Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pembelajarannya, ISBN : 978-602-0951-12-6 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 17 September 2016 PENDIDIKAN STEM SEBAGAI KERANGKA INOVASI PEMBELAJARAN KIMIA UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING BANGSA DALAM ERA MASYARAKAT EKONOMI ASEAN STEM EDUCATION AS FRAMEWORK FOR CHEMICAL EDUCATION INNOVATION TO STRENGTHEN THE NATIONAL COMPETITIVENESS IN THE ERA OF ASEAN ECONOMIC COMMUNITY Harry Firman Departemen Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Setiabudi No. 229 Bandung (40154), Telp. 022-2001108 email: [email protected] Abstrak. Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) melahirkan tantangan baru bagi bangsa Indonesia, yakni perlunya meningkatkan daya saing bangsa. Upaya strategis diperlukan untuk meningkatkan daya saing produk dan tenaga kerja Indonesia yang ditopang oleh kualitas pendidikan, termasuk pendidikan kimia. Untuk itu inovasi pendidikan kimia ke depan perlu berkontribusi pada pengembangan kemampuan berinovasi dan memecahkan masalah, yang ditopang oleh pemahaman yang mendalam terhadap pengetahuan kimia dan aplikasinya, serta soft-skills kreativitas, inisiatif, kerjasama, dan komunikasi. Inovasi-inovasi dalam pembelajaran kimia di masa lampau belum cukup memadai untuk mengembangkan SDM yang menopang daya saing ekonomi bangsa. Konsep pendidikan STEM (science-technology-engineering-mathematics) yang sedang berkembang negaranegara maju saat kini dapat menjadi ‘framework’ baru bagi inovasi pembelajaran kimia di Indonesia dalam era persaingan bebas. Pendidikan STEM mengintegrasikan pemahaman sains (termasuk kimia), pemikiran saintifik, keterampilan matematika, dan teknologi yang ada, dengan kemampuan melakukan proses desain rekayasa (engineering design process). Implementasi pembelajaran kimia berbasis STEM menjadikan lulusan persekolahan terlatih menggunakan pengetahuan kimia yang dimilikinya untuk mengkreasi produk inovatif yang mampu memecahkan masalah-masalah terkait kimia di masyarakat. Kata kunci: Pendidikan STEM, kimia, daya saing ekonomi bangsa, masyarakat ekonomi ASEAN. Abstract. Implementation of the ASEAN economic community has raised national competitiveness as a new challenge for Indonesian nation. A strategic effort is needed to strengthen competitiveness of Indonesian products and human resources those are supported by educational quality services, including chemistry education. Therefore innovations in chemical education in Indonesia need to contribute to the development of innovative and problem solving abilities of students supported by indepth understanding on chemistry basic knowledge and its application, as well as soft skills of creativity, initiative, team work, and communication. Previous innovations in teaching chemistry are not appropriate to develop human resource quality that will be able to support national economic competitiveness. The STEM (science-technology-engineering-mathematics) education which is being developed and utilized many developed countries nowadays can be adopted as new framework for innovating chemical education in Indonesia in the era of free-trade. STEM education integrates student’s scientific knowledge and skills, mathematical tools and technology with the ability to do engineering design processes. The implementation of STEM education in chemical education context will make high school graduates well trained in using scientific knowledge they have to create innovative products that solve chemistry related problems in society. . Keywords: STEM education, chemistry, national competitiveness, ASEAN economic community. A-1 Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pembelajarannya, ISBN : 978-602-0951-12-6 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 17 September 2016 kerja dalam bidang-bidang STEM, tingkat iliterasi yang signifikan dalam masyarakat tentang isu-isu terkait STEM, serta posisi capaian siswa sekolah menengah AS dalam TIMSS dan PISA (Roberts, 2012). Dewasa ini komitmen AS terhadap gerakan pendidikan STEM diwujudkan dalam bentuk dukungan anggaran dari pemerintah, dukungan kepakaran dari banyak perguruan tinggi, serta dukungan teknis dari dunia industri, bagi pengembangan dan implementasi pendidikan STEM. Sebagai komponen dari STEM, sains adalah kajian tentang fenomena alam yang melibatkan observasi dan pengukuran, sebagai wahana untuk menjelaskan secara obyektif alam yang selalu berubah. Terdapat beberapa domain utama dari sains pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, yakni fisika, biologi, kimia, serta ilmu pengetahuan kebumian dan antariksa. Teknologi adalah tentang inovasi-inovasi manusia yang digunakan untuk memodifikasi alam agar memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, sehingga membuat kehidupan lebih baik dan lebih aman. Teknologi-teknologi membuat manusia dapat melakukan perjalanan secara cepat, berkomunikasi langsung dengan orang di tempat yang berjauhan, mendapati makanan yang sehat, serta alat-alat keselamatan. Enjiniring (engineering) adalah pengetahuan dan keterampilan untuk memperoleh dan mengaplikasikan pengetahuan ilmiah, ekonomi, sosial, serta praktis untuk mendesain dan mengkonstruksi mesin, peralatan, sistem, material, dan proses yang bermanfaat bagi manusia secara ekonomis dan ramah lingkungan. Selanjutnya, matematika adalah ilmu tentang pola-pola dan hubunganhubungan, dan menyediakan bahasa bagi teknologi, sains, dan enjiniring. Pendidikan STEM tidak bermakna hanya penguatan praksis pendidikan dalam bidang-bidang STEM secara terpisah, melainkan mengembangkan pendekatan pendidikan yang mengintegrasikan sains, teknonogi, enjiniring, dan matematika, dengan memfokuskan proses pendidikan pada pemecahan masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari maupun kehidupan profesi (National STEM Education Center, 2014). Dalam konteks pendidikan dasar dan PENDAHULUAN Pada akhir tahun 2015 negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) menyepakati pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sebagai bentuk integrasi ekonomi kawasan ASEAN yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi di masingmasing negara. Realisasi perdagangan bebas dalam konteks MEA menimbulkan arus bebas dari satu negara ke negara lain di ASEAN dalam barang, jasa, dan tenaga kerja. Upaya strategis diperlukan untuk meningkatkan daya saing produk dan tenaga kerja Indonesia yang ditopang oleh kualitas pendidikan, termasuk pendidikan kimia. Untuk itu inovasi pendidikan kimia ke depan perlu berkontribusi pada pengembangan kemampuan berinovasi dan memecahkan masalah, yang ditopang oleh pemahaman yang mendalam terhadap pengetahuan kimia dan aplikasinya, serta softskills kreativitas, inisiatif, kerjasama, dan komunikasi. Pendekatan-pendekatan pembelajaran yang telah diterapkan dalam pembelajaran kimia sejauh ini, seperti pendekatan konsep, pendekatan inkuiri, pendekatan kontekstual, dan pendekatan saintifik secara terpisah-pisah belum cukup memadai untuk mengembangkan SDM yang menopang daya saing ekonomi bangsa. Konsep pendidikan STEM (sciencetechnology-engineering-mathematics) yang sedang berkembang di negara-negara maju saat kini dapat menjadi ‘framework’ baru bagi inovasi pendidikan kimia di Indonesia dalam era persaingan bebas. PENDIDIKAN STEM STEM adalah akronim dari science, technology, engineering, dan mathematics. Kata STEM diluncurkan oleh National Science Foundation AS pada tahun 1990-an sebagai sebagai tema gerakan reformasi pendidikan dalam keempat bidang disiplin tersebut untuk menumbuhkan angkatan kerja bidang-bidang STEM, serta mengembangkan warga negara yang melek STEM, serta meningkatkan daya saing global AS dalam inovasi iptek (Hanover Research, 2011). Gerakan reformasi pendidikan STEM ini didorong oleh laporanlaporan studi yang menunjukkan terjadi kekurangan kandidat untuk mengisi lapangan A-2 Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pembelajarannya, ISBN : 978-602-0951-12-6 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 17 September 2016 menengah, Pendidikan STEM bertujuan mengembangkan peserta didik yang melek STEM (Bybee, 2013:5), yang mempunyai: Statistika Tenaga Kerja AS pada tahun 2011 menguraikan bahwa di lingkup global pada satu dekade mendatang struktur lapangan pekerjaan STEM akan meningkat sebesar 17%, sedangkan lapangan pekerjaan nonSTEM hanya meningkat 10 % (Kompas 12 Juli 2015). Dalam menghadapi era persaingan global, Indonesia pun perlu menyiapkan sumberdaya manusia yang handal dalam disiplin-disiplin STEM secara kualitas dan mencukupi secara kuantitas. Sebagaimana dirilis dalam Surat Kabar Kompas (Juli 2015) Indonesia mengalami kendala kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan SDM. Merujuk data Badan Pusat Statistik 2010, sumber daya manusia Indonesia masih didominasi tenaga kera kurang terampil (sebanyak 88 juta), dan diprediksi 2020 akan ada 50% kekurangan tenaga kerja untuk mengisi lowongan jabatan di struktur lapangan kerja. Namun, jalan untuk mengatasi persoalan ini bukanlah perkara mudah, sebab tanpa upaya mengembangkan kemampuan dasar, soft skills (kolaborasi, komunikasi, kreativitas, pemecahan masalah), dan nilai-nilai prasyarat memasuki profesi STEM pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sukar untuk mengharapkan generasi muda yang bermotivasi dan siap menekuni bidang-bidang STEM. Kurikulum 2013 yang baru saja diluncurkan tidak akan dapat mengatasi permasalahan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia Indonesia yang berdaya siang global, jika tidak secara sistematik menyiapkan mereka mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dipersyaratkan dunia kerja Abad ke-21, sebagaimana diwujudkan dalam Pendidikan STEM. Untuk mengatasi hal tersebut Pendidikan dengan pendekatan STEM bisa menjadi kunci bagi menciptakan generasi penerus bangsa yang mampu bersaing di kancah global. Oleh sebab itu, Pendidikan STEM perlu menjadi kerangka-rujukan bagi proses pendidikan di Indonesia ke depan. Sebagaimana dinyatakan dalam Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum 2013 Jenjang Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (Kemdikbud, 2013), bahwa kurikulum 2013 bertujuan untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi (1) pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk mengidentifikasi pertanyaan dan masalah dalam situasi kehidupannya, menjelaskan fenomena alam, mendesain, serta menarik kesimpulan berdasar bukti mengenai isu-isu terkait STEM; (2) memahami karakteristik fitur-fitur disiplin STEM sebagai bentuk-bentuk pengetahuan, penyelidikan, serta desain yang digagas manusia; (3) kesadaran bagaimana disiplin-disiplin STEM membentuk lingkungan material, intelektual dan kultural, (4) mau terlibat dalam kajian isu-isu terkait STEM (misalnya efisiensi energi, kualitas lingkungan, keterbatasan sumberdaya alam) sebagai warga negara yang konstruktif, peduli, serta reflektif dengan menggunakan gagasan-gagasan sains, teknologi, enjiniring dan matematika. Pendidikan STEM memberikan peluang bagi guru untuk memperlihatkan kepada peserta didik betapa konsep, prinsip, dan teknik dari sains, teknologi, enjiniring, dan matematika digunakan secara terintegrasi dalam pengembangan produk, proses, dan sistem yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karenanya, Reeve (2013) mengadopsi definisi pendidikan STEM sebagai pendekatan interdisiplin pada pembelajaran, yang di dalamnya peserta didik menggunakan sains, teknologi, enjiniring, dan matematika dalam konteks nyata yang mengkoneksikan antara sekolah, dunia kerja, dan dunia global, sehingga mengembangkan literasi STEM yang memampukan peserta didik bersaing dalam era ekonomi baru yang berbasis pengetahuan. URGENSI DAN KELAYAKAN PENDIDIKAN STEM DI INDONESIA Dewasa ini Pendidikan STEM diadopsi oleh banyak negara sebagai cetak-biru inovasi pendidikan pendidikan, sehingga muncul sebagai gerakan global untuk menjembatani kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan keahlian yang diperlukan untuk pembangunan ekonomi di Abad ke-21. Biro A-3 Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pembelajarannya, ISBN : 978-602-0951-12-6 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 17 September 2016 dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Dinyatakan pula dalam dokumen tersebut bahwa salah satu pola pikir baru yang digunakan sebagai dasar pengembangan Kurikulum 2013 adalah pola pembelajaran ilmu pengetahuan tunggal (monodiscipline) menjadi pembelajaran ilmu pengetahuan jamak (multidiscipline). Rumusan tujuan dan pola pikir dalam pengembangan Kurikulum 2013 yang dikemukakan tersebut mengisyaratkan bahwa Kurikulum 2013 memberikan ruang bagi pengembangan dan implementasi pendidikan STEM dalam konteks implementasi Kurikulum 2013, yang mengutamakan integrasi S, T, E dan M secara multi- dan trans-disiplin serta pengembangan pemikiran kritis, kreativitas, inovasi, dan kemampuan memecahkan masalah. satu atau dua dari disiplin-disiplin STEM. Cara ketiga adalah mengintegrasikan satu ke dalam tiga disiplin STEM, misalnya konten enjiniring diintegrasikan ke dalam mata pelajaran kimia, teknologi, dan matematika. Cara yang lebih komprehensif adalah melebur keempat-empat disiplin STEM dan mengajarkannya sebagai mata pelajaran terintegrasi, misalnya konten teknologi, enjiniring dan matematika dalam sains, sehingga guru sains mengintegrasikan T, E, dan M ke dalam S. Dalam konteks pendidikan dasar dan menengah umum di banyak negara, termasuk Indonesia, hanya mata-mata pelajaran sains dan matematika yang menjadi bagian dari kurikulum konvensional, sementara mata pelajaran teknologi dan enjiniring hanya bagian minor atau bahkan tidak ada dalam kurikulum. Oleh sebab itu Pendidikan STEM lebih terpumpu pada sains dan matematika. Dalam kaitan ini Bybee (2013) mengkonseptualisasi suatu kontinum keterpaduan STEM yang terdiri atas sembilan pola keterpaduan, mulai dari disiplin S-T-E-M sebagai “silo” (mata pelajaran berdiri sendiri) hingga STEM sebagai mata pelajaran transdisiplin. Pengintegrasian yang lebih mendalam ke dalam bentuk mata pelajaran transdisiplin memerlukan restrukturisasi kurikulum secara menyeluruh, sehingga relatif sukar dilaksanakan dalam konteks struktur kurikulum konvensional di Indonesia. Salah satu pola intergasi yang mungkin dilaksanakan tanpa merestrukturisasi kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia adalah menginkorporasikan konten enjiniring, teknologi, dan matematika dalam pembelajaran sains (termasuk kimia) berbasis pendidikan STEM, sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 1. PEMBELAJARAN KIMIA BERBASIS PENDIDIKAN STEM Salah satu karakteristik Pendidikan STEM adalah mengintegrasikan sains (termasuk kimia), teknonogi, enjiniring, dan matematika dalam memecahkan masalah nyata. Namun demikian, terdapat beragam cara digunakan dalam praktik untuk mengintegrasikan disiplin-disiplin STEM, dan pola dan derajad keterpaduannya bergantung pada banyak faktor (Roberts, 2012). Jika mata pelajaran sains, teknologi, enjiniring, dan matematika diajarkan sebagai mata-mata pelajaran yang terpisah satu sama lain dan tidak terintegrasi (disebut sebagai “silo”), keadaan ini lebih tepat digambarkan sebagai S-T-E-M daripada STEM (Dugger, n.d). Cara kedua adalah mengajarkan masing-masing disiplin STEM dengan lebih berfokus pada KIMIA T E M Gambar 1. Pendidikan Kimia Berbasis STEM A-4 Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pembelajarannya, ISBN : 978-602-0951-12-6 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 17 September 2016 Pola integrasi secara penuh relatif lebih mudah dilakukan pada jenjang sekolah dasar, ketika peserta didik diajar oleh seorang guru kelas. Sementara itu, bentuk “embedded STEM” lebih tepat dilakukan pada jenjang sekolah menengah. Pendidikan STEM terwujud dalam situasi tertentu ketika pembelajaran sains (termasuk kimia) atau matematika melibatkan akitivitas pemecahan masalah otentik dalam konteks sosial, kultural, dan fungsional (Roberts, 2012). Sains (termasuk kimia) dan matematika dipandang tepat untuk menjadi kendaraan untuk membawa Pendidikan STEM, sebab kedua mata pelajaran ini merupakan mata pelajaran pokok dalam pendidikan dasar dan menengah, dan menjadi landasan bagi peserta didik untuk memasuki karir dalam disiplin-disiplin STEM, yang dipandang fundamental bagi inovasi teknologi dan produktivitas ekonomi. Sesuai dengan krakteristik implementasi pendidikan STEM, penilaian hasil belajar dalam konteks pembelajaran kimia berbasis STEM perlu lebih menitikberatkan asesmen otentik, khususnya asesmen kinerja (performance assessment). Pembelajaran kimia berbasis pendidikan STEM menuntut pergeseran metode penilaian, dari penilaian konvensional yang bertumpu pada ujian dengan tes ke arah penilaian otentik yang bertumpu pada penilaian kinerja. Penilaian kinerja dengan menggunakan rubrik yang terancang baik perlu dilakukan guru, teman, serta peserta didik sendiri terhadap kinerja peserta didik selama aktivitas belajar serta produk hasil kerja kolaboratif untuk mengungkap ketercapaian standar hasil pembelajaran. Pengalaman belajar kimia berbasis pendidikan STEM diharapkan sekaligus dapat mengembangkan pemahaman peserta didik terhadap konten kimia, kemampuan inovasi dan pemecahan masalah, soft skills (antara lain komunikasi, kerjasama, kepemimpinan). Dampak lebih lanjut dari pembelajaran kimia berbais STEM adalah meningkatknya minat dan motivasi peserta didik untuk melanjutkan studi dan berkarir dalam bidang profesi iptek, sebagaimana dibutuhkan negara saat ini dan di masa datang. FITUR PEMBELAJARAN KIMIA BERBASIS PENDIDIKAN STEM Dalam kaitan dengan implementasi pendidikan STEM, Bybee (2013) menyatakan bahwa dalam pembelajaran STEM, peserta didik pada jenjang pendidikan menengah perlu ditantang untuk melakukan tugas-tugas rekayasa otentik sebagai komplemen dari pembelajaran sains melalui kegiatan-kegiatan proyek yang mengintegrasikan sains (termasuk kimia), enjiniring, teknologi, dan matematika. Pendidikan kimia berbasis STEM menuntut pergeseran moda proses pembelajaran dari moda konvensional yang berpusat pada guru (teacher centered) yang mengandalkan transfer pengetahuan ke arah moda pembelajaran berpusat pada peserta didik (student centered) yang mengandalkan keaktifan, hands-on, dan kolaborasi peserta didik. Pembelajaran kimia berbasis STEM perlu dilaksanakan dalam unit-unit pembelajaran berbasis masalah (problem based learning), yang di dalamnya peserta didik ditantang secara kritis, kreatif, dan inovatif untuk memecahkan masalah nyata, yang melibatkan kegiatan kelompok (tim) secara kolaboratif. Pembelajaran kimia berbasis STEM dalam kelas didesain untuk memberi peluang bagi peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuan akademik dalam dunia nyata. LITBANG PEMBELAJARAN KIMIA BERBASIS STEM Pengembangan literasi STEM bukan perkara mudah. Paling sedikit diperlukan satu dekade untuk mengembangkan pendidikan STEM di suatu Negara (Bybee, 2010). Dua tahun pertama diperlukan untuk menginisiasi reformasi pendidikan STEM dengan tujuan mendesain, mengembangkan, dan mengimplementasikan model-model unit pembelajaran STEM. Enam tahun selanjutnya untuk memasukan pendidikan STEM ke dalam kurikulum. Dua tahun berikutnya diperlukan untuk memberlanjutkan reformasi STEM, yakni membangun kapasitas sekolah dalam melakukan peningkatan berkelanjutan program pendidikan STEM. Fase awal pengembangan pembelajaran kimia berbasis pendidikan STEM menuntut partisipasi komunitas pendidikan kimia (mahasiswa, guru dan dosen), khususnya untuk berinovasi mendesain model-model unit A-5 Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pembelajarannya, ISBN : 978-602-0951-12-6 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 17 September 2016 pembelajaran kimia berbasis STEM yang efektif implementasinya dalam setting sekolah atau luar sekolah. Dalam kaitan ini, penelitian tindakan kelas (PTK) di sekolah dan penelitian di kampus perguruan tinggi dalam bidang pendidikan kimia diharapkan berkontribusi pada inovasi model-model unit pembelajaran kimia berbasis pendidikan STEM dan peralatan pembelajaran (teaching materials) yang teruji efektivitasnya berdasarkan riset ilmiah berbasis kelas (classroom-based scientific research). Inovasi dan penelitian tersebut meliputi dua tahap penting, yakni tahap pengembangan dan tahap pengujian lapangan. Tahap pengembangan mencakup analisis konten materi pokok dalam kurikulum kimia yang berlaku, kemudian menggagas inovasi pembelajaran konten kimia tersebut yang mengintegrasikan teknologi (T), enjiniring (E), dan matematika (M) di dalamnya, sehingga prospektif untuk mewujudkan literasi STEM generasi muda. Tahap pengujian melibatkan desain-desain eksperimentasi untuk menguji keefektifan unit-unit pembelajaran sains (termasuk alat dan bahan pembelajaran) berbasis STEM yang digagas dalam berbagai setting sekolah. Kontribusi komunitas pendidikan kimia pada tahap selanjutnya dapat berupa keterlibatannya dalam advokasi pentingnya integrasi pendidikan STEM ke dalam kebijakan kurikulum nasional, serta pengembangan kompetensi guru untuk menjamin efektivitas implementasikan pendidikan STEM sesuai kurikulum yang berlaku. Dukungan riset ilmiah dalam fasefase tersebut diperlukan untuk menginvestigasi efektivitas implementasi pembelajaran kimia berbasis pendidikan STEM pada skala lebih makro, serta terlibat dalam pengembangan kapasitas sekolah untuk mengelola pendidikan STEM. di dalamnya terintegrasi perancangan desaindesain sistem dan penggunaan teknologi untuk pemecahan masalah nyata. Dengan demikian diharapkan pembelajaran kimia berbasis pendidikan STEM berkontribusi pada peningkatan daya saing Indonesia. Implementasi pembelajaran kimia berbasis pendidikan STEM menuntut pergeseran moda pembelajaran dari pembelajaran berpusat pada guru ke pembelajaran berpusat pada peserta didik, dari pembelajaran individual ke arah pembelajaan kolaboratif dan menekankan aplikasi pengetahahuan sains, kreativitas dan pemecahan masalah. Di samping itu implementasi pembelajaran sains berbasis STEM juga menuntut pergeseran metode penilaian, dari penilaian konvensional bertumpu pada testing ke arah penilaian otentik yang menekankan penilaian kinerja dan produk kerja. Inovasi-inovasi guru kimia dan mahasiswa pendidikan kimia didorong untuk berkontribusi pada pengembangan pembelaaran kimia berbasis pendidikan STEM, melalui mengembangan unit-unit pembelajaran kimia beserta alat dan bahan pembelajaran yang terbukti keefektifannya melalui penelitian ilmiah. KESIMPULAN Pendidikan STEM merupakan gerakan global dalam praktik pendidikan yang mengintegrasikan dengan berbagai pola integrasi untuk mengembangkan kualitas SDM yang sesuai dengan tututan keterampilan Abad ke-21. Pembelajaran kimia berbasis pendidikan STEM kompatibel dengan sistem kurikulum yang berlaku di Indonesia masa kini. Pembelajaran kimia berbasis STEM adalah pembelajaran materi pokok kimia yang Hanover Research (2011). education overview. DAFTAR PUSTAKA Bybee, R. W. (2010). Advancing STEM education: A 2020 vision. Technology and Engineering Teacher, 70(1), 30-35. Bybee, R. W. (2013). The case for STEM education: Challenges and opportunity. Arlington, VI: National Science Teachers Association (NSTA) Press. Dugger, Jr., W. E. (n.d.). Evolution of STEM in the United States. Retrieved July 20, 2015, from http://www.iteea.org/Resources/PressRo om/AustraliaPaper.pdf. K-12 STEM Inovasi pendidikan tingkatkan daya saing (2015, July 15). Kompas, p.12. Kemdikbud (2013). Lampiran Peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan Nomor 68 tahun 2013 tentang Kerangka dasar dan struktur kurikulum sekolah menengah pertama/madrasah tsanawiyah. Jakarta: Kemdikbud. A-6 Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pembelajarannya, ISBN : 978-602-0951-12-6 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Surabaya, 17 September 2016 National STEM Education Center (2014). STEM education network manual. Bangkok: The Institute for the Promotion of Teaching Science and Technology. engineering (STEM) education in Thailand and in ASEAN. Bangkok: Institute for the Promotion of Teaching Science and Technology (IPST). Roberts, A. (2012). A justification for STEM education. Technology and Engineering Teacher, 74(8), 1-5. Reeve, E. M. (2013) Implementing science, technology, mathematics and A-7