Uploaded by noficandra99

jtptunimus-gdl-kikiyulian-5167-3-babii-converted

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Demam Berdarah Dengue (DBD)
1. Definisi DBD
Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
Indonesia yang semakin luas penyebarannya. Penyakit Demam Berdarah
Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue
dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (Suroso, 1999).
Menurut Soegijanto (2006), Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit
yang disebabkan oleh virus dengue I, II, III, dan IV, yang ditularkan oleh
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Masa inkubasi penyakit DBD, yaitu periode sejak virus dengue
menginfeksi manusia hingga menimbulkan gejala klinis, antara 3-14 hari,
rata-rata 4-7 hari. Penyakit DBD tidak ditularkan langsung dari orang ke
orang. Penderita menjadi infektif bagi nyamuk pada saat viremia, yaitu
beberapa saat menjelang timbulnya demam hingga saat masa demam berakhir,
biasanya berlangsung selama 3-4 hari (Ginanjar, 2008).
DBD adalah penyakit demam virus akut yang ditularkan oleh nyamuk
Aedes aegypti disebabkan oleh virus DEN I, II, III, dan IV, yang dapat
menimbulkan gejala klinis seperti demam tinggi, timbul bintik-bintik merah
pada kulit, perdarahan pada hidung dan gusi, lemah dan lesu, kadang-kadang
9
disertai dengan syok karena tekanan darah menurun menjadi 20mmHg atau
kurang.
2. Penyebab DBD
Nyamuk demam berdarah biasanya akan terinfeksi virus dengue saat
menghisap darah dari penderita yang berada dalam fase demam akut. Bila
penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut
terhisap masuk ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan
memperbanyak diri dan tersebar di berbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk
di dalam kelenjar liurnya. Setelah masa inkubasi ekstrinsik selama 8-10 hari,
kelenjar air liur nyamuk menjadi terinfeksi dan virus disebarkan ketika
nyamuk yang terinfeksi menggigit dan menginjeksikan air liur ke luka gigitan
pada orang lain. Setelah masa inkubasi pada tubuh manusia selama 3-4 hari
(rata-rata 4-6 hari), sering kali terjadi awitan mendadak penyakit ini yang
ditandai dengan demam, sakit kepala, hilang nafsu makan, dan berbagai tanda
serta gejala non spesifik lain termasuk mual, muntah dan ruam kulit (WHO
dikutip oleh Widyastuti, 2004).
3. Perantara DBD
Menurut Kristina dan Wulandari (2004), penularan DBD terjadi dari
gigitan nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus betina yang sebelumnya
membawa virus dalam tubuhnya dari penderita demam berdarah lainnya.
10
Nyamuk Aedes aegypti hidup di sekitar rumah dan sering menggigit manusia
pada waktu pagi dan siang hari.
Populasi nyamuk Aedes aegypti biasanya meningkat pada waktu musim
penghujan, karena sarang-sarang nyamuk akan terisi air hujan. Peningkatan
populasi ini akan berarti meningkat kemungkinan bahaya penyakit DBD di
daerah endemis. Daerah endemis adalah daerah yang rawan bersarang
nyamuk karena penyebaran nyamuk di daerah endemis kemungkinan akan
semakin meningkat (Depkes RI, 1992).
Nyamuk Aedes aegpty betina dewasa memiliki tubuh berwarna hitam
kecoklatan. Ukuran tubuh nyamuk Aedes aegypti betina antara 3-4 cm,
dengan mengabaikan panjang kakinya. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik
dengan garis-garis putih keperakan. Di bagian punggung (dorsal) tubuhnya
tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi
ciri nyamuk spesies ini (Ginanjar, 2008).
Sisik-sisik pada tubuh nyamuk pada umumnya mudah rontok atau
terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamik tua. Ukuran
dan warna nyamuk jenis ini sering berbeda antar populasi, bergantung pada
kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan
(Ginanjar, 2008). Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan nyata
dalam hal ukuran. Biasanya, nyamuk jantan memiliki tubuh lebih kecil
daripada betina, dan terdapat rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan
(Ginanjar, 2008).
11
Tempat perkembangan nyamuk Aedes aegypti adalah penampungan air
di dalam atau disekitar rumah atau tempat-tempat umum, biasanya
tidakmelebihi jarak 500 meter dari rumah. Tempat perkembangbiakan
nyamuk berupa genangan air yang tertampung di suatu tempat atau bejana.
Nyamuk ini tidak berkembangbiak di genangan air yang lansung berhubungan
dengan tanah (Departemen Kesehatan RI, 1995).
Jenis tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti menurut
Departemen Kesehatan RI (1995) dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari, seperti bak mandi,
drum, tempayan, ember, gentong, dan lain-lain.
b. Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari, seperti
tempat minum burung, vas bunga, kaleng, botol, ban bekas, dan plastik
bekas.
c. Tempat penampungan alamiah, seperti lubang pohon, lubang batu,
pelepah daun, tempurung kelapa, dan pohon bambu.
4. Tanda dan Gejala DBD
Tanda dan gejala pada penyakit demam berdarah diawali dengan
mendadak panas meningkat selama 2-7 hari, tampak lemah dan lesu, suhu
badan antara 38º C – 40º C, terjadi penularan pada hidung dan gusi, rasa sakit
pada otot dan persendian, timbul bintik-bintik merah pada kulit akibat
pecahnya pembuluh darah, kadang-kadang disertai dengan syok karena
12
tekanan darah menurun menjadi 20mmHg atau kurang. Tekanan sistolik
sampai 80mmHg atau lebih rendah, manifestasi perdarahan, dengan bentuk uji
tourniquet positif puspura perdarahan, konjungtiva, epitaksis, dan melena, dan
gejala klinik lainnya yang dapat menyertai: anoreksia, lemah, mual, muntah,
sakit perut, diare, kejang, dan sakit kepala (Ngastiyah, 1997).
Menurut Effendy (1995), derajat berat penyakit DBD secara klinis
dibagi menjadi 4 derajat yaitu Derajat I ditandai dengan demam disertai gejala
klinis lain tanpa perdarahan spontan, Derajat II ditandai dengan derajat I dan
disertai perdarahan spontan pada kulit atau di tempat lain, Derajat III,
ditemukan kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah
rendah (hipotensi), gelisah, sianosis sekitar mulut, hidung, dan ujung jari
(tanda-tanda dini renjatan), dan Derajat IV, ditandai dengan renjatan berat
(DSS) dengan nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur.
5. Penularan DBD
a. Mekanisme penularan
Seseorang yang di dalam darahnya mengandung virus dengue
merupakan sumber penyakit menular DBD. Virus dengue berada dalam
darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam sampai 3-5 hari
setelah mulai demam. Apabila penderita tersebut digigit nyamuk penular,
maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk kedalam lambung
nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar
13
diberbagai jaringan tubuh nyamuk termasuk di dalam kelenjar liurnya.
Kira-kira 1 minggu setelah menghisap darah penderita, nyamuk tersebut
siap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini akan tetap berada
dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Dalam darah manusia virus
dengue akan mati dengan sendirinya dalam waktu ± 1 minggu
(Departemen Kesehatan RI, 1995).
b.
Pusat penularan DBD
Penularan DBD kepada manusia menurut Departemen Kesehatan RI
(1995) antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:
1) Kepadatan vektor akan memberi peluang yang lebih besar bagi
nyamuk untuk menggigit.
2) Kepadatan penduduk yang lebih padat, lebih mudah untuk terjadi
penularan DBD karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50 meter.
3) Mobilitas penduduk memudahakan penularan dari suatu tempat ke
tempat yang lain.
4) Jarak antar rumah, pencahayaan (terang atau gelap) dan bahan
bangunan akan mempengaruhi terjadinya penularan.
5) Tingkat
penduduk
akan
mempengaruhi
cara
berpikir
dalam
penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan.
6) Sikap hidup dan kebiasaan masyarakat apabila rajin dan senang akan
kebersihan serta tanggap dalam masalah kesehatan maka akan
mengurangi resiko tertular suatu penyakit.
14
Menurut Departemen Kesehatan RI (1992) sebagaimana dikutip oleh
Ambar (1997), tempat-tempat yang potensial untuk terjadi penularan
DBD, antara lain:
1) Wilayah yang banyak kasus DBD (rawan).
2) Tempat-tempat umum merupakan tempat berkumpul orang-orang
yang dating dari berbagai wilayah sehingga kemungkinan terjadinya
pertukaran beberapa tipe virus dengue cukup besar. Tempat-tempat itu
antara lain: sekolah; rumah sakit atau puskesmas dan sarana pelayanan
kesehatan lainnya; tempat-tempat umum lainya seperti pertokoan
pasar, restoran, terminal, bus, tempat ibadah, dan lain-lain.
3) Pemukiman baru dipinggir kota yang karena di lokasi ini penduduk
umumnya
berasal
dari
berbagai
wilayah
kota
kemungkinan
diantaranya terdapat penderita atau “carier” yang membawa tipe virus
dengue yang berlainan dari masing-masing daerah asalnya.
6. Pemberantasan dan pencegahan penyakit DBD
Menurut Departemen Kesehatan RI (1992), seperti penyakit menular
lain, cara pemberantasan penyakit DBD dengan memutuskan mata rantai
penularan, yaitu dengan mengisolasi penderita agar tidak digigit nyamuk
Aedes aegypti, melenyapkan virus dengan obat anti virus (belum ada obat
khusus anti virus, hanya dengan mempertinggi atau memperbaiki kondisi dan
daya tahan) tubuh, melakukan tindakan imunisasi (belum diketemukan
15
vaksin), mencegah dari gigitan nyamuk sehingga orang sehat tidak tertular,
dan pemberantasan vektor nyamuk Aedes aegypti (dewasa).
Pencegahan penyakit DBD sangat tergantung pada pengendalian vektor,
yaitu nyamuk Aedes aegypti. Pengendalian nyamuk tersebut dapat dilakukan
dengan menggunakan beberapa metode yang tepat menurut Departemen
Kesehatan RI (1992) yaitu:
a. Lingkungan
Metode mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan
pemberantasan sarang nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat,
modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk dari hasil samping kegiatan
manusia, dan perbaikan desain rumah, sebagai contoh:
1) Menguras bak mandi atau penampungan air seminggu sekali.
2) Mengganti air dalam vas bunga dan minum burung sekurangkurangnya seminggu sekali.
3) Menutup dengan rapat tempat penampungan air.
4) Mengubur sampah-sampah, plastic-plastik, kaleng-kaleng bekas, aki
bekas, ban bekas di sekitar rumah, dan sebagainya.
b. Biologi
Pengendalian biologis antara lain dengan menggunakan ikan
pemakan jentik (ikan adu atau ikan cupang) pada tempat penampungan air
yang tidak mungkin dikuras.
16
c. Kimiawi
Cara pengendalian ini antara lain:
1) Pengasapan atau fogging (dengan menggunakan malathion dan
fenthoin), dosis yang dipakai adalah 1 liter malathion 95% EC + 3 liter
solar, pengasapan dilakukan pada pagi antara jam 07.00-10.00 dan
sore antara jam 15.00-17.00 secara serempak. Bias dilakukan
pengasapan ulang setelah 1 minggu untuk mengurangi kemungkinan
penularan sampai batas waktu tertentu, sehingga perlu dilanjutkan
langkah-langkah atau kegiatan PSN secara teratur.
2) Memberikan bubuk abate (temephose) dengan cara menaburkan pada
tempat penampungan air yang diulang 2-3 bulan sekali dengan takaran
1 gram abate untuk 1 liter air (1 sendok makan berisi 10 gram untuk
100 liter air) pada tempat-tempat penampungan air seperti gentong air,
vas bunga, kolam, dan lain-lain.
Untuk membasmi nyamuk Aedes aegypti, peranan masyarakat sangat
diperlukan dalam pelaksanaan pembersihan sarang nyamuk. Untuk itu
diperlukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara terus
menerus dalam jangka waktu lama, karena keberadaan jentik nyamuk tersebut
berkaitan erat dengan perilaku masyarakat (Departemen Kesehatan RI, 1992).
Partisipasi masyarakat dapat diwujudkan dengan melaksanakan gerakan
kebersihan dan kesehatan lingkungan secara serentak dan gotong royong,
semakin besar komitmen pemerintah dan partisipasi masyarakat, maka
17
semakin besar pula keberhasilan program pemberantasan DBD (Departemen
Kesehatan RI, 1992).
Gerakan kebersihan dan kesehatan lingkungan tersebut meliputi
kebersihan rumah dan lingkungannya agar tidak terdapat sampah yang
menjadi sarang tikus, kecoak, cacing, lalat, dan nyamuk penular penyakit,
perbaikan dan pemeliharaan saluran air limbah, sehinga tidak terjadi genangan
di halaman rumah dan sekitarnya, pembuatan, perbaikan, penggunaan, dan
pemeliharaan jamban keluarga, dan penempatan kandang di luar rumah dan
pemeliharaan kebersihannya, pembuatan dan pemeliharaan sarana persediaan
air bersih (Departemen Kesehatan RI, 1992).
B. Pencegahan DBD melalui Survei Jentik Nyamuk
Berbagai
pemerintah
upaya penanggulangan penyakit
untuk
mengatasi
penyebaran
DBD telah dilakukan
penyakit
DBD
ini.
Namun,
penanggulangan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi
masyarakat juga mempunyai kewajiban untuk mengatasi kasus ini. Selama ini
masyarakat selalu dihimbau untuk melakukan pemberantasan sarang nyamuk
melalui gerakan 3M, tetapi meskipun masyarakat mengetahui gerakan 3M
(menguras, mengubur, dan menutup), namun kepedulian masyarakat terhadap
gerakan 3M masih minim (Achyani, 2006).
Masyarakat selalu bergantung pada fogging, karena masyarakat berpikir
fogging adalah cara paling efektif dalam penanganan masalah DBD dan hasilnya
18
lebih cepat. Dalam hal ini, perilaku hidup masyarakat harus diperbaiki jangan
bergantung pada fogging, karena fogging tidak efektif untuk memberantas DBD
justru hanya membuat nyamuk menjadi kebal terhadap pestisida. Salah satu cara
yang paling efektif adalah melalui kegiatan survey jentik nyamuk. Kegiatan ini
dilakukan oleh masyarakat untuk mencegah penyakit DBD agar lingkungan
menjadi bebas jentik-jentik nyamuk DBD yang dilakukan dengan pemeriksaan
tempat-tempat yang dicurigai sebagai perindukan nyamuk DBD. Dengan adanya
program survey jentik nyamuk ini diharapkan timbul suatu kesadaran dan
pemahaman masyarakat terhadap pencegahan DBD sehingga berdampak pada
angka bebas jentik nyamuk.
Pemberantasan sarang jentik nyamuk merupakan tindakan yang paling
penting dalam mengurangi jumlah populasi nyamuk Aedes aegypti sebagai vector
penular. Salah satu antipasti mewabahnya DBD adalah dengan memantau
keberadaan jentik nyamuk di lingkungan sekitar rumah (Zulfahmi, 2006). Ciri-ciri
jentik nyamuk yaitu panjang jentik 0,5 sampai 1 cm; bergerak aktif di dalam air
dari bawah ke atas untuk bernafas, istirahat posisi hampir tegak lurus dengan
permukaan air biasanya disekitar dinding penampungan air; setelah 6-8 hari
menjadi kepompong. Survey jentik nyamuk ini bertujuan untuk pemetaan jentik
nyamuk, mengetahui keberadaan nyamuk Aedes aegypti sekaligus mengetahui
faktor risiko DBD.
Pelaksanaan survey jentik nyamuk ini dilakukan oleh kader kesehatan
yang ada di seluruh kelurahan dengan di koordinasikan oleh puskesmas di
19
wilayah masing-masing (DKK Semarang, 2008). Kader kesehatan yang
melakukan survey jentik ini adalah kader yang berasal dari masyarakat setempat,
yang selama ini aktif sebagai kader posyandu, maupun kader PKK atau juru
pemantau jentik (jumantik). Tugas pokok jumantik adalah melakukan
pemeriksaan ke rumah-rumah warga yaitu dengan melihat tempat-tempat
penampungan air serta keadaan lingkungan rumah, apakah ada kaleng-kaleng
bekas, pot bunga, ban bekas atau benda-benda lain yang memungkinkan adanya
genangan air sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.
Tugasnya melakukan pemeriksaan jentik secara berkala seminggu sekali, selain
itu melaksanakan penyuluhan tentang 3M kepada masyarakat, memasang dan
mengisi kartu rumah pemeriksaan jentik. Setelah itu mencatat hasil pemeriksaan
jentik dan melaporkan ke petugas kesehatan setempat. Tempat-tempat
penampungan air itu diperiksa apakah ada terdapat jentik nyamuk atau tidak.
Sebenarnya cukup mudah untuk mengenali jentik nyamuk, cukup dengan
alat lampu senter dan cara kerjanya adalah menyorotkan lampu senter ke setiap
sudut penampungan air selama kurang lebih 3 menit. Setiap jentik nyamuk akan
teridentifikasi dari gerakannya. Jika jentik yang bergerak mendekati arah cahaya,
adalah jentik nyamuk DBD. Jika ada jentik, ambil jentik dan buang ke tanah,
tentunya bukan dalam genangan atau menimbulkan genangan. Biasanya, di luar
lingkungan hidupnya, jentik akan mati sendiri dalam waktu 3 menit saja. Bisa
juga jentik dikumpulkan di ember, kemudian larutkan desinfektan seperti pemutih
pakaian untuk membunuh jentik (Ahmadi, 2008). Kegiatan survey jentik ini
20
dilakukan setiap seminggu sekali agar masyarakat selalu menjaga kebersihan dan
melakukan pengurasan tempat penampungan air minimal 3 hari sekali.
Dengan pemeriksaan jentik nyamuk ini masyarakat diharapkan akan lebih
terpacu
untuk
peduli
dengan
keadaan
lingkungan
rumahnya,
dengan
melaksanakan 3M secara konsisten. Apabila ditemukan jentik di lingkungan
rumah, maka itu menjadi bagian tanggung jawab warga untuk membersihkan dan
memelihara lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak kesehatan di masa
mendatang baik bagi keluarga maupun masyarakat. Bagi warga yang rumahnya
tidak ditemukan jentik nyamuk, agar dapat mempertahankan dan lebih menjaga
kesehatan lingkungan. Dengan survey jentik nyamuk secara menyeluruh ini
diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan DBD (Bondan, 2008).
C. Konsep Pelatihan
Pelatihan adalah proses melatih, kegiatan atau pekerjaan (KBBI edisi 2,
Balai Pustaka, 1989). Dalam program komunikasi kesehatan, pelatihan dianggap
sebagai salah satu kegiatan pokok dalam rangka distribusi dan pelayanan produksi
(Notoatmodjo, 2005). Pelatihan memiliki tujuan penting untuk meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan sebagai kriteria keberhasilan program secara
keseluruhan. Upaya pelatihan harus dapat memberikan “pengalaman belajar”
yang baik bagi petugas maupun bagi masyarakat.
Pelatihan dapat meyakinkan peserta, bahwa dalam mempelajari sesuatu
yang mereka yakini, pasti mengandung manfaat, proses belajar dapat memberikan
21
ketrampilan, dan apabila ketrampilan tersebut semakin sering dipraktekkan, akan
semakin tinggi tingkat ketrampilannya, dan ketrampilan yang dipraktekkan
dengan baik akan mendapat imbalan yang setimpal sebagai umpan balik, imbalan
yang diperoleh dapat berasal dari berbagai sumber dan dapat diperoleh dengan
cepat (Anwar Hassan dalam Notoatmodjo, 2005).
Sasaran utama pelatihan adalah para petugas kesehatan sebagai ujung
tombak dalam jalur distribusi dan pelayanan. Kemudian para pengecer swasta,
kader kesehatan, tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Pemilihan peserta
pelatihan, jadwal pelaksanaan, bahan-bahan pelatihan dan dana yang dibutuhkan
harus sesuai dengan rencana berdasarkan riset pengembangan dan studi perilaku
(Anwar Hassan dalam Notoatmodjo, 2005).
D. Perilaku
Perilaku merupakan tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam
gerakan (sikap), tidak saja badan atau ucapan. Dalam hal ini adalah perilaku
preventif yaitu perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang bertujuan
mencegah timbulnya atau menularnya suatu penyakit DBD (KBBI, 1993).
Menurut Notoatmodjo (2005) perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas
organisme atau makhlik hidup yang bersangkutan.
Masalah kesehatan masyarakat termasuk penyakit, ditentukan oleh dua
faktor utama, yaitu faktor perilaku dan non perilaku (fisik, sosial, ekonomi,
politik). Oleh sebab itu upaya penanggulangan masalah kesehatan masyarakat
22
juga dapat ditujukan pada kedua faktor utama tersebut. Upaya pemberantasan
penyakit menular, penyediaan sarana air bersih dan pembuangan tinja, penyediaan
pelayanan kesehatan, dan sebagainya adalah upaya intervensi terhadap faktor fisik
(non perilaku).
Sedangkan upaya intervensi terhadap faktor perilaku dapat dilakukan
melalui dua pendekatan, yaitu:
1. Pendidikan (education)
Pendidikan adalah upaya persuasi atau pembelajaran kepada masyarakat
agar
masyarakat
mau
melakukan
tindakan-tindakan
(praktik)
untuk
memelihara (mengatasi masalah-masalah), dan meningkatkan kesehatannya
(Notoatmodjo, 2005). Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan keseadarannya melalui
proses pembelajaran.
2. Paksaan atau tekanan (coercion)
Paksaan atau tekanan yang dilakukan kepada masyarakat agar meraka
melakukan tindakan-tindakan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
meraka sendiri. Tindakan atau perilaku sebagai hasil tekanan ini memang
cepat, tetapi tidak akan lama karena tidak didasari oleh pemahaman dan
kesadaran untuk apa mereka berperilaku seperti itu.
23
Menurut Lawrence Green (1980) sebagaimana dikutip oleh Notoatmodjo
(2003), perilaku ini ditentukan oleh 3 faktor utama, yaitu:
1. Faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor
yang
dapat
mempermudah
atau
mempredisposisi
terjadinya perilaku pada diri seseorang atau masyarakat, adalah pengetahuan
dan sikap seseorang atau masyarakat tesebut terhadap apa yang akan
dilakukan. Misalnya perilaku ibu untuk memeriksakan kehamilannyaakan
dipermudah apabila ibu tersebut tahu apa manfaat periksa hamil, tahu siapa
dan di mana periksa hamil tersebut dilakukan. Demikian pula, perilaku
tersebut akan dipermudah bila ibu yang bersangkutan mempunyai sikap yang
positif terhadap periksa hamil. Di samping itu, kepercayaan, tradisi, system,
nilai di masyarakat setempat juga menjadi mempermudah (positif) atau
mempersulit (negative) terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat
(Notoatmodjo, 2003).
2. Faktor pemungkin (enabling factors)
Faktor pemungkin atau pendukung (enabling) perilaku adalah fasilitas,
sarana, atau prasarana yang mendukung atau yang memfasilitasi terjadinya
perilaku seseorang atau masyarakat. Misalnya, untuk terjadinya perilaku ibu
periksa hamil, maka diprlukan bidan atau dokter, fasilitas periksa hamil
seperti Puskesmas, Rumah sakit, Klinik, dan sebagainya. Pengetahuan dan
sikap saja belum menjamin terjadinya perilaku, mala masih diperlukan sarana
atau fasilitas untuk memungkinkan atau mendukung perilaku tersebut. Dari
24
segi kesehatan masyarakat, agar masyarakat mempunyai perilaku sehat harus
terjangkau sarana dan prasarana atau fasilitas pelayanan kesehatan
(Notoatmodjo, 2003).
3. Faktor penguat (reinforcing factors)
Pengetahuan, sikap, dan fasilitas yang tersedia kadang-kadang belum
menjamin terjadinya perilaku seseorang atau masyarakat. Sering terjadi,
bahwa masyarakat sudah tahu manfaat keluarga berncana (KB), dan juga telah
tersedia di lingkungannya fasilitas pelayanan KB, tetapi mereka belum ikut
KB karena alas an yang sederhana, bahwa tokoh masyarakat yang
dihormatinya tidak atau belum mengikuti KB. Dari contoh ini jelas terlihat
bahwa tokoh masyarakat merupakan faktor penguat bagi terjadinya perilaku
seseorang atau masyarakat. Kegiatan promosi kesehatan yang ditujukann
kepada faktor penguat (reinforcing) adalah berupa pelatihan-pelatihan kepada
para tokoh masyarakat, baik formal maupun informal. Kegiatan pelatihan ini
memiliki dua tujuan, yang pertama agar para tokoh masyarakat tersebut
mampu berperilaku contoh (model perilaku sehat) bagi masyarakat sekitarnya.
Kedua, para tokoh masyarakat tersebut dapat menstransformasiakan
pengetahuan-pengetahuan tentang kesehatan kepada orang lain
atau
masyarakat sesuai dengan ketokohan mereka (Notoatmodjo, 2003).
25
E. Pengaruh Pelatihan Pencegahan DBD Melalui Survei Jentik Nyamuk
Terhadap Kemampuan Masyarakat
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan penyakit demam
yang menyerang pada anak-anak maupun orang dewasa dengan gejala utama
demam, nyeri otot dan sendi yang biasanya memburuk setelah 2 hari pertama.
Penyakit ini juga dapat mengakibatkan kematian mendadak, namun korban lebih
banyak terjadi pada anak-anak dibawah umur 15 tahun. Demam ini disertai
dengan adanya perdarahan karena terjadi gangguan pada pembuluh darah kapiler
dan pada system pembekuan darah, sehingga dapat menimbulkan terjadinya syok
yang dapat mengakibatkan kematian.
Menurut Departemen Kesehatan RI (1995), jenis tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti diantaranya terdapat pada tempat penampungan air untuk
keperluan sehari-hari, seperti bak mandi, drum, tempayan, ember, gentong, dan
lain-lain tempat. Penampungan alamiah, seperti lubang pohon, lubang batu,
pelepah daun, tempurung kelapa, pohon bambu, dan lain-lain. Sedangkan
penularan DBD kepada manusia antara lain dipengaruhi oleh beberapa faktor
antara lain kepadatan vektor akan memberi peluang yang lebih besar bagi nyamuk
untuk mengiggit, kepadatan penduduk yang lebih padat, lebih mudah untuk
terjadi penularan DBD karena jarak terbang nyamuk diperkirakan 50 meter,
mobilitas penduduk, memudahkan penularan dari suatu tempat ke tempat yang
lain, jarak anta rumah, pencahayaan (terang atau gelap) dan bahan bangunan akan
mempengaruhi terjadinya penularan, tingkat pendidikan akan mempengaruhi cara
26
berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara pemberantasan yang dilakukan
serta sikap hidup dan kebiasaan masyarakat apabila rajin dan senang akan
kebersihan serta tanggap dalam masalah kesehatan maka, akan mengurangi
resiko tertular suatu penyakit.
Hal inilah yang sebaiknya menjadi perhatian masyarakat, karena pentingnya
suatu pelatihan dalam pencegahan penyakit DBD terutama dalam survey jentik
nyamuk akan menigkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat dalam
pencegahan DBD sehingga resiko untuk bertambahnya penyakit DBD akan
berkurang dan angka bebas jentik (ABJ) meningkat. Kurang informasi untuk
mengetahui manfaat pemberantasan sarang nyamuk Aedes aegypti, akibatnya
masyarakat kurang paham akan upaya pemberantasan penyakit DBD. Pelatihan
yang efektif sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat
mengenai penyakit DBD.
27
F. Kerangka Teori
Faktor Predisposisi
(Predisposing factors):
1. Pendidikan
2. Pengetahuan
3. Sikap
4. Kepercayaan
5. Nilai
Komponen
pendidikan
kesehatan
(Pelatihan
Pencegahan DBD)
Faktor Pemungkin
(Enabling factors):
1. Ketersediaan fasilitas
kesehatan
Penyebab
Perilaku
(Behavior) /
praktik
Faktor Pemerkuat
(Reinforcing factors):
1. Sikap dan perilaku
petugas kesehatan
2. Sikap dan perilaku
tokoh masyarakat
3. Sikap dan perilaku
keluarga
Gambar. 2.1. Kerangka Teori
Sumber: Green (1988) dalam Notoatmodjo (2003) yang dimodifikasi
28
G. Kerangka Konsep
Variabel Bebas
Variabel Terikat
Kemampuan
Survey Jentik
Nyamuk
Pelatihan Pencegahan
DBD Melalui Survey
Jentik Nyamuk
Sebelum
Dilakukan
Pelatihan
Setelah
Dilakukan
Pelatihan
Gb. 2.2. Skema Kerangka Konsep
H. Variabel Penelitian
1. Variabel independen (bebas)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pelatihan pencegahan DBD
melalui survey jentik nyamuk
2. Variabel dependent (terikat)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan masyarakat dalam
survey jentik nyamuk sebelum dan setelah dilakukan pelatihan
I. Hipotesis Penelitian
Ada perbedaan kemampuan masyarakat dalam melakukan survey jentik
nyamuk DBD sebelum dan setelah dilakukan pelatihan tentang pencegahan DBD
melalui survei jentik nyamuk di Kecamatan Pedurungan.
29
Download