JURNAL astri 2017

advertisement
PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KESENIAN TARI JARAN KEPANG
(Studi Kasus pada Paguyuban Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari Desa
Pringsari Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)
Astri Nugrahenni
Mursito B.M.
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract
Over the times, there is a change of meaning in Jaran Kepang Dance. Likewise,
which occurred in the village of Pringsari, originally a deviation occurs not in keeping
with the essence of the art. The research describe the meaning against Jaran Kepang
Dance on Turonggo Mudho Lestari Association, both from the public or the dancer.
Theory used is the Herbert Mead symbolic interaction. Symbolic
interaction theory basic assumptions include: humans act towards objects based
on meaning, (2) the origin of the meaning of the above items arose from social
interaction which belonged to a person, (3) such a meaning is treated and
modified through a process of interpretation used by human beings in dealing
with other objects that he received.
The research method used was qualitative case study approach. This research
used purposive sampling to determine the informan and used triangulation of source.
As for data analysis used Miles-Huberman interactive model.
The result of research shows that there is a form of ritual communication on
the Jaran Kepang dance performances of Turonggo Mudho Lestari. Jaran Kepang
dance symbol present on motion, clothing, and make up, property such as ebeg and
offerings, and accompaniment. Jaran Kepang dance presence meant differently. There
are societies that are less amenable and some support. As for the members of the
Association, Jaran Kepang is meant as a positive activity. Action arose based on the
meaning of a person against Jaran Kepang Dance. It gained through social
interaction. As the development of associations meaning again Jaran Kepang Dance
constantly negotiated and changes.
Keywords: ritual communication, symbol, the meaning, Jaran Kepang Dance
1
2
Pendahuluan
Kebudayaan Jawa mengenal berbagai simbol, hal ini diwujudkan melalui
berbagai bentuk salah satunya seni tari. Tari Jaran Kepang merupakan tari rakyat paling
tua di Jawa (Soedarsono, 1992: 89). Salah satu wilayah persebarannya ada di Provinsi
Jawa Tengah. Awalnya Jaran Kepang merupakan bagian dari ritus keagamaan. Pada
masa itu Jaran Kepang berkembang di tengah masyarakat primitf yang menganut
paham animisme dan dinamisme.
Seiring perkembangannya kedudukan tari Jaran Kepang di masyarakat
mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi menunjukkan bahwa kesenian Jaran
Kepang telah memasuki fase baru yaitu beradaptasi dengan selera pasar. Perubahan
fungsi ritual ke pertunjukkan hiburan dipahami sebagai akibat perubahan pemahaman
dan keyakinan masyarakat. Sehingga perubahan fungsi yang terjadi merupakan upaya
mempertahankan dirinya agar tetap hidup, sekalipun dalam perwujudan lain (Kaulam,
2012: 136).
Di sisi lain, perubahan pada kesenian Jaran Kepang menyebabkan timbulnya
berbagai permasalahan yang seringkali tidak sesuai dengan esensi kesenian Jaran
Kepang. Kuswarsantyo menuturkan dari segi estetik misalnya penyimpangan adegan
trance menjadi adegan mabuk menimbulkan konsekuensi serta masalah sosial baru
terhadap citra Jaran Kepang (https://ugm.ac.id).
Persoalan tersebut sebagaimana yang terjadi di Desa Pringsari, Kecamatan
Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Awalnya terdapat sekelompok pemuda
yang melakukan kegiatan ritual menyimpang selayaknya adegan trance dalam Tari
Jaran Kepang. hal itu diikuti dengan kegiatan negatif seperti mabuk-mabukan. Kondisi
tersebut menimbulkan kegelisahan di kalangan sesepuh desa. Para sesepuh juga
menilai kegiatan ritual yang dilakukan menyimpang dari esensi kesenian Jaran Kepang.
Bentuk penyimpangan adegan trance diselingi dengan adegan mabuk dapat
menimbulkan pemaknaan negatif dari masyarakat. Berdasarkan kondisi demikian, lalu
muncul gagasan untuk membentuk suatu wadah kesenian Jaran Kepang menjadi lebih
3
terarah. Kehadiran Turonggo Mudho Lestari diharapkan dapat menekan kegiatan
negatif para pemuda.
Di sisi lain selain adanya penyimpangan, adegan trance seringkali
menimbulkan pemaknaan yang berbeda terhadap kesenian Jaran Kepang itu sendiri.
Sedangkan pada dasarnya kesenian Jaran Kepang memiliki nilai-nilai positif yang
disampaikan melalui simbol-simbol di dalamnya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk
melihat pemaknaan mengenai kesenian Tari Jaran Kepang pada Paguyuban Turonggo
Mudho Lestari Desa Pringsari.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana bentuk komunikasi ritual dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang
paguyuban Turonggo Mudho Lestari?
2. Apa saja simbol-simbol yang terdapat dalam Kesenian Tari Jaran Kepang
Turonggo Mudho Lestari?
3. Bagaimana pemaknaan masyarakat dan anggota paguyuban terhadap simbol
dalam kesenian Tari Jaran Kepang paguyuban Turonggo Mudho Lestari?
Tinjauan Pustaka
a. Kesenian Sebagai Bentuk Komunikasi
Menurut Taylor (1988) dalam Liliweri, seni dipandang sebagai sebuah proses
yang
melatih
ketrampilan,
aktivitas
manusia
untuk
menyatakan
atau
mengkomunikasikan perasaan atau nilai yang dia miliki (Liliweri, 2004: 125). Rohidi
menyatakan bahwa komunikasi yang dihasilkan oleh seni adalah munculnya pesona,
yaitu suatu kadar perasaan karena tersentuhnya dimensi estetik manusia yang terlibat
di dalamnya (Rohidi, 2000: 269).
Fungsi komunikasi terutama dapat ditemukan dalam seni musik, seni drama,
seni lukis, seni ukir, dan seni tari. Sebagai bagian dari seni, tari merupakan bentuk
ekspresi simbolik. Peick menyatakan dance is a form of nonverbal communications,
people communicate various message in act of dance (tari merupakan sebuah bentuk
4
komunikasi nonverbal, orang mengkomunikasikan berbagai macam pesan melalui
gerak dalam tari) (Peick, 2005: 1).
b. Kesenian Tari Jaran Kepang
Hughes menyatakan a popular folkdance in Java is Horse dance, (HughesFreeland, 2008: 38). Sedangkan Prakosa (2006) dalam Kuswarsantyo menjabarkan
kesenian Jaran Kepang secara spesifik adalah penggambaran gerak tari prajurit
penunggang kuda yang menirukan tingkah laku penunggang kuda. Namun kadangkadang juga menirukan gerak kuda itu sendiri. Hentakan-hentakan kaki yang serempak
dan ritmis sangat menonjol, sementara tangan terpaku memegang kuda dan sesekali
memainkan sampur (Kuswarsantyo, 2013: 44).
Tari Jaran Kepang disebut dengan istilah yang berbeda-beda berdasarkan
wilayahnya. Perbedaan istilah dari satu wilayah dengan wilayah lain memberikan
variasi pada bentuk penyajian serta fungsinya (Kuswarsantyo, 2013: 42). Salamun
menyimpulkan, pada umumnya bentuk pertunjukan kesenian kuda memiliki
penampilan yang hampir sama di setiap daerah. Perbedaan yang ada di masing-masing
daerah ialah bentuk ungkapan gerak atau ragam gerak, kostum, melodi, iringan, bentuk
instrumen, demikian juga cara membunyikan instrumen itu sendiri (Salamun, 2012:
133). Perbedaan tersebut juga tidak dapat dipisahkan dengan etnis daerah yang
mempengaruhi dimana kesenian tersebut hidup.
c. Komunikasi Ritual
Dalam perspektif ritual, komunikasi diibaratkan sebagai sebuah ritus, yang
dilakukan untuk memelihara kebersamaan dan solidaritas komunitas. Para partisipan
dalam komunikasi dilibatkan agar menjadi bagian komunitas yang merasa saling
memiliki, menjadi jama’ah dari komunitas tersebut (Hamad, 2006:262).
Carey menjelaskan bahwa “A ritual view of communication is directed not
toward the extension of messages in space but toward the maintenance of society in
time, not the act of imparting information but representation of shared beliefs” (Carey,
5
1989:18). Dalam pandangan ritual komunikasi tidak diarahkan untuk menyebarluaskan
pesan melainkan ditujukan untuk memelihara masyarakat dalam suatu waktu, tidak
diarahkan untuk memberi informasi melainkan untuk menghadirkan kembali
keyakinan bersama.
d. Interaksi Simbolik
Effendi (1993: 390) menyatakan apabila komunikasi berlangsung dalam
tatanan interpersonal tatap muka dialogis timbal balik (face-to face-dialogicalreciprocal) ini dinamakan interaksi simbolik (symbolic interaction). Asumsi dasar teori
interaksi simbolik menurut Herbert Mead dalam Suprapto (2002: 140) adalah: (1)
Manusia bertindak terhadap benda berdasarkan “arti” yang dimilikinya, (2) Asal
muasal arti atas benda-benda tersebut muncul dari interaksi sosial yang dimiliki
seseorang, (3) Makna yang demikian ini diperlakukan dan dimodifikasi melalui proses
interpretasi yang digunakan manusia dalam berurusan dengan benda-benda lain yang
diterimanya.
Terdapat tiga konsep penting dalam teori yang dikemukakan Mead ini yaitu
masyarakat, diri, dan pikiran. Konsep tersebut berasal dari tindakan sosial. Aspek
pertama dari analisis Mead yaitu masyarakat. Masyarakat terdiri atas sebuah jaringan
interaksi sosial di mana anggota-anggotanya menempatkan makna bagi tindakan
mereka dan tindakan orang lain dengan menggunakan simbol-simbol (Littlejohn &
Foss, 2012: 234). Poloma menegaskan bahwa penyampaian makna merupakan subject
matter dari analisa interaksi simbolis. Konsep kedua yaitu mengenai diri (self). Poloma
menjelaskan, dengan demikian orang tidak hanya berinteraksi dengan orang lain
namun secara simbolis juga berinteraksi dengan dirinya sendiri (Poloma, 2003: 257).
Diri memiliki dua sisi yang memiliki tugas penting. Pikiran oleh Mead didefinisikan
sebagai sebuah proses, yaitu proses percakapan batin seseorang dengan dirinya sendiri
(Ritzer dan Douglas, 2013: 385). Pikiran muncul melalui proses sosial dan melekat di
dalamnya.
6
Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan pendekatan studi
kasus. Lokasi penelitian ialah di Desa Peingsari Kecamatan Pringapus Kabupaten
Semarang, pada Paguyuban Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari. Teknik
pengumpulan dilakukan dengan pengamatan, serta wawancara mandalam. Teknik
pengambilan sampel yang dipilih yaitu purposive sample. Adapun sampel dalam
peneltian ini meliputi: kepala desa Pringsari, tokoh pendiri paguyuban, pelaku Tari
Jaran Kepang Paguyuban Turonggo Mudho Lestari, masyarakat Desa Pringsari yang
sering menyaksikan pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari.
Terdapat tiga komponen analisis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan. Trianggulasi sumber dan metode
digunakan sebagai validitas data dalam penelitian ini.
Hasil Penelitian
1. Komunikasi ritual dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo
Mudho Lestari
Kesenian Tari Jaran Turonggo Mudho Lestari ditempatkan sebagai salah satu
bagian dari perayaan di masyarakat seperti acara hajatan, sedekah bumi, bukaan,
tutupan, maupun suronan. Sifat komunikasi dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang
adalah komunikasi tatap muka.. Sehingga masyarakat yang menonton dapat bertemu
secara langsung dan berkumpul. Elemen-elemen komunikasi ritual sebagaimana
disebutkan Radford (2005) dalam Hamad (2010: 3) yakni communication (dalam hal
ini penyampaian kesenian Tari Jaran Kepang), communion (perayaan), dan common
(bersama-sama) ada dalam pertunjukkan Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari.
Berikut adalah ciri komunikasi ritual sebagaimana disampaikan oleh Carey (1989)
dalam Hamad (2006: 262-2963) yang terdapat pada pertunjukkan Tari Jaran Kepang
Turonggo Mudho Lestari:
7
a.
Komunikasi Sebagai Kegiatan Berbagi, Berpartisipasi, & Bersahabat
Carey (1989) dalam Hamad (2006: 262) menyebutkan bahwa komunikasi ritual
dikaitkan dengan terminologi-terminologi seperti berbagi (sharing), partisipasi
(participation),asosiasi (association), persahabatan (fellowship), memiliki keyakinan
yang sama (the possession of common faith).Sebagai bagian dari budaya masyarakat,
kesenian Jaran Kepang memiliki kemampuan mengikat dan mempererat persahabatan
di masyarakat Pringsari. Dalam kegiatan pertunjukkan Jaran Kepang Turonggo Mudho
Lestari masyarakat hadir untuk membangun suasana persahabatan dan kebersamaan.
Selain itu melalui kesenian Tari Jaran Kepang masyarakat dapat bersatu. Desa
Pringsari semula terpecah-pecah dalam kelompok tertentu. Namun lewat komunikasi
yang dibangun melalui kesenian Tari Jaran Kepang masyarakat dapat berkumpul dan
berinteraksi, sehingga bisa mengenal satu sama lain. Sepuluh informan yang ditemui
peneliti sepakat bahwa melalui kesenian Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari
dapat menyatukan masyarakat desa Pringsari.
b. Komunikasi untuk Menghadirkan Kepercayaan Bersama
“A ritual view of communication is directed not toward the extension of
messages in space but toward the maintenance of society in time, not the act of
imparting information but representation of shared beliefs” (Carey, 1989:18). Dalam
pandangan ritual komunikasi tidak diarahkan untuk menyebarluaskan pesan melainkan
ditujukan untuk memelihara masyarakat dalam suatu waktu, tidak diarahkan untuk
memberi informasi melainkan untuk menghadirkan kembali keyakinan bersama.
Dalam setiap pementasannya Turonggo Mudho Lestari cenderung
menekankan aspek pertunjukkan Tari Jaran Kepang dibandingkan muatan pesan yang
dibawakannya Meskipun demikian tetap terdapat unsur transmisi pesan yang
diutarakan dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang. Melalui pertunjukkannya
paguyuban Turonggo Mudho Lestari hendak menyampaikan pesan kepada penonton
bahwa kesenian Tari Jaran Kepang memiliki nilai-nilai yang positif. Gerak tari yang
dibawakan mengandung ajaran tentang kehidupan manusia. Selain itu melalui lagu
8
dalam pertunjukkan Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari terdapat nasehat tentang
ajaran agama Islam.
Pesan yang dibawa selalu sama dalam setiap pertunjukkannya. Hal ini
dikarenakan pesan tidak diarahkan untuk memberikan informasi, melainkan untuk
berbagi mengenai budaya yang sama dalam masyarakat. Tidak semua lagu yang
dibawakan berisi tentang nasehat, hal ini dikarenakan komunikasi tidak ditujukan
untuk menyampaikan informasi.
c. Komunikasi Sebagai Sebuah Kegiatan Sakral
Proses komunikasi dalam pandangan ritual diibaratkan dengan upacara suci
(sacred ceremony) di mana setiap orang berada dalam suasana persahabatan dan
kebersamaan (Hamad, 2006: 262). Sebagaimana pandangan tersebut, Tari Jaran
Kepang di masyarakat desa Pringsari hadir dalam berbagai bentuk upacara seperti
Sedekah Bumi, Tutupan, Bukaan, maupun Suronan. Kegiatan tersebut bertujuan untuk
membangun kebersamaan serta persahabatan di antara anggota masyarakat desa.
Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa melalui pertunjukkan Jaran Kepang
Turonggo Mudho Lestari setiap orang mengambil bagian dalam berkumpul untuk
memanjatkan doa. Hal ini sejalan dengan pendapat Radford (2005) dalam Andung
(2010: 4) bahwa yang lebih diutamakan adalah soal kebersamaan masyarakat dalam
melakukan doa, bernyanyi, dan seremonialnya.
d. Penggunaan Bahasa
Carey (1992) dalam (Andung, 2010: 5) mengemukakan bahwa penggunaan
bahasa dalam komunikasi ritual dilakukan secara artifisial dan simbolik. Hal mana
dapat terlihat dalam wujud tarian, permainan, kisah, dan tutur lisan. Komunikasi ritual
dalam kesenian Tari Jaran Kepang diwujudkan melalui gerak tari yang dibawakan.
Pada Paguyuban Turonggo Mudho Lestari hal ini diwujudkan melalui bentuk tari
klasik. Tari klasik memuat berbagai macam simbol yang memiliki makna tentang
kehidupan manusia. Semuanya digambarkan dari awal hingga akhir tarian. Sehingga
9
pesan disampaikan secara artifisial atau simbolis melalui gerak tubuh penari Jaran
Kepang.
Penggunaan bahasa dalam komunikasi ritual tidak disediakan untuk
kepentingan informasi tetapi untuk konfirmasi (peneguhan nilai komunitas); tidak
untuk mengubah sikap atau pemikiran tapi untuk menggambarkan sesuatu yang
dianggap penting oleh komunitas (Hamad, 2006: 262). Dalam pertunjukkan Tari Jaran
Kepang Turonggo Mudho Lestari hal ini tercermin saat sesepuh paguyuban memberi
nasehat kepada penari sebelum pertunjukkan berlangsung. Penggunaan bahasa melalui
tuturan lisan disampaikan untuk peneguhan nilai komunitas. Nasehat yang
disampaikan sesepuh paguyuban berfungsi untuk menekankan nilai-nilai yang
dianggap penting oleh paguyuban Turonggo Mudho Lestari dalam pertunjukkannya.
e. Keterlibatan Komunikan
Dalam model komunikasi ritual, seperti dalam upacara ritual komunikan
diusahakan terlibat dalam drama suci itu, tidak hanya menjadi pengamat atau penonton
(Hamad, 2006: 263). Dalam pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari,
penonton selaku komunikan ikut dilibatkan secara langsung. Sehingga komunikan
tidak hanya menonton pertunjukkan Tari Jaran Kepang, melainkan turut ambil bagian
dalam pertunjukkan tersebut.
Keterlibatan penonton terjadi pada saat penari mengalami trance atau ndadi.
Tahap trance atau ndadi merupakan ciri khas ritual pra sejarah yang masih
dipertahankan dalam kesenian Jaran Kepang.
f. Pemilihan Simbol Komunikasi
Salah satu ciri komunikasi ritual adalah penggunaan simbol yang unik atau
khas. Menurut Carey (1992) dalam Andung (2010: 5) simbol-simbol komunikasi yang
digunakan tersebut tidak dipilih oleh partisipan, melainkan sudah tersedia sejak turun
temurun berdasarkan tradisi budaya yang bersangkutan.
10
Simbol yang digunakan dalam kesenian Tari Jaran Kepang diwujudkan melalui
bentuk gerak, kostum dan riasan, properti terdiri dari ebeg, sesaji serta perapian, dan
bentuk iringan. Sebagaimana disampaikan oleh Kaulam (2012: 137) bahwa boneka
jaranan, penari, perapian, sesaji, trance, dan seluruh prosesi pementasan adalah simbol
yang melekat pada kesenian Jaran Kepang. Simbol yang digunakan dalam
pertunjukkan Tari Jaran Kepang sudah tersedia secara turun temurun. Meskipun di
setiap wilayah memiliki bentuk sajian Tari Jaran Kepang yang berbeda-beda, simbol
tersebut tetap ada. Sehingga simbol yang digunakan bukan dipilih oleh partisipan atau
anggota paguyuban, melainkan diturunkan secara turun-temurun.
2. Simbol dalam Tari Jaran Kepang
Simbol dalam Tari Jaran Kepang tercermin pada unsur gerak, busana dan riasan,
properti meliputi ebeg dan sesaji, serta bentuk iringan. Adapun tari yang dipilih yaitu
tari klasik. Gerak tari klasik memiliki makna berupa ajaran tentang kehidupan manusia
dari lahir hingga menjelang kematian. Hal itu diwujudkan mulai dari babak awalan,
tengahan, babak puncak (trance / ndadi), dan penutup. Bentuk busana dan riasan
menunjukkan bahwa Tari Jaran Kepang merupakan gambaran dari prajurit berkuda
yang hendak pergi berperang. Properti sebagai penunjang meliputi ebeg / ebleg dan
sesaji. Ebeg merupakan lambang hewan kuda, dalam kepercayaan masyarakat Jawa
kuda memiliki makna simbolis terkait kekuatan fisik yang dimiliki. Sesaji dalam
pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari menjadi bentuk manifestasi
doa untuk memohon keselamatan.
3. Pemaknaan Simbol dalam Kesenian Tari Jaran Kepang Paguyuban
Turonggo Mudho Lestari
Keberadaan kesenian Tari Jaran Kepang di masyarakat Desa Pringsari
dimaknai secara berbeda-beda. Pemaknaan tersebut berasal dari masyarakat selaku
penonton maupun anggota paguyuban.
11
a. Pemaknaan oleh Masyarakat
Terkait dengan keberadaan kesenian Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho
Lestari ada masyarakat yang kurang setuju dan ada yang mendukung. Bagi masyarakat
desa Pringsari yang kurang setuju dengan keberadaan kesenian Tari Jaran Kepang
Turonggo Mudho Lestari karena kesenian ini dinilai tidak sesuai dengan syariat agama
Islam. Mereka memaknai kesenian tersebut merupakan bentuk nguri-uri (memelihara)
setan. Adapun simbol dalam Tari Jaran Kepang yang menyebabkan munculnya makna
tersebut adalah adegan trance dan sesaji.
Sedangkan bagi masyarakat yang mendukung, kesenian Tari Jaran Kepang
Turonggo Mudho Lestari dimaknai sebagai suatu kegiatan yang positif. Adapun simbol
dalam pertunjukkan Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari yang dimaknai positif oleh
masyarakat yang mendukung seperti lagu yang dibawakan, dan penghormatan terhadap
adzan meskipun saat adegan trance berlangsung. Makna dari Tari Jaran Kepang terus
mengalami proses negosiasi di masyarakat.
b. Pemaknaan oleh Anggota
Tindakan seseorang dipengaruhi oleh makna yang dimiliki. Demikian juga yang
dialami oleh anggota paguyuban.
Bagi anggota Tari Jaran Kepang paguyuban
Turonggo Mudho Lestari dimaknai sebagai suatu bentuk kegiatan yang positif.
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat praktek komunikasi ritual pada
pertunjukkan Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari. Simbol Tari Jaran Kepang
terdapat pada gerak, busana dan riasan, properti seperti ebeg serta sesaji, dan iringan
musik. Keberadaan kesenian Tari Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari dimaknai
secara berbeda-beda. Ada masyarakat yang kurang setuju dan ada yang mendukung.
Sedangkan bagi anggota paguyuban Tari Jaran Kepang dimaknai sebagai kegiatan
yang positif. Tindakan tersebut muncul berdasarkan makna seseorang terhadap Tari
Jaran Kepang. Hal itu diperoleh melalui interaksi sosial. Seiring perkembangan
12
paguyuban, makna terhadap Tari Jaran Kepang terus-menerus dinegosiasikan dan
mengalami perubahan.
Saran
Penelitian mengenai Pemaknaan Simbol dalam Kesenian Tari Jaran Kepang
terbatas pada sudut pandang komunikasi ritual dan pemaknaan dari pihak-pihak yang
berinteraksi dengan kesenian tersebut. Mungkin untuk penelitian selanjutnya bisa
menggali informasi yang lebih luas terkait dengan peran kesenian sebagai media
komunikasi tradisional di masyarakat.
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik. (1981). Disekitar Komunikasi Ilmu dan Seni. Analisis Kebudayaan.
2:8-12.
Ahmadi, Dadi. (2008). “Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar”. Jurnal Mediator. Vol.
9 No. 2.
Andung, Petrus Ana.( 2010). Perspektif Komunikasi Ritual Mengenai Pemanfaatan
Natoni Sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Masyarakat Adat Boti
Dalam di Kabupaten Timr Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jurnal Ilmu Komunikasi Vol 8 No 1, Januari-april 2010.
Carey, James. (1989). A Cultural Approach to Communication. Boston: Unwin
Hyman.
Creswell, John W. (2014). Penelitian Kualitatif & Desain Riset. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Effendi, Onong Uchajana. (1993). Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT
Citra Aditya Bakti).
Fajar, Marhaeni. (2009). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Fisher, B. Aubrey. (1986). Teori-teori Komunikasi. Bandung: CV Remadja Karya.
Fitrianto, Andri. (2013). “Perubahan Makna dan Fungsi Reog Banjarharjo dalam
Kehidupan Masyarakat”. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Fitriasari, Paramitha Dyah. (2009). Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan
Kontemporer. Yogyakarta: TICI Publications.
Gumilar, Gumgum. (2008). “Makna Komunikasi Simbolik di Kalangan Pengguna Tato
Kota Bandung”. Jurnal Mediator. Vol. 9 No.1.
Hadi, Sumandibyo. (2005). Sosiologi Tari Sebuah Telaah Kritis yang Mengulas Tari
dari zaman ke zaman: primitive, tradisional, modern, hingga Kontemporer.
Yogyakarta: PUSTAKA.
13
. (2006). Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Pustaka.
Hamad, Ibnu. (2005). “Komunikasi sebagai Wacana”. Jurnal Mediatoe Vol. 7 No. 3.
Hughes-Freeland, Felicia. (2008).”Becoming a Puppet: Javanese Dance as Spiritual
Art”. Journal of Religion and Theatre. Vol.7 No.1
, Felicia. (2009). Komunitas yang Mewujud Tari dan Perubahan di
Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Humardani. (1983). Kumpulan Kertas tentang Tari. Surakarta: STSI Press.
Kaulam, Salamun. (2012). “Simbolisme dalam Kesenian Jaranan”. Jurnal Seni Rupa.
Vol.1 No.2 hal: 107-213.
Kayam, Umar. (1981). Seni, Tradisi, dan Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
Kusmayati, A.M Hermien. (2014). Fungsi Seni Pertunjukkan Bagi Pembangunan
Moral Bangsa. Diakses melalui alamat website: kemdikbud.go.id pada tanggal
13 April 2016.
Kuswarsantyo. (2013). “Seni Jathilan: Bentuk, Fungsi dan Perkembangannya (19862013)”. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Liliweri, Alo. (2004). Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Littlejohn, Stephen W, & Karen A. Foss. (2012). Teori Komunikasi. Jakarta: Salemba
Humanika.
Minarto, Soerjo Wido. (2007). “Jaran Kepang dalam Tinjauan Interaksi Sosial pada
Upacara Ritual Bersih Desa”. Jurnal Bahasa dan Seni. Tahun 35 No. 1.
Morrisan. (2013). Teori Komunikasi Individu Hingga Massa. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Mulyana, Deddy. (2004). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Mursito. (2010). “Budaya Tradisi dalam Bingkai Masyarakat Massa”. Jurnal
Komunikasi Massa. Vol.3 hal: 123-130.
Negoro, Suryo S., (2001). Upacara Tradisional dan Ritual Jawa. Surakarta: Buana
Jaya.
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi
Aksara.
Peick, Melissa. (2005). “Dance as Communication: Messages Sent and Received
Through Dance”. Journal of Undergraduate Research VIII.
Poloma, Margaret M. (2003). Sosiologi Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Rahayu, Nuryani Tri. (2010). “Teori Interaksi Simbolik dalam Kajian Komunikasi.
Majalah Ilmiah Widyatama Vol. 19 No. 1.
Ritzer, George, dan Douglas J.Goodman. (2013). Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. (2000). Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik
Terhadap Kemiskinan. Bandung: Penerbit Nuansa.
Samovar, Larry A dkk. (2014). Komunikasi Lintas Budaya. Jakarta: Salemba
Humanika.
14
Sobur, Alex. (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Soedarsono. 1992. Pengantar Apresiasi Seni. Jakarta: Balai Pustaka
Sugiyono. (2014). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta.
Suprapto, Riyadi. (2002). Interaksi Simbolik: Perspektif Sosiologi Modern. Malang:
Avverrous Press bekerjasama dengan penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Suryani, Sisca Dwi. (2014). “Tayub as a Symbolic Interaction Medium in Sedekah
Bumi Ritual in Pati Regency”. Jurnal of Arts Research and Education. Vol. 14
No. 2 page 97-106.
Susanto, Astrid S. (1985). Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Binacipta.
Sutopo, H.B., (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
Tim Humas UGM. (2014). Industri Pariwisata Memacu Kualitas dan Kuantitas
Kesenian Jathilan. Diakses melalui alamat website https://ugm.ac.id pada
tanggal 22 September 2016.
15
JURNAL
PEMAKNAAN SIMBOL DALAM KESENIAN TARI JARAN KEPANG
(Studi Kasus pada Paguyuban Jaran Kepang Turonggo Mudho Lestari Desa
Pringsari Kecamatan Pringapus Kabupaten Semarang)
Oleh:
Astri Nugrahenni (D0212022)
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
1
2
Download