PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KESENIAN TARI JARAN KEPANG (Studi Kasus pada Paguyuban Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari Desa Pringsari Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang) Astri Nugrahenni Mursito B.M. Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta Abstract Over the times, there is a change of meaning in Jaran Kepang Dance. Likewise, which occurred in the village of Pringsari, originally a deviation occurs not in keeping with the essence of the art. The research describe the meaning against Jaran Kepang Dance on Turonggo Mudho Lestari Association, both from the public or the dancer. Theory used is the Herbert Mead symbolic interaction. Symbolic interaction theory basic assumptions include: humans act towards objects based on meaning, (2) the origin of the meaning of the above items arose from social interaction which belonged to a person, (3) such a meaning is treated and modified through a process of interpretation used by human beings in dealing with other objects that he received. The research method used was qualitative case study approach. This research used purposive sampling to determine the informan and used triangulation of source. As for data analysis used Miles-Huberman interactive model. The result of research shows that there is a form of ritual communication on the Jaran Kepang dance performances of Turonggo Mudho Lestari. Jaran Kepang dance symbol present on motion, clothing, and make up, property such as ebeg and offerings, and accompaniment. Jaran Kepang dance presence meant differently. There are societies that are less amenable and some support. As for the members of the Association, Jaran Kepang is meant as a positive activity. Action arose based on the meaning of a person against Jaran Kepang Dance. It gained through social interaction. As the development of associations meaning again Jaran Kepang Dance constantly negotiated and changes. Keywords: ritual communication, symbol, the meaning, Jaran Kepang Dance 1 2 Pendahuluan Kebudayaan Jawa mengenal berbagai simbol, hal ini diwujudkan melalui berbagai bentuk salah satunya seni tari. Tari Jaran Kepang merupakan tari rakyat paling tua di Jawa (Soedarsono, 1992: 89). Salah satu wilayah persebarannya ada di Provinsi Jawa Tengah. Awalnya Jaran Kepang merupakan bagian dari ritus keagamaan. Pada masa itu Jaran Kepang berkembang di tengah masyarakat primitf yang menganut paham animisme dan dinamisme. Seiring perkembangannya kedudukan tari Jaran Kepang di masyarakat mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi menunjukkan bahwa kesenian Jaran Kepang telah memasuki fase baru yaitu beradaptasi dengan selera pasar. Perubahan fungsi ritual ke pertunjukkan hiburan dipahami sebagai akibat perubahan pemahaman dan keyakinan masyarakat. Sehingga perubahan fungsi yang terjadi merupakan upaya mempertahankan dirinya agar tetap hidup, sekalipun dalam perwujudan lain (Kaulam, 2012: 136). Di sisi lain, perubahan pada kesenian Jaran Kepang menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan yang seringkali tidak sesuai dengan esensi kesenian Jaran Kepang. Kuswarsantyo menuturkan dari segi estetik misalnya penyimpangan adegan trance menjadi adegan mabuk menimbulkan konsekuensi serta masalah sosial baru terhadap citra Jaran Kepang (https://ugm.ac.id). Persoalan tersebut sebagaimana yang terjadi di Desa Pringsari, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Awalnya terdapat sekelompok pemuda yang melakukan kegiatan ritual menyimpang selayaknya adegan trance dalam Tari Jaran Kepang. hal itu diikuti dengan kegiatan negatif seperti mabuk-mabukan. Kondisi tersebut menimbulkan kegelisahan di kalangan sesepuh desa. Para sesepuh juga menilai kegiatan ritual yang dilakukan menyimpang dari esensi kesenian Jaran Kepang. Bentuk penyimpangan adegan trance diselingi dengan adegan mabuk dapat menimbulkan pemaknaan negatif dari masyarakat. Berdasarkan kondisi demikian, lalu muncul gagasan untuk membentuk suatu wadah kesenian Jaran Kepang menjadi lebih 3 terarah. Kehadiran Turonggo Mudho Lestari diharapkan dapat menekan kegiatan negatif para pemuda. Di sisi lain selain adanya penyimpangan, adegan trance seringkali menimbulkan pemaknaan yang berbeda terhadap kesenian Jaran Kepang itu sendiri. Sedangkan pada dasarnya kesenian Jaran Kepang memiliki nilai-nilai positif yang disampaikan melalui simbol-simbol di dalamnya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melihat pemaknaan mengenai kesenian Tari Jaran Kepang pada Paguyuban Turonggo Mudho Lestari Desa Pringsari. Rumusan Masalah 1. Bagaimana bentuk komunikasi ritual dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang paguyuban Turonggo Mudho Lestari? 2. Apa saja simbol-simbol yang terdapat dalam Kesenian Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari? 3. Bagaimana pemaknaan masyarakat dan anggota paguyuban terhadap simbol dalam kesenian Tari Jaran Kepang paguyuban Turonggo Mudho Lestari? Tinjauan Pustaka a. Kesenian Sebagai Bentuk Komunikasi Menurut Taylor (1988) dalam Liliweri, seni dipandang sebagai sebuah proses yang melatih ketrampilan, aktivitas manusia untuk menyatakan atau mengkomunikasikan perasaan atau nilai yang dia miliki (Liliweri, 2004: 125). Rohidi menyatakan bahwa komunikasi yang dihasilkan oleh seni adalah munculnya pesona, yaitu suatu kadar perasaan karena tersentuhnya dimensi estetik manusia yang terlibat di dalamnya (Rohidi, 2000: 269). Fungsi komunikasi terutama dapat ditemukan dalam seni musik, seni drama, seni lukis, seni ukir, dan seni tari. Sebagai bagian dari seni, tari merupakan bentuk ekspresi simbolik. Peick menyatakan dance is a form of nonverbal communications, people communicate various message in act of dance (tari merupakan sebuah bentuk 4 komunikasi nonverbal, orang mengkomunikasikan berbagai macam pesan melalui gerak dalam tari) (Peick, 2005: 1). b. Kesenian Tari Jaran Kepang Hughes menyatakan a popular folkdance in Java is Horse dance, (HughesFreeland, 2008: 38). Sedangkan Prakosa (2006) dalam Kuswarsantyo menjabarkan kesenian Jaran Kepang secara spesifik adalah penggambaran gerak tari prajurit penunggang kuda yang menirukan tingkah laku penunggang kuda. Namun kadangkadang juga menirukan gerak kuda itu sendiri. Hentakan-hentakan kaki yang serempak dan ritmis sangat menonjol, sementara tangan terpaku memegang kuda dan sesekali memainkan sampur (Kuswarsantyo, 2013: 44). Tari Jaran Kepang disebut dengan istilah yang berbeda-beda berdasarkan wilayahnya. Perbedaan istilah dari satu wilayah dengan wilayah lain memberikan variasi pada bentuk penyajian serta fungsinya (Kuswarsantyo, 2013: 42). Salamun menyimpulkan, pada umumnya bentuk pertunjukan kesenian kuda memiliki penampilan yang hampir sama di setiap daerah. Perbedaan yang ada di masing-masing daerah ialah bentuk ungkapan gerak atau ragam gerak, kostum, melodi, iringan, bentuk instrumen, demikian juga cara membunyikan instrumen itu sendiri (Salamun, 2012: 133). Perbedaan tersebut juga tidak dapat dipisahkan dengan etnis daerah yang mempengaruhi dimana kesenian tersebut hidup. c. Komunikasi Ritual Dalam perspektif ritual, komunikasi diibaratkan sebagai sebuah ritus, yang dilakukan untuk memelihara kebersamaan dan solidaritas komunitas. Para partisipan dalam komunikasi dilibatkan agar menjadi bagian komunitas yang merasa saling memiliki, menjadi jama’ah dari komunitas tersebut (Hamad, 2006:262). Carey menjelaskan bahwa “A ritual view of communication is directed not toward the extension of messages in space but toward the maintenance of society in time, not the act of imparting information but representation of shared beliefs” (Carey, 5 1989:18). Dalam pandangan ritual komunikasi tidak diarahkan untuk menyebarluaskan pesan melainkan ditujukan untuk memelihara masyarakat dalam suatu waktu, tidak diarahkan untuk memberi informasi melainkan untuk menghadirkan kembali keyakinan bersama. d. Interaksi Simbolik Effendi (1993: 390) menyatakan apabila komunikasi berlangsung dalam tatanan interpersonal tatap muka dialogis timbal balik (face-to face-dialogicalreciprocal) ini dinamakan interaksi simbolik (symbolic interaction). Asumsi dasar teori interaksi simbolik menurut Herbert Mead dalam Suprapto (2002: 140) adalah: (1) Manusia bertindak terhadap benda berdasarkan “arti” yang dimilikinya, (2) Asal muasal arti atas benda-benda tersebut muncul dari interaksi sosial yang dimiliki seseorang, (3) Makna yang demikian ini diperlakukan dan dimodifikasi melalui proses interpretasi yang digunakan manusia dalam berurusan dengan benda-benda lain yang diterimanya. Terdapat tiga konsep penting dalam teori yang dikemukakan Mead ini yaitu masyarakat, diri, dan pikiran. Konsep tersebut berasal dari tindakan sosial. Aspek pertama dari analisis Mead yaitu masyarakat. Masyarakat terdiri atas sebuah jaringan interaksi sosial di mana anggota-anggotanya menempatkan makna bagi tindakan mereka dan tindakan orang lain dengan menggunakan simbol-simbol (Littlejohn & Foss, 2012: 234). Poloma menegaskan bahwa penyampaian makna merupakan subject matter dari analisa interaksi simbolis. Konsep kedua yaitu mengenai diri (self). Poloma menjelaskan, dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain namun secara simbolis juga berinteraksi dengan dirinya sendiri (Poloma, 2003: 257). Diri memiliki dua sisi yang memiliki tugas penting. Pikiran oleh Mead didefinisikan sebagai sebuah proses, yaitu proses percakapan batin seseorang dengan dirinya sendiri (Ritzer dan Douglas, 2013: 385). Pikiran muncul melalui proses sosial dan melekat di dalamnya. 6 Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi kasus. Lokasi penelitian ialah di Desa Peingsari Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang, pada Paguyuban Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari. Teknik pengumpulan dilakukan dengan pengamatan, serta wawancara mandalam. Teknik pengambilan sampel yang dipilih yaitu purposive sample. Adapun sampel dalam peneltian ini meliputi: kepala desa Pringsari, tokoh pendiri paguyuban, pelaku Tari Jaran Kepang Paguyuban Turonggo Mudho Lestari, masyarakat Desa Pringsari yang sering menyaksikan pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari. Terdapat tiga komponen analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Trianggulasi sumber dan metode digunakan sebagai validitas data dalam penelitian ini. Hasil Penelitian 1. Komunikasi ritual dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari Kesenian Tari Jaran Turonggo Mudho Lestari ditempatkan sebagai salah satu bagian dari perayaan di masyarakat seperti acara hajatan, sedekah bumi, bukaan, tutupan, maupun suronan. Sifat komunikasi dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang adalah komunikasi tatap muka.. Sehingga masyarakat yang menonton dapat bertemu secara langsung dan berkumpul. Elemen-elemen komunikasi ritual sebagaimana disebutkan Radford (2005) dalam Hamad (2010: 3) yakni communication (dalam hal ini penyampaian kesenian Tari Jaran Kepang), communion (perayaan), dan common (bersama-sama) ada dalam pertunjukkan Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari. Berikut adalah ciri komunikasi ritual sebagaimana disampaikan oleh Carey (1989) dalam Hamad (2006: 262-2963) yang terdapat pada pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari: 7 a. Komunikasi Sebagai Kegiatan Berbagi, Berpartisipasi, & Bersahabat Carey (1989) dalam Hamad (2006: 262) menyebutkan bahwa komunikasi ritual dikaitkan dengan terminologi-terminologi seperti berbagi (sharing), partisipasi (participation),asosiasi (association), persahabatan (fellowship), memiliki keyakinan yang sama (the possession of common faith).Sebagai bagian dari budaya masyarakat, kesenian Jaran Kepang memiliki kemampuan mengikat dan mempererat persahabatan di masyarakat Pringsari. Dalam kegiatan pertunjukkan Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari masyarakat hadir untuk membangun suasana persahabatan dan kebersamaan. Selain itu melalui kesenian Tari Jaran Kepang masyarakat dapat bersatu. Desa Pringsari semula terpecah-pecah dalam kelompok tertentu. Namun lewat komunikasi yang dibangun melalui kesenian Tari Jaran Kepang masyarakat dapat berkumpul dan berinteraksi, sehingga bisa mengenal satu sama lain. Sepuluh informan yang ditemui peneliti sepakat bahwa melalui kesenian Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari dapat menyatukan masyarakat desa Pringsari. b. Komunikasi untuk Menghadirkan Kepercayaan Bersama “A ritual view of communication is directed not toward the extension of messages in space but toward the maintenance of society in time, not the act of imparting information but representation of shared beliefs” (Carey, 1989:18). Dalam pandangan ritual komunikasi tidak diarahkan untuk menyebarluaskan pesan melainkan ditujukan untuk memelihara masyarakat dalam suatu waktu, tidak diarahkan untuk memberi informasi melainkan untuk menghadirkan kembali keyakinan bersama. Dalam setiap pementasannya Turonggo Mudho Lestari cenderung menekankan aspek pertunjukkan Tari Jaran Kepang dibandingkan muatan pesan yang dibawakannya Meskipun demikian tetap terdapat unsur transmisi pesan yang diutarakan dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang. Melalui pertunjukkannya paguyuban Turonggo Mudho Lestari hendak menyampaikan pesan kepada penonton bahwa kesenian Tari Jaran Kepang memiliki nilai-nilai yang positif. Gerak tari yang dibawakan mengandung ajaran tentang kehidupan manusia. Selain itu melalui lagu 8 dalam pertunjukkan Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari terdapat nasehat tentang ajaran agama Islam. Pesan yang dibawa selalu sama dalam setiap pertunjukkannya. Hal ini dikarenakan pesan tidak diarahkan untuk memberikan informasi, melainkan untuk berbagi mengenai budaya yang sama dalam masyarakat. Tidak semua lagu yang dibawakan berisi tentang nasehat, hal ini dikarenakan komunikasi tidak ditujukan untuk menyampaikan informasi. c. Komunikasi Sebagai Sebuah Kegiatan Sakral Proses komunikasi dalam pandangan ritual diibaratkan dengan upacara suci (sacred ceremony) di mana setiap orang berada dalam suasana persahabatan dan kebersamaan (Hamad, 2006: 262). Sebagaimana pandangan tersebut, Tari Jaran Kepang di masyarakat desa Pringsari hadir dalam berbagai bentuk upacara seperti Sedekah Bumi, Tutupan, Bukaan, maupun Suronan. Kegiatan tersebut bertujuan untuk membangun kebersamaan serta persahabatan di antara anggota masyarakat desa. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa melalui pertunjukkan Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari setiap orang mengambil bagian dalam berkumpul untuk memanjatkan doa. Hal ini sejalan dengan pendapat Radford (2005) dalam Andung (2010: 4) bahwa yang lebih diutamakan adalah soal kebersamaan masyarakat dalam melakukan doa, bernyanyi, dan seremonialnya. d. Penggunaan Bahasa Carey (1992) dalam (Andung, 2010: 5) mengemukakan bahwa penggunaan bahasa dalam komunikasi ritual dilakukan secara artifisial dan simbolik. Hal mana dapat terlihat dalam wujud tarian, permainan, kisah, dan tutur lisan. Komunikasi ritual dalam kesenian Tari Jaran Kepang diwujudkan melalui gerak tari yang dibawakan. Pada Paguyuban Turonggo Mudho Lestari hal ini diwujudkan melalui bentuk tari klasik. Tari klasik memuat berbagai macam simbol yang memiliki makna tentang kehidupan manusia. Semuanya digambarkan dari awal hingga akhir tarian. Sehingga 9 pesan disampaikan secara artifisial atau simbolis melalui gerak tubuh penari Jaran Kepang. Penggunaan bahasa dalam komunikasi ritual tidak disediakan untuk kepentingan informasi tetapi untuk konfirmasi (peneguhan nilai komunitas); tidak untuk mengubah sikap atau pemikiran tapi untuk menggambarkan sesuatu yang dianggap penting oleh komunitas (Hamad, 2006: 262). Dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari hal ini tercermin saat sesepuh paguyuban memberi nasehat kepada penari sebelum pertunjukkan berlangsung. Penggunaan bahasa melalui tuturan lisan disampaikan untuk peneguhan nilai komunitas. Nasehat yang disampaikan sesepuh paguyuban berfungsi untuk menekankan nilai-nilai yang dianggap penting oleh paguyuban Turonggo Mudho Lestari dalam pertunjukkannya. e. Keterlibatan Komunikan Dalam model komunikasi ritual, seperti dalam upacara ritual komunikan diusahakan terlibat dalam drama suci itu, tidak hanya menjadi pengamat atau penonton (Hamad, 2006: 263). Dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari, penonton selaku komunikan ikut dilibatkan secara langsung. Sehingga komunikan tidak hanya menonton pertunjukkan Tari Jaran Kepang, melainkan turut ambil bagian dalam pertunjukkan tersebut. Keterlibatan penonton terjadi pada saat penari mengalami trance atau ndadi. Tahap trance atau ndadi merupakan ciri khas ritual pra sejarah yang masih dipertahankan dalam kesenian Jaran Kepang. f. Pemilihan Simbol Komunikasi Salah satu ciri komunikasi ritual adalah penggunaan simbol yang unik atau khas. Menurut Carey (1992) dalam Andung (2010: 5) simbol-simbol komunikasi yang digunakan tersebut tidak dipilih oleh partisipan, melainkan sudah tersedia sejak turun temurun berdasarkan tradisi budaya yang bersangkutan. 10 Simbol yang digunakan dalam kesenian Tari Jaran Kepang diwujudkan melalui bentuk gerak, kostum dan riasan, properti terdiri dari ebeg, sesaji serta perapian, dan bentuk iringan. Sebagaimana disampaikan oleh Kaulam (2012: 137) bahwa boneka jaranan, penari, perapian, sesaji, trance, dan seluruh prosesi pementasan adalah simbol yang melekat pada kesenian Jaran Kepang. Simbol yang digunakan dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang sudah tersedia secara turun temurun. Meskipun di setiap wilayah memiliki bentuk sajian Tari Jaran Kepang yang berbeda-beda, simbol tersebut tetap ada. Sehingga simbol yang digunakan bukan dipilih oleh partisipan atau anggota paguyuban, melainkan diturunkan secara turun-temurun. 2. Simbol dalam Tari Jaran Kepang Simbol dalam Tari Jaran Kepang tercermin pada unsur gerak, busana dan riasan, properti meliputi ebeg dan sesaji, serta bentuk iringan. Adapun tari yang dipilih yaitu tari klasik. Gerak tari klasik memiliki makna berupa ajaran tentang kehidupan manusia dari lahir hingga menjelang kematian. Hal itu diwujudkan mulai dari babak awalan, tengahan, babak puncak (trance / ndadi), dan penutup. Bentuk busana dan riasan menunjukkan bahwa Tari Jaran Kepang merupakan gambaran dari prajurit berkuda yang hendak pergi berperang. Properti sebagai penunjang meliputi ebeg / ebleg dan sesaji. Ebeg merupakan lambang hewan kuda, dalam kepercayaan masyarakat Jawa kuda memiliki makna simbolis terkait kekuatan fisik yang dimiliki. Sesaji dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari menjadi bentuk manifestasi doa untuk memohon keselamatan. 3. Pemaknaan Simbol dalam Kesenian Tari Jaran Kepang Paguyuban Turonggo Mudho Lestari Keberadaan kesenian Tari Jaran Kepang di masyarakat Desa Pringsari dimaknai secara berbeda-beda. Pemaknaan tersebut berasal dari masyarakat selaku penonton maupun anggota paguyuban. 11 a. Pemaknaan oleh Masyarakat Terkait dengan keberadaan kesenian Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari ada masyarakat yang kurang setuju dan ada yang mendukung. Bagi masyarakat desa Pringsari yang kurang setuju dengan keberadaan kesenian Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari karena kesenian ini dinilai tidak sesuai dengan syariat agama Islam. Mereka memaknai kesenian tersebut merupakan bentuk nguri-uri (memelihara) setan. Adapun simbol dalam Tari Jaran Kepang yang menyebabkan munculnya makna tersebut adalah adegan trance dan sesaji. Sedangkan bagi masyarakat yang mendukung, kesenian Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari dimaknai sebagai suatu kegiatan yang positif. Adapun simbol dalam pertunjukkan Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari yang dimaknai positif oleh masyarakat yang mendukung seperti lagu yang dibawakan, dan penghormatan terhadap adzan meskipun saat adegan trance berlangsung. Makna dari Tari Jaran Kepang terus mengalami proses negosiasi di masyarakat. b. Pemaknaan oleh Anggota Tindakan seseorang dipengaruhi oleh makna yang dimiliki. Demikian juga yang dialami oleh anggota paguyuban. Bagi anggota Tari Jaran Kepang paguyuban Turonggo Mudho Lestari dimaknai sebagai suatu bentuk kegiatan yang positif. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat praktek komunikasi ritual pada pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari. Simbol Tari Jaran Kepang terdapat pada gerak, busana dan riasan, properti seperti ebeg serta sesaji, dan iringan musik. Keberadaan kesenian Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari dimaknai secara berbeda-beda. Ada masyarakat yang kurang setuju dan ada yang mendukung. Sedangkan bagi anggota paguyuban Tari Jaran Kepang dimaknai sebagai kegiatan yang positif. Tindakan tersebut muncul berdasarkan makna seseorang terhadap Tari Jaran Kepang. Hal itu diperoleh melalui interaksi sosial. Seiring perkembangan 12 paguyuban, makna terhadap Tari Jaran Kepang terus-menerus dinegosiasikan dan mengalami perubahan. Saran Penelitian mengenai Pemaknaan Simbol dalam Kesenian Tari Jaran Kepang terbatas pada sudut pandang komunikasi ritual dan pemaknaan dari pihak-pihak yang berinteraksi dengan kesenian tersebut. Mungkin untuk penelitian selanjutnya bisa menggali informasi yang lebih luas terkait dengan peran kesenian sebagai media komunikasi tradisional di masyarakat. Daftar Pustaka Abdullah, Taufik. (1981). Disekitar Komunikasi Ilmu dan Seni. Analisis Kebudayaan. 2:8-12. Ahmadi, Dadi. (2008). “Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar”. Jurnal Mediator. Vol. 9 No. 2. Andung, Petrus Ana.( 2010). Perspektif Komunikasi Ritual Mengenai Pemanfaatan Natoni Sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Masyarakat Adat Boti Dalam di Kabupaten Timr Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 8 No 1, Januari-april 2010. Carey, James. (1989). A Cultural Approach to Communication. Boston: Unwin Hyman. Creswell, John W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Effendi, Onong Uchajana. (1993). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti). Fajar, Marhaeni. (2009). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Fisher, B. Aubrey. (1986). Teori-teori Komunikasi. Bandung: CV Remadja Karya. Fitrianto, Andri. (2013). “Perubahan Makna dan Fungsi Reog Banjarharjo dalam Kehidupan Masyarakat”. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Fitriasari, Paramitha Dyah. (2009). Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: TICI Publications. Gumilar, Gumgum. (2008). “Makna Komunikasi Simbolik di Kalangan Pengguna Tato Kota Bandung”. Jurnal Mediator. Vol. 9 No.1. Hadi, Sumandibyo. (2005). Sosiologi Tari Sebuah Telaah Kritis yang Mengulas Tari dari zaman ke zaman: primitive, tradisional, modern, hingga Kontemporer. Yogyakarta: PUSTAKA. 13 . (2006). Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Pustaka. Hamad, Ibnu. (2005). “Komunikasi sebagai Wacana”. Jurnal Mediatoe Vol. 7 No. 3. Hughes-Freeland, Felicia. (2008).”Becoming a Puppet: Javanese Dance as Spiritual Art”. Journal of Religion and Theatre. Vol.7 No.1 , Felicia. (2009). Komunitas yang Mewujud Tari dan Perubahan di Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Humardani. (1983). Kumpulan Kertas tentang Tari. Surakarta: STSI Press. Kaulam, Salamun. (2012). “Simbolisme dalam Kesenian Jaranan”. Jurnal Seni Rupa. Vol.1 No.2 hal: 107-213. Kayam, Umar. (1981). Seni, Tradisi, dan Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan. Kusmayati, A.M Hermien. (2014). Fungsi Seni Pertunjukkan Bagi Pembangunan Moral Bangsa. Diakses melalui alamat website: kemdikbud.go.id pada tanggal 13 April 2016. Kuswarsantyo. (2013). “Seni Jathilan: Bentuk, Fungsi dan Perkembangannya (19862013)”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. Liliweri, Alo. (2004). Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Littlejohn, Stephen W, & Karen A. Foss. (2012). Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba Humanika. Minarto, Soerjo Wido. (2007). “Jaran Kepang dalam Tinjauan Interaksi Sosial pada Upacara Ritual Bersih Desa”. Jurnal Bahasa dan Seni. Tahun 35 No. 1. Morrisan. (2013). Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Prenadamedia Group. Mulyana, Deddy. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Mursito. (2010). “Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa”. Jurnal Komunikasi Massa. Vol.3 hal: 123-130. Negoro, Suryo S., (2001). Upacara Tradisional dan Ritual Jawa. Surakarta: Buana Jaya. Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara. Peick, Melissa. (2005). “Dance as Communication: Messages Sent and Received Through Dance”. Journal of Undergraduate Research VIII. Poloma, Margaret M. (2003). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Rahayu, Nuryani Tri. (2010). “Teori Interaksi Simbolik dalam Kajian Komunikasi. Majalah Ilmiah Widyatama Vol. 19 No. 1. Ritzer, George, dan Douglas J.Goodman. (2013). Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Rohidi, Tjetjep Rohendi. (2000). Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan. Bandung: Penerbit Nuansa. Samovar, Larry A dkk. (2014). Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba Humanika. 14 Sobur, Alex. (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Soedarsono. 1992. Pengantar Apresiasi Seni. Jakarta: Balai Pustaka Sugiyono. (2014). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta. Suprapto, Riyadi. (2002). Interaksi Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern. Malang: Avverrous Press bekerjasama dengan penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Suryani, Sisca Dwi. (2014). “Tayub as a Symbolic Interaction Medium in Sedekah Bumi Ritual in Pati Regency”. Jurnal of Arts Research and Education. Vol. 14 No. 2 page 97-106. Susanto, Astrid S. (1985). Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Binacipta. Sutopo, H.B., (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret University Press. Tim Humas UGM. (2014). Industri Pariwisata Memacu Kualitas dan Kuantitas Kesenian Jathilan. Diakses melalui alamat website https://ugm.ac.id pada tanggal 22 September 2016. 15 JURNAL PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KESENIAN TARI JARAN KEPANG (Studi Kasus pada Paguyuban Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari Desa Pringsari Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang) Oleh: Astri Nugrahenni (D0212022) PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2017 1 2