Uploaded by intaanpradikaa

Laporan hasil pengujian sampel virus kelompok D1 PPDH gelombang 2 2018

advertisement
LAPORAN KEGIATAN
PPDH BAGIAN DIAGNOSTIK LABORATORIUM
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SAMPEL VIRUS
Disusun Oleh:
Kelompok D2 PPDH Gelombang 2 2018/2019
Maria Golvensiana, SKH
Gita Purnama, SKH
Deanty Chairunnisa, SKH
Louisa Intan A, SKH
Nadia Kamila P, SKH
Risna Aliyah, SKH
Riky Fernanda, SKH
Fikri Hanifa, SKH
Valen Hilmy R, SKH
B94184228
B94184221
B94184211
B94184226
B94184230
B94184241
B94184239
B94184218
B94184246
Dosen Pembimbing:
Drh. Surachmi Setyaningsih, Ph.D
LABORATORIUM DIAGNOSTIK
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit tetelo atau Newcastle disease (ND) merupakan salah satu penyakit
menular pada unggas. Penyakit yang memiliki karakteristik mudah menular, mudah
menyebar dan dapat menyerang unggas semua umur ini disebabkan oleh Virus
Newcastle Disease (VND) atau strain virulen dari avian paramyxovirus tipe 1
(APMV-1). Virus ini termasuk dalam genus Avulavirus anggota dari subfamili
Paramyxovirinae dan famili Paramyxoviridae. Paramyxoviridae merupakan jenis virus
dengan genom untai tunggal RNA negative sense, dan mempunyai amplop dengan dua
lapis lemak (bilayer lipid membrane) dan kapsid simetris heliks, tidak bersegmen,
berdiameter 13-18 nm (Fenner et al.1995, Miller et al. 2010). Spesies yang biasa
terinfeksi antara lain ayam, kalkun, merpati dan bebek (Alexander dan Senne 2008).
Lima manifestasi klinis ND menurut Beard dan Hanson (1984), antara lain
Viscerotropic Velogenic ND (VVND), Neurotropik Velogenic ND (NVND),
Mesogenic ND, Lentogenic ND, dan Asymthomatic.
Gejala klinis digunakan sebagai diagnosa awal sedangkan diagnosa lanjutan
dilakukan di laboratorium (identifikasi agen penyakit dan uji serologi). Gejala awal
yang umum terjadi adalah gangguan pernapasan dan serak yang diikuti dengan
kelumpuhan kaki, sayap dan tortikolis leher pada 1 atau 2 hari berikutnya (Kommers
et al. 2002). Pada unggas dewasa, penurunan produksi yang bersamaan dengan
gangguan pernapasan serta kelumpuhan terjadi 4 sampai 6 hari pasca infeksi. Tandatanda lain mencakup gangguan pernapasan (terengah-engah, batuk), gangguan syaraf
(depresi, tremor otot, sayap terkulai, torsi kepala dan leher, berputar-putar serta
kelumpuhan), pembengkakan jaringan sekitar mata dan leher, diare berair kehijauan,
kualitas telur yang kasar atau tipis dan berisi albumen encer serta produksi telur
berkurang (Charlton 2006).
Identifikasi agen penyakit dapat dimulai dari pengambilan sampel untuk isolasi
virus, uji keberadaan virus dengan isolasi dengan metode pasase ke telur ayam
berembrio (TAB) atau kultur jaringan, rapid test, identifikasi dengan menggunakan uji
HA dan HI (OIE 2013). Penyebaran ND secara umum bisa terjadi melalui kontak
langsung dengan sekresi maupun eksresi unggas yang terinfeksi. Virus dapat
dikeluarkan baik di feses maupun melalui sekresi respirasi. Virus ini dapat bertahan
pada lingkungan yang bervariasi dimungkinkan karena beberapa faktor, antara lain
kelembaban, temperatur udara, dan paparan cahaya. Proses penularan VND umumnya
melalui rute pencernaan (fecal/oral) dan pernafasan (Charles 2000). ND juga
merupakan penyakit unggas yang sangat merugikan secara ekonomi karena infeksi
yang diakibatkan dapat menimbulkan penyakit tanpa adanya gejala sampai dapat
menyebabkan kematian mencapai 100% (Beard dan Hanson 1984, Cattoli et al. 2011).
Tabbu (2000) menyatakan bahwa tindakan yang efektif untuk mengatasi infeksi virus
ND adalah vaksinasi dan didukung oleh perbaikan tata laksana pemeliharaaan ayam
(Wibowo dan Amanu 2010).
Tujuan
Pengujian ini bertujuan mengisolasi virus diduga Newcastle Disease dari ayam
yang menunjukkan gejala klinis pernapasan serta mengidentifikasi keberadaan virus
melalui tahapan uji laboratorium.
TINJAUAN KASUS
Anamnesa
: Ayam yang berasal dari Balumbang Jaya Farm milik Haji
Soleh terlihat nafas terengah-engah. Sudah dilakukan
pemberiaan vaksin ND pada umur 2 hari. Perternakan
merupakan tipe open house dan kondisi peternakan lembab
dan litter basah.
Kode sampel
Jenis hewan
Bangsa/Ras
Jenis Kelamin
Umur
Warna Bulu
Temuan Klinis
Jenis sampel
Differensial diagnosa
:
:
:
:
:
:
:
:
:
KA 1-1
Ayam
Broiler
Jantan
14 Hari
Putih
Dyspnoe, anoreksia, feses cair, diare, dan lesu.
Swab oropharynx dan swab kloaka.
Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic
respiratory disease, Newcastle disease.
Kode sampel
Jenis hewan
Bangsa/Ras
Jenis Kelamin
Umur
Warna Bulu
Temuan Klinis
Jenis sampel
Differensial
diagnosa
:
:
:
:
:
:
:
:
:
KA 1-2
Ayam
Broiler
Jantan
14 Hari
Putih
Dyspnoe, anoreksia, feses cair, dan lesu.
Swab oropharynx dan swab kloaka.
Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory
disease, Newcastle disease.
Kode sampel
Jenis hewan
Bangsa/Ras
Jenis Kelamin
Umur
:
:
:
:
:
KA 1-3
Ayam
Broiler
Betina
14 Hari
Warna Bulu
Temuan Klinis
Jenis sampel
Differensial
diagnosa
:
:
:
:
Putih
Dyspnoe, anoreksia, dan lesu.
Swab oropharynx dan swab kloaka.
Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory
disease, Newcastle disease.
Gambar 1. Ayam yang berasal dari flok 1. (A) KA 1-1. (B) KA 1-2. (C) KA 1-3
Kode sampel
Jenis hewan
Bangsa/Ras
Jenis Kelamin
Umur
Warna Bulu
Temuan Klinis
Jenis sampel
Differensial
diagnosa
:
:
:
:
:
:
:
:
:
KA 2-1
Ayam
Broiler
Jantan
14 Hari
Putih
Dyspnoe, anoreksia, dan lesu.
Swab oropharynx dan swab kloaka.
Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory
disease, Newcastle disease.
Kode sampel
Jenis hewan
Bangsa/Ras
Jenis Kelamin
Umur
Warna Bulu
Temuan Klinis
Jenis sampel
Differensial
diagnosa
:
:
:
:
:
:
:
:
:
KA 2-2
Ayam
Broiler
Jantan
14 Hari
Putih
Dyspnoe, anoreksia, feses cair, diare, dan lesu.
Swab oropharynx dan swab kloaka.
Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory
disease, Newcastle disease.
Kode sampel
Jenis hewan
Bangsa/Ras
Jenis Kelamin
Umur
Warna Bulu
Temuan Klinis
Jenis sampel
Differensial
diagnosa
:
:
:
:
:
:
:
:
:
KA 2-3
Ayam
Broiler
Jantan
14 Hari
Putih
Dyspnoe, anoreksia, feses cair, diare, dan lesu.
Swab oropharynx dan swab kloaka.
Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory
disease, Newcastle disease.
Gambar 2. Ayam yang berasal dari flok 2. (A) KA 2-1. (B) KA 2-2. (C) KA 2-3
Kode sampel
Jenis hewan
Bangsa/Ras
Jenis Kelamin
Umur
Warna Bulu
Temuan Klinis
Jenis sampel
Differensial
diagnosa
:
:
:
:
:
:
:
:
:
KA 3-1
Ayam
Broiler
Jantan
14 Hari
Putih
Dyspnoe, anoreksia, feses cair, diare, dan lesu.
Swab oropharynx dan swab kloaka.
Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory
disease, Newcastle disease.
Kode sampel
Jenis hewan
Bangsa/Ras
Jenis Kelamin
Umur
Warna Bulu
Temuan Klinis
Jenis sampel
:
:
:
:
:
:
:
:
KA 3-2
Ayam
Broiler
Betina
14 Hari
Putih
Dyspnoe, anoreksia, dan lesu.
Swab oropharynx dan swab kloaka.
Differensial
diagnosa
:
Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory
disease, Newcastle disease.
Kode sampel
Jenis hewan
Bangsa/Ras
Jenis Kelamin
Umur
Warna Bulu
TemuanKlinis
Jenis sampel
Differensial
diagnosa
:
:
:
:
:
:
:
:
:
KA 3-3
Ayam
Broiler
Betina
14 Hari
Putih
Dyspnoe, anoreksia, feses cair, dan lesu.
Swab oropharynx dan swab kloaka.
Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory
disease, Newcastle disease.
Gambar 3. Ayam yang berasal dari flok 3. (A) KA 3-1. (B) KA 3-2. (C) KA 3-3
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Isolasi dan identifikasi virus dilakukan pada tanggal 15 - 22 Juli 2019 bertempat
di Laboratorium Virologi, Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan kegiatan ini adalah alat candler, bor telur, cawan petri,
coolbox, gelas objek, gloves, gunting, ice pack, inkubator, kaca penutup, kantong
plastik, kapas, kuteks, label, mikropipet, microplate, mikroskop, pinset, pipet, syringe
3 ml, sentrifuse, tabung effendorf, dan tabung reaksi. Bahan yang digunakan adalah
telur ayam berembrio (TAB) umur 9 hari, sampel virus, antibiotik Penstrep 10.000 IU
µg/ml, alkohol 70%, Na Sitrat 3.8%, dan NaCl 0.85%, suspensi sel darah merah (5%,
1%), dan serum anti ND.
Diagram alur pemeriksaan titer virus dan identifikasi antigen dari sampel
Pemeriksaan Hewan
Isolasi Sampel
Pembuatan Suspensi Inokulum
Inokulasi TAB (Telur Ayam Berembrio)
Pemanenan cairan Alantois
Pengamatan (Candling selama 4 hari)
Rapid Aglutination Test
Positif
Uji HA (Haemaglutinasi Test)
Uji HI β (Haemaglutinasi Inhibisi) dengan
antigen spesifik ND
Metode
Pembuatan NaCl 0.85%
Garam NaCl ditimbang sebanyak 8.5 gram kemudian dimasukkan kedalam
erlenmeyer. Aquadest ditambahkan sampai larutan mencapai 100 ml dan diaduk hingga
semua larutan garam terlarut. Larutan NaCl fisiologis tersebut selanjutnya disterilkan
sebelum digunakan dan disimpan pada suhu 4°C.
Pembuatan Na-Sitrat 3.8%
Garam Na Sitrat ditimbang sebanyak 3.8 gram kemudian dimasukkan kedalam
Erlenmeyer. Aquades ditambahkan sampai larutan mencapai 100 ml dan
dihomogenkan hingga semua garam terlarut. Larutan Na Sitrat tersebut selanjutnya
disterilkan sebelum digunakan dan disimpan pada suhu 4°C.
Pelarutan Antibiotika
Antibiotika yang digunakan adalah Penisillin dan Streptomisin. Stok Penisilin
3.000.000 IU diencerkan dengan 12 ml aquades sehingga didapatkan penisilin 250.000
IU/ml. Stok Streptomisin 1.000.000 µg diencerkan dengan 4 ml aquades sehingga
didapatkan Streptomisin 250.000 µg. Antibiotika yang dibutuhkan dalam pembuatan
inokulum dengan dosis Pen-Strep 10.000 IU µg/ml. Pembuatan inokulum dengan dosis
Pen-Strep 10.000 IU µg/ml, dibutuhkan 1 bagian Penisillin 250.000 IU/ml, 1 bagian
Streptomisin 250.000 µg/ml dan 23 bagian suspensi virus.
Media Transport
Media transport yang digunakan adalah Brain Heart Infussion (BHI). Media
transport disimpan pada suhu 4°C.
Pembuatan Suspensi Sel Darah Merah
Darah ayam diambil melalui vena brachialis (vena sayap). Bagian yang akan
diambil darahnya dihapushamakan dengan menggunakan kapas alkohol 70%. Larutan
Na Sitrat disiapkan didalam tabung, perbandingan jumlah Na Sitrat dengan darah
adalah 1:4. Darah diambil menggunakan syringe 3 ml melalui vena brachialis. Darah
kemudian dimasukkan dalam tabung yang berisi Na Sitrat dan dihomogenkan hingga
darah bercampur dengan Na Sitrat. Darah utuh (whole blood) disentrifuse dengan
kecepatan 1000 – 1500 G selama 10 menit. Supernatan dibuang dan endapan yang
merupakan sel darah merah dicuci/dibilas dengan menambahkan NaCl fisiologis
dengan volume sebanyak supernatan yang dibuang atau 2x volume sel darah merah.
Suspensi tersebut dihomogenkan dan disentrifuse kembali dengan kecepatan 1000 –
1500 G selama 10 menit. Langkah ini diulang sebanyak 2x. Setelah pencucian ketiga,
supernatan dibuang sehingga didapatkan suspensi sel darah merah 100%. Suspensi
darah tersebut diencerkan secara bertingkat menjadi 50%, 5%, dan 1%. RBC 100%
diencerkan menjadi RBC 50% dengan cara mencampurkan 1 bagian RBC 100%
dengan 1 bagian NaCl 0.85%. RBC 50% diencerkan menjadi RBC 5% dengan cara
mencampurkan 1 bagian RBC 50% dengan 9 bagian NaCl 0.85%. RBC 5% diencerkan
menjadi RBC 1% dengan cara mencampurkan 1 bagian RBC 5% dengan 4 bagian NaCl
0.85%.
Tahapan membuat RBC 50% dilakukan rumus:
Tahapan membuat RBC 5% dilakukan dengan rumus:
Tahapan membuat RBC 1% dilakukan dengan rumus:
Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan survei ke peternakan ayam dengan
menanyakan riwayat ayam yang sakit pada peternak, melakukan pencatatan
signalement dan mengamati gejala klinis ayam yang dicurigai sakit. Ayam yang sakit
diambil sampel swab pada orofaring dan kloaka sebagai sampel pengujian
laboratorium.
Sampel swab diambil dengan menggunakan cottonbud steril. Hasil swab
kemudian dimasukan ke dalam tabung effendorf yang sebelumnya telah diisi dengan
media Brain Heart Infusion (BHI) sebanyak 2 mL selanjutnya dimasukan kedalam
coolbox dan kemudian dibawa ke laboratorium. Antibodi standar ND berasal dari
laboratorium untuk konfirmasi jenis antigen sampel yang diperiksa.
Persiapan Telur Ayam Berembrio (TAB)
Virus merupakan mikroorganisme yang bersifat parasit obligat dan hanya bisa
hidup pada media yang hidup. Telur ayam berembrio merupakan media isolasi dan
propagasi atau pembiakan virus yang paling sering digunakan karena pada telur
berembrio dapat ditemukan bermacam-macam tipe sel yang mampu menjadi media
tumbuhnya berbagai jenis virus. Keberhasilan isolasi dan propagasi virus pada telur
dipengaruhi oleh rute inokulasi, umur embrio, suhu inkubasi, lama waktu inkubasi
setelah inokulasi, volume inokulum yang digunakan, dan status kekebalan flok.
Dalam membiakkan virus menggunakan telur, sebaiknya digunakan telur yang
berasal dari breeding flock yang bebas patogen tertentu (spesific pathogen free). Telur
yang digunakan diinkubasi pada suhu 37 – 38°C dan kelembaban relatif 60 – 70%.
Sebelum diinokulasi telur diperiksa dengan teropong (candling), pemeriksaan ini
dilakukan untuk mengetahui apakah telur dalam kondisi normal, sesuai dengan
umurnya atau ada kelainan. Kelainan yang dapat terjadi diantaranya tidak adanya
kantung udara, infertil, embrio lemah atau mati. Telur yang tidak normal tidak dapat
digunakan.
Inokulasi virus kedalam telur dapat dilakukan dibeberapa tempat tergantung
jenis virusnya. Pada isolasi virus ND akan dilakukan inokulasi pada ruang alantois.
Virus ND merupakan virus yang sel targetnya adalah sel epitel mukosa saluran
pernafasan dan pencernaan sehingga dipilih ruang alantois sebagai tempat inokulasi
karena pada ruang tersebut terdapat banyak sel epitel khorion dan alantois sebagai sel
target. Inokulasi virus ke daerah ruang alantois dilakukan pada telur yang berumur 9 –
11 hari karena pada saat itu luas ruang alantois optimal.
Persiapan Inokulum
Inokulum yang digunakan berupa suspensi virus ND dari sampel yang telah
ditambahkan antibiotik dengan dosis 10.000 IU/ml untuk Penicillin dan 10.000 µg/ml
untuk Streptomisin. Antibiotik Penisillin dan Streptomisin yang tersedia yaitu 250.000
IU µg/ml. Pembuatan inokulum dengan dosis Pen-Strep 10.000 IU µg/ml, dibutuhkan
1 bagian Penisillin 250.000 IU/ml, 1 bagian Streptomisin 250.000 µg/ml dan 23 bagian
suspensi virus. Volume total inokulum yang dibuat dari pengujian ini sebanyak 1,25
ml yang terdiri atas 1,15 ml sampel virus; 0,05 ml Penicillin; dan 0,05 ml Streptomisin.
Sedangkan volume inokulum yang akan diinokulasikan sebanyak 0,2 ml untuk setiap
TAB.
Inokulasi pada TAB
TAB yang digunakan sebanyak 18 buah telur. Peneropongan (candling)
dilakukan pada telur yang akan digunakan. Batas kantung udara dan letak kepala
embrio ditentukan dengan memberi tanda menggunakan pensil. Daerah yang akan
digunakan sebagai tempat inokulasi dihapushamakan dengan kapas alcohol 70%.
Bagian kulit telur di atas kantung udara dibuat lubang dengan menggunakan bor telur
tetapi jangan sampai merusak shell membrane. Inokulum diinokulasikan sebanyak 0,2
ml kedalam ruang alantois melewati batas kantung udara. Tempat penyuntikan ditutup
kembali dengan kuteks bening. Telur disimpan di dalam inkubator dengan suhu 37–
38°C dan diamati setiap hari dengan candler sampai hari keempat. Telur yang mati
kurang dari 24 jam setelah inokulasi disingkirkan karena kematian biasanya bukan oleh
virus tetapi adanya kontaminasi organisme lain. Telur yang mati pada 1 – 4 hari setelah
inokulasi disimpan dalam refrigerator, sedangkan telur yang tidak mati diamati sampai
hari keempat post inokulasi. Pada hari keempat telur yang masih hidup dimasukkan ke
dalam refrigerator selama 24 jam untuk mematikan embrionya. Pada hari ke 5 semua
telur dapat diamati dan diisolasi/dipanen virusnya dari cairan alantois untuk dilakukan
identifikasi.
Panen Hasil Inokulasi Virus
Virus dapat dipanen dari ruang alantois karena selama inkubasi virus tumbuh
dan berkembang biak di sel epitel ruang alantois dan virus disekresikan kedalam cairan
alantois tersebut. Cara pemanenan dilakukan dengan menghapus hamakan telur yang
siap dipanen dengan kapas alkohol 70% pada permukaannya. Bagian atas telur yang
terdapat kantong udaranya dibuka menggunakan pinset. Cairan alantois diambil
menggunakan pipet pasteur dan dimasukkan ke dalam tabung steril yang telah
disiapkan. Setelah itu perubahan yang terjadi pada embrio dilihat dan diidentifikasi.
Kelainan yang dapat muncul pada embrio akibat infeksi yaitu hiperemi kepala dan
badan, pertumbuhan terhambat, curly, atau hancur.
Uji Aglutinasi Cepat (Rapid Test)
Metode identifikasi virus dapat dilakukan dengan melihat sifat virus terhadap
sel dimana virus tersebut ditumbuhkan. Berbagai sifat virus dapat digunakan sebagai
identifikasi. Salah satu sifat virus yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi yaitu
kemampuan mengaglutinasi sel darah merah. Salah satu virus yang dapat
mengaglutinasi sel darah merah yaitu virus ND. Virus dapat mengaglutinasi darah
karena virus mempunyai protein haemaglutinin pada permukaan virusnya. Protein ini
akan spontan melekat pada permukaan sel darah merah yang merupakan reseptor dari
membran eritrosit, sehingga membentuk sebuah jembatan antara dua sel darah merah.
Uji aglutinasi cepat digunakan untuk mengetahui apakah virus yang dibiakkan
pada telur tumbuh atau tidak. Gelas objek disiapkan dan dibersihkan menggunakan
kapas alkohol 70%, kemudian suspensi darah merah 5% diteteskan diatasnya sebanyak
2 tetes. Cairan alantois yang telah dipanen diambil dan diteteskan sebanyak 2 tetes ke
suspensi darah merah. Campuran virus dan sel darah merah diaduk menggunakan tusuk
gigi, didiamkan sesaat dan diamati terjadinya aglutinasi. Suspensi sel darah merah dan
NaCl fisiologis dicampur dengan perbandingan yang sama di atas gelas objek sebagai
kontrol negatif. Campuran diaduk dan diamati bentuk larutan yang tidak terjadi
aglutinasi kemudian dibandingkan dengan sampel.
HA Test Mikrotitrasi
Sumur 1 – 12 mikroplate V bottom diisi dengan NaCl 0.85% masing – masing 25
µl. Sumur yang digunakan hanya satu baris. Sebanyak 25 µl suspensi virus dimasukkan
kedalam sumur pertama dan dilakukan pencampuran suspensi virus dengan NaCl pada
sumur pertama dengan cara mengambil dan mengeluarkan cairan tersebut dengan
mikropipet sebanyak 5 kali. Sebanyak 25 µl larutan dari sumur pertama diambil dan
dipindahkan ke sumur kedua dan dilakukan pencampuran, selanjutnya 25 µl
dipindahkan ke sumur 3, begitu seterusnya sampai sumur ke 11. Sebanyak 25 µl dari
sumur ke 11 diambil dan dibuang. NaCl fisiologis ditambahkan ke dalam seluruh
sumur masing – masing sebanyak 25 µl. Suspensi sel darah merah 1% ditambahkan ke
dalam seluruh sumur masing – masing sebanyak 25 µl. Campuran dihomogenkan
dengan menggoyang-goyangkan mikroplate lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 30
menit, kemudian dibaca hasilnya. Sumur 12 sebagai kontrol negatif akan mengendap.
Tabel 1. Diagram HA test mikrotitrasi
Reagen (µl)
NaCl fis
Antigen
(Virus ND)
NaCl fis
RBC 1%
Titer Virus
Sumur ke1
2
3
25 25 25
25 25 25
4
25
25
5
25
25
6
25
25
7
25
25
25 25
25 25
1/2 4
25
25
16
25
25
32
25
25
64
25 25 25 25
25
25
25 25 25 25
25
25
128 256 512 1024 2048 4098
25
25
8
8
25
25
9
25
25
10
25
25
11
25
25
12
25
25
Haemaglutinasi Inhibisi (HI Test)
HI merupakan uji yang dapat digunakan untuk identifikasi virus – virus yang
dapat mengaglutinasi darah. HI merupakan uji penghambatan aglutinasi, sehingga pada
uji HI tidak terjadi aglutinasi sel darah merah oleh virus karena adanya penghambatan
aglutinasi oleh antibodi anti virus yang ada dalam serum. Virus diikat oleh antibodi
yang homolog sehingga tidak dapat melekat pada reseptor dari membran sel darah
merah, dengan demikian aglutinasi sel darah merah tidak terjadi.
Uji HI mempunyai dua fungsi yaitu pertama, sebagai sarana untuk
mengidentifikasi jenis antigen tertentu dengan mereaksikannya terhadap antibodi
homolog yang diketahui. Kedua, untuk mengetahui jenis antibodi dan titernya, dengan
cara mereaksikan serum yang ingin diketahui jenis antibodinya dengan antigen standar
yang telah diketahui. Uji HI dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode α dan
metode β. Metode α sering digunakan untuk menguji jenis antigen dengan cara
mengencerkan secara seri antigen dan antibodi standarnya (antibodi yang telah
diketahui jenis dan titernya) dalam jumlah tetap. Metode β digunakan untuk menguji
antibodi dan menghitung titernya dan menguji jenis antigen dengan cara mengencerkan
antibodi dan virusnya (antigen yang telah diketahui jenis dan titernya) dalam jumlah
tetap.
Pengujian yang dilakukan adalah uji HI dengan metode β dimana antibodi anti
ND diencerkan dan jumlah suspensi virus yang akan diidentifikasi jumlahnya tetap.
Antibodi yang digunakan sudah diketahui jenisnya yaitu antibodi anti ND. Apabila uji
HA mengalami aglutinasi dan uji HI terjadi hambatan aglutinasi maka sampel virus
merupakan virus ND.
Prosedur perlakuan uji HI test diawali dengan pengisian NaCl fisiologis pada
masing masing sumur 1-12 sebanyak 25 µl menggunakan mikropipet. Sebanyak 25 µl
serum ND yang akan diuji dimasukkan kedalam sumur pertama dan dilakukan
pencampuran serum dengan NaCl pada sumur pertama dengan cara mengambil dan
mengeluarkan cairan tersebut dengan mikropipet sebanyak 5 kali. Sebanyak 25 µl
larutan dari sumur pertama diambil dan dipindahkan ke sumur kedua dan dilakukan
pencampuran, selanjutnya 25 µl dipindahkan ke sumur 3, begitu seterusnya sampai
sumur ke 10. Sebanyak 25 µl dari sumur ke 10 diambil dan dibuang. Sebanyak 25 µl
suspensi virus standar 4 HAU ditambahkan masing – masing pada sumur 1 sampai 11.
Campuran dihomogenkan dengan menggoyang-goyangkan mikroplate kemudian
diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Sebanyak 25 µl suspensi RBC 1%
dimasukkan masing – masing pada sumur 1 sampai 12. Campuran dihomogenkan
dengan menggoyang-goyangkan mikroplate kemudian diinkubasi pada suhu ruang
selama 40 menit dan hasilnya dapat dibaca. Sumur 11 sebagai kontrol negatif akan
teraglutinasi dan sumur 12 sebagai kontrol positif akan mengendap.
Tabel 2. Diagram HI test mikrotitrasi
Reagen (µl)
Sumur ke1
2 3 4 5 6 7
25 25 25 25 25 25 25
25 25 25 25 25 25 25
NaCl fis
Antibodi
anti ND
Virus
25 25 25 25 25 25 25
Standar
4 HAU
Inkubasi suhu ruang selama 30 menit
25 25 25 25 25 25 25
RBC 1%
Inkubasi suhu ruang selama 40 menit
Pengenceran 1/2 4 8 16 32 64 128
8
25
25
9
25
25
10
25
25
11
25
25
25
25
25
25
25
25
25
25
12
25
25
25
256 512 1024 2048 4098
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Inokulasi Sampel pada TAB dan Rapid Agglutination Test
Tabel 3. Pemeriksaan sampel TAB
Kode
hewan
KA 1-1
KA 1-2
KA 1-3
KA 2-1
KA 2-2
KA 2-3
KA 3-1
KA 3-2
KA 3-3
Sampel dan
kode cairan
allantois
O1
K2
O3
K4
O5
K6
O7
K8
O9
K10
O11
K12
O13
K14
O15
K16
O17
K18
Rapid test
sebelum
inokulasi
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Positif
Kematian
embrio
(Hari ke-)
2
4
1
1
2
3
2
4
1
2
1
2
4
1
4
4
2
1
Rapid test pada
panenan virus
Negatif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Positif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Positif
Positif
Keterangan: KA = Kandang ayam, O = Orofaring, K = Kloaka
Virulensi virus ND dapat dikategorikan ganas jika menyebabkan kematian
embrio dalam 48 jam (2 hari), moderat jika menyebabkan kematian 50% embrio dalam
waktu 48 jam, dan kurang virulen jika tidak menyebabkan kematian embrio dalam
waktu 48 jam (Wibowo et al. 2012). Penelitian Alexander dan Senne (2008),
menyatakan virus ND bentuk velogenik dapat mengakibatkan mortalitas pada embrio
ayam selama kurang dari 60 jam.
Virus ND bentuk velogenik secara in ovo lebih mudah tumbuh dan bersifat
sistemik dibandingkan dengan virus ND bentuk lentogenik. Virus ND bentuk
velogenik dapat bereplikasi pada hampir semua sel dan jaringan tubuh. Berdasarkan
kemampuan replikasi virus tersebut, virus ND bentuk velogenik dapat mengakibatkan
infeksi sistemik yang lebih parah pada ayam dibandingkan dengan infeksi virus ND
bentuk lentogenik (Alexander dan Senne 2008).
Tabel 4. Hasil Pemeriksaan patologi anatomi pada embrio yang diinokulasi sampel
virus
Kode Hewan
Kode Cairan Alantois
Hasil
KA 1-1
O1
Hemoragi
K2
Kekerdilan
KA 1-2
O3
Hemoragi
K4
Hemoragi dan kekerdilan
KA 1-3
O5
Hemoragi
K6
Hemoragi dan kekerdilan
KA 2-1
O7
Hemoragi dan kekerdilan
K8
Hemoragi
KA 2-2
O9
Busuk
K10
Hemoragi
KA 2-3
O11
Hemoragi
K12
Kekerdilan
KA 3-1
O13
Kekerdilan
K14
Hemoragi
KA 3-2
O15
Hemoragi
K16
Kekerdilan
KA 3-3
O17
Kekerdilan
K18
Kekerdilan
Gambar 4. Hasil pengamatan patologi anatomi pada embrio
Hasil pengamatan patologi anatomi embrio ayam yang mati bervariasi.
Perubahan yang terlihat pada embrio ayam yang mati adalah adanya hemoragi pada
tubuh embrio dan ukuran embrio yang kerdil. Perubahan ini tidaklah spesifik pada satu
virus tertentu. Menurut Wibowo et al. (2006), virus Avian Influenza juga dapat
menyebabkan perubahan pada telur ayam berembrio pada umur 9-11 hari berupa
kekerdilan, hemoragi di seluruh tubuh, dan kerontokan bulu embrio. Kekerdilan juga
dapat terjadi pada embrio ayam yang terinfeksi virus IB dan ILT (Cavanagh dan Gelb
2008; Garcia dan Guy 2008). Menurut Alexander dan Senne (2008), hemoragi pada
embrio dapat disebabkan oleh virus ND yang mengakibatkan terjadinya lesi dan
ulserasi pada kulit embrio. Lesi yang terjadi berupa kongesti dan radang pada kulit.
Kejadian tersebut dikarenakan kulit adalah organ terluar embrio yang pertama kali
kontak dengan virus.
Uji Aglutinasi cepat (Rapid Test) dilakukan untuk mengetahui keberadaan
antigen dengan kemampuan mengaglutinasi sel darah merah (iSIKHNAS 2014). Virus
memiliki suatu protein hemaglutinin yang dapat mengaglutinasi sel darah merah
(Maftuchah et al. 2014). Uji aglutinasi cepat ini akan menunjukkan hasil positif apabila
terbentuknya butiran seperti pasir yang menandakan adanya aglutinasi sel darah merah.
Pengamatan pada 18 sampel yang diuji saat sebelum inokulasi dan sesudah pemanenan
dari TEB menunjukkan terdapat beberapa sampel positif mengalami menjadi negatif
setelah inokulasi pada TEB. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan seperti
kesalahan pengujian yang terlalu lama, virus yang tidak tumbuh saat diinokulasikan,
atau dapat karena virus yang tidak mampu mengaglutinasi sel darah merah.
Gambar 5. Hasil rapid test sampel sebelum inokulasi pada TEB. A) Sampel swab
orofaring. B) Sampel swab kloaka.
Gambar 6. Hasil rapid test pada kontrol (K) dan sampel positif (+).
Pengujian Sampel Virus dengan Uji Hemaglutinasi (HA Test)
Tabel 5. Hasil uji HA pada sampel virus
Kode
Hewan
KA 1-1
KA 1-2
Kode
Cairan
Alantois
O1
K2
Gambar
Hasil Uji HA
(HAU/0.25µl)
Negatif
8
O3
8
K4
8
KA 1-3
O5
K6
Negatif
8
KA 2-1
O7
K8
Negatif
16
KA 2-2
O9
2
K10
2
O11
16
KA 2-3
K12
KA 3-1 O13
K14
KA 3-2 O15
Negatif
Negatif
Negatif
8
K16
O17
Negatif
16
K18
32
KA 3-3
Uji HA dilakukan untuk mengidentifikasi virus yang mengaglutinasi eritrosit
dan mengeliminasi diferensial diagnosa ND serta mengetahui titer virus (jumlah virus)
dalam suatu suspensi. Suspensi virus yang memiliki titer standar 4 HAU/25µl
selanjutnya akan digunakan pada uji Hemaglutinasi Inhibition (HI) (Pagala 2014).
Prinsip uji HA didasarkan pada kemampuan hemaglutinasi dari virus ND terhadap sel
darah merah unggas (Grimes 2002). ND disebabkan oleh virus family
Paramyxoviridae yang mempunyai sifat dapat mengaglutinasi sel darah merah unggas.
Proses hemaglutinasi terjadi karena adanya aktivitas hemaglutinin yang terdapat pada
amplop virus tersebut dan aktivitas ini berlangsung maksimal selama satu jam. Hal ini
dipengaruhi oleh kerja enzim neuramidase yang merusak ikatan pada reseptor eritrosit
dengan hemaglutinin dari virus family Paramyxoviridae (Kencana et al. 2012).
Hasil Uji HA pada suspensi virus diperoleh hasil positif pada empat sampel
orofaring yaitu sampel nomor 3, 9, 11, dan 15, serta enam sampel kloaka yaitu sampel
nomor 2, 4, 6, 8, 10, dan 18. Sampel orofaring nomor 3 dan 15 memperlihatkan
aglutinasi komplit pengenceran tertinggi pada sumur ke-3 dan titer virus yang diperoleh
sebesar 8 HAU/25µl. Sampel orofaring nomor 9 dan 11 masing-masing
memperlihatkan aglutinasi komplit pengenceran tertinggi pada sumur pertama dan ke4 dengan titer virus yang diperoleh masing-masing sebesar 2 HAU/25µl dan 16
HAU/25µl. Sampel kloaka nomor 2, 4, dan 6 memperlihatkan aglutinasi komplit
pengenceran tertinggi pada sumur ke-3 dan titer virus yang diperoleh sebesar 8
HAU/25µl. Sampel kloaka nomor 8, 10, dan 18 masing-masing memperlihatkan
aglutinasi komplit pengenceran tertinggi pada sumur ke-4, ke-1 dan ke-5 dengan titer
virus yang diperoleh masing-masing sebesar 16 HAU/25µl, 2 HAU/25µl dan 32
HAU/25µl. Berdasarkan titer virus yang diperoleh, sampel orofaring nomor 9 dan
sampel kloaka nomor 10 berada dibawah standar sehingga sampel tersebut tidak bisa
digunakan pada uji HI.
Pengujian Serum ND dengan Uji HI Metode β
Prinsip uji HI yaitu mengukur level antibodi dengan cara dilusi yang dapat
mencegah hemaglutinasi eritrosit oleh virus (Mahy dan Hillar 1996). Serum ND
didapatkan dari Laboratorium Mikrobiologi FKH IPB. Nilai titer yang didapat dari uji
HI amat berkaitan dengan status imunitas dari ayam asal serum. Antibodi pada serum
diuji kemampuannya untuk menginhibisi aglutinasi RBC terhadap 4 HAU/25µ virus.
Pengenceran tertinggi serum yang dapat menghambat aglutinasi dinyatakan sebagai
titer antibodi (OIE 2012). Gambar hasil pengujian disajikan pada Tabel 5.
Tabel 6 Hasil uji HI β pada serum ND
Kode
Hewan
KA 1-1
KA 1-2
Kode
Cairan
Alantois
O1
K2
Gambar
Hasil Uji HA
(HAU/0.25µl)
Negatif
16
O3
64
K4
64
KA 1-3
O5
K6
Negatif
128
KA 2-1
O7
K8
Negatif
128
KA 2-2
O9
K10
O11
256
KA 3-2
K12
O13
K14
O15
Negatif
Negatif
Negatif
32
KA 3-3
K16
O17
Negatif
64
K18
64
KA 2-3
KA 3-1
Tabel 7 Pemeriksaan hasil uji HI β pada serum ND
Kode
Hewan
Kode
Cairan
Alantois
KA 1-1 O1
K2
KA 1-2 O3
K4
KA 1-3 O5
K6
KA 2-1 O7
K8
KA 2-2 O9
K10
KA 2-3 O11
K12
KA 3- O13
1
K14
KA 3-2 O15
K16
KA 3-3 O17
K18
Rapid
test
Log
10
GMT
Antilog
GMT
CV
(%)
Negatif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Postitif
Negatif
Positif
Positif
Positif
Positif
Negatif
Negatif
Uji HA Hasil
(HAU) Uji
HIβ
8
16
8
64
8
64
8
128
16
128
2
2
16
256
-
1.2
1.8
1.8
2.1
2.1
2.4
-
0.916
8.241
79.90
Negatif
Positif
Negatif
Positif
Positif
8
16
32
1.5
1.8
1.8
32
64
64
Keterangan: GMT= Geometric Mean Titre, CV= coefficient variation
Hasil uji dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi antigen HA
yang digunakan, konsentrasi suspensi eritrosit, waktu antara mencampur serum,
antigen, penambahan eritrosit, serta suhu saat pencampuran (Purchase et al. 2008).
Selain itu, kontaminasi bahan kimia, enzim bakteri, dan toksin juga dapat memengaruhi
hasil pengujian HI (Syukron et al. 2013). Sebanyak 7 sampel memperoleh hasil negatif.
Hal ini diduga karena virus yang diuji tidak spesifik berikatan dengan antibodi pada
serum, selain itu terdapat kontaminasi bakteri yang timbul ketika proses inokulasi
virus.
Hasil uji pada 16 sampel berturut-turut adalah negatif, 24, 26, 26, negatif, 27,
negatif, 27, 28, negatif, negatif, negatif, 25, negatif, 26, 26. Sampel nomor 9 dan 10 tidak
dilakukan uji HI karena tidak memenuhi titer antigen minimal sebanyak 4 HAU/25µl.
Dilakukan perhitungan Geometric Mean Titrer (GMT) terhadap semua sampel untuk
mengetahui nilai titer antibodi keseluruhan, kemudian diperoleh nilai 0.916, sehingga
diperoleh nilai titer antibodi 23. Berdasarkan acuan OIE (2012), titer antibodi pada
sampel positif dinyatakan protektif apabila bernilai diatas 24 saat diuji dengan 4 HAU
antigen. Hasil pengujian pada serum anti ND menunjukkan titer antibodi tidak
protektif, namun terbukti bahwa antigen yang digunakan adalah virus ND karena
berikatan spesifik dengan serum anti ND pada 9 sampel positif .
Nilai koefisien variasi (CV) titer antibodi diperoleh sebesar 79.9%. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa keseragaman titer antibodi kecil. Menurut Frechaut et al.
(2015), nilai koefisien vaiasi titer antibodi yang baik berkisar pada 30-50%. Nilai CV
yang kecil menunjukkan bahwa vaksinasi berhasil menghasilkan titer antibodi yang
seragam. Serum ND yang diuji memiliki titer antibodi yang baik namun memiliki
tingkat keseragaman kecil.
SIMPULAN
Hasil pengujian pada sampel swab orofaring dan kloaka yang berasal dari ayam
broiler yang memiliki gejala pernapasan asal Balumbang Jaya Farm milik Pak Haji
Soleh menunjukkan bahwa ayam broiler terinfeksi virus Newcastle Disease (ND).
SARAN
Pelaksanaan evaluasi keberhasilan vaksinasi atau manajemen peternakan dapat
diawali dengan melakukan pemeriksaan titer antibodi ND sebelum dilakukan
pemeriksaan antigen ND pada ayam broiler di suatu peternakan.
DAFTAR PUSTAKA
[iSIKHNAS]. 2014. Manual Penyakit Unggas. Jakarta (ID): Subdit Pengamatan
Penyakit Hewan, Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan.
[OIE] Office International des Epizootices. 2012. Manual of Diagnostic Test and
Vaccines for Terrestrial Animal [internet]. Tersedia di: http://www.oie.int/standardsetting/terrestrial-manual/access-online/ (diunduh tanggal 23 Juli 2019).
[OIE] Office International des Epizootices. 2013. OIE Manual of Standards for
Diagnostic Test and Vaccines. 4thed. Paris.
Alexander DJ, Senne DA. 2008. Newcastle Disease , Other Avian Paramyxovirus and
Pneumovirus Infection. Dalam: Saif YM. 2008. Disease of Poultry. Iowa (US):
Blackwell.
Alexander DJ, Senne DA. 2008. Newcastle Disease Virus and Other Avian
Paramyxoviruses. Omni Press, Inc. Madison, Wisconsin.
Beard C, Hanson W. 1984. Newcastle Disease Iowa State University Press. Armes
Iowa. USA. Bhaiyat MI, Ochiai K, Itak.
Cattoli G, Susta L, Terregino C, Brown C. 2011. Newcastle disease: a review of field
recognition and current methods of laboratory detection. J Vet Diagn Invest. 23(4):
637-656.
Cavanagh, Gelb. 2008. Infectious Bronchitis. Dalam: Saif YM. 2008. Disease of
Poultry. Iowa (US): Blackwell.
Charles RT. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius. Yogyakarta
(ID):. Indonesia.
Charlton BR. 2006. Avian Disease Manual 6th ed. American Association of Avian
Pathologists (AAAP). Athens,Georgia.
Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA et al. 1995. Virologi Veteriner. Academic Press
Inc. California.
Freachaut ERC, Muchanga EF, Taunde P, Nhambirre O. 2015. Vaccination against
infectious bursal disease virus (IBDV): in broiler birds in Mozambique.
International Journal of Poultry Science. 14(12):644-646.
Garcia, Guy. 2008. Laringotracheitis. Dalam: Saif YM. 2008. Disease of Poultry. Iowa
(US): Blackwell.
Grimes SE. 2002. A basic laboratory manual for the small scale production and testing
of 1 – 2 Newcastle Disease Vaccine. FAO Regional Office for Asia and the Pacific.
Bangkok (TH): RAP Publication.
Kencana GAY, Kardena IM, Mahardika IGNK. 2012. Peneguhan diagnosis penyakit
Newcastle Disease lapang pada ayam buras di Bali menggunakan teknik RT-PCR.
Jurnal Kedokteran Hewan. 6 (1): 28-31.
Kommers GD, King DJ, Seal BS, Carmichael KP, Brown CC. 2002. Pathogenesis of
Six Pigeon-Origin Isolates of Newcastle Disease Virus for Domestic Chickens.
Veterinary Pathology. 39(3): 353-362.
Maftuchah, Winaya A, Zainudin A. 2014. Teknik Dasar Analisis Biologi Molekuler.
Yogyakarta: Deepublish.
Mahy BWJ dan Hillar OK. 1996. Virologi Methods Manual. London (UK): Academic
Press.
Miller PJ, Decanini EL, Afonso CL. 2010. Newcastle disease: evolution of genotypes
and the related diagnostic challenges. Infect Genet Evol. 10(1): 26-35.
Palaga MA. 2014. Identifikasi Sifat Ketahanan Penyakit Viral Menggunakan Gen MX
Sebagai Marka Genetik pada Ayam Tolaki [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Purchase HG, Lawrence HA, Charles HD, James EP. 2008. A Laboratory Manual for
The Isolation and Identification of Avian Pathogens 3rd Edition. Iowa(US):
Kendall/Hunt Publishing Company.
Syukron MU, Suartha IM, Dharmawan NS. 2013. Serodeteksi penyakit tetelo pada
ayam di Timor Leste. Indonesia Medicus Veterinus. 2(3):360-368.
Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya: Penyakit Bakterial,
Mikal, dan Viral. Kanisius. Yogyakarta.
Wibowo MH dan Amanu. 2010. Isolasi, identifikasi, sifat fisikdan biologi virus tetelo
yang diisolasi dari kasus di lapangan. Jurnal Veteriner. 13(4):425-433.
Wibowo MH, Asmara W, Tabbu CR. 2006. Isolasi dan Identifikasi Serologis Virus
Avian Influenza dari Sampel Unggas yang Diperoleh di Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Tengah . Journal Sains Veteriner. 24(1): 77-83.
Wibowo MH, Untari T, Wahyuni AETH. 2012. Isolasi, identifikasi, sifat fisik, dan
biologi virus tetelo yang diisolasi dari kasus di lapangan. Jurnal Veteriner.
13(4):425-433.
Lampiran 1. Hasil uji rapid test pada hasil panenan virus dari TEB
Download