infeksi cacing jantung pada anjing di beberapa wilayah pulau

advertisement
INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA
WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO
TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING
FITRIAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
2
ABSTRAK
FITRIAWATI. Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa
dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing. Dibimbing
oleh Drh. Fadjar Satrija MSc.Ph.D
Penelitian ini bertujuan mempelajari keterkaitan antara faktor-faktor risiko
terkait manajemen kesehatan hewan kecacingan terhadap kejadian infeksi cacing
jantung Dirofilaria immitis pada anjing yang terdapat di beberapa lokasi di Pulau
Jawa dan Bali. Sampel darah diambil dari 235 ekor anjing yang ada di klinik dokter
hewan, rumah sakit hewan, di daerah Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah
dan Bali dari bulan Juli sampai dengan bulan November 2007. Sampel darah
tersebut kemudian diperiksa dengan menggunakan uji ELISA deteksi antigen.
Informasi mengenai manajemen kesehatan hewan terhadap kecacingan diperoleh
dari kuisoner yang diberikan kepada pemilik anjing. Anjing yang positif sebanyak 18
ekor (7,7) dari 235 sampel yang diperiksa. Prevalensi tertinggi terdapat di wilayah
Jawa Barat (4,2%) dan terendah di wilayah Jawa Tengah (0,42 %). Berdasarkan
analisis Chi-square frekuensi kunjungan ke dokter hewan dan pemberian obat
cacing mempengaruhi kejadian dirofilariasis, sedangkan frekuensi pemberian obat
cacing tidak mempengaruhi kejadian dirofilariasis. Anjing yang tidak pernah
diperiksa ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksi D. Immitis 3,6 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan anjing yang rutin diperiksa ke dokter hewan. Anjing yang tidak
pernah diberikan obat cacing memiliki risiko terinfeksi D. Immitis 0,3 kali lebih rendah
dibandingkan dengan anjing yang pernah diberikan obat cacing.
Kata kunci : Manajemen kesehatan anjing, Dirofilaria immitis
3
INFEKSI CACING JANTUNG PADA ANJING DI BEBERAPA
WILAYAH PULAU JAWA DAN BALI : FAKTOR RISIKO
TERKAIT DENGAN MANAJEMEN KESEHATAN ANJING
FITRIAWATI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
4
Judul skripsi
: Infeksi Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah
Pulau Jawa
dan Bali : Faktor Risiko Terkait dengan
Manajemen Kesehatan Anjing
Nama
: Fitriawati
NRP
: B04104135
Disetujui
Pembimbing
drh. Fadjar Satrija, MSc,Ph.D
NIP 131 760 846
Diketahui,
Wakil Dekan
Dr. Nastiti Kusumorini
NIP 131 669 943
Lulus tanggal:
5
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
cintaNya yang selalu tercurah setiap saat sehingga skripsi dengan judul Infeksi
Cacing Jantung pada Anjing di Beberapa Wilayah Pulau Jawa dan Bali : Faktor
Risiko Terkait dengan Manajemen Kesehatan Anjing berhasil diselesaikan. Penulis
mengucapkan
terima
kasih
kepada
drh.
Fadjar
Satrija,
MSc,Ph.D
atas
bimbingannya, saran, dan bantuannya, Dr. drh. Agustin Indrawati, M Biomed
sebagai dosen pembimbing akademik atas nasehat dan perhatiannya, drh Yusuf
Ridwan yang telah membantu penelitian ini, serta
bantuannya
Ir Etih Sudarnika, MSi atas
dan drh Chaerul Basri selaku dosen penguji. Ucapan terima kasih
kepada Staf Bagian Parasitologi dan Laboratorium Helmintologi, bapak-bapak
satpam, serta seluruh civitas FKH IPB. Dokter dokter hewan dan para medis yang
telah membantu penelitian ini.
Terima kasih yang tak terhingga untuk kedua orang tua tercinta yang tak
pernah putus doa, kasih sayang dan doa untuk anaknya serta dukungan materi
untuk menyelesaikan amanah belajar ini. Pemerintah daerah, rakyat kabupaten Alor
yang telah memberikan dukungan, doa dan kepercayaan untuk mengemban
amanah belajar ini. Keluarga di Kupang dan keluarga di Bogor atas doa serta
semangat yang diberikan. Teman teman sepenelitian Dirofilariasis Rita dan
Laurensius. Teman-teman di kosan perwira 46, Kru DPRA bajay, adik-adik di Laz Al
Huriyyah, DPM FKH IPB, DKM An Nahl, Asteroidea 41 serta kakak- kakak angkatan
40, 39, 38, 37 dn 36 dan adik-adik angkatan, 42, 43, 44 dan 45. Tak lupa penulis
ucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
tugas akhir ini.
Bogor, Februari 2009
Fitriawati
6
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Alor pada tanggal 17 Maret 1985. Penulis
adalah anak kedua dari empat bersaudara dari ayah Syamsul Bahri dan Ibu Kasiani
Sadimin.
Penulis menyelesaikan Pendidikan dasar di SD Islam Cokro Aminoto
Kalabahi (1993 -1998), Pendidikan menegah dilanjutkan di SLTP N 1 Kalabahi
(1998-2001), dan dilanjutkan di SMUN 1 Kalabahi pada tahun (2001-2004), penulis
diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur
Beasiswa Utusan Daerah pada tahun 2004.
Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di
organisasi formal kampus diantaranya : DKM An Nahl, Himpro Ruminansia, DPM
FKH IPB, IMAKAHI. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum Pendidikan Agama
Islam pada tahun (200-2008) dan sebagai
Parasitologi Endoparasit pada tahun (2007).
Asisten Praktikum
mata kuliah
7
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL...................................................................................................
ii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................
iii
DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................
iv
PENDAHULUAN..................................................................................................
1
Latar belakang.........................................................................................
2
Tujuan penelitian......................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................................
3
Klasifikasi..................................................................................................
3
Morfologi Dirofilaria immitis....................................................................... 4
Siklus hidup dan vektor Dirofilaria immitis................................................
5
Patogenesa..............................................................................................
6
Gejala klinis dan Diagnosa.......................................................................
7
Prognosa..................................................................................................
8
Pencegahan dan pengobatan..................................................................
8
ELISA untuk deteksi antigen....................................................................
10
Gambaran umum tentang anjing.............................................................
10
Manajemen Kesehatan anjing.................................................................
11
BAHAN DAN METODE........................................................................................
14
Tempat dan waktu penelitian...................................................................
14
Metode penelitian.....................................................................................
14
Analisis statistik........................................................................................
16
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................
18
Hasil..........................................................................................................
18
Pembahasan. ........................................................................................... 21
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 26
LAMPIRAN............................................................................................................ 30
8
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen kesehatan.....................
17
2. Tingkat infeksi dan nilai odds ratio faktor manajemen kesehatan................
17
9
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Cacing dewasa di dalam jantung anjing........................................................
4
2. Siklus hidup Dirofilaria immitis......................................................................
5
3. Culex quinquefasciatus................................................................................
6
4. Contoh obat cacing untuk cacing jantung.....................................................
10
5. Hasil pemeriksaan ELISA positif D. immitis dan negatif..............................
17
6. Jumlah anjing yang positif dan negatif terinfeksi dirofilariasis.......................
18
7. Pemberian obat cacing oleh pemilik kepada anjing
19
10
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuisoner survei dirofilariasis....................................................................
30
2. Prevalensi dirofilariasis tiap daerah.........................................................
31
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing merupakan hewan yang pertama kali didomestikasi sebagai hewan
kesayangan dan membantu manusia untuk melaksanakan berbagai pekerjaan
seperti penjaga, pelacak atau penggembala ternak (Darmojono 2003). Hal ini
menyebabkan anjing memiliki tingkat kedekatan yang sangat tinggi dengan
manusia. Oleh karena itu menjaga kesehatan hewan kesayangan bukan hanya
untuk kesejahteraan hewan atau wujud dari rasa sayang pada hewan, melainkan
juga penting untuk menghindarkan manusia dari kemungkinan penularan penyakit
yang dibawa oleh anjing.
Zoonosis adalah penyakit yang secara alamiah ditularkan dari hewan ke
manusia atau sebaliknya. Salah satu penyakit zoonosa yang ditularkan oleh anjing
ke manusia adalah penyakit cacing jantung yang disebabkan oleh cacing Dirofilaria
immitis. Cacing ini dapat menginfeksi dan berakibat fatal pada anjing, kucing, rubah,
dan karnivora lainnya. Cacing ini ditemukan hampir di seluruh dunia terutama di
daerah tropis dan subtropis Jones et al. (1993). Penularan cacing D. immitis terjadi
melalui penularan vektor nyamuk. Di Indonesia, berdasarkan hasil penelitian telah
diketahui
bahwa
Ae.
aegypti,
Ae.
albopictus,
Ar.
subalbatus
dan
Cx.
quinquefasciatus dapat menjadi vektor D. Immitis (Karmil 1996). Menurut Subronto
(2006) anjing yang terinfeksi tidak menunjukan gejala yang spesifik dan akan terlihat
jika sudah kronis. Derajat infeksi pada manusia akan menjadi tinggi jika di wilayah
tersebut kejadian pada anjing pun tinggi.
Perhatian masyarakat terhadap kejadian dirofilariasis di Indonesia terlihat masih
sangat rendah. Hal ini tercermin dari
kurangnya informasi tentang kejadian
dirofilariasis pada anjing maupun manusia. Kurangnya perhatian masyarakat
mungkin disebabkan karena penyakit ini dianggap tidak begitu berdampak pada
sektor ekonomi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa sesungguhnya
prevalensi infeksi D. immitis pada anjing cukup tinggi (25-57%) yaitu di wilayah DI
Aceh, DKI Jakarta, Bogor dan Bali (Karmil 2002).
2
Pengobatan anjing penderita dirofilariasis tergolong relatif mahal dan
membutuhkan waktu yang sangat lama. Levamisole dan Ivermectin adalah obat
yang mampu melawan mikrofilaria di anjing (Jackson 1972). Dietilcarbamazine juga
daapa digunakan sebagai kemoprofilaksis pada anjing yang terinfeksi cacing jantung
(Plumb 2004). Namun disisi lain pemberian antelmintika kepada anjing yang
terinfeksi terkadang menimbulkan dampak negatif yaitu terjadinya tromboemboli
yang dapat menyumbat pembuluh darah sehingga menimbulkan kematian pada
anjing (Kelly 1977).
Mengingat bahaya dan akibat dari penyakit ini, maka pencegahan penyakit
cacing jantung merupakan langkah yang tepat dan lebih efekif untuk mengurangi
resiko penularan cacing jantung kepada anjing. Agar tindakan pencegahan ini
berjalan efektif perlu dipelajari berbagai faktor risiko yang terkait dengan manajemen
kesehatan hewan.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara faktor-faktor
risiko yang terkait dengan manajemen kesehatan hewan terhadap tingkat kejadian
dirofilariasis pada anjing peliharaan di wilayah Pulau Jawa dan Bali. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi tentang faktor-faktor risiko kejadian
dirofilariasis kepada masyarakat terutama pemilik anjing sehingga dapat dilakukan
tindakan pencegahan penyakit.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi
Klasifikasi cacing jantung (Dirofilaria immitis) menurut Kelly (1977) adalah
sebagai berikut :
Kelas
: Nematoda
Subordo
: Spirurata
Superfamili
: Filarioidea
Famili
: Filariidae
Genus
: Dirofilaria
Spesies
: Dirofilaria immitis
Morfologi Dirofilaria immitis
Dirofilaria immitis dewasa berbentuk bulat, panjang, langsing berwarna putih.
Cacing jantan panjangnya 12-18 cm, sedangkan betina memiliki panjang 25-30 cm.
Lapisan kutikula cacing dewasa sangat tebal dan terlihat perbedaan ciri morfologis
yang spesifik. Ekstremitas anterior berbentuk bulat, tidak memiliki bibir, mulut sangat
kecil, dan dikelilingi oleh 6 buah papila inskonspikus. Usofagus relatif pendek (1,25 1,50 mm) dan terbagi menjadi dua bagian yaitu : bagian otot di anterior dan kelenjar
(glandula) posterior. Pada ujung posterior menyerupai spiral, memiliki alae lateral
kecil dan tumpul. Umumnya terdapat 7 pasang papila dan 6 di antaranya terdapat di
bagian post -anal. Spikulumnya tidak sama besar, dan tidak terdapat gubernakulum.
Spikula kanan dan kiri panjangnya masing-masing 0,37 mm dan 0,23 mm. Cacing
betina bersifat vivipar, kemudian pada bagian ujung anterior terdapat vulva atau
dekat ekstrmitas posterior oesofagus (Kelly 1977; Levine 1990).
Mikrofilaria ditemukan di dalam pembuluh darah hewan yang terinfeksi.
Mikrofilaria D. immitis panjangnya 290-340 m dan lebar 6-7 m. Ujung anteriornya
runcing dan ujung posterior lurus dan tumpul, tidak memiliki kait sefalik, serta tidak
terselubung. Dalam sirkulasi darah mikrofilaria mampu bertahan hidup selama 2
tahun (Corwin dan Nahm 1997 diacu dalam Karmil 2002).
4
Gambar 1 Cacing dewasa di jantung anjing
Sumber : www.stanford.edu//Dirofilariasis/Home.htm
Siklus hidup dan vektor Dirofilaria immitis
Mikrofilaria dapat ditemukan di dalam sirkulasi darah setiap waktu, akan
tetapi pada umumnya jumlahnya berfluktuatif mengikuti perioditas dan kondisi
dimana inang definitif berada. Di Amerika Serikat angka minimum parasitemia pada
jam 11.00 dan angka maksimum pada jam 16.00, sedangkan di Perancis angka
minimum pada jam 8.00 dan angka maksimum pada jam 20.00. Angka minimum
parasitemia di Cina ditemukan pada jam 6.00 dan angka maksimum pada jam 18.00
(Soulsby 1982). Pada nyamuk yang terinfeksi buatan, mikrofilaria bermigrasi dari
usus ke hemosel dan kemudian ke saluran Malphighi, menyerupai bentuk sosis dan
menyilih menjadi larva stadium kedua yang memanjang dan kemudian menjadi larva
stadium ketiga yang infektif dalam waktu 10 -14 hari. Larva ini keluar menuju
hemosel dan berpindah ke arah di dalam tubuh nyamuk, mencapai labium dan
masuk ke dalam induk semang baru saat nyamuk tersebut menggigit (Levine 1990).
Cacing Jantung betina menghasilkan bentuk awal yaitu larva stadium1 (L1),
kemudian menjadi (L2) dan L3 (larva infektif) atau disebut mikrofilaria. Larva infektif
ini yang kemudian akan termakan oleh nyamuk pada saat menggigit anjing yang
telah terinfeksi untuk ditularkan kepada anjing yang belum terinfeksi. Larva stadium
pertama selama 24 jam tinggal di dalam lambung. Larva bermigrasi ke dalam
saluran Malphighi jika perkembangan embrionik telah lengkap. Larva kemudian
berubah bentuk menjadi lebih pendek dan gemuk seperti sosis. Larva akan ke luar
dari saluran Malphighi dan akan masuk ke dalam lumen saluran Malphighi pada hari
ke enam atau tujuh. Larva stadium pertama berukuran (150
m) menyilih atau
molting menjadi larva stadium kedua (230 m) kira-kira pada hari ke sepuluh. Larva
5
stadium kedua akan menyilih menjadi larva stadium ketiga (800
m) yang infektif
pada hari ke tiga belas. Kemudian larva akan bermigrasi ke arah dada dan kepala
kemudian masuk ke probosis nyamuk. Perkembangan nyamuk dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu temperatur dan kelembaban lingkungan tempat nyamuk
berkembangbiak (Kelly 1977).
Gambar 2 Siklus Cacing Jantung (Dirofilaria immitis)
Sumber : http://www.caminoanimalclinic.com/articles/heartworm.html
Tahap infeksi akan dimulai ketika nyamuk yang membawa larva infektif
mengisap darah anjing. Kemudian larva stadium ketiga bermigrasi ke dalam
subkutan atau pada jaringan serosa, jaringan otot atau jaringan lemak. Larva
stadium ketiga kemudian menyilih menjadi larva stadium keempat (18 mm) pada
hari ke 9-12. Setelah itu menyilih menjadi larva stadium kelima atau cacing muda
(80 mm) pada hari ke 70-80 setelah terjadi infeksi. Selama 3 bulan cacing muda
akan bermigrasi ke ventrikel kanan melalui pembuluh darah vena. Mikrofilaria
terdapat di dalam uterus betina dewasa pada bulan ke 6 setelah infeksi, dan akan
muncul di pembuluh darah perifer pada 6-7 bulan setelah terjadi infeksi. Masa
prepaten cacing Dirofilaria immitis adalah 6-7 bulan dan masa patennya lebih dari
7,5 tahun (Kelly 1977; Levine 1990).
6
Cacing jantung menginfeksi inangnya dengan perantara nyamuk sebagai
vektor. Nyamuk yang telah mengandung larva cacing akan mengisap darah anjing
yang terinfeksi. Kemudian nyamuk akan meginfeksi anjing yang sehat ketika
mengisap darah. Empat spesies nyamuk yang ditangkap di Bogor yang terinfeksi
larva D. immitis yaitu
Armigeres subalbatus, Culex quinquefasciatus, Culex
fuscocephalus dan Culex tritaeniorhynchus (Hadi 1999). Nyamuk berperan sebagai
vektor biologis karena terjadi fase perkembangan di dalam tubuh nyamuk dari
mikrofilaria stadium satu menjadi stadium tiga/larva infektif (Nayar dan Rutldge
1990).
Gambar 3 Nyamuk Culex quinquefasciatus
Sumber : www.arbovirus.health.nsw.gov.au
Patogenesa
Infeksi cacing Dirofilaria immitis dalam jumlah yang sedikit umumnya tidak
menimbulkan gejala klinis. Pada infeksi berat maka cacing Dirofilaria immitis dapat
menyumbat sirkulasi darah dan menimbulkan kegagalan jantung bagian kanan
sehingga jantung mengalami kongesti yang kronis. Cacing yang masih aktif
menyebabkan endokarditis pada katup jantung dan endarteritis pada pulmoner
proliferatif akibat timbulnya respon terhadap produk-produk yang diekskresikan oleh
cacing tersebut. Adanya cacing jantung menyebabkan anjing dapat menderita
berbagai kelainan akibat gangguan dalam pengaliran darah, kelemahan jantung.
Gangguan sirkulasi ekstrim dapat berupa obstruksi oleh cacing, terjadinya radang
arteri (arteritis) dan penyempitan karena terjadi fibrosis. Lebih lanjut terjadi
gangguan pernafasan oleh emboli pulmoner, infark dan hemosiderosis. Adanya
cacing yang hidup atau mati menyebabkan emboli di paru paru dan mengakibatkan
hambatan pengaliran darah (insufisiensi jantung). Gangguan dalam
pengaliran
7
darah
balik berakibat pada gangguan hati, dan lebih lanjut terjadinya ascites
(Subronto 2006).
Gejala klinis dan Diagnosa
Cacing dewasa Dirofilaria immitis ditemukan di ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis. Pada keadaan tertentu cacing dewasa ini juga bisa ditemukan di luar
sistem pembuluh darah misalnya ruang peritoneum, bronkhus, otak, mata dan
jaringan-jaringan lainnya (Kelly 1977). Cacing ini dijumpai pada ventrikel kanan dan
arteri pulmonum (kadang-kadang pada beberapa lokasi lain seperti kamar mata
depan dan rongga peritoneum) anjing dan kucing, rubah, karnivora lain, primata
(termasuk manusia) dan singa laut di seluruh manusia, meskipun demikian tampak
jarang di Afrika (Soulsby 1982).
Anjing yang terifeksi tidak menunjukan gejala yang spesifik. Gejala klinis
akan terlihat jika pada stadium kronis. Penderita kehilangan berat badan secara
progresif. Hewan cepat lelah setelah beraktifitas yang tidak berat, diikuti batuk dan
dyspnoe. Suhu tubuh normal atau mengalami kenaikan karena proses radang
antara lain dari paru-paru. Busung terjadi karena lambatnya pengaliran darah
disertai dengan hipoproteinemia. Gangguan sirkulasi terlihat juga dari selaput lendir
mata yang mengalami sianotik. Gejala klinis yang terlihat kelelahan dalam exercise,
batuk, oedema, ascites, gagal jantung dan kematian pada anjing-anjing yang
terinfeksi ini tersebar dan endemis di daerah tropis, subtropis dan wilayah yang
beriklim panas di dunia (Haddock 1987; Subronto 2006).
Menurut Rawlings (1986) diagnosa penyakit cacing jantung pada anjing
bergantung pada keakuratan anamnese, gejala klinis dan beberapa metode untuk
mendeteksi mikrofilaria di darah. Metode untuk mendeteksi mikrofilaria di darah
diantaranya preparat natif, hematokrit, uji Knott, dan filtrasi. Uji Indirect Flourescent
Antibody (IFA) bertujuan untuk melihat cacing dewasa dengan menggunakan
mikroskop Flouresens, ELISA deteksi antibodi (Ab-ELISA) digunakan untuk
medeteksi adanya respon dari antibodi terhadap antigen. ELISA deteksi antigen
(Ag-ELISA) digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen yang dihasilkan oleh
cacing Dirofilaria immitis yang dewasa.
8
Prognosa
Prognosis dirofilariasis adalah merupakan dilema yang berat sebab fakta di
lapangan menunjukan bahwa : (1) pada kebanyakan kasus dirofilariasis yang kronis,
jumlah cacing dewasa di dalam jantung dan arteri pulmonalis lebih dari 100 ekor dan
maksimum mikrofilaremik lebih dari 2 juta mf/cc darah, ternyata masih mampu hidup
sampai 12 tahun tanpa terjadi obstruksi dan kolaps, (2) pada kasus dirofilariasis
yang ringan dan hanya ditemukan 5 ekor cacing dewasa dengan angka maksimum
mikrofilaremik sekitar 1000 mf/cc darah, ternyata mati karena caval syndrome.
Prognosa dirofilariasis dari dubius hingga fausta. Kasus dirofilariasis kronis sering
menimbulkan tromboemboli sampai dengan pneumonia tromboemboli dan syok
pulmonum. Pada kasus dirofilariasis sering diiringi oleh kegagalan ginjal, sehingga
terapi dengan adultisidal dari kelompok preparat arsenik menjadi problematik
(Rawlings et al.,1993; Ettinger 1989 diacu dalam Karmil 2002).
Pengobatan dan Pencegahan
Pasien yang terinfeksi dirofilariasis yang akan diberikan terapi sebelumnya
harus didahului dengan evaluasi secara seksama melalui pemeriksaan fisik, analisis
urine, radiografi, uji fungsi organ khususnya hati dan ginjal berkaitan dengan efek
toksik dari Thiacertasamide. Pasien yang terinfeksi cacing jantung dapat dibagi
dalam kelompok : (1) tidak boleh diobati sama sekali, (2) ditunda atau (3) diobati
tetapi dengan syarat dirawat secara intensif (Karmil 2002).
Pemberian
antelmintika
kepada
hewan
sebaiknya
benar-benar
memperhatikan jenis, dosis dan efek samping yang ditimbulkan setelah diberikan
kepada hewan. Menurut Brander et al. (1994) bahwa syarat antelmintika yang baik
adalah memiliki indeks terapeutik yang luas, broad spektrum yaitu aktivitas yang
dapat melawan larva dan cacing dewasa pada semua kelas parasit untuk
kepentingan patogenik, zoonosis dan ekonomi, waktu hilangnya residu relatif singkat
di susu atau jaringan jika diberikan kepada ternak, tidak menimbulkan efek samping,
dan harganya terjangkau.
Pemberian antelmintika pada anjing yang terinfeksi cacing jantung berupa
obat untuk membunuh mikrofilaria dan untuk membunuh cacing. Obat- obat yang
dapat membunuh cacing di dalam sistem peredaran darah dapat menimbulkan
9
tromboemboli karena cacing dapat membentuk trombus yang mampu menyumbat
kapiler dan pembuluh darah besar lainnya (Subronto 1996).
Berdasarkan rekomendasi dari AVMA Council on Veterinary Service
mengenai langkah-langkah yang dilakukan untuk meghilangkan cacing jantung
dimulai
dengan
menghilangkan
cacing
dewasa,
kemudian
menghilangkan
mikrofilaria dan tindakan pencegahan untuk mencegah terinfeksi ulang. Senyawa
Thiacertamide dengan dosis 2,2 mg/kg 2 kali selama 2-4 hari secara intra vena.
Senyawa ini mampu membunuh cacing dewasa efek samping obat ini dapat
menyebabkan keracunan pada anjing sehingga harus benar-benar diperhatikan
ketika dalam melakukan pemberian obat ini. Jenis antelmintika yang juga biasanya
diberikan adalah Levamisole, Ivermectin dan Dietilcarbamazine (Jones 1977).
Levamisole adalah salah satu jenis obat cacing yang telah digunakan pada
anjing yang terinfeksi cacing jantung. Levamisole berfungsi untuk membunuh
mikrofilaria dan cacing jantung yang dewasa pada anjing yang terinfeksi. Dosis
Levamisole yang digunakan adalah 5,5 mg/kg diberikan dua kali sehari (Adams
2001; Jackson 1972; Plumb 2004)
Ivermectin termasuk salah satu obat yang dipergunakan dalam mencegah
infeksi cacing jantung pada anjing. Ivermectin merupakan derivat Avermectin yang
berasal dari kelompok senyawa lakton makrosiklik yang berasal dari produk biologik
oleh Cendawan tanah Streptomyces avermilitis. Ivermectin bekerja dengan cara
menghambat Gama Amino Butyric Acid (GABA) dari sinaps pada sistem
parasit (Subronto 2004; Adams 2001; Plumb 2004).
Gambar 4 Obat cacing untuk cacing jantung (D. Immitis)
Sumber : http://www.petalia.com.au/templates/prodsublist.cfm?group_
saraf
10
Selain itu Dietilcarbamazine juga merupakan obat sebagai propilaksis pada
anjing yang terinfeksi cacing jantung. Pemberian jenis obat ini dilakukan selama
musim hujan ketika jumlah
populasi
nyamuk meningkat. Dietilcarbamazine
biasanya digunakan untuk pencegahan dirofilariasis pada saat larva infektif (L3)
tetapi tidak dapat menghilangkan mikrofilaria ( Plumb 2004; Foreyt 2001 dan Jones
et al. 1977).
ELISA untuk Deteksi Antigen
ELISA Deteksi Antigen merupakan salah satu cara mendiagnosa anjing yang
terinfeksi cacing jantung dengan menggunakan antibodi untuk mendeteksi
keberadaan antigen dari cacing jantung dewasa. Keberadaan antigen D. immitis
akan diindikasikan dengan perubahan warna. ELISA Deteksi Antigen memiliki
sensitifitas dan spesifikasi untuk menunjukkan keberadaan cacing dewasa dari
cacing jantung. Serum atau plasma digunakan sebagai reagen. Kontrol positif dan
negatif sebagai kontrol terhadap sampel serum untuk menguatkan hasil uji.
Keberadaan antigen akan ditunjukan dengan warna biru (Rawlings 1986). ELISA
dan
Imunokromatografik
merupakan
uji
yang
dilakukan
untuk
mendeteksi
keberadaan antigen yaitu cacing jantung. Uji ini sangat berguna secara klinik karena
memiliki kemampuan sensitifitas dan spesifikasi yang tinggi terhadap antigen yang
diuji (Nelson et al. 2005).
Gambaran umum tentang anjing
Anjing adalah adalah mamalia karnivora yang telah mengalami domestikasi
dari serigala sejak 15.000 tahun yang lalu. Berabad abad yang lalu serigala melihat
bahwa tinggal di dekat manusia memberikan keuntungan tersendiri. Sisa sisa
makanan dari manusia cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehingga
penjelajahan hutan perlahan-lahan ditinggalkan. Anjing juga kemudian mengalami
evolusi perilaku. Mereka menjadi lebih tenang dan cendrung bisa bersosialisasi
dengan hewan lain termasuk manusia. Menurut Linnaeus (1758) dalam wikipedia
anjing tergolong ke dalam Filum Chordata, Kelas Mamalia, Ordo Canidae, Genus
Canis dan Spesies Canis lupus.
11
Menurut American Kennel Club, organisasi anjing ras pilihan di Amerika
Serikat, ras anjing digolongkan dalam 5 kelas berdasarkan ukuran, penampilan dan
tingkah laku yaitu : Sporting Class, Hound Class, Working Class, Terrier Class, dan
Toy Class. Anjing-anjing yang tergolong ke dalam kelas ini Sporting Class ini untuk
tujuan olah raga seperti berburu atau kegiatan lapangan lainnya.
Salah satu
contohnya adalah anjing Golden Retriver. Hound Class adalah anjing-anjing yang
termasuk dalam kategori anjing-anjing pemburu unggulan. Berbeda dengan Sporting
Class adalah golongan Hound memiliki insting untuk berburu dan lebih untuk olah
raga atau permainan. Insting yang dimiliki tidak menjadikan anjing-anjing tersebut
tergolong anjing-anjing yang ganas karena hewan
hewan yang diburu umumnya
tergolong yang dapat merugikan manusia sehingga biasanya. Working tergolong
dalam kelas anjing-anjing yang biasanya dipelihara untuk membantu pekerjaan
manusia karena kekuatan dan stamina yang dimiliki seperti menarik kereta salju,
melacak narkoba, dan lain-lain. Salah satu contoh anjing dari kelas ini adalah
Rottweiler. Terrier Class memiliki tubuh yang kecil, sifat yang energik dan yang
mampu membuat ceria suasana. Salah satunya contonya adalah Irish Terrier. Toy
Class memiliki tubuh yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan anjing-anjing
ras lainnya. Anjing
anjing yang tergolong ke dalam kelas ini salah satunya adalah
Chihuahua (Tatsumaki 2002).
Manajemen Kesehatan Anjing
Manajemen kesehatan anjing merupakan salah satu bagian dari manajemen
pemeliharan yang penting untuk diperhatikan oleh pemilik anjing. Manajemen
pemeliharaan harus dapat memperhatikan aspek kesejahteraan hewan (Animal
Welfare). Lima aspek kesejahteraan hewan yang terdiri dari (1) bebas dari rasa
lapar dan haus; (2) bebas dari rasa ketidaknyamanan; (3) bebas dari rasa sakit,
terluka dan penyakit; (4) bebas dari rasa takut dan stress; (5) bebas dalam
mengekspresikan tingkah laku alami (Gregory 2003).
Aspek kesehatan terdiri dari dua macam yakni kesehatan internal dan
kesehatan eksternal. Kesehatan internal terkait kondisi yang terdapat dalam tubuh
anjing, sedangkan kesehatan
eksternal terkait lingkungan sekitar atau sanitasi.
Manajemen kesehatan yang dilakukan oleh pemilik anjing adalah memeriksakan
12
anjing secara rutin ke dokter hewan, pemberian vaksinasi, pengendalian baik
endoparasit, maupun ektoparasit, pemberian vitamin serta pemberian makanan/diet
dengan gizi yang cukup. Pemeriksaan kesehatan anjing ke dokter hewan dapat
dilakukan sekali dalam sebulan. Pemeriksaan kesehatan anjing secara periodik
sangat membantu untuk mengetahui kondisi kesehatan dari waktu ke waktu, serta
untuk mencegah terjadinya penyakit yang berbahaya karena terlambat terdeteksi
lebih awal. Penurunan agresifitas dan nafsu makan dapat mengindikasikan bahwa
telah terjadi gangguan pada kondisi tubuh (Tatsumaki 2002).
Kebiasaan anjing yang memasukkan apa saja ke dalam mulut membuat
mudah masuk ke dalam tubuh Selain itu sanitasi yang buruk juga dapat
menyebabkan infeksi kecacingan. Bentuk cacing yang masuk ke dalam tubuh
biasanya masih dalam bentuk telur cacing atau larva. Anak anjing biasanya lebih
rentan terinfeksi kecacingan bila dibandingkan dengan anjing dewasa. Hal ini terkait
dengan sistem kekebalan tubuh (Tatsumaki 2002). Pemberian obat cacing kepada
anak anjing biasanya dilakukan sejak anjing berusia satu bulan sedangkan anjing
yang dewasa sejak berusia 3 bulan (Samosir 2008).
Pengendalian parasit eksternal yakni jamur, tungau dan kutu dapat dilakukan
dengan perawatan anjing seperti grooming. Grooming dapat dilakukan sendiri di
rumah atau ke salon hewan yang terdekat. Pelayanan grooming di salon hewan
biasanya menawarkan pelayanan memandikan anjing dengan berbagai jenis mandi
sesuai dengan kebutuhan, manicure, potong rambut, massage atau pijat refleksi
(Tatsumaki 2002).
Manajemen pakan terkait dengan diet sehari hari sehingga merupakan hal
yang tidak boleh dilupakan dan dianggap sebelah mata oleh pemilik anjing.
Pengaturan diet harus memperhatikan usia dan berat badan anjing sehingga tidak
terjadi obesitas. Pemilik anjing dapat memberikan makanan dan minum yang cukup
(ed libitum) kepada anjing. Makanan anjing atau dog food memiliki komposisi nutrisi
yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan anjing. Kebutuhan gizi serta nutrisi
anjing muda (puppies) berbeda dengan anjing yang dewasa atau anjing yang
sedang berada dalam masa kebuntingan (Tatsumaki 2002).
Kesehatan lingkungan terkait dengan kebersihan kandang yakni tempat
tinggal anjing, tempat makan serta tempat minum anjing. Lingkungan tersebut dapat
13
menjadi mediator penularan penyakit. Lingkungan yang basah, kotor dan lembab
merupakan lingkungan yang cocok untuk tempat berkembangnya berbagai macam
penyakit. Pengaruh infeksi cacing terhadap anjing ras dipengaruhi oleh beberapa
faktor. Penyebab lain yang menjadi pertimbangan adalah manajemen pemeliharaan.
Kondisi kandang yang terbuat dari semen ataupun yang beralaska tanah harus
menjadi pertimbangan kenel-kenel anjing yang lebih sehat. Tinggi rendahnya tingkat
prevalensi infeksi cacing dipengaruhi oleh jenis lantai kandang, program
pembersihan kandang, manajemen peternakan dan pengobatan cacing (Wiemeyer
1996 di acu dalam Samosir 2008).
14
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan mulai dari bulan Juli sampai dengan November 2007.
Pengambilan sampel darah dilakukan di Jakarta, Banten, Jawa Barat Jawa Tengah
dan Bali. Sampel darah yang berasal dari wilayah Jakarta diperoleh dari
klinik
Dokter Hewan bersama Sunter, klinik Dokter Hewan bersama Green Garden, dan
klinik Dokter hewan di BSD Tangerang dan Rumah Sakit Hewan Jakarta. Pada
wilayah Jawa Barat sampel darah diperoleh dari Sukabumi dan Kabupaten Bogor.
Pada wilayah Jawa Tengah diperoleh dari klinik dokter hewan di Semarang,
sedangkan pada wilayah Bali diperoleh dari Denpasar, Karangasem, Gianyar, dan
Badung.
Pemeriksan sampel dilakukan di Laboratorium Helmintologi, Bagian
Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian
Bogor.
Rancangan Studi
Desain penelitian yang dilakukan adalah berupa kegiatan crossectional study
dan melalui pengambilan sampel secara purposif. Sampel diambil dari anjing yang
berusia lebih dari 7 bulan. Pengambilan sampel dari satu pemilik hewan paling
banyak berjumlah 3 ekor. Jumlah total sampel yang diambil sebanyak 235 buah.
Besaran sampel ditentukan dengan dugaan tingkat prevalensi Dirofilariasis di
wilayah pulau Jawa dan Bali sebesar 15 %. Martin et al. (1987) menjelaskan bahwa
rumus yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel tersebut adalah
n = 4p(1-p)
L2
Keterangan : n = jumlah sampel
P = prevalensi dugaan
L = tingkat kesalahan (0,05)
15
Pengambilan sampel darah
Darah diambil dari vena saphena (kaki belakang) atau vena antibrachii
anterior (kaki depan) sebanyak 1-2 ml. Setelah darah diambil, tuas syringe ditarik
sampai maksimum lalu diberi label identitas sampel (label warna putih). Syringe
dibiarkan di suhu ruangan selama 2 jam. Darah pada syringe yang telah membeku
kemudian disimpan dalam kulkas selama satu malam agar supaya serumnya keluar.
Serum yang telah terbentuk dipisahkan dan disimpan dalam tabung mikro. Tabung
mikro disimpan dalam freezer sebelum dikirim ke Bogor untuk diperiksa. Sampel
disimpan pada freezer pada suhu -20 0C sampai diperiksa.
Metode pemeriksaan sampel
Pemeriksaan sampel dilakukan dengan uji ELISA deteksi antigen dengan
menggunakan kit diagnostika cacing jantung (DiroCHEK®). Langkah
langkah
pengujian dilakukan sesuai dengan prosedur yang terdapat di dalam produk ELISA
kit diagnostika cacing jantung. Sumur yang dilapisi oleh antigen D. immitis disiapkan
di dalam gagang sumur. Kemudian sumur yang pertama dan kedua dimasukkan
masing-masing setetes cairan dari botol kontrol positif dan kontrol negatif.
Selanjutnya sumur-sumur berikutnya diisi sampel serum masing-masing sebanyak
0,05 ml dengan menggunakan pipet mikro.
Setiap sumur dari plat ELISA diteteskan Reagent 1- Conjugate secara
berurutan dengan rapi kemudian digoyang-goyangkan selama 15 detik, dan
dibiarkan selama 10 menit. Tahap selanjutnya, cairan yang terdapat di dalam sumur
dibuang dan dikeringkan dengan cara diketuk-ketuk di atas tissu yang telah
disediakan. Sumur-sumur dibilas dengan aquades dan selanjutnya cairan tersebut
dibuang. Hal ini dilakukan sebanyak 5 kali. Lalu sumur-sumur dikeringkan dengan
cara diletakan di atas tissu dan diketuk-ketuk agar tidak ada cairan yang tersisa.
Setiap sumur ditambahkan 2 tetes Reagent 2-Chromogenic Substrate Buffer
dan dicampurkan dengan cara digoyang-goyangkan perlahan selama 15 detik, lalu
didiamkan selama 5 menit. Sampel kemudian dibaca hasilnya berupa warna biru
menunjukan hasil positif adanya antigen D. immitis sedangkan warna bening
menunjukan hasil negatif pada (gambar 5). Seluruh sampel dibaca dengan
16
menggunakan ELISA plate reader yang memiliki
panjang gelombang 490 nm.
Intensitas warna akan bervariasi sesuai dengan jumlah antigen D. immitis yang ada.
(+)
(-)
Gambar 5 Hasil positif adanya antigen D. immitis berupa warna biru
dan hasil negatif D. immitis terlihat bening.
Kuesioner
Informasi mengenai aspek manajemen kesehatan yang dapat menjadi faktor
risiko dirofilariasis adalah (1) frekuensi kunjungan ke dokter hewan 2) pemberian
obat cacing yang kepada anjing. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara
dengan pemilik anjing. Kuesioner untuk wawancara terdapat pada bagian lampiran
1.
Analisis statistik
Data yang diperoleh kemudian dalam bentuk tabel dan grafik, serta dilakukan
pendugaan tingkat prevalensi. Prevalensi dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan :
P = Jumlah anjing yang positir terinfeksi D. immitis
Populasi anjing beresiko terinfeksi D. Immitis
17
Sedangkan untuk melihat derajat asosiasi antara kejadian dirofilariasis
terhadap frekuensi kunjungan ke dokter hewan, pemberian obat cacing yang
diberikan digunakan statistik uji Chi kuadrat dengan persamaan
X2
(Oi-eij)2
ei
Keterangan :
ei : nilai harapan ke-i
Oi : nilai observasi ke-i
Untuk mengetahui hubungan dan besarnya pengaruh dari beberapa peubah
penjelas yaitu frekuensi kunjungan ke dokter hewan dan frekuensi pemberian obat
cacing terhadap peubah respon yang berskala biner yaitu hasil uji ELISA maka
digunakan analisis regresi logistik (Sudjana 1996; Walpole 1986).
18
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Sampel darah
yang diperiksa
berjumlah 235 buah yang terdiri dari 93
sampel yang berasal dari Jakarta dan Banten, 63 sampel yang berasal dari Jawa
Barat, 22 sampel dari Jawa Tengah, dan 57 sampel berasal dari Bali. Pemeriksaan
kejadian dirofilariasis pada Pulau Jawa dan Bali menunjukan bahwa jumlah anjing
yang positif terinfeksi dirofilariasis sebanyak 18 ekor dengan prevalensi sebesar 7,7
% (gambar 6).
Positif
7.7%
Negatif
92.3%
Gambar 6 Jumlah anjing yang positif dan negatif terinfeksi dirofilariasis
Berdasarkan hasil kuisoner frekuensi kunjungan ke dokter hewan, jumlah
anjing yang berkunjung secara rutin ke dokter hewan sebanyak 69
ekor anjing
(29.3%), 82 ekor anjing (34.8%) hanya berkunjung kalau sakit, sedangkan sisanya
84 ekor anjing (35.7%) tidak pernah diperiksakan oleh pemiliknya ke dokter hewan.
Anjing yang diberikan obat cacing oleh pemiliknya sebanyak 99 ekor anjing (42.1%),
sedangkan anjing yang tidak pernah diberikan obat cacing oleh pemilik sebanyak
136 ekor anjing (57.8%). Obat cacing diberikan secara rutin pada 80 ekor anjing
(34.%), sedangkan 19 ekor anjing (8,0%) lainnya diberi obat cacing apabila
menunjukkan gejala kecacingan. Sebanyak 136 ekor anjing (57%) tidak pernah
diberikan obat cacing.
19
Sebagian besar anjing diobati dengan Pyrantel Pamoat (85 ekor/36%), atau
Pyrantel yang dikombinasi dengan Praziquantel dan Febantel (6 ekor/3%) anjing.
Hanya (7 ekor/3%) anjing yang diobati dengan Mebendazol, sedangkan Ivermectin
(3 ekor/1%) anjing dan sisanya (136 ekor/57%) tidak diobati dengan obat cacing
(gambar 7).
Ivermectin 1%
mebendazole
3%
tidak diobati
57%
pyrantel 36%
Pyrantel +
Praziquantel+fe
bantel 3%
pyrantel
mebendazole
Ivermectin
tidak diobati
Pyrantel + Praziquantel+febantel
Gambar 7 Pemberian obat cacing oleh pemilik kepada anjing
Hasil analisis Chi kuadrat menunjukkan bahwa frekuensi kunjungan ke dokter
hewan dan pemberian obat cacing memiliki pengaruh yang nyata terhadap infeksi D.
immitis pada anjing, sedangkan frekuensi pemberian obat cacing tidak memiliki
pengaruh yang nyata terhadap infeksi D. immitis pada anjing (P <0.05). Hasil uji Chi
kuadrat dari faktor-faktor manajemen kesehatan dapat dilihat pada Tabel 1.
20
Tabel 1 Hasil uji Chi kuadrat dari faktor-faktor manajemen kesehatan
Manajemen kesehatan
Chi kuadrat hitung
nilai-P
Frekuensi kunjungan ke Dokter hewan
7.796
0.020*
Pemberian obat cacing
10.026
0.040*
Frekuensi pemberian obat cacing
4.480
0.106
Keterangan : * signifikan pada taraf 5%
Hasil analisis regresi logistik terhadap berbagai faktor risiko dirofililariasis
yang terkait dengan manajemen kesehatan anjing dapat dilihat pada Tabel 2. Anjing
yang tidak pernah diperiksakan ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksi D. Immitis
3,6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang secara rutin diperiksakan ke
dokter hewan. Anjing yang tidak pernah diberikan obat cacing memiliki risiko
terinfeksi D. Immitis 0,3 kali lebih rendah dibandingkan dengan anjing yang pernah
diberikan obat cacing.
Tabel 2
Tingkat infeksi dan nilai Odds Ratio dari masing-masing faktor
manajemen kesehatan.
Anjing positif
Faktor Resiko
Total
anjing
(n)
Jumlah
(ekor)
Frekuensi ke Dokter
hewan
Rutin
69
3
Tidak rutin
82
3
Tidak pernah
84
12
Pemberian obat cacing
Pernah
99
6
Tidak pernah
136
12
Keterangan : * signifikan pada taraf 5%
(%)
Anjing negatif
Jumlah
(ekor)
Odds
Ratio
95% CL
(%)
3.7
5.5
11.8
66
79
72
95.6
96.3
85.7
0.8
3.6*
0.163-4.278
0.991-13.569
6
8.8
87
130
37.0
55.3
0.3
0.543-4.144
21
Pembahasan
Pemeriksaan kejadian dirofilariasis pada Pulau Jawa dan Bali menunjukkan
bahwa jumlah anjing yang positif terinfeksi dirofilariasis sebanyak 18 ekor dengan
prevalensi sebesar 7,7 %. Nilai prevalensi ini terlihat lebih tinggi dari persentasi
jumlah anjing positif mikrofilaremia yang dilaporkan oleh Karmil (2002) dari lokasi
yang sama di Jawa Barat (Kabupaten Bogor) dan Bali (Denpasar, Gianyar
Karangasem, Badung dan Klungkung) yaitu 5,1 %. Perbedaan nilai prevalensi ini
disebabkan oleh perbedaan jenis metode pemeriksaan yang digunakan dalam
kedua penelitian. The Modified Knotts Test dan diagnosa klinik adalah metode yang
dipergunakan oleh Karmil (2002) untuk mendeteksi dirofilariasis, sedangkan
penelitian ini mempergunakan ELISA deteksi antigen. Hasil ini menunjukkan bahwa
metode ELISA deteksi antigen cacing jantung lebih sensitif dibandingkan dengan
metode Knotts dan diagnosa klinis. Antibodi monoklonal yang digunakan untuk
mengidentifikasi dua epitop yang diduga sebagai glikoprotein yang dimiliki bersama
oleh dua antigen yang beredar dari cacing dewasa terutama uterus cacing dan telur
(Weil et al 1985). Antigenisitas kedua epitop tersebut bersifat spesies spesifik, tidak
terdeteksi pada anjing yang tidak terinfeksi dan tidak bereaksi silang dengan D.
reconditum. Antigenemia akan terdeteksi pertama kali 6 bulan setelah infeksi dan
tetap stabil selama 9-12 bulan (Hutchinson 1995). Keuntungan dari tes ELISA
deteksi antigen D. immitis antara lain memberikan informasi tentang jumlah cacing
yang berkorelasi dengan potensi terjadinya thrombus atau thromboemboli. Meskipun
demikian tes ini tidak dapat mendeteksi jumlah cacing yang rendah atau cacing yang
belum dewasa karena kurangnya kadar antigen yang dapat terdeteksi (Atwell 1988).
Sebaliknya metode Knotts baru dapat mendeteksi infeksi apabila cacing telah
bereproduksi dengan menghasilkan mikrofilaria yang beredar dalam sirkulasi darah.
Biasanya D. immitis baru dapat terdeteksi sekurang-kurangnya 6-7 bulan setelah
infeksi terjadi atau yang biasanya disebut masa pre paten (Lok 1988). Occult
infection (Amikrofilaremik) adalah suatu keadaan dimana cacing jantung yang telah
mengalami dewasa kelamin tetapi pada saat pemeriksaan tidak terdapat mirofilaria
di dalam darah. Hal ini bisa saja terjadi karena (1) mikrofilaria yang diproduksi oleh
cacing yang telah dewasa kelamin dieliminasi oleh sistem pertahanan tubuh, (2)
hanya ada cacing dari satu jenis kelamin (jantan atau cacing betina saja) yang
22
terdapat dalam darah sehingga tidak mampu bereproduksi untuk menghasilkan
mikrofilaria (American Heartworm Society 2008).
Prevalensi
kejadian dirofilariasis bervariasi antara wilayah pemeriksaan.
Kasus terendah terdapat di wilayah Jawa Tengah yaitu 1 ekor (0,42 %) sedangkan
kasus tertinggi di wilayah Jawa Barat yaitu 10 ekor (4,2%). Tingkat kejadian di
Jawa Barat dan Bali
lebih tinggi bila dibandingkan dengan kejadian di wilayah
Jakarta-Banten dan Jawa Tengah. Hal ini diduga terjadi akibat interaksi dua faktor
kunci dalam infeksi yaitu populasi hewan yang terinfeksi dan hewan yang rentan,
serta tingginya populasi dan keberagaman nyamuk yang menjadi inang antara D.
immitis. Banyaknya anjing liar yang terdapat di Bali dan baik di Jawa Barat terutama
di Kabupaten Sukabumi diduga menjadi sumber infeksi bagi anjing peliharaan yang
terdapat di wilayah tersebut (Satrija et al. 2008). Jenis jenis nyamuk yang dapat
berfungsi sebagai vektor biologis D. immitis adalah Armigeres subalbatus, Culex
quinquefasciatus, Cx. fuscocephalus and Cx. tritaeniorhynchus. Dari berbagai
spesies nyamuk tersebut,
hanya Culex quinquefasciatus yang bersifat infektif
karena mengandung larva stadium III yang siap menulari inang lain. Tiga nyamuk
lain tidak infektif, karena hanya mengandung larva stadium I dan II di dalam saluran
Malphighi (Hadi 1999). Pengamatan di lapangan menujukkan bahwa anjing anjing
yang terdapat di wilayah Jawa Barat kurang memperhatikan manajemen
pemeliharaan anjing karena membiarkan anjing di lingkungan terbuka sehingga
risiko keterpaparan vektor tinggi.
Manajemen kesehatan merupakan salah satu bagian dari manajemen
pemeliharaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa anjing yang tidak pernah
diperiksakan ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksi cacing jantung lebih tinggi
dibandingkan dengan anjing yang secara rutin kesehatannya diperiksa oleh dokter
hewan. Anjing yang diperiksa ke dokter hewan akan mendapatkan pemeriksaan
status kesehatan, pemberian vaksinasi dan pengobatan apabila positif menderita
suatu penyakit. Anjing yang memiliki kesehatan yang baik akan memiliki daya tahan
tubuh
untuk menghentikan infeksi D. immitis. Infeksi cacing dalam tubuh akan
merangsang tubuh untuk memproduksi antibodi IgM, IgG, IgA sebagai respon
tanggap kebal. Makrofag berikatan dengan larva cacing melalui jalur yang
diperantarai oleh IgE untuk dapat menghancurkannya. IgE juga memperantarai sel
23
mast dan menginduksi pelepasan faktor anafilaksis kemotaksis eosinofil untuk
memobilisasi cadangan eosinofil dalam jumlah besar dalam sirkulasi (Tizard 1982 ;
Ronald 1982).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa pemberian obat cacing
terhadap anjing yang terdapat di wilayah studi tidak menurunkan tingkat kejadian
dirofilariasis. Fenomena ini terkait dengan jenis obat cacing yang diberikan. Kecuali
Ivermectin, semua antelmintika yang diberikan tidak memiliki kasiat terhadap cacing
jantung. Menurut Jones (1977) Pyrantel adalah antelmintika yang efektif terhadap
cacing tambang (Ancylostoma spp) dan cacing gelang (Toxocara canis ). Pyrantel
dan Praziquantel berfungsi untuk membunuh Nematoda dan cacing pita sedangkan
Fenbantel efektif untuk membunuh cacing Nematoda yang terdapat di saluran
pencernaan (Adam 2001). Kombinasi Pyrantel, Praziquantel dan Fenbantel
merupakan jenis antelmintika kombinasi yang diberikan kepada anjing. Kombinasi
ketiga jenis antelmintika ini biasanya akan saling melengkapi fungsi masing-masing
agar memiliki aktivitas yang sinergis serta menambah efek kerja dari obat tersebut.
Mebendazole merupakan antelmintika golongan Benzimidazole yang efektif
membunuh cacing Nematoda dan cacing pita tapi sedikit memiliki aktivitas antifilaria.
Ivermectin antelmintika yang biasanya diberikan sebagai mikrofilarisida dan
kemopropilaksis terhadap infeksi cacing jantung. Jenis antelmintika ini berasal dari
golongan senyawa Macrocylic Lacton yang bersifat GABA agonist menyebabkan
paralisis dan kematian cacing. Meskipun demikian penggunaan Ivermectin harus
berhati-hati karena antelmintika ini memiliki toksisitas yang tinggi pada anjing-anjing
tertentu yang sensitif terhadap senyawa tersebut misalnya anjing ras Collie (Adam
2001).
Pemberian antelmintika kepada anjing berhubungan dengan pencegahan
penyakit yakni sebagai tindakan kemoprofilaksis. Pemberian obat cacing yang
teratur dapat membunuh cacing yang terdapat di dalam tubuh. Suatu derajat infeksi
dirofilariasis akan tinggi di suatu tempat dapat ditentukan oleh manajemen
kesehatan anjing, program pengendalian kecacingan dan pemberian obat cacing.
Pengobatan rutin sebagai langkah kemoprofilaksis untuk melindungi anjing dari
penyakit. Menurut Foreyt (2001) treatment kemoprofilaksis yang diberikan kepada
anjing yang terinfeksi D. immitis adalah Dietilcarbamazine 1,2 mg/kg sehari selama
24
musim nyamuk tinggi di wilayah tersebut, Ivermectin 0,006 mg/kg secara peroral
setiap hari selama satu bulan, Milbemycine oxime 0,5 mg/kg secara peroral setiap
hari selama sebulan, Moxidectine 0,03 mg/kg secara peroral setiap hari selama
sebulan dan Selamectin 6-12 mg/kg secara topikal setiap hari selama sebulan.
Infeksi cacing saluran pencernaan merupakan masalah lain
yang sering
ditemukan pada anjing peliharaan di Indonesia. Ancylostoma caninum adalah salah
satu
cacing Nematoda saluran pencernaan yang sering menginfeksi anjing
peliharaan di wilayah Cibinong-Bogor (Samosir 2008). Kondisi serupa juga diamati
oleh Sunandar (2003) di Rumah Sakit Hewan Jakarta dimana sebanyak 289 ekor/
(59%) dari 491 ekor anjing yang diperiksa dari tahun 1999-2000 positif terinfeksi
Ancylostoma spp. Pemeriksaan kecacingan pada anjing di Rumah Sakit Hewan
Jakarta pada tahun 1999 juga menunjukkan bahwa sebanyak 74 ekor/45,3% anjing
ras, 50 ekor/30,7% jenis campuran dan 39 ekor/23,9% anjing lokal mengalami
Toxocariosis (Supriyadi 2003). Oleh karena itu pengendalian kecacingan pada
anjing harus memadukan penggunaan antelmintika yang memiliki efikasi terhadap
cacing parasit
di saluran pencernaan seperti Pyrantel pamoat, Dichlorvos,
Mebendazole, Fenbendazole dan Febantel, dengan antelmintika dengan khasiat
mikrofilarisida seperti Levamisole, Milbemycine, Ivermectin untuk mencegah cacing
jantung (Sunandar 2003; Foreyt 2001).
25
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Prevalensi kejadian dirofilariasis di Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat,
dan Bali adalah 7.7 %.
2.
Terdapat keterkaitan yang nyata antara tingkat kejadian infeksi D. immitis
dengan
frekuensi kunjungan anjing ke dokter hewan dan pemberian obat
cacing oleh pemilik anjing. Frekuensi pemberian obat cacing tidak memiliki
keterkaitan nyata dengan tingkat kejadian dirofilariasis pada anjing peliharaan
di wilayah studi.
3.
Anjing yang tidak pernah diperiksa ke dokter hewan memiliki risiko terinfeksi D.
Immitis 3.6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang rutin diperiksa ke
dokter hewan.
Saran
1.
Pemilik anjing disarankan memeriksakan anjing yang telah berusia di atas
enam bulan secara rutin kepada dokter hewan minimal setahun dua kali.
2.
Daerah
daerah yang endemis disarankan untuk dilakukan tindakan
pemberian filarisidal yng dikombinasikan dengan antelmintika saluran
pencernaan untuk mencegah kecacingan pada anjing peliharaan.
3.
Pengendalian nyamuk sebagai vektor yang memiliki potensi sebagai sebagai
agen penularan penyakit dirofilariasis.
26
DAFTAR PUSTAKA
[Anonim]. 2007. http://id.wikipedia.org/wikipedia/Anjing
[American
Heartworm
Society].
2008.
[9 Februari 2009].
Canine
Heartworm
Disease.
http://www.heartwormsociety.org/ [21 juli 2008].
Adam RH. 2001.Veterinary Pharmacology and Therapeutics 8
th
Edition. America:
Iowa State Press : 947-979.
Atwell RB. 1988. Clinical Signs and Diagnosis of Canine Dirofilariasis. dalam
Dirofilariasis. Boreham PFL dan Atwell RB, editor. Florida : CRC Press.
Brander GC. Pough DM dan Jenkins WL.1994. Veterinary Applied Pharmakologi
and Terapeutics 5 th Editions. London : Bailliere Tindal.
Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology Referency Manual Fifth Edition. Iowa. Iowa
State University Press.
Gregory NG. 2003. Animal Welfare and Meat Science. CABI Publishing. United
Kingdom.
Greeve RB, Lok JB, Glickman LT. 1983. Epidemiology of Canine Heartworm
infection. Epidemiology. 5, 220-246.
Haddock KC. 1987. Canine Heartworm Disease : A review and Pilot Study. Soc. Sci.
Med. 24 : 225-246.
Hadi UK. 1999. Telaah Nyamuk dalam Hubungannya Sebagai Vektor Potensial
Drofilariasis pada Anjing di Bogor. Maj. Parasitol. Ind. 12: 24-38.
Holly N. 2007.Heartworms (Dirofilaria immitis)
http://www.peteducation.com/article.cfm?cls [21 Juli 2008].
Hutchinson GW. 1995. Beberapa Masalah Diagnosa Menggunakan ELISA pada
Penyakit Parasit Terpilih, Penyakit Cacing Jantung pada Anjing. Dalam
Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Burgess GW, editor.
Artama, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan
dari: ELISA Technology in Diagnosis and Research.
27
Jackson
RF. 1972. Some New Chemotherapeutics agen for Dirofilariasis
A
preliminary report. In R E. Bradley and G. Pacheo, Eds. Canine Heartworm
Disease current Knowledge, p 129. Proc 2nd Univ Fla Symp on Canine
Heartworm Disease, Jacksonville.
Jones
ML,Nicholas
HB,
Leslie
EM.
1977. Veterinary
Pharmacology
and
Therapeutics 4 th Edition. America: Iowa State Press.
Karmil TF. 2002. Studi Biologis dan Potensi Vektor Alami Dirofilaria immitis Sebagai
Landasan
Penyiapan
Bahan
Hayati
[Disertasi].
Bogor
:
Program
Pascasarjana, Institut Petanian Bogor.
Kelly JD. 1977. Canine Parasitology. Sydney: The University of Sydney.
Levine ND.1990. Parasitologi Veteriner. Soekardono, penerjemah. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Text Book of Veterinary
Parasitology.
Lok JB. 1988. Dirofilaria sp. Taxonomy and Distribution. Dalam Dirofilariasis.
Boreham PFL dan Atwell RB, editor. Florida: CRC Press.
Martin SW, Meek H, Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. USA : Iowa State
University Press.
Nayar JK dan Rutledge CR. 1990. Mosquito-born Dog Heartworm Disease.
http:/deis.ifas.ufl.edu [12 November 2008].
Nelson CT. McCall JW, Rubin SB, Buzhardt LF, Dorion DW, Gram W, Longhofer ,
SL, Guerrero J, Robertson-Plouch C dan Paul A. 2005. 2005 Guidelines for
the Diagnosis, Prevention and Management of Heartworm (Dirofilaria immitis)
Infection
in
Dogs.
http://www.heartwormsociety.org/article.asp?id=48#Epidemology
[21
Juli
2008].
Plumb CD. 2004. Veterinary Drug Handbook Fifth Edition.
Iowa: Blackwell
Publising.
Rawlings CA. 1986. Heartworm Disease in Dog and Cat. Philadelphia: WB Saunders
Company.
28
Rawlings CA, Raynaud JP, Lewis RE, dan Duncan JR. 1993. Pulmonary
Thromboembolism and Hipertention after Thiacertasamide vs Melarsomine
Dihydrochlorida Treatment of Dirofilaria immitis infection in Dog. Am.
Vet.Res. 54:920-925.
Ronald L. 1982. Dermatopathies. Veterinary Medicine. Philadelphia: Toronto J.
Lipincott Company : Hal 103.
Samosir TP. 2008. Kecacingan Ancylostoma sp pada Anjing Ras [Skripsi] Bogor :
Program Sarjana, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Satrija F, Yusuf R, Novi W, Yong M. 2008. Prevalensi dan Faktor Resiko Infeksi
Cacing Jantung (Dirofilaria immitis) Pada Anjing Pelihara di Jawa dan Bali.
Proccedings of KIVNAS : Bogor hal :323-324.
Screy CF. 1996. Epidemiologische Fallanalyse der kardiovaskularen Dirofilariose
(Herzwumerkrankung) bei hunden in Deutschland. Disssertation for the
Degree of Doctor Veterinary Medicine, der Freien Universitat Berlin.
Song K H , Lee , M. Hayasaki., K. Shiramizu., D. H. Kim and K. W. Cho. 2003.
Seroprevalence of Canine Dirofilariosis in South Korea.
http://www.chestjournal.org/cgi/content/abstract/112/3/729 [31 Juli 2008].
Soulsby EJ. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa Of Domesticated Animals
7th Ed. New York and London. Academic Press.
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Kucing dan Anjing.
Jogjakarta: Universitas Gajah Mada Press.
Sudjana.1996. Metoda Statistika. Bandung: PT Tarsito.
Sunandar. 2003. Prevalensi Kecacingan Ancylostom spp pada Anjing (Studi Kasus
di Rumah Sakit Hewan Jakarta Periode 1999-2000) [Skripsi] Bogor: Program
Sarjana, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Supriyadi. 2003. Studi Kasus Kecacingan Toxocariosis pada Anjing di Rumah Sakit
Hewan Jakarta Periode 1999-2000) [Skripsi] Bogor: Program Sarjana,
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
29
Tarello W. 2001. Importance in the Dog of Concentration Tests for the Diagnosis of
Heartworm Disease in non Endemic Areas Perugia.
Tatsumaki. 2002. The Dog Book. Jakarta: Tri Exs Media.
Tizard I. 1982. Pengantar Imunologi Veteriner. Philadelphia: WB Saunders
Company.
Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM dan Jenring FW. 1987. Veterinary
Parasitology. London: Longman Scientific and Technical.
Walpole RE dan Meyer RH. 1986. Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan
Ilmuan terbitan ke 2. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Weil GJ, Malane MS, Power KG. 1985. Monoclonal Antibodies to Parasite Antigens
Found in the Serum of D. immitis
1187.
Infected Dogs. J. Immunol134: 1185-
30
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuisoner survey dirofilariasis
Pewawancara
Tanggal
No. kuisioner/sample
:
:
:
DAFTAR ISIAN UNTUK RESPONDEN
A. Informasi Pemilik Hewan
1. Nama
:
2. Alamat
:
3. Pekerjaan
:
B. Informasi Hewan Peliharaan
1. Nama hewan
:
2. Ras/breed
:
3. Warna bulu
:
4. Janis kelamin
: Jantan/Betina (coret yang tidak perlu)
5. Umur
:
6. Berat badan
:
C. Manajemen Pemeliharaan Hewan
1. Berapa jumlah anjing yang Anda pelihara?
a. 1 ekor
c. >2
b. 2 ekor
2. Tujuan Anda memelihara anjing adalah
a. hewan kesayangan
c. komersial/untuk dijual
b. penjaga rumah
d. lain-lain
3. Berapa lama Anda sudah memelihara anjing?
a. 6 bulan
c. >1 tahun-2 tahun
b. >6 bulan-1 tahun
d. >2 tahun
4. Bagaimana cara Anda memelihara anjing?
a. siang dikandangkan malam dilepas
b. dilepas keluar rumah
c. dilepas di dalam rumah
d. lainnya, sebutkan
.
5. Berapa kali anjing Anda dibawa ke dokter hewan?
a. kalau anjing sakit
c. rutin setiap tahun
b. rutin setiap 6 bulan
d.tidak pernah
6. Apakah anjing sering dibawa jalan-jalan keluar rumah?
a. tidak pernah
c. sekali sebulan
b. sekali seminggu
d. lainnya, sebutkan
7. Jika dibawa keluar rumah, kemana?
a. taman
c. luar kota
b. daerah sekitar rumah
d. lain-lain,
..
8. Pemberian obat cacing pada anjing Anda
a. tidak pernah
d. rutin setiap 6 bulan
b. apabila ada gejala kecacingan e. rutin setiap tahun
c. rutin setiap 3 bulan
f. lainnya, sebutkan
9. Apabila anjing diberi obat cacing, sebutkan apa jenis obat yang diberikan
..
..
..
..
..
..
......
..
31
Lampiran 2 Prevalensi dirofilariasis tiap daerah
Daerah
Jakarta-Banten
Jawa Barat
Jawa Tengah
Bali
Jumlah
Sampel
Sampel
Positif
Prevalensi
(%)
Jakarta Pusat
7
-
-
Jakarta Barat
Jakarta Timur
Jakarta Selatan
Jakarta Utara
Tangerang
Total
Bogor
Nagrak
Cikidang
Palabuhan Ratu
Warung Kiara
Total
Boyolali
Sleman
Yogyakarta
Surakarta
Sukoharjo
Karanganyar
Total
Amlapura
Badung
Denpasar
Gianyar
karangasem
Total
17
15
23
14
17
93
22
14
10
11
10
63
1
5
2
9
2
3
22
3
2
18
22
12
57
1
1
2
2
2
2
1
3
10
1
1
3
1
1
5
6,67
5,88
2,15
9,09
14,28
20,00
9,09
30,00
15,87
50,00
4,54
16,67
4,54
8,33
8,77
32
Download