Konsep Psikologi Pendidikan 1. Pengertian Psikologi Pendidikan Psikologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Jadi secara harfiah, psikologi berarti ilmu tentang jiwa atau ilmu jiwa. Defenisi berikut ini menunjukkan beragamnya pendapat para ahli tentang psikologi (Sobur, 2003: 32). a. Ernesrt Hilgert (1957) dalam bukunya Introduction to Psychology: “Psychology may be defined as the science that studies the behavior of men and other animal” etc. (psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan lainnya). b. George A. Miller dalam bukunya Psychology and Communication: “Psychology is the science that attempts to describe, predict, and control mental and behavioral events” (Psikologi merupakan ilmu yang berusaha menguraikan, meramalkan, dan mengendalikan peristiwa mental dan tingkah laku). c. Clifford T. Morgan dalam bukunya Introduction to Psychology: “Psychology is the science of human and animal behavior” (Psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan hewan) d. Robert S. Woodworth dab Marquis DG dalam bukunya Psychology: “Psychology is the scientifict studies of individual activities relation to the inveronment” (Psikologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari aktivitas atau tingkah laku individu dalam hubungan dengan alam sekitar). Dari beberapa pendapat di atas menunjukkan rentangan makna psikologi dalam berbagai perspektif. Jika dilihat, terdapat beberapa perbedaan makna dari psikologi itu sendiri. Perbedaan tersebut boleh jadi disebabkan karena perkembangan psikologi itu sendiri. Apabila diamati berbagai defenisi psikologi di atas, terutama defenisi dari Morgan dan Hilgert, ternyata bahwa studi psikologi tidak hanya terbatas pada tingkah laku manusia saja, tetapi juga tingkah laku hewan. Hal ini semakin dipertegas oleh Chaplin (dalam Sobur, 2003: 33) dalam Dictionary of psychology, yang mendefenisikan psikologi sebagai “…the science of human and animal behavior, the study of organism in all its variety and complexity as it respond to the flux andflow of the physical and social events which make up the environment” (…psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia dan hewan, juga penyelidikan terhadap organisme dalam segala ragam dan kemitraannya ketika mereaksi arus dan perubahan alam sekitar dan peristiwa-peristiwa kemasyarakatan yang mengubah lingkungan). Jadi pada dasarnya, psikologi itu menyentuh banyak bidang kehidupan dan organisme, baik manusia maupun hewan. Namun, meskipun demikian, secara lebih spesifik psikologi sering dikaitkan dengan kehidupan organisme manusia. Psikologi beserta sub-sub ilmunya, pada dasarnya mempunyai hubungan dengan ilmu-ilmu lainnya. Misalnya hubungan psikologi dengan sosiologi, antropologi, ilmu politik, ilmu komunikasi, biologi, ilmu alam, filsafat, dan ilmu pendidikan. Hubungan ini biasanya bersifat timbal balik. Salah satu contohnya adalah hubungan psikologi dengan ilmu pendidikan, sehingga lahirlah namanya psikologi pendidikan. Pendidikan merupakan suatu usaha untuk memanusiakan manusia. Artinya, ditujukan untuk membentuk sikap dan mental peserta didik ke arah yang lebih baik. Sebagaimana yang dijelaskan di dalam UU RI No. 20 Tahun 2003, bahwa: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa pskologi sangat diperlukan dalam mengembangkan potensi diri peserta didik. Dari penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa psikologi pendidikan adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang pemahaman gejala kejiwaan dalam tigkah laku manusia untuk kepentingan mendidik atau membina perkembangan kepribadian manusia. Jadi segala gejala-gejala yang berhubungan dengan proses pendidikan dipelajari secara mendalam pada psikologi pendidikan. 2. Hubungan Psikologi dengan Ilmu Pendidikan Psikologi dan ilmu pendidikan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena antara psikologi dengan ilmu pendidikan mempunyai hubungan timbal balik. Ilmu pendidikan sebagai suatu disiplin bertujuan memberikan bimbingan hidup manusia sejak ia lahir sampai mati. Pendidikan tidak akan berhasil dengan baik jika tidak dibarengi dengan psikologi. Demikian pula watak dan kepribadian seseorang ditunjukkan oleh psikologi. Oleh karena begitu eratnya hubungan antara psikologi dengan ilmu pendidikan, maka lahirlah yang namanya psikologi pendidikan. Dasar-dasar psikologis ini sangat dibutuhkan para pendidik untuk mengetahui prilaku anak didiknya, apakah anak didiknya dalam keadaan yang baik saat berlangsungnya kegiatan pembelajaran, atau dalam keadaan yang tidak baik. Kalau demikian, pendidik sangat membutuhkan pengetahuan ini untuk mengatasi anak didik yang seperti itu dan memotivasinya agar tetap dalam keadaan yang semangat dalam belajar. Selain untuk mengetahui prilaku anak didiknya, dasar-dasar psikologis ini juga dapat mengendalikan prilaku para pendidik dan memberikan prilaku yang lebih bijaksana dalam menghadapi keanekaragaman karakteristik anak didiknya. Seorang pendidik memang sangat membutuhkan pengetahuan seperti ini, agar dalam proses pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan dan tentunya dapat berhasil mencapai tujuan dengan cemerlang sesuai dengan lembaga pendidikan itu. Reber (dalam Sobur, 2003: 71) menyebut psikologi pendidikan sebagai subdisiplin ilmu psikologi yang berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal berikut: Penerapan dalam prinsip-prinsip belajar dalam kelasPengembangan dan pembaruan kurikulumUjian dan evaluasi bakat dan kemampuanSosialisasi proses dan interaksi dengan pendayagunaan ranah kognitifPenyelenggaraan pendidikan keguruan.Dari penjelasan tersebut, maka jelas bahwa adanya keterkaitan antara psikologi dengan ilmu pendidikan, yang mana fokus utama dari psikologi pendidikan ini adalah interaksi pendidik dan peserta didik. 3. Kontribusi Psikologi Pendidikan bagi Teori dan Praktek Pendidikan a. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Kurikulum Pengembangan kurikulum merupakan salah satu usaha untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional. Pengembangan kurikulum dilaksanakan karena pengembangan kurikulum merupakan bagian yang sangat esensial dalam proses pembelajaran, karena dalam proses pembelajaran itu tedapat empat bagian penting dalam kurikulum meliputi: tujuan, isi/materi, strategi pembelajaran, dan evaluasi. Keempat bagian tersebut saling berkaitan untuk mencapai tujuan pendidikan Nasional.Pengembangan kurikulum tidak dilaksanakan hanya sesuai dengan kehendak seseorang atau suatu pihak, tetapi harus berpijak pada landasan-landasan (filosofis, psikologis, sosiologis, dan IPTEK) dan prinsip-prinsip (umum dan khusus) yang telah ada. Kajian psikologi pendidikan dalam kaitannya dengan pengembangan kurikulum pendidikan terutama berkenaan dengan pemahaman aspek-aspek perilaku dalam konteks pembelajaran. Terlepas dari berbagai aliran psikologi yang mewarnai pendidikan, pada intinya kajian psikologis ini memberikan perhatian terhadap bagaimana input, proses dan output pendidikan dapat berjalan dengan tidak mengabaikan aspek perilaku dan kepribadian peserta didik. Secara psikologis, manusia merupakan individu yang unik. Manusia sebagai makhluk yang unik, memiliki karakteristik masing-masing, kemampuan yang berbeda, serta kebutuhan yang berbeda pula. Maka bukanlah hal yang mengejutkan jika ada sekelompok siswa yang tidak cocok dengan sistem pendidikan formal. Jika siswa tidak dapat mengikuti pendidikan formal di sekolah karena alasan tertentu, ia berhak untuk memilih pendidikan alternatif lain yang dapat memenuhi haknya sebagai warga negara untuk belajar, karena setiap anak berhak mendapatkan pendidikan, dalam bentuk apapun. Dengan demikian, kajian psikologis dalam pengembangan kurikulum seyogyanya memperhatikan keunikan yang dimiliki oleh setiap individu, baik ditinjau dari segi tingkat kecerdasan, kemampuan, sikap, motivasi, perasaaan serta karakterisktikkarakteristik individu lainnya. Kurikulum pendidikan seyogyanya mampu menyediakan kesempatan kepada setiap individu untuk dapat berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya, baik dalam hal subject matter maupun metode penyampaiannya. Secara khusus, dalam konteks pendidikan di Indonesia saat ini, kurikulum yang dikembangkan saat ini adalah kurikulum 2013, yang pada intinya diperlukan tidak hanya pengetahuan saja, tetapi sikap, keterampilan dan pengetahuan. Sebenarnya ketiga domain ini sudah ada pada kurikulum sebelumnya, tetapi ternyata belum membawa dampak yang cukup signifikan, karena apa yang ada belum diimplementasikan secara utuh. Kurikulum 2013 dirancang untuk mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik. Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa psikologi pendidikan sangat berkontribusi dalam pengembangan kurikulum. b. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Pengembangan Program Pendidikan Kontribusi psikologi pendidikan terhadap pengembangan program pendidikan antara lain sebagai berikut. 1) Pengembangan program pendidikan, misalnya penyusunan jadwal pelajaran, jadwal ujian, dst. Hal ini tidak bisa lepas dari aspek psikologis peserta didik; 2) Untuk menyusun jadwal pelajaran diperlukan pengetahuan psikologi pendidikan.Tingkat kesukaran mata pelajaran berbeda-beda untuk setiap mata pelajaran. Agar seluruh materi pelajaran dapat diterima dengan baik oleh siswa, perlu penyusunan jadwal pelajaran dengan mempertimbangkan tingkat kesukarannya baik urutannya maupun waktunya. Misalnya mata pelajaran matematika ditempatkan pada jam pertama agar dapat diterima dengan baik oleh siswa, sedangkan mata pelajaran seni ditempatkan pada jam terakhir untuk meningkatkan gairah belajar siswa yang sudah lelah oleh berbagai materi pelajaran yang berat sebelumnya 3) Penentuan jurusan atau program; 4) Pengembangan program harus mengacu pada upaya pengembangan kemampuan potensial peserta didik. c. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Pembelajaran Kajian psikologi pendidikan telah melahirkan berbagai teori yang mendasari sistem pembelajaran.Kita mengenal adanya sejumlah teori dalam pembelajaran.Terlepas dari kontroversi yang menyertai kelemahan dari masing masing teori tersebut, pada kenyataannya teori-teori tersebut telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses pembelajaran. Di samping itu, kajian psikologi pendidikan telah melahirkan pula sejumlah prinsip-prinsip yang melandasi kegiatan pembelajaran. Kontribusi psikologi pendidikan terhadap sistem pembelajaran adalah dalam hal: 1) pemilihan teori belajar yang akan diaplikasikan; 2) pemilihan model-model pembelajaran; 3) pemilihan media dan alat bantu pembelajaran; dan 4) penentuan alokasi waktu belajar dan pembelajaran. d. Kontribusi Psikologi Pendidikan terhadap Sistem Evaluasi Penilaiain pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan guna memahami seberapa jauh tingkat keberhasilan pendidikan. Melalui kajian psikologis kita dapat memahami perkembangan perilaku apa saja yang diperoleh peserta didik setelah mengikuti kegiatan pendidikan atau pembelajaran tertentu. Di samping itu, kajian psikologis telah memberikan sumbangan nyata dalam pengukuran potensi-potensi yang dimiliki oleh setiap peserta didik, terutama setelah dikembangkannya berbagai tes psikologis, baik untuk mengukur tingkat kecerdasan, bakat maupun kepribadian individu lainnya. Ada sejumlah tes psikologis yang saat ini masih banyak digunakan untuk mengukur potensi seorang individu. Pemahaman kecerdasan, bakat, minat dan aspek kepribadian lainnya melalui pengukuran psikologis, memiliki arti penting bagi upaya pengembangan proses pendidikan individu yang bersangkutan sehingga pada gilirannya dapat dicapai perkembangan individu yang optimal. Oleh karena itu, betapa pentingnya penguasaan psikologi pendidikan bagi kalangan pendidik dalam melaksanakan tugas profesionalnya, karena pendidik harus mampu memahami perubahan yang terjadi pada diri individu, baik perkembangan maupun pertumbuhannya. Atas dasar itu pula pendidik perlu memahami landasan pendidikan dari sudut psikologis. Dengan demikian, psikologi adalah salah satu landasan pokok dari pendidikan. Antara psikologi dengan pendidikan merupakan satu kesatuan yang sangat sulit dipisahkan. Subyek dan obyek pendidikan adalah manusia, sedangkan psikologi menelaah gejala-gejala psikologis dari manusia. Dengan demikian, keduanya menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. PENERAPAN BELAJAR DALAM KONTEKS PERKEMBANGAN FISIK, KOGNITIF DAN SOSIAL A. PERKEMBANGAN FISIK (MOTOR) Pada perkembangan fisik menurut Gleitman (1987), seorang anak yang baru lahir memiliki bekal sebagai dasar perkembangan kehidupan anak, yaitu : bekal kapasitas motor (jasmani) dan bekal kapasitas pancaindera (sensori). Sebab semua kapasitas tersebut menjadi modal dasar dalam perkembangan peserta didik. Menurut Muhibbin Syah dalam bukunya Psikogi Pendidikan mengelompokkan 4 macam faktor yang mendorong kelanjutan motor skills (kecakapankecakapan jasmani) anak yang memungkinkan adanya campur tangan orangtua dan guru dalam mengarahkannya, yaitu : 1. Pertumbuhan dan perkembangan sistem saraf 2. Pertumbuhan otot-otot 3. Perkembangan dan pertumbuhan fungsi kelenjar endokrin 4. Perubahan struktur jasmani Untuk belajar keterampilan fisik (motor learning) tidak hanya dengan latihan dan praktik, tetapi diperlukan juga kegiatan perceptual learning (belajar berdasarkan pengamatan) atau sensorymotor learning (belajar keterampilan indrawi-jasmani). Dalam ini seorang guru dituntut kepiawaiannya dalam melatih keterampilan peserta didik dan kepiawaiannya dalam menjelaskan alasan atau cara keterampilan tersebut dilakukan. Maka dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan (terutama di sekolah) merupakan pendukung yang sangat berarti dalam perkembangan fisik dan motorik anak. B. PERKEMBANGAN KOGNITIF Ada 2 teori sebagai pendekatan dasar untuk memahami perkembangan kognitif. Pendekatan pertama adalah Piagetian approach dan pendekatan kedua adalah Teori Vygotsky. Jean Piaget (1896-1980) mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi 4 tahapan : 1. Tahap sensory-motor, terjadi pada usia 0-2 tahun. 2. Tahap pre-operational, terjadi pada usia 2-7 tahun. 3. Tahap concrete-operational, terjadi pada usia 7-11 tahun. 4. Tahap formal-operational, terjadi pada usia 11-15 tahun a. Tahap Sensori Motor Intelegensi Sensori-Motor dipandang sebagai intelegensi praktis dimana anak usia 0-2 tahun untuk belajar berbuat terhadap lingkungannya sebelum ia mampu berfikir mengenai hal yang sedang ia perbuat. Maka disimpulkan anak mengalami perkembangan melalui indera motoriknya. b. Tahap Pra-Operasional Perkembangan ini dimulai saat anak sudah menyadari adanya eksistensi suatu benda yang harus ada atau biasa ada. Kemampuan ini muncul akibat kapasitas kognitif baru yang disebut mental representation (gambaran mental) yang memungkinkan anak mengembangkan deferred-imitation (peniruan yang tertunda). Perilaku yang ditiru adalah orang lain yang sebelumnya pernah ia lihat (terutama orangtua dan guru). Maka dalam tahap ini anak berfikir hanya dengan sudut pandangnya sendiri (egosentrik). c. Tahap Konkret-operasional Tahap ini anak mendapatkan tambahan kemampuan yang disebut system of operations (satuan langkah berfikir) dimana anak dapat menkoordinasikan pemikiran dan idenya dengan peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri, akan tetapi masih memiliki keterbatasan kapasitas. Maka dalam tahap ini anak masih berfikir secara konkret. d. Tahap Formal-operasional Dalam perkembangan kognitif tahap akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan mengkoordinasikan baik secara serentak maupun berurutan. Maka dalam tahap ini anak sudah mampu berfikir secara abstrak. Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif seseorang dipengaruhi oleh empat, yaitu : 1. Kematangan (maturation) otak dan sistem syarafnya. 2. Pengalaman (experience) yang terdiri atas: Pengalaman fisik (physical experience), yaitu interaksi manusia dengan lingkungannya. Pengalaman logika-matematis (logico-mathematical experience), yaitu kegiatan-kegiatan pikiran yang dilakukan manusia. 3. Transmisi sosial (social transmission) 4. Penyeimbangan (equilibration) Maka dapat disimpulkan bahwa perkembangan kognitif menurut teori Piaget adalah hasil gabungan dari kedewasaan otak dan sistem saraf dan adaptasi pada lingkungan kita. Tahapan perkembangan kognitif menguraikan ciri khas perkembangan kognitif tiap tahap dan merupakan suatu perkembangan yang saling berkaitan dan berkesinambungan. Salah satu konsep penting dari teori Vygotsky adalah Zone of Proximal Development (ZPD). Vygotsky mendefinisikannya untuk tugas-tugas yang sulit dikuasai sendiri oleh siswa, tetapi dapat dikuasai dengan bimbingan dan bantuan orang dewasa atau siswa yang lebih terampil (Santrock, 1995). Vygotsky telah mengubah cara pendidik berpikir tentang interaksi anak-anak dengan orang lain. Ia yakin bahwa seorang siswa pada sisi pembelajaran konsep baru dapat memperoleh manfaat dari interaksi dengan seorang pendidik atau teman kelas. Bantuan yang pendidik atau teman sebaya berikan sebagai scaffolding. Scaffolding diartikan sebagai kerangka pengetahuan yang disiapkan saat masa kematangan tiba. Dengan cara yang sama, orang dewasa dan teman sebaya dapat membantu seorang anak “mencapai” konsep atau kecakapan baru dengan memberikan informasi yang mendukung. Maka dengan memahami teori perkembangan kognitif seorang pendidik akan mampu memahami kecakapan kognitif yang dimiliki siswa dan sebagai petunjuk bahwa siswa berada dalam perkembangan tertentu, misalnya seperti tahap konkret-operasional atau formal-operasional pada teori pendekatan Piaget dan hubungan kognitif peserta didik dengan lingkungannya seperti teori pendekatan Vygotsky . C. PERKEMBANGAN SOSIAL Menurut Bruno (1987), Perkembangan sosial adalah proses pembentukan social-self (pribadi dalam masyarakat), yakni pribadi dalam keluarga, bangsa, dan setererusnya. Kualitas hasil perkembangan sosial siswa sangat bergantung pada kualitas proses belajar siswa, baik di lingkungan sekolah dan keluarga maupun di lingkungan yang lebih luas. Vygotsky (Berk, L. E & Winsler, A., 1995) menekankan pentingnya konteks sosial untuk proses belajar anak, dan pengalaman interaksi sosial ini sangat berperan dalam mengembangkan kemampuan berpikir anak. Menurut Piaget, interaksi dengan teman sebaya lebih bermanfaat dibandingkan dengan orang dewasa, karena ada negosiasi sosial. Hal ini didukung oleh seorang tokoh bernama Albert Bandura yang mengemukakan teori belajar sosial, dimana secara umum teori ini mengatakan bahwa manusia bukanlah seperti robot yang tidak mempunyai pikiran dan menurut saja sesuai dengan kehendak pembuatnya. Namun, manusia mempunyai otak yang dapat berpikir, menalar, menilai, ataupun membandingkan sesuatu sehingga dapat memilih arah bagi dirinya. Lebih lanjut Bandura memperjelas teorinya lebih mendalam dengan menamakan teori belajar sosial kognitif. Bandura sangat yakin bahwa perilaku seseorang itu merupakan hasil dari mengamati perilaku orang lain, dengan kata lain secara kognitif, perilaku individu itu mengadopsi dari perilaku orang lain. D. PENERAPAN BELAJAR DALAM KONTEKS PERKEMBANGAN FISIK, KOGNITIF DAN SOSIAL Dalam situasi belajar peserta didik terlibat langsung dalam situasi memperoleh pemecahan masalah. Dengan demikian tingkah laku peserta didik bergantung kepada responnya terhadap apa yang terjadi dalam suatu situasi belajar. Dalam hal ini guru sebagai seorang pendidik harus mampu menjalankan perannya menerapkan proses belajar dalam ketiga konteks tersebut, yaitu : Pertama, guru dalam menunjang kegiatan profesionalnya memiliki kecakapan yang bersifat jasmaniah (fisik), seperti duduk, berdiri, berjalan, berjabat tangan dan sebagainya ataupun mengekspresikan diri secara verbal maupun nonverbal. Kedua, guru harus memiliki kapasitas kognitif tinggi yang menunjang kegiatan pembelajaran yang dilakukannya. Menurut Muhibbinsyah (1997), keterampilan yang menunjang profesinya secara kognitif ada 2 kategori yaitu : 1.) ilmu pengetahuan kependidikan (psikologi pendidikan, metode pembelajaran dan sebagainya) dan 2.) Ilmu pengetahuan materi bidang studi. Maka dengan bekal kemampuan kognitif tersebut seorang guru dapat menguasai materi secara mendalam di sertai dengan penyampaian yang baik dalam proses belajar, sehingga seorang guru mampu memaksimalkan kemampuan kognitif peserta didik. Ketiga, Seorang guru harus memiliki keterampilan sosial yang baik. Guru hendaknya memiliki sifat empati, ramah dan bersahabat kepada orang lain terutama kepada peserta didik. Jika guru menerapkan perilaku tersebut maka akan menumbuhkan keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran. Sebagai seorang pendidik guru harus memiliki keyakinan dalam kemampuannya dalam meningkatkan kegiatan pembelajaran. Seperti menurut Muhibbinsyah (1997) Guru yang memiliki keyakinan yang tinggi tentang kemampuannya mengajarnya ternyata juga menghasilkan siswa yang memiliki prestasi tinggi. E. KETERPADUAN PROSES FISIK, KOGNITIF DAN SOSIAL DALAM BELAJAR Perkembangan Peserta Didik merupakan bagian dari pengkajian dan penerapan Psikologi Pendidikan, dimana dalam hal ini Perkembangan peserta didik difokuskan pada perkembangan individu sebagai peserta didik pada institusi pendidikan. Sebab ciri yang ada pada masing-masing individu yang akan membedakan cara berpikir, berperasaan, dan bertindak. Dalam konteks perkembangan fisik, kognitif dan sosial masing-masing menekankan aspek khusus dari perkembangan, akan tetapi memiliki kaitan satu sama lain. Misalnya kemampuan kognitif seseorang dapat bergantung pada kesehatan fisik dan pengalaman sosial, atau perkembangan sosial yang dipengaruhi kematangan fisik maupun kognitif. Menurut Muhibbin Syah (2010), ranah psikologis yang terpenting adalah ranah kognitif sebab tanpa ranah kognitif, seorang siswa akan sulit berfikir dan sulit memahami materi pelajaran yang di sajikan kepadanya. Dengan mengembangkan fungsi kognitif maka akan berdampak posifif pada fungsi yang lain (afektif dan psikomotor). Misalnya siswa yang berprestasi baik dalam bidang agama tentu akan lebih rajin beribadah. Dia tidak akan segan memberikan pertolongan pada orang yang membutuhkan. Sebab ia merasa memberi bantuan itu adalah kebajikan (afektif), sedangkan perasaan yang berkaitan dengan kebajikan tersebut berasal dari pemahaman yang mendalam terhadap materi pelajaran agama yang ia terima dari gurunya (kognitif). Maka dengan meningkatkan proses belajar dalam konteks kognitif akan mempengaruhi konteks fisik (motor) dan sosial peserta didik menjadi alasan ketiga konteks perkembangan ini tidak dapat dipisahkan serta saling berkaitan satu sama lain. Selain itu dapat menjadi salah satu Indikator keberhasilan dari upaya seorang guru dalam meningkatkan perkembangan keterampilan dan kemampuan peserta didik dalam proses belajar.