Obat Gangguan Saluran Cerna (Tifus) KELOMPOK 4 KELAS C Subajuroma 2020001180 Syifa Maulidia Putri 2020001181 Tiara Alodia Griselda Fatharani 2020001182 Titis Lusiana 2020001183 Trisetyawati Aritonang 2020001184 LATAR BELAKANG Penyakit demam tifoid atau yang dikenal dengan penyakit tifus merupakan salah satu masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat. Demam tifoid merupakan salah satu penyakit endemik di Indonesia yang termasuk dalam penyakit menular yang tercantum dalam Undang- undang No 6 tahun 1962 tentang wabah. Secara global diperkirakan setiap tahunnya terjadi sekitar 21 juta kasus dan 222.000 menyebabkan kematian. Prevalensi demam tifoid di Indonesia sebesar 1,60%, tertinggi terjadi pada kelompok usia 5–14 tahun, karena pada usia tersebut anak kurang memperhatikan kebersihan diri serta kebiasaan jajan sembarangan yang dapat menyebabkan penularan penyakit demam tifoid. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimana pengobatan tifoid menurut Tatalaksana tifoid ? 2. Apa saja obat-obat tifoid yang tersedia di Indonesia? TUJUAN 1. Mengetahui tatalaksana pengobatan tifoid di Indonesia 2. Mengetahui profil obat tifoid di Indonesia Pada dasarnya demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang mengenai saluran pencernaan dengan gejala seperti demam lebih dari tujuh hari, gangguan pada saluran cerna, dan beberapa kasus yang tergolong berat menyebabkan adanya gangguan kesadaran. Terapi utama pada demam tifoid yaitu dengan penggunaan obat antibiotika, karena pada dasarnya infeksi dari S. typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia. Antibiotik yang dipakai antara lain Ciprofloxacin, Cefixime, Amoksisilin, Kloramfenikol, Tiamfenikol, Azitromisin, Ceftriaxone. PATOFISIOLOGI Penyebab demam tifoid adalah bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi. Bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri basil gram negatif anaerob fakultatif. Bakteri Salmonella akan masuk kedalam tubuh melalui oral bersama dengan makanan atau minuman yang terkontaminasi. Sebagian bakteri akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung. Sebagian bakteri Salmonella yang lolos akan segera menuju ke usus halus tepatnya di ileum dan jejenum untuk berkembang biak. GEJALA Gejala klinis demam tifoid yang pasti dijumpai adalah demam. Gejala demam meningkat perlahan ketika menjelang sore hingga malam hari dan akan turun ketika siang hari. Demam akan semakin tinggi (39 – 40 derajat Celsius) dan menetap pada minggu kedua. Masa inkubasi demam tifoid sekitar 7 sampai 14 hari (dengan rentang 3 sampai 60 hari). Gejala demam tifoid umumnya tidak spesifik, diantaranya adalah demam, sakit kepala, anoreksia, myalgia, athralgia, nausea, nyeri perut dan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan demam tinggi, bradikardi relatif, lidah kotor, hepatomegali, nyeri tekan abdomen, splenomegali atau rose spot. Rose spot merupakan kumpulan lesi makulopapular eritematus dengan diameter 2 sampai 4 mm yang sering ditemukan pada perut dan dada. PEMERIKSAAN LABORATORIUM Pemeriksaan darah tepi Pemeriksaan serologi widal Uji typhidot Pemeriksaan kultur TERAPI DEMAM TIFOID • • • Tirah baring Terapi Diet Lunak Rendah Serat Non Farmakologis Menjaga Kebersihan Terapi Farmakologis • Ciprofloxacin • Cefixime • Amoksisilin • Kloramfenikol • Tiamfenikol • Azitromisin • Ceftriaxone 1. CIPROFLOXACIN Indikasi: Infeksi bakteri gram positif dan gram negatif. Profilaksis pada bedah saluran cerna bagian atas. Kontraindikasi: Penderita yang hipersensitif terhadap siprofloksasin atau antibiotik derivat kuinolon lainnya. Wanita hamil dan menyusui. Anak-anak di bawah usia 18 tahun. Peringatan: Hindari alkalinisasi urin berlebihan dan pastikan minum yang cukup (risiko kristaluria); hati-hati pada pengendara kendaraan bermotor, karena dapat menurunkan kewaspadaan, efeknya meningkat dengan adanya alkohol Efek Samping: Flatulen, disfagia, pankreatitis, takikardia, hipotensi, udem, kemerahan, berkeringat, gangguan dalam bergerak. Sediaan Edar: Ciflos, cifloxan, Baquinor, Starquin, Meflosin dsb 2. CEFIXIME Indikasi: Infeksi saluran kemih ringan (uncomplicated) yang disebabkan oleh Escherichia coli dan Proteus mirabilis, otitis media disebabkan oleh Haemophilus influenza (strain betalaktamase positif dan negatif), Moraxella (Branhamella), catarrhalis (kebanyakan merupakan strain beta-laktamase positif), dan Sterptococcus pyogenes; pharingitis dan tonsilitis yang disebabkan Streptococcus pyogenes; bronkitis akut dan bronkitis kronik dari eksaserbasi akut, yang disebabkan oleh Streptococcus pneuoniae dan Hemophilus influenzae (strain betalaktamase positif dan negatif); pengobatan demam tifoid pada anak-anak dengan multi resisten terhadap regimen standar. Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap sefalosporin. Peringatan: Sensitivitas terhadap antibakteri beta-laktam (hindari jika ada riwayat hipersensitivitas), gangguan ginjal, kehamilan dan menyusui (tetapi boleh digunakan), positif palsu untuk glukosa urin (jika diuji untuk penurunan glukosa), positif palsu pada uji Coombs. Efek Samping: Konstipasi Sediaan Edar: Anfix, Cefspan,Taxime, Fixam, Cefacef 100, Lanfix dsb 3. AMOKSISILIN Indikasi: Infeksi saluran kemih, otitis media, sinusitis, infeksi pada mulut (lihat keterangan di atas), bronkitis, uncomplicated community- acquired pneumonia, infeksi Haemophillus influenza, salmonellosis invasif; listerial meningitis, untuk profilaksis endokarditis; terapi tambahan pada listerial meningitis, eradikasi Helicobacter pylori. Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap penisilin. Peringatan: Mempertahankan hidrasi yang tepat pada pemberian dosis tinggi (terutama selama terapi parenteral). Efek Samping: Mual, muntah, diare; ruam (hentikan penggunaan), jarang terjadi kolitis karena antibiotic. Sediaan Edar: Amoxsan, Opimox, Ospamox dsb. 4. KLORAMFENIKOL Indikasi: Kloramfenikol juga digunakan pada fibrosis sistik untuk mengatasi infeksi pernafasan karena Burkholderia cepacia yang resisten terhadap antibiotik lain. Kontraindikasi: Wanita hamil, menyusui dan pasien porfiria. Peringatan: Hindari pemberian berulang dan jangka panjang. Turunkan dosis pada gangguan fungsi hati dan ginjal. Lakukan hitung jenis sel darah sebelum dan secara berkala selama pengobatan. Pada neonatus dapat menimbulkan grey baby syndrome. Efek Samping: Kelainan darah yang reversibel dan ireversibel seperti anemia aplastik (dapat berlanjut menjadi leukemia), neuritis perifer, neuritis optik, eritema multiforme, mual, muntah, diare, stomatitis, glositis, hemoglobinuria nokturnal. Sediaan Edar: Kalmicetine, colme,chloracol, chloramex. 5. TIAMFENIKOL Indikasi: infeksi yang disebabkan oleh Salmonella sp., Hemophilus influenzae (terutama infeksi meningeal), Rickettsia, lyphogranuloma-psittacosis, dan bakteri Gram negatif penyebab bakterimia meningitis; tidak digunakan untuk hepatobilier dan gonore. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap tiamfenikol; gangguan fungsi hati dan ginjal yang berat; tindakan pencegahan infeksi bakteri dan pengobatan infeksi trivial, infeksi tenggorokan dan influenza. Peringatan: Hanya digunakan untuk infeksi yang sudah jelas penyebabnya; pemakaian dalam waktu lama perlu dilakukan pemeriksaan hematologik secara berkala; sesuaikan dosis pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal, hentikan penggunaan apabila timbul retikulositopenia, leukopenia, trombositopenia atau anemia; lama pemakaian sebaiknya tidak melebihi batas waktu yang ditentukan; kehamilan dan menyusui (dapat menembus plasenta dan diekskresikan melalui ASI); hati-hati pada bayi baru lahir (2 minggu pertama) dan bayi prematur (untuk menghindari timbulnya sindrom Grey); penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya mikroorganisme yang tidak sensitif termasuk fungi dan bakteri. Efek Samping: Diskrasia darah (anemia aplastik, anemia hipoplastik, trombositopenia dan granulositopenia), gangguan saluran pencernaan (mual, muntah, glositis, stomatitis dan diare), reaksi hipersensitif (demam, ruam angioedema, dan urtikaria), sakit kepala, depresi mental, neuritis optik dan sindrom grey. Sediaan Edar: Anicol, Biothicol, Dionicol dsb 6. AZITROMISIN Indikasi: Infeksi-infeksi yang disebabkan oleh organisme yang peka, infeksi saluran nafas atas (tonsillitis, pharingitis), infeksi saluran nafas bawah (bronchitis, pneumonia), infeksi kulit & jaringan lunak, penyakit hubungan seksual (Sexually Transmitted Disease), urethritis, cervicitis yang berkaitan dengan Chlamydia trachomatis, Ureaplasmaurealyticum dan Neisseria gonorrhoea. Kontraindikasi: Gangguan fungsi hati. Peringatan: Kehamilan, menyusui. Efek Samping: Anoreksia, dyspepsia, flatulens, konstipasi, pankreatitis, hepatitis, syncope, pusing, sakit kepala, mengantuk, agitasi, ansietas, hiperaktivitas, asthenia, paraesthesia, konvulsi, neutropenia ringan, trombositopenia, interstisial nephritis, gagal ginjal akut, arthralgia, fotosensitivitas. Sediaan Edar: Azomax, Zistic,Azydoz, Binozyt, Mezatrin. 7. CEFTRIAXONE Indikasi: Infeksi bakteri gram positif dan gram negatif. Kontraindikasi:Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin. Kontraindikasi untuk bayi di bawah 6 bulan. Peringatan: Pada gangguan fungsi hati yang disertai gangguan fungsi ginjal dapat terjadi penggeseran bilirubin dari ikatan plasma. Seftriakson kalsium dapat menimbulkan presipitasi di ginjal atau empedu. Efek Samping: Diare dan kolitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduany a karena penggunaan dosis tinggi), mual dan muntah, rasa tidak enak pada saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi berupa ruam, pruritus, urtikaria, serum sickness-like reactions dengan ruam, anafilaksis, sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksis, gangguan fungsi hati, hepatitis transien dan kolestatik jaundice. Sediaan Edar: Cefaxon, bioxon, lancef, socef. KESIMPULAN Kajian terapi farmakologis diperlukan dalam pemilihan jenis obat yang akan sangat menentukan kualitas penggunaan obat dalam pemilihan terapi dan kajian non farmakologis diperlukan untuk mendukung keberhasilan terapi. Manajemen terapi yang benar dan tepat mencakup terapi farmakologis maupun non farmakologisnya. Pada terapi farmakologis dapat diberikan terapi antibiotik yang menjadi pilihan utama yaitu kloramfenikol dan terapi kortikosteroid seperti halnya Dexametasone jika terjadinya perubahan kesadaran atau pendarahan usus. Namun, perlu diperhatikan dalam penggunaan antibiotik maupun kortikosteroid dalam pengobatan demam tifoid. Penggunaan secara sembarangan menyebabkan peningkatan kejadian demam tifoid yang resistensi terhadap antibiotik maupun timbulnya efek samping terhadap antibiotik maupun kortikosteroid yang justru memperburuk kondisi penderita demam tifoid. Penggantian terapi dapat dilakukan jika mengalami kegagalan terapi akibat resistensi obat. Namun harus dilakukan dengan tepat. Selain itu terapi non farmakologis seperti halnya tirah baring, diet lunak rendah serat serta menjaga kebersihan akan mendukung tercapainya keberhasilan terapi demam tifoid. SARAN 1. Dilakukan pola hidup sehat dan bersih 2. Kepatuhan minum antibiotic 3. Asupan bergizi kaya akan nutrisi DAFTAR PUSTAKA 1. KEMENKES RI. 2006. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta. KEMENKES 2. Nelwan, R. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Continuing Medical Education: 2012 ;39(4): 247-250. 3. Rahmasari V, Lestari K. REVIEW: MANAJEMEN TERAPI DEMAM TIFOID: KAJIAN TERAPI FARMAKOLOGIS DAN NON FARMAKOLOGIS. Farmaka 16 (1) : 2018. Jawa Barat. 4. Widiastuti, R. “Pola Penggunaan Antibiotika pada Pasien Dewasa di Instalasi Rawat Inap di RSUP Dr Soeradji Tirtonegoro Klaten Periode JanuariDesember 2010”. Surakarta. Universitas Sebelas Maret : 2011 5. Sur, D., Ali, M., Seidlein, L., Von, Manna, B., Deen, J. L., Acosta, C. J., Bhattacharya, S. K. 2007. Comparisons of Predictors for Typhoid and Paratyphoid Fever in Kolkata, India. BMC Public Health, 7(289): 1–10 THANKS !