MAKALAH PENYIMPANGAN SOSIAL PADA REMAJA DISUSUN OLEH: KELOMPOK 4 STIKES BANYUWANGI 2021 BAB I PENDAHULUAN Remaja merupakan periode seseorang bertransformasi dari anak-anak menuju dewasa. Periode ini dianggap sebagai masa penting karena memiliki dampak langsung dan dampak jangka panjang dari apa yang terjadi pada masa remaja ini. Pada periode ini, terjadi perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional yang dialami remaja mulai dari perkembangan fungsi seksual hingga proses berpikir abstrak dan kemandirian. Pada umumnya, remaja mengalami perkembangan dari segala aspek. Remaja pada masa ini mengalami proses pematangan fisik lebih cepat daripada pematangan psikososialnya. Oleh karena itu, seringkali terjadi ketidakseimbangan yang menyebabkan remaja sangat sensitif dan rawan terhadap stress. Kondisi inilah yang menuntut individu remaja untuk bisa menyesuaikan diri secara mental dan sosial serta melihat pentingnya menetapkan suatu sikap, nilai-nilai dan minat yang baru. Selain itu, remaja sebagai generasi yang akan mengisi berbagai posisi dalam masyarakat di masa yang akan datang, yang akan meneruskan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara di masa depan. Perkembangan fisik dan kematangan seksual remaja dalam usia ini mengalami perubahan yang sangat pesat dan seharusnya menjadi perhatian khusus bagi remaja. Pada masa remaja ini pula, beberapa pola perilaku seseorang mulai dibentuk, termasuk identitas diri, kematangan seksual serta keberanian untuk melakukan perilaku beresiko, termasuk bereksperimen dengan aktivitas seks. Perkembangan jaman yang kini semakin maju dan sarat dengan perubahan yang terjadi di segala bidang menuntut masyarakat untuk siap dalam menghadapi keterbukaan informasi dan teknologi yang masuk ke Indonesia. Perkembangan ini tidak bisa dielakkan begitu saja. Dibutuhkan penyaringan informasi yang sesuai dengan kebudayaan masyarakat Indonesia, terutama oleh kaum remaja. Sebagai generasi yang baru tumbuh, remaja lebih cepat menyerap informasi baru dibandingkan dengan yang lebih tua. Dewasa ini, remaja mendapatkan potret perilaku menyimpang lebih mudah dengan kemajuan teknologi. Mereka bisa mendapatkannya dari video compact disc (VCD), handphone, internet, televisi maupun dari temantemannya. Rasa keingintahuan remaja sangatlah besar. Situasi ini cenderung mendorong mereka untuk mengimitasi perilaku tersebut dan mencoba melakukan tindakan yang menyimpang. BAB II ISI 2.1. Pengertian Remaja WHO mendefinisikan remaja sebagai individu dalam kelompok usia 10-19 tahun. Masa remaja merupakan suatu masa dimana individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksualitas sampai saat ini mencapai kematangan seksualitasnya, individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa, dan terjadi peralihan dari ketergantungan sosial yang penuh, kepada keadaan yang relatif lebih mandiri. Remaja bukanlah kelompok yang homogen. Kebutuhan mereka berbeda berdasarkan jenis kelamin, tahap perkembangan, kondisi sekitar, sosial serta ekonomi (WHO, 2018). 2.2. Karakteristik pertumbuhan dan perkembangan remaja Masa remaja adalah suatu masa perubahan, pada masa ini terjadi perubahan-perubahan yang sangat pesat yakni baik secara fisik, maupun psikologis, ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja ini diantaranya (Wulandari, 2014; Taghizadeh Moghaddam et al., 2016): a. Pertumbuhan Fisik Pertumbuhan meningkat cepat dan mencapai puncak kecepatan. Pada fase remaja awal (11-14 tahun) karakteristik seks sekunder mulai tampak, seperti penonjolan payudara pada remaja perempuan, pembesaran testis pada remaja laki-laki, pertumbuhan rambut ketiak, atau rambut pubis. Karakteristik seks sekunder ini tercapai dengan baik pada tahap remaja pertengahan (usia 14-17 tahun) dan pada tahap remaja akhir (17-20 tahun) struktur dan pertumbuhan reproduktif hamper komplit dan remaja telah matang secara fisik. b. Kemampuan berpikir Pada tahap awal remaja mencari-cari nilai dan energi baru serta membandingkan normalitas dengan teman sebaya yang jenis kelaminnya sama. Sedangkan pada remaja tahap akhir, mereka telah mampu memandang masalah secara komprehensif dengan identitas intelektual sudah terbentuk. c. Identitas Pada tahap awal,ketertarikan terhadap teman sebaya ditunjukkan dengan penerimaan atau penolakan. Remaja mencoba berbagai peran, mengubah citra diri, kecintaan pada diri sendri meningkat, mempunyai banyak fantasi kehidupan, idealistis. Stabilitas harga diri dan definisi terhadap citra tubuh serta peran gender hampir menetap pada remaja di tahap akhir (Saputro, 2018). d. Hubungan dengan orang tua Keinginan yang kuat untuk tetap bergantung pada orangtua adalah ciri yang dimiliki oleh remaja pada tahap awal. Dalam tahap ini, tidak terjadi konflik utama terhadap kontrol orang tua. Remaja pada tahap pertengahan mengalami konflik utama terhadap kemandirian dan kontrol. Pada tahap ini terjadi dorongan besar untuk emansipasi dan pelepasan diri. Perpisahan emosional dan dan fisik dari orangtua dapat dilalui dengan sedikit konflik ketika remaja akhir. e. Hubungan dengan sebaya Remaja pada tahap awal dan pertengahan mencari afiliasi dengan teman sebaya untuk menghadapi ketidakstabilan yang diakibatkan oleh perubahan yang cepat; pertemanan lebih dekat dengan jenis kelamin yang sama, namun mereka mulai mengeksplorasi kemampuan untuk menarik lawan jenis. Mereka berjuang untuk mengambil tempat di dalam kelompok; standar perilaku dibentuk oleh kelompok sebaya sehingga penerimaan oleh sebaya adalah hal yang sangat penting. Sedangkan pada tahap akhir, kelompok sebaya mulai berkurang dalam hal kepentingan yang berbentuk pertemanan individu. Mereka mulai menguji hubungan antara pria dan wanita terhadap kemungkinan hubungan yang permanen 2.3. Tahap Perkembangan Remaja Tahapan perkembangan masa remaja dibagi dalam tiga tahap, yaitu remaja awal (usia 11-14 tahun), remaja pertengahan (usia14-17 tahun) dan remaja akhir (usia 17-20 tahun). Periode pertama disebut remaja awal atau early adolescent, terjadi pada usia usia 1214 tahun. Pada masa remaja awal anak-anak terpapar pada perubahan tubuh yang cepat, adanya akselerasi pertumbuhan, dan perubahan komposisi tubuh disertai awal pertumbuhan seks sekunder (Sawyer et al., 2018). Karakteristik periode remaja awal ditandai oleh terjadinya perubahan-perubahan psikologis seperti: Krisis identitas, Jiwa yang labil, Meningkatnya kemampuan verbal untuk ekspresi diri, Pentingnya teman dekat/sahabat, Berkurangnya rasa hormat terhadap orangtua, kadang-kadang berlaku kasar, Menunjukkan kesalahan orangtua, Mencari orang lain yang disayangi selain orangtua, Kecenderungan untuk berlaku kekanak-kanakan, dan Terdapatnya pengaruh teman sebaya (peer group) terhadap hobi dan cara berpakaian Pada fase remaja awal mereka hanya tertarik pada keadaan sekarang, bukan masa depan, sedangkan secara seksual mulai timbul rasa malu, ketertarikan terhadap lawan jenis tetapi masih bermain berkelompok dan mulai bereksperimen dengan tubuh seperti masturbasi. Selanjutnya pada periode remaja awal, anak juga mulai melakukan eksperimen dengan rokok, alkohol, atau narkoba. Peran peer group sangat dominan, mereka berusaha membentuk kelompok, bertingkah laku sama, berpenampilan sama, mempunyai bahasa dan kode atau isyarat yang sama (Kakkad et al., 2014). Periode selanjutnya adalah middle adolescent terjadi antara usia 15-17 tahun, yang ditandai dengan terjadinya perubahan-perubahan sebagai berikut: Mengeluh orangtua terlalu ikut campur dalam kehidupannya, Sangat memperhatikan penampilan, Berusaha untuk mendapat teman baru, Tidak atau kurang menghargai pendapat orangtua, Sering sedih/moody, Mulai menulis buku harian, Sangat memperhatikan kelompok main secara selektif dan kompetitif, dan Mulai mengalami periode sedih karena ingin lepas dari orangtua Pada periode middle adolescent mulai tertarik akan intelektualitas dan karir. Secara seksual sangat memperhatikan penampilan, mulai mempunyai dan sering berganti-ganti pacar. Sangat perhatian terhadap lawan jenis. Sudah mulai mempunyai konsep role model dan mulai konsisten terhadap cita-cita. Periode late adolescent dimulai pada usia 18 tahun ditandai oleh tercapainya maturitas fisik secara sempurna. Perubahan psikososial yang ditemui antara lain: Identitas diri menjadi lebih kuat, Mampu memikirkan ide, Mampu mengekspresikan perasaan dengan katakata, Lebih menghargai orang lain, Lebih konsisten terhadap minatnya, Bangga dengan hasil yang dicapai, Selera humor lebih berkembang, Emosi lebih stabil Pada fase remaja akhir lebih memperhatikan masa depan, termasuk peran yang diinginkan nantinya. Mulai serius dalam berhubungan dengan lawan jenis, dan mulai dapat menerima tradisi dan kebiasaan lingkungan (Batubara, 2016). 2.4. Penyimpangan Sosial Penyimpangan sosial merupakan perilaku yang melanggar norma maupun aturan yang berlaku di masyarakat. Perilaku menyimpang pada remaja terjadi pada masyarakat dikalangan atas maupun dikalangan bawah (Vist, 2016). Masa remaja hendaknya digunakan sebaik mungkin untuk menuntut ilmu dan bersosialisasi pada tempat yang seharusnya agar tercipta kepribadian yang santun dan agamis, namun para remaja telah dipengaruhi oleh budaya asing (westernisasi) sehingga mereka berubah haluan dari kepribadian bangsa timur yang tertutup menjadi budaya barat. Perilaku menyimpang dapat didefinisikan secara berbeda berdasarakan empat sudut pandang (Susanti, 2015): a. Secara statistikal Definisi perilaku menyimpang secara stastikal adalah segala perilaku yang bertolak dari suatu tindakan yang bukan rata-rata atau perilaku yang jarang dan tidak sering dilakukan b. Secara absolut atau mutlak Aturan-aturan dasar dari suatu masyarakat adalah jelas dan anggota-anggotanya harus menyetujui tentang apa yang disebut sebagai meyimpang dan bukan c. Secara reaktif Perilaku menyimpang menurut kaum reaktivis bila berkenaan dengan reaksi masyarakat atau agen kontrol sosial terhadap tindakan yang dilakukan seseorang d. Secara normatif Sudut pandang ini didasarkan atas asumsi bahwa penyimpangan adalah suatu pelanggaran dari suatu norma sosial Bentuk perilaku menyimpang dibagi menjadi empat kelompok besar yaitu: Pertama, delekuensi individual yaitu perilaku menyimpang yang berupa tingkah laku criminal yang merupakan ciri khas kajat yang disebabkan predisposisi dan kecenderungan penyimpangan tingkah laku psikopat, neuritis, dan anti sosial. Penyimpangan perilaku ini dapat diperhebat dengan stimuli sosial yang buruk, teman bergaul yang tidak tepat, dan kondisi kultural yang kurang menguntungkan. Perilaku menyimpang pada tipe ini seringkali bersifat simptomatik karena muncul dengan disertai banyaknya konflik-konflik intra psikis yang bersifat kronis dan disintegrasi. Kedua, delikuensi situasional yaitu bentuk penyimpangan perilaku tipe ini pada umumnya dilakukan oleh anak-anak dalam klasifikasi normal yang banyak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan situasional baik situasi yang berupa stimuli sosial maupun kekuatan tekanan lingkungan teman sebaya yang semuanya memberikan pengaruh yang menekan dan memaksa pada pembentukan perilaku menyimpang. Ketiga, delikuensi sistematik yaitu perbuatan menyimpang dan kriminal pada remaja dapat berkembang menjadi perilaku menyimpang yang disistematisasi dalam bentuk suatu organisasi kelompok sebaya yang berperilaku seragam yaitu dalam melakukan kenakalan atau penyimpangan. Dorongan berperilaku pada kelompok remaja terutama muncul pada saat kelompok remaja ini dalam kondisi tidak sadar atau setengah sadar, karena berbagai sebab dan berada dalam situasi yang tidak terawasi oleh kontrol diri dan kontrol sosial. Keempat delikuensi komulatif yaitu bentuk delikuensi yang merupakan produk dari konflik budaya yang merupakan hasil dari banyak konflik kultural yang kontroversial dalam iklim yang penuh konflik. Perilaku menyimpang tipe ini memiliki ciri utama yaitu: (1) mengandung banyak dimensi ketegangan syaraf, kegelisahan batin, dan keresahan hati pada remaja, yang kemudian disalurkan dan dikompensasikan secara negatif pada tindak kejahatan dan agresif tak terkendali. (2) Merupakan pemberontakan kelompok remaja terhadap kekuasaan dan kewibawaan orang dewasa yang dirasa berlebihan. Untuk dapat menemukan identitas diri lewat perilaku yang melanggar norma sosial dan hukum. (3) Ditemukan adanya bahaya penyimpangan seksual yang disebabkan oleh penundaan usia perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis tercapai dan tidak disertai oleh kontrol diri yang kuat. Hal ini bisa terjadi karena sulitnya lapangan atau sebab-sebab yang lain (Iqbal, 2014). Jenis-jenis penyimpangan sosial remaja yang terjadi antara lain seks bebas, prostitusi, miras dan narkoba dan perjudian. Sosisalisasi yang tidak sempurna juga merupakan suatu pemicu terjadinya penyimpangan sosial pada remaja (Ruiz et al., 2012; Refanthira and Hasanah, 2020). Kemampuan seseorang menyerap nilai agama dan pendidikan dari orangtua juga sangat penting untuk melindungi diri seseorang dari perbuatan yang negatif. Selain itu juga penyimpangan ini juga dilatarbelakangi oleh faktor lingkungan, terutama lingkungan bermain. Seorang remaja akan cenderung terpengaruh teman sepermainanya. Penyebab lain adalah belajar tindakan menyimpang tersebut dari keluarganya sendiri terutama orangtua. Dalam kasus yang ditemukan prostitusi terjadi justru karena dorongan dari orangtua mereka karena keadaan ekonomi yang pas-pasan. Tanpa mengelak dan tanpa berusaha mencari pekerjaan lain akhirnya mereka pun bekerja sebagai PSK (Susanti, 2015; Vist, 2016; Hanımoğlu, 2018). 2.5. Pencegahan Penyimpangan Sosial pada Remaja Beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman bagi orang tua dalam perawatan dan pengasuhan remaja adalah sebagai berikut: Terima remaja sebagai manusia biasa Hargai ide-ide remaja, termasuk kesukaan dan ketidaksukaan serta harapan Biarkan remaja mempelajari sesuatu dengan melakukan, meskipun pilihan dan metodenya berbeda dari orang dewasa Berikan pada remaja batasan-batasan yang jelas dan masuk akal Perjelas aturan rumah dan konsekuensinya untuk pelanggaran Gunakan pertemuan keluarga untuk merundingkan aturan rumah Mungkinkan peningkatan kemandirian dalam batasan keamanan dan kesejahteraan Bersikaplah selalu ada tetapi hindari penekanan terlalu jauh terhadap remaja Hargai privasi remaja Cobalah untuk berbagi perasan remaja tentang senang dan sedih Dengarkan dan cobalah untuk terbuka pada pandangan-pandangan remaja, bahkan ketika mereka tidak setuju dengan pandangan-pandangan orang tua Cobalah untuk memperjelas komunikasi Bantu remaja dalam memilih tujuan karir yang tepat dan menyiapkan untuk peran orang dewasa Berikan kasih sayang tanpa menuntut. Sadari bahwa: Remaja bertujuan untuk mendapatkan kemandirian Remaja sensitif terhadap perasaan dan perilaku yang mempengaruhinya Teman-teman merupakan hal yang sangat penting bagi remaja Remaja mempunyai kebutuhan yang kuat untuk memiliki Remaja memandang segala sesuatu sebagai baik atau buruk Tanggung Jawab petugas kesehatan dalam menyiapkan remaja untuk pemberian prosedur klinis sesuai karakteristik perkembangan: Berikan penjelasan tambahan dengan alasan mengapa prosedur diperlukan atau menguntungkan Jelaskan konsekuensi prosedur jangka panjang Berikan kesempatan anak untuk mengajukan pertanyaan berkaitan dengan rasa takut, pilihan dan alternatif Jaga privasi anak ketika prosedur diberikan Diskusikan bagaimana prosedur dapat mempengaruhi penampilan dan apa yang dapat dilakukan untuk meminimalkannya Libatkan anak dalam pembuatan keputusan dan perencanaan Terima regresi menjadi metode koping yang lebih kekanak-kanakan. Sadari bahwa remaja mungkin mengalami kesulitan dalam menerima gambaran otoritas baru dan dapat menolak melakukan atau menerima prosedur Biarkan remaja bicara dengan remaja lain yang telah mendapat prosedur yang sama BAB III PENUTUP Masa remaja adalah suatu tahap kehidupan yang bersifat peralihan dan tidak mantap. Di samping itu, masa remaja adalah masa yang rawan oleh pengaruh-pengaruh negatif yang berakibat terjadinya penyimpangan sosial oleh remaja. Faktor lingkungan dapat berupa keluarga maupun masyarakat tempat remaja tinggal, termasuk sebaya mempengaruhi terjadinya penyimpangan sosial. Tindakan pencegahan terjadinya penyimpangan sosial dapat dilakukan oleh berbagai utamanya orangtua dan masyarakat termasuk petugas kesehatan. DAFTAR PUSTAKA Batubara, J. R. (2016) ‘Adolescent Development (Perkembangan Remaja)’, Sari Pediatri, 12(1), p. 21. doi: 10.14238/sp12.1.2010.21-9. Hanımoğlu, E. (2018) ‘Deviant Behavior in School Setting’, Journal of Education and Training Studies, 6(10), p. 133. doi: 10.11114/jets.v6i10.3418. Iqbal, M. (2014) ‘PENANGGULANGAN PERILAKU MENYIMPANG (Studi Kasus SMA Negeri 1 Pomalaa Kab. Kolaka Sulawesi Tenggara)’, Lentera Pendidikan : Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, 17(2), pp. 229–242. doi: 10.24252/lp.2014v17n2a6. Kakkad, A. et al. (2014) ‘Study for Adolescent Problem and Psychology’, Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences, 3(37), pp. 9564–9574. doi: 10.14260/jemds/2014/3237. Refanthira, N. and Hasanah, U. (2020) ‘Adolescent Problem in Psychology: A Review of Adolescent Mental Health Studies’, 395(Acpch 2019), pp. 16–20. doi: 10.2991/assehr.k.200120.004. Ruiz, D. M. et al. (2012) ‘Emotional and Social Problems in Adolescents from a Gender Perspective’, The Spanish journal of psychology, 15(3), pp. 1013–1023. doi: 10.5209/rev_sjop.2012.v15.n3.39392. Saputro, K. Z. (2018) ‘Memahami Ciri dan Tugas Perkembangan Masa Remaja’, Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, 17(1), p. 25. doi: 10.14421/aplikasia.v17i1.1362. Sawyer, S. M. et al. (2018) ‘The age of adolescence’, The Lancet Child and Adolescent Health, 2(3), pp. 223–228. doi: 10.1016/S2352-4642(18)30022-1. SUSANTI, I. (2015) ‘Perilaku Menyimpang Dikalangan Remaja Pada Masyarakat Karangmojo Plandaan Jombang’, Paradigma: Jurnal Online Mahasiswa S1 Sosiologi UNESA, 3(2). Taghizadeh Moghaddam, H. et al. (2016) ‘Adolescence health: The needs, problems and attention’, International Journal of Pediatrics, 4(2), pp. 1423–1438. doi: 10.22038/ijp.2016.6569. Vist, N. V. (2016) ‘Psychological and pedagogical conditions for the prevention of deviant behavior among adolescents’, International Journal of Environmental and Science Education, 11(15), pp. 8536–8551. doi: 10.21661/r-116493. WHO (2018) Handout for Module A Introduction. Wulandari, A. (2014) ‘Karakteristik Pertumbuhan Perkembangan Remaja dan Implikasinya Terhadap Masalah Kesehatan dan Keperawatannya’, Jurnal Keperawatan Anak, 2, pp. 39–43. Available at: https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/JKA/article/view/3954.