Problem Pendaftaran Tanah Di Indonesia Secara Teknis Maupun Non Teknis dan Upaya Pemerintah untuk Penyelesaian Problem Pendaftaran Tanah Mila Aulia Program Studi Teknik Geodesi Geomatika Fakultas Teknik, Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Ir. Sumantri Brojonegoro, Bandar Lampung, Lampung. E-mail : [email protected] Abstrak Tulisan ilmiah ini penulis buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Survei Kadastral dengan dosen pengampu Bapak Ir.Fauzan Murdapa, M.T. Pendaftaran tanah sebagai wujud pelaksanaan kewajiban pemerintah untuk menjamin kepastian dan perlindungan atas kepemilikan tanah. Pendaftaran merupakan langkah awal untuk dapat diterbitkannya tanda bukti hak atas tanah. Dalam pelaksanaanya, pemerintah telah menyelenggarakan program pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadik. Untuk mempercepat proses pendaftaran tanah melalui Program Nasional Agraria sejak tahun 1981 dan pada tahun 2017 diganti dengan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, yang bertujuan memberikan perlindungan dan kepastian hukum sehingga dapat meningkatkan kesejahtraan dan kemakmuran masyarakat. Namun ada beberapa hal yang menjadi problem dalam pelaksanaan pendaftaran tanah yaitu kurangnya sumber daya manusia yang ahli dalam bidang pertanahan yan mengakibatkan tidak seimbangnya ASN dengan volume pekerjaan, sulitnya menerapkan asas kontradiktur delimitasi, dan bidang tanah yang menjadi sengketa. Upaya pemerintah dalam menangani problem tersebuat adalah melakukan percepatan penyediaan asisten surveyor kadaster, melakukan sosialisasi pentingya asas kontradiktur delimitasi, dan Badan Pertanahan Nasional yang menfasilitasi untuk melakukan mediasi dan solusi melalui badan peradilan, bernegosiasi. Program-program pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran bidang tanah antara lain Proyek Administrasi Pertanahan (PAP), Land Management and Policy Development Project (LMPDP) atau proyek ajudikasi, Larasita, dan Program Nasional Agraria (Prona) belum dapat mencapai target pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, dan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). PENDAHULUAN Pendaftaran tanah di Indonesia merupakan hal penting yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum terhadap tanah yang dimilikinya. Kepastian hukum tersebut telah dijamin oleh Pemerintah sesuai dengan Pasal 19 UndangUndang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Selanjutnya, Pemerintah untuk memberikan sarana dalam memberikan jaminan kepastian hukum tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (untuk selanjutnya disebut dengan PP 24 Tahun 1997). Pasal 3 huruf a PP No 24 Tahun 1997 menyebutkan bahwa Pendaftaran Tanah bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. (Isdiyana, 2019). Pendaftaran tanah selain berfungsi untuk melindungi si pemilik, juga berfungsi untuk mengetahui status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagainya (Dalimunthe 2000, 132). Jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah ini meliputi kepastian status hak yang didaftar, kepastian subjek hak, dan kepastian objek hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya (Santoso 2010, 2). Dalam pelaksanaanya untuk mewujudkan tanah terdaftar di seluruh Indonesia, pada kenyataannya belum menghasilkan pendaftaran tanah yang memuaskan. Hal ini seperti yang dinyatakan dalam peraturan pemerintah pendaftaran tanah yang pertama kali yaitu PP No. 10 Tahun 1961 yang berlaku selama lebih dari 35 tahun, lebih kurang baru 16,3 juta bidang yang sudah didaftar dari sekitar 55 juta bidang tanah hak (lihat penjelasan PP No. 24 Tahun 1997). Demikian juga dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 penyempurnakan dari PP No. 10 Tahun 1961, belum maksimal dalam pelaksanan pendaftaran tanah dari 126 juta bidang tanah di Indonesia hanya 46 juta sudah terdaftar, ini artinya ada 80 juta bidang tanah yang belum terdaftar. Sementara menurut (van der Eng 2016 dalam Wahyuni, 2017) pertumbuhan bidang tanah lebih dari 1 juta bidang per tahun (Dian, 2018). Pemerintah sekarang ini melalui Kementerian ATR/BPN yang mempuyai kewenangan pendaftaran tanah telah berupaya untuk percepatan pendaftaran tanah dengan berbagai program/proyek dengan segala keterbatasannya. Program/proyek yang telah ada sebelumnya seperti, percepatan pendaftaran tanah melalui Proyek Administrasi Pertanahan (PAP), Land Management and Policy Development Project (LMPDP) atau proyek ajudikasi, Larasita, dan Program Nasional Agraria (Prona) belum dapat mencapai target pendaftaran tanah di seluruh Indonesia. Program yang terbaru saat ini adalah Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL) yang diselengarakan Kementerian ATR/ Ka. BPN yang menargetkan 126 juta bidang tanah di Indonesia terdaftar dan tersertifikasi keseluruhan pada tahun 2025 (Dian, 2018). Menurut Kepala BPN Sofyan A Djalil beberapa problem yang menjadi kendala dalam pelaksanaan pendaftaran tanah antara lain : 1. Bidang tanah yang belum memenuhi syarat untuk diterbitkan sertifikat. Ini merupakan hal paling krusial. 2. Bidang tanah yang dicatat dalam buku tanah, tetapi masih dalam keadaan sengketa atau perkara di pengadilan. Maka dari itu harus diselesaikan terlebih dahulu, baru bisa diurus sertifikatnya. 3. Bidang tanah yang subyeknya tidak diketahui, tidak jelas, atau tidak berada di tempat. Ketika petugas akan mengukur dan mengurus tanah tersebut, keberadaan pemiliknya tidak diketahui. 4. Bidang tanah yang akan dipetakan secara kadastral atau perbaikan kualitas gambar. Artinya, batas suatu bidang tanah dengan tanah di sebelahnya belum jelas. Biasanya hal ini terjadi sebagai akibat dari pembangunan rumah atau gedung di tanah sebelahnya yang berbatasan langsung. Oleh karena itu diperlukan kajian untuk mengetahui apa saja problem pendaftaran tanah di Indonesia secara teknis maupun non teknis dan upaya apa saja yang dilakukan pemerintah untuk penyelesaian problem pendaftaran tanah tersebut. RUMUSAN MASALAH 1. Apa yang dimaksud dengan pendaftaran tanah? 2. Apa saja problem-problem pendaftaran tanah secara teknis dan non-teknis di Indonesia? 3. Apa saja upaya pemerintah untuk menyelesaikan problem pendaftaran tanah? 4. Program apa saja yang telah dilakukan pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran bidang tanah? PEMBAHASAN A. Pendaftaran Tanah 1. Pengertian Pendaftaran Tanah Pendaftaran tanah merupakan amanah yang disampaikan dalam Pasal 19 UUPA. Khususnya Pasal 19 ayat (1) UUPA, jelas dikatakan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sehingga, amanah untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia tersebut ada pada pemerintah, dalam hal ini adalah Badan Pertanahan Nasional. Pendaftaran tanah memiliki pengertian sesuai dengan apa yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 1 nya, Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. 2. Unsur-Unsur Pendaftaran Tanah Unsur-unsur yang terdapat dalam pendaftaran tanah berasal dari penegrtian pendaftaran tanah itu sendiri. Unsur-unsur nya antara lain: 1. Kata-kata “suatu rangkaian kegiatan” menunjuk kepada adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu sama lain, berurutan menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat. 2. “Terus-menerus dan Teratur”. Kata “terus-menerus” menunjukkan kepada pelaksanaan kegiatan yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul, dan tersedia harus selalu dipelihara, disesuaikan dengan perubahanperubahan yang terjadi kemudian, hingga tetap sesuai dengan keadaan yang terakhir. Sedangkan kata “teratur” menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan dipergunakan sebagai bukti menurut hukum. Artinya, sekali tanah dilakukan pendaftaran, maka untuk selanjutnya setiap terjadi perbuatan hukum atas tanah tersebut, harus diikuti dengan pendaftaran tanah dengan tujuan agar data yang tersedia sesuai dengan keadaan yang terakhir. 3. “Pengumpulan data tanah”. Kata “Pengumpulan data tanah” ini mengandung makna bahwa data yang dihimpun pada dasarnya meliputi dua bidang, yaitu: 1). Data fisik mengenai tanahnya, meliputi: lokasinya, batas-batasnya, luasnya, bangunan, dan tanaman yang ada di atasnya. 2). Data yuridis mengenai haknya, meliputi: haknya apa, siapa pemegang haknya, ada atau tidak adanya hak pihak lain. 4. “Pemberian surat tanda bukti hak”. Kata “Pemberian surat tanda bukti hak” disini disebut dengan sertipikat hak atas tanah, sertipikat hak tanggungan, dan sertipikat hak milik atas satuan rumah susun. Penerbitan sertipikat dalam rangkaian kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan untuk pertama kali adalah bertujuan agar pemegang hak dapat dengan mudah membuktikan bahwa dirinya sebagai pemegang hak. Sertipikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan sesuai dengan data fisik dan data yuridis yang telah didaftar dalam buku tanah. Dengan adanya sertipikat hak atas tanah tersebut maka pemegang hak dapat membuktikan kepada pihak ketiga bahwa ia adalah pemilik tanah bersangkutan. Di samping itu sertipikat hak atas tanah tersebut juga dapat dijadikan salah satu syarat bagi perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah kepada pihak ketiga. 3. Tujuan Pendaftaran Tanah Tujuan pendaftaran tanah dapat ditemukan dalam bab II, Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, antara lain: a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengada-kan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. B. Problem Pendaftaran Tanah di Indonesia 1. Teknis Kebutuhan akan sumberdaya manusia sangat menentukan dalam keberhasilan pelaksanaan pendaftaran tanah, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sumber daya manusia yang ahli di bidang pertanahan cenderung masih didominasi di daerah-daerah pulau Jawa dibandingkan dengan daerah di luar pulau Jawa. Lalu jumlah luas bidang tanah yang semakin bertambah dalam kegiatan pedaftaran tanah dan pekerjaan rutinitas pelayanan pendaftaran tanah yang cukup besar perlu menjadi pertimbangan agar jumlah ASN dengan volume pekerjan bisa seimbang. Berdasarkan data yang sampaikan oleh Wahyono (2017, 39) jumlah sumberdaya manusia untuk menyelesaikan target pensertipikatan sampai bulan Agustus 2017, untuk ASN Kementerian ATR/BPN sebanyak 2052 orang, sedangkan Surveyor Kadaster Berlisensi (SKB) sejumlah 5544 yang terdiri atas Surveyor Kadastral sebanyak 1160 dan ASK sebanyak 4384. Sampai dengan bulan September 2017, ternyata target pengukuran dan pemetaan bidang tanah untuk pendaftaran tanah belum mencapai 80% dari target yang dicanangkan. 2. Non-Teknis 1. Sulitnya menerapkan asas kontradiktur delimitasi Kontradiktur delimitasi adalah sebuah norma yang digunakan dalam Pendaftaran Tanah dengan mewajibkan pemegang hak atas tanah untuk memperhatikan penempatan, penetapan, dan pemeliharaan batas tanah berdasarkan kesepakatan dan persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan, yang dalam hal ini adalah pemilik tanah yang berbatasan dengan tanah yang dimilikinya. Apabila para pemilik tanah berbatasan tidak memperoleh kata sepakat dengan letak sebenarnya dari suatu batas walaupun telah dilakukan mediasi, maka penetapan batas dengan keputusan pengangadilan (Pasal 17, 18, 19 PP No. 24 Tahun 1997). Oleh karena itu kesepakatan/ persetujuan dan kehadiran pemilik tanah yang berbatasan merupakan kewajiban dalam dalam pendaftaran tanah. Namun ada beberapa hal yang mengakibatkan asas kontradiktur delimitasi tidak dapat dilaksanakan dengan baik di antaranya: Pertama, pemegang hak atas tanah tidak memelihara batas bidang tanah baik yang sudah menjadi kewajibannya yang menyebabkan overlapping batas bidang tanahnya, karena tidak jelasnya bidang tanah atau batas yang sudah dipasangi patok hilang, kurangnya kesadaran masyarakat untuk memelihara tanda batas; kedua, para pihak tidak hadir pada waktu penetapan batas tanah, karena kesibukan pemilik tanah dan atau sulit mencari pemilik tanah disebabkan karena pemilikan tanah absentee; ketiga, adanya sengketa batas tanah, sengketa keluarga atau tetangga dan sengketa yang sudah masuk ranah pengadilan. Masalah-masalah tersebut menjadi penghambat proses pengukuran (Dian, 2018). 2. Sengketa Tanah Bidang tanah yang dicatat dalam buku tanah, tetapi masih dalam keadaan sengketa atau perkara di pengadilan. Maka dari itu harus diselesaikan terlebih dahulu, baru bisa diurus sertifikatnya. C. Upaya Pemerintah 1. Percepatan penyediaan Asisten Surveyor Kadaster Kebutuhan akan percepatan PTSL untuk Surveyor Kadaster Berlisensi (SKB) telah diakomodasi dalam Peraturan Menteri ATR/ Ka. BPN No. 33 Tahun 2016 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri ATR/ Ka. BPN No. 11 Tahun 2017 tentang Surveyor Kadaster Berlisensi (SKB). Percepatan penyediaan Asisten Surveyor Kadaster (ASK) 94 Bhumi Vol. 4 No. 1, Mei 2018 juga dilakukan melalui pendidikan singkat 2 atau 3 minggu bagi lulusan SMK Geomatika yang dilakukan oleh BLK bekerjasama dengan Kanwil BPN setempat. Perlu juga terobosan lain untuk mengatasi kekurangan petugas ukur yakni memberdayakan dan memberikan kewenangan Pegawai Tidak Tetap (PTT) dengan merevisi Perkaban No. 2 Tahun 2014 tentang Pegawai Tidak Tetap di Lingkungan BPN RI. Karena secara kapasitas mempunyai kemampuan lebih secara pengalaman dibandingkan dengan ASK dengan pendidikan singkat 2 atau 3 minggu bagi lulusan SMK. Senada menurut Ratmono (2017, 62) pekerjaan pengumpulan data fisik melalui pengukuran bidang tanah, selain dilaksanakan oleh ASN, dapat dilakukan dengan pelibatan stakeholder, seperti SKB. Penggunaan surveyor lainnya, seperti dari Dit. Topografi AD, Dinas Pengukuran dan Pemetaan yang ada di OPD, Kerja Praktek Mahasiswa Jurusan Teknik Geodesi/Geomatika, STPN, dan lain-lain. 2. Sosialisasi pentingnya asas kontradiktur delimitasi Sosialisasi dalam bentuk penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya penempatan, penetapan dan pemeliharaan batas tanah. Sosialisasi bisa dilakukan sesuai dengan gagasan yang disampaikan Ratmono (2017, 61) mengadakan gerakan masal memasang tanda batas bidang tanah pada lokasi yang akan ditetapkan, dengan cara partisipasi seluruh pemilik bidang tanah dengan memasang tanda batas bidang tanahnya, tanda batas bidang tanah disiapkan oleh kelompok masyarakat yang ditugaskan, misalnya karang taruna sesuai dengan arahan dari kantor pertanahan setempat. 3. Badan Pertanahan Nasional yang menfasilitasi untuk melakukan mediasi dan solusi melalui badan peradilan, bernegosiasi. D. Program-Program Pelaksanaan Pendaftaran Tanah oleh Pemerintah 1. Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) merupakan proyek jangka panjang yang sasaran utamanya adalah mendaftarkan bidang-bidang tanah di seluruh Indonesia dalam jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun. Sasaran pendaftaran tanah secara sistematik adalah pendaftaran untuk hak atas tanah yang belum bersertipikat melalui proses pemberian, pengakuan dan konversi hak atas tanah dengan tetap berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 . Proyek Administrasi Pertanahan Indonesia (PAP) dimaksudkan untuk mendukung program percepatan registrasi hak kepemilikan tanah, memberikan bantuan teknis serta bantuan lain bagi Badan Pertanahan Nasional (BPN). PAP juga merupakan suatu tinjauan administrasi tanah dalam konteks hukum dan kebijakan. Program pendaftaran tanah ini mencatat bidang tanah dan hak kepemilikan dalam Buku Tanah Nasional yang disimpan BPN serta Sertipikat Tanah bagi pemilik yang telah terdaftar. Program ini melibatkan sertipikasi tanah secara sistematis dan dirancang untuk memberikan pelayanan yang lebih murah, lebih cepat, dan lebih sederhana dibandingkan program pendaftaran tanah sproradis yang dilakukan oleh BPN. Tujuan dari program ini adalah meningkatkan kepastian kepemilikan tanah, mengurangi konflik tanah, mendorong efisiensi pasar tanah, mempermudah akses ke kredit (sebagai kolateral), dan menyediakan insentif bagi investasi tanah jangka panjang dan tata guna tanah yang berkelanjutan. Produk utama dari PAP adalah sebuah buku daftar kepemilikan tanah dari kantor pertanahan pemerintah daerah (sebagai bagian dari Pendaftaran Tanah Nasional) dan sertipikat tanah yang diberikan kepada pemiliknya. Pada kebanyakan kasus, sertipikat ini merupakan hak milik, tetapi di Daerah Khusus Ibukota Jakarta sertipikat tersebut hanya berupa hak guna bangunan (Sudarno, dkk, 2002). Pada bulan September dan Oktober 1999, Bank Dunia melakukan Social Assesment terhadap program pendaftaran tanah PAP untuk memberi masukan penting bagi evaluasi jangka menengah dari proyek tersebut. Social Assesment menggunakan metodologi penelitian lapangan partisipatoris dengan menggali pendapat para penerima program sertipikasi tanah tentang pelaksanaan PAP dan dampak dari sertipikasi tersebut (Joan, 1999). 2. Land Management and Policy Development Project (LMPDP) Setiap jenis hak atas tanah wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan yang berkantor di setiap daerah kabupaten dan daerah kota. Berdasarkan hasil penelitian,39 proses pelaksanaan pendaftaran tanah sistematik melalui LMPDP dilaksanakan minimal terhadap 1 (satu) Desa atau Kelurahan dalam 1 (satu) Kecamatan dan maksimal adalah 10 (sepuluh) Desa atau Kelurahan pada suatu wilayah Kabupaten atau Kota dengan permohonan minimal 1500 (seribu lima ratus) bidang tanah. Adapun tujuan dari pendaftaran tanah secara sistematik melalui LMPDP yang sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah sebagai berikut : 1. Untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak suatu bidang tanah satuan rumah susun, hak-hak lain-lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. 2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal ini termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum bidang-bidang tanah dan satuansatuan rumah susun yang terdaftar. 3. Untuk terselenggaranya Tertib Administrasi Pertanahan. Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar perwujudan Tertib Administrasi dibidang Pertanahan. Untuk mencapai Tertib Administrasi tersebut setiap tanah dan satuansatuan rumah susun termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya wajib didaftar. Kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik melalui Land Management And Policy Development Program seluruh anggarannya dibiayai dengan bantuan dana dari Bank Dunia yang penganggarannya disediakan oleh Pemerintah APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), yang diawali dengan penentuan daerah atau wilayah (Propinsi, Kabupaten, Kota, Kecamatan, Desa/Kelurahan) mana yang akan dilakukan pendaftaran tanah sistematik melalui LMPDP (Land Management And Policy Development Program). 3. Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) Proyek Operasi Nasional Agraria (PRONA) dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 189 Tahun 1981, pada ketentuan konsideran disebutkan bahwa dalam rangka pelaksanaan catur tertib administrasi pertanahan, pemerintah melaksanakan sertifikasi tanah secara massal untuk memberikan jaminan kepastian hukum bagi penguasaan dan kepemilikan tanah sebagai tanda bukti hak yang kuat. Selain itu juga ditujukan untuk menyelesaikan sengketa tanah yang bersifat strategis yang gunanya membuat tentram pemilik tanah dari tuntutan pihak ketiga. Kebijakan PRONA ini bertujuan untuk memberikan pelayanan pendaftaran tanah pertama kali dengan proses yang sederhana, mudah, cepat dan murah dalam rangka percepatan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Indonesia. Selain ketentuan yang diatur mengenai pendaftaran tanah dalam UUPA, pada tahun 2015 pemerintah kembali mengeluarkan peraturan mengenai PRONA yaitu dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2015. Dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2015 dijelaskan mengenai ketentuan sertifikasi PRONA. Namun, peraturan tersebut mengatakan bahwa dalam pelaksanaan PRONA di beberapa daerah masih terdapat kendala, sehingga perlu dilakukan penyesuaian. 4. Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Sesuai Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, PTSL adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak bagi semua objek pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia dalam satu wilayah desa/kelurahan atau nama lainnya setingkat dengan itu, yang meliputi pengumpulan data fisik dan data yuridis mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah untuk keperluan pendaftarannya. Objek PTSL dapat kita temukan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap. Objek PTSL meliputi seluruh bidang tanah tanpa kecuali, baik bidang tanah yang belum ada hak atas tanahnya maupun bidang tanah yang memiliki hak dalam rangka memperbaiki kualitas data pendaftaran tanah. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas beberapa problem pendaftaran tanah yang terjadi di Indonesia dibagi menjadi 2 yaitu teknis dan non teknis. Problem secara teknis yaitu kurangnya sumber daya manusia yang ahli dalam bidang pertanahan yan mengakibatkan tidak seimbangnya ASN dengan volume pekerjaan, sulitnya menerapkan asas kontradiktur delimitasi, dan bidang tanah yang menjadi sengketa. Upaya pemerintah dalam menangani problem tersebuat adalah melakukan percepatan penyediaan asisten surveyor kadaster, melakukan sosialisasi pentingya asas kontradiktur delimitasi, dan Badan Pertanahan Nasional yang menfasilitasi untuk melakukan mediasi dan solusi melalui badan peradilan, bernegosiasi. Programprogram pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran bidang tanah antara lain Proyek Administrasi Pertanahan (PAP), Land Management and Policy Development Project (LMPDP) atau proyek ajudikasi, Larasita, dan Program Nasional Agraria (Prona) belum dapat mencapai target pendaftaran tanah di seluruh Indonesia, dan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). DAFTAR PUSTAKA Dalimunthe, C. 2000, Pelaksanaan landreform di indonesia dan permasalahannya, FH USU Press, Medan. Dian, A.M. 2018. Potensi Permasalahan Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (PTSL). Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta. Hardjono, Joan (1999): A Social Assessment of the Land Certificate Program, Indonesian Land Administration Project”, Kantor Bank Dunia, Jakarta. Isdiyana, Kusuma A. 2018. Problematika Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Di Kota Batu. Universitas Islam Malang, Jawa Timur. Ratmono 2007, “Pelibatan masyarakat dan stakeholder terkait dalam percepatan pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL)”, Prosiding seminar nasional percepatan pendaftaran tanah di indonesia: Tantangan pelaksanaan PTSL dan respon solusinya, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta Santoso, U 2010, Pendaftaran dan peralihan hak atas tanah, Kencana, Jakarta. Wahyuni 2017, “Konsep berbagi peta untuk peningkatan peran desa dalam penyelenggaraan percepatan pendaftaran tanah”, Prosiding seminar nasional percepatan pendaftaran tanah di indonesia: Tantangan pelaksanaan PTSL dan respon solusinya, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta. Wahyono, EB 2017, “Pemikiran pengembangan SKKNI-IG untuk surveyor kadastral”, Prosiding seminar nasional percepatan pendaftaran tanah di indonesia: Tantangan pelaksanaan PTSL dan respon solusinya, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta.