Membangun Moralitas Politik Umat, oleh Saidurrahman

advertisement
Membangun Moralitas Politik Umat
Oleh: Saidurrahman ∗
Abstrak
Islam sebagai agama sering dipahami umatnya sebagai agama yang terdiri dari
hukum dan aturan yang lengkap terrmasuk aturan tentang politik. Mereka meyakini
bahwa pengakuan kemudian melaksanakan aturan-aturan tersebut dengan
sepenuhnya akan menjamin kebahagiaan dan keselamatan mereka. Bagaimanapun
juga, kadang orang menghadapi masalah bagaimana cara menerapkan aturan-aturan
Islam yang sesuai yang barangkali membawa tujuan di dalam masyarakat, terutama
aturan-aturan yang berkaitan dengan politik yang mengakibatkan lebih banyak
kekuatiran daripada perdamaian. Tulisan ini mencoba mengeksplor masalah politik
Islam yang diasosiasikan dengan diskursus moral dan etika kontemporer.
Kata kunci: moral, politik islam, etika politik
A. Pendahuluan
Sebagai sebuah agama yang mengklaim dirinya mendunia dan
mencakup, Islam diyakini pemeluknya mempunyai sejumlah hukum dan
aturan, yang bila dilaksanakan secara baik niscaya mampu menjamin
keselamatan dan kesejahteraan umat. Hukum dan aturan tersebut
mencakup seluruh bidang kehidupan, tidak terkecuali dalam bidang
hukum dan politik.
Term politik merujuk kepada KBBI (Kamus besar bahasa Indonesia)
berarti: (1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan seperti
pemerintahan dan dasar pemerintahan; (2) segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara
lain; dan (3) cara bertindak di dalam menghadapi atau menangani suatu
masalah.
Meskipun ketiga makna di atas terlihat netral, namun jelas tidak bisa
dilepaskan dari kekuasaan, bahkan banyak pakar menganggap bahwa
politik identik dengan kekuasaan. Anggapan ini didasarkan pada pengaruh
kekuasaan yang sangat luas terhadap keutuhan dan kelangsungan suatu
negara1.
Dalam realita penyelenggaraan negara dalam berbagai birokrasi tidak
jarang kekuasaan dialihfungsikan dari alat untuk mewujudkan kepentingan
∗
Dosen tetap IAIN-SU (Lektor Kepala/IVa), alaumni S3 UIN Jakarta.
Robert A. Dahl, Modern Political Analysis, (New Delhi: Prentice-Hall of India
Private, 1987), p. 47.
1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
688
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
bersama yang disepakati menjadi sesuatu yang diarahkan untuk mencapai
keinginan-keinginan pribadi dan sekelompok penguasa. Karenanya, maka
kekuasaan memiliki dua sisi yang bertentangan. Di satu sisi kekuasaan
sebagai amanah dan ibadah, dan pada sisi lain kekuasaan merupakan
sarana syetan untuk menggoda dan perluapan hawa nafsu. Sisi kedua ini
merupakan kekurangan yang menyebabkan pelaksanaan kekuasaan itu
sering terjadi dalam bentuk yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan.
Tulisan ini mencari jawab tentang bagaimana ajaran Islam menjawab
hubungan antara moralitas dengan politik, dalam kaitannya dengan kondisi
kekinian. Karenanya, maka tulisan ini dicurai kepada: Antara Moral dan
Politik, Moralitas Politik dalam Islam: Hakikat Kekuasaan dan
Pertanggungjawaban Penguasa; serta Etika Politik: Upaya Pembumian.
B. Antara Moral dan Politik
Politik
adalah
upaya
memperoleh,
menjalankan,
dan
mempertahankan kekuasaan (dan biasanya ‘dalam realita’ tanpa
mempedulikan moral), sementara Moral berarti bersikap sesuai prinsipprinsip nilai moral ‘yang biasanya sulit memperoleh kekuasaan’.
Politik dinilai wajar meninggalkan moral sebab politikus bertugas
mencari dan memanfaatkan celah untuk mendapat, mengoperasionalkan,
maupun mempertahankan kekuasaan dengan dinamika yang tinggi dengan
semboyan: tiada kawan yang abadi, tiada lawan yang abadi, yang ada
hanyalah kepentingan yang abadi. Moralis bertugas tetap waspada untuk
berada dijalur moral yang biasanya cenderung pasif.
Apakah moral diperlukan dalam berpolitik? Bagi Ibn Khaldun
mutlak diperlukan, sebab dengan moral itulah hakikat kemanusiaan tidak
terlalu jauh tereduksi. Karenanya, Ibn Khaldun berpendirian bawa politik
harus tetap mempunyai kaitan yang menentukan dengan ketinggian budi
pekerti manusia. Moralitas dan kekuasaan menurutnya adalah dua hal yang
tidak dapat dipisahkan2, bukan saja menjadi tujuan dilaksanakannya
kekuasaan, tetapi juga proses pencapaian kekuasaan, sampai kepada
penerapan kekuasaan haruslah mencerminkan keadilan, karena keadilan
merupakan pusat gerak dari nilai-nilai moral yang pokok.3
Menyatukan etika dan politik adalah laksana menyatukan minyak
dan air. Politik sering dipersepsikan bahkan terbukti menggunakan cara2 A. Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibn Khaldun,
(Jakarta: Gremedia, 1992), pp. 139-140.
3 Marcel A. Boisard, Humanisme dalam Islam, terj. HM. Rasjidi, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1980), p. 135.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
689
cara menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuan kekuasaan.
Lingkungan politik penuh dengan konflik, intrik dan perilaku yang sudah
keluar dari batasan etika dan moral. Menurut Kant, politik menyatakan:
cerdiklah seperti ular, sementara moral menyatakan tuluslah seperti
merpati, Kant yakin ular dan merpati dapat hidup berdampingan yang
pada akhirnya merpatilah yang akan menang. Walaupu filosof lainnya
lebih pesimis dengan mengatakan ular dan merpati akan berbaring
bersama, tetapi merpati akan sulit tidur4.
C. Moralitas Politik dalam Perspektif Islam
Islam sangat mementingkan moral. Dalam konsep Islam, istilah
moral tampaknya tercakup dalam term akhlak5 (Arab: al-akhlak), yang
seakar kata dengan Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan;
manusia). Dengan demikian, secara sederhana akhlak berarti perilaku
manusia dalam rangka mengikuti kemauan sang penciptaNya, Allah s.w.t.
Sejalan dengan keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan
bahwa Muhammad s.a.w. adalah rasul-Nya6, ditambah dengan keyakinan
segala yang ada pada makhluk adalah milik sang Khalik dan (pada saatnya)
sang makhluk pasti kembali kepada-Nya untuk mempertanggungjawabkan
sekaligus menerima balasan amalnya7, terlihat betapa pentingnya moral
dalam Islam.
Begitu pentingnya sehingga Allah menegaskan bahwa pada diri
Rasulullah terdapat akhlak yang tinggi8, dan penegasan Rasul bahwa beliau
diutus adalah dalam rangka memperbaiki dan manyempurnakan
kemualiaan akhlak9.
4
Dennis F. Thompson, Etika Politik Pejabat Negara, (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2000)
5 Term akhlak lebih luas dari sekedar etika. Jika etika dibatasi pada sopan santun
antar sesama manusia dan hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriyah, sementara
akhlak mencakup akhlak terhadap Allah, juga terhadap sesama makhluk (manusia,
binatang, tumbuh-tumbuhan dan bernda-benda tak bernyawa lainnya), juga mencakup
misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Lihat M. Quraish Shihab,
Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), p. 253; Toshihiko Izutsu, Ethico-Religious
Concepts in the Quran, alih bahasa Agus Fahri Husein, et. al., (Yogyakarta: Tiara Wacana,
1993), pp. ix-x.
6 Term Syahadat
7 Term Inna lillah wa inna ilaihi rajiun
8 QS. al-Qalam ayat 4. Secara tersirat hal ini juga menegaskan bahwa seorang
pemimpin betapapun rendahnya pengaruh kepemimpinannya haruslah memperhatikan
criteria akhlak sang pemimpin.
9 Hadis Riwayat Malik yang bermakna: ‘aku hanya diutus untuk menyempurnakan
kemuliaan akhlak’.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
690
Akhlak yang dikembangkan disamping untuk kemashlahatan diri
peribadi, tentu juga untuk kemashlahatan sesama manusia, tumbuhan,
binatang dan alam semesta. Hal ini tampak dengan melihat akibat positif
dari melakukan rukum Islam. Dengan shalat maka mushallin (orang yang
mendirikan shalat) akan mempu tercegah dari perilaku yang jelek dan
keingkaran. Dengan zakat maka muzakki (orang yang mengeluarkan zakat)
akan bersih jiwa dan hartanya. Dengan puasa, maka shoimin (orang yang
berpuasa) akan mampu mengendalikan hawa nafsunya, dan dengan haji,
maka hujjaj (orang yang melaksanakan haji) akan mampu mengurangi
kecintaannya kepada dunia yang fana.
Kemampuan bersih dari perilaku fakhsa dan munkar, otomatis
berakhlak al karimah. Menurut Thabathabai10, akhlak yang terpuji tersebut
berarti berlaku adil, yaitu mampu memanfaatkan ketiga potensi yang ada
dalam diri manusia (potensi akal, potensi ghadab, dan potensi syahwat)
sebagaimana semestinya.11
Berdasarkan hal tersebut, maka seorang Muslim yang berniat,
mensponsori apalagi melakukan hal-hal yang nagatif, merupakan
penyimpangan yang seharusnya tidak terjadi, terlebih bagi pemegang
kekuasaan yang bahkan memayungi nasib banyak orang.
Karenanya, dalam pandangan Islam, kekuasaan politik terkait
dengan hakikat kekuasaan, pertanggungjawaban penguasa, dan
pembentukan moralitas.
Dalam prinsip Islam, kekuasaan Allah sangat luas dan tidak
terbatas, bahkan merupakan hakikat segala kekuasaan yang ada. Allah
adalah penguasa yang tunggal. Tetapi mengingat posisi manusia,
sebahagian kekuasaan tersebut didelegasikan kepada manusia dengan
10
Muhammad Husain al-Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Quran, vol. 1., p. 372.
Potensi akal (kecerdasan, kemampuan memilah baik/buruk, jelek indah)
mampu ditempatkan secara jernih, cermat dan tanggap akan situasi sehingga berada pada
posisi hikmah. Tidak terlalu bebas hingga tak terkendali yang akhirnya menimbulkan
keangkuhan dan mengabaikan wahyu (Jarbazah), Juga tidak terlalu terkungkung sehingga
berada pada posisi bodoh (Baladah). Potensi ghadabiyah (kemampuan untuk menolak
bahaya) harus ditempatkan pada posisi syaja’ah (berani dengan penuh tanggungjawab),
tidak terlalu obral sehingga emosi yang tidak terkendali tahawwur, juga tidak terlalu
dipendam sehingga mengakibatkan seseorang menjadi jubun (pengecut). Potensi
syahwaniyah (kemampuan untuk memperoleh keinginan), harus ditempatkan pada posisi
al-‘iffah, yang dengannya muncul sifat qana'ah, hemat, pemurah, lemah lembut dan
seterusnya. Tidak terlalu obral sehingga tidak terkendali yang memunculkan sifat thama’
(serakah). Juga tidak terlalu terpasung sehingga membuat seseorang menjadi khumud, lesu
dan tak punya gairah dalam menghadapi kehidupan. Sifat adil adalah gabungan dari
penempatan akal pada posisinya (hikmah), penempatan ghadab pada posisinya (syaja'ah),
dan penempatan syahwah pada posisinya (‘iffah).
11
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
691
menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi. Allah berfirman dalam alQur'an surat Ali 'Imran ayat 26 sebagai berikut:
tΒ –“Ïèè?uρ â!$t±n@ £ϑÏΒ šù=ßϑø9$# äíÍ”∴s?uρ â!$t±n@ tΒ šù=ßϑø9$# ’ÎA÷σè? Å7ù=ßϑø9$# y7Î=≈tΒ ¢Οßγ‾=9$# È≅è%
∩⊄∉∪ ֍ƒÏ‰s% &óx« Èe≅ä. 4’n?tã y7¨ΡÎ) ( çŽöy‚ø9$# x8ωuŠÎ/ ( â!$t±n@ tΒ ‘ΑÉ‹è?uρ â!$t±n@
Artinya: Katakanlah: Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau
berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan
Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki.
Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah
segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Ayat ini, di samping sejumlah ayat lainnya seperti: QS 3/Ali Imran
189; QS 2/al-Baqarah ayat 30; QS 30/ ayat 26; QS 6 ayat165; QS 10/
ayat 14 dan 73, serta QS 35/ ayat 39), menunjukkan bahwa kekuasaan,
pada hakikatnya hanya milik Allah s.w.t. Kekuasaan sang khalifah
merupakan amanah untuk mengatur dan mengelola dengan sebaik-baiknya
berdasar ketentuan yang digariskan-Nya. Karenanya, kekuasaan tersebut
bersifat nisbi dan kontemporer, dan kelak harus dipertanggungjawabkan
kepada Allah yang memberi kekuasaan. Juga dipertanggungjawabkan
kepada mereka yang berada di bawah kekuasaannya12.
Dengan demikian, penyampaian amanah dalam konteks kekuasaan
mengandung inplikasi bahwa ada larangan bagi pemegang amanah untuk
melakukan abuse (penyalahgunaan) kekuasaan, sebab hal itu akan
menghilangkan makna hakiki kekuasaan sebagai kerunia dan nikmat Allah
menjadi bencana dan laknat Allah13.
Mengingat posisi kekuasaan yang strategis, maka moralitas harus
dijaga dari sejak proses sampainya seseorang kepada kekuasaan (kandidat),
legitimasi dan keterwakilan dari kehendak rakyat atas kekuasaan yang
digenggang, dan pertanggungjawaban atas kekuasaan yang ada dan atau
perpanjangan kekuasaan, kepada rakyat dan yang tak kalah penting adalah
pertanggungjawaban hakiki dan dan abadi kepada Allah sang pemberi
amanat.
Begitu sentralnya peranan penguasa, maka calon penguasa menurut
Ibn Taimiyah mestilah dipilih secara cermat sebagai yang terbaik dari yang
12
Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik, (Jakarta: Rajawali, 1983), pp. 46-47.
Zainuddin A. Rahman, "Pokok-pokok Pemikiran dan Masalah Kekuasaan
Politik" dalam Miriam Budiardjo, et. al., Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan Wibawa
(Jakarta: Sinar Harapan, 1984), p. 193.
13
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
692
ada dan mempunya “kekuatan dan amanah” (QS 28: 26). Bila sulit, maka
dipilh orang yang lebih baik (afdhal). Bila terdapat pilihan antara ‘amanah’
di satu orang, dengan ‘kekuatan’ di sisi lain, maka tampaknya lebih
didahulukan ‘kekuatan’. Ibn Hanbal mengatakan bahwa orang fasik tetapi
kuat, maka kekuatannya berguna untuk kaum Muslimin, sedangkan
kefasikannya menjadi tanggungan dirinya sendiri, sementara orang yang
saleh tetapi lemah, maka kesalehannya berguna bagi dirinya sendiri, dan
kelemahannya menimbulkan hal yang tidak baik bagi kaum Muslimin14.
Dalam pemerintahan Islam, seperti yang dilakoni Nabi s.a.w.
tampaknya terdapat 2 (dua) kata kunci dalam memandang kekuasaan, yaitu
amanah dan landasan moral atau keadilan. Kekuasaan, amanah dan
keadilan yang diterapkan Nabi di Madinah dinilai oleh Robert N. Bella—
sarjana modern Barat dalam bidang sosiologi agama—merupakan
landasan sebuah model yang terbaik bagi bangunan komunitas nasional
modern yang bisa dibayangkan, dan sebagai tipe sesungguhnya
nasionalisme partisipatif egaliter15. Dalam perkembangannya tidak terlalu
lama bertahan sebab telalu modern untuk zamannya. Secara historis pula,
setelah pemerintahan masa Nabi dan khulafa’ al-Rasyidin, para khalifah—
khususnya kekhalifahan Umayyah dan Abbasyiah—dapat menguasai dunia
dan memberi pencerahan dengan dasar-dasar moral yang
melatarbelakanginya.
D. Etika Politik dalam Wacana Kontemporer: Upaya Pembumian
Persoalan etika politik adalah persoalan yang mendunia yang
mencakup tidak hanya negara terbelakang dan berkembang, bahkan juga
negara yang dinilai maju. Seperti yang dinyatakan Donald C. Menzel16
bahwa dalam politik Amerika ibarat sebuah mobil tua tahun 1700-an yang
setiap pemilu diperbarui catnya, kelihatan bagus di luar namun di dalam
kondisi mesinnya tidak terawat dengan baik, performance-nya rendah.
Dengan demikian, diperlukan rekonstruksi total dari mesin agar
pemerintahan dapat berjalan baik sebagus warnanya, dan rekonstruksi
total dari mesin agar pemerintahan dapat berjalan baik sebagus warnanya,
dan rekonstruksi tersebut dimulai dari membangun etika dalam politik.
14
Ibn Taimiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyah, (Beirut: Dar alFikr wa al-Hadia, t.t.), pp. 20-29.
15 Robert N. Bellah, "Islamic Tradition and the Problem of Modernization",
dalam Beyond Belief, (New York: Harper and Row, 1970), p. 151.
16 Donald C. Menzel, Political Ethics: Real or Myth?, Northern Illinois University,
September 2000 issue of PA TIMES, monthly newpublication of the American Society
for Public Administration.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
693
Dalam tulisan tersebut Menzel memberikan definisi etika politik
yang dikutipnya dari web site from Learn-well yang mendeskripsikan political
ethics as ethics that deal with acting ethically in politics memuat pemahaman
bahwa dalam politik ada area good (debat isu politik dengan orang yang
berbeda pendapat; dapat memutuskan bersama penggunaan sumberdaya
yang terbatas; dapat membuat perubahan positip untuk membantu yang
lain dalam masyarakat), dan ada area bad (korupsi; penipuan/kebohongan;
kekerasan antargolongan/bangsa). Dengan kata lain, etika politik
berhubungan dengan area politik yang memiliki evil, tetapi juga
menyediakan kesempatan untuk berbuat baik kepada sesama.
Etika tentu saja berhubungan sangat erat dengan nilai-nilai yang
dimiliki oleh individu, masyarakat, partai politik dan pemerintah sendiri.
Terdapat sejumlah nilai yang melandasi etika dan prilaku yaitu:
1. Political Value (nilai-nilai politis) berpengaruh terhadap kepentingan
politik/partai politik atau interest group.
2. Organization Values (nilai-nilai organisasi), yang dianut organisasi.
3. Personal Values (nilai-nilai pribadi), yang dianut orang perorang.
4. Policy Values (nilai-nilai kebijakan), yang didasarkan pada kepentingan
dan harapan publik serta moral, dan
5. Ideological Values (nilai-nilai ideologi).
Berdasar nilai yang dianut, bagaimanapun dalam realita terlihat
berbagai tingkah laku yang di luar etika politik yang lazim, yaitu perilaku
yang tidak dikehendaki yang disebut moral hazard, seperti:
1. Shirking, yaitu prilaku mengulur waktu, karena tidak senang dengan
diberlakukannya kebijakan bersangkutan, yang mungkin baik secara
langsung maupun tidak langsung, merugikan dirinya, atau mungkin juga
demi keuntungan pribadi (opportunistic behaviour),
2. Hold-up, yaitu merongrong kebijakan dengan melakukan perampokan
atau mengambil secara tidak sah demi keuntungan pribadi maupun
kepentingan kelompoknya,
3. Risk-Aversion, yaitu prilaku yang menghindari risiko sehingga yang
bersangkutan takut melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan,
4. Free raiders, yaitu prilaku demi mendapatkan keuntungan pribadi atau
kelompok dengan ikut serta tapi tidak memberikan kontribusi apapun,
5. Rent seekers, yaitu jenis prilaku yang berupaya memburu keuntungan
pribadi atau kelompok dengan tidak peduli apapun akibatnya.
Karenanya untuk mencapai dan menjaga etika politik yang
baik/tinggi, diharapkan peranan penting dari kandidat, pemimpin politik,
dan masyarakat biasa. Masing-masing aktor dapat melintasi batas etik
aktor lainnya dan bertanggungjawab untuk menjaga etika yang tinggi.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
694
Sebab, jika individu-individu tidak merupakan warga yang ‘beretika’,
bagaimana mungkin kandidat yang dipilih dapat menjaga etika mereka.
Salah satu cara untuk mengurangi etika politik yang tidak
dikehendaki adalah dengan membangun standar dan kode etik. Amerika,
misalnya, telah membuat standar moral untuk mengembangkan semangat
profesionalisme (spirit of professionalism) dan meningkatkan kesadaran publik
mengenai berbagai ukuran baku moral (moral standards) yang menetapkan 9
asas:17
1. pelayanan kepada rakyat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri
(service to the public beyond service to oneself).
2. rakyat adalah berdaulat dan mereka yang di dalam pemerintahan
bertanggungjawab kepada rakyat (the people are sovereign and those in public
service are ultimately responsible to them).
3. hukum mengatur semua tindakan dan akan berupaya untuk mengabdi
kepada kepentingan-kepentingan yang terbaik dari rakyat (Laws govern
alla action of the public service and will seek to serve the best interest of the public).
4. manajemen yang efektif dan efisien (Efficient and effective management)
5. sistem penilaian kecakapan kesempatan yang sama, dan asas-asas
tindakan yang afirmatif akan didukung, dijalankan, dan dimajukan (The
merit system, equal opportunity, and affirmative action principles will be supported,
implemented, and promoted).
6. perlindungan terhadap kepercayaan rakyat adalah yang paling penting.
Berbagai pertentangan kepentingan, suapan, hadiah atau
pengistimewaan yang membawahkan jabatan publik pada keuntungan
pribadi tidak dapat diterima (Safeguarding the public trust is paramount.
Cinflics of interest, bribes, gifts, or favors which subordinate public position to
private gains are unacceptable).
7. pelayanan kepada rakyat menciptakan tuntutan-tuntutan bagi kepekaan
khusus pada ciri-ciri kualitas keadilan, ketabahan, kejujuran,
kepantasan, kecakapan, dan welas asih. (Service to the public create demands
for special sensitivle to the qualities of justice, courage, honesty, equity, competence,
and compassion).
8. hati nurani menjalankan suatu peranan yang penting dalam memilih di
antara langkah-langkah tindakan. Ini memperhitungkan berbagai
makna ganda moral dalam kehidupan dan perlunya mengkaji berbagai
prioritas nilai: tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yang
tidak bermoral. (Consciene performs a critical role in choosing among courses of
action. It takes into account the moral ambiguities of life, and the necessity to
eximine value priorities: goods ands never justify immoral means).
17
Dwight Waldo, The Enterprise of Public Administration, 1980
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
695
9. para penyelenggara negara tidak semata-mata terlibat dalam mencegah
hal yang salah, melainkan dalam mengusahakan hal yang benar melalui
pelaksanaan tanggung jawab mereka yang penuh semangat dan tepat
waktu. (Public administrators are not engaged merely in preventing wrong, but in
pursuing ringht through timely and energetic execution of their responsibilities).
Juga seperti kode etik yang disusun American for Publik Administration
yang mengikat para anggotanya dalam pelaksanaan tugas untuk:
1. menunjukkan standar yang tertinggi dalam integritas, kebenaran,
kejujuran, dan ketabahan.
2. melayani rakyat secara hormat, perhatian, sopan dan tanggap.
3. berjuang ke arah keunggulan profesionan pada diri sendiri, rekan, dan
mereka yang akan memasuki bidak administrasi negara.
4. menghampiri semua kewajiban dengan sikap yang positif dan
mendukung komuniasi yang terbuka, kreativitas, pengabdian dan welas
asih.
5. melaksanakan kewajiban resmi dengan cara yang tidak mendatangkan
keuntungan pribadi yang tak semestinya.
6. menghindari kepentingan atau kegiatan yang bertentangan dengan
penunaian kewajiban resmi.
7. menghormati dan melindungi keterangan yang khusus diperoleh dari
pelaksanaan kewajiban resmi.
8. menjalankan wewenang kebijaksanaan untuk memajukan kepentingan
umum.
9. menerima tanggungjawab untuk mengikuti perkembangan masalahmasalah baru dan mengelola urusan rakyat dengan kecakapan, sikap
tidak memihak, efisiensi dan efektivitas.
10.mendukung, menjalankan, dan memajukan sistem penilaian kecakapan
dan berbagai program tindakan yang afirmatif dalam penerimaan
tenaga kerja.
11.melenyapkan semua bentuk pembedaan yang tidak sah, kecurangan,
dan salah urus keuangan negara serta mendukung rekan-rekan dalam
usaha demikian.
12.menghormati, mendukung, menelaah, dan bila perlu berusaha
menyempurnakan konstitusi dan hukum yang mengatur berbagai
hubungan dalam pemerintahan.
Beranjak dari kondisi kekinian, maka sudah selayaknya penataan
aturan yang terfokus pada kode etik bersama, untuk diciptakan dan
disempurnakan, bagi sepenuh hati terlaksananya kebijakan untuk
kemaslahatan anak bangsa. Anak bangsa, yang bagian intinya adalah umat,
akan terpola kepada umara, ulama, para tokoh, dan masyarakat umum.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
696
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
Sebagai masyarakat agraris yang bersifat kharismatis,18 maka dalam
mengembangkan suatu gagasan, termasuk pengamalan ajaran agama,
terlebih mengawal politik yang bermoral, perlu adanya 'aktor' sebagai
pemberi contoh, pendorong, dan pengendali pengamalan ajaran agama.
Dengan merujuk kepada hadits Nabi Muhammad s.a.w. yang artinya:
“Dua kelompok manusia yang apabila keduanya baik akan baiklah suatu bangsa,
yaitu ulama dan umara” (H.R. Bukhari), maka aktor itu ialah ulama dan
umara.
Umara19 adalah pemimpin suatu masyarakat dan negara yang
berperan sebagai figur sentral, sehingga ia berperan memberikan bentuk
dan arahan ke mana suatu masyarakat dan negara dikembangkan. Dalam
kaitan pengamalan keagamaan, paling tidak ada empat tugas yang harus
dilaksanakan umara, yaitu:
1. memberikan ketauladanan yaitu dengan memberi contoh nyata (dakwah
bil-hal) kepada masyarakat melalui aktifitas keseharian.
2. memberikan arahan kepada masyarakat akan pentingnya implementasi
ajaran agama Islam, khususnya beretika-politik, karena dengan
pengamalan itu manusia akan memperoleh kebahgiaan dunia dan
akhirat.
3. merumuskan sejumlah aturan moral dan hukum sebagai dasar pijakan
pegangan dalam impelemtasi ajaran agama Islam. Karena menyangkut
hukum tentu melibatkan legislatif, maka umara dalam konteks ini selain
ekskutif juga legislatif. Dengan adanya payung hukum selain sebagai
pendorong pelaksanaan ajaran agama sekaligus sebagai tindakan
pencegahan (preventif) munculnya pelanggaran ajaran agama.
4. memberikan sanksi. Konsekuensi dari poin tiga di atas, umara harus
memberikan sanksi bagi pelanggaran hukum sebagai konseksuensi dari
diterapkannya hukum di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, umara memiliki peran pre-emtif, preventif dan
represif. Pre-emtif yaitu menjelaskan terhadap segala hal yang menyangkut
dengan kehidupan manusia, seperti baik dan buruk, berguna dan tidak
berguna, dan lain-lain. Preventif yaitu melakukan pencegahan terhadap
kemungkinan terjadinya suatu pelanggaran sosial dan moral. Dengan kata
lain, menutup kemungkinan terjadinya kejahatan, sedangkan represif ialah
18 Dalam masyarakat yang agraris, seperti Indonesia, faktor ketokohan sangat
menentukan dalam mengembangkan suatu ide atau gagasan, karena masyarakat
cenderung mengikuti apa kata figur sentral di dalam menentukan suatu sikap.
19 Kata umara adalah bentuk jama’ (plural) dari kata amir yang berarti penguasa.
Para pemimpin Islam fase awal diberi gelar dengan amirul mukminin, yaitu penguasa orang
Mukmin.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
697
memberikan ganjaran/sanksi kepada masyarakat yang melakukan
pelanggaran hukum.
Di samping umara, ulama20 adalah figur sentral lain yang berperan
dalam mengendalikan masyarakat. Bersama umara, ulama adalah dua figur
yang menentukan baik tidaknya suatu masyarakat, sesuai dengan hadits
Nabi di atas. Adanya dua figur itu tidak terjebak pada dualisme, karena
masing-masing berada pada porsinya secara proporsional dan profesional.
Apabila umara memiliki tiga fungsi sekaligus, yaitu pre-emtif, preventif dan
represif, maka ulama lebih ditekankan pada pre-emtif, yaitu memberikan
kecerahan kepada umat, sedangkan pencegahan dan penanggulangan
berada di tangan umara, sebagai penguasa potitik. Termasuk dalam hal ini
pemikiran keagamaan yang aplicabel (bisa diaplikasikan) dan reliable (laiak
diaplikasikan) dengan semangat modern.
Namun demikian, ulama bersama rakyat tentu bisa juga melakukan
preventif dan represif dalam bentuk lain. Misalnya dengan menutup
peluang masyarakat melakukan kemaksiatan dengan kegiatan keagamaan.
Demikian juga dengan represif dilakukan dalam bentuk sanksi sosial seperti
tidak menghadiri acara hajatan para pelaku maksiat.
Ada tiga tugas sekaligus yang harus inheren dalam kehidupan dan
pengabdian seorang ulama, yaitu:
1. selalu mensosialisasikan nilai-nilai keislaman dengan semangat “balliguw
‘anniy walay ayah”, sampaikanlah dariku walaupun satu ayat (H.R.
Muslim). Sosialisasi Islam harus menjadi bagian hidup, karena ia
merupakan suatu kewajiban (Q.S. Ali Imran: 104),21 dan sebagai profesi
terbaik, sesuai dengan maksud ayat al-Qur’an yang artinya: “Dan
perkataan terbaik adalah mengajak umat untuk beriman dan beramal
shaleh. (Q.S. Hamim Sajadah: 32).
2. selalu menjaga arus utama perkembangan pemahaman agama. Arus
utama itu ialah Islam Jalan Tengah (shirat al-mustaqim). Munculnya
aneka pemahaman adalah konsekuensi logis yang tidak bisa ditepis,
sebagai akibat dari globalisasi, maka tugas yang harus dilaksanakan ialah
tetap menjaga arus utama.
3. istiqamah, memiliki konsistensi, yaitu tetap melakukan tugas-tugasnya
seperti disebut di atas. Ia tetap menggerakkan dakwah, dan pada saat
yang sama menjaga arus utama Islam, sebagai jalan tengah. Kemudian
20 Kata ulama bentuk jama’ (plural) dari kata alim yang berarti mengetahui atau
banyak mengetahui tentang Islam, sehingga ulama disebut dengan yang menguasai ajaran
Islam. Untuk itu, seorang ulama harus memiliku pengetahuan agama Islam yang kuat dan
metode memahami ajaran agama Islam seperti bahasa Arab.
21 Artinya: “Hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang mengajak kepada
kebaikan dan menyuruh kepada yang makruf serta menecegah dari yang munkar”.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
698
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
istiqamah dalam arti mampu menghadapi berbagai tantangan yang
dihadapi dalam pelaksanaan tugas-tugas sebagai tokoh agama, yaitu
tantangan dari dalam dirinya (min nafsihi), dari samping kiri kanannya
(min bayni yadayhi), dari belakang (min khalfihi) dan depan (min amamihi),
dari bawah (min asfalihi) dan tantangan dari atasnya (min tahtihi).
Tantangan itu akan terus hadir, baik secara mandiri maupun
bergerombolan, di sini seorang tokoh akan diuji, karena semuanya harus
mampu dihadapi oleh seorang tokoh agama.
Pada masa awal Islam sebenarnya konsep umara-ulama belum
begitu menonjol, karena kedua fungsi ini berada pada satu figur. Namun,
seiring dengan perkembangan politik, terutama sejak dinasti Umaiyah,
dikhotomi umara-ulama menjadi sebuah teori baru dalam konsep
kenegaraan dan keagamaan.
Aktor ketiga yang juga berperan dalam aktualisasi ajaran agama
Islam, yaitu para tokoh masyarakat selain umara dan ulama, seperti tokoh
adat, tokoh pemuda, tokoh ekonomi (ekonom), tokoh politik (politisi),
dan sebagainya. Sejalan dengan karakter masyarakat Indonesia yang
dominan agraris, kalaupun sebagian sudah beralih ke industrialis,
keberadaan figur masih menjadi faktor dominan dalam suatu masyarakat.
Oleh karena itu, para tokoh masyarakat harus mengambil peran langsung
dari upaya implementasi ajaran agama Islam sehingga dapat terwujud
masyarakat yang religius.
Karenanya mutlak disusun dan disosisalisasikan kode etik politik
baik untuk ‘umara, ulama, tokoh masyarakat, yang dapat dikontrol oleh
masyarakat secara berkesinambungan. Dengannya, maka jarak antara ideal
etika dengan praktikal politik akan dapat didekatkan. Hal ini tampaknya
penting dan mendesak di tengah riuhnya politisi yang menganggap dirinya
pahlawan masyarakat, namun senyatanya belum berbuat apa-apa bagi
kemaslahatan umat, kalau bukannya bahkan menjadi penggarong
masyarakat.
E. Penutup
Ibarat menyatukan air dan minyak, membuat politik yang
bermoral/beretika membutuhkan kemauan dan kerja keras dari seluruh
pihak, baik kandidat, pelaku maupun masyarakat umum. Upaya ini
tampaknya harus dimulai dari kesadaran bersama umat untuk secara serius
menyusun kode etik yang dilengkapi dengan sanksi yang mengikat, serta
konsistensi pelaksanaannya yang dapat dikontrol secara bersama.
Perumusan, pengamalan dan pengawalan ini penting dan mendesak, di
tengah apatisme masyarakat dalam memandang politik sebagai sesuatu
yang jelek.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Saidurrahman: Membangun Moralitas Politik Umat
699
Daftar Pustaka
Bellah, Robert N., "Islamic Tradition and the Problem of Modernization",
dalam Beyond Belief, New York: Harper and Row, 1970.
Boisard, Marcel A., Humanisme Dalam Islam, terj. HM. Rasjidi, Jakarta:
Bulam Bintang, 1980.
Dahl, Robert A., Modern Political Analysis, New Delhi: Prentice-Hall of
India Private, 1987.
Izutsu, Toshihiko, Ethico-Religious Concepts in the Quran, alih bahasa Agus
Fahri Husein, et.el., Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.
Menzel, Donald C., Political Ethics: Real or Myth?, Northern Illinois
University, September 2000 issue of PA TIMES, monthly
newpublication of the American Society for Public Administration.
Noer, Deliar, Pengantar Ke Pemikiran Politik, Jakarta: Rajawali, 1983.
Rahman, Zainuddin A., "Pokok-pokok Pemikiran dan Masalah Kekuasaan
Politik" dalam Miriam Budiardjo, et. Al., Aneka Pemikiran tentang
Kuasa dan Wibawa, Jakarta: Sinar Harapan.
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1996.
Taimiyah, Ibn, al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyah, Beirut:
Dar al-Fikr wa al-Hadia, t.t.
Thompson, Dennis F., Etika Politik Pejabat Negara, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2000.
Zainuddin, A. Rahman, Kekuasaan dan Negara: Pemikiran Politik Ibn Khaldun,
Jakarta: Gremedia, 1992.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 3, Mei 2009
Download