Uploaded by User87806

DWI MAKALAH PANCASILA BARU

advertisement
MAKALAH
PANCASILA
“Menghindari dan Mengatasi Kegaduhan Politik di Indonesia”
Dosen Pengampu :
Prof.Dr.H.Sutadji.M, Drs, MM
Disusun oleh :
Dwi Eprilia Purnama Putri
P07220119117
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN KELAS C
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN
KALIMANTAN TIMUR
TAHUN AJARAN
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkah serta limpahan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Menghindari dan Mengatasi Kegaduhan Politik di Indonesia”
tepat pada waktunya. Adapun tujuan dibuatnya makalah ini yaitu untuk memenuhi
tugas individu mata kuliah “Pancasila” dan untuk memberikan pengetahuan tentang
cara mengatasi kegaduhan politik yang terjadi di Indonesia.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna dalam hal
penulisan, dan penulis juga menyadari bahwa makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak sumber. Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan kritik juga
saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak. Sehingga pada akhirnya
makalah ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Balikpapan, 29 Oktober 2019
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A.
Latar Belakang ....................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................................. 2
C.
Tujuan Penulisan .................................................................................... 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 3
A.
Kegaduhan .............................................................................................. 3
B.
Peraturan Perundang-Undangan yang Ada di Institusi ..................... 4
C.
Kewajiban Patuh Terhadap Hukum dan Negara ............................... 5
D.
Konsekuensi Terhadap Tindak Kekerasan ......................................... 6
E.
Pencideraan Demokrasi ......................................................................... 8
F.
Indeks Demokrasi ................................................................................... 9
G.
Penurunan Indeks Demokrasi ............................................................. 11
BAB III ................................................................................................................. 13
PENUTUP ............................................................................................................. 13
A.
Kesimpulan ........................................................................................... 13
B.
Saran ...................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang heterogen. Artinya,
masyarakat Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku, budaya, agama, dan
ras. Kegaduhan tentunya sering kali terjadi di berbagai lapisan masyarakat
Indonesia yang bersifat heretogen ini. Gaduh sendiri menurut KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia) adalah rusuh dan gempar karena perkelahian.
Mulai dari adanya kesalahan penafsiran dari suatu kelompok, hingga adanya
perbedaan pendapat yang berujung pada perpecahan. Berbagai macam
penyebab dan alasan tidak bisa dipungkiri lagi menjadikan masyarakat
Indonesia yang awalnya tentram dan damai menjadi gaduh.
Salah satu faktor yang sering sekali menjadi penyebab terjadinya
kegaduhan yaitu dari faktor politik. Politik secara umum adalah sebuah
tahapan untuk membentuk atau membangun posisi-posisi kekuasaan
didalam masyarakat yang berguna sebagai pengambil keputusan-keputusan
yang terkait dengan kondisi masyarakat. Jika terjadi penyimpangan
terhadap pengertian politik itu sendiri, seperti banyaknya perwakilan rakyat
yang menyalahgunakan kekuasaannya hanya untuk kepentingan pribadi dan
untuk kepentingan kelompok, maka otomatis akan terjadi kegaduhan yang
tidak diinginkan tersebut.
Baru-baru ini masyarakat Indonesia sedang dibuat gelisah oleh
peristiwa yang belum lama ini terjadi. Berkat kesalahpahaman yang terjadi
antara perwakilan rakyat dengan masyarakat itu sendiri, masyarakat
khususnya para mahasiswa harus beramai-ramai datang melakukan
demonstrasi guna meluruskan permasalahan yang terjadi. Namun di sisi lain
perwakilan rakyat yang seharusnya menampung aspirasi rakyat, justru
sangat sulit untuk ditemui dan diajak berdiskusi mengenai masalah yang
terjadi. Hal itu tentunya menyulut emosi sebagian mahasiswa yang
berdemonstrasi dan akhirnya menimbulkan kegaduhan baru yang tidak
1
diinginkan. Hal tersebut tentunya harus dihindari, karena kegaduhan dalam
aksi demonstrasi mahasiswa yang sifatnya ricuh serta anarkis ini hanya akan
menimbulkan korban dan tidak akan menyelesaikan masalah yang
seharusnya diselesaikan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kegaduhan?
2. Apa saja peraturan perundang-undangan yang ada di sebuah institusi?
3. Apa itu kepatuhan terhadap aturan dan negara?
4. Apa saja konsekuensi yang didapatkan pelaku tindak kekerasan?
5. Apa itu pencideraan atau penodaan demokrasi?
6. Apa saja indeks demokrasi itu?
7. Bagaimana suatu indeks demokrasi dapat mengalami penurunan?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui tentang yang dimaksud dengan kegaduhan.
2. Mengetahui peraturan perundang-undangan yang ada di suatu institusi.
3. Mengetahui tentang kepatuhan terhadap aturan dan negara.
4. Mengetahui konsekuensi yang didapatkan pelaku tindak kekerasan.
5. Mengetahui tentang pencideraan demokrasi.
6. Mengetahui tentang indeks demokrasi.
7. Mengetahui proses penurunan indeks demokrasi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kegaduhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kegaduhan merupakan
kata benda yang memiliki arti perihal gaduh; kerusuhan; kekacauan;
keributan. Contoh kalimatnya yaitu:
Kegaduhan di desa itu semakin meluas.
Menurut Thesaurus, kegaduhan adalah amuk, huru-hara, kegegeran,
kegemparan, kehebohan, kekacauan, kekalutan, kerecokan, keributan,
sensasi.
Menurut Kamus Global, kegaduhan atau noise adalah gaduh, riuh,
bunyi, suara, bising, keributan.
Jadi, kegaduhan adalah sebuah kata benda yang berhubungan atau
memiliki arti yang sama dengan kerusuhan, keributan, kekacauan, suara
yang bising, serta kehebohan.
Dari berbagai kegaduhan, kegaduhan politik merupakan fenomena
paling menonjol akhir-akhir ini. Menurut Agustinus Wahyono dalam
tulisannya di kompasiana, kegaduhan politik dulu memakai istilah
“keributan politik” dan “kebisingan politik”. Walaupun kata “keributan”
yang dulu diganti dengan kata “kegaduhan”, namun sebenarnya kedua kata
tersebut memiliki arti yang sama. Hanya saja, penggunaan kata
“kegaduhan” memberikan nuansa yang “unik” dan “menggelitik” bagi
masyarakat yang mendengarnya.
Kegaduhan politik tidak pernah berhenti memberikan dampak
negatif pada penyelenggaraan negara dan pembangunan, misalnya di
internal partai politik, antar partai politik, antar koalisi, antar lembaga, antar
pemerintah dan rakyat. Kondisi demikian membuat rakyat merasa lelah
terhadap politik, karena rakyat baik secara tidak langsung maupun langsung
rakyat menjadi korban kegaduhan politik.
3
Tindakan yang diambil rakyat dalam bentuk kemaraham publik
tentunya dapat dilihat secara konstruktif dan destruktif. Dalam pandangan
konstruktif, kemarahan publik bisa dilihat ketika elemen publik begitu sigap
berdiri di depan KPK di saat ada upaya untuk mengganggu atau
mendelegitimasi lembaga itu. Akan tetapi, kemarahan yang benar-benar
destruktif tidak lain adalah tindakan sepihak massa yang secara masif
memicu kekerasan dan konflik sosial saat rakyat merasa tersumbat.
Kegaduhan politik inilah yang benar-benar membuat rakyat penat.
B. Peraturan Perundang-Undangan yang Ada di Institusi
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur
yang
ditetapkan
dalam
Peraturan
Perundang-undangan
(Ristekdikti, 2016).
Peraturan perundang-undangan memiliki hierarki yaitu peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Berikut ini adalah
peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan urutannya dari
yang tinggi ke rendah.
1. UUD 1945
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum dasar dalam
peraturan perundang-undangan.
2. Ketetapan MPR
Ketetapan
MPR
merupakan
bentuk
putusan
Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang berisi hal-hal yang bersifat penetapan.
3. UU/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
Undang-Undang merupakan peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan
bersama Presiden. Sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang yaitu peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
4
Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Materi yang
dimuat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan
materi yang dimuat Undang-Undang.
4. Peraturan Pemerintah
Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang ditetapkan oleh
Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.
Materi muatan Peraturan Pemerintah adalah materi untuk menjalankan
Undang-Undang.
5. Peraturan Presiden
Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden. Materi
muatan Peraturan Presiden adalah materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undang
atau
materi
untuk
melaksanakan
Peraturan
Pemerintah.
6. Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
7. Peraturan Desa
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.
C. Kewajiban Patuh Terhadap Hukum dan Negara
Kewajiban merupakan suatu hal yang harus dilakukan atau
dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan maka akan terdapat sanksi atau
akibat yang buruk atau negatif bagi pelanggarnya. Raymon Waaks
memberikan 3 (tiga) pertanyaan mengenai kewajiban terhadap hukum,
pertanyaan-pertanyaan tersebut yaitu:
1. Mengapa harus patuh pada hukum?
2. Apakah manusia memiliki kekuatan moral untuk mematuhi atau
menyesuaikan terhadap aturan hukum?
3. Apakah manusia mengetahui bahwa hukum itu tidak adil atau hukum
menuntut hal yang irasional?
5
Oleh karena itu, Raymon menyampaikan 4 hal mengenai argumen
dalam kaitannya kewajiban patuh terhadap hukum, yaitu:
1. Fairplay: hukum merupakan suatu sistem politik yang mendasar.
2. Consent: hukum sebagai suatu wujud kontrak sosial dimana masyarakat
yang secara implisit memiliki keharusan untuk patuh pada hukum
karena dianggap telah sepakat terhadap hukum itu sendiri.
3. The common good: kepatuhan terhadap hukum secara bersama-sama
akan menimbulkan kebaikan bagi sesama, namun ketidakpatuhan secara
universal dapat menyebabkan kekacauan.
4. Gratitude: patuh terhadap hukum sebagai suatu wujud rasa terima kasih
pada orang lain, hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang saling
menguntungkan satu sama lainnya (komensalisme) atau merupakan
suatu skema yang adil dari bentuk kerja sama sosial.
Dalam hal ini Indonesia merupakan negara hukum, sehingga warga
negaranya pun juga tidak dapat terlepas dari kewajiban patuh pada hukum.
Dalam konstitusi telah secara eksplisit menegaskan mengenai kewajiban
warga negara untuk patuh terhadap hukum, misalnya kewajiban setiap
warga negara untuk berperan serta dalam membela, mempertahankan
kedaulatan negara. Hal ini memberikan suatu kesimpulan bahwa hukum
merupakan suatu sistem politik pemerintahan yang mendasar dan
diberlakukan serta mengikat terhadap seluruh warga negara Indonesia.
D. Konsekuensi Terhadap Tindak Kekerasan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kekerasan
didefinisikan
sebagai
perbuatan
seseorang
atau
kelompok
yang
meyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabakan kerusakan
fisik atau barang orang lain. Menurut Soerjono Soekanto, kekerasan
(violence) adalah penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang
atau benda. Adapun kekerasan sosial adalah kekerasan yang dilakukan
6
terhadap orang dan barang karena orang dan barang tersebut termasuk
dalam kategori social tertentu.
Kekerasan politik ialah umumnya pada setiap tindakan kekerasan
tersebut dengan suatu klaim legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya
dengan mengatas namakan suatu tujuan politik (revolusi, perlawanan
terhadap penindasan, hak untuk memberontak atau alasan pembunuhan
terhadap raja lalim) walaupun tindakan kekerasan dapat dibenarkan dalam
teori hukum untuk pembelaan diri atau oleh doktrin hukum dalam kasus
perlawanan terhadap penindasan di bawah tirani dalam doktrin hak asasi
manusia (Jean-Francois Malherbe). Konsekuensi yang didapat dari tindak
kekerasan baik dari segi social maupun politik, yaitu hukum pidana.
Kekerasan dalam pemilu juga termasuk ke dalam kekekarasan
politik. Kekerasan dalam pemilu atau kekerasan pemilu, jika mengikuti
istilah yang digunakan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem), adalah tindakan yang menyebabkan cedera atau matinya
seseorang atau rusaknya barang kepemilikan pribadi/publik atau
ancaman/paksaan fisik/pembunuhan yang berkaitan dengan hak politik
warga dalam konteks kepemiluan. Kekerasan pemilu atau election violence
tidak sama dengan pelanggaran pemilu atau election violations, sebab
kekerasan pemilu merupakan kejahatan kriminal sehingga masuk dalam
kategori tindak pidana. Kekerasan pemilu terbagi atas tiga bentuk, antara
lain:
1. Kekerasan fisik, yakni kekerasan yang mengakibatkan seseorang
kehilangan nyawa atau terluka.
2. Perusakan, baik terhadap fasilitas publik maupun properti pribadi.
3. Ancaman, yaitu ancaman kekerasan atau ancaman perusakan.
Pembagian kategori tersebut didasarkan pada Pasal 280 ayat (1)
huruf f dan g Undang-Undang (UU) Pemilu. Aturan itu melarang pelaksana,
peserta, dan tim kampanye untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan
penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat,
7
dan/atau peserta pemilu yang lain, pun melarang merusak dan/atau
menghilangkan alat peraga kampanye (APK) peserta pemilu.
Sanksi atas tindak kekerasan pemilu tertuang dalam Pasal 511 dan
531 UU Pemilu. Pasal 511 memberikan sanksi pidana penjara paling lama
tiga tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah bagi setiap orang yang
dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan, atau dengan menggunakna
kekuasaan yang ada padanya, menghalangi seseorang untuk terdaftar
sebagai pemilih. Sedangkan Pasal 531 menghukum setiap orang yang
dengan sengaja menggunakan kekerasan, dan atau menghalangi seseorang
yang akan melakukan haknya untuk memilih, melakukan kegiatan yang
menimbulkan
gangguan
ketertiban
dan
ketentraman
pelaksanaan
pemungutan suara, atau menggagalkan pemungutan suara, dengan sanksi
pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak 24 juta rupiah.
E. Pencideraan Demokrasi
Konsep negara demokrasi, sebagaimana dicetuskan oleh Abraham
Lincoln adalah negara (pemerintahan) dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat. Konsep demokrasi ini di satu sisi menjadikan pemerintahan yang
berjalan idealnya mengusung ideologi pro-rakyat dan di sisi yang lain
memerlukan adanya partisipasi dari rakyat. Hosch-Dayican (2009)
menyatakan bahwa salah satu karakteristik demokrasi adalah adanya
partisipasi dari rakyat sebagai instrumen utama dalam menjalankan praktik
pemerintahan oleh rakyat.
Tetapi konsep demokrasi ini disalahartikan oleh beberapa pihak
yang tidak bertanggungjawab. Mereka dengan mudahnya berusaha merusak
konsep demokrasi dan mencederai nilai kebangsaan dengan cara
menyebarkan berita-berita yang tidak valid dan hanya berisi kebohongan,
provokatif, dan rentan memecah bangsa ini.
Pencederaan nilai kebangsaan dan konsep demokrasi akhir-akhir ini
semakin merajalela seiring dengan perkembangan teknologi dan internet
8
yang dapat digunakan dengan sangat mudah oleh berbagai kalangan
masyarakat. Laudon (2014) menyatakan bahwa tidak seorangpun yang
memiliki internet. Hal ini menjadi salah satu kerentanan internet dan segala
hal yang berkaitan dengannya (internet of things). Kerentanan ini semakin
terwujud dengan banyaknya berita-berita yang tidak valid dan informasiinformasi provokatif yang banyak tersebar di dunia maya. Para pelaku yang
tidak bertanggungjawab tersebut sadar bahwa karena tidak ada satu
orangpun yang memiliki internet, maka mereka bisa menyebarkan beritaberita dan informasi-informasi tersebut secara masif.
Saat ini masyarakat kita sedang merasakan hidup di negara
demokratis yang pada kenyataannya justru mencederai arti demokratis itu
sendiri. Kebebasan berpendapat yang selama ini dianggap mewakili elemen
demokratis, pada beberapa peristiwa justru menjadi kebebasan berpendapat
yang tidak bertanggungjawab. Hal ini dibuktikan dengan semakin
banyaknya informasi yang beredar melalui sarana teknologi informasi dan
sangat diragukan kebenarannya. Informasi-informasi tersebut cenderung
menyesatkan dan menyudutkan golongan-golongan tertentu sehingga dapat
mencederai nilai-nilai kebangsaan dalam diri masyarakat Indonesia.
F. Indeks Demokrasi
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) adalah indikator komposit yang
menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia. Tingkat
capaiannya diukur berdasarkan pelaksanaan dan perkembangan tiga aspek,
11 variabel, dan 28 indikator demokrasi. Metodologi penghitungan IDI
menggunakan empat sumber data yaitu analisa surat kabar lokal, kajian
dokumen seperti perda dan pergub, diskusi dan dan wawancara mendalam.
Badan Pusat Statistik (BPS) RI merilis Indeks Demokrasi Indonesia
(IDI) tahun 2018. Kepala BPS, Kecuk Suhariyanto mengatakan angka IDI
mengalami peningkatan tipis 0,28 poin dari tahun 2017 menjadi 72,39.
“IDI pada tahun 2018 adalah sebesar 72,39. Kalau kita bandingkan
dengan posisi IDI tahun 2017, berarti tahun 2018 IDI mengalami perbaikan
9
meskipun naiknya hanya sebesar 0,28 tetapi disana menunjukkan adanya
peningkatan,” ungkap Suhariyanto dalam konferensi pers di Kantor BPS.
Suhariyanto menjelaskan, pergerakan IDI diantaranya dipengaruhi
oleh perkembangan tiga aspek yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik dan
lembaga demokrasi. Dari semua itu, hanya aspek lembaga demokrasi yang
mengalami peningkatan signifikan yaitu naik 2,76 poin (dari 72,49 poin
menjadi 75,25 ). Hal ini kata Suhariyanto karena adanya kegiatan kaderisasi
yang intensif dilakukan oleh partai politik peserta pemilu.
Aspek kebebasan sipil mengalami penurunan sebesar 0,29 poin (dari
78,75 menjadi 78,46) sementara aspek hak-hak politik menurun 0,84 poin
(dari 66,63 menjadi 65,79). Dari penurunan tersebut, yang perlu menjadi
perhatian utama adalah aspek kebebasan sipil, karena didalamnya ada
indikasi ancaman atau penggunaan kekerasan. Menurut Suhariyanto, hal ini
terjadi karena pemilu 2019 yang diakuinya cukup panas, sehingga berita
bohong pun merajarela terutama di berbagai daerah.
Selain itu, ada beberapa indikator yang masih menjadi pekerjaan
rumah bagi semua pihak yang masuk dalam kategori buruk (di bawah 60)
yaitu diantaranya keterwakilan perempuan pada anggota DPRD, peran
DPRD dalam memberikan masukan kepada Pemda dan transparansi dari
APDB yang harus dilakukan lebih transparan oleh daerah.
Meskipun ada aspek, variable dan indikator IDI yang masih belum
membaik, Suhariyanto mengatakan dari tahun ke tahun perjalanan
demokrasi di Indonesia membaik. Hal ini terlihat dari skor IDI dari tahun
2009 sampai 2018 yang nilainya selalu berada pada kisaran 60-80 yang
artinya demokrasi Indonesia sejak tahun 2009 sampai dengan 2018 berada
kategori sedang. Ia memaparkan ada fenomena menarik, bahwa antara tahun
2009 sampai dengan tahun 2013 nilai IDI masih berada di bawah angka 70,
tetapi sejak tahun 2014 sampai 2018 angkanya sudah berada di atas 70.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Koordinasi Politik
Dalam Negeri Kemenko Polhukam Wawan Kustiawan menyoroti adanya
peningkatan ancaman kekerasan terhadap masyarakat dalam IDI 2018 ini.
10
Ke depan untuk meminimalisir hal tersebut pihaknya sudah membuat
berbagai regulasi yang salah satunya diatur dalam PP no 2 tahun 2015
tentang penanganan konflik sosial, yang mana kalau itu diikuti oleh Pemda,
SKPD tentunya akan terjadi penurunan.
G. Penurunan Indeks Demokrasi
Pada tahun 2015 Indeks Demokrasi Indonesia mengalami
penurunan.
"IDI level nasional 2015 mencapai 72,82 dalam skala indeks 0
sampai 100. Angka ini relatif tetap dibandingkan dengan IDI 2014 yang
capaiannya sebesar 73,04," ujar Suryamin.
Indikator tersebut menunjukkan tingkat demokrasi di Indonesia
masuk dalam kategori sedang. Penurunan IDI di 2015 dipengaruhi 3 aspek
demokrasi. Pertama ialah turunnya kebebasan sipil sebanyak 2,32 poin dari
82,62 jadi 80,30. Kedua ialah naiknya hak-hak politik sebesar 6,91 poin dari
63,72 jadi 70,63. Ketiga ialah turunnya lembaga-lembaga demokrasi
sebesar 8,94 poin.
Turunnya indikator kebebasan sipil dikarenakan menurunnya
kebebasan berpendapat. Masih ada ancaman atau penggunaan kekerasan
baik dari aparat maupun dari masyarakat yang menghambat kebebasan
berpendapat.
Dari statistik yang dikeluarkan, yang juga patut menjadi perhatian
adalah adanya penurunan pada aspek peran partai politik dari 61,76 jadi
59,09. Selain itu juga menurunnya peran birokrasi pemerintah daerah yang
mengalami penurunan paling drastis dari 99,38 menjadi 53,11.
Deputi Bidang Statistik Sosial BPS, Sairi Hasbullah mengatakan hal
ini disebabkan oleh beberapa hal yang tidak dilakukan dengan baik oleh
DPRD. Inisiatif DPRD dalam membuat perda dan rekomendasi DPRD
kepada eksekutif masih dirasa kurang. Sehingga kedua nilai ini masuk ke
dalam kategori buruk yaitu secara berturut-turut 16,31 dan 14,29.
11
Metodologi penghitungan IDI ini menggunakan 4 sumber data yaitu
review surat kabar lokal, review dokumen (Perda, Pergub, dll), focus group
discussion
dan
wawancara
mendalam.
Pengumpulan
data
IDI
mengkombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Indikator IDI ada
sebanyak 28 poin.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegaduhan adalah sebuah kata benda yang berhubungan atau
memiliki arti yang sama dengan kerusuhan, keributan, kekacauan, suara
yang bising, serta kehebohan. Dari berbagai kegaduhan, kegaduhan politik
merupakan fenomena paling menonjol akhir-akhir ini. Kegaduhan politik
tidak pernah berhenti memberikan dampak negatif pada penyelenggaraan
negara dan pembangunan.
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui
prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Peraturan
Perundang-undangan yang ada di Indonesia, yaitu:
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. UU/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah (Perda)
7. Peraturan Desa
Raymon menyampaikan 4 hal mengenai argumen dalam kaitannya
kewajiban patuh terhadap hukum, yaitu:
1. Fairplay: hukum merupakan suatu sistem politik yang mendasar.
2. Consent: hukum sebagai suatu wujud kontrak sosial dimana masyarakat
yang secara implisit memiliki keharusan untuk patuh pada hukum
karena dianggap telah sepakat terhadap hukum itu sendiri.
13
3. The common good: kepatuhan terhadap hukum secara bersama-sama
akan menimbulkan kebaikan bagi sesama, namun ketidakpatuhan secara
universal dapat menyebabkan kekacauan.
4. Gratitude: patuh terhadap hukum sebagai suatu wujud rasa terima kasih
pada orang lain, hal ini disebabkan karena adanya hubungan yang saling
menguntungkan satu sama lainnya (komensalisme) atau merupakan
suatu skema yang adil dari bentuk kerja sama sosial.
Kekerasan politik ialah umumnya pada setiap tindakan kekerasan
tersebut dengan suatu klaim legitimasi bahwa mereka dapat melakukannya
dengan mengatas namakan suatu tujuan politik. Konsekuensi yang didapat
dari tindak kekerasan baik dari segi social maupun politik, yaitu hukum
pidana.
Saat ini masyarakat kita sedang merasakan hidup di negara
demokratis yang pada kenyataannya justru mencederai arti demokratis itu
sendiri. Kebebasan berpendapat yang selama ini dianggap mewakili elemen
demokratis, pada beberapa peristiwa justru menjadi kebebasan berpendapat
yang tidak bertanggungjawab. Hal ini dibuktikan dengan semakin
banyaknya informasi yang beredar melalui sarana teknologi informasi dan
sangat diragukan kebenarannya. Informasi-informasi tersebut cenderung
menyesatkan dan menyudutkan golongan-golongan tertentu sehingga dapat
mencederai nilai-nilai kebangsaan dalam diri masyarakat Indonesia.
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) adalah indikator komposit yang
menunjukkan tingkat perkembangan demokrasi di Indonesia. Tingkat
capaiannya diukur berdasarkan pelaksanaan dan perkembangan tiga aspek,
11 variabel, dan 28 indikator demokrasi.
Pada tahun 2015 Indeks Demokrasi Indonesia mengalami
penurunan. Indikator tersebut menunjukkan tingkat demokrasi di Indonesia
masuk dalam kategori sedang. Penurunan IDI di 2015 dipengaruhi 3 aspek
demokrasi. Pertama ialah turunnya kebebasan sipil sebanyak 2,32 poin dari
14
82,62 jadi 80,30. Kedua ialah naiknya hak-hak politik sebesar 6,91 poin dari
63,72 jadi 70,63. Ketiga ialah turunnya lembaga-lembaga demokrasi
sebesar 8,94 poin.
B. Saran
Saya selaku penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu kami sangat menerima saran dan kritik dari para
pembaca yang bersifat membangun. Sehingga diharapkan makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi para pembacanya.
15
DAFTAR PUSTAKA
Intan, G. (2019, Juli 29). BPS: Indeks Demokrasi Indonesia 2018 Tergolong
Kategori “Sedang”. Retrieved Oktober 28, 2019, from voaindonesia.com:
https://www.voaindonesia.com/a/bps-indeks-demokrasi-indonesia-2018tergolong-kategori-sedang-/5019765.html
Kadir, S. (2015, April 9). Kegaduhan Politik, Politik Kegaduhan. Retrieved
Oktober 24, 2019, from wordpress.com:
https://akarsejarah.wordpress.com/2015/04/09/kegaduhan-politik-politikkegaduhan/
Parhusip, J. (2015, Desember 5). Kekerasan Politik VS Kekerasan Negara.
Retrieved Oktober 28, 2019, from wordpress.com:
https://jonathanparhusip.wordpress.com/2015/12/05/kekerasan-politik-vskekerasan-negara/
Putranto, A. (2019, Juni 12). Penanaman Nilai Kebangsaan pada Mahasiswa di
Era Teknologi Informasi pada Negara Demokratis. Retrieved Oktober 26,
2019, from kompasiana.com:
https://www.kompasiana.com/ignatius_aryono/5d00b1bfc01a4c32ad5fc3c
4/penanaman-nilai-kebangsaan-pada-mahasiswa-di-era-teknologiinformasi-pada-negara-demokratis?page=all
Rabbani, A. (2017, April 6). Pengertian Kekerasan Menurut Para Ahli. Retrieved
Oktober 28, 2019, from blogspot.com:
https://sosiologi79.blogspot.com/2017/04/pengertian-kekerasan-menurutahli.html
Ramdhani, J. (2016, Agustus 4). Indeks Demokrasi Indonesia Menurun. Retrieved
Oktober 29, 2019, from detik.com:
https://news.detik.com/berita/3268224/indeks-demokrasi-indonesiamenurun
Ristekdikti. (2016). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12
TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN. Retrieved Oktober 24, 2019, from ristekdikti.com:
https://kelembagaan.ristekdikti.go.id/wp-content/uploads/2016/08/UU-12Tahun-2011.pdf
Salabi, A. (2019, Maret 13). Menyoal Kekerasan dalam Pemilu, Apa Sebab dan
Bentuknya? Retrieved Oktober 28, 2019, from rumahpemilu.org:
https://rumahpemilu.org/menyoal-kekerasan-dalam-pemilu-apa-sebabdan-bentuknya/
Setiawan, B. A. (2012, Juni 20). Kewajiban Patuh pada Hukum. Retrieved
Oktober 24, 2019, from blogspot.com:
16
http://bagasandysetiyawan.blogspot.com/2012/06/kewajiban-patuh-padahukum.html
Wahyono, A. (2013, Maret 7). Tulisan Mbeling: Kegaduhan Politik. Retrieved
Oktober 24, 2019, from kompasiana.com:
https://www.kompasiana.com/agustinuswahyono/55291dbbf17e61a8358b
45ba/tulisan-mbeling-kegaduhan-politik
Wikipedia. (2019, Oktober 23). Peraturan Perundang-undangan Indonesia.
Retrieved Oktober 24, 2019, from wikipedia.org:
https://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_perundang-undangan_Indonesia
17
Download