Uploaded by User95952

pengaruh jarak tanam dan bibit tanaman bawang putih

advertisement
PENGARUH JARAK TANAM DAN BIBIT TANAMAN
BAWANG PUTIH (Allium sativum L.)
TERHADAP INTENSITAS PENYAKIT BERCAK
UNGU Alternaria porri (Ell.) Cif.
USULAN PENILITIAN
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Seminar Usulan Penelitian Pada
Fakultas Pertanian Universitas Islam Nusantara
Oleh :
MOCHAMAD MEGI ZAETUROHMAN
41035003161016
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
KONSENTRASI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
BANDUNG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Bawang putih (Allium sativum L.) adalah komoditas pertanian yang banyak
dikonsumsi di Indonesia sehingga menjadi salah satu komoditas yang penting.
Bawang putih memiliki banyak kegunaan diantaranya sebagai bumbu atau
penyedap masakan dan bahan obat-obatan. Kebutuhan bawang putih di Indonesia
cukup besar setiap tahunnya dan diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk (PUSDATIN, 2017). Produksi bawang putih
nasional belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga Indonesia
masih perlu mengimpor bawang putih dalam jumlah yang cukup besar (Sarwadana
dan Gunadi 2007).
Serangan OPT dalam budidaya bawang putih menjadi penting artinya terutama
apabila dikaitkan dengan penurunan kuantitas dan kualitas produksi. Pemanfaatan
komponen varietas toleran dalam upaya pengendalian OPT sangat diperlukan,
mengingat fluktuasi serangan OPT sangat ditentukan oleh penggunaan varietas dan
keadaan iklim. Sastrosiswojo & Rubiati (2001) dan Setiawati et al. (2011)
melaporkan bahwa OPT penting pada tanaman bawang merah ialah ulat bawang
(Spodoptera exigua), antraknos (Colletotrichum gloeosporioides), bercak ungu
(Alternaria porri), dan layu Fusarium (Fusarium sp.). Kehilangan hasil yang
diakibatkannya dapat mencapai 20–100%. Penggunaan varietas toleran biayanya
relatif murah, mantap, tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, dan mudah
diaplikasikan oleh petani di lapangan. Dengan demikian, ketahanan suatu tanaman,
khususnya terhadap serangan OPT sangat berperan penting dalam pengendalian
hama secara terpadu.
Produksi bawang putih di Indonesia pada tahun 2017 sebesar 19.510 ton
dengan luas panen 2.146 ha dengan produktivitas 9,09 ton ha-1. Jumlah ini tidak
mampu memenuhi total kebutuhan bawang putih dalam negeri sehingga pada tahun
2017 Indonesia mengimpor bawang putih sebanyak 556.060 ton (Direktorat
Jenderal Hortikultura, 2018). Mengingat pentingnya komoditas bawang putih di
Indonesia maka perlu dilakukan peningkatan produksi bawang putih untuk
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Salah satu upaya peningkatan produksi bawang
putih adalah dengan peningkatan teknologi budidaya bawang putih melalui
pengaturan populasi yang optimal.
Tabel 1. Volume Produksi, Ekspor, Konsumsi, dan Impor Bawang Putih
Tahun 2013-2017 di Indonesia
Tahun
Produksi
(Ton)
Ekspor (Ton)
Konsumsi
(Ton)
Impor (Ton)
2013
15.766
107
455.571
439.912
2014
16.894
301
507.696
491.103
2015
20.295
248
499.988
479.941
2016
21.150
349
465.102
444.301
2017
19.510
440
575.130
556.060
Sumber : FAO, Kementrian Pertanian 2018
Jarak tanam adalah salah satu faktor yang mempengaruhi populasi,
pertumbuhan dan hasil dari tanaman. Jarak tanam akan mempengaruhi kepadatan
populasi tanaman persatuan luas yang nantinya berdampak pada hasil panen. Jarak
tanam juga mempengaruhi penerimaan cahaya oleh tanaman, persaingan antar
tanaman dalam menyerap air dan unsur hara, serta evapotranspirasi tanaman. Selain
itu jarak tanam juga dapat mempengaruhi kelembaban udara di areal pertanaman
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan cendawan penyebab penyakit tanaman
(Nazhira, 2014).
Usaha untuk meningkatkan produksi bawang putih terus diupayakan melalui
perbaikan dan inovasi teknologi budidaya dengan pengaturan jarak tanam dan
penggunaan bibit yang tepat. Optimalisasi produksi bawang putih dalam penelitian
ini menggunakan jarak tanam dan populasi beragam. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh populasi tanaman terhadap perkembangan intensitas
penyakit. Populasi yang optimal diharapkan dapat memberikan hasil yang positif
terhadap penekanan imtensitas penyakit dan peningkatan produksi bawang putih.
Selain jarak tanam, faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi tanaman bawang putih adalah jumlah benih atau bibit yang ditanam per
lubang. Jumlah bibit yang ditanam per lubang akan menentukan jumlah tanaman
yang tumbuh dalam suatu rumpun. Banyak tanaman dalam satu rumpun dapat
mempengaruhi tingkat populasi tanaman per satuan luas, sedangkan tingkat
populasi sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman pada suatu
areal penanaman.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi masalah dapat
disimpulkan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaruh jarak tanam terhadap intensitas serangan penyakit dan
produktivits bawang putih (Allium sativum L.)?
2. Berapa jarak tanam optimum yang dapat menekan intensitas penyakit dan
berapa jumlah bibit per lubang yang mampu meningkatkan produktivitas
bawang putih yang maksimal?
1.3.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan ini antara lain adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui pengaruh jarak tanam terhadap produktivitas dan
intensitas serangan penyakit pada bawang putih (Allium sativum L.).
2. Untuk mengetahui jarak tanam dan jumlah bibit perlubang yang terbaik
sehingga dapat meningkatkan produktivitas dan menekan intensitas
serangan penyakit pada tanaman bawang puith (Allium sativum L.)
1.4. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dan hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
dan informasi untuk membantu petani mengenai jarak tanam dan jumlah bibit
perlubang yang baik dalam meningkatkan produktivitas dan menekan intensitas
serangan penyakit pada tanaman bawang putih (Allium sativum L.).
1.5. Kerangka Pemikiran
Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan tanaman hortikultura penting
sebagai sumber pendapatan petani Indonesia. Bawang putih (Allium sativum L.)
juga merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki ekonomi tinggi di
pasaran lokal maupun internasional. Bawang putih memiliki permintaan yang
tinggi di pasaran karena memiliki banyak manfaat baik sebagai bumbu masakan
maupun obat-obatan. Dalam industri makanan, umbi bawang putih dijadikan
ekstrak, bubuk atau tepung, dan diolah menjadi acar.
Rendahnya produktivitas bawang putih di Indonesia pada umumnya disebabkan
oleh faktor kultur teknis termasuk didalamnya ketersediaan benih unggul, kondisi
iklim mikro, manajemen nutrisi, dan pengelolaan Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT) yang belum optimal. Iklim mikro sangat menentukan keberhasilan budidaya
karena terkait dengan lingkungan tumbuh yang sesuai seperti suhu, intensitas
cahaya, dan kelembapan udara. Populasi tanaman sangat berpengaruh terhadap
kondisi iklim mikro dan kompetisi terutama intensitas cahaya dan kelembapan.
Tingkat populasi optimum akan memberikan dampak positif terhadap produktivitas
tanaman. Beberapa hasil penelitian dan aktual hasil panen di beberapa Negara
seperti Mexico, menunjukkan adanya peningkatan hasil dengan penambahan
populasi hingga lebih dari 100.000 tanaman/Ha (Monsanto Indonesia TD Team,
2013). Data historical di Amerika Serikat menunjukkan adanya peningkatan hasil
produksi jagung dengan penambahan populasi selama kurun waktu 100 Tahun
(1900-2000) yaitu dari populasi 12.500-70.000/Ha dengan pencapaian peningkatan
hasil panen dari 1.7 Ton/Ha pada 1900 menjadi 10. 8 Ton/Ha di Tahun 2000 (USDA
NASS query, Duvick 1999 dalam Monsanto Indonesia TD Team, 2013).
Jarak tanam adalah salah satu faktor yang mempengaruhi populasi,
pertumbuhan dan hasil dari tanaman. Jarak tanam akan mempengaruhi kepadatan
populasi tanaman persatuan luas yang nantinya berdampak pada hasil panen. Jarak
tanam juga mempengaruhi penerimaan cahaya oleh tanaman, persaingan antar
tanaman dalam menyerap air dan unsur hara, serta evapotranspirasi tanaman. Selain
itu jarak tanam juga dapat mempengaruhi kelembaban udara di areal pertanaman
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan cendawan penyebab penyakit tanaman
(Nazhira, 2014).
Jarak tanam yang berbeda mempengaruhi penerimaan cahaya matahari
sehingga dapat mempengaruhi fotosintesis. Fotosintat yang lebih banyak dapat
meningkatkan pertumbuhan
tanaman.
Selain
itu,
hasil
fotosintat
juga
digunakan untuk membentuk cadangan makanan (Setiawan dan Suparno 2018).
Diameter umbi berkorelasi dengan bobot umbi (Lencha dan Buke 2017).
Menurut Sukmasari dan Minawati 2018. perlakuan jarak tanam (15 cm x
15 cm) menunjukan tingkat
infeksi
serangan
penyakit
pada tanaman
bawang merah dengtan kriteria serangan yang cukup parah sedangkan jarak
tanam (20 cm x 20 cm) menunjukian tingkat infeksi serangan penyakit pada
tanaman bawang merah lebih rendah dibanding dengan perlakuan jarak tanam
15 cm x 15 cm dan 15cm x 20 cm.
Selain jarak tanam, faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
produksi tanaman bawang merah adalah jumlah benih atau bibit yang ditanam per
lubang. Jumlah bibit yang ditanam per lubang akan menentukan jumlah tanaman
yang tumbuh dalam suatu rumpun. Banyak tanaman dalam satu rumpun dapat
mempengaruhi tingkat populasi tanaman persatuan luas, sedangkan tingkat populasi
sangat mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman pada suatu areal
penanaman (Sufyati 2006).
Menurut Sufyati dkk. Perlakuan dengan 3 umbi dalam satu lubang tanam
menunjukan pengaruh yang lebih baik pada pertumbuhan dan hasil panen daripada
perlakuan 1 dan 2 umbi per lubang tanam.
1.6.Hipotesis
Berdasarkan uraian kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan
hipotesis sebagai berikut :
1. Dengan perlakuan jarak tanam 15cm x 15cm menunjukan tingkat
infeksi
serangan
penyakit
pada tanaman bawang putih dengan
kriteria serangan yang cukup parah sedangkan pada perlakuan jarak
tanam 20cm X 20cm menunjukian tingkat infeksi serangan penyakit
pada tanaman bawang mputih lebih rendah dibanding dengan
perlakuan jarak tanam 15 cm x 15 cm.
2.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Bawang Putih (Allium sativum L.)
2.1.1. Sejarah Tanaman Bawang Putih (Allium sativum L.)
Di Indonesia, bawang putih dibawa oleh pedagang Cina dan Arab, kemudian
dibudidayakan di daerah pesisir atau daerah pantai. Seiring dengan berjalannya
waktu kemudian masuk ke daerah pedalaman dan akhirnya bawang putih akrab
dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Peranannya sebagai bumbu penyedap
masakan modern sampai sekarang tida tergoyahkan oleh penyedap masakan buatan
yang banyak kita temui di pasaran yang dikemas sedemikian menariknya
(Rusdiyani 1993 ; Lisiswanti & Haryanto 2017 ).
2.1.2. Klasifikasi Tanaman Bawang Putih (Allium sativum L.)
Secara klasifikasi, bawang putih (Allium sativum Linnaeus) diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae (Tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (Tumbuhan berbiji)
Kelas
: Monocotyledonae (Berkeping satu)
Ordo
: Liliales
Famili
: Amary llidaceae
Genus
: Allium
Spesies
: Allium sativum Linnaeus
2.1.3. Morfologi Tanaman Bawang putih (Allium sativum L.)
Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan
tanaman
semusim,
berbentuk rumput dengan tunas-tunas batang berubah bentuk menjadi umbi
kecil atau umbi lapis. Umbi pada bawang putih merupakan batang semu
yang berfungsi sebagai tempat penyimpan makanan cadangan dan berada di
atas discus. Umbi bawang putih terdiri dari beberapa siung. Siung-siung ini
dibungkus selaput tipis yang berlapis dan mengumpul, sehingga umbi seolah-olah
tampak besar (Sudarsono dkk, 2006; Nailil, 2015).
Bawang putih tumbuh tegak dengan tinggi dapat mencapai 30-60 m
dan membentuk
rumpun
sebagaimana warga
kelompok monokotil, sistem
perakarannyaa tidak berupa akar tunggang, melainkan akar serabut yang
tidak panjang.
Dengan perakaran yang demikian bawang putih tidak tahan terhadap
kekeringan. Akar bawang putih mempunyai panjang maksimum sekitar 10 cm.
Daunnya panjang, pipih dan agak melipat ke dalam arah membujur.
Banyaknya daun 7-10 helai per tanaman. Kelopak-kelopak daunnya meskipun
tipis tetapi kuat dan membungkus kelopak-kelopak daun di dalamnya yang lebih
muda sehingga membentuk batang semu (Sudarsono dkk, 2006; Nailil, 2015).
Daunnya panjang, pipih dan agak melipat ke dalam arah membujur.
Banyaknya daun 7-10 helai per tanaman. Kelopak-kelopak daunnya meskipun
tipis tetapi kuat dan membungkus kelopak-kelopak daun di dalamnya yang lebih
muda sehingga membentuk batang semu (Sudarsono dkk, 2006; Nailil, 2015).
Gambar 1. Tanaman Bawang Putih
Sumber : (http://www.arifagora.web.id/wp-content)
2.1.4. Kandungan Gizi Pada Bawang Putih (Allium sativum L.)
Nilai gizi bawang putih bervariasi berdasarkan jenis dan bagian bawang
yang dimakan. Nilai gizi bawang putih juga ditentukan oleh kondisi pertumbuhan,
waktu panen dan cara pengolahannya (Depkes Ri, 1992) Diperkirakan dalam 100
gram bawang putih mengandung energy 139 kkal dengan kandungan gizi sebagai
berikut: karbohidrat 33,6 gram; gula 1 gram; serat 2,1 gram, lemak 0,5 gram;
protein 6,36 gram; niacin (vitamin B3) 0,7 gram; asam pantothenat (vitamin B5)
0,596 mg; vitamin B6 1,235 mg; folat (vitamin B9) ug; vitamin C 31,2 mg; kalsium
181 mg; zat besi 1,7 mg; magnesium 25 mg; mangan 1,672 mg; fosfor 153 mg;
thiamin (vitamin B1) 0,2 mg; riboflavin (vitamin B2) 0,11 mg; kalium 401 mg;
natrium 17 mg; zinc 1,16 mg; selenium 14,2 mg (USDA Nutrien Database).
Sedangkan menurut Direktorat Gizi, Depkes RI, kandungan gizi umbi
bawang putih terdiri dari zat organik: protein, lemak dan karbohidrat, di samping
mengandung zat-zat hara: kalsium, vitamin dan belerang. Secara rinci ekstrak gizi
umbi bawang putih dapat dilihat pada table berikut (Direktorat Gizi Dep Kes RI,
1992).
Table 2. Kadar zat gizi umbi bawang putih per 100 gram
Komponen
Nilai Gizi
Keterangan
Protein
4.50 gr
Lemak
0.20 gr
Karbohidrat
23.10 gr
Kalsium
42.00 gr
Fosfor
134.00 gr
Bagian yang dapat
Besi
1.00 gr
dimakan 88 %
Vitamin B1
0.22 gr
Vitamin C
15.00 gr
Air
71.00 gr
Kalori
95.00 gr
Sumber : Direktorat Gizi Dep Kes RI, 1992
2.1.5. Syarat Benih Dan Tumbuh Tanaman Bawang Putih (Allium sativum L.)
Bawang putih dapat tumbuh pada berbagai ketinggian tempat bergantung
kepada varietas yang digunakan. Daerah penyebaran bawang putih di Indonesia
yaitu Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok dan
Nusa Tenggara Timur. Daerah-daerah tersebut mempunyai agroklimat yang sesuai
untuk bawang putih sehingga daerah-daerah tersebut sampai saat ini merupakan
daerah penghasil utama bawang putih. Luas pananaman yang paling besar ada pada
ketinggian di atas 700 meter. Produksi per satuan luas di dataran tinggi lebih besar
dari pada di dataran rendah. Beberapa varietas ada yang cocok ditanam di dataran
rendah. Di dataran medium, daerah penanaman bawang putih terbaik berada pada
ketinggian 600 mdpl. (Kementrian Pertanian, 2018).
Luas pananaman yang paling besar ada pada ketinggian di atas 700 meter.
Produksi per satuan luas di dataran tinggi lebih besar dari pada di dataran rendah.
Beberapa varietas ada yang cocok ditanam di dataran rendah. Di dataran medium,
daerah penanaman bawang putih terbaik berada pada ketinggian 600 mdpl. (di atas
pemukaan laut). Perlu dikemukakan bahwa varietas bawang putih dataran tinggi
kurang baik apabila ditanam di dataran rendah begitu pula sebaliknya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pengaruh faktor- faktor agroklimat terhadap
pertumbuhan
dua
kultivar
bawang
putih sangat dipengaruhi oleh lokasi
penanaman.
2.1.6. Keanekaragaman Varietas Tanaman Bawang Putih (Allium sativum
Linnaeus)
Perbedaan antar-varietas biasanya didasarkan atas : besar tanaman,
produksi, kadar zat kimia, jumlah suing, umur, bentuk, dan warna serta besar
umbinya. Menurut Direktur Jendral Hortikultura (2017), varietas benih bawang
putih yang dikembangkan dan disarankan dalam budidaya tanaman bawang putih,
antara lain :
Tabel 2. Ciri-ciri Varietas Tanaman Bawang Putih (Allium sativum Linnaeus)
Tinggi Tanaman
Bentuk Daun
Banyak Daun per
Tanaman
Warna Daun
Diameter Batang Semu
Jumlah Siung per Umbi
Warna Umbi
Umur
Varietas
Lumbu Hijau
63-75 cm
Panjang 48,6-52,4
Silindris, pipih
cm
7-9 helai
Hijau muda agak
ungu kemerahan
1-1,2 cm
13-20 buah
Putih Keunguan
112-120 hari
Lebar 1,9-2,1 cm
Produksi/ha
Tinggi Tanaman
Bentuk Daun
Banyak Daun per
Tanaman
Warna Daun
Diameter Batang Semu
Jumlah Siung per Umbi
Warna Umbi
Umur
Produksi/ha
Tinggi Tanaman
Bentuk Daun
Banyak Daun per
Tanaman
Warna Daun
Diameter Batang Semu
Jumlah Siung per Umbi
Warna Umbi
Umur
Produksi/ha
8-10 ton umbi
kering
Lumbu Kuning
57-58 cm
Silindris, pipih
Panjang 43-44 cm
Lebar 1,8 cm
7-8 helai
Hijau muda, agak
kekuningan
0,9-1,1 cm
14-17 buah
Putih agak
keunguan
105-116 hari
6-8 ton umbi
kering
Lumbu Putih
52-65 cm
Silindris, pipih
Panjang 35-43 cm
Lebar 1,3-1,5 cm
8-9 helai
Hijau tua, agak
keabu-abuan
1,25-1,50 cm
17-27 buah
Putih, garis-garis
ungu tidak merata
100-110 hari
6-8 ton umbi
kering
Sumber : Kementerian Pertanian (1984 & 1988)
2.2. Alternaria porri (Ell.) Cif).
Penyakit bercak ungu tersebar luas diseluruh dunia. Penyakit dapat timbul pada
berbagai macam genus Allium. Menurut Semangun (1991) dalam Jagros (2018)
bahwa penyakit ini sangat merugikan tanaman bawang di Sumatera, Jawa, Bali dan
Nusa Tenggara dengan intensitas penyakit sebesar 1%-60%. Alternaria porri
menyebabkan penyakit bercak ungu pada tanaman bawang merah dengan gejala
bercak warna kelabu keunguan pada daun, didalamnya nampak garis melingkar
seperti cincin, bercak membesar membentuk cekungan (Semangun, 2004 ; Jagros,
2018). Alternaria porri umumnya menyerang tanaman bawang-bawangan pada
saat tanaman membentuk umbi, namun pada keadaan yang mendukung
perkembangan penyakit seperti misalnya pada saat musim penghujan, tanaman
yang masih muda pun dapat terserang (Hadisustrisno dkk., 1996 ; Jagros, 2018).
Penyakit ini ditularkan melalui udara sehingga akan berkembang dengan cepat pada
kondisi kelembaban tinggi dan suhu udara rata-rata diatas 26o C. Upaya mengetahui
pengaruh cuaca terhadap perkembangan penyakit bercak ungu pada tanaman
bawang merah di daerah pertanaman tidaklah mudah dilakukan. Hal ini
dikarenakan patogen tersebut mempunyai kepekaan tertentu terhadap faktor cuaca
yang selalu berubah-ubah dan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Penyakit
bercak ungu diketahui sebagai penyakit utama pada pertanaman bawang dan telah
menjadi endemik di pusat-pusat pertanaman tersebut sehingga mengakibatkan
kerugian yang cukup besar bagi petani (Foeh, 2000; Fahrun dkk, 2018). Persentase
kehilangan hasil panen yang diakibatkan Alternaria porri (Ell.) Cif. dapat mencapai
3%-57%. Presentase tersebut lebih parah dari yang disebabkan oleh cendawan
Fusarium oxysporum dengan presentase kehilangan hasil panen sebesar 27%.
2.2.1. Klasifikasi Alternaria porri (Ell.) Cif..
Menurut Wescott (2001) klasifikasi cendawan Alternaria porri (Ell.) Cif.
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom
: Fungi
Divisio
: Eumycota
Phylum
: Ascomycota
Class
: Hyphomycetes
Ordo
: Hypales
Family
: Dematiaceae
Genus
: Alternaria
Spesies
: Alternaria porri (Ell.) Cif.
Gambar 2. Cendawan Alternaria porri (Ell.) Cif.
Sumber : agrokomplekskita.com
2.2.2. Morfologi Alternaria porri (Ell.) Cif.
Alternaria porri berbentuk konidium berwarna coklat dan seperti gada
terbalik dengan ukuran 145-370 mm dan mempunyai sekat yang membujur dan
melintang. Alternaria porri (Ell.) Cif. misellium jamur berwarna coklat, konidium dan
konidiofor berwarna hitam atau cokelat, konidium berbentuk gada yang bersekat-sekat
pada salah satu ujungnya membesar dan tumpul, ujung lainnya menyempit dan agak
panjang. Kondium dapat disebarkan oleh angin da nmenginfeksi tanaman melalui
stomata atau luka yang terjadi pada tanaman. Potogen dapat bertahan dari musim
kemusim pada sisa tanaman (Direktorat Perlindungan Tanaman, 2006 ; Pritiyanti,
2016). Alternaria porri membentuk spora kira-kira empat hari setelah gejala-gejala
penyakit terlihat. Badan buah yang mengandung spora mudah terlepas karena angin,
serangga, manusia, dan penyebarannya cukup jauh apabila angin dan cuaca
mendukung.
2.2.3. Gejala Penyakit Alternaria porri (Ell.) Cif.
Gejala penyakit awal pada tanaman bawang merah terdapat bercak kecil,
melekuk, berwarna putih sampai kelabu di bagian daun. Pada penyakit lanjut bercak
tampak bercincin berwarna agak keunguan dengan tepi agak kemerahan atau keunguan
dan dikelilingi oleh zona berwarna kuning yang dapat meluas agak jauh kebagian atas
atau bawah bercak, dan ujung daun mengering. Pada cuaca lembab permukaan bercak
tertutup oleh konidium cendawan yang berwarna coklat sampai hitam. Penyakit dapat
berlanjut pada umbi yang menyebabkan umbi membusuk berwarna kuning lalu merah
kecoklatan. Infeksi pada umbi biasanya dapat terjadi pada saat panen atau setelah
panen. Semula umbi membusuk dan berair, dimulai dari bagian leher kemudian
jaringan umbi yang terinfeksi mengering dan berwarna gelap (Semangun, 1994 ;
Pritiyanti, 2016). Umbi tersebut dapat menjadi sumber infeksi untuk tanaman generasi
berikutnya jika digunakan sebagai bibit.
Gambar 3. Gejala Penyakit Alternaria porri (Ell.) Cif.
Sumber : anakagronomy.com
2.2.4. Daur hidup Alternaria porri (Ell.) Cif.
Patogen mampu bertahan dari musim ke musim berikutnya dalam bentuk
miselia pada sisa-sisa tanaman inang dan segera membentuk konidium jika kondisi
memungkinkan. Biasanya terjadi pada saat malam hari, pagi hari, atau pun pada
siang hari saat cuaca mendung. Namun, konidium tersebut tidak mampu bertahan
hidup lebih lama jika jatuh di atas tanah. Oleh karena itu, penyakit trotol adalah
penyakit lahir (tular) udara dan lahir bibit (umbi). Produksi konidium terjadi di
bercak yang berwarna kecoklatan atau keunguan. Konidium berbentuk gada
bersekat, membesar, dan tumpul di salah satu ujungnya, sedangkan ujung lainnya
menyempit dan memanjang. Kenampakan gejala visual awal akan terlihat 1 – 4 hari
sejak inisiasi infeksi, tergantung pada jumlah konidium yang berhasil menginfeksi
dan kondisi cuaca yang mendukung. Setelah sekitar 5 hari konidium generasi
berikutnya telah matang dan siap menginfeksi bagian atau tanaman inang di
sekitarnya dan siklus generasi berikutnya terbentuk.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada lahan pertanian di Kampung Citespong Desa
Sukajaya Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat Provinsi Jawa Barat.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
3.2.1. Alat
Adapun alat yang digunakan selama proses penelitan di lapangan yaitu :
cangkul, keranjang, penggaris, label, alat tulis, kamera, kalkulator, ajir, ember,
timbangan, selang, gunting, hekter, karung, sepatu bot, kaos tangan karet, bambu
dan garpu.
3.2.2. Bahan
Adapun bahan-bahan yang digunakan selama penelitian ini yaitu benih bawang
putih, dan pupuk kandang.
3.3. Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam percobaan ini adalah metode
eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial,
a.
Faktor pertama adalah pengaplikasian jarak tanam dengan taraf masing-masing
yaitu:
 J1 = Jarak tanam 15cm x 15cm
 J2 = Jarak tanam 20cm x 20cm
b.
Faktor kedua adalah jumlah bibit yang terdiri dari tiga taraf yaitu:
 B1 = Bibit 1
 B2 = Bibit 2
 B3 = Bibit 3
3.4. Analisis Data
Total kombinasi perlakuan sebanyak 6 perlakuan (J1B1, J1B2, J1B3, J2B1,
J2B2, J2B3) dan diulang sebanyak 4 ulangan sehingga terdapat 24 satuan
percobaan, setiap satuan terdiri dari 10 sampel tanaman.
Model linier untuk Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial
menurut Herdiyantoro (2013) adalah sebagai berikut:
Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + ρk + εijk
Keterangan :
Yijk : pengamatan pada satuan percobaan ke-I yang memperoleh kombinasi
perlakuan taraf ke-j dari factor A dan taraf ke-k dari factor B
µ
: mean populasi
αi
: pengaruh taraf ke-i dari factor A
βj
: pengaruh taraf ke-j dari factor B
(αβ)ij : pengaruh taraf ke-i dari factor A dan taraf ke-j dari factor B
ρk
: Pengaruh taraf ke-k dari factor kelompok
εijk
: pengaruh acak dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi
perlakuan
ij. εijk ̃N(0,o2)
Berdasarkan dari model linier di atas maka daftar analisis untuk
rancngannya adalah sebagai berikut :
Tabel 4. Analisis Ragam Rancangan Acak Kelompok (RAK)
Sumber
Derajat
ragam (RS) bebas (DB)
Jumlah
Kwadrat
kwadrat
tengah (KT)
(JK)
Ulangan
r-1
i²-FK JK ulangan
R
DB ulangan
Pelakuan
t-1
j²-FK JK perlakuan
T
DB perlakuan
Galat
(r-1)(t-1)
JKT-JKU JK galat
JKP
DB galat
Total
(rxt)-1
ij²-FK
Rt
Jika : Fh ≤ F tabel ,maka H0 diterima ( non significant )
Fh > F tabel ,maka H0 ditolak ( significant )
Fhitung
Ftabel
(F 5%)
KT Ulangan
KT Galat
KT Perlakuan
KT Galat
Bila hasil uji F menunjukkan perbedaan yang nyata maka, untuk
membedakan rata-rata dari tiap perlakuan dilakukan uji lanjutan dengan metode uji
jarak berganda Duncan pada taraf nyata 5% dengan rumus : LSR = SSR x Sx
Dimana :
Jika : Fh > F tabel = signifikan
Fh ≤ F tabel = non signifikan
Bila hasil uji F menunjukkan perbedaan yang nyata maka, untuk membedakan
rata-rata dari tiap perlakuan dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan uji jarak
berganda Duncan pada taraf nyata 5% dengan rumus sebagai berikut:
LSR = SSR x Sx
Dimana :
LSR
: Least Significant Ranges
SSR
: Studentized Significant Ranges
S𝑥̅
: Galat baku Rata-rata
KT Galat
√
r
Hipotesis yang diuji dalam percobaan ini dinyatakan
sebagai berikut
:
Jika
: Fh > F tabel = signifikan
Fh ≤ F tabel = non signifikan
Bila hasil uji F menunjukkan perbedaan nyata, maka untuk membedakan ratarata dari tiap perlakuan dilakukan uji anjutan dengan menggunakan metode
uji jarak berganda Duncan pada taraf 5% dengan rumus sebagai berikut :
a. Pengaruh faktor tunggal A
:
KT Galat
√
r(B)
b. Pengaruh faktor tunggal B
:
KT Galat
√
r(A)
c. Pengaruh interaksi AxB
:
KT Galat
√
r
LSR : Least Significant Ranges
SSR : Studentized Significant Ranges
3.5. Pelaksanaan Penelitian
3.5.1. Persiapan Lahan
Lahan dibersihkan terlebih dahulu dari gulma dan sisa-sisa tanaman,
kemudian dilakukan pengolahan tanah dengan kedalaman ± 30 cm. Setelah itu
tanah dibiarkan satu minggu. Kemudian dibuat bedengan dengan ukuran panjang
200 cm dan lebar 100 cm dan tinggi 30 cm. Setelah bedengan terbentuk, kemudian
dilakukan penyusunan tata letak serta penandaan plot perlakuan sesuai dengan
rancangan penelitian yang akan dilakukan.
3.5.2. Persiapan Benih Bawang Putih
Benih bawang putih disortir kemudian dilakukan pembersihan dari daun,
cangkang, kotoran dan lainnya sehingga siap digunakan dalam bentuk siung
tunggal.
3.5.3. Penanaman Bibit
Penanaman bibit dilakukan pada sore hari. Bibit ditanam dengan kedalaman ±
2-5 cm dan setiap lubang ditanam satu sampai 3 umbi bawang putih dengan jarak
tanam 15x15 dan 20x20 cm.
3.5.4. Penyiraman
Penyiraman pada tanaman bawang putih dilakukan secara rutin setiap hari
selama masa vegetatif, apabila intensitas hujan cukup maka tidak dilakukan
penyiraman.
3.5.5. Penyiangan Gulma
Penyiangan dilakukan dengan sistem manual dengan mencabut semua gulma
yang ada pada lahan penelitian. Waktu penyiangan dilakukan 2-3 minggu sekali
atau menyesuaikan dengan kondisi di lapangan.
3.5.6. Penyulaman
Penyulaman dilakukan 3 kali pada saat tanaman bawang putih berumur 1 MST,
bibit disisipkan pada tanaman yang tidak tumbuh.
3.5.7. Parameter Pengamatan
Parameter pengamatan terdiri dari intensitas penyakit, pertumbuhan dan hasil
panen. Tanaman yang diamati sebanyak 10 tanaman dari total 20 tanaman pada
setiap plot. Waktu pengamatan intensitas penyakit dilakukan dari mulai munculnya
penyakit bercak ungu atau satu bulan setelah tanam, dengan interval pengamatan
satu minggu sekali hingga dua minggu sebelum panen. Pertumbuhan tanaman
dilakukan 4 MST sampai menjelang panen dengan interval satu minggu sekali
hingga dua minggu sebelum panen. Adapun rincian pengamatan sebagai berikut:
3.5.7.1. Pengamatan Intensitas Penyakit
Pengamatan intensitas penyakit bercak ungu yang disebabkan oleh Alternaria
porri Ell. Cif., dihitung menggunakan rumus tidak mutlak atau bervariasi sebagai
berikut:
𝐼𝑆 =
∑ 𝑛 𝑥𝑣
𝑥100%
𝑁𝑥𝑍
Keterangan:
IS = Intensitas serangan (%)
n = Jumlah rumpun yang memiliki nilai kerusakan (skor) yang sama
Z = Nilai kategori serangan tertinggi
N
= Jumlah rumpun yang diamati
V = Nilai skor kerusakan berdasarkan luas daun seluruh tanaman yang terserang.
Nilai skor dari tiap kategori serangan adalah :
Skor 0 = Tidak ada kerusakan pada rumpun tanaman yang diamati
Skor 1 = Luas kerusakan daun > 0-20%
Skor 2 = Luas kerusakan daun > 20-40%
Skor 3 = Luas kerusakan daun > 40-60%
Skor 4 = Luas kerusakan daun > 60-80%
Skor 5 = Luas kerusakan daun > 80-100% (Soedomo, 2015)
3.5.7.2. Pengamatan Pertumbuhan
Pengamatan pertumbuhan meliputi:
1. Tinggi batang semu
Tinggi batang semu diukur dari permukaan tanah sampai batas daun pertama
muncul menggunakan penggaris.
2. Panjang daun
Pengamatan panjang daun diambil dari daun yang terpanjang pada sampel uji.
3. Jumlah daun
Jumlah daun yang diamati yaitu seluruh daun pada setiap sampel.
3.5.8.2. Hasil panen
Pengamatan hasil panen meliputi panjang akar, bobot basah, bobot kering, dan
diameter umbi.
DAFTAR PUSTAKA
Direktur Jendral Hortikultura, Kementerian Pertanian. 2017. Pengembangan
Bawang
Putih
Nasional
(Online).
Tersedia
di
http://riph.pertanian.go.id/asset/media/download/file/547a6106025e209a3517aa07d
b2f27b7.pdf
Efendi, A. M., Fahmi, I., Samanhudi, S., & Purwanto, E. (2020). Pengaruh Ukuran
Siung dan Jarak Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Putih
Varietas Lumbu Hijau. Agrotechnology Research Journal, 4(1), 6.
Kementrian Pertanian 2018 Effecting, F., Volume, T. H. E., Garlic, O. F., &
Indonesia, I. I. N. (2020). Tren Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Volume Impor Bawang Putih Di Indonesia. 1(2017), 151–165.
Nailil, Muna. 2015. Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium sativum
L.) terhadap Regulasi Apoptosis Sel Germinal Tikus Jantan (Rattus
norvegicus) Galur Sprague Dawley (Online). Skripsi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran dan Kesehatan, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
Putrasamedja, S., Setiawati, W., Lukman, L., & Hasyim, A. (2016). Penampilan
Beberapa Klon Bawang Merah dan Hubungannya dengan Intensitas
Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan. Jurnal Hortikultura, 22(4),
349. https://doi.org/10.21082/jhort.v22n4.2012.p349-359
Rusdiyani, I. (1993). Teknologi Pengawetan Bawang Putih (Allium Sativum). In
Teknologi Pengawetan Bawang Putih (Allium Sativum).
Semangun. H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia.
Universitas Gadjah Mada. 451 Hlm.
Sukmasari, M. D., & Minawati, I. (2018). Efektifitas Agen Hayati Trichoderma
Sp Serta Pengaturan Jarak Tanaman Bawang Merah di Luar Musim. Jurnal
Ilmu Pertanian Dan Peternakan, 6(2), 161–169.
Sufyati, Y., AK, S. I., & Fikrinda. (2006). Pengaruh Ukuran Fisik dan Jumlah Umbi
Per Lubang Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Bawang Merah (Allium
ascalonicum L.) (The Influence of Physical Size and Number of Bulbs Per
Hole on Growth and Yield of Shallot (Allium ascalonicum L.)). Jurnal
Floratek, 2, 43–54.
Wahyud, M. I., & Surahman, M. A. (2018). UJI JARAK TANAM DAN
IMPLIKASINYA TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN INTENSITAS
SERANGAN PENYAKIT PADA BEBERAPA VARIETAS JAGUNG
HIBRIDA (Zea mays L.) DI KABUPATEN JEMBER. Agritrop : Jurnal IlmuIlmu Pertanian (Journal of Agricultural Science), 16(1), 61.
https://doi.org/10.32528/agr.v16i1.1554
Download