Tinjauan Hukum terhadap Ppla Hubungan Diplomasi antara Bangsa Asia Tenggara atas Batas Wilayah Perairan Menyambut Zona Bebas Dagang ASEAN (ASEAN Free Trade Area / AFTA) 2014 Oleh: DIAN NARWASTUTY Abstract The Water limited boundaries was one of crutial matter that has to be settled and protected in relation amongs Nations. The limitation of Water’s Boundarries is corelated with the Jurisdiction matter and The Nation existence. To manage The Nation Existence, the whole parties of nation should do their best to prevent their water’s territory. Each parties has the same obligatory to prevent it. The prevention of the sea, lately in AFTA era should be done in peace way. One of the peaceful way which is conduced by nations is diplomatic’s way. Keywords: Water Boundaries, ASEAN, AFTA. PENDAHULUAN Batas wilayah perairan antarnegara merupakan hal yang harus diatur dan dilindungi dalam lintas hubungan di antara negara. Penentuan batas wilayah perairan negara turut menentukan pola hubungan yang dimiliki oleh negara yang saling berbatasan wilayah negara. Tujuan dari penentuan batas wilayah perairan secara jelas adalah untuk menegakan eksistensi suatu negara; Sehingga pemerintah, dan masyarakat negara tersebut memiliki kewajiban yang sama untuk mempertahankan wilayah perairannya. Pertahanan terhadap wilayah perairan selayaknya dilakukan menurut tata hukum yang berlaku; baik secara nasional maupun internasional. Salah satu cara untuk mempertahankan wilayah yang diakui dunia internasional sebagai cara damai adalah melalui diplomasi. PEMBAHASAN Diplomasi secara sederhana dapat dikatakan sebagai seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain.1 Diplomasi ditujukan untuk kepentingan suatu negara terhadap negara lain. Konteks negatif dari pengertian tersebut adalah diplomasi dapat diidentikkan dengan perang. Seperti juga yang 1 S.L. Roy, Diplomasi, Jakarta: Raja Grafindo, 1995, hlm.3 47 dikemukakan oleh Clausewitz, seorang filsuf Jerman, bahwa perang merupakan kelanjutan dari diplomasi melalui instrumen lain. Dapat dikatakan melakukan negosiasi tidak selalu bermakna suatu usaha yang dilakukan oleh dua pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan satu sama lain, meskipun hal ini kerap menjadi motif utama dari suatu pertemuan yang diatur oleh para diplomat dan negarawan.2 Diplomasi memiliki unsur-unsur tertentu. Pertama, sebagai unsur terpenting yang harus ada yaitu: negosiasi. Kedua, diplomasi dilaksanakan demi mencapai dan mengedepankan kepentingan nasional suatu negara. Ketiga, tindakan diplomatik diputuskan dan diimplementasikan sebisa mungkin dengan cara damai. Cara damai dilakukan dengan mengindahkan kepentingan nasional. Namun jika cara damai tidak berhasil, maka penggunaan kekuatan pun diijinkan. Keempat, teknik diplomasi yang kerap digunakan adalah untuk menyiapkan perang dan bukan demi kepentingan damai. Kelima, diplomasi memiliki korelasi erat dengan tujuan politik luar negeri suatu negara. Keenam, diplomasi modern memiliki korelasi dengan sistem negara. Terakhir, diplomasi berkaitan dengan representasi negara.3 Diplomasi memiliki pola – pola tertentu. Pola pertama adalah diplomasi bilateral. Pola dilomasi bilateralisme mengacu pada hubungan politik dan budaya yang melibatkan dua negara.4 Mayoritas diplomasi yang terjadi hingga kini adalah diplomasi bilateral, misalnya perjanjian (traktat), saling bertukar duta besar, dan kunjungan kenegaraan. Namun kontelasi internasional yang sudah cukup ramai dan kompleks tidak lagi mampu ditangani melalui diplomasi bilateral, sehingga saat ini diplomasi multilateral lebih ditekankan. Pola Kedua adalah diplomasi multilateral. Pola ini menekankan adanya suatu fenomena yang sudah ada sebelum diplomasi menjadi kajian dalam London School of Economics. Contohnya adalah aliansi yang dibentuk oleh negara-negara Greco-Persian. Masalah yang ada diselesaikan dengan jalan konsensus. Hal itu mempermudah suatu negara untuk menjalin hubungan persahabatan dengan negara lainnya. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa akan ada kecenderungan negara-negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya masing-masing sehingga kerumitan konlik tidak terhindarkan. Pola Ketiga adalah diplomasi unilateral, dimana suatu negara bertindak sendiri untuk membentuk sebuah organisasi yang dapat memberikan pengaruh pada negara ataupun dunia internasional dan membahas isu-isu internasional. Pola diplomasi semacam ini pertama kali muncul pada tahun 1972 dalam penyelenggaraan Konferensi tentang Lingkungan Hidup Manusia oleh PBB. Melalui konferensi tersebut, mereka memiliki peran dan kuasa untuk mempengaruhi kebijakan dalam negerinya masing-masing yang berkaitan dengan lingkungan hidup, juga 2 4 3 Ibid, hlm 4. Ibid, hlm 7-8. 48 Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara Teori dan Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hlm.85. dalam pembentukan suatu organisasi internasional seperti Greenpeace. Diplomasi asosiasi dilakukan oleh suatu negara dengan negara lainnya karena adanya kesamaan interest.5 Pola keempat adalah diplomasi konferensi. Diplomasi ini dilakukan oleh para pemimpin negara seperti Perdana Menteri dan para ahli. Pada masa peperangan, diplomasi ini dilaksanakan guna mendapatkan keputusan dalam waktu yang singkat, sehingga mereka yang menjadi perwakilan negara hanyalah pemimpin negara dan para ahli. Kelebihan dari diplomasi ini salah satunya terdapat pada perwakilan negara. Para perwakilan adalah orang-orang yang tidak dapat disangsikan kredibilitasnya. Selain itu, kasus yang dibahas dalam diplomasi ini lebih spesifik. Namun, kesuksesan diplomasi ini berada pada para perwakilan. Hasil dari diplomasi konferensi akan berjalan dengan efektif hanya jika mencapai konsensus. Lebih dari 90 pulau terluar di Indonesia berbatasan air secara langsung dengan negara lain.6 Hal ini turut menyumbang berbagai masalah baru dalam lintas hubungan antara negara Indonesia dan negara disekitarnya. Salah satu contohnya adalah pertama, banyak tindak pidana yang terjadi di zona perairan terluar ini. Tindak pidana seperti pencurian hasil-hasil laut, penyeludupan barang ekonomis bahkan manusia adalah sebagian dari pelanggaran yang dapat terjadi dalam zona perairan. Tindak pidana- tindak pidana Yanuarta, Elok Izra, “Pola Diplomasi”, Jurnal Negosiasi dan Diplomasi, 2011, hlm 3. 6 www. Geomatika.its.ac.id, Pulau-Pulau Terluar dan Batas Negara Republik Indonesia,diunduh pada 12 Maret 2014 5 tersebut kerap tak terselesaikan di antara negara yang saling berbatasan wilayah air. Asia Tenggara dan alur laut kepulauan Indonesia memang masih penting sepanjang 46 persen perdagangan laut dunia masih harus melintas perairan Indonesia tetapi kemajuan teknologi informasi dan ekonomi jasa telah mengurangi bobot perdagangan tradisional sehingga geo-ekonomi semakin dibandingkan dengan geo-politik. Kedua, daya saing bangsa lebih ditentukan oleh ada tidaknya pemerintah yang tangkas memantau perubahan-perubahan cepat yang dihasilkan oleh lompatan kemajuan teknologi informasi dan ekonomi pengetahuan. Ketiga, sarana dan prasarana dasar seperti telkom, bandar udara, bandar laut, perlistrikan dan air bersih mutlak harus menjangkau rakyat banyak. Sebab, tanpa adanya landasan sosial ekonomi yang kokoh, pemerintahan macam apapun tak akan dapat bertahan lama. Keempat, seluruh anggota masyarakat Indonesia harus menjadi bahagian dari gerakan diplomasi global yang mengejar selisih-selisih keunggulan yang dimiliki sebagai potensi pasar maupun sebagai potensi penghasilan barang, jasa, budaya, informasi dan ilmu yang dapat dinikmati dan dijual kepada masyarakat dunia. Terdapat manfaat pengelompokan regional sebagai ajang membangun lingkar-lingkar perdamaian atas dasar kerjasama regional. Negara-negara kunci seperti Brazil, Meksiko, Argentina, Nigeria, Afrika Selatan, Mesir, Iran, Pakistan dan Indonesia layak dibantu agar persaingan antar negara besar di tiap-tiap kawasan tidak sampai pecah menjadi peperangan terbuka. Bantuan kepada negara 49 kunci seperti Meksiko, Brazil, Nigeria, India dan Indonesia adalah bahagian dari strategi pelimpahan pengaruh Amerika di Amerika Latin, Afrika dan Asia. Strategi dasar ini sesuai dengan pemikiran Kissinger yang menilai bahwa keamanan internasional pada akhirnya harus mengacu pada perimbangan kekuatan antar negara-negara besar dan negara-negara menengah yang berperan sebagai "perantara kepentingan" pemainpemain utama. Penjumlahan keamanan regional di Amerika Latin, Afrika dan Asia menjaga keseimbangan peran politik, ekonomi dan militer antar negara-negara besar. Peranan vital tersebut dilandasi oleh pertimbangan historis, geografis, ideologis dan perkembangan politik kontemporer. Gravitas hubungan antarnegara pada dinamika ekonomi tidak sepenuhnya menghapus relevansi konteks politik geostrategi. Bagi sebuah negara kepulauan, termasuk Indonesia, melindungi keamanan nasional adalah usaha besar untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan maritim berikut sumber daya yang berada di dalamnya. Keamanan jalur pelayaran (sea line of communication), kedaulatan atas kawasan ekonomi eksklusif, dan kedaulatan atas sumber daya maritim menjadi sama pentingnya dengan resources yang berada di daratan. Perundingan-perundingan batas wilayah perairan yang sering dilakukan oleh negaranegara ASEAN yang menyangkut pencegahan tindak pidana tersebut di atas juga tidak memberikan solusi bagi negara yang menjadi korban. Faktor penyebab maraknya tindak pidana adalah kurangnya perhatian 50 pemerintah terhadap pola diplomasi antarnegara, cara pandang yang berbeda di antara negara dalam memandang batas wilayah airnya, serta faktor himpitan ekonomi. Masalah-masalah kelautan mempunyai hubungan yang erat dengan ketentuan-ketentuan hukum internasional. Oleh karena itu dalam pembangunan hukum kelautan, ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi-konvensi internasional kelautan tidak dapat diabaikan. Dalam hubungan ini Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (Konvensi Hukum Laut PBB) mengatur secara komprehensif berbagai aspek hukum mengenai kelautan yang antara lain meliputi hal-hal sebagai berikut: a. juridiksi kelautan, yang meliputi ketentuan-ketentuan tentang laut territorial dan zona tambahan, lintas damai di laut territorial, selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, rejim negara kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan landas kontinen laut lepas; b. rejim laut lepas yang meliputi pengelolaan dan konservasi sumber kekayaan hayati di laut lepas; c. rejim pulau; d. laut tertutup atau setengah tertutup; e. hak negara tak berpantai untuk masuk ke dalam dan keluar laut dan kebebasan melakukan transaksi; f. kawasan, dalam arti dasar laut dan dasar samudera serta tanah di bawahnya di luar batas-batas yuridiksi nasional, beserta lembaga Otorita Dasar Laut Internasional serta hal-hal g. h. i. j. k. l. m. yang berhubungan dengan pengelolaan kawasan; perlindungan dan pelestarian lingkungan laut; kerjasama global dan regional; bantuan teknik dan ilmiah yang dapat diberikan kepada negara berkembang; pengetahuan internasional dan nasional untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut; ketentuan tentang penegakan hukum atau pembenaran penaatan penegakan terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi, termasuk ketentuan mengenai tanggung jawab dan ganti rugi dan imunitas negara; ketentuan-ketentuan mengenai riset ilmiah kelautan serta pengembangan dan alih teknologi kelautan serta kerjasama internasional; Ketentuan-ketentuan tentang penyelesaian sengketa. Indonesia telah meratifikasi Konvensi tersebut dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985 sehingga dengan demikian Konvensi tersebut berlaku bagi Indonesia. Dibandingkan dengan konvensi-konvensi hukum laut Jenewa 1958, tentang hukum laut, Konvensi Hukum Laut PBB mengatur rejimrejim hukum laut secara lengkap dan menyeluruh di mana rejim-rejim tersebut satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan ditinjau dari isinya Konvensi tersebut sebagian dapat dipandang sebagai kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang sudah ada, misalnya tentang kebebasan- kebebasan di laut lepas dan hak lintas damai di laut territorial, dan sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar laut territorial menjadi 12 mil dengan cara perhitungan tertentu dan kriteria landas kontinen. Selama ini Indonesia telah memiliki berbagai peraturan perundang-undangan mengenai kelautan, yang didasarkan pada kebutuhan dimana ketentuan-ketentuan hukum internasional turut diperhatikan. Namun karena konvensi-konvensi nasional juga bisa berubah, seperti konvensi-konvensi hukum laut Internasional yang diprakarsai oleh Konferensi Hukum Laut Internasional 1958 di Jenewa yang kemudian digantikan oleh Konvensi Hukum Laut PBB, berbagai peraturan tersebut perlu ditinjau kembali dan diubah disesuaikan dengan ketentuan konvensi yang baru. Untuk menyelesaikan perkara pidana yang terjadi di wilayah perairan terdapat mahkamah Laut Internasional dan pengaturan hukum dalam United Nation Convention on The Law Of the Sea (selanjutnya disebut UNCLOS). Substansi mendasar dalam UNCLOS ini adalah penindakan tegas mengenai kejahatankejahatan yang terjadi di laut, semangat yang menjiwai pola diplomasi diantara negaranegara yang saling berbatasan laut serta hal yang ingin dicapai melalui pengaturan sistem diplomasi secara damai terkait masalah perairan. Subtansi-subtansi tersebut membangun sistem hukum laut yang berlaku secara internasional. Sistem hukum laut dalam UNCLOS bertujuan untuk menghindari pelanggaran 51 wilayah suatu negara terhadap negara lainnya dengan membangun penghormatan terhadap keberadaan negara lain. Keberadaan UNCLOS seharusnya menjamin hak–hak tiap negara untuk dapat memanfaatkan wilayah perairannya, penegasan secara hukum akan batas wilayah perairannya serta lebih jauh untuk penegakan kehormatan negara dalam hal status kepemilikan wilayah. Banyak sekali bagian dari UNCLOS berupa ketentuanketentuan hukum publik (antara lain yang menyangkut navigasi dan keselamatan pelayaran), dan mengenai hukum perdata (seperti tentang tanggung jawab pengangkut/pemilik kapal, tubrukan kapal, serta pencemaran laut). Demikian pula halnya di bidang pertambangan, perikanan dan lain-lain terdapat kovensi-konvensi atau perjanjianperjanjian internasional yang mengatur hal-hal di bidang yang bersangkutan secara spesifik. Dengan demikian peraturan perundanganundangan menyangkut kelautan di Indonesia seyogyanya memperhatikan ketentuanketentuan dalam konvensi-konvensi yang diratifikasi oleh Indonesia. Sehubungan dengan ini perlu dicatat bahwa Indonesia umumnya sangat lamban dalam hal meratifikasi sesuatu konvensi internasional, dan apabila telah meratifikasi sering lupa atau lamban untuk menindak-lanjuti dalam peraturan perundang-undangan nasional. Pada kenyataan, sering terjadi persengketaan di antara negara-negara yang berbatas wilayah air secara langsung, atau negara-negara saling menyatakan klaim kepemilikan terhadap suatu wilayah perairan tertentu karena alasan 52 ketidakjelasan batas wilayah dan tata aturan yang mengaturnya. Beberapa negara harus kehilangan wilayah perairannya karena tidak memiliki pengetahuan diplomasi yang cukup untuk menyelesaikan masalah persengketaan wilayah perairan itu sendiri. Sistem yang dicita-citakan dalam konvensi UNCLOS sebagai wujud tertinggi pencapaian perdamaian di wilayah perairan ternyata tidak mampu mengakomodir berbagai kepentingan negara-negara menyangkut batas wilayah perairan. Pola diplomasi antarnegara tidak sama dengan percaturan politik pemimpin negara, meskipun politik banyak digunakan sebagai salah satu cara berdiplomasi. Pola diplomasi melibatkan faktor kecakapan diplomat, pengetahuan mengenai cara-cara diplomasi yang baik, pola diplomasi yang akan dikembangkan, serta tujuan dari suatu pola hubungan diplomasi. Pada kebutuhan Indonesia dalam hal menyambut era AFTA, sesuai kondisi masyarakat yang berkepentingan, rasa keadilan dan kepatutan lebih banyak menyangkut kepentingan nasional, maka rujukan pada ketentuan-ketentuan hukum internasional lebih menyangkut kaidah hukum sebagai aturan main yang perlu diperhatikan agar mendekati keseragaman dan agar tidak menimbulkan konflik-konflik internasional. Hal ini tidak hanya berlaku bagi ketentuanketentuan yang bersifat hukum publik, (yaitu yang menyangkut kepentingan umum /masyarakat luas termasuk yang bersifat kebijakan), tetapi juga berlaku dalam hal mengenai hukum perdata, (yaitu yang menyangkut hubungan hukum antara para pihak umpamanya di bidang maritime / admiralty law. Sebagian catatan perlu dikemukakan bahwa ketentuan-ketentuan hukum perdata maritim Indonesia seperti yang terdapat dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Dagang sudah sangat ketinggalan jaman. Fokus pengamatan penulis adalah sudah saatnya terdapat suatu pola hubungan diplomatik yang baik dan jelas diantara bangsa-bangsa Asia tenggara dalam menyikapi hal-hal seputar wilayah perairan yang berbatasan secara langsung. Ketidakmampuan Negara anggota ASEAN dalam mengembangkan pola diplomasi yang dimaksud akan menyebabkan timbulnya sejumlah permasalahan lain. Pembangunan nasional kelautan harus mencerminkan kebutuhan dan didasari prakarsa dan kondisi masyarakat yang memang memerlukan ketentuan hukum dapat terlaksana sesuai dengan kebutuhan, kondisi masyarakat, rasa keadilan dan kepatutan. Pengembangan hukum harus mampu menghidupkan kegiatan ekonomi secara produktif dan mendorong akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya kelautan dan mampu mendayagunakan potensi ekonomi dan sumberdaya pesisir dan laut secara optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Pembangunan hukum kelautan harus mengacu pula pada ketentuan-ketentuan hukum internasional di bidang kelautan. Hal ini juga berlaku dalam mengatur kewenangan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Indonesia perlu memiliki suatu Ocean Policy, yaitu suatu rumusan latar belakang, permasalahan dan pokok-pokok kebijaksanaan pembangunan kelautan yang menyeluruh dan komprehensif yang merupakan dasar bagi perumusan kebijakankebijakan operasional kelautan dalam wujud peraturan perundang-undangan. Untuk menjamin terlaksananya berbagai kebijaksanaan pembangunan kelautan secara integral yang menyangkut bidang-bidang lintas sektoral yang begitu luas, diperlukan suatu titik pengendalian/koordinasi setingkat menteri koordinator. Disamping itu pembangunan hukum kelautan secara nasional dalam rangka pembangunan ekonomi nasional pertama-tama memerlukan keputusan politik dan dukungan penuh baik oleh lembaga eksekutif maupun legislatif, termasuk dukungan berupa penyediaan dana/anggaran yang diperlukan. Ocean Policy yang demikian tersebut telah dimiliki antara lain oleh Amerika Serikat, Inggris, India dan beberapa Negara lainnya. Kebijakan tersebut harus memuat latar belakang, permasalahan pokok-pokok kebijakan kelautan nasional yang menyeluruh yang dapat dijadikan dasar bagi perumusan kebijakan kelautan secara operasional dalam wujud peraturan perundangan yang dibutuhkan. Selanjutnya dikemukakan sampai saat ini belum ada kebijakan mengelola sumber daya kelautan secara terpadu di bawah satu koordinasi lembaga Negara yang sinergis. Adanya Departeman Kelautan dan Perikanan tidaklah mungkin dapat berfungsi sebagai lembaga koordinasi yang dimaksudkan itu, karena lingkup tugasnya yang bersifat 53 sektoral. Padahal lingkup bidang kelautan terkait dengan kegiatan berbagai departemen, seperti departemen energi dan sumber daya mineral, perhubungan, pariwisata, kimpraswil, diknas, hankam, kelautan dan perikanan, koperasi, UKM, TNI AL, POLRI, lingkungan hidup, kesehatan, ristek, perindustrian dan perdagangan, keuangan, BI, tenaga kerja dan transmigrasi, kehakiman, kejaksaan serta institusi terkait lainnya di tingkat pusat maupun daerah. Jelaslah bahwa bidang kelautan bukanlah merupakan sektor tetapi “main sector” yang terdiri dari berbagai sektor. Terkait permasalahan mengenai pola diplomasi yang cocok untuk dikembangkan Negara-negara ASEAN dalam menyambut AFTA, makalah ini mencoba mengemukakan bahwa dalam merumuskan perencanaan pengembangan hukum perlu diperhatikan, bahwa rencana pengembangan hukum harus berbasis pada kebutuhan hukum (need oriented of law) dimana adanya peraturan didasarkan pada kebutuhan masyarakat di kawasan pesisir dan pada prakarsa dan adanya kesadaran masyarakat hukum setempat. Disamping itu rencana strategi pengembangan hukum untuk pemanfaatan sumber daya supaya berorientasi pada optimalisasi pemanfaatan sumber daya hayati di perairan nusantara dan ZEE, serta menciptakan reformasi kelembagaan ekonomi dan sosial bagi masyarakat, khususnya masyarakat pantai yang berkepentingan, dengan menyiapkan tata ruang yang optimal dalam wilayah penangkapan dan budidaya ikan serta reaktualisasi nilai-nilai tradisi lokal dalam tubuh masyarakat pesisir. 54 Mengenai tujuan dan sasaran rencana pengembangan pola diplomasi tersebut di atas, penulis merasa perlu adanya peningkatan pelatihan untuk menumbuhkan kemampuan diplomasi serta kemampuan holistik tentang keadaan negara-negara ASEAN, pola kegiatan ekonomi yang produktif berbasis sumber daya lokal yang selama ini berkembang di negaranegara ASEAN. Penulis juga menilai pentingnya akses yang luas bagi masyarakat ASEAN seluruhnya terhadap pemanfaatan sumber daya kelautan serta mampu mendayagunakan potensi ekonomi dan sumber daya pesisir dan lautan secara optimal dengan memperhatikan aspek kelestarian dan keberlanjutan lingkungan (sustainable and environmentally friendly). KESIMPULAN dan SARAN Penulis setuju dengan apa yang dikemukakan di atas walaupun pandangan tersebut agak terlalu berorientasi pada sumber daya kelautan di bidang perikanan. Secara prinsip hal-hal yang dikemukakan tersebut juga berlaku terhadap bidang-bidang kelautan lain, seperti juga diuraikan oleh pembawa makalah, bahwa sumber daya kelautan meliputi bidang-bidang strategis yang sangat luas seperti pertambangan, perminyakan, perhubungan laut, industri maritim, dan lainlain. Tentu saja untuk bidang-bidang strategis lain perlu dilakukan pendekatan yang sesuai dengan sifat bidang yang bersangkutan. Sebagaimana dimaklumi bahwa AFTA mulai berlaku pada Desember 2014. Didalam AFTA terdapat Asean Framework Agreement on Trade in Services (AFAS) yang akan memperketak persaingan di bidang jasa. Indonesia telah menandatangani AFAS, sehingga Indonesia telah menjadi salah satu negara peserta. Pada dasarnya AFAS merupakan liberalisasi perdagangan jasa untuk regional ASEAN yang berlaku secara bertahap mulai tahun 1995 dan tentunya dapat dipastikan Pelayaran Nasional akan menghadapi persaingan yang makin berat. Apabila Indonesia tidak mengambil langkah melalui kebijakan yang mendorong daya saing dan efisiensi, niscaya Indonesia akan tertinggal dari pertumbuhan pelayaran niaga negara-negara ASEAN. Di tingkat global, persaingan yang terjadi sudah sedemikian ketat. Terlebih lagi dengan dikeluarkannya aturan General Agreement on Trade Services (GATS) pada tahun 1994. Untuk meredam berbagai persaingan ini, kita melihat telah terjadi 7 aliansi perusahaan pelayaran, skala dunia yang melayari servis ke seluruh dunia, dan hanya menyinggahi beberapa pelabuhan Hub yang dapat menyediakan 2000-3000 TEU'S sekali singgah. Dengan demikian, dalam percaturan ini Indonesia hanya mampu sebagai feeder saja, sedang negara-negara lain misalnya Malaysia dan Singapura telah memasuki global service, beberapa tahun yang lalu. Sebagai contohnya Pelabuhan Tanjung Pelepas atau pun Port Klang telah menjadi pelabuhan Hub, dengan masuknya beberapa mainland operator ke pelabuhan tersebut. Bahkan Maersk Line dan EverGreen telah memindahkan Base Office-nya dari Singapura ke Tanjung Pelapas. Proses tersebut didukung oleh rendahnya tarif handling container di kedua pelabuhan tersebut. Kebijakan tersebut ditempuh agar terjadi pertumbuhan kawasan industri di sekitar kedua pelabuhan tersebut. Hubungan antar-bangsa diantara negara ASEAN dengan latar belakang perbedaan dalam banyak hal secara politik, sosial, ekonomi, iptek, peradaban dan budaya serta lain-lainnya memerlukan suatu bentuk ketetapan yang seragam sebagai patokan atau rambu-rambu wajib yang diadakan guna menghindari konflik kepentingan. Tujuan kerjasama dan pola diplomasi juga harus ditentukan agar tercapai suatu ketertiban yang didambakan semua pihak. Konvensi-konvensi Internasional yang menyangkut bidang maritim yang dihasilkan oleh Badan-badan Internasional seperti IMO, ILO, ESCAP, UNCTAD, dan lain-lain wajib dipahami dan dijabarkan dalam perundangan nasional guna diimplementasikan. Selain dari itu diperlukan peran serta yang aktif pula dalam pengkajian dan pembahasan materi-materi kebijakan yang dirampungkan dalam forum badan-badan internasional tersebut dan diharapkan dapat dipresentasikan di dalam forum badan tersebut guna membela kepentingan nasional dan semua ini bisa dicapai melalui tersedianya diplomat yang cukup dengan kualifikasi yang memadai. DAFTAR PUSTAKA Buku dan Karya Ilmiah Elok Izra Yanuarta. 2011. “Pola Diplomasi”. Jurnal Negosiasi dan Diplomasi S.L. Roy, Diplomasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995. 55 Sukawarsini Djelantik, Diplomasi antara Teori dan Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008. Perundang-undangan United Convention On The Law OF the Sea (UNCLOS)1982 Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Ratifikasi UNCLOS Undang-undang Nomor 6 Tahun 1992 Tentang Perairan Indonesia. Internet www. Geomatika.its.ac.id 56