ASIMILASI NARAPIDANA BERTENTANG DENGAN TUJUAN HUKUM? Baru-baru ini, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia akan mengeluarkan dan membebaskan sebagian narapidana dan anak-anak dari tahanan dalam rangka mencegah penyebaran virus Corona atau penyakit Covid-19. Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19 yang ditandatangani Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly. Dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM, memberikan pertimbangan bahwa dalam membebaskan para tahanan itu adalah tingginya tingkat hunian di lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus anak, dan rumah tahanan negara sehingga rentan terhadap penyebaran virus corona. Disamping itu juga, Yasona Laoly berpendapat bahwa distancing atau jaga jarak 1,5 sampai 2 meter merupakan salah satu cara untuk menghentikan penularan virus corona (COVID-19). Atas dasar itu Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menerapkan asimilasi atau pembebasan bersyarat kepada sekitar 36.000 narapidana (napi) umum. Keputusan Kemenkumhan itu dinilai memiliki sisi positif-negatif sehingga berpotensi menimbulkan gejolak atau pro dan kontra di ruang publik. Nilai plus asimilasi napi itu adalah bermanfaat mencegah penularan corona di kerumunan orang dalam rumah tahanan (rutan). Sedangkan nilai minusnya adalah menimbulkan kecemburuan bagi yang tak mendapat asimilasi, serta napi yang bebas berpotensi melakukan tindakan kriminal lagi. Dari sekian narapida yang mendapatkan asimilasi, AIH (20) warga pasirkoja Kota Bandung, Jawa Barat nekat menjambret ponsel milik seorang warga di jalan raya. Kemudian, pria berinisial F (34) warga Kecamatan Poncokusomo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, kembali ditangkap polisi karena berusaha mencuri motor. Sementara itu kerusuhan terjadi di Lapas Kelas IIA, Tuminting, Manado, Sulawesi Utara, pada Sabtu 11 April 2020. Kericuhan itu muncul akibat napi kasus narkoba khawatir tertular corona sedangkan mereka tak dibebaskan seperti napi umum.1 Dari beberapa kasus yang terjadi setelah narapida mendapatkan asimilasi, memang belum ada evaluasi dari Menteri Hukum dan HAM. Bahkan dibeberapa kesempatan, beliau meminta agar 1 https://www.okezone.com/tren/read/2020/04/16/620/2200386/pro-dan-kontra-asimilasi-narapidana-ditengah-wabah-corona, diakses pada tanggal 27 April 2020. 1 tidak mengkaitkan kriminalitas yang terjadi ditengah-tengah pademi covid-19 dengan program asimilasi narapida. Berbeda dengan komisi III DPR Habiburokhman memandang kerusahan napi yang terjadi itu bagai “Bom Waktu” yang dimunculkan oleh program asimilasi. “Sejak awal saya memang khawatir hal ini terjadi, sudah seperti bom waktu. Lebih dari setengah penghuni lapas adalah kasus narkoba, padahal mereka enggak bisa dapat remisi dan asimilasi karena ada PP 99 Tahun 2012,” ujarnya kepada Okezone. Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Thomas Sunaryo meminta Kemenkumham mengevaluasi program asimilasi tersebut. Menurutnya ada dua hal yang harus dicermati oleh pemerintah, pertama memastikan bahwa kebijakan tersebut tepat dan tidak menimbulkan masalah kesehatan di dalam lapas. Pada dasarnya asimilasi berasal dari bahasa latin yakni asimilare yang memiliki arti ‘menjadi sama’. Kemudian penjelasan asimilasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyesuaian ‘pleburan’ sifat asli yang dimiliki dengan sifat lingkungan sekitar. Biasanya ditandai dengan upaya-upaya guna mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara perorangan ataupun kelompok-kelompok manusia dalam hal ini narapidana. Antara individu maupun kelompok melebur satu sama lain dalam proses ‘pleburan’ ini terjadi pertukaran unsur budaya. Secara normatif asimilasi dalam pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 1995 tentang permasyarakatan ialah proses pembinaan narapidana dan anak didik permasyarakatan yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana dan anak didik permasyarakatan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Soerjono Soekanto asimilasi ialah suatu proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang perorangan atau kelommpok-kelompok manusia dan juga meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap dan proses-proses mental dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan tujuan-tujuan bersama. Apabila seseorang mendapatkan asimilasi kedalam suatu kelompok masyarakat maka dia tidak lagi mebedakan dirinya dengan kelompok masyarakat tersebut yang ber-implikasi bahwa dirinya dianggap sebagai orang ‘asing’. Untuk hal tertentu mereka mendefinisikan dirinya dengan kepentingan serta tujuan kelompok masyarakat. Batas antara kelompok-kelompok masyarakat tadi akan hilang dan melebur menjadi kesatuan kelompok. Intinya ialah dengan munculnya pengembangan sikap yang sama antara narapidana dan masyarakat diluar sana walaupun kadangkala unsur emosional akan kental tentunya dalam hal pelaksanaan asimilasi mencapai ke tahapan integrasi dalam organisasi masyarakat fikiran 2 maupun tindakan. Asimilasi sangat menyangkut banyak dimensi kehidupan/sebagai bentuk proses sosial yang menyangkut baik kelompok mayoritas maupun minoritas, antara lain asimilasi kebudayaan (akulturasi) yang bertalian dengan pola kebudayaan guna penyesuaian diri, asimilasi struktural yang bertalian dengan masuknya golongan minoritas secara besarbesaran dalam kelompok-kelompok dan pranata-pranata. Asimilasi akan berjalan dengan baik jika terbentuk rasa saling menghormati dan menghargai antara masyarakat dengan narapidana. Stigma buruk sebagai seorang narapidana merupakan beban yang sangat berat dan tetunya sulit untuk ‘dihilangkan’ peran serta masyarakat dalam pengawasan dan penerimaan kembali para narapidana sangat dibutuhkan guna mengembalikan keadaan mereka sebagai manusia yang baik seutuhnya tanpa merendahkan martabat mantan narapidana . Padahal Jika bercermin dari beberapa negara antara lain Belarus dalam hukum pidana nya menjelaskan bahwa ”protecting the life and health of the human being, his rights and freedoms, the constitutional society, state and public interrests, property, the enviorenment and the establise law against criminal encroachments”. “promote the prevention of criminal encroachments and contribute to the education of citizens in the spirit of observance of the laws” Pencegahan kejahatan dan mendidik ketaatan/kesadaran hukum warga masyarakat. Kemudian jika mengacu pada Negara Yugoslavia yang mengatakan “strengthening the moral fibre of a socialist society” adalah memperkuat akhlak moral masyarakat sosialis. Ini berarti Hukum pidana dan Pemidanaan dijadikan sarana kebijakan untuk membangun dan memperkuat moral masyarakat. Hal ini wajar karena hukum pidana pada dasarnya merupakan refleksi nilai-nilai moral dan kultural yang ada di dalam masyarakat atau nilai yang dicita-citakan untuk dibangun kembali. Jika kita kaitkan dengan kondisi indonesia saat ini tujuan dari pemidanaan dan hukum pidana pada hakekatnya untuk membangun dan memperkuat nilai moral masyarakat pancasila. Mengacu pada pembukaan UUD 45 sebagaimana tujuan negara yaitu untuk melindungi segenap bangsa indonesia. Dan untuk memajukan kesejahteraan umum berdasarkan pancasila. Mengacu pada kedua kata kunci diatas identik dengan istilah yang dikenal dalam dunia keilmuan dengan sebutan “social defence” dan “social welfare” yang memperlihatkan keseimbangan pembangunan nasional . untuk membangun sikap yang patut terhadap aturan hidup bermasyarakat “ to developan appropriate attitude towards rules of social cohabitation” (untuk mengembangkan sikap yang tepat terhadap aturan hidup bersama masyarakat) atau poin pentingnya mengembalikan narapidana ke kehidupan bermasyarakat yang patuh. 3