TESIS PENGARUH INJEKSI STEROID TERHADAP LATENSI DISTAL SENSORIK DAN MOTORIK PADA PASIEN CARPAL TUNNEL SYNDROME THE INFLUENCE OF STEROID INJECTION ON DISTAL MOTOR AND SENSORY LATENCY IN CARPAL TUNNEL SYNDROME PATIENTS DANIEL SETIAWAN W PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 i PENGARUH INJEKSI STEROID TERHADAP LATENSI DISTAL SENSORIK DAN MOTORIK PADA PASIEN CARPAL TUNNEL SYNDROME TESIS Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister Program Studi Biomedik Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu Ilmu Penyakit Saraf Disusun dan diajukan oleh : DANIEL SETIAWAN W Kepada : PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 ii iii DAFTAR KOMISI PENASIHAT Ketua : DR. Dr. Andi Kurnia Bintang, Sp. S(K), MARS Sekretaris : DR. Dr. Yudy Goysal, Sp. S(K) Anggota : DR. Dr. Susi Aulina, Sp. S(K) DR. Dr. Nadra Maricar, Sp. S DR. Dr. Ilhamjaya Patellongi, M.Kes iv PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Daniel Setiawan W Nomor Mahasiswa : P1507213068 Program Studi : Biomedik, Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree) Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan isi tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Makassar, 31 Agustus 2017 Yang menyatakan Daniel Setiawan W v KATA PENGANTAR Puji dan syukur yang saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan rahmat yang diberikan kepada penulis, sehingga naskah tesis ini dapat diselesaikan. Penulis yakin bahwa penyusunan tesis ini dapat terlaksana dengan baik berkat kerja keras, ketekunan, serta kesabaran, dan kerjasama dari berbagai pihak. Dengan selesainya tesis ini, penulis dengan tulus dan penuh rasa hormat menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Ibu DR. Dr. Andi Kurnia Bintang, Sp. S(K), MARS sebagai ketua komisi penasehat dan DR. Dr. Yudy Goysal, Sp. S(K) sebagai anggota komisi penasehat sekaligus selaku Penasehat Residen atas bantuan dan bimbingan yang telah diberikan mulai dari pengajuan judul sampai selesainya tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya, saya ucapkan pula kepada Ketua Bagian Ilmu Penyakit Saraf (Dr. Muhammad Akbar, Sp. S. Ph.D) dan Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Saraf FK UNHAS, DR. Dr. Andi Kurnia Bintang, Sp. S(K), MARS. Tak lupa saya ucapkan terima kasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim penguji : DR. Dr. Andi Kurnia Bintang, Sp. S(K), MARS, DR. Dr. Yudy Goysal, Sp. S(K), DR. Dr. Susi Aulina, Sp. S(K), DR. Dr Nadra Maricar, Sp.S, dan DR.Dr. Ilhamjaya vi Patellongi, M.Kes, yang telah memberikan penilaian dan masukan yang sangat berharga demi kesempurnaan tesis ini. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada para supervisor : Prof. DR. Dr. Amiruddin Aliah, MM, Sp. S(K); DR. Dr. Jumraini Tammasse, Sp. S; Dr. Ashari Bahar, Sp. S, M. Kes, FINS; Dr. Louis Kwandou, Sp. S(K); Dr. Abdul Muis, Sp. S(K); DR. Dr. Hasmawaty Basir, Sp. S(K); DR. Dr. David Gunawan, Sp. S(K); Dr. Cahyono Kaelan, Ph.D, Sp. PA(K), Sp. S; DR. Dr. Audry Devisanti Wuysang, Sp. S, M.Si; Dr. Ummu Atiah, Sp. S; Dr. Mimi Lotisna, Sp. S; Dr. Andi Weri Sompa, Sp. S, M.Kes; Dr. Moch. Erwin Rachman, Sp. S, M. Kes; Dr. Anastasia Juliana, Sp.S; Dr. Sri Wahyuni S. Gani, Sp. S, M.Kes; Dr. Muh. Iqbal Basri, Sp. S, M. Kes yang telah dengan senang hati membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis. Rektor UNHAS, Direktur Pasca Sarjana, Ketua Program Studi Biomedik dan kepada Prof. DR. Dr. Dasril Daud, Sp. A(K) sebagai ketua konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree) yang telah memberikan kesempatan kepada saya mengikuti pendidikan di Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin (Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu); para Direktur Rumah Sakit (RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, RSUD Labuang Baji, RS TNI-AD Pelamonia, RSU Islam Faisal, RS Ibnu Sina, dan RS Akademis Jaury Yusuf Putra) yang telah memberikan fasilitas tempat dan sarana belajar di masing-masing rumah sakit yang dipimpinnya. vii Ketua Bagian/UP dan Staf Anatomi, Fisiologi, Farmakologi, Patologi Anatomi, Rehabilitasi Medik, Radiologi, dan Ilmu Kesehatan Jiwa, yang telah menerima saya mengikuti pendidikan di Bagian masing-masing, dan telah memberikan ilmu yang mempunyai relevansi dengan Ilmu Penyakit Saraf. Para sejawat, rekan-rekan peserta PPDS Ilmu Penyakit Saraf yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini selama masa pendidikan, khususnya kepada sahabat senasib dan seperjuangan angkatan Juli 2013 dr. Machyono, dr. Widyawan Syahputra, dr. Steven Sakasasmita, dr. Lisa Rizky Dalie, dr. Irmawati, dr. Endang Kristanti, dr Rilia Datan Sampe Pajung, dr. M. Yunus Amran atas dukungan doa, memberi semangat, serta berjuang bersama-sama dari awal pendidikan sampai impian kita bisa terwujud. Juga kepada Sdr. Muh. Sukur,SKM; Bapak Isdar, SKM; dan Ibu I Masse, SE, yang setiap saat tanpa pamrih membantu baik masalah administrasi maupun fasilitas perpustakaan serta penyelesaian tesis ini. Pada akhirnya, terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada almarhum kedua orang tua saya : ayahanda Bambang Gunawan dan Ibunda Setiawati, yang telah membesarkan, membimbing, dan mendidik saya, serta almarhum adik saya Andreas Setiawan yang selalu mendukung saya. Wijayani Mardiana, pendamping yang selalu mendorong dan memberikan semangat kepada saya selama masa pendidikan ini. Terakhir kepada berbagai pihak yang tak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dorongan moril selama penulis viii menjalani pendidikan ini. Dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terima kasih, semoga amal budi mereka diterima oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin. Makassar, Agustus 2017 Penulis ix ABSTRAK Daniel Setiawan W. Pengaruh Injeksi Steroid terhadap Latensi Distal Sensorik dan Motorik pada Pasien Carpal Tunnel Syndrome. (dibimbing oleh Andi Kurnia Bintang, Yudy Goysal, Susi Aulina, Nadra Maricar, dan Ilham Patellongi) Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh injeksi steroid terhadap latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome. Penelitian ini adalah uji klinis dengan rancangan non randomized pretest—posttest –control group. Penelitian dilakukan terhadap 33 pasien carpal tunnel syndrome unilateral maupun bilateral yang terdiri dari 8 laki – laki dan 25 perempuan. Dari 33 pasien tersebut didapatkan 40 pergelangan tangan dengan carpal tunnel syndrome, di mana 20 pergelangan tangan dilakukan injeksi steroid sedangkan 20 pergelangan tangan lain diberikan terapi steroid oral. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan latensi distal sensorik yang bermakna (p<0,05) setelah perlakuan, baik pada kelompok injeksi maupun kelompok oral, hasil uji wilcoxon menunjukkan p=0,01 dan p=0,04 dengan perubahan masing-masing sebesar 0,30 msec dan 0,06 msec. Latensi distal motorik juga menunjukkan perubahan yang bermakna (p<0,05) setelah perlakuan, baik pada kelompok injeksi maupun kelompok oral; hasil uji Wilcoxon menunjukkan p<0,001 dan p=0,010 dengan perubahan masing-masing sebesar 0,53 msec dan 0,09 msec. Hasil uji Mann Whitney U perubahan latensi distal antara kelompok injeksi dan oral menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Kata kunci : carpal tunnel syndrome, injeksi steroid, latensi distal sensorik, latensi distal motorik x ABSTRACT Daniel Setiawan W. The Influence of Steroid Injection on Distal Sensory and Motor Latency in Carpal Tunnel Syndrome Patients. (Supervised by Andi Kurnia Bintang, Yudy Goysal, Susi Aulina, Nadra Maricar, and Ilham Patellongi) This study aims to determine the effect of steroid injections on distal motor latency carpal tunnel syndrome. This study is a clinical trial with non-randomized pretest-posttestcontrol group design. The study was conducted on 33 unilateral and bilateral carpal tunnel syndrome patients consisting of 8 males and 25 females. Of the 33 patients, 40 wrists were obtained with carpal tunnel syndrome, in which 20 wrists were injected with steroids while 20 other wrists were given oral analgesic therapy. The results of this study indicate a significant change in distal sensory latency (p<0,05) after treatment, either in the injection group or in the oral group, wilcoxon test result showed respectively p=0,01 and p=0,04 with each change of 0,30 msec and 0,06 msec. Distal motor latency also indicate significant change (p <0.05) after treatment, either in the injection group or in the oral group; Wilcoxon test results showed respectively p <0.001 and p = 0.010 with each change of 0.53 msec and 0.09 msec. Mann Whitney U test showed a significant change of distal latency between injection and oral group (p<0,05) Keywords: carpal tunnel syndrome, steroid injection, distal sensory latency, distal motor latency xi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...........................................................................................i HALAMAN PENGAJUAN.................................................................................ii HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................iii HALAMAN PEMBIMBING...............................................................................iv LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN..............................................................v KATA PENGANTAR........................................................................................v i ABSTRAK........................................................................................................x ABSTRACT.....................................................................................................xi DAFTAR ISI....................................................................................................xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvi DAFTAR GRAFIK ....................................................................................... xvii DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xviii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xix BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH ........................................................ 1 1.2 RUMUSAN MASALAH...................................................................... 5 1.3 TUJUAN PENELITIAN ........................................................................ 6 1.3.1 TUJUAN UMUM : .......................................................................... 6 1.3.2 TUJUAN KHUSUS : ...................................................................... 6 1.4 HIPOTESIS PENELITIAN ................................................................ 7 1.5 MANFAAT PENELITIAN ................................................................... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 8 2.1 EPIDEMIOLOGI................................................................................ 8 2.2 ANATOMI ......................................................................................... 9 2.3 PATOMEKANISME ........................................................................ 10 2.4 PEMERIKSAAN ELEKTRONEUROMYOGRAFI ............................. 13 xii 2.5 PENATALAKSANAAN .................................................................... 18 2.6 PENGARUH INJEKSI STEROID PADA CARPAL TUNNEL SYNDROME............................................................................................. 23 2.7 2.7.1 KERJA STEROID PADA SARAF PERIFER.................................... 24 STEROID DAN INFLAMASI ....................................................... 25 2.7.2 GLIKOPROTEIN Po ....................................................................... 28 2.7.3 PROTEIN MYELIN PERIFER 22 .................................................... 30 2.8 KERANGKA TEORI ........................................................................ 32 2.9 KERANGKA KONSEP .................................................................... 33 BAB III METODE PENELITIAN.................................................................... 34 3.1 DESAIN PENELITIAN..................................................................... 34 3.2 TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ............................................ 34 3.3 POPULASI PENELITIAN ................................................................ 34 3.4 SAMPEL PENELITIAN DAN CARA PENGAMBILAN SAMPEL ...... 34 3.5 PERKIRAAN BESAR SAMPEL ....................................................... 34 3.6 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ................................................. 35 3.6.1 KRITERIA INKLUSI .................................................................... 35 3.6.2 KRITERIA EKSKLUSI ................................................................. 35 3.7 PEMERIKSAAN DAN PENGAMBILAN DATA SAMPEL ............... 36 3.8 IDENTIFIKASI VARIABEL ............................................................. 38 3.9 DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBYEKTIF ................. 38 3.10 METODE ANALISIS ...................................................................... 40 3.11. ALUR PENELITIAN ..................................................................... 41 BAB IV HASIL PENELITIAN ........................................................................ 42 4.1 KARAKTERISTIK DEMOGRAFIK .................................................. 42 4.2 HASIL ANALISIS PENGARUH INJEKSI STEROID TERHADAP LATENSI DISTAL SENSORIK ................................................................. 45 4.3 HASIL ANALISIS PENGARUH INJEKSI STEROID TERHADAP PERUBAHAN LATENSI DISTAL MOTORIK ............................................ 47 xiii BAB V PEMBAHASAN ................................................................................ 49 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 54 6.1 SIMPULAN ..................................................................................... 54 6.2 SARAN ........................................................................................... 55 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 56 xiv DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Anatomi carpal tunnel................................................................. 10 Gambar 2. Konduksi motorik nervus medianus..............................................15 Gambar 3. Mekanisme steroid menghambat inflamasi..................................28 xv DAFTAR TABEL Tabel 1. Karakteristik Sampel........................................................................43 Tabel 2. Analisis Karakteristik Sampel..........................................................44 Tabel 3. Derajat CTS Sebelum Pemberian Terapi........................................45 Tabel 4. Derajat CTS Setelah Pemberian Terapi..........................................45 Tabel 5. Perubahan Latensi Distal Sensorik Setelah Perlakuan Pada Kedua Kelompok........................................................................................46 Tabel 6. Perubahan Latensi Distal Motorik Setelah Perlakuan Pada Kedua Kelompok........................................................................................48 xvi DAFTAR GRAFIK Grafik 1. Plot Perubahan Latensi Distal Sensorik Pada Kedua Kelompok.....47 Grafik 2. Plot Perubahan Latensi Distal Motorik Pada Kedua Kelompok.......48 xvii DAFTAR SINGKATAN AAOS The American Academy of Orthopedic Surgeon AAOS CMAP Compound Muscle Action Potential cPLAα2 Cytosolic Pospholipase A2α CTS Carpal Tunnel Syndrome DNA Deoxyribo Nucleic Acid ENMG Electroneuromyografi KHS Kecepatan Hantar Saraf MAPK Mitogen Activated Protein kinase MLS Multiwave Locked System NF-κB Nuclear Factor Kappa B NSAID Non Steroid Anti Inflammatory Agent PMP22 Protein Myelin Perifer 22 PNS Peripheral Nerve System SCV Sensory Conduction Velocity SNAP Sensory Nerve Action Potential TENS Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation TNF α Tumor Necrosis Factor α VEGF Vascular Endothelial Growth Factor xviii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Naskah Penjelasan pada Subyek..............................................60 Lampiran 2. Formulir Persetujuan Mengikuti Penelitian................................62 Lampiran 3. Lembar Riset.............................................................................64 Lampiran 4. Etik Penelitian...........................................................................66 Lampiran 5. Data mentah penelitian.............................................................67 xix BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Carpal tunnel syndrome (CTS) adalah neuropathy entrapment yang paling sering pada ekstremitas atas. Perempuan lebih rentan terhadap CTS dibanding laki-laki dengan rasio 3:1 hingga 10: 1. CTS pada terjadi pada rentang usia puncak 40-60 tahun. Prevalensi CTS di Amerika serikat adalah 5-21% pada pekerja pabrik dan 1-5% pada populasi umum. Berdasarkan data dari Washington State Workers, insidensi CTS adalah 0,8-14,8 per 1000 orang per tahun (Dale, 2013) Penyebab terjadinya CTS adalah peningkatan tekanan di terowongan karpal. Pada orang normal tekanan di terowongan karpal adalah sebesar 2mmHg. Tekanan tersebut akan meningkat saat fleksi dan ekstensi pergelangan tangan. Tekanan sebesar 20-30 mmHg dapat memperlambat aliran darah epineurium saraf. Transpor aksonal terganggu pada tekanan 30 mmHg. Perubahan neurofisiologis berupa disfungsi motorik dan sensorik akan muncul pada tekanan 40 mmHg. Pada tekanan 60-80 mmHg terjadi penghentian aliran darah intraneural yang menyebabkan iskemia sehingga terjadi kerusakan sel saraf. Walaupun lesi saraf perifer lebih resisten terhadap iskemia, namun tegangan dan kompresi yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya proses iskemia tersebut. (Basuki, 2010) 1 Pada tahap awal CTS biasanya unilateral dan dapat menjadi bilateral. Gejala yang ditimbulkan umumnya dimulai dengan gejala sensorik walaupun pada akhirnya dapat pula mengenai gejala motorik. Gejala yang pertama kali muncul dan sering dikeluhkan adalah rasa baal, kesemutan, atau nyeri seperti tersengat aliran listrik pada distribusi nervus medianus, yaitu pada ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, dan setengah bagian radial jari manis. Gejala ini dapat timbul kapan saja tetapi seringkali saat bangun tidur atau sering membangunkan pasien dari tidur (nocturnal acro-parasthesias). (Jagga et al, 2011) Carpal Tunnel Syndrome merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan disabilitas, sehingga menurunkan produktivitas. Adanya gejala sensorik seringkali menjadi penyebab timbulnya disabilitas. Disabilitas ini akan bertambah berat bila sudah timbul gejala motorik sehingga kualitas hidup penderita akan terganggu. (Gerritsen et al, 2002). Diperkirakan biaya perawatan medis untuk CTS di Amerika Serikat melebihi $ 2 miliar per tahun, terutama karena pembedahan. Biaya non-medis yaitu kerugian yang dialami pasien akibat berkurangnya produktivitas secara substansial lebih besar. Di Amerika, median waktu kerja yang hilang dari pekerjaan akibat CTS adalah 27 hari, lebih panjang dari cedera kerja lainnya, kecuali patah tulang. Selanjutnya, 18% pekerja yang mengalami CTS dilaporkan meninggalkan pekerjaan mereka dalam 18 bulan. (Dale et al, 2013) 2 Terapi definitif untuk CTS adalah dengan dekompresi bedah. Terapi konservatif yang sering dilakukan adalah fisioterapi, splint, steroid oral, penggunaan analgetik oral, injeksi steroid, dan penggunaan terapi modalitas. Analgetik oral dan steroid oral bila diberikan dalam waktu lama dapat menyebabkan gangguan saluran cerna, sedangkan fisioterapi dan splint memerlukan waktu yang lama untuk mengurangi nyeri pada CTS. Injeksi steroid memiliki kelebihan untuk terapi CTS karena efeknya yang cepat. Terapi lain seperti exercise, yoga, akupunktur, laser, magnet masih belum jelas manfaatnya pada penderita CTS. Terapi pembedahan dilakukan pada CTS yang berat dengan defisit fungsional dan nyeri yang menggangu. (Carlson et al, 2010) Review Cochrane menunjukkan injeksi steroid lokal untuk CTS dapat mengurangi gejala CTS hingga 1 bulan setelah injeksi, pada penelitian lain disebutkan bahwa injeksi steroid masih menunjukkan efeknya 3 bulan sampai 1 tahun. Injeksi steroid juga dapat menunda operasi pada pasien CTS. (Hoffecker et al, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Cartwright et al menunjukkan bahwa efek injeksi steroid mulai terlihat dalam waktu satu minggu setelah injeksi, sedangkan pada penelitian lain disebutkan bahwa injeksi steroid baru menujukkan efek setelah satu bulan. (Hoffecker et al, 2015) Injeksi steroid dapat mengurangi efek inflamasi yang terjadi pada carpal tunnel syndrome melalui penghambatan produksi sitokin proinflamasi. Selain 3 itu, dalam beberapa tahun terakhir dilakukan analisis efek steroid pada dua protein yang paling khas dan penting dari mielin sistem saraf perifer (PNS), glikoprotein Po (po) dan protein myelin perifer 22 (PMP22). Hasil yang diperoleh sejauh ini menunjukkan bahwa hormon steroid mampu memodulasi mRNA protein myelin sehingga dapat memperbaiki myelin saraf perifer yang mengalami kerusakan. (Melcangi et al, 2000) Pengukuran elektrofisiologi adalah baku emas tes diagnostik CTS serta memberikan pengukuran yang objektif tentang fungsi saraf. Pemeriksaan elektrodiagnosis dapat menentukan lokasi lesi, menunjukkan keterlibatan serabut saraf motorik dan sensorik, serta menentukan proses patologi yang terjadi dan beratnya lesi (demyelinasi, axonal loss, diskontinuitas akson). Parameter elektrofisologi menunjukkan perbaikan jangka pendek setelah injeksi steroid, dan perbaikan ini menurun pada CTS berat. (Sabaawi, 2013). Pemeriksaan elektrofisiologis meliputi pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik menggunakan stimulasi dengan intensitas supramaksimal (20-30% di atas stimulus maksimal) agar mengenai seluruh akson saraf yang diperiksa. Hasil sumasi potensial serabut otot berupa Compound Muscle Action Potensial (CMAP) yang berbentuk gelombang bifasik, dan diawali oleh defleksi negatif. Beberapa komponen CMAP adalah amplitudo, durasi, dan latensi. Latensi yang timbul karena stimulasi pada tempat yang paling distal dari ekstremitas disebut latensi distal. Latensi meliputi waktu konduksi impuls serabut saraf, waktu transmisi neuromuscular 4 junction, dan waktu yang dibutuhkan untuk konduksi impuls di sepanjang membran otot sampai ke elektroda pencatat. (Herjanto Poernomo et al, 2003) Pemeriksaan sensorik akan menghasilkan potensial aksi yang disebut Sensory Nerve Action Potensial (SNAP). SNAP terdiri dari latensi, durasi, dan amplitudo. Pada CTS ringan, fungsi motorik tidak terganggu, namun pemeriksaan sensorik menunjukkan peningkatan latensi distal. (Herjanto Poernomo et al, 2003). Pada CTS yang berat, latensi, durasi, dan amplitudo SNAP dapat menghilang. Dalam keadaan ini pemeriksaan latensi distal motorik berguna untuk menentukan diagnosis CTS. (Andrew CF Hui et al, 2005) Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh injeksi steroid terhadap latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome. Pada penelitian ini ENMG dipilih menjadi alat ukur karena dapat menilai perbaikan fungsi saraf secara objektif. 1.2 RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.2.1 Apakah ada pengaruh injeksi steroid terhadap latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome? 5 1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 TUJUAN UMUM : 1.3.1.1 Mengetahui pengaruh injeksi steroid terhadap latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome 1.3.2 TUJUAN KHUSUS : 1.3.2.1 Mengukur latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome sebelum dilakukan injeksi steroid lokal 1.3.2.2 Mengukur latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome setelah dilakukan injeksi steroid lokal 1.3.2.3 Membandingkan latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome sebelum dan setelah dilakukan injeksi steroid lokal 1.3.2.4 Mengukur latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome yang mendapat terapi steroid oral 1.3.2.5 Mengukur latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome setelah mendapat terapi steroid oral 1.3.2.6 Membandingkan latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome sebelum dan setelah mendapat terapi steroid oral 1.3.2.7 Membandingkan perubahan latensi distal sensorik dan motorik pada pasien yang mendapat terapi steroid oral dan injeksi steroid lokal. 6 1.4 1.4.1 HIPOTESIS PENELITIAN Ada pengaruh injeksi steroid terhadap penurunan latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome 1.5 MANFAAT PENELITIAN 1.5.1 Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit terutama mengenai terapi pada pasien carpal tunnel syndrome 1.5.2 Sebagai bahan masukan dalam proses belajar mengajar mengenai pengaruh injeksi steroid terhadap latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome 1.5.3 Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan . Data penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi bagi peneliti tatalaksana pasien carpal tunnel syndrome. 7 selanjutnya dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 EPIDEMIOLOGI CTS adalah suatu neuropati perifer terbanyak yang dapat mengenai semua golongan usia. Dahulu CTS dilaporkan sebagai penyakit akut yang menyertai trauma pada pergelangan tangan atau sebagai gejala yang muncul pada wanita usia pertengahan. Namun sekarang ini diketahui bahwa penyakit ini muncul lebih sering ditemukan pada usia 40-60 tahun yang memiliki pekerjaan berhubungan dengan aktivitas berlebihan pada tangan. Sebanyak 80% penderita CTS adalah perempuan. Perempuan lebih rentan terhadap CTS dibanding laki-laki dengan rasio 3:1 hingga 10: 1.. Diduga perubahan hormonal memegang peranan dalam meningkatkan insidensi timbulnya CTS pada wanita. (Basuki, 2010) Pusat statistik kesehatan di Amerika Serikat memperkirakan terdapat lebih dari 2 juta kasus CTS, menjadikan penyakit ini sebagai bentuk kerusakan akibat cedera berulang (repetitive stress injury) tersering di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, diperkirakan akan terjadi peningkatan insidensi dari 1-3 per 1000 penduduk menjadi 150 per 1000 penduduk setiap tahun. (Ropper dan Brown, 2014) 8 2.2 ANATOMI Terowongan karpal adalah suatu daerah di pergelangan tangan yang merupakan terowongan kuadrangular fibro-oseus yang keras dan tidak elastis. (gambar 1). Terowongan ini dibatasi pada ketiga sisinya oleh tulang dan ligamentum fibrosa pada satu sisi. Bila telapak tangan diposisikan menghadap ke atas, maka terowongan karpal di bagian lateral, medial, dan dorsal dibatasi oleh tulang karpal. Atap dari terowongan tersebut terdiri dari ligamentum karpal transversum atau ,fleksor retinakulum yang tebal dan padat dengan lebar 4 cm, panjang 5-6 cm dan ketebalan 2,5-3,6 mm. Bersama dengan sembilan tendon fleksor dari jari dan ibu jari, nervus medianus melewati terowongan karpal ini. Saat melewati terowongan karpal, nervus medianus berjalan di bawah tendon palmaris longus, setelah melewati terowongan nervus medianus memberikan persarafan sensorik ke bagian volar ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan bagian radial dari jari manis dan bagian dorsal dari jari tersebut. Selain itu cabang lateral nervus medianus akan mempersarafi motorik ke otot thenar dan ibu jari. (Elliot, 2011) 9 Gambar 1. Anatomi carpal tunnel (Vijay Sardana dan Piyus Ojha, 2016) 2.3 PATOMEKANISME CTS dianggap sebagai suatu penyakit inflamasi, suatu reaksi yang secara normal terjadi pada jaringan yang mengalami kerusakan, akibat cedera berulang, trauma atau kondisi medis lain. Ada proses inflamasi pada terowongan karpal yang terjadi secara terus menerus akan menyebabkan terjadinya jebakan pada nervus medianus yang terletak di dalamnya. Arthritis rheumatoid, diabetes melitus, penyakit tiroid, kehamilan, dan menopause merupakan beberapa keadaan yang dapat menimbulkan gejala CTS. Faktor mekanik dan sistemik diduga merupakan faktor terpenting dalam patogenesis terjadinya CTS. Awalnya faktor mekanik mempunyai peranan yang lebih besar, namun pada akhirnya kedua mempengaruhi. (Ropper dan Brown, 2014) 10 faktor tersebut akan saling Patofisiologi terjadinya CTS tidak sepenuhnya dimengerti. Pada penderita CTS ditemukan adanya pembengkakan pada tenosinovium, yang mengelilingi nervus medianus pada terowongan carpal. Tenosinovium memiliki cairan yang berfungsi untuk lubrikasi dan melindungi tendon dari gesekan. Beberapa peneliti menduga pembengkakan pada tenosinovium disebabkan oleh adanya produksi cairan sinovial yang berlebihan. Selain itu ditemukan juga penebalan ligamentum transversum yang merupakan atap terowongan karpal. Pada operasi ditemukan adanya sklerosis dan edema vaskular pada jaringan tenosinovium. Deposit amyloid pada tenosinovium juga dilaporkan terjadi pada CTS. (Ibrahim, 2012) Adanya pembengkakan pada tenosinovium dan penebalan ligamentum akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan pada terowongan karpal. Peningkatan tekanan yang terjadi pada terowongan karpal dapat menyebabkan peregangan dan proses iskemia pada nervus medianus yang akan menyebabkan terjadinya CTS. (Ibrahim, 2012) Pada orang normal tekanan di terowongan karpal adalah sebesar 2mmHg. Tekanan tersebut akan meningkat saat fleksi dan ekstensi pergelangan tangan. Tekanan sebesar 20-30 mmHg dapat memperlambat aliran darah epineurium saraf. Transpor aksonal terganggu pada tekanan 30 mmHg. Perubahan neurofisiologis berupa difungsi motorik dan sensorik akan muncul pada tekanan 40 mmHg. Tekanan yang lebih tinggi dapat 11 menyebabkan terjadinya blok sensorik dan motorik, sehingga gejala muncul. Pada tekanan 60-80 mmHg terjadi penghentian aliran darah intraneural yang menyebabkan iskemia sehingga terjadi kerusakan sel saraf. Walaupun lesi saraf perifer lebih resisten terhadap iskemia, namun tegangan dan kompresi yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya proses iskemia tersebut. (Basuki, 2010) Berkurangnya aliran darah dan asupan oksigen ke nervus medianus akan memperlambat transmisi sinyal yang melewati terowongan karpal, sehingga timbul gejala nyeri, kesemutan, dan baal pada daerah tangan yang dipersarafi oleh nervus medianus. Hal ini akan menyebabkan penurunan kecepatan hantar saraf pada pemeriksaan neurofisiologis. Pada nervus medianus penderita CTS dapat terjadi proses demyelinisasi atau bila lebih berat dapat terjadi kerusakan aksonal. Jika proses kerusakan baru mengenai myelin, maka perbaikan akan lebih cepat terjadi, dapat beberapa hari sampai beberapa minggu. Jika kerusakan aksonal, maka regenerasi akson akan terjadi satu sampai tiga milimeter per hari dimulai dari otot yang menjadi daerah persarafan. (Ibrahim, 2012) Sistem imun yang berperan dalam proses inflamasi juga mempunyai peranan penting dalam patofisiologi terjadinya nyeri. Penelitian yang dilakukan oleh Bennet menunjukkan bahwa pada kerusakan saraf dapat terjadi interaksi neuroimunologis yang memberikan kontribusi terjadinya nyeri. 12 Pada suatu percobaan dengan tikus didapatkan peningkatan sitokin pada nervus medianus pada suatu cedera akibat gerakan berulang. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa penderita CTS terdapat perubahan berupa, peningkatan prostaglandin, VEGF, TNF α. Pelepasan mediator proinflamasi tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler dan menimbulkan edema lokal. (Sardana dan Ojha, 2016) Awalnya kerusakan yang terjadi di nervus medianus bersifat reversibel, namun adanya peningkatan tekanan yang lama akan menimbulkan gangguan aliran darah dan perburukan transport aksonal yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan epineurium yang bersifat menetap. (Ropper dan Brown, 2014) 2.4 PEMERIKSAAN ELEKTRONEUROMYOGRAFI Tujuan pemeriksaan elektroneuromyografi adalah menentukan lokasi lesi, untuk menunjukkan keterlibatan serabut saraf motorik dan sensorik, atau keduanya, menentukan proses patologi yang terjadi dan beratnya lesi (demyelinasi, axonal loss, diskontinuitas akson). Pemeriksaan ENMG motorik dan sensorik nervus medianus, pemeriksaan nervus lain, EMG jarum pada beberapa otot dapat membedakan penyakit lain dengan CTS seperti pleksopati dan radikulopati. Pemeriksaan neurofisiologis juga dapat menentukan beratnya kerusakan saraf pada CTS jika pasien tidak puas dengan hasil pengobatan. (Sardana dan Ojha, 2016) 13 Pemeriksaan elektrofisiologis meliputi pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik menggunakan stimulasi dengan intensitas supramaksimal (20-30% di atas stimulus maksimal) agar mengenai seluruh akson saraf yang diperiksa. Hasil sumasi potensial serabut otot berupa Compound Muscle Action Potensial (CMAP) yang berbentuk gelombang bifasik, dan diawali oleh defleksi negatif. Beberapa komponen CMAP adalah amplitudo, durasi, dan latensi. (gambar 2) Amplitudo diukur dari garis dasar sampai defleksi negatif yang pertama, menggambarkan banyaknya akson yang tereksitasi. Durasi diukur dari defleksi pertama sampai titik dimana gelombang memotong garis dasar kembali. Durasi menunjukkan kemampuan saraf untuk menghantarkan impuls dalam waktu yang relatif bersamaan. Latensi diukur dari stimulus sampai defleksi pertama dari garis dasar. Latensi yang timbul karena stimulasi pada tempat yang paling distal dari ekstremitas disebut latensi distal. Latensi distal ini meliputi waktu konduksi impuls serabut saraf, waktu transmisi neuromuscular junction, dan waktu yang dibutuhkan untuk konduksi impuls di sepanjang membran otot sampai ke elektroda pencatat. (Herjanto Poernomo et al, 2003) Pemeriksaan sensorik akan menghasilkan potensial aksi yang disebut Sensory Nerve Action Potensial (SNAP). SNAP terdiri dari latensi, durasi, dan amplitudo. SNAP akan menurun atau menghilang amplitudonya pada lesi yang mengenai ganglion dorsalis dan akson saraf sensorik. (Herjanto Poernomo et al, 2003). 14 Gambar 2. Konduksi motorik nervus medianus (atas)stimulasi distal, (bawah) stimulasi proximal (Kathirji, 2007) Hasil pemeriksaan konduksi saraf dibandingkan dengan saraf lain pada sisi yang sama atau kontralateral. Pemeriksaan elektrodiagnosis pada CTS memiliki sensitivitas 56% hingga 85% dan spesifisitas 94% hingga 99%. The American Academy of Orthopedic Surgeon (AAOS) merekomendasikan pemeriksaan elektrodiagnosis sebelum dan setelah operasi CTS untuk melihat perbaikan neurologis. (Sardana dan Ojha, 2016) Diagnosis carpal tunnel syndrome berdasarkan pemeriksaaan neurofisiologis pada nervus medianus ditegakkan bila latensi distal motorik >4 msec, atau perbedaan latensi distal sensorik nervus ulnaris dan medianus >0,4msec. Langkah – langkah pemeriksaan KHS motorik pada nervus medianus adalah sebagai berikut : Parameter instrumen diatur (a) Filter 10-10.000Hz, (b) Sweep : 2-5 milidetik, (c) Gain 15 : : 1.000-5000 mikrovolt/div. Penderita diposisikan berbaring telentang dengan lengan abduksi sekitar 45o , lengan bawah supinasi dan pergelangan tangan dalam posisi netral. Elektrode aktif pada otot abduktor polisis brevis, elektrode referens pada falang proksimal jari 1, elektrode ground pada dorsum manus di antara elektrode aktif dan elektrode stimulasi. Stimulasi pertama dilakukan distal pergelangan tangan antara tendon muskulus palmaris longus (medial) dan fleksor karpi radialis. Stimulasi kedua dilakukan pada siku, fossa antekubiti (medial tendon muskulus biseps). Stimulator diletakkan tepat lateral dari arteri brakhialis. Stimulasi ketiga dikerjakan pada aksila sekitar 10 cm. Proksimal dari S2 dan tepat lateral anterior dari arteria brakialis. (Poernomo et al, 2003) Pemeriksaan KHS sensoris pada nervus medianus dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu ortodromik dan antidromik. Berikut ini adalah pemeriksaan KHS sensoris secara ortodromik. Parameter instrumen diatur (a) Filter : 20-2000 Hz, (b) Sweep :1- 2 milidetik/div (c) Gain: 5-10 mikrovolt/div. Penderita diposisikan berbaring telentang dengan lengan abduksi sekitar 45o , lengan bawah supinasi dan pergelangan tangan dalam posisi netral. Jari-jari fleksi ringan saat relaks, posisi istirahat. Elektrode aktif pada pergelangan tangan antara tendon muskulus palmaris longus dan fleksor karpi radialis. Elektrode referens ditempatkan 3 cm proksimal dari elektrode aktif. Elektrode ground pada 16 dorsum manus antara elektrode aktif dan elektrode stimulasi. Stimulasi pada saraf jari menggunakan elektrode cincin yang dilingkarkan pada jari telunjuk. Cincin katode pada interfalang proksimal jari II, cincin anode pada interphalang distal jari II. Jarak antara katode di jari telunjuk dan elektrode aktifdi pergelangan tangan tidak kurang dari 10 cm dan tidak lebih dari 14 cm. (Poernomo et al, 2003) Sedangkan pemeriksaan KHS sensorik secara antidromik adalah sebagai berikut : Parameter instrumen diatur (a) Filter : Sweep : 1-2 milidetik/div, (c) Gain : 5-20 20-2000Hz, mikrovolt/div. (b) Penderita diposisikan berbaring telentang dengan lengan abduksi sekitar 45o , lengan bawah supinasi dan pergelangan tangan dalam posisi netral. Jari-jari fleksi ringan saat relaks, posisi istirahat. Elektrode aktif ditempatkan pada jari telunjuk pada pertengahan antara lipatanfalang dan pangkal jari telunjuk, dengan jarak antara 10-14cm dengan katode. Elektrode referens ditempatkan pada sekitar lipatan interfalang distal dengan jarak minimal 3 cm antara elektrode aktif dan elektrode referens. Elektrode ground pada dorsum manus antara elektrode aktif dan elektrode stimulasi. Stimulasi pada pergelangan tangan antara tendon m. Fleksor digitorum sublimis dan fleksor karpi radialis proksimal ligamentum karpal transversum. (Poernomo et al, 2003) Berikut ini adalah grading CTS berdasarkan parameter elektrofisiologi: (a) Normal (grade 0) : hasil normal pada semua pemeriksaan (b) sangat ringan (grade 1) : hasil abnormal hanya pada komparatif atau segmental (c) 17 ringan (grade 2) : latensi distal motorik normal pada pergelangan tangan-jari dengan melambatnya latensi distal sensorik (d) sedang (grade 3) : latensi distal motorik meningkat (lebih dari 4 msec, tetapi <6,5msec) , parameter sensorik masih terdeteksi (e) berat (grade 4) : tidak adanya respon sensorik pada pergelangan-jari tangan dengan latensi distal motorik meningkat (lebih dari 4 msec, tetapi <6,5msec) (f) sangat berat (grade 5) : tidak adanya respon sensorik pada pergelangan-jari tangan dengan latensi distal motorik meningkat >6,5 msec (g) ekstrim (grade 6) tidak ada respon motorik dan sensorik (Hui, 2005) Pada CTS yang berat, latensi, durasi, dan amplitudo SNAP dapat menghilang. Dalam keadaan ini pemeriksaan latensi distal motorik berguna untuk menentukan diagnosis CTS. (Andrew CF Hui et al, 2005) 2.5 PENATALAKSANAAN Terapi CTS dapat berupa tindakan konservatif maupun operatif. Tindakan konservatif dapat berupa modifikasi perilaku, splint pergelangan tangan, fisioterapi, dan terapi medikamentosa dengan NSAID, diuretik, piridoksin, kortikosteroid oral, dan injeksi lokal. 2.5.1 Modifikasi perilaku Tangan yang mengalami CTS diistirahatkan dari gerakan fleksi dan ekstensi yang berulang selama dua sampai enam minggu. Diharapkan akan terjadi perbaikan pada jaringan yang mengalami inflamasi 18 sehingga penekanan pada nervus medianus berkurang. (Michlovitz, 2003) 2.5.2 Splint Penggunaan splint untuk mempertahankan tangan dalam posisi netral. Splint memberikan efek yang baik pada 80% kasus, terutama pada kasus yang ringan. Splint telah dilakukan lebih dari 40 tahun untuk pengobatan CTS. Penelitian menunjukkan penggunaan splint saat malam hari selama 4 minggu dapat memperbaiki luaran klinis yang dievaluasi dengan Boston Carpal tunnel Questionnaire. Penelitian lain membandingkan efektivitas splint dengan pergelangan tangan ekstensi 200 dengan posisi netral. Setelah 2 minggu, splint dengan posisi netral memberikan luaran klinis yang lebih baik dibandingkan posisi ekstensi. Penelitian lain membuktikan bahwa penggunaan splint pada malam hari dan sepanjang hari tidak menunjukkan perbedaan luaran klinis yang signifikan. (Michlovitz, 2003) 2.5.3 Exercise Exercise setelah delapan minggu dapat mengurangi nyeri secara bermakna dibandingkan dengan penggunaan splint. Tujuan terapi latihan adalah mengembalikan fungsi tendon fleksor dan nervus medianus yang terganggu karena adanya kompresi dan perlekatan diterowongan karpal. Seradge et al menunjukkan latihan yang berkala 19 dapat mengurangi tekanan pada terowongan karpal. Namun efektivitas dari terapi exercise ini masih membutuhkan penelitian lebiih lanjut. (Michlovitz, 2003) 2.5.4 Low level heat wrap Michlovitz et al melakukan penelitian tentang manfaat menggunakan low level heat wrap (suhu dipertahankan 40o selama 8 jam) 8 jam per hari selama 3 hari pada pasien CTS. Pada follow up, kelompok yang menggunakan heat wrap mengalami perbaikan yang signifikan dibanding kelompok dengan placebo. Heat wrap ini juga dapat digunakan saat aktivitas untuk mengurangi gejala CTS. Namun pada penelitian lain disebutkan bahwa low level heat wrap tidak memberikan perbaikan klinis secara signifikan pada pasien CTS. (Michlovitz, 2003) 2.5.5 Terapi Ultrasound Pada suatu penelitian dengan ultrasound didapatkan perbaikan bermakna pada gejala klinik dan studi konduksi saraf. Pada literatur, penggunaan ultrasound selama 15 menit per sesi, 5 sesi per minggu, selama 5 minggu memberikan perbaikan klinis pada nyeri, parastesi, dan hipoestesia setelah 2 minggu, 7 minggu, dan 8 bulan dibandingkan dengan placebo. Penelitian kedua membandingkan ultrasound intensitas tinggi, ultrasound intensitas rendah, dan placebo. 20 Tidak ada perbedaan luaran klinis yang signifikan pada ketiga kelompok. (Michlovitz, 2003) 2.5.6 Terapi laser MLS Terapi laser MLS (Multiwave locked System) adalah pemberian emisi laser berkala yang tersinkronisasi dengan panjang gelombang infra merah yang berbeda. Terapi laser MLS memiliki efek anti edema, serta menstimulasi sirkulasi pembuluh darah dan limfe, dan menginduksi penyerapan cairan. Laser MLS dapat meningkatan dan mempercepat kualitas regenerasi saraf. Penelitian in vivo, pemberian stimulasi laser MLS menunjukkan remyelinasi komplit pada nervus medianus dengan perbaikan konduksi saraf dan kontraksi otot yang diinervasi. (Michlovitz, 2003) 2.5.7 TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation) TENS digunakan untuk menstimulasi saraf motorik dan sensorik untuk mengurangi nyeri. TENS dapat menginduksi pelepasan opiat endogen untuk mengontrol nyeri. Penggunaan TENS sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan pace maker. (Michlovitz, 2003) 2.5.8 Diuretik, Vitamin B6 Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbaikan gejala dan gambaran elektro-diagnostik dengan pemberian vitamin B6 dan diuretik. (Basuki, 2010) 2.5.9 NSAID 21 Pada penelitian, NSAID tidak menunjukkan efek yang bermakna dibandingkan dengan diuretik atau placebo. Bahkan penggunaan NSAID jangka panjang dapat meningkatkan risiko perdarahan lambung. (Basuki, 2010) 2.5.10 Steroid Penggunaan steroid dapat mengurangi gejala dengan menghambat inflamasi. Pada penelitian Chang, prednison 20 mg per hari selama 2 minggu dilanjutkan dengan 10 mg per hari dua minggu berikutnya memberikan efektivitas yang baik dan menunjukkan perbaikan pada pemeriksaan neurofisiologis. Pemberian per oral dapat memberikan efek samping berupa mual, muntah, bahkan perdarahan lambung. Pemberian injeksi lokal memberikan perbaikan klinis yang lebih baik dibandingkan oral. (Alfonso et al, 2010) Klinisi yang mengobati CTS dengan injeksi steroid ke terowongan karpal. Steroid (betamesone, triamcinolon, atau methyl prednisolon) 1 ml dengan lidocain 1% 1 ml. Jarum 27 diinjeksikan dengan sudut 45o. Ketika jarum melewati terowongan karpal, pasien diminta menggerakkan jarinya. Jika tendon fleksor tertusuk, gerakan ini akan terasa nyeri. Jarum kemudian ditarik hingga jari bisa digerakkan. Injeksi steroid dalam tendon dapat mengakibatkan tendon menjadi ruptur. Jika terdapat parastesi, jarum harus ditarik karena kemungkinan mengenai nervus medianus. Walaupun tusukan tidak 22 mencederai saraf, tetapi injeksi steroid dalam fasikulus harus dihindari. Hati-hati terhadap kanal guyon, karena lokasinya yang berdekatan dengan terowongan karpal pada 30% dan berada superficial dari terowongan karpal. Injeksi steroid dapat mengurangi nyeri pada 80% pasien. (Alfonso et al, 2010) Terapi operatif pada penderita CTS merupakan pilihan bila sudah didapatkan atropi otot thenar, nyeri yang berat dan mengganggu aktivitas, kegagalan terapi konservatif. (Alfonso et al, 2010) 2.6 PENGARUH INJEKSI STEROID PADA CARPAL TUNNEL SYNDROME Carpal tunnel syndrome adalah suatu kondisi yang sering ditemui oleh dalam praktek sehari-hari, dan merupakan neuropathy entrapment paling sering pada ekstremitas atas. Manajemen Non-bedah adalah strategi pengobatan awal untuk sebagian besar pasien dengan ringan sampai sedang CTS. Pengobatan konservatif juga dapat digunakan sebagai jembatan untuk pasien yang ingin menghindari atau menunda operasi. Beberapa pilihan nonbedah adalah splint, kortikosteroid oral, dan terapi fisik. Pengobatan konservatif umumnya memberikan efek dari dua sampai 12 minggu. (Hoffecker et al, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Cartwright et al menunjukkan bahwa efek injeksi steroid mulai terlihat dalam waktu satu minggu setelah injeksi. (Cartwright, 2011). Injeksi kortikosteroid lokal adalah prosedur yang sederhana dan mudah dilakukan. Pada tahun 2007, review 23 cochrane injeksi steroid lokal untuk CTS memberikan efek sektar satu bulan. Pada penelitian lain dikatakan bahwa efek steroid dapat bertahan sampai satu tahun. Injeksi steroid juga diduga dapat menunda operasi pada pasien CTS. (Hoffecker et al, 2015) Sebuah penelitian dengan 69 pasien CTS dalam praktek umum yang diberi injeksi triamcinolone acetonide 10 mg atau injeksi normal saline, kemudian diamati gejala dan skor fungsional selama 3, 6, dan 12 bulan. Injeksi steroid memberikan luaran klinis yang lebih baik. (Hoffecker et al, 2015) Pasien dengan CTS moderat yang diberikan injeksi kortikosteroid memiliki kecenderungan dekompresi bedah yang lebih kecil. Studi kohort retrospektif disebutkan di atas oleh Visser et al, median waktu operasi 15 bulan untuk ringan, 5 bulan untuk moderat dan 4,5 bulan untuk CTS berat (p = 0,02). (Hoffecker et al, 2015). Efek samping pemberian injeksi steroid jarang terjadi dan biasanya ringan. Efek samping dapat berupa kemerahan, indentasi pada kulit, serta infeksi pada daerah injeksi. (Fredberg, 1997) 2.7 KERJA STEROID PADA SARAF PERIFER Steroid pertama kali diperkenalkan pada tahun 1949 dan banyak digunakan untuk merawat pasien dengan berbagai macam penyakit. Pada 24 tahun 1952, steroid pertama kali digunakan untuk injeksi epidural pada pasien dengan nyeri punggung bawah. Seiring dengan berjalannya waktu, berbagai macam agen steroid ditemukan (hydrocortizone, methylprednisolone, triamcinolone, dan betamethason) dan digunakan pada berbagai macam kondisi nyeri. Steroid mengurangi nyeri dan memperbaiki luaran klinis pada nyeri muskuloskeletal dengan mengurangi inflamasi melalui penghambatan sintesis dan release agen proinflamasi sehingga dapat menimbulkan efek analgesik. (Manchikanti, 2002). Selain itu dalam beberapa tahun terakhir dilakukan analisis efek steroid pada dua protein yang paling khas dan penting dari myelin sistem saraf perifer (PNS), glikoprotein Po (po) dan protein myelin perifer 22 (PMP22). (Melcangi dkk, 2000) 2.7.1 STEROID DAN INFLAMASI Sistem imun yang berperan dalam proses inflamasi juga mempunyai peranan penting dalam patofisiologi terjadinya nyeri. Penelitian yang dilakukan oleh Bennet menunjukkan bahwa pada kerusakan saraf dapat terjadi interaksi neuroimunologis yang memberikan kontribusi terjadinya nyeri. Pada suatu percobaan dengan tikus didapatkan peningkatan sitokin pada nervus medianus pada suatu cedera akibat gerakan berulang. Dari beberapa penelitian didapatkan prostaglandin, bahwa penderita CTS terdapat peningkatan VEGF, TNF α dan interleukin 6. Pelepasan mediator 25 proinflamasi tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler dan menimbulkan edema lokal. (Sardana dan Ojha, 2016). Steroid dapat menghambat produksi prostaglandin melalui tiga mekanisme : (1) Induksi dan aktivasi annexin I, (2) induksi MAPK phosphatase 1, dan (3) menghambat transkripsi siklooksigenase 2. Annexin (disebut juga lipocortin-1) adalah anti protein inflamasi yang menghambat Fosfolipase sitosolik A2α (cPLA2α). cPLA2α membutuhkan kadar kalsium tinggi dan fosforilasi oleh protein kinase MAPK, kalsium / calmodulin- dependent kinase II, dan MAPK berinteraksi kinase untuk reaksi enzimatiknya. Aktivasi cPLA2α dimulai dengan gerakan Fosfolipase dari sitosol ke membran perinuklear, dimana cPLA2α menghidrolisis fosfolipid yang mengandung asam arakidonat. Glukokortikoid menginduksi Annexin I, yang dengan menghambat cPLA2α, sehingga menghambat pelepasan asam arakidonat dan konversinya menjadi eicosanoid (yaitu prostaglandin, tromboksan, Prostacyclins, dan leukotrien). (Turk Rhen dan Jhon A Cidlowski, 2005) Protein antiinflamasi kedua yang diinduksi oleh steroid adalah MAPK phosphatase 1 (Gbr.2). Sitokin, infeksi bakteri dan virus, dan radiasi ultraviolet dapat mengaktifkan kaskade MAPK. Ultraviolet memicu kaskade kinase yang terfosforilasi dan mengaktifkan Jun N-terminal kinase, yang memfosforilasi transkripsi Faktor c-Jun. c-Jun homodimers dan heterodimer yang terfosforilasi mengikat sekuens DNA (activator protein 1 response 26 elements) dan menginduksi terjadinya inflamasi. Steroid bekerja pada MAPK fosfatase 1 yang menghambat Jun N-terminal kinase, sehingga menghambat inflamasi. MAPK phosphatase 1 juga bisa menghambat cPLA2α yang dapat menghambat reaksi inflamasi. (Turk Rhen dan Jhon A Cidlowski, 2005) Steroid juga menghambat transkripsi NFκB. Dalam keadaan tidak aktif NF-kB diikat di sitoplasma oleh protein IκB. TNF-a, interleukin-1, mikroba patogen, infeksi virus, dan radikal bebas, mengaktifkan kinase IκB (Gambar 2) sehingga terjadi aktivasi NF-κB. NF-kB menginduksi transkripsi sitokin, kemokin, cell adhesion molecules, faktor komplemen, dan reseptor untuk molekul ini. NF-kB juga menginduksi transkripsi siklooksigenase 2, enzim penting untuk produksi prostaglandin. (Turk Rhen dan Jhon A Cidlowski, 2005) 27 Gambar 2. Mekanisme steroid menghambat inflamasi 2.7.2 GLIKOPROTEIN Po Protein myelin Po adalah anggota dari immunoglobulin gen superfamili (IgCAM), dan merupakan lebih dari setengah dari total protein dari myelin perifer (Ishaque et al, 1980;.. Lai et al, 1987). Protein ini berperan sebagai membran integral sederhana glikoprotein dengan transmembran tunggal, 28 ekstraseluler, dan domain sitoplasma (Lemke & Axel, 1985; Sakamoto et al., 1987). Po adalah produk sel Schwann (Brockes et al., 1980), sehingga tidak ditemukan di sistem saraf pusat (Kitamura et al., 1976). Protein ini memainkan peran fisiologis penting untuk pemeliharaan struktur multilamellar myelin saraf perifer (D'Urso et al., 1990), sebagai elemen struktur bifungsional menghubungkan lamela yang berdekatan, dan menstabilkan pembentukan myelin (Lemke, 1986; Snipes & Suter, 1995). Pentingnya Po untuk menstabilkan myelin diilustrasikan dengan fenotip parah tikus Ponegatif yang dihasilkan oleh rekombinasi homolog (Giese et al., 1992; Martiniet al., 1995; . Zielasek et al, 1996); hewan-hewan ini , di usia yang sangat muda, mengalami koordinasi motorik yang abnormal, tremor, degenerasi akson, dan degenerasi myelin. Perubahan patologis ini menyerupai yang terlihat di beberapa neuropati perifer yang diwariskan pada manusia. Selama pengembangan sistem saraf dan diferensiasi sel Schwann, ekspresi gen Po dikendalikan oleh sinyal aksonal; pemicu ini adalah cAMP yang memodulasi sintesis berbagai faktor transkripsi yang akhirnya menyebabkan transkripsi dan translasi gen Po (Lemke & Chao, 1988;. Morgan et al, 1991;. LeBlanc et al, 1992). Induksi transkripsi gen Po juga dapat dirangsang oleh transkripsi zinc finger Faktor Krox-20, yang meningkat selama pengembangan dan regenerasi saraf, sama dengan ekspresi tingkat tinggi Po (Blanchard et al., 1996, Zorick et al., 1996). 29 Faktor-faktor lain, seperti misalnya SCIP / Oct-6 / Tst-1, telah terbukti menekan Po (Monuki et al, 1990;. Dia et al, 1991;. SCIP / Oktober-6 / Tst-1 adalah protein yang dapat mengikat gen Po melalui terminal amino dan domain POU (Monuki et al., 1990; . Dia et al, 1991); Interaksi ini mungkin difasilitasi oleh modulator transkripsi keluarga SOX, seperti misalnya SOX 10 (Kuhlbrodt et al., 1998). Mekanisme sejauh diusulkan menyiratkan bahwa SCIP / Oct-6 / Tst-1 tidak didapatkan selama tahap awal pembentukan, ketika sel-sel Schwann sangat proliferatif, sebelum kontak dengan akson. Di sisi lain, jumlah tinggi SCIP / Oct-6 / Tst-1 didapatkan ketika sel-sel Schwann berinteraksi dengan akson; yang menyebabkan berkurangnya transkripsi gen Po. 2.7.3 PROTEIN MYELIN PERIFER 22 PMP22, sama seperti Po, terdapat di myelin (Welcher et al., 1991). Protein ini, yang mewakili 2-5% dari protein dari myelin perifer baik pada tikus dan pada manusia (Pareek et al., 1993) sebagian besar disintesis oleh sel Schwann. Namun, tidak seperti Po, yang spesifik untuk saraf, PMP22 didapatkan juga dalam jaringan lain, seperti paru-paru, usus, dan hati (Welcher et al, 1991;. Quarles, 1997). PMP22 di PNS penting untuk pembentukan dan pemeliharaan mielin (Snipes et al, 1992;. Kuhn et al., 1993; Zoidl et al., 1995). Namun, beberapa penulis telah menyatakan PMP22 berperan dalam regulasi pertumbuhan sel. 30 Menariknya, observasi oleh D'Ursoet al. (1999) telah menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa PMP22 dan Po dapat membentuk kompleks dalam membran myelin. Interaksi antara protein ini mungkin berpartisipasi dalam menjaga membran sel Schwann yang berdekatan tetap stabil. hubungan timbal balik antara dua protein myelin ini menjelaskan perubahan mengapa genetik salah satu dari dua molekul dapat menyebabkan fenotipe penyakit yang sangat mirip. Seperti ekspresi gen Po, PMP22 mRNA diatur oleh kontak dengan akson (Welcher et al, 1991;. Snipes et al, 1992.); namun, berbeda dengan Po, PMP22 diatur oleh dua promotor alternatif (Suter et al., 1994). Beberapa perubahan gen PMP22 telah dikaitkan dengan neuropati perifer herediter pada manusia. Hasil yang diperoleh sejauh ini menunjukkan bahwa hormon steroid mampu memodulasi mRNA protein myelin. Pemahaman mekanisme yang terlibat dalam modulasi ekspresi protein ini dengan berbagai steroid akan menjadi sangat penting untuk pemanfaatan hormon steroid, turunan dan dari agonis reseptor sintetik mereka, seperti terapi untuk memperbaiki myelin saraf perifer yang mengalami kerusakan akibat penuaan, cedera saraf perifer, maupun penyakit demyelinasi. (Melcangi et al, 2000) 31 2.8 KERANGKA TEORI Peningkatan tekanan terowongan carpal/CTS Kerusakan Nervus medianus Iskemia Nervus Medianus Pelepasan Mediator Proinflamasi (TNFα, prostaglandion) Steroid Eksogen Produksi steroid endogen ↑ Disfungsi sensorik dan motorik Permeabilitas vaskuler ↑ Glikoprotein Po PMP22 Edema Tenosinovium Remyelinasi Keterangan : memicu menghambat 32 Latensi distal sensorik dan motorik ↑