CULTURAL STUDIES Berbicara tentang Cultural Studies atau yang kita kenal sebagai studi kajian budaya, perhatian kita tidak dapat dilepaskan dari The Birmingham Center for Contemporary Cultural Studiesyangdipelopori oleh Richard Hoggart dan Raymond Williams. Intitusi yang didirikan pada 1963 ini memang tidak dapat dipisahkan dari kedua nama pendirinya tersebut. Hoggart dan Williams adalahpengajar sastra pada program-program ekstramural, yang membuat kajian tentang bentuk-bentuk dan ekspresi budaya yang mencakup budaya tinggi maupun rendah, dan mengemukakan sejumlah teori tentang kaitan antara keduanya sebagai formasi sosial historis(Budianta, 2002). Cultural Studies itu sendiri mempunyai beberapa definisi sebagaimana dinyatakan oleh Barker (via Storey, 2003), antara lain yaitu sebagai kajian yang memiliki perhatian pada beberapa hal, diantaranya adalah : 1) hubungan atau relasi antara kebudayaan dan kekuasaan; 2) seluruh praktik, institusi dan sistem klasifikasi yang tertanam dalam nilai-nilai partikular, kepercayaan, kompetensi, kebiasaan hidup, dan bentuk-bentuk perilaku yang biasa dari sebuah populasi; 3) berbagai kaitan antara bentuk-bentuk kekuasaan gender, ras, kelas, kolonialisme dan sebagainya dengan pengembangan cara-cara berpikir tentang kebudayaan dan kekuasaan yang bisa digunakan oleh agen-agen dalam mengejar perubahan; dan 4) berbagai kaitan wacana di luar dunia akademis dengan gerakan-gerakan sosial dan politik, para pekerja di lembaga-lembaga kebudayaan, dan manajemen kebudayaan. Cultural studies berpendapat bahwa budaya merupakan salah satu situs utama tempat pembagian-pembagian tersebut terbangun dan saling berkontestasi. Budaya merupakan arena dimana terjadi pertarungan terus-menerus atas makna, yang mana kelompok subordinat berusaha untuk menolak pengenaan makna yang mengandung kepentingan dari kelompok dominan. Hal inilah yang menjadikan budaya ideologis (Storey,1996a, 3-4). Ideologi, tidak diragukan lagi, merupakan konsep sentral dalam cultural studies. Ada banyak definisi tentang ideologi tentunya, namun yang lebih sering digunakan di dalam cultural studies adalah definisi yang diajukan oleh Stuart Hall. Dengan menggunakan kerangka teoritis ‘hegemoni’ Antonio Gramsci, Hall mengembangkan teori ‘artikulasi’ untuk menjelaskan proses-proses pertarungan ideologis. Menurutnya, teks dan praktik kultural tidaklah tersemat makna dan tidak pula dijamin oleh maksud produksi. Makna senantiasa merupakan hasil dari tindakan artikulasi, yaitu sebuah proses aktif menggunakan barang hasil produksi. Proses tersebut disebut sebagai artikulasi karena makna haruslah diekspresikan, tetapi selalu dalam konteks, momen historis, dan wacana tertentu. Dengan demikan ekspresi selalu terhubung dengan dan terkondisi oleh konteks (Storey 1996a, 4; 1996b, 3-4). Dengan menempatkan budaya ke dalam teori produksi dan reproduksi sosial, cultural studies menjelaskan dengan gamblang bagaimana bentuk-bentuk kultural berperan dalam melanjutkan dominasi sosial, atau berperan dalam memungkinkan orang untuk berjuang melawan dominasi. Cultural studies menganalisis masyarakat sebagai serangkaian relasi sosial yang hierarkis dan antagonis yang ditandai dengan penindasan terhadap kelas, gender, ras, etnik, dan bangsa yang subordinat (Kellner 2001, 396). Stuart Hall (1972) menjelaskan bahwa kajian media dan budaya, atau yang lebih dikenal dengan Media and Cultural Studies, pada dasarnya mencoba untuk menggoyang kemampuan berpikir kita tentang “realitas” dan apa yang dimaksud dengan “real” (yang sebenarnya) dalam kehidupan budaya kita sehari-hari. Dalam dunia yang sudah dipenuhi dengan images atau gambar-gambar, dan tulisan-tulisan yang ada di koran, televisi, film, video, radio, iklan, novel dan lain sebagainya, cara kita dan lingkungan sekitar kita ternyata bervariasi dan berbeda satu sama lain. Di era yang disebutnya sebagai “media saturated world” saat kehidupan manusia telah dimediasi oleh media masa, dan cara kita melihat, memandang, memahami dan berperilaku terhadap realitas sosial telah diantarai oleh media massa. Apa yang ada di sekitar kita, menentukan cara kita bertindak dan berperilaku terhadapnya, karena apa yang kita lihat, tonton, baca, dengarkan, dan nikmati dari media massa seolah “mengajarkan” kita untuk melakukan seperti itu. Pada kenyataannya, budaya kita sebenarnya juga dibentuk oleh media massa yang kita nikmati tiap harinya. Lebih jauh lagi, Hall (1972) menyatakan bahwa sentral dari studi media dan budaya adalah pada khalayak atau masyarakat yang selama ini kurang disentuh, terutama masyarakat sebagai makhluk yang membuat makna secara aktif dan masyarakat yang tidak dikooptasi oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan (power interrest) yang selama ini mendominasi media massa dan menentukan kehidupan sosial budaya masyarakat.