Uploaded by User93668

dasar hukum pengadilan ham

advertisement
PENGADILAN HAM
Dasar hukum dari pembentukan pengadilan HAM adalah Pasal 104 UU Nomor 39/1999 jo UU 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan
kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Undang-undang ini merupakan undang-undang
yang disebut sebagai undang-undang yang mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang
akan mengadili para pelaku kejahatan HAM. Undang-undang ini juga tentang pembahasan tentang
pengadilan HAM ad hoc yang akan mengadili HAM berat yang terjadi di masa lalu. (Todung Mulya
Lubis, Jalan Panjang Hak Asasi Manusia, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2005) hal.30)
Pasal 1 angka 3 menentukan bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia atau
Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat. Jika Pengadilan
HAM seperti yang ditentukan di dalam Pasal 1 angka 3 dikaitkan dengan Pasal 2 yang menentukan
bahwa Pengadilan HAM merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum,
dan Pasal 4 yang menentukan bahwa Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM yang berat, maka menjadi jelas bahwa yang dimaksud dengan
Pengadilan HAM adalah pengadilan yang berada di lingkungan Peradilan Umum yang hanya bertugas
dan berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat Saja.
Yang dimaksud dengan "di lingkungan Peradilan Umum" dalam Pasal 2 tersebut adalah di lingkungan
Peradilan Umum seperti yang dimaksud oleh Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970.
Seperti diketahui Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menentukan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan:
1. Peradilan Umum.
2. Peradilan Agama.
3. Peradilan Militer.
4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Terhadap ketentuan tersebut, penjelasan Pasal 10 ayat(1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
menyebutkan bahwa perbedaan dalam 4 (empat) lingkungan peradilan yang dimaksud, tidak
menutup kemungkinan adanya pengkhususan (diferensiasi/ spesialisasi) dalam masing-masing
lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan berupa Pengadilan Lalu
Lintas, Pengadilan Anak-anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan undang-undang.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa di masing-masing lingkungan peradilan dapat
diadakan pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) sesuai dengan kebutuhan mengenai cara
memeriksa dan memutus perkara-perkara tertentu. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
Pengadilan HAM adalah pengadilan yang merupakan pengkhususan (diferensiasi/spesialisasi) dari
pengadilan di lingkungan Peradilan Umum yang tugas dan wewenangnya hanya memeriksa dan
memutus perkara pelanggaran HAM yang berat saja.
Karena kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri
sebagai Pengadilan Tingkat Pertama yang berkedudukan di ibu kota daerah kota atau daerah
kabupaten dan Pengadilan Tinggi sebagai Pengadilan Tingkat Banding yang berkedudukan di ibu kota
provinsi (Pasal 5 jo. Pasal 4 jo. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986), padahal Pasal 3 ayat
(1) menentukan bahwa Pengadilan HAM berkedudukan di daerah kota atau daerah kabupaten, maka
dapat diketahui bahwa pengkhususa (diferensiasi/spesialisasi) hanya ada di Pengadilan Negeri saja,
artinya pembentukan Pengadilan HAM hanya ada pada Pengadilan Negeri saja.
Sayang, di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak terdapat ketentuan tentang cara
pembentukan Pengadilan HAM, yang ada cara pembentukan Pengadilan HAM ad hoc, yaitu dengan
keputusan Presiden seperti yang ditentukan dalam Pasal 43 ayat (2). Sejalan dengan Pasal 7 UU
Nomor 2 Tahun 1986 yang menentukan bahwa Pengadilan Negeri dibentuk dengan keputusan
Presiden, maka di dalam praktik menunjukkan bahwa cara pembentukan Pengadilan HAM, juga
dilakukan dengan keputusan Presiden, misalnya Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2001 tentang
Pembentukan Pengadilan HAM pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Surabaya,
Pengadilan Negeri Medan, dan Pengadilan Makassar sebagai pelaksanaan dari Pasal 45.
(R.Wiyono, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia edisi kedua, (Jakarta: Kencana, 2006), hal.11)
Download