Uploaded by bangranov

POLICY-BRIEF-FIA-UI-2017

advertisement
PENYUNTING
Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si.
Dr. Umanto, M.Si.
Serial Policy Brief 2017
Dicetak oleh Fakultas Ilmu Administrasi
Universitas Indonesia, Depok 16424, Jawa Barat
Email: [email protected]
Telepon: +6221 78849087
DAFTAR ISI
PENYUNTING ........................................................................................ ii
DAFTAR ISI............................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................... vii
Seri Policy Brief – Nomor 001-2017
IMPLEMENTASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
oleh Kesti Wulandari dan Roy Valiant Salomo ...................... 1
Seri Policy Brief – Nomor 002-2017
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENDORONG
HILIRISASI INDUSTRI HASIL PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN INOVASI TEKNOLOGI IMPLAN
TULANG ZENMED
oleh Dwi Lestari dan Lina Miftahul Jannah ........................... 11
Seri Policy Brief – Nomor 003-2017
PROGRAM DIKLAT TEKNIS DALAM MENGEMBANGKAN
TEKNOLOGI PENERBANGAN DI LEMBAGA
PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
oleh Andini Elvis Pratiwi dan Vishnu Juwono .................... 20
Seri Policy Brief – Nomor 004-2017
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL, KOMITMEN
KEORGANISASIAN, DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP
PERILAKU ETIS PEGAWAI DI PUSDIKLAT PEGAWAI
KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN
oleh Renny Retnowatie dan Pantius Drahen Soeling ....... 29
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
iii
Seri Policy Brief – Nomor 005-2017
IMPLEMENTASI ANALISIS JABATAN PADA JABATAN
FUNGSIONAL DI INSTANSI PEMERINTAH
oleh Agus Muhammad Arifin dan Amy Yayuk Sri
Rahayu .................................................................................................. 35
Seri Policy Brief – Nomor 006-2017
MEMPERSIAPKAN INOVASI DI PUSDIKLAT
KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN
oleh Vetty Ilona dan Lina Miftahul Jannah ............................ 47
Seri Policy Brief – Nomor 007-2017
MENUMBUHKAN ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN PELAKU
USAHA KECIL DAN MENENGAH
oleh Agrin Syifarose Mulyadi dan Umanto ............................ 57
Seri Policy Brief – Nomor 008-2017
REFORMULASI KEBIJAKAN CFC (CONTROLLED FOREIGN
COMPANIES) RULES DI INDONESIA
oleh Nur Afianti Fajriyan dan Haula Rosdiana .................... 64
Seri Policy Brief – Nomor 009-2017
KNOWLEDGE CREATION DI PUSAT PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN PEGAWAI KEMENTERIAN
KETENAGAKERJAAN
oleh Alfiah Pra Mundiarsih dan Andreo Wahyudi
Atmoko.................................................................................................. 75
iv
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Seri Policy Brief – Nomor 010-2017
MENUJU TATAKELOLA PERENCANAAN PEMBANGUNAN
PERTANIAN LEBIH TERDESENTRALISASI DAN
TERINTEGRASI
oleh R. N. Afsdy Saksono, Eko Prasojo, dan Andreo
Wahyudi Atmoko .............................................................................. 84
Seri Policy Brief – Nomor 011-2017
ISU DISKRESI DALAM KASUS KORUPSI KEPALA DAERAH
DI INDONESIA
oleh Teguh Kurniawan, Eko Prasojo, dan Gunadi .............. 97
Seri Policy Brief – Nomor 012-2017
MEMANDANG TAX ALLOWANCE SEBAGAI BAGIAN DARI
INSENTIF EKONOMI
oleh Suhartanto dan Ning Rahayu .......................................... 106
Seri Policy Brief – Nomor 013-2017
PENERAPAN SISTEM TUNJANGAN KINERJA PEGAWAI
NEGERI SIPIL DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
DAN KEHUTANAN
oleh Nizar dan Amy Yayuk Sri Rahayu .................................. 114
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
v
vi
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
KATA PENGANTAR
Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag. Rer. Publ.
Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia
Assalamualaikum
Sejahtera.
Warahmatullahi
Wabarakatuh,
Salam
Syukur Alhamdulillah, Buku Kumpulan Policy Brief Tahun 2017
ini telah dirampungkan oleh Tim Penyusun. Penghargaan
setinggi-tinginya diberikan kepada Manajer Pendidikan dan
Kemahasiswaan, Ketua dan Sekretaris Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Administrasi, dan Ketua Unit Penjaminan Mutu
Akademik & Satuan Pengawas Internal Fakultas Ilmu
Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI).
Sesuai dengan visi FIA UI yaitu menjadi pusat pembangunan
ilmu yang unggul dalam studi administrasi dan kebijakan serta
tata kelola stratejik berbasis tri dharma perguruan tinggi di
Asia Tenggara. Dibuatnya buku ini bertujuan untuk
memanfaatkan
karya
mahasiswa
berupa
dari
skripsi/tesis/disertasi/penelitian lainnya setiap semester yang
jumlahnya cukup banyak untuk memberikan masukan kepada
pihak-pihak yang terkait termasuk pemerintah, dalam rangka
memperkuat evidence-based policy making.
Pada edisi ini, buku ini berisi policy brief yang dibuat oleh
mahasiswa pada jenjang Magister dan Doktor. Diharapkan,
buku ini dapat memberikan kontribusi FIA UI pada bangsa dan
negara, khususnya pada pembuat kebijakan yang terkait.
Kesulitan menyusun sebuah policy brief atau ringkasan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
vii
kebijakan ini adalah bagaimana membuat menuangkan sebuah
hasil penelitian yang berbasis akademik (tesis dan disertasi)
menjadi tulisan praktis yang mudah dipahami oleh pembuat
kebijakan. Dalam buku ini ada beragam model penulisan policy
brief yang digunakan. Namun demikian, perbedaan model ini
tidak mengurangi kualitas policy brief yang kami hadirkan. Ke
depannya, perlu dilakukan pembimbingan intensif, baik oleh
pembimbing tugas akhir, ataupun pelatihan berkala bagi
sivitas akademika tentang pembuatan ringkasan kebijakan ini.
Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, demikian pula
dengan Buku Kumpulan Policy Brief ini yang masih terus
dikembangkan sering dengan kebutuhan dan perkembangan
FIA UI. Sekali lagi terima kasih kepada Tim Penyusun yang
telah bekerja keras (Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si. dan Dr.
Umanto, M.Si) yang telah menyelesaikan buku ini. Semoga
Allah SWT selalu meridhoi niat dan upaya kita semua.
Depok, 27 Oktober 2017
viii
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Seri Policy Brief – Nomor 001-2017
IMPLEMENTASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
oleh Kesti Wulandari dan Roy Valiant Salomo
Ringkasan Eksekutif
Penelitian ini membahas Implementasi Penganggaran Berbasis
Kinerja di Sekretariat Kabinet (Studi Kasus Tahun 2016) dilihat
dari komponen Penganggaran Berbasis Kinerja, yaitu Indikator
Kinerja, Standar Biaya dan Evaluasi Kinerja serta Prakondisi
Penganggaran Berbasis Kinerja di Sekretariat Kabinet. Temuan
dari penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi
Penganggaran Berbasis Kinerja di Sekretariat Kabinet belum
sepenuhnya
menerapkan
komponen-komponen
dari
Penganggaran
Berbasis
Kinerja.
Prakondisi
yang
mengakibatkan
belum
maksimalnya
Implementasi
Penganggaran Berbasis Kinerja di Sekretariat Kabinet antara
lain lingkungan atau kondisi yang kurang mendukung dan
kurang berorientasi pada kinerja, sistem kontrol yang kurang
efektif dari pimpinan kementerian/lembaga, dan penerapan
Strategic Planning yang kurang baik.
A. Pendahuluan
Reformasi pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2004 antara lain memuat perubahan dalam proses penyusunan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
1
dan pelaksanaan anggaran. Perubahan yang paling mendasar
adalah perubahan dari sistem penganggaran yang bersifat
input/aktivitas (in line budgeting system), menjadi sistem
penganggaran yang menggunakan tiga pilar pendekatan, salah
satunya yaitu penganggaran berbasis kinerja (performance
based budgeting system).
Anggaran berbasis kinerja dapat dikatakan efektif apabila
dapat mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan antara
setiap biaya dengan hasil yang akan dicapai. Dengan adanya
integrasi yang terpadu antara rencana kinerja tahunan dengan
dokumen anggaran tahunan maka hal ini menunjukkan bahwa
suatu tujuan dapat dicapai pada tingkat pengeluaran tertentu
(Mercer, 2002:2). Akan tetapi, mendefinisikan target kinerja
organisasi yang dapat diukur secara handal dalam periode
tertentu merupakan aspek yang paling sulit dalam
implementasi anggaran berbasis kinerja. Permasalahannya
terletak pada jenis kinerja yang akan diukur, yaitu terdapat
perbedaan tingkat dalam pengukuran kinerja dari yang paling
mudah untuk diukur hingga yang paling kompleks, yaitu input,
aktivitas, efisiensi, outcome, dan efektifitas (Hager, Hobson,
and Wilson, 2001:13-15). Sebagaimana yang disampaikan
dalam Better Practice Guide Penganggaran Berbasis Kinerja
(Kementerian keuangan, 2014), tantangan terbesar dalam
pengembangan penganggaran berbasis kinerja adalah
menetapkan informasi kinerja yang sederhana, terjangkau dan
dapat digunakan.
2
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
B. Pendekatan dan Metode
Pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai
kelemahan yang terdapat dalam anggaran tradisional,
khususnya kelemahan yang disebabkan oleh tidak adanya
tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja
dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik.
Anggaran dengan pendekatan kinerja sangat menekankan pada
konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output
(Mardiasmo, 2009).
Robinson dan Last (2009) mengemukakan tujuan dari
penerapan penganggaran berbasis kinerja, yaitu:
“untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja publik
dengan menghubungkan pendanaan organisasi sektor publik
dengan hasil yang mereka capai, dengan memanfaatkan
informasi kinerja secara sistematis”.
Informasi yang sistematis tentang efisiensi dan efektivitas
belanja publik adalah alat yang paling mendasar dari
penganggaran berbasis kinerja, karena penyusunan anggaran
berbasis kinerja dapat dilakukan jika pemerintah memiliki
informasi kinerja yang dapat dipercaya dan tersedia tepat
waktu. Dengan demikian maka setiap instansi pemerintah
harus secara eksplisit menentukan outcome dari output
pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat, dan
menyajikan indikator kinerja utama yang akan digunakan
untuk mengukur efektivitas dan efisiensi layanan mereka.
Selain ketersediaan informasi kinerja yang tepat, informasi
kinerja tersebut juga harus benar-benar digunakan dalam
proses penyusunan anggaran. Agar penganggaran berbasis
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
3
kinerja dapat berhasil, pada proses penyusunan anggaran
perlu diintegrasikan antara penentuan prioritas anggaran
belanja dengan hasil program yang akan dicapai.
Penelitian ini menggunakan pendekatan post positivis dengan
metode pengumpulan data secara kualitatif, sedangkan teknik
pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi
kepustakaan serta dokumen. Pemilihan informan dilakukan
secara purposive yang dianggap representatif dan memahami
masalah yang akan diteliti. Oleh karena itu, informan yang
dijadikan sebagai narasumber adalah pejabat dan pegawai di
lingkungan Sekretariat Kabinet yang terkait dalam proses
perencanaan dan penganggaran di Sekretariat Kabinet, antara
lain: Biro Perencanaan dan Keuangan, Biro Akuntabilitas
Kinerja dan Reformasi Birokrasi, Inspektorat serta mitra kerja
Sekretariat Kabinet dari Kementerian Keuangan, Kementerian
PPN/Bappenas dan Kementerian PAN dan RB yang
berhubungan dengan proses penyusunan anggaran berbasis
kinerja.
C. Implikasi dan Rekomendasi
Komponen-komponen penting dalam Penganggaran Berbasis
Kinerja adalah (Modul Diklat Penyusunan Anggaran Berbasis
Kinerja: Konsep Perencanaan dan Penganggaran, Kementerian
Keuangan, 2016):
1. Adanya kinerja yang jelas dan terukur, untuk mengukur
kinerja maka ditetapkanlah indikator kinerja sebagai acuan
dalam melakukan kegiatan.
4
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
2. Setelah kinerja ditetapkan diperlukan biaya untuk
mewujudkan kinerja tersebut, terkait dengan biaya ini maka
harus ada standar-standar biaya.
3. Agar ada perbaikan dalam proses penganggaran berikutnya,
maka diperlukan evaluasi terhadap anggaran tersebut, baik
evaluasi pencapaian kinerja maupun evaluasi terhadap
realisasi anggaran. Dengan adanya realisasi ini diharapkan
dapat dimanfaatkan untuk perbaikan pola penganggaran
berikutnya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Implementasi
Penganggaran Berbasis Kinerja di Sekretariat Kabinet belum
sepenuhnya
menerapkan
komponen-komponen
dari
Penganggaran Berbasis Kinerja. Hal ini tercermin dari:
1. Indikator Kinerja Outcome yang belum mencerminkan core
bussiness dari Sekretariat Kabinet dan belum sesuai dengan
prinsip
SMART-C.
Sebagai
contoh,
indikator
“ditindaklanjuti”
yang
sulit
untuk
dilakukan
pengukurannya. Karakteristik dari organisasi Sekretariat
Kabinet bersifat kesekretariatan dan pelayanan kepada
Presiden,
sehingga
mengalami
kesulitan
dalam
merumuskan outcome karena Sekretariat Kabinet tidak
mempunyai kegiatan teknis yang dapat mengukur
pencapaian outcome tersebut.
2. Tidak adanya Standar Biaya Keluaran dan belum diterapkan
prinsip value for money terhadap penyusunan komponen
biaya. Dalam penyunan RKA-K/L Tahun 2016, Sekretariat
Kabinet hanya berpedoman pada Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 65/PMK.02/2015 tentang Standar Biaya
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
5
Masukan Tahun Anggaran 2016 dan Keputusan Deputi
Bidang Administrasi selaku Kuasa Pengguna Anggaran
Nomor: KEP.6/ADM/II/2016 tentang Satuan Biaya
Kegiatan/Pelayanan di Lingkungan Sekretariat Kabinet
Tahun 2016.
3. Mekanisme feedback yang belum berjalan dengan baik,
sehingga rekomendasi hasil evaluasi tidak dimanfaatkan
dan belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan kinerja program dan kegiatan. Berdasarkan
hasil penelitian ditemukan bahwa karakteristik penyerapan
anggaran di Sekretariat Kabinet adalah penyerapan yang
rendah di semester pertama dan menumpuk pada akhir
tahun berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa rekomendasi
yang terdapat dalam Laporan Hasil Pemantauan dan
Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Sekretariat Kabinet tidak
dimanfaatkan oleh unit kerja terkait.
Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Sekretariat
Kabinet yang masih belum sesuai dengan harapan disebabkan
karena belum dipenuhinya prakondisi-prakondisi, sebagai
berikut:
1. Lingkungan atau kondisi yang kurang mendukung dan
kurang berorientasi pada kinerja. Hal ini tercermin dari
budaya kinerja di Sekretariat Kabinet yang belum
terbangun dengan baik dan kurangnya komitmen dari
pimpinan. Masih ada perbedaan persepsi diantara
pimpinan, sebagian pimpinan ada yang sudah memberikan
perhatian terhadap kinerja, namun ada juga yang hanya
memandang sebagai pemenuhan kewajiban atas data atau
dokumen tertentu.
6
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
2. Sistem kontrol yang kurang efektif dari pimpinan
kementerian/lembaga. Hal ini tercemin dari tidak adanya
mekanisme atas tindak lanjut terhadap hasil monitoring dan
evaluasi. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa
kontrol pimpinan masih belum terlihat secara konkrit.
Proses kontrol dari pimpinan dalam hal ini KPA pernah
dilakukan dalam bentuk monitoring bulanan atas realisasi
anggaran dan capaiannya. Akan tetapi mekanisme tersebut
tidak berlangsung secara kontinu.
3. Penerapan Strategic Planning yang kurang baik.
Berdasarkan hasil penelitian terlihat adanya tingkat
kekonsistenan dan sinkronisasi yang tinggi antara Renstra
dengan Renja Sekretariat Kabinet. Akan tetapi ditemukan
ketidakkonsistenan antara perumusan Sasaran Strategis
dalam Renstra bila dibandingkan dengan dokumen Laporan
Kinerja. Selain itu ditemukan juga kurangnya sinkronisasi
antara Indikator Sasaran Strategis yang ada dalam Renstra
dengan dokumen Laporan Kinerja.
Saran perbaikan terhadap hasil penelitian sebagaimana
diuraikan di atas adalah:
Rekomendasi 1 – Komponen Penganggaran Berbasis
Kinerja
a. Perlu menyusun Kamus Indikator Kinerja sebagai pedoman
dalam penyusunan informasi kinerja sehingga Sekretariat
Kabinet dapat menyusun indikator kinerja yang SMART-C.
Dengan adanya Kamus Indikator Kinerja maka tidak ada lagi
perbedaan persepsi di antara unit kerja terkait definisi
rekomendasi, cara penetapan targetnya dan cara
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
7
pengukurannya.
Kamus
Indikator
Kinerja
adalah
dokumentasi yang menyangkut berbagai aspek mengenai
indikator-indikator kinerja, yang didalamnya mencakup
pengembangan indikator-indikator kinerja yang digunakan,
antara lain: definisi indikator, satuannya, di unit kerja mana
indikator
tersebut
digunakan,
kapan
dilakukan
pengukurannya, dan sumber data yang akan digunakan.
b. Perlu menyusun Standar Biaya Keluaran sehingga dapat
diketahui besaran biaya yang dibutuhkan untuk
menghasilkan suatu keluaran kegiatan. Dengan adanya
standar biaya keluaran maka dapat dihitung tingkat
efisiensi dari output-output yang dimiliki oleh Sekretariat
Kabinet.
c. Perlu meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi antara Biro
Perencanaan dan Keuangan, Biro Akuntabilitas Kinerja dan
Reformasi Birokrasi serta Inspektorat sehingga dokumen
perencanaan hingga dokumen pelaporan dapat lebih
selaras.
Rekomendasi 2 – Prakondisi Penganggaran Berbasis
Kinerja
a. Perlunya peningkatan keterlibatan dan komitmen pimpinan
terhadap proses perencanaan dan penganggaran, karena
dalam Penganggaran Berbasis Kinerja, diperlukan
kombinasi
antara
perencanaan
program
dengan
pendekatan top-down dan perencanaan anggaran dengan
pendekatan bottom-up. Penerapan pendekatan kombinasi
antara top-down dan bottom-up mempunyai manfaat
sebagai berikut: 1) Terdapat komitmen dan kepemilikan
8
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
yang lebih besar terhadap proses penetapan anggaran
karena setiap level manajerial (eselonisasi) terlibat dalam
proses
penganggaran;
2)
Kombinasi
pendekatan
mendorong perspektif organisasi yang konsisten dengan
prioritas pemerintah karena pimpinan menetapkan sasaran
strategis dan kendala yang diturunkan (cascade) ke setiap
level manajerial (eselonisasi); dan 3) Anggaran disusun oleh
orang-orang yang bertanggung-jawab langsung terhadap
kegiatan.
b. Perlu adanya mekanisme umpan balik dari pimpinan atas
hasil evaluasi, karena evalusi sangat penting dalam proses
Penganggaran Berbasis Kinerja. Hasil evaluasi diperlukan
untuk perbaikan Penganggaran Berbasis Kinerja di tahun
berikutnya.
c. Perlu meningkatkan kualitas manajemen kinerja melalui
pengembangan budaya kinerja di Sekretariat Kabinet.
Lingkungan atau kondisi yang mendukung dan telah
berorientasi pada kinerja merupakan prasyarat utama
dalam
penganggaran
berbasis
kinerja
mengingat
Penganggaran Berbasis Kinerja berkaitan dengan
perubahan paradigma dan mind set bagi para pelaku yang
terlibat dalam pengelolaan anggaran, yang selama ini lebih
berorientasi pada besaran anggaran daripada kinerja yang
akan dihasilkan.
Referensi
1. BPPK Kementerian Keuangan. (2016). Modul Konsep
Perencanaan dan Penganggaran. Bogor.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
9
2. Hager, Greg., Hobson, Alice and Wilson, Ginny. (2001).
Performance Based-Budgeting: Concept and Examples.
Legislative Research Commission.
3. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2014). Better
Practice Guide: Penganggaran Berbasis Kinerja. Jakarta.
4. Mercer, John. (2002). Performance Budgeting for Federal
Agencies: A Framework. AMS.
5. Mardiasmo. (2009). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta:
Penerbit ANDI.
6. Robinson, Marc and Last, Duncan. (2009). A Basic Model of
Performance-Based Budgeting. IMF- Technical Notes And
Manual.
---***---
10
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Seri Policy Brief – Nomor 002-2017
COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENDORONG
HILIRISASI INDUSTRI HASIL PENELITIAN DAN
PENGEMBANGAN INOVASI TEKNOLOGI IMPLAN
TULANG ZENMED
oleh Dwi Lestari dan Lina Miftahul Jannah
A. Ringkasan Eksekutif
Hasil riset dan inovasi selalu berakhir di perpustakaan
universitas dan buku laporan tahunan Kementerian/Lembaga
saja, karena selalu terdapat jeda yang memisahkan antara
invensi yang diperoleh dari penelitian di universitas/lembaga
litbang dengan inovasi yang mengenalkan teknologi dan
peluang usaha baru melalui komersialisasi invensi tersebut.
Jeda pemisah ini secara umum dikenal sebagai Fenomena
Lembah Kematian atau Valley of Death (dalam beberapa
literatur disebut pula dengan istilah Darwinian Sea), yakni
suatu keadaan dimana fisibilitas investasi dan pembiayaan
invensi menjadi inovasi radikal berbasis teknologi menghadapi
risiko
paling
tinggi
karena
kompleksitas
dan
ketidakpastiannya. Masih terdapat gap antara hasil penelitian
yang dilakukan dengan kebutuhan industri sehingga penelitian
tidak bisa naik ke TRL yang lebih tinggi yaitu dalam fase
applied research innovation.
Masalah yang dihadapi oleh lembaga litbang selama ini antara
lain adalah ketidakterpakaian hasil riset dan pengembangan
oleh masyarakat dan industri, terdapat missing link antara riset
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
11
dengan pengguna, baik pemerintah maupun swasta (industri).
Secara kelembagaan juga ada masalah tumpang tindih lembaga
penelitian. Selain persoalan kuantitas dan kualitas, penelitian
sejumlah lembaga penelitian di Indonesia sering kali tumpang
tindih. Akibatnya, penelitian yang dilakukan kurang
menghasilkan kemajuan berarti karena mengulang-ulang
penelitian yang dilakukan lembaga lain. Lebih lanjut
permasalahan yang dihadapi antara lain koordinasi antar
lembaga litbang yang belum terjalin dengan baik.
Salah satu hasil penelitian yang sedang dikembangkan menuju
hilirasi industri adalah pemanfaatan inovasi teknologi biomaterial untuk pembuatan implan tulang yang dikembangkan
oleh peneliti BPPT bekerjasama dengan PT. Zenith Allmart
Precissindo dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi.
B. Pendekatan dan Metode
John Wanna (Wanna & O'Flynn, 2008) mengemukakan bahwa
yang dimaksud dengan kolaborasi berarti bekerja bersama
atau bekerja sama dengan orang lain, kolaborasi menyiratkan
aktor yaitu individu, kelompok atau organisasi yang bekerja
keras bersama dengan syarat dan kondisi yang bervariasi.
Dalam rangka hilirisasi riset ke industri diperlukan
sinkronisasi dan kolaborasi kebijakan strategis terintegrasi
antara para stakeholder inovasi melalui collaborative
governance. Kolaborasi antar stakeholder bertujuan untuk
meningkatkan secara keseluruhan praktek dan efektivitas
administrasi publik sehingga tujuan kolaborasi dapat dicapai
lebih cepat. Komitmen dalam kolaborasi dapat mendorong
perubahan organisasi dan mempengaruhi perubahan alokasi
12
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
sumber daya karena dengan kolaborasi terdapat pembagian
sumber daya (shared resources) dan pembagian tanggung
jawab (shared responsibilities). Kolaborasi juga dapat
menggabungkan keahlian dan kapasitas sehingga dapat
menciptakan pembelajaran bersama dan berbagi pengalaman
yang pada akhirnya akan menciptakan arah pembangunan
kapasitas institusi baik dari dalam maupun dari luar
organisasi.
C. Isu Strategis dan Alternatif Kebijakan
Dalam mendorong hiirisasi hasil penelitian dan pengembangan
terdapat beberapa isu strategis yaitu:
Isu pertama, Kebijakan Pemerintah
Program penguatan hilirisasi hasil penelitian dan
pengembangan di Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi harus didukung dengan kebijakan yang
memperkuat iklim kolaborasi antara lembaga penelitian
dengan bisnis, masyarakat sebagai stakeholder yang terlibat
dalam hilirisasi hasil riset.
Alternatif pertama, Kementerian Riset, Teknologi dan
Pendidikan Tinggi perlu melakukan penguatan kebijakan
untuk mendukung hilirisasi hasil penelitian ke industri dengan
mengatur skema kerjasama antara peneliti/perekayasa dengan
industri, sehingga penelitian dan pengembangan yang
dilakukan oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi sesuai
dengan kebutuhan masyarakat berdasarkan market driven
inovasi teknologi.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
13
Alternatif kedua, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi perlu mengawal koordinasi peneliti/ perekayasa dengan
sektor terkait dalam hilirisasi industri, misalnya Kementerian
Kesehatan,
Kementerian
Perindustrian,
Kementerian
Perdagangan, Kementerian Keuangan dan sebagainya.
Isu kedua Anggaran
Anggaran merupakan permasalahan yang dianggap klasik oleh
kalangan birokrat dan peneliti karena permasalahan anggaran
pasti akan muncul dalam pembahasan mengenai suatu
permasalahan. Selain kecilnya anggaran penelitian dan
pengembangan yang saat ini hanya mencapai 0.08% dari GDP
juga adanya infleksibilitas dalam penggunaan anggaran. Selain
itu penguatan peran peneliti dan perekayasa juga diperlukan
untuk mendukung agar peneliti semakin leluasa dalam
melakukan penelitian dan pengembangan. Salah satu masalah
kebijakan yang sering dikeluhkan oleh peneliti kita adalah
adanya kebijakan anggaran yang sangat detail sehingga
memerlukan banyak waktu untuk mengurus administrasi
pemakaian anggaran penelitian.
Alternatif pertama, Pemerintah perlu meningkatkan anggaran
belanja dalam bidang penelitian dan pengembangan
Alternatif kedua, Kementerian Keungan dan LKPP diharapkan
memberikan peran serta dalam mendukung hilirisasi hasil
penelitian dalam negeri melalui dengan berkoordinasi dengan
Kementerian Riset. Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan
memberikan prioritas dan kemudahan dalam sertifikasi,
promosi dan distribusinya.
14
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Isu ketiga Infrastruktur
Dalam bidang infrastruktur saat ini Kemenristekdikti belum
mempunyai pusat data tentang penelitian dan pengembangan
yang telah dan sedang dilakukan oleh lembaga litbang dan
perguruan tinggi sehingga tidak dapat dijadikan acuan oleh
peneliti/perekayasa untuk memulai dan mengembangkan
riset. Tidak adanya pusat data yang akurat membuat
peneliti/perekayasa memulai kembali penelitian dari awal,
tidak bisa melanjutkan/meneruskan penelitian yang sudah ada
karena datanya belum tersusun dengan baik. Hal inilah yang
diduga menjadi penyebab tumpang tindihnya penelitian di
lembaga litbang dan universitas. Pusat data ini juga sebenarnya
dapat digunakan sebagai sumber data kebutuhan, tolak ukur
untuk menilai sejauh mana penelitian dan pengembangan
sudah dilakukan dan untuk menentukan arah strategi di masa
depan untuk mengantarkan produk inovasi menuju industri
unggulan.
Pangkalan Data dibuat berdasarkan data dan informasi yang
akurat mengenai perkembangan penelitian dan pengembangan
yang telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan pangkalan data
tersebut kemudian dibuat sebuah roadmap penelitian dan
pengembangan sehingga lembaga litbang bisa menentukan
arah riset yang dilakukan agar semakin terarah dan sesuai
dengan kebutuhan industri dan masyarakat.
D. Rekomendasi
1. Kemenristekdikti juga perlu membuat skema kebijakan
yang mendorong agar peneliti bekerjasama dengan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
15
industri
sejak
awal
penelitian,
yaitu
dengan
mempersyaratkan kerjasama peneliti dengan industri
dalam mendapatkan program insentif penelitian atau
mensyaratkan
pra-penelitian
mengenai
kebutuhan
masyarakat/industri terhadap penelitian tersebut.
2. Kementerian Riset. Teknologi dan Pendidikan Tinggi perlu
membangun Pangkalan Data (database) dalam bidang
penelitian dan pengembangan oleh lembaga litbang dan
perguruan tinggi untuk dapat menjadi acuan dan tolak
ukur penelitian dan pengembangan yang dilakukan
berikutnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih
penelitian atau pengulangan penelitian sehingga kualitas
penelitian dan pengembangan yang dilakukan akan
semakin sinergis dan berkelanjutan.
3. Peneliti dan perekayasa harus memperluas jaringan baik di
kalangan sesama peneliti dan perekayasa di lembaga
litbang dan perguruan tinggi maupun dengan industri dan
regulator untuk mengetahui kebutuhan masyarakat dan
mengetahui trend perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi mutakhir.
4. Industri diharapkan dapat aktif dan proaktif mendukung
penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh
lembaga litbang dan perguruan tinggi terutama yang
mencakup core business yang ditekuni sehingga bisa
memberi masukan kepada peneliti mengenai trend
perkembangan kebutuhan industri/pasar.
5. Industri diharapkan dapat mengivestasikan sebagian
keuntungannya dalam penelitian dan pengembangan yang
16
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
dilakukan lembaga litbang dan perguruan tinggi sehingga
dapat
mendukung
peneliti/perekayasa
mampu
menghasilkan produk hasil inovasi yang diinginkan
industri.
E. Mitigasi Resiko
1. Sharing Resources, dengan kolaborasi akan terjadi
pembagian sumber daya sehingga konsekuensinya juga
akan menciptakan sharing knowledge and royalty. Masingmasing aktor harus memahami bahwa knowledge is power
but sharing is more powerful sehingga pembagian
pengetahuan dan pengalaman menjadi hal dimanfaatkan
untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu penting bagi
masing-masing pihak untuk mengetahui sejauh mana hak
dan kewajiban masing-masing pihak serta persentase
pembagian royalty secara jelas dalam kontrak kerjasama
sehingga tidak akan terjadi konflik di masa yang akan
datang.
2. Risk Tolerance merupakan degree of variability in
investment return that an investor is willing to withstand,
dalam kolaborasi penting untuk mengetahui sejauh mana
resiko dapat ditolerir. Perlu dikaji dalam manajemen resiko
jika terjadi kegagalan dalam kolaborasi siapa pihak yang
akan menanggung kerugian baik itu berupa kerugian
finansial maupun reputational lost.
3. Sharing Risk, Reward and Responsibility, setelah risk
tolerance didefinisikan dan dipetakan maka berikutnya
terjadi pembagian resiko siapa yang akan menanggung
resiko jika terjadi kegagalan, pihak mana menanggung apa.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
17
Demikian sebaliknya jika berhasil maka akan terjadi
pembagian reward and responsibility sesuai dengan
presentase royalty serta hak dan kewajiban yang tertuang
dalam kontrak kerjasama.
Referensi
1. Goffin, K., & Mitchell, T. (2010). Innovation Management. UK:
Palgrave Matchmillan.
2. Wang, W., Hsu, H. S., Yen, H. R., Chiu, H.-C., & Wei, C.-P.
(2010). Developing and Validating Service Innovation
Readiness. Association for Information System (AIS
Electronic Library) .
3. Giedraityte, A. R. (2014). Innovation Process Barriers in
Public Sector: A Comparative Analysis. International Journal
of Business and Management; Vol. 9, Nomor 10 .
4. Wanna, J., & O'Flynn, J. (2008). Collaborative Governance, A
new era of public policy in Australia? Canberra: ANU Press.
5. Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative Governance in
Theory and Practice. Journal of Public Administration
Research and Theory , 543-571.
6. Leydendorff, L. (2006). The Knowledge-Based Economy And
The
Triple
Helix
Model.
www.leydesdorff.net/arist09/arist09.pdf.
7. OECD. (2013). Triple Helix Partnership For Innovation in
Bosnia
And
Herzegovina.
18
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
https://www.oecd.org/investmentcompact/Triple%20Heli
x%20English%20Version.pdf.
---***---
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
19
Seri Policy Brief – Nomor 003-2017
PROGRAM DIKLAT TEKNIS DALAM
MENGEMBANGKAN TEKNOLOGI PENERBANGAN DI
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA
NASIONAL
oleh Andini Elvis Pratiwi dan Vishnu Juwono
Ringkasan Eksekutif
Sumber Daya Manusia dalam sebuah organisasi memiliki peran
yang penting. Sumber daya manusia (SDM) sebagai sumber
daya yang dapat dimanfaatkan segala potensi yang dimilikinya
untuk mencapai tujuan organisasi. Meskipun di dalam sebuah
organisasi memiliki modal yang besar, teknologi yang canggih
dan sumber daya yang melimpah tapi tidak ada sumber daya
manusia (SDM) yang dapat mengelola dan memanfaatkannya
maka tidak akan mungkin dapat meraih keberhasilan dalam
mencapai tujuan organisasi.
A. Pendahuluan
Banyak masalah yang ada di Indonesia dalam bidang riset, di
antaranya tidak menariknya dunia penelitian, sistem
pendidikan yang tidak mendukung, kualitas peneliti yang
masih kurang, jumlah peneliti yang masih sedikit didukung
dengan peneliti yang usianya sudah menua. Dari sisi jumlah
pegawai, ada ribuan orang bekerja di beberapa lembaga riset,
namun yang melakukan riset sangat terbatas. Lebih dari
separuh pegawai merupakan tenaga pendukung.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
20
Jumlah peneliti di Indonesia di antara Negara anggota G-20
hanya 89 orang per 1 juta penduduk. Bandingkan dengan
Korea Selatan dengan 6.899 peneliti per 1 juta penduduk. Di
ASEAN, Indonesia juga jauh tertinggal dibandingkan jawara
riset ASEAN, Singapura, yang punya 6.658 peneliti pe 1 juta
penduduk. (Kompas, 20 September 2016).
Di antara lembaga pemerintah non kementerian yang
berkoordinasi dengan Kemenristekdikti yaitu Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional
(BATAN) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN), hanya BPPT yang 10 persen pegawainya
berpendidikan doktor, sedangkan di LAPAN hanya 2 persen
(Kompas, 20 September 2016). Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) adalah lembaga pemerintah non
kementerian yang berada dibawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri yang
membidangi riset, teknologi dan pendidikan tinggi.
LAPAN merupakan satu-satunya instansi di lingkungan
Kemenristekdikti yang menjalankan litbang khusus dalam
teknologi penerbangan. Khususnya dalam pengembangan
teknologi pesawat terbang sesuai dengan UU Nomor 1 tahun
2009 tentang Penerbangan dan Perpres Nomor 28 Tahun 2008
tentang Kebijakan Industri Nasional menyatakan bahwa
penguatan, pendalaman dan penumbuhan 6 (enam) klaster
industri prioritas, butir c, Industri alat angkut, Nomor 3,
tentang
Industri
Kedirgantaraan,
mengamanatkan
pengembangan pesawat berpenumpang kurang dari 30 orang
dengan mengembangkan PT. DI sebagai pusat produksi dan
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
21
sebagai pusat penelitian dan pengembangan produk
kedirgantaraan. Kemudian juga terbitnya Undang-undang
Penerbangan Nomor 1 tahun 2009, pasal 370 ayat 1 yang
menyebutkan
bahwa
pemberdayaan
industri
dan
pengembangan teknologi penerbangan wajib dilakukan oleh
pemerintah secara terpadu dengan dukungan semua sektor
terkait untuk memperkuat transportasi udara nasional.
Untuk mematuhi Peraturan Presiden dan menjalankan amanat
Undang-undang Penerbangan tersebut diatas, berdasarkan
Peraturan Kepala LAPAN nomor 2 tahun 2011, dibentuklah
Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) dibawah Deputi
Bidang Teknologi Penerbangan dan Antariksa yang tugasnya
melaksanakan penelitian, pengembangan, perekayasaan dan
pemanfaatan serta penyelenggaraan keantariksaan di bidang
teknologi aeronautika.
Sesuai dengan kegiatan utama LAPAN sebagai lembaga
penelitian dan pengembangan (litbang), kompisisi 3 Jabatan
Fungsional Khusus terbesar atau sebagai Human Capital (SDM
litbang) dalam organisasi adalah Peneliti sebanyak 283 orang
(37,53%), Teknisi Litkayasa sebanyak 165 orang (21,88%) dan
Perekayasa sebanyak 111 orang (14,72%). Selain itu, ada 11
jabatan fungsional khusus yang menunjang kegiatan
administrasi di LAPAN.
22
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Gambar 1
Komposisi SDM LAPAN berdasarkan jabatan fungsional khusus
Sumber: Lakin LAPAN 2016, 2017
Besarnya ruang lingkup litbang yang dilakukan oleh LAPAN,
berdampak pada tingginya kebutuhan SDM baik yang ahli
maupun terampil untuk melaksanakan program dan kegiatan
LAPAN sesuai dengan kompetensinya. Ada beberapa
kelemahan dari penelitian dan pengembangan di LAPAN,
antara lain: perlengkapan fasilitas litbang masih kurang
memadai dibandingkan dengan lembaga keantariksaan Negara
lain, produktivitas hasil litbang LAPAN masih belum memenuhi
standar pusat unggulan Ristekdikti, komposisi pendidikan
terakhir SDM LAPAN kurang lebih 40 persen berpendidikan
terakhir dibawah S1 dan jumlah SDM masih kurang dan
penyebarannya tidak merata. Dengan adanya kebijakan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
23
moratorium dari Pemerintah pusat, maka LAPAN tidak dapat
menambah jumlah SDM. Oleh karena itu, untuk mencapai
tujuan
strategi
LAPAN
tahun
2015-2019,
LAPAN
memberdayakan SDM peneliti, teknisi litkayasa dan
perekayasa yang dimilikinya dengan mengembangkan
kompetensinya.
Tujuan pengembangan SDM menurut Amstrong (2006) adalah
untuk memastikan bahwa organisasi mempunyai orang-orang
yang berkualitas untuk mencapai tujuan organisasi untuk
meningkatkan kinerja dan pertumbuhan. Sedangkan David
(2010) mengatakan bahwa tujuan dasar dari pelatihan adalah
menghilangkan
atau
memperbaiki
masalah
kinerja
(Sanjeevkumar, 2011).
Setelah reorganisasi di tahun 2011, maka LAPAN mulai
kembali kegiatan rancang bangun pesawat terbang. Dimulai
dengan keterlibatan LAPAN dalam program nasional pesawat
terbang N-219 bersama PT. DI. Pesawat N-219 merupakan
proyek nasional pesawat terbang kelas 19 penumpang
bermesin ganda yang sesuai dengan kondisi geografis
Indonesia yang khas, terutama di daerah terpencil yang
menuntut adanya pesawat yang bisa mengatasi kendala antara
lain landasan pendek dan berbukit-bukit.
Selain itu, LAPAN juga mempunyai program sendiri, yaitu
mengembangkan pesawat Light Surveillance Aircraft (LSA).
LSA merupakan pesawat ringan dengan atau tanpa awak.
Dalam mengembangkan pesawat LSA, LAPAN bekerjasama
dengan PT. DI, ITB dan Technical University Berlin. Misi dari
pengembangan pesawat LSA ini adalah untuk memperkuat
sistem
pemantauan nasional sekaligus memperkuat
24
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
penguasaan teknologi pesawat terbang. Selain Pesawat LSA,
LAPAN juga mengembangkan pesawat Unmanned Aerial
Vehicle (UAV) yang bekerjasama dengan Chiba University
Jepang, TUM Jerman serta KARI Korea yang mampu terbang
hingga 24 jam non stop, untuk memantau titik-titik perbatasan
(border monitoring system), pencurian ikan (illegal fishing)
maupun pengamanan dari pencurian hutan (illegal logding).
Pustekbang telah mengirimkan SDM untuk mengikuti pelatihan
dan pendidikan sejak tahun 2011 hingga sekarang. Akan tetapi
setiap selesai melakukan program diklat tersebut tidak pernah
dilaksanakan evaluasi pelatihan. Padahal tanpa dilakukannya
evaluasi kita tidak akan mengetahui seberapa efektifnya suatu
program diklat. Akibatnya anggaran dan waktu bisa terbuang
percuma. An evaluation of the training program is necessary to
determine whether the training accomplished its objectives,
menurut Pynes (2013). Ada 2 alasan utama mengapa evaluasi
jarang dilakukan, yang pertama karena berkaitan dengan biaya
yang diperlukan dan waktu yang dibutuhkan untuk
mengevaluasi hasil dari program diklat.
Cromwell and Kolb (2004) mengatakan bahwa tidak lebih dari
15 persen hasil dari pelatihan ditransfer pada pekerjaan
(Sanjeevkumar, 2011). Studi lain yang dilakukan oleh Baldwin
and Ford (1988); Burke and Hutchins (2007); Fitzpatrick
(2001); Ford and Kozlowski (1997) juga mendapati bahwa
biasanya rata-rata hanya berkisar antara 10 - 40 persen. Oleh
karena itu, penting untuk mengeksplorasi metode untuk
mendorong proses penerapan hasil pelatihan guna mencapai
tujuan pelatihan yang lebih besar terhadap praktek SDM.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
25
B. Pendekatan dan Metode
Evaluasi program diklat bertujuan untuk mengetahui
efektivitas program diklat dalam arti sejauhmana keberhasilan
program tersebut. Keberhasilan program diklat dapat diartikan
bahwa para peserta yang telah mengikuti program tersebut
diharapkan bertambah pengetahuan, keterlampilan dan
perubahan sikap dari sebelum mengikuti diklat dan setelah
mengikuti diklat terdapat perubahan untuk bekerja lebih
produktif.
Pada penelitian ini, peneliti hanya fokus pada level 3 dan 4
yaitu level perilaku (behavior) dan level hasil (result), karena
lokus tempat penelitian bukan sebagai penyelenggara
pendidikan dan pelatihan melainkan instansi yang
mengirimkan pegawainya untuk mengikuti pendidikan dan
pelatihan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional melalui wawancara
mendalam dan studi literature menunjukkan bahwa pada level
perilaku (behavior) terjadi perubahan sikap pegawai terhadap
tugas utama, waktu kerja, membuat keputusan, kerjasama tim
dan menghadapi kritikan, pegawai Pustekbang juga jadi lebih
professional dan termotivasi setelah mengikuti diklat.
Sedangkan pada level hasil (result) berdasarkan tabel capaian
kinerja tahun 2016, dapat dilihat bahwa dari 8 indikator
kinerja utama 7 diantaranya berhasil terealisasi semua dengan
nilai capaian 100%, sementara hanya 1 indikator kinerja yang
tidak terealisasi.
26
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Bila dibandingkan antara capaian kinerja tahun 2015 dan
tahun 2016, dapat dikatakan bahwa kinerja Pustekbang terjadi
peningkatan. Akan tetapi, peningkatan kompetensi SDM
Pustekbang harus terus dilaksanakan secara bertahap.
C. Implikasi dan Rekomendasi
Berdasarkan gambaran perilaku (behavior), pegawai
Pustekbang
telah
mengalami
peningkatan
terhadap
pengetahuan atau kompetensi dasarnya dan peningkatan
terkait pekerjaan sehari-hari. Peningkatan juga terjadi pada
pengetahuan pegawai terhadap program utama Pustekbang,
Demikian halnya dengan pengetahuan pegawai tentang visi
misi dari Pustekbang yang juga mengalami peningkatan.
setelah mengikuti diklat bahwa keterlampilan teknisi litkayasa
bertambah. Pegawai juga mampu untuk memenuhi standar
kinerja yang berlaku dan menularkan pengetahuan serta
keterlampilan yang di dapat dari diklat kepada pegawai lain.
setelah diklat adalah pegawai menjadi lebih professional dan
lebih termotivasi. Selain itu, sikap pegawai terhadap tugas
utamanya juga mengalami perubahan ke arah lebih baik. Sikap
terhadap waktu kerja, sikap dalam membuat keputusan, sikap
terhadap kerjasama dalam tim dan menghadapi kritikan juga
mengalami perubahan menjadi cepat, lebih menghargai rekan
dalam tim dan memiliki cara pandang baru.
Berdasarkan gambaran hasil (results) tujuan program diklat
telah berhasil dicapai melalui diklat teknis yang sudah
dilaksanakan. Hal tersebut juga terkait dengan visi misi LAPAN
maupun visi misi Pustekbang yang tercapai karena memang
pada saat menyusun perencanaan diklat, berdasarkan pada
tujuan program diklat yang mendukung visi misi organisasi.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
27
Kinerja pegawai setelah mengikuti diklat, didapatkan
peningkatan dalam pengetahuan, keterlampilan, juga sikapnya.
Dengan meningkatnya ketiga hal tersebut, maka kualitas dari
pegawai tersebut pun akan meningkat. Hasil diklat yang telah
dilaksanakan oleh pegawainya, dapat juga dinilai berdasarkan
hasil kerja yang juga meningkatkan kualitas pegawai tersebut.
Kinerja organisasi dapat tercapai target dan program yang
menjadi tujuan organisasi melalui pegawai yang mengikuti
diklat teknis karena pelatihan cenderung berfokus pada
kebutuhan organisasi secara langsung.
Referensi
1. Kirkpatrick, Donald L & Kirkpatrick, James D. (2005).
Evaluating Training Programs, The Four Levels (3rd ed).
Berrett-Koehler Publisher, Inc
2. Kirkpatrick, Donald L & Kirkpatrick, James D. (2007).
Implementing The Four Levels, a Practical Guide for Effective
Evaluation of Training Programs. Berrett-Koehler Publisher,
Inc.
3. Kirkpatrick, Donald L. (2006). Improving Employee
Performance Through Appraisal and Coaching (2nd ed).
Amacom, New York.
4. Stone, Raymond J. (2011). Human Resource Management
(7th ed). John Wiley & Sons, Inc.
---***---
28
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Seri Policy Brief – Nomor 004-2017
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL, KOMITMEN
KEORGANISASIAN, DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP
PERILAKU ETIS PEGAWAI DI PUSDIKLAT PEGAWAI
KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN
oleh Renny Retnowatie dan Pantius Drahen Soeling
Ringkasan Eksekutif
PNS sebagai salah satu aparatur negara mempunyai peranan
yang sangat strategis dalam menyelenggarakan tugas-tugas
negara, pemerintahan dan pembangunan sehingga setiap
perilaku PNS sering menjadi sorotan dari masyarakat terutama
perilaku negatif seperti terlambat datang, korupsi, belanja di
mall saat jam kantor, dan sebagainya. Oleh sebab itu
dibutuhkan sosok PNS yang memiliki perilaku etis yang baik
dalam menjalankan tugas dan dapat menunjukkan perilaku
yang sesuai dengan norma dan peraturan yang berlaku di
dalam organisasi. Dalam penelitian diperoleh variabel
kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan
kepuasan kerja pegawai memiliki pengaruh yang positif
terhadap perilaku etis pegawai di Pusdiklat Pegawai
Kementerian Ketenagakerjaan Hal ini berarti naik dan
turunnya
tingkat
kecerdasan
emosional,
komitmen
keorganisasian, dan kepuasan kerja pegawai secara bersamasama dapat mempengaruhi tingkat perilaku etis pegawai di
Pusdiklat Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan. Sehingga
diperlukannya mempertahankan dan meningkatkan kualitas
pegawai dengan menyediakan fasilitas dan sarana kerja yang
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
29
sesuai dengan kebutuhan pegawai, pemberian promosi kepada
pegawai yang berprestasi, mengikutsertakan pegawai ke dalam
berbagai kegiatan peningkatan softskill, memberikan
pemahaman tujuan organisasi kepada para pegawai, dan
sebagainya yang dapat memberikan dampak atau pengaruh
yang positif terhadap perilaku etis pegawai.
A. Pendahuluan
Salah satu isu strategis dalam reformasi birokrasi adalah
berkaitan dengan kompetensi SDM aparatur yang di dalamnya
mencakup etika dan budaya kerja. PNS sebagai salah satu
aparatur negara mempunyai peranan yang sangat strategis
dalam menyelenggarakan tugas-tugas negara, pemerintahan
dan pembangunan. Setiap tingkah laku atau perilaku seorang
PNS sering menjadi sorotan dari masyarakat. Masyarakat
banyak melihat beberapa kali terjadi pemberitaan terhadap
perilaku PNS yang tidak etis yang sangat memberikan kesan
yang negatif terhadap citra PNS di hadapan masyarakat.
Menurut Griffin dan Ebert (2006:58) perilaku etis merupakan
perilaku yang sesuai dengan norma sosial yang diterima secara
umum. Perilaku etis dari pegawai menunjukkan bagaimana
pegawai dapat berperilaku sesuai dengan norma dan
peraturan yang berlaku di dalam perusahaan.
Perilaku etis dipengaruhi oleh kecerdasan emosional
seseorang. Kecerdasan emosional sangat diperlukan dalam
dunia kerja. Tidak hanya kepintaran yang diperlukan dalam
bersaing dalam dunia kerja saat ini, namun kecerdasan
emosional juga penting dimiliki oleh setiap pegawai. Cooper
dan Sawaf (1999:496) mengatakan bahwa kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan
secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai
30
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. PNS yang
memiliki kecerdasan emosional yang baik mampu berpikir
jernih walaupun dalam tekanan, bertindak sesuai dengan etika,
berpegang pada prinsip dan memiliki dorongan berprestasi.
Bagi kehidupan organisasi, komitmen merupakan prasayarat
untuk menjaga kelangsungan hidup, stabilitas dan
pengembangan organisasi. Menurut Mowday, Porter, dan
Steers (1982:186) mendefinisikan komitmen keorganisasian
sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu dan
keterlibatan dalam organisasi tertentu. Selain itu kepuasan
kerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk
mendapatkan hasil kerja yang optimal. Kepuasan kerja
merupakan kondisi emosi positif atau menyenangkan yang
muncul dari penilaian kerja atau pengalaman kerja (Nelson dan
Quick, 2006: 87). Ketika seorang merasakan kepuasan dalam
bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin
dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk
menyelesaikan tugas pekerjaannya.
B. Pendekatan dan Metode
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini
adalah dengan menggunakan kuesioner dengan pertanyaan
tertutup. Berdasarkan hasil analisis uji regresi dapat diketahui
bahwa kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan
kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap perilaku etis
pegawai di Pusdiklat Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan.
Pengaruh tersebut bersifat positif dalam arti semakin baik
kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan
kepuasan kerja pegawai maka akan semakin tinggi juga
perilaku etis pegawai.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
31
C. Implikasi dan Rekomendasi
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan
kepuasan kerja memiliki peran penting dalam membentuk
perilaku etis pegawai di Pusdiklat Pegawai Kementerian
Ketenagakerjaan. Pegawai-pegawai yang memiliki perilaku etis
akan bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-norma
dan peraturan yang berlaku di organisasi. Perilaku etis dapat
membangun ikatan dan keharmonisan di antara pegawai di
tempat kerja. Sehingga pimpinan dan pegawai harus
mengembangkan perilaku yang berperan dalam mendukung
terbentuknya pegawai yang memiliki perilaku etis. Peranan
kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan
kepuasan kerja telah terbukti mampu memberikan dampak
positif dan signifikan terhadap perilaku etis pegawai.
Hal ini juga mengungkapkan kecerdasan emosional
memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku
etis pegawai. Kemampuan pegawai dalam memahami
kedalaman emosinya dan dapat mengekspresikan emosinya
akan memiliki perasaaan dan pengakuan emosi yang baik.
Pengendalian emosi diri dan mengerti dengan kondisi emosi
orang lain dapat berdampak pada perilaku pegawai dalam
kegiatannya sehari-hari di organisasi. Selian itu kepuasan kerja
yang juga memberikan pengaruh positif dan signifikan
terhadap perilaku etis pegawai. Pemberian pembayaran gaji
yang adil, rekan kerja yang mendukung, pemberian promosi
bagi pegawai yang berprestasi, dan pimpinan yang berperilaku
adil serta mendukung aktivitas pegawainya dapat membuat
pegawai dapat berperilaku sesuai dengan norma dan aturan
organisasi.
32
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Hasil ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pusdiklat
Pegawai
Kementerian
Ketenagakerjaan
untuk
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang isi
kompetensinya atau materinya tidak hanya bersifat hardskill
tetapi juga bersifat softskill sehingga dapat meningkatkan PNS
yang profesional. Selain itu pegawai di Pusdiklat Pegawai
Kementerian Ketenagakerjaan tidak hanya selalu memberikan
pelayanan kediklatan kepada orang lain, tetapi pegawai juga
harus berpartisipasi aktif sebagai peserta diklat atau pelatihan
lain
yang sifatnya softskill agar semakin baik dan
terpeliharanya kompetensi yang dimiliki pegawai. Tingkat
kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, kepuasan
kerja, dan perilaku etis pegawai akan menurun jika tidak
dilakukan maintenance oleh pimpinan dan bidang
kepegawaian.
Rekomendasi yang dapat dilakukan oleh lembaga adalah
sebagai berikut:
1. Biro Organisasi dan Kepegawaian bekerja sama dengan
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementerian
Ketenagakerjaan serta Lembaga Administrasi Negara dapat
meningkatkan kualitas pelatihan dengan menambahkan
materi-materi dalam pelatihan tentang kecerdasan
emosional, komitmen keorganisasian, dan kepuasan kerja
secara spesifik agar tercipta kualitas pegawai yang baik
sehingga dapat menambah kualitas pelayanan dan
peningkatan pencapaian tujuan organisasi.
2. Pusdiklat
Pegawai
Kementerian
Ketenagakerjaan
melakukan tindakan-tindakan yang dapat mempertahankan
dan meningkatkan perilaku etis pegawai dengan
penyediaan fasilitas dan sarana kerja yang sesuai dengan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
33
kebutuhan pegawai, pemberian promosi kepada pegawai
yang berprestasi, mengikutsertakan pegawai ke dalam
berbagai kegiatan peningkatan softskill, memberikan
pemahaman tujuan organisasi kepada para pegawai, dan
sebagainya yang dapat memberikan dampak atau pengaruh
yang positif terhadap perilaku etis pegawai.
Referensi
1. Cooper, R.K. & Sawaf, A. (1999). Executive EQ. Kecerdasan
Emosional Dalam Kepemimpinan dan Organisasi. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2. Ebert, Ronald J. & Griffin, Ricky W. (2006). Bisnis. Jakarta:
Erlangga.
3. Mowday, Richard T., Porter, Lyman W., & Steers, Richard M.
(1982). Employee Organization Linkages: The Psychology of
Commitment, Absenteeism and Tumover. New York:
Academics Press.
4. Nelson, Debra L. and James Campbell Quick. (2006).
Organizational Behavior: Foundations, Realities & Challenges.
Ohio: South-Western.
---***---
34
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Seri Policy Brief – Nomor 005-2017
IMPLEMENTASI ANALISIS JABATAN PADA JABATAN
FUNGSIONAL DI INSTANSI PEMERINTAH
oleh Agus Muhammad Arifin dan Amy Yayuk Sri
Rahayu
Ringkasan Eksekutif
Terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (UU ASN) menggantikan Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
menekankan perubahan karakteristik struktur organisasi dan
struktur jabatan, yaitu organisasi yang miskin struktur dan
kaya fungsi dengan peranan lebih besar pada jabatan
fungsional dibandingkan jabatan struktural dan pelaksana.
Secara faktual, implikasi terbitnya UU ASN terhadap jabatan
fungsional secara nasional dapat dilihat dari: peningkatan
siginifikan pembentukan jabatan fungsional, peningkatan
signifikan formasi CPNS dalam jabatan fungsional, hanya 25%
CPNS yang diangkat menjadi jabatan fungsional definitif, dan
penyelenggaraan inpassing besar-besaran ke dalam jabatan
fungsional. Sangat perlu diperhatikan bahwa pembentukan dan
pengisian jabatan fungsional harus sesuai dengan kebutuhan
atau desain organisasi, di mana desain organisasi dan
pekerjaan/jabatan ini erat kaitannya dengan analisis jabatan,
karena implementasi analisis jabatan merupakan prosedur
untuk menentukan tugas dari posisi atau jabatan dalam
organisasi dan karakteristik orang agar direkrut untuk
menempatinya.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
35
A. Pendahuluan
Upaya untuk membangun aparatur negara tidak terlepas dari
berbagai permasalahan yang nampak masih menjadi gejala
yang tidak kunjung putus dan selesai. Setidaknya ada lima
permasalahan saat ini, yakni: 1) Manpower planning yang tidak
jelas; 2) Distribusi pendidikan PNS yang tidak terancang
dengan jelas; 3) Desain organisasi, wewenang dan pekerjaan
yang tidak jelas dan efisien; 4) Tidak dijalankannya dasardasar manajemen SDM yang profesional; dan 5) Lemahnya
penegakan disiplin, integritas, dan good governance. Dari
kelima masalah yang diketengahkan tersebut, masalah ketiga
sangat erat kaitannya dengan factual problem penelitian ini
yakni bahwa desain organisasi, wewenang dan pekerjaan yang
tidak jelas dan efisien akan sangat mempengaruhi
produktifitas organisasi.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara menjadi payung hukum reformasi
aparatur sipil negara di Indonesia. Dalam UU tersebut
diamanatkan perubahan karakteristik struktur jabatan, yaitu
jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrasi, dan jabatan
fungsional. Hal tersebut merupakan karakteristik berbeda dari
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian yang mengamanatkan struktur jabatan terdiri
atas jabatan struktural dan jabatan fungsional, di mana jabatan
fungsional ini masih terdiri atas jabatan fungsional tertentu
dan jabatan fungsional umum.
Berbeda dengan jabatan struktural yang merupakan jabatan
yang secara tegas ada dalam struktur organisasi, maka jabatan
fungsional merupakan jabatan teknis yang tidak tercantum
36
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut pandang fungsinya
sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas-tugas pokok
organisasi. Kemunculan UU Nomor 5/2014 memberikan peran
yang lebih besar pada jabatan fungsional. Kebijakan
pemerintah untuk merespon UU tersebut adalah melalui
kebijakan nasional penyiapan formasi jabatan fungsional
sebesar-besarnya, selain itu juga secara bertahap dilakukan
“inpassing” nasional ke dalam jabatan fungsional. Jumlah
jabatan fungsional saat ini sudah mencapai 142 jenis dengan
target mencapai 240 jabatan fungsional.
Secara
konseptual,
organisasi
harus
menentukan
pekerjaan/jabatan apa yang perlu dilakukan/dibentuk dan
berapa banyak serta jenis pekerja yang dibutuhkan untuk
pekerjaan/jabatan tersebut. Dalam terminologi manajemen,
hal ini disebut pengorganisasian. Dengan demikian,
pembentukan
struktur
organisasi
membantu
dalam
menentukan keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan
yang dibutuhkan oleh pemegang pekerjaan/jabatan. Untuk
menentukan pekerjaan dan pekerja tersebut, manajemen SDM
melakukan analisis jabatan. Semua pekerjaan/jabatan pada
akhirnya harus terikat pada misi dan arahan strategis
organisasi.
B. Pendekatan Dan Metode
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah post-positivis
karena teori digunakan untuk memberikan petunjuk dan
menjadi alat analisis sehingga akan memberikan hasil yang
mendekati kebenaran dari keadaan di lapangan melalui proses
identifikasi dan analisis terhadap implementasi analisis jabatan
pada jabatan fungsional. Penulis menggunakan metode
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
37
kualitatif untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dalam
penelitian ini dilakukan melalui 2 (dua) teknik yaitu
wawancara dan studi pustaka, sedangkan penentuan informan
dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Analisis data menggunakan model analisis interaktif, yaitu
melalui tiga kegiatan yang dilakukan sejak awal penelitian dan
selama penelitian dilakukan, yaitu reduksi data, penyajian data,
dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Strategi triangulasi
digunakan untuk melakukan validasi atau menguji validitas
data yang terkumpul.
C. Implikasi Dan Rekomendasi
Implementasi analisis jabatan pada jabatan fungsional harus
memperhatikan beberapa perubahan kebijakan terhadap:
1. Penentuan penggunaan data hasil analisis jabatan;
2. Keterlibatan para pihak (bagian SDM, pimpinan, dan
karyawan) dalam penyusunan analisis jabatan;
3. Penentuan informan kunci dalam pengumpulan data
analisis jabatan;
4. Proses verifikasi dan validasi hasil analisis jabatan; dan
5. Kesesuaian aspek bezetting dan formasi.
Kebijakan pertama, penentuan penggunaan data hasil analisis
jabatan.
Peranan analisis jabatan diakui sebagai sebuah alat yang
handal bagi pengelolaan kepegawaian, sesuai teori di mana
hampir segala sesuatu yang manajemen SDM kerjakan
berhubungan langsung dengan analisis jabatan. Namun secara
faktual ditemukan bahwa penyusunan analisis jabatan masih
38
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
bersifat temporer (sementara), karena merupakan pemenuhan
kebutuhan data hasil analisis jabatan untuk persyaratan yang
sifatnya diharuskan oleh instansi luar, khususnya Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
(Kemenpan RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).
Namun mulai diterapkan penggunaan analisis jabatan dalam
pengelolaan kepegawaian secara keseluruhan walaupun baru
dilakukan secara bertahap.
Perubahan terhadap kebijakan pertama ini akan berimplikasi
terhadap upaya menggeser kewajiban penyusunan analisis
jabatan menjadi kebutuhan bagi organisasi maupun individu
pegawai. Dengan penggunaan data analisis jabatan secara
menyeluruh dalam aspek pengelolaan kepegawaian akan
menempatkan data analisis jabatan sebagai komponen dasar
dalam penentuan pengambilan keputusan pengelolaan
kepegawaian yang mengikat terhadap organisasi maupun
individu pegawai.
Kebijakan kedua, keterlibatan para pihak (bagian SDM,
pimpinan, dan karyawan) dalam penyusunan analisis jabatan
Pelaksanaan penyusunan analisis jabatan pada sebuah
organisasi melibatkan berbagai pihak, terutama bagian SDM,
karyawan,
dan
pimpinan/atasan.
Hal
ini
harus
dipertimbangkan dengan baik, sehingga pelaksanaan analisis
jabatan menjadi sebuah usaha bersama yang diwujudkan
dengan keterlibatan para pihak dalam pelaksanaan analisis
jabatan agar mencapai hasil yang optimal.
Perubahan terhadap kebijakan kedua ini akan berimplikasi
terhadap keharusan pembentukan sebuah tim yang solid
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
39
dengan melibatkan bagian SDM, pimpinan/atasan langsung,
dan karyawan itu sendiri. Harus dibentuk tim analisis jabatan
yang handal sebagai penggerak utama dan mampu
menjembatani antara bagian SDM, pimpinan/atasan langsung,
dan karyawan agar terlibat secara langsung dalam penyusunan
analisis jabatan.
Kebijakan ketiga, penentuan informan kunci pengumpulan
data analisis jabatan
Kelemahan mendasar dalam penentuan informan kunci yaitu
tingkat pemahaman informan kunci yang tidak mengetahui
secara pasti keseluruhan pekerjaan yang dilaksanakan seluruh
pegawai di unit kerja, terutama mengenai volume hasil
kegiatan. Yang kedua adalah mengenai durasi waktu dalam
pengumpulan data dari informan, meskipun jika melihat dari
pedoman analisis jabatan di Permenpan 33/2011 maka durasi
waktu yang ideal adalah 2 atau 3 hari agar tidak berlarut-larut.
Menganalisis pekerjaan aktual (sebenarnya) dilakukan dengan
mengumpulkan data pada kegiatan yang melekat pada jabatan,
kondisi kerja dan pegawai, dan kemampuan yang diperlukan
untuk melakukan pekerjaan. Secara konseptual, informasi
jabatan kemudian dianalisis dan didokumentasikan sebagai
pekerjaan yang ada (exist) dan bukan merupakan pekerjaan
yang seharusnya ada (should exist). Sehingga ke-exist-an
sebuah pekerjaan akan menjadi ukuran bahwa penyusunan
analisis jabatan sesuai dengan kebutuhan organisasi dan bukan
berdasarkan kebutuhan individu pegawai.
Implikasi dari perubahan kebijakan ketiga terhadap penentuan
informan kunci akan menjadi sebuah langkah yang strategis.
Sudah seharusnya informan kunci yang dijadikan sumber
40
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
informasi dalam penyusunan analisis jabatan mampu
memahami dan menguasai setiap informasi yang diperlukan
dalam pelaksanaan penyusunan analisis jabatan. Informan
kunci harus ditetapkan secara objektif dan dibekali bahanbahan mengenai setiap detil pekerjaan yang akan dianalisis.
Kebijakan keempat, proses verifikasi dan validasi hasil
analisis jabatan.
Penting diperhatikan bahwa menganalisis pekerjaan
sebenarnya (aktual) merupakan aspek yang menentukan
keberhasilan penyusunan analisis jabatan. Pada hakekatnya
analisis jabatan adalah analisis organisasi, sesuai dengan
hakekat tersebut maka aspek pokok yang dianalisis dalam
analisis jabatan adalah pelaksanaan pekerjaan yang
menjabarkan fungsi-fungsi yang ada di setiap unit kerja.
Secara konseptual telah dinyatakan bahwa proses verifikasi
dan validasi merupakan langkah untuk memastikan bahwa
informasi analisis jabatan yang dikumpulkan secara faktual
adalah benar dan komprehensif. Sehingga langkah ini akan
meningkatkan pencapaian penerimaan hasil analisis jabatan
oleh stakeholders. Langkah ini akan memudahkan dalam
memperoleh kesepakatan sehingga dapat mengakomodir
kesesuaian informasi faktual dengan kebutuhan organisasi.
Secara umum, kesulitan terbesar dalam penyusunan analisis
jabatan dan beban kerja pada jabatan fungsional adalah
volume dari output kegiatan. Hal ini memerlukan kesepakatan
para pihak terkait, baik antar pemangku jabatan fungsional
maupun dengan pimpinan unit kerja, selain itu juga harus
didukung dengan dokumen atau laporan yang valid. Selain itu,
penyusunan analisis jabatan yang dilakukan untuk aspek
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
41
syarat jabatan dirasa masih sangat minim,
kecenderungan yang dimasukkan informasinya
pendidikan formal minimal saja.
karena
adalah
Implikasi dari perubahan kebijakan keempat adalah harus
dibentuk forum resmi yang melibatkan para pihak yang
berwenang dalam penetapan hasil analisis jabatan. Forum ini
harus menjadi penentu akan kevalidan data hasil analisis
jabatan sehingga bisa dijadikan pedoman dasar penggunaan
bagi
pengelolaan
kepegawaian
yang
handal,
dipertanggungjawabkan, dan konsisten bisa diterapkan.
Kebijakan kelima, kesesuaian aspek bezetting dan formasi
Penggunaan dan pembentukan jenis/nomenklatur jabatan
fungsional berdasarkan pada analisis jabatan, sehingga
keberadaan jabatan fungsional merupakan kebutuhan
organisasi. Berkenaan dengan kesesuaian jumlah pemangku
jabatan fungsional ini digambarkan ke dalam 2 (dua) aspek,
pertama kesesuaian antar jenjang jabatan fungsional dan
kedua kesesuaian antara jumlah pemangku jabatan yang ada
dengan formasi dari hasil penghitungan melalui analisis
jabatan.
Kesesuaian antar jenjang jabatan fungsional untuk melihat
bagaimana sebaran jabatan fungsional antar jenjang baik
jenjang keahlian maupun keterampilan. Karena aspek ini
menyangkut pengelolaan jabatan fungsional yang erat
kaitannya dengan analisis jabatan dan beban kerja, terutama
dalam hal bezetting dan formasi berdasarkan kebutuhan
organisasi.
42
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Madya
70
Pertama
970
583
Mahir
Pemula
358
76
1,003
1,397
1,839
Gambar 1. Piramida Sebaran Pejabat Fungsional Per Jenjang
Jabatan
Keberadaan sebaran jabatan fungsional menunjukkan bahwa
harus segera ditetapkan formasi ideal jabatan fungsional
sampai dengan per jenjang dengan didasarkan pada analisis
jabatan. Selain itu, ketiadaan formasi yang ideal dalam
organisasi akan membuat para pemangku jabatan fungsional
kesulitan dalam mengumpulkan angka kredit sehingga akan
terhambat jenjang karirnya dan bahkan dapat mengakibatkan
pemberhentian dari jabatan fungsional.
Tabel 1. Rekapitulasi Data Kebutuhan Jabatan Fungsional di
Kementerian LHK
Jenjang
Kondisi
Kondisi
Selisih
(%)
Jabatan
Yang Ada Seharusnya (Orang)
gap
Fungsional
(Orang)
(Orang)
Keahlian
3.029
7.260
4.231 139,68
Terampil
4.068
11.752
7.684 188,89
7.097
19.012
11.915 167,89
Sumber: Diolah dari https://formasi.menpan.go.id/, update
Maret 2017
Dari rekapitulasi data pada tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa
selisih antara bezetting dan formasi pemangku jabatan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
43
fungsional memiliki angka yang besar. Data tersebut
menunjukkan angka formasi pegawai pada jabatan fungsional
lebih dari dua kali lipat dari jabatan fungsional yang ada
(bezetting). Harus ditetapkan peta kebutuhan pegawai
berdasarkan analisis jabatan untuk kemudian ditetapkan
menjadi formasi.
Implikasi dari perubahan kebijakan kelima ini adalah
ditetapkannya formasi yang dapat diukur secara ideal
berdasarkan analisis jabatan sehingga kebutuhan pegawai
akan menggambarkan kekuatan pegawai yang ada (bezetting)
menjadi aspek yang relevan bagi organisasi. Analisis jabatan
dijadikan dasar dalam penyusunan formasi dan dapat
ditetapkan dalam peta jabatan yang menyajikan secara ideal
peta kebutuhan pegawai dan ketersediaan pegawai yang ada.
Dari perubahan kebijakan dan implikasi yang disajikan
tersebut di atas, maka direkomendasikan beberapa hal sebagai
berikut:
1. Instansi pemerintah harus menetapkan penggunaan data
hasil analisis jabatan secara komprehensif dalam pengelolaan
kepegawaian, sehingga penyusunan analisis jabatan bergeser
dari yang awalnya bersifat kewajiban menjadi kebutuhan baik
bagi organisasi maupun individu pegawai.
2. Harus ditingkatkan keterlibatan para pihak (bagian
kepegawaian, pimpinan/atasan langsung, dan pegawai) dalam
analisis jabatan, yaitu dengan membentuk tim analis jabatan
yang handal dan fokus dalam menyusun analisis jabatan serta
meningkatkan keterlibatan pimpinan/atasan langsung dan
seluruh pegawai untuk berkontribusi dalam penyusunan
analisis jabatan.
44
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
3. Harus ditentukan informan yang tepat untuk menjadi
sumber informasi utama, melalui penentuan posisi jabatan dan
individu pegawai yang dapat mewakili sebuah unit kerja,
memiliki kapasitas yang baik dalam menyusun analisis jabatan,
dibekali rangkuman dan dokumentasi data pekerjaan yang
diwakili secara detail disertai dokumen pendukung yang
relevan untuk dapat dijadikan bahan bagi informan dalam
penyusunan analisis jabatan bersama dengan tim analis
jabatan.
4. Harus dilakukan proses verifikasi dan validasi atas data
hasil analisis jabatan melalui forum resmi dengan melibatkan
Kementerian PAN-RB dan BKN serta pihak berkompeten
lainnya, agar data hasil analisis jabatan dapat terverifikasi dan
tervalidasi dengan tepat sehingga dapat dipergunakan sebagai
pedoman dalam pengelolaan kepegawaian yang berkualitas.
5. Untuk meningkatkan kesesuaian berdasarkan bezetting dan
formasi pada jabatan fungsional maka data hasil analisis
jabatan harus dijadikan pedoman dasar, baik dalam penentuan
jenis/nomenklatur jabatan, penetapan formasi maupun
pengisian jabatan fungsional melalui penetapan peta jabatan
fungsional.
Referensi
1. Badan Kepegawaian Negara. 2010. Pedoman Analisis
Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Puslitbang BKN.
2. DeCenzo, David A. & Robbins, Stephen P. 2010.
Fundamentals of Human Resource Management – 10th ed.
New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
45
3. Dessler, Gary. 2013. Human Resource Management 13th ed.
USA: Pearson Education, Inc.
4. Fahrani, Novi Savarianti. 2016. Model Perencanaan Pegawai
Negeri Sipil (Studi Kasus di Jabatan Fungsional Tertentu).
Jakarta: Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian,
Badan Kepegawaian Negara.
---***---
46
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Seri Policy Brief – Nomor 006-2017
MEMPERSIAPKAN INOVASI DI PUSDIKLAT
KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN
oleh Vetty Ilona dan Lina Miftahul Jannah
A. Pendahuluan
Ketenagakerjaan merupakan urusan wajib dilaksanakan di
Pemerintah
Daerah.
Kurangnya
tenaga
fungsional
ketenagakerjaan baik secara kuantitas maupun kualitas harus
ditingkatkan. Salah satu caranya yaitu melalui pendidikan dan
pelatihan. Pendidikan dan pelatihan (Diklat) juga sebagai salah
satu bentuk realisasi dalam percepatan reformasi birokrasi di
Kemnaker yaitu dengan perubahan mindset. PNS yang berada
dibawah Kemnaker maupun berada di dinas ketenagakerjaan
seluruh pemerintah daerah Indonesia belum semuanya
memperoleh kesempatan untuk mengikuti diklat. (sumber
Pusdiklat Kemnaker pada Sarasehan Fact and Finding di Gatot
Subroto Maret 2016).
Tabel 1.1 Perkiraan Jumlah Peserta Pendidikan dan Pelatihan
tahun 2015-2019
Pengawas
Mediator
Penganta Instruktu PNS
Ketenaga
Hubungan
r Kerja
r Tenaga Kemnake
kerjaan
Industrial
Kerja
r
1.815 orang 2.755 orang 3.300
4.327
3.326
orang
orang
orang
Total 16.668 orang
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
47
Rapat Fact finding dihadiri oleh Bapak Sekretaris Jenderal Ir.
Abdul Wahab Bangkona, M.Sc (Gatsu Rabu 16 Maret 2016)
Arahan Sekretaris Jenderal, menyatakan dari data yang
disampaikan Pusdiklat, bahwa Kemnaker memiliki banyak
pekerjaan rumah yang berkaitan dengan kediklatan,
diantaranya banyaknya diklat pegawai yang harus dipenuhi,
namun kapasitas Pusdiklat terbatas, untuk mengejar
ketinggalan maka perlu metode atau inovasi baru.
Inovasi yang dikembangkan oleh Pusdiklat Kemnaker salah
satunya adalah e-learning. Inovasi e-learning akan
dilaksanakan pada April-Juni 2017. E-learning diklat yang
dilaksanakan adalah Diklat Dasar Ketenagakerjaan. Diklat ini
merupakan pilot project untuk program inovasi selanjutnya. Elearning akan dikembangkan lagi oleh Pusdiklat menjadi diklat
yang menghubungkan metode klasik, praktek lapangan dan elearning (sumber Pusdiklat Kemnaker pada Sarasehan Fact
and Finding di Gatot Subroto Maret 2016).
Perkembangan teknologi, perubahan pelanggan (peserta),
perubahan lingkungan operasional serta kompetisi yang
semakin ketat. (Goffin & Mitchell, 2010) menuntut setiap
organisasi melalukan inovasi. Agar inovasi berjalan sukses
maka harus dipersiapkan dengan baik. Pertanyaan yang
muncul dari inovasi Pusdiklat adalah bagaimana kesiapan
inovasi di Pusdiklat dan hambatan yang terjadi dalam
mempersiapkan inovasi di Pusdiklat.
B. Kondisi saat ini
Sangat penting suatu organisasi mencoba mengevaluasi awal
inovasi untuk menjamin kesesuaian adop.(dikutip oleh (Wang,
48
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Hsu, Yen, Chiu, & Wei, 2010)). Tidak ada elemen yang pasti
dalam menentukan suatu organisasi siap atau tidak siap dalam
melaksanakan suatu inovasi. Wang, 2010 mencoba membuat
lima elemen kunci penting yang menentukan suatu organisasi
siap untuk melakukan inovasi layanan. Kelima kunci itu adalah
Investasi strategis, toleransi resiko, keberhasilan inovasi,
pengalaman IT dan kolaborasi antar organisasi.
Penelitian ini menggunakan paradigma post positivis dengan
metode campuran yang menggabungkan metode penelitian
kualitatif dan kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah wawancara mendalam, kuesioner dan studi
dokumen. Hasil penelitian sebagai berikut:
1.
Investasi strategis
Inovasi ini merupakan investasi Pusdiklat Kemnaker dalam
rangka pencapaian tujuan. Untuk mencapai tujuan ini dibuatlah
inovasi tahap awal yaitu e-learning. Dalam pelaksanaannya
dibentuk tim dan tim ini sudah dilegalkan oleh Kepala
Pusdiklat Kemnaker. Tim ini yang melaksanakan, memantau,
bertanggung jawab dan melaporkan kepimpinan tentang
perkembangan inovasi tahap awal ini. Permasalahan yang ada
karena penggantian pimpinan sehingga Surat Keputusan (SK)
terlambat dilegalkan tetapi inovasi sudah berjalan.
Pelayanan baru ini berfokus pada tugas Pusdiklat Kemnaker
untuk mendidik dan melatih PNS agar memiliki kompetensi
seperti yang diharapkan. E-learning dalam pelaksanaannya
dapat membantu pegawai Pusdiklat dalam melaksanakan
tugasnya. Penggunaan teknologi menyebabkan beberapa
pegawai yang mengalami kesulitan dari inovasi ini. Inovasi ini
dianggap sebagai sesuatu hal yang tertutup. Perubahan harus
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
49
dilakukan secara keseluruhan apabila dilakukan secara
tertutup maka bisa menimbulkan resistance. Peningkatan
kompetensi pegawai dan perbaikan sarana serta prasarana
inovasi diharapkan agar pegawai selanjutnya merasa
dipermudah.
Hampir
semua
pegawai
merasa
bahwa
dengan
diselenggarakannya inovasi tahap awal ini adalah investasi
bagi Pusdiklat Kemnaker. Hal yang menjadi perhatian dari
semua pegawai adalah investasi ini terus diperbaiki agar
mendapatkan hasil yang maksimal dan dapat terus
dikembangkan inovasi ini.
Untuk itu pelaksanaan serta target yang jelas beberapa
pegawai merasa sudah ada dan bahkan sudah terlaksana.
Permasalahannya masih ada beberapa pegawai yang merasa
tidak mengetahui pelaksanaan dan target tersebut. Ini menjadi
tanggung jawab pemimpin dan pegawai semuanya untuk
berkomunikasi mengenai pelaksanaan dan target agar semua
pegawai menyadari tugas, fungsi dan tanggung jawabnya.
2.
Toleransi resiko
Pelayanan pendukung untuk mentoleransi resiko yang
mungkin terjadi belum dilakukan oleh Pusdiklat. Pusdiklat
hanya memperbaiki hambatan yang bisa menyebabkan resiko
kegagalan. Dalam
mentoleransi resiko, sistem anggaran
menjadi kendala toleransi resiko. Pusdiklat akan tetap
menjalani inovasi walaupun ada resiko kegagalan. Hal ini
sebenarnya bisa diatasi dengan mempersiapkan sumber daya
yang diperlukan untuk mentoleransi resiko kegagalan. Sumber
50
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
daya tidak bisa langsung dipersiapkan
direncanakan satu tahun sebelumnya.
karena
harus
Pusdiklat tidak dapat berubah dengan cepat dalam
mengakomodir pemenuhan kebutuhan pelanggan. Karena ini
organisasi publik yang terikat dengan peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku. Tetapi untuk respon cepat,
tanggap dan memenuhi kebutuhan pelanggan penanggung
jawab bisa mengambil langkah-langkah yang dianggap baik.
Hal ini juga harus dilaporkan dan persetujuan pimpinan
langsungnya.
3.
Keberhasilan inovasi
Inovasi tahap awal adalah salah satu cara Pusdiklat Kemnaker
dalam menjawab kebutuhan pelanggannya. Menurut sebagian
besar pegawai Pusdiklat sudah memperkenalkan program ini
ke pelanggannya. Walaupun ada juga yang menilai bahwa ini
belum berjalan optimal.
Kesuksesan suatu inovasi baru membutuhkan ide-ide baru
untuk perbaikan inovasi itu. Berdasarkan hasil kuesioner
maupun wawancara, sebagian besar pegawai merasa sudah
dapat memberikan ide-idenya untuk kemajuan Pusdiklat. Ada
beberapa orang pegawai ide-ide yang dapat disalurkan hanya
dari golongan atau kelompok tertentu. Enterpreneurship dapat
dibangkitkan melalui keterbukaan yang dilakukan Pusdiklat,
sehingga inovasi baru dapat muncul dan perbaikan inovasi
yang ada dapat berjalan.
Pimpinan Kepala Pusdiklat berusaha terbuka dan mengali ide–
ide yang ada. Sebagian besar pegawaipun berpendapat yang
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
51
sama. Ide-ide yang ada ditampung oleh Pusdiklat dan berusaha
untuk dijalanin. Masalah anggaran kadang menjadi hambatan
dalam merealisasi ide-ide tersebut.
4.
Pengalaman IT
Saat ini adalah era informasi teknologi. Semua kehidupan
dapat dipermudah dengan adanya Informasi Teknologi
(disingkat IT). Pusdiklat juga mulai menggunakan IT untuk
memperkenalkan pengenalan pelayanan baru. Pelayanan baru
diperkenalkan melalui website dan dibantu melalui surat
edaran. Sosialisasi dan komunikasi yang dirasa masih kurang
oleh sebagian kecil pegawai juga harus menjadi titik perhatian
dalam peningkatan pelayanan.
Dalam pelayanan e-learning ini semua dilakukan melalui IT
baik via web, Whatsapp, email ataupun media IT lainnya.
Untuk e-learning ini hampir semua kegiatan dilakukan melalui
IT. Tidak ada yang tidak melalui IT. Perbaikan infrastruktur
untuk proses penggunaan IT ini harus lebih ditingkatkan dan
lebih cepat prosesnya, karena proses awal inovasi ini sudah
berjalan.
5.
Kolaborasi antar organisasi
Pusdiklat Kemnaker bukanlah organisasi yang berdiri sendiri,
melainkan keberadaannya tergantung dan bekerjasama
dengan unit-unit didalam satu Kemnaker ataupun
kementerian, lembaga lain maupun pihak swasta. Mitra
organisai yang paling sering bekerjasama adalah Biro
Organisasi dan Kepegawaian serta unit-unit teknis (masih
bersifat internal).
52
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Kolaborasi yang dilakukan Pusdiklat hanya bersifat internal,
sedangkan kolaborasi eksternal (Pemda, Universitas, swasta
maupun kementerian dan instansi lain baik yang berada
didalam maupun diluar negeri) belum maksimal. Kurang
maksimalnya kolaborasi terutama dengan Pemerintah Daerah
dan Universitas (khususnya Universitas Terbuka), sehingga
kedepannya harus lebih dioptimalkan lagi.
Dalam berkolaborasi tentunya ada aturan-aturan yang harus
ditaati. Pusdiklat berkolaborasi dengan mitra organisasi lain
juga hendaknya memiliki plattform. Untuk kedepannya
Pusdiklat lebih mengoptimalkan kolaborasi dengan platform
sehingga informasi-informasi yang diperlukan pimpinan atas
dapat diberikan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan.
Pusdiklat menyadari bahwa perubahan yang tejadi diluar
maupun didalam organisasi harus segera direspon. Kolaborasi
yang ada untuk merespon perubahan itu mengalami hambatan.
Hambatan yang meng hambat adalah anggaran. Kepala
Pusdiklat berusaha mencari cara dan strategi agar Pusdiklat
tetap dapat berkolaborasi dengan anggaran yang terbatas dan
tanpa melanggar peraturan yang ada.
C. Hambatan Kesiapan Inovasi
Inovasi dipandang sebagai penting untuk kesuksesan suatu
organisasi, tetapi kurangnya 'kesiapan inovasi' melumpuhkan
potensi yang sudah dipersiapkan. Schein (1979) Hambatan
yang sering terjadi di inovasi publik adalah keterbatasan
anggaran dan sumber daya manusia, persyaratan peraturan,
kekurangan dukungan manajemen, insentif untuk staf,
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
53
ketidakpastian
penerimaan
dari
pengguna,
budaya
pengambilan resiko dan resistance. (Giedraityte, 2014)
Ada beberapa
hambatan yang menjadi kendala dalam
mempersiapkan inovasi di Pusdiklat Kemnaker. Hambatan
yang utama adalah Sumber Daya Manusia (SDM) dan
Anggaran.
Lain-lain
IT
Kepemimpinan
Tidak Diisi
Anggaran
Budaya Organisasi
Perencanaan
Sarpras
SDM
Pola Lama
0
10
20
30
40
Grafik 1. Hasil Kuesioner Hambatan Inovasi Di Pusdiklat
Kemnaker n= 65 orang (Sumber: Data Primer Penelitian Mei
2017)
1. Sumber Daya Manusia
Kondisi sumber daya manusia di Pusdiklat yang masih banyak
pegawai sudah berusia lanjut dengan masa kerja lebih dari 25
tahun keatas dan tidak ada rotasi ke unit kerja lain. Hal ini
menjadikan tantangan tersendiri untuk melakukan inovasi
54
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
diklat dengan menggunakan teknologi. Selain itu berdasarkan
data kepegawaian di Pusdiklat, ada beberapa pegawai yang
pendidikannya adalah SMA kebawah. Hasil wawancara dengan
Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian Kemnaker, beliau
akan mencoba menyelesaikan masalah ini dengan menambah
pegawai atau meningkatkan kompetensi SDM yang ada di
Pusdiklat.
2. Anggaran
Proyek inovasi membutuhkan sumber daya keuangan. Tidak
fleksible anggaran di pemerintahan menyebabkan anggaran
adalah masalah utama. Hal ini dikarenakan prinsip sentralisasi
dan disentralisasi kekuasaan dalam segala tingkatan. Secara
mudahnya, sektor publik harus didukung dana yang flexible
atau dana yang dapat disimpan untuk efisiensi. Kesulitan dari
sumber dana yang tidak pasti ini, maka Borrins mengusulkan
harus ada reform manajemen anggaran di sektor publik untuk
meningkatkan inovasi. (yang dikutip oleh (Giedraityte, 2014)).
D. Implikasi dan Rekomendasi
Dengan berbagai macam permasalahan diatas, tulisan ini
menyarankan agar pemberian perhatian dan alokasi anggaran
untuk pengembangan sumber daya manusia lebih
ditingkatkan. Begitupula dengan pimpinan Pusdiklat
meningkatkan keterbukaan terhadap masukan ide dan
informasi dari semua pihak dalam rangka meningkatkan
inovasi teknologi. Serta peningkatan kualitas sumber daya
manusia di Pusdiklat dengan melakukan studi banding ataupun
diklat pendek. Peningkatkan kerjasama dan kolaborasi dengan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
55
pihak eksternal maupun internal terkait agar diklat yang
dilaksanakan memiliki daya tarik bagi calon peserta diklat
Referensi
1. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara.
2. Yen, H. J., Wang, W., Wei, C.-P., Hsu, S. H.-Y., & Chiu, H.-C.
(2012). Service Innovation Readiness: Dimensions and
Performance Outcome. SciVerse ScienceDirect, 813-824.
3. Giedraityte, A. R. (2014). Innovation Process Barriers in
Public Sector: A Comparative Analysis. International Journal
of Business and Management; Vol. 9, Nomor 10.
4. Goffin, K., & Mitchell, T. (2010). Innovation Management. UK:
Palgrave Matchmillan.
---***---
56
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Seri Policy Brief – Nomor 007-2017
MENUMBUHKAN ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN
PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH
oleh Agrin Syifarose Mulyadi dan Umanto
Ringkasan Eksekutif
Orientasi kewirausahaan yang dimiliki para pelaku usaha di
sektor produksi oleh-oleh Malang memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap kinerja usaha yang ditandai dengan
pertumbuhan angka penjualan produk, pertumbuhan
profitabilitas usaha, pertumbuhan kualitas produk dan
peningkatan inovasi produk. Sementara itu, sisi lain yang
menarik dari studi ini adalah orientasi kewirausahaan lebih
banyak direfleksikan oleh perilaku mereka sebagai risk-taker,
dimana mereka percaya bahwa perubahan pada pasar
membawa sebuah kesempatan yang positif terhadap usaha
mereka. Penerapan sumberdaya manusia tidak memiliki
hubungan yang signifikan terhadap kinerja usaha kecil dan
menengah, sehingga penerapan sumberdaya manusia bukan
merupakan variabel mediasi antara orientasi kewirausahaan
dan kinerja. Kondisi tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi
Pemerintah Daerah dalam memberikan pelatihan dan
pembekalan khususnya dalam hal pengambilan risiko usaha.
A. Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia memiliki hubungan positif
dengan pertumbuhan UKM. Hal tersebut dibuktikan pada hasil
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
57
penelitian Keizer (2002) yaitu negara berkembang memiliki
UKM yang paling inovatif. Aktivitas yang inovatif dari UKM
mendukung pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan
jumlah tenaga kerja yang terserap dan mengurangi jumlah
pengangguran. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia, pada tahun 2013
jumlah tenaga kerja yang diserap oleh UKM sebanyak
114.144.082 tenaga kerja, jumlah tersebut mengalami
peningkatan sebesar 6,03% dari tahun sebelumnya yaitu
107.657.509 tenaga kerja. UKM mengalami pertumbuhan
jumlah setiap tahunnya, pada tahun 2013 jumlah UKM
meningkat jumlahnya menjadi 57.900.787 usaha, dengan
57.189.393 usaha mikro, 654.222 usaha kecil dan 52.106 usaha
menengah.
Perubahan lingkungan yang cepat mendorong para pelaku
usaha untuk memiliki orientasi kewirausahaan yang
berkomitmen pada proses pengambilan risiko, inovasi, dan
sikap proaktif terhadap perubahan yang terjadi (Miller, 1983).
Peluang-peluang di masa depan memiliki kemungkinan tidak
sesuai dengan batasan usaha strategik yang ada. Kompetensi
yang dibutuhkan untuk memasuki peluang persaingan baru
pada akhirnya mengharuskan setiap organisasi usaha untuk
memadukan kompetensi-kompetensinya dalam menghadapi
persaingan usaha tersebut. Hal tersebut tidak hanya dihadapi
oleh para pengusaha dalam skala usaha yang besar, tetapi juga
bagi UKM yang tersebar di Indonesia. Pada akhinya, inovasi,
sikap proaktif dan juga keberanian dalam pengambilan risiko
dibutuhkan untuk bertahan dan berkembang dalam pasar.
Pengembangan sumberdaya manusia pada UKM diperlukan
untuk peningkatan ketrampilan dan kreativitas karyawan yang
58
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
dapat menunjang inovasi pada perusahaan. Dengan adanya
program-program pengembangan UKM diharapkan dapat
menjadi pengetahuan baru yang dapat digunakan sebagai
pengetahuan untuk pembelajaran dalam organisasi UKM.
B. Pendekatan dan Metode
Hasil kajian ini menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan
memiliki hubungan signifikan dan positif dengan kinerja usaha
kecil dan menengah di Malang Raya. Hal tersebut
membuktikan bahwa pelaku usaha bersikap inovatif, proaktif
dan berani mengambil resiko dalam usahanya memiliki kinerja
usaha yang baik, semakin baik orientasi kewirausahaan pelaku
usaha maka akan semakin baik pula kinerja usaha mereka.
Perilaku usaha yang inovatif dan proaktif mampu beradaptasi
dengan perubahan lingkungan dan persaingan pasar. Dalam
hal ini para konsultan PLUT KUMKM Malang dan Dinas
Koperasi dan UMKM memiliki peran dalam melakukan
pembinaan
dan
memberikan
informasi
mengenai
perkembangan pasar, sehingga para pelaku usaha terpicu
kesadarannya untuk bersikap lebih inovatif dan proaktif.
Dari hasil penelitian, sikap berani dalam mengambil resiko
usaha memiliki peran yang paling besar terhadap kinerja
usaha. Hal tersebut perlu diimbangi dengan adanya laporan
keuangan sederhana dan perhitungan keuangan yang cukup
agar keberanian dalam pengambilan resiko dapat
meningkatkan kinerja usaha. Pengambilan resiko yang tidak
berdasarkan perhitungan keuangan yang baik dapat
berpengaruh terhadap kinerja usaha. Dalam hal ini para
konsultan PLUT KUMKM di Malang, khususnya konsultan
dalam bidang keuangan diharapkan memiliki program
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
59
pencatatan keuangan sederhana yang dapat membantu para
pelaku usaha untuk membuat laporan keuangan yang berguna
sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan usaha,
misalnya keputusan penambahan modal dengan pinjaman.
Dinas Koperasi dan UMKM dan Pemerintah Daerah dapat juga
melakukan kerjasama dengan perusahaan yang menyediakan
sistem akuntansi, baik dalam pengadaan sistem akuntasi bagi
para pelaku usaha dan binaan terhadap pentingnya sistem
keuangan yang baik. Kelemahan dari pada pelaku usaha kecil
dan menengah adalah mereka tidak memiliki pencatatan
keuangan dan aset yang baik yang dapat mendukung usaha
mereka. Dengan adanya pencatatan keuangan yang baik, para
pelaku usaha kecil dan menengah dapat berkontribusi
terhadap pembayaran pajak dengan dasar laporan keuangan
yang baik. Adanya usaha kecil dan menengah dapat menjadi
sumber pendapatan pajak sehingga pemerintah daerah harus
berperan lebih aktif dalam peningkatan kinerja usaha kecil dan
menengah agar dapat meningkatkan pendapatan usaha kecil
dan menengah tersebut yang dapat meningkatkan pendapatan
pajak.
Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa penerapan
sumberdaya manusia tidak memiliki pengaruh yang signifkan
terhadap kinerja usaha kecil dan menengah di sektor produksi
oleh-oleh Malang. hal tersebut dapat menjadi dasar bahwa
pemerintah daerah melalui PLUT KUMKM di wilayah Malang
diharapkan memberikan pembinaan tidak hanya terhadap
pelaku usahanya saja tetapi juga para pegawai saat melakukan
kunjungan rutin saat konsultasi. Para pegawai usaha kecil dan
menegah di sektor produksi oleh-oleh Malang berfokus pada
pelatihan ketrampilan dalam produksi, sehingga dapat
meningkatkan produktivitas, tetapi pada kenyataannya bahwa
60
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
peningkatan produktivitas harus diiringi juga dengan
peningkatan penjualan dan juga peningkatan profitabilitas agar
kinerja usaha meningkat. Hal tersebut diperlukan peran dari
para konsultan PLUT KUMKM untuk melakukan pembinaan
mengenai perlunya orientasi kewirausahaan yang harus
dimiliki oleh seluruh pegawai usaha, sehingga mereka dapat
bersikap inovatif dan proaktif sehingga dapat membantu
meningkatkan inovasi produk yang dapat bersaing di pasar.
C. Implikasi dan Rekomendasi
Berdasarkan penelitian ini direkomendasikan model
pembinaan usaha kecil dan menengah khususnya di sektor
produksi oleh-oleh Malang secara terpadu sebagaimana
dijelaskan pada model di bawah ini:
Pemda
UKM
PT
Swasta
Gambar Model Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah di Sektor
Produksi Oleh-Oleh Malang
Sumber: diolah oleh penulis, 2017
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
61
Pemerintah daerah, perguruan tinggi dan pihak swasta
memiliki peran yang cukup penting dalam perkembangan
usaha kecil dan menengah. Pemerintah daerah melalui PLUT
KUMKM di wilayah Malang, Dinas Koperasi dan UMKM, serta
Dinas Perindustrian memiliki peran dan kewajiban dalam
melakukan pembinaan usaha kecil dan menengah agar dapat
meningkatkan kinerja mereka. Dalam hal pembinaan keuangan
terkait dengan keputusan usaha dan juga pelaporan berkaitan
dengan pajak pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan
pihak swasta yaitu perusahaan yang menyediakan program
sistem akuntansi sehingga para usaha kecil dan menengah juga
memiliki laporan keuangan sederhana yang dapat mencatat
aset mereka dan juga pendapat mereka, hal tersebut dapat
memudakan pemerintah dalam melakukan pemetaan usaha
kecil dan menengah karena adanya ketersediaan informasi
keuangan mereka yang sudah tersusun dengan baik. Disisi lain,
dengan adanya usaha kecil dan menengah yang terus
meningkat dan memiliki laporan keuangan yang baik dapat
memberikan kontribusi terhadap daerah dan negara dengan
peningkatan pendapatan pajak. Hal tesebut menjadi salah satu
hubungan timbal balik antara pemerintah dan juga usaha kecil
dan menengah.
Perguruan tinggi juga memiliki peran dalam melakukan
pembinaan terhadap usaha kecil dan menengah. Di Malang
Raya pembinaan dilakukan oleh perguruan tinggi, salah
satunya adalah Universitas Brawijaya melalui Inkubator Bisnis
yang bekerja sama dengan pihak swasta yaitu Danareksa.
Pihak perguruan tinggi memberikan pembinaan dan pelatihan
juga sarana konsultasi bagi para usaha kecil dan menengah,
membina usaha kecil agar berkembang menjadi usaha
menengah dan usaha menengah dan berkembang menjadi
62
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
usaha besar. Hubungan timbal balik juga terjadi antara
perguruan tinggi dan usaha kecil menengah di Malang,
perguruan tinggi sebagai akademisi mendapatkan usaha kecil
dan menengah sebagai kajian ilmu mereka sehingga dapat
berkontribusi untuk memberikan informasi berkaitan dengan
usaha kecil dan menengah. Di Universitas Brawijaya sendiri,
mahasiswa juga memiliki peran untuk melakukan magang atau
pembinaan usaha kecil dan menengah di Malang sebagai salah
satu pembelajaran mereka.
Perusahaan swasta juga memiliki peran penting dalam
perkembangan usaha kecil dan menengah di sektor produksi
oleh-oleh Malang. Perusahaan swasta bekerjasama dengan
pihak perguruan tinggi dan pemerintah daerah membantu
dalam pengadaan dana pinjaman atau pembinaan bagi para
usaha kecil dan menengah. Di Malang sendiri, Danareksa
bekerjasama dengan Universitas Brawijaya untuk melakukan
pembinaan dan pengadaan dana pinjaman usaha bagi sekitar
60 usaha kecil dan menengah di Malang, salah satunya di
sektor produksi oleh-oleh Malang.
Referensi
1. Kreiser, Patrick M. Louis D. Marino, Donald F. Kuratko, and
K. Mark Weaver, (2013), Disaggregating entrepreneurial
orientation: the non-linear impact of innovativeness,
proactiveness and risk-taking on SME performance, Small
Business Economics, Volume 40, Issue 2, pp 273–291.
2. Miller, D. (1983). The correlatess of entrepreneurship in
three types of firms. Management Science. Vol. 29, Issue 7,
pp.770-791
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
63
Seri Policy Brief – Nomor 008-2017
REFORMULASI KEBIJAKAN CFC (CONTROLLED
FOREIGN COMPANIES) RULES DI INDONESIA
oleh Nur Afianti Fajriyan dan Haula Rosdiana
Ringkasan Eksekutif
Kemunculan perusahaan multinasional (MNC) sebagai dampak
dari sistem ekonomi dunia yang semakin mengglobal, dan
perubahan peraturan perpajakan yang tidak seimbang dengan
perkembangan globalisasi telah memberikan kesempatan
untuk dilakukan tax avoidance. Secara umum tax avoidance
yang dilakukan oleh MNC (seperti google, starbuck, amazone
dan lainnya) adalah dengan mendirikan perusahaan terkendali
dinegara yang memiliki tarif pajak rendah. Sebagai upaya
menangkal tax avoidance tersebut, OECD dan G20 membuat
rencana aksi berisikan rekomendasi penguatan CFC rules, yang
diharapkan dapat diadopsi oleh semua negara anggota.
Indonesia sebagai salah satu anggota G20 yang tidak lepas dari
dampak ekonomi global, perlu mengadopsi rencana aksi
tersebut untuk membuat CFC rules lebih efektif sebagai salah
satu anti tax avoidance rules.
A. Pendahuluan
Arus globalisasi yang terjadi pada hampir setiap aspek
kehidupan telah memberikan pengaruh terhadap sikap serta
paradigma manusia, termasuk pada bidang ekonomi.
Peningkatan FDI (Foreign Direct Investment) merupakan ciri
64
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
semakin mengglobalnya sistem ekonomi suatu negara.
Peningkatan tersebut, khususnya outward FDI (investasi keluar
Indonesia) perlu dicermati karena dapat meningkatkan potensi
penghindaran pajak melalui pendirian CFC.
Dado dan
Sedmihradsky dalam Lang, Aigner, Scheuerle dan Stafaner
(2004,127) menjelaskan bahwa CFC adalah entitas diluar
negeri yang dikendalikan oleh WPDN (Wajib Pajak Dalam
Negeri) di mana istilah CFC tersebut digunakan dalam kontek
suatu rejim untuk menyerang persinggahan keuntungan dari
WPDN ke tempat yang menerapkan tarif pajak rendah. Untuk
menangkal terjadinya penghindaran pajak melalui pendirian
CFC, maka suatu negara akan membuat CFC rules. Menurut
Arnold dan Dibout (2001,40), CFC rules merupakan ketentuan
yang digunakan untuk membatasi atau mengeliminasi
penangguhan kewajiban pajak dari WPDN yang mendapatkan
penghasilan dari entitas di luar negeri. Penghindaran pajak
melalui pendirian CFC dapat terjadi karena adanya perbedaan
perlakukan pemajakan antara penghasilan yang diperoleh
WPDN dari cabang dan anak perusahaan. Cabang dan kantor
pusat dianggap sebagai single entity sehingga penghasilan dari
cabang dikenakan pajak berdasarkan current basis. Cabang
tidak dapat menahan pembagian laba. Anak dan induk
perusahaan dianggap sebagai separate entity di mana
penghasilan dividen dari anak dikenakan pajak berdasarkan
cash basis, sehingga anak dapat melakukan tax defferal melalui
penangguhan pembagian dividen. Penangguhan yang
dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan akan
berakibat pada terjadinya eliminasi pemajakan oleh Indonesia.
Indonesia telah memiliki CFC rules yang terdapat pada PMK
Nomor256/PMK.03/2008. Namun CFC rules Indonesia telah
lama tidak mengalami perubahan, sehingga kurang relevan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
65
dengan perkembangan model bisnis yang semakin rumit dan
canggih. CFC rules Indonesia hanya mensyaratkan adanya
kontrol pada entitas terkendali secara langsung. Persyaratan
tersebut akan mudah dihindari dengan melakukan kontrol
secara tidak langsung. Pada kasus panama papers, WPDN
mendirikan perusahaan cangkang di luar negeri untuk
menempatkan laba yang didapat. Kepemilikan perusahaan
cangkang dapat dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung melalui wali amanat atau yang dikenal dengan trust.
Melalui skema tersebut maka CFC rules tidak dapat diterapkan
sehingga penghasilan WPDN tidak akan dikenakan pajak di
dalam negeri. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dari
CFC rules Indonesia.
Semakin maraknya isu penghindaran pajak yang dilakukan
melalui pemanfaatan kelemahan CFC rules membuat OECD dan
G20 mempublikasikan rencana aksi 3 tentang rekomendasi
desain CFC rules, berisi enam building blocks yang diharapkan
dapat diadopsi oleh negara anggota OECD dan G20 sehingga
tercapai harmonisasi peraturan perpajakan dalam menangkal
BEPS melalui CFC. Perubahan terhadap CFC rules Indonesia
menjadi suatu yang wajib untuk dilakukan mengingat
lemahnya CFC rules yang ada.
B. Pendekatan dan Metode
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dua
teknik yaitu studi pustaka dan lapangan. Studi pustaka
dilakukan dengan membaca buku, jurnal dan lainnya yang
bertema CFC sedangkan studi lapangan dilakukan dengan
wawancara terhadap DJP (Direktorat Jenderal Pajak),
konsultan pajak, dan akademisi perpajakan.
66
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Terdapat tiga tujuan CFC rules di Indonesia yaitu sebagai
ketentuan untuk mencegah terjadinya tax defferal, melindungi
capital export neutrality dan penerimaan negara. Untuk dapat
mencapai ketiga tujuan tersebut, maka CFC rules harus
diterapkan secara efektif dan efisien dengan meminimalkan
kelemahan yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan
penghindaran pajak. Terdapat beberapa kelemahan CFC rules
Indonesia saat ini yaitu:
1.
Kelemahan CFC Rules Dari Aspek Definisi CFC dan
Kontrol
Berdasarkan aspek definisi CFC , tidak ditemukan istilah
ataupun definisi CFC secara eksplisit baik dalam UU PPh
(Undang – Undang Pajak Penghasilan) maupun turunannya.
Berdasarkan pasal 18 ayat (2) UU PPh, indikasi CFC dilihat
berdasarkan kepemilikan modal minimum 50% oleh WPDN
pada badan usaha di luar negeri yang tidak menjual sahamnya
di bursa efek. Penggunaan istilah badan usaha di luar negeri
dalam mendefinisikan CFC merupakan tindakan yang tepat
karena lebih fleksibel dalam mengantisipasi kemungkinan
adanya entitas baru yang diterapkan CFC rules. Tidak tertutup
kemungkinan CFC rules dapat diterapkan terhadap entitas di
luar negeri yang dikuasai WPDN secara hukum atau secara
ekonomi, sepanjang entitas tersebut diperlakukaan sebagai
separate taxable entity.
Berdasarkan aspek definisi kontrol, CFC rules di Indonesia
hanya mensyaratkan adanya kontrol berupa saham dengan
persentase minimal 50%, padahal WPDN masih dapat
melakukan kontrol terhadap badan usaha di luar negeri
melalui hak istimewa yang dimiliki (misalnya kemampuan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
67
mengangkat dan memberhentikan direksi, pengaruh terhadap
operasional dan finansial perusahaan) walaupun sahamnya
dibawah 50%. Hal ini tentunya merupakan kelemahan yang
dapat berpotensi menimbulkan penghindaran pajak.
Kelemahan berikutnya adalah tidak adanya ketentuan yang
jelas dan tegas tentang cakupan sifat kontrol sehingga wajib
pajak menganggap bahwa syarat kontrol hanya bersifat
langsung. Hal tersebut membuat penghindaran pajak dapat
dilakukan dengan kepemilikan secara tidak langsung melalui
artificial share ownership (perusahaan perantara).
2.
Kelemahan CFC rules dari Aspek Exemption
CFC rules merupakan
antitax defferal, sehingga hanya
diterapkan terhadap entitas yang memiliki resiko defferal.
Menurut Arnold (1986,84) terdapat dua kondisi deferral dapat
memberikan manfaat bagi WPDN untuk melakukan
penghindaran pajak. Pertama, penghasilan yang berasal dari
badan usaha di luar negeri yang diterima WPDN menjadi objek
pajak di negara tempat WPDN (world wide income). Kedua,
pajak efektif di luar negeri lebih rendah dari pajak domestik.
Melalui kredit pajak yang ada di Indonesia, apabila tarif pajak
efektif di luar negeri lebih tinggi dari Indonesia maka tidak
akan ada penerimaan. Penerapan CFC rules ke semua negara
hanya akan membuat CFC rules tidak efektif, sehingga perlu
untuk dibuat definisi low tax juridiction.
3.
Kelemahan dari aspek Definisi Penghasilan CFC
Pasal 3 PMK 256/PMK.03/2008 menyatakan bahwa jumlah
dividen yang menjadi hak wajib pajak terhadap laba setelah
68
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
pajak. Berdasarkan hal tersebut maka penghasilan CFC
mencakup seluruh penghasilan yang diperoleh CFC (baik pasif
maupun aktif). Indonesia menggunakan entity approach dalam
mendefinisikan penghasilan CFC. Terdapat kelemahan dalam
definisi tersebut karena seharusnya CFC rules tidak diterapkan
terhadap entitas di luar negeri yang melakukan genuine
economic exemption dan tidak memiliki motif penghindaran
pajak. Sebagaimana diungkapkan pihak DJP bahwa terhadap
entitas yang mampu membuktikan dirinya melakukan usaha
sesungguhnya dan tidak memiliki motif penghindaran pajak
suda seharusnya dikecualikan. Pengecualian tersebut
dilakukan agar entitas luar ngeri yang dimiliki WPDN dapat
bersaing dengan perushaan asing lainnya.
4. Kelemahan CFC Rules Dari Aspek Penghitungan Penghasilan
CFC
Berdasarkan pasal 1 PMK 256/PMK.03/2008 CFC rules akan
diterapkan apablia hingga bulan keempat setelah berakhirnya
kewajiban penyampaian SPT Tahunan atau setelah bulan
ketujuh akhir tahun pajak badan usaha di luar negeri (bagi
badan usaha yang tidak memiliki kewajiban SPT) belum
membagikan dividen. Kelemahan yang terdapat pada
ketentuan tersebut adalah hanya mengatur tentang saat
diperolehannya dividen dan tidak mengatur tentang besar
dividen yang harus diterima WPDN ketika tidak ditetapkan
saat perolehannya. Oleh karena itu, penghindaran pajak masih
dapat dilakukan dengan membagi dividen sebelum ditetapkan
saat perolehannya tetapi tidak sesuai dengan jumlah yang
seharusnya diterima oleh WPDDN.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
69
5.
CFC
Kelemahan CFC Rules dari Aspek Atribusi Penghasilan
Atribusi penghasilan CFC dihitung berdasarkan persentase
kepemilikan saham dikalikan dengan laba setelah pajak CFC,
dengan persyaratan kriteria kontrol telah terpenuhi.
Kelemahan yang terdapat pada ketentuan tersebut adalah
dimungkinkan dilakukan penghindaran pajak melalui
pengurangan persentase kepemilikan saham pada akhir tahun
pajak. Sebaiknya CFC rules menggunakan periode kepemilikan
sebagai bagian dari penghitungan besar atribusi penghasilan
CFC.
Kelemahan – kelemahan pada CFC rules telah memberikan
kesempatan dilakukannya penghindaran pajak. Oleh karena
itu, OECD dan G20 membuat rekomendasi berupa 6 building
blocks, sebagai berikut:
No
1.
2.
70
Ringkasan Rekomendasi Rencana Aksi 3
Ketentuan
Rekomendsi
Definisi CFC Memperluas definisi CFC yang tidak
dan kontrol
hanya mencakup Perseroan Terbatas
tetapi juga transparent entity dan BUT
(Bentuk Usaha Tetap). Memperluas
kontrol yang minimum mencakup
kontrol legal dan kontrol ekonomi baik
secara
langsung
maupun
tidak
langsung
Exemption
Penggunaan ETR (efective tax rate)
dan threshold sebagai acuan dalam mengecualikan
penerapan CFC rules
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
3.
Definisi
penghasil an
CFC
4.
Penghitungan
Penghasil an
CFC
5.
Atribusi
Penghasilan
CFC
Memberikan
kebebasan
terhadap
masing – masing yuridiksi dalam
mendefinisikan
penghasilan
CFC
berdasarkan tingkat resiko BEPS yang
dihadapi
Menggunakan ketentuan pengitungan
penghasilan yang ada pada yuridiksi
induk dan keharusan yuridiksi induk
untuk membuat ketentuan spesifik
tentang batasaan kerugian CFC.
1. Taxpayer yang 1.Batas atribusi
mendapat
harusnya sama
atribusi
degan batas
penghasil an
kontrol
2. Jumlah
yang 2.Beradasarkan
diatribusi kan
proporsi
3. Kapan penghasil
kepemilikaan
an dimasuk kan
dan periode
dalam penghasil
kepemilikan atau
an taxpayer
periode
4. Perlakukan
pengaruh
terhadap
3.Berdasarkan
penghasil an
ketentuan
5. Tarif pajak yang
domestik yang
diterapkan
ada pada
yuridiksi induk
4. Berdasarkan
ketentuan
domestik yang
ada pada
yuridiksi induk
5.CFC rules
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
71
6.
Eliminasi
Pemajakan
Berganda
harusnya
menerapkan tarif
pajak yuridiksi
induk pada
penghasilan
1.Memperbolehkan
adanya kredit
pajak atas pajak
yang telah CFC
bayar
2.Memperbolehkan
adanya kredit
pajak atas pajak
yang telah CFC
bayar
1. Atribusi
penghasil an
CFC menjadi
subjek
pemajakan
entitas luar
negeri
2. Lebih dari satu
yuridiksi
menerapk an
CFC rules pada
penghasil an
CFC yang sama
Sumber : Diolah penulis berdasarkan Designing Effective
Controlled Foreign Company Rules, OECD
C. Implikasi dan Rekomendasi
Perubahan pada CFC rules Indonesia menjadi perlu untuk
dilakukan mengingat semakin canggih skema penghindaran
pajak yang dilakukan WPDN. Untuk membuat CFC rules lebih
efektif, maka terdapat beberapa alternatif kebijakan sebagai
berikut;
Alternatif pertama: memperbaiki kelemahan yang ada CFC
rules saat ini yaitu dengan memperluas definisi kontrol yang
mencakup legal control secara langsung dan tidak langsung,
72
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
membuat definisi low tax juridiction berdasarkan list,
menerapkan exemption pada genuine economic activity, dan
mengatur tentang saat diperolehnya dividen serta besar
dividen. Kelebihan alternatif ini adalah CFC rules Indonesia
dapat diterapkan secara lebih luas mencakup kepemilikan
saham secara langsung dan tidak langsung, dan terdapat
kepastian hukum terkait negara yang diterapkan CFC rules
(black list). Kekurangan alternatif ini adalah kontrol hanya
mencakup saham sedangkan pada kenyataannya kontrol
secara ekonomi juga mampu mengendalikan suatu entitas dan
perlu dilakukan update terkait daftar negara yang diterapkan
CFC rules.
Alternatif kedua: Mengadopsi rekomendasi OECD untuk
memperluas memperluas definisi kontrol mencakup legal dan
economic control secara langsung dan tidak langsung,
menggunakan ETR dalam mendefinisikan low tax juridiction,
penghitungan atribusi penghasilan berdasarkan besar dan
periode kepemilikan saham. Kelebihan alternatif ini adalah
penerapan CFC rules lebih luas mencakup saham dan kontrol
ekonomi secara langsung dan tidak langsung. CFC rules
diterapkan secara lebih adil karena melihat pada perbandingan
tarif pajak efektif. Kekurangan alternatif ini adalah sulit untuk
membuktikan adanya kontrol secaraa ekonomi. Menimbulkan
cost of taxation karena sulit membandingkan tarif pajak efektif
pada setiap negara
Berdasarkan beberapa alternatif tersebut, rekomendasi yang
dapat diberikan yaitu:
1. Perlu untuk merubah UU PPh terutama pada pasal 18 ayat
(2) dengan secara jelas dan tegas mengatur cakupan kontrol
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
73
yang meliputi secara laangsung dan tidak langsung. Untuk
batasan kontrol, cara penghitungan dividen dan lainnyaa
sebaiknya diatur pada level PMK.
2. Apabila UU PPh tidak dirubah, maka perbaikan CFC rules
dapat dilakukan dengan membuat PMK yang secara tegas
dan jelas mensyaratkan adanya kontrol secara langsung dan
tidak langsung. Hal ini tidak bertentangan dengan UU PPh
karena tidak terdapat penjelasan terkait sifat kontrol. Perlu
untuk membuat aturan tentang definisi low tax juridiction
maupun besar dividen agar CFC rules diterapkan secara
efektif.
Referensi
1. Arnold, Brian. J. The Taxation of Controlled Foreign
Corporation: An International Comparison Canadia Tax
Paper. 1986
2. Arnold, Brian .J and Michael J.McIntyre. International Tax
Primer. The Hague: Kluwer Law International. 2002
3. Lang, Michael, Hans-Jorgen Aigner, Ulrich Scheuerle, and
Markus Stefaner. CFC Legislation, Tax Treaties and EC Law.
The Hague; Kluwer Law International. 2004
4. Pinto, Carlos. Tax Competition Of EU Law. The Hague;
Kluwer Law Internasional. 2003.
5. Rohatgi, Roy. Basic International Taxation Volume
1:Principles. London:BNA International Inc. 2005
---***---
74
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Seri Policy Brief – Nomor 009-2017
KNOWLEDGE CREATION DI PUSAT PENDIDIKAN DAN
PELATIHAN PEGAWAI KEMENTERIAN
KETENAGAKERJAAN
oleh Alfiah Pra Mundiarsih dan Andreo Wahyudi
Atmoko
Ringkasan Eksekutif
Kurangnya SDM penyelenggara maupun Widyaiswara baik dari
segi kualitas maupun kuantitas dalam penyelenggaraan diklat
dan kurangnya inovasi pengembangan SDM di Pusdiklat
Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menjadi
salah satu isu yang perlu segera ditangani karena
mempengaruhi rendahnya kepuasan peserta mengikuti diklat
dan kinerja pusdiklat. Munculnya Peraturan Pemerintah
Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri
Sipil (PNS) bahwa pengembangan kompetensi bagi setiap PNS
dilakukan paling sedikit 20 (dua puluh) jam pelajaran dalam 1
(satu) tahun menjadi tantangan bagi pusdiklat untuk
menyiapkan SDM, teknologi maupun sarana dan prasarana.
Pendekatan proses penciptaan pengetahuan (knowledge
creation) melalui sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi dan
internalisasi (SECI) bagi pegawai di Pusdiklat Kemnaker perlu
dibangun untuk menghasilkan inovasi dan mewujudkan visi
Pusdiklat sebagai “center of excellent, center of development dan
center empowerment “(CEDE).
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
75
A. Pendahuluan
Pentingnya pengetahuan dalam menghadapi perubahan pada
organisasi publik dimulai dengan adanya reformasi birokrasi
yang menitikberatkan pada kompetensi dan profesionalisme
aparatur. Penciptaan pengetahuan (knowledge creation) bagi
pegawai Pusdiklat Kemnaker menjadi salah satu hal yang perlu
dikembangkan untuk mewujudkan visi Pusdiklat sebagai
“center of excellent, center of development dan center
empowerment “(CEDE) dan meningkatkan kinerja Pusdiklat.
Melalui pengembangan knowledge creation, pegawai Pusdiklat
diharapkan dapat menghasilkan ide-ide baru yang mendorong
penyelenggaraan diklat yang berkualitas.
Nonaka (1995:3) mendefinisikan penciptaan pengetahuan
organisasi sebagai kemampuan organisasi secara keseluruhan
untuk menciptakan pengetahuan baru, menyebarkan
pengetahuan tersebut ke seluruh organisasi, dan menyatu
dalam produk, pelayanan maupun sistem. Lebih lanjut Nonaka
menjelaskan bahwa knowledge creation menjadi sebuah kunci
dalam menciptakan inovasi secara terus menerus sehingga
organisasi mampu berdaya saing. Menurut Nonaka (1994:14),
knowledge creation dapat dipahami sebagai proses dimana
organisasi menciptakan dan mendefinisikan masalah untuk
mengembangkan pengetahuan baru dalam memecahkan
masalah tersebut. Dalam hal ini konsep kreativitas dan inovasi
menjadi bagian yang tak terpisahkan ketika sebuah organisasi
menciptakan pengetahuan baru. Definisi tersebut menyiratkan
bahwa salah satu indikator penciptaan pengetahuan dalam
sebuah organisasi yaitu inovasi baik dalam bentuk produk,
pelayanan maupun sistem yang baru.
76
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Pervaiz Ahmed (2002:58) mengemukakan bahwa konsep
knowledge creation dipengaruhi oleh keahlian dan talenta yang
terkait dengan pengetahuan tacit. Proses penciptaan
pengetahuan tersebut menurut Nonaka (1995:62) diperoleh
melalui konversi pengetahuan tacit dan eksplisit dengan empat
mode yaitu sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi dan
internalisasi (SECI). Sosialisasi merupakan proses transfer
pengetahuan tacit ke pengetahuan tacit melalui berbagi
pengalaman seperti mental model dan keahlian teknis.
Eksternalisasi merupakan proses transfer pengetahuan tacit ke
pengetahuan eksplisit melalui konsep. Kombinasi merupakan
proses transfer pengetahuan eksplisit yang ada ke
pengetahuan eksplisit yang baru. Internalisasi merupakan
proses transfer pengetahuan eksplisit ke tacit melalui learning
by doing.
Kurangnya jumlah dan kualitas Widyaiswara secara tidak
langsung mengakibatkan menurunnya kepuasan peserta
mengikuti diklat dan kurangnya inovasi. Data yang diperoleh
dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Instasi Pemerintah (LAKIP)
Pusdiklat Pegawai Kemnaker tahun 2016 menunjukkan bahwa
masih diperlukan pengembangan dan inovasi program
pengembangan
SDM
di
lingkungan
Kementerian
Ketenagakerjaan. Sementara disisi lain, data evaluasi
penyelenggaraan diklat yang ada dari tahun ke tahun
khususnya perbandingan hasil evaluasi diklat tahun 2014 dan
2015 menunjukkan bahwa kualitas tenaga pengajar dalam
penyampaian materi yang terkait dengan metode pengajaran
yang kurang variatif bahkan cenderung menurun serta
penyelenggara yang tidak banyak mengetahui program
pelatihan yang berjalan. (Sumber: Pusdiklat Pegawai
Kemnaker disampaikan dalam Fact finding di Gatot Subroto,
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
77
Maret 2016). Hal tersebut secara tidak langsung
mempengaruhi kepuasan dalam mengikuti diklat dengan nilai
yang cenderung menurun.
Grafik 1. 1 Hasil evaluasi penyelenggaraan diklat Kemnaker
tahun 2014-2015
Sumber : Pusdiklat Pegawai Kemnaker
Oleh karena itu, proses penciptaan pengetahuan (knowledge
creation) berupa pengetahuan tacit akan penyelenggaraan
diklat menjadi penting khususnya untuk meningkatkan
kualitas SDM baik penyelenggara diklat maupun Widyaiswara
sehingga dapat menghasilkan diklat yang berkualitas.
B. Pendekatan dan Metode
Penciptaan pengetahuan (knowledge creation) dengan model
SECI dari Nonaka & Takeuchi menjadi rujukan yang dipilih
sebab pertama, proses penciptaan pengetahuan dalam konsep
78
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
tersebut digambarkan secara lebih sederhana namun secara
lengkap menjelaskan proses penciptaan pengetahuan dalam
organisasi. Kedua, konsep tersebut mencakup tidak hanya
pengetahuan apa yang diperlukan dalam organisasi dan
bagaimana proses organisasi menciptakan pengetahuan baru,
namun juga menjelaskan pembelajaran secara menyeluruh
mulai dari level individu, kelompok, organisasi bahkan inter
organsisasi. Ketiga, konsep tersebut tidak hanya sebatas pada
penciptaan
pengetahuan
namun
mencakup
transfer
pengetahuan yang ada dimana kedua hal tersebut menjadi
sesuatu yang penting dalam mengembangkan pengetahuan
organisasi untuk memeprkuat posisi organisasi dan
emnajdikannya berdaya saing.
Apabila dikaitkan dengan proses SECI secara keseluruhan,
proses konversi pengetahuan yang terjadi di Pusdiklat
cenderung dominan pada tahap kombinasi. Artinya
pengetahuan yang dikonversi lebih banyak pada pengetahuan
eksplisit ke eksplisit terutama pada pengetahuan eksplisit
peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan pengetahuan eksplisit
kurikulum diklat. Sedangkan untuk sosialisasi masih terdapat
ego sektoral yang mengakibatkan kurangnya transfer
pengetahuan tacit antar bagian, pada tahap eksternalisasi,
pengetahuan tacit masih tersimpan dalam brain pegawai dan
belum dieksplor untuk dibukukan dan pada tahap internalisasi
masih ditemukan kurangnya rasa kepercayaan dalam
memberikan kesempatan kepada pegawai junior untuk
melakukan pekerjaan sepenuhnya melalui proses learning by
doing.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
79
C. Implikasi dan Rekomendasi
Terdapat dua hal yang perlu segera ditindaklanjuti oleh
Pusdiklat Pegawai Kemnaker untuk mencapai visi Pusdiklat
sebagai center of excellent, center of development dan center of
empowerment. Pertama, dominasi pengetahuan eksplisit yang
menyebabkan sirkulasi spiral SECI hanya berputar pada tahap
kombinasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan lebih banyaknya
pengetahuan eksplisit yang dihasilkan seperti Peraturan
Menteri Tenaga kerja dan kurikulum diklat. Sementara
Pusdiklat memerlukan pengetahuan tacit akan koordinasi
dengan unit teknis, communication proficiency, pengelolaan
jadual mengajar dan pengelolaan kelas untuk menentukan
keberhasilan suatu diklat. Dengan adanya dominasi
pengetahuan eksplisit, maka alternatif kebijakan yang dapat
diberikan yaitu :
Alternatif pertama, pengembangan pengetahuan tacit dapat
dilakukan melalui forum diskusi atau Community of Practice
untuk mengurangi ego sektoral sehingga proses apprenticeship
dapat berjalan untuk meningkatkan sosialisasi. Kelebihan dari
alternatif ini adalah pegawai dapat memiliki satu visi dan
diberikan keleluasaan dalam mengembangkan ide-ide
kreatifnya melalui berbagi pengetahuan dalam forum tersebut.
Kekurangan dari alternatif ini adalah tidak seluruh pegawai
bersedia berpartisipasi terutama terkait dengan kepercayaan,
reward dan waktu yang disediakan untuk berbagi pengetahuan
Alternatif Kedua, pengembangan pengetahuan tacit terutama
dalam hal meningkatkan kualitas SDM pusdiklat dapat
dilakukan dengan memberikan dukungan dana dan motivasi
kepada pegawai untuk mengeksplor pengetahuan tacit ke
80
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
dalam bentuk buku. Kelebihan dari alternatif ini adalah dengan
adanya dukungan dana dapat mempermudah dan memotivasi
pegawai untuk bersedia mengeksplor pengetahuan tacit ke
dalam bentuk buku. Kekurangan dari alternatif ini adalah akan
menimbulkan dilema sebab diperlukan anggaran yang cukup
besar ditengah adanya pengurangan anggaran.
Alternatif Ketiga, pengembangan pengetahuan tacit pegawai
dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi
pegawai untuk terjun langsung di lapangan melalui learning by
doing khususnya untuk internalisasi tacit knowledge mengajar
sehingga membantu meningkatkan pengetahuan pegawai
sekaligus sebagai pembelajaran bagi pegawai. Kelebihan
alternatif ini adalah melalui learning by doing akan
mempercepat transfer pengetahuan tacit antar pegawai.
Kekurangan alternatif ini adalah proses learning by doing
sangat tergantung pada kompetensi pegawai yang
bersangkutan.
Hal kedua yang perlu dikaji lebih lanjut yaitu terkait dengan
belum seluruh pegawai memiliki pandangan dan pengetahuan
yang sama akan visi dan misi pusdiklat dan belum adanya
database yang terintegrasi untuk seluruh bagian di Pusdiklat
mengakibatkan kurangnya penyebaran informasi dan
pengetahuan antar pegawai. Oleh karena itu, alternative
kebijakan yang dapat diberikan yaitu :
Alternatif pertama, untuk memperoleh pandangan yang sama
akan visi dan misi Pusdiklat, maka pemimpin perlu
mengkomunikasikan visi dan misi pusdiklat di setiap
pertemuan pegawai sehingga pegawai dapat memahami dan
bersedia menjalankan visi dan misi di setiap pekerjaan yang
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
81
dilakukan. Kelebihan alternatif ini adalah pegawai akan lebih
mudah memahami visi dan misi pusdiklat melalui repetisi visi
dan misi. Kelemahan dari alternative ini adalah perlu
ketegasan
dan
komitmen
dari
pemimpin
untuk
mengkomunikasikan visi dan misi tersebut
Alternatif kedua, untuk mengintegrasikan penyebaran
informasi dan pengetahuan antar pegawai perlu disusun
sistem database yang terintegrasi mulai dari pemanggilan
peserta diklat, pelaksanaan diklat yang meliputi jadual hingga
evaluasi peserta diklat, widyaiswara maupun penyelenggara
dan database alumni diklat. Kelebihan alternatif ini adalah
melalui sistem database informasi dan pengetahuan mengenai
diklat dapat diakses dengan mudah oleh seluruh pegawai
kapanpun dan dimanapun serta memudahkan penyebaran
informasi antar pegawai. Kelemahan dari alternatif ini adalah
diperlukan anggaran yang cukup besar serta SDM yang
memadai dalam hal teknologi informasi sehingga database
tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik.
Berdasarkan beberapa alternatif tersebut, rekomendasi yang
dapat diberikan yaitu :
1. Apabila melihat dominasi pengetahuan eksplisit yang ada di
Pusdiklat, maka sebaiknya Pusdiklat Pegawai Kemnaker
khususnya Kepala Pusdiklat dapat membentuk forum
diskusi atau Community of Practice serta memberikan
dukungan dana untuk diterapkan kepada pegawai Pusdiklat
2. Apabila melihat kecendrungan kurangnya pemahaman yang
sama akan visi dan misi Pusdiklat serta kurangnya
penyebaran informasi dan pengetahuan antar pegawai,
maka sebaiknya Kepala Pusdiklat serta pejabat struktural
82
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Pusdiklat dan biro kepegawaian serta unit teknis
bekerjasama untuk menyusun database diklat terintegrasi.
Referensi
1. Ahmed K Pervais, Kwang Kok Lim, and Ann Loh. (2002).
Learning Through Knowledge Management, Oxford:
Butterworth Heinemann
2. Ikujiro Nonaka and Hirotaka Takeuchi. (1995). The
Knowledge Creating Company, New York:Oxford University
Press
3. Ikujiro Nonaka and Teece, David. (2001). Managing
industrial knowledge : creation, transfer and utilization,
London: Sage Publications
4. Nezafati Navid et.al. (2009). A dynamic model for
measuring knowledge level organizations based on Nonaka
and Takeuchi Model (SECI), Academic Journals, Vol. 4 , pp
531-542
---***---
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
83
Seri Policy Brief – Nomor 010-2017
MENUJU TATAKELOLA PERENCANAAN
PEMBANGUNAN PERTANIAN LEBIH
TERDESENTRALISASI DAN TERINTEGRASI
oleh R. N. Afsdy Saksono , Eko Prasojo, dan Andreo
Wahyudi Atmoko
A. Pendahuluan
Pertanian merupakan urusan bersifat konkuren (concurrent)
yaitu urusan bersama antara pemerintah pusat, pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dengan kata lain,
pembangunan pertanian direncanakan, dibiayai dan
dilaksanakan oleh keetiga level pemerintahan tersebut. Hasil
studi1 memperlihatkan bahwa pembangunan pertanian sangat
sedikit dibiayai dari anggaran daerah (porsi anggaran daerah
untuk pembangunan prtanian tidak lebih dari 20% dari total
biaya pembangunan pertanian) dan sebaliknya pemerintah
pusat banyak berperan dengan pengeluaran biaya jauh lebih
besar dibanding dana yang bersumber dari pemerintah daerah.
Kenyataan tersebut, dan juga hingga saat ini pembangunan
pertanian masih menyisakan masalah dimana relatif belum
memperlihatkan hasil yang menggembirakan, baik pada
tingkat output misalnya ketersediaan infrastruktur pertanian
misalnya lahan pertanian (pembukaan lahan/pencetakan
sawah baru), irigasi, jalan, teknolgi (alsintan), terlebih lagi
1
Studi kasus: Provinsi Lampung, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Jawa
Tengah, dan Kabupaten Sukoharjo (Saksono, 2017).
84
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
pada tingkat ourcome misalnya produktivitas dan produksi,
dan kesejahteraan petani/NTP, pemenuhan kebutuhan pangan
(swasembada) dan apalagi ekspor pangan.
Gambar 1
Sumber Pendanaan Pembangunan Pertanian
Tabel 1. Anggaran Kementerian Pertanian 2013-2016, Rp
Triliun
2013
2014
2015*
2016
17,8
15,5
32,70**
31,6
* APBN-P
** Anggaran awal Rp 15,8 T dan mendapatan tambahan Rp
16,9 T
Sunber: Kementerian Pertanian, Gatranews (27 Januari 2015),
Kementerian Keuangan dalam Kompas (2 November 2015)
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
85
Gambar 2
Porsi Anggaran Pembangunan Pertanian Provinsi Lampung
2014 berasal dari APBN
Pembagian urusan juga mengandung makna pembagian
wewenang antar level pemerintahan sebagaimana diatur
dalam PP Nomor 8/2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebagai
pengganti PP Nomor 25/2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom,
dan terakhir dimuat dalam Lampiran UU Nomor 23/2014
tentang Pemerintahan Daerah. Pada kenyataan pengaturan
pembagian urusan juga menyisakan permasalahan, misalnya
pengaturan yang bersifat umum dan berpotensi multitafsir dan
juga masalah koordinasi. Dalam hal jalan, selama ini dikenal
jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota dan untuk
konteks pertanian juga dikenal jalan usaha tani (JUT).
Realitanya, pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian melalui
skema TP juga mengurus JUT.
86
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Selain itu, dalam urusan irigasi dikenal irigasi primer oleh
pusat, irigasi sekunder oleh provinsi dan irigasi tersier oleh
kabupaten/kota. Dalam konteks pertanian juga di kenal
embung. Pada kenyataannya, pusat (Kementerian Pertanian)
juga melaksanakan/mengurus embung yaitu melalui Tugas
Pembantuan (TP), baik yang langsung ke kabupaten/kota
maupun melalui TP provinsi. Realita yang tidak beda juga
nampak pada urusan benih. Lebih lanjut, tantangan koordinasi
dalam pelaksanaan urusan yang bersifat concurrent, tidak saja
dalam perspektif vertikal (antar level pemerintahan) tetapi
juga horisontal dan diagonal.
Di Indonesia berlaku bahwa Gubernur merupakan kepala
daerah dan sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah dan
lebih lanjut bahwa dalam kedua kedudukan tersebut berlaku
pada wilayah yang sama (integrated prefectoral system).
Sebagai wakil pusat (prefect), gubernur melaksanakan peran
berdasarkan asas dekonsentrasi dalam koordinasi baik antara
kabupaten/kota dalam wilayan provinsi yang bersangkutan,
antara kabupaten/kota dan provinsi, maupun antara organ
kementerian di daerah dan pemerintah daerah, maupun antara
daerah dan pusat.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
87
Gambar 3
Aliran Dana Pembangunan Pertanian dari Pusat
Perencanaan pembangunan termasuk koordinasi yang selama
ini banyak dari pusat telah menyebabnya membengkaknya
ukuran kementerian sebagai realita yang mengikuti
Parkinson’s Law. Perencanaan dan koordinasi secara langsung
oleh pusat, selain berimplikasi pada ukuran organisasi
kementerian, efektivitasnya juga masih belum optimal
sebagaiman dapat dilihat dari adanya permasalahan koordinasi
dan kinerja pembangunan selama ini.
88
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
B. Kebutuhan Rekonstruksi
Terdapat realitas/temuan adanya penumpukan anggaran di
pusat (K/L) yang pada kenyataannya juga dialirkan ke daerah
dalam skema dana dekonsentasi dan tugas pembantuan, yaitu
disertai dengan ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh pusat,
bahkan termasuk DAK yang sebenarnya masuk dalam APBD.
Sehingga dapat dikatakan bahwa koordinasi dan juga
perencanaan dilakukan oleh pusat. Dalam konteks
pembangunan pertanian, terkait hal tersebut muncul
pertanyaan, pendekatan mana yang dipilih/diterapkan oleh
pusat: pembangunan (oleh) daerah atau pembangunan di
daerah (oleh pusat).
Tatakelola
dalam perencanaan pembangunan pertanian
multilevel terdesentralisasi selama ini menggunakan
pendekatan integrating role yaitu gubernur sebagai wakil pusat
lebih sebagai/sekedar peran untuk kepentingan integrasikeselarasan dan belum mencerminkan sebagai insitusi
terstruktur. Selain itu tatakelola besifat centralizedfragmented. Konstruksi tatakelola perencanaan pembangunan
pertanian
multilevel
terdesentralisasi
masih
belum
sepenuhnya sejalan dengan semangat kebijakan desentralisasi,
tuntutan
dan
perkembangan/kecenderungan
praktek
perencanaan pembangunan yang lebih mengarah pada
territorial approach dimana diperlukan posisi dan peran
gubernur dalam hal ini sebagai wakil pemerintah pusat yang
lebih besar dan aktif.
Dalam konteks perencanaan pembangunan pertanian, peran
gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak didukung
dengan adanya organ/institusi yang membantu pelaksanaan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
89
peran gubernur tersebut. Peran koordinasi oleh gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat dalam perencanaan
pembangunan pertanian belum dilaksanakan secara
terstruktur dan detail, melainkan melalui mekanisme
Musrenbang. Hubungan gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat dengan institusi K/L di daerah dalam konteks
perencanaan pembangunan masih belum terumuskan dengan
baik dan belum berjalan optimal dan efektif. Lebih lanjut,
pengendalian atas perencanaan pembangunan pertanian di
kabupaten dalam rangka tercapainya keselarasan dengan
provinsi dilakukan oleh Bappeda Provinsi (SKPD sebagai organ
provinsi sebagai daerah otonom), bukan oleh organ gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat dengan kata lain, masih belum
adanya pemisahan yang tegas antara institusi sebagai organ
pemerintah provinsi sebagai daerah otonom (dalam ini adalah
SKPD) dan institusi sebagai organi gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat.
Konstruksi tatakelola perencanaan pembangunan pertanian
multilevel terdesentralisasi yang direkomendasikan dengan
butir-butir pokok: Pertama, organ gubernur sebagai wakil
pemerintah
pusat
direkonstruksi
sebagai
berwujud
organisasi/institusi formal dengan sebutan Sekretariat
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berupa institusi
formal, dipimpin oleh Sekreatris, merupakan pegawai pusat
atas usulan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat,
Sekreatris Prefektur bertanggung jawab kepada Menteri Dalam
Negeri melalui Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Sekretariat Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat terdiri
atas beberapa biro, salah satunya adalah Biro Koordinasi
Pembangunan, dengan kepala biro sebagai pegawai pusat. Staf
pelaksana pada biro dapat berasal pemerintah provinsi (yang
diperbantukan).
90
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Kedua, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, Gubernur
memiliki wewenang mengkoordinasikan segala kebijakan dan
program di wilayahnya, termasuk terhadap unit dari K/L yang
berada di daerah di wilayahnya. Koordinasi yang dimaksud
termasuk dalam bentuk upaya untuk menyelaraskan
perencanaan dan pelakanan pembangunan oleh instansi
vertikal dengan perencanaan pembangunan yang dilaksanakan
oleh provinsi sebagai daerah otonom dan juga dengan
perencanaan yang dilaksanakan oleh kabupaten dengan
memperhatikan
konsep
dan
prinsip
perencanaan
pembangunan regional.
Dalam konstruksi tersebut sebagai wakil pemerintah pusat
memegang kewenangan kooridnasi penganggaran di
wilayahnya. Anggaran pembangunan (pertanian) yang
merupakan dan selama ini dipegang pusat (Kementerian
Pertanian) dialihkan/ dialirkan kepada dan dikelola oleh
Gubernur sebagai wakil pemerinah pusat. Dengan demikian,
gubernur akan mengelola dan mengatur prioritas dan
pendistribusian
kepada
pemerintah
provinsi
dan
kabupaten/kota semuanya dalam kerangka pembangunan
regional dan untuk memastikannya sebagai bagian integral
dari pembangunan nasional. Usulan dari provinsi dan
kabupaten/kota untuk pembiayaan pembangunan daerahnya
tidak lagi ke Kementerian Pertanian tetapi cukup ke Gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat karena gubernurlah yang
(dinilai) paling mengetahui kebutuhan pembiayaan dalam
kerangka pembangunan regional. Anggaran yang mengalir ke
“instansi vertical” di wilayahnya juga di bawah kordinasi
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
91
Ketiga, hubungan koordinatif gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat dengan “instansi vertikal” (unit pusat/
kementerian di daerah) yang selama ini pasif, yaitu instansi
vertikal (unit pusat/ kementerian di daerah) melakukan
koordinasi dengan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah, dikonstruksi ulang menjadi aktif dimana gubernur
sebagai wakil pemerintah pusat di daerah mengkoordinasikan
“instansi vertikal” (unit pusat/ kementerian di daerah).
Keempat, dana dekonsentrasi dimana dalam konstruksi saat
ini dikelola, digunakan dan dipertanggungjawabkan oleh Dinas
Pertanian provinsi mengacu Pasal 4 PP Nomor 7/2008 tentang
Dekon dan TP (“sebagian urusan pemerintahan yang
dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah
dilaksanakan oleh SKPD provinsi berdasarkan penetapan dari
gubernur” dan Pasal 31 (“Kepala SKPD provinsi
bertanggungjawab atas pelaporan kegiatan dekonsentrasi”
diusulkan perubahan menjadi dikelola, digunakan dan
dipertanggungjawabkan organ Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat.
Kelima, Bappenas berkedudukan dan berperan sebagai
leading institution dalam perencanaan pembangunan untuk
lebih menjamin keselarasan perencanaan pembangunan dan
agar tercapai value at the enterprise level dalam hal tujuan
pembangunan nasional. Artinya, konsultasi dan penilaian
terhadap aspek substansi dari Rancangan Akhir RPJMD
Provinsi diberikan oleh Bappenas dengan tetap berkoordinasi
dengan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Sementara
itu, peran Kemendagri dalam hal ini lebih pada posisi untuk
pembinaan dan memastikan agar proses perencanaan oleh
pemda dapat berjalan sesuai dengan ketentuan sehingga
92
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
mampu menghasilkan rencana pembanguan yang baik, sesuai
dengan kebutuhan daerah dan tetap selaras dengan/dalam
kerangka dengan rencana pembangunan nasional.
D. Implikasi
Setidaknya ada lima implikasi dari rekonstruksi tatakelola
perencanaan
pembangunan
pertanian
multilevel
terdesentralisasi. Pertama, sebagai wakil pemerintah pusat di
daerah, Gubernur memiliki wewenang mengkoordinasikan
segala kebijakan dan program di wilayahnya, termasuk
terhadap unit dari K/L yang berada di daerah di wilayahnya.
Koordinasi yang dimaksud termasuk dalam bentuk upaya
untuk
menyelaraskan
perencanaan
dan
pelakanan
pembangunan oleh instansi vertikal dengan perencanaan
pembangunan yang dilaksanakan oleh provinsi sebagai daerah
otonom dan juga dengan perencanaan yang dilaksanakan oleh
kabupaten dengan memperhatikan konsep dan prinsip
perencanaan pembangunan regional.
Kedua, konstruksi tersebut memerlukan peningkatan
wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat
khususnya
dalam
konteks
penganggaran.
Anggaran
pembangunan (pertanian) yang merupakan dan selama ini
dipegang pusat (Kementerian Pertanian) dialihkan/ dialirkan
kepada dan dikelola oleh Gubernur sebagai wakil pemerinah
pusat. Dengan demikian, gubernur akan mengelola dan
mengatur prioritas dan pendistribusian kepada pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota semuanya dalam kerangka
pembangunan regional dan untuk memastikannya sebagai
bagian integral dari pembangunan nasional. Usulan dari
provinsi dan kabupaten/kota untuk pembiayaan pembangunan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
93
daerahnya tidak lagi ke Kementerian Pertanian tetapi cukup ke
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat karena gubernurlah
yang (dinilai) paling mengetahui kebutuhan pembiayaan dalam
kerangka pembangunan regional. Anggaran yang mengalir ke
“instansi vertical” di wilayahnya juga di bawah kordinasi
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Ketiga, Pemerintah pusat (Kementrian Pertanian) tidak lagi
menerbitkan Petunjuk Teknis (Juknis), tetapi cukup berupa
pedoman yang berisi norma, standar, prosedur, kriteria
(NSPK). Selanjutnya, juknis akan dibuat oleh Gubernur sebagai
wakil pemerintah pusat sebagai panduan pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota dalam perencanaan pembangunan
pertanian dan pengajuan pembiayaan pembangunan.
Selain itu, keempat, untuk lebih menjamin keselarasan
perencanaan pembangunan dan agar tercapai value at the
enterprise level dalam hal tujuan pembangunan nasional, maka
perlu penegasan dan penguatan peran Bappenas, yaitu sebagai
leading institution dalam perencanaan pembangunan. Artinya,
konsultasi dan penilaian terhadap aspek substansi dari
Rancangan Akhir RPJMD Provinsi diberikan oleh Bappenas
dengan tetap berkoordinasi dengan Gubernur sebagai wakil
pemerintah pusat. Sementara itu, peran Kemendagri dalam hal
ini lebih pada posisi untuk pembinaan dan memastikan agar
proses perencanaan oleh pemda dapat berjalan sesuai dengan
ketentuan
sehingga
mampu
menghasilkan
rencana
pembanguan yang baik, sesuai dengan kebutuhan daerah dan
tetap selaras dengan/dalam kerangka dengan rencana
pembangunan nasional.
Akhirnya, kelima, diperlukan peninjauan ulang dan lebih lanjut
revisi kebijakan (bila diperlukan) untuk lebih memperjelas,
94
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
mempertegas, mengoptimalkan serta meningkatkan efektivitas
kedudukan dan peran gubernur sebagai wakil pemerintah
pusat, termasuk kebijakan (peraturan pemerintah dan
peraturan Menteri Dalam Negeri) yang berlaku saat ini yang
secara spesifik mengatur tentang dekonsentrasi, tugas
pembantuan, tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta
kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah di
wilayah provinsi.
E. Mitigasi Risiko
Dalam hal potensi resiko pembekaan kelembagaan yaitu
dengan kebutuhan kelembagaan formal berupa sekretariat
Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, hal tersebut tidak
terelakkan. Yang perlu diantispasi justru pada aspek
personalia, artinya perlu dijaga agar tidak ada pembekaan
jumlah jabatan dan personalia.
Mengingat
sebagian
peran
perencanan,
koordinasi,
pengendalian dan pengawasan
pembangunan daerah,
termasuk pengelolaan keuangan, beralih dari pemerintah
pusat (kementerian) ke wakil pemerintah pusat di daerah
(Gubernur sebagai wakil pusat beserta sekretariannya), maka
struktur kelembagaan kementerian seharus tidak lagi besar
seperti sekarang, dan sebagian bisa dialihkan ke Sekreatriat
Gubernur sebagai wakil pusat. Selain itu, kelembagaan dan
personalia dinas di pemerintah provinsi juga dapat dikurangi
karena pengelolaan dana dekonsentrasi dan TP yang selama ini
dilakukan oleh dinas teknis karena belum ada atau
berfungsinya Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat, dalam
konstrusi tatakelola perencanaan pembangunan multilevel
terdesentalisasi yang direkomendasikan, pengelolaan tersebut
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
95
dilakukan oleh Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat.
Dengan antisipasi/solusi tersebut diharapkan tidak masalah
dalam hal kemampuan/ kompetensi personalia Sekreatriat
Gubernur sebagai wakil pusat karena mereka merupakan
pralihan dari kementerian dan juga dinas pemprov telah
melakukan tugas dan peran tersebut.
Potensi resiko berikutnya terkait dengan koordinasi antara
Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat dengan kementerian
teknis, Bappenas, Kemendagri dan Kementerian Keuangan.
Komunikasi dan koordinasi antar lembaga tersebut
sebenarnya selama ini juga sudah dilakukan, misalnya dalam
analisis dan penetapan DAK dimana berbagai lembaga terkait
terlibat di dalamnya. Komunikasi dan koordinasi perlu lebih
intens angara Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat
dengan kementerian teknis terkait dengan pelimpahan
kewenangan ke Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat
dalam hal penerbitan petunjuk teknis pemanfaatan DAK yang
diselaraskan dengan kebutuhan wilayah provinsi dan mengacu
pada panduan umum yang diterbitkan leh kementerian teknis.
Koordinasi antar kabupatan/kota oleh Sekreatriat Gubernur
sebagai wakil pusat juga perlu didesain dan dilakukan instensif
untuk memastikan kualitas perencanaan pembangunan daerah
sebagai bagian dari perencanaan pembangunan regional
(provinsi) serta nasional.
---***---
96
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Seri Policy Brief – Nomor 011-2017
ISU DISKRESI DALAM KASUS KORUPSI KEPALA
DAERAH DI INDONESIA
oleh Teguh Kurniawan, Eko Prasojo, dan Gunadi
A. Apa yang menjadi masalah?
Rendahnya penyerapan APBD di banyak Daerah oleh sejumlah
pihak termasuk Pemerintah Pusat dikaitkan dengan maraknya
kasus korupsi penggunaan anggaran oleh Kepala Daerah yang
ditangkap KPK akibat kebijakannya dianggap bermasalah.
Kondisi ini membuat ketakutan yang berlebihan dalam
menggunakan anggaran Daerah, sehingga Pemerintah Pusat
kemudian
menghimbau
penegak
hukum
untuk
mengesampingkan faktor pidana apabila belum ada bukti
akurat dan lebih mendahulukan proses administrasi
pemerintahan. Bahkan Pemerintah Pusat membuat kebijakan
yang dapat melindungi para pejabat termasuk Kepala Daerah
dalam mengambil kebijakan, diantaranya melalui Inpres
Nomor 1 Tahun 2016. Padahal sebelumnya telah terdapat
sejumlah peraturan diantaranya UU Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan yang memberikan
sejumlah pengaturan untuk melindungi Pejabat Administrasi
Pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya serta UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang dalam salah satu bab nya mengatur mengenai Inovasi dan
perlindungan terhadap kriminalisasi bagi Kepala Daerah yang
melakukan inovasi.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
97
Ketakutan dari berbagai pihak tersebut, kemudian
menimbulkan keingintahuan untuk mengetahui secara
mendalam berbagai kasus korupsi yang melibatkan para
Kepala Daerah yang ditangani oleh KPK. Sejumlah literatur
mengemukakan mengenai penyebab maraknya korupsi di
Pemerintahan Daerah termasuk di Indonesia. Berdasarkan
pendapat dari sejumlah literatur, dapat dipahami bahwa
korupsi yang dilakukan oleh Pemerintahan Daerah di
Indonesia sangat mungkin terjadi akibat besarnya kekuasaan
dalam pengelolaan anggaran yang tidak diimbangi dengan
mekanisme transparansi, pengawasan dan akuntabilitas yang
memadai sehingga rawan terhadap penyalahgunaan
wewenang, serta akibat dari penggunaan diskresi yang tidak
terkontrol. Terkait diskresi, studi awal yang dilakukan
terhadap 30 kasus korupsi Kepala Daerah yang ditangani oleh
KPK pada periode 2004-2010 dan telah memiliki kekuatan
hukum tetap menunjukan bahwa 26 kasus diantaranya
memiliki kemungkinan terkait dengan diskresi apabila dilihat
dari substansi tindakan korupsi yang dilakukan berdasarkan
dakwaan yang dikenakan kepada mereka oleh Jaksa Penuntut
Umum. Karenanya, melalui kajian terhadap 5 kasus korupsi
Kepala Daerah ini, berusaha diketahui apakah terdapat diskresi
dalam berbagai kasus korupsi tersebut. Selain itu ingin dicari
tahu seperti apa diskresi yang dapat menyebabkan terjadinya
korupsi sehingga kemudian dapat mengusulkan sejumlah
upaya atau solusi yang mampu mengurangi korupsi yang
terjadi sebagai akibat dari kebijakan atau diskresi tersebut.
B. Apakah yang dimaksud dengan Diskresi?
Diskresi menurut Robbins adalah penggunaan penilaian
pribadi pejabat untuk membuat kebijakan (Robbins, 2005,
98
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
186). Sementara menurut Davis (1969, 4 dalam Sainsbury,
2001, 297), seorang pejabat publik dapat melakukan diskresi
manakala batasan efektif dari kekuasaan yang dimiliki
membuatnya memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan
dalam melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan.
Adapun menurut Sullivan (2009, 10) diskresi merupakan
kewenangan untuk membuat pilihan atau penilaian tentang
bagaimana menerapkan suatu program atau undang-undang.
Diskresi merupakan sebuah hal yang diperlukan dan tak
terelakkan dalam rangka pelaksanaan tugas yang efektif dan
dalam memastikan kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintahan (Burke, 1901 dalam Haque, 2004, 704).
Karenanya, diskresi melibatkan hampir setiap aspek dari
administrasi negara (Holzer dan Yang, 2005, 128).
Meskipun penting, konsep diskresi tidak didefinisikan dengan
baik dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapannya
tidak dipelajari secara jelas (Scott, 1997 dalam Holzer dan
Yang, 2005, 128). Karenanya, diskresi menghadapi sebuah
dilema yang besar dalam penyelenggaraan Administrasi
Negara, yakni merupakan hal yang sangat dibutuhkan
sekaligus menimbulkan masalah (West, 1984 dalam Holzer dan
Yang, 2005, 128).
Salah satu masalah yang timbul dari penerapan diskresi adalah
korupsi. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Gould dan AmaroReyes (1983, 17 dalam Quah, 1999, 74) maupun Glaeser dan
Goldin (2006, 346). Menyangkut keterkaitan antara diskresi
dengan korupsi maka menurut Klitgaard (1998a, 4, 1998b, 92),
korupsi adalah adanya monopoli kekuasaan terhadap barang
atau jasa ditambah dengan kekuasaan diskresi mengenai siapa
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
99
yang akan atau berhak menerima barang atau jasa tersebut
tetapi tanpa diimbangi adanya akuntabilitas.
Sejumlah literatur lainnya juga menjelaskan bahwa diskresi
akan menghasilkan korupsi ketika terjadi penyalahgunaan
dalam menerapkannya. Menurut Williams, penyalahgunaan
terhadap diskresi merujuk pada sebuah situasi dimana sebuah
diskresi dilakukan diantaranya dengan: (1) tidak masuk akal;
(2) irasionalitas; (3) motif tersembunyi; (4) tujuan yang tidak
tepat; (5) kegagalan untuk memperhitungkan pertimbangan
yang relevan; (6) mempertimbangkan pertimbangan yang
tidak relevan; dan (7) itikad buruk (Williams, 1994, 194).
C. Apakah memang terdapat Diskresi dalam berbagai
Kasus Korupsi oleh Kepala Daerah?
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tindakan
korupsi yang dilakukan oleh para Kepala Daerah bukanlah
diakibatkan oleh diskresi karena tindakan yang dilakukan oleh
para Kepala Daerah tersebut seharusnya terikat dengan
berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Diskresi dapat terjadi ketika peraturan perundang-undangan
memberikan kebebasan kepada Kepala Daerah untuk memilih
karena diberikan pilihan, karena tidak ada aturan hukum yang
mengatur, karena norma aturan yang ada tidak jelas, serta
karena adanya keaadaan mendesak.
Berbagai tindakan dalam kasus korupsi Kepala Daerah terikat
oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang ada,
sehingga jelas terdapat aturan hukum yang mengatur. Aturan
hukum yang mengatur pun jelas serta tidak ada keadaan yang
mendesak untuk membuat berbagai tindakan tersebut.
100
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Tindakan yang melanggar atau bertentangan dengan berbagai
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dapat
dikategorikan sebagai tindakan pejabat yang melampaui
kewenangan apabila mengacu kepada UU 30/2014 sehingga
berbagai tindakan yang dilakukan oleh para Kepala Daerah
tersebut menjadi tidak sah.
Selain itu, berbagai keputusan yang diambil oleh para Kepala
Daerah adalah keputusan yang dibuat dengan tidak mengikuti
prosedur yang ada dalam berbagai peraturan perundangundangan. Ketidaktaatan terhadap prosedur merupakan salah
satu bentuk penyalahgunaan kewenangan dari para Kepala
Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c
dari UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan yaitu
keputusan dibuat secara bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
D. Apa yang menyebabkan terjadinya korupsi oleh Kepala
Daerah?
Terdapat setidaknya 5 (lima) penyebab dari terjadinya tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh para Kepala Daerah di
Indonesia, yaitu: (1) ketidaktahuan terhadap peraturan
perundang-undangan; (2) permasalahan terkait sistem
pengawasan dan pengendalian; (3) mahalnya biaya politik; (4)
rendahnya integritas; serta (5) gaya hidup.
Terkait dengan permasalahan ketidaktahuan terhadap
peraturan perundang-undangan, terdapat kondisi yang sangat
mengkhawatirkan dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah di Indonesia dimana masih terdapat Kepala Daerah
yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
101
pelaksanaan administrasi pemerintahan sebagai akibat dari
latar belakang mereka sebelum menjabat. Kondisi ini tentu saja
perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah
sehingga dapat meminimalisir jumlah Kepala Daerah yang
terkena masalah sebagai akibat kekurangpahaman ataupun
ketidaktahuan mereka terhadap berbagai peraturan
perundang-undangan yang ada. Ketidaktahuan ini hanya
terjadi pada sebagian kecil Kepala Daerah saja. Sementara
banyak dari Kepala Daerah yang melakukan tindak pidana
korupsi sebenarnya mengetahui keberadaan peraturan
perundang-undangan yang terbukti dilanggarnya.
Dari berbagai literatur korupsi, khususnya yang dikembangkan
oleh para ahli yang berasal dari negara maju, maka tidak
terdapat satupun teori yang secara langsung menyebutkan
mengenai
faktor
ketidaktahuan
terhadap
peraturan
perundang-undangan sebagai salah satu penyebab korupsi.
Teori yang ada tersebut umumnya mengemukakan bahwa
penyebab korupsi kalaupun terkait dengan peraturan
perundang-undangan adalah sebagai akibat dari faktor budaya
sebagaimana misalnya yang dikemukakan oleh Holmes (1993)
yang dikutip oleh Voskanyan (2000, 17). Menurut Holmes
(1993), salah satu faktor budaya sebagai penyebab korupsi
adalah sebagai akibat dari lemahnya tradisi dalam aturan
hukum serta rendahnya tingkat penghormatan terhadap
hukum. Artinya menurut Holmes, masyarakat mengetahui
aturan tetapi tidak menghormatinya. Jadi bukan karena
ketidaktahuan.
Dengan demikian, ketidaktahuan terhadap peraturan
perundang-undangan dapat dikategorikan sebagai faktor
penyebab korupsi dalam konteks Indonesia dan negara
102
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
berkembang lainnya, mengingat ditemukan juga adanya
literatur korupsi yang ditulis oleh penulis yang berasal dari
negara berkembang menyebutkan mengenai ketidaktahuan
terhadap peraturan perundang-undangan ini. Misalnya dalam
Singh (2016, 5) yang mengungkapkan bahwa salah satu
penyebab utama korupsi pada India modern adalah kurangnya
kesadaran atau ketidaktahuan akan peraturan dan hukum.
E. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencegah
terjadinya korupsi oleh Kepala Daerah?
Terdapat setidaknya 6 (enam) upaya atau solusi yang dapat
ditempuh dalam rangka mencegah korupsi oleh Kepala Daerah
di Indonesia dalam pembuatan keputusan atau kebijakan
termasuk diskresi. Keenam upaya atau solusi tersebut adalah:
(1) Peningkatan kapasitas dari Kepala Daerah; (2) Perbaikan
terhadap sistem pengawasan; (3) Upaya untuk mengurangi
biaya politik; (4) Membangun budaya integritas pejabat; (5)
Membangun akuntabilitas kebijakan; serta (6) Membangun
budaya anti korupsi di masyarakat.
Upaya terkait Peningkatan kapasitas dari Kepala Daerah
merupakan upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi
permasalahan ketidaktahuan dari para Kepala Daerah
terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang ada
dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Melalui
kegiatan ini, kepada para Kepala Daerah yang baru terpilih
akan diberikan pemahaman mengenai berbagai peraturan
perundang-undangan,
pemahaman
mengenai
batas
kewenangan, serta berbagai pengalaman dari Kepala Daerah
lain yang lebih berpengalaman.
Salah satu peraturan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
103
perundang-undangan terpenting yang perlu dipahami adalah
UU 30/2014 yang dirasakan dapat membantu untuk
melindungi pejabat atau Kepala Daerah yang terkena masalah
sebagai akibat ketidaktahuan mereka terhadap peraturan
perundang-undangan, selain tentu saja UU 30/2014 memiliki
pengaturan mengenai diskresi. Selain mengatur tentang
diskresi, UU 30/2014 juga memberikan penekanan mengenai
pentingnya pengujian terhadap penyalahgunaan kewenangan.
Melalui pengujian ini dapat terlihat mana tindakan yang
disengaja atau yang tidak disengaja karena ketidaktahuan
seorang Kepala Daerah.
Selain pelatihan, upaya peningkatan kapasitas dari Kepala
Daerah juga harus didukung oleh pembuatan database yang
dapat digunakan oleh Kepala Daerah dalam pengambilan
kebijakan. Dengan database ini maka Kepala Daerah dapat
mengetahui peraturan apa saja yang sudah tersedia dan harus
diikuti, serta berbagai informasi lainnya yang dibutuhkan
dalam proses penerbitan izin. Selain itu, melalui database ini
juga dapat memantau berbagai kebijakan yang dibuat oleh
para Kepala Daerah sehingga dapat menjadi sarana dalam
melakukan pengawasan terhadap kebijakan Kepala Daerah
termasuk dalam hal perizinan.
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi
ketidaktahuan terhadap peraturan perundang-undangan
adalah dengan mengoptimalkan peran aparat penegak hukum
seperti Kejaksaan dan KPK serta Aparat Pengawas Internal
Pemerintah (APIP) dalam memberikan konsultasi kepada
Kepala Daerah sebelum membuat sebuah kebijakan. Terkait
dengan keterlibatan APIP dalam pemberian konsultasi, maka
perlu
dipastikan terlebih dahulu kompetensi dan
104
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
profesionalitas dari APIP. Sehingga
memberikan saran yang tidak tepat.
APIP
tidak
akan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
105
---***---
Seri Policy Brief – Nomor 012-2017
MEMANDANG TAX ALLOWANCE SEBAGAI BAGIAN
DARI INSENTIF EKONOMI
oleh Suhartanto dan Ning Rahayu
A. Pendahuluan
Salah satu kebijakan fiskal yang diimplementasi Pemerintah
Indonesia adalah kebijakan fasilitas pajak penghasilan untuk
penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di
daerah-daerah tertentu (tax allowance). Kebijakan tax
allowance diimplementasikan Pemerintah Indonesia pada
tahun 2007 dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
(Nomor) 1 tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. PP tersebut beberapa
kali direvisi menjadi PP Nomor 62 Tahun 2008, PP Nomor 52
Tahun 2011, PP Nomor 18 Tahun 2015, dan terahir PP Nomor
9 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah
Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu.
Semangat revisi regulasi kebijakan tax allowance bertujuan
untuk memperluas kesempatan para perusahaan untuk
mendapatkan fasilitas insentif pajak tax allowance, agar
semakin banyak jumlah penerima fasilitas tersebut. Sehingga
menciptakan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan
kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Akan tetapi,
106
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
dari tahun ke tahun perusahaan penerima fasilitas insentif
pajak tax allowances mengalami trend yang menurun. Berikut
tabel 1.1 adalah perkembangan penerima fasilitas insentif
pajak tax allowances tahun 2007-2016:
Tabel 1.1 Perkembangan Penerima Fasilitas Insentif Pajak Tax
Allowances Tahun 2007-2016
Total
Tahun
PMDN
PMA
Perusahaan
2007
25
27
52
2008
0
5
5
2009
4
6
10
2010
1
5
6
2011
0
5
5
2012
0
1
1
2013
0
2
2
2014
2
5
7
2015
1
7
8
2016
6
19
25
Jumlah
39
82
121
Sumber: telah diolah kembali dari data Badan Koordinasi
Penanaman Modal
Melihat tabel 1.1, pada tahun 2007 pemenerima fasilitas
insentif pajak tax allowances berjumlah 52 perusahaan. Pada
tahun 2008 turun lebih dari 90% atau lima perusahaan
penerima fasilitas insentif pajak tax allowances. Pada tahun
2012 paling buruk, karena terbatas satu perusahaan penerima
fasilitas insentif pajak tax allowances. Pada tahun 2013
penerima fasilitas insentif pajak tax allowances mulai
meningkat kembali, menjadi dua perusahaan. Tahun 2014
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
107
menjadi 7 perusahaan, tahun 2015 menjadi 8 perusahaan, dan
tahun 2016 menjadi 25 perusahaan. Secara keseluruhan,
peningkatan perusahaan penerima fasilitas insentif pajak tax
allowances dari tahun 2013-2016 dibandingkan dengan tahun
2007 masih terpaut jauh.
Penurunan jumlah perusahaan pemenerima fasilitas insentif
pajak tax allowance akibat dari beberapa kali revisi regulasi
kebijakan tax allowance. Penurunan jumlah perusahaan
penerima fasilitas insentif pajak tax allowance menjadikan
kebijakan tax allowance semakin jauh dari kelompok sasaran.
Revisi tersebut meningkatkan kriteria dan persyaratan yang
harus dipenuhi, sehingga mempersulit perusahaan untuk
memperoleh fasilitas insentif pajak tax allowance. Revisi
regulasi kebijakan tax allowance berdampak pada
ketidakmampuan kebijakan untuk mencapai tujuan secara
maksimal. Tujuan revisi regulasi untuk meningkatkan jumlah
perusahaan penerima fasilitas insentif pajak tax allowance,
namun yang terjadi adalah penurunan jumlah perusahaan
penerima fasilitas insentif pajak tax allowance, sehingga tujuan
revisi regulasi kebijakan tax allowance tidak tercapai.
B. Urgensi Tax Allowance
Mendorong investasi langsung baik melalui investasi asing
maupun dalam negeri dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi, pemerataan pembangunan, dan percepatan
pembangunan dibidang usaha tertentu dan/atau daerah
tertentu.
Memberikan pengurangan pajak berupa fasilitas, seperti
investment allowances, accelerated depreciations, reduced rates,
108
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
dan loss carry forward, dan dapat juga diberikan kepada
perusahaan apabila usulan permohonan fasilitas insentif pajak
tax holiday ditolak oleh Direktorat Jenderal Pajak atas nama
Menteri Keuangan.
C. Isu dan Alternatif Kebijakan
Dari tahun 2007-2016 kebijakan tax allowance mampu
mendorong investasi langsung di bidang usaha dan/atau
daerah tertentu, namun terbatas pada 121 perusahaan yang
mendapat fasilitas insentif pajak tax allowance. Jumlah
perusahaan yang mendapat fasilitas insentif pajak tax
allowance tersebut sangat kecil dan tidak berdampak besar
pada multiplier efek ekonomi. Jumlah perusahaan yang
mendapat fasilitas insentif pajak tax allowance terbatas
dikarenakan regulasi kebijakan tax allowance mengatur
kriteria dan persyaratan yang berat untuk dipenuhi oleh
perusahaan. Sehingga fasilitas insentif pajak tax allowance
tidak acsessable untuk semua perusahaan. Terbatas untuk
perusahaan yang memiliki investasi tinggi, menyerap tenaga
kerja besar, dan memiliki kandungan lokal tinggi.
Kriteria dalam regulasi kebijakan tax allowance membatasi
perusahaan untuk memanfaatkan fasilitas insentif pajak tax
allowance. Pada Pasal 3, PP Nomor 18 Tahun 2015 berlaku
ketentuan perusahaan yang dapat diberikan fasilitas insentif
pajak tax allowance sepanjang memiliki nilai investasi yang
tinggi atau untuk ekspor, memiliki penyerapan tenaga kerja
yang besar, atau memiliki kandungan lokal yang tinggi.
Ketentuan tersebut sampai sekarang masih berlaku, karena
revisi pada PP Nomor 18 Tahun 2015 menjadi PP Nomor 9
Tahun 2016 digunakan untuk merubah lampiran bidang usaha
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
109
dan/atau daerah tertentu. Pemerintah Indonesia menargetkan
perusahaan besar yang mampu memenuhi salah satu atau
lebih kriteria di atas. Sehingga terdapat batasan untuk
perusahaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Perusahaan usaha mikro, kecil, dan menengah tidak memiliki
akses untuk memanfaatkan fasilitas insentif pajak tax
allowance. Apabila dibandingkan perusahaan yang mampu
memenuhi salah satu dari ketiga kriteria di atas tidak sebanyak
perusahaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Pada PP Nomor
52 Tahun 2011 dan regulasi sebelum-sebelumnya usaha mikro,
kecil, dan menengah dalam bentuk Koperasi dapat diberikan
fasilitas insentif pajak tax allowance. Regulasi kebijakan tax
allowance pada masa sekarang lebih memandang kapitasisasi
modal dalam memberikan fasilitas insentif pajak tax allowance.
Persyaratan dalam regulasi kebijakan tax allowance yang
disyaratkan sulit untuk dipenuhi oleh perusahaan. Ada tiga
instansi yang harus dilewati oleh perusahaan dalam proses
permohonan fasilitas insentif pajak tax allowance dan masingmasing instansi memiliki ketentuan tersendiri. Tiga instalasi
tersebut adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal,
Kementerian Teknis (sesuai dengan bidang usaha perusahaan
pemohon), dan Direktorat Jenderal Pajak. Ketika di Badan
Koordinasi Penanaman Modal perusahaan harus memenuhi 8
dokumen persyaratan. Pada saat di Kementerian Teknis
perusahaan harus memenuhi persyaratan kualitatif yang diatur
dalam Peraturan Menteri Teknis. Waktu di Direktorat Jenderal
Pajak harus dinyatakan lolos dalam pemeriksaan oleh Direktur
Peraturan Perpajakan II untuk diputuskan mendapat fasilitas
insentif pajak tax allowance.
Kebijakan tax allowance memberikan penawaran kepada
110
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
perusahaan dengan fasilitas, seperti investment allowance
(pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah
investasi selama 6 tahun, masing-masing sebesar lima persen
pertahun), accelerated depreciations (penyusutan yang
dipercepat atas aktiva berwujud dan amortisasi yang
dipercepat atas aktiva tak berwujud), reduced rates
(pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dividen yang
dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri selain bentuk
usaha tetap di Indonesia sebesar 10% atau tarif lebih rendah
menurut tax treaty), loss carry forward (kompensasi kerugian
yang lebih lama dari lima tahun tetapi tidak lebih dari 10
tahun. Memberikan empat fasilitas pajak sekaligus dalam satu
kebijakan, berdampak besar bagi perusahaan penerima
fasilitas insentif pajak tax allowance untuk menghemat biaya
pajak dan meningkatkan pendapatan. Akan tetapi untuk
mendapatkan fasilitas insentif pajak tax allowance perusahaan
harus memenuhi kriteria dan persyaratan dari ketiga instansi
di atas yang sulit untuk dipenuhi. Pada akhirnya tidak banyak
perusahaan yang mendapatkan manfaat dari diimplementasi
kebijakan tax allowance. Pemerintah Indonesia dipandang
setengah hati dalam mengimplementasikan kebijakan tax
allowance.
Implementasi kebijakan tax allowance mampu mencapai
tujuan, namun dihadapkan pada masalah kriteria dan
persyaratan. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut,
perlu adanya perubahan sudut pandang dalam melihat
kebijakan tax allowance. Pada saat ini kebijakan tax allowance
dilihat sebagai paradigma kebijakan pajak. Paradigma
kebijakan pajak secara umum adalah meningkatkan
penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara.
Sehingga implementasi kebijakan tax allowance dipandang
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
111
mengurangi penerimaan pajak. Seharusnya melihat kebijakan
tax allowance sebagai paradigma insentif ekonomi. Kebijakan
tax allowance bagian dari insentif ekonomi, seperti insentif lain
yang mendorong investasi langsung. Sehingga kebijakan tax
allowance lebih maksimal untuk mendorong investasi langsung
dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan
pembangunan, dan percepatan pembangunan di bidang usaha
dan/atau daerah tertentu.
D. Rekomendasi Kebijakan
Mengubah sudut pandang kebijakan tax allowance dari
paradigma pajak menjadi paradigma insentif ekonomi. Jadi
menempatkan persetujuan atau penolakan permohonan
fasilitas insentif pajak tax allowance dari Direktorat Jenderal
Pajak kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian,
termasuk kebijakan fasilitas pajak lain.
Membuat grading kriteria dan persyaratan perusahaan untuk
mendapatkan fasilitas insentif pajak tax allowance. Setiap
tingkatan kriteria perusahaan mendapatkan
tingkat yang sama fasilitas insentif pajak tax allowance.
Semakin tinggi tingkat kriteria dan persyaratan maka semakin
tinggi fasilitas yang didapatkan, begitu juga dengan sebaliknya.
Regulasi kebijakan tax allowance diatur dalam tingkatan
peratuan undang-undang tersendiri bersama-sama dengan
kebijakan fasilitas pajak lain.
Referensi
1. Republik
112
Indonesia.
Peraturan
Pemerintah
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
Republik
Indonesia Nomor 52 Tahun 2011, tanggal 22 Desember
2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah
Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan
untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu
dan/atau di Daerah- Daerah Tertentu.
2. ______. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18
Tahun 2015, tanggal 06 April 2015 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- Daerah Tertentu.
3. ______. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2016, tanggal 15 April 2016 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- Daerah Tertentu.
4. Suhartanto. (2017). Efektivitas Kebijakan Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang
Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- Daerah Tertentu (Tax
Allowance) Tahun 2007-2016. Jakarta: Universitas
Indonesia.
---***---
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
113
Seri Policy Brief – Nomor 013-2017
PENERAPAN SISTEM TUNJANGAN KINERJA PEGAWAI
NEGERI SIPIL DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
DAN KEHUTANAN
oleh Nizar dan Amy Yayuk Sri Rahayu
Ringkasan Eksekutif
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan sistem
tunjangan kinerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan belum efektif dalam mendukung peningkatan kinerja
pegawai. Hal ini disebabkan oleh: (1) tidak tersedianya reward
bagi pegawai yang berhasil mencapai target kinerjanya sehingga
pemberian tunjangan kinerja sampai dengan saat ini belum
mampu meningkatkan motivasi pegawai untuk berprestasi, (2)
belum efektifnya penerapan SKP dan PKP dalam memotret
kinerja pegawai yang sesungguhnya, (3) belum diterapkannya
prinsip merit pay, dan (4) tidak adanya kajian tentang evaluasi
penerapan sistem tunjangan kinerja yang sudah berjalan sampai
dengan saat ini sehingga upaya-upaya yang sudah dilakukan
untuk merevisi belum mampu memperbaiki sistem yang ada
secara komprehensif.
Selanjutnya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
penerapan sistem tunjangan kinerja di Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan. Faktor-faktor tersebut meliputi:
komitmen pegawai, evaluasi jabatan, komitmen pemimpin,
evaluasi kinerja, dan sistem pendanaan.
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
114
A. Pendahuluan
Menurut Pramusinto (2010:77-78) sistem kompensasi birokrasi
yang ada di Indonesia mengandung beberapa kelemahan.
Pertama, dari jumlah gaji dan tunjangan resmi, pendapatan
yang dibawa pulang masih relatif rendah dan tidak sesuai
dengan kebutuhan pegawai. Kedua, ketimpangan juga terjadi
apabila gaji PNS dibandingkan dengan gaji pegawai di sektor
privat. Secara umum, gaji pokok PNS di Indonesia masih kalah
kompetitif dibandingkan dengan pegawai swasta. Ketiga, sistem
kompensasi PNS di Indonesia terlalu rumit karena terdiri dari
banyak komponen yang meliputi: gaji pokok dan penghasilan
lain baik yang dapat berupa tunjangan, honor, maupun upah.
Keempat, sistem kompensasi PNS tidak cukup memadai apabila
ditempatkan sebagai jaminan hidup pada masa yang akan
datang terutama bagi PNS yang sudah memasuki masa pensiun.
Berlarut-larutnya penyelesaian berbagai permasalahan dalam
kompensasi tersebut pada akhirnya menjadi salah satu
penyebab rendahnya kinerja PNS.
Pada sisi yang lain, Kumorotomo (2010) menyebutkan bahwa
permasalahan rendahnya kinerja PNS bukanlah disebabkan oleh
karena faktor gaji yang terlalu sedikit namun justru disebabkan
oleh sistem penggajian yang kurang memiliki kaitan signifikan
dengan indikator kinerja. Artinya bahwa sistem kompensasi
yang berlaku sampai dengan saat ini belum menjadikan kinerja
sebagai dasar dalam penentuan besaran gaji dan tunjangan yang
akan diterima oleh pegawai. Sistem kompensasi yang ada masih
mendasarkan perhitungan gaji dan tunjangan menurut aspekaspek konvensional seperti masa kerja. Hal ini menyebabkan
iklim kerja menjadi tidak kompetitif dan tidak mampu
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
115
merangsang pegawai untuk meningkatkan kinerja walaupun
pegawai yang bersangkutan memiliki potensi besar untuk maju.
Walaupun bukan menjadi satu-satunya faktor penyebab
jebloknya kinerja, sistem kompensasi secara bertahap mulai
mendapatkan perhatian yang lebih serius dalam kerangka
reformasi birokrasi. Hal ini terbukti dari digulirkannya
pemberian tunjangan kinerja kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS)
di kementerian/lembaga. Pemberian tunjangan kinerja
merupakan amanat Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Tujuan pemberian tunjangan kinerja adalah untuk menghargai
kontribusi dan mendorong munculnya kinerja terbaik dari
seorang pegawai (Worldatwork, 2007:311). Hal ini
dilatarbelakangi oleh logika bahwa jika gaji dibuat memiliki
hubungan ketergantungan dengan kinerja, maka motivasi
pegawai untuk mencapai kinerja yang tinggi akan meningkat.
Kementerian LH dan Kehutanan merupakan salah satu instansi
pemerintah yang telah menerapkan tunjangan kinerja. Dari
studi yang pernah dilakukan oleh Andrianto (2013:113) dapat
diketahui bahwa praktik pemberian tunjangan kinerja di
Kementerian LH dan Kehutanan belum bisa sepenuhnya
memenuhi kebutuhan pegawai, belum mampu mendorong
motivasi, belum mampu memacu produktivitas, dan belum
kompetitif dengan sektor swasta. Penyebab dari permasalahan
tersebut adalah karena tunjangan kinerja tidak didasarkan pada
beban kerja, tanggung jawab, kompetensi, dan prestasi kerja
pegawai. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa motivasi
pegawai dalam bekerja terkait dengan adanya sikap disiplin
yang diterapkan, keteladanan dan perhatian dari atasan, rasa
116
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
keadilan dalam pembagian tugas, dan suasana kerja yang
kondusif serta sarana prasarana di dalam kantor.
B. Pendekatan dan Metode
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah post-positivist
dengan menggunakan metode kualitatif dalam mengumpulkan
data. Metode ini terdiri dari 2 (dua) teknik yaitu wawancara
mendalam (in-depth interview) dan dokumentasi. Pengambilan
informan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive
sampling. Informan berikutnya ditentukan secara snowball
sampling.
Peneliti menggunakan metode analisis interaktif dari Miles dan
Huberman (2004:16-19) untuk menganalisis data yang
diperoleh dari lapangan. Untuk memperkuat keabsahan data,
peneliti menggunakan teknik triangulasi. Jenis triangulasi yang
digunakan adalah triangulasi metode.
C. Rekomendasi
Sebagai upaya untuk mengatasi sejumlah permasalahan dalam
penerapan sistem tunjangan kinerja di Kementerian LHK, maka
alternatif solusi yang dapat diterapkan yaitu: (a) diperlukan
adanya reward and punishment yang nilainya disesuaikan
dengan tingkat pencapaian kinerja pegawai, (b) diperlukan
adanya upaya untuk mengaitkan pemberian tunjangan kinerja
dengan tingkat pencapaian kinerja pegawai, (c) diperlukan
adanya penyusunan standar kinerja jabatan dan pelatihan
penilai (rater training) serta perubahan pendekatan penilaian,
(d) diperlukan adanya penyesuaian penerapan e-kinerja dengan
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
117
memperhatikan aspek kebutuhan dan kondisi internal
Kementerian LHK, (e) dibutuhkan penciptaan satker pilot
project yang nantinya akan berfungsi sebagai pembina bagi
satker-satker lain di lingkup kerjanya, dan (f) diperlukan adanya
kajian tentang evaluasi penerapan sistem tunjangan kinerja
yang selama ini sudah/sedang berjalan.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan sistem
tunjangan kinerja di Kementerian LHK perlu dijadikan prioritas
dalam proses perbaikan sistem tunjangan kinerja yang ada.
Untuk itu, maka diperlukan alternatif upaya-upaya sebagai
berikut: (a) untuk mendorong komitmen pegawai dalam
mencapai target kinerja harus diwujudkan dengan pemberian
reward dan penegasan punishment yang dikaitkan dengan
pencapaian kinerja, (b) penyusunan evaluasi jabatan harus
didasarkan pada dinamika jabatan, (c) untuk mendorong
komitmen pemimpin, maka harus diwujudkan dalam bentuk
pemberian reward dan penerapan punishment yang dikaitkan
dengan pencapaian kinerja, (d) dalam evaluasi kinerja, maka
diperlukan adanya penyusunan standar kinerja jabatan dan
perubahan pendekatan penilaian kinerja khususnya untuk
penilaian PKP, dan (e) agar pendanaan tunjangan kinerja dapat
tercukupi, maka diperlukan konsistensi dalam efisiensi dan
efektivitas berbagai pos anggaran program.
Referensi
1. Andrianto, Findiana Galih. (2013). Analisis Remunerasi di
Balai Pengelolaan Daerah Air Sungai Unda Anyar di Bali.
Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
118
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
2. Kumorotomo, Wahyudi. (2011). Tunjangan Kinerja Daerah
(TKD) dan Upaya Peningkatan Kinerja: Kasus di Provinsi
Gorontalo dan Provinsi DKI jakarta. Jurnal Kebijakan dan
Manajemen PNS Vol. 5, Nomor 1 Juni 2011. Jakarta: Badan
Kepegawaian Negara.
3. Miles, Matthew B dan Michael A. Huberman. (2004). Analisis
Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
4. Pramusinto, Agus. (2010). Beberapa catatan penting tentang
sistem penggajian pegawai negeri sipil di indoensia. Dalam
Wahyudi Kumorotomo dan Ambar Widaningrum. (2010).
Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta:
Gava Media.
5. WorldatWork. (2007). The Worldatwork Handbook of
Compensation, Benefits and Total Rewards: A Comprehensive
Guide for HR Professionals.. New Jersey: John Wiley and Sons
Inc.
---***---
KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017
119
Download