Uploaded by User114702

DPFD2020

advertisement
Halaman judul
i
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
MANAJERIAL LABORATORIUM FISIKA TERAPAN FT UNTIRTA ..... iv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Besaran dan Satuan Standar Dasar ............................................................... 2
1.2. Besaran dan Satuan Dasar Standar Turunan ................................................ 3
BAB II ALAT UKUR ........................................................................................... 6
2.1. SIFAT-SIFAT ALAT UKUR ...................................................................... 6
2.2. METODE PENGUKURAN LINEAR ......................................................... 7
2.2.1. Alat ukur linier tak langsung ................................................................. 8
2.2.2. Alat ukur linier langsung ....................................................................... 8
2.3. TEORI PEMAKAIN ALAT UKUR ............................................................ 9
2.3.1. Cara Membaca Nonius .......................................................................... 9
2.3.2. Cara Memakai Jangka Sorong ............................................................ 10
2.3.3. Cara Memakai Mikrometer Sekrup ..................................................... 11
2.3.4. Neraca Teknis ...................................................................................... 12
2.3.5. Spherometer ......................................................................................... 14
2.4. ALAT UKUR BESARAN LISTRIK ......................................................... 15
2.4.1. Multimeter/Avometer .......................................................................... 15
2.4.2. Amperemeter AC dan Amperemeter DC ............................................ 23
BAB III TEORI RALAT .................................................................................... 25
3.1. PENGERTIAN ........................................................................................... 25
3.2. MACAM RALAT ...................................................................................... 25
3.2.1.
Ralat Sistematik .............................................................................. 25
3.2.2.
Ralat Kebetulan .............................................................................. 26
3.2.3.
Ralat Kekeliruan Tindakan ............................................................. 26
3.3. PERHITUNGAN RALAT ......................................................................... 27
ii
3.3.1. Ralat Langsung (Ralat Pengamatan) .................................................. 27
3.3.2. Ralat Tidak Langsung (Perambatan Ralat)......................................... 30
iii
MANAJERIAL LABORATORIUM FISIKA TERAPAN FT UNTIRTA
TAHUN AKADEMIK
2020/2021
KEPALA LABORATORIUM
Dr. Irma Saraswati, S.Si., M.T.
LABORAN
Erin Rismawan, S.T
ASISTEN LABORATORIUM
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Adzra Hana Nabila
Akbar Vandito Adi
Aldi Syahril Anwar
Amalia Anugerah Mahallany
Dandy Indra Gunawan
Destia Maradhina
Ginda Quriatama
Ii Nurul Hapsari
Ilham Kiki Shahila
M Ahyarudin
Mohamad Fadli
Muhamad Toha
Muhammad Gofar
Muhammad Maulanna Zensih
Nadin Alifia
Nadya Fitri Asyuni
Niko Arfana Usti
Raffa Ikhwan Pratamaputra
Reza Hariansyah
Rifaldi Gustiawan
Shania Yosephin Ginting
Vini Hafidzatul Hakimah
iv
T. Metalurgi
T. Metalurgi
T. Elektro
T. Kimia
T. Mesin
T. Sipil
T. Metalurgi
T. Metalurgi
T. Kimia
T. Sipil
T. Metalurgi
T. Kimia
T. Kimia
T. Elektro
T. Kimia
T. Kimia
T. Elektro
T. Metalurgi
T. Elektro
T. Elektro
T. Kimia
T. Metalurgi
BAB I
PENDAHULUAN
Pengukuran adalah proses perbandingan suatu besaran dengan besaran standar
yang sejenis. Secara umum pengukuran dapat digambarkan seperti dibawah ini,
Gambar 1.1. Diagram umum pengukuran
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa proses pengukuran membutuhkan:
a) Input (besaran yang akan diukur)
b) Besaran standar
c) Alat ukur
d) Subjek (pengukur atau operator)
Yang kesemuanya saling berinteraksi mempengaruhi hasil (output) pengukuran.
Besaran adalah sejumlah tertentu dari sesuatu yang dapat dinyatakan secara fisik,
contohnya panjang, berat dan energi. Besaran standar adalah besaran yang telah
disepakati dan diakui secara meluas, sebagai pembanding terhadap besaran lain
yang sejenis. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu besaran sebagai
besaran standar, yaitu:
a) Diakui secara meluas (internasional)
b) Tidak berubah terhadap waktu (mempunyai besar tertentu untuk suatu
kondisi tertentu)
c) Dapat dibuat dengan mudah
d) Dapat digunakan dimana saja sebagai pembanding
2
Besaran standar dan satuannya dikelompokkan atas dua jenis yaitu:
1) Besaran dan satuan standar dasar
2) Besaran dan satuan standar turunan
Besaran dan satuan standar dasar adalah besaran dan satuan tunggal. Sedangkan
besaran dan satuan standar turunan adalah besaran dan satuan yang merupakan
kombinasi dari berbagai besaran dan satuan standar dasar (diturunkan dari standar
dasar).
Ada tujuh besaran dan satuan standar dasar yang telah ditetapkan secara
internasional (International System of Units atau Le Systeme Internationale
d’Unites). Dan ada banyak besaran dan satuan standar turunan yang telah
ditetapkan serta digunakan secara umum. Tabel berikut menunjukkan beberapa
besaran,
Standar Istilah Kelipatan Persepuluh (SI-Units)
Faktor
Pengali
Awalan
Singkatan
1012
109
106
103
102
10
tera
giga
mega
kilo
hector
Deca
T
G
M
k
h
d
10-2
10-3
10-6
10-9
10-12
10-15
10-18
centi
milli
micron
nano
pico
femto
Atto
c
m
μ
n
p
f
a
1.1. Besaran dan Satuan Standar Dasar
Nama Besaran
Satuan
3
Nama
Besaran Pokok
Panjang
Massa
Waktu
Arus Listrik
Temperatur
Thermodinamik
Jumlah Zat
Intensitas Cahaya
Besaran Tambahan
Sudut Bidang
Sudut Ruang
Simbol
meter
kilogram
second
Ampere
Kelvin
[m]
[kg]
[s]
[A]
[K]
mole
candella
[mole]
[cd]
radiant
steradiant
1.2. Besaran dan Satuan Dasar Standar Turunan
Satuan
Nama Besaran
Nama
Simbol
Luas
square meter
[m2]
Volume
cubic meter
[m3]
Massa Jenis
kilogram percubic meter
[kg/m3]
Kecepatan
meter per second
[m/s]
Percepatan
meter per square second
[m/s2]
Kecepatan Angular
radiant per second
[rad/s]
Percepatan Angular
radiant per square second
[rad/s2]
Momen Inersia Massa
kilogram per square meter
[kg/m2]
Frekuensi
Hertz
[1/s]
Gaya
Newton
[kg m/s2]
Tekanan & Tegangan
Newton per square meter
[kg/m s2]
Energi, Kerja & Panas
Joule
[kg m2/s2]
Daya
Joule per second
[kg m2/s3]
Viskositas Kinematik
square meter per second
[m2/s]
Viskositas Dinamik
Newton sec. per square
meter
[kg/m s]
Muatan Listrik
[A s]
4
Tahanan Listrik
Coulomb
[J/A s]
Kapasitansi Listrik
Ohm
[A s/V]
Induktansi Listrik
Farad
[V s /A]
Fluks Magnetik
Henry
[V s]
Fluks Cahaya
Weber
[cd sr]
Kuat Cahaya
Lumen
[cd/m2]
Terang Cahaya
Cd per square meter
[lm/m2]
lux
Satuan standar SI-units didefinisikan sebagai suatu besaran fisik dengan ukuran
tertentu yang memenuhi syarat-syarat besaran dan satuan standar yang telah
disebutkan terdahulu. Berikut adalah definisi ketujuh besaran standar dasar SIunits,
1)
Satuan Standar Panjang (meter)
1 meter = 1.650.763,73 kali panjang gelombang radiasi akibat transisi
elektron dari orbital 2p10 ke orbital 5ds isotop Krypton no 86 pada ruang
vakum (hampa udara).
Ditetapkan tanggal 14 Oktober 1960.
2)
Satuan Standar Massa (kg)
1 kilogram = massa satu pelat Platinum-Iridium yang disimpan di
Internasional Bureau of Weights and Measures, Severs-Paris.
Ditetapkan pada tanggal 05 Juni 1959.
3)
Satuan Standar Waktu (sekon)
1 sekon = lamanya 9.192.631.770 kali periode radiasi atom Caesium-133.
Ditetapkan tanggal 13 Oktober 1967.
4)
Satuan Standar Temperatur Thermodinamik (K)
1 derajat Kelvin = 1/273,6 kali temperatur H2O pada titik tripel fasanya (fasa
padat-cair-gas berada dalam kesetimbangan).
5
5)
Satuan Standar Jumlah Zat
1 mole = sejumlah zat yang mengandung partikel (atom, ion atau molekul)
sebanyak 6,022 x 1023 pada temperatur 0ºC dan tekanan 1 atmosfir.
6)
Satuan Standar Kuat Arus (Ampere)
1 ampere = sejumlah arus yang menembus tahanan sebesar 1 ohm diantara
beda tegangan 1 volt.
Catatan : untuk menentukan besaran 1A, terlebih dulu ditentukan besaran 1
ohm dan 1 volt.
7)
Satuan standar Tahanan Listrik (Ohm)
Pengukuran tahanan 1 (satu) ohm dilakukan melalui perhitungan induktansi
listrik dari suatu bahan dengan dimensi tertentu.
BAB II
ALAT UKUR
2.1. SIFAT-SIFAT ALAT UKUR
Hasil pengukuran dipengaruhi langsung oleh beberapa hal, yaitu subjek
(pengukur atau operator), alat ukur, objek ukur dan lingkungan tempat pengukuran
berlangsung.
Dalam hal alat ukur, perlu diketahui beberapa sifat penting alat ukur yang
berpengaruh langsung pada hasil pengukuran. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai
berikut :
a.
Kepekaan (Sensitifity)
Yaitu kemampuan alat ukur merasakan perubahan paling kecil dari
objek ukur. Kepekaan dipengaruhi oleh mekanisme transduser alat ukur
dan pencatat. Biasanya makin peka suatu alat ukur, makin sempit batas
pengukurannya.
b.Ketepatan (Acuracy)
Yaitu kemampuan alat ukur menunjukkan hasil pengukuran yang
mendekati nilai sebenarnya. Ketepatan dipengaruhi oleh kecermatan alat
ukur. Nilai sebenarnya tidak pernah dapat diketahui, tetapi yang dimaksud
dalam hal ini adalah nilai yang didapat melalui pengukuran dengan alat
ukur standar dan dengan pengukuran yang berulang.
c.
Ketelitian (Precision)
Yaitu kemampuan alat ukur menunjukkan hasil yang sama untuk
beberapa kali pengukuran yang dilakukan terhadap satu objek ukur.
d.Kemudahan Baca (Readability)
Yaitu kemampuan alat ukur menunjukkan hasil pengukuran yang
mudah dibaca (dapat meminimumkan kemungkinan salah baca).
e. Histerisis
7
Yaitu penyimpangan hasil pengukuran untuk beberapa titik pengukuran
yang dilakukan dari dua arah (dari bawah ke atas dan dari atas ke bawah).
f. Pergeseran (Shifting atau Draft)
Yaitu perubahan hasil pengukuran pada pencatat, meskipun input
tidak berubah. Hal ini biasanya disebabkan kelainan fungsi komponen alat
ukur tersebut (pada sensor, transduser atau lainnya).
g. Pengambangan (Floating)
Yaitu penunjukkan hasil pengukuran yang berubah-ubah (tidak stabil)
untuk objek ukur yang tetap. Hal ini sering disebabkan oleh adanya
perubahan input yang kecil yang dirasakan oleh sensor, kemudian
diperbesar oleh transduser.
h. Kestabilan Nol (Zero Stability)
Yaitu kemampuan alat ukur untuk mengembalikan penunjukkannya
ke titik skala nol setiap setelah pengukuran.
i. Kepasifan (Passifity)
Yaitu kelambatan atau ketidakmampuan alat ukur bereaksi
menanggapi perubahan kecil yang dirasakan oleh sensor.
Alat ukur haruslah dijaga sedemikian sehingga dapat melakukan fungsinya
sesuai dengan kemampuan desainnya melalui pengoperasian dan penyimpanan
yang baik, serta pemeriksaan yang tepat. Pemeriksaan yang dimaksud adalah
pemeriksaan berbagai hal seperti yang dijelaskan diatas. Sehingga dapat dipakai
menunjukkan ukuran yang baik sesuai desainnya. Istilah pemeriksaan pada alat
ukur sering disebut dengan kalibrasi.
2.2. METODE PENGUKURAN LINEAR
Pengukuran linier adalah jenis pengukuran yang sering ditemukan dalam
ilmu ketekhnikan serta kehidupan sehari-hari. Pengukuran linier dapat dibagi
menjadi dua jenis menurut metodenya yaitu:
8
2.2.1. Alat ukur linier tak langsung
Alat ukur linier tak langsung adalah alat ukur yang hasil pengukurannya
tidak dapat dibaca langsung pada alat ukur tersebut, melainkan harus melalui
proses perbandingan dengan alat ukur lainnya ataupun proses lainnya.
Contoh-contoh alat ukur jenis ini adalah:
a)
Alat ukur standar, yaitu;
 Balok ukur (gauge block)
 Batang ukur (length bar)
 Kaliber induk tinggi (height master)
b)
Alat ukur pembanding, yaitu;
 Jam ukur (dial indicator)
 Jam ukur tes/pupitas (dial test indicator)
 Pembanding (comparator)
2.2.2. Alat ukur linier langsung
a) Mistar ukur
Mistar ukur adalah alat ukur paling sederhana, hanya terdiri dari
komponen sensor dan penunjuk yang menjadi satu dengan badan alat ukur.
Umumnya terbuat dari pita/pelat baja/kuningan dengan skala utama terkecil 1
mm (tanpa skala nonius). Contoh-contoh mistar ukur adalah sebagai berikut:
1) Mistar ukur berkait
2) Mistar ukur
3) Meteran lipat
4) Meteran gulung
b) Mistar ingsut (jangka sorong)
Mistar ingsut alat ukur yang identik dengan mistar ukur, perbedaannya
mistar ingsut mempunyai sensor yang berupa rahang yang dapat digerakkan
menjangkau dimensi benda ukur. Menurut komponen penunjuknya, mistar ingsut
dapat dikelompokkan atas dua jenis, yaitu:
9
1) Mistar ingsut nonius
2) Mistar ingsut jam
c) Mikrometer
Mikrometer pada umumnya mempunyai kecermatan yang lebih baik
dibanding mistar ingsut, hanya saja pemakaian mikrometer umumnya terbatas
untuk dimensi-dimensi yang relatif kecil dibanding dengan mistar ingsut.
Kecermatan mikrometer dapat mencapai 0,01 mm.
2.3. TEORI PEMAKAIN ALAT UKUR
Dalam melakukan penyelidikan atau percobaan pada suatu laboratorium, sering
kita jumpai alat-alat yang memerlukan cara-cara tertentu agar pemakaiannya menjadi benar
dan teliti. Oleh karena itu perlu kiranya diberikan penjelasan-penjelasan mengenai pemakaian
alat ukur untuk memudahkan dalam penggunaannya sehingga pengukuran menjadi benar dan
teliti.
2.3.1. Cara Membaca Nonius
Tujuan dari penggunaan nonius adalah agar hasil pengukuran yang dilakukan
menjadi lebih teliti. Banyak alat-alat yang menggunakan nonius, misalnya; jangka
sorong, mikrometer sekrup, spektrometer dan lainnya.
a). Contoh pembacaan panjang benda yang diukur dengan mistar (lihat gambar).
Gambar mekanisme pengukuran
Panjang benda diatas adalah (82,4 ± 0,2) mm.
Angka 0,4 adalah berdasarkan perkiraan saja, sedang angka 0,2 adalah angka
kesalahan yang diambil sebesar 20% dari skala yang terkecil pada alat pengukur (1
mm).
b). Contoh pembacaan dengan nonius persepuluh,
10
Gambar mekanisme pengukuran nonius
Carilah angka disebelah kiri yang paling dekat pada angka nol nonius. Angka
ini adalah angka utamanya (didepan koma). Kemudian carilah garis (angka) pada
nonius yang berimpit dengan garis pada skala utamanya. Angka ini adalah angka
dibelakang koma.
Pembacaan contoh diatas adalah (73,50 ± 0,02) mm.
Angka 0,50 adalah angka pada nonius yang berimpit dengan skala utama, angka
0,02 adalah angka kesalahan yang diambil sebesar 20% dari skala yang terkecil (0,1
mm).
2.3.2. Cara Memakai Jangka Sorong
Jangka sorong adalah alat ukur untuk mengukur besaran panjang. Di mana alat
ukur ini dipakai untuk pengukuran yang memerlukan ketelitian sampai dengan 0,1 mm.
Gambar Jangka sorong dengan bagian-bagiannya
Beberapa pengukuran dengan memakai jangka sorong
11
 Untuk mengukur panjang atau diameter luar benda.
Cara penggunaannya, benda diletakkan diantara rahang (A1 – A2), kemudian tekan dan
doronglah pada roda F secara perlahan dengan ibu jari sehingga rahang menjepit benda.
Kemudian bacalah nilai ukur pada skala utama (D1 atau D2) dan skala nonius (E1 atau
E2).
 Untuk mengukur diameter dalam benda.
Caranya masukkan rahang (B1 – B2) kedalam lubang atau diameter bagian dalam dan
tariklah roda F secara perlahan dengan ibu jari sehingga rahang mengenai tepi lubang
benda. Kemudian bacalah nilai ukur pada skala utama (D) dan skala nonius (E).
 Untuk mengukur kedalaman benda.
Caranya masukkan bagian ekor jangka sorong (C1 – C2) kedalam lubang dan tariklah
roda F secara perlahan kebelakang hingga bagian belakang jangka sorong terlihat.
Kemudian bacalah nilai ukur pada skala utama (D) dan skala nonius (E).
2.3.3. Cara Memakai Mikrometer Sekrup
Salah satu jenis mikrometer yang sering dipakai adalah mikrometer sekrup yang
mempunyai ketelitian 0,01 mm.
Gambar mikrometer sekrup dan bagian-bagiannya
12
a) Mikrometer sekrup terdiri dari bagian yang diam (rangka F), padanya terdapat alas
A1 dan skala utama B. Bagian yang bergerak yaitu sekrup (D) berskala C, silinder A2
dan sekrup pemutar halus (E).
b) Skala C ikut berputar dengan sekrup D, skala C dibagi dalam 50 skala dan bila D
berputar satu putaran, maka C dan juga A2 akan maju/mundur sejauh 0,5 mm terhadap
skala B. Jadi satu bagian skala pada C adalah sama dengan 0,01 mm. Sedangkan
pembagian skala pada B adalah 1 mm dan 0,5 mm.
c) Untuk cara pengukurannya, benda diletakkan antara alas A1 dan A2, kemudian sekrup
D diputar sampai A1 dan A2 menyinggung benda. Jangan terlalu memutar sekrup K
hingga benda tertekan karena berakibat pada pengukuran yang salah.
d) Tebal benda (A1 - A2) adalah jumlah skala B ditambah skala C.
e) Contoh pembacaan skala (perhatikan gambar)!
Hasil pengukuran menunjukkan tebal benda adalah
sebesar (4,17 ± 0,002) mm.
Angka 4 diperoleh dari skala B, angka 0,17 diperoleh
dari skala C. angka 0,002 adalah angka kesalahan dari
mikrometer sekrup (20% dari skala terkecil).
f)
Sebelum melakukan pengukuran periksalah
dahulu titik nolnya (koreksi titik nol) yaitu dengan jalan memutar sekrup D sehingga
A1 - A2 berimpit dan periksalah apakah angka nol pada skala C berimpit dengan garis
melintang pada skala B. Bila penunjukkan positif, maka pengukuran harus
dikurangkan dan sebaliknya jika negatif, pengukuran harus ditambahkan.
g) Perhatian!!!
 Memutar D tidak boleh terlalu keras, supaya benda yang diukur tidak
rusak/berubah bentuknya dan juga agar mikrometer sekrup tidah mudah rusak.
 Bila A1 - A2 sudah dekat dengan benda maka jangan memutar D lagi, melainkan
putarlah E sampai titik A2 tidak maju lagi.
2.3.4. Neraca Teknis
Neraca Teknis adalah suatu alat yang digunakan untuk mengukur berat dari suatu benda
secara teliti.
13
Gambar neraca teknis dan bagian-bagiannya
Cara Menggunakannya adalah sebagai berikut :
a) Perhatikan batas maksimum dari setiap neraca teknis demikian pula batas
minimunnya (C)
b) Sebelum menimbang periksalah kedudukan neraca apakah sudah berdiri tegak
(dilihat dari bandul D) dan perlu juga diperhatikan adalah praktikan tidak
diperkenankan mengubah skrup pengatur F.
c) pada umumnya jarum gandar B tidak dapat berhenti karena pengaruh dari luar
(angin). Oleh karena itu, dianjurkan untuk digunakan dalam ruangan tertutup.
d) Dalam melakukan penimbangan, peletakan anak timbangan adalah disebelah kanan
dan benda yang akan ditimbang diletakkan disebelah kiri (standar Laboratorium).
e) Waktu meletakkan atau mengambil anak timbangan hanya diperbolehkan bila ”Jarum
gandar B” berhenti berayun.
f) Anak timbangan sama sekali tidak boleh dipegang atau disentuh dengan tangan
dianjurkan untuk menggunakan alat penjepit.
g) Zat yang dapat merusak pinggan neraca (A) dilarang diletakkan dipinggan, tetapi
harus dibersihkan dulu.
14
h) Pada waktu melepas alat penahan (E) harus dijaga agar simpangan jarum tidak terlalu
besar.
i) Penimbangan dianggap selesai bila jarum petunjuk telah tepat pada titik nol (Titik
setimbang).
2.3.5. Spherometer
Spherometer yaitu suatu alat ukur yang digunakan untuk mengetahui seberapa
panjang elastisitas dari logam setelah diberi beban tertentu.
Gambar spherometer
Pada pelat yang tegak (penunjuk skala) terdapat skala dalam mm, sedangkan pada
piringan terdapat 50 garis skala. Apabila piringan diputar sebanyak satu putaran, maka piringan
akan naik atau turun sebesar 1 mm, yaitu dengan melihat kedudukan permukaan piringan pada
skala tegak.
15
Gambar piringan spherometer
Pembacaan skala
Jadi 1 garis skala pada piringan sebesar 
1 mm
 0.02 mm .
50
Ini berarti bahwa ketelitian dari spherometer yang demikian adalah 0.02 mm
Kedudukan nol spherometer ditandai oleh nyala lampu indikator yang diperoleh dengan cara
menyentuhkan kedua ujung lampu indikator, yaitu pada batang logam dan pada papan
penunjuk skala.
2.4. ALAT UKUR BESARAN LISTRIK
2.4.1. Multimeter/Avometer
Jenis :

Multimeter analog

Multimeter digital
16
Gambar bagian-bagian multitester
Fungsi dan kegunaan alat ukur multimeter adalah :
1) Mengukur resistansi/tahanan (Ω = Ohm)
2) Mengukur tegangan searah (DCV = Direct Current
Voltage)
3) Mengukur tegangan bolak- balik (ACV = Alternating Current Voltage)
4) Mengukur Arus (A = Ampere)
5) Mengukur kapasitas kapasitor (μF = mikrofarad)
6) Menentukan jenis dan penguatan dari transistor (PNP/NPN, hFE)
2.4.1.1. Bagian-bagian Multimeter Analog
1.Papan skala
 Untuk skala tahanan terdapat pada ujung paling atas, membacanya dari kanan ke
kiri, dimana pada kedua ujungnya terdapat lambang Ω atau Omega.
 Untuk skala DCV, ACV, DcmA, DCA, ACA, hFE, tepat dibawahnya skala tahanan,
membacanya dari kiri kekanan.
2.Saklar Jangkah (selector)
Berfungsi sebagai penunjuk besaran apa yang hendak
diukur, misalnya :
17
Untuk mengukur tegangan bolak balik maka jangkah
ditaruh atau ditunjukkan
dengan cara memutarnya pada ACV, begitu pula untuk yang lainnya.
Pembacaan skala multitestert
Range
Ω x 100k
x 1k
x 100
1
x 10
x1
DCV 250
DCV 2.5
DCV 0.25
2 ACV 250
DCA 0.25
DCA 25m
DCA 2.5m
DCV 50
3 ACV 50
DCA 50 
4
DCV 0.1
DCV 10
Multiplied
x 100k
x 1k
x 100
x 10
x1
x1
x 0.01
x 0.001
x1
x 0.001
x 0.1
x 0.01
x1
x1
x1
x 0.01
x1
Range
DCV 1000
4
ACV 750
5 ACV 10
6 C (µF)
7 DCV ± 25
8 DCV ± 5
150 mA at x 1
15 mA at x 10
9 1.5 mA at x 100
150 µA at x 1k
1.5 µA at x 100k
10 LV
11 hFE
ACV10
ACV50
12
ACV250
ACV750
Multiplied
x 100
x 100
x1
x1
x1
x1
x10
x1
x0.1
x10
x0.1
x1
x1
x1
14dB added
28dB added
40dB added
18
3.Pengatur nol/Adjust (penyesuai)
Berfungsi sebagai pengatur penepatan jarum skala mulai dari nol pada
pengukuran tahanan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan nilai yang
teliti.
4.Jarum Penunjuk
Berfungsi untuk menunjukan nilai yang terukur.
5.Jumper kabel penyidik
(+) untuk kabel penyidik merah
(-) com (common), Untuk kabel penyidik hitam
2.4.1.2. Langkah Pengukuran
1). Mengukur Resistansi
a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel
penyidik hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi OHM. Pemilihan saklar
jangkah ini ditentukan oleh besarnya nilai resistor yang akan diukur
misalnya
(R x 1), (R x 10), (R x 100), (R x 1K), (R x 1OK).
c) Kalibrasi alat ukur dengan menemukan kedua ujung kabel penyidik,
jarum harus menyimpang kekanan, dan menunjukan nilai nol. Jika tidak
nol maka putarlah pengatur nol/adjust sampai mendapatkan nilai nol,
sehingga alat ukur ini siap untuk nilai tahanan. Pengesetan nol ini harus
diulangi jika saklar jangkah dipindah pada posisi OHM yang lain.
d) Pada pengukuran tahanan polaritas kabel penyidik boleh terbalik (tidak
akan membawa dampak terhadap alat ukur)
e) Tahanan/alat yang diukur nilai resistansinya tidak boleh ada
tegangannya karena akan merusak sensitifitas dari alat ukur
19
f) Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tahanan yang hendak diukur.
*). Bila jarum menunjukan skala nol atau tidak bisa dibaca, berarti
nilai resistansi yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan
saklar jangkah pada posisi yang lebih rendah.
*). Begitu pula sebaliknya jika jarum menyimpang jauh kekiri,
berarti resistansi yang diukur terlalu besar, pindahkan saklar
pada posisi yang lebih tinggi.
g) Cara menentukan besarnya nilai resistansi gunakan persamaan :
R = Penunjukan jarum x posisi jangkah (Ω)
Contoh :
Jangkah ukur ditaruh pada posisi R x 10, jarum penunjuk
menunjukan angka 12, maka nilai resistansinya adalah :
R  12 10
 120 
2). Mengukur tegangan searah (DCV)
a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel
penyidik hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi DCV. Pemilihan saklar
jangkah ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur misalnya
(10, 50, 250, 1000 Volt).
c) Jika tidak mengetahui tegangan yang hendak diukur maka gunakan skala
yang ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi untuk
menghindari kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran tegangan searah polaritas kabel penyidik tidak boleh
terbalik (akan membawa dampak terhadap alat ukur).
20
*) Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak
diukur. Kabel penyidik merah (+) dihubungkan dengan titik yang
mempunyai potensial positif dan kabel penyidik hitam (-)
dihubungkan dengan titik yang mempunyai potensial negatif dari alat
yang akan diukur tegangannya.
*) Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala), berarti
nilai tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar
jangkah pada posisi yang lebih rendah.
e) Cara menentukan besarnya nilai tegangan searah gunakan Persamaan :
VDC  penunjukan jarum 
Posisi jangkah
Skala
Contoh :
Jangkah ukur ditaruh pada posisi 250, skala yang dibaca adalah skala
simpangan penuh 0 - 250 volt, jarum penunjuk menunjukan angka 125,
maka nilai resistansinya adalah :
 2.5 
R  125  

 250 
 1.25 Volt
3). Mengukur tegangan bolak balik ( ACV )
a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel
penyidik hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi ACV. Pemilihan saklar
jangkah ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur misalnya
(0.1, 2.5, 10, 50, 250, 1000 Volt).
21
c) Jika tidak mengetahui tegangan yang hendak diukur maka gunakan skala
yang ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi untuk
menghindari kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran tegangan searah polaritas kabel penyidik boleh terbalik
(tidak akan membawa dampak terhadap alat ukur).
Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak diukur.
*) Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala), berarti
nilai tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar
jangkar pada posisi yang lebih rendah.
e) Cara menetukan besarnya nilai tegangan bolak balik gunakan Persamaan
:
VAC  penunjukan jarum 
Posisi jangkah
Skala
Contoh :
Jangkah ukur ditaruh pada posisi 10, skala yang dibaca adalah skala
simpangan penuh 0 - 10 volt, jarum penunjuk menunjukan angka 5,
maka nilai resistansinya adalah :
 10 
R  5  
 10 
 5 Volt
4). Mengukur arus searah ( DCA )
a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel
penyidik hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi DCA. Pemilihan saklar
jangkah ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur
misalnya (50μA, 2.5mA, 25 mA, 250 mA ).
22
c) Jika tidak mengetahui arus yang hendak diukur maka gunakan skala
yang ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi untuk
menghindari kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran arus searah polaritas kabel penyidik tidak boleh
terbalik (akan membawa dampak terhadap alat ukur).
Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak diukur.
Kabel penyidik merah (+) dihubungkan dengan titik yang mempunyai
arus positif dan kabel penyidik hitam (-) dihubungkan dengan titik yang
mempunyai arus negatif dari alat yang akan diukur tegangannya.
*) Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala), berarti
nilai tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan saklar
jangkah pada posisi yang lebih rendah.
e) Cara menetukan besarnya nilai arus searah gunakan Persamaan :
I DC  penunjukan jarum 
Posisi jangkah
Skala
Contoh :
Jangkah ukur ditaruh pada posisi 250 mA, skala yang dibaca adalah
skala simpangan penuh 0 - 250 mA, jarum penunjuk menunjukan
angka 125, maka nilai resistansinya adalah :
 2.5 
R  125  

 250 
 1.25 mA
5). Mengukur arus bolak balik (ACA)
a) Hubungan kabel penyidik merah pada hole bertanda “+” dan kabel
penyidik hitam dihubungkan pada hole bertanda “-" atau common.
23
b) Saklar jangkah diputar dan ditaruh pada posisi ACA. Pemilihan saklar
jangkah ini ditentukan oleh besarnya tegangan yang akan diukur
misalnya (0.1, 2.5, 10, 50, 250, 1000 Volt)
c) Jika tidak mengetahui tegangan yang hendak diukur maka gunakan
skala yang ditunjukan oleh saklar jangkah dengan posisi skala tertinggi
untuk menghindari kerusakan dari alat ukur.
d) Pada pengukuran arus bolak balik polaritas kabel penyidik boleh
terbalik (tidak akan membawa dampak terhadap alat ukur).
e) Hubungkan kabel–kabel penyidik kepada tegangan yang hendak diukur.
*. Bila penyimpangan jarum sedikit (disebelah kiri papan skala),
berarti nilai tegangan yang sedang diukur terlalu kecil, pindahkan
saklar jangkah pada posisi yang lebih rendah.
f) Cara menetukan besarnya nilai arus bolak balik gunakan Persamaan :
I AC  penunjukan jarum 
Posisi jangkah
Skala
Contoh :
Jangkah ukur ditaruh pada posisi 25 mA, skala yang dibaca adalah
skala simpangan penuh 0 - 10 mA, jarum penunjuk menunjukan angka
5 mA, maka nilai resistansinya adalah :
 10 
R  5  
 25 
 2 mA
2.4.2. Amperemeter AC dan Amperemeter DC
Kedua amperemeter ini merupakan alat ukur khusus yang dibuat terpisah.
Amperemeter AC disimbolkan dengan gelombang sinusoida () dan
Amperemeter DC disimbolkan dengan garis lurus (-). Masing masing
24
amperemeter mempunyai kemampuan mengukur arus dengan kemampuan
maksimum mengukur arus tertera pada ujung kanan skala.
Untuk pembacaan skala yang tidak linier dapat dipergunakan perumusan
sebagai berikut :
Nilai skala maksimum  Nilai Skala Minimum
Jumlah skala total
BAB III
TEORI RALAT
3.1. PENGERTIAN
Tujuan dari pengukuran adalah mengetahui nilai yang sesungguhnya dari
suatu besaran yang diukur. Hal ini tidak mungkin dapat dicapai dengan tepat. Nilai
yang diperoleh selalu berbeda dengan nilai yang sesungguhnya atau mempunyai
selisih meskipun selisihnya mungkin sangat kecil. Sehubungan dengan itu
dikatakan bahwa dalam pengukuran selalu timbul kesalahan atau ralat (error). Jadi
usaha dalam pengukuran adalah memperoleh nilai dengan kesalahan sekecil
mungkin.
3.2. MACAM RALAT
Ditinjau dari sebab timbulnya ralat atau kesalahan dibagi menjadi tiga macam,
yaitu:
3.2.1. Ralat Sistematik
Ralat Sistematik adalah ralat yang bersifat tetap dan disebabkan oleh:
a. Alat
Kalibrasi alat salah, misalkan pembagian skala keliru, kondisi alat
berubah dan lain-lain.
b. Pengamat
Ketidakcermatan pengamat dalam membaca, misalkan membaca skala.
c. Kondisi Fisik Pengamat
Kondisi fisik pada saat pengamatan tidak sesuai dengan kondisi pada
waktu alat ditera.
d. Metode Pengamatan
Ketidaktepatan pemilihan metode pengamatan akan mempengaruhi
hasil pengamatan.
26
3.2.2. Ralat Kebetulan
Dalam pengukuran berulang-ulang untuk suatu besaran fisis yang dianggap
tetap ternyata memberikan hasil yang berbeda-beda. Kesalahan-kesalahan
yang terjadi pada pengamatan ini disebut dengan ralat kebetulan. Adapun
faktor-faktor penyebabnya adalah:
a). Kesalahan Menaksir
Misalkan penaksiran harga skala terkecil oleh pengamat akan berbeda
dari waktu ke waktu atau oleh satu orang dengan yang lain.
b). Kondisi Fisik Berubah
Misalkan karena suhu dan tekanan berubah mempengaruhi pengukuran
titik didih air.
c). Gangguan
Misalkan getaran mekanik mempengaruhi gerakan miliamperemeter
sehingga arus yang terbaca berubah.
d). Definisi
Misalkan pengukuran diameter pipa, karena penampang pipa tidak bulat
betul dianggap bulat sehingga mempengaruhi pengukuran diameternya.
3.2.3. Ralat Kekeliruan Tindakan
Kekeliruan tindakan dalam percobaan bagi pengamat ada dua hal yaitu :
a). Salah Berbuat
Misalkan salah dalam membaca skala, salah pengaturan kondisi alat,
salah perhitungan (misalkan ayunan 10 kali dihitung 9 kali)
b). Salah dalam perhitungan terutama dalam perhitungan ralat
27
3.3. PERHITUNGAN RALAT
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesalahan dalam pengukuran
tidak dapat dihindari, yang dapat dilakukan hanyalah memperkecil kesalahan
tersebut sekecil-kecilnya. Apabila ralat kekeliruan tindakan dan ralat sistematik
dapat dihindari maka yang tinggi adalah ralat kkebetulan. Untuk memperkecil ralat
ini harus dilakukan pengukuran berulang, makin banyak pengukuran makin baik.
Tetapi tidak semua pengamatan dapat diulang, dalam hal ini praktikan hanya dapat
melakukan pengamatan sekali saja. Karena itu ralatnya adalah setengah skala
terkecil (untuk hal ini hanya dapat dilakukan bila keadaan benar-benar terpaksa).
Dalam perhitungan ralat yang ditimbulkan oleh ralat kebetulan ada dua hal
yang harus diperhitungkan, yaitu ralat hasil pengamatan langsung dan ralat
perhitungan (ralat rambatan).
3.3.1. Ralat Langsung (Ralat Pengamatan)
Untuk besaran yang diperoleh secara langsung dari pengukuran
(pengamatan), maka nilai terbaiknya adalah nilai rata-rata dari besaran
tersebut (yang diukur berulang-ulang). Misalkan suatu besaran x diukur
sebanyak k kali dengan nilai-nilai terukur adalah,
x1, x2, …, xk = xi
nilai terbaiknya adalah x , yaitu:
x =
1
k
k
 xi
i 1
Sedang selisih antara nilai-nilai terukur dengan x dinamakan deviasi (  )
yang dapat dituliskan sebagai berikut:
 x = xi - x
Dapat dibuktikan bahwa nilai rata-rata dari deviasi (persamaan diatas) adalah
:
28
1
k
k
 x i = 0
i 1
Karena
k
 x i = 0
i 1
Juga dapat dibuktikan bahwa jika yang diambil sebagai nilai terbaik adalah x
dari nilai-nilai terukur, maka jumlah dari deviasi-deviasi kuadratnya adalah
k
minimum, yaitu :
 x i adalah minimum.
i 1
Untuk
menunjukan
kesalahan
(ralat)
kebetulan
didefinisikan beberapa pengertian :
a). Deviasi Rata-Rata :
k
a=
 x
i 1
i
b). Deviasi rms (root mean square deviation) :
srms =
1
 (xi ) 2
k
c). Deviasi Standar Individual :
k
 (x )
i
sx =
2
i 1
(k  1)
d). Deviasi Standar Rata-Rata :
secara
kuantitatif,
29
k
 (x )
i
sx =
2
i 1
k (k  1)
e). Deviasi Rata-Rata Fraksional atau Relatif :
A = (a/x) . 100%
f). Deviasi Standar Fraksional atau Relatif :
S = (s/x) . 100%
Hasil pengukuran yang dikemukakan adalah :
x = x  x
Sedangkan ralat nisbi atau relatifnya tentu saja sama dengan :
s
x
100% = x 100%
x
x
Jadi hasil akhir pengukuran adalah :
x = x  sx
Contoh :
Menghitung panjang suatu balok dengan tiga kali pengukuran, diperoleh
data sebagai berikut:

Pengukuran 1 : 3,5 cm

Pengukuran 2 : 3,6 cm

Pengukuran 3 : 3,4 cm
n
Pn
1
3,5
Pa
|ðP|
|ðP|2
0
0
0,1
0,01
3,5
2
3,6

SP
SR
Pa ± SP
0,0667
0,1
2,86%
3,5 ± 0,1
30
3
3,4
0,1
0,01
 10,5
0,2
0,02
Contoh Perhitungan:

n : Banyaknya pengambilan data (3 kali)

Pn
: Harga terukur

Pn
: Rata – Rata Harga terukur
Pn 
3,5  3,6  3,4
 3,5
3
 P : deviasi yaitu selisih dari harga terukur dengan
rata – rata harga terukur,
P = 3,6 – 3,5 = 0,1

P
2
: Deviasi kuadrat
P = 0,1 = 0,01
2

 =

SP =

SR =
 P
2
n
 P
n 1
=
0,02
3
2
=
2
= 0,006667
0,02
= 0,1
3 1
0,1
SP
x 100% =
x100% = 2,86%
3,5
Pn
3.3.2. Ralat Tidak Langsung (Perambatan Ralat)
Jika suatu besaran fisis tidak terukur secara langsung tetapi dihitung
dari unsur–unsurnya, misalkan volume kubus dihitung dari sisi–sisi yang
31
diukur, kecepatan dihitung dari jarak yang ditempuh dibagi dengan waktu
tempuh dan lain-lain.
Contoh :
Diketahui dimensi dari suatu balok adalah :
Panjang (P)
= 3,5 cm
Lebar (l)
= 3 cm
Tinggi (t)
= 2 cm
Sehingga volume dari balok tersebut adalah :
V  Pl t
 3.5  3  2
 21 cm 3
V
 l.t
P

= 2 x 3 = 6 cm2
V
 P.t
l

= 3,5 x 2 = 7 cm2
V
 l.P
t

= 3 x 3,5 = 10,5 cm2
 V
  V
  V

SV  
 SP   
 Sl   
 St 
 P
  l
  t

2

2
6  0.12  7  Sl 2  10.5  St 2
 xxx cm 3
2
32
V  SV  21  xxx cm3
Download