Interpretasi QS. Ali Imrān [3]: 64 tentang Kalimatun Sawa’: Studi Analisis Ma’na-cum-Maghza Qurrata A’yun1, Lukita Fahriana2 {[email protected], [email protected]} Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 08953321263341, Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 085651468904 2 Abstract. This article aims to examine the interpretation of QS. Ali Imran [3]: 64 regarding the sawa sentence as a meeting point in the concept of plurality. This study used a descriptive qualitative approach with the ma'na-cum-maghza hermeneutic theory. The results of this study indicate that the Prophet's invitation. against Christians and Jews to Islam is carried out through conversation and not with the element of coercion or threat. The conversation in it is to get to know each other and find common ground that is a common point between them. Thus, plurality can be accepted as a blessing from Allah SWT. who are absent from the disputes and hostilities within them. Keywords: Kalimatun sawa’, ma’na cum maghza, plurality. Abstrak. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji penafsiran QS. Ali Imran [3]: 64 tentang kalimatun sawa’ sebagai titik temu dalam konsep pluralitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teori hermeneutika ma’na-cum-maghza. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ajakan Nabi saw. terhadap kaum Nasrani dan Yahudi kepada Islam dilaksanakan melalui perbincangan serta tidak dengan unsur paksaan maupun ancaman. Perbincangan di dalamnya adalah untuk saling mengenal satu sama lain dan menemukan titik persamaan yang bersifat sebagai titik temu di antara mereka. Dengan demikian, pluralitas dapat diamini sebagai rahmat Allah swt. yang absen dari perselihan dan permusuhan di dalamnya. Kata kunci: Kalimatun sawa’, ma’na cum maghza, pluralitas. 1 Pendahuluan Pluralitas merupakan kenyataan yang tak dapat dipungkiri. 1 Hakikat pluralitas adalah potensi yang dapat menjadi rahmat tetapi dapat juga menjadi laknat bagi alam semesta, tergantung pada cara manusia mengelolanya. Pluralitas yang dikelola dengan baik dapat menjadi rahmat karena pluralitas menumbuhkan keingintahuan, mobilitas, apresiasi, salingpengertian, ko-eksistensi dan kolaborasi. Namun demikian, pluralitas yang tidak dikelola dengan baik dapat menjadi laknat karena dapat memunculkan berbagai prasangka. Prasangka yang tidak didasari oleh apresiasi merupakan kecurigaan. Pluralitas yang dipenuhi dengan kecurigaan hanya membuahkan iri hati dan kecemburuan. Iri hati dan kecemburuan berlebihan 1 al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pada hakikatnya Allah menghendaki keberagaman dari pada keseragaman (Q.S. Al-Mȃ`idah [5]: 48.), semua itu tercipta agar manusia saling mengenal (Q.S. AlHujurȃt [59]: 13) dan berlomba-lomba dalam kebaikan (Q.S. Al-Baqarah [2]: 148) dapat berkembang menjadi rasa permusuhan dan menghasilkan konflik, perpecahan, dan kerusakan. Pengelolaan pluralitas dengan baik dapat direalisasikan dengan berbagai cara. Salah satunya dalam bentuk wacana untuk saling berdiskusi, berkumpul dan berbagi pandangan, pemikiran dan aspirasi sehingga dapat mengeliminasi bentuk-bentuk prasangka yang ada. Sejarah menyatakan peristiwa diskusi ini telah terjadi antar umat beragama, seperti World Conference on Religion and Peace2 dan A Common Word Between Us and You “Kalimat Sawa’ bainana wa bainakum (QS. Ali ‘Imran 3: 64)”.3 Dialog antar agama melalui surat terbuka berjudul “A Common Word Between Us and You “Kalimat Sawa’ bainana wa bainakum (QS. Ali ‘Imran 3: 64)” ini kemudian mendapat banyak perhatian dari para intelektual di berbagai lembaga keagamaan maupun institusi universitas dunia. Kajian mengenai dialog tersebut diantaranya telah dilakukan oleh Miroslav Volf, Ghazi bin Muhammad dan Melissa Yarrington,[3] Waleed El-Ansary dan David K. Linnan,[4] Joseph Victor Edwin,[5] Joseph Lumbard,[6] Saifurrahman,[7] dan Sulanam.[8] Selain itu, pemahaman mengenai konsep kalimatun sawa (a common word) juga dibahas lebih lanjut melalui pandangan para tokoh cendikiawan Muslim, diantaranya dalam kajian yang dilakukan oleh Mujianto Solichin,[9] Ummi Ati Uwaida,[10] Bahrur Rosi,[11] Abdul Khalid Aris,[12] Qurrata A’yun dan Hasani Ahmad Said. [13] Kajian-kajian di atas belum banyak mengkaji penafsiran ayat pokok dari kalimatun sawa’ yakni QS. Ali ‘Imran 3: 64, terlebih dengan menggunakan pendekatan hermeneutika al-Qur’an. Untuk dapat mengetahui lebih jauh mengenai hal tersebut, tulisan ini hadir dan mencoba mengungkap interpretasinya dengan salah satu pendekatan hermeneutika al-Qur’an ma’na cum maghza yang digagas oleh Sahiron Syamsuddin dengan tiga langkah aplikasi; mengkaji analisis bahasa, konteks sosiohistoris, dan signifikansinya.4 2 Konferensi ini digelar pertama kali di Tokyo tahun 1970 dan dihadiri oleh berbagai tokoh-tokoh agama. Konferensi tersebut terus berlanjut pada tahun 1974 dan 1979, di dalamnya dirumuskan bahwa perdamaian merupakan persekutuan dunia (world community) yang dibangun atas dasar cinta kasih, kebebasan, keadilan dan kebenaran. Lebih lanjut lihat Kata Pengantar oleh Muhadjir Darwin dalam [1] 3 “A Common Word” adalah sebuah dialog antar agama dalam bentuk seminar internasional. “A Common Word” muncul atas reaksi pernyataan Paus Benediktus XVI dalam “Orasi Agung” pada tanggal 12 September 2006. Orasi tersebut menimbulkan kemarahan umat Muslim karena pernyataannya dinilai menghina Nabi Muhammad saw. dan Islam. Pada 13 Oktober 2006, 38 pemuka agama dan intelektual Muslim mengirimkan surat terbuka kepada Paus Benediktus untuk mengklarifikasi soal pernyataannya tersebut. Hingga akhirnya setahun berikutnya pada tanggal 13 Oktober 2007, surat tersebut ditindaklanjuti dengan diterbitkannya surat terbuka (open letter) yang ditandatangani oleh 138 pemuka agama dan intelektual Muslim dari berbagai penjuru dunia dan ditujukan kepada 28 pemuka agama Kristen di seluruh dunia. Surat tersebut menjadi ajakan kepada seluruh umat Kristiani untuk hidup damai dan harmonis dalam perbedaan antara “Muslim dan Kristiani” dalam rangka membina dan mewujudkan perdamaian dunia secara bersama-sama. Lebih lanjut lihat Introduction dalam [2] 4 Sahiron Syamsuddin, lahir 5 Juni 1968, merupakan Ahli ilmu al-Qur‟an dan Tafsir kontemporer dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, saat ini menjadi sebagai ketua sosiasi Ilmu Alquran dan Tafsir se-Indonesia (AIAT), Wakil Rektor II UIN Sunan Kalijaga, tahun 2015 pernah menjadi Steering Committee di Netherlands-Indonesian Consortium. Di antara karya-karyanya adalah Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur‟an (cet.1: 2009, cet. 2: 2017), An examination of Bint al-Shati''s method of interpreting the Qur'an. (2000), Upaya integrasi hermeneutika dalam kajian alQur'an dan hadis: teori dan aplikasi (2011), Metode Intratekstualitas Muhammad Syahrur dalam Penafsiran Al-Qur‟an (2002), Muḥkam and Mutashābih: An Analytical Study of al-Ṭabarī's and alZamakhsharī's Interpretations of Q.3:7 (1999), Integrasi Hermeneutika Hans Georg Gadamer ke dalam 2 Hermeneutika Ma’na cum Maghza: Metodologi dan Langkah Aplikasi Hermeneutika ma’na-cum-magza adalah teori penafsiran al-Qur’an yang digagas oleh Sahiron Syamsuddin. Tentunya, gagasan ini tidak terlepas dari asumsi-asumsi dasar yang bermuara dari sikap ingin “menengahi” pro-kontra penggunaan hermeneutika sebagai metode menafsirkan al-Qur’an. Sahiron berangkat dari asumsi bahwa Sebagian ide-ide hermeneutika dapat diterapkan ke dalam Ulūmul Qur’an, bahkan dapat menguatkan metode penafsiran alQur’an. Secara substansial, hermeneutika dan ilmu tafsir tidaklah berbeda: sama-sama mengajarkan cara untuk memahami dan menafsirkan sebuah teks secara benar dan cermat. Yang membedakan antara keduanya adalah sejarah kemunculan, ruang lingkup, dan obyek pembahasannya. Selain itu, ia berpendapat bahwa perlunya menyintesiskan dan mengintegrasikan kajian Islam dengan disiplin-disiplin ilmu “sekular” atau Barat, sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh tokoh-tokoh Islam sejak abad ke-3 H.[15, hlm. 7–8] Sahiron mengklasifikasi aliran atau tipologi penafsiran di kalangan Islam saat ini, kepada tiga aliran, yaitu: (1) Quasi-obyektivis tradisionalis; menurut aliran ini ajaran-ajaran Al-Qur’an harus dipahami, ditafsirkan, dan diaplikasikan sesuai dengan pemahaman, penafsiran, dan pengaplikasian pada konteks di mana Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan diajarkan kepada para sahabat.[15, hlm. 54] (2) Quasi-subyektivis; aliran ini berpandangan bahwa penafsiran sepenuhnya adalah subyektivitas penafsir, karena kebenaran interpretatif bersifat relatif. Salah satu tokoh aliran ini, Hassan Hanafi menegaskan bahwa setiap penafsiran Al-Qur’an itu pasti sangat terpengaruh oleh kepentingan dan ketertarikan penafsirnya, oleh karena itu penafsiran terhadap Al-Qur’an itu pluralistik,[15, hlm. 56] tidak hanya satu. (3) Quasi-obyektivis progesif; aliran ini sama seperti aliran pertama dalam hal menggali makna asal, namun perbedaannya adalah aliran ini menjadikan makna asal tersebut hanya sebagai pijakan awal untuk menemukan pesan yang terkandung di balik literal teks. Di antara tokoh aliran ini yaitu Fazlul Rahman dengan konsep double movement, Muhammad al-Thalibi dengan al-tafsir al-maqaṣidī dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsep al-tafsir al-siyaqī.[15, hlm. 57–58] Dari ketiga aliran penafsiran di atas, aliran quasi-obyektivis tradisionalis dinilai memaksakan prinsip-prinsip universal Al-Qur’an dalam konteks apapun ke dalam teks AlQur’an, sehingga pemahaman yang lahir cenderung tekstualis atau literalis. [16, hlm. 55] Penafsiran seperti itu terkesan agak kaku dan kurang bisa menjawab masalah-masalah kekinian, bahkan berpotensi melahirkan paham-paham radikalisme dan sebagainya. Sedangkan aliran kedua, yaitu aliran quasi-subyektivis cenderung semaunya dalam menafsirkan Al-Qur’an dan sangat kental dengan ideologi-ideologi penafsirnya. Aliran quasiobyektivis progresif lebih dapat diterima sebagai upaya pengembangan metode pembacaan Al-Qur’an pada masa kini. Dalam menafsirkan Al-Qur’an, aliran ini tidak hanya terpaku dengan makna asal teks itu diturunkan, tetapi berupaya menangkap pesan utama yang terkandung di balik makna asal teks. Dengan kata lain, pandangan ini bisa disebut sebagai “keseimbangan hermeneutika” (balanced hermeneutics),[15, hlm. 140] yaitu memberi perhatian yang seimbang terhadap makna asal (al-ma’na al-aṣli) dan pesan utama (signifikan; almagza). Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan Alquran pada Masa Kontemporer (2006), Hermeneutika al-Qur‟an dan Hadis (2010), Studi Al-Qur‟an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir (2002), dan lainnya. [14] Pada hakikatnya, teori ma’na-cum-magza bukanlah sebuah teori baru dalam diskursus hermeneutika (metode penafsiran). Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa teori ma’nacum-magza diaplikasikan dengan cara memberi perhatian yang sama terhadap makna asal literal (al-ma’na al-aṣli) dan pesan utama (signifikansi; al-magza) di balik makna literal. Teori ma’na-cum-magza ini adalah upaya pengembangan metode penafsiran yang diinisiasi dari salah satu teori hermeneutika Gadamer yaitu teori application (anwendung). Sebagaimana yang dikutip Sahiron, Gadamer menyatakan bahwa setelah seorang penafsir menemukan makna yang dimaksud dari sebuah teks pada saat teks tersebut muncul, dia kemudian melakukan pengembangan penafsiran atau reaktualisasi/reinterpretasi dengan tetap memperhatikan kesinambungan “makna baru” ini dengan makna asal teks. Dengan teori ini diharapkan bahwa pesan teks tersebut bisa diaplikasikan pada saat penafsiran.[15, hlm. 87] Ketika teks telah ditemukan makna literalnya, lalu dikolerasikan makna tersebut dengan kemungkinan adanya makna kedua dan makna ketiga dengan tetap memperhatikan komponen-komponen yang terkandung di dalam makna literal tersebut. [17, hlm. 102] Konsep seperti ini diistilahkan oleh Gadamer dengan istilah sinn (arti) dan sinnesgemaβ (makna yang berarti/mendalam).[15, hlm. 88] Konsep yang sama dikemukakan oleh Hirch dengan menggunakan istilah meaning (arti/makna) dan significance (signifikansi). Ia membedakan antara makna dan signifikansi. Menurutnya, pembedaan itu seharusnya tidak dibatasi pada patokan dasar seputar maksud asli pengarang. Tetapi, pembedaan itu semestinya memperhitungkan juga semua hal yang terkait dengan makna anakronistik dan ia menyadari bahwa penyingkapan makna perlu memperhitungkan konteks secara luas, dan tidak terbatas pada konteks pengarang saja.[18, hlm. 133–134] Selain itu, dari kalangan sarjana muslim, ada beberapa tokoh yang mempunyai kesamaan konsep dengan teori ma’na-cum-magza ini, di antaranya al-Ghazali dengan konsep al-ma’na al- ẓāhir (makna lahiriah) dan al-ma’na al-batīn (makna batin). Fazlul Rahman dengan teorinya, double movement (gerakan ganda). Dan Nashr Hamid Abu Zayd dengan konsep ma’na dan magza-nya. [15, hlm. 88] Semua teori interpretasi di atas mengidealkan bahwa dalam menafsirkan (teks) perlu dilakukan dengan memperhatikan konteks tekstual melalui analisa bahasa sebagai pijakan awalnya, dan konteks sejarah teks itu muncul melalui analisa historis, kemudian digali pesan utamanya (signifikansi) untuk dikontekstualisasikan sesuai semangat zaman, tempat, dan waktu teks itu ditafsirkan. Akan tetapi, menurut Sahiron semua teori hermeneutika di atas tidak membicarakan secara gamblang mengenai “signifikansi” (magza). Oleh karena itu, dalam teori ma’na-cummagza yang digagasnya ini, ia menambahkan penjelasan tentang “signifikansi”. Menurutnya, ada dua macam signifikansi: pertama, signifikansi fenomenal, yaitu pesan utama yang dipahami dan diaplikasikan secara kontekstual dan dinamis mulai pada masa nabi hingga saat ayat ditafsirkan dalam periode tertentu. Lalu signifikansi fenomenal ini terbagi dua macam pula yaitu: (a) signifikansi fenomenal historis, yaitu makna sebuah ayat atau kumpulan ayat yang dipahami dan diaplikasikan pada masa pewahyuan; (b) signifikansi fenomenal dinamis, yaitu pesan Al-Qur’an yang dipahami dan didefinisikan pada saat ayat atau kumpulan ayat tertentu ditafsirkan, dan setelah itu diaplikasikan dalam kehidupan. Kedua, signifikansi ideal, yaitu akumulasi ideal dari pemahaman-pemahaman terhadap signifikansi ayat. Akumulasi pemahaman ini akan diketahui pada akhir/tujuan peradaban manusia yang dikehendaki oleh Allah Swt.[15, hlm. 140–141] Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa tujuan utama seorang penafsir/pembaca ketika memahami sebuah teks baik ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi adalah menggali pesan utama (signifikansi) yang terkandung di balik makna literal. Namun, sebelum sampai kepada tahap penggalian signifikansi, ada beberapa langkah metodis yang perlu ditempuh. Langkah awal yaitu analisa bahasa; seorang penafsir harus memerhatikan bahwa bahasa yang digunakan dalam teks ―al-Qur’an misalnya― adalah bahasa Arab abad ke-7 M. Hal ini sangat penting dilakukan mengingat bahasa itu dinamis. Oleh karena itu, penafsir harus mampu menguasai dasar-dasar ilmu linguistik seperti sinkronik-diakronik, sintagmatikparadigmatik, dan sebagainya. Di samping itu, untuk mempertajam analisa ini penafsir bisa melakukan intratekstualitas, yaitu membandingkan penggunaan suatu kata yang sedang ditafsirkan dengan penggunaannya di hadis yang lain. Apabila dibutuhkan dan memungkinkan, penafsir juga melakukan analisa intertekstualitas, yaitu analisa dengan cara menghubungkan dan membandingkan antara hadis dengan teks-teks lain yang ada di sekitar Al-Qur’an, seperti hadis-hadis, syair-syair Arab, dan sebagainya.[15, hlm. 141–142] Untuk membantu dalam menganalisa bahasa, serta kaitannya dengan konteks munculnya teks hadis, penafsir sebaiknya menghimpun semua hadis yang satu tema bahasan terlebih dahulu, di samping juga menampilkan penafsiran atau syarh hadis oleh ulama-ulama terdahulu. Setelah menemukan makna asal (al-ma’na al-aṣli) teks ayat, penafsir selanjutnya menggali pesan utama (magzā; signifikansi) ayat tersebut. Dimulai dari signifikansi fenomenal historis, yaitu dengan cara memahami konteks makro dan mikro sosial keagamaan masyarakat yang hidup pada masa lahirnya sebuah ayat. Konteks makro adalah konteks yang mencakup situasi dan kondisi di Arab pada masa Nabi itu sendiri. Konteks mikro adalah kejadian-kejadian kecil (spesifik) yang melatarbelakangi munculnya ayat yang biasa disebut dengan asbābun nuzul. Dan, signifikansi fenomenal dinamis, yaitu dengan cara memahami perkembangan pemikiran dan “spirit-masa” pada saat penafsiran al-Qur’an. Selanjutnya, signifikansi ideal, yaitu dengan memperhatikan secara cermat konteks historis dan ekspresi kebahasaannya untuk kemudian dapat digali magzā (pesan utama) ayat yang sedang dipahami/ditafsirkan,[15, hlm. 141–143] sehingga penafsir dapat mengkontekstualisasikan magzā ayat sesuai konteks kekinian. 3 Analisis Interpretasi Ma’na cum Maghza dalam QS. Ali Imran [3]: 64 Padanan kata kalimatun sawȃ` dalam al-Qur’an terdapat pada satu ayat, yakni pada QS. Ȃli ‘Imrȃn [3]: 64; ضنَا َ ّللاَ َوالَ نُ ْش ِركَ ِب ِه س َواءٍ بَ ْي َننَا َو َب ْينَ ُك ْم أَالَّ نَ ْعبُدَ ِإالَّ ه ُ ش ْيئًا َوالَ يَتَّخِ ذَ بَ ْع ِ قُ ْل يَا أَ ْه َل ْال ِكت َا َ ب ت َ َعالَ ْواْ ِإلَى َك ِل َم ٍة . َّللاِ فَإِن ت ََولَّ ْواْ فَقُولُواْ ا ْش َهدُواْ بِأ َ َّنا ُم ْس ِل ُمون ُون ه ِ بَ ْعضا ً أ َ ْربَابًا ِهمن د Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". 3.1 Analisis Bahasa Kalimat kalimatun sawȃ` merupakan gabungan dari dua kata, yakni kata kalimah dan sawȃ`. Kata kalimah merupakan bentuk tunggal dari kata kalim, berasal dari kata kalama yang berarti al-lafẓah, mȃ yanṭiqu bihi al-insȃn mufradan kȃna au murakkaban (perkataan, apa yang dibicarakan oleh manusia baik satu kata (tunggal) dan tersusun). [19, hlm. 695] Ibn Fȃris menyebutkan bahwa kalama mengandung dua makna asal, yang pertama menunjuk kepada pembicaraan yang dapat dipahami (naṯqin mufhimin) dan kedua kepada luka (jarȃẖin). Bentuk kata kalimah masuk ke dalam pengertian pertama yang berarti al-lafẕah al-wȃẖidah almufhimah (sebuah perkataan yang dapat dipahami).[20, hlm. 131] Begitu juga dengan al-Fairȗz Ȃbadȋ dalam Qȃmus al-Muẖȋṯ menjelaskan kata al-kalimah bermakna al-lafẕah dan alqasȋdah (perkataan dan maksud).[21, hlm. 1155] Kalimah ( ) َك ِل َمةsecara bahasa berarti suatu lafaẕ (kata) yang menunjukkan makna tunggal, baik terdiri atas satu huruf atau lebih banyak. Juga berarti ‘frasa atau ungkapan yang sempurna maknanya’. Umpamanya Lȃ ilȃha illȃ Allȃh: kalimatut tauẖȋd. kalimat Allah adalah hukum atau iradat-Nya.[22, hlm. 424] Kata kalimah juga telah menjadi kata serapan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang berarti perkataan atau ucapan. [23] Kata kalimah (tunggal) di dalam al-Qur’an disebut sebanyak 28 kali, sedangkan dalam bentuk jamak, baik disandarkan maupun tidak, disebut 14 kali. Selain kata kalimah, turunan lain dari kata kalama dalam al-Qur’an yakni kata kalim (disebut empat kali), taklȋman (disebut satu kali), kalȃm (baik disandarkan maupun tidak, disebut empat kali, dalam bentuk fi’l mȃḏȋ disebut enam kali, dalam bentuk fi’l muḏȃri’ disebut 18 kali).[24, hlm. 722–723] Kata al-kalimah dalam al-Qur’an memiliki banyak bentuk dan makna. Seperti yang dijelaskan oleh al-Ashfahani dalam kitabnya, setidaknya lebih dari tiga makna. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 124, yang dimaksud dengan kata kalimȃtin dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang Allah ujikan kepada Ibrȃhim berupa perintah untuk menyembelih anaknya dan mengkhitannya serta ujian selain keduanya. Dan kata kalimah kepada Nabi Zakariya yang termaktub pada QS. Ȃli ‘Imrȃn [3]: 39, bermaksud kalimat tauhid. Ada juga yang berkata bahwa maksudnya adalah kitab Allah. Namun ada juga yang berkata bahwa maksud dari kata kalimah dalam ayat tersebut adalah ‘Isa. Adapun mengapa ‘Isa disebut dengan kalimah dalam ayat di atas, dan dalam firman-Nya QS. An-Nisȃ` [4]: 171.[25, hlm. 365] Kata kalimah dalam QS. Al-An’ȃm [6]: 115, memiliki maksud al-qaḏiyyah yaitu keputusan. Setiap keputusan disebut dengan kalimah baik keputusan tersebut berupa ucapan maupun sebuah tindakan. Ada juga yang berkata bahwa yang dimaksud dengan kalimatu rabbuka adalah hukum-hukum-Nya yang telah ditetapkan dan dijelaskan kepada para hamba-Nya yang telah disampaikan, seperti dalam QS. Al-A’rȃf [7]: 137, QS. Thȃhȃ [20]: 129, QS. Asy-Syȗrȃ [42]: 14 dan QS. Yȗnus [10]: 82.[25, hlm. 368] Kata sawȃ` berasal dari kata sawwȃ (س َّوى َ ), sawwȃ - yusawwȋ - taswiyah, akar katanya terdiri atas tiga huruf, yaitu sin – wawu – yȃ.[22, hlm. 887] Menurut Ibnu Faris akar kata tersebut menunjuk pada makna istiqȃmah (kokoh/teguh) dan makna i‘tidȃl baina syai`ain (keseimbangan atau kesamaan antara dua sesuatu). Dari makna pertama lahir makna ‘menyempurnakan’ karena sesuatu yang sudah sempurna berarti ia telah kokoh dan teguh demikian pula ‘bagian tengah’ sebuah rumah atau yang lainnya disebut sawȃ` karena yang pertengahan itu adalah bagian yang paling kokoh di antara bagian-bagian yang lain. Kemudian, dari makna kedua kata sawȃ` juga dipakai di dalam arti ‘sama’, demikian juga istilah lȃ siyyamȃ (lebih-lebih) yang secara harfiah menunjukkan arti ‘tidak sama’ karena hal yang dimaksud itu memiliki keistimewaan dan tidak sama dengan yang lainnya.[26, hlm. 112] Al-Fairȗz Ȃbadȋ dalam Qȃmus al-Muẖȋṯ menjelaskan kata sawȃ` bermakna al-‘adl wa al-wasṯ (adil dan tengah-tengah).[21, hlm. 1297] Al-Ashfahani dalam kitabnya membahas kata sawȃ` dalam bagian dari kata sawȃ. Kata al-musȃwȃh artinya adalah persamaan dalam ukuran dan timbangan. Dikatakan dalam kalimat arab ب ِ سا ٍو ِلذَالِكَ الث َّ ْو َ َهذَا ث َ ْوبٌ ُمartinya adalah kain ini sama dengan kain itu. Begitu juga dalam kalimat سا ٍو ِلذَالِكَ الده ِْره َِم َ َهذَا الده ِْر َه ُم ُمartinya dirham ini senilai dengan dirham itu. Terkadang kata ُ س َاوة َ ْال ُمjuga digunakan untuk menyamakan kaifiyah (cara kerja) nya, contoh seperti kalimat سا ٍو ِلذَالِكَ الس ََّوا ِد َ َهذَا الس ََّوادُ ُمartinya baju duka (yang berwarna hitam) ini sama proses pembuatannya dengan baju duka yang itu. Meskipun hakikat persamaan itu kembali pada letak pembuatannya, bukan pada jenis bajunya, namun kalimat tersebut digunakan untuk menggambarkan adanya kesamaan.[27, hlm. 328] Derivasi kata sawȃ dalam al-Qur’an menurut al-Ashfahani memiliki makna yang berbeda. Salah satu diantaranya, kata ا ْست ََوىyang berarti sama, dapat digunakan dalam dua jenis; salah satunya apabila ada dua fȃ’il (subjek) atau lebih, contohnya seperti kalimat ا ْست ََوى ع ْم ٌرو فِي َكذَا َ زَ ْيدٌ َوartinya Zaid dan ‘Amru sama dalam hal ini maksudnya keduanya sama. Seperti dalam firman Allah QS. At-Taubah [9]: 19. Sedangkan jenis penggunaan kata ا ْست ََوى adalah untuk menyemakan suatu jenis, contohnya seperti firman Allah pada QS. An-Najm [53]: 6 dan QS. Al-Mu`minun [23]: 28. Dan ketika kata ا ْست ََوىdisandingkan dengan huruf علَى َ maka ia bermakna penguasaan, contohnya seperti firman Allah QS. Thȃhȃ [20]: 5. Ada yang mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah semua sama di hadapan-Nya antara yang ada di langit dan di bumi, maksudnya semua tegak dengan kehendak Allah yang menyamakan semuanya, hal ini seperti firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 29. Ada juga yang mengatakan bahwa ayat tersebut bermakna segala sesuatu sama di hadapan-Nya, maka tidak ada sesuatu yang lebih dekat dengan-Nya dibanding yang lainnya, karena Allah swt. tidak seperti jasad (fisik) yang berada di suatu tempat tanpa tempat yang lain. Apabila kata ا ْست ََوىdisandingkan dengan huruf ِإلَى, maka ia bermakna pencapaian akhir, baik dalam artian fisik, ataupun dalam artian penguasaan atau pengurusan, dan mengenai hal ini terdapat dalam firman Allah dalam QS. Fushshilat [41]: 11.[27, hlm. 329–330] Kata س ِوي َّ الdigunakan bagi orang yang terbebas dari sikap ifrȃṯ (berlebih-lebihan dalam sesuatu) dan tafrȋṯ (mengurangi hak sesuatu) baik dalam bentuk ukurannya ataupun tata caranya. Seperti dalam firman-Nya QS. Maryam[19]: 10 dan QS. Thȃhȃ [20]: 135. Kalimat س ِوي ُ – س ِوي َ ٌ َمكَانartinya tempat pertengahan, ia dapat menggunakan kata س َوي َ – س َوا ٌء َ artinya adalah sama, yaitu sama sisi-sisinya. Dan kalimat tersebut dapat digunakan dalam bentuk sifat dan waktu, asal kata tersebut adalah mashdar. Seperti dalam QS. Ash-Shȃffȃt [37]: 55, QS. Al-Baqarah [2]: 108, dan QS. Al-Anfȃl [8]: 58. Sedangkan dalam QS. Ȃli ‘Imrȃn [3]: 64 arti kata س َوا ٌء َ adalah adil atau benar dalam berhukum. Dan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 6, QS. AlMunȃfiqȗn [63]: 6, QS. Ibrahim [14]: 21, dan QS. Al-Hajj [22]: 25 artinya adalah sama. Kata س َِوىdan kata س َوا ٌء َ yaitu selain. Kalimat ِع ْندِي َر ُج ٌل َ terkadang digunakan untuk mengartikan غي َْر َ س َِواكartinya aku punya orang selainmu, maksudnya ada orang lain yang mengisi tempatmu selain dirimu atau yang menggantikanmu.[27, hlm. 334–335] Penggabungan kata kalimah dan sawȃ` menjadi kalimatun sawȃ` dalam kaidah kebahasaan menjadi suatu hal yang istimewa, karena kata sawȃ` tidak mengikuti bentuk kata kalimah (muannats). Hal ini dijelaskan oleh al-Ṯabarȋ yang mengutip para ahli bahasa, bahwa kata sawȃ` dalam ayat ini merupakan isim dan bukan sifat dari kata kalimah, sehingga bentuknya mengikuti kata kalimah tersebut.[28, hlm. 445] Pemaknaan kalimatun sawa’ secara kebahasaan juga telah dibahas oleh al-Ṯabarȋ,[28, hlm. 441] al-Qurṯubȋ,[29, hlm. 288] dan al-Marȃghȋ[30, hlm. 308–309] dalam tafsirnya sepakat memaknai kalimatun sawȃ` sebagai kalimat atau perkataan yang sama dan adil yang di antara kami dan kalian tidak ada perbedaan. Perkataan ini telah disepakati oleh para Rasul dan dalam Kitab-Kitab yang diturunkan Allah kepada mereka. Yang dimaksud kesepakatan atau perkataan yang adil adalah hanya beribadah atau tidak tunduk kecuali kepada Allah swt dan tidak menyekutukannya dengan suatu apapun. Dengan demikian antara Islam dan Ahl al-kitȃb sama-sama meyakini bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan yang satu yaitu Allah yang telah mengutus para Nabi dan Rasul. 3.2 Konteks Sosio-Historis QS. Ali ‘Imran [3]:64 Ayat ini termasuk dalam kategori ayat-ayat madaniyah yakni ayat yang turun setelah migrasi Nabi Muhammad dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah. Begitu Nabi mencapai Madinah pada 622 M, ia menemukan bahwa orang-orang Madinah merupakan masyarakat plural baik dari segi agama dan etnisnya. Selain Muslim dari golongan Anshar dan Muhajirin, di sana juga hidup orang Yahudi, Kristen, dan penyembah berhala, bahkan jauh sebelum migrasi Nabi. Berkenaan dengan suku-suku Arab di kota, setidaknya, ada dua suku utama, yaitu Aus dan Khazraj, yang saling berselisih satu sama lain. Mempertimbangkan perlunya persatuan di antara komunitas agama dan suku di sana, Nabi Muhammad kemudian menginisiasi "Piagam Madinah" (Mithaq al-Madina). Dengan piagam ini, semua komponen kota dapat hidup bersama secara harmonis dan saling membantu membangun peradaban.[31, hlm. 133] Secara lengkap isi perjanjian Madinah itu dimuat dalam buku Sirah Muhammad karya Ibnu Ishaq, yang banyak dinukil oleh tokoh-tokoh sejarah.[32, hlm. 231–233], [33, hlm. 84] Di antara isi Piagam Madinah adalah bahwa negara mengakui dan melindungi kebebasan menjalankan ibadah agama masing-masing, semua orang memiliki kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat.[33, hlm. 93–94] Sehingga pada saat itu, penduduk Madinah dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis. Permulaan Surat Ali ’Imran dari ayat pertama hingga ayat delapan puluh tiga turun pada utusan dari penduduk Najran yang datang pada 9 H. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Dalail an-Nubuwah, Ibnu Ishaq berkata, bercerita kepadaku Muhammad bin Sahal bin Abi Umamah dengan berkata, ”Ketika penduduk Najran datang kepada Rasulullah saw. Menanyakan tentang Isa bin Maryam, turun pada mereka ayat awal surat Ali ’Imran hingga ayat delapan puluhan”.[34, hlm. 91] Ayat 64 ini dilatarbelakangi oleh peristiwa mubahalah5 yang terjadi pada ayat 59-63.6 Ajakan kepada kalimatun sawa’ (titik temu) menjadi jawaban final dari kisah mubahalah tersebut. Diceritaakan oleh Ibnu Ishaq dalam sirahnya, peristiwa mubahalah diawali oleh kedatangan utusan Nasrani Najran kepada Rasulullah saw. Utusan tersebut terdiri dari 60 orang penunggang. Di antara mereka terdapat 14 orang pemukanya. Ke-60 orang itu menyerahkan persoalan kepada tiga orang. Ketiga orang itu ialah Aqib, Sayyid, dan Abu Haritsah bin Alqamah. Ketiganya merupakan pemimpin, orang pintar dalam berunding. Mereka pergi ke Madinah untuk menemui Rasulullah saw. Dan memasuki masjid ketika beliau tengah shalat ashar. Ketika waktu shalat mereka tiba, mereka pun mendirikan shalatnya di dalam masjid. Rasulullah pun bersabda untuk membiarkan mereka beribadah. Ketiga utusan itu pun berbincang dengan Rasulullah, mereka mengatakan tentang Isa sebagai Allah, putra Allah, dan tuhan ketiga beserta keterangan mereka akan tiga hal tersebut. Hingga akhirnya Rasulullah bersabda kepada kedua pendeta, ”Masuk Islamlah kamu!” keduanya menjawab, ”Kami telah masuk Islam.” Nabi bersabda, ”Sesungguhnya kamu belum masuk Islam. Maka Islamlah!” Keduanya menjawab, ”Bahkan kami telah masuk Islam sebelum kamu.” Nabi bersabda, ”Kalian berdua berdusta. Kalian menolak Islam. Kalian juga berpandangan bahwa Allah punya anak. Ibadah kalian kepada salib. Dan kalian juga makan babi.” Kedua pendeta bertanya, ”Kalau begitu, siapa bapaknya, hai Muhammad?” Maka Rasulullah saw. Diam dan 5 Mubahalah ialah masing-masing pihak di antara orang-orang yang berbeda pendapat berdoa kepada Allah dengan sungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan laknat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran ber-mubȃhalah tetapi mereka tidak berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad saw. Lihat catatan kaki tentang mubahalah pada [35] 6 Hal ini diungkap dalam banyak penafsiran, di antaranya dalam [29], [36]–[40] tidak menjawab keduanya. Berkaitan dengan hal itu Allah menurunkan ayat mulai dari permulaan surat Ali Imran hingga mencapai 80-an ayat.[36, hlm. 525–526] Setelah Rasulullah saw. Mendapat informasi dan penjelasan dari Allah sebagai landasan untuk memutuskan perselisihan antara beliau dengan mereka, beliau diperintah untuk mengajak mereka bermubahalah, jika mereka tetap menolak keputusan itu. Nabi mengajak mereka saling mengutuk. Namun mereka meminta kesempatan untuk merenungkan persoalan itu, dan kembali untuk menyampaikan pendapat soal ajakan Nabi ber-mubahalah itu. Hal ini tidak lain karena sesungguhnya mereka mengetahui bahwa Muhammad adalah benar-benar seorang nabi yang diutus, dan tak ada satu pun yang pernah mengutuk seorang nabi. Kalu pun ada yang berani mengutuknya, maka sungguh ia akan musnah sampai ke akar-akarnya. Aqib sang pemimpin pun menyarankan untuk kembali memeluk pendapat yang dianut kaum Nasrani tentang Isa, dan membiarkan Muhammad, serta kembali ke negeri mereka. Seusai berunding, mereka kembali menemui Nabi saw. seraya berkata, ’Hai Abu Qasim, kami telah memutuskan untuk tidak akan melaknatmu, membiarkanmu menganut agamamu, dan kami pun akan kembali menganut agama kami. Namun, utuslah salah seorang sahabatmu yang kamu ridhai guna menyertai kami dan yang akan memutuskan perselisihan di antara kami mengenai berbagai persoalan yang berkaitan dengan kekayaan kami. Kami rela dihukum oleh dia.’ Setelah melaksanakan shalat zhuhur, Nabi pun akhirnya memutuskan untuk mengirim Abu Ubaidah bin al-Jarah untuk pergi bersama Nasrani Najran dan memutuskan perkara yang mereka perselisihkan dengan hak.[41, hlm. 381] Selain dilatarbelakangi perdebatan dengan utusan Najran hingga peristiwa mubahalah, ayat ini juga menjadi isi dari surat yang dikirimkan Rasulullah kepada Raja Heraclius di Romawi. Penjelasan ini telah banyak dikutip oleh para mufassir, 7 salah satu riwayatnya ialah dalam syarah Bukhari pada riwayatnya yang ia ketengahkan melalui jalur Az-Zuhri, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah ibnu Mas'ud, dari Ibnu Abbas, dari Abu Sufyan tentang kisahnya ketika masuk menemui kaisar, lalu kaisar menanyakan kepadanya tentang nasab Rasulullah Saw., sifat-sifatnya, dan sepak terjangnya, serta apa yang diserukan olehnya. Lalu Abu Sufyan menceritakan hal tersebut secara keseluruhan dengan jelas dan apa adanya. Padahal ketika itu Abu Sufyan masih musyrik dan belum masuk Islam, hal ini terjadi sesudah adanya Perjanjian Hudaibiyyah dan sebelum penaklukan kota Mekah, seperti yang dijelaskan oleh hadis yang dimaksud. Juga ketika ditanyakan kepadanya, apakah Nabi Saw. pernah berbuat khianat? Maka Abu Sufyan menjawab, "Tidak. Dan kami berpisah dengannya selama suatu masa, dalam masa itu kami tidak mengetahui apa yang dilakukannya." Kemudian Abu Sufyan mengatakan, "Aku tidak dapat menambahkan suatu berita pun selain dari itu." Tujuan utama dari pengetengahan kisah ini ialah bahwa surat Rasulullah Saw. disampaikan kepada kaisar yang isinya adalah seperti berikut:[36, hlm. 529] ، فَأ َ ْس ِل ْم ت َ ْسلَ ْم،ُ أ َ َّما بَ ْعد.ع َلى َم ْن اتَّبَ َع ْال ُهدَى ُ مِ ْن ُم َح َّم ٍد َر،الرحِ يم َّ الرح َم ِن َّ ِ" ِبس ِْم هللا َ سال ٌم ِ عظِ ِيم الر َ سو ِل هللاِ إلَى ه َِر ْق َل َ ،وم َّ ََوأ َ ْس ِل ْم يُؤْ تِكَ هللاُ أَجْ َرك َم َّرتَي ِْن فَإِن ت ََولَّيْت س َواءٍ بَ ْينَنَا َو َب ْينَ ُك ْم أَال ِ َو {يَا أَ ْه َل ْال ِكت َا،علَيْكَ إِثْ َم األريسيهِين َ فإن َ ب تَعَالَ ْوا إِلَى َك ِل َم ٍة َّ ُون َّ نَ ْعبُدَ إِال َ ّللاَ َوال نُ ْش ِركَ بِ ِه َّللاِ فَإ ِ ْن ت ََولَّ ْوا فَقُولُوا ا ْش َهدُوا بِأَنَّا ُم ْس ِل ُمون ُ ش ْيئًا َوال يَتَّخِ ذَ بَ ْع ِ ضنَا بَ ْعضًا أ َ ْربَابًا مِ ْن د Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, dari Muhammad Rasulullah, ditujukan kepada Heraklius, pembesar kerajaan Romawi, semoga keselamatan terlimpah kepada orang yang mengikuti petunjuk. Amma Ba'du: Maka masuk Islamlah, niscaya engkau akan selamat; dan masuk Islamlah, niscaya Allah akan memberimu pahala 7 Penafsiran yang membahas soal surat dakwah ini dapat ditemukan dalam Tafsir al-Baghawi, Tafsir al-Qurthubi, Tafsir Ibnu Katsir yang ditelusuri dalam [38, hlm. 609], [39, hlm. 279], [42], [43, hlm. 81] dua kali. Tetapi jika engkau berpaling, maka sesungguhnya engkau menanggung dosa kaum arisin (para petani). Dan di dalamnya disebutkan pula firman-Nya: Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kalian, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain dari Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka, "Saksikanlah bahwa kami adalah orangorang yang menyerahkan diri (kepada Allah)." (Ali Imran: 64) Selain diturunkan kepada utusan Nasrani Najran dan Raja-raja Romawi, para mufasir juga menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan kepada kaum Yahudi Madinah. Hal ini dikarenakan khitab yang terdapat dalam ayat ini ialah ahlul kitab. Dalam menerangkan hal ini, al-Qurthubi dan al-Thabari menjelaskan dua perbedaan, pertama, ayat ini diperuntukkan kepada ahli Najran dengan mengutip riwayat Muhammad bin Ja’far bin Zubair, dan Ibnu Zaid, dan al-Suddi, kedua, diperuntukkan kepada Yahudi Madinah dengan mengutip riwayat Qatadah dan Ibnu Juraij. Sedangkan keduanya (al-Qurthubi dan al-Thabari) sepakat mengkategorikan kedua golongan yakni Narani Najran dan Yahudi Madinah ke dalam khitab ahlul kitab dalam ayat ini, karena keduanya sama-sama diberikan kitab yakni Injil dan Taurat.[28, hlm. 442], [29, hlm. 289] Dalam tafsir lain, Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa ahlul kitab dalam ayat ini adalah yang diturunkan kepadanya kitab suci, Taurat, Zabur, Injil dan al-Qur’an.[44, hlm. 290–91] M. Quraish Shihab yang menjelaskan bahwa ahl al-kitȃb pada ayat ini bukan hanya delegasi Kristen Najran seperti yang dituju pada ayat sebelumnya, akan tetapi terdiri dari semua orang Yahudi dan Nasrani. Ia juga mengutip pendapat sementara ulama yang memasukkan kelompok yang diduga memiliki kitab suci dalam pengertiannya, baik yang bertempat tinggal di Madinah atau di daerah-daerah lain.8 Ia pun mengatakan bahwa pesan ayat ini ditujukan kepada mereka semua (dalam artian ahl al-kitȃb tadi) bahkan hingga akhir zaman.[40, hlm. 108] 3.3 Signifikansi Kalimatun Sawa’ dalam QS. Ali Imran [3]: 64 Melalui pembacaan di atas, dapat dipahami signifikansi fenomenalnya ialah dakwah Nabi Muhammad saw. terhadap kaum Nasrani dan Yahudi kepada Islam melalui perbincangan di antara mereka dan tidak ada paksaan di dalamnya. Meski pada akhirnya perdebatan ini tidak membuat kaum Nasrani dan Yahudi berpindah ke Islam, namun pada dasarnya mereka telah menyadari kebenaran risalah kenabian, sehingga mereka pun menolak untuk ber-mubahalah dan kembali ke negerinya dengan memberikan jaminan harta mereka 8 Dalam bukunya yang lain, M. Quraish Shihab menjelaskan perihal pengertian ahl al-kitȃb dan pendapat sementara ulama lain akan hal tersebut. Seperti pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa yang disebut ahl al-kitȃb adalah orang Yahudi dan Nasrani keturunan bangsa Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Imam Abu Hanifah dan ulama Hanafiah menyatakan bahwa yang disebut ahl al-kitȃb adalah siapapun yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah swt., tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi dan Nasrani. Dengan demikian, bila ada orang-orang yang hanya percaya kepada Suẖuf Ibrȃhȋm atau Kitab Zabur, maka ia termasuk dalam jangkaun pengertian ahl al-kitȃb. Di samping itu sebagian ulama salaf menyatakan bahwa setiap umat yang diduga memiliki kitab suci dapat dianggap sebagai ahl al-kitȃb, seperti halnya orang-orang Majusi. Kesimpulan yang diambil oleh Quraish Shihab bahwa yang dimaksud dengan ahl al-kitȃb adalah semua penganut agama Yahudi dan Nasrani, kapan, dimanapun dan dari keturunan siapapun mereka. Lihat [45, hlm. 336–386] kepada umat Muslim. Kalimatun sawa’ di sini adalah kalimat yang sama dan adil di antara Ahlul Kitab, bahwa risalah kenabian yakni keimanan dan peribadatan hanyalah kepada Allah swt., telah tertulis dan diajarkan dalam kitab-kitab mereka sebelumnya. Maka ajakan/dakwah Nabi saw. kepada titik temu ini bukanlah hal yang baru, melainkan telah ada sebelumnya seperti yang dibawa oleh Nabi-Nabi yang diutus pada kaum mereka. Bentuk ajakan Nabi dalam usaha menebarkan ajaran Islam di tengah-tengah perbedaan kaum ini menjadi salah satu cara yang patut dicontoh dalam hubungan umat beragama maupun umat manusia secara umumnya. Usaha untuk mencapai sebuah titik temu (kalimatun sawa’) di tengah keberagaman tentu menjadi sebuah tantangan terlebih dalam kehidupan masyarakat saat ini, dimana terjadi perkembangan pesat di tiap elemennya. Tapi bukan tidak mungkin dalam menggapainya, seperti yang juga telah dicontohkan oleh Nabi saw., kita pun dapat berusaha menggapai titik temu tersebut. Jika sekiranya kita bertemu dalam satu titik, maka hendaknya bekerja sama dalam hal itu. Namun sekiranya tidak bertemu dalam satu titik (keyakinan mengenai Tuhan misalnya), maka mari mencoba menggapai titik lain, yakni saling berlomba pada kebaikan.[46] Pesan utama (signifikansi) dalam ayat ini adalah untuk berusaha saling mencari titik temu (kalimatun sawa’) di antara sesama, hal itu didasari oleh kesadaran pemahaman bahwa Allah telah menentukan penciptaan manusia dengan keragamannya. Pencarian ini didapatkan salah satunya dengan bentuk dialog agar saling mengenal satu sama lain hingga tidak terjadi perselisihan, dapat bekerja sama dalam kebaikan dan membangun peradaban yang lebih baik untuk masa depan. 4 Kesimpulan Kata kalimatun sawa’ dalam al-Qur’an tercantum dalam Surat Ali ‘Imran ayat 64. Kalimatun sawa’ secara bahasa berarti kalimat yang sama. Sedangkan setelah dilakukan analisis interpretasi menggunakan pendekatan ma’na cum maghza, signifikansinya ialah pertama, ajakan Nabi Muhammad saw. terhadap kaum Nasrani dan Yahudi kepada Islam melalui perbincangan di antara mereka dan tidak ada paksaan di dalamnya. Ajakan tersebut diberi istilah kalimatun sawa’ karena ajakan untuk beriman dan beribadah hanya kepada Allah swt. juga telah termaktub dalam kitab-kitab mereka sebelumnya, sehingga tidak ada perbedaan di antara mereka dalam hal itu. Kedua, mengajak manusia untuk berusaha saling mencari titik temu (kalimatun sawa’) di antara sesama, Hal itu didasari oleh kesadaran pemahaman bahwa Allah telah menentukan penciptaan manusia dengan keragamannya. Pencarian ini didapatkan salah satunya dengan bentuk dialog agar saling mengenal satu sama lain hingga tidak terjadi perselisihan, dapat bekerja sama dalam kebaikan dan membangun peradaban yang lebih baik untuk masa depan. 5 [1] [2] [3] [4] Referensi Z. Maliki, Agama Rakyat Agama Penguasa: Konstruksi tentang Realitas Agama dan Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press, 2000. Kalimatun Sawa A Common Word Between Us and You. Jordan: The Royal Aal AlBayt Institute for Islamic Thought, 2009. M. Volf, G. bin M. bin Talal, G. bin M. (Prince of Jordan.), dan M. Yarrington, A Common Word: Muslims and Christians on Loving God and Neighbor. Wm. B. Eerdmans Publishing, 2010. W. El-Ansary dan D. Linnan, Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of “A Common Word.” Springer, 2010. [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [14] [15] [16] [17] [18] [19] [20] [21] [22] [23] [24] J. V. Edwin, “A Common Word Between Us and You: A New Departure in Muslim Attitudes Towards Christianity,” University of Birmingham, 2010. J. E. B. Lumbard, The Uncommonality of a Common Word. Crown Center for Middle East Studies, Brandeis University, 2009. S. Saifurrahman, “Muslim and Christian Understanding: Theory and Aplication of ‘a Common Word,’” TASÂMUH, vol. 13, no. 2, Art. no. 2, Jun 2016, Diakses: Sep 01, 2020. [Daring]. Tersedia pada: https://journal.uinmataram.ac.id/index.php/tasamuh/article/view/165. S. Sulanam, “‘A COMMON WORD’: Sebagai Titik Kesepahaman Muslim – Kristen,” Toler. Media Ilm. Komun. Umat Beragama, vol. 11, no. 1, Art. no. 1, Nov 2019, doi: 10.24014/trs.v11i1.8287. M. Solichin, “Muslim and Christian Understanding: Theory and Application of ‘A Common Word Between Us and You’ (Studi Pemikiran Mohamed Talbi dalam Buku ‘Iyal Allah Afkar Jadidah fi ‘Alaqat al-Muslim bi Nafsihi wa bi al-Akharin),” J. Religi J. Studi Islam, vol. 6, no. 1, 2016. U. A. Uwaida, “Konsep Kalimatun Sawa Menurut Nurcholish Majid,” skripsi, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. B. Rosi, “‘Kalimah Sawa’ Sebagai Konsep Teologi Inklusif Nurcholish Madjid,” Okt 2017, Diakses: Mei 27, 2020. [Daring]. Tersedia pada: http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/36520. A. K. Aris, “Penafsiran Nurcholish Madjid Atas Al-Qur’an (studi Analisis Surat Ali Imrān Ayat 64),” Agu 2020, Diakses: Okt 14, 2020. [Daring]. Tersedia pada: http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/52150. Q. A’yun, “Kalimatun Sawȃ` in the Perspective of Indonesian’s Interpretation,” Afkaruna Indones. Interdiscip. J. Islam. Stud., vol. 15, no. 1, Art. no. 1, Jun 2019, doi: 10.18196/AIIJIS.2019.0095.55-81. www.uin-suka.ac.id, “UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.” https://uinsuka.ac.id/id/page/detil_dosen/196806051994031003-Sahiron (diakses Mei 29, 2020). S. Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Nawasea Press, 2017. A. Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKis, 2010. M. Hanif, “Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Signifikansinya Terhadap Penafsiran Al-Qur’an,” MAGHZA J. Ilmu Al-Quran Dan Tafsir, vol. 2, no. 1, hlm. 93– 108, Mei 2017, doi: 10.24090/maghza.v2i1.1546. H. Prakosa, “Penyingkapan Makna: Sekedar Kembali ke Maksud Pengarang? (Pokokpokok Pemikiran E.D. Hirsch Jr. Tentang Interpretasi,” dalam Upaya Integrasi Hermeneutika Dalam Kajian Alquran dan Hadis (Teori dan Aplikasi), Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2011. L. Ma’lȗf, Al-Munjid fȋ al-Lughah. Bairȗt: Dar al-Masyriq, 2002. A.-ẖusain A. ibn F. Ibn Zakariya, Mu’jam Maqȃyis al-Lughah, vol. 5. Mesir: Maktabah al-Khabakhȋ, 1981. M. bin Y. al-Fairȗz Ȃbadȋ, Al-Qȃmȗs al-Muẖȋṯ. Bairȗt: Al-Resalah, 2003. M. Q. Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007. “Hasil Pencarian - KBBI Daring.” https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kalimah (diakses Jun 22, 2020). M. F. ‘Abd al-Bȃqȋ, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfȃẕ al-Qur’ȃn al-Karȋm. Mesir: Dȃr alHadȋts, 1996. [25] A.-R. Al-Ashfahani, Al-Mufradȃt fȋ Gharȋb al-Qur’ȃn, vol. 3. Depok: Pustaka Khazanah Fawa`id, 2017. [26] A.-ẖusain A. ibn F. Ibn Zakariya, Mu’jam Maqȃyis al-Lughah, vol. 3. Mesir: Maktabah al-Khabakhȋ, 1981. [27] A.-R. Al-Ashfahani, Al-Mufradȃt fȋ Gharȋb al-Qur’ȃn, vol. 2. Depok: Pustaka Khazanah Fawa`id, 2017. [28] Al-Ṯabarȋ, Jȃmi’ al-Bayȃn ‘an Ta`wȋl Ayi al-Qur’ȃn, vol. 5. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. [29] Al-Qurthubi, Al-Jȃmi’ li Ahkȃm al-Qur’ȃn, vol. 4. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. [30] M. al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi. Semarang: CV Toha Putra, 1989. [31] S. Syamsuddin, “Ma’na-Cum-Maghza Approach to the Qur’an: Interpretation of Q. 5:51,” Nov 2017, hlm. 131–136, doi: 10.2991/icqhs-17.2018.21. [32] A. Guillaume, The Life of Muhammad: A Translation of Ibn Ishaq’s Sirat Rasul Allah. Karachi: Oxford University Press, 1970. [33] N. Shiddiqi, Jeram-jeram Peradaban Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. [34] I. As-Suyuthi, Asbabun Nuzul: Sebab-sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Pustaka AlKautsar, 2014. [35] K. Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT. Sygma Examedia Arkanleema, 2010. [36] M. N. Ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: ringkasan tafsir Ibnu Katsir. Gema Insani, 1999. [37] S. Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, vol. II. Jakarta: Robbani Press, 2001. [38] M. H. ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’anul Majid an-Nuur. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2000. [39] H. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz III. Jakarta: Pustaka Panjimas, 2003. [40] M. Q. Shihab, Tafsir Al-Misbȃẖ: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2006. [41] I. Ishaq, Sirah Nabawiyah; Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah saw. Jakarta: Akbar Media, 2012. [42] “Al Quran KSU Electronic Moshaf project.” http://quran.ksu.edu.sa/index.php?l=en#aya=3_64&m=hafs&qaree=husary&trans=en_s h (diakses Jun 22, 2020). [43] I. Taimiyyah, Tafsȋr Syaikh al-Islȃm Ibn Taimiyyah, vol. II. Saudi Arabia: Dar Ibn alJauzi, 1432. [44] W. Zuhaili, Tafsir al-Munir, vol. 2. Jakarta: Gema Insani, 2013. [45] M. Q. Shihab, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1997. [46] Keragaman Kehendak Tuhan: Inilah Perjanjian Nabi dengan Kaum Nasrani (Part 2) | Shihab & Shihab. .