K.H ABDUL WACHID HASJIM Kiai Haji Abdul Wachid Hasjim lahir tanggal 1 Juni 1914 di Jawa Timur. Beliau merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara dari pasangan Kiai Haji Hasjim Asy’ari dan Nafiqah. Beliau tumbuh di lingkungan pesantren, tepatnya Pesantren Tebuireng. Ayah beliau (Kiai Haji Hasjim Asy’ari) adalah tokoh Islam yang disegani dan merupakan pendiri dari Pesantren Tebuireng tersebut. Berlatar belakang agama Islam yang juga kental dengan pengetahuan dari berbagai bidang pendidikan, KH. Wachid Hasjim pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu pengetahuannya. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi pertama beliau, mulai dari tugasnya sebagai penulis ranting NU di Cukir, ketua NU cabang Jombang, sampai akhinya tahun 1940 menjadi anggota Pengurus Besar NU. Beliau juga didaulat menjadi ketua muda di Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), selain menjadi ketua muda, KH. Wachid Hasjim juga mendirikan Badan Propaganda Islam dan menerbitkan majalah Suara Muslimun Indonesia. Selain seorang aktivis Islam, KH. Wachid Hasjim juga merupakan aktivis kemerdekaan. Keikutsertaannya dalam BPUPKI, Panitia Sembilan, dan juga PPKI membuktikan bahwa beliau merupakan aktivis sejati. Setelah kemerdekaan pun, belau masih tetap aktif, diantaranya sebagai: Menteri dalam Kabinet Soekarno-Hatta, menteri agama Kabinet Moh, Natsir (1950), dan menteri agama dalam Kabinet Sukiman (1951). Menjelang akhir hayatnya, KH. Wachid Hasjim mencurahkan waktunya sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Tidak diduga, pada saat menghadiri rapat NU di Sumedang, beliau mengalami kecelakaan di daerah Cimindi dan langsung di rawat di RS. Boromeus, Bandung. Tetapi nyawanya tidak dapat tertolong dan wafat pada tanggal 19 April 1953 di usianya yang relatif muda yaitu 38 tahun. GPH. SOERJOHAMIDJOJO Gusti Pengeran Hario Seorjohamidjojo lahir tanggal 13 Oktober 1905 di Solo, beliau merupakan putra ke-34 Sunan Paku Buwono X dengan selir Raden Ayu Pradaparukmi. Nama kecilnya yaitu GRM. Soediro. Hidup di lingkungan bangsawan, beliau disekolahkan di sekolah Taman Kanak- Kanak khusus putra-putri raja. Pada usia 8 tahun, beliau masuk Eropese Lagere School (ELS) dan menamatkan sekolah pada tahun 1920. Selepas dari ELS, GRM. Soediro melanjutkan ke MULO Kesatrian di Kota Solo dan masuk organisasi Boedi Oetomo. Beliau aktif dalam bidang pemerintahan Keraton Solo, posisi yang pernah beliau jabat diantaranya: Rektor pertama sekaligus pendiri Konservatori Karawitan Indonesia di Surakarta, menjabat di Kantor Comptabiliteit Keraton, sekretaris Commissie Perjamuan Keraton Solo, ajudan Sunan Paku Buwono X sampai Sunan Paku Buwono XII, menjadi pembesar Kantor Sasonowilopo, ketua Paheman Radya Pustaka, menjabat sebagai Raad van Beheer Taman Sriwedari Surakarta, dan pemimpin Kesenian Keraton Solo bernama Langentoja. Di Boedi Oetomo beliau juga pernah menjabat sebagai wakil ketua cabang Solo pada tahun 1925 samai 1928. Tak hanya itu, Soerjohadidjojo juga bergabung dalam organisasi pergerakan nasional lainnya yaitu Yong Java dan Partai Indonesia Raya. Dalam bidang sosial dan ekonomi, GPH. Soerjohadidjojo pada tahun 1937 pernah diminta menjadi pelindung Perikatan Perusahaan Batik Boemi Poetra Soerakarta (PPBBS), pada tahun 1938 diangkat menjadi salah satu anggota Majelis Rumah Sakit Ziekensorg Solo, dan pada bidang olahraga dari tahun 1934 sampai 1941 beliau menjadi pelindung Persatuan Lawn Tennis Indonesia (PELTI) yang kemudian diangkat menjadi ketua umum PELTI pada tahun 1941 dan berakhir pada tahun 1968. Selain aktif dalam bidang sosial, ekonomi, olahraga, dan kekeratonan, GPH. Soerjohadidjojo juga seorang aktivis kemerdekaan. Beliau merupakan anggota BPUPKI, dan dalam sidang tersebut mengusulkan tentang pentingnya kebudayaan dan bahasa daerah. Setelah BPUPKI dibubarkan, beliau juga turut andil dalam PPKI. Beliau turut berjuang di bidang kemiliteran dan menjadi opsir penghubung Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat kolonel. Salah satu jasa beliau yang tidak bisa dilupakan adalah sebagai penyelenggara Pekan Olahraga Nasional (PON I) di Kota Solo. Setelah Indonesia merdeka pun, beliau masih berkecimpung di dunia politik, diantaranya: Menjadi wakil ketua Sekretariat Bersama Golkar unit Keraton Solo dan menjadi anggota Dewan Pembina Golkar Kotamadya Surakarta sampai wafatnya pada tahun 1974 diusianya yang ke-70 tahun. REFERENSI Manus, Zulfikar Ghazali, dkk. 1993. Tokoh-Tokoh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia II. Depdikbud Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisonal: Jakarta.