Uploaded by User91234

COVER Pedoman mitigasi bencana alam di wilayah p3k.doc - Pedoman MItigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

advertisement
Mitigasi Bencana Alam
di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
DIREKTORAT JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
JL. MEDAN MERDEKA TIMUR NO. 16 JAKARTA PUSAT
TELP. (021) 3519070 ext. 1010
http://dkp.go.id
DIREKTORAT JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2004
PEDOMAN
MITIGASI BENCANA ALAM
DI WILAYAH PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL
CETAKAN KEDUA
EDISI REVISI
2005
DIREKTORAT JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2004
KATA PENGANTAR
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ribuan pulaupulau kecil dan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Karena kondisi geografis dan geologisnya, wilayah pesisir dan pulaupulau kecil di Indonesia berpotensi besar mengalami bencana alam yang
merupakan salah satu atau kombinasi bencana alam dari gempa bumi
tektonik, tsunami, angin topan/badai, banjir, gunung berapi dan tanah
longsor. Hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia merupakan kota
pantai dengan jumlah penduduk yang besar dan kegiatan perekonomian
yang pesat. Berbagai aktivitas manusia dalam bentuk pembangunan
sektoral dan regional yang dilakukan oleh pemerintah maupun kalangan
swasta berlangsung dengan intensif dikawasan pesisir, seperti perikanan
budidaya, pelabuhan/perhubungan, pertanian, perkebunan, pemukiman,
pariwisata maupun industri. Disisi lain ekosistem pesisir sangat rentan
terhadap kerusakan dan perusakan baik secara alami oleh alam maupun
oleh aktifitas manusia. Bila pengelolaan dan pemanfaatan kawasan
tersebut tidak dilakukan dengan bijaksana, maka akan terjadi kerusakan
dan bencana alam yang sangat besar konsekuensinya. Kerusakan pesisir
baik oleh kegiatan manusia (antrophogenic), maupun peristiwa alam
(tropoghenic) dapat menimbulkan kerusakan ekosistem secara fatal.
Mencermati besarnya dampak akibat bencana di wilayah pesisir, maka
diperlukan serangkaian upaya penanggulangan dan pencegahan bencana
secara terpadu.
bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, strategi serta upaya
mitigasinya.
Dalam buku pedoman ini, memberikan gambaran tentang bencanabencana alam apa saja yang sering dialami di wilayah pesisir serta
upaya mitigasinya dalam meminimalisasikan dampak yang akan terjadi
akibat bencana tersebut. Mitigasi yang merupakan proses
mengupayakan berbagai tindakan preventif untuk meminimalkan
dampak negatif bencana alam yang diantisipasi akan terjadi di masa
datang di suatu daerah tertentu, merupakan investasi jangka panjang
bagi kesejahteraan semua lapisan masyarakat. Terdapat kecenderungan
untuk lebih menitik beratkan pada upaya mitigasi ketimbang respons
paska bencana
Akhir kata, semoga Pedoman ini dapat memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi semua pihak baik masyarakat maupun instansi
yang terkait dalam penanganan bencana alam di wilayah pesisir di
Indonesia.
Direktur Jenderal Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil,
Widi A. Pratikto
Dalam beberapa kasus bencana alam yang terjadi seperti banjir dan
erosi, terjadi berbagai benturan kepentingan, antara upaya pelestarian
sumberdaya alam (konservasi hutan, lahan atas / upland), dengan
pertumbuhan perekonomian masyarakat (pembukaan lahan pertanian,
budidaya perikanan). Hal ini menyebabkan kompleksitas dalam
penanggulangan bencana di wilayah pesisir menjadi semakin
meningkat. Munculnya berbagai benturan kepentingan tersebut menjadi
semakin nyata dengan belum adanya kesepahaman tentang definisi
i
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
i
DAFTAR GAMBAR
vii
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAUPULAU KECIL
NOMOR: SK.64A/P3K/IX/2004 TENTANG
PEDOMAN MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL
viii
DAFTAR ISI
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan dan Sasaran
1.3 Ruang Lingkup
1.4 Peristilahan
1
1
2
3
3
BAB II.
KEBIJAKAN, STRATEGI DAN LANDASAN
OPERASIONAL MITIGASI BENCANA DI WILAYAH
PESISIR
2.1 Kebijakan Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir
2.2 Strategi Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir
2.3 Landasan Operasional
2.4 Pendekatan Pengelolaan Pesisir Terpadu (PPT)
7
BAB III.
MITIGASI BENCANA ALAM KAWASAN PESISIR DAN
PULAU-PULAU KECIL
3.1 Bencana Erosi Pantai
3.1.1 Identifikasi Daerah Rawan Erosi Pantai
3.1.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Erosi Pantai
3.1.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability)
terhadap Erosi Pantai
3.1.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Erosi
Pantai
iii
8
9
10
11
15
17
17
17
18
18
3.1.2 Mitigasi Bencana Erosi Pantai
3.1.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai
Struktural
3.1.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Non
Struktural
3.2 Bencana Tsunami
3.2.1 Identifikasi Daerah Rawan Tsunami
3.2.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Tsunami
3.2.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability)
terhadap Tsunami
3.2.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Tsunami
3.2.2 Mitigasi Bencana Tsunami
3.2.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Struktural
3.2.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Non
Struktural
3.3 Bencana Banjir
3.3.1 Identifikasi Daerah Rawan Banjir
3.3.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Banjir
3.3.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability)
terhadap Banjir
3.3.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Banjir
3.3.2 Mitigasi Bencana Banjir
3.3.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Banjir Struktural
3.3.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Banjir Non Struktural
3.4 Bencana Gempa Bumi
3.4.1 Identifikasi Daerah Rawan Gempa Bumi
3.4.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Gempa Bumi
3.4.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability)
terhadap Gempa Bumi
3.4.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Gempa
Bumi
3.4.2 Mitigasi Bencana Gempa Bumi
3.4.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi
Struktural
3.4.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi Non
Struktural
3.5 Bencana Angin Topan/Badai
3.5.1 Identifikasi Daerah Rawan Angin Topan/Badai
iv
19
19
20
21
24
24
26
27
27
27
29
34
35
35
36
37
38
38
40
42
43
43
44
44
45
45
46
48
48
3.5.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Angin Topan/Badai
3.5.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability)
terhadap Angin Topan/Badai
3.5.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Angin
Topan/Badai
3.5.2 Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai
3.5.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai
Struktural
3.5.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai
Non Struktural
3.6 Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea Level
Rise/SLR)
3.6.1 Identifikasi Daerah Rawan Kenaikan Paras Muka Air
Laut (Sea Level Rise/SLR)
3.6.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Kenaikan Paras
Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR)
3.6.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability)
terhadap Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea
Level Rise/SLR)
3.6.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Kenaikan
Paras Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR)
3.6.2 Mitigasi Bencana Sea Level Rise
3.6.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Sea Level Rise
Struktural
3.6.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Sea Level Rise Non
Struktural
3.7 Bencana Kekeringan
3.7.1 Identifikasi Daerah Rawan Kekeringan
3.7.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Kekeringan
3.7.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability)
terhadap Kekeringan
3.7.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap
Kekeringan
3.7.2 Mitigasi Bencana Kekeringan
3.7.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Struktural
3.7.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Non
Struktural
3.8 Bencana Longsor
3.8.1 Identifikasi Daerah Rawan Longsor
v
48
48
3.8.1.1 Analisis Bahaya (Hazards) Longsor
3.8.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan (Vulnerability)
terhadap Longsor
3.8.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Longsor
3.8.2 Mitigasi Bencana Longsor
3.8.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Longsor Struktural
3.8.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Longsor Non
Struktural
49
50
50
60
60
60
61
61
62
50
BAB IV.
KOORDINASI ANTAR INSTANSI
63
BAB V
PENUTUP
64
51
53
53
53
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAUPULAU KECIL
NOMOR: SK.25A/P3K/V/2003 TENTANG
PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN PEDOMAN UMUM MITIGASI
BENCANA DI WILAYAH PESISIR
54
54
54
55
56
56
56
57
57
58
58
58
59
60
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1.
Siklus Manajemen Bencana
Gambar 3.1.
Gempa yang menimbulkan tsunami di
Indonesia dari tahun 400 - 2004
32
Gambar 3.2.
Daerah Rawan Tsunami di Indonesia
33
vii
4
KEPUTUSAN
3.
Undang-undang Nomor 23 Tahun
Pengelolaan Lingkungan Hidup;
1997
tentang
4.
Undang-undang Nomor
Pemerintahan Daerah;
1999
tentang
5.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah;
6.
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom;
7.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 228/M
Tahun 2001;
8.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Departemen,
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2002;
9.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 109 Tahun
2001 tentang Organisasi dan Tugas Unit Eselon I
Departemen, sebagaimana telah diubah dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2002;
DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
NOMOR: SK.64A/P3K/IX/2004
TENTANG
PEDOMAN MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH
PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL,
Menimbang
Mengingat
:
:
a. Bahwa guna meminimalisasi korban, baik harta maupun
jiwa, akibat bencana alam yang terjadi di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil, perlu dilakukan upaya-upaya
mitigasi bencana alam secara terencana, terpadu dan
berkelanjutan;
b. bahwa untuk itu perlu ditetapkan Pedoman Mitigasi
Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulaupulau Kecil;
1.
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang;
2.
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia;
viii
22
Tahun
10. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.24/MEN/2002 tentang Teknik dan Tata Cara
Penyusunan
Peraturan
Perundang-undangan
di
Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan;
11. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.05/MEN/2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja di
Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan;
ix
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PESISIR DAN
PULAU-PULAU
KECIL
TENTANG
PEDOMAN
MITIGASI BENCANA ALAM DI WILAYAH PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL
PERTAMA
KEDUA
KETIGA
: Memberlakukan Pedoman Mitigasi Bencana Alam di Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Keputusan ini.
: Pedoman sebagaimana dimaksud pada diktum PERTAMA
digunakan sebagai acuan bagi pejabat, aparat, dan/atau
masyarakat luas dalam melakukan upaya-upaya mitigasi
bencana alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang
terencana, terpadu, dan berkelanjutan.
: Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 21 September 2004
Direktur Jenderal Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil,
Widi A. Pratikto
x
LAMPIRAN : Keputusan Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil
Nomor : SK.64A/P3K/IX/2004
Tentang Pedoman Mitigasi Bencana Alam di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki ribuan pulaupulau kecil dan pantai terpanjang di dunia. Karena kondisi geografis
dan geologisnya, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil di Indonesia
berpotensi mengalami bencana alam yang merupakan salah satu atau
kombinasi dari gempa bumi tektonik, tsunami, angin topan/badai,
banjir, gunung berapi dan tanah longsor, maupun oleh faktor non
alam seperti berbagai akibat kegagalan teknologi dan ulah manusia.
Kesemuanya tidak dapat diprediksi sebelumnya secara tepat kapan
terjadi di suatu wilayah tertentu. Umumnya bencana yang terjadi
tersebut menyebabkan penderitaan bagi masyarakat, baik berupa
korban jiwa manusia, kerugian harta benda, maupun kerusakan
lingkungan serta musnahnya hasil-hasil pembangunan yang telah
dicapai. Disisi lain, karena berbagai potensi yang dikandung,
wilayah pesisir pantai cenderung terus berkembang dengan populasi
yang juga terus meningkat.
Bencana diartikan sebagai suatu kejadian yang diluar kebiasaan
(kondisi normal). Bencana dapat dibagi dalam bencana fisik dan
bencana non fisik. Bencana selain disebabkan oleh faktor alam yang
diluar kondisi normal dapat juga disebabkan oleh tindakan manusia
yang secara simultan dapat mendatangkan bencana.
Mitigasi, yang merupakan berbagai tindakan/upaya preventif untuk
meminimalkan dampak negatif bencana yang diantisipasi akan
terjadi di masa datang di suatu daerah tertentu, merupakan investasi
jangka panjang bagi kesejahteraan semua lapisan masyarakat.
Mitigasi dapat bersifat struktural ataupun non struktural. Kedepan
terdapat kecenderungan bahwa sudah menjadi kebutuhan untuk lebih
menitikberatkan pada upaya mitigasi ketimbang respon paska
bencana.
Dalam rangka mengembangkan prosedur mitigasi bencana yang
sesuai untuk wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia,
maka diperlukan penyusunan pedoman mitigasi bencana alam di
daerah pesisir baik yang bersifat struktural maupun non struktural.
1.2.
TUJUAN DAN SASARAN
Tujuan pedoman ini adalah (i) meningkatkan upaya-upaya mitigasi
bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, (ii) mendorong
peranserta Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat dalam
mengembangkan upaya mitigasi bencana, dan (iii) meningkatkan
pemahaman semua pihak terhadap mitigasi bencana di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Aset berupa sumberdaya manusia dan infrastruktur yang berada di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil perlu dilindungi dari bencana
dan perlindungan tersebut merupakan tanggung jawab nasional suatu
Negara, utamanya Pemerintah Daerah setempat dengan cara
mengembangkan strategi mitigasi.
Sasaran yang hendak dicapai dalam pedoman ini adalah (i)
terlaksananya peningkatan upaya-upaya mitigasi bencana di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, (ii) terlaksananya peran serta
Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pengembangan upaya
1
2
mitigasi bencana, dan (iii) terwujudnya peningkatan pemahaman
semua pihak terhadap mitigasi bencana.
1.3.
RUANG LINGKUP
Ruang lingkup pedoman ini adalah Pendahuluan, Kebijakan, Strategi
dan Landasan Operasional Mitigasi Bencana Alam di Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Identifikasi Daerah Rawan Bencana,
Mitigasi Bencana Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(mitigasi akibat erosi, abrasi, gempa bumi, tsunami, banjir, angin
topan, pengaruh sea level rise), Koordinasi Antar Instansi dan
Penutup, yang selanjutnya akan menjadi pedoman dan arahan bagi
penyusunan petunjuk pelaksanaan di tingkat pusat dan daerah
khususnya di wilayah pesisir.
1.4. PERISTILAHAN
Abrasi adalah erosi pada material masif seperti batu atau karang.
Bencana Ulah Manusia adalah peristiwa bencana yang disebabkan
oleh ulah manusia seperti kebakaran, kecelakaan massal di
darat/laut/udara, pencemaran lingkungan oleh limbah manusia dan
industri, wabah penyakit manusia/hewan/tumbuhan, pembangunan
infrastuktur yang tidak memperhatikan dampak lingkungan, dan lainlain.
Erosi adalah pengurangan daratan atau mundurnya garis pantai.
Penanggulangan Bencana (Disaster Management) adalah suatu
proses yang dinamis, terpadu dan berkelanjutan untuk meningkatkan
kualitas langkah-langkah yang berhubungan dengan penanganan,
merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi pencegahan
(preventive), mitigasi (mitigation), kesiapsiagaan (preparedness),
tanggap darurat (response), rehabilitasi (rehabilitation) atau evakuasi
(evacuation) dan pembangunan kembali (development). Rangkaian
kegiatan tersebut dapat saling berkaitan dan merupakan siklus
manajemen bencana seperti terlihat pada Gambar 1.
Bencana adalah suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba/
perlahan-lahan akibat alam, ulah manusia dan/atau keduanya yang
menimbulkan korban penderitaan manusia, kerugian harta benda,
kerusakan lingkungan, kerusakan sarana prasarana dan fasilitas
umum serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan dan
penghidupan masyarakat.
Bencana Alam adalah peristiwa alam yang menimbulkan kerusakan
maupun korban baik harta maupun jiwa akibat letusan gunung
berapi, gempa bumi, tanah longsor, gelombang pasang, banjir,
kekeringan, kebakaran hutan, angin kencang/topan/badai, tsunami,
hama hutan, kerusakan flora dan fauna (kerusakan ekologi), dan lainlain
Gambar 1.1. Siklus manajemen bencana
3
4
Pencegahan adalah upaya untuk menghambat atau menghilangkan
bahaya-bahaya yang mungkin timbul dari terjadinya peristiwa
bencana yang bisa merusak kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Mitigasi adalah tindakan-tindakan untuk mengurangi atau
meminimalkan dampak dari suatu bencana terhadap masyarakat.
Kesiapsiagaan adalah segala upaya dan kegiatan yang dilakukan
untuk menghadapi/mengantisipasi (tanggap darurat) bencana
lingkungan yang mungkin terjadi pada skala nasional, regional dan
lokal.
ekologis setempat serta memberikan gambaran kerusakan ekologi
yang ada
Mikrozonasi (Risk Mapping) adalah serangkaian kegiatan untuk
mendukung pengkajian resiko bencana baik fisik maupun ekologis
suatu kawasan secara rinci termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan
pengumpulan data (sekunder maupun survei di lapangan), analisa
dan penyajian dalam bentuk peta resiko.
Pemulihan adalah suatu proses untuk membantu masyarakat yang
terkena bencana termasuk sarana dan prasarana agar segara berfungsi
kembali, memulihkan tata kehidupan serta kemampuan masyarakat
dalam menghadapi bencana berdasarkan asas kemandirian agar
kembali mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan sebaikbaiknya. Rehabilitasi ekologi lingkungan adalah proses perbaikan
habitat ekosistem sehingga ekosistem tersebut dapat kembali
berfungsi dengan baik.
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali yang dilakukan untuk
meningkatkan keadaan kehidupan dan penghidupan masyarakat
dalam menghadapi bencana dengan membangun kembali sarana dan
prasarana di lokasi bencana sehingga menjadi lebih baik dari
keadaan sebelum terjadinya. Rekonstruksi ekologi dilakukan untuk
menciptakan habitat yang kondusif terhadap pemulihan kondisi flora
(vegetasi) dan fauna.
Tanggap Darurat adalah suatu atau serangkaian kegiatan dan upaya
pemberian bantuan kepada korban bencana berupa bahan makanan,
obat-obatan, penampungan sementara, serta mengatasi kerusakan
secara darurat supaya dapat berfungsi kembali. Tanggap darurat
ekologi adalah serangkaian kegiatan untuk memantau kondisi
5
6
BAB II
KEBIJAKAN, STRATEGI DAN LANDASAN OPERASIONAL
MITIGASI BENCANA DI WILAYAH PESISIR
aman dari bencana. Sedangkan untuk wilayah pulau-pulau kecil
kondisi kerentanan maupun kesiapan wilayah dalam menghadapi
bencana alam menunjukan level yang tidak lebih baik dilihat dari
faktor upaya keselamatan.
Berdasarkan data kebencanaan dunia yang dikumpulkan oleh CERD
(Center for Research on the Epidemiology of Disaster), wilayah Asia
merupakan wilayah yang cukup rawan terhadap berbagai bencana
alam juga dari kondisi kerentanan, kemampuan masyarakat dan
kemampuan sarana dan prasarana pendukung pemenuhan kebutuhan
hidup pada saat ada bencana.
2.1
Dari segi potensi ancaman atau bahaya bencana alam (hazard),
Indonesia merupakan salah satu Negara Asia yang cukup rawan
terhadap ancaman berbagai bencana alam seperti gempa, gunung api,
banjir, tanah longsor, kekeringan dan angin badai. Seperti diketahui,
Indonesia merupakan negara rawan terhadap bencana gempa besar
karena wilayah Indonesia sebagian besar terletak pada jalur gempa
bumi aktif di dunia akibat pertemuan tiga lempeng tektonik
(lempeng samudera Indo-Autralia, lempeng Benua Eurasia dan
Lempeng Samudera Pasifik). Berdasarkan peta zonasi kegempaan
Indonesia, sekitar 290 kota atau sekitar 60% dari 481 kota di
Indonesia berada di daerah rawan gempa, sebagian besar kota
terletak di wilayah pesisir pada jalur wilayah yang cukup rawan
terhadap gempa dan pengaruhnya seperti gelombang tsunami, erosi
dan lain-lain.
KEBIJAKAN MITIGASI
WILAYAH PESISIR
BENCANA
ALAM
DI
Dalam konteks pengendalian dan pengelolaan sumberdaya pesisir
dan kelautan, terdapat beberapa tantangan dan permasalahan seperti
karakteristik sumberdaya, keterbatasan pengalaman, kurangnya data
dan informasi, terbatasnya pendanaan dan lain sebagainya. Selain itu
pelaksanaan desentralisasi pengelolaan sumberdaya alam pada saat
ini telah memunculkan adanya peralihan beberapa kewenangan pusat
ke daerah. Peralihan kewenangan tersebut menuntut tanggung jawab
yang semakin besar dari semua pihak terhadap pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut.
Kebijakan Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir dan pulau-pulau
kecil merupakan suatu kerangka konseptual yang disusun untuk
mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana terutama di
wilayah pesisir. Mitigasi bencana meliputi pengenalan dan adaptasi
terhadap bahaya alam dan buatan manusia, serta kegiatan
berkelanjutan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko jangka
pendek, menengah dan panjang, baik terhadap kehidupan manusia
maupun harta benda.
Dilihat dari potensi ancaman bencana alam, wilayah pesisir
mempunyai potensi yang cukup besar terhadap ancaman bahaya dari
bencana alam. Hal ini diperburuk dengan situasi dan kondisi yang
cukup rentan akibat dari kompleksitas pertumbuhan kota maupun
wilayah di daerah pesisir yang seringkali banyak mengabaikan atau
tidak memperhatikan unsur-unsur mitigasi bencana alam dalam
proses pembangunannya, demi tercipta lingkungan binaan yang
Kebijakan Mitigasi Bencana di Wilayah pesisir ini adalah sebagai
berikut :
7
8
a. Mengurangi resiko/dampak yang ditimbulkan oleh bencana
khususnya bagi penduduk di wilayah pesisir, seperti korban jiwa,
kerugian ekonomi dan kerusakan sumberdaya alam.
b. Mengurangi dampak negatif terhadap kualitas keberlanjutan
ekologi dan lingkungan di wilayah pesisir akibat bencana alam
maupun buatan.
c. Sebagai landasan (pedoman) untuk perencanaan pembangunan
wilayah pesisir.
d. Meningkatkan pengetahuan masyarakat pesisir dalam
menghadapi serta mengurangi dampak/resiko bencana.
e. Meningkatkan peran serta pemerintah baik pusat maupun daerah,
pihak swasta maupun masyarakat dalam mitigasi bencana di
wilayah pesisir.
2.2
STRATEGI
MITIGASI
WILAYAH PESISIR
BENCANA
ALAM
DI
Secara filosofis, penanggulangan bencana di wilayah pesisir dapat
ditempuh melalui beberapa strategi sebagai berikut :
a. Pola protektif, yaitu dengan membuat bangunan pantai secara
langsung “menahan proses alam yang terjadi”.
b. Pola adaptif, yakni berusaha menyesuaikan pengelolaan pesisir
dengan perubahan alam yang terjadi.
c. Pola mundur (retreat) atau do-nothing, dengan tidak melawan
proses dinamika alami yang terjadi, tetapi “mengalah” pada
proses alam dan menyesuaikan peruntukan sesuai dengan kondisi
perubahan alam yang terjadi.
Untuk dua pola terakhir perlu dipandang sebagai strategi mitigasi
bencana alam di wilayah pesisir. Kajian ke arah tersebut perlu
dilakukan agar kelestarian sumberdaya alam pantai dapat terpelihara
serta kemanfaatannya terus dapat dinikmati dari generasi ke generasi
secara berkelanjutan. Selain itu dapat pula dilakukan strategi
pemberdayaan masyarakat dalam mitigasi bencana di wilayah pesisir
sebagai pendekatan preventif dengan jalan memberikan penyuluhan
dan pengarahan kepada masyarakat.
9
2.3
LANDASAN OPERASIONAL
Secara umum, Kebijakan Penanggulangan Bencana di Indonesia
didasarkan pada asas- asas sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
Kebersamaan dan kesukarelaan,
Preventif dan kuratif,
Koordinasi, kontinuitas dan Integrasi,
Kemandirian,
Cepat dan tepat,
Prioritas,
Kesiapsiagaan,
Kesemestaan.
Agar dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan
lingkungannya, maka pengelolaan pesisir perlu mengadoptasi
Intergoverment Panel of Climate Change (IPCC, 1990) prinsipprinsip pengelolaan kawasan pesisir yang bertujuan untuk :
a. menghindari pengembangan di daerah ekosistem yang rawan dan
rentan,
b. mengusahakan agar sistem perlindungan alami tetap berfungsi
dengan baik,
c. melindungi keselamatan, harta benda dan kegiatan ekonominya
dari bahaya yang dating dari laut, dengan tetap memperhatikan
aspek ekologi, kultur, sejarah, estetika dan kebutuhan manusia
akan rasa aman serta kesejahteraan.
10
2.4
PENDEKATAN PENGELOLAAN PESISIR TERPADU
(PPT)
Kompleksitas sistem pada wilayah pesisir baik pada sumberdaya
alam yang terkandung didalamnya maupun masyarakatnya tentu
memerlukan suatu pengelolaan yang tepat, guna menjaga kelestarian
sumberdaya alam tersebut. Dan skema pelaksanaan Pengelolaan
Pesisir Terpadu (PPT) pada dasarnya merupakan upaya untuk
mengelola elemen-elemen baik terkait dengan sumberdaya di
kawasan pesisir maupun aktivitas manusia yang mempengaruhinya.
Secara manajemen, konsep PPT ini merupakan konsep pembangunan
terpadu, yang melibatkan semua pemangku kepentingan
(pemerintah, masyarakat, dan swasta) di kawasan pesisir sehingga
PPT merepresentasikan perubahan pendekatan pembangunan di
kawasan pesisir dari reaksioner dan berorientasi pada masalah
menjadi terencana, bersifat mendahului, dan menggunakan
pendekatan pengelolaan.
Dengan konsep PPT ini, para pengambil kebijakan di wilayah pesisir
dapat mengelola pembangunan yang sifatnya multisektor berserta
dampak kumulatifnya dalam batas-batas keseimbangan yang dapat
ditoleransi oleh masyarakat dan lingkungan (daya dukung
lingkungan dan sosial). Keseimbangan dicapai melalui tiga
komponen penting yaitu :
1. Keseimbangan ekologis,
2. Keseimbangan pemanfaatan, dan
3. Keseimbangan dalam pencegahan bencana (mitigasi).
Ketiga aspek tersebut sangat penting untuk diperhatikan karena
saling mempengaruhi dan berkaitan satu dengan lainnya.
11
Adapun hal-hal yang terkait dengan lingkungan dan kegiatan
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang perlu untuk dikelola
dengan baik adalah :
1. Lingkungan biofisik,
2. Habitat dan infrastruktur penting, seperti mangrove, pulau-pulau
kecil, estuari, terumbu karang, dan industri minyak lepas pantai,
3. Aspek sosial ekonomi, yaitu populasi penduduk dan tenaga kerja,
profil kelembagaan dan hukum, kegiatan perekonomian dan
pembangunan,
4. Aspek pembangunan, seperti pembangunan dermaga, pelabuhan,
dan lain-lain,
5. Aktivitas ekonomi, seperti industri migas, perikanan budidaya
dan tangkap, hutan produksi (mangrove), pertambangan, wisata,
dan perhubungan,
6. Bencana alam, seperti erosi pantai, badai, pasang tinggi, gempa,
tsunami, dan banjir.
Dari komponen-komponen tersebut di atas, maka ada tiga tujuan
utama dari pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu ini,
yaitu :
1. Tujuan pertama
Melindungi integritas ekologi dari ekosistem pesisir. Beberapa
ekosistem berada dalam kondisi ekstrim seperti hempasan angin,
konsentrasi salinitas yang tinggi, dan kisaran perubahan
temperatur air yang tinggi. Namun demikian, pada saat yang
sama, suatu ekosistim juga mendapatkan suplai nutrisi yang
cukup banyak dari aliran air sungai, kecukupan sinar matahari
pada perairan dangkal yang mendukung produktivitas perairan.
Dengan kondisi-kondisi seperti itu, maka pelaksanaan
pengelolaan pesisir harus memperhatikan nuansa-nuansa
ekologis dari ekosistem pesisir tersebut.
12
2. Tujuan kedua
Mencegah kelebihan material-material yang sifatnya merusak
dan mencegah hilangnya sumberdaya akibat bencana seperti
pasang yang ekstrim, ombak besar, badai, banjir, gempa bumi,
tsunami, dan abrasi pantai.
3. Tujuan ketiga
Mengurangi dampak negatif pembangunan prasarana fisik di
daerah pesisir yang dapat merusak/mengganggu keseimbangan
ekosistem pesisir.
4. Tujuan keempat
Membantu dalam menentukan kelayakan kegiatan pembangunan
dan pemanfaatan wilayah dan sumberdaya pesisir dan laut bagi
kepentingan manusia seperti perikanan, budidaya, pelabuhan,
industri, perumahan, dan kawasan rekreasi.
Dari keempat tujuan tersebut dapat disimpulkan tujuan akhir dari
pelaksanaan pengelolaan pesisir terpadu adalah untuk memadukan
aktivitas-aktivitas pembangunan dan upaya pengelolaan yang
berbeda oleh pihak-pihak yang berbeda (masyarakat, pemerintah,
dunia usaha, dan lain-lain) dalam rangka mencapai ketiga tujuan di
atas (ekologi, pencegahan bencana, dan pemanfaatan).
Untuk mencapai tujuan tersebut maka
keterpaduan yang mencakup aspek-aspek :
diperlukan
adanya
pemerintahan yaitu kabupaten/kota, propinsi, atau pemerintah
pusat. Mitigasi bencana baik secara struktural maupun non
struktural menyangkut berbagai sektor. Oleh karena itu
diperlukan keterpaduan sektoral dalam melakukan mitigasi.
Misalnya pembuatan prasarana sistem perairan yang ramah
lingkungan dilakukan oleh Departemen atau Dinas Kimpraswil,
penghijauan di daerah hulu dilakukan oleh Departemen atau
Dinas Kehutanan, penanaman mangrove dapat dilakukan oleh
Departemen atau Dinas Kehutanan dan Departemen atau Dinas
Kelautan dan Perikanan
b. Keterpaduan Perencanaan Secara Vertikal
Keterpaduan perencanaan vertikal meliputi Keterpaduan
kebijakan dan perencanaan mulai dari tingkat Desa, Kecamatan,
Kabupaten/Kota, Propinsi, sampai Nasional.
c. Keterpaduan Ekosistem Darat dengan Laut.
Perencanaan pengelolaan pesisir terpadu diprioritaskan dengan
menggunakan kombinasi pendekatan batas ekologis misalnya
daerah aliran sungai (DAS), dan wilayah administratif Propinsi,
Kabupaten/Kota, dan Kecamatan sebagai basis perencanaan.
Sehingga dampak dari suatu kegiatan di DAS, seperti kegiatan
pertanian dan industri perlu diperhitungkan dalam pengelolaan
pesisir. Disamping itu kegiatan pembangunan sarana bangunan air
pada daerah pesisir perlu diperhitungkan secara integral kaitannya
dengan dampak biotik dan abiotik.
a. Keterpaduan Perencanaan Sektor Secara Horisontal
Keterpaduan perencanaan horisontal, memadukan perencanaan
dari berbagai sektor, seperti sektor pertanian, sektor kehutanan
dan konservasi yang berada di hulu, sektor perikanan, sektor
pariwisata, sektor perhubungan laut, sektor industri maritim,
sektor pertambangan lepas pantai, sektor konservasi laut, dan
sektor pengembangan kota, yang berada dalam satu tingkat
13
d. Keterpaduan Sains dengan Manajemen
Pengelolaan Pesisir Terpadu perlu didasarkan pada input data dan
informasi ilmiah yang valid untuk memberikan berbagai alternatif
dan rekomendasi bagi pengambil keputusan dengan
mempertimbangkan kondisi, karakteristik sosial-ekonomi budaya,
kelembagaan dan bio-geofisik lingkungan setempat.
14
BAB III
MITIGASI BENCANA ALAM
KAWASAN PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL
Bencana alam tidak dapat dihilangkan karena ukuran dan
kekuatannya sangat besar. Tsunami, banjir, gempa bumi, letusan
gunung api dan angin topan/badai tidak dapat dihentikan oleh
manusia. Manusia hanya dapat menghindar atau mengurangi dampak
yang ditimbulkan dengan cara mengadakan persiapan dini.
Penderitaan akibat bencana harus ditekan serendah mungkin, bahkan
jika dapat dihapuskan dengan mengerahkan segala kemampuan.
Inilah yang disebut mitigasi bencana.
Mitigasi bencana di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat
dilakukan secara struktural maupun secara non struktural. Secara
struktural maksudnya dengan melakukan upaya teknis, baik secara
alami maupun buatan, yang dapat mencegah atau memperkecil
kemungkinan timbulnya bencana dan dampaknya. Sedangkan
mitigasi secara non struktural adalah upaya non teknis yang
menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan manusia
agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun
upaya lainnya.
yang menyeluruh dan terpadu dengan mengedepankan manajemen
terbuka yang menjamin berlangsungnya proses koordinasi antara
lembaga terkait.
Instansi/kelembagaan yang terkait dengan upaya mitigasi bencana
struktural dan non struktural antara lain: Departemen Permukiman
dan Prasarana Wilayah, Departemen Perhubungan, Kementerian
Informasi dan Komunikasi, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan
Nasional (Bakosurtanal), LAPAN, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT), LIPI, Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
dan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP).
Selanjutnya, perencanaan mitigasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil pada tingkat nasional dapat dilakukan melalui:
1. identifikasi daerah bencana melalui pengumpulan data dan
informasi,
2. kelayakan program
lingkungan,
ditinjau
dari
segi
analisis
dampak
3. keterpaduan program antar sektor dalam pengembangan daerah
pesisir skala besar,
4. pengaturan tingkat keamanan hunian masyarakat pesisir,
5. memprioritaskan faktor keamanan dalam pengembangan
program di wilayah pesisir dengan meminimalkan resiko, dan
Secara garis besar, kebijakan nasional mitigasi bencana telah
dijabarkan dalam Propenas dan Repeta yang terutama tercakup pada
beberapa program, antara lain Program Pengembangan dan
Pengelolaan Pengairan, Program Pengembangan Kelautan, Program
Pengembangan dan Pengelolaan Sumber-Sumber Air, Program
Penataan Ruang dan Program-program Pembangunan di Bidang
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Pada hakikatnya rencana
mitigasi bencana ini merupakan program pembangunan yang
terintegrasi antar sektor pembangunan, baik wilayah laut maupun
darat. Oleh karena itu dalam perencanaan mitigasi perlu pendekatan
Adapun bencana-bencana alam yang sering terjadi di wilayah pesisir
serta upaya-upaya mitigasinya adalah sebagai berikut :
15
16
6. prioritas penggunaan ruang sesuai dengan karakteristik lokasi
(lingkungan dan masyarakat).
3.1
BENCANA EROSI PANTAI
Erosi pantai di Indonesia dapat diakibatkan oleh proses alami (angin,
gelombang, arus, pasang surut dan sedimentasi), aktivitas manusia
(pembangunan pelabuhan, reklamasi pantai untuk permukiman,
pelabuhan udara dan industri serta penambangan pasir) ataupun
kombinasi keduanya. Namun demikian penyebab utamanya adalah
gerakan gelombang pada pantai terbuka, seperti pantai selatan Jawa,
Selatan Bali dan beberapa areal Kepulauan Sunda. Disamping itu
karena keterkaitan ekosistem maka perubahan hidrologis dan
oseanografis juga dapat mengakibatkan erosi kawasan pesisir.
Peristiwa erosi pantai dapat mengakibatkan gangguan terhadap
pemukiman, penambakan dan sarana perhubungan sedangkan
peristiwa pendangkalan atau pengendapan di wilayah pantai dapat
merupakan keuntungan dan sebaliknya dapat pula merupakan
kerugian; hal ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan
setempat. Oleh karena itu peristiwa erosi ini tidak perlu dipersoalkan
sejauh belum menimbulkan masalah bagi kepentingan manusia.
Namun apabila peristiwa tersebut menimbulkan gangguan dan
kerusakan terhadap lingkungan di sekitarnya maka diperlukan usahausaha penanganan berupa perlindungan dan kegiatan lainnya.
3.1.1
IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN EROSI PANTAI
3.1.1.1 Analisis Bahaya Erosi Pantai
Analisis bahaya erosi ditujukan untuk mengidentifikasi
lokasi yang akan terkena erosi. Erosi biasanya terjadi dalam
waktu yang relatif lama dengan beberapa faktor penyebab
yang dominan, antara lain gelombang, arus, angin dan panas.
Kondisi topografi dan geologi pantai juga dapat
mempengaruhi tingkat erosi garis pantai dan tingkat
bahayanya.
17
Pembuatan peta bahaya erosi harus meliputi informasi
tentang profil garis pantai serta tingkat erosinya, faktor
dominan penyebab erosi, kondisi topografi dan geologi garis
pantai dan karakteristik gumuk pasir. Sumber sedimen yang
berasal dari aliran sungai juga perlu digambarkan dalam peta
tersebut. Hal ini diperlukan sebagai bahan analisis proses
transportasi sedimen secara makro.
3.1.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Erosi Pantai
Analisis kerentanan ditujukan untuk mengidentifikasi
dampak terjadinya erosi, berupa kerugian ekonomi, baik
dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang
diakibatkan rusak/hancurnya kawasan pemukiman, sarana
dan prasarana serta kegiatan ekonomi lainnya seperti
pariwisata, industri, pertanian, perikanan dan lain-lain.
Yang perlu digambarkan dalam peta tingkat kerentanan
bahaya erosi antara lain aktivitas manusia yang dapat
mempercepat proses terjadinya erosi seperti pariwisata,
industri dan kegiatan ekonomi lainnya, penebangan hutan
mangrove di sepanjang garis pantai, pengambilan pasir serta
perusakan gumuk pasir.
3.1.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Erosi Pantai
Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi
kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya
untuk merespon terjadinya bencana erosi sehingga mampu
mengurangi dampaknya.
Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari
3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap
jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat
18
dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan
peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan
rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan
terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses
mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut
mempertinggi ketahanan terhadap bencana.
3.1.2
Mitigasi Bencana Erosi Pantai
Upaya mitigasi bencana erosi memerlukan biaya yang cukup besar,
baik dalam proses pembangunan maupun dalam operasional serta
pemeliharaannya. Untuk itu pelibatan masyarakat serta dunia usaha
yang mengelola kawasan pantai untuk ikut serta dalam upaya
mitigasi bencana erosi, khususnya dalam operasional dan
pemeliharaan, sangat diperlukan. Hal ini didasarkan pada kenyataan
bahwa untuk menjaga kontinuitas aktivitas kawasan pantai
diperlukan suatu proses yang seimbang disepanjang garis pantai. Di
lain pihak aktivitas tersebut dapat juga mengakibatkan
ketidakseimbangan pada proses pantai.
3.1.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Struktural
Upaya struktural dalam menangani masalah bencana erosi
adalah upaya teknis yang bertujuan untuk menjaga
keseimbangan proses transpor sedimen di sepanjang garis
pantai melalui upaya antara mengurangi/menahan energi
gelombang yang mencapai garis pantai, memperkuat struktur
geologi garis pantai, maupun menambah suplai sedimen.
Upaya mitigasi struktural tersebut dapat dikelompokkan
menjadi 2 (dua) kelompok yaitu :
19
Secara alami, seperti penanaman green belt (hutan pantai
atau mangrove), penguatan gumuk pasir dengan vegetasi
dan lain-lain.
Secara buatan, seperti pembangunan dinding penahan
gelombang, pembangunan groin dan lain-lain.
Upaya struktural mitigasi dengan cara buatan tersebut perlu
direncanakan secara cermat karena dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan pola dan karakteristik gelombang yang
dalam jangka panjang mungkin dapat mengakibatkan
terjadinya erosi di tempat lain.
3.1.2.2. Upaya Mitigasi Bencana Erosi Pantai Non Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang
menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan
manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi
struktural maupun upaya lainnya.
Upaya mitigasi bencana erosi non struktural adalah sebagai
berikut :
1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana
alam,
2. pembuatan standarisasi dan metoda perlindungan pantai,
3. penyusunan sempadan garis pantai,
4. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Erosi
Pantai
Sistem peringatan dini bencana erosi merupakan suatu
informasi yang menggambarkan terjadinya erosi pantai yang
disebabkan oleh interaksi antara gelombang dengan daratan
di sepanjang garis pantai. Beberapa informasi penting dalam
sistem peringatan dini tersebut adalah lokasi terjadinya erosi
20
serta tingkat erosinya, faktor dominan penyebab erosi,
kondisi topografi dan geologi, serta aktivitas manusia yang
mempercepat terjadinya erosi pantai.
3.2
BENCANA TSUNAMI
Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu tsu = pelabuhan dan nami
= gelombang. Jadi tsunami berarti pasang laut besar di pelabuhan.
Dalam ilmu kebumian terminologi ini dikenal dan baku secara
umum. Secara singkat tsunami dapat dideskripsikan sebagai
gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh suatu
gangguan impulsif yang terjadi pada medium laut, seperti gempa
bumi, erupsi vulkanik atau longsoran (land-slide).
Gangguan impulsif pembangkit tsunami biasanya berasal dari tiga
sumber utama, yaitu :
Gempa didasar laut,
Letusan gunung api didasar laut, dan
Longsoran yang terjadi di dasar laut.
Gelombang tsunami yang ditimbulkan oleh gaya impulsif bersifat
transien yaitu gelombangnya bersifat sesar. Gelombang semacam ini
berbeda dengan gelombang laut lainnya yang bersifat kontinyu,
seperti gelombang laut yang ditimbulkan oleh gaya gesek angin atau
gelombang pasang surut yang ditimbulkan oleh gaya tarik benda
angkasa. Periode gelombang tsunami ini berkisar antara 10-60 menit.
Gelombang tsunami mempunyai panjang gelombang yang besar
sampai mencapai 100 km. Kecepatan rambat gelombang tsunami di
laut dalam mencapai antara 500 sampai 1.000 km/jam. Kecepatan
penjalaran tsunami ini sangat tergantung dari kedalaman laut dan
penjalarannya dapat berlangsung mencapai ribuan kilometer.
Apabila tsunami mencapai pantai, kecepatannya dapat mencapai 50
km/jam dan energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya.
21
Kalau ditengah lautan tinggi gelombang tsunami paling besar sekitar
5 meter, maka pada saat mencapai pantai tinggi gelombang dapat
mencapai puluhan meter. Karena terjadi penumpukan massa air,
maka pada saat mencapai pantai tsunami akan merayap masuk
daratan jauh dari garis pantai. Tinggi rayapan (run-up) tsunami ini
dapat mencapai belasan meter atau bahkan puluhan meter dengan
jangkauan mencapai sekitar 5000 m dari garis pantai. Tinggi tsunami
dapat mencapai harga maksimum di pantai yang berbentuk corong
ataupun teluk yang biasanya merupakan daerah pelabuhan atau
tempat pemukiman nelayan. Dampak negatif yang diakibatkannya
menyebabkan genangan, kontaminasi air asin lahan pertanian, tanah
dan air bersih. Disamping itu tsunami dapat merusak bangunan,
prasarana dan tumbuh-tumbuhan serta mengakibatkan korban jiwa
manusia.
Di Indonesia terdapat beberapa kelompok pantai yang rawan
bencana tsunami, yaitu kelompok Pantai Barat Sumatera, Pantai
Selatan Pulau Jawa, Pantai Utara dan Selatan pulau-pulau Nusa
Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara Irian Jaya dan hampir
seluruh pantai di Sulawesi. Teluk dan bagian yang melekuk dari
pantai sangat rawan akan bencana ini. Apalagi biasanya para nelayan
mencari ikan dan bermukim di teluk. Selain itu daerah ini juga
memiliki pantai landai yang memungkinkan gelombang pasang
merayap ke daratan.
Tsunami yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh
gempa-gempa tektonik di sepanjang daerah subduksi dan daerah
seismik aktif lainnya. Selama kurun waktu 1600–1999 terdapat 105
kejadian tsunami dimana 90% disebabkan oleh gempa-gempa
tektonik, 9 % disebabkan oleh letusan gunung api dan 1 %
disebabkan oleh longsoran. Rata-rata interval waktu kejadian
tsunami adalah 10 tahun.
22
Data tsunami di Indonesia menunjukan bahwa gempa-gempa
pembangkit tsunami mempunyai magnitudo berkisar antara M = 5,6–
7,0 dengan kedalaman hiposenter berkisar antara 13 – 95 km dengan
kedalaman rata-rata sekitar 60 km. Magnitudo tsunami (biasanya
ditulis dengan m dalam Skala Imamura) menyatakan tinggi
rendahnya gelombang tsunami yang sampai di pantai (lihat tabel).
Magnitudo Tsunami juga mempresentasikan besarnya energi
gelombang yang di hasilkan. Besar energi gelombang tsunami (m)
mempunyai korelasi linear dengan besarnya magnitude gempa dalam
Skala Richter (M) dengan hubungan empiris sebagai berikut
(perhitungan data tsunami Jepang) :
Tabel 1 : Klasifikasi Tsunami
Magnitudo Tsunami
(m)
5
4,5
4
3,5
3
2,5
2
1,5
1
0,5
0
-0,5
-1
-1,5
-2
m = 2,61 M - 18,44
Suatu gempa yang terjadi di dasar laut dengan magnitude M = 9,0,
akan menghasilkan magnitude tsunami m = 5,0 dengan tinggi
gelombang tsunami pantai sebesar > 32 meter dengan energi
gelombang sebesar 25,6 x 10 23 erg.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh gelombang tsunami amat beragam
dan dapat dikelompokan menjadi beberapa tipe sebagai berikut :
a.
kerusakan struktural bangunan akibat gaya hidrodinamik
gelombang,
b.
keruntuhan struktur bangunan karena fondasinya tergerus air
laut yang amat deras,
c.
kerusakan struktural bangunan akibat hantaman benda-benda
keras, seperti kapal dan semacamnya yang terbawa oleh
gelombang.
Energi Tsunami
(erg)
X 10 23 erg
25,6
12,8
6,4
3,2
1,6
0,8
0,4
0,2
0,1
0,05
0,025
0,0125
0,006
0,003
0,0015
Run-up (meter)
> 32
24 – 32
16 – 24
12 – 16
8 – 12
6–8
4–6
3–4
2–3
1,5 – 2
1 – 1,5
0,75 – 1
0,50 – 0,075
0,30 – 0,50
< 0,30
Sumber : Skala Imamura
3.2.1
IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN TSUNAMI
3.2.1.1 Analisis Bahaya Tsunami
Analisa bahaya tsunami ditujukan untuk mengidentifikasi
daerah yang akan terkena bahaya tsunami. Daerah bahaya
tsunami tersebut dapat diidentifikasi dengan 2 (dua) metode :
Mensimulasikan hubungan antara pembangkit tsunami
(gempa bumi, letusan gunung api, longsoran dasar laut)
dengan tinggi gelombang tsunami. Dari hasil simulasi
23
24
tinggi
gelombang
tsunami
tersebut
kemudian
disimulasikan/dioverlay lebih lanjut dengan kondisi tata
guna, topografi, morfologi dasar laut serta bentuk dan
struktur geologi lahan pesisir.
Memetakan hubungan antara aktivitas gempa bumi,
letusan gunung api dan longsoran dasar laut dengan
terjadinya gelombang tsunami berdasarkan sejarah
terjadinya tsunami. Dari hasil analisa tersebut kemudian
diidentifikasi dan dipetakan lokasi yang terkena dampak
gelombang tsunami.
Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan serangkaian
data tentang kondisi topografi, geologi dan morfologi dasar
laut serta bentuk pantai, data potensi gempa bumi, data
potensi gunung api dan data potensi kelongsoran tanah.
Dengan teknik overlay antara hasil simulasi terjadinya
tsunami atau sejarah terjadinya tsunami dengan peta
topografi dan geologi didapatkan peta daerah yang rawan
tsunami.
Informasi lain dari Peta Bahaya Tsunami tersebut meliputi
antara lain: karakteristik pembangkit yang dapat
menimbulkan gelombang tsunami, kecepatan, tinggi dan
arah gelombang, pola arus energi gelombang tsunami serta
jenis ancaman tsunami (jarak dekat/ jarak jauh).
Informasi kejadian gempa bumi, letusan gunung api serta
longsor dasar laut yang dapat menimbulkan bencana tsunami
perlu dikaji lebih lanjut mengingat tidak semua kejadian
gempa bumi, letusan gunung api maupun longsoran dasar
laut dapat menimbulkan tsunami. Selain itu mengingat
ancaman tsunami ada yang jarak dekat maupun jarak jauh
maka informasi tentang potensi terjadinya gempa bumi di
25
negara lain yang dapat memicu terjadinya gelombang
tsunami di Indonesia juga perlu dikaji lebih mendalam.
Perhitungan besarnya energi gelombang tsunami diperlukan
sebagai bahan masukan dalam merancang standar kekuatan
infrastruktur, sarana dan prasarana maupun bangunan lain
yang ada disekitar daerah rawan bahaya tsunami.
3.2.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Tsunami
Analisa kerentanan ditujukan untuk mengidentifikasi
dampak terjadinya tsunami yang berupa jumlah korban jiwa
dan kerugian ekonomi, baik dalam jangka pendek yang
berupa hancurnya pemukiman infrastruktur, sarana dan
prasarana serta bangunan lainnya, maupun jangka panjang
yang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma
maupun kerusakan sumber daya alam lainnya.
Analisa kerentanan tersebut didasarkan beberapa aspek,
antara lain tingkat kepadatan pemukiman di daerah rawan
tsunami, tingkat ketergantungan perekonomian masyarakat
pada sektor kelautan, keterbatasan akses transportasi untuk
evakuasi maupun penyelamatan serta keterbatasan akses
komunikasi. Komposisi usia masyarakat yang banyak anakanak dan usia lanjut serta rendahnya tingkat pendidikan
dalam kaitannya dengan rendahnya tingkat pemahaman
masyarakat tentang mitigasi bencana tsunami juga dapat
meningkatkan kerentanan terhadap bencana tsunami.
Banyaknya industri berbahaya yang dibangun dikawasan
pesisir seperti industri minyak dan gas serta industri bahan
kimia apabila tidak diantisipasi dapat mengakibatkan
terjadinya dampak ikutan setelah tsunami yang berupa
kebakaran dan pencemaran lingkungan.
26
3.2.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Tsunami
Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi
kemampuan Pemerintah serta Masyarakat pada umumnya
untuk merespon terjadinya bencana tsunami sehingga
mampu mengurangi dampaknya.
Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari
3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap
jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat
dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan
peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan
rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan
terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses
mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut
mempertinggi ketahanan terhadap bencana.
3.2.2
Mitigasi Bencana Tsunami
3.2.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Struktural
Upaya struktural dalam menangani masalah bencana tsunami
adalah
upaya
teknis
yang
bertujuan
untuk
meredam/mengurangi energi gelombang tsunami yang
menjalar ke kawasan pantai. Mengingat tsunami menjalar
secara frontal dengan arah tegak lurus terhadap bidang
subduksi, sedangkan secara garis besar teluk-teluk dan
pelabuhan-pelabuhan yang potensial terhadap bahaya
tsunami (yaitu yang mengandung langsung ke zona
subduksi) dapat ditetapkan, dan trayek penjalaran tsunami ke
teluk-teluk atau pelabuhan-pelabuhan tersebut dapat
27
diperkirakan. Berdasarkan pemahaman atas mekanisme
terjadinya tsunami, karakteristik gelombang tsunami,
inventarisasi dan identifikasi kerusakan struktur bangunan,
maka upaya struktural tersebut dapat dibedakan menjadi 2
(dua) kelompok, yaitu:
Alami, seperti penanaman green belt (huran pantai atau
mangrove), di sepanjang kawasan pantai dan
perlindungan terumbu karang.
Buatan,
a) pembangunan
breakwater,
seawall,
pemecah
gelombang sejajar pantai untuk menahan tsunami,
b) memperkuat desain bangunan serta infrastruktur
lainnya dengan kaidah teknik bangunan tahan bencana
tsunami dan tata ruang akrab bencana, dengan
mengembangkan beberapa insentif, antara lain:
Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman
memenuhi kaidah teknik bangunan tahan tsunami,
Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan
daerah rentan bencana adalah kepadatan
permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada
ruang publik yang dapat dipergunakan untuk
evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
memindahkan sebagian pemukiman ke lokasi lain,
dan menata kembali pemukiman yang ada yang
mengacu kepada konsep kawasan pemukiman
yang akrab bencana.
28
3.2.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Tsunami Non Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang
menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan
manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi
struktural maupun upaya lainnya. Upaya non struktural
tersebut meliputi antara lain :
peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana
alam,
kebijakan tentang tata guna lahan / tata ruang/ zonasi
kawasan pantai yang aman bencana,
kebijakan tentang standarisasi bangunan (pemukiman
maupun bangunan lainnya) serta infrastruktur sarana dan
prasarana,
mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal,
pembuatan Peta Potensi Bencana Tsunami, Peta Tingkat
Kerentanan dan Peta Tingkat Ketahanan, seingga dapat
didesain komplek pemukiman “akrab bencana” yang
memperhatikan beberapa aspek :
a. bangunan permukiman tahan terhadap bencana
tsunami,
b. mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi
bencana,
c. ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi, dan
d. aspek sosial ekonomi masyarakat yang sebagian
besar kegiatan perekonomiannya tergantung pada
hasil dan budidaya kawasan pantai.
29
kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan perekonomian
masyarakat kawasan pantai,
pelatihan dan simulasi mitigasi bencana tsunami,
penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi bencana
tsunami, dan
pengembangan sistem peringatan dini adanya bahaya
tsunami.
Ancaman tsunami dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian
yaitu ancaman tsunami jarak dekat (local) dan ancaman
tsunami jarak jauh. Kejadian tsunami di Indonesia pada
umumnya adalah tsunami lokal yang terjadi sekitar 10 – 20
menit setelah terjadinya gempa bumi dirasakan oleh
masyarakat setempat. Sedangkan tsunami jarak jauh terjadi 1
– 8 jam setelah gempa dan masyarakat setempat tidak
merasakan getaran gempa buminya.
Informasi tsunami dan gempa bumi pada sistem monitoring
terdiri dari beberapa proses sebelum menjadi peringatan
yaitu proses deteksi, perhitungan hypocenter, perkiraan
tsunami, perkiraan resiko dan peringatan. Sistem
pengamatan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
sekarang ini memerlukan waktu 30 menit sampai 3 jam
untuk menyelesaikan proses di atas. Saat ini BMG yang
mempunyai tugas memantau aktivitas gempa bumi dan
tsunami mengoperasikan jaringan pemantau gempa bumi
yang terdiri dari 58 sensor. Sistem pemantauan tersebut
dibagi menjadi 5 (lima) Wilayah Jaringan Regional yang
berpusat di Medan, Ciputat (Jakarta), Denpasar, Makasar dan
Jayapura. Walaupun demikian tidak tertutup kemungkinan
bahwa Pemerintah Daerah maupun Perguruan Tinggi
memiliki jaringan seismograf.
30
Gambar 3.1. Gempa yang menimbulkan tsunami di Indonesia dari tahun 400 - 2004
Melihat kondisi tersebut di atas terlihat bahwa sistem
peringatan dini terjadinya bencana tsunami yang ada di
Indonesia sangat tidak efektif. Hal ini disebabkan antara lain:
a. sistem pengamatan yang memerlukan waktu antara 30
menit sampai 3 jam tidak sesuai dengan karakteristik
bencana tsunami di Indonesia yang cenderung bersifat
lokal dengan waktu 10 – 20 menit,
b. sistem pengamatan tersebut belum terintegrasi dengan
kondisi riil di lapangan; hal ini selain disebabkan
keterbatasan jumlah stasiun pengamatan yang ada juga
sosialisasi di lapangan belum terintegrasi dengan intansi
yang terkait dengan pengelolaan kawasan pantai, dalam
hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan,
c. belum adanya mekanisme komunikasi antara stasiun
pengamatan (yang dikelola BMG) dengan daerah yang
rawan bencana.
Sistem peringatan dini untuk tsunami lokal akan efektif jika
mekanisme komunikasi dan diseminasi hasil pemantauan
terjadinya aktivitas gempa bumi, longsoran dasar laut serta
letusan gunung api yang dapat memicu terjadinya
gelombang tsunami dapat secara langsung diterima
masyarakat.
Salah satu upaya yang diperlukan terkait dengan teknologi
peringatan dini adalah sistem TREMORS (Tsunami Risk
Evaluation through Seismic Moment from Real-Time System)
yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik tsunami di
Indonesia. Selain itu, mekanisme komunikasi dan diseminasi
informasi tentang bencana gempa (sebagai penyebab
bencana tsunami) dari BMG perlu diintegrasikan dengan
Departemen Kelautan dan Perikanan.
31
32
3.3
BENCANA BANJIR
33
Gambar 3.2. Daerah rawan tsunami di Indonesia
Fault
Trench
Pesisir rawan tsunami
Masalah banjir di Indonesia sejak dahulu sampai sekarang ini masih
merupakan masalah yang belum dapat diselesaikan. Berhubung
fungsi kota-kota pantai sebagai pusat pertumbuhan perekonomian
maka masalah banjir ini menjadi pemikiran dan keprihatinan
pemerintah karena sangat mempengaruhi tata kehidupan baik dari
segi ekonomi, sosial, budaya maupun politik.
Problem banjir secara garis besar disebabkan oleh keadaan alam dan
ulah campur tangan manusia sehingga dalam pemecahannya tidak
hanya dihadapkan pada masalah-masalah teknis saja tetapi juga oleh
masalah-masalah yang berhubungan dengan kepadatan penduduk
yang melampaui batas. Yang dimaksud dengan keadaan alam disini
adalah kondisi kota-kota pantai yang umumnya terletak di dataran
pantai yang cukup landai dan dilalui oleh sungai-sungai sehingga
ketika pasang naik sebagian wilayah tersebut akan berada di bawah
permukaan air laut. Selain itu curah hujan yang cukup tinggi dan
fenomena kenaikan paras muka air laut (sea level rise) juga
merupakan sebab-sebab yang mengakibatkan peningkatan frekuensi
dan intensitas banjir.
Mengenai ulah campur tangan manusia (anthropogenic) umumnya
disebabkan oleh pengembangan kota yang sangat cepat akan tetapi
belum sempat atau mampu membangun sarana drainase ramah
lingkungan, adanya bangunan-bangunan liar di dalam sungai,
sampah yang dibuang di saluran dan sungai yang mengganggu aliran
sungai, penggundulan di daerah hulu dan perkembangan kota di
daerah hulu yang menyebabkan kurangnya daya resap tanah di
daerah tersebut yang pada gilirannya akan meningkatkan aliran
permukaan (surface run-off) berupa banjir.
34
Adanya reklamasi pantai di daerah rawa-rawa di wilayah pesisir
mengakibatkan hilangnya fungsi sebagai daerah tampungan sehingga
memperbesar
aliran
permukaan.
Reklamasi
juga
akan
mengakibatkan aliran sungai makin lambat. Karena kecepatan
berkurang maka laju sedimentasi di muara akan bertambah yang
berarti mengurangi luas tampang basah sungai di muara.
Pendangkalan muara akan menimbulkan efek pembendungan yang
cukup signifikan yang pada gilirannya akan meningkatkan frekuensi
banjir karena kapasitas tampang sungai yang terlampaui oleh debit
sungai. Selain itu penggunaan air tanah yang berlebihan
mengakibabkan penurunan tanah (land subsidence) sehingga
memperbesar potensi banjir.
Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan serangkaian
data tentang kondisi topografi, geologi, tata guna lahan
daerah tangkapan air dan pesisir, kondisi pasang surut,
kondisi aliran sungai, sistem drainase perkotaan dan
prakiraan intensitas curah hujan.
Secara rinci informasi yang perlu dimunculkan dalam peta
bahaya banjir tersebut meliputi antara lain :
intensitas curah hujan pemicu terjadinya banjir,
kedalaman banjir (contoh: 0 – 0.5 meter, 0.5 – 1.0 meter,
1.0 meter lebih),
Daerah pesisir rawan banjir di Indonesia meliputi Jakarta, Pantura
Jawa, Lampung, Palembang, Aceh, Sumatra Barat, Manado,
Minahasa, dan Pulau Sumbawa.
lokasi serta luasan yang akan tergenang berdasarkan
curah hujan tertentu,
3.3.1
lama waktu terjadinya
alirannya, dan
Identifikasi Daerah Rawan Banjir
genangan
serta
kecepatan
sumber banjir serta periode ulangnya.
3.3.1.1 Analisis Bahaya Banjir
Analisis bahaya banjir ditujukan untuk mengidentifikasi
daerah yang akan terkena genangan banjir. Daerah bahaya
banjir/peta bahaya banjir tersebut dapat diidentifikasi
melalui 2 (dua) metode :
Mensimulasikan intensitas serta tinggi curah hujan,
tataguna lahan, luasan daerah tangkapan air, debit aliran
permukaan, kondisi aliran sungai dan saluran drainase
lainnya serta kondisi pasang surut kemudian di-overlaykan dengan peta topografi di daerah hilir
Memetakan hubungan antara intensitas serta tinggi curah
hujan dengan lokasi yang tergenang berdasarkan sejarah
terjadinya banjir.
35
3.3.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Banjir
Analisis kerentanan ditujukan untuk mengidentifikasi
dampak terjadinya banjir berupa jatuhnya korban jiwa
maupun kerugian ekonomi baik dalam jangka pendek yang
terdiri dari hancurnya permukiman infrastruktur, sarana dan
prasarana serta bangunan lainnya, maupun kerugian ekonomi
jangka panjang yang berupa terganggunya roda
perekonomian akibat trauma maupun kerusakan sumberdaya
alam lainnya.
Analisa kerentanan tersebut didasarkan pada beberapa aspek,
antara lain tingkat kepadatan permukiman di daerah rawan
36
banjir, tingkat ketergantungan perekonomian masyarakat di
sekitar lokasi rawan banjir serta keterbatasan akses
komunikasi dan informasi. Komposisi usia masyarakat yang
banyak anak-anak dan usia lanjut juga merupakan faktor
meningkatnya kerawanan daerah tersebut. Rendahnya
tingkat pendidikan dan keterkaitannya dengan rendahnya
tingkat pemahaman masyarakat tentang mitigasi bencana
banjir dapat meningkatkan kerentanan terhadap bencana
banjir.
Selain itu, industri berbahaya yang dibangun dikawasan
rawan banjir seperti industri bahan kimia, apabila tidak
diantisipasi dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya
dampak ikutan berupa terjadinya pencemaran lingkungan
serta munculnya berbagai macam penyakit apabila terjadi
banjir.
3.3.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Banjir
Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi
kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya
untuk merespon terjadinya bencana banjir sehingga mampu
mengurangi dampaknya.
Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari
3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap
jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat
dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan
peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan
rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan
terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses
37
mobilitas masyarakat dalam evakuasi
mempertinggi ketahanan terhadap bencana.
3.3.2
juga
ikut
Mitigasi Bencana Banjir
3.3.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Banjir Struktural
Upaya struktural dalam menangani masalah bencana banjir
adalah upaya teknis yang bertujuan untuk menghambat laju
air menuju muara sungai mulai dari daerah hulu,
memperlancar aliran secara proporsional dan mencegah
adanya luapan air sungai atau terjadinya genangan
berlebihan air di daerah titik-titik rawan banjir. Upaya
struktural tersebut didasarkan pada pendekatan konservasi
dan pembangunan :
pembangunan tanggul di pinggir titik-titik daerah rawan
banjir serta waduk pada daerah genangan air,
pembangunan kanal-kanal untuk menurunkan ketinggian
air di daerah aliran sungai dengan menambah dan
mengalihkan arah aliran sungai sekaligus untuk irigasi,
membangun river side conservation area di daerah
tengah dan hulu, bertujuan untuk menahan air tidak
segera menuju muara,
pembangunan poulder, bertujuan untuk mengumpulkan
dan memindahkan air dari tempat yang mempunyai
elevasi lebih tinggi dengan menggunakan pompa,
normalisasi secara selektif sungai bertujuan untuk
melancarkan dan mempercepat aliran air sungai secara
proporsional, dan
38
pembangunan pintu-pintu air pengendali banjir di ruasruas sungai sehingga debit sungai akan sesuai dengan
kapasitas sungai.
Pemilihan jenis konstruksi dan prasarana pengendali
banjir khususnya untuk mitigasi bencana struktural
tersebut
dilakukan
melalui
tahapan
pengenalan/pengecekan
kondisi
lapangan
(reconnaissance),
penyusunan
masterplan,
studi
kelayakan rancang bangun dengan pertimbangan ekologis
dan teknis secara terpadu.
penghijauan (reboisasi) daerah-daerah yang rawan banjir.
desain komplek permukiman yang “akrab bencana”,
dengan memperhatikan beberapa aspek:
a) bangunan permukiman yang sesuai di daerah dataran
banjir,
b) mobilitas dan akses masyarakat pada saat terjadi
bencana,
c) ruang fasilitas umum untuk keperluan evakuasi,
d) aspek sosial ekonomi masyarakat, dan
e) pembangunan permukiman kembali yang sesuai
dengan kaidah teknik bangunan tahan bencana banjir
dan tata ruang akrab bencana dengan beberapa insentif
yang perlu dikembangkan antara lain :
Retrofitting: agar kondisi bangunan permukiman
memenuhi kaidah teknik bangunan sesuai di dataran
banjir
Relokasi: salah satu aspek yang menyebabkan
daerah
rentan
bencana
adalah
kepadatan
permukiman yang cukup tinggi sehingga tidak ada
ruang publik yang dapat dipergunakan untuk
evakuasi serta terbatasnya mobilitas masyarakat.
39
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
memindahkan sebagian permukiman ke lokasi lain
dan menata kembali permukiman yang ada yang
mengacu kepada konsep kawasan permukiman akrab
bencana.
3.3.2.2 Upaya mitigasi bencana banjir non struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang
menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan
manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi
struktural maupun upaya lainnya. Upaya non struktural
tersebut meliputi antara lain :
peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana
alam,
kebijakan tentang tata guna lahan di dataran banjir dan
daerah tangkapan air,
kebijakan tentang standarisasi bangunan (permukiman
maupun bangunan lainnya) serta infrastruktur sarana dan
prasarana,
pembuatan Peta Potensi Bencana Banjir, Peta Tingkat
Kerentanan dan Peta Tingkat Ketahanan ,
mikrozonasi daerah rawan bencana dalam skala lokal
serta mikrozonasi sistem drainase perkotaan dan sistem
pengelolaan sampah.
kebijakan tentang penerapan batas sempadan sungai,
pelatihan dan simulasi serta sosialisasi mitigasi bencana
banjir,
pengendalian curah hujan untuk mengurangi intensitas
curah hujan.
40
pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Banjir
Hakekat sistem peringatan dini adalah memanfaatkan waktu
antara datangnya banjir di hulu dan hilir untuk melakukan
tindakan antisipasi di kawasan yang beresiko mengalami
banjir.
Sistem peringatan dini secara garis besar terdiri dari
komponen sebagai berikut:
a. Pusat Pengendali yang beroperasi penuh di musim
penghujan dan di musim kemarau minimal beroperasi
sebagai pengumpul catatan data muka air.
b. Stasiun Pengamat di lokasi-lokasi yang dipilih. Pada
setiap Stasiun Pengamat dipasang papan duga (peilskal)
yang sudah dikalibrasi dalam SOP, RTD dan perangkat
keras komunikasi.
c. Perangkat Keras Komunikasi yang menghubungkan
Stasiun Pengamat Hulu, Stasiun Pengamat Hilir dan
Pusat Pengendali.
d. Perangkat Lunak Hukum berupa SOP dan RTD.
Perangkat ini mengatur informasi apa yang harus
disampaikan, kapan dan kepada siapa.
e. Perangkat Lunak Teknik berupa diagram penelusuran
banjir (flood routing) yang disusun secara spesifik sesuai
dengan karakteristik kewilayahan. Pembuatan diagram
penelusuran banjir merupakan salah satu komponen yang
perlu dijadualkan dalam rencana induk penanganan
banjir.
3.4
BENCANA GEMPA BUMI
Bencana gempa bumi tidak hanya melanda kawasan permukiman,
perkantoran maupun industri didaratan tetapi juga terjadi di daerahdaerah pesisir. Pengalaman bencana gempa bumi di masa lalu di
Indonesia menunjukkan bahwa mayoritas struktur bangunan yang
mengalami kerusakan parah adalah tipe non-engineered buildings,
yaitu bangunan-bangunan sederhana (1-2 lantai) yang tidak
memanfaatkan jasa sarjana teknik pada saat merancang dan
membuatnya sehingga sistem struktur, mutu pengerjaan maupun
material yang digunakan cenderung belum memenuhi standar
minimal peraturan yang berlaku. Meski demikian, non-engineered
buildings yang benar-benar mengikuti konsep bangunan tradisional
setempat dengan memanfaatkan material lokal di sekitarnya terbukti
secara struktural cukup bagus responnya pada saat terjadi gempa
bumi. Prioritas yang utama yang harus diperhatikan adalah
penanganan dan pembenahan non-engineered buildings.
Pada saat terjadi gempa bumi, tanah dibawah fondasi bangunan akan
bergetar hebat secara random dalam arah 3 dimensi selama 0,5 s/d
1,5 menit dan getaran tersebut menjalar ke bangunan dia atasnya
sambil mengalami amplifikasi. Komponen percepatan getaran arah
vertikal lazimnya relatif lebih kecil dibanding komponen
horizontalnya. Akibatnya elemen-elemen pembentuk struktur
bangunan apabila tidak disambung dengan baik, cenderung akan
saling terpisahkan. Tipikal kerusakan non-engineered buildings
akibat gempa, yang menjadi pemicu keruntuhan dan lazimnya
mengakibatkan korban jiwa karena tertimpa reruntuhan bangunan,
umumnya dapat dikategorikan menjadi sebagai berikut :
a. atap cenderung
terpental,
tercabut/terlepas
dari
perletakannya
dan
b. dinding-dinding cenderung terkoyak, terpisah dari elemen
lainnya, retak diagonal dan roboh,
41
42
c. kerusakan akibat terjadinya puntiran pada bangunan yang
berdenah tidak simetris,
d. kerusakan pada sudut-sudut bukaan pada dinding akibat
konsentrasi tegangan,
e. benturan antar bangunan-bangunan yang berdekatan,
f.
kerusakan akibat perubahan menyolok pada kekakuan atau
massa elemen struktur,
g. sambungan yang lemah antara dinding dengan dinding, dinding
dengan atap dan dinding dengan fondasinya,
h. lenturan kolom yang berlebihan,
i.
j.
kerusakan elemen-elemen struktur yang relatif kaku namun tidak
cukup kuat dan sistem sambungan antar elemen struktur yang
tidak mencukupi,
mutu pengerjaan yang kurang baik dan material yang kurang
memenuhi syarat,
k. dinding-dinding tinggi yang tidak diberi bingkai secukupnya.
3.4.2
3.4.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Gempa Bumi
Gempa maupun bencana alam lainnya yang terjadi pada
masa lalu telah banyak menghancurkan maupun merusak
sarana dan prasarana kota dan desa serta menyebabkan
kehilangan jiwa, harta dan benda, selain tentunya telah
menyebabkan penderitaan bagi masyarakat yang tertimpa
bencana. Beberapa faktor penyebab banyaknya korban jiwa
serta kerugian harta benda terutama adalah kurangnya
kemampuan pemahaman mengenai bencana serta kesiapan
dalam mengantisipasi bencana. Hal lainnya adalah
pembangunan infrastruktur yang tidak mengikuti kaedahkaedah bangunan tahan gempa.
Analisa kerentanan didasarkan beberapa aspek, antara lain
tingkat kepadatan pemukiman di daerah rawan gempa bumi,
keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi maupun
penyelamatan serta keterbatasan akses komunikasi.
Kesadaran serta kesiapan masyarakat untuk melakukan
tindakan pengamanan dirasakan sangat penting, khususnya
yang melibatkan peran aktif masyarakat.
Identifikasi Daerah Rawan Gempa Bumi
3.4.1.1 Analisis Bahaya Gempa Bumi
Analisis
bahaya
gempa
bumi
ditujukan
untuk
mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami gejala gempa
bumi baik yang disebabkan oleh gempa tektonik maupun
gempa vulkanik. Gempa bumi biasanya terjadi dalam waktu
yang relatif singkat dengan beberapa faktor penyebab yang
dominan, antara lain terjadinya patahan yang apabila terjadi
di daerah lautan yang dapat menyebabkan terjadinya
tsunami, selain itu terdapat pula adanya gerakan-gerakan
magma di daerah gunung berapi aktif.
43
Selain itu, industri berbahaya yang dibangun di kawasan
rawan gempa seperti industri bahan kimia, apabila tidak
diantisipasi dengan baik dapat mengakibatkan terjadinya
dampak ikutan berupa terjadinya pencemaran lingkungan
serta munculnya berbagai macam penyakit.
3.4.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Gempa Bumi
Dari peta zonasi kegempaan Indonesia terlihat bahwa sekitar
290 kota atau 60 % dari 481 kota di Indonesia terletak pada
wilayah yang cukup rawan terhadap gempa dan sebagian
besar dari kota-kota tersebut berada pada daerah pesisir.
44
Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi
kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya
untuk merespon terjadinya bencana gempa bumi sehingga
mampu mengurangi dampaknya.
Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari
3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap
jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat
dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan
peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan
rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan
terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses
mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut
mempertinggi ketahanan terhadap bencana.
3.4.2
Mitigasi Bencana Gempa Bumi
3.4.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi Struktural
Upaya struktural dalam menangani bencana gempa bumi
adalah upaya teknis yang bertujuan untuk meminimalkan
kerusakan bangunan (terutama pemukiman), korban jiwa dan
harta benda akibat gempa bumi. Langkah mitigasi yang
bertujuan utama untuk secara bertahap meningkatkan
kualitas bangunan non-engineered di suatu wilayah sehingga
memenuhi persyaratan tahan gempa, baik terhadap bangunan
baru maupun bangunan lama, melalui peningkatan kualitas
material yang digunakan, kualitas sistem strukturnya dan
kualitas pengerjaan serta ketrampilan para tukang/pekerja
bangunan di wilayah tersebut. Upaya-upaya lain yang dapat
dilakukan antara lain:
45
Upaya mitigasi bencana gempa bumi struktural antara lain
meliputi :
1. membangun bangunan baru tahan gempa bumi
(engineered building)
2. meningkatkan kualitas bangunan non-engineered di
suatu wilayah sehingga memenuhi persyaratan tahan
gempa, baik terhadap bangunan baru maupun bangunan
lama, melalui peningkatan kualitas material yang
digunakan, kualitas sistem strukturnya dan kualitas
pengerjaan serta ketrampilan para tukang/pekerja
bangunan di wilayah tersebut.
3.4.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Gempa Bumi Non Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang
menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan
manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi
struktural maupun upaya lainnya. Upaya non struktural
tersebut antara lain meliputi:
1. peraturan perundangan yang mengatur tentang bencana
alam,
2. membuat pedoman konstruksi bangunan baru yang tahan
gempa khusus untuk non-engineered buildings yang
sesuai untuk wilayah pesisir pantai dengan penyajian
yang sederhana, praktis, informatif dan mudah diikuti,
3. membuat pedoman cara pengkuatan dan retrofitting
bangunan yang sudah ada agar tahan gempa khusus untuk
non-engineered buildings yang sesuai untuk wilayah
pesisir pantai,
4. menyelenggarakan penyuluhan pada masyarakat dan
petugas terkait secara intensif dan berkesinambungan
mengenai butir 2 dan 3 serta mengakrabkan masyarakat
46
dengan permasalahan bencana alam yang mungkin terjadi
di wilayah yang ditempatinya berikut cara penyesuaian
diri dan mempersepsinya secara positif,
5. menyelenggarakan pelatihan bagi para konsultan
perencana/pengawas, kontraktor dan staf teknis mengenai
butir 2 dan 3,
6. penyediaan Peta Zonasi Gempa yang digunakan sebagai
dasar perencanaan dan pengembangan daerah,
7. penyediaan layanan evaluasi gratis (oleh instansi yang
berwenang) kondisi struktural bangunan yang telah ada
dan konsultasi teknis cara-cara penguatannya,
telemetri ini pusat gempa bumi dapat ditentukan dalm
waktu relatif singkat baik oleh Pusat Gempa Regional
maupun oleh Pusat Gempa Nasional di Jakarta.
3.5
BENCANA ANGIN TOPAN/BADAI
Karena posisi geografisnya, wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau
kecil di Indonesia cukup rentan terhadap bencana angin topan/badai .
Angin topan adalah suatu badai tropikal yang hebat dari pelepasan
banyak energi dalam satu hari sebanyak satu megaton bom
hydrogen. Angin topan/badai ini dapat mencapai kecepatan 200
km/jam dengan tekanan tiup mencapai 200 kg/m2.
8. menyelenggarakan program sertifikasi dan lisensi untuk
pembangun dan kontraktor,
3.5.2
9. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Gempa
Bumi
3.5.1.1 Analisis Bahaya Angin Topan/Badai
Untuk memantau gempa bumi,
BMG telah
mengoperasikan jaringan pemantau gempa bumi yang
terdiri dari 57 sensor pencatat, baik non-telemetri maupun
telemetri. Jaringan non-telemetri mulai beroperasi dengan
dipasangnya seismograf Wiechert tahun 1908 di Jakarta
dan mulai dikembangkan dengan peralatan Short Period
Seismograph tahun tujuh puluhan sehingga saat ini
mencapai 30 jumlahnya.
Jaringan pemantau gempa bumi telemetri sejumlah 27
yang tersebar di lima balai wilayah dilengkapi dengan
sistem komunikasi dan pengolah data, dengan Pusat
Gempa Regional terletak di Medan, Ciputat, Denpasar,
Ujung Pandang dan Jayapura yang telah dioperasikan
sejak tahun 1991. Disamping itu secara real time
beberapa rekaman data dari masing-masing wilayah di
kirim ke Pusat Gempa Nasional di Jakarta. Dengan sistem
47
Identifikasi Daerah Rawan Angin Topan/Badai
Analisis bahaya angin topan/badai ditujukan untuk
mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami bencana
angin topan/badai. Bahaya angin topan/badai pada suatu
daerah dapat diketahui melalui perkiraan angin topan/badai
yang akan terjadi.
3.5.1.2 Analisis
Tingkat
Topan/Badai
Kerentanan
terhadap
Angin
Bencana angin topan/badai maupun bencana alam lainnya
yang terjadi pada masa lalu telah banyak menghancurkan
maupun merusak sarana dan prasarana kota dan desa serta
menyebabkan kehilangan jiwa, harta dan benda, selain
tentunya telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat
yang tertimpa bencana. Beberapa faktor penyebab
banyaknya korban jiwa serta kerugian harta benda terutama
48
adalah kurangnya kemampuan pemahaman mengenai
bencana serta kesiapan dalam mengantisipasi bencana.
3.5.2
Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai
3.5.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Struktural
Analisa kerentanan didasarkan beberapa aspek, antara lain
tingkat kepadatan pemukiman di daerah rawan angin
topan/badai, keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi
maupun penyelamatan serta keterbatasan akses komunikasi.
Selain itu, industri berbahaya yang dibangun di kawasan
rawan anin topan/badai seperti industri bahan kimia, apabila
tidak diantisipasi dengan baik dapat mengakibatkan
terjadinya dampak ikutan berupa terjadinya pencemaran
lingkungan serta munculnya berbagai macam penyakit.
3.5.1.3 Analisis
Tingkat
Topan/Badai
Ketahanan
terhadap
Angin
Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi
kemampuan Pemerintah serta Masyarakat pada umumnya
untuk merespon terjadinya bencana angin topan/badai
sehingga mampu mengurangi dampaknya.
Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari
3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap
jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat
dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan
peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan
rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan
terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses
mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut
mempertinggi ketahanan terhadap bencana.
49
Upaya struktural dalam menangani bencana angin
topan/badai adalah upaya teknis yang bertujuan untuk
mencapai lingkungan yang lebih tahan bencana angin
topan/badai. Upaya penanggulangan secara fisik yang dapat
dilakukan antara lain:
low cost roof retrofitting, terutama struktur atapnya yang
rentan terhadap kerusakan akibat angin topan/badai
3.5.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Angin Topan/Badai Non
Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang
menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan
manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi
struktural maupun upaya lainnya.
Upaya penanggulangan secara non strukural yang dapat
dilakukan antara lain:
1. peraturan perundangan yang mengatur bencana alam,
2. pemetaan bahaya sentakan badai,
3. lifeline vulnerability audits untuk mempromosikan
kesiagaan masyarakat terhadap bencana,
4. sosialisasi peraturan pembangunan dan
konstruksi yang baik dan aman dan lain-lain,
cara-cara
5. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Angin
Topan/Badai
50
Sewaktu terjadi angin topan/badai, masyarakat di evakuasi
ke tempat yang aman dengan cara mengumumkannya
melalui:
1. para pejabat publik (tingkat keberhasilan 35%-97%,
tergantung cara penyampaian),
2. radio atau televisi,
3. otoritas polisi, pemadam kebakaran dan lain-lain yang
menyampaikan berita tersebut dari pintu ke pintu (tingkat
keberhasilan 97%),
4. loudspeaker yang terbukti kurang efektif, dan
5. pemberitaan otomatis melalui telepon.
6. pengembangan Sistem Peringatan Dini Bencana Angin
Topan/Badai
Perkiraan terjadinya angin topan/badai dilakukan oleh
BMG selaku instansi yang bertanggung jawab dalam
prakiraan cuaca. Saat ini BMG telah memiliki jaringan
pemantau cuaca pada 175 stasiun BMG di seluruh
Indonesia. Selain itu BMG juga telah merehabilitasi
Radar Cuaca di lima Stasiun Meteorologi sehingga
keluaran radar dapat berupa gambar tiga dimensi.
3.6
BENCANA KENAIKAN PARAS MUKA AIR LAUT
(SEA LEVEL RISE)
berakibat pada Sea Level Rise (SLR). Berdasarkan IPCC (1990)
diperkirakan terjadi SLR sebesar 1 meter pada tahun 2100 dihitung
mulai tahun 1990.
Hal tersebut mengakibatkan mundurnya garis pantai. Salah satu cara
paling sederhana untuk memperkirakan kemunduran garis pantai
adalah dengan menganggap profil pantai setelah SLR adalah tetap.
Dengan anggapan seperti ini maka besarnya kemunduran garis pantai
adalah sebanding dengan SLR dibagi dengan kemiringan pantai.
Dampak lain akibat SLR adalah terjadinya peningkatan frekuensi
dan intensitas banjir yang disebabkan oleh adanya efek
pembendungan oleh adanya SLR. Pembendungan ini menyebabkan
kecepatan berkurang dan laju sedimentasi di muara akan bertambah
yang berarti mengurangi luas tampang basah sungai di muara.
Pendangkalan muara akan menimbulkan juga efek pembendungan
yang signifikan yang apa akhirnya akan meningkatkan frekuensi
banjir karena tampang sungai yang terlampaui oleh debit sungai.
Intrusi air laut ke darat juga merupakan masalah serius bagi kotakota pantai. Adanya pemanfaatan air tanah yang tidak
memperhitungkan
keseimbangan,
mengakibatkan
turunnya
permukaan air tanah yang selanjutnya memberikan tingkat
kemudahan bagi terjadinya intrusi air laut ke darat. Dengan adanya
SLR juga mengakibatkan volume air laut yang mendesak ke dalam
sungai akan semakin besar. Air laut yang mendesak masuk jauh ke
darat melalui sungai ini merupakan masalah bagi kota-kota pantai
yang menggantungkan air bakunya dari sungai.
Peningkatan kegiatan manusia, khususnya kegiatan transportasi,
industri, pembangunan gedung-gedung dengan seluruhnya hampir
tertutup kaca, maka akan mengakibatkan peningkatan efek rumah
kaca (green house effect). Salah satu dampak dari peningkatan rumah
kaca ini adalah terjadinya pemanasan suhu di bumi (global warming)
yang pada akhirnya akan mengakibatkan pemuaian air laut yang
Terjadinya SLR juga berdampak terhadap keamanan bangunan
pantai yang ada. Karena adanya SLR akan menyebabkan
peningkatan gelombang. Selain itu SLR juga akan meningkatkan
overtopping bangunan tersebut, sehingga tingkat keamanan
bangunan berkurang.
51
52
Selain itu pengaruh SLR dapat berdampak terhadap lingkungan
biotik. Dengan adanya SLR lingkungan biotik akan terpengaruh
terutama di daerah rawa dan perairan payau.
3.6.2
pesisir termasuk stakeholder di dalamnya, sarana prasarana
transportasi, pelayaran, perikanan dan lain-lain, dampaknya
terhadap ekosistem pesisir seperti terjadinya peningkatan
erosi pantai, banjir, intrusi air laut, dan dampak terhadap
infrastruktur di wilayah pesisir.
Identifikasi Daerah Rawan Kenaikan Paras Muka Air
Laut (Sea Level Rise)
3.6.1.1 Analisis Bahaya Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea
Level Rise/SLR)
3.6.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Kenaikan Paras
Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR)
Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi
kemampuan Pemerintah serta Masyarakat pada umumnya
untuk merespon terjadinya bencana SLR sehingga mampu
mengurangi dampaknya.
Analisis bahaya SLR ditujukan untuk mengidentifikasi
lokasi yang sering mengalami bencana kenaikan paras muka
air laut (SLR). Analisis ini dilakukan dengan melakukan
perkiraan kenaikan paras muka air laut berdasarkan hasil
pengamatan kenaikan muka air laut. Ha-hal yang perlu
diidentifikasi meliputi panjang pantai dan kemiringan pantai,
sehingga diperoleh skenario mundurnya garis pantai dari
tahun ke tahun.
Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari
3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap
jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat
dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan
peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
3.6.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Kenaikan Paras
Muka Air Laut (Sea Level Rise/SLR)
Bencana kenaikan muka air laut (SLR) maupun bencana
alam lainnya yang terjadi pada masa lalu telah banyak
menghancurkan maupun merusak sarana dan prasarana kota
dan desa serta menyebabkan kehilangan jiwa, harta dan
benda, selain tentunya telah menyebabkan penderitaan bagi
masyarakat yang tertimpa bencana. Beberap faktor penyebab
banyaknya korban jiwa serta kerugian harta benda terutama
adalah kurangnya kemampuan pemahaman mengenai
bencana serta kesiapan dalam mengantisipasi bencana.
Analisa kerentanan didasarkan beberapa aspek, antara lain
tingkat kepadatan, penduduk, aktivitas yang ada di wilayah
53
Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan
rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan
terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses
mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut
mempertinggi ketahanan terhadap bencana
3.6.2
Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut (Sea
Level Rise/SLR)
3.6.2.1. Upaya Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut
(Sea Level Rise/SLR) Struktural
Upaya struktural dalam menangani bencana SLR adalah
upaya teknis yang bertujuan untuk melindungi lingkungan
54
pesisir yang rawan terhadap bencana SLR. Upaya
penanggulangan secara fisik yang dapat dilakukan antara
lain:
Pengembangan sistem peringatan dini pada daerah yang
rawan akibat kenaikan paras muka air laut ini dilakukan
dengan memasang alat pemantau katinggian muka air laut
automatic (Automatic Water Level Recorder/AWLR) dan
pengamatan pasang surut air laut yang ditempatkan
disetiap pelabuhan atau daerah pemukiman nelayan.
Pemantauan dan pengamatan pasang surut air laut ini
mutlak dilakukan pada daerah-daerah yang mempunyai
indikasi banjir di daerah pesisir yang jauh dari muara
sungai. Hasil pengamatan dan pemantauan ini di
dikumpulkan dan dianalisis untuk dijadikan bahan
pertimbangan langkah selanjutnya.
1. Membuat sistem pelindung pantai baik yang bersifat
statis seperti pembangunan tanggul, seawall, revetment,
groin, dan detached breakwater maupun yang dinamis
seperti penanaman mangrove.
2. Mengangkat atau meninggikan segala bentuk fasilitas dan
lahan pantai.
3. Memindahkan segala bentuk fasilitas dan lahan pantai ke
arah darat yang aman dari jangkauan air laut.
4. Penyesuaian sistem drainase.
3.6.2.2. Upaya Mitigasi Bencana Kenaikan Paras Muka Air Laut
(Sea Level Rise/SLR) Non Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang
menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan
manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi
struktural maupun upaya lainnya. Upaya-upaya non
struktural ini meliputi :
1. peraturan perundangan yang mengatur bencana alam,
1. penyusunan kebijakan untuk pemerintah terkait dan
stakeholder tentang sistem perlindungan pantai.
2. pengembangan garis pantai (shoreline setback), seperti
penyusunan kebijakan yang mengatur ijin bangunan
terhadap lahan yang terkena erosi akibat SLR.
3.7
BENCANA KEKERINGAN
Kekeringan terjadi apabila ketersediaan air tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhannya. Bencana kekeringan diakibatkan oleh
iklim yaitu akibat akibat musim kemarau panjang sehingga kesulitan
akan air untuk kebutuhan air minum. Ditinjau dari waktu terjadinya,
kekeringan dapat terjadi sepanjang tahun, tidak menentu atau bahkan
dapat tidak terlihat.
3.7.1
Identifikasi Daerah Rawan Kekeringan di Wilayah
Pesisir
3.7.1.1 Analisis Bahaya Kekeringan
Analisis
bahaya
kekeringan
ditujukan
untuk
mengidentifikasi lokasi yang sering mengalami bencana
kekeringan. Bahaya kekeringan dapat diketahui dari
perkiraan iklim yang terjadi di wilayah pesisir.
3. pengembangan Sistem Peringatan Dini Kenaikan Paras
Muka Air Laut
55
56
mobilitas masyarakat dalam evakuasi
mempertinggi ketahanan terhadap bencana.
3.7.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Kekeringan
Kekeringan maupun bencana alam lainnya yang terjadi pada
masa lalu telah banyak menghancurkan maupun merusak
sarana dan prasarana kota dan desa serta menyebabkan
kehilangan jiwa, harta dan benda, selain tentunya telah
menyebabkan penderitaan bagi masyarakat yang tertimpa
bencana. Beberapa faktor penyebab banyaknya korban jiwa
serta kerugian harta benda terutama adalah kurangnya
kemampuan pemahaman mengenai bencana serta kesiapan
dalam mengantisipasi bencana.
Analisa kerentanan didasarkan beberapa aspek, antara lain
tingkat kepadatan penduduk, aktivitas yang ada di wilayah
pesisir termasuk stakeholder di dalamnya, kondisi penutupan
lahan, sumber-sumber air, dan tingkat pemanfaatan air baik
air permukaan maupun air tanah.
3.7.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Kekeringan
Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi
kemampuan Pemerintah serta Masyarakat pada umumnya
untuk merespon terjadinya bencana kekeringan sehingga
mampu mengurangi dampaknya.
3.7.2
juga
ikut
Mitigasi Bencana Kekeringan di Wilayah Pesisir
3.7.2.1. Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Struktural
Upaya struktural dalam menangani bencana kekeringan
adalah upaya teknis yang bertujuan untuk melindungi
lingkungan pesisir yang rawan terhadap bencana kekeringan.
Upaya penanggulangan secara
struktural yang dapat
dilakukan antara lain:
1. Pembangunan waduk.
2. Pembuatan sumur-sumur resapan.
4.7.2.2. Upaya Mitigasi Bencana Kekeringan Non Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang
menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan
manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi
struktural maupun upaya lainnya. Upaya-upaya non
struktural ini meliputi :
1. Peraturan perundangan yang mengatur bencana alam,
Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari
3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap
jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat
dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan
peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan
rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan
terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses
57
2. Mengefisienkan
penggunaan air,
dan
melakukan
penghematan
3. Menginventarisasi dan mengevaluasi keadaan dan pola
iklim,
4. Mengidentifikasi wilayah rawan kekeringan,
5. Membuat peta wilayah kekeringan,
58
6. Pengembangan
Kekeringan
Sistem
Peringatan
Dini
Bencana
Perkiraan terjadinya kekeringan dilakukan oleh BMG
(Badan Metereologi dan Geofisika) selaku penanggung
jawab terhadap cuaca yang terkait dengan kekeringan.
3.8.2
Identifikasi Daerah Rawan Longsor
Upaya mitigasi bencana non struktural ini dilakukan dengan
mengidentifikas daerah rawan longsor, identifikasi tersebut
antara lain :
3.8.1.1 Analisis Bahaya Longsor
3.8
BENCANA LONGSOR
Longsor merupakan suatu gerakan tanah dimana suatu masa tanah,
batu, dan material campuran yang bergerak di sepanjang lereng
gunung terutama di wilayah pulau-pulau kecil. Bencana longsor di
Indonesia tersebar mengikuti penyebaran jalur gempa, patahan dan
sebaran gunung api baik gunung api aktif maupun tidak aktif. Karena
daerah tesebut bergunung-gunung berlereng terjal dengan batuan
yang umumnya kurang kuat dan tanah penutupnya lembek dan tebal
sehingga berpotensi untuk terjadi longsor terutama bila terjadi hujan
dan gempa.
Penyebab terjadinya tanah longsor karena faktor alam seperti hujan,
kondisi geologi dan kondisi topografi serta dipicu oleh ulah manusia.
Tanah longsor umumnya terjadi selama dan sesudah hujan lebat
selama 10 jam. Tanah longsor dapat terjadi dengan adanya :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Hujan
Lereng Terjal
Tanah tebal dan lembek serta batuan kurang kuat
Lahan basah
Getaran
Susut muka air danau atau bendungan
Adanya beban tambahan seperti beban bangunan
Pengikisan/erosi
Adanya material timbunan pada tebing
Bekas longsoran lama
59
Analisis bahaya longsor ditujukan untuk mengidentifikasi
lokasi yang sering mengalami bencana longsor. Analisis ini
meliputi aspek kondisi alam, geologi, topografi, dan aktivitas
manusia.
3.8.1.2 Analisis Tingkat Kerentanan terhadap Longsor
Bencana longsor maupun bencana alam lainnya yang terjadi
pada masa lalu telah banyak menghancurkan maupun
merusak sarana dan prasarana kota dan desa serta
menyebabkan kehilangan jiwa, harta dan benda, selain
tentunya telah menyebabkan penderitaan bagi masyarakat
yang tertimpa bencana. Beberapa faktor penyebab
banyaknya korban jiwa serta kerugian harta benda terutama
adalah kurangnya kemampuan pemahaman mengenai
bencana serta kesiapan dalam mengantisipasi bencana.
Analisis kerentanan ini meliputi aspek tingkat kepadatan
penduduk di sekitar daerah yang berpotensi longsor, sarana
prasarana yang ada, infrastruktur penting, industri yang ada
di sekitar lokasi berpotensi longsor, aksesibilitas terhadap
daerah berpotensi longsor, dan sebagainya.
60
3.8.1.3 Analisis Tingkat Ketahanan terhadap Longsor
Analisis tingkat ketahanan ditujukan untuk mengidentifikasi
kemampuan Pemerintah serta masyarakat pada umumnya
untuk merespon terjadinya bencana longsor sehingga mampu
mengurangi dampaknya.
Analisis tingkat ketahanan tersebut dapat diidentifikasi dari
3 (tiga) aspek, yaitu (i) jumlah tenaga kesehatan terhadap
jumlah penduduk, (ii) kemampuan mobilitas masyarakat
dalam evakuasi dan penyelamatan, dan (iii) ketersediaan
peralatan yang dapat dipergunakan untuk evakuasi.
Semakin banyak fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan
rawan bencana membuat tingkat ketahanan kawasan
terhadap bencana semakin tinggi. Kemudahan akses
mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut
mempertinggi ketahanan terhadap bencana
3.8.2
3.8.2.2 Upaya Mitigasi Bencana Longsor Non Struktural
Upaya non struktural merupakan upaya non teknis yang
menyangkut penyesuaian dan pengaturan tentang kegiatan
manusia agar sejalan dan sesuai dengan upaya mitigasi
struktural maupun upaya lainnya. Upaya-upaya non
struktural ini meliputi :
1. Peraturan perundangan yang mengatur bencana alam,
2. Pembuatan peta rawan bencana longsor.
3. Sosialisasi dan Penyadaran kepada masyarakat untuk
tidak tinggal di daerah yang rawan longsor/daerah tebing.
4. Pengembangan sistem peringatan dini bencana longsor
5. Perkiraan terjadinya longsor dilakukan oleh instansi
terkait yang berwenang menangani bahaya longsor,
seperti Badan Geologi dan Vulkanologi.
Mitigasi Bencana Longsor
3.8.2.1 Upaya Mitigasi Bencana Longsor Struktural
Upaya struktural dalam menangani bencana longsor adalah
upaya teknis yang bertujuan untuk melindungi lingkungan
pesisir yang rawan terhadap bencana kekeringan. Upaya
penanggulangan secara fisik sangat bervariasi tergantung
dari jenis longsoran dan mekanisme kejadiannya, yang
antara lain meliputi :
1. Pembangunan tanggul penahan di lokasi-lokasi yang
rawan bencana longsor,
2. Penataan saluran air yang memadai,
3. Reboisasi di daerah-daerah yang rawan longsor.
61
62
BAB IV
KOORDINASI ANTAR INSTANSI
Kelembagaan dalam penanggulangan bahaya nasional saat ini telah
dibentuk mulai dari Tingkat Pusat yang dikoordinasikan oleh Badan
Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan
Pengungsi (Bakornas PBP), Satuan Koordinasi Pelaksana
Penanggulangan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi (Satkorlak
PBP) di Tingkat Provinsi, Satuan Pelaksana Penanggulangan
Bencana dan Penanggulangan Pengungsi (Satlak PBP) di Tingkat
Kabupaten/Kota dan Satuan Tugas Penanggulangan Bencana dan
Penanggulangan
Pengungsi
(Satgas
PBP)
di
Tingkat
Kecamatan/Desa.
Organisasi Bakornas PB sesuai dengan Keputusan Presiden RI No. 3
Tahun 2001 beranggotakan Menteri Dalam Negeri, Menteri
Kesehatan, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Menteri
Perhubungan, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral, Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Keuangan, Menteri
Lingkungan Hidup, Panglima TNI, Kepala Kepolisisan RI dan
Gubernur. Melihat perkembangan kedepan dimana sektor kelautan
dan perikanan telah ditangani oleh Departemen Kelautan dan
Perikanan, maka perlu adanya perubahan terhadap Keppres RI No. 3
Tahun 2001 tersebut.
63
BAB V
PENUTUP
Pedoman ini dikeluarkan untuk menjadi arahan bagi Pemerintah dan
Pemerintah Daerah dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya
dalam menyusun perencanaan mitigasi bencana di wilayah pesisir
dan
pulau-pulau
kecil
yang
secara
ekologi
dapat
dipertanggungjawabkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 September 2004
DIREKTUR JENDERAL PESISIR
DAN PULAU-PULAU KECIL
WIDI A. PRATIKTO
64
14. Ir. Eny Budi Sri Haryani
Kasubdit Pengendalian Pencemaran
Laut, Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K,
DKP
Kabag Hukum Bantuan Hukum, DKP
Kabag Perundang-undangan, DKP
Kabag Hukum Laut, DKP
Kabag Perjanjian dan Tata Perizinan,
DKP
Kasubdit Tata Ruang Pesisir dan
Pantai, Dit. Tata Ruang P3K, Ditjen
P3K, DKP
Dit. Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil,
Ditjen P3K, DKP
Biro Perencanaan dan KLN, DKP
Biro Keuangan, DKP
Kabag Umum, Ditjen. P3K, DKP
Kasubdit Teknologi Pengawasan dan
Perlindungan Pesisir, BRKP - DKP
Ditjen. P3K, DKP
Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
Kepala Biro Mitigasi Bakornas PBP
Kabag Bencana Alam, Biro Mitigasi
Bakornas PBP
Asdep Kajian Kebutuhan IPTEK
RISTEK
Kepala Bidang IPTEK RISTEK
Kapuslitbang SDA Dep. Kimpraswil
UCAPAN TERIMA KASIH
Saya selaku Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil maupun selaku
pribadi, dengan ini mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggitingginya atas masukan, tanggapan, saran dan kritik yang membangun dalam
proses konsultasi dan sosialisasi penyusunan Pedoman Mitigasi Bencana di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ini sehingga dikeluarkannya Keputusan:
SK.64A/P3K/IX/2004 tentang Pedoman Mitigasi Bencana di Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.
Ucapan terima kasih ini secara khusus ditujukan kepada yang terhormat :
15.
16.
17.
18.
Tini Martini, SH.M.Soc.Sci
Darmanta, SH
Hanung Cahyono, SH, LLM
Supranawa, SH, MPA
19. Ir. H. Ansori Zawawi
20. Dr. Ir. Tony Ruchimat
No.
Nama
Jabatan/Instansi
1.
2.
3.
Prof.Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS
Ir. Ali Supardan, MSc
Ir. H. Irwandi Idris, MSi
4.
Dr. Ir. Alex SW Retraubun, MSc
5.
Ir. Ferrianto H.S. Djais, MA
6.
Ir. Yaya Mulyana
Menteri Kelautan dan Perikanan
Sesditjen P3K, DKP
Direktur Bina Pesisir, Ditjen P3K,
DKP
Direktur Pulau-Pulau Kecil, Ditjen
P3K, DKP
Direktur Tata Ruang P3K, Ditjen
P3K, DKP
Direktur Konservasi dan Taman
Nasional Laut, DKP
Ka. Biro Perencanaan dan KLN, DKP
Ka. Biro Hukum dan Perizinan, DKP
Deputi Meneg, LH
Asdep P3TL - BPPT
Kasubdit Mitigasi Lingkungan Pesisir,
Dit. Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
Kasubdit Pengelolaan Pesisir
Terpadu, Dit. Bina Pesisir, Ditjen
P3K, DKP
Kasubdit Rehabilitasi dan
Pendayagunaan Kawasan Pesisir, Dit.
Bina Pesisir, Ditjen P3K, DKP
7.
8.
9.
10.
11.
Ir. Saut P. Hutagalung, MSc
Narmoko Prasmadji, SH, LLM
Drs. Sudaryono
Dr. Tusy A. Adibroto
Dr. Ir. Subandono Diposaptono,
M. Eng
12. Dr. Ir. Sapta Putra Ginting , MSc
13. Ir. M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)
65
21.
22.
23.
24.
Ir. Harun Alrasyid, MM
Mufti Manurus, SE
Ir. Didi Sadili
Ir. Tukul Rameo Hadi, MT
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
Ir. Raja Pasaribu, MS
Ir. Andry Indryasworo, MM
Ir. Sudibyo, MM
Agung Tri Prasetyo, SSi, MA
Firdaus Agung K, ST
Zuleha Ernas, SSi
Fegi Nurhabni, ST
Prita Dwi Wahyuni, SSi
Ir. A. Haris Lain
Enggar Sadtopo, ST, MT
Ir. Sugeng Triutomo, DESS
Ir. Wisnu Widjaya, MSc
37. Dr. Ir. Idwan Suhardi
38. Ir. Santoso Yudho, MSc
39. Ir. Diah Rahayu Pangesti, Dipl.
66
HE, APU
40. Dr. Ir. Untung Budi S., MSc
Kabid Konservasi dan Pengembangan
SDA dan Kawasan Bencana Dit.
TRAUNAS, Kimpraswil
Dept. Kimpraswil
Dept. Kimpraswil
Bappenas
Direktur Pengairan dan Irigasi,
Bappenas
Kasubdit Pengembangan Pesisir dan
Laut, Bappenas
Kepala Badan Meteorologi dan
Geofisika
Kepala Pusat Jaringan Observasi
BMG
Kepala Bidang Seismologi Teknik
dan Tsunami, BMG
Kepala Bidang Klimatologi BMG
Kasubdit Mitigasi Bencana Geologi,
Dep. ESDM
Koordinator Stasiun BMG NTT
Direktur Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi, Dep. ESDM
BPPT
Manager Program Mitigasi Bencana
Alam, BPPT
BPPT
Kementrian Lingkungan Hidup
Bakosurtanal
Kepala Pusat Penginderaan Jauh LAPAN
BP Reklamasi Pantura – Jakarta
Dept. Kesehatan
LIPI
Kepala Laboratorium Manajemen dan
41.
42.
43.
44.
Ir. Siswoko, Dipl. HE
Ir. Amien Roychanie
Ir. Wahyuningsih D., MSc
Ir. Simon Laksmono Himawan,
MA
45. Ir. Tommy Hermawan, MA
46. Dr. Gunawan Ibrahim
47. Drs. Sunaryo, M.Sc.
48. Dr. Ir. Fauzi
49. Drs. Sugiatno
50. Ir. Surono
51. Hendri Subakti
52. Dr. Ir. Ahmad Djumarma
Wirakusumah
53. Dr. Ir. Dinar Catur MSc
54. Ir. Heru Sri Naryanto, MSc
55.
56.
57.
58.
Ir. Naufal Bahreisy, MT
Dr. Paulus Agus Winarso
Dr. Parluhutan Manurung
Dr. Bidawi Hasyim
59.
60.
61.
62.
Ir. M. Sidharta
Dra. Meinarwati, APT, M.Kes
Dr. Ir. Otto Ongkosongo, APU
Dr. Ir. Harkunti P Rahayu
67
63.
64.
65.
66.
67.
68.
Rekayasa Konstruksi – FT ITB
Pusat Penelitian Kelautan, ITB
Teknik Kelautan, ITB
P3WK – ITB
Fakultas Teknologi Kelautan, ITS
Teknik Sipil, Universitas Udayana
Disaster Prevention Research
Institute/DPRI, Kyoto University
National Institute for Land and
Infrastructure Management, Japan
International Tsunami Information
Center, Honolulu, USA
Tsunami Laboratory, Russian
Academy of Sciences, Rusia
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas
Teknik, UGM
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas
Teknik, UGM
Jurusan Teknik Sipil, Fakultas
Teknik, UGM
PKSPL - IPB
IPB
UNHAS
Biotrop
Sekjen ASEHI
Dr. Hamzah Latif, MSc
Dr. Muslim Muin
Dr. Heru Purboyo
Dr. Mahmud Mustain
Dr. Ir. IGB Sila Dharma
Prof. Takao Yamashita
69. Tetsuro Goto
70. Dr. Laura Kong
71. Dr. Viacheslav K. Gusiakov
72. Dr. Ir. Nizam
73. Ir. Bambang Suhendro, MSc,
Ph.D
74. Dr. Joko Legono
75.
76.
77.
78.
79.
Dr. Dietriech G. Bengen
Prof. Dr. Dedy Soedarma
Prof. Dadang Ahmad
Dr. Ir. I. Handoko
Dr. Ir. Agus Maryono
80. Dr. Ir. Harkunti Rahayu
81.
82.
83.
84.
85.
86.
87.
Ir. Kris Budiono
Dr. Jan Steffen
Ir. Imran
Ir. Ery Damayanti
Ir. Nina
Drs. M. Rudi Wahyono, Dipl.Env
Ramli Malik
68
Kepala Laboratorium Manajemen dan
Rekayasa Konst. – FT ITB
PPGL - Bandung
Direktur CSI UNESCO
Telapak
IMA
Jaring Pela
Indo-Repro
Yayasan PESUT
Download