Uploaded by officialhendrafirmansyah

Y2MzOGM1MjNjNDQ1NDE5Mzk1NzU2Mzc1YThlN2I5NzNmOGQwN2EyZA==

advertisement
TESIS
PENGARUH INJEKSI STEROID TERHADAP LATENSI DISTAL SENSORIK
DAN MOTORIK PADA PASIEN CARPAL TUNNEL SYNDROME
THE INFLUENCE OF STEROID INJECTION ON DISTAL MOTOR AND
SENSORY LATENCY IN CARPAL TUNNEL SYNDROME PATIENTS
DANIEL SETIAWAN W
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
i
PENGARUH INJEKSI STEROID TERHADAP LATENSI DISTAL
SENSORIK DAN MOTORIK PADA PASIEN
CARPAL TUNNEL SYNDROME
TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Biomedik
Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu
Ilmu Penyakit Saraf
Disusun dan diajukan oleh :
DANIEL SETIAWAN W
Kepada :
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM BIOMEDIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
ii
iii
DAFTAR KOMISI PENASIHAT
Ketua
: DR. Dr. Andi Kurnia Bintang, Sp. S(K), MARS
Sekretaris
: DR. Dr. Yudy Goysal, Sp. S(K)
Anggota
: DR. Dr. Susi Aulina, Sp. S(K)
DR. Dr. Nadra Maricar, Sp. S
DR. Dr. Ilhamjaya Patellongi, M.Kes
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Daniel Setiawan W
Nomor Mahasiswa : P1507213068
Program Studi
: Biomedik, Konsentrasi Pendidikan
Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree)
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan isi tesis ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, 31 Agustus 2017
Yang menyatakan
Daniel Setiawan W
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa
atas segala berkat dan rahmat yang diberikan kepada penulis, sehingga
naskah tesis ini dapat diselesaikan.
Penulis yakin bahwa penyusunan tesis ini dapat terlaksana dengan
baik berkat kerja keras, ketekunan, serta kesabaran, dan kerjasama dari
berbagai pihak.
Dengan selesainya tesis ini, penulis dengan tulus dan penuh rasa
hormat menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Ibu DR. Dr. Andi Kurnia Bintang, Sp. S(K), MARS sebagai
ketua komisi penasehat dan DR. Dr. Yudy Goysal, Sp. S(K) sebagai anggota
komisi penasehat sekaligus selaku Penasehat Residen atas bantuan dan
bimbingan yang telah diberikan mulai dari pengajuan judul sampai selesainya
tesis ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya, saya ucapkan pula kepada
Ketua Bagian Ilmu Penyakit Saraf (Dr. Muhammad Akbar, Sp. S. Ph.D) dan
Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Saraf FK UNHAS, DR. Dr. Andi Kurnia
Bintang, Sp. S(K), MARS. Tak lupa saya ucapkan terima kasih serta
penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada tim penguji : DR. Dr. Andi
Kurnia Bintang, Sp. S(K), MARS, DR. Dr. Yudy Goysal, Sp. S(K), DR. Dr.
Susi Aulina, Sp. S(K), DR. Dr Nadra Maricar, Sp.S, dan DR.Dr. Ilhamjaya
vi
Patellongi, M.Kes, yang telah memberikan penilaian dan masukan yang
sangat berharga demi kesempurnaan tesis ini.
Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada para supervisor : Prof.
DR. Dr. Amiruddin Aliah, MM, Sp. S(K); DR. Dr. Jumraini Tammasse, Sp. S;
Dr. Ashari Bahar, Sp. S, M. Kes, FINS; Dr. Louis Kwandou, Sp. S(K); Dr.
Abdul Muis, Sp. S(K); DR. Dr. Hasmawaty Basir, Sp. S(K); DR. Dr. David
Gunawan, Sp. S(K); Dr. Cahyono Kaelan, Ph.D, Sp. PA(K), Sp. S; DR. Dr.
Audry Devisanti Wuysang, Sp. S, M.Si; Dr. Ummu Atiah, Sp. S; Dr. Mimi
Lotisna, Sp. S; Dr. Andi Weri Sompa, Sp. S, M.Kes; Dr. Moch. Erwin
Rachman, Sp. S, M. Kes; Dr. Anastasia Juliana, Sp.S; Dr. Sri Wahyuni S.
Gani, Sp. S, M.Kes; Dr. Muh. Iqbal Basri, Sp. S, M. Kes yang telah dengan
senang hati membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis.
Rektor UNHAS, Direktur Pasca Sarjana, Ketua Program Studi
Biomedik dan kepada Prof. DR. Dr. Dasril Daud, Sp. A(K) sebagai ketua
konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree) yang
telah memberikan kesempatan kepada saya mengikuti pendidikan di
Program Pasca Sarjana Universitas Hasanuddin (Pendidikan Dokter
Spesialis
Terpadu);
para
Direktur
Rumah
Sakit
(RS
Dr.
Wahidin
Sudirohusodo, RSUD Labuang Baji, RS TNI-AD Pelamonia, RSU Islam
Faisal, RS Ibnu Sina, dan RS Akademis Jaury Yusuf Putra) yang telah
memberikan fasilitas tempat dan sarana belajar di masing-masing rumah
sakit yang dipimpinnya.
vii
Ketua Bagian/UP dan Staf Anatomi, Fisiologi, Farmakologi, Patologi
Anatomi, Rehabilitasi Medik, Radiologi, dan Ilmu Kesehatan Jiwa, yang telah
menerima saya mengikuti pendidikan di Bagian masing-masing, dan telah
memberikan ilmu yang mempunyai relevansi dengan Ilmu Penyakit Saraf.
Para sejawat, rekan-rekan peserta PPDS Ilmu Penyakit Saraf yang
telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis ini selama masa
pendidikan, khususnya kepada sahabat senasib dan seperjuangan angkatan
Juli 2013 dr. Machyono, dr. Widyawan Syahputra, dr. Steven Sakasasmita,
dr. Lisa Rizky Dalie, dr. Irmawati, dr. Endang Kristanti, dr Rilia Datan Sampe
Pajung, dr. M. Yunus Amran atas dukungan doa, memberi semangat, serta
berjuang bersama-sama dari awal pendidikan sampai impian kita bisa
terwujud. Juga kepada Sdr. Muh. Sukur,SKM; Bapak Isdar, SKM; dan Ibu I
Masse, SE, yang setiap saat tanpa pamrih membantu baik masalah
administrasi maupun fasilitas perpustakaan serta penyelesaian tesis ini.
Pada akhirnya, terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan
kepada almarhum kedua orang tua saya : ayahanda Bambang Gunawan dan
Ibunda Setiawati, yang telah membesarkan, membimbing, dan mendidik
saya, serta almarhum adik saya Andreas Setiawan yang selalu mendukung
saya. Wijayani Mardiana, pendamping yang selalu mendorong dan
memberikan semangat kepada saya selama masa pendidikan ini.
Terakhir kepada berbagai pihak yang tak dapat saya sebutkan satu
persatu yang telah memberikan bantuan dan dorongan moril selama penulis
viii
menjalani
pendidikan
ini.
Dengan
segala
kerendahan
hati,
saya
mengucapkan terima kasih, semoga amal budi mereka diterima oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa. Amin.
Makassar, Agustus 2017
Penulis
ix
ABSTRAK
Daniel Setiawan W. Pengaruh Injeksi Steroid terhadap Latensi Distal
Sensorik dan Motorik pada Pasien Carpal Tunnel Syndrome. (dibimbing oleh
Andi Kurnia Bintang, Yudy Goysal, Susi Aulina, Nadra Maricar, dan Ilham
Patellongi)
Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh injeksi steroid terhadap
latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome.
Penelitian ini adalah uji klinis dengan rancangan non randomized
pretest—posttest –control group. Penelitian dilakukan terhadap 33 pasien
carpal tunnel syndrome unilateral maupun bilateral yang terdiri dari 8 laki –
laki dan 25 perempuan. Dari 33 pasien tersebut didapatkan 40 pergelangan
tangan dengan carpal tunnel syndrome, di mana 20 pergelangan tangan
dilakukan injeksi steroid sedangkan 20 pergelangan tangan lain diberikan
terapi steroid oral.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perubahan latensi distal
sensorik yang bermakna (p<0,05) setelah perlakuan, baik pada kelompok
injeksi maupun kelompok oral, hasil uji wilcoxon menunjukkan p=0,01 dan
p=0,04 dengan perubahan masing-masing sebesar 0,30 msec dan 0,06
msec. Latensi distal motorik juga menunjukkan perubahan yang bermakna
(p<0,05) setelah perlakuan, baik pada kelompok injeksi maupun kelompok
oral; hasil uji Wilcoxon menunjukkan p<0,001 dan p=0,010 dengan
perubahan masing-masing sebesar 0,53 msec dan 0,09 msec. Hasil uji Mann
Whitney U perubahan latensi distal antara kelompok injeksi dan oral
menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05).
Kata kunci : carpal tunnel syndrome, injeksi steroid, latensi distal sensorik,
latensi distal motorik
x
ABSTRACT
Daniel Setiawan W. The Influence of Steroid Injection on Distal Sensory and
Motor Latency in Carpal Tunnel Syndrome Patients. (Supervised by Andi
Kurnia Bintang, Yudy Goysal, Susi Aulina, Nadra Maricar, and Ilham
Patellongi)
This study aims to determine the effect of steroid injections on distal
motor latency carpal tunnel syndrome.
This study is a clinical trial with non-randomized pretest-posttestcontrol group design. The study was conducted on 33 unilateral and bilateral
carpal tunnel syndrome patients consisting of 8 males and 25 females. Of the
33 patients, 40 wrists were obtained with carpal tunnel syndrome, in which 20
wrists were injected with steroids while 20 other wrists were given oral
analgesic therapy.
The results of this study indicate a significant change in distal sensory
latency (p<0,05) after treatment, either in the injection group or in the oral
group, wilcoxon test result showed respectively p=0,01 and p=0,04 with each
change of 0,30 msec and 0,06 msec. Distal motor latency also indicate
significant change (p <0.05) after treatment, either in the injection group or in
the oral group; Wilcoxon test results showed respectively p <0.001 and p =
0.010 with each change of 0.53 msec and 0.09 msec. Mann Whitney U test
showed a significant change of distal latency between injection and oral
group (p<0,05)
Keywords: carpal tunnel syndrome, steroid injection, distal sensory latency,
distal motor latency
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...........................................................................................i
HALAMAN PENGAJUAN.................................................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................iii
HALAMAN PEMBIMBING...............................................................................iv
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN..............................................................v
KATA PENGANTAR........................................................................................v i
ABSTRAK........................................................................................................x
ABSTRACT.....................................................................................................xi
DAFTAR ISI....................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xvi
DAFTAR GRAFIK ....................................................................................... xvii
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xviii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xix
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH ........................................................ 1
1.2
RUMUSAN MASALAH...................................................................... 5
1.3 TUJUAN PENELITIAN ........................................................................ 6
1.3.1
TUJUAN UMUM : .......................................................................... 6
1.3.2
TUJUAN KHUSUS : ...................................................................... 6
1.4
HIPOTESIS PENELITIAN ................................................................ 7
1.5
MANFAAT PENELITIAN ................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 8
2.1
EPIDEMIOLOGI................................................................................ 8
2.2
ANATOMI ......................................................................................... 9
2.3
PATOMEKANISME ........................................................................ 10
2.4
PEMERIKSAAN ELEKTRONEUROMYOGRAFI ............................. 13
xii
2.5
PENATALAKSANAAN .................................................................... 18
2.6 PENGARUH INJEKSI STEROID PADA CARPAL TUNNEL
SYNDROME............................................................................................. 23
2.7
2.7.1
KERJA STEROID PADA SARAF PERIFER.................................... 24
STEROID DAN INFLAMASI ....................................................... 25
2.7.2 GLIKOPROTEIN Po ....................................................................... 28
2.7.3 PROTEIN MYELIN PERIFER 22 .................................................... 30
2.8
KERANGKA TEORI ........................................................................ 32
2.9
KERANGKA KONSEP .................................................................... 33
BAB III METODE PENELITIAN.................................................................... 34
3.1
DESAIN PENELITIAN..................................................................... 34
3.2
TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN ............................................ 34
3.3
POPULASI PENELITIAN ................................................................ 34
3.4
SAMPEL PENELITIAN DAN CARA PENGAMBILAN SAMPEL ...... 34
3.5
PERKIRAAN BESAR SAMPEL ....................................................... 34
3.6 KRITERIA INKLUSI DAN EKSKLUSI ................................................. 35
3.6.1
KRITERIA INKLUSI .................................................................... 35
3.6.2
KRITERIA EKSKLUSI ................................................................. 35
3.7
PEMERIKSAAN DAN PENGAMBILAN DATA SAMPEL ............... 36
3.8
IDENTIFIKASI VARIABEL ............................................................. 38
3.9
DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBYEKTIF ................. 38
3.10
METODE ANALISIS ...................................................................... 40
3.11.
ALUR PENELITIAN ..................................................................... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN ........................................................................ 42
4.1
KARAKTERISTIK DEMOGRAFIK .................................................. 42
4.2 HASIL ANALISIS PENGARUH INJEKSI STEROID TERHADAP
LATENSI DISTAL SENSORIK ................................................................. 45
4.3 HASIL ANALISIS PENGARUH INJEKSI STEROID TERHADAP
PERUBAHAN LATENSI DISTAL MOTORIK ............................................ 47
xiii
BAB V PEMBAHASAN ................................................................................ 49
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 54
6.1
SIMPULAN ..................................................................................... 54
6.2
SARAN ........................................................................................... 55
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 56
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi carpal tunnel................................................................. 10
Gambar 2. Konduksi motorik nervus medianus..............................................15
Gambar 3. Mekanisme steroid menghambat inflamasi..................................28
xv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Karakteristik Sampel........................................................................43
Tabel 2. Analisis Karakteristik Sampel..........................................................44
Tabel 3. Derajat CTS Sebelum Pemberian Terapi........................................45
Tabel 4. Derajat CTS Setelah Pemberian Terapi..........................................45
Tabel 5. Perubahan Latensi Distal Sensorik Setelah Perlakuan Pada Kedua
Kelompok........................................................................................46
Tabel 6. Perubahan Latensi Distal Motorik Setelah Perlakuan Pada Kedua
Kelompok........................................................................................48
xvi
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Plot Perubahan Latensi Distal Sensorik Pada Kedua Kelompok.....47
Grafik 2. Plot Perubahan Latensi Distal Motorik Pada Kedua Kelompok.......48
xvii
DAFTAR SINGKATAN
AAOS
The American Academy of Orthopedic Surgeon AAOS
CMAP
Compound Muscle Action Potential
cPLAα2
Cytosolic Pospholipase A2α
CTS
Carpal Tunnel Syndrome
DNA
Deoxyribo Nucleic Acid
ENMG
Electroneuromyografi
KHS
Kecepatan Hantar Saraf
MAPK
Mitogen Activated Protein kinase
MLS
Multiwave Locked System
NF-κB
Nuclear Factor Kappa B
NSAID
Non Steroid Anti Inflammatory Agent
PMP22
Protein Myelin Perifer 22
PNS
Peripheral Nerve System
SCV
Sensory Conduction Velocity
SNAP
Sensory Nerve Action Potential
TENS
Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation
TNF α
Tumor Necrosis Factor α
VEGF
Vascular Endothelial Growth Factor
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Naskah Penjelasan pada Subyek..............................................60
Lampiran 2. Formulir Persetujuan Mengikuti Penelitian................................62
Lampiran 3. Lembar Riset.............................................................................64
Lampiran 4. Etik Penelitian...........................................................................66
Lampiran 5. Data mentah penelitian.............................................................67
xix
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG MASALAH
Carpal tunnel syndrome (CTS) adalah neuropathy entrapment yang paling
sering pada ekstremitas atas. Perempuan lebih rentan terhadap CTS
dibanding laki-laki dengan rasio 3:1 hingga 10: 1. CTS pada terjadi pada
rentang usia puncak 40-60 tahun. Prevalensi CTS di Amerika serikat adalah
5-21% pada pekerja pabrik dan 1-5% pada populasi umum. Berdasarkan
data dari Washington State Workers, insidensi CTS adalah 0,8-14,8 per 1000
orang per tahun (Dale, 2013)
Penyebab terjadinya CTS adalah peningkatan tekanan di terowongan
karpal. Pada orang normal tekanan di terowongan karpal adalah sebesar
2mmHg. Tekanan tersebut akan meningkat saat fleksi
dan ekstensi
pergelangan tangan. Tekanan sebesar 20-30 mmHg dapat memperlambat
aliran darah epineurium saraf. Transpor aksonal terganggu pada tekanan 30
mmHg. Perubahan neurofisiologis berupa disfungsi motorik dan sensorik
akan muncul pada tekanan 40 mmHg. Pada tekanan 60-80 mmHg terjadi
penghentian aliran darah intraneural yang menyebabkan iskemia sehingga
terjadi kerusakan sel saraf. Walaupun lesi saraf perifer lebih resisten
terhadap iskemia, namun tegangan dan kompresi yang berkepanjangan
dapat menyebabkan terjadinya proses iskemia tersebut. (Basuki, 2010)
1
Pada tahap awal CTS biasanya unilateral dan dapat menjadi bilateral.
Gejala yang ditimbulkan umumnya dimulai dengan gejala sensorik walaupun
pada akhirnya dapat pula mengenai gejala motorik. Gejala yang pertama kali
muncul dan sering dikeluhkan adalah rasa baal, kesemutan, atau nyeri
seperti tersengat aliran listrik pada distribusi nervus medianus, yaitu pada ibu
jari, jari telunjuk, jari tengah, dan setengah bagian radial jari manis. Gejala ini
dapat timbul kapan saja tetapi seringkali saat bangun tidur atau sering
membangunkan pasien dari tidur (nocturnal acro-parasthesias). (Jagga et al,
2011)
Carpal
Tunnel
Syndrome
merupakan
salah
satu
penyakit
yang
menyebabkan disabilitas, sehingga menurunkan produktivitas. Adanya gejala
sensorik seringkali menjadi penyebab timbulnya disabilitas. Disabilitas ini
akan bertambah berat bila sudah timbul gejala motorik sehingga kualitas
hidup penderita akan terganggu. (Gerritsen et al, 2002). Diperkirakan biaya
perawatan medis untuk CTS di Amerika Serikat melebihi $ 2 miliar per tahun,
terutama karena pembedahan. Biaya non-medis yaitu kerugian yang dialami
pasien akibat berkurangnya produktivitas secara substansial lebih besar. Di
Amerika, median waktu kerja yang hilang dari pekerjaan akibat CTS adalah
27 hari, lebih panjang dari cedera kerja lainnya, kecuali patah tulang.
Selanjutnya, 18% pekerja yang mengalami CTS dilaporkan meninggalkan
pekerjaan mereka dalam 18 bulan. (Dale et al, 2013)
2
Terapi definitif untuk CTS adalah dengan dekompresi bedah. Terapi
konservatif
yang sering dilakukan adalah
fisioterapi, splint, steroid oral,
penggunaan analgetik oral,
injeksi steroid, dan penggunaan terapi
modalitas. Analgetik oral dan steroid oral bila diberikan dalam waktu lama
dapat menyebabkan gangguan saluran cerna, sedangkan fisioterapi dan
splint memerlukan waktu yang lama untuk mengurangi nyeri pada CTS.
Injeksi steroid memiliki kelebihan untuk terapi CTS karena efeknya yang
cepat. Terapi lain seperti exercise, yoga, akupunktur, laser, magnet masih
belum jelas manfaatnya pada penderita CTS. Terapi pembedahan dilakukan
pada CTS yang berat dengan defisit fungsional dan nyeri yang menggangu.
(Carlson et al, 2010)
Review Cochrane menunjukkan injeksi steroid lokal untuk CTS dapat
mengurangi gejala CTS hingga 1 bulan setelah injeksi, pada penelitian lain
disebutkan bahwa injeksi steroid masih menunjukkan efeknya 3 bulan sampai
1 tahun. Injeksi steroid juga dapat menunda operasi pada pasien CTS.
(Hoffecker et al, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh
Cartwright et al
menunjukkan bahwa efek injeksi steroid mulai terlihat dalam waktu satu
minggu setelah injeksi, sedangkan pada penelitian lain disebutkan bahwa
injeksi steroid baru menujukkan efek setelah satu bulan. (Hoffecker et al,
2015)
Injeksi steroid dapat mengurangi efek inflamasi yang terjadi pada carpal
tunnel syndrome melalui penghambatan produksi sitokin proinflamasi. Selain
3
itu, dalam beberapa tahun terakhir dilakukan analisis efek steroid pada dua
protein yang paling khas dan penting dari mielin sistem saraf perifer (PNS),
glikoprotein Po (po) dan protein myelin perifer 22 (PMP22). Hasil yang
diperoleh sejauh ini menunjukkan bahwa hormon steroid mampu memodulasi
mRNA protein myelin sehingga dapat memperbaiki myelin saraf perifer yang
mengalami kerusakan. (Melcangi et al, 2000)
Pengukuran elektrofisiologi adalah baku emas tes diagnostik CTS serta
memberikan pengukuran yang objektif tentang fungsi saraf. Pemeriksaan
elektrodiagnosis dapat menentukan lokasi lesi, menunjukkan keterlibatan
serabut saraf motorik dan sensorik, serta menentukan proses patologi yang
terjadi dan beratnya lesi (demyelinasi, axonal loss, diskontinuitas akson).
Parameter elektrofisologi menunjukkan perbaikan jangka pendek setelah
injeksi steroid, dan perbaikan ini menurun pada CTS berat. (Sabaawi, 2013).
Pemeriksaan elektrofisiologis meliputi pemeriksaan motorik dan sensorik.
Pemeriksaan
motorik
menggunakan
stimulasi
dengan
intensitas
supramaksimal (20-30% di atas stimulus maksimal) agar mengenai seluruh
akson saraf yang diperiksa. Hasil sumasi potensial serabut otot berupa
Compound Muscle Action Potensial (CMAP) yang berbentuk gelombang
bifasik, dan diawali oleh defleksi negatif. Beberapa komponen CMAP adalah
amplitudo, durasi, dan latensi. Latensi yang timbul karena stimulasi pada
tempat yang paling distal dari ekstremitas disebut latensi distal. Latensi
meliputi waktu konduksi impuls serabut saraf, waktu transmisi neuromuscular
4
junction, dan waktu yang dibutuhkan untuk konduksi impuls di sepanjang
membran otot sampai ke elektroda pencatat. (Herjanto Poernomo et al, 2003)
Pemeriksaan sensorik akan menghasilkan potensial aksi yang disebut
Sensory Nerve Action Potensial (SNAP). SNAP terdiri dari latensi, durasi, dan
amplitudo. Pada CTS ringan, fungsi motorik tidak terganggu, namun
pemeriksaan sensorik menunjukkan peningkatan latensi distal. (Herjanto
Poernomo et al, 2003). Pada CTS yang berat, latensi, durasi, dan amplitudo
SNAP dapat menghilang. Dalam keadaan ini pemeriksaan latensi distal
motorik berguna untuk menentukan diagnosis CTS. (Andrew CF Hui et al,
2005)
Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh injeksi steroid terhadap latensi distal sensorik
dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome. Pada penelitian ini ENMG
dipilih menjadi alat ukur karena dapat menilai perbaikan fungsi saraf secara
objektif.
1.2
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1.2.1
Apakah ada pengaruh injeksi steroid terhadap latensi distal sensorik
dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome?
5
1.3
TUJUAN PENELITIAN
1.3.1 TUJUAN UMUM :
1.3.1.1
Mengetahui pengaruh injeksi steroid terhadap latensi distal sensorik
dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome
1.3.2 TUJUAN KHUSUS :
1.3.2.1 Mengukur latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel
syndrome sebelum dilakukan injeksi steroid lokal
1.3.2.2 Mengukur latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel
syndrome setelah dilakukan injeksi steroid lokal
1.3.2.3 Membandingkan latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal
tunnel syndrome sebelum dan setelah dilakukan injeksi steroid lokal
1.3.2.4 Mengukur latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel
syndrome yang mendapat terapi steroid oral
1.3.2.5 Mengukur latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel
syndrome setelah mendapat terapi steroid oral
1.3.2.6 Membandingkan latensi distal sensorik dan motorik pada pasien carpal
tunnel syndrome sebelum dan setelah mendapat terapi steroid oral
1.3.2.7 Membandingkan perubahan latensi distal sensorik dan motorik pada
pasien yang mendapat terapi steroid oral dan injeksi steroid lokal.
6
1.4
1.4.1
HIPOTESIS PENELITIAN
Ada pengaruh injeksi steroid terhadap penurunan latensi distal
sensorik dan motorik pada pasien carpal tunnel syndrome
1.5
MANFAAT PENELITIAN
1.5.1 Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit
terutama
mengenai terapi pada pasien carpal tunnel syndrome
1.5.2 Sebagai bahan masukan dalam proses belajar mengajar mengenai
pengaruh injeksi steroid terhadap latensi distal sensorik dan motorik
pada pasien carpal tunnel syndrome
1.5.3 Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi
perkembangan ilmu pengetahuan . Data penelitian ini juga diharapkan
dapat
memberikan
informasi
bagi
peneliti
tatalaksana pasien carpal tunnel syndrome.
7
selanjutnya
dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
EPIDEMIOLOGI
CTS adalah suatu neuropati perifer terbanyak yang dapat mengenai
semua golongan usia. Dahulu CTS dilaporkan sebagai penyakit akut yang
menyertai trauma pada pergelangan tangan atau sebagai gejala yang muncul
pada wanita usia pertengahan. Namun sekarang ini diketahui bahwa penyakit
ini muncul lebih sering ditemukan pada usia 40-60 tahun yang memiliki
pekerjaan berhubungan dengan aktivitas berlebihan pada tangan. Sebanyak
80% penderita CTS adalah perempuan. Perempuan lebih rentan terhadap
CTS dibanding laki-laki dengan rasio 3:1 hingga 10: 1.. Diduga perubahan
hormonal memegang peranan dalam meningkatkan insidensi timbulnya CTS
pada wanita. (Basuki, 2010)
Pusat statistik kesehatan di Amerika Serikat memperkirakan terdapat
lebih dari 2 juta kasus CTS, menjadikan penyakit ini sebagai bentuk
kerusakan akibat cedera berulang (repetitive stress injury) tersering di
Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, diperkirakan akan terjadi peningkatan
insidensi dari 1-3 per 1000 penduduk menjadi 150 per 1000 penduduk setiap
tahun. (Ropper dan Brown, 2014)
8
2.2
ANATOMI
Terowongan karpal adalah suatu daerah di pergelangan tangan yang
merupakan
terowongan kuadrangular fibro-oseus yang keras dan tidak
elastis. (gambar 1). Terowongan ini dibatasi pada ketiga sisinya oleh tulang
dan ligamentum fibrosa pada satu sisi. Bila telapak tangan diposisikan
menghadap ke atas, maka terowongan karpal di bagian lateral, medial, dan
dorsal dibatasi oleh tulang karpal. Atap dari terowongan tersebut terdiri dari
ligamentum karpal transversum atau ,fleksor retinakulum yang tebal dan
padat dengan lebar 4 cm, panjang 5-6 cm dan ketebalan 2,5-3,6 mm.
Bersama dengan sembilan tendon fleksor dari jari dan ibu jari, nervus
medianus melewati terowongan karpal ini. Saat melewati terowongan karpal,
nervus medianus berjalan di bawah tendon palmaris longus, setelah melewati
terowongan nervus medianus memberikan persarafan sensorik ke bagian
volar ibu jari, telunjuk, jari tengah, dan bagian radial dari jari manis dan
bagian dorsal dari jari tersebut. Selain itu cabang lateral nervus medianus
akan mempersarafi motorik ke otot thenar dan ibu jari. (Elliot, 2011)
9
Gambar 1. Anatomi carpal tunnel (Vijay Sardana dan Piyus Ojha, 2016)
2.3
PATOMEKANISME
CTS dianggap sebagai suatu penyakit inflamasi, suatu reaksi yang
secara normal terjadi pada jaringan yang mengalami kerusakan, akibat
cedera berulang, trauma atau kondisi medis lain. Ada proses inflamasi pada
terowongan karpal yang terjadi secara terus menerus akan menyebabkan
terjadinya jebakan pada nervus medianus yang terletak di dalamnya. Arthritis
rheumatoid, diabetes melitus, penyakit tiroid, kehamilan, dan menopause
merupakan beberapa keadaan yang dapat menimbulkan gejala CTS. Faktor
mekanik dan sistemik diduga merupakan faktor terpenting dalam patogenesis
terjadinya CTS. Awalnya faktor mekanik mempunyai peranan yang lebih
besar,
namun
pada
akhirnya
kedua
mempengaruhi. (Ropper dan Brown, 2014)
10
faktor
tersebut
akan
saling
Patofisiologi terjadinya CTS tidak sepenuhnya dimengerti. Pada
penderita CTS ditemukan adanya pembengkakan pada tenosinovium, yang
mengelilingi nervus medianus pada terowongan carpal. Tenosinovium
memiliki cairan yang berfungsi untuk lubrikasi dan melindungi tendon dari
gesekan. Beberapa peneliti menduga pembengkakan pada tenosinovium
disebabkan oleh adanya produksi cairan sinovial yang berlebihan. Selain itu
ditemukan juga penebalan ligamentum transversum yang merupakan atap
terowongan karpal. Pada operasi ditemukan adanya sklerosis dan edema
vaskular pada jaringan tenosinovium. Deposit amyloid pada tenosinovium
juga dilaporkan terjadi pada CTS. (Ibrahim, 2012)
Adanya
pembengkakan
pada
tenosinovium
dan
penebalan
ligamentum akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan pada
terowongan karpal. Peningkatan tekanan yang terjadi pada terowongan
karpal dapat menyebabkan peregangan dan proses iskemia pada nervus
medianus yang akan menyebabkan terjadinya CTS. (Ibrahim, 2012)
Pada orang normal tekanan di terowongan karpal adalah sebesar
2mmHg. Tekanan tersebut akan meningkat saat fleksi
dan ekstensi
pergelangan tangan. Tekanan sebesar 20-30 mmHg dapat memperlambat
aliran darah epineurium saraf. Transpor aksonal terganggu pada tekanan 30
mmHg. Perubahan neurofisiologis berupa difungsi motorik dan sensorik akan
muncul pada tekanan 40 mmHg. Tekanan yang lebih tinggi dapat
11
menyebabkan terjadinya blok sensorik dan motorik, sehingga gejala muncul.
Pada tekanan 60-80 mmHg terjadi penghentian aliran darah intraneural yang
menyebabkan iskemia sehingga terjadi kerusakan sel saraf. Walaupun lesi
saraf perifer lebih resisten terhadap iskemia, namun tegangan dan kompresi
yang berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya proses iskemia
tersebut. (Basuki, 2010)
Berkurangnya aliran darah dan asupan oksigen ke nervus medianus
akan memperlambat transmisi sinyal yang melewati terowongan karpal,
sehingga timbul gejala nyeri, kesemutan, dan baal pada daerah tangan yang
dipersarafi oleh nervus medianus. Hal ini akan menyebabkan penurunan
kecepatan hantar saraf pada pemeriksaan neurofisiologis. Pada nervus
medianus penderita CTS dapat terjadi proses demyelinisasi atau bila lebih
berat dapat terjadi kerusakan aksonal. Jika proses kerusakan baru mengenai
myelin, maka perbaikan akan lebih cepat terjadi, dapat beberapa hari sampai
beberapa minggu. Jika kerusakan aksonal, maka regenerasi akson akan
terjadi satu sampai tiga milimeter per hari dimulai dari otot yang menjadi
daerah persarafan. (Ibrahim, 2012)
Sistem imun yang berperan dalam proses inflamasi juga
mempunyai peranan penting dalam patofisiologi terjadinya nyeri. Penelitian
yang dilakukan oleh Bennet menunjukkan bahwa pada kerusakan saraf dapat
terjadi interaksi neuroimunologis yang memberikan kontribusi terjadinya nyeri.
12
Pada suatu percobaan dengan tikus didapatkan
peningkatan sitokin pada
nervus medianus pada suatu cedera akibat gerakan berulang. Dari beberapa
penelitian didapatkan bahwa penderita CTS terdapat perubahan berupa,
peningkatan prostaglandin, VEGF, TNF α. Pelepasan mediator proinflamasi
tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas vaskuler dan
menimbulkan edema lokal. (Sardana dan Ojha, 2016)
Awalnya kerusakan yang terjadi di nervus medianus bersifat
reversibel,
namun
adanya
peningkatan
tekanan
yang
lama
akan
menimbulkan gangguan aliran darah dan perburukan transport aksonal yang
pada akhirnya menimbulkan kerusakan epineurium yang bersifat menetap.
(Ropper dan Brown, 2014)
2.4
PEMERIKSAAN ELEKTRONEUROMYOGRAFI
Tujuan pemeriksaan elektroneuromyografi adalah menentukan
lokasi lesi, untuk menunjukkan keterlibatan serabut saraf motorik dan
sensorik, atau keduanya, menentukan proses patologi yang terjadi dan
beratnya lesi (demyelinasi, axonal loss, diskontinuitas akson). Pemeriksaan
ENMG motorik dan sensorik nervus medianus, pemeriksaan nervus lain,
EMG jarum pada beberapa otot dapat membedakan penyakit lain dengan
CTS seperti pleksopati dan radikulopati. Pemeriksaan neurofisiologis juga
dapat menentukan beratnya kerusakan saraf pada CTS jika pasien tidak
puas dengan hasil pengobatan. (Sardana dan Ojha, 2016)
13
Pemeriksaan elektrofisiologis meliputi pemeriksaan motorik dan
sensorik. Pemeriksaan motorik menggunakan stimulasi dengan intensitas
supramaksimal (20-30% di atas stimulus maksimal) agar mengenai seluruh
akson saraf yang diperiksa. Hasil sumasi potensial serabut otot berupa
Compound Muscle Action Potensial (CMAP) yang berbentuk gelombang
bifasik, dan diawali oleh defleksi negatif. Beberapa komponen CMAP adalah
amplitudo, durasi, dan latensi. (gambar 2) Amplitudo diukur dari garis dasar
sampai defleksi negatif yang pertama, menggambarkan banyaknya akson
yang tereksitasi. Durasi diukur dari defleksi pertama sampai titik dimana
gelombang memotong garis dasar kembali. Durasi menunjukkan kemampuan
saraf untuk menghantarkan impuls dalam waktu yang relatif bersamaan.
Latensi diukur dari stimulus sampai defleksi pertama dari garis dasar. Latensi
yang timbul karena stimulasi pada tempat yang paling distal dari ekstremitas
disebut latensi distal. Latensi distal ini meliputi waktu konduksi impuls serabut
saraf, waktu transmisi neuromuscular junction, dan waktu yang dibutuhkan
untuk konduksi impuls di sepanjang membran otot sampai ke elektroda
pencatat. (Herjanto Poernomo et al, 2003)
Pemeriksaan sensorik akan menghasilkan potensial aksi yang
disebut Sensory Nerve Action Potensial (SNAP). SNAP terdiri dari latensi,
durasi, dan amplitudo. SNAP akan menurun atau menghilang amplitudonya
pada lesi yang mengenai ganglion dorsalis dan akson saraf sensorik.
(Herjanto Poernomo et al, 2003).
14
Gambar 2. Konduksi motorik nervus medianus (atas)stimulasi distal, (bawah) stimulasi proximal
(Kathirji, 2007)
Hasil pemeriksaan konduksi saraf dibandingkan dengan saraf lain
pada sisi yang sama atau kontralateral. Pemeriksaan elektrodiagnosis pada
CTS memiliki sensitivitas 56% hingga 85% dan spesifisitas 94% hingga 99%.
The American Academy of Orthopedic Surgeon (AAOS) merekomendasikan
pemeriksaan
elektrodiagnosis sebelum dan setelah operasi CTS untuk
melihat perbaikan neurologis. (Sardana dan Ojha, 2016)
Diagnosis carpal tunnel syndrome berdasarkan pemeriksaaan
neurofisiologis pada nervus medianus ditegakkan bila latensi distal motorik
>4 msec, atau
perbedaan latensi distal sensorik nervus ulnaris dan
medianus >0,4msec.
Langkah – langkah pemeriksaan KHS motorik pada nervus
medianus adalah sebagai berikut : Parameter instrumen diatur (a) Filter
10-10.000Hz, (b) Sweep : 2-5 milidetik, (c) Gain
15
:
:
1.000-5000
mikrovolt/div. Penderita diposisikan berbaring telentang dengan lengan
abduksi sekitar 45o , lengan bawah supinasi dan pergelangan tangan dalam
posisi netral. Elektrode aktif pada otot abduktor polisis brevis, elektrode
referens pada falang proksimal jari 1, elektrode ground pada dorsum manus
di antara elektrode aktif dan elektrode stimulasi. Stimulasi pertama dilakukan
distal pergelangan tangan antara tendon muskulus palmaris longus (medial)
dan fleksor karpi radialis. Stimulasi kedua dilakukan pada siku, fossa
antekubiti (medial tendon muskulus biseps). Stimulator diletakkan tepat
lateral dari arteri brakhialis. Stimulasi ketiga dikerjakan pada aksila sekitar 10
cm. Proksimal dari S2 dan tepat lateral anterior dari arteria brakialis.
(Poernomo et al, 2003)
Pemeriksaan KHS sensoris pada nervus medianus dapat dilakukan
dengan dua metode, yaitu ortodromik dan antidromik. Berikut ini adalah
pemeriksaan KHS sensoris secara ortodromik.
Parameter instrumen diatur (a) Filter : 20-2000 Hz, (b) Sweep
:1-
2 milidetik/div (c) Gain: 5-10 mikrovolt/div. Penderita diposisikan berbaring
telentang dengan lengan abduksi sekitar 45o , lengan bawah supinasi dan
pergelangan tangan dalam posisi netral. Jari-jari fleksi ringan saat relaks,
posisi istirahat. Elektrode aktif pada pergelangan tangan antara tendon
muskulus palmaris longus dan fleksor karpi radialis. Elektrode referens
ditempatkan 3 cm proksimal dari elektrode aktif. Elektrode ground pada
16
dorsum manus antara elektrode aktif dan elektrode stimulasi. Stimulasi pada
saraf jari menggunakan elektrode cincin yang dilingkarkan pada jari telunjuk.
Cincin katode pada interfalang proksimal jari II, cincin anode pada
interphalang distal jari II. Jarak antara katode di jari telunjuk dan elektrode
aktifdi pergelangan tangan tidak kurang dari 10 cm dan tidak lebih dari 14 cm.
(Poernomo et al, 2003)
Sedangkan pemeriksaan KHS sensorik secara antidromik adalah
sebagai berikut : Parameter instrumen diatur (a) Filter :
Sweep
: 1-2 milidetik/div, (c) Gain
:
5-20
20-2000Hz,
mikrovolt/div.
(b)
Penderita
diposisikan berbaring telentang dengan lengan abduksi sekitar 45o , lengan
bawah supinasi dan pergelangan tangan dalam posisi netral. Jari-jari fleksi
ringan saat relaks, posisi istirahat. Elektrode aktif ditempatkan pada jari
telunjuk pada pertengahan antara lipatanfalang dan pangkal jari telunjuk,
dengan jarak antara 10-14cm dengan katode. Elektrode referens ditempatkan
pada sekitar lipatan interfalang distal dengan jarak minimal 3 cm antara
elektrode aktif dan elektrode referens. Elektrode ground pada dorsum manus
antara elektrode aktif dan elektrode stimulasi. Stimulasi pada pergelangan
tangan antara tendon m. Fleksor digitorum sublimis dan fleksor karpi radialis
proksimal ligamentum karpal transversum. (Poernomo et al, 2003)
Berikut ini adalah grading CTS berdasarkan parameter elektrofisiologi:
(a) Normal (grade 0) : hasil normal pada semua pemeriksaan (b) sangat
ringan (grade 1) : hasil abnormal hanya pada komparatif atau segmental (c)
17
ringan (grade 2) : latensi distal motorik normal pada pergelangan tangan-jari
dengan melambatnya latensi distal sensorik (d) sedang (grade 3) : latensi
distal motorik meningkat (lebih dari 4 msec, tetapi <6,5msec) , parameter
sensorik masih terdeteksi (e) berat (grade 4) : tidak adanya respon sensorik
pada pergelangan-jari tangan dengan latensi distal motorik meningkat (lebih
dari 4 msec, tetapi <6,5msec) (f) sangat berat (grade 5) : tidak adanya respon
sensorik pada pergelangan-jari tangan dengan latensi distal motorik
meningkat >6,5 msec (g) ekstrim (grade 6) tidak ada respon motorik dan
sensorik (Hui, 2005)
Pada CTS yang berat, latensi, durasi, dan amplitudo SNAP dapat
menghilang. Dalam keadaan ini pemeriksaan latensi distal motorik berguna
untuk menentukan diagnosis CTS. (Andrew CF Hui et al, 2005)
2.5
PENATALAKSANAAN
Terapi CTS dapat berupa tindakan konservatif maupun operatif.
Tindakan konservatif dapat berupa modifikasi perilaku, splint pergelangan
tangan, fisioterapi, dan terapi medikamentosa dengan NSAID, diuretik,
piridoksin, kortikosteroid oral, dan injeksi lokal.
2.5.1 Modifikasi perilaku
Tangan yang mengalami CTS diistirahatkan dari gerakan fleksi dan
ekstensi yang berulang selama dua sampai enam minggu. Diharapkan
akan terjadi perbaikan pada jaringan yang mengalami inflamasi
18
sehingga penekanan pada nervus medianus berkurang. (Michlovitz,
2003)
2.5.2 Splint
Penggunaan splint untuk mempertahankan tangan dalam posisi
netral. Splint memberikan efek yang baik pada 80% kasus, terutama
pada kasus yang ringan. Splint telah dilakukan lebih dari 40 tahun
untuk pengobatan CTS. Penelitian menunjukkan penggunaan splint
saat malam hari selama 4 minggu dapat memperbaiki luaran klinis
yang
dievaluasi
dengan
Boston
Carpal
tunnel
Questionnaire.
Penelitian lain membandingkan efektivitas splint dengan pergelangan
tangan ekstensi 200 dengan posisi netral. Setelah 2 minggu, splint
dengan posisi netral memberikan luaran klinis yang lebih baik
dibandingkan posisi ekstensi. Penelitian lain membuktikan bahwa
penggunaan splint pada malam hari
dan sepanjang hari tidak
menunjukkan perbedaan luaran klinis yang signifikan. (Michlovitz,
2003)
2.5.3 Exercise
Exercise setelah delapan minggu dapat mengurangi nyeri secara
bermakna dibandingkan dengan penggunaan splint. Tujuan terapi
latihan adalah mengembalikan fungsi tendon fleksor dan nervus
medianus yang terganggu karena adanya kompresi dan perlekatan
diterowongan karpal. Seradge et al menunjukkan latihan yang berkala
19
dapat mengurangi tekanan pada terowongan karpal. Namun efektivitas
dari terapi exercise ini masih membutuhkan penelitian lebiih lanjut.
(Michlovitz, 2003)
2.5.4 Low level heat wrap
Michlovitz
et
al
melakukan
penelitian
tentang
manfaat
menggunakan low level heat wrap (suhu dipertahankan 40o selama 8
jam) 8 jam per hari selama 3 hari pada pasien CTS. Pada follow up,
kelompok yang menggunakan heat wrap mengalami perbaikan yang
signifikan dibanding kelompok dengan placebo. Heat wrap ini juga
dapat digunakan saat aktivitas untuk mengurangi gejala CTS. Namun
pada penelitian lain disebutkan bahwa low level heat wrap tidak
memberikan perbaikan klinis secara signifikan pada pasien CTS.
(Michlovitz, 2003)
2.5.5 Terapi Ultrasound
Pada suatu penelitian dengan ultrasound didapatkan perbaikan
bermakna pada gejala klinik dan studi konduksi saraf. Pada literatur,
penggunaan ultrasound selama 15 menit per sesi, 5 sesi per minggu,
selama 5 minggu memberikan perbaikan klinis pada nyeri, parastesi,
dan hipoestesia setelah 2 minggu, 7 minggu, dan 8 bulan
dibandingkan dengan placebo. Penelitian kedua membandingkan
ultrasound intensitas tinggi, ultrasound intensitas rendah, dan placebo.
20
Tidak ada perbedaan luaran klinis yang signifikan pada ketiga
kelompok. (Michlovitz, 2003)
2.5.6 Terapi laser MLS
Terapi laser MLS (Multiwave locked System) adalah pemberian
emisi laser berkala yang tersinkronisasi dengan panjang gelombang
infra merah yang berbeda. Terapi laser MLS memiliki efek anti edema,
serta
menstimulasi
sirkulasi
pembuluh
darah
dan
limfe,
dan
menginduksi penyerapan cairan. Laser MLS dapat meningkatan dan
mempercepat kualitas regenerasi saraf. Penelitian in vivo, pemberian
stimulasi laser MLS menunjukkan remyelinasi komplit pada nervus
medianus dengan perbaikan konduksi saraf dan kontraksi otot yang
diinervasi. (Michlovitz, 2003)
2.5.7 TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)
TENS digunakan untuk menstimulasi saraf motorik dan sensorik
untuk mengurangi nyeri. TENS dapat menginduksi pelepasan opiat
endogen untuk mengontrol nyeri. Penggunaan TENS sebaiknya tidak
dilakukan pada pasien dengan pace maker. (Michlovitz, 2003)
2.5.8 Diuretik, Vitamin B6
Beberapa penelitian menunjukkan adanya perbaikan gejala dan
gambaran elektro-diagnostik dengan pemberian vitamin B6 dan
diuretik. (Basuki, 2010)
2.5.9 NSAID
21
Pada penelitian, NSAID tidak menunjukkan efek yang bermakna
dibandingkan dengan diuretik atau placebo. Bahkan penggunaan
NSAID jangka panjang dapat meningkatkan risiko perdarahan
lambung. (Basuki, 2010)
2.5.10 Steroid
Penggunaan
steroid
dapat
mengurangi
gejala
dengan
menghambat inflamasi. Pada penelitian Chang, prednison 20 mg per
hari selama 2 minggu dilanjutkan dengan 10 mg per hari dua minggu
berikutnya memberikan efektivitas yang baik dan menunjukkan
perbaikan pada pemeriksaan neurofisiologis. Pemberian per oral dapat
memberikan efek samping berupa mual, muntah, bahkan perdarahan
lambung. Pemberian injeksi lokal memberikan perbaikan klinis yang
lebih baik dibandingkan oral. (Alfonso et al, 2010)
Klinisi yang mengobati CTS dengan injeksi steroid ke terowongan
karpal. Steroid (betamesone, triamcinolon, atau methyl prednisolon) 1
ml dengan lidocain 1% 1 ml. Jarum 27 diinjeksikan dengan sudut 45o.
Ketika
jarum
melewati
terowongan
karpal,
pasien
diminta
menggerakkan jarinya. Jika tendon fleksor tertusuk, gerakan ini akan
terasa nyeri. Jarum kemudian ditarik hingga jari bisa digerakkan.
Injeksi steroid dalam tendon dapat mengakibatkan tendon menjadi
ruptur.
Jika
terdapat
parastesi,
jarum
harus
ditarik
karena
kemungkinan mengenai nervus medianus. Walaupun tusukan tidak
22
mencederai saraf, tetapi injeksi steroid dalam fasikulus harus dihindari.
Hati-hati terhadap kanal guyon, karena lokasinya yang berdekatan
dengan terowongan karpal pada 30% dan berada superficial dari
terowongan karpal. Injeksi steroid dapat mengurangi nyeri pada 80%
pasien. (Alfonso et al, 2010)
Terapi operatif pada penderita CTS merupakan pilihan bila sudah didapatkan
atropi otot thenar, nyeri yang berat dan mengganggu aktivitas, kegagalan
terapi konservatif. (Alfonso et al, 2010)
2.6 PENGARUH INJEKSI STEROID PADA CARPAL TUNNEL SYNDROME
Carpal tunnel syndrome adalah suatu kondisi yang sering ditemui oleh
dalam praktek sehari-hari, dan merupakan neuropathy entrapment paling
sering pada ekstremitas atas.
Manajemen Non-bedah adalah strategi
pengobatan awal untuk sebagian besar pasien dengan ringan sampai sedang
CTS. Pengobatan konservatif juga dapat digunakan sebagai jembatan untuk
pasien yang ingin menghindari atau menunda operasi. Beberapa pilihan nonbedah adalah splint, kortikosteroid oral, dan terapi fisik. Pengobatan
konservatif umumnya memberikan efek dari dua sampai 12 minggu.
(Hoffecker et al, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh
Cartwright et al
menunjukkan bahwa efek injeksi steroid mulai terlihat dalam waktu satu
minggu setelah injeksi. (Cartwright, 2011). Injeksi kortikosteroid lokal adalah
prosedur yang sederhana dan mudah dilakukan. Pada tahun 2007, review
23
cochrane injeksi steroid lokal untuk CTS memberikan efek sektar satu bulan.
Pada penelitian lain dikatakan bahwa efek steroid dapat bertahan sampai
satu tahun. Injeksi steroid juga diduga dapat menunda operasi pada pasien
CTS. (Hoffecker et al, 2015)
Sebuah penelitian dengan 69 pasien CTS dalam praktek umum yang
diberi injeksi triamcinolone acetonide 10 mg atau injeksi normal saline,
kemudian diamati gejala dan skor fungsional selama 3, 6, dan 12 bulan.
Injeksi steroid memberikan luaran klinis yang lebih baik. (Hoffecker et al,
2015)
Pasien dengan CTS moderat yang diberikan injeksi kortikosteroid
memiliki kecenderungan dekompresi bedah yang lebih kecil. Studi kohort
retrospektif disebutkan di atas oleh Visser et al, median waktu operasi 15
bulan untuk ringan, 5 bulan untuk moderat dan 4,5 bulan untuk CTS berat (p
= 0,02). (Hoffecker et al, 2015).
Efek samping pemberian injeksi steroid jarang terjadi dan biasanya
ringan. Efek samping dapat berupa kemerahan, indentasi pada kulit, serta
infeksi pada daerah injeksi. (Fredberg, 1997)
2.7
KERJA STEROID PADA SARAF PERIFER
Steroid pertama kali diperkenalkan pada tahun 1949 dan banyak
digunakan untuk merawat pasien dengan berbagai macam penyakit. Pada
24
tahun 1952, steroid pertama kali digunakan untuk injeksi epidural pada
pasien dengan nyeri punggung bawah. Seiring dengan berjalannya waktu,
berbagai
macam
agen
steroid
ditemukan
(hydrocortizone,
methylprednisolone, triamcinolone, dan betamethason) dan digunakan pada
berbagai macam kondisi nyeri. Steroid mengurangi nyeri dan memperbaiki
luaran klinis pada nyeri muskuloskeletal dengan mengurangi inflamasi
melalui penghambatan sintesis dan release agen proinflamasi sehingga
dapat menimbulkan efek analgesik. (Manchikanti, 2002). Selain itu dalam
beberapa tahun terakhir dilakukan analisis efek steroid pada dua protein
yang paling khas dan penting dari myelin sistem saraf perifer (PNS),
glikoprotein Po (po) dan protein myelin perifer 22 (PMP22). (Melcangi dkk,
2000)
2.7.1
STEROID DAN INFLAMASI
Sistem imun yang berperan dalam proses inflamasi juga mempunyai
peranan penting dalam patofisiologi terjadinya nyeri. Penelitian yang
dilakukan oleh Bennet menunjukkan bahwa pada kerusakan saraf dapat
terjadi interaksi neuroimunologis yang memberikan kontribusi terjadinya nyeri.
Pada suatu percobaan dengan tikus didapatkan
peningkatan sitokin pada
nervus medianus pada suatu cedera akibat gerakan berulang. Dari beberapa
penelitian
didapatkan
prostaglandin,
bahwa
penderita
CTS
terdapat
peningkatan
VEGF, TNF α dan interleukin 6. Pelepasan mediator
25
proinflamasi tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas
vaskuler dan menimbulkan edema lokal. (Sardana dan Ojha, 2016).
Steroid dapat menghambat produksi prostaglandin melalui tiga
mekanisme : (1) Induksi dan aktivasi annexin I, (2) induksi
MAPK
phosphatase 1, dan (3) menghambat transkripsi siklooksigenase 2. Annexin
(disebut juga lipocortin-1) adalah anti protein inflamasi yang menghambat
Fosfolipase sitosolik A2α (cPLA2α). cPLA2α membutuhkan kadar kalsium
tinggi
dan fosforilasi oleh protein kinase MAPK, kalsium / calmodulin-
dependent
kinase
II,
dan
MAPK
berinteraksi
kinase
untuk
reaksi
enzimatiknya. Aktivasi cPLA2α dimulai dengan gerakan Fosfolipase dari
sitosol ke membran perinuklear, dimana cPLA2α menghidrolisis fosfolipid
yang mengandung asam arakidonat. Glukokortikoid menginduksi Annexin I,
yang dengan menghambat cPLA2α, sehingga menghambat pelepasan asam
arakidonat dan konversinya menjadi eicosanoid (yaitu prostaglandin,
tromboksan, Prostacyclins, dan leukotrien).
(Turk Rhen dan Jhon A
Cidlowski, 2005)
Protein antiinflamasi kedua yang diinduksi oleh steroid adalah MAPK
phosphatase 1 (Gbr.2). Sitokin, infeksi bakteri dan virus, dan radiasi
ultraviolet dapat mengaktifkan kaskade MAPK. Ultraviolet memicu kaskade
kinase yang terfosforilasi dan mengaktifkan Jun N-terminal kinase, yang
memfosforilasi transkripsi Faktor c-Jun. c-Jun homodimers dan heterodimer
yang terfosforilasi mengikat sekuens DNA (activator protein 1 response
26
elements) dan menginduksi terjadinya inflamasi. Steroid bekerja pada MAPK
fosfatase 1 yang menghambat Jun N-terminal kinase, sehingga menghambat
inflamasi. MAPK phosphatase 1 juga bisa menghambat cPLA2α yang dapat
menghambat reaksi inflamasi. (Turk Rhen dan Jhon A Cidlowski, 2005)
Steroid juga menghambat transkripsi NFκB. Dalam keadaan tidak aktif
NF-kB diikat di sitoplasma oleh protein IκB. TNF-a, interleukin-1, mikroba
patogen, infeksi virus, dan radikal bebas, mengaktifkan kinase IκB (Gambar
2) sehingga terjadi aktivasi NF-κB. NF-kB menginduksi transkripsi sitokin,
kemokin, cell adhesion molecules, faktor komplemen, dan reseptor untuk
molekul ini. NF-kB juga menginduksi transkripsi siklooksigenase 2, enzim
penting untuk produksi
prostaglandin. (Turk Rhen dan Jhon A Cidlowski,
2005)
27
Gambar 2. Mekanisme steroid menghambat inflamasi
2.7.2 GLIKOPROTEIN Po
Protein myelin Po adalah anggota dari immunoglobulin gen superfamili
(IgCAM), dan merupakan lebih dari setengah dari total protein dari myelin
perifer (Ishaque et al, 1980;.. Lai et al, 1987). Protein ini berperan sebagai
membran integral sederhana glikoprotein dengan transmembran tunggal,
28
ekstraseluler, dan domain sitoplasma (Lemke & Axel, 1985; Sakamoto et al.,
1987). Po adalah produk sel Schwann (Brockes et al., 1980), sehingga tidak
ditemukan di sistem saraf pusat (Kitamura et al., 1976). Protein ini
memainkan peran fisiologis penting untuk pemeliharaan struktur multilamellar
myelin saraf perifer (D'Urso et al., 1990), sebagai elemen struktur
bifungsional menghubungkan lamela yang berdekatan, dan menstabilkan
pembentukan myelin (Lemke, 1986; Snipes & Suter, 1995). Pentingnya Po
untuk menstabilkan myelin diilustrasikan dengan fenotip parah tikus Ponegatif yang dihasilkan oleh rekombinasi homolog (Giese et al., 1992;
Martiniet al., 1995; . Zielasek et al, 1996); hewan-hewan ini , di usia yang
sangat muda, mengalami koordinasi motorik yang abnormal, tremor,
degenerasi akson, dan degenerasi myelin. Perubahan patologis ini
menyerupai yang terlihat di beberapa neuropati perifer yang diwariskan pada
manusia.
Selama pengembangan sistem saraf dan diferensiasi sel Schwann,
ekspresi gen Po dikendalikan oleh sinyal aksonal; pemicu ini adalah cAMP
yang memodulasi sintesis berbagai faktor transkripsi yang akhirnya
menyebabkan transkripsi dan translasi gen Po (Lemke & Chao, 1988;.
Morgan et al, 1991;. LeBlanc et al, 1992). Induksi transkripsi gen Po juga
dapat dirangsang oleh transkripsi zinc finger Faktor Krox-20, yang meningkat
selama pengembangan dan regenerasi saraf, sama dengan ekspresi tingkat
tinggi Po (Blanchard et al., 1996, Zorick et al., 1996).
29
Faktor-faktor lain, seperti misalnya SCIP / Oct-6 / Tst-1, telah terbukti
menekan Po (Monuki et al, 1990;. Dia et al, 1991;. SCIP / Oktober-6 / Tst-1
adalah protein yang dapat mengikat gen Po melalui terminal amino dan
domain POU (Monuki et al., 1990; . Dia et al, 1991); Interaksi ini mungkin
difasilitasi oleh modulator transkripsi keluarga SOX, seperti misalnya SOX 10
(Kuhlbrodt et al., 1998). Mekanisme sejauh diusulkan menyiratkan bahwa
SCIP / Oct-6 / Tst-1 tidak didapatkan selama tahap awal pembentukan, ketika
sel-sel Schwann sangat proliferatif, sebelum kontak dengan akson. Di sisi
lain, jumlah tinggi SCIP / Oct-6 / Tst-1 didapatkan ketika sel-sel Schwann
berinteraksi dengan akson; yang menyebabkan berkurangnya transkripsi gen
Po.
2.7.3 PROTEIN MYELIN PERIFER 22
PMP22, sama seperti Po, terdapat di myelin (Welcher et al., 1991).
Protein ini, yang mewakili 2-5% dari protein dari myelin perifer baik pada tikus
dan pada manusia (Pareek et al., 1993) sebagian besar disintesis oleh sel
Schwann. Namun, tidak seperti Po, yang spesifik untuk saraf, PMP22
didapatkan juga dalam jaringan lain, seperti paru-paru, usus, dan hati
(Welcher et al, 1991;. Quarles, 1997). PMP22 di PNS penting untuk
pembentukan dan pemeliharaan mielin (Snipes et al, 1992;. Kuhn et al.,
1993; Zoidl et al., 1995). Namun, beberapa penulis telah menyatakan PMP22
berperan dalam regulasi pertumbuhan sel.
30
Menariknya, observasi oleh D'Ursoet al. (1999) telah menunjukkan
untuk pertama kalinya bahwa PMP22 dan Po dapat membentuk kompleks
dalam membran myelin. Interaksi antara protein ini mungkin berpartisipasi
dalam menjaga
membran sel Schwann yang berdekatan tetap stabil.
hubungan timbal balik antara dua protein myelin ini menjelaskan perubahan
mengapa genetik salah satu dari dua molekul dapat menyebabkan fenotipe
penyakit yang sangat mirip. Seperti ekspresi gen Po, PMP22 mRNA diatur
oleh kontak dengan akson (Welcher et al, 1991;. Snipes et al, 1992.); namun,
berbeda dengan Po, PMP22 diatur oleh dua promotor alternatif (Suter et al.,
1994). Beberapa perubahan gen PMP22 telah dikaitkan dengan neuropati
perifer herediter pada manusia.
Hasil yang diperoleh sejauh ini menunjukkan bahwa hormon steroid
mampu memodulasi mRNA protein myelin. Pemahaman mekanisme yang
terlibat dalam modulasi ekspresi protein ini dengan berbagai steroid akan
menjadi sangat penting untuk pemanfaatan hormon steroid, turunan dan dari
agonis reseptor sintetik mereka, seperti terapi untuk memperbaiki myelin
saraf perifer yang mengalami kerusakan akibat penuaan, cedera saraf
perifer, maupun penyakit demyelinasi. (Melcangi et al, 2000)
31
2.8 KERANGKA TEORI
Peningkatan tekanan
terowongan carpal/CTS
Kerusakan
Nervus
medianus
Iskemia Nervus
Medianus
Pelepasan
Mediator
Proinflamasi
(TNFα,
prostaglandion)
Steroid
Eksogen
Produksi steroid
endogen ↑
Disfungsi
sensorik dan
motorik
Permeabilitas
vaskuler ↑
Glikoprotein
Po
PMP22
Edema
Tenosinovium
Remyelinasi
Keterangan :
memicu
menghambat
32
Latensi distal
sensorik dan
motorik ↑
Download