LAPORAN KEGIATAN PPDH BAGIAN DIAGNOSTIK LABORATORIUM ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SAMPEL VIRUS Disusun Oleh: Kelompok D2 PPDH Gelombang 2 2018/2019 Maria Golvensiana, SKH Gita Purnama, SKH Deanty Chairunnisa, SKH Louisa Intan A, SKH Nadia Kamila P, SKH Risna Aliyah, SKH Riky Fernanda, SKH Fikri Hanifa, SKH Valen Hilmy R, SKH B94184228 B94184221 B94184211 B94184226 B94184230 B94184241 B94184239 B94184218 B94184246 Dosen Pembimbing: Drh. Surachmi Setyaningsih, Ph.D LABORATORIUM DIAGNOSTIK PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2019 PENDAHULUAN Latar Belakang Penyakit tetelo atau Newcastle disease (ND) merupakan salah satu penyakit menular pada unggas. Penyakit yang memiliki karakteristik mudah menular, mudah menyebar dan dapat menyerang unggas semua umur ini disebabkan oleh Virus Newcastle Disease (VND) atau strain virulen dari avian paramyxovirus tipe 1 (APMV-1). Virus ini termasuk dalam genus Avulavirus anggota dari subfamili Paramyxovirinae dan famili Paramyxoviridae. Paramyxoviridae merupakan jenis virus dengan genom untai tunggal RNA negative sense, dan mempunyai amplop dengan dua lapis lemak (bilayer lipid membrane) dan kapsid simetris heliks, tidak bersegmen, berdiameter 13-18 nm (Fenner et al.1995, Miller et al. 2010). Spesies yang biasa terinfeksi antara lain ayam, kalkun, merpati dan bebek (Alexander dan Senne 2008). Lima manifestasi klinis ND menurut Beard dan Hanson (1984), antara lain Viscerotropic Velogenic ND (VVND), Neurotropik Velogenic ND (NVND), Mesogenic ND, Lentogenic ND, dan Asymthomatic. Gejala klinis digunakan sebagai diagnosa awal sedangkan diagnosa lanjutan dilakukan di laboratorium (identifikasi agen penyakit dan uji serologi). Gejala awal yang umum terjadi adalah gangguan pernapasan dan serak yang diikuti dengan kelumpuhan kaki, sayap dan tortikolis leher pada 1 atau 2 hari berikutnya (Kommers et al. 2002). Pada unggas dewasa, penurunan produksi yang bersamaan dengan gangguan pernapasan serta kelumpuhan terjadi 4 sampai 6 hari pasca infeksi. Tandatanda lain mencakup gangguan pernapasan (terengah-engah, batuk), gangguan syaraf (depresi, tremor otot, sayap terkulai, torsi kepala dan leher, berputar-putar serta kelumpuhan), pembengkakan jaringan sekitar mata dan leher, diare berair kehijauan, kualitas telur yang kasar atau tipis dan berisi albumen encer serta produksi telur berkurang (Charlton 2006). Identifikasi agen penyakit dapat dimulai dari pengambilan sampel untuk isolasi virus, uji keberadaan virus dengan isolasi dengan metode pasase ke telur ayam berembrio (TAB) atau kultur jaringan, rapid test, identifikasi dengan menggunakan uji HA dan HI (OIE 2013). Penyebaran ND secara umum bisa terjadi melalui kontak langsung dengan sekresi maupun eksresi unggas yang terinfeksi. Virus dapat dikeluarkan baik di feses maupun melalui sekresi respirasi. Virus ini dapat bertahan pada lingkungan yang bervariasi dimungkinkan karena beberapa faktor, antara lain kelembaban, temperatur udara, dan paparan cahaya. Proses penularan VND umumnya melalui rute pencernaan (fecal/oral) dan pernafasan (Charles 2000). ND juga merupakan penyakit unggas yang sangat merugikan secara ekonomi karena infeksi yang diakibatkan dapat menimbulkan penyakit tanpa adanya gejala sampai dapat menyebabkan kematian mencapai 100% (Beard dan Hanson 1984, Cattoli et al. 2011). Tabbu (2000) menyatakan bahwa tindakan yang efektif untuk mengatasi infeksi virus ND adalah vaksinasi dan didukung oleh perbaikan tata laksana pemeliharaaan ayam (Wibowo dan Amanu 2010). Tujuan Pengujian ini bertujuan mengisolasi virus diduga Newcastle Disease dari ayam yang menunjukkan gejala klinis pernapasan serta mengidentifikasi keberadaan virus melalui tahapan uji laboratorium. TINJAUAN KASUS Anamnesa : Ayam yang berasal dari Balumbang Jaya Farm milik Haji Soleh terlihat nafas terengah-engah. Sudah dilakukan pemberiaan vaksin ND pada umur 2 hari. Perternakan merupakan tipe open house dan kondisi peternakan lembab dan litter basah. Kode sampel Jenis hewan Bangsa/Ras Jenis Kelamin Umur Warna Bulu Temuan Klinis Jenis sampel Differensial diagnosa : : : : : : : : : KA 1-1 Ayam Broiler Jantan 14 Hari Putih Dyspnoe, anoreksia, feses cair, diare, dan lesu. Swab oropharynx dan swab kloaka. Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory disease, Newcastle disease. Kode sampel Jenis hewan Bangsa/Ras Jenis Kelamin Umur Warna Bulu Temuan Klinis Jenis sampel Differensial diagnosa : : : : : : : : : KA 1-2 Ayam Broiler Jantan 14 Hari Putih Dyspnoe, anoreksia, feses cair, dan lesu. Swab oropharynx dan swab kloaka. Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory disease, Newcastle disease. Kode sampel Jenis hewan Bangsa/Ras Jenis Kelamin Umur : : : : : KA 1-3 Ayam Broiler Betina 14 Hari Warna Bulu Temuan Klinis Jenis sampel Differensial diagnosa : : : : Putih Dyspnoe, anoreksia, dan lesu. Swab oropharynx dan swab kloaka. Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory disease, Newcastle disease. Gambar 1. Ayam yang berasal dari flok 1. (A) KA 1-1. (B) KA 1-2. (C) KA 1-3 Kode sampel Jenis hewan Bangsa/Ras Jenis Kelamin Umur Warna Bulu Temuan Klinis Jenis sampel Differensial diagnosa : : : : : : : : : KA 2-1 Ayam Broiler Jantan 14 Hari Putih Dyspnoe, anoreksia, dan lesu. Swab oropharynx dan swab kloaka. Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory disease, Newcastle disease. Kode sampel Jenis hewan Bangsa/Ras Jenis Kelamin Umur Warna Bulu Temuan Klinis Jenis sampel Differensial diagnosa : : : : : : : : : KA 2-2 Ayam Broiler Jantan 14 Hari Putih Dyspnoe, anoreksia, feses cair, diare, dan lesu. Swab oropharynx dan swab kloaka. Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory disease, Newcastle disease. Kode sampel Jenis hewan Bangsa/Ras Jenis Kelamin Umur Warna Bulu Temuan Klinis Jenis sampel Differensial diagnosa : : : : : : : : : KA 2-3 Ayam Broiler Jantan 14 Hari Putih Dyspnoe, anoreksia, feses cair, diare, dan lesu. Swab oropharynx dan swab kloaka. Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory disease, Newcastle disease. Gambar 2. Ayam yang berasal dari flok 2. (A) KA 2-1. (B) KA 2-2. (C) KA 2-3 Kode sampel Jenis hewan Bangsa/Ras Jenis Kelamin Umur Warna Bulu Temuan Klinis Jenis sampel Differensial diagnosa : : : : : : : : : KA 3-1 Ayam Broiler Jantan 14 Hari Putih Dyspnoe, anoreksia, feses cair, diare, dan lesu. Swab oropharynx dan swab kloaka. Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory disease, Newcastle disease. Kode sampel Jenis hewan Bangsa/Ras Jenis Kelamin Umur Warna Bulu Temuan Klinis Jenis sampel : : : : : : : : KA 3-2 Ayam Broiler Betina 14 Hari Putih Dyspnoe, anoreksia, dan lesu. Swab oropharynx dan swab kloaka. Differensial diagnosa : Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory disease, Newcastle disease. Kode sampel Jenis hewan Bangsa/Ras Jenis Kelamin Umur Warna Bulu TemuanKlinis Jenis sampel Differensial diagnosa : : : : : : : : : KA 3-3 Ayam Broiler Betina 14 Hari Putih Dyspnoe, anoreksia, feses cair, dan lesu. Swab oropharynx dan swab kloaka. Avian influenza, infectious bronchitis, Chronic respiratory disease, Newcastle disease. Gambar 3. Ayam yang berasal dari flok 3. (A) KA 3-1. (B) KA 3-2. (C) KA 3-3 METODOLOGI Waktu dan Tempat Isolasi dan identifikasi virus dilakukan pada tanggal 15 - 22 Juli 2019 bertempat di Laboratorium Virologi, Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat yang digunakan kegiatan ini adalah alat candler, bor telur, cawan petri, coolbox, gelas objek, gloves, gunting, ice pack, inkubator, kaca penutup, kantong plastik, kapas, kuteks, label, mikropipet, microplate, mikroskop, pinset, pipet, syringe 3 ml, sentrifuse, tabung effendorf, dan tabung reaksi. Bahan yang digunakan adalah telur ayam berembrio (TAB) umur 9 hari, sampel virus, antibiotik Penstrep 10.000 IU µg/ml, alkohol 70%, Na Sitrat 3.8%, dan NaCl 0.85%, suspensi sel darah merah (5%, 1%), dan serum anti ND. Diagram alur pemeriksaan titer virus dan identifikasi antigen dari sampel Pemeriksaan Hewan Isolasi Sampel Pembuatan Suspensi Inokulum Inokulasi TAB (Telur Ayam Berembrio) Pemanenan cairan Alantois Pengamatan (Candling selama 4 hari) Rapid Aglutination Test Positif Uji HA (Haemaglutinasi Test) Uji HI β (Haemaglutinasi Inhibisi) dengan antigen spesifik ND Metode Pembuatan NaCl 0.85% Garam NaCl ditimbang sebanyak 8.5 gram kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer. Aquadest ditambahkan sampai larutan mencapai 100 ml dan diaduk hingga semua larutan garam terlarut. Larutan NaCl fisiologis tersebut selanjutnya disterilkan sebelum digunakan dan disimpan pada suhu 4°C. Pembuatan Na-Sitrat 3.8% Garam Na Sitrat ditimbang sebanyak 3.8 gram kemudian dimasukkan kedalam Erlenmeyer. Aquades ditambahkan sampai larutan mencapai 100 ml dan dihomogenkan hingga semua garam terlarut. Larutan Na Sitrat tersebut selanjutnya disterilkan sebelum digunakan dan disimpan pada suhu 4°C. Pelarutan Antibiotika Antibiotika yang digunakan adalah Penisillin dan Streptomisin. Stok Penisilin 3.000.000 IU diencerkan dengan 12 ml aquades sehingga didapatkan penisilin 250.000 IU/ml. Stok Streptomisin 1.000.000 µg diencerkan dengan 4 ml aquades sehingga didapatkan Streptomisin 250.000 µg. Antibiotika yang dibutuhkan dalam pembuatan inokulum dengan dosis Pen-Strep 10.000 IU µg/ml. Pembuatan inokulum dengan dosis Pen-Strep 10.000 IU µg/ml, dibutuhkan 1 bagian Penisillin 250.000 IU/ml, 1 bagian Streptomisin 250.000 µg/ml dan 23 bagian suspensi virus. Media Transport Media transport yang digunakan adalah Brain Heart Infussion (BHI). Media transport disimpan pada suhu 4°C. Pembuatan Suspensi Sel Darah Merah Darah ayam diambil melalui vena brachialis (vena sayap). Bagian yang akan diambil darahnya dihapushamakan dengan menggunakan kapas alkohol 70%. Larutan Na Sitrat disiapkan didalam tabung, perbandingan jumlah Na Sitrat dengan darah adalah 1:4. Darah diambil menggunakan syringe 3 ml melalui vena brachialis. Darah kemudian dimasukkan dalam tabung yang berisi Na Sitrat dan dihomogenkan hingga darah bercampur dengan Na Sitrat. Darah utuh (whole blood) disentrifuse dengan kecepatan 1000 – 1500 G selama 10 menit. Supernatan dibuang dan endapan yang merupakan sel darah merah dicuci/dibilas dengan menambahkan NaCl fisiologis dengan volume sebanyak supernatan yang dibuang atau 2x volume sel darah merah. Suspensi tersebut dihomogenkan dan disentrifuse kembali dengan kecepatan 1000 – 1500 G selama 10 menit. Langkah ini diulang sebanyak 2x. Setelah pencucian ketiga, supernatan dibuang sehingga didapatkan suspensi sel darah merah 100%. Suspensi darah tersebut diencerkan secara bertingkat menjadi 50%, 5%, dan 1%. RBC 100% diencerkan menjadi RBC 50% dengan cara mencampurkan 1 bagian RBC 100% dengan 1 bagian NaCl 0.85%. RBC 50% diencerkan menjadi RBC 5% dengan cara mencampurkan 1 bagian RBC 50% dengan 9 bagian NaCl 0.85%. RBC 5% diencerkan menjadi RBC 1% dengan cara mencampurkan 1 bagian RBC 5% dengan 4 bagian NaCl 0.85%. Tahapan membuat RBC 50% dilakukan rumus: Tahapan membuat RBC 5% dilakukan dengan rumus: Tahapan membuat RBC 1% dilakukan dengan rumus: Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan survei ke peternakan ayam dengan menanyakan riwayat ayam yang sakit pada peternak, melakukan pencatatan signalement dan mengamati gejala klinis ayam yang dicurigai sakit. Ayam yang sakit diambil sampel swab pada orofaring dan kloaka sebagai sampel pengujian laboratorium. Sampel swab diambil dengan menggunakan cottonbud steril. Hasil swab kemudian dimasukan ke dalam tabung effendorf yang sebelumnya telah diisi dengan media Brain Heart Infusion (BHI) sebanyak 2 mL selanjutnya dimasukan kedalam coolbox dan kemudian dibawa ke laboratorium. Antibodi standar ND berasal dari laboratorium untuk konfirmasi jenis antigen sampel yang diperiksa. Persiapan Telur Ayam Berembrio (TAB) Virus merupakan mikroorganisme yang bersifat parasit obligat dan hanya bisa hidup pada media yang hidup. Telur ayam berembrio merupakan media isolasi dan propagasi atau pembiakan virus yang paling sering digunakan karena pada telur berembrio dapat ditemukan bermacam-macam tipe sel yang mampu menjadi media tumbuhnya berbagai jenis virus. Keberhasilan isolasi dan propagasi virus pada telur dipengaruhi oleh rute inokulasi, umur embrio, suhu inkubasi, lama waktu inkubasi setelah inokulasi, volume inokulum yang digunakan, dan status kekebalan flok. Dalam membiakkan virus menggunakan telur, sebaiknya digunakan telur yang berasal dari breeding flock yang bebas patogen tertentu (spesific pathogen free). Telur yang digunakan diinkubasi pada suhu 37 – 38°C dan kelembaban relatif 60 – 70%. Sebelum diinokulasi telur diperiksa dengan teropong (candling), pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah telur dalam kondisi normal, sesuai dengan umurnya atau ada kelainan. Kelainan yang dapat terjadi diantaranya tidak adanya kantung udara, infertil, embrio lemah atau mati. Telur yang tidak normal tidak dapat digunakan. Inokulasi virus kedalam telur dapat dilakukan dibeberapa tempat tergantung jenis virusnya. Pada isolasi virus ND akan dilakukan inokulasi pada ruang alantois. Virus ND merupakan virus yang sel targetnya adalah sel epitel mukosa saluran pernafasan dan pencernaan sehingga dipilih ruang alantois sebagai tempat inokulasi karena pada ruang tersebut terdapat banyak sel epitel khorion dan alantois sebagai sel target. Inokulasi virus ke daerah ruang alantois dilakukan pada telur yang berumur 9 – 11 hari karena pada saat itu luas ruang alantois optimal. Persiapan Inokulum Inokulum yang digunakan berupa suspensi virus ND dari sampel yang telah ditambahkan antibiotik dengan dosis 10.000 IU/ml untuk Penicillin dan 10.000 µg/ml untuk Streptomisin. Antibiotik Penisillin dan Streptomisin yang tersedia yaitu 250.000 IU µg/ml. Pembuatan inokulum dengan dosis Pen-Strep 10.000 IU µg/ml, dibutuhkan 1 bagian Penisillin 250.000 IU/ml, 1 bagian Streptomisin 250.000 µg/ml dan 23 bagian suspensi virus. Volume total inokulum yang dibuat dari pengujian ini sebanyak 1,25 ml yang terdiri atas 1,15 ml sampel virus; 0,05 ml Penicillin; dan 0,05 ml Streptomisin. Sedangkan volume inokulum yang akan diinokulasikan sebanyak 0,2 ml untuk setiap TAB. Inokulasi pada TAB TAB yang digunakan sebanyak 18 buah telur. Peneropongan (candling) dilakukan pada telur yang akan digunakan. Batas kantung udara dan letak kepala embrio ditentukan dengan memberi tanda menggunakan pensil. Daerah yang akan digunakan sebagai tempat inokulasi dihapushamakan dengan kapas alcohol 70%. Bagian kulit telur di atas kantung udara dibuat lubang dengan menggunakan bor telur tetapi jangan sampai merusak shell membrane. Inokulum diinokulasikan sebanyak 0,2 ml kedalam ruang alantois melewati batas kantung udara. Tempat penyuntikan ditutup kembali dengan kuteks bening. Telur disimpan di dalam inkubator dengan suhu 37– 38°C dan diamati setiap hari dengan candler sampai hari keempat. Telur yang mati kurang dari 24 jam setelah inokulasi disingkirkan karena kematian biasanya bukan oleh virus tetapi adanya kontaminasi organisme lain. Telur yang mati pada 1 – 4 hari setelah inokulasi disimpan dalam refrigerator, sedangkan telur yang tidak mati diamati sampai hari keempat post inokulasi. Pada hari keempat telur yang masih hidup dimasukkan ke dalam refrigerator selama 24 jam untuk mematikan embrionya. Pada hari ke 5 semua telur dapat diamati dan diisolasi/dipanen virusnya dari cairan alantois untuk dilakukan identifikasi. Panen Hasil Inokulasi Virus Virus dapat dipanen dari ruang alantois karena selama inkubasi virus tumbuh dan berkembang biak di sel epitel ruang alantois dan virus disekresikan kedalam cairan alantois tersebut. Cara pemanenan dilakukan dengan menghapus hamakan telur yang siap dipanen dengan kapas alkohol 70% pada permukaannya. Bagian atas telur yang terdapat kantong udaranya dibuka menggunakan pinset. Cairan alantois diambil menggunakan pipet pasteur dan dimasukkan ke dalam tabung steril yang telah disiapkan. Setelah itu perubahan yang terjadi pada embrio dilihat dan diidentifikasi. Kelainan yang dapat muncul pada embrio akibat infeksi yaitu hiperemi kepala dan badan, pertumbuhan terhambat, curly, atau hancur. Uji Aglutinasi Cepat (Rapid Test) Metode identifikasi virus dapat dilakukan dengan melihat sifat virus terhadap sel dimana virus tersebut ditumbuhkan. Berbagai sifat virus dapat digunakan sebagai identifikasi. Salah satu sifat virus yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi yaitu kemampuan mengaglutinasi sel darah merah. Salah satu virus yang dapat mengaglutinasi sel darah merah yaitu virus ND. Virus dapat mengaglutinasi darah karena virus mempunyai protein haemaglutinin pada permukaan virusnya. Protein ini akan spontan melekat pada permukaan sel darah merah yang merupakan reseptor dari membran eritrosit, sehingga membentuk sebuah jembatan antara dua sel darah merah. Uji aglutinasi cepat digunakan untuk mengetahui apakah virus yang dibiakkan pada telur tumbuh atau tidak. Gelas objek disiapkan dan dibersihkan menggunakan kapas alkohol 70%, kemudian suspensi darah merah 5% diteteskan diatasnya sebanyak 2 tetes. Cairan alantois yang telah dipanen diambil dan diteteskan sebanyak 2 tetes ke suspensi darah merah. Campuran virus dan sel darah merah diaduk menggunakan tusuk gigi, didiamkan sesaat dan diamati terjadinya aglutinasi. Suspensi sel darah merah dan NaCl fisiologis dicampur dengan perbandingan yang sama di atas gelas objek sebagai kontrol negatif. Campuran diaduk dan diamati bentuk larutan yang tidak terjadi aglutinasi kemudian dibandingkan dengan sampel. HA Test Mikrotitrasi Sumur 1 – 12 mikroplate V bottom diisi dengan NaCl 0.85% masing – masing 25 µl. Sumur yang digunakan hanya satu baris. Sebanyak 25 µl suspensi virus dimasukkan kedalam sumur pertama dan dilakukan pencampuran suspensi virus dengan NaCl pada sumur pertama dengan cara mengambil dan mengeluarkan cairan tersebut dengan mikropipet sebanyak 5 kali. Sebanyak 25 µl larutan dari sumur pertama diambil dan dipindahkan ke sumur kedua dan dilakukan pencampuran, selanjutnya 25 µl dipindahkan ke sumur 3, begitu seterusnya sampai sumur ke 11. Sebanyak 25 µl dari sumur ke 11 diambil dan dibuang. NaCl fisiologis ditambahkan ke dalam seluruh sumur masing – masing sebanyak 25 µl. Suspensi sel darah merah 1% ditambahkan ke dalam seluruh sumur masing – masing sebanyak 25 µl. Campuran dihomogenkan dengan menggoyang-goyangkan mikroplate lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit, kemudian dibaca hasilnya. Sumur 12 sebagai kontrol negatif akan mengendap. Tabel 1. Diagram HA test mikrotitrasi Reagen (µl) NaCl fis Antigen (Virus ND) NaCl fis RBC 1% Titer Virus Sumur ke1 2 3 25 25 25 25 25 25 4 25 25 5 25 25 6 25 25 7 25 25 25 25 25 25 1/2 4 25 25 16 25 25 32 25 25 64 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 128 256 512 1024 2048 4098 25 25 8 8 25 25 9 25 25 10 25 25 11 25 25 12 25 25 Haemaglutinasi Inhibisi (HI Test) HI merupakan uji yang dapat digunakan untuk identifikasi virus – virus yang dapat mengaglutinasi darah. HI merupakan uji penghambatan aglutinasi, sehingga pada uji HI tidak terjadi aglutinasi sel darah merah oleh virus karena adanya penghambatan aglutinasi oleh antibodi anti virus yang ada dalam serum. Virus diikat oleh antibodi yang homolog sehingga tidak dapat melekat pada reseptor dari membran sel darah merah, dengan demikian aglutinasi sel darah merah tidak terjadi. Uji HI mempunyai dua fungsi yaitu pertama, sebagai sarana untuk mengidentifikasi jenis antigen tertentu dengan mereaksikannya terhadap antibodi homolog yang diketahui. Kedua, untuk mengetahui jenis antibodi dan titernya, dengan cara mereaksikan serum yang ingin diketahui jenis antibodinya dengan antigen standar yang telah diketahui. Uji HI dapat dilakukan dengan dua metode yaitu metode α dan metode β. Metode α sering digunakan untuk menguji jenis antigen dengan cara mengencerkan secara seri antigen dan antibodi standarnya (antibodi yang telah diketahui jenis dan titernya) dalam jumlah tetap. Metode β digunakan untuk menguji antibodi dan menghitung titernya dan menguji jenis antigen dengan cara mengencerkan antibodi dan virusnya (antigen yang telah diketahui jenis dan titernya) dalam jumlah tetap. Pengujian yang dilakukan adalah uji HI dengan metode β dimana antibodi anti ND diencerkan dan jumlah suspensi virus yang akan diidentifikasi jumlahnya tetap. Antibodi yang digunakan sudah diketahui jenisnya yaitu antibodi anti ND. Apabila uji HA mengalami aglutinasi dan uji HI terjadi hambatan aglutinasi maka sampel virus merupakan virus ND. Prosedur perlakuan uji HI test diawali dengan pengisian NaCl fisiologis pada masing masing sumur 1-12 sebanyak 25 µl menggunakan mikropipet. Sebanyak 25 µl serum ND yang akan diuji dimasukkan kedalam sumur pertama dan dilakukan pencampuran serum dengan NaCl pada sumur pertama dengan cara mengambil dan mengeluarkan cairan tersebut dengan mikropipet sebanyak 5 kali. Sebanyak 25 µl larutan dari sumur pertama diambil dan dipindahkan ke sumur kedua dan dilakukan pencampuran, selanjutnya 25 µl dipindahkan ke sumur 3, begitu seterusnya sampai sumur ke 10. Sebanyak 25 µl dari sumur ke 10 diambil dan dibuang. Sebanyak 25 µl suspensi virus standar 4 HAU ditambahkan masing – masing pada sumur 1 sampai 11. Campuran dihomogenkan dengan menggoyang-goyangkan mikroplate kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Sebanyak 25 µl suspensi RBC 1% dimasukkan masing – masing pada sumur 1 sampai 12. Campuran dihomogenkan dengan menggoyang-goyangkan mikroplate kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 40 menit dan hasilnya dapat dibaca. Sumur 11 sebagai kontrol negatif akan teraglutinasi dan sumur 12 sebagai kontrol positif akan mengendap. Tabel 2. Diagram HI test mikrotitrasi Reagen (µl) Sumur ke1 2 3 4 5 6 7 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 NaCl fis Antibodi anti ND Virus 25 25 25 25 25 25 25 Standar 4 HAU Inkubasi suhu ruang selama 30 menit 25 25 25 25 25 25 25 RBC 1% Inkubasi suhu ruang selama 40 menit Pengenceran 1/2 4 8 16 32 64 128 8 25 25 9 25 25 10 25 25 11 25 25 25 25 25 25 25 25 25 25 12 25 25 25 256 512 1024 2048 4098 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Inokulasi Sampel pada TAB dan Rapid Agglutination Test Tabel 3. Pemeriksaan sampel TAB Kode hewan KA 1-1 KA 1-2 KA 1-3 KA 2-1 KA 2-2 KA 2-3 KA 3-1 KA 3-2 KA 3-3 Sampel dan kode cairan allantois O1 K2 O3 K4 O5 K6 O7 K8 O9 K10 O11 K12 O13 K14 O15 K16 O17 K18 Rapid test sebelum inokulasi Positif Positif Positif Positif Positif Negatif Positif Positif Positif Negatif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Positif Kematian embrio (Hari ke-) 2 4 1 1 2 3 2 4 1 2 1 2 4 1 4 4 2 1 Rapid test pada panenan virus Negatif Positif Positif Positif Negatif Positif Negatif Positif Positif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Positif Positif Keterangan: KA = Kandang ayam, O = Orofaring, K = Kloaka Virulensi virus ND dapat dikategorikan ganas jika menyebabkan kematian embrio dalam 48 jam (2 hari), moderat jika menyebabkan kematian 50% embrio dalam waktu 48 jam, dan kurang virulen jika tidak menyebabkan kematian embrio dalam waktu 48 jam (Wibowo et al. 2012). Penelitian Alexander dan Senne (2008), menyatakan virus ND bentuk velogenik dapat mengakibatkan mortalitas pada embrio ayam selama kurang dari 60 jam. Virus ND bentuk velogenik secara in ovo lebih mudah tumbuh dan bersifat sistemik dibandingkan dengan virus ND bentuk lentogenik. Virus ND bentuk velogenik dapat bereplikasi pada hampir semua sel dan jaringan tubuh. Berdasarkan kemampuan replikasi virus tersebut, virus ND bentuk velogenik dapat mengakibatkan infeksi sistemik yang lebih parah pada ayam dibandingkan dengan infeksi virus ND bentuk lentogenik (Alexander dan Senne 2008). Tabel 4. Hasil Pemeriksaan patologi anatomi pada embrio yang diinokulasi sampel virus Kode Hewan Kode Cairan Alantois Hasil KA 1-1 O1 Hemoragi K2 Kekerdilan KA 1-2 O3 Hemoragi K4 Hemoragi dan kekerdilan KA 1-3 O5 Hemoragi K6 Hemoragi dan kekerdilan KA 2-1 O7 Hemoragi dan kekerdilan K8 Hemoragi KA 2-2 O9 Busuk K10 Hemoragi KA 2-3 O11 Hemoragi K12 Kekerdilan KA 3-1 O13 Kekerdilan K14 Hemoragi KA 3-2 O15 Hemoragi K16 Kekerdilan KA 3-3 O17 Kekerdilan K18 Kekerdilan Gambar 4. Hasil pengamatan patologi anatomi pada embrio Hasil pengamatan patologi anatomi embrio ayam yang mati bervariasi. Perubahan yang terlihat pada embrio ayam yang mati adalah adanya hemoragi pada tubuh embrio dan ukuran embrio yang kerdil. Perubahan ini tidaklah spesifik pada satu virus tertentu. Menurut Wibowo et al. (2006), virus Avian Influenza juga dapat menyebabkan perubahan pada telur ayam berembrio pada umur 9-11 hari berupa kekerdilan, hemoragi di seluruh tubuh, dan kerontokan bulu embrio. Kekerdilan juga dapat terjadi pada embrio ayam yang terinfeksi virus IB dan ILT (Cavanagh dan Gelb 2008; Garcia dan Guy 2008). Menurut Alexander dan Senne (2008), hemoragi pada embrio dapat disebabkan oleh virus ND yang mengakibatkan terjadinya lesi dan ulserasi pada kulit embrio. Lesi yang terjadi berupa kongesti dan radang pada kulit. Kejadian tersebut dikarenakan kulit adalah organ terluar embrio yang pertama kali kontak dengan virus. Uji Aglutinasi cepat (Rapid Test) dilakukan untuk mengetahui keberadaan antigen dengan kemampuan mengaglutinasi sel darah merah (iSIKHNAS 2014). Virus memiliki suatu protein hemaglutinin yang dapat mengaglutinasi sel darah merah (Maftuchah et al. 2014). Uji aglutinasi cepat ini akan menunjukkan hasil positif apabila terbentuknya butiran seperti pasir yang menandakan adanya aglutinasi sel darah merah. Pengamatan pada 18 sampel yang diuji saat sebelum inokulasi dan sesudah pemanenan dari TEB menunjukkan terdapat beberapa sampel positif mengalami menjadi negatif setelah inokulasi pada TEB. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan seperti kesalahan pengujian yang terlalu lama, virus yang tidak tumbuh saat diinokulasikan, atau dapat karena virus yang tidak mampu mengaglutinasi sel darah merah. Gambar 5. Hasil rapid test sampel sebelum inokulasi pada TEB. A) Sampel swab orofaring. B) Sampel swab kloaka. Gambar 6. Hasil rapid test pada kontrol (K) dan sampel positif (+). Pengujian Sampel Virus dengan Uji Hemaglutinasi (HA Test) Tabel 5. Hasil uji HA pada sampel virus Kode Hewan KA 1-1 KA 1-2 Kode Cairan Alantois O1 K2 Gambar Hasil Uji HA (HAU/0.25µl) Negatif 8 O3 8 K4 8 KA 1-3 O5 K6 Negatif 8 KA 2-1 O7 K8 Negatif 16 KA 2-2 O9 2 K10 2 O11 16 KA 2-3 K12 KA 3-1 O13 K14 KA 3-2 O15 Negatif Negatif Negatif 8 K16 O17 Negatif 16 K18 32 KA 3-3 Uji HA dilakukan untuk mengidentifikasi virus yang mengaglutinasi eritrosit dan mengeliminasi diferensial diagnosa ND serta mengetahui titer virus (jumlah virus) dalam suatu suspensi. Suspensi virus yang memiliki titer standar 4 HAU/25µl selanjutnya akan digunakan pada uji Hemaglutinasi Inhibition (HI) (Pagala 2014). Prinsip uji HA didasarkan pada kemampuan hemaglutinasi dari virus ND terhadap sel darah merah unggas (Grimes 2002). ND disebabkan oleh virus family Paramyxoviridae yang mempunyai sifat dapat mengaglutinasi sel darah merah unggas. Proses hemaglutinasi terjadi karena adanya aktivitas hemaglutinin yang terdapat pada amplop virus tersebut dan aktivitas ini berlangsung maksimal selama satu jam. Hal ini dipengaruhi oleh kerja enzim neuramidase yang merusak ikatan pada reseptor eritrosit dengan hemaglutinin dari virus family Paramyxoviridae (Kencana et al. 2012). Hasil Uji HA pada suspensi virus diperoleh hasil positif pada empat sampel orofaring yaitu sampel nomor 3, 9, 11, dan 15, serta enam sampel kloaka yaitu sampel nomor 2, 4, 6, 8, 10, dan 18. Sampel orofaring nomor 3 dan 15 memperlihatkan aglutinasi komplit pengenceran tertinggi pada sumur ke-3 dan titer virus yang diperoleh sebesar 8 HAU/25µl. Sampel orofaring nomor 9 dan 11 masing-masing memperlihatkan aglutinasi komplit pengenceran tertinggi pada sumur pertama dan ke4 dengan titer virus yang diperoleh masing-masing sebesar 2 HAU/25µl dan 16 HAU/25µl. Sampel kloaka nomor 2, 4, dan 6 memperlihatkan aglutinasi komplit pengenceran tertinggi pada sumur ke-3 dan titer virus yang diperoleh sebesar 8 HAU/25µl. Sampel kloaka nomor 8, 10, dan 18 masing-masing memperlihatkan aglutinasi komplit pengenceran tertinggi pada sumur ke-4, ke-1 dan ke-5 dengan titer virus yang diperoleh masing-masing sebesar 16 HAU/25µl, 2 HAU/25µl dan 32 HAU/25µl. Berdasarkan titer virus yang diperoleh, sampel orofaring nomor 9 dan sampel kloaka nomor 10 berada dibawah standar sehingga sampel tersebut tidak bisa digunakan pada uji HI. Pengujian Serum ND dengan Uji HI Metode β Prinsip uji HI yaitu mengukur level antibodi dengan cara dilusi yang dapat mencegah hemaglutinasi eritrosit oleh virus (Mahy dan Hillar 1996). Serum ND didapatkan dari Laboratorium Mikrobiologi FKH IPB. Nilai titer yang didapat dari uji HI amat berkaitan dengan status imunitas dari ayam asal serum. Antibodi pada serum diuji kemampuannya untuk menginhibisi aglutinasi RBC terhadap 4 HAU/25µ virus. Pengenceran tertinggi serum yang dapat menghambat aglutinasi dinyatakan sebagai titer antibodi (OIE 2012). Gambar hasil pengujian disajikan pada Tabel 5. Tabel 6 Hasil uji HI β pada serum ND Kode Hewan KA 1-1 KA 1-2 Kode Cairan Alantois O1 K2 Gambar Hasil Uji HA (HAU/0.25µl) Negatif 16 O3 64 K4 64 KA 1-3 O5 K6 Negatif 128 KA 2-1 O7 K8 Negatif 128 KA 2-2 O9 K10 O11 256 KA 3-2 K12 O13 K14 O15 Negatif Negatif Negatif 32 KA 3-3 K16 O17 Negatif 64 K18 64 KA 2-3 KA 3-1 Tabel 7 Pemeriksaan hasil uji HI β pada serum ND Kode Hewan Kode Cairan Alantois KA 1-1 O1 K2 KA 1-2 O3 K4 KA 1-3 O5 K6 KA 2-1 O7 K8 KA 2-2 O9 K10 KA 2-3 O11 K12 KA 3- O13 1 K14 KA 3-2 O15 K16 KA 3-3 O17 K18 Rapid test Log 10 GMT Antilog GMT CV (%) Negatif Positif Positif Positif Negatif Postitif Negatif Positif Positif Positif Positif Negatif Negatif Uji HA Hasil (HAU) Uji HIβ 8 16 8 64 8 64 8 128 16 128 2 2 16 256 - 1.2 1.8 1.8 2.1 2.1 2.4 - 0.916 8.241 79.90 Negatif Positif Negatif Positif Positif 8 16 32 1.5 1.8 1.8 32 64 64 Keterangan: GMT= Geometric Mean Titre, CV= coefficient variation Hasil uji dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi antigen HA yang digunakan, konsentrasi suspensi eritrosit, waktu antara mencampur serum, antigen, penambahan eritrosit, serta suhu saat pencampuran (Purchase et al. 2008). Selain itu, kontaminasi bahan kimia, enzim bakteri, dan toksin juga dapat memengaruhi hasil pengujian HI (Syukron et al. 2013). Sebanyak 7 sampel memperoleh hasil negatif. Hal ini diduga karena virus yang diuji tidak spesifik berikatan dengan antibodi pada serum, selain itu terdapat kontaminasi bakteri yang timbul ketika proses inokulasi virus. Hasil uji pada 16 sampel berturut-turut adalah negatif, 24, 26, 26, negatif, 27, negatif, 27, 28, negatif, negatif, negatif, 25, negatif, 26, 26. Sampel nomor 9 dan 10 tidak dilakukan uji HI karena tidak memenuhi titer antigen minimal sebanyak 4 HAU/25µl. Dilakukan perhitungan Geometric Mean Titrer (GMT) terhadap semua sampel untuk mengetahui nilai titer antibodi keseluruhan, kemudian diperoleh nilai 0.916, sehingga diperoleh nilai titer antibodi 23. Berdasarkan acuan OIE (2012), titer antibodi pada sampel positif dinyatakan protektif apabila bernilai diatas 24 saat diuji dengan 4 HAU antigen. Hasil pengujian pada serum anti ND menunjukkan titer antibodi tidak protektif, namun terbukti bahwa antigen yang digunakan adalah virus ND karena berikatan spesifik dengan serum anti ND pada 9 sampel positif . Nilai koefisien variasi (CV) titer antibodi diperoleh sebesar 79.9%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa keseragaman titer antibodi kecil. Menurut Frechaut et al. (2015), nilai koefisien vaiasi titer antibodi yang baik berkisar pada 30-50%. Nilai CV yang kecil menunjukkan bahwa vaksinasi berhasil menghasilkan titer antibodi yang seragam. Serum ND yang diuji memiliki titer antibodi yang baik namun memiliki tingkat keseragaman kecil. SIMPULAN Hasil pengujian pada sampel swab orofaring dan kloaka yang berasal dari ayam broiler yang memiliki gejala pernapasan asal Balumbang Jaya Farm milik Pak Haji Soleh menunjukkan bahwa ayam broiler terinfeksi virus Newcastle Disease (ND). SARAN Pelaksanaan evaluasi keberhasilan vaksinasi atau manajemen peternakan dapat diawali dengan melakukan pemeriksaan titer antibodi ND sebelum dilakukan pemeriksaan antigen ND pada ayam broiler di suatu peternakan. DAFTAR PUSTAKA [iSIKHNAS]. 2014. Manual Penyakit Unggas. Jakarta (ID): Subdit Pengamatan Penyakit Hewan, Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. [OIE] Office International des Epizootices. 2012. Manual of Diagnostic Test and Vaccines for Terrestrial Animal [internet]. Tersedia di: http://www.oie.int/standardsetting/terrestrial-manual/access-online/ (diunduh tanggal 23 Juli 2019). [OIE] Office International des Epizootices. 2013. OIE Manual of Standards for Diagnostic Test and Vaccines. 4thed. Paris. Alexander DJ, Senne DA. 2008. Newcastle Disease , Other Avian Paramyxovirus and Pneumovirus Infection. Dalam: Saif YM. 2008. Disease of Poultry. Iowa (US): Blackwell. Alexander DJ, Senne DA. 2008. Newcastle Disease Virus and Other Avian Paramyxoviruses. Omni Press, Inc. Madison, Wisconsin. Beard C, Hanson W. 1984. Newcastle Disease Iowa State University Press. Armes Iowa. USA. Bhaiyat MI, Ochiai K, Itak. Cattoli G, Susta L, Terregino C, Brown C. 2011. Newcastle disease: a review of field recognition and current methods of laboratory detection. J Vet Diagn Invest. 23(4): 637-656. Cavanagh, Gelb. 2008. Infectious Bronchitis. Dalam: Saif YM. 2008. Disease of Poultry. Iowa (US): Blackwell. Charles RT. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Kanisius. Yogyakarta (ID):. Indonesia. Charlton BR. 2006. Avian Disease Manual 6th ed. American Association of Avian Pathologists (AAAP). Athens,Georgia. Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA et al. 1995. Virologi Veteriner. Academic Press Inc. California. Freachaut ERC, Muchanga EF, Taunde P, Nhambirre O. 2015. Vaccination against infectious bursal disease virus (IBDV): in broiler birds in Mozambique. International Journal of Poultry Science. 14(12):644-646. Garcia, Guy. 2008. Laringotracheitis. Dalam: Saif YM. 2008. Disease of Poultry. Iowa (US): Blackwell. Grimes SE. 2002. A basic laboratory manual for the small scale production and testing of 1 – 2 Newcastle Disease Vaccine. FAO Regional Office for Asia and the Pacific. Bangkok (TH): RAP Publication. Kencana GAY, Kardena IM, Mahardika IGNK. 2012. Peneguhan diagnosis penyakit Newcastle Disease lapang pada ayam buras di Bali menggunakan teknik RT-PCR. Jurnal Kedokteran Hewan. 6 (1): 28-31. Kommers GD, King DJ, Seal BS, Carmichael KP, Brown CC. 2002. Pathogenesis of Six Pigeon-Origin Isolates of Newcastle Disease Virus for Domestic Chickens. Veterinary Pathology. 39(3): 353-362. Maftuchah, Winaya A, Zainudin A. 2014. Teknik Dasar Analisis Biologi Molekuler. Yogyakarta: Deepublish. Mahy BWJ dan Hillar OK. 1996. Virologi Methods Manual. London (UK): Academic Press. Miller PJ, Decanini EL, Afonso CL. 2010. Newcastle disease: evolution of genotypes and the related diagnostic challenges. Infect Genet Evol. 10(1): 26-35. Palaga MA. 2014. Identifikasi Sifat Ketahanan Penyakit Viral Menggunakan Gen MX Sebagai Marka Genetik pada Ayam Tolaki [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purchase HG, Lawrence HA, Charles HD, James EP. 2008. A Laboratory Manual for The Isolation and Identification of Avian Pathogens 3rd Edition. Iowa(US): Kendall/Hunt Publishing Company. Syukron MU, Suartha IM, Dharmawan NS. 2013. Serodeteksi penyakit tetelo pada ayam di Timor Leste. Indonesia Medicus Veterinus. 2(3):360-368. Tabbu, C.R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya: Penyakit Bakterial, Mikal, dan Viral. Kanisius. Yogyakarta. Wibowo MH dan Amanu. 2010. Isolasi, identifikasi, sifat fisikdan biologi virus tetelo yang diisolasi dari kasus di lapangan. Jurnal Veteriner. 13(4):425-433. Wibowo MH, Asmara W, Tabbu CR. 2006. Isolasi dan Identifikasi Serologis Virus Avian Influenza dari Sampel Unggas yang Diperoleh di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah . Journal Sains Veteriner. 24(1): 77-83. Wibowo MH, Untari T, Wahyuni AETH. 2012. Isolasi, identifikasi, sifat fisik, dan biologi virus tetelo yang diisolasi dari kasus di lapangan. Jurnal Veteriner. 13(4):425-433. Lampiran 1. Hasil uji rapid test pada hasil panenan virus dari TEB