MAKALAH PRESENTASI KASUS ABLASIO RETINA Disusun oleh: Anggi Puspita Nalia Pohan Riska Wahyuningtyas Pembimbing: dr. Helario, Sp.M MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU KESEHATAN MATA RUMAH SAKIT PERSAHABATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA 2013 BAB I PENDAHULUAN Retina pada mata seperti lapisan film pada kamera tempat obyek yang dilihat oleh mata, merupakan struktur yang sangat terorganisasi, dengan kemampuan untuk memulai pengolahan informasi penglihatan sebelum informasi tersebut ditransmisikan melalui nervus opticus ke korteks visual. Begitu pentingnya fungsi retina, sehingga jika terdapat gangguan atau kelainan pada retina dapat terjadi gangguan penglihatan dimana pasien dapat mengalami penurunan baik pada visus maupun lapang pandangnya.1 Penglihatan turun mendadak tanpa disertai adanya radang ekstraokular dapat disebabkan oleh beberapa kelainan. Kelainan ini dapat ditemui pada neuritis optik, obstruksi vena retina sentral, oklusi arteri retina sentral, perdarahan badan kaca, ambliopia toksik, histeria, retinopati serosa sentral, amaurosis fugaks dan koroiditis. Di samping hal tersebut perlu pula dipikirkan adanya ablatio retina.1,2,3 Ablasio retina merupakan suatu keadaan dimana sel kerucut dan sel batang retina dari sel epitel pigmen retina terpisah. Pada keadaan ini sel epitel pigmen masih melekat erat dengan membran Bruch. Sebenarnya, tidak terdapat perlekatan struktural antara sel kerucut dan sel batang retina dengan koroid ataupun epitel pigmen retina, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis.3 Lepasnya retina atau sel kerucut dan sel batang dari epitel pigmen retina akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina dari pembuluh darah koroid yang bila berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap. Dikenal 3 bentuk ablasi retina, antara lain1,2,3 : Ablasi retina regmatogenosa Ablasi retina eksudatif Ablasi retina traksi 1 Pada ablasio retina ini bila tidak segera dilakukan tindakan akan mengakibatkan cacat penglihatan atau kebutaan. Oleh karena itu, makalah ini membahas lebih lanjut mengenai ablasio retina sehingga kelainan mata ini dapat dideteksi secara dini dan kecacatan maupun kebutaan akibat penyakit ini dapat dihindarkan. 2 BAB II ILUSTRASI KASUS Identitas Nama pasien : Tn. A Jenis kelamin : Laki-laki Usia : 37 tahun Pekerjaan : Administrator toko furnitur Anamnesis Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 21 Januari 2012 di Poliklinik Mata RS Persahabatan Keluhan utama: Pasien datang dengan keluhan mata kiri buram sejak 1 minggu SMRS Riwayat penyakit sekarang: Sejak 1 minggu SMRS pasien mengeluhkan mata kiri buram seperti berkabut/berasap yang muncul tiba-tiba dan terus-menerus. Mata kiri juga dirasakan seperti menebal dan tampak seperti melihat gambaran pelangi. Nyeri pada mata, luas lapang pandang yang menyempit, pandangan silau, mual, muntah, dan sakit kepala disangkal. Sejak 16 tahun lalu pasien mengaku memiliki gangguan tajam penglihatan sehingga harus dikoreksi dengan kacamata spheris minus 13. Hingga saat ini kacamata pasien tidak pernah dikoreksi kembali. Sejak 15 tahun lalu pasien mengaku sering melihat cacing-cacing hitam berterbangan di depan kedua mata serta kilat petir di kedua mata yang intensitasnya semakin sering belakang ini. Riwayat trauma disangkal, riwayat pengobatan maupun operasi mata sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit dahulu: Riwayat DM, hipertensi, penyakit jantung-paru disangkal. Riwayat penyakit keluarga: Riwayat DM, hipertensi, penyakit jantung-paru disangkal. 3 Riwayat Sosial Pasien bekerja sebagai administrator sebuah toko furnitur dan setiap harinya bekerja di depan komputer dalam 2 bulan terakhir. Pemeriksaan fisik Kesadaran dan keadaan umum : Kompos mentis, tampak sakit ringan Tanda vital: Tekanan darah : 110/80 mmHg Frekuensi nadi : 90 kali/menit, reguler, isi cukup Frekuensi napas : 20 kali/menit, reguler, abdomotorakal, kedalaman cukup Suhu : afebris Pemeriksaan oftalmologis OD OS 6/20 F cc dengan pinhole Visus tidak membaik 6/15 cc dengan pinhole tidak membaik, cylinder 50° Orthophoria, gerakan baik ke segala arah Pergerakan dan Orthophoria, gerakan baik ke segala arah kedudukan bola mata Edema (-), spasme (-) , Palpebra Edema (-), spasme (-) , enteropion (-), eksteropion enteropion (-), eksteropion (-), (-), trikiasis (-) trikiasis (-) Injeksi konjungtiva (-), Konjungtiva injeksi silier (-), edema (-) Injeksi konjungtiva (-), injeksi silier (-), edema (-) Jernih Kornea Jernih Dalam BMD Dalam Warna cokelat, kripte (+), Iris sinekia (-) Bulat, sentral, 3 mm, RCL sinekia (-) Pupil +, RCTL + Jernih, shadow test (-) Warna cokelat, kripte (+), Bulat, sentral, 3 mm, RCL +, RCTL + Lensa Jernih, shadow test (-) 4 Agak keruh Badan kaca Agak keruh Refleks Fundus (+), Papil Funduskopi Refleks Fundus (+), Papil bulat, batas tegas, CDR 0,3- bulat, batas tegas, CDR 0,3- 0,4, a/v 2/3, eksudat (-), 0,4, a/v 2/3, eksudat (-), perdarahan (-) perdarahan (-). Terlihat robekan pada jam 5-7 8/7,5 (15,6 mmHg) Tonometri 10/7,5 ( 10,9 mmHg) Schiotz Lapang pandang pasien Konftontasi sama dengan pemeriksa Lapang pandang pasien sama dengan pemeriksa Diagnosis 1. Retinel tear suspek ablasio retina 2. Miopia OD OS 3. Astigmatisme regular OS Perencanaan : 0. Pasien dirujuk ke RSCM dengan rencana: - Pemeriksaan oftalmoskopi indirek yang dilakukan oleh dokter spesialis mata dapat dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis pada pasien. Gambaran pada ablasio retina adalah adanya retina yang berwarna abuabu dan terangkat dari sekitarnya. - Rencana tindakan fotocoagulasi laser atau disertai tindakan berupa scleral buckling, pneumatic retinopexy maupun intraocular silicone oil tamponade. Prognosis OD Quo Ad Vitam OS : bonam Quo Ad Vitam : bonam Quo Ad Functionam : dubia ad malam Quo Ad Functionam : malam Quo Ad Sanactionam : dubia ad malam Quo Ad Sanactionam : dubia ad malam 5 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi dan Histologi 2.1.1 Retina Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima rangsang cahaya. Retina merupakan selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan akhirnya di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada system temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik bertumpuk dengan membran Bruch, khoroid, dan sclera. Retina menpunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0.23 mm pada kutub posterior. Ditengah-tengah retina posterior terdapat makula. Di tengah makula terdapat fovea yang secara klinis merupakan cekungan yang memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop.1,4 Retina berbatas dengan koroid dengan sel epitel pigmen retina dan terdiri atas lapisan1,4 : 1. Lapisan epitel pigmen 2. Lapisan fotoreseptor merupakan lesi terluar retina terdiri atas sel batang yang mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut. 3. Membran limitan eksterna yang merupakan membrane ilusi. 4. Lapisan nucleus luar, merupakan susunan lapis nucleus sel kerucut dan batang. 5. Lapisan pleksiform luar merupakan lapis aselular dan merupakan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal. 6. Lapis nucleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller. 7. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion. 8. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron kedua, 1 9. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju kearah saraf optic. 10. Membran limitan interna, merupakan membrane hialin antara retina dan badan kecil. Retina menerima darah dari dua sumber : khoriokapiler yang berada tepat di luar membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina, serta cabang-cabang dari arteri retina sentralis yang memperdarahi dua per tiga sebelah dalam.1,4 Gambar 1. Lapisan-lapisan retina.4 Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transducer yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini 2 menjamin penglihatan yang paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fototopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).1,4 2.1.2 Ciliary body2 Badan siliar dimulai 1mm dari limbus yang kemudian meluas meuju posterior sekitar 6 mm. 2 mm pertama pada badan siliar merupakan pars plicata (yang berombak-ombak) dan 4 mm sisanya merupakan pars plana (yang datar). Agar tidak membahayakan lensa atau retina, lokasi yang optimal untuk dilakukan sayatan pada bedah pars plana adalah 4 mm dari limbus di mata phakic dan 3,5 mm dari limbus pada mata pseudophakic. 2.1.3 Ora Serrata2 Ora serrata membentuk tautan antara retina dan badan siliar dan dikarakterisasi oleh: 1. Prosesus dentate Merupakan perpanjangan dari retina kepada pars plana yang berbentuk seperti gigi; prosesus dentate lebih terlihat di arah nasal daripada temporal dan dapat mempunyai variasi pada konturnya. 2. Oral bay Merupakan ujung bergigi dari epitel pars plana diantara prosesus dentata 3. Lipatan meridional Merupakan lipatan radial kecil dari penebalan jaringan retina yang segaris dengan prosesus dentate, terutama terletak pada kuadran superonasal. Lipatan tersebut dapat memperlihatkan lubang retina yang kecil pada apeksnya. Kompleks meridional merupakan konfigurasi dimana prosesus dentate terutama dengan lipatan meridional yang berbaris dengan prosesus siliaris. 4. Oral bays yang tertutup Merupakan pulau kecil pada pars plana yang dikelilingi oleh retina sebagai pertemuan dua prosesus dentate. 5. Jaringan granular 3 Dikarakterisasi oleh kekeruhan putih multiple di dalam basis vitreus. Jaringan vitreus dapat disalahkirakan pada opercula perifer kecil. Pada ora, fusi retina sensoris dengan RPE dan koroid membatasi perluasan dari cairan subretinal. Gambar 2. Ora serrata2 2.1.4 Vitreous Base2 Basis vitreous adalah zona selebar 3-4 mm mengitari ora serrata. Insisi melalui bagian pertengahan dari Plana pars biasanya akan terletak anterior dari basis vitreous. Vitreous kortikal sangat melekat di dasar vitreous, sehingga mengikuti pada acute posterior vitreous detachment (PVD), sedangkan permukaan hyaloid posterior tetap melekat pada batas posterior dari basis vitreous. Apabila sudah teradapat lubang retina (robekan) dalam basis vitreous maka hal tersebut tidak mengarah pada RD. Trauma tumpul berat dapat menyebabkan avulsi dari basis vitreous dengan robeknya non-pigmented epithelium dari anterior pada bagian pars plana dan bagian posterior di retina. 4 Gambar 3. Vitreous base2 2. 2 Pemeriksaan1 Retina dapat diperiksa dengan oftalmoskop direk atau indirek atau dengan slitlamp (biomikroskop) dan lensa biomikroskopi kontak atau genggam. 2.2.1 Oftalmoskop Direk Oftalmoskop direk memperlihatkan gambaran monokular fundus dengan perbesaran 15 kali. Karena mudah dibawa dan menghasilkan gambaran diskus dan struktur vaskular retina yang detil, oftalmoskopi direk merupakan bagian dari pemeriksaan standar medis umum dan pemeriksaan oftalmologik. Pemeriksaan Refleks Merah (red refleks) Jika cahaya pemeriksa tepat sejajar dengan sumbu visual, lubang pupil normalnya dipenuhi oleh warna jingga kemerahan terang dan homogen. Refleks merah ini dihasilkan dari pantulan sumber cahaya oleh fundus yang melalui media mata yang jernih (kornea, aquous, lensa, dan vitreus). Setiap kekeruhan disepanjang jaras optik pusat akan menghalangi seluruh atau sebagian refleks merah ini dan tampak sebagai bintik atau bayangan gelap. Jika terlihat kekruhan fokal, minta pasien melihat ke tempat lain sejenak dan kemudian kembali melihat cahaya. Jika kekeruhan ini tetep bergerak atau 5 melayang, letaknya di dalam vitreus (misalnya perdarahan kecil), namun jika menetap, agaknya terletak pada lensa (misalnya katarak) atau pada kornea (misalnya parut). Pemeriksaan Fundus Pemeriksaan fundus lebih optimal dilakukan pada ruangan yang gelap karena menyebabkn dilatasi pupil alami untuk mengevaluasi fundus sentral, diskus, makula, dan struktur pembuluh darah retina. Tahap pemeriksaan fundus : a. Meminta pasien menatap objek yang jauh b. Pemeriksa mula-mula membawa detil retina ke dalam fokus c. Mencari diskus dengan mengikuti salah satu cabang utama pembuluh ke tempat berbagai cabang tersebut berasal. d. Berkas sinar oftalmoskopi diarahkan sedikit ke nasal dari garis pandang pasien. e. Cermati bentuk, ukuran, warna diskus, ketajaman tepinya, dan ukuran bagian sentralnya yang lebih pucat (cup). Hitung cup-disc ratio. f. Daerah makula terletak kira-kira dua kali “diameter diskus optikus” di sebelah temporal tepi diskus. g. Sebuah refleksi putih kecil atau “refleks”menjadi petanda fovea sentralis. Daerah fovea ini dikelilingi oleh daerah berpigmen yang lebih gelap dan berbatas kurang tegas, disebut makula. h. Ikuti pembuluh darah retina sesuai masing-masing kuadran (superior, inferior, temporal, nasal). i. Vena lebih gelap dan besar dibandingkan arteri. Perhatikan warna, kelokan, kaliber pembuluh darah, aneurisma, perdarahan atau eksudat. 2.3 Ablasio Retina 2.3.1 Definisi Adalah kelainan mata dimana lapisan sensori retina terlepas dari lapisan epitel pigmen retina. Antara kedua lapisan tersebut tidak terdapat taut yang erat, sehingga terjadi akumulasi cairan subretinal di antara kedua lapisan tersebut.1-3 6 2.3.2 Klasifikasi Terdapat empat klasifikasi pada ablasio retina, antara lain yaitu: (1) Rhegmatogenous Etiologi Faktor risiko lebih tinggi didapatkan pada kelompok orang-orang dengan miopia berat, afakia, usia lanjut, dan trauma. Khususnya yang disebabkan oleh trauma sering terjadi pada individu berusia 25-45 tahun. Miopia tinggi (>5-6 dioptri) berhubungan dengan 67 % kasus ablasio retina dan cenderung terjadi lebih muda dari pasien non miopia. 15 % kemungkinan akan berkembang pula pada mata yang lainnya. Risiko sekitar 25-30 % pada pasien yang telah menjalani operasi katarak pada kedua mata.3,5,6 Klasifikasi Ablasio retina regmatogenosa dapat diklasifikasikan berdasarkan patogenesis, morfologi dan lokasi. Berdasarkan patogenesisnya, dibagi menjadi; (1) Tears, disebabkan oleh traksi vitreoretina dinamik dan memiliki predileksi di superior dan lebih sering di temporal daripada nasal.(2) Holes, disebabkan oleh atrofi kronik dari lapisan sensori retina, dengan predileksi di daerah temporal dan lebih sering di superior daripada inferior, dan lebih berbahaya dari tears. Berdasarkan morfologi, dibagi menjadi; (1) U-tearsm, terdapat flap yang menempel pada retina di bagian dasarnya, (2) incomplete U-tears, dapat berbentuk L atau J, (3) operculated tears, seluruh flap robek dari retina, (4) dialyses: robekan sirkumferensial sepanjang ora serata, (5) giant tears. Gambar 4. Morfologi robekan pada ablasio retina regmatogenosa 7 Berdasarkan lokasi, dibagi menjadi; (1) oral, berlokasi pada vitreous base, (2) post oral, berlokasi di antara batas posterior dari vitreous base dan equator, (3) equatorial, (4) post equatorial: di belakang equator (5) macular, di fovea.2 Patogenesis2 Ablasio jenis ini terjadi akibat adanya rhegma atau robekan pada lapisan retina sensorik (full thickness) sehingga cairan vitreus masuk ke dalam ruang subretina. Pada tipe ini, gaya yang mencetuskan lepasnya perlekatan retina melebihi gaya yang mempertahankan perlekatan retina. Tekanan yang mempertahankan perlekatan retina, antara lain tekanan hidrostatik, tekanan onkotik, dan transpor aktif. Hal yang mempertahankan perlekatan retina yaitu (1) Tekanan intraokular memiliki tekanan hidrostatik yang lebih tinggi pada vitreus dibandingkan koroid. (2) Koroid memiliki tekanan onkotik yang lebih tinggi karena mengandung substansi yang lebih dissolved dibandingkan vitreus. (3) Pompa pada sel epitel pigmen retina secara aktif mentranspor larutan dari ruang subretina ke koroid. Robekan retina terjadi sebagai akibat dari interaksi traksi dinamik vitreoretina dan adanya kelemahan di retina perifer dengan faktor predisposisi nya yaitu degenerasi. synchysis, yaitu pada traksi vitreoretina dinamik, terjadi likuefaksi dari badan vitreus yang akan berkembang menjadi lubang pada korteks vitreus posterior yang tipis pada fovea. Cairan synchytic masuk melalui lubang ke ruang retrohialoid. Akibatnya terjadi pelepasan permukaan vitreus posterior dari lapisan sensori retina. Badan vitreus akan menjadi kolaps ke inferior dan ruang retrohialoid terisi oleh cairan synchitic. Proses ini dinamakan acute rhegmatogenous PVD with collapse (acute PVD). Selain itu juga dapat terjadi sebagai akibat dari komplikasi akut PVD (posterior vitreal detachment). Robekan yang disebabkan oleh PVD biasanya berbentuk huruf U, berlokasi di superior fundus dan sering berhubungan dengan perdarahan vitreus sebagai hasil dari ruptur pembuluh darah retina perifer. 8 Gambar 5. Vitreous syneresis 2 Kebanyakan robaekan terjadi di daerah perifer retina. Hal tersebut dapat berhubungan dengan degenerasi retina perifer. Terdapat berbagai macam degenerasi, antara lain: 1. Degenerasi lattice Biasa ditemukan pada pasien dengan sindrom Marfan, sindrom Stickler, sindrom Ehler-Danlos. Ditandai dengan bentuk retina yang sharply demarcated, circumferentially orientated spindle shaped areas. Biasanya terdapat bilateral dan lebih sering di daerah temporal dan superior. 2. Degenerasi snailtrack Degenerasi ini berbentuk snowflakes atau white frost like appearance. 3. Degenerasi retinoschisis Pada degenerasi ini terjadi pemisahan antara lapisan sensori retina menjadi 2 lapisan, yaitu lapisan koroidal dan lapisan vitreus. Kejadian ini banyak berhubungan dengan hipermetrop. 4. “White-with-pressure”, “White-without-pressure”. 9 Gambar 6. Degenerasi vitreoretinal2 Gejala Klinis 1,2,3,5 Gejala utama yang ditimbulkan adalah fotopsia akibat stimulasi mekanik pada retina. Fotopsia muncul dalam kurun waktu 24-48 jam setelah terjadinya robekan retina. Fotopsia dapat diinduksi oleh gerakan bola mata. Pasien akan merasa dapat melihat lebih jelas pada malam hari. Biasanya fotopsia terdapat di bagian temporal perifer dari lapangan penglihatan. Pada ablasio bagian supratemporal yang menyebabkan terangkatnya macula, maka akan terjadi penurunan tajam penglihatan yang mendadak. Keluhan lain yang khas adalah, floater, adanya bayangan gelap pada vitreous akibat retina yang robek, darah dan sel epitel pigmen retina yang masuk ke badan vitreus. Kekeruhan vitreus ini terbagi atas 3 tipe, yaitu; (1) Weiss ring, floater yang soliter terdiri dari annulus yang terlepas dari vitreus. (2) Cobwebs, disebabkan oleh kondensasi serat kolagen di korteks vitreus yang kolaps. (3) Pancaran seketika berupa titik hitam atau merah yang biasanya mengindikasikan perdarahan vitreus akibat robekan pembuluh darah retina. Black curtain, defek lapang penglihatan dirasakan oleh pasien mulai dari perifer yang lama-lama hingga ke sentral. Keluhan ini dapat saja tidak muncul di pagi hari karena cairan subretina diabsorbsi secara spontan pada saat malam hari. Arah munculnya defek membantu dalam menentukan lokasi dari robekan retina. Hilangnya penglihatan sentral mungkin dikarenakan keterlibatan fovea. 10 Selanjutnya melalui pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan adanya Marcus Gunn pupil, tekanan intraokular yang menurun, iritis ringan, adanya gambaran tobacco dust atau Schaffer sign, robekan retina pada funduskopi. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang terlepas bergoyang. Gambar 7. Tobacco dust 2 Tatalaksana 1-3 Prinsip penatalaksanaan dari ablasio retina adalah untuk melepaskan traksi vitreoretina serta dapat menutup robekan retina yang ada. Penutupan robekan dilakukan dengan melakukan adhesi korioretinal di sekitar robekan melalui diatermi, krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Pembedahan yang sering dilakukan adalah scleral buckling, pneumatic retinopexy dan intraocular silicone oil tamponade. Kebanyakan praktisi lebih sering melakukan prosedur scleral buckling. Penempatan implan diletakkan dalam kantung sklera yang sudah direseksi yang akan mengeratkan sclera dengan retina Prognosis Prognosis ditentukan oleh tatalkasana yang dini, mekanisme yang mendasari terjadinya ablasio retina, dan adanya keterlibatan makula.6 (2) Ablasio retina traksional Etiologi Penyebab utama dari ablasio retina tipe traksi yaitu retinopati diabetes proliferative, retinopathy of prematurity, proliferative sickle cell retinopathy. 11 Patogenesis Terjadi pembentukan yang dapat berisi fibroblas, sel glia, atau sel epitel pigmen retina. Awalnya terjadi penarikan retina sensorik menjauhi lapisan epitel di sepanjang daerah vascular yang kemudian dapat menyebar ke bagian retina midperifer dan makula. Pada ablasio tipe ini permukaan retina akan lebih konkaf dan sifatnya lebih terlokalisasi tidak mencapai ke ora serata. 1 Pada mata diabetes terjadi perlekatan yang kuat antara vitreus ke area proliferasi fibrovaskular yang tidak sempurna. Selanjutnya terjadi kontraksi progresif dari membran fibrovaskular di daerah perlekatan vitreoretina yang apabila menyebabkan traksi pembuluh darah baru akan menimbulkan perdarahan vitreus. Traksi vitroretinal statis dibagi menjadi; (1) Traksi tangensial, disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular epiretina pada bagian retina dan distorsi pembuluh darah retina. (2) Traksi anteroposterior, disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular yang memanjang dari retina bagian posterior. (3) Traksi bridging disebabkan oleh kontraksi membran fibrovaskular yang akan melepaskan retina posterior dengan bagian lainnya atau arkade vaskular.2 Gejala Klinis Fotopsia dan floater sering kali tidak ditemukan. Sedangkan defek lapang pandang biasanya timbul lambat. Melalui pemeriksaan oftalmologis akan didapati bentukan yang konkaf dengan tanpa adanya robekan, dengan elevasi retina tertinggi di daerah traksi vitreoretinal. Pompa oleh retina akan menurun sehingga tidak terjadi turn over cairan.2 Terapi Pada vitrektomi pars plana dilakukan pengambilan agen penyebab traksi. Selanjutnya dapat pula dilakukan tindakan retinotomi dengan penyuntikan perfluorokarbon untuk meratakan permukaan retina.2 (3) Ablasio retina campuran antara regmatogenosa dengan traksional Tipe campuran ini merupakan hasil traksi retina yang kemudian menyebabkan robekan. Traksi fokal pada daerah proliferasi jaringan ikat atau fibrovaskular dapat 12 mengakibatkan robekan retina dan menyebabkan kombinasi ablatio retinae regmatogenosa-traksional (4) Ablasio retina eksudatif Etiologi Etiologi dari ablasio eksudatif yaitu dapat terjadi secara spontan, dengan trauma, uveitis, tumor, skleritis, DM, koroiditis, idiopatik, CVD, Vogt-Koyanagi-Harada syndrome, kongenital, ARMD, sifilis, reumatoid artritis, atau kelainan vaskular.3,6,7 ditandai dengan adalanya akumulasi cairan pada ruang subretina dimana tidak terjadi robekan retina dan traksi. Asal cairan ini dari pembuluh darah retina, atau koroid, atau keduanya. Hal ini dapat terjadi pada penyakit vaskular, radang, atau neoplasma pada retina, epitel berpigmen, dan koroid dimana cairan bocor keluar pembuluh darah dan terakumulasi di bawah retina. Selama epitel berpigmen mampu memompa cairan yang bocor ini ke sirkulasi koroid, tidak ada akumulasi dalam ruang subretina dan tidak akan terjadi ablasio retina. Akan teteapi, jika proses berlanjut dan aktivitas pompa epitel berpigmen normal terganggu, atau jika aktivitas epitel berpigmen berkurang karena hilangnya epitel berpigmen atau penurunan suplai metabolik (seperti iskemia), kemudian cairan mulai berakumulasi dan terjadi ablasio retina. Tipe ablasio retina ini dapat juga disebabkan oleh akumulasi darah pada ruang subretina (ablasio retina hemoragika. Penyakit radang dapat menyebabkan ablasio retina serosa termasuk skleritis posterior, oftalmia simatetik, penyakit Harada, pars planitis, penyakit pembuluh darah vaskular. Penyakit vaskular adalah hipertensi maligna, toksemia gravidarum, oklusi vena retina, penyakit Coat, penyakit angiomatosa retina, dan pembentukan neovaskularisasi koroid. 3 Patogenesis Terjadi akibat akumulasi cairan subretinal dengan tanpa danya robekan retina ataupun traks pada retina. Pada penyakit vaskular, radang, atau neoplasma retina, epitel pigmen, dan koroid, maka dapat terjadi kebocoran pembuluh darah sehingga berkumpul di bawah retina. Hal ini terjadi terutama bila pompa epitel terganggu akibat berbagai hal. 13 Gambar 8. Ablatio Retinae Eksudatif2 Gejala Klinis Fotopsia tidak ditemukan. Floater dapat ditemukan pada vitritis. Defek lapang pandang terjadi cepat. Pada pemeriksaan oftalmologi, ablatio retinae eksudatif memiliki bentukan yang konveks dengan permukaan yang halus dan berombak. Retina yang terlepas bersifat mobile sehingga menimbulkan fenomena shifting fluid. Leopard spots yaitu area subretinal yang mendatar setelah terjadi ablatio retinae.2 Penatalaksanaan Penatalaksanaan dilakukan berdasarkan etiologi yang mendasarinya. Pada kondisi yang disebabkan oleh inflamasi seperti pada penyakit Harada dan skleritis posterior maka pemberian kortikosteroid sistemik diperlukan. Jika disebabkan oleh keganasan, maka terapi radiasi dapat dilakukan. Pada korioretinopati bulosa sentral serosa dapat dilakukan laser fotokoagulasi argon. Pada infeksi diberikan antibiotik.8 Kelainan vaskular dapat diterapi dengan laser, krioterapi, aviterktomi. 14 Komplikasi Dapat terjadi glaukoma neovaskular dengan ptisis bulbi.7 2.3.3 Diagnosis banding Ablasio Retina a. Retinoskisis degeneratif Dengan gejala klinis yaitu fotopsia dan floater tidak ada, defek lapang pandang jarang terjadi, gejala yang timbul dikarenakan adanya perdarahan vitreus atau perkembangan ablasio retina yang progresif. Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan gambaran elevasi yang konveks, licin, tipis dan immobile. b. Ablasio koroid (choroidal detachment) Gejala klinis yang muncul yaitu fotopsia dan floater tidak ada, defek lapang pandang dapat ada pada mata dengan ablasi koroid yang luas. Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan tekanan intraokular yang sangat rendah akibat adanya ablasi badan silier, gambaran elevasi coklat berbentuk konveks, licin, bulosa dan relatif immobile, serta tidak meluas ke polus posterior. Retina perifer dan ora serata tampak jelas. c. Sindrom efusi uvea kelainan yang bersifat idiopatik dengan gambaran ablasi koroid yang berhubungan dengan ablasi retina eksudatif, terkadang adanya residual mottling. 15 BAB IV PEMBAHASAN Pada kasus ini, pasien pria berusia 37 tahun datang dengan keluhan utama penglihatan mata kiri yang tiba-tiba buram satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Dari keluhan utama pasien dapat dikategorikan bahwa keluhan mata pasien ini termasuk dalam kategori keluhan mata tenang visus turun mendadak. Dari keluhan ini dapat dipikirkan beberapa diagnosis banding yaitu: kekeruhan media refraksi, hifema, perdarahan vitreus, ablasio retina, oklusio pembuluh darah retina sentralis, oklusi arteri retina sentralis, oklusi cabang retina sentralis, oklusi vena retina sentralis, dan gangguan saraf optik. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan oftamologis, tidak ada riwayat trauma dan kondisi lain yang menyebabkan neovaskularisasi seperti tumor, diabetes, operasi intraokuler, dan inflamasi kronis) sehingga diagnosis banding hyfema dapat disingkarkan. Begitupula dengan perdarahan vitreus juga dapat disingkirkan. Oklusi pembuluh darah retina sentralis baik arteri maupun vena retina sentralis juga bisa disingkirkan karena pada pemeriksaan funduskopi tidak didapatkan gambaran perdarahan pada retina. Penyakit saraf optik dapat disingkirkan karena pada pemeriksaan funduskopi tidak terdapat relatif afferent pupillary defect. Pada kasus ini, pasien menderita miopia tinggi (dengan menggunakan lensa siferis -13 D). Miopia tinggi ini merupakan faktor risiko terjadinya ablasio retina. Gejala klinis yang dialami oleh pasien juga mengarah kepada ablasio retina, di antaranya adalah pandangan mata kiri yang mendadak kabur (hilangnya tajam penglihatan secara mendadak) selama satu minggu dengan mata tenang. Pasien juga mengeluhkan adanya pandangan berkilat (fotopsia), floaters (melihat bayangan seperti cacing hitam) pada kedua mata. Keluhan ini sebenarnya sudah dialami oleh pasien sejak pasien SMA (sekitar 15 tahun lalu), namun kelainan ini semakin meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebenarnya proses retinal break sudah dari sejak pasien SMA dan pada saat ini, kondisi pasien menunjukan suspek ablasio retina dikarenakan pandangan mata kiri yang mendadak kabur sejak satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Hal ini diperkuat dengan pemeriksaan oftalmologi didapatkan bahwa terdapat robekan di retina pasien pada arah jam 5 sampai jam 7. Adanya robekan pada retina ini dapat menyebabkan vitreus masuk di antara epitel dan 9 lapisan retina, sehingga 16 memungkinkan terjadinya ablasio retina. Dikarenakan bagian yang mengalami robekan di bagian inferior, viterus yang masuk di antara epitel dan 9 lapisan retina tidak menarik secara kuat dan menyebabkan ablasio retina yang sampai ke makula. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa gejala yang dialami oleh pasien masih ringan hanya berupa pandangan kabur, bukan berupa penurunan tajam penglihatan secara drastis. Pasien yang dinyatakan mengalami ablasio retina apabila terdapat beberapa tanda dari pemeriksaan mata, antara lain: Tajam penglihatan sangat turun sampai mencapai 1/300 Relatif afferent papillary defect pada mata yang tidak normal Terlihat retina berwarna abu-abu dan terangkat dari sekitarnya Pada pasien ini, terdapat robekan pada retina dan retina terlihat berwarna abu-abu. Tajam penglihatan pada pasien tidak turun secara drastis sampai 1/300, kemungkinan karena robekan belum sampai ke makula sehingga tidak menurunkan tajam penglihatan secara drastis. Tatalaksana pada ablasio adalah dengan operasi melepaskan traksi vitreoretina serta dapat menutup robekan retina yang ada, melalui adhesi korioretinal di sekitar robekan melalui diatermi, krioterapi, atau fotokoagulasi laser. Pembedahan yang sering dilakukan adalah scleral buckling, pneumatic retinopexy dan intraocular silicone oil tamponade. Kebanyakan praktisi lebih sering melakukan prosedur scleral buckling. Pada pasien ini tatalaksana yang dberikan dapat berupa fotokoagulasi leser dikarenakan hanya terdapat retina break. Prognosis ad vitam pada kasus ini bonam karena tidak mengancam nyawa. Prognosis ad functionam adalah dubia ad malam karena dapat menyebabkan kebutaan. Prognosis ad sanactionam adalah dubia ad malam, karena berpotensial untuk kambuh kembali dikarenakan miopia yang tinggi berpotensi untuk terjadinya ablasio retina kembali, terutama pada mata yang sebelumnya masih sehat. 17 BAB V KESIMPULAN Pasien laki-laki berusia 37 tahun datang dengan keluhan pandangan buram tiba-tiba pada mata kiri sejak 1 minggu SMRS. Ditemukan gejala floater, fotopsia, mata seperti menebal, dan pasien melihat gambaran halo. Pada pemeriksaan funduskopi ditemukan adanya robekan retina pada OS arah jam 5-7, badan kaca terlihat keruh. Pasien ini memiliki faktor risiko miopia berat sejak 15 tahun lalu. Diagnosis pada pasien adalah retina tear suspek ablasio retina dengan miopia OD OS serta astigmatisme OS. Direncanakan tindakan laser dan bedah lainnya seperti pneumatic retinopexy dan intraocular silicone oil tamponade. 18 Daftar Pustaka 1. Hardy RA,. Retina dan Tumor Intraokuler. In : Vaughan D.G, Asbury T., Riordan E.P, editor. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta : Widya Medika. 2000.p. 38-43, 185-99. 2. Kanski JJ, Bowling B, editors. Clinical Ophthalmology: a systemic approach. 7th ed. Elsevier, 2011 3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. 2004. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 4. Sidarta I,. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilmu Penyakit Mata Edisi kedua. Jakarta: BP-FKUI. 2002. p.10-5. 5. Larkin GL. Retinal Detachment. [series online] 2006 April 11 [cited on 2013 January 15]. Available from URL: http://www.emedicine.com/emerg/topic504.htm. 6. Gariano RF, Kim CH. Evaluation and Management of Suspected Retinal Detachment. American Academy of Family Physicians. [series online] 2004 April 1 [cited on 2013 January 15]; vol. 69, no. 7. Available from URL: http://www.aafp.org/afp/20040401/1691.html. 7. Wu L. Retinal Detachment Exudative. [series online] 2010 Agustus 2 [cited on 2013 January 15]. Available from URL: http://www.emedicine.com/oph/topic407.htm. 19