STUDI KASUS EKOTOKSIKOLOGI (Paper Review) Perbandingan Bioakumulasi Logam Berat melalui Kontak Lingkungan pada Mangrove, Crustacea (P. monodon), dan Bivalvia (Anadara sp.) (Studi Kasus: Paparan Bahan Pencemar Lumpur Lapindo) Kelompok 1 Ranti (13181054) Elistria Anggraini (13191018) Moza Ajeng Azilla (13191036) Rizqi Nugraha Wahyu Permana (13191056) Trixie Avissa Gitari (13191066) PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN JURUSAN ILMU KEBUMIAN DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI KALIMANTAN 2021 Peningkatan volume lumpur lapindo yang belum dapat dikendalikan membuat lumpur tersebut harus di alirakan ke laut melalui sungai, hal ini yang dialirkan ke badan perairan secara terus menerus dapat meningkatkan konsentrasi zat logam berat sehingga terjadi pengakumulasian bahan toksik pada berbagai organisme yang hidup di sekitarnya. Kemudian, paper i ni bertujuan untuk mengetahui perbandingan bioakumulasi logam berat melalui kontak lingkungan pada Mangrove, Crustacea (P. monodon), dan Bivalvia (Anadara sp.). Oleh karena itu, kami memilih paper ini untuk mengetahui mekanisme paparan zat, kinetika zat dalam ekosistem, dan mahkluk hidup, serta respon mahkluk hidup. 1. Mekanisme Paparan Zat Lumpur Lapindo yang berada di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur sejak 29 Mei 2006 akibat adanya kegiatan eksplorasi minyak dan gas, hingga saat ini belum dapat dihentikan. lumpur lapindo dianggap sebagai toksikan bagi lingkungan karena melebihi ambang batas saat di lepas di lingkungan apabila mengacu pada Kep. Menkes. No. 907/2002 mengenai kadar maksimal logam berat di air (Cd sebesar 0,003 ppm, dan Cr sebesar 0,05 ppm). Lumpur Lapindo yang dialirkan ke badan perairan secara terus menerus dapat meningkatkan konsentrasi zat logam berat sehingga terjadi pengakumulasian bahan toksik pada berbagai organisme yang hidup di sekitarnya. Gambar 1.1 Masuknya polutan ke dalam ekosistem akuatik dan respon yang terjadi pada tingkat organisme, populasi, dan komunitas1 Gambar 1.1 memperlihatkan pengaruh masuknya suatu polutan ke dalam badan perairan. Polutan dapat masuk ke air dan sedimen sehingga mempengaruhi rantai makanan. Respon yang timbul akan bermacam-macam, pada tingkat organisme contohnya adalah efek psikologis, patologis, penurunan kondisi lingkungan, pertumbuhan, fekunditas dan ketahanan hidup. 2. Kinetika Zat dalam Ekosistem Pada Lumpur Lapindo terdapat beberapa zat kimia, seperti hidrokarbon, H2S, CO2, CO, Cr (14,377 ppm), dan Cd (0,0271 ppm). Sehingga lumpur lapindo dianggap sebagai toksikan bagi lingkungan karena melebihi ambang batas saat di lepas di lingkungan apabila mengacu pada Kep. Menkes. No. 907/2002 mengenai kadar maksimal logam berat di air (Cd sebesar 0,003 ppm, dan Cr sebesar 0,05 ppm). Tabel 2.1 Kadar Maksimum Logam Berat di Air 1 Puspitasari, R. 2007. Laju Polutan dalam Ekosistem Laut. J. Oseana. XXXII (2) : 21-28. Lumpur lapindo menghasilkan lumpur bersuhu tinggi yang mana dapat menimbulkan sistem geotermal yang berperan dalam mekanisme keluarnya material lumpur panas. Sistem geotermal ini menghasilkan larutan hidrotermal yang umumnya mengandung unsur-unsur logam antara lain Cu, Pb, Zn, Mn, Fe, Cd, As, Sb, Au, Ag, Hg,dan Se. Hasil penelitian uji awal kualitas Lumpur Lapindo yang dilakukan oleh BAPEDAL Provinsi Jawa Timur pada Juli 2007 menyatakan beberapa kandungan logam berat yakni Zn (0,45 ppm), Ni (0,22 ppm), dan Pb (0,23 ppm) . Penyebaran logam berat pada lingkungan atau ekosistem dapat terjadi dengan cara Logam berat yang masuk dalam ekosistem laut akan mengendap ke dasar perairan dan terserap dalam sedimen. Logam berat yang mengendap pada dasar perairan akan membentuk sedimentasi, hal ini menyebabkan biota laut yang mencari makan di dasar perairan seperti udang, kerang dan kepiting akan memiliki peluang yang sangat besar untuk terkontaminasi logam berat tersebut. Jika biota laut yang telah terkontaminasi logam berat tersebut dikonsumsi dalam jangka waktu tertentu dapat menjadi bahan racun yang akan meracuni tubuh makhluk hidup2. Selain itu, konsentrasi logam berat yang tinggi dalam lingkungan dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan meningkatkan daya toksisitas, persistan dan bioakumulasi logam itu sendiri3. Adanya penumpukan terus menerus zat-zat berbahaya pada ekosistem perairan yang ada mengakibatkan terjadinya biokonsentrasi pada perairan dan membuat perairan berada diluar ambang batasnya. 3. Kinetika Zat dalam Makhluk Hidup Lumpur Lapindo terkandung beberapa zat kimia seperti : gas hidrokarbon, gas H2S, gas CO2, dan CO; serta logam seperti Cr (14,377 ppm) dan Cd (0,0271 ppm)4. Lumpur Lapindo yang dialirkan ke badan perairan secara terus menerus dapat meningkatkan konsentrasi zat logam berat sehingga terjadi pengakumulasian bahan toksik pada berbagai organisme yang hidup di sekitarnya. Perairan pada pesisir merupakan perairan yang mempunyai potensi tinggi terhadap adanya akumulasi logam berat karena berbatasan langsung dengan daratan dan merupakan tempat bertemunya perairan dari darat melalui sungai dan perairan laut. Keberadaan perairan pesisir sebagai penampungan terakhir bagi Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta. Lindsey HD, James MM, Hector MG. 2004. An Assessment of Metal Contamination in Mangrove Sediments and Leaves from Punta Mala Bay, Pacific Panama. Marine Pollution Bulletin. 50 : 547-552. 4 Kamariah & Fajriyanto. 2009. Pemanfaatan Lumpur Lapindo sebagai Komposit Ramah Lingkungan Berbasis Fiber Reinforced Concrete (FRC). ,Seminar Nasional Teknik Kimia (SNTKI). ISBN ,978-979-98300-1-2. 2 3 sungai yang bermuara dan membawa limbah, baik yang berasal dari industri maupun rumah tangga akan berdampak pada makhluk hidup. Salah satu jenis vegetasi yang mampu hidup dan berkembang dengan baik di kawasan pesisir adalah mangrove. Mangrove dapat digunakan sebagai bioindikator lingkungan yang tercemar oleh logam berat, terutama untuk jenis Pb, Cd, dan Cu. Mangrove memiliki kemampuan menyerap bahan-bahan organik dan non organik dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel. Secara keseluruhan, akumulasi logam berat pada jaringan tumbuhan mangrove yang terbesar pada jaringan akar karena jaringan akar merupakan bagian tumbuhan yang mengalami kontak langsung dengan sedimen yang tercemar. Selain menyerap logam berat pada sedimen, jaringan akar mangrove juga menyerap zat pencemar lain yang terdapat pada kolom air, mengingat jaringan akar mangrove selalu terendam air pada saat air pasang5. Udang Windu (P. monodon) sebagai salah satu organisme yang terdampak adanya lumpur lapindo, karena air tambak sebagai habitatnya ikut tercemar oleh adanya lumpur. Penyerapan Pb yang terus meningkat dalam tubuh udang windu dimungkinkan oleh beberapa jalur penyerapan antara lain melalui pakan, penyerapan langsung dari air, dan proses difusi melalui karapas yang didukung oleh faktor-faktor internal maupun eksternal udang windu. Pb yang masuk ke dalam sistem metabolisme akan mengalami proses sirkulasi melalui peredaran darah, sehingga menyebar dan akan terkonsentrasi dalam setiap organ sebesar kapasitas kerja dan fungsinya. Konsentrasi Pb yang terus meningkat akan menyebabkan kerusakan dalam jaringan udang windu terutama menghambat fungsi masing-masing organ. Penyerapan logam oleh krustasea menurut Connel & Miller (1995) yakni jika logam larut dalam air melalui permukaan tubuh, misalnya kulit ari, diikuti dengan difusi melalui permukaan, misalnya epitelium insang, atau dilekatkan pada ligan organik dan protein dalam. Salah satu spesies atau makhluk hidup yang tinggal dalam ekosistem mangrove adalah kerang (Anadara sp.), dimana kerang mendapatkan makanannya dengan menyaring makanan yang berupa mikroalga, bahan organik dan partikel lain dari perairan. Logam berat yang terakumulasi oleh kerang pada umumnya berasal dari air, sedimen, padatan tersuspensi dan fitoplankton. Kondisi ini tentunya sangat berpengaruh bagi mikroalga dan kerang. mikroalga jenis diatom mampu mengakumulasi logam berat dalam selnya, demikian juga dengan kerang merupakan bioakumulasi bagi logam berat. Mekanisme masuknya logam 5 Setiawan, H. 2013. Akumulasi dan Distribusi Logam Berat pada Vegetasi Mangrove di Perairan Pesisir Sulawesi Selatan. J. Ilmu Kehutanan. VII (1) : 12-24. berat melewati membran sel melalui empat cara, yaitu difusi pasif melewati membran, filtrasi lewat pori pori membran, dan transpor dengan perantara organ pengangkut dan penyerapan oleh sel6. Apabila akumulasi logam berat semakin meningkat seiring dengan waktu atau peningkatan konsentrasi logam berat ke perairan, maka kerang akan mengalami gangguan dalam melakukan filtrasi makanan sehingga kerang tersebut akan mengalami penurunan dalam pertumbuhan dan bahkan dimungkinkan mengalami kematian. Keadaan ini menyebabkan kondisi lingkungan tidak sesuai dengan peruntukannya sehingga berpengaruh terhadap sumberdaya perairan dan makhluk hidup. 4. Respon Makhluk Hidup Secara keseluruhan, akumulasi logam berat pada jaringan tumbuhan mangrove yang terbesar pada jaringan akar karena jaringan akar merupakan bagian tumbuhan yang mengalami kontak langsung dengan sedimen yang tercemar. Kandungan suatu logam berat di dalam sedimen sangat berpengaruh terhadap kandungan logam berat tersebut di dalam tubuh tumbuhan7. Selain menyerap logam berat pada sedimen, jaringan akar mangrove juga menyerap zat pencemar lain yang terdapat pada kolom air, mengingat jaringan akar mangrove selalu terendam air pada saat air pasang8. Hardiani (2009) menjelaskan, secara umum tumbuhan melakukan penyerapan oleh jaringan akar, baik yang berasal dari sedimen maupun air, kemudian terjadi translokasi ke bagian tumbuhan yang lain dan lokalisasi atau penimbunan logam pada jaringan tertentu. Daun juga merupakan jaringan yang dapat mengakumulasikan logam berat karena terdapat kemungkinan tingkat mobilitas logam berat yang tinggi dan jaringan daun sebagai tempat penimbunan logam berat sebelum dilepas ke lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Chaney et al. (1998), logam berat akan didistribusi ke seluruh jaringan tanaman sampai daun, melalui proses uptake pada akar, ditahan pada jaringan, dan dilepas ke lingkungan melalui pelepasan daun. Setiawan (2013) menjelaskan akumulasi logam ke dalam akar tumbuhan melalui bantuan transpor molekul dalam membran akar, kemudian akan membentuk transpor logam kompleks yang menembus xilem dan terus menuju sel daun. Setelah sampai di daun, logam akan melewati plasmalemma, sitoplasma, dan tonoplasma untuk memasuki vakuola. Di dalam vakuola transpor, molekul kompleks bereaksi dengan akseptor terminal molekul untuk membentuk 6 7 8 Suryono, C.A. 2006. Bioakumulasi Logam Berat melalui Sistem Jaringan Makanan dan Lingkungan pada Kerang Bulu Anadara inflata. J. Ilmu Kelautan. 11 (1) : 19-22. Kusumastuti W. 2009. Evaluasi Lahan Basah Bervegetasi Mangrove dalam Mengurangi Pencemaran lingkungan: Studi Kasus di Desa Kepetingan Kabupaten Sidoarjo. Thesis. Semarang : Universitas Diponegoro. Setiawan, H. 2013. Akumulasi dan Distribusi Logam Berat pada Vegetasi Mangrove di Perairan Pesisir Sulawesi Selatan. J. Ilmu Kehutanan. VII (1) : 12-24. akseptor kompleks logam kemudian transpor molekul dilepas dan akseptor kompleks logam terakumulasi dalam vakuola yang tidak akan berhubungan dengan proses fisiologi sel tumbuhan. Loomis (1978) berpendapat bahwa apabila dosis tunggal suatu zat kimia mengubah fungsi bagian dalam dari seekor hewan kemudian pemberian zat tersebut dihentikan, maka mekanisme biokimia, fungsi, dan struktur apapun yang telah berubah biasanya kembali ke normal dalam waktu tertentu, setelah zat kimia tersebut meninggalkan hewannya secara ekskresi atau detoksifikasi, yaitu dengan mengganti sel-sel yang rusak. Namun jika kerusakan sedemikian besar akibat pemberian secara terus menerus akan menyebabkan penumpukan, sehingga efek toksiknya lebih sensitif. Penyerapan logam oleh krustasea menurut Connel & Miller (1995) yakni jika logam larut dalam air melalui permukaan tubuh, misalnya kulit ari, diikuti dengan difusi melalui permukaan, misalnya epitelium insang, atau dilekatkan pada ligan organik dan protein dalam. Jika logam masuk bersama makanan maka pada krustase yang lebih besar, misalnya udang karang, penyerapan dari perut atau sistem pencernaan muncul lebih penting. Penyerapan dari larutan tampak paling penting bagi udang dan isopoda-isopoda laut. Namun kandungan logam sedimen juga sangat berpengaruh terhadap bioakumulasi logam, karena krustasea selalu bergerak di dasar perairan (Masak et al. 2002). Hutagalung dan Razak (1981) juga menginformasikan bahwa semakin tinggi konsentrasi logam berat maka semakin tinggi pula penyerapan dan pengikatan logam berat tersebut oleh kerang dalam jaringan tubuh seperti insang, mantel, gonad, usus, dan lambung. Dengan demikian penurunan filtrasi kerang bulu yang terpaparkan logam berat diduga disebabkan oleh adanya gangguan aktivitas kerja sistem organ tersebut. Kerang mempunyai kemampuan mengakumulasikan logam berat dalam tubuhnya, maka kandungan logam berat dalam tubuh kerang akan meningkat terus bersamaan dengan lamanya kerang tersebut tinggal dalam perairan yang mengandung logam berat, bahkan kandungan logam berat dalam tubuh kerang dapat lebih tinggi dibandingkan dengan dengan kandungan di lingkungannya9. Simkiss dan Mason (1983) dalam Suryono (2006) menyebutkan bahwa Bivalvia mempunyai kemampuan untuk mendetoksifikasi logam berat dengan sintesis metallothionein. Sepanjang akumulasi logam berat tersebut bersesuaian dengan sintesis metallothionein maka kerang dapat terus bertahan hidup. Ketika akumulasi logam berat dalam tubuh kerang meningkat sintesis metallothionein mungkin akan mencapai tingkat maksimum. Hal inilah yang diduga 9 Hutagalung, H. P & Razak, H. 1981. Kandungan Logam Berat dalam Beberapa Perairan Laut Indonesia, dalam Kondisi Lingkungan Pesisir dan Laut Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oseanologi LIPI. sebagai sebab tetap bertahan hidupnya kerang pada media yang tercemar logam berat. Hutagalung (1991) menyatakan logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen sehingga kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air. Penjelasan tersebut didukung oleh Harahap (1991) yang menyatakan bahwa logam berat memiliki sifat yang mudah mengikat dan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa seiring dengan berjalannya waktu maka logam Pb dan Zn ini juga akan terakumulasi di dalam tubuh biota (kerang) yang hidup dan mencari makan di dalamnya. Kesimpulannya adalah lumpur lapindo dialirkan ke badan perairan secara terus menerus sehingga lumpur lapindo dianggap toksik bagi lingkungan dan organisme karena melebihi ambang batas saat di lepas di lingkungan apabila mengacu pada Kep. Menkes. No. 907/2002. Mangrove melakukan penyerapan logam berat oleh jaringan akar kemudian terjadi translokasi ke bagian lainnya. Penyerapan logam berat yang terus meningkat dalam tubuh Crustacea (P. monodon) oleh beberapa jalur penyerapan antara lain melalui pakan, penyerapan langsung dari air, dan proses difusi melalui karapas yang didukung oleh faktor internal maupun eksternal udang windu. Logam berat masuk ke dalam tubuh Bivalvia (Anadara sp.) melalui rantai makanan, insang, dan difusi oleh permukaan kulit. Ketiga organisme tersebut dapat bertahan hidup karena dapat mengakumulasi logam berat di dalam jaringan/tubuhnya.