang Satelit NOAA – AVHRR Karakteristik Panjang Gelombang Satelit NOAA – AVHRR Resolusi Panjang Daerah Penggunaan Gelombang Spektrum (µm) 1 1.09 km 0.58 – 0.68 Tampak Pemetaan awan (Visible) dan permukaan siang hari 2 1.09 km 0.725 – 1.00 Inframerah Batas daratan dekat dan perairan 3A 1.09 km 1.58 – 1.64 Deteksi salju dan es 3B 1.09 km 3.55 – 3.93 Inframerah Pemetaan awan tengah malam hari dan suhu permukaan laut 4 1.09 km 10.30 – 11.30 Inframerah Pemetaan awan jauh malam hari dan suhu permukaan laut 5 1.09 km 11.50 – 12.50 Inframerah Suhu permukaan jauh laut (sumber : http://www.ga.gov.au/earth-observation/satellites-andsensors/noaa.html) Saluran 2.4. Karakteristik Buoy TAO Pembuatan buoy Tropical Atmosphere Ocean (TAO) termotivasi oleh adanya kejadian El Nino pada tahun 1982 – 1983 merupakan El Nino paling kuat pada saat itu dan terjadi tanpa terdeteksi maupun diperkirakan sebelumnya. Hal tersebut menyebabkan perlunya data real time Samudera Pasifik bagian tropis untuk pemantauan maupun perkiraan,dan pengetahuan mengenai El Nino. Buoy TAO/TRITON dioperasikan oleh NOAA Amerika, JAMSTEC Jepang dengan kontribusi dari IRD/ORSTOM Perancis. Buoy TAO terpasang sepanjang khatulistiwa di Samudera Pasifik seperti terlihat pada Gambar 2. 13 Gambar 2. Konfigurasi buoy TAO sepanjang Khatulistiwa di Samudera Pasifik (TAO Buoy array along equator in Pacifik) Pencatatan data suhu permukaan laut pada buoy ini di mulai pada tahun 1977 sampai sekarang yang terletak di Pasifik tropis, Atlantik, dan Samudera India. Nilai SPL di peroleh dalam satuan derajat celcius. Buoy TRITON dioperasikan di wilayah Pasifik barat pada tahun 1999, buoy ini mengukur data suhu pada kedalaman 1.5 m. Data suhu yang tersedia memiliki interval waktu yang berbeda – beda yaitu data per jam, 15 menit, dan 10 menit (McPhaden, 2010) sedangkan nilai bias dari data buoy ini adalah 0.1 °C (Murakami, 1999). Komponen buoy TAO selengkapnya disajikan pada Gambar 3 dengan spesifikasi teknis sebagai berikut : Sensor : Thermistor Model : NX ATLAS using YSI Resolusi : 0.001 °C Batas ukuran : -5 °C sampai 35 °C Akurasi : ± 0.003 °C 14 Gambar 3. Komponen buoy TAO TRITON (http://www.pmel.noaa.gov/tao/epic/diagrams.html) 15 2.5. Algoritma Estimasi Suhu Permukaan Laut dari Data Citra Satelit NOAA – AVHRR Algoritma adalah langkah – langkah yang disusun secara berstruktur dan terurut untuk menjawab suatu persoalan dengan menggunakan bahasa manusia. Sebuah algoritma di catat dalam bentuk narasi (narrative description) atau diagram alir (flowchart). Metode narasi sangat sederhana dimana setiap langkah – langkah penyelesaian masalah dalam suatu algoritma di tulis dengan menggunakan kalimat – kalimat yang mudah dipahami (Adisantoso, 1999). Nababan (2009) menjelaskan bahwa umumnya algoritma dikaitkan dengan perhitungan dan proses perhitungan dilakukan dengan cepat oleh sebuah komputer maka algoritma menjadi selalu berkaitan dengan komputer. Komputer merupakan komponen yang memproses data dengan menggunakan kumpulan langkah yang disebut program. Program komputer ini ditulis dengan menggunakan bahasa pemrograman tertentu sehingga dapat di proses oleh komputer. Adisantoso (1999) menyatakan bahwa bahasa pemrograman komputer di bagi menjadi tiga kelompok yaitu bahasa mesin, bahasa tingkat rendah (bahasa rakitan), dan bahasa tingkat tinggi. Algoritma dalam penginderaan jauh kelautan sangat menentukan tingkat akurasi nilai hasil unsur – unsur yang diduga dibandingkan dengan nilai sebenarnya di lapangan. Dalam bidang ini terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan keakuratan algoritma dalam menduga nilai terduga sehingga inti keberhasilan (akurasi) pendugaan nilai hasil unsur terduga sangat ditentukan oleh kesahihan algoritma yang diaplikasikan kedalamnya. Oleh karena itu, mempelajari penginderaan jauh kelautan berarti mempelajari algoritma yang diaplikasikan didalamnya (Nababan, 2009). Keakuratan data satelit khususnya suhu permukaan laut sangat dibutuhkan untuk menentukan variabilitas iklim lautan. Algoritma IR SST (Infra 16 Red Sea Surface Temperature) merupakan salah satu algoritma yang berfungsi untuk mengoreksi validasi data satelit termasuk data suhu permukaan laut, seperti disajikan pada persamaan berikut : SST a Ti gamma Ti T j c ………..…………………………….. (1) dimana Ti dan Tj adalah suhu kecerahan pada saluran i dan j, a dan c adalah konstanta. Rumus gamma adalah : gamma (1 t i ) /(t i t j ) ………..…………………………….. (2) dimana t adalah pengiriman atmosfer dari permukaan ke satelit (Evans dan Podestà, 1998). Semua algoritma AVHRR secara umum di uraikan dalam algoritma di atas, meskipun ada beberapa nilai yang harus di modifikasi untuk menghasilkan nilai yang akurat. Mc Clain et al. (1985) mengembangkan algoritma suhu permukaan laut berdasarkan perbedaan linear suhu pada suhu kecerahan diantara saluran AVHRR. Algoritma ini dikenal dengan algoritma MCSST (Day Time Multy Chanel Sea Surface Temperature). Di dalam algoritma ini mengasumsikan bahwa nilai gamma adalah konstan, seperti persamaan berikut ini : Ts A1 T4 A2 (T4 T5 ) A3 (T4 T5 ) (sec(satelite angle) 1) A4 .. (3) dimana Ts adalah suhu permukaan laut, T4 dan T5 adalah equivalent blackbody temperature, dan A adalah coefficient. Algoritma di atas digunakan NOAA selama bertahun – tahun untuk validasi data citra satelit. Nababan (2009) menyatakan bahwa saat ini algoritma MCSST digunakan oleh Kantor Oseanografi Angkatan Laut Amerika (Naval Oceanographic Office (NAVOCEANO)) untuk menghitung nilai SPL secara near real time. 17 Versi selanjutnya dari algoritma NOAA adalah NLSST (Non Linear Sea Surface Temperature), dimana gamma diasumsikan sebanding dengan nilai SST (suhu permukaan laut) pertama (first-guess SST). Algoritma ini adalah versi singkat dari algoritma CPSST (Cross Product SST) yang diimplementasikan pada NOAA/NESDIS untuk penggunaan operasional pada tahun 1991. Berikut rumus umum dari CPSST : CPSST i, j Ti SST j TjSSTi ………..…………………………….. (4) Ti T j SST j SSTi dimana i dan j menggambarkan dua saluran window terpisah misalnya saluran 11 dan 12 µm pada AVHRR (Walton, 1988). NOAA/NESDIS menggunakan jendela terpisah NLSST untuk pendugaan SST siang hari dan algoritma triple window NLSST untuk pendugaan SST malam hari. Rumus algoritmanya sebagai berikut. Algoritma NLSST untuk siang hari berdasarkan operasi jendela terpisah : NLSSTday A1 T11 A2 Tsfc T11 T12 A3 T11 T12 sec 1 A4 .. (5) Algoritma NLSST untuk malam hari berdasarkan operasi triple window : NLSSTnight B1 T11 B2 Tsfc T3.7 T12 B3 T11 T12 sec 1 B4 .. (6) dimana : T3.7, T11,dan T12 : suhu benda hitam untuk AVHRR 3.7,11, dan 12 kanal (K) Tsfc : Estimasi sebelumnya dari SPL yang diturunkan dari nilai terdekat dari analisa global NESDIS pada 100 km SPL (⁰C) θ : sudut zenith dari satelit (Evans dan Podestà, 1998). Rumus algortima NLSST berdasarkan Vazquez et al. (1998), adalah sebagai berikut : 18 SSTsat a bT4 cT4 T5 SSTguess d T4 T5 secrho 1 ….……….. (7) dimana : SST sat : suhu permukaan laut satelit T4 dan T5 : suhu kecerahan AVHRR pada saluran 4 dan 5 SSTguess : nilai suhu permukaan laut pertama rho : sudut satelit a, b, c, dan d : estimasi dari analisis regresi yang diperoleh dari data insitu dan data satelit Algoritma NLSST yang dikembangkan oleh C. Walton menjadi dasar dikembangkannya algoritma Pathfinder SST (PFSST) (Evans dan Podestà, 1998). Rumus algoritma ini adalah sebagai berikut. PFSST w1 PFSST1 (1 w1 ) PFSST2 (7) ..………………………………. (8) dimana : PFSST : Suhu permukaan laut Pathfinder PFSST1 dan PFSST2 : SST yang dihitung dengan menggunakan koefisien algoritma untuk kisaran suhu rendah dan tinggi secara berturut w1 : faktor pemberat yang berbeda sebagai fungsi dari T45, sebagai berikut : untuk T45 <= 0.5 °C, w1 = 1.0 untuk 0.5 °C <T45<0.9 °C, w1 = 1- ((T45 – 0.5°)/(0.9° 0.5°)) untuk T45 >= 0.9 °C, w1 = 0.0 (Evans dan Podestà, 1998). Algoritma – algoritma di atas digunakan untuk mengukur nilai suhu permukaan laut dari satelit. Tujuan dari mempelajari algoritma ini adalah untuk 19 menyelesaikan masalah – masalah dan memberikan solusinya kepada orang lain, mengetahui teknik yang bekerja dengan baik, dan dapat menilai kelayakan suatu algoritma (Nababan, 2009). 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini seluruhnya berupa perolehan, pengolahan dan analisis data yang dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lokasi pengambilan data hasil pengukuran buoy TAO adalah perairan utara Papua yang dibatasi oleh garis bujur (longitude) 137° BT dan garis lintang (latitude) 2° LU hingga 8° LU. Dalam pengambilan data ini di bagi menjadi 3 stasiun sebagai tempat pengambilan data suhu permukaan laut dari Buoy TAO dan satelit. Tiga stasiun tersebut yaitu stasiun 1 terletak pada koordinat 137° BT dan 8° LU, stasiun 2 terletak pada koordinat 137° BT dan 5° LU, dan stasiun 3 terletak pada koordinat 137° BT dan 2° LU (Gambar 4). Gambar 4. Lokasi Penelitian, S1, S2, dan S3 merupakan stasiun SPL hasil pengukuran 20 21 Penelitian ini dilaksanakan mulai Januari 2010 sampai Mei 2011 yang terdiri dari pembuatan proposal penelitian, pengambilan data insitu dan data satelit, pengolahan data, validasi dan pengembangan algoritma, dan penulisan skripsi. 3.2. Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis data yaitu : 1. Data hasil pengukuran SPL Buoy TAO pada kedalaman 1.5 m. Data yang digunakan adalah data yang direkam per satu jam/hari selama 9 tahun (2001 – 2009) dan data diambil di tiga titik stasiun. Data ini diperoleh dari situs NOAA (National Ocean and Atmospheric Administration) (http://www.pmel.noaa.gov/tao/data_deliv/110w.html). Data tersebut sudah memiliki informasi lintang, bujur, waktu pengambilan data, dan kedalaman perairan yang digunakan ketika proses pengambilan data. Contoh data SPL hasil pengukuran buoy TAO dapat dilihat di Lampiran 1. 2. Citra satelit NOAA – AVHRR dengan resolusi 4 x 4 km2. Citra satelit yang digunakan merupakan composite data harian, mingguan dan bulanan selama 9 tahun (2001 – 2009) yang diperoleh dari situs NASA (http://poet.jpl.nasa.gov). Data tersebut sudah memiliki informasi tentang lintang, bujur, daratan, garis pantai, dan nilai estimasi suhu permukaan laut. Contoh data SPL satelit NOAA – AVHRR level 7 dapat dilihat pada Lampiran 2. 3.3. Pengolahan Data 3.3.1. Data Hasil pengukuran Suhu Permukaan Laut Data hasil pengukuran suhu permukaan laut (SPL) yang diperoleh dari buoy TAO dengan waktu pengambilan data per satu jam/hari. Data yang di 22 dapat tersimpan dalam bentuk .gz dan di ekstrak menjadi .ascii yang kemudian dibuka dengan Microsoft excel. Proses selanjutnya adalah penghilangan data error (bukan nilai SPL (-9.99)) . Data ini kemudian dipisahkan menjadi dua bagian yaitu data yang diambil pada malam hari (jam 18.00 s/d 05.00 waktu setempat) dan siang hari (jam 06.00 s/d 17.00 waktu setempat). Sebelum pemisahan tersebut dilakukan, waktu pengambilan data suhu pada buoy TAO (GMT) dikonversi terlebih dahulu menjadi waktu Indonesia bagian timur (waktu lokal). Selisih antara waktu GMT dengan waktu Indonesia bagian timur (Papua) yaitu +9 jam. Proses pengolahan data hasil pengukuran dapat dilihat pada gambar 5. Data buoy TAO (data hasil pengukuran) Pengolahan pada Microsoft Excel Data yang sudah di quality control Pengolahan pada software MATLAB Nilai suhu (siang dan malam) Data harian diubah menjadi mingguan dan bulanan Pembuatan grafik di Microsoft Excel Gambar 5. Diagram alir pengolahan data hasil pengukuran Pemisahan data hasil pengukuran antara siang dan malam dilakukan dengan perangkat lunak Microsoft Excel, berikut formula yang digunakan. 23 SST if B1 600, "1" , if B1 1800, "2" , "1" ..……………………………….. (9) Data yang sudah dipisahkan tersebut kemudian dirapikan di Microsoft Excel dan disimpan dalam bentuk .csv. Data ini selanjutnya dirata – ratakan menjadi data per hari. Perata – rataan ini dilakukan dengan menggunakan MATLAB R2008a, sintax yang digunakan disajikan pada Lampiran 4. Hasil perata – rataan ini di buka dengan Microsoft Excel, informasi yang terdapat pada data ini yaitu waktu pengambilan data, data malam, dan data siang. Dengan dihasilkannya data per hari kemudian data tersebut dirata – ratakan menjadi data mingguan dan bulanan dengan menggunakan Microsoft Excel. Data mingguan dan bulanan tersebut dibuat grafik agar fluktuasi data SPL ini dapat terlihat. 3.3.2. Data Satelit Suhu Permukaan Laut Data satelit suhu permukaan laut (SPL) diperoleh dari citra satelit NOAA – AVHRR. Data suhu yang diambil adalah suhu permukaan laut pathfinder 7-best, karena data tersebut dinilai memiliki kualitas yang terbaik dan tidak memiliki nilai error akibat tutupan awan. Data ini diambil dalam bentuk .ascii dan .gif. Pengolahan data pathfinder yang dilakukan oleh Universitas Miami dibagi menjadi empat langkah yaitu ingestion bertujuan untuk mengkalibrasi radiasi dan georeferens, pathfinder SST calculation, spatial binning, dan temporal binning. Software yang digunakan untuk memproses data pathfinder dikembangkan oleh Universitas Miami (Kilpatrick et al., 2001). Proses pengolahan data SPL pathfinder adalah sebagai berikut : 1. Kalibrasi dan konversi count-to-radiance yaitu proses digitalraw data AVHRR di konversi menjadi nilai radian. 2. Navigasi (koreksi waktu dan lokasi). 24 3. Perhitungan SPL dengan menggunakan algoritma PFSST (Pathfinder Sea Surface Temperature). 4. Pixel-by-pixel science quality flag. Proses dibagi menjadi empat tes yaitu: a. Brightness test, yang berfungsi untuk mengidentifikasi kesalahan sensor digitizer atau dinginnya suatu piksel akibat tutupan awan. b. Uniformity test, untuk mengidentifikasi kontaminasi awan kecil. Tes ini dibagi menjadi dua yaitu Uniformity test 1 (threshold 0.7 °C) dan Uniformity test 2 (threshold 1.2 °C). c. Zenith angle test, berfungsi untuk mengidentifikasi batas – batas minimum yang memungkinkan piksel terkontaminasi agar tetap pada ukuran piksel yang baik. Tes ini di bagi menjadi dua yaitu Zenith angle test 1 (< 45 °C) dan Zenith angle test 2 (<55 °C). d. Reference test, penerapan algoritma PFSST (Pathfinder Sea Surface Temperature). e. Stray sunlight test, digunakan untuk mengidentifikasi konfigurasi yang mungkin terjadi secara potensial. f. Edge test g. Glint test 5. Overall quality levels of global SST fields, proses ini dapat dilihat pada Gambar 6. Pada Gambar 6 terlihat bahwa hasil dari tes di atas digabungkan ke dalam level kualitas keseluruhan untuk masing – masing piksel. Secara keseluruhan ada delapan level kualitas data yaitu level 0 – 7. Level 0 menunjukan data SPL yang memiliki kualitas data paling rendah sedangkan level 7 memiliki kualitas data paling bagus. Sehingga pada level 7 diharapkan sudah tidak ada nilai error akibat tutupan awan. 25 Gambar 6. Prosedur pengolahan data SPL Pathfinder (Kilpatrick et al., 2001) 3.3.3. Perhitungan Nilai Koefisien Determinasi (R2) dan Root Mean Square Error (RMSE) R2 merupakan koefisien determinasi garis regresi sebagai pengukuran keeratan hubungan antara peubah y (data raw SPL satelit) dan peubah x (SPL hasil pengukuran ) sebagai peubah respons (variable tak bebas) dan peubah penjelas (variable bebas). Semakin dekat nilai R2 dengan 1, makin dekat pula titik pengamatan ke garis regresinya dan model semakin baik. RMSE (Root Mean Square Error) adalah seberapa jauh suatu titik di atas atau di bawah garis regresi. Semakin kecil RMSE, maka semakin bagus model hubungan tersebut. Berikut rumus RMSE yang digunakan. RMSE (biaske1 ) 2 (biaske2 ) 2 ........ (biasken ) 2 n ……………. (10) 100% 26 Keterangan : bias = nilai insitu – nilai satelit N = jumlah data (Harinaldi, 2002). 3.3.4. Uji Beda Nilai Tengah (Uji-t) Untuk mengetahui perbedaan nilai suhu permukaan laut (SPL) satelit antara siang dan malam serta nilai SPL hasil pengukuran dan satelit, maka diilakukan uji beda nilai tengah (uji-t). Dalam uji-t, jika nilai t-statistik (t-hitung ) berada dalam selang t-kritis, maka kedua nilai tengah yang di ujikan tidak berbeda nyata. Hipotesis yang digunakan dalam uji-t ini dirumuskan sebagai berikut : H 0 : 1 2 H 1 : 1 2 Dimana µ1 adalah nilai SPL satelit pada malam hari dan µ2 adalah nilai SPL satelit pada siang hari (untuk mengetahui perbedaan SPL satelit antara siang dan malam) serta µ1 adalah SPL hasil pengukuran dan µ2 adalah nilai SPL satelit (untuk mengetahui perbedaan antara SPL hasil pengukuran dan SPL satelit). Kemudian akan dibuktikan bahwa nilai tengah SPL pada malam hari dengan SPL pada siang hari hasil pengukuran satelit, serta nilai SPL hasil pengukuran dengan SPL satelit tidak berbeda nyata (µ1= µ2). Contoh perhitungan disajikan pada Lampiran 3. 3.3.5 Metode Pengembangan Algoritma SPL Pengembangan algoritma SPL dicobakan pada enam persamaan yaitu linear, eksponensial, logaritmik, polynomial 2, polynomial orde 3 dan power. Rumus dari ke enam persamaan tersebut disajikan dalam Tabel 4. Masing – masing persamaan tersebut akan menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2), kemudian nilai R2 tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel dan dipilih nilai R2 27 yang tertinggi dari setiap stasiun (S1,S2, dan S3). Nilai R2 tertinggi akan ditampilkan dalam bentuk grafik regresi. Tabel 4. Rumus persamaan regresi linear dan non linear Persamaan Linear Rumus y ax b Logaritmik y a e bx y a ln x b Polynomial orde 2 y ax 2 bx c Polynomial orde 3 y ax 3 bx 2 cx d Power y ax b Eksponensial dimana : y : nilai raw data SPL pada satelit x : nilai SPL hasil pengukuran a, b, c, dan d : konstanta e : nilai eksponensial 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Musiman Suhu Permukaan Laut Berdasarkan hasil pengolahan data satelit NOAA – AVHRR dan data hasil pengukuran, suhu permukaan laut (SPL) bulanan di lokasi buoy TAO Triton pada tahun 2001 – 2009 berkisar antara 27.10 – 31.90 °C. Variabilitas nilai SPL di bagian utara perairan Papua disajikan pada Gambar 7, 8, dan 9. Data SPL hasil pengukuran pada Gambar 7 menunjukan nilai SPL hasil pengukuran tertinggi di stasiun 1 pada malam hari adalah 30.40 °C terjadi pada bulan Mei dan nilai terendah adalah 27.73 °C di bulan Februari, pada siang hari nilai SPL hasil pengukuran tertinggi adalah 30.07 °C pada bulan Juni dan nilai terendah adalah 27.76 °C di bulan Februari. Di stasiun 2 pada malam hari nilai SPL hasil pengukuran tertinggi adalah 30.16 °C pada bulan Juni dan nilai terendah adalah 27.92 °C di bulan Februari, pada siang hari nilai SPL hasil pengukuran tertinggi adalah 30.25 °C dan nilai terendah adalah 27.93 °C di bulan Februari. Di stasiun 3 pada malam hari nilai SPL hasil pengukuran tertinggi adalah 29.96 °C pada bulan Juni dan nilai terendah 28.81 °C di bulan April, pada siang hari nilai SPL hasil pengukuran tertinggi adalah 30.49 °C dan nilai terendah adalah 28.88 °C di bulan Agustus. Berdasarkan hasil analisis uji tengah, SPL hasil pengukuran secara umum berbeda nyata dengan SPL satelit (α=0.01; thitung=-2.75; ttabel :>-2.58 dan <2.58). SPL hasil pengukuran buoy TAO relatif lebih tinggi dibandingkan dengan SPL satelit NOAA – AVHRR, karena SPL hasil pengukuran di ambil pada kedalaman 1.50 m sedangkan SPL satelit merupakan skin temperature. Data SPL satelit pada Gambar 8 dan 9 menunjukan bahwa nilai SPL satelit tertinggi di stasiun 1 pada malam hari adalah 30.20 °C terjadi pada bulan Oktober dan nilai terendah adalah 27.10 °C di bulan Februari, pada siang hari 28 29 nilai SPL satelit tertinggi adalah 31.20 °C pada bulan September dan nilai terendah adalah 27.60 °C di bulan Januari. Di stasiun 2 pada malam hari nilai SPL satelit tertinggi adalah 30.10 °C pada bulan April dan nilai terendah adalah 27.70 °C di bulan Februari, pada siang hari nilai SPL satelit tertinggi adalah 31.90 °C pada bulan Juni dan nilai terendah adalah 27.30 °C di bulan Januari. Di stasiun 3 pada malam hari nilai SPL satelit tertinggi adalah 30.90 °C pada bulan Juli dan nilai terendah adalah 28.30 °C di bulan Maret, pada siang hari nilai SPL satelit tertinggi adalah 31.70 °C pada bulan Oktober dan nilai terendah adalah 28.40 °C di bulan Januari. Pada bulan dan tahun tertentu pada ketiga stasiun penelitian terdapat beberapa data kosong yang terjadi akibat tutupan awan di atas lokasi penelitian. Pada musim timur (Juni – September) di perairan utara Papua SPL satelit pada stasiun 1, 2, dan 3 menunjukan peningkatan, SPL berkisar antara 27.90 – 31.20 °C, 28.00 – 31.90 °C, dan 28.50 – 31.30 °C. Pada SPL hasil pengukuran (Gambar 7) juga menunjukan peningkatan pada musim timur dengan kisaran SPL stasiun 1, 2, dan 3 adalah 28.28 – 30.70 °C, 28.27 °C – 30.25 °C, dan 28.81 – 30.19 °C. Peningkatan ini terjadi karena pada musim ini terbentuk angin yang bergerak dari Australia menuju Asia melalui kawasan benua Maritim Indonesia. Angin yang dingin dan kering dari Australia tersebut mengakibatkan Indonesia mengalami musim kemarau sehingga jumlah penyinaran (pemanasan) air laut lebih besar dibandingkan musim barat. Di perairan utara Papua pada musim barat (Desember – Februari) SPL satelit di stasiun 1, 2, dan 3 menunjukan distribusi SPL yang relatif lebih rendah dengan kisaran SPL 27.10 – 30.10 °C, 27.3 – 30.2 °C, dan 28.30 – 31.10 °C. SPL hasil pengukuran (Gambar 7) juga mengalami penurunan pada musim barat di stasiun 1, 2, dan 3 dengan kisaran antara 27.73 – 29.59 °C, 27.92 – 29.94 °C, 30 dan 28.84 – 30.13 °C. Menurunnya SPL di perairan utara Papua pada musim barat mungkin disebabkan oleh relatif tingginya tutupan awan dan curah hujan di wilayah Indonesia dan sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh angin yang bertiup dari benua Asia menuju Australia yang melewati laut China selatan dan Samudera Pasifik yang banyak mengandung uap air dan lembab sehingga menimbulkan banyak awan atau hujan di wilayah Indonesia pada musim ini. Relatif tingginya tutupan awan atau hujan pada musim ini mengakibatkan tingkat penyinaran matahari juga menjadi relatif lebih kecil yang mengakibatkan SPL menjadi relatif lebih rendah dibandingkan dengan musim timur. (a) (b) Gambar 7. Data SPL hasil pengukuran, (a) nilai SPL pada malam hari dan (b) nilai SPL pada siang hari. 31 (a) (b) (c) Gambar 8. Data SPL satelit pada malam hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3. 32 (a) (b) (c) Gambar 9. Data SPL satelit pada siang hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3. 33 4.2. Karakteristik Suhu Permukaan Laut Hasil Pengukuran dan Satelit Harian dan Mingguan Karakteristik data SPL harian dan mingguan berdasarkan data satelit dan hasil pengukuran disajikan pada Gambar 10, 11, 12, dan 13 yang menunjukan variasi nilai SPL satelit pada malam dan siang hari di setiap stasiun. Keempat gambar tersebut sudah tidak terlihat data kosong pada SPL satelit karena sudah dilakukan filtering pada pengolahan data sebelumnya. Dari analisis uji nilai tengah dengan uji-t menggunakan selang kepercayaan α=0.01, di stasiun 1 SPL harian pada 1X1 piksel didapatkan thitung=-1.47 dan pada 3X3 piksel thitung=-1.75, pada SPL mingguan pada 1X1 piksel didapatkan thitung=-2.33 dan pada 3X3 piksel thitung=-2.50, pada kedua SPL tersebut thitung berada dalam batas ttabel yang berada pada selang < -2.58 dan >2.58. Di stasiun 2 SPL harian pada 1X1 piksel didapatkan thitung=-1.96 dan pada 3X3 piksel thitung=-2.26, pada SPL mingguan pada 1X1 piksel didapatkan thitung=-1.95 dan pada 3X3 piksel thitung=-2.14, pada kedua SPL tersebut thitung berada dalam batas ttabel yang berada pada selang >2.58 dan <2.58. Nilai pada stasiun 1 dan 2 menunjukan bahwa antara nilai tengah SPL satelit pada malam dan siang hari tidak berbeda nyata. Di stasiun 3 SPL harian pada 1X1 piksel thitung=-2.99 dan pada 3X3 piksel thitung=-2.91, pada SPL mingguan pada 1X1 piksel thitung=-2.99 dan pada 3X3 piksel thitung=-2.72, kedua SPL tersebut thitung berada di luar batas ttabel yang berada pada selang >2.58 dan <2.58, nilai tersebut menunjukan bahwa nilai SPL satelit pada malam dan siang hari berbeda nyata. Penelitian Haq (2007) menunjukan data SPL pada malam hari memiliki penyimpangan nilai yang lebih kecil dari data SPL pada siang hari. Hal ini disebabkan pada siang hari intensitas radiasi yang dipancarkan oleh matahari sangat tinggi yang mampu memanaskan lapisan permukaan. berbeda dengan kondisi malam hari yang tidak mendapatkan radiasi dari penyinaran matahari. 34 (a) (b) (c) Gambar 10. Grafik data hasil pengukuran dan data satelit SPL harian pada malam hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3 . 35 Gambar 11. Grafik data hasil pengukuran dan data satelit SPL harian pada siang hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3 . 36 (a) (b) (c) Gambar 12. Grafik data hasil pengukuran dan data satelit SPL Mingguan pada malam hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3. 37 Gambar 13. Grafik data hasil pengukuran dan data satelit SPL Mingguan pada siang hari, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3. 38 Berdasarkan hasil analisis variabilitas, SPL hasil pengukuran secara umum berbeda nyata dengan SPL satelit (α=0.01; thitung=-2.75; ttabel : >-2.58 dan <2.58). SPL hasil pengukuran buoy TAO relatif lebih tinggi di bandingkan dengan SPL satelit NOAA - AVHR. Hal tersebut sudah di teliti oleh Sukresno (2008) yang menyatakan bahwa SPL satelit NOAA – AVHRR lebih rendah dibandingkan data pengukuran buoy TAO. Perbedaan ini disebabkan oleh ’cool skin effect’, yaitu lapisan permukaan laut yang sangat tipis (beberapa mikro meter) yang lebih dingin dari air bawahnya (Hartuti, 2008). Satelit hanya mendeteksi suhu permukaan laut (‘cool skin’) pada kedalaman 3.70 – 12.00 mm sedangkan SPL hasil pengukuran yang dideteksi oleh buoy TAO TRITON dilakukan pada kedalaman 1.50 m. Perbedaan ini dapat dikurangi dengan menguji pasangan data SPL dari satelit dan hasil pengukuran (Mc Clain, 1985). Setelah melakukan uji-t (α=0.01) di dapatkan bahwa thitung berada dalam batas ttabel. Nilai ini menunjukan bahwa antara nilai tengah SPL hasil pengukuran dan satelit tidak berbeda nyata. 4.3. Validasi Data Satelit dengan menggunakan Data Hasil pengukuran Suhu Permukaan Laut Harian dan Mingguan Dalam pengolahan data SPL satelit sering dijumpai data – data ekstrim (non – valid) dan data ini umumnya diidentifikasi dengan nilai 255 atau 999 atau 999, serta nilai SPL yang ekstrim tinggi atau ekstrim rendah dari nilai SPL sekitarnya. Untuk itu perlu dilakukan upaya quality control. Quality control data adalah rangkaian penghilangan data yang dianggap tidak valid atau ekstrim, agar data yang digunakan menjadi data valid. Untuk melihat persen data satelit yang tidak valid dapat dilihat pada Tabel 5, 6, dan 7. Dari ketiga tabel dapat dilihat bahwa persen data non valid pada data harian lebih besar dibandingkan dengan mingguan. Hal ini dikarenakan pada data mingguan satelit persentase tutupan 39 awan lebih kecil dibandingkan data harian. Tabel tersebut menunjukan data yang tidak valid akibat tutupan awan mencapai 96%. Agar data tidak valid tersebut tidak mempengaruhi hasil penelitian maka dilakukan quality control dengan menghilangkan nilai – nilai ekstrim yang disebutkan diatas. Tabel 5. Persen data satelit non valid akibat tutupan awan pada stasiun 1 Siang Malam % data non valid harian Mingguan 1X1 95.28 48.15 3X3 91.24 53.70 1X1 96.44 78.47 3X3 92.67 60.19 Tabel 6. Persen data satelit non valid akibat tutupan awan pada stasiun 2 Siang Malam % data non valid harian Mingguan 1x1 94.86 71.06 3x3 91.27 54.63 1x1 96.47 78.47 3x3 92.82 64.35 Tabel 7. Persen data satelit non valid akibat tutupan awan pada stasiun 3 Siang Malam % data non valid harian Mingguan 1x1 94.71 69.44 3x3 90.84 53.47 1x1 96.08 76.39 3x3 93.03 64.81 Selain itu, ketiga tabel di atas menunjukan bahwa pada 3x3 piksel persen data error lebih kecil dibandingkan dengan 1x1 piksel. Hal ini dikarenakan pada pengukuran 1x1 piksel data SPL yang di ukur hanya dari satu piksel sedangkan pada pengukuran 3x3 piksel data di ambil dari nilai rata – rata sembilan piksel. Hubungan antara SPL hasil pengukuran dan satelit harian dan mingguan dapat di lihat pada Gambar 14, 15, 16 dan 17. Pada gambar tersebut 40 menunjukan hubungan yang linier positif dan signifikan (p=0.05). Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan koefisien determinasi (R2) yang berbeda – beda, pada scatter plot harian R2 yang di dapat berkisar antara 0.60 – 0.71. (a) (c) (e) SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran (b) (d) (f) SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran Gambar 14. Grafik regresi linear data hasil pengukuran dan data satelit SPL harian pada malam hari, (a) stasiun 1 pada 1x1 piksel, (b) stasiun 1 3x3 piksel, (c) stasiun 2 pada 1x1 piksel, (d) stasiun 2 pada 3x3 piksel, (e) stasiun 3 pada 1x1 piksel, dan (f) stasiun 3 pada 3x3 piksel. 41 (a) SPL Hasil Pengukuran (b) SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran (c) SPL Hasil Pengukuran (d) (e) SPL Hasil Pengukuran (f) SPL Hasil Pengukuran Gambar 15. Grafik regresi linear data hasil pengukuran dan data satelit SPL harian pada siang hari, (a) stasiun 1 pada 1x1 piksel, (b) stasiun 1 3x3 piksel, (c) stasiun 2 pada 1x1 piksel, (d) stasiun 2 pada 3x3 piksel, (e) stasiun 3 pada 1x1 piksel, dan (f) stasiun 3 pada 3x3 piksel. 42 (a) (c) (e) SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran (b) (d) (f) SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran Gambar 16. Grafik regresi linear data hasil pengukuran dan data satelit SPL mingguan pada malam hari, (a) stasiun 1 pada 1x1 piksel, (b) stasiun 1 3x3 piksel, (c) stasiun 2 pada 1x1 piksel, (d) stasiun 2 pada 3x3 piksel, (e) stasiun 3 pada 1x1 piksel, dan (f) stasiun 3 pada 3x3 piksel. 43 (a) (c) (e) SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran (b) (d) (f) SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran SPL Hasil Pengukuran Gambar 17. Grafik regresi linear data hasil pengukuran dan data satelit SPL mingguan pada siang hari, (a) stasiun 1 pada 1x1 piksel, (b) stasiun 1 3x3 piksel, (c) stasiun 2 pada 1x1 piksel, (d) stasiun 2 pada 3x3 piksel, (e) stasiun 3 pada 1x1 piksel, dan (f) stasiun 3 pada 3x3 piksel. Sedangkan pada scatter plot mingguan R2 yang di dapat berkisar antara 0.50 – 0.71. Data R2 dapat menjelaskan bahwa SPL citra dapat menjelaskan 44 SPL hasil pengukuran sebesar 60 – 71% untuk data harian dan 50 – 71% untuk data mingguan. Nilai R2 identik dengan RMSE, nilai tersebut dapat di lihat pada Tabel 7 dan 8. RMSE ini bertujuan untuk mengurangi perbedaan nilai SPL antara satelit dan hasil pengukuran (Mc.Clain, 1985). Berdasarkan Tabel 8 dan 9 persen RMSE pada malam dan siang hari memiliki nilai yang berbeda – beda. Nilai RMSE pada malam hari relatif lebih kecil dibandingkan dengan siang hari. Hal ini disebabkan oleh pengaruh perubahan diurnal siang – malam terhadap SPL dan interaksinya dengan atmosfer. Pada siang hari lapisan permukaan laut mendapatkan pemanasan dari matahari, sehingga SPL dipengaruhi oleh radiasi udara, uap air, dan keberadaan awan sehingga nilai SPL pada siang hari lebih panas dibandingkan dengan malam. Sehingga penyimpangan data yang terjadi pada siang hari lebih besar dibandingkan malam hari. Walpole (1997) menyatakan bahwa semakin kecil RMSE maka semakin bagus model hubungan tersebut. Tabel 8. Nilai RMSE data harian Data Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 siang malam siang malam siang malam Nilai RMSE 1X1 3X3 3.61 5.69 4.45 4.32 3.85 3.68 4.49 4.55 3.49 3.54 3.37 3.33 45 Tabel 9. Nilai RMSE data minggun Data Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 siang malam siang malam siang malam Nilai RMSE 1X1 3X3 5.23 4.68 4.96 4.88 4.55 4.58 4.42 5.16 3.88 3.81 3.73 3.79 Dari hasil uji nilai tengah antara SPL satelit pada malam hari dan siang hari dengan uji-t (α=0.01) didapatkan bahwa pada stasiun 1 dan 2 nilai thitung berada dalam batas ttabel, nilai ini menunjukan bahwa nilai SPL satelit pada malam dan siang hari tidak berbeda nyata. Sedangkan pada stasiun 3 thitung berada di luar batas ttabel, sehingga nilai SPL satelit pada malam dan siang hari berbeda nyata. 4.4. Pengembangan Algoritma Suhu Permukaan Laut Pengembangan algoritma SPL dicobakan dengan enam model yaitu model linear, logaritmik, eksponensial, polynomial orde 2, polynomial orde 3, dan power. Pengembangan ini dibagi menjadi dua bagian yaitu model yang dicobakan pada pemisahan data SPL antara siang dan malam, serta penggabungan data SPL antara siang dan malam. Percobaan pembuatan algoritma SPL antara raw data satelit dan hasil pengukuran yang memisahkan antara SPL siang dan malam disajikan pada Tabel 10 dan 11. Pada kedua tabel tersebut tidak terlihat perbedaan yang nyata pada nilai – nilai koefisien determinasi (R2). Hasil ini menunjukkan bahwa model pengembangan algoritma SPL dengan model eksponensial, logaritmik, polynomial, dan power tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan model linear. Berdasarkan penelitian Evans dan Podestà (1998), Hu et al. (2003), McClain et al. 46 (1983,1985) menyatakan hubungan antara SPL hasil pengukuran dan SPL satelit adalah linear. Dengan demikian dalam penelitian ini diambil model algoritma estimasi SPL satelit berdasarkan model linear (R2 maksimum : 0.65). Model algoritma SPL satelit antara siang dan malam pada Tabel 9 dan 10, pada stasiun 1 dan 2 terlihat nilai R2 yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan stasiun 3. Hal ini disebabkan variabilitas SPL hasil pengukuran untuk stasiun 1 dan 2 antara siang dan malam tidak berbeda nyata sedangkan pada stasiun 3 berbeda nyata. Tabel 10. Nilai R2 hubungan SPL satelit dan SPL hasil pengukuran data harian berdasarkan pemisahan data siang dan malam Tabel 11. Nilai R2 hubungan SPL satelit dan SPL hasil pengukuran data mingguan berdasarkan pemisahan antara siang dan malam Nilai R2 yang di dapat dari tabel 10 dan 11 terlihat sama, hal ini dikarenakan data SPL hasil pengukuran merupakan data rata – rata per jam sedangkan data satelit merupakan data rata – rata dari beberapa satelit dalam 47 satu hari, data SPL di ambil pada kedalaman 1.50 m sedangkan data SPL di ambil pada kedalaman 0.10 mm (skin SPL), dan data SPL hasil pengukuran bersifat continous, sementara data satelit banyak yang tidak continous karena banyaknya tutupan awan. Berdasarkan nilai R2 yang diperoleh maka model yang digunakan adalah regresi linear baik pada data harian maupun data mingguan. Model persamaan SPL tersebut dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19. Gambar 18. Grafik regresi linear data hasil pengukuran dan data raw satelit suhu permukaan laut harian Gambar 19. Grafik regresi linear data hasil pengukuran dan data raw satelit suhu permukaan laut mingguan 48 Percobaan pembuatan model dengan menggabungkan data SPL antara siang dan malam dapat di lihat pada Tabel 12 dan 13. Nilai R2 masing – masing persamaan yang disajikan pada Tabel 12 dan 13 terlihat tidak berbeda nyata, ada beberapa persamaan yang memiliki nilai R2 yang sama. Tabel 12. Nilai R2 hubungan SPL satelit dan SPL hasil pengukuran data harian berdasarkan penggabungan data antara siang dan malam Tabel 13. Nilai R2 hubungan SPL satelit dan SPL hasil pengukuran data mingguan berdasarkan gabungan data antara siang dan malam Hubungan SPL satelit dan SPL hasil pengukuran berdasarkan data harian (Tabel 12), nilai R2 paling tinggi di stasiun 1 adalah 0.62, di stasiun 2 nilai R2 paling tinggi adalah 0.61, dan di stasiun 3 nilai R2 paling tinggi adalah 0.30. Hubungan SPL satelit dan SPL hasil pengukuran berdasarkan data mingguan (Tabel 13), di stasiun 1 nilai R2 paling tinggi adalah 0.46, di stasiun 2 nilai R2 paling tinggi adalah 0.53, dan di stasiun 3 nilai R2 paling tinggi adalah 0.20. 49 Grafik dan persamaan dengan nilai R2 yang tertinggi dari masing – masing stasiun (S1, S2, dan S3) dapat dilihat pada Gambar 20 dan 21. (a) (b) (c) Gambar 20. Grafik regresi linear data SPL hasil pengukuran dan data raw satelit gabungan antara siang dan malam berdasarkan data harian, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3. (b) (a) (c) Gambar 21. Grafik regresi linear data SPL hasil pengukuran dan data raw satelit gabungan antara siang dan malam berdasarkan data mingguan, (a) stasiun 1, (b) stasiun 2, dan (c) stasiun 3. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kisaran nilai SPL satelit dan SPL hasil pengukuran di perairan utara Papua pada tahun 2001 – 2009 adalah 27.10 – 31.90 °C. Pada musim timur (Juni – September) SPL hasil pengukuran (rata – rata 29.39 °C ) dan satelit (rata – rata 29.57 °C ) dari 3 stasiun relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai SPL hasil pengukuran (rata – rata 29.08 °C ) dan satelit (rata – rata 28.95 °C) pada musim barat (Desember – Februari). Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai SPL antara siang dan malam baik dari hasil pengukuran maupun satelit umumnya tidak berbeda nyata kecuali pada stasiun yang relatif lebih dekat dengan daratan (stasiun 3). Hal ini menunjukan bahwa variabilitas SPL siang dan malam relatif lebih tinggi pada daerah yang lokasinya berdekatan dengan daratan. Hasil penelitian menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) antara SPL satelit dan hasil pengukuran masih relatif rendah yaitu sekitar 65%, hal ini menyimpulkan bahwa sekitar 35% faktor luar mempengaruhi hubungan keduanya. Hasil pengembangan algoritma estimasi SPL dengan menggunakan data raw satelit dan hasil pengukuran juga menghasilkan nilai koefisien determinasi (R2) yang relatif kecil yaitu sekitar 65%. Hal ini mungkin dikarenakan pengaruh absorpsi gelombang elektromagnetik yang diemisikan permukaan laut oleh atmosfer yang berubah – ubah terkait dengan perbedaan waktu dan musim. Hasil ini menunjukkan bahwa algoritma ini belum dapat digunakan untuk estimasi SPL dari satelit secara sahih untuk perairan utara Papua. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menghasilkan algoritma yang lebih baik. 50 51 5.2. Saran Untuk menghasilkan algoritma yang lebih akurat sebaiknya digunakan data suhu hasil pengukuran pada permukaan laut dan data satelit dengan resolusi spasial maksimum (1x1 km2). DAFTAR PUSTAKA NOAA. 2005. Dynamical Model MJO Forecasts. http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/precip/CWlink/MJO/mjo.shtml.[2 Februari 2011]. NASA. 2011. AVHRR-Pathfinder. http://podaac.jpl.nasa.gov/SeaSurfaceTemperature/AVHRR-Pathfinder. [8 Juni 2011]. NOAA. 2011. NOAA - National Oceanic and Atmospheric Administration. http://www.ga.gov.au/earth-observation/satellites-and-sensors/noaa.html. [8 Juni 2011]. NOAA. 2011. Diagram of the 10N 95W TAO/EPIC buoy. http://www.pmel.noaa.gov/tao/epic/diagrams.html. [15 Juli 2011]. Adisantoso, J. 1999. Algoritme dan Pemrograman. Fakultas Matematika dan ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ambarwulan, W. 2006. Citra Satelit Multi Sensor dan Multi Temporal untuk Studi Dinamika Pesisir dan Laut di Delta Mahakam. http://pssdal.bakosurtanal.go.id/pssdalweb/laporan/2003/lap_2003_000022 .pdf. [2 Februari 2011]. Arsjad, A. B. S. M., Y. Siswantoro, dan R.S. Dewi. 2004. Sea Surface Temperature (Suhu Permukaan Laut Wilayah Indonesia). Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Bogor. Evans, R. dan G. Podestà. 1998. Pathfinder Sea Surface Temperature Algorithm. University of Miami Rosenstiel School of Marine and Atmospheric Science. http://www.podaac.jpl.nasa.gov/pub/sea_surface_temperature/avhrr/pathfin der/doc. [2 Februari 2011]. Gaol, J.L. 2003. Kajian Karakter Oseanografi Samudera Hindia Bagian Timur dengan Menggunakan Multi Sensor Citra Satelit dan Hubungannya dengan Hasil Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obesus). Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Haq, N. 2007. Analisis Ketelitian Estimasi Suhu Permukaan Laut Dari Sensor AVHRR satelit NOAA Di Perairan Barat Sumatera dan Selatan Jawa. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Harinaldi. 2002. Prinsip – Prinsip Statistik untuk Teknik dan Sains. Erlangga. Jakarta. Harsono, G. 2011. Prakarsa Strategi “Rumpon Belt” dan Implikasinya Terhadap Pertahanan Indonesia. [email protected]. [1 Januari 2011]. 52 53 Hartati, S. S. 2004. Penginderaan Jarak Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografis. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Hartuti, M. 2008. Penentuan Suhu Permukaan Laut dari Data NOAA – AVHRR. Pelatihan Penentuan Zona Potensi Penangkapan Ikan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta. Hasegawa, T. 2009. PNG Coastal Upwelling, PNG Offshore Current. JAMSTEC. Yokosuka. Japan. Hutabarat, S. dan S.M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. UI Press. Jakarta. Hu, C., F. E. Muller-Karger, D. C. Biggs, K. L. Carder, B. Nababan, D. Nadeau, dan J. Vanderbloemen. 2003. Comparison of Ship and Satellite Bio-Optical Measurements of The Continental Margin of The NE Gulf of Mexico. Int. J. Rem. Sensing. 24(13) : 2597-2612. Ilahude, A.G. 1999. Pengantar Ke Oseanologi Fisika. P3O – LIPI. Jakarta. Indrawati, T. A. 2000. Studi Tentang Hubungan Suhu Permukaan Laut Hasil Pengukuran Satelit Terhadap Hasil Tangkapan Ikan Lemuru (Sardenella Lemuru Bleeker 1853) di Selat Bali. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kashino, Y., A. Ishida, dan S. Hosoda. 2011. Observed Ocean Variability in The Mindanao Dome Region. American Meteorological Society. DOI : 10.1175/2010JPO4329.1. Pp.287–301. Kilpatrick, K.A., G.P. Podestà, dan R. Evans. 2001. Overview of The NOAA/NASA Advanced Very High Resolution Radiometer Pathfinder Algorithm for Sea Surface Temperature and Associated Matchup Database. Journal of Geophysical Research. 106 : 9179-9197. Kumar, A., P.J. Minnet, G. Podestà, dan R.H. Evans. 2003. Error Characteristics of The Atmospheric Correction Algorithms Used in Retrieval of Sea Surface Temperatures from Infrared Satellite Measurements : Global and Regional Aspects. Journal of the Amospheric Sciences. 60:575-585. Kurniawan, M. 2004. Studi Fluktuasi Arus Permukaan Frekuensi Rendah (Low Frequency) di Perairan Utara Papua Pada Bulan Oktober 2001 – Agustus 2002. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Murakami, H. 1999. Surface Temperature Estimation using Visible and Infrared Scanner (VIRS). National Space Development Agency of Japan. Tokyo. McClain, E. P., W. G. Pichel, dan C. C. Walton. 1985. Comparative Performance of (AVHRR) Based Multichannel Sea Surface Temperature. Journal of Geophysical Research. 90(11):587-601. McClain, E.P., W. G. Pichel, C. C. Walton, Z. Ahmad, dan J. Sutton. 1983. Multichannel Improvements to Satellite-Derived Global Sea Surface Temperature. Adv. Space Res. 2(6):43-47. 54 Nababan, B. 2009. Modul Mata Kuliah Algoritma Inderaja Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Narieswari, L.2006. Estimasi Suhu Permukaan Laut Perairan Delta Berau Menggunakan Kanal Tir Citra ASTER. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Bogor. NOAA. 2008. National Oceanic and Atmospheric Administration Satellite. http://www.noaa.gov/satellites.html. [2 Februari 2011]. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Nuriyanto, A. 2004. Karakteristik Massa Air di Perairan Utara Papua Pada Bulan Juli 2002. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nybakken, J. W. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta. PPRUK. 2004. Penerapan Informasi Harian Zona Potensi Penangkapan Ikan di Wilayah Bangkalan (Jawa Timur), Balikpapan (Kaltim), dan Batam (Riau). Laporan Akhir. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta. Quirin, A., O. Cordón, J. Santamarià, B. Vargas-Quesada, dan F. Moya-Anegón. 2008. A New Variant of The Pathfinder Algorithm to Generate Large Visual Science Maps in Cubic Time. Science Direct. 44:1611-1623. Robinson, I. S. 1985. Satellite Oceanography. New York. Rosyadi, N. 2011. Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Konsentrasi Klorofil-a Di Bagian Selatan Selat Makassar. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Srihadiyanti, F. 1986. Penerapan Teknologi Penginderaan Jauh Bagi Usaha Perikanan. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta. Sukresno, B., A. Zahrudin, dan Dedy. 2008. Validasi Algoritma MCSST Satelit NOAA – AVHRR Untuk Penentuan Suhu Permukaan Laut dengan Menggunakan Data Buoy TAO. Jurnal kelautan nasional. 3(1):12-25. Sverdrup. H.V., M.W. Jhonson dan R.H. Flemming. 1964. The Ocean : Their Physics, Chemistry and General Biology. Prentice Hal, Inc. Engelwood Cliffs. New Jersey. Tubalowani, S. 2001. Pengaruh Faktor – Faktor Oseanografi Terhadap Produktivitas Primer Perairan Indonesia. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Vazquez, J., K. Perry, dan K. Kilpatrick. 1988. NOAA/NASA AVHRR Oceans Pathfinder Sea Surface Temperature Data Set Users Reference Manual Version 4.0. http://www.rsmas.miami.edu/groups/rrsl/pathfinder/algorithm. [2 Februari 2011]. Walpole, R. 1997. Pengantar Statistik. PT Gramedia . Jakarta . 55 Walton, C. C. 1988. Nonlinear Multichannel Algorithms for Estimating Sea Surface Temperature with AVHRR Satellite Data. J. of Appl. Met.. 27:115124. Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of Southeast Asian Waters. The University of California. Sandiego. Yusniati, M. 2006. Analisis Spasial Suhu Permukaan Laut di Perairan Laut Jawa pada Musim Timur dengan Menggunakan Data Digital Satelit NOAA16 – AVHRR. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. LAMPIRAN 56 57 Lampiran 1. Data SPL hasil pengukuran yang didownload perjam/hari Lokasi penelitian 58 Lampiran 2. Data SPL satelit NOAA – AVHRR Pathfinder level 7 Nilai non valid dan tidak dimasukan kedalam perhitungan 59 Lampiran 3. Perhitungan uji nilai tengah (uji-t) Diketahui : n1 82 x1 28.8854 s1 0.6380 n2 109 x 2 29.1523 s 2 0.8764 keterangan : n1 : jumlah data pada malam hari n2 : jumlah data pada siang hari x1 : rataan SPL pada malam hari x 2 : rataan SPL pada siang hari s1 : simpangan baku SPL pada malam hari s 2 : simpangan baku SPL pada malam hari Ditanyakan : apakah nilai SPL pada malam hari berbeda nyata atau tidak dengan SPL pada siang hari. Jawab : z 0.005 2.575 (tabel A.4) 2 sp 2 n1 1 s1 n2 1 s 2 2 82 1 0.6380 2 109 1 0.8764 2 0.8799 z hit x x2 d 0 sp 1 1 n1 n 2 1 28.8854 29.1523 0 0.8799 1 1 89 109 2.33 Kesimpulan : z hit z tab z hit 2.575 2.33 2.575 Keputusan : karena z tab berada di antara z hit maka keputusann ya gagal tolak H 0 Interpretasi : dapat disimpulkan bahwa nilai SPL pada malam hari tidak berbeda nyata dengan SPL pada siang hari. 60 Lampiran 4. Sintax yang digunakan untuk memisahkan SPL hasil pengukuran antara siang dan malam hari clc namafile=load('2009_11.csv'); tanggal=namafile(:,1); jam=namafile(:,2); suhu=namafile(:,3); flag=namafile(:,6); a=0; b=0; j=1; k=1; h=length(namafile); l=1; kk=1; jj=1; for i=1:h if (flag(i)==2) %ini dirubah %klo misal di isi 2 siang malam kebalik a=suhu(i) ; rataa(j)=a; j=j+1; if k>7 %ini drubah sesuai jumlah yg awal siang(k-1)=mean(ratab); ratab=0; l=1; end jj=1; else kk=kk+1; a=0; malam(k-1)=mean(rataa); jj=jj+1; rataa=0; j=1; b=suhu(i); ratab(l)=b; l=l+1; end k=k+1; end hasila=find(siang>0); hasilb=find(malam>0); % hasil=union(hasila,hasilb); akhira=siang(hasila)'; akhirb=malam(hasilb)';