BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori Adapun tinjauan teori

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
Adapun tinjauan teori dalam penelitian ini meliputi: (i) Otonomi
Daerah, (ii) Keuangan Daerah, (iii) Analisis Kinerja dan Kemampuan
Keuangan Daerah. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:
1.
Otonomi Daerah
a.
Pengertian Otonomi Daerah
Secara harfiah, Otonomi Daerah berasal dari kata Otonomi
dan Daerah. Sedangkan dalam bahasa Yunani, Otonomi berasal dari
kata autos dan nomos, autos berarti sendiri dan nomos berarti aturan
atau undang-undang. Jadi otonomi adalah kewenangan untuk
mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna
mengurus rumah tangga sendiri (www.wikipedia.org). Sedangkan
yang dimaksud dengan Daerah Otonom adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU
No. 23/2014 pasal 1 ayat 12). Dalam Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 pasal 1 ayat 6, dijelaskan bahwa otonomi daerah adalah
hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat
9
10
setempat sesuai dengan peraturan Perundang- undangan. Otonomi
daerah memiliki makna sebagai pemberian kewenangan yang luas,
nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Jadi otonomi daerah
adalah kewenangan daerah untuk mengatur serta mengurus rumah
tangganya sendiri.
b. Dasar Hukum Otonomi Daerah
Secara Umum, beberapa peraturan perundang- undangan
yang mengatur konsep Pemerintah Daerah dan Daerah Otonom di
Indonesia sejak tahun 1945 sampai sekarang adalah sebagai berikut:
1) Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan
Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di
Daerah
yang Berhak
Mengatur dan Mengurus
Rumah
Tangganya Sendiri.
2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah.
3) Undang- Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah.
4) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah.
5) Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah.
6) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
11
7) Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah.
c.
Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah adalah untuk
meningkatkan pelayanan publik serta memajukan perekonomian
daerah. Pada dasarnya terkandung 3 misi utama dalam pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal (Mardiasmo, 2004:59),
yaitu:
1) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik serta
kesejahteraan masyarakat.
2) Menciptakan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya
daerah.
3) Memberdayakan serta menciptakan ruang bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
2.
Keuangan Daerah
a.
Pengertian Keuangan Daerah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005
pasal 1 ayat 5, dan juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21
tahun 2011 pasal 1 ayat 6 dijelaskan bahwa Keuangan Daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di
dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak
dan kewajiban daerah tersebut. Dalam Peraturan Menteri Dalam
12
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 2 disebutkan bahwa ruang
lingkup Keuangan Daerah mencakup:
1) Hak Daerah untuk memungut Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah serta melakukan Pinjaman.
2) Kewajiban
Daerah
untuk
menyelenggarakan
urusan
Pemerintahan Daerah dan membayar tagihan pihak ketiga.
3) Penerimaan Daerah.
4) Pengeluaran Daerah.
5) Kekayaan Daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa Uang, Surat Berharga, Piutang, Barang, serta Hak-hak
lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang
dipisahkan pada Perusahaan Daerah.
6) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah
dalam rangka penyelenggaraan tugas Pemerintahan Daerah
dan/atau kepentingan umum.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21
Tahun 2011, Pasal 1 ayat 8 pengelolaan Keuangan Daerah adalah
keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan
Keuangan Daerah. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
13 Tahun 2006 pasal 3 ruang lingkup Pengelolaan Keuangan Daerah
meliputi:
1) Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah.
2) Azas Umum dan Struktur APBD.
13
3) Penyusunan Rancangan APBD.
4) Penetapan APBD.
5) Penyusunan dan Penetapan APBD bagi Daerah yang belum
memiliki DPRD.
6) Pelaksanaan APBD.
7) Perubahan APBD.
8) Pengelolaan Kas.
9) Penatausahaan Keuangan Daerah.
10) Akuntansi Keuangan Daerah.
11) Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD.
12) Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah.
13) Kerugian Daerah.
14) Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD)
b. Dasar Hukum Pengelolaan Keuangan Daerah
Dasar hukum yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan
daerah adalah:
1) Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
2) Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
3) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan,
Pengelolaan, dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
4) Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional.
14
5) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang terakhir diganti
dengan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.
6) Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
7) Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
8) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005, yang terakhir
diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintah.
9) Peraturan
Pemerintah
Nomor
58
Tahun
2005
tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah.
10) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21
Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.
c.
Asas Umum Keuangan Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah membawa perubahan pada
pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan pengelolaan
APBD pada khususnya yang kewenangannya sepenuhnya diserahkan
15
kepada pemerintah daerah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58
tahun 2005 pasal 4 dijelaskan mengenai asas umum pengelolaan
keuangan daerah, yang berbunyi:
1) Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan
Perundang- undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan,
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan,
kepatuhan, dan manfaat untuk masyarakat.
2) Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem
yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap
tahun
ditetapkan
dengan
peraturan
daerah.
Penjelasan
selengkapnya adalah sebagai berikut:
a) Efisien, merupakan pencapaian keluaran yang maksimum
dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan
terendah untuk mencapai keluaran tertentu.
b) Ekonomis, merupakan pemerolehan masukan dengan
kualitas dan kuantitas tertentu pada tingkat harga yang
terendah.
c) Efektif, merupakan pencapaian hasil program dengan target
yang telah ditetapkan, yaitu dengan cara membandingkan
keluaran dengan hasil.
d) Transparan,
merupakan
memungkinkan
mendapatkan
prinsip
masyarakat
akses
Keuangan Daerah.
informal
untuk
keterbukaan
yang
mengetahui
seluas-luasnya
dan
tentang
16
e) Bertanggung jawab, merupakan perwujudan kewajiban
seseorang
atau
satuan
kerja
untuk
mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalian
sumber daya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan
kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan.
f)
Keadilan, adalah keseimbangan distribusi kewenangan dan
pendanaannya.
g) Kepatuhan, adalah tindakan atau suatu sikap yang
dilakukan dengan wajar dan proporsional.
d. Prinsip Pengelolaan Keuangan Daerah
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 pasal
1 ayat 6, bahwa pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Prinsip-prinsip yang mendasari dalam pengelolaan keuangan
daerah, yaitu: transparansi, akuntabilitas, dan value for Money
(Mardiasmo, 2004:105). Adapun penjelasan selengkapnya adalah
sebagai berikut:
1) Transparansi merupakan wujud adanya keterbukaan dalam
proses perencanaan, penyusunan serta pelaksanaan anggaran
daerah. Dalam prinsip ini, anggota masyarakat memiliki hak
serta akses yang sama dalam hal mengetahui proses anggaran.
Hal ini dikarenakan menyangkut masalah aspirasi dan juga
17
kepentingan masyarakat, terutama untuk memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat.
2) Akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawaban publik,
yang
berarti
bahwa
proses
penganggaran
mulai
dari
perencanaan, penyusunan dan juga pelaksanaannya harus benarbenar dapat dilaporkan serta dipertanggungjawabkan kepada
DPRD dan masyarakat. Masyarakat di sini tidak hanya memiliki
hak untuk mengetahui anggaran saja, tetapi juga memiliki hak
untuk menuntut pertanggungjawaban atas rencana maupun
pelaksanaan anggaran tersebut.
3) Value for Money merupakan penerapan dari prinsip ekonomi,
efisiensi serta efektivitas dalam proses penganggaran. Ekonomi
dalam hal ini berkaitan dengan pemilihan dan penggunaan
sumber daya dalam jumlah dan kualitas tertentu dengan harga
yang paling murah. Efisiensi berarti penggunaan dana
masyarakat
dapat
menghasilkan
output
yang maksimal.
Sedangkan efektivitas berarti penggunaan anggaran tersebut
harus mencapai target atau tujuan untuk kepentingan publik.
e.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) adalah kerangka kebijakan yang memuat hak dan
kewajiban Pemerintah Daerah serta Masyarakat yang tercermin
dalam Pendapatan, Belanja, dan Pembiayaan (Mulyanto, 2007).
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 1 ayat 8,
18
APBD merupakan rencana keuangan tahunan Pemerintah Daerah
yang disetujui oleh DPRD. Pengertian lain menyebutkan bahwa
APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah
yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan
DPRD, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah [Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 pasal 1 ayat 17, Peraturan Pemerintah Nomor
58 Tahun 2005 pasal 1 ayat 7, dan juga Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 21 Tahun 2011 pasal 1 ayat 9].
Dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 3 ayat 4,
disebutkan bahwa APBD memiliki fungsi otorisasi, perencanaan,
pengawasan, alokasi, distribusi serta stabilisasi. Adapun penjelasan
dari keenam fungsi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Fungsi Otorisasi, berarti bahwa anggaran daerah menjadi dasar
untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan.
2) Fungsi Perencanaan, berarti bahwa anggaran negara menjadi
pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada
tahun yang bersangkutan.
3) Fungsi Pengawasan, berarti bahwa anggaran daerah menjadi
pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan
pemerintahan
ditetapkan.
daerah sesuai dengan ketentuan yang telah
19
4) Fungsi Alokasi, berarti bahwa anggaran daerah harus diarahkan
untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya,
serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5) Fungsi Distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran daerah
harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
6) Fungsi Stabilisasi, berarti bahwa anggaran pemerintah menjadi
alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan
fundamental perekonomian.
Jika dilihat dari strukturnya, pos – pos APBD terdiri atas:
(i) Pendapatan Daerah; (ii) Belanja Daerah; dan (iii) Pembiayaan
Daerah [Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003, pasal 16, ayat (2);
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, pasal 20, ayat (1)].
Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1) Pendapatan Daerah
Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang
diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih (UndangUndang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 1 ayat 15). Dalam
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 16 ayat 3,
disebutkan bahwa Pendapatan Daerah berasal dari: (i)
Pendapatan Asli Daerah,
(ii) Dana Perimbangan, (iii)
Lain-lain Pendapatan yang Sah. Adapun penjelasannya adalah
sebagai berikut:
a) Pendapatan Asli Daerah
20
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 pasal 1 ayat 18, Pendapatan Asli Daerah adalah
pendapatan
yang
diperoleh
Daerah
yang
dipungut
berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan
Perundang- undangan. Pendapatan Asli Daerah bersumber
dari: (i) Pajak Daerah, (ii) Retribusi Daerah, (iii) Hasil
Pengelolaan Kekayaan yang Dipisahkan, dan
(iv)
Lain-lain PAD yang Sah. Adapun penjelasan selengkapnya:
(1) Pajak Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
pasal 1 ayat 10, Pajak Daerah adalah kontribusi wajib
kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketentuan mengenai pajak daerah ditetapkan
dengan Undang- undang. Sedangkan penentuan tarif
dan tata cara pemungutan pajak daerah ditetapkan
dengan Peraturan Daerah yang sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Pajak Daerah
dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu: Jenis pajak Provinsi
dan Pajak Kabupaten/ Kota.
(a) Pajak Provinsi
21
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 pasal 2 ayat 1, dijelaskan bahwa Jenis Pajak
Provinsi,
terdiri
atas:
(i)
Pajak
Kendaraan
Bermotor, (ii) Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor, (iii) Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor, (iv) Pajak Air Pemukiman, (v) Pajak
Rokok.
(b) Pajak Kabupaten/ Kota
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 pasal 2 ayat 2 dijelaskan bahwa Jenis pajak
Kabupaten/ Kota terdiri atas: (i) Pajak Hotel, (ii)
Pajak Restoran, (iii) Pajak Hiburan, (iv) Pajak
Reklame, (v) Pajak Penerangan Jalan, (vi) Pajak
Mineral Bukan Logam dan Batuan, (vii) Pajak
Parkir, (viii) Pajak Air Tanah, (ix) Pajak Sarang
Burung Walet, (x) Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan, (xi) Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan.
(2) Retribusi Daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 pasal 1 ayat 64, Retribusi Daerah adalah pungutan
Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin tertentu yang khusus disediakan dan/ atau
22
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau Badan.
Ketentuan mengenai retribusi daerah juga
ditetapkan
dengan
Undang-Undang.
Sementara
penentuan tarif dan tata cara pemungutan retribusi
daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai
peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 108,
Retribusi digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: (i)
Retribusi Jasa Umum, (ii) Retribusi Jasa Usaha, dan
(iii)
Retribusi
Perizinan
Tertentu.
Penjelasan
selengkapnya adalah sebagi berikut:
(a) Retribusi Jasa Umum
Dalam Undang- Undang Nomor 28 Tahun
2009 pasal 109, dijelaskan bahwa Retribusi Jasa
Umum adalah pelayanan yang disediakan atau
diberikan
Pemerintah
Daerah
untuk
tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat
dinikmati
oleh
orang
pribadi
atau
badan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 pasal 110 jenis-jenis Retribusi Jasa Umum,
meliputi: (i) Retribusi Pelayanan Kesehatan,
(ii) Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan,
(iii) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu
23
Tanda Penduduk Dan Catatan Sipil, (iv) Retribusi
Pelayanan Pemakaman Dan Pengabuan Mayat, (v)
Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum,
(vi) Retribusi Pelayanan Pasar, (vii) Retribusi
Pengujian Kendaraan Bermotor, (viii) Retribusi
Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran, (ix)
Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta, (x)
Retribusi Penyediaan Dan/ Atau Penyedotan
Kakus, (xi) Retribusi Pengolahan Limbah Cair,
(xii) Retribusi Pelayanan Tera/ Tera Ulang, (xiii)
Retribusi Pelayanan Pendidikan, (xiv) Retribusi
Pengendalian Menara Telekomunikasi.
(b) Retribusi Jasa Usaha
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 pasal 126, dijelaskan bahwa Retribusi Jasa
Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh
Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip
komersial
yang
meliput:
pelayanan
dengan
menggunakan/ memanfaatkan kekayaan Daerah
yang belum dimanfaatkan secara optimal dan/ atau
pelayanan yang belum disediakan oleh pihak
swasta. Dalam Undang- Undang Nomor 28 Tahun
2009 pasal 127 Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum,
meliputi:
(i)
Retribusi
Pemakaian
Kekayaan
24
Daerah,
(ii) Retribusi Pasar Grosir dan/ atau
Pertokoan,
(iii) Retribusi Tempat
Pelelangan, (iv) Retribusi Terminal, (v) Retribusi
Tempat Khusus Parkir, (vi) Retribusi Tempat
Penginapan/ Pesanggrahan/ Villa, (vii) Retribusi
Rumah Potong Hewan, (viii) Retribusi Pelayanan
Kepelabuhanan, (ix) Retribusi Tempat Rekreasi
dan Olahraga, (x) Retribusi Penyeberangan di Air,
(xi) Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
(c) Retribusi Perizinan Tertentu
Dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 pasal 140 dijelaskan bahwa Retribusi
Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan
tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang
pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk
pengaturan
dan
pengawasan
atas
kegiatan,
pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya
alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas
tertentu guna melindungi kepentingan umum dan
menjaga kelestarian lingkungan. Dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 pasal 141 jenisJenis Retribusi Perizinan Tertentu meliputi: (i)
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan, (ii) Retribusi
Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol, (iii)
25
Retribusi Izin Gangguan, (iv) Retribusi Izin
Trayek, (v) Retribusi Izin Usaha Perikanan.
(3) Hasil
Pengelolaan
Kekayaan
Daerah
yang
Dipisahkan
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
16 Tahun 2006 pasal 26 ayat 3 telah disebutkan jenisjenis obyek pajak pendapatan dari hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, meliputi:
(a) Bagian
laba
atas
penyertaan
modal
pada
modal
pada
Perusahaan Milik Daerah/ BUMD
(b) Bagian
laba
atas
penyertaan
Perusahaan Milik Pemerintah/ BUMN
(c) Bagian
laba
atas
penyertaan
modal
pada
perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat.
(4) Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah
Lain-lain
pendapatan
daerah
yang
sah
digunakan untuk menganggarkan penerimaan daerah
yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi
daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan. Dalam Undang- undang Nomor 33 Tahun
2004 pasal 6 ayat 2 telah disebutkan jenis-jenis obyek
pajak pendapatan yang termasuk dalam lain-lain
26
pendapatan asli daerah yang sah, meliputi: (i) Hasil
penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, (ii) Jasa
giro, (iii) Pendapatan bunga, (iv) Keuntungan selisih
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, (v)
Komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat
dari penjualan dan/ atau pengadaan barang dan/ atau
jasa oleh Daerah.
b) Dana Perimbangan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 pasal 1 ayat 19 dijelaskan bahwa Dana Perimbangan
merupakan dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada
Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi. Dana perimbangan bertujuan
untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan
Pemerintahan Daerah dan antar Pemerintah Daerah. Dalam
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 10 ayat 1,
Dana perimbangan terdiri atas: (i) Dana Bagi Hasil, (ii)
Dana Alokasi Umum, dan (iii) Dana alokasi Khusus.
Berikut penjelasan selengkapnya:
(1) Dana Bagi Hasil
Dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
pasal 1 ayat 20, dijelaskan bahwa Dana Bagi Hasil
adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
27
yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka
persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam
rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dalam Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 pasal 11 ayat 1 Dana
Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
Dana bagi Hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas
(Undang-undang nomor 33 tahun 2004 pasal 11 ayat
2): (i) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), (ii) Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
(iii) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh
Pasal 21. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2004 pasal 11 ayat 3, Dana Bagi
Hasil yang bersumber dari Sumber daya alam, terdiri
atas: (i) Kehutanan, (ii) Pertambangan umum, (iii)
Perikanan, (iv) Pertambangan minyak bumi, (v)
Pertambangan gas bumi, (vi) Pertambangan panas
bumi.
Namun dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
dan juga Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) termasuk/ menjadi pajak Kabupaten.
(2) Dana Alokasi Umum
28
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 pasal 1 ayat 21, dijelaskan bahwa Dana Alokasi
Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar- Daerah untuk mendanai
kebutuhan
Daerah
dalam
rangka
pelaksanaan
Desentralisasi.
(3) Dana Alokasi Khusus
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 pasal 1 ayat 23, dijelaskan bahwa Dana Alokasi
Khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional.
c) Lain-lain Pendapatan yang Sah
Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004
pasal 43, disebutkan bahwa lain-lain pendapatan yang sah
terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat.
Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:
(1) Pendapatan Hibah
Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal
dari pemerintah negara asing, badan/ lembaga asing,
badan/ lembaga internasional, Pemerintah, badan/
29
lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam
bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/ atau jasa,
termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu
dibayar kembali. Dalam Mulyanto (2007) hibah yang
diterima dalam bentuk uang harus dianggarkan dalam
APBD dengan didasarkan pada naskah perjanjian hibah
antara Pemerintah Daerah dan pemberi hibah.
(2) Pendapatan Dana Darurat
Dana Darurat adalah dana yang berasal dari
APBN
yang
dialokasikan
kepada
Daerah
yang
mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan/
atau krisis solvabilitas. Pemerintah mengalokasikan
Dana
Darurat
menanggulangi
karena
peristiwa
Daerah
tidak
tersebut
dapat
dengan
menggunakan APBD.
2) Belanja Daerah
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun
2005 pasal 1 ayat 27, dijelaskan bahwa Belanja Daerah adalah
kewajiban Pemerintah Daerah yang diakui sebagai pengurang
nilai kekayaan bersih. Belanja Daerah meliputi semua
pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi
ekuitas dana lancar yang merupakan kewajiban Daerah dalam
satu tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya
kembali oleh Daerah. Belanja daerah digunakan dalam rangka
30
mendanai pelaksanaan urusan pemerintah yang menjadi
kewenangan provinsi atau kabupaten/ kota yang terdiri dari
urusan wajib, urusan pilihan dan urusan yang penanganannya
dalam bagian atau bidang tertentu yang dapat dilaksanakan
bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah atau antar
pemerintah
daerah
yang
ditetapkan
dengan
ketentuan
perundang- undangan.
Belanja Daerah menurut kelompoknya terdiri dari
(Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 pasal
36 ayat 1): Belanja Tidak Langsung dan Belanja Langsung.
Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:
a) Belanja Tidak Langsung
Belanja tidak langsung merupakan belanja yang
dianggarkan
tidak
terkait
secara
langsung
dengan
pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah (Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 36 ayat
2). Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 pasal 37 kelompok belanja tidak langsung
dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari: (i) Belanja
Pegawai, (ii) Bunga, (iii) Subsidi, (iv) Hibah, (v) Bantuan
Sosial, (vi) Belanja Bagi Hasil, (vii) Bantuan Keuangan,
(viii) Belanja Tidak Terduga
b) Belanja Langsung
31
Belanja
Langsung
merupakan
belanja
yang
dianggarkan terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program dan kegiatan pemerintah (Peraturan Menteri dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 36 ayat 3). Berdasarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
pasal 50 Belanja langsung dibagi menurut jenis belanja
yang terdiri dari: (i) Belanja Pegawai, (ii) Belanja Barang
dan jasa, serta (iii) Belanja Modal.
3) Pembiayaan Daerah
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13
Tahun 2006 pasal 1 ayat 54, dijelaskan bahwa Pembiayaan
Daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/ atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada
tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun
anggaran berikutnya. Pembiayaan Daerah terdiri dari (Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 59):
penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan. Adapun
penjelasannya selengkapnya:
a) Penerimaan pembiayaan
Penerimaan pembiayaan menurut Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 60 ayat 1
meliputi:
(1) Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun
anggaran sebelumnya
32
(2) Pencairan dana cadangan
(3) Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
(4) Penerimaan pinjaman Daerah
(5) Penerimaan kembali pemberian pinjaman
(6) Penerimaan piutang daerah
b) Pengeluaran pembiayaan
Pengeluaran pembiayaan menurut Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 60 ayat 2
meliputi:
(1) Pembentukan dana cadangan
(2) Penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah
(3) Pembayaran pokok utang
(4) Pemberian pinjaman
3.
Analisis Kinerja dan Kemampuan Keuangan Daerah
a.
Kinerja Keuangan Daerah
Kinerja keuangan merupakan suatu tingkat pencapaian target
kegiatan keuangan pemerintah daerah yang diukur dengan indikatorindikator keuangan yang dapat dinilai dari hasil pertanggungjawaban
atas pelaksanaan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)
(Sijabat, 2013: 239). Indikator kinerja digunakan untuk mengetahui
apakah aktivitas atau program telah dilakukan secara efektif dan
efisien. Pada dasarnya terdapat 2 hal yang dapat dijadikan sebagai
indikator kinerja, yaitu Kinerja Anggaran dan Anggaran Kinerja.
33
Kinerja Anggaran merupakan alat atau instrumen yang dipakai oleh
DPRD untuk mengevaluasi kinerja kepala daerah, sedangkan
Anggaran Kinerja merupakan alat atau instrumen yang dipakai oleh
kepala daerah untuk mengevaluasi unit-unit kerja yang ada di bawah
kendali daerah selaku manajer eksekutif. (Mardiasmo, 2002:219).
Indikator yang akan digunakan dalam penelitian ini untuk
mengukur tingkat kinerja keuangan pemerintah daerah adalah:
1) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah (RKKD)
Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan seberapa
besar kemampuan Pemerintah Daerah dalam membiayai sendiri
kegiatan pemerintahan, pembangunan, serta pelayanan kepada
masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai
sumber pendapatan yang diperlukan oleh daerah (Halim,
2004:284). Dalam pelaksanaan otonomi daerah, ada 4 pola
hubungan situasional, (Tamboto, 2014:758), yaitu:
a) Pola hubungan Instruktif, yaitu dimana peranan pemerintah
pusat lebih dominan daripada kemandirian pemerintah
daerah (daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi
daerah).
b) Pola hubungan Konsultatif, yaitu dimana campur tangan
pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah
dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonomi.
c) Pola
hubungan
Partisipatif,
yaitu
dimana
peranan
pemerintah pusat semakin berkurang mengingat daerah
34
yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati
mampu melaksanakan urusan otonomi daerah.
d) Pola hubungan Delegatif, yaitu dimana campur tangan
pemerintah pusat tidak ada karena daerah telah benar-benar
mampu serta mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi
daerah.
Sebagai pedoman untuk mengetahui pola hubungan
dengan kemampuan keuangan daerah dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 2.1 Kemampuan daerah, kemandirian dan pola
hubungan
No.
Besaran Rasio
Kemampuan
Pola
Kemandirian (%)
Keuangan
Hubungan
(1)
(2)
(3)
(4)
1.
0 -< 25
Rendah Sekali
Instruktif
2.
25 -< 50
Rendah
Konsultif
3.
50 -< 75
Sedang
Partisipatif
4.
75 -< 100
Tinggi
Delegatif
Sumber: Purba dalam Sijabat, dkk (2013: 239)
2) Rasio Efektivitas
Rasio
efektivitas
menggambarkan
kemampuan
pemerintah daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah
yang direncanakan dibandingkan dengan target pendapatan asli
daerah yang ditetapkan. Semakin besar realisasi pendapatan asli
daerah dibandingkan target pendapatan asli daerah, maka
kemampuan keuangan daerah tersebut semakin efektif atau
semakin baik, begitu pula dengan sebaliknya (Tamboto,
35
2014:759). Kriteria penilaian kerja keuangan dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel 2.2 Tingkat efektivitas PAD
No.
Rasio Efektivitas (%)
Efektivias Keuangan
(1)
(2)
(3)
1.
< 60
Tidak Efektif
2.
60 < 80
Kurang Efektif
3.
80 < 90
Cukup Efektif
4.
90 < 100
Efektif
5.
≥ 100
Sangat Efektif
Sumber: Budiarto dalam Tamboto, dkk (2014:759)
3) Rasio Aktivitas
Rasio aktivitas menggambarkan bagaimana pemerintah
daerah dalam memprioritaskan alokasi dananya pada belanja
rutin dan belanja pembangunan secara optimal. Semakin tinggi
persentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti
persentase belanja pembangunan untuk sarana dan prasarana
ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil (Halim, 2004:
287).
4) Rasio Pertumbuhan PAD
Rasio pertumbuhan digunakan untuk mengukur seberapa
besar kemampuan pemerintah daerah dalam mempertahankan
dan meningkatkan keberhasilannya yang telah dicapai dari
periode ke periode berikutnya (Halim, 2004:291). Rasio
36
pertumbuhan dikatakan baik apabila pertumbuhan tahun
berjalan
lebih
tinggi
jika
dibandingkan
dengan
tahun
sebelumnya.
b. Kemampuan Keuangan Daerah
Kemampuan keuangan daerah merupakan kemampuan
pemerintah daerah dalam meningkatkan PAD (Pendapatan Asli
Daerah) untuk membiayai kegiatan pemerintahannya atau daerahnya
sendiri. Dimana pemerintah memiliki kemampuan dan kewenangan
untuk menggali, mengelola serta menggunakan sumber-sumber
keuangan
untuk
membiayai
penyelenggaraan
pemerintahan
daerahnya sendiri. Kemampuan keuangan daerah dapat diukur
dengan menggunakan:
1) Rasio Derajat Otonomi Fiskal (DOF)
Rasio Derajat Otonomi Fiskal adalah kemampuan
pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah
untuk membiayai pembangunan (Rahman, 2014:63). Derajat
Otonomi Fiskal dikategorikan sebagai berikut:
Tabel 2.3 Kategori Derajat Otonomi Fiskal
No.
Derajat Otonomi Fiskal (%)
Kemampuan
Keuangan
(1)
(2)
(3)
1.
0,00-10,00
Sangat Kurang
2.
>10,00-20,00
Kurang
3.
>20,00-30,00
Sedang
4.
>30,00-40,00
Cukup
5.
>40,00-50,00
Baik
6.
>50,00
Sangat Baik
Sumber: Munir dalam Sijabat, dkk (2013,238)
37
2) Rasio Indeks Kemampuan Rutin (IKR)
Indeks kemampuan rutin merupakan ukuran yang
menggambarkan sejauh mana kemampuan pendapatan asli
daerah dalam membiayai belanja rutinnya (Sijabat, 2013:238).
Indeks Kemampuan Rutin dikategorikan sebagai berikut:
Tabel 2.4 Indeks Kemampuan Rutin
No.
Indeks Kemampuan Rutin (%)
(1)
(2)
1.
0,00-10,00
2.
>10,00-20,00
3.
>20,00-30,00
4.
>30,00-40,00
5.
>40,00-50,00
6.
>50,00
Sumber: Munir dalam Sijabat, dkk (2013,238)
Kemampuan
Keuangan
(3)
Sangat Kurang
Kurang
Sedang
Cukup
Baik
Sangat Baik
B. Penelitian Terdahulu
Untuk mendukung penelitian yang dilakukan, ada beberapa penelitian
terdahulu yang relevan dengan penelitian ini, yaitu tentang kinerja dan
kemampuan keuangan daerah. Berikut ringkasan hasil dari berbagai
penelitian terdahulu:
1.
Kinerja Keuangan Daerah
a.
Rasio Kemandirian
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahman, dkk (2014)
yang berjudul “Analisis Perbandingan Kemampuan Keuangan
Daerah Di Provinsi Sulawesi Utara (Studi Pada Kota Manado dan
Kota
Bitung
Tahun
2008-2012)”.
Hasilnya
adalah
tingkat
38
pertumbuhan kemandirian Kota Manado terus mengalami tren
positif, meskipun tingkat pertumbuhannya masih kecil yaitu sebesar
2% setiap tahunnya dan pertumbuhan kemandirian Kota Bitung
setiap tahunnya juga mengalami peningkatan yaitu sebesar 1%.
Dengan tingkat pertumbuhan yang hanya berkisar 1-2% ini
menunjukkan bahwa tingkat kemandirian Kota Manado dan Kota
Bitung masih amat rendah karena kurang dari 25,1%.
Kemudian dari penelitian Machmud, dkk (2014) yang
berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Daerah Di Provinsi Sulawesi
Utara Tahun 2007-2012”, menunjukkan bahwa presentase rasio
kemandirian keuangan daerah masih kurang stabil, hal tersebut
dikarenakan data yang ada mengalami naik turun. Secara
keseluruhan rasio kemandirian Provinsi Sulawesi Utara rendah
dengan rata-rata sebesar 9,19%. Hal tersebut menunjukkan bahwa
Provinsi Sulawesi Utara masih kurang mandiri atau bergantung
dengan pemerintah pusat.
Selanjutnya dalam penelitian Sijabat, dkk (2013) yang
berjudul ”Analisis Kinerja Keuangan Serta Kemampuan Keuangan
Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Pada
Dinas Pendapatan Daerah dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah Kota Malang Tahun Anggaran 2008-2012)”. Hasilnya
tingkat kemandirian Kota Malang setiap tahunnya mengalami
peningkatan dengan nilai rata-rata rasio kemandirian sebesar
16,33%, hal tersebut menunjukkan pola hubungan pusat-daerah
39
bersifat instruktif, dimana peran pemerintah pust lebih dominan
daripada kemandirian pemerintah daerah.
Dalam penelitian Tamboto, dkk (2014) yang berjudul
“Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Masa Otonomi
Daerah Pada Kabupaten Minahasa Tenggara”. Hasilnya tingkat
kemandirian keuangan Kabupaten Minahasa Tenggara berkisar
antara 8,35%-12,71%, atau sangat rendah dan memiliki pola
hubungan instruktif, dimana peranan pemerintah pusat masih sangat
dominan daripada kemandirian pemerintah daerah.
Dalam penelitian Basri, dkk (2013) yang berjudul “Pemetaan
Kinerja Pendapatan Asli Daerah dan Kemampuan Keuangan Daerah
Kabupaten/ Kota di Provinsi Jambi”. Hasilnya tingkat kemandirian
keuangan daerah Provinsi Jambi rendah sekali (tidak mampu),
dengan pola hubungan instruktif. Hal ini berarti bahwa kemampuan
PAD untuk menopang pendanaan pembangunan belum mampu
untuk berotonomi. Tingkat kemandirian Provinsi Jambi hanya
berkisar antara 3,51-11,93%. Dengan pola hubungan instruktif,
dimana
peranan
pemerintah
pusat
lebih
dominan
daripada
kemandirian pemerintah daerah.
b. Rasio Efektivitas
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Machmud, dkk (2014)
yang berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Daerah Di Provinsi
Sulawesi Utara Tahun 2007-2012”. Hasilnya secara keseluruhan
rasio efektivitas Provinsi Sulawesi Utara menunjukkan kurang
40
efektif dengn nilai rata-rata rasio efektivitas sebesar 69,44%, hal
tersebut menunjukkan pemerintah Provinsi Sulawesi Utara masih
kurang efektif dalam mengelola keuangan daerah.
Kemudian penelitian dari Sijabat, dkk (2013) yang berjudul
“Analisis
Kinerja
Keuangan
Serta
Kemampuan
Keuangan
Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Pada
Dinas Pendapatan Daerah dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah Kota Malang Tahun Anggaran 2008-2012)”. Hasilnya
tingkat efektivitas PAD kota Malang tahun 2008-2012 mengalami
peningkatan yang cukup stabil, namun pada tahun 2009 PAD Kota
Malang belum mencapai target yaitu hanya sebesar 99,68% dan
tahun 2008, 2010-2012 PAD mencapai target dengan persentase di
atas 100% sehingga dikatakan efektif. Namun rata-rata rasio
efektivitas sebesar 107,68% sehingga sangat efektif.
Selanjutnya dari penelitian Tamboto, dkk (2014) yang
berjudul “Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Masa
Otonomi Daerah Pada Kabupaten Minahasa Tenggara”. Hasilnya
Rasio efektivitas PAD di Kabupaten Minahasa Tenggara berfluktuasi
berkisar 59,66%-152,86%, dengan nilai rata-rata sebesar 90,87%.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pemungutan PAD telah efektif
karena kontribusi yang diberikan terhadap target yang ditetapkan
berkisar di angka 100%.
c.
Rasio Aktivitas
41
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sijabat, dkk (2013)
yang berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Serta Kemampuan
Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah
(Studi Pada Dinas Pendapatan Daerah dan Badan Pengelola
Keuangan dan Aset Daerah Kota Malang Tahun Anggaran 20082012)”. Hasilnya Rasio aktivitas keuangan Kota Malang dari tahun
2008-2012 lebih dominan dialokasikan untuk belanja operasi yaitu
>70% dan selalu mengalami peningkatan, sedangkan untuk belanja
pembangunan (belanja modal) < 30%.
d. Rasio Pertumbuhan
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahman, dkk (2014)
yang berjudul “Analisis Perbandingan Kemampuan Keuangan
Daerah Di Provinsi Sulawesi Utara (Studi Pada Kota Manado dan
Kota Bitung Tahun 2008-2012)”. Hasilnya adalah pertumbuhan
dikota Manado cenderung tidak stabil, karena pada tahun 2010
mengalami penurunan sebesar 2%, tahun 2011 mengalami kenaikan
9% dan tahun 2012 mengalami peningkatan yang signifikan
sehingga mengalami pertumbuhn hingga mencapai 33%, sementara
untuk Kota Bitung mengalami pertumbuhan yang stabil yaitu ratarata 10% setiap tahunnya.
Kemudian dalam penelitian Machmud, dkk (2014) yang
berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Daerah Di Provinsi Sulawesi
Utara Tahun 2007-2012”. Hasilnya Rasio pertumbuhan Provinsi
Sulawesi Utara dari tahun 2007-2012 memiliki rata-rata 34,77% dan
42
dikategorikan
kurang
baik
karena
tahun
2007-2010
masih
mengalami naik turun, meskipun pada tahun 2011-2012 mengalami
peningkatan.
Selanjutnya dalam penelitian Sijabat, dkk (2013) yang
berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Serta Kemampuan Keuangan
Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Pada
Dinas Pendapatan Daerah dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah Kota Malang Tahun Anggaran 2008-2012)”. Hasilnya
pertumbuhan APBD Kota Malang bersifat fluktuatif. Pertumbuhan
PAD serta pendapatan daerah selalu meningkat. Untuk pertumbuhan
belanja rutin daerah mengalami tren positif dan untuk pertumbuhan
belanja pembangunan pada 2009 dan 2012 mengalami tren positif
namun 2010 dan 2011 pertumbuhannya mengalami tren yang
negatif.
Hal
tersebut
menunjukkn
bahwa
kinerja
belanja
pembangunan daerah yang dialokasikan untuk sarana dan prasara
publik tidak dapat dipertahankan peningkatannya dan cenderung
mengalami penurunan.
2.
Kemampuan Keuangan Daerah
a.
Rasio Derajat Otonomi Fiskal
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahman, dkk (2014)
yang berjudul “Analisis Perbandingan Kemampuan Keuangan
Daerah Di Provinsi Sulawesi Utara (Studi Pada Kota Manado dan
Kota
Bitung
Tahun
2008-2012)”.
Hasilnya
adalah
rasio
desentralisasi fiskal Kota Manado masih amat kecil dengan kisaran
43
9,7% hingga 14,9% atau rata-rata 12,22% dan masuk dalam kategori
kurang mampu dalam membiayai rumah tangganya sendiri, begitu
juga dengan Kota Bitung yang masih amat kurang dengan kisaran
4,22% hingga 6,91% atau rata-rata 5,01% dan masuk dalam kategori
sangat kurang dalam membiayai rumah tangganya.
Kemudian dalam penelitian Sijabat, dkk (2013) yang
berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Serta Kemampuan Keuangan
Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Pada
Dinas Pendapatan Daerah dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah Kota Malang Tahun Anggaran 2008-2012)”. Hasilnya
Derajat otonomi fiskal Kota Malang memiliki rata-rata sebesar
13,67%, hal tersebut mengindikasikan kemampuan keuangan dimana
PAD Kota Malang dalam menyumbang pendapatan daerah masih
dalam kategori kurang mampu.
Selanjutnya dalam penelitian Rinaldi (2012) yang berjudul
“Kemandirian Keuangan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah”.
Hasilnya Derajat otonomi fiskal untuk Kabupaten Bengkayang
berkisar 1,9%-4,31% atau sangat rendah, artinya pola hubungan
yang instruktif dimana peranan pemerintah pusat lebih dominan dari
pada kemandirian pemerintah daerah.
b. Rasio Indeks Kemampuan Rutin
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahman, dkk (2014)
yang berjudul “Analisis Perbandingan Kemampuan Keuangan
Daerah Di Provinsi Sulawesi Utara (Studi Pada Kota Manado dan
44
Kota Bitung Tahun 2008-2012)”. Hasilnya adalah rasio indeks
kemampuan rutin Kota Manado berkisar 17,03% hingga 24,28%
dengan
rata-rata
sebesar
22,4%
hal
tersebut
menunjukkan
kemampuan pemerintah kota Manado dalam membiayai pengeluaran
rutinnya masih kurang dan sebagian besar pengeluaran yang
dilakukan masih mengandalkan dana transfer dari pemerintah pusat,
begitu juga dengan Kota Bitung yang hanya berkisar 15,33% hingga
25,10% dengan rata-rata sebesar 18,79%.
Kemudian dalam penelitian Sijabat, dkk (2013) yang
berjudul “Analisis Kinerja Keuangan Serta Kemampuan Keuangan
Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Studi Pada
Dinas Pendapatan Daerah dan Badan Pengelola Keuangan dan Aset
Daerah Kota Malang Tahun Anggaran 2008-2012)”. Hasilnya
kemampuan keuangan Kota Malang masuk dalam kategori kurang
mampu dimana kemampuan PAD dalam membiayai belanja rutin
daerah masih berkisar dibawah 20%, namun pada tahun 2011 dan
2012 telah masuk dalam kategori cukup, dimana kemampuan PAD
mencapai 20,98% dan 23,37%.
Selanjutnya dalam penelitian Rinaldi (2012) yang berjudul
“Kemandirian Keuangan Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah”.
Hasilnya
indeks
kemampuan
rutin
Kabupaten
Bengkayang
mengalami fluktuatif dan kecenderungan menurun,
rata-rata
147,820%, atau sangat baik dimana pemerintah mempunyai
kemampuan membiayai pembelanjaan operasionalnya.
45
C. Kerangka Pemikiran
Dalam penelitian ini akan dilakukan analisis mengenai kinerja dan
kemampuan keuangan daerah kabupaten/ kota di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, dengan menggunakan data anggaran dan realisasi pendapatan
dan belanja (APBD) yang ada di kabupaten/ kota di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Indikator yang digunakan untuk menganalisis kinerja
keuangan meliputi rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio aktivitas dan
rasio pertumbuhan, sementara indikator yang digunakan untuk menganalisis
kemampuan keuangan adalah rasio derajat otonomi fiskal dan rasio indeks
kemampuan rutin. Dari hasil pengukuran tersebut dapat diketahui apakah
pemerintah daerah dapat mandiri dalam hal kinerja dan kemampuan keuangan
daerah.
Dari uraian di atas dapat dibuat kerangka pikir untuk mempermudah
pemahaman mengenai kinerja dan kemampuan keuangan daerah kabupaten/
kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2010-2014 sebagaimana
tampak pada gambar berikut:
APBD
Anggaran
Kinerja Keuangan Daerah
Realisasi
Kemampuan Keuangan Daerah
46
Rasio
Kemandirian
Rasio
Efektivitas
Rasio
Aktivitas
Rasio
Pertumbuhan
Rasio
Derajat
Otonomi
Fiskal
Kinerja Keuangan Daerah dan Tingkat Kemampuan Keuangan
Daerah Kabupaten/ Kota di Provinsi DIY 2010-2014
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Rasio Indeks
Kemampuan
Rutin
Download