BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Regulasi Emosi 2.1.1 Definisi

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Regulasi Emosi
2.1.1 Definisi Regulasi Emosi
Regulasi emosi mempunyai beberapa definisi dari para ahli. Menurut Shaffer,
(2005), regulasi emosi ialah kapasitas untuk mengontrol dan menyesuaikan emosi yang
timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi
yang tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi
yang berhubungan dengan emosi, dan reaksi yang berhubungan dengan emosi (Shaffer,
2005). Menurut Gross (1998) regulasi emosi mengacu pada kemampuan individu untuk
mempengaruhi emosi yang dimiliki, kapan emosi dirasakan, dan bagaimana individu
mengalami serta mengekspresikan emosinya. Menurut Berk (2004), regulasi emosi
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang dalam membuat suatu strategi untuk
menyelesaikan masalah sesuai intensitas dari reaksi emosional ke tahap yang lebih baik
dalam mencapai suatu tujuan. Sedangkan menurut Wilson (1999) regulasi emosi
merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat kuatnya
intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan diri dari
pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi, dapat
memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku
yang tepat untuk mencapai suatu tujuan.
2.1.2 Proses Regulasi Emosi
Menurut Gross (2007) yang berdasar pada model modalitas emosi terdapat lima
point dimana individu dapat meregulasi emosinya. Lima point tersebut adalah situation
selection, situation modification, attentional deployment, cognitive change, dan
response modulation. Lima point tersebut mewakili lima kelompok proses regulasi
emosi yaitu:
1. Situation Selection merupakan jenis regulasi emosi yang menentukan tindakan
yang seharusnya bagaimana kita akan berakhir pada situasi yang kita harapkan,
yang bisa menyebabkan emosi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan,
1
dengan kata lain menentukan tindakan berdasarkan dampak emosional yang
mungkin muncul
2. Situation modification adalah usaha
yang langsung dilakukan dalam
memodifikasi situasi agar efek emosinya teralihkan. Contoh dari modifikasi ini
adalah dengan hadirnya individu lain misalnya teman, orangtua dan tindakan
atau intervensi dari individu tersebut
3. Attentional deployment merupakan cara seseorang mengubah perhatiannya
dengan mengarahkan ke dalam sebuah situasi untuk mengatur emosinya. Dua
strategi attentional yang utama adalah pengalihan perhatian (distraksi) dan
konsentrasi. Distraksi memfokuskan perhatian pada aspek berbeda dari sebuah
situasi, atau memindahkan perhatian jauh dari sebuah situasi secara bersamaan,
misalnya apabila seorang bayi mengalihkan pandangannya dari stimulus yang
bisa menimbulkan emosi ke stimulus yang kurang menimbulkan emosi
(Rothbart & Sheese, dalam Gross 2007)
4. Cognitive change mengacu pada perubahan cara seseorang dalam menilai situasi
yang terjadi untuk mengubah signifikansi emosinya, baik dengan mengubah cara
berpikir mengenai situasi tersebut atau mengenai kemampuan untuk mengatur
tuntutan-tuntutannya
5. Response modulation terjadi di akhir proses emotion-generative, setelah
kecenderungan respon emosi yang telah terjadi. Modulasi respon mempengaruhi
respon emosi yang telah muncul berupa aspek fisiologis, eksperiensial, dan
perilaku secara langsung. Upaya modulasi respon pada aspek fisiologis misalnya
obat-obatan yang digunakan untuk mengobati respon fisiologis seperti
ketegangan otot (anxiolytics) atau aktivitas berlebihan syaraf simpatis (beta
blockers). Olahraga dan relaksasi juga bisa digunakan untuk mengurangi aspek
fisiologis dan eksperiensial dari emosi negatif, alkohol, rokok, narkoba, dan
bahkan makanan juga bisa digunakan untuk memodifikasi pengalaman emosi.
Menurut Gross (2007) bentuk yang paling baik menggambarkan modulasi
respon adalah expressive suppression, mengacu pada upaya seseorang untuk
mengurangi perilaku ekspresi emosi yang sedang berlangsung seperti
menyembunyikan rasa gugup ketika akan melakukan wawancara pekerjaan.
2
Ada dua bentuk strategi regulasi emosi yaitu : antecedent-focused, dan responsefocused. Regulasi emosi antecedent-focused merupakan regulasi dengan memanipulasi
input dari sistem emosi, yang mengubah cara seseorang berpikir tentang rangsangan
emosional tertentu (dilakukan sebelum respon emosional sepenuhnya muncul), sehingga
seseorang mampu mengantisipasi dan meregulasi sebelum emosi itu muncul terdiri dari
beberapa bagian yaitu situation selection, situation modification, attentional deployment
dan cognitive change. Kemudian regulasi emosi response-focused merupakan cara
meregulasi dengan memanipulasi output dari sistem emosi, yang menekan atau
mengubah cara seseorang menanggapi situasi emosional (dilakukan setelah respon
emosional muncul). Kemudian regulasi emosi response-focused terdiri atas response
modulation (Gross, 2007).
2.1.3 Strategi Regulasi Emosi
Menurut Gross dan John (2003) ada 2 strategi spesifik yang membedakan
seseorang dalam meregulasi emosinya yaitu cognitive reappraisal dan expressive
suppression. Cognitive Reappraisal adalah bentuk perubahan kognitif yang melibatkan
menafsirkan situasi yang berpotensi memunculkan emosi dengan cara yang mengubah
dampak emosional (Lazarus & Alfert, dalam Gross & John, 2003). Sedangkan
Expressive Suppression adalah bentuk modulasi respon yang melibatkan penghambatan
perilaku ekspresi emosi yang sedang berlangsung (Gross, dalam Gross & John, 2003).
Sebuah studi penelitian telah menunjukkan bahwa konsekuensi dari cognitive
reappraisal dan expressive suppression jelas berbeda (Hofmann dkk, 2009; Memedovic
dkk, 2010; Ortner & Koning, 2013, dalam Gong, 2013). Cognitive reappraisal
menurunkan perasaan negatif dan ekspresi perilaku yang negatif sedangkan expressive
suppression tidak mengubah jumlah emosi negatif yang dirasakan oleh individu,
meskipun ekspresi perilaku berkurang. Selain itu, aktivasi fisiologis yang lebih besar
ditemukan pada individu-individu yang menggunakan expressive suppression (Gross,
1998). Expressive suppression juga mengakibatkan gangguan memori selama interaksi
sosial karena hal itu meningkatkan penggunaan kontrol (Richards & Gross, 1999, 2000,
dalam Gong, 2013).
Konsekuensi sosial yang timbul dari strategi regulasi emosi yaitu Cognitive
reappraisal dan expressive suppression juga berbeda. Cognitive reappraisal adalah
3
strategi untuk mengatur emosi seseorang dengan mengalami perasaan yang lebih positif,
dimana strategi regulasi emosi ini cenderung berfungsi lebih baik dalam pengaturan
sosial. Sedangkan strategi regulasi emosi expressive suppression mengambil banyak
sumber daya kognitif, individu yang mengadopsi strategi ini biasanya tidak dapat
menyerap informasi dari mitra sosial, sehingga gagal untuk merespon dengan baik
dalam situasi sosial, yang mengarah pada masalah komunikasi dan gangguan dalam
interaksi sosial (John & Gross, dalam Gong, 2013). Maka dari itu, individu yang
menggunakan cognitive reappraisal untuk mengatur emosi mereka, cenderung memiliki
kesejahteraan diri yang lebih baik daripada mereka yang mengadopsi expressive
suppression (Gross & John, 2003).
2.2 Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan adalah proses memilih suatu alternatif cara bertindak
dengan metode yang efisien sesuai situasi. Proses tersebut untuk menemukan dan
menyelesaikan masalah organisasi. Menurut Brinckloe (dalam Salusu, 2000) Suatu
aturan kunci dalam pengambilan keputusan ialah sekali kerangka yang tepat sudah
diselesaikan, keputusan harus dibuat.
Janis dan Mann (1977) beranggapan bahwa konflik terjadi ketika seseorang
dihadapkan dengan mengambil sebuah keputusan, hal ini menimbulkan tekanan dan
ketidakyakinan. Proses dimulai ketika pembuat keputusan menjadi waspada akan
ancaman yang ia rasa perlu untuk dipertimbangkan (misal suara alarm kebakaran).
Proses ini berlanjut melewati beberapa langkah yang dapat digambarkan dengan
runtutan pertanyaan yang jika dijawab dengan benar, memerlukan tindakan yang
membawa ke pertanyaan berikutnya dan ketika dijawab dengan salah akan
menimbulkan gangguan terhadap proses pengambilan keputusan.
Jadi pengambilan keputusan adalah proses mengidentifikasikan alternatif yang
ada sehingga dapat dipilih yang paling sesuai dengan nilai dan tujuan individu untuk
mendapatkan solusi dari masalah tertentu. Tetapi pada umumnya ketika individu
dihadapkan oleh dua pilihan, biasanya timbul konflik dalam mengambil keputusan
tersebut.
4
2.2.1 Tahapan dalam Pengambilan Keputusan
Janis dan Mann (1977) mengemukakan 5 tahapan dalam pengambilan keputusan
yaitu:
1. Menilai Masalah
Masalah dapat dikatakan sebagai suatu konflik atau permasalahan yang terjadi,
antara situasi nyata dengan situasi yang dijadikan tujuan atau yang diharapkan
oleh seseorang. Dengan demikian masalah membuat atau memaksa individu
untuk mengambil tindakan baru. Pemahan akan maslaah dapat membuat
individu melihat masalah dengan kemungkinan resiko yang dapat terjadi.
2. Mencari Alternatif
Setelah mendapatkan pemahaman yang baik dari masalah yang dihadapi,
individu biasanya memikirkan kembali tindakan yang biasa ia lakukan. Saat
individu menyadari kalau tindakannya tersebut dianggap tidak tepat lagi,
individu mulai memusatkan perhatian pada beberapa alternatif pilihan.
Biasanya dalam mencari alternatif pilihan tersebut, individu akan mencari
informasi dari pihak lain yang dianggapnya lebih kompeten dalam mengatasi
sebuah masalah yang dihadapinya. Kemudian individu akan mulai tidak
menggunakan alternatif pilihan yang tidak tepat, dan pada akhirnya akan
membatasi pada alternatif pilihan yang dianggap dapat menjadi solusi yang
tepat bagi masalah tersebut.
3. Mempertimbangkan Alternatif
Pada tahap ini mulai mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pada setiap
alternatif pilihan, hinggan pada akhirnya menuju tindakan yang tepat atau yang
diinginkan. Tidak jarang individu mengalami kebimbangan pada tahap ini,
karena biasanya individu akan memperhatikan informasi lain yang mungkin
terlewatkan.
4. Membuat Komitmen
Pada tahap membuat komitmen, individu sudah mendapatkan solusi dan
tindakan yang tepat bagi masalahnya, dan mulai merealisasikan keputusan
dalam kehidupannya. Pada akhirnya, individu sudah dapat termotivasi untuk
merealisasikan keputusannya agar tidak mendapat tantangan dari pihak-pihak
lain.
5
5. Mempersiapkan diri menghadapi umpan balik
Keputusan yang diambil sudah ditetapkan dan sudah dianggap tepat, dan
individu yakin akan keputusannya. Di tahap ini individu sudah siap ketika
menghadapi kemungkinan terjadinya umpan balik yang negatif. Umpan balik
negatif disini terjadi apabila resiko yang sebelumnya diperhitungkan terjadi
dan keuntungan yang diharapkan tidak terjadi.
2.2.2 Model Konflik Pengambilan Keputusan
Teori conflict model yang diungkapkan oleh Janis dan Mann (1977), pada
dasarnya adalah sebuah teori psikologi sosial dalam pengambilan keputusan, dimana
ada atau tidak adanya 3 kondisi sebelumnya yang dimilki seseorang untuk menetapkan
ketergantungan terhadap pola dalam mengatasi konflik tertentu. Ketiga kondisi tersebut
adalah 1) kesadaran yang dimiliki seseorang akan suatu resiko yang serius didalam
pilihan alternatif yang dimiliki, 2) harapan untuk menemukan pilihan alternatif yang
lebih baik, 3) percaya bahwa ada waktu yang cukuo untuk mencari dan
mempertimbangkan sebelum mengambil keputusan.
2.2.3 Gaya Pengambilan Keputusan
Mann dkk (1997) mengidentifikasi sejumlah gaya pengambilan keputusan yaitu:
1. Vigilance
Gaya yang paling efektif, dimana individu mempertimbangkan tujuan dan sasaran
dari situasi yang membutuhkan solusi, individu mengumpulkan informasi yang
berhubungan dengan tujuan, menguraikan strategi untuk mencapai tujuan tersebut,
dan mencapai keputusan yang paling efektif serta mencapai hasil yang diinginkan
dengan adanya konsekuensi terburuk yang sangat kecil.
2. Buck-Passing
Melibatkan penghindaran dalam pengambilan keputusan, pengambilan keputusan
melalui orang lain atau kelompok yang bertanggung jawab atas tindakan dan
keputusan diri seseorang. Hal ini juga terkait dengan adanya keragu-raguan dalam
mengambil keputusan.
6
3. Procrastination
Gaya pengambilan keputusan dengan adanya suatu penundaan yang dilakukan
secara sengaja dan berulang-ulang, dengan melakukan aktivitas lain yang tidak
diperlukan dalam pengambilan keputusan yang penting. Seseorang yang memiliki
kesulitan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan batasan waktu yang telah
ditentukan, sering mengalami keterlambatan mempersiapkan diri secara berlebihan,
maupun gagal dalam menyelesaikan tugas sesuai batas waktu.
4. Hypervigilance
Gaya pengambilan keputusan melibatkan pendekatan dengan adanya rasa
kecemasan untuk mencari jalan keluar dari masalah. Karena adanya tekanan waktu,
pengambilan keputusan secara spontan dan tergesa-gesa dalam mengambil solusi.
Hypervigilance dikaitkan dengan gaya pengambilan keputusan yang dipengaruhi
oleh stres yang dialami oleh individu.
2.3 Remaja
Menurut Santrock (2003) remaja (adolescence) individu yang berada pada rentang
11 sampai 14 tahun yang diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa
anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial
emosional. Ia melanjutkan masa remaja awal (early adolescence) individu yang berada
pada rentang usia 15 sampai 19 tahun, kira-kira sama dengan masa sekolah menengah
pertama dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas.
Papalia dkk (2008), menyatakan bahwa masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12
tahun sampai masa remaja akhir atau awal usia dua puluhan, dan masa tersebut
membawa perubahan besar saling bertautan dengan semua ranah perkembangan.
Selanjutnya menurut Monks (2002), masa remaja berlangsung antar usia 12 sampai 21
tahun dan terbagi menjadi masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan
usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun.
7
2.4 Kerangka Berpikir
Fenomena penggunaan
Narkoba pada remaja
Faktor penyebab remaja
menggunakan Narkoba
Gaya Pengambilan Keputusan
Strategi Regulasi Emosi
-
- Cognitive Reappraisal
- Expressive Suppression
Vigilance
Buck Passing
Procrastination
Hypervigilance
Hubungan antara strategi regulasi emosi
cognitive reappraisal dan expressive
suppression dengan kecenderungan gaya
pengambilan keputusan.
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
Penelitian
ini
dilatar
belakangi
oleh
fenomena
meningkatnya
kasus
penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan oleh kalangan remaja, berdasarkan data
Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya pada tahun 2014 yang berakhir bulan
Agustus, penggunaan Narkoba pada remaja mencapai 158 anak. Salah satu faktor yang
menyebabkan remaja menggunakan Narkoba adalah kemampuan regulasi emosi remaja
yang buruk, oleh karena itu penting bagi remaja untuk memiliki kemampuan meregulasi
emosi dengan baik. Menurut Gross dan John (2003), menjelaskan bahwa ada 2 strategi
regulasi emosi yang dapat diterapkan oleh individu untuk mengelola emosinya yaitu
pertama cognitive reappraisal merupakan strategi yang melibatkan mengubahan cara
berfikir tentang situasi untuk mengatur dampak emosional yang akan muncul dan
8
expressive suppression yang melibatkan upaya individu menghambat terbentuknya
reaksi emosi individu.
Peneliti ingin melihat ada atau tidak adanya hubungan antara kedua strategi
regulasi emosi dengan kecenderungan gaya atau cara pengambilan keputusan Andik
terpidana Narkoba di Lapas Anak Pria Tangerang. Menurut Mann dkk (1997) gaya
pengambilan keputusan diidentifikasi menjadi 4, yang pertama vigilance adalah
individu mencari dan mengumpulkan banyak informasi yang berhubungan dengan
tujuan sebelum mengambil keputusan, kedua buck passing adalah cara individu untuk
menghindari tanggung jawab dengan menyerahkan pengambilan keputusan kepada
orang lain, ketiga procrastination adalah gaya pengambilan keputusan dengan adanya
penundaan yang dilakukan secara sengaja, dan keempat hypervigilance adalah gaya
pengambilan keputusan secara spontan serta tergesa-gesa dengan adanya rasa
kecemasan karena tekanan waktu sehingga keputusan yang diambil tidak maksimal.
Penelitian ini secara spesifik ingin mengetahui hubungan antara strategi regulasi
emosi cognitive reappraisal dan expressive suppression dengan kecenderungan gaya
pengambilan keputusan pada anak didik tindak pidana narkoba di Lapas Anak Pria di
Tangerang.
2.5 Hipotesis
Ho1 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive
reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan vigilance dalam
penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak pria di
Tangerang.
Ho2 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive
reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan buck passing
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
Ho3 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive
reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan procrastination
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
9
Ho4 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive
reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan hypervigilance
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
Ho5 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive
supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan vigilance dalam
penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak pria di
Tangerang.
Ho6 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive
supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan buck passing
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
Ho7 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive
supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan procrastination
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
Ho8 : Tidak ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive
supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan hypervigilance
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
Ha1 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive
reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan vigilance dalam
penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak pria di
Tangerang.
Ha2 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive
reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan buck passing
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
Ha3 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive
reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan procrastination
10
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
Ha4 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi cognitive
reappraial dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan hypervigilance
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
Ha5 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive
supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan vigilance dalam
penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak pria di
Tangerang.
Ha6 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive
supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan buck passing
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
Ha7 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive
supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan procrastination
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
Ha8 : Ada hubungan yang signifikan antara strategi regulasi emosi expressive
supression dengan kecenderungan gaya pengambilan keputusan hypervigilance
dalam penggunaan narkoba pada anak didik tindak pidana narkoba di lapas anak
pria di Tangerang.
11
Download