47 Tinjauan Hukum terhadap Ppla Hubungan Diplomasi antara

advertisement
Tinjauan Hukum terhadap Ppla Hubungan Diplomasi antara Bangsa Asia Tenggara atas
Batas Wilayah Perairan Menyambut Zona Bebas Dagang ASEAN (ASEAN Free Trade
Area / AFTA) 2014
Oleh:
DIAN NARWASTUTY
Abstract
The Water limited boundaries was one of crutial matter that has to be settled and protected in
relation amongs Nations. The limitation of Water’s Boundarries is corelated with the
Jurisdiction matter and The Nation existence. To manage The Nation Existence, the whole
parties of nation should do their best to prevent their water’s territory. Each parties has the
same obligatory to prevent it. The prevention of the sea, lately in AFTA era should be done in
peace way. One of the peaceful way which is conduced by nations is diplomatic’s way.
Keywords: Water Boundaries, ASEAN, AFTA.
PENDAHULUAN
Batas wilayah perairan antarnegara
merupakan hal yang harus diatur dan
dilindungi dalam lintas hubungan di antara
negara. Penentuan batas wilayah perairan
negara turut menentukan pola hubungan yang
dimiliki oleh negara yang saling berbatasan
wilayah negara. Tujuan dari penentuan batas
wilayah perairan secara jelas adalah untuk
menegakan eksistensi suatu negara; Sehingga
pemerintah, dan masyarakat negara tersebut
memiliki kewajiban yang sama untuk
mempertahankan
wilayah
perairannya.
Pertahanan terhadap wilayah perairan
selayaknya dilakukan menurut tata hukum
yang berlaku; baik secara nasional maupun
internasional. Salah satu cara untuk
mempertahankan wilayah yang diakui dunia
internasional sebagai cara damai adalah
melalui diplomasi.
PEMBAHASAN
Diplomasi secara sederhana dapat
dikatakan sebagai seni mengedepankan
kepentingan suatu negara dalam hubungannya
dengan negara lain.1 Diplomasi ditujukan
untuk kepentingan suatu negara terhadap
negara lain. Konteks negatif dari pengertian
tersebut adalah diplomasi dapat diidentikkan
dengan
perang.
Seperti
juga
yang
1
S.L. Roy, Diplomasi, Jakarta: Raja Grafindo, 1995,
hlm.3
47
dikemukakan oleh Clausewitz, seorang filsuf
Jerman, bahwa perang merupakan kelanjutan
dari diplomasi melalui instrumen lain. Dapat
dikatakan melakukan negosiasi tidak selalu
bermakna suatu usaha yang dilakukan oleh
dua pihak yang bersengketa untuk mencapai
kesepakatan satu sama lain, meskipun hal ini
kerap menjadi motif utama dari suatu
pertemuan yang diatur oleh para diplomat dan
negarawan.2
Diplomasi memiliki unsur-unsur tertentu.
Pertama, sebagai unsur terpenting yang harus
ada
yaitu:
negosiasi. Kedua, diplomasi
dilaksanakan
demi
mencapai
dan
mengedepankan kepentingan nasional suatu
negara. Ketiga, tindakan
diplomatik
diputuskan dan diimplementasikan sebisa
mungkin dengan cara damai. Cara damai
dilakukan dengan mengindahkan kepentingan
nasional. Namun jika cara damai tidak
berhasil, maka penggunaan kekuatan pun
diijinkan. Keempat, teknik diplomasi yang
kerap digunakan adalah untuk menyiapkan
perang dan bukan demi kepentingan
damai. Kelima, diplomasi memiliki korelasi
erat dengan tujuan politik luar negeri suatu
negara. Keenam, diplomasi modern memiliki
korelasi
dengan
sistem
negara. Terakhir, diplomasi berkaitan dengan
representasi negara.3
Diplomasi memiliki pola – pola tertentu.
Pola pertama adalah diplomasi bilateral. Pola
dilomasi
bilateralisme
mengacu
pada
hubungan politik dan budaya yang melibatkan
dua negara.4 Mayoritas diplomasi yang terjadi
hingga kini adalah diplomasi bilateral,
misalnya perjanjian (traktat), saling bertukar
duta besar, dan kunjungan kenegaraan.
Namun kontelasi internasional yang sudah
cukup ramai dan kompleks tidak lagi mampu
ditangani
melalui
diplomasi bilateral,
sehingga saat ini diplomasi multilateral lebih
ditekankan.
Pola Kedua adalah diplomasi multilateral.
Pola ini menekankan adanya suatu fenomena
yang sudah ada sebelum diplomasi menjadi
kajian dalam London School of Economics.
Contohnya adalah aliansi yang dibentuk oleh
negara-negara Greco-Persian. Masalah yang
ada diselesaikan dengan jalan konsensus. Hal
itu mempermudah suatu negara untuk
menjalin hubungan persahabatan dengan
negara
lainnya.
Akan
tetapi,
perlu
diperhatikan bahwa akan ada kecenderungan
negara-negara untuk mencapai kepentingan
nasionalnya
masing-masing
sehingga
kerumitan konlik tidak terhindarkan.
Pola Ketiga adalah diplomasi unilateral,
dimana suatu negara bertindak sendiri untuk
membentuk sebuah organisasi yang dapat
memberikan pengaruh pada negara ataupun
dunia internasional dan membahas isu-isu
internasional. Pola diplomasi semacam ini
pertama kali muncul pada tahun 1972 dalam
penyelenggaraan
Konferensi
tentang
Lingkungan Hidup Manusia oleh PBB.
Melalui konferensi tersebut, mereka memiliki
peran dan kuasa untuk mempengaruhi
kebijakan dalam negerinya masing-masing
yang berkaitan dengan lingkungan hidup, juga
2
4
3
Ibid, hlm 4.
Ibid, hlm 7-8.
48
Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara Teori dan
Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hlm.85.
dalam
pembentukan
suatu
organisasi
internasional seperti Greenpeace. Diplomasi
asosiasi dilakukan oleh suatu negara dengan
negara lainnya karena adanya kesamaan
interest.5
Pola
keempat
adalah
diplomasi
konferensi. Diplomasi ini dilakukan oleh para
pemimpin negara seperti Perdana Menteri dan
para ahli. Pada masa peperangan, diplomasi
ini dilaksanakan guna mendapatkan keputusan
dalam waktu yang singkat, sehingga mereka
yang menjadi perwakilan negara hanyalah
pemimpin negara dan para ahli. Kelebihan
dari diplomasi ini salah satunya terdapat pada
perwakilan negara. Para perwakilan adalah
orang-orang yang tidak dapat disangsikan
kredibilitasnya. Selain itu, kasus yang dibahas
dalam diplomasi ini lebih spesifik. Namun,
kesuksesan diplomasi ini berada pada para
perwakilan. Hasil dari diplomasi konferensi
akan berjalan dengan efektif hanya jika
mencapai konsensus.
Lebih dari 90 pulau terluar di Indonesia
berbatasan air secara langsung dengan negara
lain.6 Hal ini turut menyumbang berbagai
masalah baru dalam lintas hubungan antara
negara Indonesia dan negara disekitarnya.
Salah satu contohnya adalah pertama, banyak
tindak pidana yang terjadi di zona perairan
terluar ini. Tindak pidana seperti pencurian
hasil-hasil
laut, penyeludupan barang
ekonomis bahkan manusia adalah sebagian
dari pelanggaran yang dapat terjadi dalam
zona perairan. Tindak pidana- tindak pidana
Yanuarta, Elok Izra, “Pola Diplomasi”, Jurnal
Negosiasi dan Diplomasi, 2011, hlm 3.
6
www. Geomatika.its.ac.id, Pulau-Pulau Terluar dan
Batas Negara Republik Indonesia,diunduh pada 12
Maret 2014
5
tersebut kerap tak terselesaikan di antara
negara yang saling berbatasan wilayah air.
Asia Tenggara dan alur laut kepulauan
Indonesia memang masih penting sepanjang
46 persen perdagangan laut dunia masih harus
melintas perairan Indonesia tetapi kemajuan
teknologi informasi dan ekonomi jasa telah
mengurangi bobot perdagangan tradisional
sehingga geo-ekonomi semakin dibandingkan
dengan geo-politik.
Kedua, daya saing bangsa lebih ditentukan
oleh ada tidaknya pemerintah yang tangkas
memantau perubahan-perubahan cepat yang
dihasilkan oleh lompatan kemajuan teknologi
informasi dan ekonomi pengetahuan. Ketiga,
sarana dan prasarana dasar seperti telkom,
bandar udara, bandar laut, perlistrikan dan air
bersih mutlak harus menjangkau rakyat
banyak. Sebab, tanpa adanya landasan sosial
ekonomi yang kokoh, pemerintahan macam
apapun tak akan dapat bertahan lama.
Keempat, seluruh anggota masyarakat
Indonesia harus menjadi bahagian dari
gerakan diplomasi global yang mengejar
selisih-selisih keunggulan yang dimiliki
sebagai potensi pasar maupun sebagai potensi
penghasilan barang, jasa, budaya, informasi
dan ilmu yang dapat dinikmati dan dijual
kepada masyarakat dunia.
Terdapat manfaat pengelompokan regional
sebagai ajang membangun lingkar-lingkar
perdamaian atas dasar kerjasama regional.
Negara-negara kunci seperti Brazil, Meksiko,
Argentina, Nigeria, Afrika Selatan, Mesir,
Iran, Pakistan dan Indonesia layak dibantu
agar persaingan antar negara besar di tiap-tiap
kawasan tidak sampai pecah menjadi
peperangan terbuka. Bantuan kepada negara
49
kunci seperti Meksiko, Brazil, Nigeria, India
dan Indonesia adalah bahagian dari strategi
pelimpahan pengaruh Amerika di Amerika
Latin, Afrika dan Asia. Strategi dasar ini
sesuai dengan pemikiran Kissinger yang
menilai bahwa keamanan internasional pada
akhirnya harus mengacu pada perimbangan
kekuatan antar negara-negara besar dan
negara-negara menengah yang berperan
sebagai "perantara kepentingan" pemainpemain utama.
Penjumlahan keamanan regional di
Amerika Latin, Afrika dan Asia menjaga
keseimbangan peran politik, ekonomi dan
militer antar negara-negara besar. Peranan
vital tersebut dilandasi oleh pertimbangan
historis,
geografis,
ideologis
dan
perkembangan politik kontemporer. Gravitas
hubungan antarnegara pada dinamika
ekonomi tidak sepenuhnya menghapus
relevansi konteks politik geostrategi. Bagi
sebuah negara kepulauan, termasuk Indonesia,
melindungi keamanan nasional adalah usaha
besar untuk melindungi dan mempertahankan
kedaulatan maritim berikut sumber daya yang
berada di dalamnya. Keamanan jalur
pelayaran (sea line of communication),
kedaulatan atas kawasan ekonomi eksklusif,
dan kedaulatan atas sumber daya maritim
menjadi sama pentingnya dengan resources
yang berada di daratan.
Perundingan-perundingan batas wilayah
perairan yang sering dilakukan oleh negaranegara ASEAN yang menyangkut pencegahan
tindak pidana tersebut di atas juga tidak
memberikan solusi bagi negara yang menjadi
korban. Faktor penyebab maraknya tindak
pidana
adalah
kurangnya
perhatian
50
pemerintah
terhadap
pola
diplomasi
antarnegara, cara pandang yang berbeda di
antara negara dalam memandang batas
wilayah airnya, serta faktor himpitan
ekonomi.
Masalah-masalah
kelautan
mempunyai hubungan yang erat dengan
ketentuan-ketentuan hukum internasional.
Oleh karena itu dalam pembangunan hukum
kelautan, ketentuan-ketentuan yang terdapat
dalam
konvensi-konvensi
internasional
kelautan tidak dapat diabaikan. Dalam
hubungan ini Konvensi PBB tentang Hukum
Laut 1982 (Konvensi Hukum Laut PBB)
mengatur secara komprehensif berbagai aspek
hukum mengenai kelautan yang antara lain
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. juridiksi kelautan, yang meliputi
ketentuan-ketentuan
tentang
laut
territorial dan zona tambahan, lintas
damai di laut territorial, selat yang
digunakan
untuk
pelayaran
internasional, rejim negara kepulauan,
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan
landas kontinen laut lepas;
b. rejim laut lepas yang meliputi
pengelolaan dan konservasi sumber
kekayaan hayati di laut lepas;
c. rejim pulau;
d. laut tertutup atau setengah tertutup;
e. hak negara tak berpantai untuk masuk
ke dalam dan keluar laut dan
kebebasan melakukan transaksi;
f. kawasan, dalam arti dasar laut dan
dasar samudera serta tanah di
bawahnya di luar batas-batas yuridiksi
nasional, beserta lembaga Otorita
Dasar Laut Internasional serta hal-hal
g.
h.
i.
j.
k.
l.
m.
yang berhubungan dengan pengelolaan
kawasan;
perlindungan
dan
pelestarian
lingkungan laut;
kerjasama global dan regional;
bantuan teknik dan ilmiah yang dapat
diberikan kepada negara berkembang;
pengetahuan
internasional
dan
nasional untuk mencegah, mengurangi
dan
mengendalikan
pencemaran
lingkungan laut;
ketentuan tentang penegakan hukum
atau pembenaran penaatan penegakan
terhadap
ketentuan-ketentuan
Konvensi,
termasuk
ketentuan
mengenai tanggung jawab dan ganti
rugi dan imunitas negara;
ketentuan-ketentuan mengenai riset
ilmiah kelautan serta pengembangan
dan alih teknologi kelautan serta
kerjasama internasional;
Ketentuan-ketentuan
tentang
penyelesaian sengketa.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi
tersebut dengan Undang-Undang No.17
Tahun 1985 sehingga dengan demikian
Konvensi tersebut berlaku bagi Indonesia.
Dibandingkan dengan konvensi-konvensi
hukum laut Jenewa 1958, tentang hukum laut,
Konvensi Hukum Laut PBB mengatur rejimrejim hukum laut secara lengkap dan
menyeluruh di mana rejim-rejim tersebut satu
sama lainnya tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan ditinjau dari isinya Konvensi
tersebut sebagian dapat dipandang sebagai
kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut
yang sudah ada, misalnya tentang kebebasan-
kebebasan di laut lepas dan hak lintas damai
di laut territorial, dan sebagian merupakan
pengembangan hukum laut yang sudah ada,
misalnya ketentuan mengenai lebar laut
territorial menjadi 12 mil dengan cara
perhitungan tertentu dan kriteria landas
kontinen.
Selama ini Indonesia telah memiliki
berbagai
peraturan
perundang-undangan
mengenai kelautan, yang didasarkan pada
kebutuhan
dimana
ketentuan-ketentuan
hukum internasional turut diperhatikan.
Namun karena konvensi-konvensi nasional
juga bisa berubah, seperti konvensi-konvensi
hukum laut Internasional yang diprakarsai
oleh Konferensi Hukum Laut Internasional
1958 di Jenewa yang kemudian digantikan
oleh Konvensi Hukum Laut PBB, berbagai
peraturan tersebut perlu ditinjau kembali dan
diubah
disesuaikan
dengan
ketentuan
konvensi yang baru. Untuk menyelesaikan
perkara pidana yang terjadi di wilayah
perairan
terdapat
mahkamah
Laut
Internasional dan pengaturan hukum dalam
United Nation Convention on The Law Of the
Sea (selanjutnya disebut UNCLOS).
Substansi mendasar dalam UNCLOS ini
adalah penindakan tegas mengenai kejahatankejahatan yang terjadi di laut, semangat yang
menjiwai pola diplomasi diantara negaranegara yang saling berbatasan laut serta hal
yang ingin dicapai melalui pengaturan sistem
diplomasi secara damai terkait masalah
perairan.
Subtansi-subtansi
tersebut
membangun sistem hukum laut yang berlaku
secara internasional.
Sistem hukum laut dalam UNCLOS
bertujuan untuk menghindari pelanggaran
51
wilayah suatu negara terhadap negara lainnya
dengan membangun penghormatan terhadap
keberadaan
negara
lain.
Keberadaan
UNCLOS seharusnya menjamin hak–hak tiap
negara untuk dapat memanfaatkan wilayah
perairannya, penegasan secara hukum akan
batas wilayah perairannya serta lebih jauh
untuk penegakan kehormatan negara dalam
hal status kepemilikan wilayah. Banyak sekali
bagian dari UNCLOS berupa ketentuanketentuan hukum publik (antara lain yang
menyangkut navigasi dan keselamatan
pelayaran), dan mengenai hukum perdata
(seperti
tentang
tanggung
jawab
pengangkut/pemilik kapal, tubrukan kapal,
serta pencemaran laut).
Demikian pula halnya di bidang
pertambangan, perikanan dan lain-lain
terdapat kovensi-konvensi atau perjanjianperjanjian internasional yang mengatur hal-hal
di bidang yang bersangkutan secara spesifik.
Dengan demikian peraturan perundanganundangan menyangkut kelautan di Indonesia
seyogyanya
memperhatikan
ketentuanketentuan dalam konvensi-konvensi
yang diratifikasi oleh Indonesia. Sehubungan
dengan ini perlu dicatat bahwa Indonesia
umumnya sangat lamban dalam hal
meratifikasi sesuatu konvensi internasional,
dan apabila telah meratifikasi sering lupa atau
lamban untuk menindak-lanjuti dalam
peraturan perundang-undangan nasional. Pada
kenyataan, sering terjadi persengketaan di
antara negara-negara yang berbatas wilayah
air secara langsung, atau negara-negara saling
menyatakan klaim kepemilikan terhadap suatu
wilayah perairan tertentu karena alasan
52
ketidakjelasan batas wilayah dan tata aturan
yang mengaturnya.
Beberapa negara harus kehilangan wilayah
perairannya
karena
tidak
memiliki
pengetahuan diplomasi yang cukup untuk
menyelesaikan
masalah
persengketaan
wilayah perairan itu sendiri. Sistem yang
dicita-citakan dalam konvensi UNCLOS
sebagai
wujud
tertinggi
pencapaian
perdamaian di wilayah perairan ternyata tidak
mampu mengakomodir berbagai kepentingan
negara-negara menyangkut batas wilayah
perairan. Pola diplomasi antarnegara tidak
sama dengan percaturan politik pemimpin
negara, meskipun politik banyak digunakan
sebagai salah satu cara berdiplomasi. Pola
diplomasi melibatkan faktor kecakapan
diplomat, pengetahuan mengenai cara-cara
diplomasi yang baik, pola diplomasi yang
akan dikembangkan, serta tujuan dari suatu
pola hubungan diplomasi.
Pada kebutuhan Indonesia dalam hal
menyambut era AFTA, sesuai kondisi
masyarakat yang berkepentingan, rasa
keadilan dan kepatutan lebih banyak
menyangkut kepentingan nasional, maka
rujukan pada ketentuan-ketentuan hukum
internasional lebih menyangkut kaidah hukum
sebagai aturan main yang perlu diperhatikan
agar mendekati keseragaman dan agar tidak
menimbulkan konflik-konflik internasional.
Hal ini tidak hanya berlaku bagi ketentuanketentuan yang bersifat hukum publik, (yaitu
yang menyangkut kepentingan umum
/masyarakat luas termasuk yang bersifat
kebijakan), tetapi juga berlaku dalam hal
mengenai hukum perdata, (yaitu yang
menyangkut hubungan hukum antara para
pihak umpamanya di bidang maritime /
admiralty law. Sebagian catatan perlu
dikemukakan bahwa ketentuan-ketentuan
hukum perdata maritim Indonesia seperti yang
terdapat dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang sudah sangat ketinggalan
jaman.
Fokus pengamatan penulis adalah sudah
saatnya terdapat suatu pola hubungan
diplomatik yang baik dan jelas diantara
bangsa-bangsa
Asia
tenggara
dalam
menyikapi hal-hal seputar wilayah perairan
yang
berbatasan
secara
langsung.
Ketidakmampuan Negara anggota ASEAN
dalam mengembangkan pola diplomasi yang
dimaksud akan menyebabkan timbulnya
sejumlah permasalahan lain. Pembangunan
nasional kelautan harus mencerminkan
kebutuhan dan didasari prakarsa dan kondisi
masyarakat yang memang memerlukan
ketentuan hukum dapat terlaksana sesuai
dengan kebutuhan, kondisi masyarakat, rasa
keadilan dan kepatutan.
Pengembangan hukum harus mampu
menghidupkan kegiatan ekonomi secara
produktif dan mendorong akses masyarakat
terhadap pemanfaatan sumberdaya kelautan
dan mampu mendayagunakan potensi
ekonomi dan sumberdaya pesisir dan laut
secara optimal dengan memperhatikan aspek
kelestarian dan keberlanjutan lingkungan.
Pembangunan hukum kelautan harus mengacu
pula pada ketentuan-ketentuan hukum
internasional di bidang kelautan. Hal ini juga
berlaku dalam mengatur kewenangan antar
pemerintah pusat dan pemerintah daerah
dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Indonesia perlu memiliki suatu Ocean
Policy, yaitu suatu rumusan latar belakang,
permasalahan
dan
pokok-pokok
kebijaksanaan pembangunan kelautan yang
menyeluruh
dan
komprehensif
yang
merupakan dasar bagi perumusan kebijakankebijakan operasional kelautan dalam wujud
peraturan
perundang-undangan.
Untuk
menjamin
terlaksananya
berbagai
kebijaksanaan pembangunan kelautan secara
integral yang menyangkut bidang-bidang
lintas sektoral yang begitu luas, diperlukan
suatu titik pengendalian/koordinasi setingkat
menteri
koordinator.
Disamping
itu
pembangunan hukum kelautan secara nasional
dalam rangka pembangunan ekonomi nasional
pertama-tama memerlukan keputusan politik
dan dukungan penuh baik oleh lembaga
eksekutif maupun legislatif, termasuk
dukungan berupa penyediaan dana/anggaran
yang diperlukan.
Ocean Policy yang demikian tersebut
telah dimiliki antara lain oleh Amerika
Serikat, Inggris, India dan beberapa Negara
lainnya. Kebijakan tersebut harus memuat
latar belakang, permasalahan pokok-pokok
kebijakan kelautan nasional yang menyeluruh
yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan
kebijakan kelautan secara operasional dalam
wujud
peraturan
perundangan
yang
dibutuhkan. Selanjutnya dikemukakan sampai
saat ini belum ada kebijakan mengelola
sumber daya kelautan secara terpadu di bawah
satu koordinasi lembaga Negara yang sinergis.
Adanya Departeman Kelautan dan Perikanan
tidaklah mungkin dapat berfungsi sebagai
lembaga koordinasi yang dimaksudkan itu,
karena lingkup tugasnya yang bersifat
53
sektoral. Padahal lingkup bidang kelautan
terkait dengan kegiatan berbagai departemen,
seperti departemen energi dan sumber daya
mineral, perhubungan, pariwisata, kimpraswil,
diknas, hankam, kelautan dan perikanan,
koperasi, UKM, TNI AL, POLRI, lingkungan
hidup, kesehatan, ristek, perindustrian dan
perdagangan, keuangan, BI, tenaga kerja dan
transmigrasi, kehakiman, kejaksaan serta
institusi terkait lainnya di tingkat pusat
maupun daerah. Jelaslah bahwa bidang
kelautan bukanlah merupakan sektor tetapi
“main sector” yang terdiri dari berbagai
sektor.
Terkait permasalahan mengenai pola
diplomasi yang cocok untuk dikembangkan
Negara-negara ASEAN dalam menyambut
AFTA, makalah ini mencoba mengemukakan
bahwa dalam merumuskan perencanaan
pengembangan hukum perlu diperhatikan,
bahwa rencana pengembangan hukum harus
berbasis pada kebutuhan hukum (need
oriented of law) dimana adanya peraturan
didasarkan pada kebutuhan masyarakat di
kawasan pesisir dan pada prakarsa dan adanya
kesadaran masyarakat hukum setempat.
Disamping itu rencana strategi pengembangan
hukum untuk pemanfaatan sumber daya
supaya berorientasi pada optimalisasi
pemanfaatan sumber daya hayati di perairan
nusantara dan ZEE, serta menciptakan
reformasi kelembagaan ekonomi dan sosial
bagi masyarakat, khususnya masyarakat
pantai
yang
berkepentingan,
dengan
menyiapkan tata ruang yang optimal dalam
wilayah penangkapan dan budidaya ikan serta
reaktualisasi nilai-nilai tradisi lokal dalam
tubuh masyarakat pesisir.
54
Mengenai tujuan dan sasaran rencana
pengembangan pola diplomasi tersebut di
atas, penulis merasa perlu adanya peningkatan
pelatihan untuk menumbuhkan kemampuan
diplomasi serta kemampuan holistik tentang
keadaan negara-negara ASEAN, pola kegiatan
ekonomi yang produktif berbasis sumber daya
lokal yang selama ini berkembang di negaranegara ASEAN. Penulis juga menilai
pentingnya akses yang luas bagi masyarakat
ASEAN seluruhnya terhadap pemanfaatan
sumber daya kelautan serta mampu
mendayagunakan potensi ekonomi dan
sumber daya pesisir dan lautan secara optimal
dengan memperhatikan aspek kelestarian dan
keberlanjutan lingkungan (sustainable and
environmentally friendly).
KESIMPULAN dan SARAN
Penulis setuju dengan apa yang
dikemukakan di atas walaupun pandangan
tersebut agak terlalu berorientasi pada sumber
daya kelautan di bidang perikanan. Secara
prinsip hal-hal yang dikemukakan tersebut
juga berlaku terhadap bidang-bidang kelautan
lain, seperti juga diuraikan oleh pembawa
makalah, bahwa sumber daya kelautan
meliputi bidang-bidang strategis yang sangat
luas seperti pertambangan, perminyakan,
perhubungan laut, industri maritim, dan lainlain. Tentu saja untuk bidang-bidang strategis
lain perlu dilakukan pendekatan yang sesuai
dengan sifat bidang yang bersangkutan.
Sebagaimana dimaklumi bahwa AFTA
mulai berlaku pada Desember 2014. Didalam
AFTA terdapat Asean Framework Agreement
on Trade in Services (AFAS) yang akan
memperketak persaingan di bidang jasa.
Indonesia telah menandatangani AFAS,
sehingga Indonesia telah menjadi salah satu
negara peserta. Pada dasarnya AFAS
merupakan liberalisasi perdagangan jasa
untuk regional ASEAN yang berlaku secara
bertahap mulai tahun 1995 dan tentunya dapat
dipastikan
Pelayaran
Nasional
akan
menghadapi persaingan yang makin berat.
Apabila Indonesia tidak mengambil langkah
melalui kebijakan yang mendorong daya saing
dan efisiensi, niscaya Indonesia akan
tertinggal dari pertumbuhan pelayaran niaga
negara-negara ASEAN.
Di tingkat global, persaingan yang
terjadi sudah sedemikian ketat. Terlebih lagi
dengan dikeluarkannya aturan General
Agreement on Trade Services (GATS) pada
tahun 1994. Untuk meredam berbagai
persaingan ini, kita melihat telah terjadi 7
aliansi perusahaan pelayaran, skala dunia
yang melayari servis ke seluruh dunia, dan
hanya menyinggahi beberapa pelabuhan Hub
yang dapat menyediakan 2000-3000 TEU'S
sekali singgah.
Dengan demikian, dalam percaturan
ini Indonesia hanya mampu sebagai feeder
saja, sedang negara-negara lain misalnya
Malaysia dan Singapura telah memasuki
global service, beberapa tahun yang lalu.
Sebagai contohnya Pelabuhan Tanjung
Pelepas atau pun Port Klang telah menjadi
pelabuhan Hub, dengan masuknya beberapa
mainland operator ke pelabuhan tersebut.
Bahkan Maersk Line dan EverGreen telah
memindahkan Base Office-nya dari Singapura
ke Tanjung Pelapas. Proses tersebut didukung
oleh rendahnya tarif handling container di
kedua pelabuhan tersebut. Kebijakan tersebut
ditempuh agar terjadi pertumbuhan kawasan
industri di sekitar kedua pelabuhan tersebut.
Hubungan
antar-bangsa
diantara
negara ASEAN dengan latar belakang
perbedaan dalam banyak hal secara politik,
sosial, ekonomi, iptek, peradaban dan budaya
serta lain-lainnya memerlukan suatu bentuk
ketetapan yang seragam sebagai patokan atau
rambu-rambu wajib yang diadakan guna
menghindari konflik kepentingan. Tujuan
kerjasama dan pola diplomasi juga harus
ditentukan agar tercapai suatu ketertiban yang
didambakan semua pihak. Konvensi-konvensi
Internasional yang menyangkut bidang
maritim yang dihasilkan oleh Badan-badan
Internasional seperti IMO, ILO, ESCAP,
UNCTAD, dan lain-lain wajib dipahami dan
dijabarkan dalam perundangan nasional guna
diimplementasikan. Selain dari itu diperlukan
peran serta yang aktif pula dalam pengkajian
dan pembahasan materi-materi kebijakan yang
dirampungkan dalam forum badan-badan
internasional tersebut dan diharapkan dapat
dipresentasikan di dalam forum badan
tersebut guna membela kepentingan nasional
dan semua ini bisa dicapai melalui tersedianya
diplomat yang cukup dengan kualifikasi yang
memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Karya Ilmiah
Elok Izra Yanuarta. 2011. “Pola Diplomasi”.
Jurnal Negosiasi dan Diplomasi
S.L. Roy, Diplomasi, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1995.
55
Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara
Teori dan Politik. Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2008.
Perundang-undangan
United Convention On The Law OF the Sea
(UNCLOS)1982
Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985
Tentang Ratifikasi UNCLOS
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1992
Tentang Perairan Indonesia.
Internet
www. Geomatika.its.ac.id
56
Download