Uploaded by eljarsmuhammad17

WANITA KARIER DALAM PERSPEKTIF ALQURAN D

advertisement
WANITA KARIER DALAM PERSPEKTIF ALQURAN DAN HADIS
MAKALAH NON SEMINAR
DARA NANDA VITERA
1306454914
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI ARAB
DEPOK
2018
Wanita Karier dalam Perspektif Alquran dan Hadis
Dara Nanda Vitera
Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Indonesia
[email protected]
Abstrak
Perempuan dan aktivitasnya tidak luput dari konstruksi sosial masyarakat. Dalam konstruksi masyarakat, telah
lama tercipta dikotomi antara wanita karier dan ibu rumah tangga. Seolah dua hal tersebut pantang bersalingsilang atau diemban bersamaan. Perbedaan pemahaman atas identitas perempuan dan pertimbangan teologis
menjadi dasar keberagaman tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan analisis kontekstual tentang
wanita karier. Hal ini karena sistem tebang-pilih dan pemahaman tekstual semata dari ayat alquran, hadis dan
pendapat ulama banyak melahirkan perspektif serta persepsi negatif tentang wanita karier. Bahwasannya menjadi
wanita karier adalah hal yang tidak disenangi bahkan dilarang dalam agama Islam. Namun pemahaman
konstekstual memberikan perspektif dan persepsi lain. Ulama Syekh Yusuf al-Qaradawi sendiri mengeluarkan
fatwa mengenai wanita karier, yakni wanita yang bekerja atau berkarier hukumnya adalah jaiz; sehingga tidak
melahirkan dosa dan tidak termasuk ke dalam larangan dalam agama Islam. Islam dalam sejarahnya sendiri
memperlihatkan kepada kita perempuan-perempuan Muslim yang berkarier sejalan dengan rida Allah SWT dan
Nabi Muhammad SAW seperti Khadijah, ‘Aisyah dan Fatimah.
Kata Kunci: Alquran; Hadis; Islam; Wanita; Wanita Karier
I.
Pendahuluan
Perempuan dan aktivitasnya tidak luput dari konstruksi sosial masyarakat. Dalam konstruksi
masyarakat, telah lama tercipta dikotomi antara wanita karier dan ibu rumah tangga. Seolah
dua hal tersebut pantang bersaling-silang atau diemban bersamaan. Perbedaan pemahaman atas
identitas perempuan dan pertimbangan teologis menjadi dasar keberagaman tersebut. Tidak
hanya berhenti di tataran pemahaman, keberagaman tersebut juga berimbas pada justifikasi
serampangan terhadap ideal-tidak ideal, berdosa-tidak berdosa hingga halal-haramnya aktivitas
yang dilakukan seorang perempuan.
Dikotomi atas wanita karier dan ibu rumah tangga bentukan masyarakat tidak dapat dilepaskan
dari corak pemikiran yang berkembang dalam kerangka politik identitas, yaitu esensialisme
dan konstruktivisme. Menurut Skjelsbaek (2001), kalangan esensialis memiliki pandangan
bahwa gender merupakan sesuatu yang tetap dan tidak dapat berubah karena adanya implikasi
antara karakteristik dan perilaku yang terus berjalan melintasi ruang dan waktu. Sedangkan
kalangan konstruksionis justru menganggap bahwa gender tidak muncul secara alami
melainkan dibentuk oleh kondisi sosial.
Esensialisme menurut Richard dalam Afala (2018) memandang bahwa setiap entitas memiliki
karakteristiknya masing-masing dalam identitas dan fungsinya. Dalam konteks ini, identitas
gender dianggap sebagai sesuatu yang pasti seperti halnya identitas agama, etnis dan ras.
Sementara out, konstruksionisme berupaya memahami realitas sosial yang di dalamnya terlibat
manusia dan institusi sosial atau masyarakat yang saling berinteraksi secara timbal-balik.
Selain itu, konstruksionisme juga berasumsi bahwa realitas di luar diri manusia hanya dapat
dipahami melalui pengalaman interaksi dan relasi-relasi konstruksional manusia dengan dunia
luarnya.
Pada implementasinya, esensialisme lebih menitikberatkan pada pemenuhan dari sifat-sifat
feminin perempuan. Dalam konteks ini, kalangan esensialis memiliki fokus lebih pada
kesejahteraan perempuan dalam kaitannya dengan determinisme biologis (Afifah: 2017). Di
tataran aksi, kalangan esensialis ini akan menyuarakan dan mengupayakan perwujudan hal-hal
yang mendukung peran ibu dalam keluarga, proyek-proyek pemenuhan kebutuhan fisik
keluarga melalui penyediaan sandang, pangan, papan dan proyek-proyek pelatihan mengenai
rumah tangga seperti kebersihan, kesehatan, masak-memasak dan pemenuhan status gizi
(Saptari dan Holzner: 1997).
Bagi kalangan esensialis, apabila yang menjadi fokusnya sedikit-banyak terpenuhi maka
mereka telah merasa dalam posisi dan peran yang ideal bahkan unggul. Kalangan esensialis
memperjuangkan peran perempuan di ranah domestik, yang harus disejahterakan dan dipenuhi
kebutuhannya oleh berbagai pihak. Hal inilah yang kemudian menjadi sumber lahirnya
anggapan bahwa perempuan sebagai ibu rumah tangga, apabila peran dan kesejahteraannya
telah terpenuhi maka ia telah mencapai kondisi ideal seorang perempuan.
Di lain sisi, konstruksionisme lebih menekankan perempuan sebagai subjek yang memiliki
peran horizontal di masyarakat (Affiah, 2017). Di tataran aksi, kalangan konstruksionis akan
menyuarakan serta mengupayakan perwujudan kesetaraan relasi serta partisipasi perempuan
dalam hal pembuatan keputusan, akses yang sama untuk mendapatkan kesempatan kerja,
jabatan, pendidikan, pelatihan, kontrol terhadap kepemilikan tanah, kekayaan, akses kredit dan
pinjaman, upah yang sama dengan laki-laki untuk jenis pekerjaan yang bernilai sama,
kebebasan memilih dalam pernikahan dan reproduksi serta adanya perlindungan terhadap
pelecehan seksual dan kekerasan yang dilakukan pasangan atau suami dalam rumah tangga
(Kusyuniati dan Wieringa dalam Affiah: 2017).
Bagi kalangan konstruksionis, mempertanyakan, mendekonstruksi dan bergerak lebih daripada
kodrat adalah perlu. Bila kalangan esensialis memperjuangkan pemenuhan kesejahteraan atas
peran perempuan yang diembannya, kalangan konstruksionis justru memperjuangkan hak
asasi. Dalam apa yang menjadi fokus perjuangan kalangan konstruksionis ini, kesempatan
bekerja dan berkarier yang sama antara laki-laki dan perempuan termasuk di dalamnya. Maka
dari itu, kalangan konstruksionis akan mendukung penuh perempuan bekerja atau wanita
karier.
Ajaran agama memainkan peran cukup besar bagi konstruksi sosial yang terbentuk di
masyarakat hingga saat ini. Baik kalangan esensialis maupun konstruksionis mencari bahkan
membutuhkan afirmasi agama sebagai dukungan bagi pemikiran-pemikirannya. Meski begitu,
banyak muatan agama yang justru dijadikan alat menyerang masing-masing kalangan, dan
yang sering terjadi adalah ayat alquran, hadis dan pendapat ulama yang dipahami secara
tekstual dan digunakan untuk menyerang suatu subjek, salah satunya adalah wanita karier.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: (1) Ayat alquran dan hadis apa
saja yang membahas tentang perempuan bekerja atau wanita karier, dan (2) Pandangan ulama
terhadap wanita karier.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan analisis tekstual dan kontekstual tentang wanita
karier dari ayat alquran dan hadis serta pandangan ulama. Tulisan ini diharapkan dapat
memberi perspektif dan persepsi lain terhadap wanita karier dalam lingkup ajaran agama Islam.
Penulis berharap penelitian ini dapat memberi kontribusi positif bagi kajian keislaman,
khususnya analisis alquran dan hadis.
II. Penelitian Terdahulu
Terkait penelitian terdahulu, penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang memiliki
pendekatan atau tujuan serupa dengan penelitian ini dengan objek kajian yang berbeda, di
antaranya yaitu:
1. Penelitian oleh Tasmin Tangngareng berjudul Kepemimpinan Perempuan dalam
Perspektif Hadis yang dimuat dalam Journal UIN Alauddin. Penelitian ini
memfokuskan kajian pada analisis tekstual dan kontekstual hadis yang berhubungan
dengan kepemimpinan perempuan. Dari hasil penelitiannya, Tasmin menekankan
bahwa dalam memahami hadist, pendekatan kontekstual harus terlebih dahulu
dipertimbangkan karena dalam hadis kandungan petunjuk dapat bersifat temporal.
2. Penelitian oleh Supardin berjudul Kajian Gender Perspektif Hadis Nabi yang dimuat
dalam Journal UIN Alauddin. Penelitian ini memfokuskan kajian pada kritik sanad dan
matan hadis yang berkaitan dengan gender. Dari hasil penelitiannya, Supardin
menekankan bahwa menurut hadis, laki-laki dan perempuan adalah satu kemitraan
dalam segala hal, kecuali dalam kondisi tertentu seperti kodrati yang melekat pada diri
seseorang, baik laki-laki maupun perempuan.
3. Penelitian oleh Asriaty berjudul Wanita Karier dalam Pandangan Islam yang dimuat
dalam Journal STAIN Pare-pare. Penelitian ini memfokuskan kajian pada ayat-ayat
alquran tentang wanita karier. Dari hasil penelitiannya Asriaty menekankan pentingnya
menerapkan manajemen rumah tangga sesuai ajaran agama Islam. Dengan hal tersebut,
menjadi ibu rumah tangga ataupun wanita karier nantinya tidak akan menjadi masalah.
Sejauh ini, penelitian ini yang paling mirip dengan penelitian yang penulis lakukan.
Meski begitu, penelitian ini dengan penelitian yang penulis lakukan memiliki titik
berangkat serta objek analisis yang berbeda.
III. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode studi pustaka. Metode studi pustaka
menurut Mardalis (1999) adalah mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai
macam material yang ada di perpustakaan seperti dokumen, buku, catatan, majalah dan lain
sebagainya. Sumber data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah alquran dan hadis.
Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.
Pendekatan kualitatif merupakan tradisi dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristiwanya (Kirk dan
Miller dalam S. Margono: 2010).
IV. Pembahasan
1.
Sejarah Perempuan
a.
Masa Pra-Islam
Masa pra-Islam atau terkenal dengan istilah “zaman jahiliah” biasanya diartikan dengan
kehidupan barbar dan kebodohan. Dalam kata serapan bahasa Arab dalam bahasa
Indonesia sendiri kata “jahil” diartikan sebagai bodoh; tidak tahu, sedangkan kata
“jahiliah” diartikan sebagai kebodohan. Tanah Arab secara geografis banyak diisi oleh
pasir dan tanah subur. Kondisi alam yang panas dan tandus menciptakan karakeristik
orang-orang yang keras (Hitti: 2013). Masyarakat jahiliah itu berada di wilayah Arab utara
terutama Hijaz. Negeri Hijaz tidak pernah dijajah atau dipengaruhi oleh negara lain. Salah
satu konsep keagamaan yang dikenal di kawasan Hijaz adalah berketuhanan. Bagi
masyarakat Hijaz, Allah merupakan Tuhan yang paling utama meskipun bukan satusatunya.
Dalam hal ekonomi dan kreatif sebenarnya bangsa Arab justru selangkah lebih maju
dibandingkan bangsa lain yang telah ada. Untuk itu, terminologi “jahiliyah”, kebodohan
dan lain sebagainya itu tampak tidak cocok menggambarkan kondisi ekonomi dan kreatif
bangsa Arab (Wildana dan Layli: 2008). Jahiliyah tersebut sebenarnya berarti bahwa
ketika itu orang-orang Arab tidak memiliki otoritas hukum yang jelas, pemimpin atau nabi
yang memiliki kapasitas dan integritas serta menyimpang dari hakekat berketuhanan.
Sebelum kedatangan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, di dunia Arab
terdapat bermacam-macam agama, yaitu paganisme, Kristen, Yahudi, dan Majusi.
Masyarakat Arab sendiri telah mengenal konsep ketuhanan yang maha esa atau tauhid
semenjak kehadiran Nabi Ibrahim. Menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW, bangsa
Arab masih menempatkan Allah sebagai Tuhannya walaupun dalam perkembangan
berikutnya mengalami proses perusakan keyakinan yang mengakibatkan terjadinya
pengingkaran pada konsep tauhid tersebut. Pada umumnya mereka menjadikan berhala
sebagai sesuatu yang sangat dekat dengan mereka serta yang menentukan kehidupan
mereka. Karena itu, mereka biasa disebut sebagai penyembah berhala atau paganisme.
Beberapa perilaku bangsa Arab pra-Islam adalah membunuh anak perempuan karena
dianggap membawa petaka, penyiksaan, memperkosa serta menikahi banyak wanita
(poligami), perempuan memiliki banyak pasangan (poliandri), berjudi, mencuri,
merampok dan minum-minuman keras (Abdul: 2007). Masyarakat Arab pada masa
jahiliah adalah masyarakat patriarkal yang memandang bahwa perang merupakan asas
kehidupan. Sehingga, laki-laki dianggap sebagai simbol kekuatan yang berjasa dalam
setiap peperangan. Karena itulah peran laki-laki sangat dominan jika dibandingkan dengan
perempuan (Kadarusman: 2005). Adanya pandangan bahwa anak perempuan tidak bisa
berperang dan akan mendatangkan aib bagi keluarga dan sukunya, menyebabkan mereka
malu jika istri mereka melahirkan bayi perempuan. Hal ini dijelaskan dalam ayat alquran:
‫علَى‬
ِ ‫س‬
ُ ‫ارى ِمنَ ْالقَ ْو ِم ِم ْن‬
َ ُ‫وء َما بُش َِر ِب ِه ۚ أَيُ ْم ِس ُكه‬
َ ‫يَت َ َو‬
َ‫سا َء َما يَ ْح ُك ُمون‬
ُّ ُ‫ُهون أ َ ْم يَد‬
ِ ‫سهُ ِفي الت ُّ َرا‬
َ ‫ب ۗ أَ َل‬
“Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
akan menguburkannya kedalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa
yang mereka tetapkan itu” (QS. a-Nahl: 59)
Di tanah lain, perendahan terhadap perempuan juga terjadi sama buruknya. sekali tidak
ada harganya di masyarakat. Berbagai bangsa kuno seperti India, Persia, dan Yunani
beranggapan bahwa wanita adalah sumber penyakit dan fitnah. Eksistensi wanita tidak
diperhitungkan, karena mereka merupakan subjek yang hina. Selanjutnya bangsa-bangsa
tersebut memperlakukan wanita secara kasar dan memperhinakannya sedemikian rupa
sehingga menurunkan martabatnya dan mengingkari kemanusiaannya (Abdur dan Abdul:
1995).
Dalam tradisi masyarakat bangsa Arab, pembagian peran sudah terpola dengan kaku. Lakilaki yang berperan mencari nafkah dan melindungi keluarga, sementara perempuan
berperan dalam urusan reproduksi, seperti memelihara anak dan menyiapkan makanan
untuk seluruh anggota keluarga (Nasaruddin: 1999). Tindakan diskriminatif tersebutlah
yang menyebabkan dalam kurun waktu yang sangat lama perempuan dalam aspek
sosialnya berada pada posisi yang subordinatif, terepresi; tidak mempunyai gerak yang
luas baik dalam segi individu maupun keberadaannya sebagai bagian dari keluarga.
b. Masa Islam
Belum terdapat perubahan yang signifikan terhadap perilaku bangsa Arab pada masa
sebelum fathul Makkah. Mereka masih saja melakukan kebiasaan-kebiasaan yang biasa
dilakukan pada masa jahiliyah. Hanya segelintir orang, yang masuk Islam, yang
mengalami perubahan-perubahan perilaku. Pada masa ini Nabi Muhammad SAW
mendapatkan tantangan yang sangat berat dalam menyebarkan Islam (Zuhairi: 2009).
Setelah terjadinya penaklukkan terhadap kota Makkah, penduduk kota tersebut yang masih
menganut kepercayaan bermacam-macam, berbondong-bondong menyatakan bahwa
mereka masuk Islam.
Kedatangan agama Islam sangat berpengaruh besar di bidang kesusastraan serta kemajuan
di berbagai aspek, di antaranya agama, ekonomi, politik, budaya maupun keadaan sosial
keseluruhan. Kemerosotan moral yang tercermin dalam kehidupan masa lampau bangsa
Arab seperti kemusyrikan, penindasan, fanatisme kesukuan, prostitusi, pembunuhan,
perzinaan, dan lain sebagainya merupakan satu dari sekian banyak alasan kedatangan
Islam di jazirah ini. Islam sebagai agama rahmatan lil alamin memberikan sentuhan baru
dalam pergaulan sosial mereka (Sa’id: 2003). Kedatangan Nabi Muhammad SAW menjadi
ujian bagi bangsa Arab, hal ini karena ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW benarbenar bertolak belakang bagi ajaran dan tradisi hidup mereka sehari-hari.
Islam datang dengan tradisi dan ajaran baru. Islam menjadikan kepatuhan dan ketundukan
kepada Allah sebagai landasan berkehidupan. Islam mengajarkan pula sikap hidup seperti
kesabaran, qanaah dan rendah hati, menghindari kemewahan yang berlebih-lebihan dan
menghindari kesombongan (Wildana dan Layli: 2008). Diangkatnya Muhammad SAW
sebagai nabi mendorong perubahan yang radikal dan mendasar utamanya dalam pola
interaksi antara laki-laki dan perempuan masyarakat Arab. Pola interaksi sosial
masyarakat Arab pra-Islam yang bersandar pada fanatisme suku dan kekuatan fisik
berubah menjadi pola interaksi yang menjunjung tinggi kejujuran, perdamaian,
egalitarianisme dan ketundukan kepada Allah semata. Perubahan pola interaksi semacam
ini pada akhirnya berimplikasi pada model perlakuan yang egaliter terhadap relasi gender,
sehingga laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan agama
(Kadarusman: 2005).
Perempuan seperti manusia pada umumnya merupakan makhluk sosial yang tidak dapat
hidup sendiri. Ruang lingkup sosial itu sendiri amat luas, dari ranah kehidupan keluarga
hingga ranah publik atau kemasyarakatan. Jadi peran perempuan dalam keluarga dapat
dikatakan peran. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, kaum perempuan mendapatkan
kesempatan yang lebih besar dalam ruang sosial, pendidikan, politik dan keagamaan jika
dibandingkan pada masa pra-Islam. Perempuan juga mempunyai peran yang cukup
signifikan dalam memelihara serta menyebarkan ajaran Islam. Hal tersebut dapat dilihat
dari peran kaum perempuan di masa Nabi Muhammad SAW, yaitu dalam berperang di
jalan Islam yang menggunakan harta Khodijah, istri pertama Nabi Muhammad SAW. Serta
dalam proses transmisi hadis, yang melibatkan ‘Aisyah, istri Nabi Muhammad SAW.
Nabi Muhammad SAW sendiri memperlakukan perempuan sebagai salah satu media
transformasi pendidikan. Dalam berbagai majelis ilmu, perempuan tampak hadir bersama
laki-laki. Dalam majelis itu, seringkali dibahas persoalan khusus perempuan. Bahkan,
apabila Rasulullah hanya bersama laki-laki dalam majelis, maka kaum perempuan tidak
segan-segan mengirimkan utusan kepada Rasulullah untuk mengajari mereka pada waktu
yang telah disepakati (Kadarusman: 2005). Di zaman Nabi Muhammad SAW, kedekatan
perempuan terhadap karier dan ilmu pengetahuan terjadi lewat sejumlah jalan, yaitu:
1. Para perempuan hadir dalam majelis khusus dan umum untuk semua kaum muslimin;
2. Para perempuan mendatangi rumah Nabi untuk bertanya tentang segala persoalan atau
bila merasa malu bertanya di muka umum. Misal: kedatangan Zainab, istri Abdullah
bin Mas’ud, untuk bertanya tentang nafkah dan sedekah kepada suami;
3. Menyaksikan serta mendengarkan percakapan atau tempat pemberhentian di mana
Nabi bertatap muka dengan banyak orang atau memperoleh wahyu atas hukum baru.
4. Berkumpulnya sahabat laki-laki dan perempuan seperti pada haji wada (Kadarusman:
2005).
5. Mengisi kekosongan atau sesuatu yang tidak dapat diisi oleh laki-laki. Misal: Harta
untuk berperang di jalan Islam, seperti yang diberikan Khadijah, istri Nabi Muhammad
SAW.
6. Melibatkan diri pada urusan-urusan publik dan hajat banyak orang. Misal: ‘Aisyah pada
proses penyusunan dan pembukuan hadis.
Dari sejumlah peristiwa sejarah dalam lingkup agama Islam yang telah dikemukakan di atas,
dapat dilihat bahwa begitu besarnya peranan sosial perempuan dalam masyarakat dan tidak ada
pengharaman serta pelarangan atasnya. aktivitas sehari-hari mereka. Pada dasarnya masih
banyak sekali peranan-peranan penting yang mereka lakukan dalam perannya di tengah-tengah
masyarakat, seperti peranan dalam bidang ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Selain itu,
perempuan juga memiliki peranan besar dalam menegakkan tiang agama lewat dakwahdakwah yang diberikan kepada perempuan lainnya.
2.
Ayat Alquran dan Hadis Tentang Wanita Karier
Terminologi wanita karier dapat diartikan sebagai wanita yang berkecimpung dalam kegiatan
profesi; usaha, perkantoran, dan sebagainya (KBBI V). Menurut Hafidz dan Huzaimah (2002),
wanita karier adalah wanita-wanita yang menekuni profesi atau pekerjaannya dan melakukan
berbagai aktivitas untuk meningkatkan hasil dan prestasinya. Dalam menetapkan hukum
syariat, termasuk hukum perempuan bekerja atau wanita karier, berlaku prinsip dasar yang
menjadi bagian dari kaidah fikih yaitu:
‫األصل في األشياء اإلباحة‬
“Hukum asal segala sesuatu adalah boleh”
Dari prinsip dasar tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa asal sesuatu perkara selalu
halal hukumnya, boleh dikerjakan dan mubah kedudukannya. Fikih Islam selalu memandang
bahwa asal mula hukum adalah tidak haram, tidak terlarang, tidak dibenci dan tidak dimurkai
Allah SWT. Kecuali setelah adanya dalil nash yang shahih (valid) dan sharih (tegas) dari
Allah SWT sebagai Asy-Syari’ (yang berwenang membuat hukum itu sendiri), baru suatu
hukum bisa berubah menjadi haram atau makruh.
Dalam alquran, Allah menghendaki manusia, baik laki-laki dan perempuan untuk bertebaran
di muka bumi untuk mencari karunia Allah SWT. Seperti yang tertuang dalam surat al-Jumu’ah
ayat 10, yaitu:
‫ض ِل‬
ْ َ‫ض َوا ْبت َغُ ْوا ِم ْن ف‬
ِ َ ‫ضي‬
ِ ‫ت الصآلوة فا ْنتَش ُِر ْوا فى ْاْلَ ْر‬
ِ ُ‫فَ ِاذَا ق‬
َ‫للاِ وا ْذ ُك ُروا للاَ َكثِي ًْرا لعَل ُك ْم تفلَ ُح ْون‬
“Apabila sholat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi; carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung” (QS. al-Jumu’ah: 10)
Hal ini mengisyaratkan bahwa baik laki-laki dan perempuan dapat keluar dari rumahnya untuk
melakukan sesuatu yang bermanfaat. Dalam kata “carilah” berarti pula Allah justru menyuruh
manusia untuk melakukan hal tersebut, terlebih apabila berdiam diri di dalam rumah nyatanya
tidak menghasilkan manfaat apa-apa.
Allah juga menjanjikan kehidupan yang baik bahkan pahala yang lebih dari apa yang telah
dikerjakan seorang manusia apabila ia senantiasa mengerjakan amal shaleh. Hal ini tertuang
dalam surat an-Nahl ayat 97, yaitu:
ً ‫صا ِل ًحا ِم ْن َذ َك ٍر أَ ْو أ ُ ْنث َ ٰى َو ُه َو ُمؤْ ِم ٌن فَلَنُ ْحيِيَنَّهُ َحيَاة‬
َ ‫َم ْن‬
َ ‫ع ِم َل‬
َ
َ‫س ِن َما َكانُوا يَ ْع َملُون‬
َ ‫ط ِيبَةً ۖ َولَن َْج ِزيَنَّ ُه ْم أَ ْج َر ُه ْم ِبأ َ ْح‬
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam
keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik
dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. an-Nahl: 97)
Nabi Muhammad SAW pada dasarnya memuji manusia, baik laki-laki dan perempuan yang
memakan rizki dari hasil usaha atau pekerjaannya sendiri. Sebagaimana diriwayatkan dalam
hadis sahih Bukhari yaitu:
ْ
‫علَ ْي ِه وسل َم‬
ُ ‫ي للاُ ع ْنهُ ع ْنر‬
َ ُ‫سو ِل للاِ صلى للا‬
ِ ‫دامر‬
َ ‫عن ْالم ْق‬
َ ‫ض‬
ْ ‫أن يا ْ ُك َل‬
ْ ‫قَا َل‬
َ‫داودَ َعلَ ْي ِه السالم َكان‬
َ ‫من‬
ُ ِ‫ع َم ِل يَ ِد ِه و ِإن ن ِبي للا‬
‫ع َم ِل يَدَ ِه‬
َ ‫يأ ْ ُك ُل ِم ْن‬
“Tidaklah seseorang mengkonsumsi makanan itu lebih baik daripada mengkonsumsi
makanan yang diperoleh dari hasil kerjanya sendiri. Sebab Nabi Allah, Daud, makan
makanan dari hasil kerjanya” (HR. al-Bukhari)
Hadis tersebut secara kontekstual menunjukkan perintah bagi setiap muslim untuk bekerja dan
berusaha untuk mencari nafkah dengan usaha sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain,
sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Nabi Daud AS. Nabi Muhammad SAW sejalan
dengan ajaran agama Islam tidak membedakan hak antara laki-laki dan wanita untuk bekerja,
keduanya diberi kesempatan dan kebebasan untuk berusaha dan mencari penghidupan di muka
bumi ini dengan cara yang halal.
Allah SWT menententukan rizki dan pahala berdasarkan usaha masing-masing manusia; baik
laki-laki maupun perempuan. Tidak ada yang dapat mengukur pasti terkait ganjaran-Nya
tersebut, sehingga tidak dapat pula laki-laki atau perempuan merasa unggul dalam hal usaha
ini.
Bersikap iri hati dan sirik terhadap apa yang diperoleh manusia lain juga tidak
diperbolehkan dalam Islam. Hal ini merupakan pemahaman kontekstual atas alquran surat anNisa ayat 32, yaitu:
‫ض ِل ِلر َجا ِل‬
ٍ ‫علَى بَ ْع‬
َ ‫ض ُك ْم‬
َ ‫َوْل تَت َ َمن ْوا ما فَض َل للاُ ِب ِه بَ ْع‬
‫سبْنَ وا ْسألُوا للاَ ِم ْن‬
ٌ ‫اء نَس‬
ٌ
ِ ‫س‬
َ َ‫ِيب ِمما ا ْكت‬
َ ِ‫سبُوا َو ِللن‬
َ َ ‫نصيب ِمما ا ْكت‬
‫ع ِلي ًما‬
َ ‫ض ِل ِه إن للاَ كانَ ِب ُك ِل‬
ْ َ‫ف‬
َ ٍ‫ش ْيء‬
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu
lebih banyak dari sebagian yang lain. Karena bagi laki-laki telah ada bagiannya sendiri dari
apa yang diusahakannya, dan bagi perempuan juga telah ada bagiannya sendiri dari apa
yang diusahakannya. Dan memintalah kepada Allah SWT untuk karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisa: 32)
Terakhir, hingga saat tulisan ini dibuat, penulis tidak menemukan ayat alquran dan hadis yang
secara gamblang menaruh hukum haram atau berdosa bagi perempuan bekerja atau wanita
karier. Sebaliknya, penulis justru menemukan ayat yang secara kontekstual mendukung amalan
atau kerja yang dilakukan manusia; baik perempuan dan laki-laki selama itu semua berada di
jalan Allah SWT, seperti tertuang dalam kutipan kedua ayat alquran ini:
‫ِين‬
ْ ‫ُه َو‬
َ ‫اجتَبَا ُك ْم َو َما َجعَ َل‬
ِ ‫علَ ْي ُك ْم فِي الد‬
“…Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(QS. al-Hajj: 78)
َ ‫ٱ ْس ُم‬
‫علَ ْي ُك ْم‬
َ َ‫علَ ْي ِه َوقَ ْد ف‬
َ ‫ص َل لَ ُكم َما َح َر َم‬
َ ِ‫ٱّلل‬
"…Dan Allah telah memerinci kepadamu sesuatu yang Ia telah haramkan atas kamu." (QS.
al-An'am: 119)
3.
Pendapat Ulama Terhadap Wanita Karier
Merunut pada kekuatan sumber hukum Islam, ijmak dan ijtihad ulama berada setelah alquran
dan hadis; dan sunah. Penulis tidak menemukan ijmak yang dapat dijadikan rujukan. Meski
begitu, penulis dalam hal ini akan merujuk dua ijtihad ulama dalam kaitannya dengan
perempuan bekerja atau wanita karier, yaitu:
1. Ijtihad Syekh Ibnu Baaz dalam Zakiyah (2013)
Secara asal nafkah bagi keluarga merupakan tanggug jawab kaum laki-laki. Syaikh
Ibnu Baaz berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki
kewajiban yang khusus agar keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah
bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah
dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan
kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai
baginya, mengajar anak-anak, mengurusi sekolah mereka, dan mengobati mereka serta
pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita, dan inilah yang terbaik bagi kaum wanita
untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan wanita.
Meski begitu, bila kaum wanita tidak ada lagi yang mencukupi dan mencarikan nafkah,
boleh baginya keluar rumah untuk bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, tentunya ia
harus memperhatikan adab-adab keluar rumah sehingga tetap terjaga iffah (kemuliaan,
kehormatan dan kesucian) harga dirinya. Begitu juga wanita diperkenankan menuntut
ilmu atau belajar di luar rumah sepanjang tidak membahayakan dirinya dan mampu
menjaga kehormatannya untuk kemaslahatan diri dan masyarakatnya.
2. Ijtihad Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam Rashda (2008)
Bahwasannya, hukum perempuan bekerja atau berkarier adalah mubah atau jaiz.
Menurut ajaran Islam, mubah atau jaiz berarti suatu hal tersebut boleh dilakukan, tetapi
boleh juga tidak dilakukan. Dalam pengganjarannya, seseorang yang melakukan hal
mubah atau jaiz ini tidak memperoleh pahala pun dosa atas perbuatannya. Lebih lanjut,
hukum tersebut akan menjadi sunah atau wajib bila hajatnya besar. Hajat besar tersebut
misalnya, perempuan yang bercerai karena kematian, namun harus menghidupi dirinya
dan anak-anaknya sementara tidak ada orang lain lagi yang dapat dijadikan pemberi
nafkah.
Sebagaimana Islam mengatur tata cara berkehidupan, dalam Islam perempuan bekerja
atau berkarier juga memiliki aturan tersendiri. Seperti yang diungkapkan Syekh Yusuf
al-Qardhawi, syarat perempuan bekerja atau berkarier adalah:
1.
Hendaklah pekerjaan yang dikerjakannya disyariatkan - Artinya, pekerjaan itu
tidak haram atau bisa mendatangkan sesuatu yang haram.
2.
Hendaklah memenuhi adab muslimah ketika keluarga rumah, dalam
berpakaian, berjalan, berbicara dan melakukan gerak-gerik - Seperti tertuang dalam
ayat alquran ini:
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya…” (QS. an-Nur: 31)
“…dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan…”(QS. an-Nur: 31)
3.
Janganlah pekerjaan atau tugasnya itu mengabaikan kewajiban-kewajiban lain
yang tidak boleh diabaikan - Seperti kewajiban terhadap suaminya atau anak-anaknya
yang merupakan kewajiban pertama dan tugas utamanya.
V. Kesimpulan
Pada masa pra-Islam, di tanah Arab terjadi begitu banyak kekejian yang dilakukan terhadap
perempuan. Beberapa di antaranya adalah membunuh anak perempuan karena dianggap
membawa petaka, penyiksaan, memperkosa serta menikahi banyak wanita (poligami). Di tanah
lain, perendahan terhadap perempuan juga terjadi sama buruknya. sekali tidak ada harganya di
masyarakat. Berbagai bangsa kuno seperti India, Persia, dan Yunani beranggapan bahwa
wanita adalah sumber penyakit dan fitnah. Eksistensi wanita tidak diperhitungkan, karena
mereka merupakan subjek yang hina. Selanjutnya bangsa-bangsa tersebut memperlakukan
wanita secara kasar dan memperhinakannya sedemikian rupa sehingga menurunkan
martabatnya dan mengingkari kemanusiaannya (Abdur dan Abdul: 1995).
Islam datang dengan tradisi dan ajaran baru. Islam menjadikan kepatuhan dan ketundukan
kepada Allah sebagai landasan berkehidupan. Islam mengajarkan pula sikap hidup seperti
kesabaran, qanaah dan rendah hati, menghindari kemewahan yang berlebih-lebihan dan
menghindari kesombongan (Wildana dan Layli: 2008). Diangkatnya Muhammad SAW sebagai
nabi mendorong perubahan yang radikal dan mendasar utamanya dalam pola interaksi antara
laki-laki dan perempuan masyarakat Arab. Pola interaksi sosial masyarakat Arab pra-Islam
yang bersandar pada fanatisme suku dan kekuatan fisik berubah menjadi pola interaksi yang
menjunjung tinggi kejujuran, perdamaian, egalitarianisme dan ketundukan kepada Allah
semata. Perubahan pola interaksi semacam ini pada akhirnya berimplikasi pada model
perlakuan yang egaliter terhadap relasi gender, sehingga laki-laki dan perempuan memiliki
kedudukan yang sama di hadapan agama (Kadarusman: 2005).
Di zaman Nabi Muhammad SAW, kedekatan perempuan terhadap karier dan ilmu pengetahuan
terjadi lewat sejumlah jalan, yaitu:
1. Para perempuan hadir dalam majelis khusus dan umum untuk semua kaum muslimin;
2. Para perempuan mendatangi rumah Nabi untuk bertanya tentang segala persoalan atau
bila merasa malu bertanya di muka umum. Misal: kedatangan Zainab, istri Abdullah
bin Mas’ud, untuk bertanya tentang nafkah dan sedekah kepada suami;
3. Menyaksikan serta mendengarkan percakapan atau tempat pemberhentian di mana
Nabi bertatap muka dengan banyak orang atau memperoleh wahyu atas hukum baru.
4. Berkumpulnya sahabat laki-laki dan perempuan seperti pada haji wada (Kadarusman:
2005).
5. Mengisi kekosongan atau sesuatu yang tidak dapat diisi oleh laki-laki. Misal: Harta
untuk berperang di jalan Islam, seperti yang diberikan Khadijah, istri Nabi Muhammad
SAW.
6. Melibatkan diri pada urusan-urusan publik dan hajat banyak orang. Misal: ‘Aisyah pada
proses penyusunan dan pembukuan hadis.
Terdapat sejumlah faktor yang memicu dikotomi wanita karier dan ibu rumah tangga dalam
pemisahan sektor publik dan domestik, antara lain adalah konstruksi pemikiran tentang
identitas yaitu esensialisme dan konstrukstivisme, serta budaya patriarki akut yang dianut oleh
sebagian besar penduduk dunia sejak dahulu kala (masa pra-Islam) yang dikuatkan lewat
pemahaman tekstualis dan terbatas ayat alquran dan hadis sehingga tercipta posisi dan nilai
perempuan yang tidak proporsional. Perilaku nabi, keluarga serta sahabat dalam sejarahnya
mengimplementasikan ajaran Islam jelas tidak dapat dijadikan sumber lahirnya dikotomi
tersebut karena di zaman mereka, banyak perempuan justru memperlihatkan dualisme peran;
yaitu menjadi wanita karier sekaligus ibu rumah tangga yang dijalankan sama baiknya, serta
diridai Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
Ajaran agama memainkan peran cukup besar bagi konstruksi sosial yang terbentuk di
masyarakat hingga saat ini. Banyak kalangan mencari bahkan membutuhkan afirmasi agama
sebagai dukungan bagi pemikiran-pemikirannya. Meski begitu, banyak muatan agama yang
justru dijadikan alat menyerang masing-masing kalangan, dan yang sering terjadi adalah ayat
alquran, hadis dan pendapat ulama yang dipahami secara tekstual dan digunakan untuk
menyerang suatu subjek, salah satunya adalah wanita karier. Alquran dan hadis secara tekstual
tidak akan berubah, namun maknanya akan terus bergerak seiring berkembangnya zaman.
Dengan demikian, pemahaman kontekstual akan ayat alquran dan hadis adalah perlu agar kita
tidak terjebak dalam justifikasi serampangan serta pemahaman agama yang cetek.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1977. Departemen Agama (Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al Quran)
A. Hafiz Anshary A.Z. dan Huzaimah T. Yanggo. 2002. Ihdad Wanita Karir, dalam
Problematika Hukum Islam Kontemporer (II). (Jakarta: Pustaka Firdaus)
Abdur Rasul dan Abdul Hassan al-Ghaffar. 1995. Wanita Islam & Gaya Hidup Modern.
(Jakarta: Pustaka Hidayah)
Afala, Laode Machdani. 2018. Politik Identitas di Indonesia. (Malang: UB Press)
Affiah, Neng Dara. 2017. Potret Perempuan Muslim Progresif Indonesia. (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia)
al-Jandul, Sa’id Abdul Aziz. 2003. Wanita Di antara Fitrah, Hak & Kewajiban. (Jakarta:
Darul Haq)
Asriaty. 2014. Wanita Karier dalam Pandangan Islam. Jurnal al-Maiyyah Vol. 7 No. 2
http://ejurnal.stainparepare.ac.id/index.php/almaiyah/article/download/240/165/ diakses pada
30 Desember 2018
Diana, Rashda. 2008. Partisipasi Politik Muslimah dalam Pandangan Yusuf Qardhawi.
Jurnal Tsaqafah Vol. V No. 2
https://ejournal.unida.gontor.ac.id/index.php/tsaqafah/article/viewFile/129/118 diakses pada
30 Desember 2018
Hitti, Phillip K. 2013. History of The Arabs (Terjemahan). (Jakarta: Penerbit Serambi)
Kadarusman. 2005. Agama, Relasi Gender Dan Feminisme Cet. I. (Yogyakarta: Kreasi
Wacana)
Karim, M. Abdul. 2007. Sejarah Pemikiran Dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher)
Mardalis. 1999. Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal. (Jakarta: Bumi Aksara)
Margono, S. 2010. Metodologi Penelitian Pendidikan. (Jakarta: Rineka Cipta)
Misrawi, Zuhairi. 2009. Mekkah: Kota Suci,Kekuasaan Dan Teladan Ibrahim. (Jakarta:
Kompas)
Ratna Saptari dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan, Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah
Pengantar Studi Perempuan. (Jakarta: Pustaka Utama Grafitti)
Skjelsbaek, Inger. 2001. Is Feminity Inherently Peaceful?: The Construction of Feminity in
War. (London: SAGE Publications Ltd.)
https://www.researchgate.net/publication/299047327_Gender_identity_Is_femininity_inheren
tly_peaceful diakses pada 29 Desember 2018
Supardin. 2013. Kajian Gender Perspektif Hadis Nabi. Al-Fikr: Jurnal Pemikiran Islam Vol.
17 No. 1 http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/alfikr/article/view/2267 diakses pada 29
Desember 2018
Tangngareng, Tasmin. 2015. Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Hadis. Jurnal
Karsa Vol. 23 No. 1
http://ejournal.stainpamekasan.ac.id/index.php/karsa/article/viewFile/615/584 diakses pada
30 Desember 2018
Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an. (Jakarta:
Paramadina)
Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani. 2008. Sastra Arab dan Lintas Budaya. (Malang:
UIN Maliki Press)
Zakiyah. 2013. Hukum Wanita Belajar dan Bekerja dalam Islam. Jurnal Pemikiran Islam:
Islamadina Vol. XII No. 2 https://media.neliti.com/media/publications/42162-ID-hukumislam.pdf diakses pada 30 Desember 2018
Download