naskah publikasi - E

advertisement
Potensi Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Vera) sebagai Immunostimulant untuk
Meningkatkan Sistem Kekebalan Non Spesifik pada Ikan Mas (Cyprinus
Carpio)
Potency Of Aloe Vera As Immunostimulant for Increasing The Non Specific
Immunity Of Carp (Cyprinus Carpio)
Sri Dwi Hastuti
Jurusan Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang
Jl. Raya Tlogomas no 246 Malang, telp 0341-464318 psw 222
Email: [email protected]
Abstract
Background: It is well known that fish has non specific immunity response which can be stimulated by
immunostimulant. One of active compound that is act as immunostimulant is Acemmanan, which is known,
exists in plant like Aloe vera. Research was conducted to evaluate Aloe vera potency as immunostimulant.
Method: Aloe vera flour was soluted in PBS in five level i.e 0; 1 mg/ml, 2 mg/ml, 3 mg/ml and 4 mg/ml
dossages. Aloe vera solution then injected 0,2 ml via dorsal intramuscular, agree with each dossages. Measured
parameter was non specific immunity response (hematocryt, leucocryt , NBT and phagocytosis activity)
Research conducted based on completely randomized design and data anlyzed by ANAVA.
Results: Treatments has non significant (P>0,05) effect into all parameters, which mean that the different dose
of Aloe vera did not influence on hematocrite and leucocrite level, NBT and Phagocyte activities. This results
may due to several factors like the method of extraction have not appropriate to get the active compound, the
dose of Aloe vera used was too low and physiology of fish at the time of sampling.
Keywords: Non-specific immune system, hematocrit, leucocrit, NBT activity, Phagocytosis activity
Abstraksi
Latar Belakang: Ikan mempunyai respon kekebalan non spesifik yang bisa dirangsang dengan pemberian
immunostimulant. Salah satu bahan yang bisa berfungsi sebagai immunostimulant adalah Acemanan yang
diketahui terkandung dalam tanaman Lidah Buaya (Aloe vera). Penelitian bertujuan untuk mengetahui potensi
Lidah Buaya sebagai immunostimulant.
Metode: Tepung lidah buaya dilarutkan dalam phosphat buffer saline (PBS) dengan 5 level, yaitu 0; 1 mg/ml; 2
mg/ml; 3 mg/ml; dan 4 mg/ml. Perlakuan diinjeksikan 0,2 ml secara intramuscular pada bagian dorsal ikan
sesuai dengan dosis perlakuan. Parameter yang diukur berupa respon kekebalan non spesifik ikan mas (nilai
hematokrit, leukokrit, aktivitas NBT dan aktivitas fagositosis) yang ditimbulkan akibat pemberian ekstrak Lidah
buaya. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan acak lengkap. Sementara data yang
diperoleh dianalisa dengan ANAVA.
Hasil: Semua parameter yang diukur tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05), yang berarti
bahwa penggunaan dosis ekstrak lidah buaya yang berbeda tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap
level hematokrit, leukokrit, aktivitas NBT dan aktivitas fagositosis. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu metode ekstraksi bahan aktif yang belum tepat, range dosis yang digunakan kurang tiggi
serta kondisi fisiologis ikan pada saat sampling darah.
Kata Kunci: Sistem pertahanan non spesifik, Hematokrit, Leukrokit, Aktivitas NBT, Aktivitas Fagositosis
PENDAHULUAN
Salah satu jenis ikan air tawar yang
banyak dibudidayakan di Indonesia adalah ikan
Mas (Cyprinus carpio) (Lingga, 1994). Jenis
ikan ini banyak disukai oleh konsumen dan
permintaannya terus tinggi walaupun banyak
jenis ikan budidaya lain sebagai pilihan.
Tingginya permintaan akan ikan Mas
mendorong petani ikan untuk meningkatkan
budidaya kearah yang lebih intensif dengan
menambah padat penebaran yang diikuti
dengan penambahan pemberian pakan.
Budidaya ikan yang dilaksanakan
secara intensif berdampak negatif terhadap
usaha budidaya khususnya terhadap kesehatan
ikan yang dipelihara. Tingginya padat tebar dan
pakan yang digunakan menjadi pendorong bagi
timbulnya penyakit akibat menurunnya kualitas
air karena timbunan bahan organik dari sisa
pakan maupun ekskresi ikan. Sementara itu
ikan menjadi stress sehingga rentan terhadap
serangan penyakit, khususnya penyakit
infeksius seperti yang disebabkan oleh bakteri
(Angka, 1990) maupun virus. Oleh karena itu
maka penanggulangan terhadap penyakit
melalui upaya pencegahan menjadi hal yang
penting. Upaya pencegahan dengan vaksinasi
yang bertujuan untuk pembentukan antibodi
telah banyak dilakukan, namun vaksinasi hanya
dapat efektif terhadap suatu jenis patogen
(spesifik). Upaya pencegahan lain yang dapat
dilakukan sebagai alternatif adalah dengan
meningkatkan kekebalan non spesifik sehingga
organisme budidaya dapat lebih tahan terhadap
berbagai jenis patogen yang menyerang.
Diketahui bahwa selain memeiliki sistem
kekebalan spesifik atau adaptif , ikan juga
memiliki sistem kekebalan innate atau non
spesifik. Sistem kekebalan non spesifik ini
dapat dirangsang dengan pemberian suatu
bahan
yang
biasa
disebut
dengan
immunostimulant.
Aloe vera atau yang di Indonesia
dikenal dengan Lidah Buaya merupakan
tanaman yang dikenal sebagai penyubur rambut
dan penghalus kulit. Namun ternyata selain
digunakan sebagai bahan kosmetika tanaman
ini juga berkhasiat dalam penyembuhan luka
dan mempunyai aktivitas antimikroba. Bahkan
saat ini sudah banyak digunakan sebagai
minuman kesehatan dalam bentuk “juice” Lidah
Buaya (Purbaya, 2004). Kandungan bahan aktif
dalam Lidah Buaya diantaranya adalah
anthraquinones,
acetylated
mannose,
prostaglandins dan asam lemak, enzim-enzim,
asam amino, vitamin dan mineral (Anonymous,
2005). Salah satu bahan aktif yang terkandung
dalam Lidah buaya adalah acetylated mannose
yang masuk dalam golongan sakarida dan
mempunyai fungsi sebagai antiviral serta
meningkatkan
system
kekebalan
tubuh
(immunostimulant). Berdasarkan uraian diatas,
maka perlu adanya suatu studi tentang potensi
Lidah buaya sebagai immunostimulant untuk
mengetahui apakah Lidah buaya dapat
meningkatkan respon kekebalan non spesifik
pada ikan mas, sehingga jika memang positif
maka Lidah buaya ini dapat dimanfaatkan
sebagai alternatif pencegahan penyakit pada
budidaya ikan mas yang dapat diaplikasikan
dalam pakan.
MATERI DAN METODE
Pembuatan Ekstrak Lidah Buaya
Lidah buaya sebnayak 10 kg yang
masih segar dikupas, sehingga tertinggal
gelnya. Gel lidah buaya kemudian diblender
sehinggamenghasilkan jus lidah buaya. Jus ini
kemudian difilter dengan vaccum filter untuk
menghasilkan lidah buaya yang bebas dari
serat. Jus ini kemudian difreezer sampai beku,
kemudian di vaccum freeze drying untuk
menghasilkan tepung lidah buaya. Tepung lidah
buaya yang dihasilkan disimpan sampai saat
digunakan.
Untuk
penggunaan
tepung
dilarutkan dalam Phosfat Buffer Saline (PBS).
Hewan Uji dan Penyuntikan
Ikan yang dipakai dalam penelitian ini
adalah ikan mas dengan ukuran masing-masing
10-15 cm, berjumlah 25 ekor yang dipelihara
dalam akuarium. Ikan diadaptasikan selama 7
hari sebelum diberikan penyuntikan dengan
lidah buaya pada dosis yang sudah ditentukan
yaitu dosis 0; 1 mg/ml; 2 mg/ml; 3 mg/ml; dan
4 mg/ml. Masing-masing ikan diinjeksi dengan
0,2 ml lidah buaya sesuai dengan masingmasing
dosis
perlakuan.
Penyuntikan
menggunakan
syringe berukuran 1 ml.
Penyuntikan dilakukan secara intramuscular
pada bagian dorsal ikan.
Pengambilan sampel darah ikan
Dua minggu setelah penyuntikan, ikan
diambil darahnya. Dari masing-masing
akuarium diambil darah dari dua ekor ikan.
Sebelum sampling darah ikan dibius denan
menggunakan minyak cengkeh dengan dosis 1
ml/ 8 liter air. Ikan dimasukkan dalam larutan
minyak cengkeh sampai pingsan. Pengambilan
darah dilakukan pada bagian dorsal ikan dengan
menggunakan jarum suntik ukuran 1 ml yang
sudah dibasahi dengan EDTA sebagai
antikoagulan. Setelah darah diambil ikan
dimasukkan dalam air mengalir sampai pulih
sadar dan kemudian dikembalikan pada
akuarium pemeliharaan, sementara darah
dimasukkan dalam tabung eppendorf untuk
kemudian dilakukan pengujian lebih lanjut.
Pengukuran level hematokrit dan leukokrit
(Anderson dan Siwicki, 1994)
Darah ikan sample yang telah diambil
ditampung dalam tabung eppendorf, kapiler
hematokrit diisi hingga batas volume dan
ditutup dengan Vitrex. Kapiler hematokrit
kemudian disentrifuse pada 1000 rpm selama 5
menit. Panjang eritrosit dan leukosit pada
kapiler hematokrit diukur dengan penggaris
kemudian dihitung persentase volumenya
dibanding dengan panjang total darah dalam
kapiler hematokrit (eritrosit, leukosit dan
plasma).
Pengukuran
Aktivitas
NBT
dengan
Spektrofotometer (Anderson dan Siwicki,
1994)
Darah dari ikan sample diambil
sebanyak 100 µl dimasukkan dalam microtube
kemudian ditambahkan 0,2% NBT (dalam 0,85
NaCl) dengan volume yang sama. Campuran
tersebut diinkubasi selama 30 menit. Setelah
inkubasi, 50 µl campuran tersebut diambil dan
dipindahkan ke tabung reaksi gelas kemudian
ditambahkan 1000 µl N,N-dimethyl formamide
(DMF), kemudian disentrifus pada 3000 g
selama 5 menit. Supernatant diambil dan
dipindahkan dalam tabung kaca, selanjutny
dibaca dengan menggunakan sprektofotometer
pada OD 540 nm.
Uji Aktifitas Fagositosis
Setelah
melakukan
pengukuran
hematokrit dan leukokrit, kapiler hematokrit
kemudian dipotong pada batas antara eritrosit
dan leukosit. Bagian leukosit ditampung pada
tabung eppendorf. Leukosit sebanyak 100 µl
dimasukkan pada mikroplate well, kemudian
ditambah dengan Aeromonas hydrophila
(kepadatan 108 sel/ml) dengan volume yang
sama. leukosit dengan Aeromonas hydrophila
dicampur dengan cara pipeting, kemudian
diinkubasi selama 20 menit. Selanjutnya 5 µl
sampel dari mikroplate well diletakkan diatas
obyek glas dan dibuat preparat ulas dan
diamkan hingga kering angin. Fiksasi dengan
ethanol/methanol absolut selama 5 menitdan
dikeringanginkan. Kemudian diwarnai dengan
safranin (0,15%) atau Giemsa (7%) selama 10
menit dan diamati dibawah mikroskop dengan
pembesaran 1000 X. Aktifitas fagositosis
dinyatakan dengan jumlah sel yang memfagosit
bakteri / 100 sel fagosit yang diamati dikali
100%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Level Hematokrit dan Leukokrit
Kondisi kesehatan ikan dapat diketahui
dari pemeriksaan darah, yaitu dengan melihat
perbandingan jumlah eritrosit dan leukositnya.
Untuk mengetahui level hematokrit dan
leukokrit digunakan tabung kapiler darah.
Sampel darah dimasukkan dalam tabung kapiler
kemudian dilakukan sentrifugasi sehingga
terjadi pemisahan antara sel darah merah, sel
darah putih dan plasmanya. Sel darah merah
akan berada pada lapisan paling bawah dan
menunjukkan warna merah. Sel darah putih
berada di bagian tengah merupakan lapisan tipis
yang berwarna putih keruh, sementara untuk
plasma berada di lapisan paling atas dan
biasanya merupakan bagian yang terbanyak,
plasma menunjukkan warna putih bening.
Pengukuran dilakukan dengan cara
mengukur panjang masing-masing lapisan
dengan menggunakan penggaris. Level
hematokrit ditentukan dengan cara hasil
pengukuran panjang pada bagian sel darah
merah dibagi dengan total panjang darah pada
tabung kapiler kemudian dikalikan 100%,
sehingga didapatkan level hematokrit dalam
bentuk persen. Cara ini juga berlaku untuk
penentuan level leukokrit. Hasil pengukuran
terhadap level hematokrit ikan uji disajikan
pada gambar di bawah ini :
Gambar 1. Level Hematokrit Darah Ikan Uji Selama Penelitian
Volume sel darah merah dalam darah ikan
dapat menggambarkan kesehatan ikan. Pada
ikan Rainbow Trout yang sehat level
hematokritnya sekitar 30-40% (Anderson dan
Siwicki, 1994). Pada studi ini level hematokrit
yang dimiliki oleh ikan uji pada beberapa
perlakuan menunjukkan menunjukkan fluktuasi
namun kecenderungannya semakin tinggi dosis
nampaknya level hematokritnya semakin
meningkat. Hasil level hematokrit tertinggi
diperoleh pada perlakuan E dengan dosis
penyuntikan ektrak lidah buaya sebesar 4
mg/ml dihasilkan level hematokrit sebesar ratarata 37, 41%. Hasil ini lebih baik daripada studi
terdahulu
dengan
menggunakan
immunostimulant dari LPS bakteri Aeromonas
yang menghasilkan level hematokrit pada dosis
penyuntikan LPS 100% sebesar 23,33%
(Hastuti, 2006). Sayangnya memang belum ada
standar berapa level hematokrit yang paling
baik pada ikan mas.
Anderson
dan
Siwicki
(1994)
menyatakan
bahwa
pemberian
Immunostimulant
mempunyai
pengaruh
terhadap persentase hematokrit walaupun tidak
begitu besar. Semakin tinggi level hematokrit
yang dihasilkan menunjukkan bahwa semakin
tinggi dosis penyuntikan maka imunostimulant
semakin efektif dalam merangsang sistem
kekebalan ikan mas. Selanjutnya dikatakan
bahwa ikan yang mengalami anemia
mempunyai persentase hematokrit serendahrendahnya adalah 10%. Rendahnya hematokrit
juga
dapat
menunjukkan
terjadinya
kontaminasi,
ikan
kekurangan
makan,
kandungan protein pakan rendah, kekurangan
vitamin atau terjadi infeksi. Hematokrit yang
tinggi dapat menunjukkan juga adanya
kontaminan, adanya masalah osmolarity dan
stress. Fujaya (2004) menyatakan bahwa ada
korelasi yang kuat antara hematokrit dan jumlah
hemoglobin darah, semakin rendah jumlah selsel darah merah, maka semakin rendah pula
kandungan hemoglobin dalam darah.
Hasil ANAVA menunjukkan bahwa
penyuntikan ekstrak Aloe vera dengan dosis
yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap
hematokrit ikan dimana F hitung < dari F tabel
1% dan F tabel 5%. Oleh karenanya tidak
dilanjutkan dengan uji BNT.
Hasil yang tidak berpengaruh nyata
tersebut menunjukkan bahwa perlakuan dosis
penyuntikan yang berbeda ternyata memberikan
pengaruh yang sama yang berarti bahwa dosis
ekstrak lidah buaya yang berbeda tidak
berpengaruh terhadap level hematokrit. Hal ini
kemungkinan disebabkan bahwa pada saat
sampling kondisi ikan berada pada kondisi yang
kurang sehat akibat penyuntikan. Dari
pengamatan diketahui bahwa pada saat
disampling beberapa ikan dalam kondisi sakit
pada bekas injeksi terdahulu pada saat
penyuntikan ekstrak lidah buaya. Luka bekas
suntikan masih ada dan malahan ada beberapa
ikan yang mengalami kematian karena luka
bekas suntikan terinfeksi bakteri dan melebar
yang akhirnya mematikan ikan. Level
hematokrit untuk masing-masing individu bisa
dipengaruhi oleh kondisi ikan awal dan
penanganan saat penyamplingan darah ikan
yang dapat menyebabkan stress sehingga akan
menurunkan level hematokrit (Anderson dan
Siwicki, 1994).
Selanjutnya hasil pengukuran Leukokrit
darah ikan uji disajikan pada gambar 3 berikut
ini :
Gambar 2. Level Leukokrit darah Ikan pada Berbagai Perlakuan
Hasil pengukuran leukokrit pada ikan
nila
uji
menunjukkan
adanya
ketidakkonsistenan dari leukokrit ikan akibat
pengaruh penyuntikan ekstrak lidah buaya
namun
terlihat
adanya
kecenderungan
penurunan level leukokrit darah ikan sejalan
dengan meningkatnya dosis penyuntikan. Dapat
dilihat pada tabel diatas Leukokrit tertinggi
diperoleh pada perlakuan dosis 1 mg/ml, namun
kemudian menurun dan leukokrit terendah
diperoleh pada perlakuan dosis penyuntikan 4
mg/ml.
Level leukokrit dalam darah ikan dapat
memberikan petunjuk tentang kesehatan ikan
dan menentukan adanya ketidaknormalan
karena pengaruh pemberian imunostimulant.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa leukokrit
pada berbagai perlakuan menunjukkan hasil
yang tidak berbeda nyata diantara perlakuan
setelah diuji ANAVA. Oleh karena itu tidak
dilanjutkan dengan Uji BNT. Leukokrit yang
rendah bisa disebabkan oleh infeksi kronis,
kualitas nutrisi rendah, kekurangan vitamin dan
adanya
kontaminan.
Sementara
itu
meningkatnya leukokrit bisa menunjukkan
adanya infeksi pada tahap awal atau ikan dalam
kondisi stress. Kondisi leukokrit ikan juga
sangat tergantung pada kondisi ikan pada saat
disampling, lama waktu antara sampling dan
pengukuran darah serta prosedur pengukuran
yang digunakan (Anderson dan Siwicki, 1994).
Aktivitas NBT
NBT akan direduksi oleh formazan
pada reaksi dengan radikal oksigen yang
diproduksi dari neutrofil dan monosit. Analisa
produksi radikal oksigen dengan menggunakan
NBT (nitroblue tetrazolium) dilakukan dengan
menggunakan spektrofotometer dengan panjang
gelombag 540 nm. Hasil pengamatan Aktivitas
NBT dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 3. Aktivitas NBT pada OD 540 nm
Berdasarkan
hasil pengukuran
diperoleh data bahwa aktivitas NBT yang
fluktuatif. Hasil tertinggi didapat pada
perlakuan D dengan dosis penyuntikan dengan
3 mg/ml ekstrak lidah buaya.
Semakin tingginya nilai aktivitas NBT
menunjukkan bahwa produksi radikal oksigen
bebas semakin besar. Produksi radikal bebas ini
digunakan
untuk
melawan
patogen.
Sebagaimana dikatakan oleh Irianto (2005)
bahwa ikan mempunyai mekanisme membunuh
oleh sel-sel fagosit melalui oksigen bebas
dalam vakuola lisosom yang mampu
meningkatkan permeabilitas sel bakteri
sehingga
bisa
menyebabkan
masuknya
substansi dan cairan dalam sel bakteri yang
kemungkinan bisa menyebabkan plasmolisis.
Radikal oksigen toksik ini dengan cepat
dikonversi menjadi hidrogen peroksida (H2O2)
yang memiliki sifat bakterisidal yang kuat.
Selain itu radikal oksigen yang bersifat toksik
terhadap patogen ini kemungkinan pula
dikonversi menjadi radikal hidroksi (OH-) yang
memiliki kemampuan mendegradasi membran
lipid.
Penurunan
aktivitas
NBT
mengindikasikan adanya kontaminan dan
infeksi yang kronis atau ikan sedang dalam
kondisi stress. Peningkatan NBT dapat
mengindikasikan bahwa perlakuan penyuntikan
LPS telah efektif merangsang sistem kekebalan
tubuh ikan (Anderson dan Siwicki, 1994).
Neutrofil dan sel fagositik yang teraktivasi
dapat menghasilkan absorbance 20-30% lebih
tinggi, yang menunjukkan produksi oksigen
radikal yang lebih tinggi untuk pertahanan
terhadap penyakit.
Dari hasil analisa didapatkan bahwa
perbedaan dosis penyuntikan LPS pada ikan
nila memberikan hasil yang tidak berbeda nyata
ditunjukkan dengan nilai F hitung < dari F tabel
1% dan F tabel 5%. Hal ini mengindikasikan
bahwa perlakuan dosis penyuntikan yang
berbeda tidak berpengaruh terhadap aktivitas
NBT darah ikan uji. Karena hasilnya tidak
berbeda nyata maka tidak dilanjutkan ke uji
BNT.
Aktivitas Fagositosis
Aktivitas
fagositosis
merupakan
perbandingan antara sel fagosit yang aktif
dengan sel fagosit yang teramati.
Pada
penelitian ini aktivitas fagositosit diamati dari
100 sel dengan menggunakan perbesaran 100X.
Aktivitas fagositosis ditunjukkan dibawah ini
pada gambar di bawah ini.
Gambar 4. Aktivitas fagositosis sel darah ikan uji (ditunjukkan dengan tanda panah)
Aktivitas fagositosis merupakan total
dari jumlah sel fagosit yang aktif dibandingkan
dengan jumlah sel fagosit yang teramati
.
Gambar 5. Aktivitas Fagositosis
Dari hasil penelitian ini tampak bahwa
rata rata aktivitas fagositosis tertinggi
didapatkan pada perlakuan E dengan dosis
penyuntikan sebesar 4 mg/ml yang memberikan
nilai aktivitas fagositosis sebesar 24,67%.
Sementara itu secara keseluruhan hasil
pengamatan terhadap aktivitas fagositosis darah
ikan uji pada berbagai perlakuan menunjukkan
hasil yang tidak konsisten (fluktuatif).
Dari hasil ANAVA dapat diketahui
bahwa dosis penyuntikan ekstrak lidah buaya
yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap
aktivitas fagositosis. Oleh karena itu tidak
dilanjutkan dengan uji BNT.
Hasil Pengukuran Kualitas Air
Selama penelitian juga dilakukan
pengukuran beberapa parameter kualitas air.
Kualitas air yang diamati berupa suhu, pH dan
oksigen terlarut. Data mengenai kualitas air
pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel
berikut ini :
Tabel 6. Kualitas Air Selama Penelitian
Perlakuan
0
Suhu (° C)
21,6 – 25,9
pH
6,98 – 7,89
DO (ppm)
6,02 – 7,29
1 mg/ml
21,6 – 25,9
6,98 – 7,89
6,02 – 7,29
2 mg/ml
21,6 – 25,9
6,98 – 7,89
6,02 – 7,29
3 mg/ml
21,6 – 25,9
6,98 – 7,89
6,02 – 7,29
4 mg/ml
21,6 – 25,9
6,98 – 7,89
6,02 – 7,29
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa
parameter kualitas air masih berada dalam
ambang batas yang bisa ditolerir oleh ikan.
Berdasarkan pengamatan suhu berkisar antara
21,6-25,9 ° C. Kisaran suhu ini masih sesuai
untuk kehidupan ikan mas, sebagaimana yang
menurut Arsyad dan Hadarini (1989) yang
mengatakan bahwa ikan mas hidup dan
berkembang biak pada daerah dengan
ketinggian 50 – 600 meter diatas permukaan
laut, dan suhu yang baik untuk pemeliharaan
adalah berkisar antara 20 – 30 ° C.
Jika kandungan oksigen dalam perairan sangat
rendah maka nafsu makan ikan akan berkurang.
Berdasarkan hasil pengukuran, oksigen terlarut
pada media pemeliharaan berkisar antara 6,027,29 ppm. Kisaran oksigen yang seperti ini
masih sesuai dengan kebutuhan hidup ikan mas,
sebagaimana menurut Arie (1999) bahwa pada
suatu pemeliharaan ikan, kandungan oksigen
yang baik untuk budidaya ikan mempunyai
nilai minimal 4 ppm.
Hasil pengukuran pH selama penelitian
berkisar antara 6,98 – 7,89. Ini berarti bahwa
pH media pemeliharaan masih sesuai untuk
kehidupan ikan mas, karena menurut Susanto
(1987), dikatakan bahwa pH yang sesuai untuk
semua jenis ikan berkisar antara 6,7 – 8,6.
Sedangkan menurut Cholik et al. (1986)
dikatakan bahwa ikan akan mati pada kondisi
pH lebih kecil dari 4 dan lebih besar dari 11,
karena pH yang demikian itu bersifat toksik
pada ikan dan menyebabkan ikan mati.
Kesimpulan
Dari hasil penelitian tentang potensi
ekstrak lidah buaya untuk meningkatkan
kekebalan non spesifik pada ikan mas
menunjukkan bahwa dari pengukuran terhadap
darah ikan didapatkan hasil yang tidak
konsisten,
dan
semua
parameter
uji
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata.
Hasil tersebut mengindikasikan bahwa ekstrak
lidah buaya yang digunakan belum bisa
memberikan pengaruh positif terhadap sistem
kekebalan nonspesifik ikan. Hal tersebut
kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor
yaitu metode untuk ekstraksi bahan aktif
immunostimulant
belum
sesuai
untuk
mengambil bahan aktif immunostimulant dari
tanaman lidah buaya, karena kurang tingginya
Oksigen terlarut merupakan parameter
yang paling kritis pada budidaya ikan.
Keberadaan oksigen dalam perairan sangat
esensial bagi pernafasan dan merupakan salah
satu komponen utama bagi metabolisme ikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
range dosis yang digunakan atau karena kondisi
ikannya sendiri yang tidak mampu menerima
bahan ekstrak lidah buaya lewat penyuntikan
sehingga kemudian banyak mengalami stress
yang berpengaruh terhadap kondisi darahnya.
Kondisi fisiologis ikan ketika disampling, umur
ikan dan waktu antara sampling dengan
pemeriksaan darah sangat berpengaruh terhadap
hasil pemeriksaan darah ikan.
Saran
Perlu adanya pengamatan darah ikan
lengkap tidak hanya pada satu waktu tetapi
darah disampling beberapa kali sehingga dapat
diketahui perubahan-perubahan yang terjadi dan
dapat diketahui sampai berapa lama ekstrak
lidah buaya efektif memberikan respon
kekebalan pada ikan mas. Perlu dicari metode
lain untuk ekstraksi bahan aktif polisakarida
yang terkandung dalam lidah buaya serta perlu
dicoba metode pemberian ekstrak selain lewat
injeksi, misalnya lewat oral.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, D.P., 1992. Immunostimulants,
adjuvants and vaccine carriers in
fish: applications to aquaculture.
Annual Review of Fish Diseases 2,
281–307.
Anonymous,
1988.
Petunjuk
Teknis
Budidaya Ikan Mas. Balai Budidaya
Air
Tawar.
Direktorat
Jendral
Perikanan. Sukabumi
Anonymous,
2005.
Aloe
vera.
http://www.geocities.com/chadrx/aloe.h
tml (diakses pada tanggal 14 April
2005)
Afrianto E. dan E. Liviawaty. 1992.
Pengendalian Hama dan Penyakit
Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Arsyad, H. dan R.E. Hadarini, 1989. Petunjuk
praktis Budidaya Perikanan (Suatu
Rangkuman). Penerbit P.D. Mahkota.
Jakarta
Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei.
Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Morsy, F.M.1991. The Final Report on Aloe
vera Stabilization and Processing for
The Cosmetic Beverage and Food
Industry. CITA International. USA
Newton, L.E. 1979. In Defence of The Name
Aloe vera. The Cactus and Succulent
Journal of Great Britain, 41:29-30.
Nitimulyo, K.H; A.Isnansetyo; Triyanto; M.
Murdjani;
L.
Sholichah.
2005.
Effetiveness of Polyvalen Vaccine to
Control Vibriosis in Humback
Grouper
Cromileptes
altivelis).
Journal Of Fisheries Sciences. Vol VII
No 2, Juli 2005.
Purbaya,
J.R.
2004.
Mengenal
dan
Memanfaatkan Khasiat Aloe vera
(Lidah Buaya). Penerbit Pionir. Jakarta
Sakai, M., K Taniguchi1, K Mamoto2, H
Ogawa2
and
M
Tabata2.
Immunostimulant
effects
of
nucleotide isolated from yeast RNA
on carp, Cyprinus carpio L. Journal
of Fish Diseases 2001, 24, 433-438
Shelton, R.M. 1991. Aloe vera, Its Chemical
and
Therapeutic
Properties.
International Journal of Dermatology,
30:679-683
Sudarto, Y. 1997. Lidah Buaya. Kanisius.
Yogyakarta
Download