Potensi Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Vera) sebagai Immunostimulant untuk Meningkatkan Sistem Kekebalan Non Spesifik pada Ikan Mas (Cyprinus Carpio) Potency Of Aloe Vera As Immunostimulant for Increasing The Non Specific Immunity Of Carp (Cyprinus Carpio) Sri Dwi Hastuti Jurusan Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang Jl. Raya Tlogomas no 246 Malang, telp 0341-464318 psw 222 Email: [email protected] Abstract Background: It is well known that fish has non specific immunity response which can be stimulated by immunostimulant. One of active compound that is act as immunostimulant is Acemmanan, which is known, exists in plant like Aloe vera. Research was conducted to evaluate Aloe vera potency as immunostimulant. Method: Aloe vera flour was soluted in PBS in five level i.e 0; 1 mg/ml, 2 mg/ml, 3 mg/ml and 4 mg/ml dossages. Aloe vera solution then injected 0,2 ml via dorsal intramuscular, agree with each dossages. Measured parameter was non specific immunity response (hematocryt, leucocryt , NBT and phagocytosis activity) Research conducted based on completely randomized design and data anlyzed by ANAVA. Results: Treatments has non significant (P>0,05) effect into all parameters, which mean that the different dose of Aloe vera did not influence on hematocrite and leucocrite level, NBT and Phagocyte activities. This results may due to several factors like the method of extraction have not appropriate to get the active compound, the dose of Aloe vera used was too low and physiology of fish at the time of sampling. Keywords: Non-specific immune system, hematocrit, leucocrit, NBT activity, Phagocytosis activity Abstraksi Latar Belakang: Ikan mempunyai respon kekebalan non spesifik yang bisa dirangsang dengan pemberian immunostimulant. Salah satu bahan yang bisa berfungsi sebagai immunostimulant adalah Acemanan yang diketahui terkandung dalam tanaman Lidah Buaya (Aloe vera). Penelitian bertujuan untuk mengetahui potensi Lidah Buaya sebagai immunostimulant. Metode: Tepung lidah buaya dilarutkan dalam phosphat buffer saline (PBS) dengan 5 level, yaitu 0; 1 mg/ml; 2 mg/ml; 3 mg/ml; dan 4 mg/ml. Perlakuan diinjeksikan 0,2 ml secara intramuscular pada bagian dorsal ikan sesuai dengan dosis perlakuan. Parameter yang diukur berupa respon kekebalan non spesifik ikan mas (nilai hematokrit, leukokrit, aktivitas NBT dan aktivitas fagositosis) yang ditimbulkan akibat pemberian ekstrak Lidah buaya. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan rancangan acak lengkap. Sementara data yang diperoleh dianalisa dengan ANAVA. Hasil: Semua parameter yang diukur tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05), yang berarti bahwa penggunaan dosis ekstrak lidah buaya yang berbeda tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap level hematokrit, leukokrit, aktivitas NBT dan aktivitas fagositosis. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu metode ekstraksi bahan aktif yang belum tepat, range dosis yang digunakan kurang tiggi serta kondisi fisiologis ikan pada saat sampling darah. Kata Kunci: Sistem pertahanan non spesifik, Hematokrit, Leukrokit, Aktivitas NBT, Aktivitas Fagositosis PENDAHULUAN Salah satu jenis ikan air tawar yang banyak dibudidayakan di Indonesia adalah ikan Mas (Cyprinus carpio) (Lingga, 1994). Jenis ikan ini banyak disukai oleh konsumen dan permintaannya terus tinggi walaupun banyak jenis ikan budidaya lain sebagai pilihan. Tingginya permintaan akan ikan Mas mendorong petani ikan untuk meningkatkan budidaya kearah yang lebih intensif dengan menambah padat penebaran yang diikuti dengan penambahan pemberian pakan. Budidaya ikan yang dilaksanakan secara intensif berdampak negatif terhadap usaha budidaya khususnya terhadap kesehatan ikan yang dipelihara. Tingginya padat tebar dan pakan yang digunakan menjadi pendorong bagi timbulnya penyakit akibat menurunnya kualitas air karena timbunan bahan organik dari sisa pakan maupun ekskresi ikan. Sementara itu ikan menjadi stress sehingga rentan terhadap serangan penyakit, khususnya penyakit infeksius seperti yang disebabkan oleh bakteri (Angka, 1990) maupun virus. Oleh karena itu maka penanggulangan terhadap penyakit melalui upaya pencegahan menjadi hal yang penting. Upaya pencegahan dengan vaksinasi yang bertujuan untuk pembentukan antibodi telah banyak dilakukan, namun vaksinasi hanya dapat efektif terhadap suatu jenis patogen (spesifik). Upaya pencegahan lain yang dapat dilakukan sebagai alternatif adalah dengan meningkatkan kekebalan non spesifik sehingga organisme budidaya dapat lebih tahan terhadap berbagai jenis patogen yang menyerang. Diketahui bahwa selain memeiliki sistem kekebalan spesifik atau adaptif , ikan juga memiliki sistem kekebalan innate atau non spesifik. Sistem kekebalan non spesifik ini dapat dirangsang dengan pemberian suatu bahan yang biasa disebut dengan immunostimulant. Aloe vera atau yang di Indonesia dikenal dengan Lidah Buaya merupakan tanaman yang dikenal sebagai penyubur rambut dan penghalus kulit. Namun ternyata selain digunakan sebagai bahan kosmetika tanaman ini juga berkhasiat dalam penyembuhan luka dan mempunyai aktivitas antimikroba. Bahkan saat ini sudah banyak digunakan sebagai minuman kesehatan dalam bentuk “juice” Lidah Buaya (Purbaya, 2004). Kandungan bahan aktif dalam Lidah Buaya diantaranya adalah anthraquinones, acetylated mannose, prostaglandins dan asam lemak, enzim-enzim, asam amino, vitamin dan mineral (Anonymous, 2005). Salah satu bahan aktif yang terkandung dalam Lidah buaya adalah acetylated mannose yang masuk dalam golongan sakarida dan mempunyai fungsi sebagai antiviral serta meningkatkan system kekebalan tubuh (immunostimulant). Berdasarkan uraian diatas, maka perlu adanya suatu studi tentang potensi Lidah buaya sebagai immunostimulant untuk mengetahui apakah Lidah buaya dapat meningkatkan respon kekebalan non spesifik pada ikan mas, sehingga jika memang positif maka Lidah buaya ini dapat dimanfaatkan sebagai alternatif pencegahan penyakit pada budidaya ikan mas yang dapat diaplikasikan dalam pakan. MATERI DAN METODE Pembuatan Ekstrak Lidah Buaya Lidah buaya sebnayak 10 kg yang masih segar dikupas, sehingga tertinggal gelnya. Gel lidah buaya kemudian diblender sehinggamenghasilkan jus lidah buaya. Jus ini kemudian difilter dengan vaccum filter untuk menghasilkan lidah buaya yang bebas dari serat. Jus ini kemudian difreezer sampai beku, kemudian di vaccum freeze drying untuk menghasilkan tepung lidah buaya. Tepung lidah buaya yang dihasilkan disimpan sampai saat digunakan. Untuk penggunaan tepung dilarutkan dalam Phosfat Buffer Saline (PBS). Hewan Uji dan Penyuntikan Ikan yang dipakai dalam penelitian ini adalah ikan mas dengan ukuran masing-masing 10-15 cm, berjumlah 25 ekor yang dipelihara dalam akuarium. Ikan diadaptasikan selama 7 hari sebelum diberikan penyuntikan dengan lidah buaya pada dosis yang sudah ditentukan yaitu dosis 0; 1 mg/ml; 2 mg/ml; 3 mg/ml; dan 4 mg/ml. Masing-masing ikan diinjeksi dengan 0,2 ml lidah buaya sesuai dengan masingmasing dosis perlakuan. Penyuntikan menggunakan syringe berukuran 1 ml. Penyuntikan dilakukan secara intramuscular pada bagian dorsal ikan. Pengambilan sampel darah ikan Dua minggu setelah penyuntikan, ikan diambil darahnya. Dari masing-masing akuarium diambil darah dari dua ekor ikan. Sebelum sampling darah ikan dibius denan menggunakan minyak cengkeh dengan dosis 1 ml/ 8 liter air. Ikan dimasukkan dalam larutan minyak cengkeh sampai pingsan. Pengambilan darah dilakukan pada bagian dorsal ikan dengan menggunakan jarum suntik ukuran 1 ml yang sudah dibasahi dengan EDTA sebagai antikoagulan. Setelah darah diambil ikan dimasukkan dalam air mengalir sampai pulih sadar dan kemudian dikembalikan pada akuarium pemeliharaan, sementara darah dimasukkan dalam tabung eppendorf untuk kemudian dilakukan pengujian lebih lanjut. Pengukuran level hematokrit dan leukokrit (Anderson dan Siwicki, 1994) Darah ikan sample yang telah diambil ditampung dalam tabung eppendorf, kapiler hematokrit diisi hingga batas volume dan ditutup dengan Vitrex. Kapiler hematokrit kemudian disentrifuse pada 1000 rpm selama 5 menit. Panjang eritrosit dan leukosit pada kapiler hematokrit diukur dengan penggaris kemudian dihitung persentase volumenya dibanding dengan panjang total darah dalam kapiler hematokrit (eritrosit, leukosit dan plasma). Pengukuran Aktivitas NBT dengan Spektrofotometer (Anderson dan Siwicki, 1994) Darah dari ikan sample diambil sebanyak 100 µl dimasukkan dalam microtube kemudian ditambahkan 0,2% NBT (dalam 0,85 NaCl) dengan volume yang sama. Campuran tersebut diinkubasi selama 30 menit. Setelah inkubasi, 50 µl campuran tersebut diambil dan dipindahkan ke tabung reaksi gelas kemudian ditambahkan 1000 µl N,N-dimethyl formamide (DMF), kemudian disentrifus pada 3000 g selama 5 menit. Supernatant diambil dan dipindahkan dalam tabung kaca, selanjutny dibaca dengan menggunakan sprektofotometer pada OD 540 nm. Uji Aktifitas Fagositosis Setelah melakukan pengukuran hematokrit dan leukokrit, kapiler hematokrit kemudian dipotong pada batas antara eritrosit dan leukosit. Bagian leukosit ditampung pada tabung eppendorf. Leukosit sebanyak 100 µl dimasukkan pada mikroplate well, kemudian ditambah dengan Aeromonas hydrophila (kepadatan 108 sel/ml) dengan volume yang sama. leukosit dengan Aeromonas hydrophila dicampur dengan cara pipeting, kemudian diinkubasi selama 20 menit. Selanjutnya 5 µl sampel dari mikroplate well diletakkan diatas obyek glas dan dibuat preparat ulas dan diamkan hingga kering angin. Fiksasi dengan ethanol/methanol absolut selama 5 menitdan dikeringanginkan. Kemudian diwarnai dengan safranin (0,15%) atau Giemsa (7%) selama 10 menit dan diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 1000 X. Aktifitas fagositosis dinyatakan dengan jumlah sel yang memfagosit bakteri / 100 sel fagosit yang diamati dikali 100%. HASIL DAN PEMBAHASAN Level Hematokrit dan Leukokrit Kondisi kesehatan ikan dapat diketahui dari pemeriksaan darah, yaitu dengan melihat perbandingan jumlah eritrosit dan leukositnya. Untuk mengetahui level hematokrit dan leukokrit digunakan tabung kapiler darah. Sampel darah dimasukkan dalam tabung kapiler kemudian dilakukan sentrifugasi sehingga terjadi pemisahan antara sel darah merah, sel darah putih dan plasmanya. Sel darah merah akan berada pada lapisan paling bawah dan menunjukkan warna merah. Sel darah putih berada di bagian tengah merupakan lapisan tipis yang berwarna putih keruh, sementara untuk plasma berada di lapisan paling atas dan biasanya merupakan bagian yang terbanyak, plasma menunjukkan warna putih bening. Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur panjang masing-masing lapisan dengan menggunakan penggaris. Level hematokrit ditentukan dengan cara hasil pengukuran panjang pada bagian sel darah merah dibagi dengan total panjang darah pada tabung kapiler kemudian dikalikan 100%, sehingga didapatkan level hematokrit dalam bentuk persen. Cara ini juga berlaku untuk penentuan level leukokrit. Hasil pengukuran terhadap level hematokrit ikan uji disajikan pada gambar di bawah ini : Gambar 1. Level Hematokrit Darah Ikan Uji Selama Penelitian Volume sel darah merah dalam darah ikan dapat menggambarkan kesehatan ikan. Pada ikan Rainbow Trout yang sehat level hematokritnya sekitar 30-40% (Anderson dan Siwicki, 1994). Pada studi ini level hematokrit yang dimiliki oleh ikan uji pada beberapa perlakuan menunjukkan menunjukkan fluktuasi namun kecenderungannya semakin tinggi dosis nampaknya level hematokritnya semakin meningkat. Hasil level hematokrit tertinggi diperoleh pada perlakuan E dengan dosis penyuntikan ektrak lidah buaya sebesar 4 mg/ml dihasilkan level hematokrit sebesar ratarata 37, 41%. Hasil ini lebih baik daripada studi terdahulu dengan menggunakan immunostimulant dari LPS bakteri Aeromonas yang menghasilkan level hematokrit pada dosis penyuntikan LPS 100% sebesar 23,33% (Hastuti, 2006). Sayangnya memang belum ada standar berapa level hematokrit yang paling baik pada ikan mas. Anderson dan Siwicki (1994) menyatakan bahwa pemberian Immunostimulant mempunyai pengaruh terhadap persentase hematokrit walaupun tidak begitu besar. Semakin tinggi level hematokrit yang dihasilkan menunjukkan bahwa semakin tinggi dosis penyuntikan maka imunostimulant semakin efektif dalam merangsang sistem kekebalan ikan mas. Selanjutnya dikatakan bahwa ikan yang mengalami anemia mempunyai persentase hematokrit serendahrendahnya adalah 10%. Rendahnya hematokrit juga dapat menunjukkan terjadinya kontaminasi, ikan kekurangan makan, kandungan protein pakan rendah, kekurangan vitamin atau terjadi infeksi. Hematokrit yang tinggi dapat menunjukkan juga adanya kontaminan, adanya masalah osmolarity dan stress. Fujaya (2004) menyatakan bahwa ada korelasi yang kuat antara hematokrit dan jumlah hemoglobin darah, semakin rendah jumlah selsel darah merah, maka semakin rendah pula kandungan hemoglobin dalam darah. Hasil ANAVA menunjukkan bahwa penyuntikan ekstrak Aloe vera dengan dosis yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap hematokrit ikan dimana F hitung < dari F tabel 1% dan F tabel 5%. Oleh karenanya tidak dilanjutkan dengan uji BNT. Hasil yang tidak berpengaruh nyata tersebut menunjukkan bahwa perlakuan dosis penyuntikan yang berbeda ternyata memberikan pengaruh yang sama yang berarti bahwa dosis ekstrak lidah buaya yang berbeda tidak berpengaruh terhadap level hematokrit. Hal ini kemungkinan disebabkan bahwa pada saat sampling kondisi ikan berada pada kondisi yang kurang sehat akibat penyuntikan. Dari pengamatan diketahui bahwa pada saat disampling beberapa ikan dalam kondisi sakit pada bekas injeksi terdahulu pada saat penyuntikan ekstrak lidah buaya. Luka bekas suntikan masih ada dan malahan ada beberapa ikan yang mengalami kematian karena luka bekas suntikan terinfeksi bakteri dan melebar yang akhirnya mematikan ikan. Level hematokrit untuk masing-masing individu bisa dipengaruhi oleh kondisi ikan awal dan penanganan saat penyamplingan darah ikan yang dapat menyebabkan stress sehingga akan menurunkan level hematokrit (Anderson dan Siwicki, 1994). Selanjutnya hasil pengukuran Leukokrit darah ikan uji disajikan pada gambar 3 berikut ini : Gambar 2. Level Leukokrit darah Ikan pada Berbagai Perlakuan Hasil pengukuran leukokrit pada ikan nila uji menunjukkan adanya ketidakkonsistenan dari leukokrit ikan akibat pengaruh penyuntikan ekstrak lidah buaya namun terlihat adanya kecenderungan penurunan level leukokrit darah ikan sejalan dengan meningkatnya dosis penyuntikan. Dapat dilihat pada tabel diatas Leukokrit tertinggi diperoleh pada perlakuan dosis 1 mg/ml, namun kemudian menurun dan leukokrit terendah diperoleh pada perlakuan dosis penyuntikan 4 mg/ml. Level leukokrit dalam darah ikan dapat memberikan petunjuk tentang kesehatan ikan dan menentukan adanya ketidaknormalan karena pengaruh pemberian imunostimulant. Hasil penelitian menunjukkan bahwa leukokrit pada berbagai perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata diantara perlakuan setelah diuji ANAVA. Oleh karena itu tidak dilanjutkan dengan Uji BNT. Leukokrit yang rendah bisa disebabkan oleh infeksi kronis, kualitas nutrisi rendah, kekurangan vitamin dan adanya kontaminan. Sementara itu meningkatnya leukokrit bisa menunjukkan adanya infeksi pada tahap awal atau ikan dalam kondisi stress. Kondisi leukokrit ikan juga sangat tergantung pada kondisi ikan pada saat disampling, lama waktu antara sampling dan pengukuran darah serta prosedur pengukuran yang digunakan (Anderson dan Siwicki, 1994). Aktivitas NBT NBT akan direduksi oleh formazan pada reaksi dengan radikal oksigen yang diproduksi dari neutrofil dan monosit. Analisa produksi radikal oksigen dengan menggunakan NBT (nitroblue tetrazolium) dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombag 540 nm. Hasil pengamatan Aktivitas NBT dapat dilihat pada gambar berikut ini : Gambar 3. Aktivitas NBT pada OD 540 nm Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh data bahwa aktivitas NBT yang fluktuatif. Hasil tertinggi didapat pada perlakuan D dengan dosis penyuntikan dengan 3 mg/ml ekstrak lidah buaya. Semakin tingginya nilai aktivitas NBT menunjukkan bahwa produksi radikal oksigen bebas semakin besar. Produksi radikal bebas ini digunakan untuk melawan patogen. Sebagaimana dikatakan oleh Irianto (2005) bahwa ikan mempunyai mekanisme membunuh oleh sel-sel fagosit melalui oksigen bebas dalam vakuola lisosom yang mampu meningkatkan permeabilitas sel bakteri sehingga bisa menyebabkan masuknya substansi dan cairan dalam sel bakteri yang kemungkinan bisa menyebabkan plasmolisis. Radikal oksigen toksik ini dengan cepat dikonversi menjadi hidrogen peroksida (H2O2) yang memiliki sifat bakterisidal yang kuat. Selain itu radikal oksigen yang bersifat toksik terhadap patogen ini kemungkinan pula dikonversi menjadi radikal hidroksi (OH-) yang memiliki kemampuan mendegradasi membran lipid. Penurunan aktivitas NBT mengindikasikan adanya kontaminan dan infeksi yang kronis atau ikan sedang dalam kondisi stress. Peningkatan NBT dapat mengindikasikan bahwa perlakuan penyuntikan LPS telah efektif merangsang sistem kekebalan tubuh ikan (Anderson dan Siwicki, 1994). Neutrofil dan sel fagositik yang teraktivasi dapat menghasilkan absorbance 20-30% lebih tinggi, yang menunjukkan produksi oksigen radikal yang lebih tinggi untuk pertahanan terhadap penyakit. Dari hasil analisa didapatkan bahwa perbedaan dosis penyuntikan LPS pada ikan nila memberikan hasil yang tidak berbeda nyata ditunjukkan dengan nilai F hitung < dari F tabel 1% dan F tabel 5%. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan dosis penyuntikan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap aktivitas NBT darah ikan uji. Karena hasilnya tidak berbeda nyata maka tidak dilanjutkan ke uji BNT. Aktivitas Fagositosis Aktivitas fagositosis merupakan perbandingan antara sel fagosit yang aktif dengan sel fagosit yang teramati. Pada penelitian ini aktivitas fagositosit diamati dari 100 sel dengan menggunakan perbesaran 100X. Aktivitas fagositosis ditunjukkan dibawah ini pada gambar di bawah ini. Gambar 4. Aktivitas fagositosis sel darah ikan uji (ditunjukkan dengan tanda panah) Aktivitas fagositosis merupakan total dari jumlah sel fagosit yang aktif dibandingkan dengan jumlah sel fagosit yang teramati . Gambar 5. Aktivitas Fagositosis Dari hasil penelitian ini tampak bahwa rata rata aktivitas fagositosis tertinggi didapatkan pada perlakuan E dengan dosis penyuntikan sebesar 4 mg/ml yang memberikan nilai aktivitas fagositosis sebesar 24,67%. Sementara itu secara keseluruhan hasil pengamatan terhadap aktivitas fagositosis darah ikan uji pada berbagai perlakuan menunjukkan hasil yang tidak konsisten (fluktuatif). Dari hasil ANAVA dapat diketahui bahwa dosis penyuntikan ekstrak lidah buaya yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas fagositosis. Oleh karena itu tidak dilanjutkan dengan uji BNT. Hasil Pengukuran Kualitas Air Selama penelitian juga dilakukan pengukuran beberapa parameter kualitas air. Kualitas air yang diamati berupa suhu, pH dan oksigen terlarut. Data mengenai kualitas air pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 6. Kualitas Air Selama Penelitian Perlakuan 0 Suhu (° C) 21,6 – 25,9 pH 6,98 – 7,89 DO (ppm) 6,02 – 7,29 1 mg/ml 21,6 – 25,9 6,98 – 7,89 6,02 – 7,29 2 mg/ml 21,6 – 25,9 6,98 – 7,89 6,02 – 7,29 3 mg/ml 21,6 – 25,9 6,98 – 7,89 6,02 – 7,29 4 mg/ml 21,6 – 25,9 6,98 – 7,89 6,02 – 7,29 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa parameter kualitas air masih berada dalam ambang batas yang bisa ditolerir oleh ikan. Berdasarkan pengamatan suhu berkisar antara 21,6-25,9 ° C. Kisaran suhu ini masih sesuai untuk kehidupan ikan mas, sebagaimana yang menurut Arsyad dan Hadarini (1989) yang mengatakan bahwa ikan mas hidup dan berkembang biak pada daerah dengan ketinggian 50 – 600 meter diatas permukaan laut, dan suhu yang baik untuk pemeliharaan adalah berkisar antara 20 – 30 ° C. Jika kandungan oksigen dalam perairan sangat rendah maka nafsu makan ikan akan berkurang. Berdasarkan hasil pengukuran, oksigen terlarut pada media pemeliharaan berkisar antara 6,027,29 ppm. Kisaran oksigen yang seperti ini masih sesuai dengan kebutuhan hidup ikan mas, sebagaimana menurut Arie (1999) bahwa pada suatu pemeliharaan ikan, kandungan oksigen yang baik untuk budidaya ikan mempunyai nilai minimal 4 ppm. Hasil pengukuran pH selama penelitian berkisar antara 6,98 – 7,89. Ini berarti bahwa pH media pemeliharaan masih sesuai untuk kehidupan ikan mas, karena menurut Susanto (1987), dikatakan bahwa pH yang sesuai untuk semua jenis ikan berkisar antara 6,7 – 8,6. Sedangkan menurut Cholik et al. (1986) dikatakan bahwa ikan akan mati pada kondisi pH lebih kecil dari 4 dan lebih besar dari 11, karena pH yang demikian itu bersifat toksik pada ikan dan menyebabkan ikan mati. Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang potensi ekstrak lidah buaya untuk meningkatkan kekebalan non spesifik pada ikan mas menunjukkan bahwa dari pengukuran terhadap darah ikan didapatkan hasil yang tidak konsisten, dan semua parameter uji menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hasil tersebut mengindikasikan bahwa ekstrak lidah buaya yang digunakan belum bisa memberikan pengaruh positif terhadap sistem kekebalan nonspesifik ikan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu metode untuk ekstraksi bahan aktif immunostimulant belum sesuai untuk mengambil bahan aktif immunostimulant dari tanaman lidah buaya, karena kurang tingginya Oksigen terlarut merupakan parameter yang paling kritis pada budidaya ikan. Keberadaan oksigen dalam perairan sangat esensial bagi pernafasan dan merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme ikan. KESIMPULAN DAN SARAN range dosis yang digunakan atau karena kondisi ikannya sendiri yang tidak mampu menerima bahan ekstrak lidah buaya lewat penyuntikan sehingga kemudian banyak mengalami stress yang berpengaruh terhadap kondisi darahnya. Kondisi fisiologis ikan ketika disampling, umur ikan dan waktu antara sampling dengan pemeriksaan darah sangat berpengaruh terhadap hasil pemeriksaan darah ikan. Saran Perlu adanya pengamatan darah ikan lengkap tidak hanya pada satu waktu tetapi darah disampling beberapa kali sehingga dapat diketahui perubahan-perubahan yang terjadi dan dapat diketahui sampai berapa lama ekstrak lidah buaya efektif memberikan respon kekebalan pada ikan mas. Perlu dicari metode lain untuk ekstraksi bahan aktif polisakarida yang terkandung dalam lidah buaya serta perlu dicoba metode pemberian ekstrak selain lewat injeksi, misalnya lewat oral. DAFTAR PUSTAKA Anderson, D.P., 1992. Immunostimulants, adjuvants and vaccine carriers in fish: applications to aquaculture. Annual Review of Fish Diseases 2, 281–307. Anonymous, 1988. Petunjuk Teknis Budidaya Ikan Mas. Balai Budidaya Air Tawar. Direktorat Jendral Perikanan. Sukabumi Anonymous, 2005. Aloe vera. http://www.geocities.com/chadrx/aloe.h tml (diakses pada tanggal 14 April 2005) Afrianto E. dan E. Liviawaty. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Kanisius. Yogyakarta. Arsyad, H. dan R.E. Hadarini, 1989. Petunjuk praktis Budidaya Perikanan (Suatu Rangkuman). Penerbit P.D. Mahkota. Jakarta Irianto, A. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Morsy, F.M.1991. The Final Report on Aloe vera Stabilization and Processing for The Cosmetic Beverage and Food Industry. CITA International. USA Newton, L.E. 1979. In Defence of The Name Aloe vera. The Cactus and Succulent Journal of Great Britain, 41:29-30. Nitimulyo, K.H; A.Isnansetyo; Triyanto; M. Murdjani; L. Sholichah. 2005. Effetiveness of Polyvalen Vaccine to Control Vibriosis in Humback Grouper Cromileptes altivelis). Journal Of Fisheries Sciences. Vol VII No 2, Juli 2005. Purbaya, J.R. 2004. Mengenal dan Memanfaatkan Khasiat Aloe vera (Lidah Buaya). Penerbit Pionir. Jakarta Sakai, M., K Taniguchi1, K Mamoto2, H Ogawa2 and M Tabata2. Immunostimulant effects of nucleotide isolated from yeast RNA on carp, Cyprinus carpio L. Journal of Fish Diseases 2001, 24, 433-438 Shelton, R.M. 1991. Aloe vera, Its Chemical and Therapeutic Properties. International Journal of Dermatology, 30:679-683 Sudarto, Y. 1997. Lidah Buaya. Kanisius. Yogyakarta