(1989:138), masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang

advertisement
WAWASAN TENTANG MANUSIA DAN MASYARAKAT
DALAM PERSPEKTIF KEBUDAYAAN
Dikdik Baehaqi Arif, M.Pd
Tulisan ini akan membahas tentang wawasan tentang manusia dan masyarakat
dalam perspektif kebudayaan, yang mencakup: (a) Masyarakat dan unsur-unsur
masyarakat, (b) Kebudayaan, (c) Unsur-unsur universal dan sifat hakekat
kebudayaan, (d) Wujud kebudayaan, dan (e) Orientasi nilai budaya.
A. Masyarakat dan unsur-unsur masyarakat
Terbentuknya komunitas bernama masyarakat adalah implikasi logis dari
realisasi kemanusiaan dengan fitrahnya sebagai homo socious (makhluk
bermasyarakat). Hubungan antar individu dengan keinginan dan tujuan yang
sama pada akhirnya membentuk sebuah sistem sosial yang dinamakan
masyarakat.
Dalam pandangan Koentjaraningrat (1989:138), masyarakat adalah
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
tertentu yang bersifat kolektif dimana manusia itu bergaul dan berinteraksi.
Interaksi antar individu dengan keinginan dan tujuan yang sama tersebut pada
akhirnya melahirkan kebudayaan. Masyarakat adalah suatu organisasi manusia
yang saling berhubungan satu sama lain, sementara kebudayaan adalah suatu
sistem norma dan nilai yang terorganisasi yang menjadi pegangan bagi
masyarakat tersebut. Melalui kebudayaan, manusia menciptakan tatanan
kehidupan yang ideal di muka bumi.
Masyarakat adalah golongan besar atau kecil terdiri dari beberapa
manusia yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan
merupakan sistem sosial yang pengaruh-mempengaruhi satu sama lain (Shadily,
1980: 31; Soekanto, 1993: 466). Dengan demikian hidup bermasyarakat
merupakan bagaian integral karakteristik dalam kehidupan manusia. Kita tidak
dapat membayangkan, bagaimana jika manusia tidak bermasyarakat. Sebab
sesungguhnyalah individu-individu tidak bisa hidup dalam keterpencilan sama
sekali selama-lamanya, karena manusia itu adalah mahluk sosial. Manusia
membutuhkan satu sama lain untuk bertahan hidup dan untuk hidup sebagai
manusia (Campbell, 1994: 3).
Kesalingtergantungan individu atas lainnya maupun kelompok ini
menghasilkan bentuk-bentuk kerjasama tertentu yang bersifat ajeg, dan
menghasilkan bentuk masyarakat tertentu yang merupakan sebuah keniscayaan..
Jadi, sebuah masyarakat pada dasarnya adalah sebentuk tatatanan; ia mencakup
pola-pola interaksi antar manusia yang berulang secara ajeg pula. Tatanan ini
bukan berarti tanpa konflik ataupun tanpa kekerasan, semuanya serba mungkin,
serta kadarnya jelas bervariasi dari suatu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Akan tetapi, bagaimanapun rendahnya suatu masyarakat tetap tidak hanya
sekedar penjumlahan beberapa manusia, melainkan sebuah pengelompokan
yang teratur dengan keajegan-keajegan interaksi yang jelas.
Istilah ”masyarakat” atau society, sekarang telah memperoleh trend baru
dengan dikaitkannya dengan kata ”sipil” menjadi ”masyarakat sipil” atau civil
society. Walaupun hal ini merupakan sebuah konsep lama sebenarnya, namun
dalam pemikiran sosial dan politik belakangan ini bangkit kembali, baik itu di
Eropa Barat, Eropa Timur, Asia, maupun Afrika. Secara tradisional, tepatnya pada
abad 18 istilah tersebut kurang lebih sekedar terjemahan istilah Romawi
”societas civilis” atau istilah Yunani ”koinonia politike” yang artinya ”masyarakat
politik” Ketika John Locke berbicara pemerintahan politik atau J.J. Rousseau
tentang etat civil, mereka bicara tentang dunia politik, masyarakat sipil
merupakan arena bagi warganegara yang secara aktif secara politik, dalam
masyarakat beradab yang berdasarkan hubungan-hubungan dalam suatu sistem
hukum, dan bukannya pada tatanan hukum otokratis yang korup (Kumar, 2000:
114).
Adalah Hegel, Gramsci, dan Tosqueville yang berjasa mengembangkan
makna konsep modern ”masyarakat sipil”. Hegel dalam bukunya yang berjudul
Philosophy of Right (1821), Gramsci dalam The Prison Notebooks (1929-1935),
dan Tosqueville dalam Democracy in America, sebagai wadah kehidupan etis
yang terletak di antara kehidupan keluarga dan kehidupan kewargaraan yang
ditentukan oleh ”permainan bebas” kekuatan-kekuatan politik,ekonomi, budaya
dan pencarian jati diri individual dan lembaga-lembaga sosial kenegaraan yang
mewadahi dan mengatur kehidupan dan sekaligus berperan sebagai proses
pendidikan bagi kehidupan kenegaraan secara rasional (Kumar, 2000: 114).
Namun pertanyaan yang harus dijawab adalah apakah konsep itu hanya
merupakan suatu himbauan moral atau slogan, ataukah hal itu mengandung
substansi yang berarti dalam menunjang penciptaan lembaga-lembaga konkret
yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan?
B. Kebudayaan
Istilah kebudayaan (culture) berasal dari bahasa Latin yakni ”cultura” dari
kata dasar ”colere” yang berarti ”berkembang tumbuh”. Namun secara umum
pengertian ”kebudayaan” mengacu kepada kumpulan pengetahuan yang secara
sosial yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Makna ini
kontras dengan pengertian ”kebudayaan” sehari-hari yang hanya merujuk
kepada bagian-bagian tertentu warisan sosial, yakni tradisi sopan santun dan
kesenian (D’Andrade, 2000: 1999).
Secara harfiah, istilah kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta
buddhayah, ialah bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal. Demikian
kebudayaan itu dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal
(Koentjaraningrat,
1994:9).
Mempertegas
pendapatnya,
Koentjaraningrat
(1990:181) mengemukakan adanya sarjana lain yang mengupas kata budaya
sebagai perkembangan dari majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi.
Karena itu mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Demikianlah budaya
adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa itu.
Definisi kebudayaan yang disusun oleh Sir Edward Taylor (Horton,
1996:58; Harsojo, 1988:92; Soekanto, 2003:172) menyebut bahwa kebudayaan
adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang
diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikemukakan bahwa kebudayaan
adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh
para anggota suatu masyarakat. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat Soekanto
(2003:173) yang menyatakan bahwa budaya terdiri dari segala sesuatu yang
dipelajari dari pola-pola perilaku yang normatif, yang mencakup segala cara atau
pola-pola berfikir, merasakan dan bertindak.
Di sisi lain, Koentjaraningrat (1994:9) mendefinisikan kebudayaan sebagai
keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan
belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Definisi tersebut
menegaskan bahwa dalam kebudayaan mensyaratkan terjadinya proses belajar
untuk mampu memunculkan ide atau gagasan dan karya yang selanjutnya
menjadi kebiasaan. Pembiasaan yang dilakukan melalui proses belajar itu
berlangsung secara terus menerus dari satu generasi kepada generasi
berikutnya.
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964:113) mengusulkan definisi
kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat. Berdasarkan
definisinya
tersebut,
Soemardjan
dan
Soelaeman
Soemardi
(1964:113)
menjelaskan bahwa karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan
kebendaan (material culture) yang diperlukan oleh masyarakat untuk menguasai
alam di sekitarnya, agar kekuatannya serta hasilnya dapat diabdikan pada
keperluan masyarakat.
Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala norma-norma dan
nilai-nilai
kemasyarakatan
yang
perlu
untuk
mengatur
masalah-masalah
kemasyarakatan dalam arti luas. Di dalamnya termasuk agama, ideologi,
kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa
manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat.
Selanjutnya cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berfikir
dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang antara lain menghasilkan
filsafat serta ilmu-ilmu pengetahuan, baik yang berwujud teori murni, maupun
yang telah disusun untuk diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Semua karya,
rasa dan cipta dikuasai oleh karsa dari orang-orang yang menentukan
kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh
masyarakat.
Berkaitan dengan esensi budaya, Tasmara (2002:161) mengemukakan
bahwa kandungan utama yang menjadi esensi budaya adalah sebagai berikut:
1) Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai dan lingkungannya
yang melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi
sikap dan tingkah laku (the total way of life a people).
2) Adanya pola nilai, sikap, tingkah laku (termasuk bahasa), hasil karsa dan
karya, termasuk segala instrumennya, sistem kerja, teknologi (a way
thinking, feeling and believing).
3) Budaya merupakan hasil pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan serta
proses seleksi (menerima atau menolak) norma-norma yang ada dalam
cara dirinya berinteraksi sosial atau menempatkan dirinya di tengahtengah lingkungan tertentu.
4) Dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling
ketergantungan
(interdependensi),
baik
sosial
maupun
lingkungan
nonsosial.
Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa budaya
merupakan hasil pengalaman hidup yang berkaitan erat dengan persepsi
terhadap nilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hidup
yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku.
Sementara itu, dengan mempelajari beberapa rumusan kebudayaan yang
disampaikan para ahli, Harsojo (1988:93) sampai pada kesimpulan bahwa
kebudayaan meliputi seluruh kelakuan dan hasil kelakuan manusia, yang teratur
oleh tata kelakuan, yang harus didapatkannya dengan belajar dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Berdasarkan definisinya itu,
Harsojo (1988:94) mengemukakan pokok-pokok kebudayaan sebagai berikut:
1) kebudayaan
yang
terdapat
antara
umat
manusia
itu
sangat
beranekaragam
2) kebudayaan itu didapat dan diteruskan secara sosial dengan pelajaran
3) kebudayaan terjabarkan dari komponen biologis, psikologis dan sosiologis
dari eksistensi manusia
4) kebudayaan itu berstruktur
5) kebudayaan itu terbagi dalam beberapa aspek
6) kebudayaan itu dinamis, dan
7) nilai dalam kebudayaan itu relatif
Pokok-pokok kebudayaan sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan
bahwa kebudayaan merupakan aktivitas perilaku manusia yang sangat kompleks.
Kebudayaan mempengaruhi segenap kehidupan sosial, sehingga sering
dipandang sebagai semua cara hidup atau way of life yang harus dipelajari dan
diharapkan dan yang sama-sama harus ditaati oleh para anggota masyarakat
tertentu atau para anggota dari suatu kelompok tertentu (Taneko,1984:61).
Melalui budaya, setiap kelompok budaya menghasilkan jawaban-jawaban
khususnya sendiri terhadap tantangan-tantangan hidup. Budaya memudahkan
kehidupan dengan memberikan solusi-solusi yang telah disiapkan untuk
memecahkan masalah-masalah dengan menetapkan pola-pola hubungan, dan
cara-cara memelihara kohesi dan konsensus kelompok.
Sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial,
kebudayaan digunakan untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan yang
dihadapi. Dengan demikian pada hakikatnya, kebudayaan adalah suatu
mekanisme adaptif terhadap lingkungan.
Tentu saja definisi di atas hanya sedikit memuaskan bagi para
antropolog, sebab begitu beragamnya definisi kebudayaan sempat mencemaskan
makin dalamnya perpecahan dan menimbulkan kemerosotan efektivitas disiplin
ilmu (Saifuddin, 2005: 83). Sebagai contoh Kroeber dan Kluckhohn dalam
Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions (1952) bahwa ternyata
pada tahun itu ada 160 definisi kebudayaan. Hal itu pula yang dirasakan
antropolog Roger M. Kessing dalam Cultural Anthropology: A Contemporary
Perspective. mengamati bahwa ”tantangan bagi antropolog dalam tahun-tahun
terakhir adalah dipersempitnya ”kebudayaan” sehingga konsep ini mencakup
lebih sedikit tetapi menggambarkan lebih banyak” (1984: 73).
Selanjutnya
terhadap
masalah
Keesing
mengidentifikasi
kebudayaan.
Pendekatan
empat
pendekatan
terakhir
pertama, yang memandang
kebudayaan sebagai sistem adaptif dari keyakinan perilaku yang fungsi
primernya adalah menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan sosialnya.
Pendekatan ini dikaitkan dengan ekologi budaya dan materialisme kebudayaan,
serta bisa ditemukan dalam kajian atropolog Julian Steward (1955), Leslie White
(1949; 1959), dan Marvin Harris (1968; 1979). Pendekatan kedua, yang
memandang bahwa kebudayaan sebagai sistem kognitif yang tersusun dari
apapun yang diketahui dalam berpikir menurut cara tertentu, yang dapat
diterima bagi warga kekebudayaannya. Pendekatan tersebut memiliki banyak
nama dan diasosiasikan dengan; etnosains, antropologi kognitif, atau etnografi
baru. Para tokoh kelompok ini adalah Harold Conklin (1955), Ward Goodenough
(1956; 1964), dan Charles O.Frake (1964, 1963; 1969).
Pendekatan ketiga, yang memandang kebudayaan sebagai sistem
struktur dari simbol-simbol yang dimiliki bersama yang memiliki analogi dengan
struktur pemikiran manusia. Tokoh-tokoh antropolognya adalah kelompok
strukturalisme yang dikonsepsikan oleh Claude Levi-Strauss (1963; 1969).
Sedangkan pendekatan keempat, adalah yang memandang kebudayaan sebagai
sistem simbol yang terdiri atas simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki
bersama, yang dapat diidentifikasi, dan bersifat publik. Pendekatan tersebut
tokoh antropolognya adalah Cifford Geertz (1973; 1983) dan David Schneider
(1968).
C. Unsur-unsur Universal Kebudayaan dan Sifat Hakekat Kebudayaan
Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar
maupun unsur-unsur kecil yang merupakan bagian dari suatu kebulatan yang
bersifat sebagai kesatuan (Soekanto, 2003:175). Karena itu, suatu kebudayaan
bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan (folkways) dan tata kelakuan (mores),
tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi.
Luasnya bidang kebudayaan menimbulkan adanya telaahan mengenai
apa sebenarnya unsur-unsur kebudayaan itu. Herkovits (Soemardjan dan
Soelaeman Soemardi, 1964:115) mengemukakan adanya empat unsur pokok
dalam kebudayaan, yaitu 1) alat-alat teknologi (technological equipment), 2)
sistem ekonomi (economic sistem), 3) keluarga (family), dan 4) kekuasaan politik
(political control).
Selanjutnya Bronislaw Malinowski (Soemardjan dan Soelaeman Soemardi,
1964:115) menyebut unsur-unsur pokok kebudayaan sebagai berikut:
1) the normative system (yang dimaksudkan adalah sistem norma-norma
yang memungkinkan kerjasama antara para anggota masyarakat agar
menguasai alam sekitarnya.
2) economic organization (organisasi ekonomi),
3) mechanism and agencies of education (alat-alat dan lembaga-lembaga
atau petugas-petugas untuk pendidikan dimana keluarga merupakan
lembaga pendidikan yang utama, dan
4) the organization of force (organisasi militer).
Menurut Soekanto (2003:176), untuk kepentingan ilmiah dan analisisnya,
masing-masing unsur tersebut diklasifikasikan ke dalam unsur-unsur pokok
(besar) kebudayaan yang lazim disebut cultural universal. Istilah ini menunjukkan
bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, yaitu dapat dijumpai pada setiap
kebudayaan di manapun di dunia ini.
Kluckhohn menguraikan adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap
sebagai cultural universal, yaitu:
1) peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alatalat
rumah
tangga,
senjata,
alat-alat
produksi
transportasi
dan
sebagainya)
2) mata
pencaharian
hidup
dan
sistem-sistem
ekonomi
(pertanian,
peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan sebagainya)
3) sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem
hukum, sistem perkawinan)
4) bahasa (lisan maupun tertulis)
5) kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya)
6) sistem pengetahuan
7) religi (sistem kepercayaan)
(Koentjaraningrat, 1994:9; Soekanto, 2003:176)
Cultural universal tersebut di atas, dapat dijabarkan lagi ke dalam unsurunsur yang lebih kecil. Linton (Soekanto, 2003:177) menjabarkan unsur-unsur
tersebut menjadi kegiatan-kegiatan kebudayaan (cultural activity), yang dirinci ke
dalam trait complex, dan dirinci lagi ke dalam item. Penjabaran unsur-unsur
universal selanjutnya dapat dilukiskan sebagai berikut: Pertama, Kegiatankegiatan kebudayaan (cultural activity). Sebagai contoh, cultural universal mata
pencaharian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti
pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi dan lain-lain. Kesenian
misalnya, meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa, seni suara dan
lain-lain.
Kedua, trait-complex, sebagai rincian dari kegiatan-kegiatan kebudayaan
dicontohkan dengan kegiatan pertanian menetap yang meliputi unsur-unsur
irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, teknik mengendalikan bajak, dan
seterusnya. Dan ketiga, unsur kebudayaan terkecil yang membentuk traits
adalah items. Apabila diambil contoh dari alat bajak tersebut di atas, maka bajak
terdiri dari gabungan alat-alat atau bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang
dapat dilepaskan, akan tetapi pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan.
Apabila salah satu bagian bajak tersebut dihilangkan, maka bajak tadi tak dapat
melaksanakan fungsinya sebagai bajak.
Menurut Bronislaw Malinowski tak ada suatu unsur kebudayaan yang
tidak mempunyai kegunaan yang cocok dalam rangka kebudayaan sebagai
keseluruhan (Soekanto, 2003:177). Apabila ada unsur kebudayaan yang
kehilangan kegunaannya, unsur tersebut akan hilang dengan sendirinya.
Kebiasaan-kebiasaan serta dorongan, tanggapan yang didapat dengan belajar
serta dasar-dasar untuk organisasi, harus diatur sedemikian rupa, sehingga
memungkinkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan pokok manusia.
Walaupun setiap masyarakat mempunyai kebudayaan yang beraneka
ragam dan berbeda-beda, namun menurut Soekanto (2003:182) setiap
kebudayaan mempunyai sifat hakikat yang berlaku umum bagi semua
kebudayaan di manapun berada, yaitu:
1) kebudayaan terwujud dan tersalurkan dari peri kelakuan manusia
2) kebudayaan telah ada terlebih dahulu daripada lahirnya suatu generasi
tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang
bersangkutan.
3) kebudayaan
diperlukan
oleh
manusia
dan
diwujudkan
dalam
tingkahlakunya.
4) kebudayaan
mencakup
aturan-aturan
yang
berisikan
kewajiban-
kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakantindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang diizinkan.
Berdasarkan
sifat
hakikat
kebudayaan
tersebut
jelaslah
bahwa
kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, yang meliputi aspek perilaku
dan kemampuan manusia, ia menjadi milik hakiki manusia di manapun berada
dan keberlangsungan suatu budaya akan sangat ditentukan oleh masyarakat
pendukung kebudayaan itu.
D. Wujud Kebudayaan
Talcott Parson, seorang Sosiolog dan A.L. Kroeber (Koentjaraningrat,
1990:186), seorang antropolog pernah menganjurkan untuk membedakan secara
tajam wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep
dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktifitas manusia
yang berpola. Secara eksplisit, kedua ahli tersebut mengelompokkan budaya ke
dalam dua wujud, yaitu wujud ide dan konsep, dan wujud tindakan dan aktivitas
manusia.
Dengan merujuk pendapat J.J. Honigmann yang membedakan tiga gejala
kebudayaan, yaitu 1) ideas, 2) activities, dan 3) artifact, Koentjaraningrat
(1990:186; 1994:5) berpendirian bahawa kebudayaan itu memiliki tiga wujud,
yaitu:
1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilainilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat.
3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kenyataannya di masyarakat
tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sehingga sebagai kesatuan yang utuh,
kebudayaan itu memberikan arah terhadap pikiran, tindakan, dan hasil karya
masyarakat.
Kebudayaan ideal bersifat abstrak, ia merupakan kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya, yang
berfungsi sebagai pengatur, pengendali, dan pemberi arah kepada kelakuan dan
perbuatan manusia dalam masyarakat. Wujud kebudayaan pertama ini sering
disebut sebagai sistem budaya (cultural sistem). Dalam wujud pertama ini
terkandung empat hierarki kebudayaan yang tersusun mulai yang paling abstrak
sampai yang paling konkret, yaitu: 1) tingkat nilai budaya, 2) tingkat normanorma, 3) tingkat hukum, dan 4) tingkat aturan khusus (Koentjaraningrat,
1994:11).
Wujud kebudayaan sebagai sistem sosial (social sistem) bersifat konkret,
karena terdiri dari aktifitas-aktifitas manusia yang berinteraksi, berhubungan
serta bergaul satu dengan yang lain dengan mengikuti pola-pola tertentu.
Sedangkan wujud kebudayaan fisik (physical culture atau material culture)
merupakan seluruh total hasil fisik dari aktifitas perbuatan, dan karya semua
manusia dalam masyarakat, oleh karena itu sifatnya jauh lebih konkret.
E. Orientasi Nilai Budaya
Nilai-nilai budaya adalah wujud ideal dari kebudayaan yang merupakan
konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar anggota masyarakat.
Secara fungsional, nilai budaya berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi
arah dan orientasi kepada kehidupan manusia.
Menurut Kluckhohn dan Strodtbeck (Koentjaraningrat, 1990:78) konsepsi
mengenai isi dari nilai budaya yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan
menyangkut paling sedikit lima hal, yaitu 1) masalah human nature, atau makna
hidup manusia; 2) masalah man nature, atau makna dari hubungan manusia
dengan alam sekitarnya; 3) masalah time, atau persepsi manusia mengenai
waktu; 4) masalah activity, atau soal makna dari pekerjaan, karya dan amal
perbuatan manusia, dan 5) masalah relational, atau hubungan manusia dengan
sesama manusia. Kelima masalah tersebut sering disebut sebagai orientasi nilai
budaya (value orientation).
Dalam pandangan Poedjawijatna (1986) sebagaimana dikemukakan oleh
Syamsulbachri (2004:52) mengemukakan bahwa:
Bentuk orientasi kebudayaan setiap individu akan tergantung dari
bagaimana tujuan yang ingin dicapai individu tersebut serta kemampuan
individu tersebut dalam memahami nilai-nilai yang diperoleh dari ajaran
agama, kebudayaan itu sendiri dan kebudayaan dari luar.
Sementara itu, Warnanen (1989:34) mengemukakan bahwa perilaku
manusia yang didasarkan pada nilai-nilai budaya dalam kehidupannya di dunia
dapat
dilihat
melalui
hubungan
manusia
dengan
pribadinya,
dengan
masyarakatnya, dengan Tuhannya, dengan alamnya, dan hubungan dalam
mencari kesejahteraan lahir dan batin.
Kedua pendapat di atas menegaskan bahwa orientasi manusia terhadap
nilai budaya akan tergantung pada hakikat kedudukan manusia dalam
kehidupannya serta kesadarannya terhadap keharmonisan hubungan dengan
penciptanya yang tumbuh dari pengakuannya sebagai makhluk yang diciptakan
dan memiliki peran khusus dalam kehidupannya di dunia.
Cara berbagai kebudayaan mengkonsepsikan orientasi nilai budaya
universal dapat berbeda-beda. Kluckhohn dan Strodtbeck, sebagaimana dikutip
oleh Koentjaraningrat (1990:79) mengemukakan kemungkinan orientasi nilai
budaya sebagaimana dilihat dalam tabel berikut:
Tabel Variasi Orientasi Nilai Budaya Manusia
Masalah Dasar
Hidup
Kemungkinan Variasi Orientasi Nilai Budaya
KONSERVATIF
TRANSISI
PROGRESIF
Hakikat hidup
(MH)
Hidup itu buruk
Hidup itu baik
Hidup itu buruk, tetapi
manusia wajib berikhtiar
supaya hidup itu menjadi
baik
Hakikat karya
(MK)
Karya itu untuk nafkah
hidup
Karya itu untuk
kedudukan,
kehormatan, dan
sebagainya
Karya itu untuk
menambah kaya
Persepsi manusia
tentang waktu
Orientasi ke masa lalu
Orientasi ke masa kini
Orientasi ke masa depan
(MW)
Pandangan
manusia terhadap
alam (MA)
Manusia tunduk kepada
alam yang dahsyat
Manusia berusaha
menjaga keselarasan
dengan alam
Manusia berhasrat
menguasai alam
Hakikat hubungan
antara manusia
dengan
sesamanya
Orientasi kolateral
(horizontal), rasa
kebergantungan pada
sesamanya (berjiwa
gotong royong)
Orientasi vertikal, rasa
kebergantungan pada
tokoh-tokoh atasan
dan pangkat
Individualisme menilai
tinggi usaha atas
kakuatan sendiri
Sumber: Koentjaraningrat (1990: 79).
Berdasarkan
tabel
di
atas,
dapat
dikemukakan
bahwa
berbagai
kebudayaan mengkonsepsikan masalah-masalah universal tersebut dengan
berbagai variasi yang berbeda-beda. Dalam masalah mengenai hakikat dari hidup
manusia terdapat kebudayaan yang memandang bahwa hidup itu buruk, hidup
itu baik, dan hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar supaya hidup itu
menjadi baik.
Dalam
masalah
mengenai
hakikat
dari
karya
manusia,
terdapat
kebudayaan yang memandang bahwa karya itu untuk nafkah hidup, karya itu
untuk kedudukan, kehormatan, dan sebagainya, dan kebudayaan yang
memandang bahwa karya itu untuk menambah karya.
Dalam masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia terhadap
waktu, terdapat kebudayaan yang berorientasi ke masa depan, berorientasi ke
masa kini, dan yang berorientasi ke masa lalu.
Dalam masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam
sekitarnya, terdapat kebudayaan yang memandang bahwa manusia harus tunduk
kepada alam yang dahsyat, manusia berusaha menjaga keselarasan dengan
alam, dan manusia berhasrat untuk menguasai alam.
Terakhir, dalam masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia
dengan
sesamanya,
terdapat
kebudayaan
yang
berorientasi
kolateral
(horizontal), yaitu rasa ketergantungan pada sesamanya (berjiwa gotong
royong), berorientasi vertikal, yaitu rasa ketergantungan kepada tokoh-tokoh
atasan dan berpangkat, dan kebudayaan yang berorientasi individualisme, yaitu
menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri.
Selain menunjukkan perberbedaan dalam hal memecahkan masalah yang
bernilai dalam hidup, variasi orientasi nilai budaya juga berarti bahwa seorang
individu dapat menganut suatu pola orientasi nilai budaya dalam satu lapangan
hidup,
disamping
pola-pola
orientasi
lain.
Kluckhohn
dan
Strodtbeck
membedakan adanya paling sedikit empat lapangan hidup, yaitu lapangan hidup
keluarga, lapangan hidup sosial, lapangan hidup pekerjaan dan profesi, dan
lapangan hidup agama (Koentjaraningrat, 1990:82).
Variasi orientasi nilai budaya yang dikembangkan oleh Kluckhohn dan
Strodtbeck tersebut oleh Felly (1994:104) diklasifikasikan sebagai nilai budaya
konservatif, nilai budaya progresif dan nilai budaya transisional. Ketiga klasifikasi
itu adalah sebagai berikut:
1) Orientasi nilai budaya konservatif
Orientasi nilai budaya ini memandang hidup itu buruk, kerja hanya untuk
menjamin kelangsungan hidup, orientasi waktu ke masa lalu, alam
dipersepsikan sangat dahsyat maka manusia harus tunduk terhadap hukum
alam, serta memiliki orientasi sosial vertikal.
2) Orientasi nilai budaya progresif
Orientasi nilai budaya ini memandang hidup itu buruk tetapi harus
diperjuangkan agar lebih baik, kerja semata-mata untuk mendapatkan
prestasi yang tinggi, orientasi waktu ke masa depan, hasrt yang tinggi untuk
menguasai alam, serta memiliki rasa kemandirian yang kuat.
3) Orientasi nilai budaya transisional
Orientasi nilai budaya ini merupakan peralihan dari nilai budaya konservatif
ke nilai budaya progresif. Nilai budaya transisional ini ditandai sebagai
dengan memandang hidup itu baik, kerja dilakukan untuk mendapatkan
kedudukan, orientasi waktu ke masa kini, serta memiliki hubungan kolektif
yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Felly, Usman dan Asih Menanti. (1994). Teori-teori Sosial Budaya. Jakarta:
Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Dirjen
Dikti Depdikbud.
Harsojo. (1970). “Kebudayaan Sunda”, dalam Koentjaraningrat. (1970). Manusia
dan Kebudayaan Di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Harsojo. (1988). Pengantar Antropologi. Bandung: Binacipta.
Horton, Paul B dan Chester L. Hunt. (1996). Sosiologi. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Koentjaraningrat. (1990). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.
Koentjaraningrat. (1990). Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: UI Press.
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
PT Gramedia.
Koentjaraningrat. (1994). Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Kuntowidjojo. (1988). Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Poespoprodjo, W. (1999). Filsafat Moral (Kesusilaan dalam Teori dan Praktek).
Bandung: CV. Pustaka Grafika.
Soekanto, Soerjono dan Soelaeman B Taneko. (1981).
Soekanto, Soerjono. (1983). Pribadi dan Masyarakat. Bandung: Alumni.
Soekanto, Soerjono. (2003). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.
Soemardjan, S dan Soelaeman Soemardi. (1964). Setangkai Bunga Sosiologi.
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Suparlan, Parsudi (ed). (1993). Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suseno, Franz Magnis. (1987). Etika Dasar, Masalah-masalah Pokok Filsafat
Moral. Jakarta: Kanisius.
Taneko, Soelaeman B. (1984). Hukum Adat. Bandung: Eresco.
Tasmara, Toto. (2002). Etos Kerja Pribadi Muslim. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Warnaen, Suwarsih. (1988). “Pandangan Hidup Orang Sunda: Satu Hasil Studi
Awal”, dalam Harsja W. Bachtiar et all. (1988). Masyarakat dan
Kebudayaan (Kumpulan Karangan untuk Prof. Dr. Selo Soemardjan).
Jakarta: Penerbit Djambatan.
Download