Rencana Daftar Isi

advertisement
PENGANTAR
Kota Pontianak dan Jambi merupakan wilayah dengan
beragam komunitas etnis dan budayanya masing-masing. Dalam
interaksi sosial antarkomunitas etnis itu muncul rasa saling
menghargai, mempercayai, solidaritas, rukun, damai, dan
sebagainya. Namun, di pihak lain dapat terjadi konflik
antarkomunitas etnis karena berkembangnya stereotype kelompok,
eksklusif, kebencian, curiga, dan rasa terancam.
Ada satu hal yang mengatasi semua perbedaan, yakni
dengan memahamikesamaan mendasar dari manusia. Dimensi
humanisme sangat penting dalam hubungan sosial, setiap orang
mempunyai perasaan, keinginan dan harapan. Semua orang pasti
setuju, menghargai nilai-nilai dasar yang secara umum disepakati
orang lain pada tempatnya pasti akan disetujui oleh siapapun.
Sebaliknya, menyakiti sesama pasti tak seorangpun yang setuju.
Penelitian tentang Pengelolaan Keragaman Budaya di Jambi
dan Pontianak dan Jambi ini merupakan program kegiatan
Puslitbang Kebudayaan pada tahun 2007 yang bermaksud untuk
melihat bagaimanakah warga masyarakat berupaya untuk lebih
melihat sesamanya dalam dimensi yang lebih humanistis, yang
mengatasi segala bentuk perbedaan dan pertentangan.
Penelitian ini disusun sebagai upaya untuk peduli terhadap
persoalan-persoalan yang berkaitan dengan multikultur dan isu-isu
tentang masalah keadilan dan perdamaian.
Kapokja
Mikka Wildha Nurrochsyam
DAFTAR ISI
PENGANTAR .................................................................................. I
DAFTAR ISI.................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
1. Latar Belakang ................................................................ 1
2. Tujuan Penelitian ............................................................. 3
3. Ruang Lingkup ................................................................ 3
4. Kerangka Pemikiran ........................................................ 4
5. Metode Penelitian ............................................................ 5
6. Manfaat ........................................................................... 6
BAB II PERMASALAHAN PENGELOLAAN KERAGAMAN
BUDAYA DI KUALA TUNGKAL, JAMBI ............................ 7
1. Profil Wilayah Penelitian .................................................. 7
2. Komunitas-komunitas Etnis di Kota Kuala Tungkal .......... 8
3. Interaksi Budaya ............................................................ 10
4. Integrasi dalam Hubungan Sosial .................................. 20
5. Disintegrasi dalam Hubungan Sosial ............................. 22
6. Pengelolaan Keragaman Budaya .................................. 25
BAB III PERMASALAHAN PENGELOLAAN KERAGAMAN
BUDAYA DI PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT ........ 28
1. Profil Wilayah Penelitian ................................................ 28
2. Komunitas-komunitas etnis di Kota Pontianak ............... 30
3. Interaksi Budaya ............................................................ 37
4. Integrasi dalam Hubungan Sosial .................................. 45
5. Disintegrasi dalam Hubungan Sosial ............................. 48
6. Pengelolaan Keragaman Budaya .................................. 52
ii
BAB IV ANALISIS ........................................................................ 59
1. Yang Sakral ................................................................. 59
2. Klasifikasi ..................................................................... 60
3. Ritus ............................................................................ 63
4. Solidaritas .................................................................... 64
BAB V PENUTUP......................................................................... 66
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................. 69
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 70
DAFTAR NARASUMBER ............................................................ 71
LAMPIRAN .................................................................................. 73
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Jutaan tahun yang silam Indonesia adalah sebuah lautan.
Kepulauan Indonesia dibentuk oleh muntahan lahar di bawah air
laut akibat dari patahan bumi yang bergerak. Wilayah lautan itu lalu
membentuk kepulauan. Pulau-pulau di Indonesia sebagian lagi
dibentuk oleh aktivitas gunung berapi. Beberapa pulau yang lain
seperti Kalimantan terbentuk dari bagian benua Asia sedangkan
Pulau Papua adalah bagian dari benua Australia. Banyaknya
aktivitas gunung berapi membuat Indonesia menjadi daerah yang
subur, gemah ripah loh jinawi atau subur dan makmur.
Sekitar 17.000 pulau tersebar di seluruh wilayah Indonesia.
Persebaran pulau-pulau di wilayah Indonesia ini membentuk
kekayaan alam, baik flaura dan fauna yang beraneka ragam
spesies. Pulau-pulau yang terpisah-pisah itu telah membentuk
keragaman flora dan fauna yang khas.
Kondisi geografis ini juga telah membentuk keberagaman
etnis di wilayah Indonesia. Di dalam kurun waktu yang lama etnis
yang terpisahkan oleh lautan itu telah mengembangkan budaya
mereka khas. Persebaran pulau-pulau itu telah membentuk ciri dan
sifat yang khas di antara budaya para etnis tersebut. Setiap etnis
mempunyai karakteristik budaya mereka masing-masing.
Perkembangan dinamika kehidupan dari masa ke masa
telah meningkatkan komunikasi antaretnis. Terjadi proses interaksi
antaretnis, suatu etnis yang telah mengembangkan keunikan
budaya mereka kemudian mendapat pengaruh dari etnis di luar
mereka. Beragam etnis itu mengembangkan komunikasi dan
hubungan timbal balik diantara budaya-budaya yang berbeda-beda.
Interaksi tidak hanya antarkomunitas dalam suatu etnis, namun
diantara etnis yang beragam itu berinteraksi dengan etnis-etnis lain
yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Dalam rentang waktu yang relatif lama telah terjadi
akulturasi budaya. Kadang sebuah budaya tertentu dikuatkan
karena pengaruh budaya lain. Pertemuan budaya itu tidak jarang
juga melahirkan budaya baru yang mempunyai sifat-sifat yang khas.
Banyak faktor yang menyebabkan adanya interaksi di antara etnisetnis yang beragam di wilayah Indonesia. Salah satu faktor adalah
tersedianya sumber daya alam yang tidak merata. Kondisi ini
menyebabkan beberapa etnis tertentu harus keluar dari wilayahnya
untuk mencari lahan sumber penghidupan baru yang lebih mapan.
Faktor sosial dan politik juga seringkali menyebabkan sebuah etnis
melakukan migrasi ke wilayah etnis lain. Karena berbagai faktor
yang sangat beragam dan kompleks itu lalu terjalinlah akulturasi
budaya di antara etnsi-etnis yang berbeda. Dalam komunikasi itu
lalu timbul hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi satu
sama lainnya.
Interaksi budaya berarti hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi itu dilihat dalam kerangka budaya masing-masing
etnis. Istilah budaya atau culture dalam Bahasa Inggris mempunyai
pengertian yang kompleks. Dalam tulisan ini dicoba untuk melihat
kebudayaan seperti refleksi Raymond William, yaitu penggunaan
istilah budaya itu paling tidak terdiri dari tiga hal: pertama, budaya
mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual dan estetis dari
seorang individu, sebuah kelompok atau masyarakat; kedua,
budaya digunakan dalam pengertian pemetaan khazanah kegiatan
intelektual dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan,
seperti film, benda-benda seni, dan teater. Budaya dalam
pengertian ini kerap diidentikan dengan istilah kesenian (the arts);
ketiga, istilah budaya digunakan untuk menggambarkan
keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan
adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok atau masyarakat (Mudji
Sutrisno 2005, 8).
Dalam penelitian ini dicoba untuk melihat interaksi antaretnis
itu dalam hal budaya, yaitu dengan melihat saling mempengaruhi
atau hubungan timbal balik beberapa unsur kebudayaan, seperti
dalam tradisi, seni, keyakinan dan sebaginya. Kita akan mencoba
melihat bagaimanakah seni masing-masing etnis itu saling
mempengaruhi dalam hal kebudayaan.
Dalam interaksi budaya antaretnis itu di satu sisi terjadi
konflik yang serius. Di pihak lain terjadi integrasi sosial yang
ditandai oleh ikatan sosial yang semakin memperkokoh hubungan
antaretnis yang berbeda. Dalam komunikasi antaretnis itu muncul
rasa saling menghargai, percaya, solidaritas, rukun, damai, dan
sebagainya. Namun, pada sisi lain menunjukkan bahwa interaksi
2
antarbudaya itu telah melemahkan, ikatan sosial di antara beberapa
etnis itu menjadi renggang. Seringkali juga terjadi konflik yang
serius antara etnis dengan mengembangkan kebencian, curiga,
merasa terancam, konflik baik fisik maupun non fisik,
Dengan melihat aspek integrasi antaretnis itu sekaligus akan
dilihat bagaimanakah pengelolaan keragaman budaya itu. Dengan
melihat sisi yang positif dari hubungan sosial itu, bisa dibangun
model hubungan sosial yang positif. Model ini tentu saja bukan
dipaksakan untuk diterapkan di beberapa wilayah Indonesia tetapi
model ini bisa menjadi inspirasi bagi kerukunan di daerah lain.
Dengan membahas integrasi sosial kita sekaligus akan
membahas masalah disintegrasi sosial. Kerukunan itu bukan berarti
tidak adanya konflik, konflik itu tetap ada tetapi bagaimanakah
konflik itu dapat diselesaikannya dengan baik. Dengan melihat
adanya disintegrasi dalam komunikasi antarbudaya maka dapat
dijelaskan bagaimanakah model pengelolaan keberagamaan itu
agar terbentuk integrasi sosial?
2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
memaparkan tentang
pengelolaan keragaman budaya di antara etnis-etnis yang berbedabeda. Dalam interaksi budaya itu telah terjadi integrasi dan
disintegrasi sosial dalam masyarakat yang multikultur. Dengan
mengetahui integrasi dan disintegrasi sosial maka diharapkan dapat
memberikan gambaran model tentang pengelolaan keragaman
budaya yang bisa menjadi inspirasi untuk pengelolaan keragaman
budaya di wilayah yang berbeda.
3. Ruang Lingkup
Fokus penelitian ini adalah persoalan pengelolaan
keragaman budaya, maka sebelumnya kami mencoba melakukan
orientasi, pra studi terhadap wilayah yang dianggap atau diduga
menggambarkan integrasi sosial dan disintegrasi sosial dalam
masyarakat multikultur. Pertama, wilayah penelitian Jambi, fokus
penelitian dipusatkan di Kota Kuala Tungkal, yaitu ibukota
Kabupaten Kuala Tungkal. Wilayah ini dipilih menjadi obyek
penelitian karena di Kota Kuala Tungkal tinggal masyarakat dengan
beragam etnis, khususnya tiga etnis yang dominan yaitu Banjar,
3
Bugis, dan Melayu. Di antara etnis-etnis tersebut telah
mengembangkan sikap toleransi sehingga terjadi keharmonisan
dalam kehiduapan sosial mereka.
Kedua, penelitian dilakukan di Kota Pontianak, Kalimantan
Barat. Di wilayah ini terdapat tiga etnis yang dominan yaitu Melayu,
Cina dan Madura. Kota Pontianak dipilih sebagai obyek penelitian
karena wilayah ini interaksi budaya berjalan sangat intens. Di
wilayah ini banyak sekali persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan komunikasi antaretnis yang seringkali menimbulkan
disintegrasi sosial.
Dua wilayah tersebut menunjukkan hubungan budaya
antaretnis yang sangat spesifik. Di Kuala Tungkal hubungan sosial
memperlihatkan integrasi sosial yang sangat intens. Sedangkan di
Kota Pontianak lebih menunjukkan hubungan sosial yang lebih
renggang. Dengan adanya kekhasan dalam interaksi budaya di dua
wilayah tersebut, penelitian ini dilaksanakan untuk menjelaskan
perbedaan tersebut.
4. Kerangka Pemikiran
Dalam analisa ini diupayakan melihat pengelolaan
keragaman budaya di dua wilayah penelitian, yaitu wilayah
penelitian di Kota Kuala Tungkal dan di Kota Pontianak dalam
perspektif empat pilar penyangga kebudayaan masyarakat menurut
Emile Durkheim, yaitu the sacre, klasifikasi, ritus dan solidaritas.
The sacre dapat diterjemahkan sebagai yang “sakral” atau yang
keramat. The sacre secara umum dapat dipahami sebagai agama
atau moralitas secara luas. Yang sakral itu adalah nilai-nilai,
kepercayaan-kepercayaan, atau simbol utama yang manjadi pusat
dari masyarakat. Nilai-nilai itu disepakati oleh masyarakat dan
mengendalikan gerak dinamika sebuah masyarakat. Yang sakral
adalah unsur yang menyatukan dalam sebuah komunitas
masyarakat.
Sedangkan klasifikasi adalah adalah hirarki yang didasarkan
pada nilai-nilai yang di dasarkan pada yang sakral. Semakin
seseorang itu bertindak bermoral maka semakin dekat pada pusat
yang sakral tetapi mereka yang bertindak a moral maka ia akan
menempati wilayah pinggiran yang jauh dari yang sakral.
4
Ritus adalah sebuah aktivitas komunitas masyarakat untuk
mengingatkan kepada apa yang di sakralkan. Ritus dapat terlihat
dalam bentuk-bentuk upacara, festival-festival, dan acara-acara
budaya. Dengan ritus itu lalu terjadi ikatan sosial di masyarakat
karena kelompok itu diingatkan kepada yang sakral.
Pilar yang keempat adalah solidaritas, yang harus selalu
dihubungkan dengan yang sakral. Ketika terjadi pelanggaran atas
perdamaian maka solidaritas itu menjadi terluka, karena telah terjadi
pelanggaran atas yang sakral. Yang sakral itu menjadi ikatan
solidaritas masyarakat. Dengan adanya yang sakral maka muncul
solidaritas diantara anggota masyarakat. Masyarakat berupaya
untuk mewujudkan yang sakral, dengan beberapa cara, ritus
merupakan upaya dari solidaritas masyarakat, diantaranya adalah
melalui festival, kesenian dan tradisi.
5. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang
didukung dengan studi kepustakaan yang berkaitan dengan
pengelolaan keragaman budaya.
a. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan
wawancara. Untuk menjaring data-data penting mengenai
integrasi dan disintegrasi sosial itu dilakukan dengan melakukan
observasi di lapangan secara langsung di ruang publik,
perkampungan kelompok etnis dan tempat lain di mana interaksi
budaya antaretnis terlihat intens. Pengamatan dilakukan juga
dengan menyaksikan tradisi dan seni pertunjukkan etnis secara
langsung. Untuk menjaring data-data yang terkait dengan
integrasi dan disintegrasi dilaksanakan juga dengan melakukan
wawancara, antara lain dengan tokoh masyarakat, adat,
masyakat, LSM dan pejabat pemerintah.
b. Analisis Data
Setelah data terkumpulkan kemudian dilakukan analisis.
Analisis dilakukan dengan melihat pengelolaan keragaman
budaya di kedua wilayah penelitian, yaitu di Kota Kuala Tungkal
5
dan di Kota Pontianak. Dari pengelolaan keragaman budaya
tersebut lalu dilihat aspek-aspek persamaan dan perbedaan.
6. Manfaat
Penelitian ini paling tidak ada beberapa manfaat yang dihasilkan:
a. Sebagai referensi untuk dijadikan model atau inspirasi dalam
upaya pengelolaan keberagaman budaya.
b. Memberikan referensi dalam meningkatkan kesadaran hidup
rukun dalam kemajemukan.
c. Sebagai referensi untuk terjadinya penguatan toleransi dan
solidaritas di dalam masyarakat yang multikultur.
d. Memberikan referensi untuk membangun pentingnya
kesatuan dan persatuan bangsa.
6
BAB II
PERMASALAHAN PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA
DI KUALA TUNGKAL, JAMBI
1. Profil Wilayah Penelitian
Wilayah penelitian dipusatkan Kota Kuala Tungkal yang
secara administratif masuk ke dalam Kabupaten Tanjung Jabung
Barat. Kota Kuala Tungkal sebagai Ibukota Tanjung Jabung Barat
mempunyai kondisi geografis yang berawa-rawa dengan tanah
gambut. Di wilayah ini mengalir dua sungai yaitu Sungai Pengabuan
dan Sungai Beram Itam. Kota ini dekat dengan pelabuhan transit
yang merupakan jalur pelabuhan antarpulau.
Penduduk Kuala Tungkal berjumlah 78.545 terdiri dari
penduduk yang tinggal di perkotaan dan perdesaan. Penduduk di
wilayah perkotaan berjumlah 54.065 jiwa sedangkan penduduk di
perdesaan berjumlah 24.480 jiwa.
Penduduk Kuala Tungkal kebanyakan bekerja di sektor
perdagangan, jasa, perikanan, perkebunan dan pertanian sebagai
karyawan swasta dan pegawai negeri sipil. Di sektor perekonomian
di Kota Kuala Tungkal didominasi komunitas etnis Cina, komunitas
etnis lainnya yang cukup banyak populasinya adalah Minang dan
Banjar. Pada sektor jasa, seperti penyedia sarana transportasi di
Kuala Tungkal banyak dilakukan oleh warga komunitas etnis Melayu
dan Banjar. Transportasi ke pusat Kota Kuala Tungkal dapat
ditempuh melalui jalan darat, sungai dan laut. Transportasi laut
mempunyai peran yang besar dalam mendukung mobilitas
penduduk di wilayah Jambi dan sekitarnya karena terdapat
pelabuhan transit Kuala Tungkal sebagai pintu gerbang yang
menghubungkan Kota Jambi dengan Batam, Malaysia dan
Singapura. Mobilitas penduduk di kawasan Jambi dan sekitarnya,
khususnya bagi orang yang harus transit di Kuala Tungkal dapat
memilih tempat menginap di beberapa hotel yang tersedia. Di sektor
perikanan, Kota Kuala Tungkal terdapat pabrik pengolahan ikan
yang dikelola oleh PT. Sumber Laut Utama. Populasi nelayan di
daerah itu kebanyakan berasal dari komunitas etnis Melayu, Bugis
dan Bajau.
7
Di sektor pemerintahan nampak dominasi etnis Banjar,
Melayu dan Bugis. Sedangkan, di wilayah perdesaan sebagian
besar penduduk bekerja di sektor perkebunan dan pertanian.
Penduduk yang bekerja di sektor perkebunan mengusahakan
tanaman kelapa, kelapa sawit, pinang dan kopi. Sedangkan di
sektor pertaanian, penduduk mengembangkan sistem irigasi
pasang-surut untuk bercocoktanam padi, palawija dan holtikultura.
Praktek pertanian dengan teknologi irigasi pasang surut ini
kebanyakan dilakukan oleh warga komunitas etnis Bugis dan Jawa.
Sebagian besar penduduk Kuala Tunggal beragama Islam,
jumlah penduduk beragama Islam 10.947 orang; 375 orang
menganut agama Kristen Protestan, 94 orang menganut agama
Katholik dan 357 orang memeluk agama Budha. Penganut agama
Buddha menempati jumlah yang paling besar di Kecamatan Kuala
Tungkal di bandingkan di kecamatan lain. Di Kota Kuala Tungkal
terdapat sepuluh masjid dan dua langgar. Sedangkan di Kecamatan
Kuala Tungkal terdapat 70 masjid, 70 langgar berjumlah 70, 3
gereja dan 1 vihara (BPS Kabupaten Tanjung Barat tahun 2005).
2. Komunitas-komunitas Etnis di Kota Kuala Tungkal
Di Kota Kuala Tungkal terdapat tiga etnis besar, yaitu,
Banjar, Bugis dan Melayu. Ketika komunitas etnis tersebut adalah
pendatang dari luar daerah Jambi. Di samping itu juga terdapat
berbagai komunitas suku seperti Jawa, Minang, Batak, dan Cina.
Komunitas-komunitas etnis yang beragam itu mempunyai budaya,
dan karakter yang berbeda-beda. Di Kuala Tungkal juga terdapat
komunitas etnis Bajau yang tinggal di pesisir pantai.
Komunitas etnis Banjar adalah komunitas etnis yang
terbesar dalam masyarakat Kuala Tungkal. Mereka menguasai
beberapa
sektor
pekerjaan seperti,
bidang
pendidikan,
pemerintahan, dan perdagangan. Sejarah lisan tentang keberadaan
orang Banjar, sebagaimana dituturkan oleh
Dalam catatan-catatan sejarah tidak tertulis secara lengkap
tentang etnis Banjar di Kuala Tungkal. Informasi tentang sejarah
tentang etnis di Kuala Tungkal ini kami dapatkan secara lisan dari
K.H Halim Kasim, Ketua Majelis Ulama Islam Kuala Tungkal yang
sekaligus adalah Kepala Adat Banjar, pada awalnya daerah ini
merupakan pantai kosong. Orang Banjar yang pertama kali datang
8
di Kuala Tungkal pada tahun 1850. Kelompok orang Banjar ini
berasal dari Kalimantan, mereka berimigrasi ke Sumatera karena
terjadi peperangan di daerah asalnya yakni perang antara kelompok
orang Banjar melawan Belanda yang disebut Perang Antasari.
Pemerintah Hindia Belanda yang menang perang pada tahun 1852
menghapus keeradaan Kerajaan Banjar. Tekanan politik yang
represif dari pemerintah kolonial Belanda itumenyebabkan banyak
orang Banjar bermigrasi ke Sumatera. Dorongan bagi orang Banjar
untuk bermigrasi menjadi semakin kuat karena pada tahun 1900
dilaksanakan kebijakan Tanam Paksa.
Orang Melayu pada waktu itu tinggal di pedalaman
sedangkan etnis pendatang bermukim di sekitar pantai. Penduduk
Melayu dengan adat-istiadatnya Melayu di Kuala Tungkal lebih
dekat dengan Melayu Kepulauan Riau. Di Kuala Tungkal juga ada
komunitas etnis Melayu yang berasal dari sebelah utara Pulau
Kalimantan atau wilayah Phillipina. Diperkirakan antara abad 18
sampai awal abad 19, mereka melarikan diri ke Kuala Tungkal,
faktor lain pendorong migrasi orang Melayu ini adalah peperangan
mereka melawan orang Spanyol.
Pantai bagian timur daerah Tanjung Jabung Timur
kebanyakan didiami oleh orang Bugis. Komunitas etnis Bugis paling
banyak tinggal di Pangkal Duri. Setelah Indonesia merdeka mereka
pindah ke Tanjung Jabung Timur. Kedatangan komunitas etnis
Bugis ini terjadi pada waktu pemberontakan Ibnu Hajar. Kelompok
orang Bugis yang datang ke Kuala Tungkal pada mulanya tidak
terlalu banyak. Kemudian, disusul sejumlah besar orang Bugis ke
Kuala Tungkal setelah pemberontakan Kahar Muzakar sehingga
terbentuk komunitas orang Bugis di daerah ini.
Di samping tiga komunitas etnis yang dominan dalam Kota
Kuala Tungkal terdapat komunitas orang Bajau. Komunitas orang
Bajau ini berasal dari Phillipina. Orang Bajau juga dikenal sebagai
pengembara yang menelusuri sungai-sungai di daerah Jambi.
Orang Bajau di Kuala Tungkal hidup di Kampung Laut dan di
sepanjang pantai sampai Kepulauan Riau
Orang etnis Bajau menurut K.H Halim Kasim termasuk Proto
Malayu, yang berasal dari Vietnam, dengan ciri khasnya mereka
mempunyai geraham yang menonjol. Mereka bermigrasi sampai
Sulawesi. Di antara komunitas etnis Bajau juga telah terjadi
9
perkawinan campur dengan warga komunitas etnis lain, diantaranya
dengan orang Bugis dan Melayu.
Karena tinggal di laut mereka mempunyai kehidupan yang
keras dalam mata pencaharian, ucapan mereka juga sangat keras,
hal ini di sebabkan karena dalam berkomunikasi sering kali
dilakukan dengan jarak jauh sehingga membentuk nada suara
mereka menjadi lantang. Alam membentuk mereka bertemperamen
keras. Lautan adalah lingkungan hidupnya. Pada siang hari mereka
pergi melaut mencari ikan, sedangkan pada malam hari mereka ke
darat. Untuk menghangatkan badan mereka kadang-kadang
mereka minum-minumana keras.
Kelompok etnis lain yang tinggal di Kota Kuala Tungkal
adalah kelompok orang Jawa. Orang Jawa di Kuala Tungkal
terkenal dengan kehidupan mereka yang rajin. Orang Jawa
dianggap memiliki sifat yang toleran, bersedia mengalah demi
kerukunan dalam kehidupan bersama. Komunitas etnis lain di Kuala
Tungkal adalah orang Minang, mereka dikenal sebagai orang yang
ulet dalam bidang perdagangan. Selain itu orang Minang juga
dikenal sebagai penjaja warung masakan Padang. Mereka juga
membuka toko-toko yang menjual pakaian dan kelontong di Kota
Kuala Tungkal.
Komunitas etnis Cina di Kuala Tungkal adalah minoritas
apabila ditinjau dari populasinya namun secara ekonomi mereka
menguasai sektor-sektor perekonominan yang penting seperti
pengusaha pabrik pengalengan ikan, pemilik atau juragan kapal
penangkap ikan, pengusaha walet, dan pemborong bangunan.
3. Interaksi Budaya
Kelompok etnis yang beragam itu masing-masing
mempunyai ciri khas dalam hal tradisi dan budaya. Dalam
keberagaman hidup bersama antarkomunitas etnis terjadi interaksi
budaya sehingga ada proses hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi kebudayaan mereka. Berdasarkan penelitian di Kota
Kuala Tungkal semua komunitas etnis berinteraksi dalam kesenian,
festival, pawai dan lomba seni; adat istiadat dan tradisi; agama dan
keyakinan; dan cara hidup serta perekonomian, secara bersamasama.
10
a. Mata Pencaharian dan Perekonomian
Salah satu pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian
ini pada aspek perekonomian adalah matapencaharian apa saja
yang banyak dilakukan warga masyarakat di Kuala Tungkal,
apakah-apakah masing-masing komunitas etnis mengembangkan
jenis pekerjaan tertentu? Apakah terjadi hubungan salaing
mempengaruhi antarkomunitas etnis melalui aktivitas sosial dan
perekonomian?
Warga dari berbagai komunitas etnis mengembangkan
sistem matapencaharian yang relatif berbeda. Sebagian orang
Banjar bekerja sebagai pengajar di lembaga pendidikan dan
pegawai negeri di beberapa kantor pemerintah daerah. Orang
Banjar juga ada yang membuka warung kopi, hal ini terkait dengan
kebiasaan orang Banjar ngopi sambil berbincang-bincang santai
dengan teman-temannya di warung kopi.
Orang Cina di Kuala Tungkal banyak membuka usaha di
sektor perdagangan, seperti usaha walet. Sepanjang kompleks
pertokoan di Kuala Tungkal banyak sekali gedung-gedung megah
bertingkat menjulang tinggi milik orang Cina yang dibangun menjadi
rumah sarang walet. Tidak sedikit orang Cina menjadi pengusaha
yang sukses. Dalam bidang perikanan, hal itu dibuktikan banyak
orang Cina yang memiliki beberapa perahu penangkap ikan.
Sebagian orang Bugis lebih dikenal bekerja sebagai
nelayan, namun diantara mereka juga bekerja di bidang perkebunan
seperti kebun kelapa dan sawit. Orang Melayu selain banyak yang
bekerja sebagai karyawan juga terkenal bekerja di sektor jasa,
perkebunan dan nelayan. Orang Minang secara umum dianggap
mempunyai bakat kultural di bidang perdagangan. Sedangkan
orang Bajau yang hidup di Kampung Nelayan, sistem matapencaharian mereka sangat mengandalkan hasil lautan karena
mereka hidup sebagai nelayan. Stereotipe tentang orang Jawa
adalah orang yang bersedia bekerja dalam semua bidang pekerjaan
dan memiliki ketrampilan dalam bidang pekerjaannya. Orang Jawa
juga banyak bekerja di bidang pertaanian dan perkebunan.
Di Kuala Tungkal terdapat pasar yang cukup terkenal, yaitu
pasar bekas yang menjual barang-barang import berasal dari
Singapura. Barang-barang yang dijual di sini sangat bervariasi,
mulai dari barang-barang elektronik, seperti laptop, komputer, HP,
11
TV, LCD, peralatan kantor, mainan anak-anak, jaket, dan baju-baju
bekas. Pada hari-hari tertentu pasar ini cukup ramai dikunjungi
orang bahkan banyak di antara mereka berasal dari luar propinsi
untuk berbelanja.
Masyarakat di Kuala Tungkal dalam bekerja dan berusaha
pada semua sektor perekonimian tidak pernah terjadi konflik
terbuka, meskipun secara alamiah berlangsung persaingan dalam
memperoleh keuntungan usaha mereka. Selain itu juga tidak terjadi
monopoli jenis pekerjaan tertentu komunitas-komunitas etnis yang
ada. Seringkali, beberapa warung makan milik orang Banjar dan
Cina berdiri berdampingan namun tidak pernah terjadi konflik
antarmereka.
Di Kuala Tungkal tidak ada komunitas etnis yang
mendominasi bidang perekonomian tertentu. Dengan demikian
diantara komunitas-komunitas etnis yang ada memiliki kedudukan
sejajar dalam sistem perekonomian di Kuala Tungkal. Berbagai
kegiatan
perekonomian
berfungsi
sebagai
media
yang
mempertemukan banyak orang dari berbagai komunitas etnis.
Berbagai jenis pekerjaan dan dilakukan oleh banyak orang dari
berbagai komunitas etnis dapat menumbuhkan sinergi saling
ketergantungan yang mendukung keberlangsungan sistem
perekonomian di daerah ini.
b. Kesenian, Festival, Pawai dan Lomba Seni
Salah satu pengertian budaya diidentikan dengan kesenian
(the arts), yaitu sebagai kegiatan intelektual dan artistik dari individu
atau kelompok masyarakat. Dalam tulisan ini ingin melihat seni-seni
dan kegiatan seni yang berkembang di Kuala Tungkal yang
membuat terjadinya interaksi budaya di antara beragama etnis.
Aktivitas kesenian di Kuala Tungkal tampaknya mempunyai
corak yang cenderung di warnai oleh Islam, seperti tari Zapin dan
Hadrah. Kesenian Melayu yang berkembang di sini adalah pantun
Melayu. Masing-masing komunitas etnis mempunyai kesenian yang
khas, seperti kesenian Bugis, Batak, Minang dan lainnya.
Kesenian yang dimiliki oleh komunitas-komunitas etnis itu
tidak bersifat statis namun berkembang dan saling mempengaruhi
satu dengan lainnya, seperti tari Zapin yang berkembang di Kuala
Tungkal adalah tari Zapin khas Kuala Tungkal karena pengaruh dari
12
seni beberapa komunitas etnis lain. Tari Zapin di Kuala Tungkal
berbeda dengan tari Zapin dari wilayah budaya Melayu lainnya.
Tarian Zapin di sini mendapat pengaruh seni Minang dan Banjar
sehingga dapat dikatakan bahwa tari Zapin yang berkembang di sini
adalah khas Kuala Tungkal. Tari Zapin di Kuala Tungkal sekarang
dianggap bukan lagi hanya milik komunitas orang Melayu namun
juga menjadi milik komunitas-komunitas etnis lainnya.
Masyarakat Kuala Tungkal yang beragam etnis itu
mengembangkan identitas bersama. Identitas bersama itu tidak lagi
membawa nama etnis masing-masing, tetapi melebur menjadi satu,
yaitu identitas masyarakat Kuala Tungkal.
Di samping terdapat seni yang telah menjadi identitas
bersama, dengan seni itu beberapa etnis mengukuhkan identitas
mereka. Di Kuala Tungkal berkembang seni dari masing-masing
komunitas etnis, misalnya komunitas etnis Bugis masih
menyelenggarakan aktivitas kesenian Bugis pada acara-acara
tertentu, seperti tari yang dilaksanakan untuk acara penyambutan
tamu. Di Kuala Tungkal terdapat pula seni Banjar seperti Al Banjari
dan Hadrah. Demikian pula seni budaya Batak berkembang dan
dilestarikan di Kuala Tungkal. Bagi warga Melayu Pantun Melayu
merupakan kesenian yang menjadi aset wisata. Di Kuala Tungkal
juga berkembang kesenian komunitas orang Cina, seperti
Barongsai.
Meskipun masing-masing komunitas etnis mengukuhkan
identitas kulturalnya namun di antara mereka mengembangkan
apresiasi terhadap kesenian yang beragam. H. Tjahrir Makka, Ketua
Adat Bugis mengatakan bahwa ketika diselenggarakan pentas
kesenian Bugis seringkali dihadiri oleh Ketua-Ketua dari
perkumpulan etnis lainnya, seperti Ketua Perkumpulan Banjar,
Melayu, Minang, dan sebagainya. Masyarakat dari komunitas etnis
lainpun bersedia menjadi panitia, dan membantu terselenggaranya
kegiatan kesenian ini agar berjalan lancar. Penontonnya yang terdiri
dari beragam komunitas etnis menunjukkan sikap empati pada
kesenian Bugis.
Melihat adanya potensi kesenian yang beragam di wilayah
Kuala Tungkal ini pemerintah daerah tergerak untuk memfasilitasi
perkembangan dan pelestarian kesenian dari semua komunitas
etnis. Setiap tahun pada Hari Kemerdekaan RI diadakan festival
keseniaan daerah. Hampir seluruh komunitas etnis yang ada di
13
Kuala Tungkal berpartisipasi untuk menampilkan kesenaian khas
mereka masing-masing. Festival kesenian ini merupakan wujud
kesadaran masyarakat dan pemerintah Kuala Tungkal bahwa
kebudayaan di daerah mereka bersifat multikultural. Mereka
membuat momen untuk mengapresiasi keragaman seni di wilayah
mereka.
Aktivitas
saling
mengapresiasi
kesenian
etnis
menumbuhkan rasa penghargaan yang bersifat timbal balik
antarkomunitas etnis. Rasa penghargaan yang bersifat timbal balik
itu mencipta rasa solidaritas antarwarga masyarakat Kuala Tungkal.
Melalui kegiatan festival kesenian dari semua komunitas dapat
dibangun integrasi sosial masyarakat Kuala Tungkal.
Apresiasi dan penghargaan pemerintah dan masyarakat
Kuala Tungkal atas keberagaman seni dan budaya di wilayahnya
juga diwujudkan dengan adanya pawai seni dan budaya. Pawai ini
biasanya diselenggarakan pada tanggal 17 Agustus atau Hari Ulang
Tahun Kemerdekaan RI sebagai satu rangkaian kegiatan dengan
festival seni daerah. Pawai seni dan budaya ini menampilkan arakarakan masal dengan menampilkan keunikan seni dan budaya
masing-masing komunitas etnis, lengkap dengan pakaian adat
mereka. Seluruh komunitas etnis di Kuala Tungkal berpartisipasi
dalam acara ini termasuk diantaranya adalah warga komunitas etnis
Cina.
Di Kuala Tungkal terdapat juga pawai yang disebut dengan
Arak-arakan Sahur. Pawai ini diselenggarakan pada saat malam
bulan Ramadhan. Pada mulanya tradisi ini bertujuan untuk
membangunkan orang untuk makan sahur dengan menabuh bunyibunyian yang berasal dari besi, seperti cangkul, dan sebagainya.
Hampir setiap malam pada bulan Ramadhan kelompok-kelompok
yang berpawai di jalan menabuh bunyi-bunyian yang memekakkan
telinga. Kelompok yang besar akan menghasilkan bunyi-bunyian
yang paling keras. Jika dua kelompok bertemu mereka saling
mengadu kerasnya bunyi yang ditabuhnya, kelompok yang kecil
biasanya akan minggir. Seringkali pawai ini tidak teratur. Karena itu
lalu muncul sebuah pemikiran dari pemerintah daerah dan
masyarakat setempat, tradisi ini kemudian dilembagakan menjadi
sebuah pawai yang diperlombakan yang dikoordinir oleh pemerintah
daerah.
Uniknya pawai ini diikuti oleh beragam golongan masyarakat
dari berbagai komunitas etnis. Namun, anggota pawai tidak
14
membawa nama etnis atau suku tetapi lebih membawa nama
kelompok sebuah organisasi tertentu, seperti Pramuka, sanggarsanggar seni, kelompok remaja masjid dan sebagainya, kelompok
kesenian dari komunitas etnis Cina juga turut berpartisipasi dalam
acara ini.
Pawai festival arak-arakan sahur yang diselenggarakan
sangat meriah dan kreatif, para pesertanya yang terdiri dari
kelompok-kelompok itu, tidak lagi sekedar menabuh bunyi-bunyian
dengan keras, tetapi bunyi-bunyian itu dikombinasikan dengan
berbagai irama musik, seperti lagu dolanan gundul-gundul pacul,
cucak rowa, lagu-lagu Islam, sampai pada lagu-lagu pop. Jenis
tetabuhannya juga beragam, tidak hanya berasal dari peralatan besi
saja tetapi juga terdapat bedug, gamelan, musik dari bambu dan
sebagainya. Para peserta tampil dengan berbagai ciri adat mereka
masing-masing, tampak misalnya mereka memakai pakaian adat
Bugis, Melayu, dan Jawa.
Aktivitas seni dan budaya di Kuala Tungkal lebih intensif
dapat dinikmati hampir semua golongan dalam masyarakat karena
adanya siaran televisi lokal yang menampilkan seni dan pertunjukan
khas Kuala Tungkal. Siaran televisi juga dapat dinikmati masyarakat
di tempat publik seperti di Pujasera. Tempat ini merupakan tempat
jajanan, warung, dan restoran yang terkenal di Kuala Tungkal,
seperti akau yang luasnya hampir sebesar lapangan sepakbola, di
tempat ini didirikan layar besar yang menampilkan pertunjukkan
seni dan budaya dari stasiun televisi lokal.
Media sangat berpengaruh dalam mengembangkan
apresisasi seni etnis di Kuala Tungkal. Beberapa seni dan budaya
etnis di Kuala Tungkal juga telah direkam dalam bentuk CD yang
telah dipublikasikan di masyarakat umum, seperti seni Hadrah dan
Al Banjari serta Qasidah.
Sikap menghargai seni dari suku-suku lain, juga dapat dilihat
dari hasil wawancara dengan para pemuda-pemudi kota Kuala
Tungkal, diantara mereka banyak memberikan jawaban dengan
memilih kesenian dari etnis lain untuk di pelajari. Seperti seorang
pemudi Palembang, mengatakan bahwa kalau saya disuruh memilih
kesenian, yang paling menjadi favorit saya adalah kesenian dari
daerah Sunda. Seorang pemudi dari Jawa misalnya ketika ditanya,
kesenian apa yang paling digemari, dijawabnya adalah kesenian
dari daerah Minang.
15
c. Adat Istiadat dan Tradisi
Tulisan ini mencoba melihat tradisi dan adat istiadat yang
berkembang di Kuala Tungkal. Bagaimanakah hubungan timbal
balik yang saling mempengaruhi itu terjadi dalam adat istiadat dan
tradisi komunitas-komunitas etnis di Kuala Tungkal?
Di Kuala Tungkal hidup beragam komunitas etnis dengan
adat istiadat dan tradisi yang berbeda-beda. Masing-masing
komunitas etnis memelihara dan melestarikan adat dan tradisi
mereka masing-masing. Di samping menegaskan adat-istiadat dan
tradisi masing-masing, semua komunitas etnis di Kuala Tungkal
disatukan dengan adat istiadat dan tradisi Melayu.
Adat Malayu seperti yang terdapat dalam ungkapan
tradisional bahwa “adat bersendikan sarak, sarak bersendikan
Kitabullah”. Ungkapan tradisional itu merupakan paradigma, bagi
masyarakat Kuala Tungkal. Seluruh aspek kehidupan masyarakat
berorientasi pada syariat agama Islam. Kalau tidak dapat dicek
kembali kesesuaiannnya dengan adat dan agama maka dipandang
sebuah tindakan itu menyalahi aturan. Pengertian adat disini adalah
kesepakatan yang telah dibuat oleh masyarakat, kalau di Kuala
Tungkal seluruh komunitas etnis harus taat pada adat Melayu, yaitu
adat yang harus didasarkan pada Agama Islam. Sedangkan, sarak
dalam pengertian ini adalah nilai-nilai dalam syariat Islam yang
harus diberlakukan dalam setiap aktivitas adat.
Seperti halnya dengan kesenian, adat istiadat dan tradisi
mereka tidak statis tetapi mengalami perubahan. Adat istiadat
Melayu yang diterapkan disini berkembang sesuai dengan kondisi
Kuala Tungkal yang beragam etnis. Tradisi dan adat Melayu yang
berkembang di sini lebih toleran dalam memandang sebuah
persoalan anggota masyarakatnya. Menurut keterangan Risnal. M
mengatakan bahwa dalam melaksanakan adat dan tradisi bagi
masyarakat Kuala Tungkal itu tidak seperti adat dan tradisi Melayu
di luar Kuala Tungkal. Dikatakannya bahwa kalau di Minang pernah
terjadi persoalan yaitu adanya perkawinan campuran,
salah
satunya menganut agama di luar Islam. Sesuai dengan adat maka
orang yang tidak beragama Islam dianggap bukan orang Minang,
maka lalu mereka di usir dari kampungnya. Kalau di Kuala Tungkal
lebih toleran. Masyarakat adat tidak pernah melakukan pengusiran
terhadap orang yang berpindah ke agama lain. Namun, kadang
16
mereka merasa terkucilkan sendiri, dan biasanya dengan sendirinya
pindah ke wilayah lain.
Sikap toleran masyarakat Kuala Tungkal ini pun tampak
dalam tradisi yang terpelihara. Dalam acara pesta perkawinan
misalnya, mereka mempunyai kebiasaan mengenakan busana
pengantin dengan tidak tergantung dari komunitas etnis apa mereka
berasal, tetapi sesuai dengan selera mereka masing-masing.
Mereka tidak risih atau merasa biasa
mengenakan busana
tradisional etnis lain karena di Kuala Tungkal tampak identitas etnis
itu telah melebur menjadi milik bersama.
Dalam tradisi juga memperlihatkan adanya sikap toleran dan
kerukunan di antara komunitas etnis di Kuala Tungkal. Di Kampung
Laut misalnya, masih dapat ditemukan bahwa ketika ada orang
punya hajat, pesta pernikahan misalnya maka tetangga sebelahnya
itu dengan rela rumahnya dibobol untuk di satukan dengan rumah
orang yang punya hajat agar lebih luas.
Di Kuala Tungkal ada pula tradisi yang mengambil anak
angkat. Masyarakat di sini mengembangkan sikap menghormati dan
empati terhadap orang lain. Setiap orang asing yang masuk ke
Kuala Tungkal biasanya diangkat anak oleh salah satu keluarga.
Dengan diangkat anak oleh keluarga ini maka orang asing tersebut
mendapat jaminan untuk diperlakukan dengan baik, seperti anakanak mereka lainnya. Pada jaman dahulu acara anak angkat ini
dilaksanakan dengan upacara adat, namun pada masa sekarang
untuk menjadi anak angkat biasanya hanya dibutuhkan
kesepakatan bersama antara anak angkat dan orang tua angkat.
Kesenian tradisional di Kuala Tungkal mengalami
perkembangan. Pengaruh unsur Islam yang kental dalam
masyarakat Kuala Tungkal sebagaimana pepatah “adat bersendi
sarak, sarak bersendi adat”, pada masa lalu pada masa lalu
beberapa upacara tradisional yang mengandung unsur animisme.
Di Kampung Laut misalnya ada acara melaut, petik laut, tradisi ini
pada masa lalu di tujukan untuk melakukan persembahan kepada
penguasa laut agar mendapat panen ikan yang melimpah. Pada
saat ini unsur-unsur ritual yang sifatnya animisme sudah diganti
dengan memasukkan unsur-unsur agama Islam, yaitu dengan do’ado’a yang dipanjatkan kepada Allah penguasa alam semesta agar
memberikan rezeki yang melimpah.
17
Di sini tampak bahwa Islam sebagai pedoman hidup dalam
bermasyarakat tidak secara frontal melarang tradisi, tetapi ajaran
Islam secara bijak dilaksanakan dengan melakukan penyesuaian
terhadap substansi tradisi yang berlaku.
Penerapan nilai-nilai ajaran agama Islam di Kuala Tungkal
ini sangat toleran terhadap tradisi, banyak komunitas etnis dapat
menerima dengan baik. Bahkan, di dalam komunitas etnis Cina juga
terpengaruh dengan tradisi yang bernafaskan Islam. Warga
komunitas Cina kadang-kadang melakukan tradisi slametan dengan
mengundang orang-orang Islam untuk berdo’a memanjatkan
keselamatan ketika mendirikan rumah atau toko, bahkan terdapat
sebuah tradisi bagi orang Cina saat meluncurkan atau membuat
perahu dilaksanakan upacara selamatan dengan mengundang
orang-orang Islam untuk memanjatkan do’a secara Islami.
d. Agama dan Keyakinan
Mayoritas penduduk Kuala Tungkal adalah penganut Agama
Islam. Penduduk lainnya, beragama Kristen Protestan dan Katholik
serta Buddha. Di samping empat agama tersebut beberapa diantara
mereka menganut aliran kepercayaan seperti yang dianut oleh
warga komunitas Bajau. Agama Islam adalah entitas dasar
kebudayaan masyarakat Kuala Tungkal. Agama Islam merupakan
basis orientasi nilai, sebagai pandangan hidup dan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Kuala Tungkal. Jumlah penganut
Islam yang cukup besar di Kuala Tungkal berasal dari komunitas
etnis Melayu, Banjar dan Bugis. Dalam komunitas etnis Banjar
banyak diantara mereka yang menjadi kiai, pendidik dan ustat serta
guru agama dibanding dengan komunitas-komunitas etnis lainnya.
Dalam hal urusan agama warga komunitas etnis Banjar sangat
mendominasi.
Dinamika kehidupan sosial budaya masyarakat Kuala
Tungkal lebih banyak diwarnai oleh nuansa Islami. Suasana Islami
itu tampak dalam banyaknya rumah peribadatan, seperti masjid dan
surau, madrasah, serta tempat pendidikan-pendidikan Islam yang
terdapat di setiap kampung. Saat menjelang Magrib terdengar
kumandang adzan serta lantunan ayat-ayat suci al Quran. Suasana
Islami tidak hanya mewarnai kehidupan sehari-hari masyarakat
18
Kuala Tungkal, tetapi juga terlihat dalam tradisi, seperti arak-arakan
sahur, dan kesenian yang berkembang seperti hadrah dan habsi.
Agama Islam menjadi sentral dalam kehidupan masyarakat
Kuala Tungkal dapat dilihat pula dari keputusan dalam memilih
jodoh. Setiap orang berharap agar dapat pasangan sesama
pemeluk agama Islam. Biasanya orang-orang tua menekankan agar
pilihan jodoh anaknya adalah sesama muslim. Bagi masyarakat di
sini persoalan perkawinan antaretnis tidak menjadi persoalan,
apakah calon jodoh anaknya dari komunitas etnis Batak, Bugis,
Cina atau Bajau asal mereka itu beragama Islam. Dalam kehidupan
berumah tangga itu nilai-nilai Islam secara lebih intens dapat
dihayati bersama, maka pilihan untuk menentukan jodoh sesama
Islam ini menjadi pilihan hidup yang paling utama.
Meskipun agama Islam mewarnai kehidupan masyarakat
Kuala Tungkal sehari-hari, tetapi dalam kehidupan beragama
mereka tidak bersikap fundamentalisme. Mereka mengembangkan
sikap toleransi dan saling menghargai sesama pemeluk agama lain.
Sikap penghargaan mereka ini tampak dalam memberikan
kesempatan kepada pemeluk agama lain menjalankan kebebasan
beribadahnya. Di Kuala Tungkal ini ada pula vihara dan gereja,
tetapi di tempat lain pendirian vihara atau gereja masih menuai
protes dari warga.
Kehidupan beragama di Kuala Tungkal sangat harmonis.
Hubungan yang harmonis itu tidak hanya sesama pemeluk agama
Islam yang memandang bahwa Islam adalah satu. Penghayatan
mereka terhadap nilai-nilai Islam itu membuat mereka menjadi
rukun dan harmonis. Mereka memandang bahwa perbedaan dalam
Islam adalah rahmat, jadi bukan untuk dipertentangkan. Perbedaan
pendapat dalam Islam itu sangat dihargai. Karena itu, tampak
berbagai corak atau aliran dalam agama Islam di Kuala Tungkal
hidup rukun dan damai.
Umat Islam di Kuala Tungkal ini saling menjaga kerukunan
hidup sesama, baik yang Islam maupun non Islam. Pernah suatu
saat ada penceramah dari luar yang diundang secara khusus untuk
berceramah, namun ternyata di tengah-tengah ceramah itu berisi
ucapan-ucapan yang bersifat ekstrim yang mengggangu rasa
kerukunan hidup bersama, maka oleh masyakatat pada saat itu juga
langsung mendapat teguran secara langsung atas ucapannya itu.
19
Penghayatan terhadap nilai-nilai ajaran agama Islam di
Kuala Tungkal ini dapat kita lihat dengan maraknya pengajianpengajian, baik yang dilakukan oleh kelompok kecil dalam wilayah
RT atau RW maupun kelompok pengajian yang besar, seperti yang
dipimpin oleh H. Abu Bakar. Pengajian ini dilakukan dalam bentuk
shalawatan yang melantunkan puji-pujian kepada Nabi Besar
Muhammad SAW. Uniknya untuk menghayati suasana kudus ini
digunakan rebana untuk mengiringinya sehingga dengan musik ini
tercipta suasana sahdu yang seolah-olah kita bertatap muka
berhadapan langsung dengan Nabi Muhamamad SAW.
Bagi penganut agama non muslim, melihat kenyataan
masyarakat yang mayoritas Islam, sikap mereka adalah
menghormati. Pada acara-acara peringatan keagamaan Islam,
biasanya mereka juga turut hadir untuk menyaksikannya. Kalau ada
selamatan kadang-kadang mereka yang beragama non Islam juga
hadir. Di wilayah ini tidak pernah ada konflik keagamaan yang
bersifat serius. Kehidupan beragama di Kuala Tungkal cukup
kondusif, mereka saling toleransi dan menghargai serta hidup
rukun sesama penganut agama lain.
4. Integrasi dalam Hubungan Sosial
Dalam bagian ini dicoba untuk melihat bagaimanakah
interaksi budaya dalam beberapa komunias etnis yang berbedabeda itu terjadi saling mempengaruhi satu sama lain, yang
mengakibatkan adanya pertemuan budaya baru di satu sisi
sedangkan di sisi lain telah terjadi penguatan identitas masingmasing etnis. Dalam interaksi budaya itu lalu dilihat tentang
integrasi diantara etnis-etnis tersebut. Integrasi sosial dalam hal ini
berarti bahwa di dalam interaksi budaya antar etnis itu telah terjadi
komunikasi yang kondusif, seperti adanya kerukunan, toleransi,
saling menghargai, mengembangkan sikap solider, saling percaya,
dan sifat-sifat positif lain dalam hubungan sosial. Ada beberapa hal
yang membuat etnis disini hidup dalam kerukunan, saling
menghargai dan toleransi.
Integrasi sosial di Kota Kuala Tungkal tampaknya berjalan
alamiah, dalam arti bahwa faktor-faktor integrasi itu berjalan apa
adanya, tanpa adanya rekayasa. Faktor lainnya yang menyebabkan
integrasi sosial di sini berjalan alamiah adalah kondisi geografis di
20
Kuala Tungkal yang berawa-rawa, dengan lahan yang sempit itu
mereka dihadapkan pada kebutuhan bersama, sehingga mereka
mengembangkan sikap kepedulian terhadap sesama. Ketika
terdapat hajatan mereka mempunyai kepedulian dan toleransi
terhadap tetangganya yang terbatas lahannya. Rumah mereka
bersedia dibobol untuk di satukan dengan rumah tetangga mereka
yang mempunyai hajat.
Integrasi sosial berjalan alamiah di Kuala Tungkal ini terjadi
karena tidak ada komunitas etnis yang dominan, beberapa
komunitas-komunitas etnis yang ada di sini adalah warga
pendatang semuanya, jadi tidak ada etnis asli yang ada di Kuala
Tungkal. Warga komunitas etnis di sini tidak ada yang merasa
superior. Mereka hidup bersama untuk mencari penghidupan, saling
toleransi dan bekerja sama.
Praktik ajaran agama Islam dilaksanakan dengan damai dan
toleran. Integrasi sosial di Kuala Tungkal berjalan karena faktor
agama Islam yang dominan mewarnai kehidupan masyarakatnya.
Agama Islam mempunyai kekuatan mempersatukan, karena Agama
Islam yang berkembang di sini adalah Agama Islam yang toleran,
agama yang menghargai perbedaan. Agama Islam di dalam
masyarakat Kuala Tungkal ini menjadi salah satu dari motor
perubahan sosial. Berkat ajaran agama Islam yang humanis itu
maka, telah terjadi integrasi sosial di dalam masyarakat.
Agama Islam yang berkembang di Kuala Tungkal itu
terintegrasikan dengan adat Melayu, yaitu adat bersendi sarak, dan
sarak bersendikan Kitabullah. Adat Melayu yang berkembang di sini
adalah adat Melayu yang toleran, seperti juga halnya dengan
Agama Islam yang berkembang adalah agama Islam yang toleran.
Karena itu, keduanya saling menguatkan antara agama dan adat
sama-sama berperan dalam tercapainya integrasi sosial dalam
masyarakat.
Integrasi sosial di Kota Kuala Tungkal dapat dilihat dalam
aktivitas kesenian-kesenian daerah, festival-festival, pawai dan
lomba-lomba seni, melalui aktivitas seni suku-suku yang berbeda itu
menjadi bersatu. Dengan adanya beraneka budaya yang berbedabeda ini mereka justru tidak mengedepankan perbedaan tetapi
mereka mengembangkan sikap saling toleransi, menghargai, dan
saling berbagi antara suku-suku yang berbeda. Untuk mengangkat
keragaman seni dan budaya itu pemerintah daerah mengambil
21
insiatif untuk membuat festival seni daerah dengan menampilkan
seni-seni pertunjukkan dari hampir seluruh komunitas etnis di Kuala
Tungkal.
Adat istiadat dan tradisi di Kuala Tungkal berperan dalam
integrasi sosial. Adat yang dikembangkan di Kota Kuala Tungkal
adalah adat Melayu. Sedangkan adat Melayu ini secara jelas
mengacu pada orientasi nilai-nilai dari Al Quran, adat bersendi
sarak, sarak bersendi Kitabullah. Beberapa tradisi di Kuala Tungkal
mempunyai peran dalam terjadinya integrasi sosial, seperti upacara
selamatan rumah atau peluncuran perahu yang dilakukan oleh etnis
Cina untuk turut mengundang orang-orang Islam.
Integrasi sosial dapat pula kita lihat dari tradisi mengambil
anak angkat, yang merupakan sebuah penghormatan kepada warga
pendatang. Melalui tradisi mengangkat anak orang lain di luar
kelompok itu dianggap menjadi bagian dalam kelompok yang
mengangkat anak. Di Kuala Tungkal tampaknya etnosentrisme tidak
berkembang secara ekstrim karena terdapat tradisi mengambil anak
angkat. Di sini tampak sebuah kerangka pemahaman budayayang
memandang
manusia itu bukan karena asal komunitas
sukubangsanya
namun lebih menekankan pada aspek
kemanusiaannya.
5. Disintegrasi dalam Hubungan Sosial
Berdasarkan atas uraian di atas terlihat bahwa di Kota Kuala
Tungkal menunjukan integrasi sosial yang sangat intens. Warga dari
komunitas-komunitas etnis pada umumnya dapat hidup rukun dalam
suasana saling toleransi, dan menghargai satu dengan lainnya.
Meskipun, dalam kehidupan sehari-hari terkadang terjadi silang
sengketa dan perselisihan, pada umumnya itu bukan persoalan
yang melibatkan komunitas etnis, tetapi sifatnya adalah pribadi.
Perselisihan biasanya terjadi karena salah paham dalam
pergaulan muda-mudi, antar remaja. Perselisihan itu tidak sampai
melebar menjadi perselisihan antarkomunitas etnis. Pernah juga,
perkelahian hingga sampai terjadi penghilangan nyawa pihak lain,
tetapi persoalan tersebut segera dapat diredam oleh para tokoh
masyarakat yang berpengaruh sehingga tidak membawa persoalan
pada tingkat hubungan antarkomunitas etnis. Persoalannya
22
lkemudian dianggap sebagai persoalan kriminal murni yang
diselesaikan menurut jalur hukum.
Beberapa tahun yang lalu, menjelang reformasi (tahun 1999)
terjadi pembakaran kapal milik orang Cina oleh para nelayan di
Kuala Tungkal. Persoalan ini muncul karena kapal yang digunakan
adalah sejenis pukat, sehingga akibat tindakan yang ceroboh ini
mengakibatkan nelayan-nalayan hasil lautnya menjadi berkurang
secara drastis. Persoalan ini segera dapat diselesaikan setelah
pihak pemilik kapal memberikan ganti rugi kepada para nelayan.
Tindakan para nelayan yang membabi buta ini dipicu oleh suasana
reformasi yang pada waktu itu terimbas pada masyarakat di kota ini.
Suasana emosional tampaknya seringkali ditularkan diantara
masyarakat. Ada kecenderungan masyarakat mudah mengimitasi
kekerasan.
Perselisihan antarkomunitas etnis itu juga pernah terjadi di
wilayah ini, antara lain antara komunitas etnis Bajau dan Bugis yang
terjadi sekitar tahun 1948 yang dipicu persoalan perjudian.
Beberapa tahun sebelumnya, yaitu pada 1940 juga terjadi
perselisihan antara orang Banjar dan Bugis mengenai masalah
mata pencaharian, namun berkat peran mediasi tokoh-tokoh
masyarakat yang kharismatik, perselisihan dapat segera diredam.
Sampai dengan tahun 1960 kondisi masyarakat secara
umum masih rawan konflik. Namun, pada saat ini keadaan sudah
banyak berubah, masyarakat hidup dalam kerukunan. Menurut
Sapari, anggota DPRD komisi B mengatakan bahwa kerukunan itu
faktor utamanya adalah rasa kesukuan mereka mulai menipis
karena telah terjadi asimilasi dan adanya perkawinan campuran.
Adanya peristiwa konflik antarkomunitas etnis di Kuala
Tungkal pada masa lalu telah menjadi pelajaran bagi generasi
berikutnya sehingga tidak akan terulang kembali. Berkaca pada
masa yang lampau maka diharapkan akan membuat kebaikan pada
masa kini. Masyarakat di Kota Kuala Tungkal pada umumnya
merasakan bahwa kondisi masyarakat saat ini berjalan dengan
penuh harmonis, saling toleransi dan menghargai sesama mereka.
Namun, pada saat ini dikhawatirkan akan muncul perpecahan
karena munculnya organisasi-organisasi paguyuban seperti KKSS
(Keluarga Kerukunan Sulawesi Selatan), IKM (Ikatan Kerukunan
Melayu) atau KKBK (Keluarga Kerukunan Banjar Kalimantan), serta
23
organisasi kedaerahan lainnya yang menjadi kendaraan politik para
elit tertentu untuk mencapai kekuasaan.
Beberapa tokoh masyarakat mengeluhkan kekhawatiran
mereka karena adanya kecenderungan organisasi-organisasi
paguyuban itu menjadi wahana perjuangan kepentingan politik para
pengurusnya. Pada umumnya mereka tidak keberatan kalau
organisasi-organisasi paguyuban itu tetap eksis di dalam
masyarakat, tetapi para pengurus organisasi tersebut tidak
memanfaatkan untuk kepentingan politik mereka. Sebagai sebuah
wadah interaksi budaya komunitas etnis untuk mengekspresikan
dirinya, menjalin silaturahmi dan persuadaraan, serta upaya
memperkuat identitas budaya suatu komunitas etnis dengan
melakukan pelestarian dan pengembangan kebudayaan maka
keberadaan organisasi itu akan menjadi semakin diterima
masyarakat apabila lebih memperjuangkan desiminasi gagasangagasan pluralisme budaya dan tidak
berorientasi pada
kepentingan politik.
Kecenderungan ke arah politis itu sudah mulai terlihat
seperti ucapan yang sering terdengar, bahwa orang Banjar harus
memilih pimpimpin yang berasal dari komunitas etnis Banjar.
Ucapan-ucapan seperti itu tampaknya kini dikhawatirkan akan
membuat disintegrasi di antara komunitas-komunitas etnis di Kuala
Tungkal.
Pada umumnya warga masyarakat tidak terpengaruh asal
usul komunitas etnis yang menjadi pimpinan di Kuala Tungkal,
sejauh mereka merasakan keadilan. Sebagian warga masyarakat
berharap siapapun yang memegang pimpinan bukan berorientasi
pada kepentingan sekelompok atau segelintir orang tertentu tetapi,
pimpinan harus berorientasi kepada kepentingan bersama.
Masyarakat Kuala Tungkal tidak mempersoalkan warga komunitas
etnis apa yang memegang pimpinan itu. Namun, dengan adanya
orgnanisasi-organisasi paguyuban yang menjadi wahana fasilitasi
kepentingan politik tertentu tersebut justru dikhawatirkan akan
memecah persatuan sosial masyarakat Kuala Tungkal.
Di Kuala Tungkal masing-masing komunitas etnis cenderung
mempunyai stereotipe tertentu. Orang Bugis misalnya dikenal
sebagai orang yang temperamental. Watak keras orang Bugis
diduga karena mereka dahulu, sebelum sampai di Kuala Tungkal
mengalami berbagai bentuk tindak represi terutama pada saat
24
terjadi pemberontakan Kahar Muzakar yang masih menyisakan
trauma dalam diri mereka. Pada saat ini, secara umum orang Bugis
sudah mengalami banyak perubahan seiring dengan perkembangan
jaman dan waktu. Generasi muda Bugis tidak lagi menampakkan
sikapnya yang temperamental. Mereka sudah berbaur dengan etnisetnis lainnya.
Demikian pula di Kuala Tungkal ini hidup etnis Bajau pada
umumnya mempunyai temperamen keras. Mereka hidup di lautan,
kalau malam hari singgah ke daratan, biasanya untuk minumminuman keras. Kebanyakan dari mereka kurang mendapatkan
kesempatan bersekolan.
Dengan adanya bermacam stereotipe etnis tersebut, justru
terjadi keseimbangan hubungan antarkomunitas etnis di Kuala
Tungkal. Hal terjadi karena ada komunitas etnis yang dianggap
memiliki karakter kasar dan ada pula komunitas etnis yang
dianggap memiliki karakter halus serta lebih toleran. Orang Banjar
ini seringkali lebih banyak terkesan mengalah kalau berhadapan
dengan orang dari komunitas etnis lain, beberapa diantaranya tidak
suka melakukan konflik yang berkelanjutan. Adanya beragam
komunitas etnis dengan berbagai sikap dan kebiasaan tersebut
tidak menjadikan masyarakat di Kuala Tungkal berada dalam situasi
konflik yang berkepanjangan. Justru mereka saling melakukan
sinergi dalam harmoni.
6. Pengelolaan Keragaman Budaya
Setelah melihat aspek-aspek yang berkaitan dengan
integerasi sosial dan disintegerasi sosial dalam masyarakat di Kota
Kuala Tungkal maka dalam bagian berikut ini akan memaparkan
pengelelolaan keragaman Budaya yang dilakukan di Kota Kuala
Tungkal.
Integrasi sosial di Kuala Tungkal berjalan secara alamiah
sehingga tanpa adanya peran pemerintah dalam pengelolaan
keragaman budaya pun masyarakat Kuala Tungkal sudah hidup
dalam kerukunan. Di samping itu integrasi sosial juga tidak terlepas
dari peran pemerintah yang mempunyai peran dalam hal
pengelolaan keragaman budaya. Dengan adanya Keputusan Bupati
No. 176 tahun 2007 tentang Dewan Penasehat dan Forum
Kerukunan Umat Beragama maka kerukunan umat beragama dapat
25
berjalan dengan baik karena setiap persoalan yang menyangkut
agama akan dibawa dalam sebuah forum yang mencerminkan
demokrasi. Setiap umat beragama mendapat perwakilannya dalam
forum tersebut sehingga diharapkan terjadi konsesus bersama
untuk
menyelesaikan
persoalan-persoalan
agama
yang
berkembang di Kuala Tungkal.
Pemerintah mempunyai peran sebagai agen yang
memperlancar terjadinya integrasi sosial di Kuala Tungkal, yaitu
dengan adanya penyelenggaraan festival-festival seni dan budaya
yang menjadi program rutin pemerintah daerah. Upaya pemerintah
untuk mengkoordinasikan serta mendukung secara penuh kegiatankegiatan yang melibatkan seluruh etnis membuat hubungan
antarkomunitas etnis di Kuala Tungkal semakin membaik. Di Kota
Kuala Tungkal ini juga mempunyai Dewan Adat Daerah yang
anggotanya terdiri dari beberapa komunitas etnis, yang tugasnya
adalah untuk mencari konsesus bersama untuk persoalanpersoalan yang berkembang di Kuala Tungkal, antara lain yang
menyangkut persoalan seni dan budaya, seperti konsesus untuk
menentukan bagaimanakah budaya khas Kuala Tungkal itu.
Di dalam masyarakat sendiri juga terdapat mekanisme
pengelolaan keragamaan budaya. Masing-masing komunitas etnis
mempunyai tokoh yang sangat mereka segani. Tokoh-tokoh ini
mempunyai peran penting dalam integrasi sosial dalam masyarakat.
Ketika terjadi persoalan yang menyangkut masalah komunitas etnis
para tokoh-tokoh formal ini secara langsung berperan untuk
melakukan negosiasi untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang
berselisih, sehingga perselisihan dapat diredam sedini mungkin dan
tidak meluas menjadi perselisihan antarkomunitas etnis.
Mekanisme pengelolaan keragaman budaya, juga dilakukan
oleh kelompok-kelompok keagamaan, seperti yang dipimpin oleh H.
Abu Bakar yang anggotanya terdiri dari berbagai komunitas etnis.
Mereka berkumpul tanpa perbedaan kelompok dan golongan untuk
melakukan ritual bersama dengan melantunkan puji-pujian kepada
Nabi Muhammad Saw. Mereka dipersatukan dalam suasana suci,
yang pada akhirnya suasana itu akan terbawa dalam kehidupan
masyarakat, menjadi orang yang santun dan lemah lembut seperti
yang dicontohkan dalam ajaran Islam.
Mekanisme pengelolaan keragaman budaya juga muncul
dalam masyarakat, dengan adanya tradisi yang berkembang di
26
sana, seperti adanya anak angkat bagi warga pendatang, resepsi
pernikahan, dan sebagainya. Dan, yang paling efektif adalah
adanya perkawinan campuran antar etnis di Kuala Tungkal,
sehingga dengan adanya perkawinan campuran ini mereka menjadi
membaur menghilangkan ego etnisitas masing-masing.
Setelah memamparkan pengelolaan keragaman budaya di
Kota Kuala Tungkal dengan segala persoalannya, maka pada bab
berikutnya kita akan melihat bagaimamanakah pengelolaan
keragamaan budaya di wilayah Kota Pontanak. Dengan
membandingkan antara keduanya, nantinya akan diharapkan
diperoleh model pengelolaan keragaman budaya yang lebih
komprehensif.
27
BAB III
PERMASALAHAN PENGELOLAAN KERAGAMAN BUDAYA
DI PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT
1. Profil Wilayah Penelitian
Bagian ini ingin memaparkan secara garis besar tentang
wilayah penelitian di Pontianak Ibukota Kalimantan Barat. Berdirinya
kota Pontianak mempunyai sejarah yang panjang. Pada awalnya
didirikan oleh Syarif Aburrahman Alkadrie yang membuka Kota
Pontianak pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 yang selanjutnya
dinobatkan sebagai Sultan Pontianak. Sebutan untuk Pemerintah
Kota Pontianak dikukuhkan oleh berdasarkan Undang-undang
Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah yang
diterbitkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang merubah
sebutan untuk Pemerintah Tingkat II Pontianak menjadi Pemerintah
Kota Pontianak.
Pontianak merupakan kota dengan masyarakat multietnis
yang mempunyai keberagaman budaya sangat kaya. Posisi
Pontianak sejalur dengan Malaka, Singapura dan Batavia pada
masa lampu sangat strategis sebagai jalan perdagangan terbuka
terhadap etnis pendatang. Letaknya yang berada dalam lalu lintas
perjalanan laut antara Semenjung Melayu, Sumatera dan Jawa
dimungkinkan menjadi tempat persinggahan beragam etnis.
Mengalirnya Sungai Kapuas yang berkelok-kelok dengan
berdirinya pemukiman, dan perkampungan di pinggir sungai dengan
lebar kurang lebih 400 meter menjadi pemandangan yang sangat
indah. Kota Pontianak menjadi semakin semarak dan hidup karena
lewat jalur sungai itu menjadi sarana transportasi untuk jalur
perdagangan.
Kota Pontianak yang berada diketinggian antara 0,8 sampai
1,5 m dari permukaan air laut membuat kota tersebut rawan banjir.
Ketika air laut pasang maka wilayah darat sering tergenang air,
untuk itu diciptakan parit-parit yang berfungsi sebagai penyalur
banjir yang melingkari setiap sudut kota. Kurang lebih terdapat 33
parit yang yang memberikan kesan bahwa kota Pontianak adalah
kota air. Parit-parit ini seringkali digunakan oleh masyarakat untuk
keperluan mandi, mencuci dan menggosok gigi, padahal airnya
28
keruh dan kotor. Fungsi parit lainnya adalah sebagai sarana
transportasi yang menghubungkan daerah pemukiman dengan
daerah pertanian dan pemasaran komoditi perdagangan. Pada
masa lalu parit berfungsi untuk menahan serangan musuh yang
datang dari luar, sehingga tidak secara langsung menyerang pusat
kota.
Kondisi lahan di Pontianak berawa-rawa dengan tanah
gambut, yang kurang subur untuk pertanian, di sini orang relatif sulit
untuk mendapatkan air bersih, biasanya untuk memenuhi
kebutuhan air bersih itu lalu digunakan air hujan, di dalam
perumahan penduduk terdapat genthong-genthong penampung air
hujan.
Pontianak disebut juga sebagai Kota Katulistiwa karena
dilewati oleh garis khatulistiwa, yaitu dalam posisi 0º02’24’’ LU
sampai 0º05’37’’ LS dan 109º16’25” BT sampai 109º23’24” BT.
Untuk itu telah di bangun tugu katulistiwa. Di tempat ini dapat dilihat
peristiwa kulminasi matahari, yaitu kejadian ketika matahari tepat
segaris dengan posisi tempat orang berdiri yang biasanya terjadi
pada tanggal 21-23 September pada pukul 11.49. Sambil
menunggu peristiwa tersebut biasanya diadakan serangkaian acara
kesenian yang seringkali dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun
mancanegara (Purwana:2004;7).
Jumlah penduduk Kota Pontianak menurut data statistik dari
BPS tahun 2000 berjumlah 464,534 jiwa. Komposisi tersebut
sebagai berikut: populasi etnis Dayak 21.449 jiwa; etnis Melayu
berjumlah 143.348 jiwa; etnis Cina 106.897 jiwa; etnis Jawa 65,269
jiwa; etnis Madura 47,495 jiwa; etnis lainnya, yang terdiri dari etnis
Bugis, Banjar, serta warga negara asing berjumlah 73,496 jiwa.
Penduduk Kota Pontianak mempunyai kelompok-kelompok
sosial berdasarkan atas komunitas etnis. Komunitas etnis Dayak
menempatkan dirinya sebagai kelompok sosial yang menekankan
aspek sosio-kultural banyak tinggal di daerah alur Sungai
Ambawang. Komunitas etnis Melayu, Bugis, dan Arab adalah
kelompok sosial yang identik dengan penganut Agama Islam lebih
menekankan pada aspek sosio-historis dan menetap di sekitar
kompleks Keraton Kadriyah. Sedangkan komunitas
Cina
merupakan satu kesatuan sosial ekonomi, tinggal di luar kompleks
keraton dan sebagian dari mereka tinggal di kompleks ruko yang
berada di daerah yang strategis untuk berdagang. Kota Pontianak
29
adalah wilayah dengan masyarakat mulitikultur yang mengembangkan kehidupan sosial perkotaan. Budaya kontemporer mulai
berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakatnya seperti yang
terlihat dalam gaya hidup anak-anak mudanya.
2. Komunitas-komunitas etnis di Kota Pontianak
Tulisan berikut ini ingin menguraikan tentang sekilas sejarah,
karakter dan kehidupan sosial budaya suku-suku yang ada di
Pontianak
a. Komunias etnis Dayak
Komunitas etnis Dayak di Kalimantan Barat menduduki
tempat tertinggi, yaitu kurang lebih 33 persen dari jumlah penduduk.
Sedangkan di Kota Pontianak, populasi mereka
lebih kecil
dibandingkan dengan komunitas orang Melayu, Jawa dan Madura.
Menurut perkiraan, orang Dayak termasuk dalam kelompok
Proto Melayu. Mereka seringkali di sebut sebagai suku asli
Kalimantan yang berasal dari daratan Cina Selatan (sekarang
Yunan). Mereka mengembara melalui Indo Cina ke Jazirah
Malaysia kemudian memasuki pulau-pulau di Nusantara dengan
tujuan untuk membuka lahan untuk bercocoktanam dan mengolah
sumber daya alam yang ada.
Gelombang kedua yang datang ke wilayah Kalimantan
adalah kelompok Deutro Melayu, mereka bermukim di pinggir pantai
yang pada waktu itu dihuni oleh komunitas orang Dayak. Istilah
Dayak mula-mula digunakan oleh orang Melayu untuk menyebut
kelompok penduduk asli di Kalimantan. Pada akhirnya kelompok
orang Dayak ini tergusur ke arah pedalaman. Mereka terdesak ke
pedalaman dengan semakin banyaknya kelompok orang yang
datang ke Kalimantan.
Komunitas etnis Dayak dahulu menganut kepercayaan asli
nenek moyang yang bersifat animistis. Secara prinsipil mereka
mempercayai adanya Kekuasaan Yang Maha Tinggi. Di antara
mereka ada yang memeluk agama Islam dan sebagian besar lagi
beragama Kristen. Bagi orang Dayak yang beragama Islam, mereka
cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan orang Melayu.
Namun, bagi orang Dayak yang beragama Kristen mereka tetap
disebut sebagai orang Dayak.
30
Pada masa lalu Kesultanan Melayu dan penjajah Belanda
sempat meminggirkan mereka. Orang Dayak dianggap sebagai
anak negeri yang tidak diperbolehkan bekerja di sektor administrasi
Kesultanan.
Menurut data yang diperoleh dari Institut Dayakologi,
kelompok etnis Dayak lebih kurang teridiri dari seratus sub etnis.
Pada umumnya komunitas-komunitas etnis Dayak mempunyai
simbol kultural-magis etnis yakni burung Enggang, dalam
kepercayaan orang Dayak pada masa lalu burung Enggang
dianggap simbol dari “Dunia Atas”, suatu tempat bersemayamnya
makhluk adi kodrati yang menguasai kehidupan manusia. Burung
Enggang hinggap di pohon, pepohonan dalam wujud berupa hutan
dianggap basis kehidupan material manusia Dayak. Hutan dan
tanah bagi msyarakat Dayak merupakan aset terpenting baik untuk
menunjang aktivitas kehidupan ritual, maupun kultural.
Kehidupan sosial komunitas Dayak ditandai oleh rasa
solidaritas dan kekerabatan yang sangat tinggi serta penghargaan
yang kuat terhadap garis keturunan. Dahulu mereka hidup dalam
komunitas kecil di rumah betang atau rumah panjang.
Ada beberapa karakter orang Dayak, mereka suka berbagi
kemujuran dengan sesama, demokratis dan menjunjung tinggi
kebersamaan dan musyawarah, hormat kepada alam dan
lingkungan hidupnya. Mereka tidak suka kekerasan, bagi mereka
musuh adalah yang menyerang secara fisik. Mereka kurang pandai
menabung dan merencanakan masa depan, manja kepada alam,
tidak mengenal sistem dagang, suka merendahkan diri, gampang iri
hati kepada orang sesuku dan mudah tersinggung kalau
menyangkut suku dan adat, menghormati tamu secara berlebihan,
kejujuran dan kepolosan, mudah ditipu (Pratikno dkk, 127:2001).
Masyarakat Dayak pada masa lalu mengenal tradisi
mengayau, suatu tradisi pemenggalan kepala atas dasar pencarian
eksistensi diri. Selain itu ada tradisi mangkok merah, yaitu: media
komunikasi untuk menjalin solidaritas khususnya dalam hal minta
bantuan komunitas orang Dayak lainnya untuk menghadapi musuh
bersama. Tradisi mangkok merah sering dianggap sebagai
mekanisme sosial untuk memobilisasi massa dalam situasi perang.
31
b. Komunitas etnis Melayu
Populasi orang Melayu menduduki peringkat tertinggi di
Pontianak dengan jumlah penduduk 143,348 jiwa apabila
dibandingkan dengan populasi komunitas-komunitas etnis lainnya.
Nama Melayu berasal dari nama Kerajaan Mo Lo Yue yang berdiri
di Jambi pada abad ke 8. Orang Melayu ini menurut perkiraan
berasal dari Deutro Melayu yang melakukan migrasi dari Yunan.
Proses terbentuknya etnis Melayu adalah karena pengaruh
penyebaran agama Islam masuk ke Sumatera dan Semenanjung
Malaka lalu berpindah ke Kalimantan.
Gambaran umum tentang orang Melayu adalah sekelompok
orang yang menggunakan bahasa Melayu serta menjalankan adat
istiadat dan tradisi Melayu. Hal yang paling penting dalam
membedakan komunitas Melayu dan komunitas selain Melayu
adalah orang Melayu mengidentifikasikan dirinya sebagai orang
Islam. Kecenderungan pengidentifikasian orang Islam sebagai
orang Melayu ini juga berlaku pada komunitas etnis lainnya di
Pontianak. Orang Cina dan Dayak yang beragama Islam dianggap
sebagai orang Melayu. Sebagian tokoh komunitas Melayu di
Pontianak bergabung dalam organisasi paguyuban yakni MABM
(Majelis Adat Budaya Melayu).
Mata pencarian orang Melayu baik di pedalaman maupun di
pesisir mempunyai karakteristik yang sama, yaitu mereka
menggantungkan diri pada hasil laut, menangkap ikan dan sumber
daya laut lainnnya. Di pedalaman mereka menggantungkan
hidupanya pada berburu, hasil tangkapan ikan di sungai.
Dengan bekal pendidikan mereka memasuki sektor-sektor
pemerintahan, jasa dan perdagangan. Sebagian besar mereka
mengandalkan sektor pertanian, perekebunan dan aktivitas mencari
ikan. Sedangan yang kurang mengenyam pendidikan dan tidak
memiliki lahan garapan, biasanya bekerja sebagai buruh, tukang
becak dan tukang sampan.
Menurut Pratikno, dkk dalam kehidupan sosial orang Melayu
mempunyai pandangan tidak memisahkan antara tradisi, adatistiadat dengan Agama Islam. Gambaran sifat orang Melayu dapat
terlihat dari ungkapan, raja adil raja disembah, raja zalim raja
disanggah. Mereka selalu berpijak pada Tuhan Yang Maha Esa.
Orang Melayu mementingkan penegakan hukum, mengutamakan
32
budi bahasa, pendidikan dan ilmu pengetahuan, menjunjung tinggi
budaya malu, mengedepankan musyawarah dan mufakat, ramah
dan terbuka kepada tamu, namun mereka juga mempunyai sifat
melawan jika terdesak (Pratikno, dkk, 127:2001).
c. Komunitas Etnis Cina
Komunitas etnis Cina merupakan komunitas etnis terbesar
kedua di Kota Pontianak sejumlah 106.897 jiwa, setelah populasi
komunitas etnis Melayu. Neenk moyang orang Cina diduga datang
ke Kalimantan Barat bersamaan dengan ramainya perdagangan di
Selat Malaka. Sedangkan, menurut data arkeologis di Kalimantan
Barat telah ditemukan mangkok, cangkir, pot dan meja dari keramik
yang bermotif Cina buatan abad XIII, yaitu pada masa dinasti Ming
1368-1644. Karena itu menjadi bukti bahwa pada abad ke-13 telah
terjadi kontak orang Cina ke Kalimantan Barat. Menurut X.F Asali,
yang mengutip pendapat JU Lontaan mengatakan bahwa pada
abad II dan IV, misalnya pelaut Cina berlayar ke Nan Yang
(Samudra Selatan) dan salah satu tempat berlabuhnya adalah
wilayah Sie Po Lo Cou atau West Borneo. Pada abad VII hubungan
antara Cina dengan West Borneo sering terjadi, bahkan perantuan
Cina sudah menetap. Di paparkan juga bahwa pada 1294 pasukan
Khubilai Khan dalam perjalanan ke Jawa sempat singgah di Pho Lo
Cou/ Pulau Borneo. Pasukan TarTar ini ketika kalah dalam
peperangan di Pulau Jawa saat melawan Raden Wijaya (Kerajaan
Majapahit) ada yang tidak berani pulang ke negerinya dan
melarikan diri hingga menetap di West Borneo
Sedangkan
kedatangan orang Cina ke Kalbar, yang merupakan migrasi yang
bertujuan mengadu nasib dengan mencari pertambangan emas
serta membuka hutan untuk dijadikan pertanian dan perkebunan
terjadi pada tahun 1772 yang dipimpinin oleh Lo Fong dengan
membawa sekitar seratus lelaki bujangan. (Asali, 2: 2008). Di antara
mereka banyak yang melakukan perkawinan campuran terutama
dengan orang Dayak.
Komunitas etnis Cina di Pontianak mempunyai tradisi Cap
Go Meh dengan menampilkan Barongsai dan Arak-Arakan Naga
serta atraksi para Tatung yang memperlihatkan kekuatan
supranatural yang digelar tiap tahun pada 15 hari sesudah Imlek.
33
Warga komunitas etnis Cina di Pontianak kebanyakan
beragama Budha, Kong Hu Cu, Kristen dan sebagian kecil mereka
menganut agama Islam. Orang Cina mempunyai kecakapan dalam
perdagangan mempunyai kehidupan perekonominan yang cukup
baik. Namun, diantara mereka juga ada yang melakukan pekerjaan
kasar, menjadi pedagang kaki lima, dan bahkan tukang becak.
Pada masa Orde Baru banyak kebijakan pemerintah yang
bersifat deskriminatif terhadap orang Cina diantaranya adalah
Instruksi Presiden No 14 th 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan
Adat-istiadat Cina, yang membatasi ruang gerak warga komunitas
Cina dalam melakukan ekspresi identitas kelompoknya. Demikian
pula dalam kehidupan politik terdapat kebijakan dari Instruksi
Menteri Dalam Negeri No. 455.2-360 tahun 1988 tentang penataan
Klenteng, serta pemberlakuan SBKRI sebagai surat bukti
kewarganegaraan Republik Indonesia. Sedangkan pada masa
pemerintahan Gus Dur, dengan adanya Instruksi Presiden No 6
tahun 2000 tanggal 17 Januari 2000 maka orang Cina diberikan hak
dan kewajiban yang sama sebagai warga negara Indonesia.
Sejak saat itu warga komunitas Cina mulai terbuka dalam
berbagai kesempatan dalam beberapa profesi seperti dalam
birokrasi dan pemerintahan. Pada saat ini telah terdapat warga
Cina yang memasuki profesi seperti TNI/Polri, maupun di lembaga
legislatif. Di antara mereka juga menduduki profesi sebagai dokter
dan para medis, tenaga akademisi di perguruan tinggi negeri
maupun swasta.
Dan pada saat ini banyak dari warga komunitas etnis Cina
yang menjadi pimpinan daerah, seperti wakil gubernur Kalimantan
Barat, diantara mereka banyak yang menjadi Bupati dan Walikota,
sedangkan hampir di semua DPRD Kabupaten dan Kota seKalimantan Barat telah banyak diisi oleh orang Cina.
Untuk mengungkapkan kebebasan berekspresi dalam
kegiatan berserikat dan berkumpul itu, komunitas etnis Cina
membentuk organisasi MABT (Majelis Adat Budaya Tionghoa),
dengan adanya organisasi ini warga komunitas Cina turut serta
dalam partisipasi aktif dalam pembangunan daerah. Orang-orang
Cina sebenarnya lebih senang menyebut dirinya sebagai orang
Tionghoa.
Pada umumnya orang Cina dikenal sebagai orang yang ulet
dan tangguh dalam perekonomian. Mereka juga terkenal sebagai
34
pedagang yang jujur, dan hemat. Namun, terkadang mereka
cenderung eksklusif. Orang Cina sangat menghormati leluhur dan
tradisi serta adat istiadat mereka. Mereka juga dikenal mempunyai
ikatan yang kuat dalam hal persaudaraan dengan sesama etnis.
d. Komunitas Etnis Jawa
Komunitas etnis Jawa di Kota Pontianak merupakan
komunitas etnis dengan jumlah 65,269 jiwa, terbesar ketiga setelah
komunitas etnis Cina. Populasinya melebihi populasi komunitas
Dayak, Madura dan Bugis. Menurut perkiraan orang Jawa telah ada
di Kalimantan Barat semenjak adanya kontak Kerajaan Majapahit
dengan kerajaan yang berada di Kalimantan Barat.
Pada masa kolonial Belanda, orang Jawa memang diberikan
kesempatan untuk bermigrasi ke Kalimantan Barat, karena
tanahnya masih terbuka luas untuk pemukiman dan pertanian.
Kedatangan orang Jawa sangat menguntungkan karena
ketrampilan orang Jawa dalam hal pertanian sangat berguna untuk
ditularkan kepada orang Melayu. Orang Jawa dikenal sebagai para
pekerja yang pandai, trampil, dan ulet. Mereka mempunyai
kemampuan adaptif dan toleransi yang tinggi. Mereka tidak suka
dengan konflik yang terbuka. Orang Jawa mempunyai sifat lebih
mengutamakan kerukunan dan kebersamaan, serta menerapkan
sopan santun dan menghargai sesama. Orang Jawa sangat
menghargai kesenian, utamanya mereka senang sekali menonton
pertunjukkan wayang.
e. Komunitas Etnis Madura
Populasi orang Madura di Pontianak menduduki peringkat
kelima dengan jumlah 47,495 jiwa, jumlah mereka lebih besar dari
populasi orang Dayak dan di bawah populasi orang Jawa. Menurut
perkiraan orang Madura datang ke Kalimantan Barat dalam dua
gelombang. Gelombang pertama diperkirakan datang pada abad ke
13, mereka hidup dalam sektor pertanian.
Gelombang kedua adalah mereka yang berpindah ke
Kalimantan Barat karena keterpurukan ekonomi. Mereka yang
datang ini kebanyakan berpendidikan rendah dan bahkan tak jarang
buta huruf, sifat-sifat mereka sangat emosional dan bertemperamen
tinggi. Namun dalam sektor pekerjaan, mereka dikenal sebagai
35
pekerja keras dan ulet. Mereka bekerja selain di sektor pertanian
juga di sektorinformal seperti pekerja kasar, tukang becak, buruh,
pedagang asongan, dan kuli pelabuhan.
Orang Madura mempunyai budaya carok, untuk
mempertahankan harga diri, mereka dapat melakukan perkelahian
dengan senjata (clurit). Penyelesaian masalah seperti secara
tradisional ini dahulu berlaku dalam masyarakat Madura. Orang
Madura mempunyai prinsip dalam penyelesaian masalah yaitu, ka
tembang pote mata, ango’a pote tolang (daripada menanggung
malu lebih baik mati).
Solidaritas diantara mereka sangat kuat terutama dalam
pembelaan terhadap keluarga. Mereka juga dikenal sebagai orang
yang sangat mengormati tamunya, mereka akan menjaga dan
menghormati tamunya, jangan sampai orang lain mengusiknya,
kalau ini terjadi maka akan berakibat buruk dalam hubungan sosial
dengan mereka.
Orang Madura pada umumnya beragama Islam, mereka
sangat segan dan hormat pada kyai yang dipandang sebagai figur
utama dalam masyarakat. Rasa keagamaan mereka yang kuat
terlihat dalam mampir di setiap perkampungan orang Madura
terdapat masjid atau musholla.
f. Komunitas Etnis Bugis
Kedatangan kelompok orang Bugis datang ke Kalimantan
Barat dapat dibagai menjadi tiga tahap, gelombang pertama adalah
akibat dari peperangan antara Hasanuddin dengan pemerintah
Kolonial Belanda, di Sulawesi Selatan khususnya di Kerajaan Goa
dengan adanya perjanjian Bungaya. Peperangan ini berakhir
dengan kekalahan Kerajaan Goa, para pedagang-pedagang Bugis
lalu menyebar ke Nusantara, salah satunya mereka bermigrasi ke
Kalimatan Barat. Gelombang ke dua datang pada akhir tahun 1946
awal tahun 1947 dengan adanya genocide yang dilakukan oleh
Kapten Westerling yang memakan korban banyak, maka mereka
merasa terancam lalu bermigrasi, salah satunya adalah di
Kalimantan Barat. Ketiga, pada tahun 1950 ketika terjadi
pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar, demi
keamanan di antara orang Bugis banyak yang bermigrasi ke luar
daerahnya.
36
Mata pencaharian orang Bugis di Pontianak terdapat dalam
banyak sektor kehidupan. Pada umumnya orang Bugis bekerja di
bidang pertanian dan nelayan.. Dengan dua sektor pekerjaan
tersebut orang Bugis adalah para petani yang telaten dan para
pelaut yang cekatan. Pada awalnya banyak orang Bugis yang
menjadi tuan tanah. Namun, tanah mereka banyak yang di jual
kepada etnis Cina. Mereka juga banyak yang menjadi pegawai
negeri dan pegawai swasta dan pedagang. Di samping itu terdapat
orang Bugis yang bekerja sebagai pedagang dan saudagar.
Secara umum orang Bugis di Pontianak sudah mengalami
pembauran, mereka banyak mengadakan perkawinan campuran.
Bahkan, seringkali di antara keturunan Bugis mengidentifikasikan
dirinya sebagai orang Melayu karena persamaan Agama Islam.
3. Interaksi Budaya
Masing-masing komunitas etnis yang beragam itu
mempunyai ciri khas dalam budaya mereka. Dalam keberagaman
tersebut mereka melakukan interaksi budaya, yaitu hubungan timbal
balik yang saling mempengaruhi. Berdasarkan penelitian di Kota
Pontianak dalam interaksi budaya antarkomunitas etnis tersebut
paling tidak terdapat hubungan keterkaitan antara budaya dan
ekonomi, budaya dan identitas etnis, budaya dan politik, dan
budaya dan agama.
a. Perekonomian dan Mata Pencaharian
Sejak lama di Kota Pontianak terjadi hubungan timbal balik
diantara komunitas-komunitas etnis dalam aspek perekonomian.
Masing-masing
warga
komunitas
etnis
mengembangkan
ketrampilan khusus dalam hal mata pencaharian. Orang Jawa pada
awal kedatangannya mempunyai peran penting dalam mengajarkan
ketrampilannya dalam pertanian; orang Cina dalam hal
perdagangan, dan orang Bugis dalam hal perkebunan dan
penangkapan ikan.
Di satu sisi terlihat hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan di antara komunitas-komunitas etnis dalam aspek
ekonomi. Namun, di sisi lain hubungan ini seringkali menimbulkan
konflik diantara komunitas-komunitas etnis yang berkepentingan.
37
Dalam beberapa kasus tampak terjadi penguasaan beberapa sektor
perekonomian yang didominasi kelompok etnis tertentu.
Tempat yang paling intens untuk melihat interaksi budaya
dalam hal perekonomian adalah pasar. Di Pontianak banyak
terdapat pasar tradisional maupun pasar modern, seperti Mall, dan
Supermarket.
Mall tidak hanya menjadi pusat transaksi pertemuan antara
penjual dan pembeli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seharihari. Mall mempunyai fungsi dalam interaksi budaya, yaitu
bertemunya budaya modern yang berpengaruh dalam pola dan
gaya hidup masyarakat lokal. Budaya modern itu dapat dilihat dalam
mall yang mempunyai fungsi rekreatif. Mall terdapat arena bermain
anak-anak, seperti game dan permainan modern yang
memanfaatkan teknologi elektronik lainnya. Namun, di dalam mall
juga terdapat banyak makanan-makanan dengan merk asing,
seperti Kentucky Fried Chicken, makanan khas Amerika, ada lagi
beberapa jenis makanan seperti Hot Dog, Humbergur, dan
sebagainya.
Mall juga mempunyai fungsi untuk mengungkapkan ekspresi
dan gaya hidup sebagai tempat mangkal kaum muda di Kota
Pontianak. Mall dipakai sebagai ajang pertemuan antara anak muda
untuk sekedar mejeng dan kumpul-kumpul serta nongkrong.
Dengan dandanan pakaian mereka yang khas, sepatu kats, rambut
disemir merah dan anak laki-laki terlihat ada yang pakai antinganting. Di antara remaja putri tampak berpakaian ketat, dengan
menonjolkan belahan dada, serta mengenakan celana panjang
yang tampak kelihatan sebagian celana dalamnya, suatu dandanan
yang sangat modis. Anak-anak muda ini tampak ceria dan suka cita,
bercanda dengan sebayanya.
Selain pasar yang bersifat modern di Kota Pontianak juga
terdapat pasar tradisional. Pasar tradisional ini biasanya terletak di
wilayah-wilayah pinggir sungai sebagai tempat sarana transportasi
warga masyarakat. Seperti pasar tradisional Tanjungpura, di dalam
pasar ini berinteraksi warga dari beragam komunitas etnis di Kota
Pontianak. Mereka berkomunikasi dan berinteraksi satu sama
lainnya, dipersatukan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama.
Di dalam pasar tradisional ini masih dapat ditemui beberapa
jajanan dan minuman tradisional, seperti jamu gendong, jamu
tradisioal yang terkenal dari Jawa. Di dalam pasar tradisonal ini
38
tidak hanya sekedar bertemunya pedagang dan pembeli saja. Di
dalam pasar tradisioanal ini bisa dimanfaatkan untuk kepekaan
rasa dengan melihat sisi-sisi humanis kehidupan manusia. Seorang
ibu yang dengan setia menawarkan dagangannya kepada pembeli.
Fenomena ini menggambarkan sisi humanis ketika sang ibu itu
berupaya keras untuk mencukupi kebutuhan hidup anak-anaknya.
Pasar sebagai tempat transaksi barang dan jasa juga tidak
terlepas dengan nuansa religius. Tempat ibadah di pasar menjadi
bagian yang sangat kondusif untuk menciptakan sebuah hubungan
sosial yang sehat. Dalam mencari kehidupan ekonomi setiap orang
diingatkan agar tetap sesuai dengan norma-norma kebaikan yang
diperintahkan oleh agama. Di Pasar Tanjungpura terdapat Masjid Al
Falah dan berdiri Klenteng yang letaknya saling berdekatakan. Di
antara para pemeluknya, baik yang beragama Islam maupun non
Islam merasa tidak ada yang terganggu. Mereka semua hidup
berdampingan di sela-sela kesibukan mereka berdagang di pasar.
b. Budaya dan Identitas Etnis
Ada anggapan umum bahwa masing-masing komunitas
etnis mengembangkan identitasnya masing-masing. Mereka
mempunyai karakter yang khas, seperti orang Madura dikenal
dengan budaya carok, atau Bugis dengan budaya siri’. Stigma itu
sangat melekat sehingga seakan-akan tidak ada kemungkinan
untuk melepaskan identitas tersebut.
Di Kota Pontianak tampak bahwa masing-masing komunitas
etnis mengembangkan identitas kelompok mereka. Namun, dipihak
lain mereka membuka diri untuk terjadinya akulturasi budaya
dengan etnis lain. Pengukuhan identitas etnis dapat ditelusuri dalam
seni, tradisi, dan adat kebiasaan yang terpelihara oleh masingmasing komunitas etnis.
Pengukuhan identitas etnis terlihat juga dengan muncul dan
berkembangnya institusi pendidikan dengan anak didiknya
mempunyai ciri khas sosial budaya yang homogen. Pengukuhan
identitas etnis tampak pula dari munculnya organisasi-organisasi
massa seperti, MAD (Majelis Adat Dayak), MABM (Majelis Adat
Budaya Melayu dan MABT (Majelis Adat Budaya Tionghoa),
termasuk para elit politiknya turut mengembangkan dan
mengukuhkan identitas komunitas etnis masing-masing.
39
Pengukuhan identitas ini terlihat juga dengan cara hidup
komunitas etnis yang mengelompok, seperti orang Cina yang hidup
dalam komunitas mereka sendiri dengan memelihara tradisi dan
adat khas mereka. Demikian pula dengan orang Madura, Melayu
dan Dayak mereka tersekmentasi dalam pemukiman para etnis
dengan memelihara tradisi masing-masing.
Sedangkan, adanya keterbukaan terhadap budaya dari
komunitas etnis lain tampak dari terjadi perkawinan campuran,
misalnya antara etnis Bugis dengan Melayu atau Melayu dengan
Dayak. Keterbukaan dengan budaya etnis lain, misalnya juga kita
bisa lihat adanya seseorang dalam etnis tertentu mengidentikan diri
dalam etnis yang berbeda, seorang keturunan Bugis misalnya
seringkali di samping menganggap sebagai orang Bugis tetapi juga
sebagai orang Melayu.
Ada fenomena dari
komunitas etnis Madura mulai
mengendur identitas etnisnya setelah pasca kerusuhan, misalnya
dalam hal penampilan, dan cara berpakaian. Mereka lalu
mengidentikkan diri dengan tradisi budaya kontemporer, dengan
rambut disemir merah dan pakai anting-anting bagi para
pemudanya. Ada kecenderungan mereka mulai menanggalkan
tradisi etnis Madura seperti cara berpakaian dan perilakunya.
Identitas etnis grup dapat pula terlihat dalam kegiatankegiatan tertentu seperti silaturahmi sehabis lebaran baik Hari Raya
Idul Fitri maupun Idul Adha; ketika ada upacara perkawinan;
khitanan atau haul (ulang tahun) paguyuban. Pada saat itu unsurunsur budaya etnis yang bersangkutan tampil dengan nuansa
kedaerahan yang sangat kental, misalnya penggunaan bahasa
daerah, busana daerah, makanan dan kesenian daerah melengkapi
pertemuan etnis.
Kegiatan secara bersama-sama diantara beberapa warga
dari komunitas etnis yang berbeda tampak dalam kehidupan sosial
di Pontianak. Orang Melayu memiliki kegiatan yang melibatkan
banyak orang, pada peristiwa yang sifatnya sosial keagamaan,
misalnya mengundang tetangga yang mempunyai kesamaan
akidah, mengundang warga pendatang untuk menghadiri perhelatan
dan bersama-sama melakukan kegiatan sosial lainnya. Kegiatan
bersama antar warga dari berbagai komunitas etnis juga dapat kita
lihat dengan acara olahraga bersama-sama, membersihkan
lingkungan atau siskamling untuk mengamankan lingkungan.
40
Ada penanda identitas etnis yang mencolok di Pontianak,
yaitu seringkali mengidentikkan orang yang memeluk agama Islam
dengan Melayu. Orang Bugis, atau lainnya yang beragama Islam
juga mengidentikkan dirinya dengan orang Melayu. Bahkan, bagi
orang Dayak yang memeluk agama Islam juga mengidentikkan
dirinya sebagai orang Melayu.
Identitas Melayu dapat kita lihat dari kesenian Melayu baik
yang berbentuk tarian, nyanyian, silat dan theater harus mengacu
dan mengandung nilai-nilai Islami. Kesenian Melayu dalam berbagai
bentuk banyak dipergelarkan dalam berbagai kesempatan seperti
silaturahmi dan halal bi halal selepas lebaran, haul/ulang tahun
Majelis, atau tampil ketika mendapat undangan dari pemerintah
daerah. Kesenian Melayu sudah tentu didukung oleh komunitas
etnis Melayu namun tidak jarang melibatkan warga dari komunitas
etnis lain baik secara aktif atau hanya sebagai penonton.
Komunitas etnis Melayu mempunyai agenda tetap setiap
tahun untuk melaksanakan festival kebudayaan Melayu. Demikian
juga Robo-robo atau napak tilas perjalanan Daeng Manambo di
Mempawah selalu dilaksanakan setiap hari Rabu akhir bulan Sapar.
Sebagai sebuah tradisi, Robo-robo juga menunjukkan sebuah
pengakuan dari orang Melayu terhadap eksistensi pendiri Kerajaan
Mempawah (sekalipun dia berasal dari Wajo-Sulawesi Selatan).
Sebuah bukti bahwa kerukunan atau penghormatan kepada
komunitas etnis tertentu, bisa lahir dari sebuah tradisi.
Dalam kehidupan tradisi yang banyak melibatkan banyak
warga adalah tradisi Dayak yang selalu melakukan upacara naik
dango, upacara yang dilangsungkan di kalangan Dayak juga
menjadi tontonan bagi etnis lainnya.
Pengukuhan identitas orang Cina di Pontianak dapat dilihat
dari tradisi Cap Go Meh yang dilaksanakan setelah 15 hari sesudah
Imlek, hari Raya Cina. Dalam tradisi ini ditampilkan arak-arakan
Naga, dan atraksi para Tatung yang dalam keadaan trance
mempunyai kekuatan supranatural seperti berdiri di atas mata
pedang yang tajam; menusuk-nusuk tubuh mereka dengan pedang
atau menusuk pipi mereka sehingga tembus di kedua sisinya.
Dalam acara ini pun juga terbuka bagi warga dari komunitas etnis
lain untuk melakukan partisipasi. Orang-orang Melayu biasanya
juga mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam arak-arakan
naga. Dalam acara Cap Go Meh di Singkawang pada tahun 2008
41
tahun ini tampak pula dari orang Melayu dan Dayak yang tampil
menjadi Tatung.
c. Agama dan Keyakinan
Agama dan budaya seringkali dipertentangkan. Namun, di
sisi lain telah terjadi sinergi antara agama dan budaya, seperti
ungkapan adat bersendi sarak, sarak bersendikan kitabullah.
Keduanya saling menguatkan bahwa adat itu harus mempunyai
sumber pandangan hidup dari nilai-nilai agama.
Di Kota Pontianak, diantara etnis itu terjadi partisipasi dalam
hal tradisi, dalam acara Cap Go Meh, Etnis Melayu dan Bugis
misalnya berpartisipasi dalam arak-arakan Naga, sebagian lagi ada
yang bersedia menjadi Tatung (pelaku dalam acara Cap Go Meh
yang kerasukan roh sehingga tubuhnya menjadi kebal terhadap
segala senjata tajam). Mereka tidak mempersoalkan bahwa budaya
Cina ini berkaitan dengan ritual agama. Namun, partisipasi mereka
ini telah menimbulkan sikap yang kontra dari MUI (dalam kasus di
Singkawang terdapat Tatung yang berpakaian muslim), karena
dianggap bahwa acara Cap Go Meh merupakan bagian dari ritual
keagaaman orang Cina, maka orang Islam diharamkan
berpartisipasi dalam ritual tersebut.
Keyakinan agama tertentu mempersatukan keberadaan
beberapa komunitas etnis, seperti Bugis, Dayak yang telah
memeluk agama Islam lalu mengidentikan dirinya menjadi warga
komunitas Melayu. Agama Islam dapat diterima oleh sebagian
orang Dayak meskipun dengan konsekuensi mereka yang
berpindah agama itu harus menanggalkan identitas budaya Dayak
yang melekat padanya. Sedangkan orang Dayak yang memeluk
agama Kristen tetap mengidentikkan diri sebagai orang Dayak.
Dalam kehidupan beragama di Kota Pontianak cukup
kondusif, orang dari berbagai komunitas etnis saling terjadi toleransi
satu dengan yang lain. Orang-orang Melayu juga mempunyai
toleransi terhadap sikap hidup dan tradisi masyarakat Dayak,
sebagai sebuah keyakinan yang mereka anut terbatas di kalangan
mereka sendiri. Dalam sebuah pertemuan yang melibatkan orang
Melayu dan Dayak misalnya, warga Melayu mulai menyadari
misalnya minum arak itu merupakan bagian dalam adat Dayak,
maka tidak lalu serta merta mengecam perbuatan mereka itu adalah
42
haram. Namun, bagi orang muslim sendiri perbuatan minumminuman keras itu dilarang oleh agama, maka bagi orang Melayu
yang beragama Islam hal tersebut diharamkan.
d. Budaya dan Politik
Dalam interaksi budaya di Kota Pontianak itu tampak telah
terjadi pula hubungan antara budaya dan politik. Dalam politik aspek
pemegang kekuasan mempunyai peranan yang penting dalam
mengatur budaya masyarakat. Seperti dikeluarkan SK Walikota
Pontianak No. 127 tahun 2008 tentang jual beli, pemasangan
petasan dan pelaksanaan arakan naga, barongsai dalam wilayah
Pontianak. SK ini memperlihatkan campur tangan penguasa
terhadap ekspresi budaya warganya. Hal ini menimbulkan sejumlah
pendapat yang pro dan kontra dalam masyarakat yang telah
menimbulkan sedikit ketegangan antar komunitas etnis yang
berkepentingan.
Untuk menanggapi SK Walikota itu terdapat peristiwa
Deklarasi Melayu Bersatu, yang menyatakan mendukung SK
Walikota tersebut. Mereka setuju dengan keputusan itu, karena
dirasakan bahwa acara Cap Go Meh dengan melakukan ArakArakan Naga itu melanggar ketertiban umum, karena jalan-jalan
sebagai sarana transportasi umum menjadi macet.
Sedangkan mereka yang kontra terhadap Surat Keputusan
Walikota merasa bahwa telah terjadi diskriminasi penguasa
terhadap pendukung budaya Cina. Mereka mempunyai alasan
bahwa SK Walikota ini telah memutus tradisi mereka dari akarnya,
mereka berpendapat tidak mungkin Arak-arakan Naga itu dilokalisir
di suatu tempat karena dalam tradisi itu terkandung makna dan
filosofi yang mendalam, dalam arak-arakan itu harus melakukan
ritual di klenteng-klenteng yang dilewatinya. Hal ini tidak mungkin
untuk dilaksanakan kalau arak-arakan dilaksanakan di suatu tempat
saja, maka orang Cina itu memboikot acara Cap Go Meh untuk
tahun ini tidak diadakan di Pontianak.
Acaranya kemudian
dilaksanakan di Kota Singkawang.
Dalam interaksi budaya itu, tampak pula bahwa budaya dan
politik bisa saling menguatkan, hal itu dapat dilihat dari organisasi
masa sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi dan ekspresi
sosial budaya sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan agenda
43
politik. Di Kota Pontianak terdapat organisasi paguyuban
berdasarkan identitas budaya kesukuan seperti MAD (Majelis Adat
Dayak), MABM (Majelis Adat Budaya Melayu), dan MABT (Majelis
Adat Budaya Tionghoa), namun dalam prakteknya organisasi ini
cenderung menjadi basis politik identitas para elit politik.
Keterkaitan antara organisasi masa dan politik tersebut
justru telah menimbulkan ketegangan di antara warga dari berbagai
komunitas etnis. Ketegangan di antara mereka itu dapat dilihat dari
menguatnya identitas budaya Cina dan tampilnya tokoh-tokoh Cina
dalam panggung politik Kalimantan Barat telah memicu resistensi di
kalangan elit Melayu. Salah satu contohnya: ”pelarangan” pawai
naga di Kota Pontianak dan upaya menggugat legalitas dan
eksistensi organisasi paguyuban orang Cina oleh Barisan Umat
Islam.
Hubungan budaya dan politik dapat kita lihat pula dari upaya
Barisan Islam untuk mempertanyakan legalisasi dan eksistensi
Budaya Tionghoa. Upaya untuk menggugat keberadaan MABT oleh
kelompok Barisan Umat Islam, telah membawa permasalahan ini
kepada forum DPRD Kota Pontianak. DPRD melakukan fasilitasi
terhadap kekuatan politik identitas etnis di Pontianak ini dengan
melakukan Rapat Dengar Pendapat yang diselenggarakan pada
tanggal 25 Februari 2005 di DPRD Kota Pontianak dengan turut
diundang beberapa pakar dan dan akademisi dari Universeitas
Tanjungpura, seperti pakar budaya, pakar sosial politik, dan pakar
hukum. Dalam rapat itu pula turut mengundang Kesbanglimas;
perwakilan dari Lembaga Melayu Pontianak, Perwakilan MABM,
perwakilan MAD, dan Perwakilan MABT, serta beberapa Yayasan
Sosial yang terkait dengan persoalan ini.
Pada prinsipnya terdapat pertanyaan besar dari Barisan
Umat Islam melihat keberadaan budaya Tionghoa di Kota
Pontianak, yaitu apa beda antara kebudayaan Tionghoa dengan
kebudayaan Cina? Barisan umat Islam menyatakan sebuah sikap
bahwa kebudayaan Cina adalah milik RRC (Republik Rakyat Cina)
yaitu bangsa Cina dan bukan milik bangsa Indonesia. Barisan Umat
Islam melihat bahwa peluang kebebasan dan persamaan yang
dibuka oleh pemerintah selama orde reformasi dimanfaatkan secara
baik oleh orang Cina untuk melakukan konsolidasi diantara mereka
terhadap seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, termasuk
diantaranya dalam kehidupan politik dan dalam kehidupan
44
kebudayaan Cina yang selama masa Orde Baru mendapat
penindasan.
Kekhawatiran Barisam Umat Islam ini juga cukup beralasan
karena jabatan dalam sektor-sektor penting di pemerintahan dan
birokrasi tampaknya mulai muncul tokoh-tokoh Cina, misalnya Wakil
Gubernur Kalimantan Barat adalah seorang Cina. Sedangkan dalam
tingkat DPRD banyak terlihat wajah-wajah Cina mempunyai
peranan menduduki wakil rakyat.
Hubungan budaya dan politik di Kota Pontianak dapat dilihat
dari upaya pemerintah Kota Pontianak membuat sebuah monumen
yaitu dengan patung yang menggambarkan tiga suku bangsa di
tengah-tengah kota yang meneguhkan tiga pilar budaya di Kota
Pontianak, yaitu budaya Dayak, Melayu, dan Cina. Dengan adanya
tiga pilar budaya dominan yang terdapat di Kota Pontianak itu, telah
memicu kesan diskriminasi, karena seolah-olah mengabaikan
keberadaan komunitas etnis lain sebagai penyangga hubungan
sosial dan budaya di Kota Pontianak. Dalam sebuah iklim
demokrasi dianggap kurang relevan mempersoalkan komunitas dan
budaya etnis yang dominan dan kurang dominan. Setiap komunitas
etnis mempunyai kesempatan dan hak yang sama dalam hal
kebebasan dan perlakuan yang adil.
4. Integrasi dalam Hubungan Sosial
Integrasi sosial menunjukkan bahwa dalam interaksi budaya
antar komunitas etnis itu telah terjadi komunikasi yang kondusif,
seperti adanya kerukunan, toleransi, saling menghargai,
mengembangkan sikap solider, saling percaya, dan sifat-sifat positif
lain dalam hubungan sosial. Ada beberapa hal yang membuat etnis
di sini hidup dalam kerukunan, saling menghargai dan toleransi.
Pasca konflik peristiwa berdarah beberapa tahun 1999 yang
silam hubungan antarkomunitas etnis di Pontianak dapat dikatakan
relatif damai. Masyarakat mulai menyadari bahwa tragedi
kemanusiaan itu jangan sampai terulang kembali. Seluruh potensi
yang ada di Kota Pontianak dihadapkan pada persoalan untuk
mewujudkan suasana damai dan aman di Pontianak. Pemerintah,
LSM, dan lembaga-lembaga terkait, serta tokoh masyarakat serta
warga sendiri berupaya menciptakan suasana Kota Pontianak agar
tetap damai dan aman.
45
Saat dilakukan penelitian di Kota Pontianak, beberapa orang
narasumber mengatakan bahwa pada saat ini Kota Pontianak
berada dalam kondisi sensitif terhadap konflik. Kondisi ini
sebenarnya dipicu dengan adanya kondisi perpolitikan di Kota
Pontianak yang semakin memanas. Namun, pakar politik dari
Universitas Tanjungpura, Gusti Suryansah mengatakan bahwa
situasi masyarakat yang sensitif konflik ini hanya sementara sampai
menjelang pilkada nanti
Hal yang sama dikatakan oleh Sudarto, pakar pendidikan ini
mengatakan
bahwa dirinya justru sangat optimis melihat
perkembangan Kota Pontianak sekarang ini. Pengalaman masa
lalu, dengan terjadinya tragedi konflik antarkomunitas etnis yang
mengerikan itu justru telah memberikan kesadaran baru untuk
tercapainya integrasi sosial di masyarakat. Tanda-tanda ke arah ini
menurutnya sudah muncul, yaitu dengan tampilnya banyak LSM
yang mengupayakan terciptanya perdamaian di Kalimantan.
Dikatakannya lebih lanjut bahwa tokoh-tokoh masyarakat
dari berbagai komunitas etnis sudah mempunyai kesadaran untuk
secara bersama-sama bersatu membicarakan persoalan-persoalan
yang terjadi di Pontianak secara demokratis. Persoalan sosial dan
budaya di Kota Pontianak itu dapat diselesaikan secara bersamasama dengan melibatkan seluruh kelompok etnis. Kesadaran untuk
menyelesaikan persoalan keberagaman budaya itu tercermin dalam
acara Sarasehan Budaya yang akan direncanakan pada bulan
Agustus 2008 nanti.
Dalam kenyataannya, suasana di akar rumput dalam
kehidupan masyarakat Kota Pontianak sehari-hari berjalan relatif
normal. Pengamatan kami di beberapa kampung, warga
masyarakat menunjukkan sikap rukun dan damai, kehidupan sosial
berjalan lancar. Kehidupan sosial cukup kondusif, warga dari
beberapa komunitas etnis yang ada menunjukkan sikap toleransi
dan kerukunan.
Integrasi sosial di Kota Pontianak yang telah tercipta ini tidak
terlepas dari peran LSM yang mengusahakan upaya-upaya
perdamaian sehingga membuat suasana hubungan antarkomunitas
etnis di Kota Pontianak menjadi kondusif. Di antara lembagalembaga ini mengupayakan terciptanya perdamaian di Pontianak
melalui pendidikan multikultur seperti yang dilaksanakan oleh
Lembaga Gemawan dan Institut Dayakologi, lembaga-lembaga
46
yang tergabung dalam ANPRI (Aliansi NGO Pro Rekonsiliasi
Indonesia).
Lembaga-lembaga ini juga aktif dalam melakukan
pemberdayaan ekonomi lintas komunitas etnis. Upaya mereka ini
dapat dipandang memberikan sumbangan penting dalam integrasi
sosial. Melalui kegiatan bersama ekonomi warga antarkomunitas
etnis mereka di sadarkan bahwa perbedaan entitas budaya bukan
merupakan masalah substansial dalam kehidupan masyarakat
tetapi masalah penting yang mereka hadapi adalah upaya bersama
dalam kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup
bersama.
Melihat pentingnya integrasi sosial di masyarakat, maka di
antara LSM ini terdapat kelompok yang membangun jejaring early
warning system dengan berbagai komponen masyarakat dan
instansi pemerintah untuk mendeteksi secara dini gejala-gejala
disintegrasi sosial yang mengarah pada konflik sosial secara
terbuka untuk memperoleh resolusi konflik berbasiskan masyarakat
Integrasi sosial di Kota Pontianak itu terjadi pula melalui
upaya-upaya kegiatan seni dan budaya. Melalui kegiatan seni
diharapkan di dalam masyarakat akan terjadi saling toleransi dan
menghargai keragaman dari berbagai komunitas budaya etnis.
Namun, saat ini masyarakat masih terlalu disibukkan dengan urusan
ekonomi dan politik daripada kegiatan seni dan budaya. Menurut
Indra - salah seorang tokoh seni dan budaya di Pontianak yang
sering kali mengadakan kegiatan kesenian dengan membawa tematema keadilan dan perdamaian dalam kegiatannya - mengatakan
bahwa yang dihadapi warga masyarakat di sini adalah persoalan
ekonomi, sedangkan persoalan budaya itu juga penting, tetapi
efeknya tidak langsung. Hasilnya akan dapat dirasakan dalam
jangka waktu yang lama. Diakuinya pula bahwa aspek politik yang
terjadi di Pontianak ini turut juga membuat meningkatnya atau
menurunnya ikatan sosial di masyarakat. Karena itu, peran seni dan
budaya yang menyentuh rasa kemanusiaan sangat di butuhkan di
Kota Pontianak.
Integrasi sosial di Kota Pontianak juga tampak dari upayaupaya yang dilakukan oleh pribadi-pribadi dan masyarakat yang
terdorong untuk tercapainya integrasi sosial di Pontianak, seperti
yang dilakukan oleh Wang Lie Fen yang kerap dipanggil Eny
Enawati. Merasa terjadi jurang pemisah antara orang Cina dengan
47
pribumi maka dirinya berupaya agar keberadaannya sebagai orang
Cina dapat diterima oleh masyarakat. Sebagai warga negara yang
baik ia berupaya untuk melakukan aktivitas-aktivitas sosial berbaur
dengan orang-orang dari berbagai komunitas etnis. Untuk
membangun rasa trust dan kepercayaan terhadap orang Cina itu,
salah satunya adalah upayanya adalah melakukan kerjasama
antara Wanita Buddha Dharma Indonesia dan AMPI (angkatan
Muda Pembaharuan Indonesia) untuk menampilkan kesenian
Angklung di Kucing serta menampilkan tari-tarian Dayak dan
Melayu. Sikapnya ini memberikan kesan bahwa sesungguhnya
orang Cina itu tidak ekslusif. Ia mengatakan bahwa “dengan
aktivitas tersebut kita semakin dekat dengan bangsa sendiri. Tidak
lagi merasa asing dengan budaya bangsa sendiri sehinggga saya
kira sedikit banyak akan mengurangi kecurigaan dan kesalahan
paham terhadap warga Tionghoa” (Pandhita Eny Enawati 2006: 83)
5. Disintegrasi dalam Hubungan Sosial
Wilayah Kalimantan Barat dalam sejarahnya pernah
menorehkan kisah tragis kemanusiaan, dengan puncaknya adanya
peristiwa konflik antakomunitas etnis yang mengakibatkan banyak
orang Madura yang tewas. Untuk itu, agar peristiwa yang
mengerikan itu tidak terulang maka dicoba untuk melihat penyebabpenyebab terjadinya disintegrasi di wilayah ini. Disintegrasi sebuah
masyarakat yang terlebih lagi dampaknya adalah pembunuhan
secara masal itu bermula dari sebuah kebencian, sedangkan
kebencian itu berasal dari kurangnya pengetahuan dan tidak
adanya toleransi.
Di samping terdapat potensi untuk terjadinya integrasi dan
ikatan sosial yang cukup baik di Kota Pontianak, sebaliknya
hubungan antarkomunitas etnis di Pontianak mempunyai juga
potensi konflik dan perpecahan yang cukup besar. Beberapa hal
yang memicu terjadinya konflik antarkomunitas etnis seringkali
bermula dari urusan pribadi. Urusan pribadi itu lalu merembet ke
masalah urusan komunitas etnis. Apalagi dipicu dengan adanya
stereotype yang dilekatkan pada masing-masing warga komunitas
etnis, urusan pribadi itu lalu berbuntut pada urusan komunitas etnis.
Setiap komunitas etnis tampaknya mempunyai stereotype,
kalau orang Madura itu sikapnya kasar dan mau menangnya
48
sendiri. Masing-masing komunitas etnis mempunyai karakternya
sendiri-sendiri yang dianggap oleh komunitas etnis lain itu sebagai
sebuah kekurangan. Dengan adanya karakter yang dilekatkan
kepada komunitas etnis tertentu itu, seringkali menimbulkan sikap
kebencian sehingga tidak obyektif dalam memandang sebuah
persoalan, seperti misalnya bila terjadi tindak kekerasan atau
pelanggaran hukum seringkali dihubungkan dengan komunitas etnis
tertentu.
Pada saat dilakukan penelitian ini, mulai terdapat kesadaran
dalam masyarakat bahwa ternyata anggapan negatif terhadap
orang dari komunitas etnis tertentu itu kurang dapat
dipertanggungjawabkan. Orang itu dinilai bukan dari latar budaya
komunitas etnisnya tetapi karena perilaku pribadi masing-masing.
Pada era demokrasi ini tampaknya kita kurang relevan kalau
membicarakan masalah stereotype etnis. Sikap toleran dan
menghargai perbedaan itu patut di junjung tinggi.
Semua komunitas etnis adalah sama, tidak ada komunitas
etnis yang inferior maupun superior. Orang itu dinilai bukan karena
suku atau kelompoknya tetapi setiap orang itu membawa tingkah
laku pribadinya sendiri. Dengan demikian sikap pribadi itu lebih
penting. Bujang Sabirin, seorang warga masyarakat di Kota
Pontianak mengatakan: “selama ini saya bergaul dengan etnis yang
bermacam-macam itu saya tidak pernah mengalami kesulitan,
karena saya yakin bahwa sikap saya lah yang paling menentukan
baik tidaknya orang kepada kita. Tempat saya ini adalah tempat
berkumpulnya para etnis, mereka seringkali meminta bantuan saya
untuk meminta nasihat. Saya kenal dengan orang Madura, tetapi
mereka juga baik kepada saya. Saya juga kenal orang Cina tetapi
mereka juga baik kepada saya. Orang itu tergantung pada
pribadinya sendiri”.
Pendapat itu senada dengan yang dikatakan oleh Ariston
seorang tokoh Muda Dayak juga mengatakan bahwa disintegrasi
sosial yang terdapat di Pontianak itu sebenarnya berawal dari
urusan pribadi. Karena itu, urusan pribadi itu harus clear, artinya
bahwa setiap orang harus mengembangkan sikap-sikap baik dalam
urusan dengan orang lain. Maka, diharapkan setiap orang bersikap
baik terhadap orang lain. Apabila hal itu dapat dilakukan dijamin
disintegrasi sosial tidak akan terjadi. Dalam masyarakat yang plural
itu, setiap orang harus membuka diri terhadap orang lain.
49
Urusan pribadi antar warga dari komunitas etnis yang
menyebabkan konflik serius di Kota Pontianak, hal seperti ini dapat
terlihat pada kejadian tanggal 17 Desembar 2007 yang lalu terjadi
insiden kecil yang melibatkan orang Cina dan Melayu. Peristiwa itu
sebenarnya berawal dari urusan pribadi namun persoalan kecil itu
merembet meluas menjadi persoalan komunitas etnis. Orang
Melayu mengkonsolidasikan dirinya membangun kekuatan dan
barisan dengan dibantu oleh kelompok orang-orang Arab, untuk
melakukan pembalasan terhadap orang Cina. Pada saat itu wilayah
Jalan Gadjah Mada, pusat pertokoan dan permukiman orang Cina
hendak diserang oleh orang Melayu yang mempersiapkan dirinya
dengan senjata tajam. Untunglah aparat keamanan mempunyai
kesigapan dan ketegasan dalam melakukan pengamanan
kerumunan orang yang bertikai, hingga pada akhirnya bentrok fisik
yang luas dapat dicegah.
Kondisi yang mengarah kepada adanya disintegrasi di
Kalimantan Barat ini, banyak faktor dipicu oleh persoalan politik.
Menurut Leily seorang pengamat sosial di Kota Pontianak
mengatakan bahwa sejak terpilihnya wakil Gubernur dari komunitas
orang Cina, membuat sebagian komunitas etnis lain merasa tidak
puas. Beberapa kebijakan pemerintah seringkali terseret dalam
persoalan yang sifatnya politik, dan berakibat pada munculnya
kelompok sosial yang mendukung dan menolak SK Walikota
tentang pengaturan arak-arakan naga.
Namun, sebenarnya SK Walikota itu kalau dijelaskan
dengan baik tidak akan menimbulkan persoalan, karena intinya SK
itu adalah pengaturan bukan merupakan pelarangan terhadap
tradisi Cina tetapi lalu persoalan itu dikerucutkan menjadi dilarang.
Persoalannya adalah masalah komunikasi, karena kebijakan
pemerintah itu perlu dijelaskan secara komunikatif. Karena
persoalan ini terseret dalam ranah politik maka terdapat pihak-pihak
yang menghembuskan ketidaksukaan terhadap kelompok lain
dengan mengangkatnya menjadi persoalan diskriminasi antarkomunitas etnis.
Kondisi yang terjadi di Pontianak merupakan persoalan
politik dan ekonomi yang berimbas pada budaya. Dengan
terpilihnya gubernur baru berarti strukturnya juga baru, maka
kelompok orang dalam struktur kekuasaan yang lama harus
tergeser. Di daerah, APBD adalah lahan perebutan sedangkan
50
birokrasi adalah tempat mereka “bermain”. Secara tidak langsung
permasalahan politik ini dipicu oleh permasalahan ekonomi. Ketika
pendukung struktur penguasa yang lama tidak mendapat
keksempatan menduduki kekuasaan akan menimbulkan resistensi
terhadap penguasa politik yang baru.
Adanya gejala disintegrasi sosial di Kota Pontianak ini,
diperlihatkan dengan adanya fenomena para elit politik
menggunakan organisasi paguyuban etnis seperti MABT, MAD, dan
MABM sebagai wahana perjuangan kepentingan politiknya.
Organisasi paguyuban etnis ini tidak lagi murni dalam
memperjuangkan aspirasinya dalam turut membangun Kota
Pontianak secara bersama, tetapi unsur kepentingan politiknya lebih
menonjol. Peran organisasi paguyuban etnis tidak lagi sebagai pilar
penyangga pelestari tradisi dan budaya daerah, sehingga muncul
kecurigaan-kecurigaan diantara mereka, seperti yang dilakukan oleh
Barisan Umat Islam sebagai penggugat legalitas dan eksistensi
MABT.
Disintegarasi sosial di Kota Pontianak salah satunya juga
disebabkan faktor mata pencaharian dan perekonomian. Orangorang Cina lebih dominan menguasai sektor-sektor perekonomian
dibanding dengan orang-orang dari komunitas etnis lain. Orang
Cina tampaknya mempunyai bakat di bidang ini. Dalam membuka
usahanya mereka adalah orang-orang yang gigih, lihai dan tricky
dalam soal perdagangan. Sesama mereka mempunyai tanggungjawab untuk saling membantu. Namun, tampak bahwa dengan
adanya kemajuan perekonomian yang mereka capai itu, masih
terkesan adanya deskriminatif terhadap penduduk pribumi. Untuk
mengisi posisi-posisi tertentu yang lebih mapan mereka
mempekerjakan khusus untuk orang Cina, sedangkan posisi lain
yang dianggap kurang penting mereka mempekerjakan orang
pribumi. Adanya pembagian struktur dalam dunia kerja yang terkait
dengan etnisitas ini seringkali menimbulkan kecemburuan sosial.
Warga komunitas etnis lain, seperti Melayu, Dayak, dan
Jawa pada umumnya bekerja sebagai bawahan yang digaji sesuai
aturan standar pengusaha Cina, artinya ada perbedaan dalam
sistem penggajian. Pekerja di luar kelompok orang Cina
memperoleh gaji lebih kecil dari pegawai yang berasal dari
komunitas orang Cina. Dalam hal ini tampak terjadi ketidakadilan
51
dalam distribusi pendapatan, karena dipicu diskriminasi yang
berakar pada budaya komunitas etnis.
Disintegrasi sosial di Kota Pontianak ini juga dipicu dengan
adanya eksklusifisme komunitas etnis yang terwujud dalam
pemukiman komunitas etnis yang relatif eksklusif. Sebagian orang
hidup dan tinggal dalam kelompok permukiman Cina, Madura,
Dayak dan Melayu. Sedangkan, komunitas Cina di wilayah ini lebih
ekslusif. Di Kompleks-kompleks perumahan jarang ditemukan
orang Cina yang tinggal di tempat itu karena orang Cina lebih
senang tinggal di daerah yang strategis untuk usaha ekonominya.
Sekat-sekat ruang berdasarkan pengelompokan etnis itu
terjadi pula dalam dunia pendidikan. Di Pontianak banyak tumbuh
sekolah-sekolah yang homogen,
yaitu sekolah-sekolah yang
berdasarkan kelompok etnis, seperti sekolah-sekolah yang
mayoritas siswanya dari latar budaya Cina, atau sekolah-sekolah
yang didominasi siswa dengan latar budaya etnis Madura, Dayak,
dan Melayu.
Adanya sekat-sekat ruang yang terkait dengan pengelompokan etnis ini seringkali telah mengarah pada perkembangan
sifat sifat eksklusifisme kelompok yang kurang sehat sehingga
memicu terjadinya disintegrasi sosial dalam masyarakat.
6. Pengelolaan Keragaman Budaya
Berdasarkan atas uraian di atas terdapat dua hal yaitu aspek
integrasi dan disintegrasi sosial. Dalam aspek integrasi tampak
bahwa dalam interaksi sosial itu terjalin hubungan yang harmonis,
terjadi komunikasi yang kondusif, seperti adanya kerukunan,
toleransi, saling menghargai, mengembangkan sikap solider, saling
percaya, dan sifat-sifat positif lain dalam hubungan sosial. Dalam
interaksi budaya itu juga tampak adanya aspek disintegratif, artinya
dalam komunikasi sosial tersebut orang-orang dari komunitas etnis
mengembangkan stereotype kelompok, eksklusif, kebencian, tidak
adanya tolerasi dan solidaritas, merasa terancam, bahkan terjadi
konflik fisik atau non fisik.
a. Melaksanakan Pendidikan Multikultur
Beberapa tokoh masyarakat serta pakar pendidikan di Kota
Pontianak berpendapat
bahwa
upaya
untuk mengelola
52
keberagaman budaya etnis dengan berbagai kepentingan di Kota
Pontianak, pendidikan multikultur sangat penting. Kesadaran untuk
menghargai perbedaan itu harus ditanamkan secara dini terhadap
anak didik. Pendidikan multikultur mempunyai tujuan jangka
panjang tetapi sangat penting untuk memberikan kesadaran anak
didik untuk menghargai pluralitas, lebih toleran, dan menghargai
sesama manusia.
Pendidikan multikultur telah diprakarsa oleh beberapa LSM
yang tergabung dalam ANPRI, yang anggotanya antara lain
Lembaga Gemawan dan Institut Dayakologi. Mereka mempunyai
program pendidikan multikultur terutama pada para anak didik
setingkat SMP karena diharapkan pada jenjang tersebut mereka
sudah mampu menghayati adanya perbedaan dan toleransi.
Pendidikan mulitikulutur ini terutama diprogramkan pada sekolahsekolah yang homogen, seperti sekolah-sekolah di komunitas Cina,
Melayu, Madura, Islam dan sebagainya. Materi yang disampaikan
adalah masuk dalam kurikulum muatan lokal. Anak didik dikenalkan
pada adat-istiadat dan tradisi etnis tertentu yang berbeda dengan
komunitas etnisnya, pelajaran adat istiadat Melayu untuk komunitas
etnis Madura, atau sebaliknya, demikian pula pelajaran tradisi dan
adat istiadat etnis Dayak untuk anak didik di komnitas Melayu atau
Madura, demikian itu terjadi secara silang-menyilang.
Beberapa sekolah-sekolah yang homogen telah menerima
tawaran pendidikan multikultur ini. Di Kota Pontianak sudah
dilaksanakan oleh sekolah milik Yayasan Pancur Kasih, yang
mayoritas anak didiknya adalah dari komunitas orang Cina.
Di samping itu pendidikan multikultur juga dilakukan dalam
kaitannya dengan masalah pemberdayaan perempuan untuk
mengkampanyekan perdamaian. Ibu-ibu yang tergabung dalam
arisan, pengajian-pengajian di kampung sangat efektif dalam upaya
untuk menyebarkan isu-isu tentang perdamain, terutama saat terjadi
konflik sosial kelompok-kelompok ini menjadi sangat efektif.
Lembaga Gemawan mempunyai komitmen terhadap persoalan ini,
dengan bertindak sebagai organiser kelompok.
b. Seni dan Budaya
Menurut Indra, salah satu seniman di Pontianak, yang
seringkali mengelola kegiatan-kegiatan seni, seperti pameran seni
53
rupa, photografi, film, dan theater mengatakan bahwa pengelolaan
keragaman budaya akan efektif kalau dilaksanakan dengan
menggunakan sarana kegiatan seni dan budaya. Kesenian dapat
memberikan kesadaran akan keberagaman, toleransi dan
humanisme. Melalui aktivitas kesenian orang diajarkan untuk peka
terhadap situasi, serta penderitaan orang lain dan belajark
menghargai budaya etnis lain.
Dari kelompok yang dipimpinnya ini, Indra pernah melaksanakan program seperti tour budaya
dengan mengenalkan pada anak didik untuk mempelajari budaya
suatu masyarakat tertentu. Dengan mengenal budaya suatu
komunitas etnis maka akan muncul apresiasi terhadap budaya
tersebut. Dalam waktu dekat ini, kelompok ini akan melaksankan
kegiatan budaya Saprahan, yaitu budaya makan bersama dalam
satu nampan secara bersama-sama, tujuannya adalah ingin
menggalang kebersamaan di antara warga dari komunitas etnis
yang beragam budaya dan keyakinan. Dengan mengembangkan
pemahaman multikultural antarkomunitas etnis melalui kolaborasi
seni dan budaya tradisional. Mereka juga berpendapat bahwa
dengan kesenian ini menjadi sarana dalam menghargai pluralitas.
Pemerintah daerah sangat menyadari bahwa unsur budaya
mempunyai fungsi dan peranan yang besar bagi kehidupan setiap
komunitas etnis, oleh karena itu dikeluarkan kebijakan untuk
menyelenggarakan festival kebudayaan yang dilakukan secara
terbuka dan dihadiri oleh warga semua komunitas etnis di
Pontianak. Dalam kesempatan itu setiap komunitas etnis diminta
untuk menampilkan kekayaan budayanya dalam karnaval budaya
dan ditonton oleh semua warga Pontianak. Peristiwa itu
berlangsung setiap memperingati hari besar nasional Kemerdekaan
RI 17 Agustus.
c. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Persoalan ketegangan antarkomunitas etnis yang terjadi
dalam masyarakat di Kota Pontianak ini sebenarnya juga tidak bisa
terlepas dari persoalan ekonomi. Konflik yang terjadi seringkali
muncul karena kesejahteraan masyarakat tidak tercukupi secara
merata. Timbulnya kesenjangan ekonomi menjadi pemicu terjadi
disintegrasi sosial. Beberapa komunitas etnis tertentu memegang
sektor perekonomian yang memberikan efek kesejahteraan lebih
54
dibanding komunitas etnis lain. Hal ini seringkali menimbulkan
kecemburuan sosial.
Mengingat urgensi permasalahan di atas, maka ada upayaupaya dari pihak LSM untuk melakukan pemberdayaan
perekonomian di dalam masyarakat. Misalnya yang dilakukan oleh
lembaga Gemawan yang sinergi dengan CU (Credit Union) dalam
upaya untuk memberdayakan ekonomi rakyat. Mereka melibatkan
beberapa komunitas etnis, seperti Dayak, Cina, Madura dan Melayu
dengan latar belakang budaya dan keyakinan yang berbeda.
Kegiatan para anggota yang beragam latar budaya dan agamanya
dalam bidang ekonomi ini lebih nyata manfaat sosial dan ekonomi
yang dapat dirasakan oleh mereka. Perbedaan latar budaya dan
agama diantara para anggota itu dapat dipersatukan karena
memiliki satu kepentingan dasar yang sama yaitu upaya bersama
untuk mencapai kesejahteraan dalam bidang ekonomi.
Menurut Leily direktur Lembaga Gemawan mengatakan
bahwa mereka ingin membuktikan bahwa CU itu hanya sistem
ekonomi saja, tidak benar CU itu hanya milik orang Dayak. CU yang
paling banyak melibatnya berbagai komunitas etnis dan banyak
pihak adalah Lembaga Gemawan. CU ini mengembangkan konsep
multikultur yang anggotanya rakyat biasa. Kebutuhan ekonomilah
yang menyatukan antarkomunitas etnis, anngota CU itu terdiri dari
orang Dayak, Madura, Malayu, Cina dan lainnya. Anggota CU yang
dikelola leh Lembaga Gemawan jumlahnya lebih dari 1000 orang.
d. Mengupayakan Situasi Aman, Damai dan Adil
Potensi disintegrasi sosial di Kota Pontianak itu masih
mungkin berkembang menjadi konflik terbuka. Banyak kalangan
mengusahakan perdamaian dan upaya-upaya untuk mencegah
konflik antarkomunitas etnis. Namun, tugas yang paling penting
adalah tindakan tegas aparat keamanan dalam mencegah
terjadinya konflik terbuka. Ketika terjadi peristiwa tanggal 17
Desember 2007 yang lalu, saat terjadi ketegangan antara warga
komunitas Melayu dan Cina, sikap tegas aparat keamanan punya
peran penting dalam mengatasi situasi yang genting.
Menjaga keamanan dan perdamian juga dilakukan oleh
sebagaian LSM yang membangun jejaring early warning system
dengan berbagai komponen masyarakat dan instansi pemerintah
55
untuk mendeteksi secara dini gejala-gejala disintegrasi sosial yang
mengarah pada konflik sosial secara terbuka untuk memperoleh
resolusi konflik berbasiskan masyarakat.
Menurut Tomoya Saito, seorang pakar konflik, pemusnahan
kelompok etnis itu berakar dari kebencian. Lalu ada beberapa fase
mengapa genocide itu sampai terjadi, tahap pertama adalah
cercaan atau hinaan. Fase kedua adalah tulisan-tulisan yang
membangkitkan kebencian. Fase ketiga adalah terjadinya
kekerasan fisik. Keempat adalah pembunuhan dan fase kelima,
adalah pembantaian etnis.
Fase-fase itu gejalanya sudah terlihat sebelum terjadinya
konflik. Tahap awal misalnya adanya cercaan, atau hinaan itu
muncul dengan memanfaatkan stereotype etnis tertentu. Lalu,
meningkat menjadi kebencian yang sifatnya kolektif, dengan
menggunakan tulisan-tulisan sebagai sarana untuk mengakumulasikan kebencian sebuah kelompok. Akumulasi kebencian
itu meningkat menjadi tindak kekerasan yang melibatkan kelompok
etnis, hingga terjadi pembunuhan antarkelompok etnis itu terjadi.
Dengan adanya jejaring LSM ini dimaksudkan agar tragedi
kemanusiaan yang pernah terjadi di wilayah ini tidak akan terulang
kembali.
Aparat keamanan dan pihak penegak hukum sangat penting
dalam pengelolaan keragamaan budaya di Kota Pontianak untuk
menciptakan suasana masyarakat yang damai. Pengelolaan
keragaman budaya, juga menyangkut masalah keadilan, aparat
keamanan dan penegak hukum diharapkan dapat berlaku adil
terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keberagaman
budaya etnis di Pontianak. Masyarakat sangat menaruh
kepercayaan kepada aparat keamaan dalam rangka untuk
menciptakan keamanan di masyarakat. Seperti yang dikatakan
Teguh - salah satu Ketua RW di Kota Pontianak - masyarakat
diharapkan mempunyai rasa percaya kepada aparat dalam
beberapa kasus yang menyangkut masalah konflik antarkomunitas
etnis. Masyarakat diharapkan tidak terpancing secara emosional
bertindak dengan cara mereka sendiri.
Pemerintah daerah dalam mengupayakan warga agar hidup
rukun sudah tentu menjadi agenda yang penting. Upaya itu
diwujudkan dalam visi dan misi yang bertema “Harmonis dalam
Etnis”. Visi dan misi tersebut kemudian dijabarkan dalam program
56
penanaman komitmen kebersamaan, wawasan nusantara, bela
negara, kegiatan yang memberi peluang kepada semua
kebudayaan agar bisa tampil. Secara kongkrit semua kebijakan
pemerintah daerah tersebut diwujudkan melalui kegiatan seminar,
dialog antar budaya, dan dialog di stasiun televisi lokal. Semua
komunitas etnis ketika memperingati hari-hari besar nasional
memfokuskan semua kegiatan budaya kepada peningkatan
toleransi.
Untuk menjamin keamanan dan ketentraman kehidupan
bermasyarakat, pemerintah daerah menerbitkan SK Gubernur tahun
2006 sebagai penjabaran dari Peraturan Bersama Menteri Agama
dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006 dan No. 8 tahun 2006.
SK ini dimaksudkan untuk mengatur hubungan sosial antar umat
beragama agar tidak terjadi konflik terbuka.
e. Konsesus Bersama
Peran komunikasi antarkomunitas etnis ini menjadi penting
dalam upaya untuk mengelola keragaman budaya. Konflik-konflik
yang melibatkan hubungan antarkomunitas etnis biasanya dipicu
oleh konflik pribadi. Karena itu, meningkatkan komunikasi yang baik
antarpribadi itu penting. Kalau komunikasi pribadi itu baik maka
komunikasi antarkomunitas etnis akan mengikuti. Dengan
komunikasi itu dapat dikembangkan sikap toleransi dan saling
menghargai. Seperti, pelarangan tradisi Arak-Arakan Naga,
persoalan pokoknya adalah masalah komunikasi. SK Walikota itu
dimaksudkan sebagai sebuah pengaturan, dengan melokalisir
tradisi tersebut agar tidak mengganggu ketertiban umum. Namun,
bagi orang Cina pengaturan itu justru telah dianggap memutus akar
filosofis tradisi dari ritual tersebut. Alasan ini tidak dikomunikasikan
dengan baik oleh orang Cina, sehingga sedikit banyak telah
menimbulkan ketegangan di antara mereka.
Untuk mengelola keberagaman budaya itu, di dalam
masyarakat Kota Pontianak mulai muncul kesadaran baru bahwa
komunikasi antarkomunitas etnis itu penting untuk mencegah
terjadinya konflik. Di antara para tokoh komunitas-komunitas etnis
tersebut mulai banyak mengkondisikan untuk mencari penyelesaian
bersama dalam suasana yang demokratis. Seperti yang dilakukan
oleh Barisan Umat Islam, masalah gugatan Barisan Umat Islam
57
terhadap legalitas dan eksistensi Budaya Tionghoa itu dilaksanakan
dengan cara yang demokratis dengan membawa persoalan ini ke
forum DPRD.
Dalam upaya mencari identitas Kota Pontianak yang
multikultur itu telah dirancang dalam tahun ini direncanakan sebuah
pertemuan bersama yang melibatkan tokoh dan pakar budaya dari
beberapa etnis untuk merundingkan dan mencapai konsesus
bersama mengenai persoalan sosial dan budaya yang terjadi di
Kota Pontianak.
Untuk para pemuda telah dibentuk Forum Komunikasi
Pemuda, yang merupakan wadah kaum muda di Kalimantan Barat
yang terdiri dari beberapa etnis untuk secara bersama-sama
berpartisipasi dalam mengkondisikan masyarakat yang multikultur.
58
BAB IV
ANALISIS
1. Yang Sakral
Apa yang dikeramatkan oleh masyarakat di dalam wilayah
penelitian Kuala Tungkal berasal dari sebuah penghayatan agama
Islam. Agama Islam merupakan pusat sakral yang mempunyai
makna dalam hubungan sosial. The sacre dalam masyarakat Kota
Kuala Tungkal lebih dekat dengan agama dalam arti yang
sesungguhnya bukan dalam pengertian sosial. Agama sebagai
pusat kehidupan sosial dan budaya masyarakat dapat dilihat dalam
ideologi komnitas etnis Melayu yang berbunyi adat bersendi sarak,
sarak bersendi Kitabullah. Seluruh aspek kehidupan masyarakat
harus berdasarkan atas ideologi komunitas etnis ini yang sudah
barang tentu bersumber dari hukum agama.
Secara spesifik dalam hubungan antarkomunitas etnis di
Kuala Tungkal berasal dari ajaran agama Islam yang terdapat
dalam Al-Quran, yang mengajarkan kerukunan dan cinta damai.
Dalam kaitannya dengan interaksi antarkomunitas etnis maka
kerukunan memperloleh legalitasnya dari agama. Karena nilai
kerukunan dipandang sebagai sebuah nilai yang mendapat dasar
dari keyakinan agama maka kerukunan menjadi hal yang
disakralkan. Dengan adanya nilai agama yang dikeramatkan dalam
masyarakat Kuala Tungkal ini, mempunyai dampak yang cukup
besar dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakatnya. Seluruh
aspek dalam kehidupan masyarakat bermuara pada penghayatan
adanya nilai yang dianggap keramat dalam ayat suci Al Quran.
Karena itu lalu tumbuh integrasi sosial di masyarakat, yaitu
berkembang sifat-sifat yang positif, seperti rasa saling menghargai,
solider, toleransi, dan cinta kasih sesama manusia yang berasal dari
penghayatan akan ajaran agama Islam.
Secara umum bahwa dalam masyarakat di Kuala Tungkal
adalah masyarakat dengan penghayatan agama Islam yang toleran,
sehingga penganut agama lain itu dihargai juga keberadaannya.
Agama Islam di Kuala Tungkal menjadi agama Islam yang humanis
karena dapat menghargai perbedaan dan menghargai agama lain.
Agama Islam telah membentuk masyarakat Kuala Tungkal sebagai
59
masyarakat yang egaliter. Islam yang berkembang adalah Islam
yang damai bukan Islam yang fundamental, sehingga mampu
menempatkan penganut agama lain itu dalam kerangka hubungan
sosial yang lebih humanis.
Sedangkan apa yang terjadi di Kota Pontianak the sacre itu
lebih menunjuk pada sebuah ideologi kelompok yang sangat
didambakan yaitu perdamaian. Mengapa perdamaian menjadi kata
atau istilah yang disakralkan di Pontianak. Karena wilayah ini
mempunyai latar belakang historis yang tragis berkaitan dengan
hubungan antarkomunitas etnis. Tragedi kemanusiaan yang pernah
terjadi pada tahun 1999 itu yang mengakibatkan korban jiwa dari
komunitas etnis Madura. Masyarakat menjadi berinstropeksi diri,
mengapa peristiwa yang di luar batas kemanusiaan itu dapat
terjadi? Dalam kaitannya dengan peristiwa itu maka hampir seluruh
komponen masyarakat berupaya untuk tidak mengulang lagi
peristiwa itu, mereka mensakralkan isu perdamaian di Pontianak.
Dengan adanya isu perdamaian sebagai sesuatu yang sakral maka
muncullah berbagai semboyan pasca peristiwa itu seperti:
“Harmonis dalam Etnis”, istilah ini menunjukkan bahwa perdamaian
menjadi pilar nomor satu dalam hubungan sosial di Kalimantan
Barat.
2. Klasifikasi
Dengan adanya yang dikeramatkan di Kota Kuala Tungkal,
yaitu sebuah nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran kitab suci AlQuran lalu menimbulkan sebuah struktur dalam masyarakat yang
berkaitan dalam upaya untuk mendukung yang dikeramatkan itu.
Semakin orang mendukung yang dikeramatkan, maka orang
tersebut dipandang semakin bermoral, dan semakin menjauhi apa
yang dikeramatkan maka dikatakan semakin tidak bermoral,
melanggar adat dan sebagainya.
Dalam struktur masyarakat itu tampak hierarki atau
perjenjangan, seperti yang dapat dilihat para tokoh masyarakat,
kelompok-kelompok, atau warga masyarakat yang mendukung
sesuatu yang sakral itu, namun sebaliknya terdapat orang-orang
yang melanggar sesuatu yang dikeramatkan itu. Di Kuala Tungkal
klasifikasi yang membentuk hierarkis etnis yang mendukung
integrasi sosial secara mencolok dapat kita lihat dalam komunitas
60
etnis Banjar. Secara umum komunitas etnis Banjar yang dikenal
sebagai etnis yang agamis, karena mereka kebanyakan adalah para
ustad, dan pendidik, diantara mereka banyak yang mempunyai
pendidikan tinggi. Mereka cukup toleran terhadap perbedaan,
menghargai orang lain, dan bersikap santun terhadap sesama.
Karena itu secara hiererkis tampak bahwa orang Banjar menempati
posisi dekat dengan pusat nilai-nilai agama yang disakralkan.
Secara umum di Kota Kuala Tungkal hampir semua warga
dari komunitas-komunitas etnis mendukung adanya yang sakral,
yaitu sebagai nilai-nilai agama yang dihayati bersama. Bahkan, bagi
pemeluk di luar agama selain Islam pun turut berpartisipasi dalam
mendukung nilai yang sakral itu, seperti dapat dilihat keterlibatan
mereka dalam acara-acara perayaan Umat Islam. Bahkan, orang
Cina yang non muslim sering kali mengadakan selamatan dengan
pembacaan doa-doa Islam.
Secara khusus kerukunan di Kota Kuala Tungkal ini
didukung oleh tokoh-tokoh masyarakat yang sangat disegani
dikalangan mereka. Tokoh-tokoh masyarakat itu, mempunyai peran
sentral dalam kerukunan antarkomunitas etnis. Konflik antarpribadi
biasanya tidak akan meluas menjadi konflik antarkomunitas etnis
karena peran tokoh-tokoh masyarakat ini dalam meredam konflik
sehingga tidak meluas.
Organisasi-organisasi paguyuban etnis dan budaya, seperti
lembaga-lembaga adat, IKM dan KKBK, telah membentuk klasifikasi
dalam penghayatannya yang mengarahkan pada kerukunan. Pada
umumnya organisasi-organsisi itu adalah pilar utama kerukunan
antarkomunitas etnis di Kuala Tungkal. Namun, sebagai penyangga
kerukunan itu sendiri, perannya lalu tergeser menjauhi pusat yang
sakral karena salah satu faktornya adalah persoalan politik. Para elit
politik
tampak
pula
memanfaatkan
organisasi-organisasi
paguyuban. Semenjak adanya pilkada secara langsung, organisasi
kedaerahan dikhawatirkan menjadi wadah peruangan kepentingan
elit politik. Mereka yang tidak setuju dengan kecenderungan
tersebut memilih tidak aktif dalam organisasi tersebut. Sedangkan
yang terjadi di Pontianak tampak bahwa organisasi-organisasi
paguyuban ini tampak secara jelas berada di pinggir dari yang
sakral, peran untuk mendukung yang sakral menjadi renggang
karena pengaruh ambisi elite politik untuk meraih kekuasaan.
61
Di Kuala Tungkal peran organisasi paguyuban sebagai
wahana kepentingan elit politik itu belum sepenuhnya dilaksanakan
karena masyarakat sendiri masih berselisih pendapat, namun
kebanyakan masyarakat tampaknya tidak setuju terhadap lembaga
kedaerahan untuk dijadikan wadah kepentingan politik. Sebaliknya
di Pontianak para elit politik benar-benar memanfaatkan peran
organisasi paguyuban seperti MAMB, MABT., MAD, dan
sebagainya itu secara lebih terus terang dipakai untuk perjuangan
kepentingan politiknya. Maka, timbulah rasa curiga, serta
kekhawatiran dari komunitas etnis lain terhadap keberadaan sebuah
organisasi paguyuban. Hal itu, lalu membawa hubungan yang
kurang harmonis diantara mereka.
Organisasi kemasyarakatan di Kota Pontianak yang dekat
dengan pusat yang sakral adalah, lembaga-lembaga LSM, baik
yang bergerak dalam bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat,
pemberdayaan perempuan untuk perdamaian, pendidikan
multikultur, atau LSM yang mempunyai peran dominan dalam upaya
untuk mempropagandakan perdamaian di Pontianak dengan
kegiatan seni dan budaya. LSM-LSM ini menempati bagian yang
dekat dengan pusat nilai yang disakralkan yaitu perdamaian.
Baik Pemerintah Kota Kuala Tungkal maupun Kota
Pontianak juga mempunyai peran di pusat yang sakral, karena
upayanya berperan secara aktif mendukung terselenggaranya
kerukunan antarkomunitas etnis di Kuala Tungkal dengan
membentuk Dewan Penasehat dan Forum Kerukunan Umat
Beragama. Dengan adanya dewan ini diharapkan kerukunan hidup
komunitas etnis dan umat beragama dapat terjamin. Permerintah
Kota Kuala Tungkal berperan aktif dalam memprakarsai perayaan,
festival, seni dan budaya daerah yang melibatkan seluruh
komunitas etnis yang mendekatkannya kepada pusat yang sakral.
Sedangkan, di Kota Pontianak berbeda dengan yang terjadi
di Kuala Tungkal. Di Kota Pontianak pemerintah mempunyai peran
yang sifatnya ambigu, salah satu sisi ingin mewujudkan perdamaian
di Kalimanan dengan berbagai program kegiatan, seperti turut
memprakarsai adanya festival-festial seni dan budaya daerah.
Namun, di samping itu, pemerintah juga menempati posisi yang
meminggirkan perdamaian dari pusat yang sakral, karena sering kali
dengan kebijakan pemerintah itu justru membuat sedikit ketegangan
antarkomunitas etnis, seperti SK pelarangan arak-arakan naga.
62
Elit-elit politik juga mempunyai peran meminggirkan
perdamian dari pusatnya. Pertarungan kekuasaan antara elit-elit
politik untuk menduduki posisi teratas dijajaran birokrasi pemerintah,
para elite itu justru mempunyai peran yang menjauhi dari pusat
yang disakralkan.
Hingga kini aparat keamanan mempunyai peran yang utama
dalam tercapainya keamanan menempatkannya di pusat yang
disakralkan, sebagai organik masyarakat yang diharapkan dapat
menciptakan perdamaian di Kalimantan Barat. Meskipun, dalam
pengalaman masa lalu, aparat keamanan dipandang lamban dan
cendrung memihak pihak-pihak yang berkonflik, serta ada tuduhan
kurang berlaku adil tapi hingga kini sebagian besar masyarakat
menaruh harapan agar aparat keamanan dapat bertindak tegas
dalam mengupayakan konflik yang melibatan antar etnis.
3. Ritus
Di Kuala Tungkal, ritus dapat dilihat dalam perayaanperayaan seperti pawai budaya, lomba-lomba seni budaya
antarkomunitas etnis, festival arak-arakan sahur yang dihadiri oleh
seluruh komunitas etnis. Ritus ini
mengingatkan kerukunan
antarkomunitas etnis. Dengan ritus ini lalu kita dingatkan bahwa
kegiatan-kegiatan tersebut akan semakin memperkuat kerukunan
hidup diantara etnis tersebut. Acara-acara tersebut secara positif
telah membawa kerukunan dalam masyarakat di Kuala Tungkal.
Ritus dapat dilihat juga dalam pangajian-pengajian akbar,
atau ritual shalawatan yang dilaksanakan oleh aliran-aliran tariqat
Islam di Kuala Tungkal yang mengingatkan pada sesuatu yang
sakral bahwa seluruh komunitas etnis itu adalah satu dalam hal
keyakinan, yaitu Agama Islam. Meskipun mempunyai dampak tidak
langsung dalam kerukuan hidup di Kuala Tungkal, namun dengan
adanya ritus-ritus bersama itu akan terjadi penghayatan nilai moral
bersama, bahwa hidup manusia itu harus baik, suasana sakral
dalam ritus itu akan terbawa dalam kehidupan masyarakat sehingga
diharapkan orang-orang yang telah melakukan ritus itu menjadi
orang-orang yang bermoral dalam kehidupan. Dengan demikian
diharapakan dapat mendukung hidup rukun sesama warga di
masyarakat.
63
Adanya ritus di Kuala Tungkal menunjukkan bahwa terjadi
ikatan yang sangat kuat diantara masyarakat. Namun, hal tersebut
berbeda dangan apa yang terjadi di Pontianak. Ritus di Kota
Pontianak tidak sepenuhnya membawa kepada perdamaian
sebagai yang disakralkan oleh masyarakatnya. Perayaanperayaaan dan festival-festival yang diselenggarakan di Pontianak
sering kali menimbulkan kontroversi dan polemik diantara
komunitas-komunitas etnis itu sendiri. Seperti partisipasi orang
Melayu terhadap upacara Cap Go Meh, dianggap musyrik,
karenanya lalu mendorong MUI Kota Pontianak mengeluarkan
pernyataan untuk mengharamkan keterlibatan umat Islam. Demikian
pula tampak bahwa tradisi meriam karbit milik komunitas orang
Melayu itu, lalu dipandang oleh warga komunitas etnis lain sebagai
polusi suara, juga sama mengganggunya.
Menurut Muhil Sonhaji, akademisi dari Universitas
Tanjungpura bahwa penghayatan agama di Pontianak tampaknya
kecil kemungkinannya untuk membuat integrasi sosial. Beberapa
kondisi ekstrem yang membuat mereka itu terjadi konflik
menurutnya terjadi karena faktor pendidikan rendah dan persoalan
ekonomi.
Sebagian orang di Kota Pontianak berkelompok mengupayakan ritus yang sifatnya keagamaan seperti yang terlihat dalam
kegiatan tariqat Naqsabandiyah. Kelompok ini lebih cenderung pada
katarsis atau pensucian jiwa bagi masing-masing pribadi, sehingga
diharapkan bagi pribadi-pribadi yang tercerahkan dapat mendukung
terjadinya perdamaian di Kalimantan Barat. Demikian pula ritus
yang dilakukan oleh umat beragama lainnya diharapkan membuat
orang lebih manusiawi sehingga mampu mendukung terciptanya
perdamaian di Kalimantan Barat.
4. Solidaritas
Dalam masyarakat Kuala Tungkal, maupun Pontianak
secara jelas menunjukkan adanya solidaritas untuk mewujudkan
apa yang dikeramatkan. Bagi masyarakat Kuala Tungkal solidaritas
itu dapat dilihat dalam tradisi anak angkat bagi warga pendatang
serta toleransi bagi sesama tetangga yang mempunyai hajat.
Solidaritas juga diwujudkan dalam festival seni, dan arak-arakan
sahur. Warga masyarakat berupaya untuk mengekspresikan rasa
64
kerukunan mereka dengan kegiatan-kegiatan yang melibatkan
komunitas etnis yang ada di Kuala Tungkal.
Solidaritas di Kuala Tungkal cukup kuat untuk mengarahkan
masyarakat pada yang kerukunan. Meskipun tak jarang terjadi
tindak kriminal, seperti pencurian namun tindakan itu tidak sampai
menggangu adanya solidaritas yang sudah terbangun. Beberapa
kejadian misalnya, pertengakaran di antara pemuda dan pemudi
merupakan urusan pribadi masing-masing juga dipandang tidak
mengganggu rasa solidaritas yang secara emosional cukup kuat di
antara komunitas etnis di Kuala Tungkal.
Di Pontianak solidaritas antara komunitas etnis tampak
diwujudkan dalam perayaan-perayaan dan festival-festival budaya.
Adanya festival-festival ini telah memunculkan rasa solidaritas di
antara beberapa komunitas etnis meskipun tidak jarang adanya
festival budaya komunitas etnis tertentu justru menimbulkan sikap
pro dan kontra diantara mereka.
Solidaritas di Kota Pontianak secara mencolok terlihat dari
tumbuhnya lembaga-lembaga masyarakat yang berperan secara
aktif untuk mengupayakan tercapainya perdamaian. Di antara
mereka membentuk jejaring kerjasama dalam beberapa bentuk
kegiatan yang mendukung terciptanya rasa aman dan damai di
Kalimantan Barat.
Namun, dengan solidaritas yang terjadi di Kota Pontianak itu
tidak menutup kemungkinan adanya konflik antarkomunitas etnis
yang menyebabkan solidaritas menjadi terluka, seperti peristiwa 17
Desember 2007 yang berawal dari konflik pribadi hingga
terakumulasi menjadi konflik antarkomunitas etnis. Situasi di
Pontianak masih rawan konflik, apalagi dengan adanya pilkada
langsung yang akan diselenggarakan di Kota ini.
65
BAB V
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan
beberapa hal terkait dengan pengelolaan keragaman budaya.
Integrasi dan disintegrasi masyarakat itu ditentukan oleh sebuah
masyarakat untuk melihat nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan
yang diyakini bersama, atau disakralkan oleh sebuah komunitas
masyarakat. Di Kuala Tungkal secara jelas tampak bahwa
penghayatan terhadap nilai-nilai Islam itu dipandang sebagai yang
sakral, yang menggerakkan seluruh dinamika masyarakat untuk
mengarah pada apa yang disakralkan. Agama Islam di Kuala
Tungkal tampil sebagai agama yang
tampil ramah, dengan
membawa kedamaian dalam masyarakat. Agama Islam memberikan andil yang besar dalam kerukunan hidup antarkomnitas
etnis di Kuala Tungkal.
Di Kota Pontianak apa yang disakralkan itu, berasal dari
perasaan traumatis masyarakat masa lalu untuk tidak mengulang
tragedi kemanusiaan konflik antarkomunitas etnis. Karena itu, lalu
muncul sebuah nilai yang disakralkan dalam masyarakat, yaitu
perdamiaan. Yang disakralkan bukan bersumber pada agama,
tetapi dari rasa kemanusaiaan universal.
Dengan adanya nilai yang dihayati bersama sebagai yang
sakral tersebut lalu memunculkan upaya-upaya untuk melakukan
pengelolaan keragaman budaya di kedua wilayah tersebut, di Kuala
Tungkal dan di Pontianak. Beberapa upaya mengelola keragaman
budaya telah diuraikan di atas, seperti adanya peran LSM, tokoh
masyarakat, warga masyarakat, dan pemerintah yang peduli
terhadap tercapainya integrasi sosial di masyarakat.
Namun, hal yang menjadikan catatan penting dalam
pengelolaan keragaman budaya di kedua wilayah ini adalah faktor
politik menjadi persoalan yang paling menentukan dalam
tercapainya disintegrasi sosial. Di kedua wilayah terseubut
menunjukkan bahwa iklim politik, terutama yang terkait dengan
pilkada langsung justru menjadi penyebab utama disintegrasi
masyarakat. Untuk itu perlu dikaji ulang relevansi pilkada langsung
66
yang terjadi dalam pemerintahan di daerah saat ini. Bagi daerah
yang mempunyai ikatan sosial tinggi seperti di Kuala Tungkal
dengan adanya pilkada langsung, ini justru mengarah pada tandatanda renggangnya ikatan sosial antar warga. Mulai ada
kecurigaan-kecurigaan suatu komunitas etnis terhadap komunitas
etnis lainnya. Mereka mengkhawatirkan isu etnisitas akan muncul
akibat pertarungan kekuasan elit-elit politiknya. Sedangkan, di Kota
Pontianak secara tegas tampak bahwa organisasi paguyuban etnis
itu telah menjadi wadah kepentingan elit politik untuk mencapai
ambisi kekuasaan mereka. Politik identitas etnis ini telah membawa
kota Pontianak menjadi rawan konflik yang terkait dengan
permasalahan hubungan antarkomunitas etnis.
Faktor yang paling menentukan dalam pengelolaan
keragaman budaya adalah persoalan kesadaran akan sebuah
konsesus bersama antara para komunitas-komunitas etnis itu untuk
mencapai kesepakatan terhadap persoalan-persoalan yang penting
di hadapi bersama oleh sebuah komunitas masyarakat. Dalam
masyarakat multikultur persoalan konsesus bersama menjadi
persoalan yang sangat penting. Konsesus itu diharapkan dapat
mengatasi persoalan-persoalan etnisitas. Masing-masing komunitas
etnis tidak lagi merumuskan persoalan-persoalan yang mereka
hadapi itu dari celah sempit etnisitas, tetapi wawasan sempit itu lalu
didobrak dengan mengembangkan wawasan yang lebih luas lagi
yang terkait dengan kepentingan bersama dengan komunitaskomunitas etnis lainnya. Dengan adanya konsesus persoalanpersoalan yang menyangkut keadilan, kebenaran, dan kebaikan
bersama lalu dapat dirumuskan secara bersama-sama, berdasarkan
persamaan dan keterbukaan. Di Kota Kuala Tungkal pentingnya
konsesus bersama itu, sudah terlembagakan dengan adanya
Lembaga Adat, dan Forum Kerukunan Umat Beragama. Sedangkan
di
Kota
Pontianak
mulai
terdapat
tanda-tanda
yang
menggembirakan karena kesadaran pentingnya sebuah konsesus
bersama untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial
diantara komunitas-komunitas etnis itu sudah mulai muncul dari
berbagai kalangan pemerintah dan masyarakat, sepeti fasilitasi
DPRD Kota Pontianak dalam memenuhi tuntutan Barisan Umat
Islam terhadap eksistensi dan legalisasi MABT. Ke depannya
kesadaran untuk konsesus ini diharapakan dapat menjadi salah
satu kekuatan dalam pengelolaan keragaman budaya di Pontianak.
67
Faktor lain lagi yang cukup mempunyai peran sentral dalam
pengelolaan keragaman budaya adalah adanya jejering kerja. Untuk
menangani persoalan-persoalan yang terkait dengan kerukunan dan
perdamaian antarkomunitas etnis itu, secara komprehansif dan
konsisten perlu melibatkan masyarakat, pemangku kepentingan,
dan pemerintah secara bersama-sama. Jaringan kerja itu cukup
penting, karena sebagai penyangga dan komponen yang
memberikan peringatan akan adanya bahaya yang mengancam
integrasi sosial. Perubahan sosial itu tidak akan dapat berjalan
lancar tanpa adanya upaya bersama untuk membuat perubahan itu
sendiri. Tanpa jaringan, tidak mungkin untuk membuat perubahan
yang diharapkan. Namun, yang lebih penting lagi adalah
konsistensi, yaitu bahwa setiap jaringan itu harus selalu terjadi
saling sinergi untuk saling mengingatkan kalau setiap saat tujuan
bersama untuk mencapai apa yang disakralkan, kerukunan dan
perdamaian senantiasa terancam. Dengan perkataan lain, bahwa
jejaring ini bahwa harus mempunyai kesadaran yang terus menerus
untuk mewujudkan kerukunan dan perdamaian.
68
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting sebagai penutup
dalam tulisan ini.
1. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung perlu diantisipasi
secara cermat untuk meminimalisasi dampak negatif yang
mengarah disintegrasi sosial.
2. Perlu adanya konsesus bersama sebagai kekuatan dalam
iklim demokratis di dalam masyarakat multikultur untuk
merumuskan persoalan-persoalan bersama, seperti perlu
adanya forum komunikasi yang menyatukan lembagalembaga adat dan organisasi-organisasi paguyuban etnis
dalam persoalan yang berkaitan dengan etnisitas
3. Upaya mengelola keragaman sosial dan budaya di Kota
Pontianak sifatnya masih parsial, oleh karena itu perlu
penanganan yang lebih integratif dan konsisten dengan
melibatkan seluruh komponen masyarakat dan pemerintah
Pontianak secara bersama-sama.
4. Perlu membentuk jejaring kerja antara pemerintah dan
lembaga-lembaga seni untuk secara aktif turut berperan
dalam membentuk terjadinya integrasi sosial lewat seni dan
budaya
5. Perlu adanya kebijakan pemerintah untuk pendidikan
multikultur di sekolah-sekolah.
6. Perlu adanya pemberdayaan ekonomi yang melibatkan dari
berbagai komunitas etnis secara bersama.
7. Perlu memberdayakan LSM yang mempunyai komitmen
tentang permasalahan multikultur dan isu-isu perdamaian di
Pontianak
8. Perlu mengintensifkan Forum Komunikasi Kerukunan Umat
Beragama.
9. Aparat keamanan dan hukum perlu bersikap adil dalam
menangani persoalan hubungan antarkomunitas etnis.
69
Daftar Pustaka
Bambang H. Suta Purwana, dkk, 2004, Sejarah Pemerintahan
Kota Pontinak dari Masa ke Masa, Pemerinah Kota
Pontianak, Kalimantan Barat.
F.X. Asali, 2008, Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat,
Muare Publik Relation, Kalimantan Barat.
Giring, 2004, Peta Sosio Kultural Kalimantan Barat Barat,
Deskripsi Multikonteks, (makalah); Institut Dayakologi,
Kalimantan Barat
Giring, dkk, 2006, Mutiara Damai dari Kalimantan, Pengalaman
dan Refleksi, Institut Dayakologi, Kalimantan Barat.
Kecamatan Tungkal Ilir Dalam Angka, 2005, Badan Pusat
Statistik Tanjung Jabung Barat, Jambi
Kota Pontianak Dalam Angka 2006, Badan Pusat Statistik Kota
Pontianak, Kalimantan Barat
Mudji
Sutrisno dan Hendar Putranto 2005,
Kebudayaan, Penerbit Kanisius: Yogyakarta
Teori-Teori
Pratikno, Dr, M.Soc. Sc, dkk, 2001, Penyusunan Konsep Perumusan
Pengembangan
Kebijakan
Pelestarian
Nilai-Nilai
Kemasyarakatan (Social Capital) untuk Integrasi Sosial,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Gadjah Mada, Yogyakarta.
70
Daftar Narasumber
1. Risnal. M
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Provinsi Jambi
2. Ja’far
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Provinsi Jambi
3. Armaindra
Warga Masyarakat, Kuala Tungkal
4. Rini
Warga Masyarakat, Kuala Tungkal
5. Hambali
Warga Masyarakat, Kuala Tungkal
6. K.H Halim Kasim, SH
Ketua MUI/Ketua Adat Banjar, Kuala Tungkal
7. Sapari
Anggota DPRD, Komisi B
8. H. Nangbyu
Ketua Adat Melayu, Kuala Tungkal
9. Holidi
Dinas Pendidikan Nasional, Tanjung Jabung Barat
10. H. Tjahrir Makka
Ketua Adat Bugis, Kuala Tungkal
11. H. Abu Bakar
Ketua Seni dan Budaya Kuala Tungkal/Pempinan Pengajian
Akbar
12. Teguh
Ketua RW di Kota Pontianak
13. Indra
Seniman, Kota Pontianak
14. Subro
Tokoh Muda Madura/Direktur Mitra Sekolah
15. Leily Khairnur
Direktur Lembaga Gemawan
71
16. Dr. Gusti Suryansah
Pakar Sosial dan Politik di Kota Pontianak
17. Prof. Dr. Tambunan
Pakar Hukum di Kota Pontianak
18. H. Mintaha
Pengurus Majelis Adat Budaya Melayu
19. Syamsuwir, S. Sos, Msi
Badan Kesbanglinmas, Provinsi Kalimantan Barat
20. Syarifah Helma Al Qodri
Warga Masyarakat Kota Pontianak
21. Ariston
Tokoh Muda Dayak, Pontianak
22. Andry W P
Tokoh Muda Pontianak
23. Bujang Sabirin,
Warga Masyarakat, Kampung Karya Bakti, Kota Pontianak
24. Muhil Sonhaji
Dosen Fisipol Universitas Tanjungpura
25. Andre Cuy,
Tokoh Muda Tionghoa, Pontianak
26. X.F Asali
Tokoh Budaya Tionghoa, Pontianak.
72
Lampiran
Pedoman Wawancara
PEDOMAN WAWANCARA
Pengelolaan Keragaman Budaya: Interaksi Budaya
Form: Pemerintah Daerah
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
No. HP/Telp
Tanggal.
: ……………………………………………
: ……………………………………………
: …………………………………………...
: …………………………………………...
: ……………………………………………
: …………………………………………...
1. Apakah di sini warga yang terdiri dari beragam etnis
memperlihatkan sikap kerukunan dalam kehidupan mereka
sehari-hari?
2. Mengapa etnis yang beragam itu hidup rukun?
3. Apakah pemerintah daerah turut berperan dalam membina
kerukunan antar warga dan etnis di tempat tersebut?
4. Bagaimanakah pengelolaan keragaman budaya itu dilakukan
oleh pemerintah daerah?
5. Apakah upaya yang dilakukan pemerintah daerah dalam rangka
menciptakan kerukunan warga di sini?
6. Apakah pemerintah daerah punya kegiatan-kegiatan yang
melibatkan warga dan etnis disini, festival, perayaan, kesenian,
dll?
7. Apakah mempunyai peraturan daerah yang mengatur masalah
kerukunan antara warga/etnis.
8. Apakah ada syarat-syarat khusus untuk etnis pendatang yang
menjadi warga di sini?
9. Apakah terdapat perbedaan perlakuan antara etnis pendatang
dan etnis setempat?
10. Aktivitas apa yang menunjukkan adanya kerukunan antara etnis.
73
1) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
sistem matapencaharian.
(1) Apakah mata pencaharian pokok dari etnis-etnis yang
berbeda itu, mereka bekerja di sektor apa saja?
(2) Bagaimanakah hubungan antara etnis itu dalam hal mata
pencaharian?
(3) Apakah ada perbedaan antara penduduk lokal dengan
etnis lain di berbagai sektor pekerjaan, pertanian,
perdagangan, swasta dan pemerintahan daerah?
(4) Menurut
Saudara
apakan
dalam
hubungan
perekonomian antar etnis mempunyai peran dalam
kerukunan antar etnis?
(5) Apakah pernah terjadi konflik yang berkaitan dengan
pekerjaan antar etnis?
(6) Bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikan?
2) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
kesenian.
(1) Bentuk-bentuk kesenian apa saja yang ditampilkan
dengan melibatkan partisipasi antar etnis.
(2) Kapan aktivitas itu dilaksanakan, dalam rangka apa?
(3) Bagaimanakah bentuk kesenian itu, musik, tari-tarian,
drama, seni pertunjukan, dll?
(4) Menurut Saudara apakah kesenian mempunyai peran
dalam kerukunan para warga/etnis?
3) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
tradisi.
(1) Bentuk-bentuk tradisi /kebiasaan apa saja yang
ditampilkan dengan melibatkan partisipasi antar etnis.
(2) Kapan aktivitas itu dilaksanakan, dalam rangka apa?
(3) Bagaimanakah bentuk tradisi/kebiasaan
itu, mohon
penjelasan?
(4) Menurut Saudara apakah tradisi atau kebiasaan tersebut
mempunyai peran dalam kerukunan para warga/etnis?
4) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
religi/kepercayaan.
74
(1) Bentuk-bentuk aktivitas antar etnis yang berkaitan
dengan religi/kepercayaan apa saja yang ditampilkan
dengan melibatkan partisipasi antar etnis.
(2) Bagaimanakah bentuk religi/kepercayaan itu, mohon
penjelasan?
(3) Menurut Saudara apakah aktivitas yang berkaitan
dengan religi tersebut
mempunyai peran dalam
kerukunan para warga/etnis?
5) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
bahasa.
(1) Bentuk-bentuk bahasa apa yang dipergunakan untuk
komunikasi antar etnis.
(2) Bagaimanakah
hubungan
komunikasi
dengan
menggunakan bahasa antara etnis yang berbeda itu?
(3) Menurut Saudara apakah bahasa mempunyai peran
dalam kerukunan para warga/etnis?
6) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
sistem teknologi
(1) Bentuk-bentuk aktivitas apa yang berkaitan dengan
teknologi yang dimiliki suatu etnis dengan melibatkan
partisipasi antar etnis.
(2) Bagaimanakah bentuk teknologi itu, mohon penjelasan?
(3) Menurut Saudara apakah sistem teknologi itu
mempunyai peran dalam kerukunan para warga/etnis?
11.
12.
13.
14.
Apakah pernah terjadi konflik antar etnis disini?
Kapan dan dimana, masalah apa yang menjadi persoalan?
Apakah dampak adanya konflik tersebut bagi masyarakat?
Bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikan?
75
PEDOMAN WAWANCARA
Pengelolaan Keragaman Budaya: Interaksi Budaya
Form: Tokoh Masyarakat
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
No. HP/Telp.
Tanggal
: ……………………………………………….
: ……………………………………………….
: ……………………………………………….
: ……………………………………………….
: ……………………………………………….
: ……………………………………………….
1. Di wilayah ini ada beberapa etnis? Dari mana sajakah etnis
pendatang itu? Di wilayah mana saja mereka tersebar?
2. Apa tujuan mereka datang ke sini?
3. Apakah warga yang teridiri dari beragam etnis itu menunjukkan
sikap kerukunan?
4. Menurut Saudara mengapa mereka itu hidup dalam kerukunan?
5. Apakah mereka mempunyai perkumpulan atau paguyuban?
Apakah biasanya kegiatan yang diselenggarakan oleh etnis
pendatang tersebut?
6. Apakah etnis lokal sering mengundang mereka untuk
melakukan kegiatan bersama seperti kesenian, olah raga,
gotong-royong, upacara adat, dsb?
7. Apakah etnis pendatang sering mengundang etnis lokal untuk
melakukan kegiatan secara bersama-sama dalam kesenian,
olah raga, gotong royong atau upacara adat, dsb?
8. Aktivitas apa yang menunjukkan adanya kerukunan antara etnis.
1) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
sistem matapencaharian.
(1) Apakah sebagian besar mata pencarian pokok warga di
sini?
(2) Warga pendatang biasanya bekerja di sektor apa?
Apakah warga pendatang terkait dengan sektor mata
pencarian/pekerjaan penduduk lokal?
(3) Mereka bekerja di bidang-bidang apa?
76
(4) Apakah ada perbedaan dalam pekerjaan, penduduk lokal
mendapat prioritas atau warga pendatang mendapat
prioritas?
(5) Menurut Saudara apakah sistem pencarian masyarakat
mempunyai peran dalam mendukung kerukunan antar
etnis?
(6) Apakah pernah terjadi konflik mengenai persoalan mata
pencarian/pekerjaan ini?
(7) Bagaimanakah konflik itu diselesaikan?
2) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
kesenian
(1) Apakah ada bentuk kesenian, penduduk lokal disini yang
menonjol?
(2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Taritarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya?
(3) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,
dan dalam rangka apa?
(4) Apakah kesenian tersebut melibatkan warga pendatang
disini?
(5) Apakah ada bentuk kesenian warga pendatang yang
sering ditampilkan disini?
(6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Taritarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya?
(7) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,
dan dalam rangka apa?
(8) Apakah kesenian tersebut melibatkan penduduk lokal
disini?
(9) Menurut Saudara apakah kesenian mempunyai peranan
dalam mendukung kerukunan antara etnis?
3) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
tradisi.
(1) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan
penduduk lokal disini yang menonjol?
(2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana?
Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan
lainnya?
(3) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu
diselenggarakan, di mana, dan dalam rangka apa?
77
(4) Apakah tradisi, adat-istiadat tersebut melibatkan warga
pendatang disini?
(5) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat warga
pendatang yang sering ditampilkan disini?
(6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana?
Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan
lainnya?
(7) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu
diselenggarakan, dimana, dan dalam rangka apa?
(8) Apakah tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan tersebut
melibatkan penduduk lokal disini?
(9) Menurut Saudara apakah tradisi, adat-istiadat atau
kebiasaan
tersebut
mempunyai
peran
dalam
menudukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?
4)
Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
kepercayaan/religi
(1) Masyarakat di sini menganut agama apa? Masingmasing etnis itu memeluk agama apa?
(2) Bagaimanakah kehidupan beragama di sini, apakah
terdapat toleransi antar pemeluk agama?
(3) Apakah di antara mereka terdapat partisipasi dalam
melakukan acara keagamaan masing-masing? Dalam
bentuk apakah partisipasi itu?
(4) Mengapa mereka saling menghormati penganut agama
lain yang berbeda dengan mereka?
(5) Apakah menurut Saudara aktivitas berkaitan dengan
kepercayaan/religi tersebut mempunyai peranan dalam
mendukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?
9. Bagaimanakah kerukunan itu ditampilkan dalam kearifan Lokal
1) Apakah disini ada kearifan lokal yang mengungkapkan
kerukunan yang terdapat dalam cerita-cerita atau dongengdongeng, dan kearifan lokal lainnya?
2) Apakah disini ada istilah-istilah, selogan-selogan yang
mengungkapkan tentang kerukunan?
3) Apakah menurut Saudara kearifan lokal tersebut mempunyai
peran mendukung kerukunan antar etnis yang berbedabeda?
10. Apakah pernah terjadi konflik antar etnis disini?
78
11. Kapan dan dimana, masalah apa yang menjadi persoalan?
12. Apakah dampak adanya konflik tersebut bagi masyarakat?
13. Bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikan?
79
PEDOMAN WAWANCARA
Pengelolaan Keragaman Budaya: Interaksi Budaya
Form: LSM
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
No. HP/Telp.
Tanggal
: ……………………………………………..
: ……………………………………………..
: ……………………………………………..
: ……………………………………………..
: .................................................................
: …………………………………………….
1. Menurut Saudara apakah warga disini menunjukkan sikap
kerukunan?
2. Mengapa mereka hidup dalam kerukunan, apa yang
menyebabkan mereka itu hidup rukun.
3. Apa yang diupayakan oleh masyarakat untuk hidup dalam
kerukunan?
4. Apakah mereka mempunyai perkumpulan atau paguyuban?
Apakah biasanya kegiatan yang diselenggarakan oleh etnis
pendatang tersebut?
5. Apakah etnis lokal sering mengundang mereka untuk
melakukan kegiatan bersama seperti kesenian, olah raga,
gotong-royong, upacara adat, dsb?
6. Apakah etnis pendatang sering mengundang etnis lokal untuk
melakukan kegiatan secara bersama-sama dalam kesenian,
olah raga, gotong royong atau upacara adat, dsb?
7. Apakah pemerintah daerah cukup berperan mendukung terjadinya
kerukunan antar etnis di sini?
8. Apakah tokoh masyarakat di sini cukup berperan mendukung terjadinya
kerukunan antar etnis disini?
9. Bagaimanakah peran LSM dalam turut menciptakan suasana
kerukunan?
10. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh LSM? Bentuknya apa,
kapan, dan dimana?
11. Apakah sering ada dialog, pertemuan atau komunikasi antar
etnis disini?
80
12. Dalam bentuk apa kegiatan itu, siapa yang menyelenggarakan,
kapan dan dimana?
13. Aktivitas apa yang menunjukkan adanya kerukunan antara etnis.
1) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
sistem matapencaharian.
(1) Apakah sebagian besar mata pencarian pokok warga di
sini?
(2) Warga pendatang biasanya bekerja di sektor apa?
Apakah warga pendatang terkait dengan sektor mata
pencarian/pekerjaan penduduk lokal?
(3) Mereka bekerja di bidang-bidang apa?
(4) Apakah ada perbedaan dalam pekerjaan, penduduk lokal
mendapat prioritas atau warga pendatang mendapat
prioritas?
(5) Menurut Saudara apakah sistem pencarian masyarakat
mempunyai peran dalam mendukung kerukunan antar
etnis?
(6) Apakah pernah terjadi konflik mengenai persoalan mata
pencarian/pekerjaan ini?
(7) Bagaimanakah konflik itu diselesaikan?
2) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
kesenian
(1) Apakah ada bentuk kesenian, penduduk lokal disini yang
menonjol?
(2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Taritarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya?
(3) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,
dan dalam rangka apa?
(4) Apakah kesenian tersebut melibatkan warga pendatang
disini?
(5) Apakah ada bentuk kesenian warga pendatang yang
sering ditampilkan disini?
(6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Taritarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya?
(7) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,
dan dalam rangka apa?
(8) Apakah kesenian tersebut melibatkan penduduk lokal
disini?
81
(9) Menurut Saudara apakah kesenian mempunyai peranan
dalam mendukung kerukunan antara etnis?
3)
Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
tradisi.
(1) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan
penduduk lokal disini yang menonjol?
(2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana?
Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan
lainnya?
(3) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu
diselenggarakan, di mana, dan dalam rangka apa?
(4) Apakah tradisi, adat-istiadat tersebut melibatkan warga
pendatang disini?
(5) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat warga
pendatang yang sering ditampilkan disini?
(6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana?
Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan
lainnya?
(7) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu
diselenggarakan, dimana, dan dalam rangka apa?
(8) Apakah tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan tersebut
melibatkan penduduk lokal disini?
(9) Menurut Saudara apakah tradisi, adat-istiadat atau
kebiasaan
tersebut
mempunyai
peran
dalam
menudukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?
4) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
kepercayaan/religi
(1) Masyarakat di sini menganut agama apa? Masingmasing etnis itu memeluk agama apa?
(2) Bagaimanakah kehidupan beragama di sini, apakah
terdapat toleransi antar pemeluk agama?
(3) Apakah di antara mereka terdapat partisipasi dalam
melakukan acara keagamaan masing-masing? Dalam
bentuk apakah partisipasi itu?
(4) Mengapa mereka saling menghormati penganut agama
lain yang berbeda dengan mereka?
82
(5) Apakah menurut Saudara aktivitas berkaitan dengan
kepercayaan/religi tersebut mempunyai peranan dalam
mendukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?
14. Bagaiimanakah kerukunan antar etnid itu ditampilkan dalam
kearifan lokal.
1) Apakah disini ada kearifan lokal yang mengungkapkan
kerukunan yang terdapat dalam cerita-cerita atau dongengdongeng, dan kearifan lokal lainnya?
2) Apakah disini ada istilah-istilah, selogan-selogan yang
mengungkapkan tentang kerukunan?
3) Apakah menurut Saudara kearifan lokal tersebut mempunyai
peran mendukung kerukunan antar etnis yang berbedabeda?
15. Apakah pernah terjadi konflik antar etnis disini?
16. Kapan dan dimana, masalah apa yang menjadi persoalan?
17. Apakah dampak adanya konflik tersebut bagi masyarakat?
18. Bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikan?
83
PEDOMAN WAWANCARA
Pengelolaan Keragaman Budaya: Interaksi Budaya
Form: Warga Masyarakat
Nama
Umur
Alamat
Pekerjaan
No. HP/Telp.
Tanggal
: ....................................................................
: ....................................................................
: ....................................................................
: ....................................................................
: ....................................................................
: ....................................................................
1. Menurut Saudara apakah warga disini menunjukkan sikap
kerukunan?
2. Mengapa mereka hidup dalam kerukunan, apa yang
menyebabkan mereka itu hidup rukun.
3. Apa yang diupayakan oleh masyarakat untuk hidup dalam
kerukunan?
4. Apakah etnis lokal sering mengundang etnis lain untuk
melakukan kegiatan bersama seperti kesenian, olah raga,
gotong-royong, upacara adat, dsb?
5. Apakah etnis pendatang sering mengundang etnis lokal untuk
melakukan kegiatan secara bersama-sama dalam kesenian,
olah raga, gotong royong atau upacara adat, dsb?
6. Apakah pemerintah daerah cukup berperan mendukung terjadinya
kerukunan antar etnis di sini?
7. Apakah tokoh masyarakat di sini cukup berperan mendukung terjadinya
kerukunan antar etnis disini?
8. Bagaimanakah peran LSM dalam turut menciptakan suasana
kerukunan?
9. Apakah sering ada dialog, pertemuan atau komunikasi antar
etnis disini?
10. Dalam bentuk apa kegiatan itu, siapa yang menyelenggarakan,
kapan dan dimana?
11. Aktivitas apa yang menunjukkan adanya kerukunan antara etnis.
84
1) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
sistem matapencaharian.
(1) Apakah sebagian besar mata pencarian pokok warga di
sini?
(2) Warga pendatang biasanya bekerja di sektor apa?
Apakah warga pendatang terkait dengan sektor mata
pencarian/pekerjaan penduduk lokal?
(3) Mereka bekerja di bidang-bidang apa?
(4) Menurut Saudara apakah sistem pencarian masyarakat
mempunyai peran dalam mendukung kerukunan antar
etnis?
(5) Apakah pernah terjadi konflik mengenai persoalan mata
pencarian/pekerjaan ini?
(8) Bagaimanakah konflik itu diselesaikan?
2) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
kesenian
(1) Apakah ada bentuk kesenian, penduduk lokal disini yang
menonjol?
(2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Taritarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya?
(3) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,
dan dalam rangka apa?
(4) Apakah kesenian tersebut melibatkan warga pendatang
disini?
(5) Apakah ada bentuk kesenian warga pendatang yang
sering ditampilkan disini?
(6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana? Taritarian, musiknya, cerita, dan perlengkapan lainnya?
(7) Kapan biasanya kesenian itu diselenggarakan, dimana,
dan dalam rangka apa?
(8) Apakah kesenian tersebut melibatkan penduduk lokal
disini?
(6) Menurut Saudara apakah kesenian mempunyai peranan
dalam mendukung kerukunan antara etnis?
3) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
tradisi.
(1) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan
penduduk lokal disini yang menonjol?
85
(2) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana?
Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan
lainnya?
(3) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu
diselenggarakan, di mana, dan dalam rangka apa?
(4) Apakah tradisi, adat-istiadat tersebut melibatkan warga
pendatang disini?
(5) Apakah ada bentuk tradisi, adat-istiadat warga
pendatang yang sering ditampilkan disini?
(6) Apakah bisa menjelaskan, bentuknya bagaimana?
Upacara, tari-tarian, musik, cerita, dan perlengkapan
lainnya?
(7) Kapan biasanya tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan itu
diselenggarakan, dimana, dan dalam rangka apa?
(8) Apakah tradisi, adat-istiadat atau kebiasaan tersebut
melibatkan penduduk lokal disini?
(9) Menurut Saudara apakah tradisi, adat-istiadat atau
kebiasaan
tersebut
mempunyai
peran
dalam
menudukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?
4) Bagaimanakah kerukunan antar etnis ditampilkan dalam
kepercayaan/religi
(1) Masyarakat di sini menganut agama apa? Masingmasing etnis itu memeluk agama apa?
(2) Bagaimanakah kehidupan beragama di sini, apakah
terdapat toleransi antar pemeluk agama?
(3) Apakah di antara mereka terdapat partisipasi dalam
melakukan acara keagamaan masing-masing? Dalam
bentuk apakah partisipasi itu?
(4) Mengapa mereka saling menghormati penganut agama
lain yang berbeda dengan mereka?
(5) Apakah menurut Saudara aktivitas berkaitan dengan
kepercayaan/religi tersebut mempunyai peranan dalam
mendukung kerukunan antar etnis yang berbeda-beda?
12. Bagaimanakah kerukunan antar etnik itu ditampilkan dalam
kearifan lokal.
1) Apakah disini ada kearifan lokal yang mengungkapkan
kerukunan yang terdapat dalam cerita-cerita atau dongengdongeng, dan kearifan lokal lainnya?
86
2) Apakah disini ada istilah-istilah, selogan-selogan yang
mengungkapkan tentang kerukunan?
3) Apakah menurut Saudara kearifan lokal tersebut mempunyai
peran mendukung kerukunan antar etnis yang berbedabeda?
13. Apakah pernah terjadi konflik antar etnis disini?
14. Kapan dan dimana, masalah apa yang menjadi persoalan?
15. Apakah dampak adanya konflik tersebut bagi masyarakat?
16. Bagaimanakah konflik itu dapat diselesaikan?
87
Download