PENYUNTING Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si. Dr. Umanto, M.Si. Serial Policy Brief 2017 Dicetak oleh Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, Depok 16424, Jawa Barat Email: [email protected] Telepon: +6221 78849087 DAFTAR ISI PENYUNTING ........................................................................................ ii DAFTAR ISI............................................................................................ iii KATA PENGANTAR ........................................................................... vii Seri Policy Brief – Nomor 001-2017 IMPLEMENTASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA oleh Kesti Wulandari dan Roy Valiant Salomo ...................... 1 Seri Policy Brief – Nomor 002-2017 COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENDORONG HILIRISASI INDUSTRI HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INOVASI TEKNOLOGI IMPLAN TULANG ZENMED oleh Dwi Lestari dan Lina Miftahul Jannah ........................... 11 Seri Policy Brief – Nomor 003-2017 PROGRAM DIKLAT TEKNIS DALAM MENGEMBANGKAN TEKNOLOGI PENERBANGAN DI LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL oleh Andini Elvis Pratiwi dan Vishnu Juwono .................... 20 Seri Policy Brief – Nomor 004-2017 PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL, KOMITMEN KEORGANISASIAN, DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP PERILAKU ETIS PEGAWAI DI PUSDIKLAT PEGAWAI KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN oleh Renny Retnowatie dan Pantius Drahen Soeling ....... 29 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 iii Seri Policy Brief – Nomor 005-2017 IMPLEMENTASI ANALISIS JABATAN PADA JABATAN FUNGSIONAL DI INSTANSI PEMERINTAH oleh Agus Muhammad Arifin dan Amy Yayuk Sri Rahayu .................................................................................................. 35 Seri Policy Brief – Nomor 006-2017 MEMPERSIAPKAN INOVASI DI PUSDIKLAT KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN oleh Vetty Ilona dan Lina Miftahul Jannah ............................ 47 Seri Policy Brief – Nomor 007-2017 MENUMBUHKAN ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH oleh Agrin Syifarose Mulyadi dan Umanto ............................ 57 Seri Policy Brief – Nomor 008-2017 REFORMULASI KEBIJAKAN CFC (CONTROLLED FOREIGN COMPANIES) RULES DI INDONESIA oleh Nur Afianti Fajriyan dan Haula Rosdiana .................... 64 Seri Policy Brief – Nomor 009-2017 KNOWLEDGE CREATION DI PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEGAWAI KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN oleh Alfiah Pra Mundiarsih dan Andreo Wahyudi Atmoko.................................................................................................. 75 iv KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Seri Policy Brief – Nomor 010-2017 MENUJU TATAKELOLA PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN LEBIH TERDESENTRALISASI DAN TERINTEGRASI oleh R. N. Afsdy Saksono, Eko Prasojo, dan Andreo Wahyudi Atmoko .............................................................................. 84 Seri Policy Brief – Nomor 011-2017 ISU DISKRESI DALAM KASUS KORUPSI KEPALA DAERAH DI INDONESIA oleh Teguh Kurniawan, Eko Prasojo, dan Gunadi .............. 97 Seri Policy Brief – Nomor 012-2017 MEMANDANG TAX ALLOWANCE SEBAGAI BAGIAN DARI INSENTIF EKONOMI oleh Suhartanto dan Ning Rahayu .......................................... 106 Seri Policy Brief – Nomor 013-2017 PENERAPAN SISTEM TUNJANGAN KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN oleh Nizar dan Amy Yayuk Sri Rahayu .................................. 114 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 v vi KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 KATA PENGANTAR Prof. Dr. Eko Prasojo, Mag. Rer. Publ. Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Assalamualaikum Sejahtera. Warahmatullahi Wabarakatuh, Salam Syukur Alhamdulillah, Buku Kumpulan Policy Brief Tahun 2017 ini telah dirampungkan oleh Tim Penyusun. Penghargaan setinggi-tinginya diberikan kepada Manajer Pendidikan dan Kemahasiswaan, Ketua dan Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Administrasi, dan Ketua Unit Penjaminan Mutu Akademik & Satuan Pengawas Internal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI). Sesuai dengan visi FIA UI yaitu menjadi pusat pembangunan ilmu yang unggul dalam studi administrasi dan kebijakan serta tata kelola stratejik berbasis tri dharma perguruan tinggi di Asia Tenggara. Dibuatnya buku ini bertujuan untuk memanfaatkan karya mahasiswa berupa dari skripsi/tesis/disertasi/penelitian lainnya setiap semester yang jumlahnya cukup banyak untuk memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait termasuk pemerintah, dalam rangka memperkuat evidence-based policy making. Pada edisi ini, buku ini berisi policy brief yang dibuat oleh mahasiswa pada jenjang Magister dan Doktor. Diharapkan, buku ini dapat memberikan kontribusi FIA UI pada bangsa dan negara, khususnya pada pembuat kebijakan yang terkait. Kesulitan menyusun sebuah policy brief atau ringkasan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 vii kebijakan ini adalah bagaimana membuat menuangkan sebuah hasil penelitian yang berbasis akademik (tesis dan disertasi) menjadi tulisan praktis yang mudah dipahami oleh pembuat kebijakan. Dalam buku ini ada beragam model penulisan policy brief yang digunakan. Namun demikian, perbedaan model ini tidak mengurangi kualitas policy brief yang kami hadirkan. Ke depannya, perlu dilakukan pembimbingan intensif, baik oleh pembimbing tugas akhir, ataupun pelatihan berkala bagi sivitas akademika tentang pembuatan ringkasan kebijakan ini. Akhir kata, tak ada gading yang tak retak, demikian pula dengan Buku Kumpulan Policy Brief ini yang masih terus dikembangkan sering dengan kebutuhan dan perkembangan FIA UI. Sekali lagi terima kasih kepada Tim Penyusun yang telah bekerja keras (Dr. Lina Miftahul Jannah, M.Si. dan Dr. Umanto, M.Si) yang telah menyelesaikan buku ini. Semoga Allah SWT selalu meridhoi niat dan upaya kita semua. Depok, 27 Oktober 2017 viii KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Seri Policy Brief – Nomor 001-2017 IMPLEMENTASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA oleh Kesti Wulandari dan Roy Valiant Salomo Ringkasan Eksekutif Penelitian ini membahas Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Sekretariat Kabinet (Studi Kasus Tahun 2016) dilihat dari komponen Penganggaran Berbasis Kinerja, yaitu Indikator Kinerja, Standar Biaya dan Evaluasi Kinerja serta Prakondisi Penganggaran Berbasis Kinerja di Sekretariat Kabinet. Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Sekretariat Kabinet belum sepenuhnya menerapkan komponen-komponen dari Penganggaran Berbasis Kinerja. Prakondisi yang mengakibatkan belum maksimalnya Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Sekretariat Kabinet antara lain lingkungan atau kondisi yang kurang mendukung dan kurang berorientasi pada kinerja, sistem kontrol yang kurang efektif dari pimpinan kementerian/lembaga, dan penerapan Strategic Planning yang kurang baik. A. Pendahuluan Reformasi pengelolaan Keuangan Negara di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 antara lain memuat perubahan dalam proses penyusunan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 1 dan pelaksanaan anggaran. Perubahan yang paling mendasar adalah perubahan dari sistem penganggaran yang bersifat input/aktivitas (in line budgeting system), menjadi sistem penganggaran yang menggunakan tiga pilar pendekatan, salah satunya yaitu penganggaran berbasis kinerja (performance based budgeting system). Anggaran berbasis kinerja dapat dikatakan efektif apabila dapat mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan antara setiap biaya dengan hasil yang akan dicapai. Dengan adanya integrasi yang terpadu antara rencana kinerja tahunan dengan dokumen anggaran tahunan maka hal ini menunjukkan bahwa suatu tujuan dapat dicapai pada tingkat pengeluaran tertentu (Mercer, 2002:2). Akan tetapi, mendefinisikan target kinerja organisasi yang dapat diukur secara handal dalam periode tertentu merupakan aspek yang paling sulit dalam implementasi anggaran berbasis kinerja. Permasalahannya terletak pada jenis kinerja yang akan diukur, yaitu terdapat perbedaan tingkat dalam pengukuran kinerja dari yang paling mudah untuk diukur hingga yang paling kompleks, yaitu input, aktivitas, efisiensi, outcome, dan efektifitas (Hager, Hobson, and Wilson, 2001:13-15). Sebagaimana yang disampaikan dalam Better Practice Guide Penganggaran Berbasis Kinerja (Kementerian keuangan, 2014), tantangan terbesar dalam pengembangan penganggaran berbasis kinerja adalah menetapkan informasi kinerja yang sederhana, terjangkau dan dapat digunakan. 2 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 B. Pendekatan dan Metode Pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam anggaran tradisional, khususnya kelemahan yang disebabkan oleh tidak adanya tolok ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik. Anggaran dengan pendekatan kinerja sangat menekankan pada konsep value for money dan pengawasan atas kinerja output (Mardiasmo, 2009). Robinson dan Last (2009) mengemukakan tujuan dari penerapan penganggaran berbasis kinerja, yaitu: “untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas belanja publik dengan menghubungkan pendanaan organisasi sektor publik dengan hasil yang mereka capai, dengan memanfaatkan informasi kinerja secara sistematis”. Informasi yang sistematis tentang efisiensi dan efektivitas belanja publik adalah alat yang paling mendasar dari penganggaran berbasis kinerja, karena penyusunan anggaran berbasis kinerja dapat dilakukan jika pemerintah memiliki informasi kinerja yang dapat dipercaya dan tersedia tepat waktu. Dengan demikian maka setiap instansi pemerintah harus secara eksplisit menentukan outcome dari output pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat, dan menyajikan indikator kinerja utama yang akan digunakan untuk mengukur efektivitas dan efisiensi layanan mereka. Selain ketersediaan informasi kinerja yang tepat, informasi kinerja tersebut juga harus benar-benar digunakan dalam proses penyusunan anggaran. Agar penganggaran berbasis KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 3 kinerja dapat berhasil, pada proses penyusunan anggaran perlu diintegrasikan antara penentuan prioritas anggaran belanja dengan hasil program yang akan dicapai. Penelitian ini menggunakan pendekatan post positivis dengan metode pengumpulan data secara kualitatif, sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi kepustakaan serta dokumen. Pemilihan informan dilakukan secara purposive yang dianggap representatif dan memahami masalah yang akan diteliti. Oleh karena itu, informan yang dijadikan sebagai narasumber adalah pejabat dan pegawai di lingkungan Sekretariat Kabinet yang terkait dalam proses perencanaan dan penganggaran di Sekretariat Kabinet, antara lain: Biro Perencanaan dan Keuangan, Biro Akuntabilitas Kinerja dan Reformasi Birokrasi, Inspektorat serta mitra kerja Sekretariat Kabinet dari Kementerian Keuangan, Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian PAN dan RB yang berhubungan dengan proses penyusunan anggaran berbasis kinerja. C. Implikasi dan Rekomendasi Komponen-komponen penting dalam Penganggaran Berbasis Kinerja adalah (Modul Diklat Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja: Konsep Perencanaan dan Penganggaran, Kementerian Keuangan, 2016): 1. Adanya kinerja yang jelas dan terukur, untuk mengukur kinerja maka ditetapkanlah indikator kinerja sebagai acuan dalam melakukan kegiatan. 4 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 2. Setelah kinerja ditetapkan diperlukan biaya untuk mewujudkan kinerja tersebut, terkait dengan biaya ini maka harus ada standar-standar biaya. 3. Agar ada perbaikan dalam proses penganggaran berikutnya, maka diperlukan evaluasi terhadap anggaran tersebut, baik evaluasi pencapaian kinerja maupun evaluasi terhadap realisasi anggaran. Dengan adanya realisasi ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk perbaikan pola penganggaran berikutnya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Sekretariat Kabinet belum sepenuhnya menerapkan komponen-komponen dari Penganggaran Berbasis Kinerja. Hal ini tercermin dari: 1. Indikator Kinerja Outcome yang belum mencerminkan core bussiness dari Sekretariat Kabinet dan belum sesuai dengan prinsip SMART-C. Sebagai contoh, indikator “ditindaklanjuti” yang sulit untuk dilakukan pengukurannya. Karakteristik dari organisasi Sekretariat Kabinet bersifat kesekretariatan dan pelayanan kepada Presiden, sehingga mengalami kesulitan dalam merumuskan outcome karena Sekretariat Kabinet tidak mempunyai kegiatan teknis yang dapat mengukur pencapaian outcome tersebut. 2. Tidak adanya Standar Biaya Keluaran dan belum diterapkan prinsip value for money terhadap penyusunan komponen biaya. Dalam penyunan RKA-K/L Tahun 2016, Sekretariat Kabinet hanya berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.02/2015 tentang Standar Biaya KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 5 Masukan Tahun Anggaran 2016 dan Keputusan Deputi Bidang Administrasi selaku Kuasa Pengguna Anggaran Nomor: KEP.6/ADM/II/2016 tentang Satuan Biaya Kegiatan/Pelayanan di Lingkungan Sekretariat Kabinet Tahun 2016. 3. Mekanisme feedback yang belum berjalan dengan baik, sehingga rekomendasi hasil evaluasi tidak dimanfaatkan dan belum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kinerja program dan kegiatan. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa karakteristik penyerapan anggaran di Sekretariat Kabinet adalah penyerapan yang rendah di semester pertama dan menumpuk pada akhir tahun berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa rekomendasi yang terdapat dalam Laporan Hasil Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Sekretariat Kabinet tidak dimanfaatkan oleh unit kerja terkait. Implementasi Penganggaran Berbasis Kinerja di Sekretariat Kabinet yang masih belum sesuai dengan harapan disebabkan karena belum dipenuhinya prakondisi-prakondisi, sebagai berikut: 1. Lingkungan atau kondisi yang kurang mendukung dan kurang berorientasi pada kinerja. Hal ini tercermin dari budaya kinerja di Sekretariat Kabinet yang belum terbangun dengan baik dan kurangnya komitmen dari pimpinan. Masih ada perbedaan persepsi diantara pimpinan, sebagian pimpinan ada yang sudah memberikan perhatian terhadap kinerja, namun ada juga yang hanya memandang sebagai pemenuhan kewajiban atas data atau dokumen tertentu. 6 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 2. Sistem kontrol yang kurang efektif dari pimpinan kementerian/lembaga. Hal ini tercemin dari tidak adanya mekanisme atas tindak lanjut terhadap hasil monitoring dan evaluasi. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa kontrol pimpinan masih belum terlihat secara konkrit. Proses kontrol dari pimpinan dalam hal ini KPA pernah dilakukan dalam bentuk monitoring bulanan atas realisasi anggaran dan capaiannya. Akan tetapi mekanisme tersebut tidak berlangsung secara kontinu. 3. Penerapan Strategic Planning yang kurang baik. Berdasarkan hasil penelitian terlihat adanya tingkat kekonsistenan dan sinkronisasi yang tinggi antara Renstra dengan Renja Sekretariat Kabinet. Akan tetapi ditemukan ketidakkonsistenan antara perumusan Sasaran Strategis dalam Renstra bila dibandingkan dengan dokumen Laporan Kinerja. Selain itu ditemukan juga kurangnya sinkronisasi antara Indikator Sasaran Strategis yang ada dalam Renstra dengan dokumen Laporan Kinerja. Saran perbaikan terhadap hasil penelitian sebagaimana diuraikan di atas adalah: Rekomendasi 1 – Komponen Penganggaran Berbasis Kinerja a. Perlu menyusun Kamus Indikator Kinerja sebagai pedoman dalam penyusunan informasi kinerja sehingga Sekretariat Kabinet dapat menyusun indikator kinerja yang SMART-C. Dengan adanya Kamus Indikator Kinerja maka tidak ada lagi perbedaan persepsi di antara unit kerja terkait definisi rekomendasi, cara penetapan targetnya dan cara KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 7 pengukurannya. Kamus Indikator Kinerja adalah dokumentasi yang menyangkut berbagai aspek mengenai indikator-indikator kinerja, yang didalamnya mencakup pengembangan indikator-indikator kinerja yang digunakan, antara lain: definisi indikator, satuannya, di unit kerja mana indikator tersebut digunakan, kapan dilakukan pengukurannya, dan sumber data yang akan digunakan. b. Perlu menyusun Standar Biaya Keluaran sehingga dapat diketahui besaran biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu keluaran kegiatan. Dengan adanya standar biaya keluaran maka dapat dihitung tingkat efisiensi dari output-output yang dimiliki oleh Sekretariat Kabinet. c. Perlu meningkatkan koordinasi dan sinkronisasi antara Biro Perencanaan dan Keuangan, Biro Akuntabilitas Kinerja dan Reformasi Birokrasi serta Inspektorat sehingga dokumen perencanaan hingga dokumen pelaporan dapat lebih selaras. Rekomendasi 2 – Prakondisi Penganggaran Berbasis Kinerja a. Perlunya peningkatan keterlibatan dan komitmen pimpinan terhadap proses perencanaan dan penganggaran, karena dalam Penganggaran Berbasis Kinerja, diperlukan kombinasi antara perencanaan program dengan pendekatan top-down dan perencanaan anggaran dengan pendekatan bottom-up. Penerapan pendekatan kombinasi antara top-down dan bottom-up mempunyai manfaat sebagai berikut: 1) Terdapat komitmen dan kepemilikan 8 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 yang lebih besar terhadap proses penetapan anggaran karena setiap level manajerial (eselonisasi) terlibat dalam proses penganggaran; 2) Kombinasi pendekatan mendorong perspektif organisasi yang konsisten dengan prioritas pemerintah karena pimpinan menetapkan sasaran strategis dan kendala yang diturunkan (cascade) ke setiap level manajerial (eselonisasi); dan 3) Anggaran disusun oleh orang-orang yang bertanggung-jawab langsung terhadap kegiatan. b. Perlu adanya mekanisme umpan balik dari pimpinan atas hasil evaluasi, karena evalusi sangat penting dalam proses Penganggaran Berbasis Kinerja. Hasil evaluasi diperlukan untuk perbaikan Penganggaran Berbasis Kinerja di tahun berikutnya. c. Perlu meningkatkan kualitas manajemen kinerja melalui pengembangan budaya kinerja di Sekretariat Kabinet. Lingkungan atau kondisi yang mendukung dan telah berorientasi pada kinerja merupakan prasyarat utama dalam penganggaran berbasis kinerja mengingat Penganggaran Berbasis Kinerja berkaitan dengan perubahan paradigma dan mind set bagi para pelaku yang terlibat dalam pengelolaan anggaran, yang selama ini lebih berorientasi pada besaran anggaran daripada kinerja yang akan dihasilkan. Referensi 1. BPPK Kementerian Keuangan. (2016). Modul Konsep Perencanaan dan Penganggaran. Bogor. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 9 2. Hager, Greg., Hobson, Alice and Wilson, Ginny. (2001). Performance Based-Budgeting: Concept and Examples. Legislative Research Commission. 3. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2014). Better Practice Guide: Penganggaran Berbasis Kinerja. Jakarta. 4. Mercer, John. (2002). Performance Budgeting for Federal Agencies: A Framework. AMS. 5. Mardiasmo. (2009). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit ANDI. 6. Robinson, Marc and Last, Duncan. (2009). A Basic Model of Performance-Based Budgeting. IMF- Technical Notes And Manual. ---***--- 10 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Seri Policy Brief – Nomor 002-2017 COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM MENDORONG HILIRISASI INDUSTRI HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INOVASI TEKNOLOGI IMPLAN TULANG ZENMED oleh Dwi Lestari dan Lina Miftahul Jannah A. Ringkasan Eksekutif Hasil riset dan inovasi selalu berakhir di perpustakaan universitas dan buku laporan tahunan Kementerian/Lembaga saja, karena selalu terdapat jeda yang memisahkan antara invensi yang diperoleh dari penelitian di universitas/lembaga litbang dengan inovasi yang mengenalkan teknologi dan peluang usaha baru melalui komersialisasi invensi tersebut. Jeda pemisah ini secara umum dikenal sebagai Fenomena Lembah Kematian atau Valley of Death (dalam beberapa literatur disebut pula dengan istilah Darwinian Sea), yakni suatu keadaan dimana fisibilitas investasi dan pembiayaan invensi menjadi inovasi radikal berbasis teknologi menghadapi risiko paling tinggi karena kompleksitas dan ketidakpastiannya. Masih terdapat gap antara hasil penelitian yang dilakukan dengan kebutuhan industri sehingga penelitian tidak bisa naik ke TRL yang lebih tinggi yaitu dalam fase applied research innovation. Masalah yang dihadapi oleh lembaga litbang selama ini antara lain adalah ketidakterpakaian hasil riset dan pengembangan oleh masyarakat dan industri, terdapat missing link antara riset KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 11 dengan pengguna, baik pemerintah maupun swasta (industri). Secara kelembagaan juga ada masalah tumpang tindih lembaga penelitian. Selain persoalan kuantitas dan kualitas, penelitian sejumlah lembaga penelitian di Indonesia sering kali tumpang tindih. Akibatnya, penelitian yang dilakukan kurang menghasilkan kemajuan berarti karena mengulang-ulang penelitian yang dilakukan lembaga lain. Lebih lanjut permasalahan yang dihadapi antara lain koordinasi antar lembaga litbang yang belum terjalin dengan baik. Salah satu hasil penelitian yang sedang dikembangkan menuju hilirasi industri adalah pemanfaatan inovasi teknologi biomaterial untuk pembuatan implan tulang yang dikembangkan oleh peneliti BPPT bekerjasama dengan PT. Zenith Allmart Precissindo dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. B. Pendekatan dan Metode John Wanna (Wanna & O'Flynn, 2008) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan kolaborasi berarti bekerja bersama atau bekerja sama dengan orang lain, kolaborasi menyiratkan aktor yaitu individu, kelompok atau organisasi yang bekerja keras bersama dengan syarat dan kondisi yang bervariasi. Dalam rangka hilirisasi riset ke industri diperlukan sinkronisasi dan kolaborasi kebijakan strategis terintegrasi antara para stakeholder inovasi melalui collaborative governance. Kolaborasi antar stakeholder bertujuan untuk meningkatkan secara keseluruhan praktek dan efektivitas administrasi publik sehingga tujuan kolaborasi dapat dicapai lebih cepat. Komitmen dalam kolaborasi dapat mendorong perubahan organisasi dan mempengaruhi perubahan alokasi 12 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 sumber daya karena dengan kolaborasi terdapat pembagian sumber daya (shared resources) dan pembagian tanggung jawab (shared responsibilities). Kolaborasi juga dapat menggabungkan keahlian dan kapasitas sehingga dapat menciptakan pembelajaran bersama dan berbagi pengalaman yang pada akhirnya akan menciptakan arah pembangunan kapasitas institusi baik dari dalam maupun dari luar organisasi. C. Isu Strategis dan Alternatif Kebijakan Dalam mendorong hiirisasi hasil penelitian dan pengembangan terdapat beberapa isu strategis yaitu: Isu pertama, Kebijakan Pemerintah Program penguatan hilirisasi hasil penelitian dan pengembangan di Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi harus didukung dengan kebijakan yang memperkuat iklim kolaborasi antara lembaga penelitian dengan bisnis, masyarakat sebagai stakeholder yang terlibat dalam hilirisasi hasil riset. Alternatif pertama, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi perlu melakukan penguatan kebijakan untuk mendukung hilirisasi hasil penelitian ke industri dengan mengatur skema kerjasama antara peneliti/perekayasa dengan industri, sehingga penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi sesuai dengan kebutuhan masyarakat berdasarkan market driven inovasi teknologi. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 13 Alternatif kedua, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi perlu mengawal koordinasi peneliti/ perekayasa dengan sektor terkait dalam hilirisasi industri, misalnya Kementerian Kesehatan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan dan sebagainya. Isu kedua Anggaran Anggaran merupakan permasalahan yang dianggap klasik oleh kalangan birokrat dan peneliti karena permasalahan anggaran pasti akan muncul dalam pembahasan mengenai suatu permasalahan. Selain kecilnya anggaran penelitian dan pengembangan yang saat ini hanya mencapai 0.08% dari GDP juga adanya infleksibilitas dalam penggunaan anggaran. Selain itu penguatan peran peneliti dan perekayasa juga diperlukan untuk mendukung agar peneliti semakin leluasa dalam melakukan penelitian dan pengembangan. Salah satu masalah kebijakan yang sering dikeluhkan oleh peneliti kita adalah adanya kebijakan anggaran yang sangat detail sehingga memerlukan banyak waktu untuk mengurus administrasi pemakaian anggaran penelitian. Alternatif pertama, Pemerintah perlu meningkatkan anggaran belanja dalam bidang penelitian dan pengembangan Alternatif kedua, Kementerian Keungan dan LKPP diharapkan memberikan peran serta dalam mendukung hilirisasi hasil penelitian dalam negeri melalui dengan berkoordinasi dengan Kementerian Riset. Teknologi dan Pendidikan Tinggi dengan memberikan prioritas dan kemudahan dalam sertifikasi, promosi dan distribusinya. 14 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Isu ketiga Infrastruktur Dalam bidang infrastruktur saat ini Kemenristekdikti belum mempunyai pusat data tentang penelitian dan pengembangan yang telah dan sedang dilakukan oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi sehingga tidak dapat dijadikan acuan oleh peneliti/perekayasa untuk memulai dan mengembangkan riset. Tidak adanya pusat data yang akurat membuat peneliti/perekayasa memulai kembali penelitian dari awal, tidak bisa melanjutkan/meneruskan penelitian yang sudah ada karena datanya belum tersusun dengan baik. Hal inilah yang diduga menjadi penyebab tumpang tindihnya penelitian di lembaga litbang dan universitas. Pusat data ini juga sebenarnya dapat digunakan sebagai sumber data kebutuhan, tolak ukur untuk menilai sejauh mana penelitian dan pengembangan sudah dilakukan dan untuk menentukan arah strategi di masa depan untuk mengantarkan produk inovasi menuju industri unggulan. Pangkalan Data dibuat berdasarkan data dan informasi yang akurat mengenai perkembangan penelitian dan pengembangan yang telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan pangkalan data tersebut kemudian dibuat sebuah roadmap penelitian dan pengembangan sehingga lembaga litbang bisa menentukan arah riset yang dilakukan agar semakin terarah dan sesuai dengan kebutuhan industri dan masyarakat. D. Rekomendasi 1. Kemenristekdikti juga perlu membuat skema kebijakan yang mendorong agar peneliti bekerjasama dengan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 15 industri sejak awal penelitian, yaitu dengan mempersyaratkan kerjasama peneliti dengan industri dalam mendapatkan program insentif penelitian atau mensyaratkan pra-penelitian mengenai kebutuhan masyarakat/industri terhadap penelitian tersebut. 2. Kementerian Riset. Teknologi dan Pendidikan Tinggi perlu membangun Pangkalan Data (database) dalam bidang penelitian dan pengembangan oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi untuk dapat menjadi acuan dan tolak ukur penelitian dan pengembangan yang dilakukan berikutnya sehingga tidak terjadi tumpang tindih penelitian atau pengulangan penelitian sehingga kualitas penelitian dan pengembangan yang dilakukan akan semakin sinergis dan berkelanjutan. 3. Peneliti dan perekayasa harus memperluas jaringan baik di kalangan sesama peneliti dan perekayasa di lembaga litbang dan perguruan tinggi maupun dengan industri dan regulator untuk mengetahui kebutuhan masyarakat dan mengetahui trend perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir. 4. Industri diharapkan dapat aktif dan proaktif mendukung penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh lembaga litbang dan perguruan tinggi terutama yang mencakup core business yang ditekuni sehingga bisa memberi masukan kepada peneliti mengenai trend perkembangan kebutuhan industri/pasar. 5. Industri diharapkan dapat mengivestasikan sebagian keuntungannya dalam penelitian dan pengembangan yang 16 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 dilakukan lembaga litbang dan perguruan tinggi sehingga dapat mendukung peneliti/perekayasa mampu menghasilkan produk hasil inovasi yang diinginkan industri. E. Mitigasi Resiko 1. Sharing Resources, dengan kolaborasi akan terjadi pembagian sumber daya sehingga konsekuensinya juga akan menciptakan sharing knowledge and royalty. Masingmasing aktor harus memahami bahwa knowledge is power but sharing is more powerful sehingga pembagian pengetahuan dan pengalaman menjadi hal dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Oleh karena itu penting bagi masing-masing pihak untuk mengetahui sejauh mana hak dan kewajiban masing-masing pihak serta persentase pembagian royalty secara jelas dalam kontrak kerjasama sehingga tidak akan terjadi konflik di masa yang akan datang. 2. Risk Tolerance merupakan degree of variability in investment return that an investor is willing to withstand, dalam kolaborasi penting untuk mengetahui sejauh mana resiko dapat ditolerir. Perlu dikaji dalam manajemen resiko jika terjadi kegagalan dalam kolaborasi siapa pihak yang akan menanggung kerugian baik itu berupa kerugian finansial maupun reputational lost. 3. Sharing Risk, Reward and Responsibility, setelah risk tolerance didefinisikan dan dipetakan maka berikutnya terjadi pembagian resiko siapa yang akan menanggung resiko jika terjadi kegagalan, pihak mana menanggung apa. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 17 Demikian sebaliknya jika berhasil maka akan terjadi pembagian reward and responsibility sesuai dengan presentase royalty serta hak dan kewajiban yang tertuang dalam kontrak kerjasama. Referensi 1. Goffin, K., & Mitchell, T. (2010). Innovation Management. UK: Palgrave Matchmillan. 2. Wang, W., Hsu, H. S., Yen, H. R., Chiu, H.-C., & Wei, C.-P. (2010). Developing and Validating Service Innovation Readiness. Association for Information System (AIS Electronic Library) . 3. Giedraityte, A. R. (2014). Innovation Process Barriers in Public Sector: A Comparative Analysis. International Journal of Business and Management; Vol. 9, Nomor 10 . 4. Wanna, J., & O'Flynn, J. (2008). Collaborative Governance, A new era of public policy in Australia? Canberra: ANU Press. 5. Ansell, C., & Gash, A. (2008). Collaborative Governance in Theory and Practice. Journal of Public Administration Research and Theory , 543-571. 6. Leydendorff, L. (2006). The Knowledge-Based Economy And The Triple Helix Model. www.leydesdorff.net/arist09/arist09.pdf. 7. OECD. (2013). Triple Helix Partnership For Innovation in Bosnia And Herzegovina. 18 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 https://www.oecd.org/investmentcompact/Triple%20Heli x%20English%20Version.pdf. ---***--- KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 19 Seri Policy Brief – Nomor 003-2017 PROGRAM DIKLAT TEKNIS DALAM MENGEMBANGKAN TEKNOLOGI PENERBANGAN DI LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL oleh Andini Elvis Pratiwi dan Vishnu Juwono Ringkasan Eksekutif Sumber Daya Manusia dalam sebuah organisasi memiliki peran yang penting. Sumber daya manusia (SDM) sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan segala potensi yang dimilikinya untuk mencapai tujuan organisasi. Meskipun di dalam sebuah organisasi memiliki modal yang besar, teknologi yang canggih dan sumber daya yang melimpah tapi tidak ada sumber daya manusia (SDM) yang dapat mengelola dan memanfaatkannya maka tidak akan mungkin dapat meraih keberhasilan dalam mencapai tujuan organisasi. A. Pendahuluan Banyak masalah yang ada di Indonesia dalam bidang riset, di antaranya tidak menariknya dunia penelitian, sistem pendidikan yang tidak mendukung, kualitas peneliti yang masih kurang, jumlah peneliti yang masih sedikit didukung dengan peneliti yang usianya sudah menua. Dari sisi jumlah pegawai, ada ribuan orang bekerja di beberapa lembaga riset, namun yang melakukan riset sangat terbatas. Lebih dari separuh pegawai merupakan tenaga pendukung. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 20 Jumlah peneliti di Indonesia di antara Negara anggota G-20 hanya 89 orang per 1 juta penduduk. Bandingkan dengan Korea Selatan dengan 6.899 peneliti per 1 juta penduduk. Di ASEAN, Indonesia juga jauh tertinggal dibandingkan jawara riset ASEAN, Singapura, yang punya 6.658 peneliti pe 1 juta penduduk. (Kompas, 20 September 2016). Di antara lembaga pemerintah non kementerian yang berkoordinasi dengan Kemenristekdikti yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), hanya BPPT yang 10 persen pegawainya berpendidikan doktor, sedangkan di LAPAN hanya 2 persen (Kompas, 20 September 2016). Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) adalah lembaga pemerintah non kementerian yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia melalui Menteri yang membidangi riset, teknologi dan pendidikan tinggi. LAPAN merupakan satu-satunya instansi di lingkungan Kemenristekdikti yang menjalankan litbang khusus dalam teknologi penerbangan. Khususnya dalam pengembangan teknologi pesawat terbang sesuai dengan UU Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan dan Perpres Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional menyatakan bahwa penguatan, pendalaman dan penumbuhan 6 (enam) klaster industri prioritas, butir c, Industri alat angkut, Nomor 3, tentang Industri Kedirgantaraan, mengamanatkan pengembangan pesawat berpenumpang kurang dari 30 orang dengan mengembangkan PT. DI sebagai pusat produksi dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 21 sebagai pusat penelitian dan pengembangan produk kedirgantaraan. Kemudian juga terbitnya Undang-undang Penerbangan Nomor 1 tahun 2009, pasal 370 ayat 1 yang menyebutkan bahwa pemberdayaan industri dan pengembangan teknologi penerbangan wajib dilakukan oleh pemerintah secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait untuk memperkuat transportasi udara nasional. Untuk mematuhi Peraturan Presiden dan menjalankan amanat Undang-undang Penerbangan tersebut diatas, berdasarkan Peraturan Kepala LAPAN nomor 2 tahun 2011, dibentuklah Pusat Teknologi Penerbangan (Pustekbang) dibawah Deputi Bidang Teknologi Penerbangan dan Antariksa yang tugasnya melaksanakan penelitian, pengembangan, perekayasaan dan pemanfaatan serta penyelenggaraan keantariksaan di bidang teknologi aeronautika. Sesuai dengan kegiatan utama LAPAN sebagai lembaga penelitian dan pengembangan (litbang), kompisisi 3 Jabatan Fungsional Khusus terbesar atau sebagai Human Capital (SDM litbang) dalam organisasi adalah Peneliti sebanyak 283 orang (37,53%), Teknisi Litkayasa sebanyak 165 orang (21,88%) dan Perekayasa sebanyak 111 orang (14,72%). Selain itu, ada 11 jabatan fungsional khusus yang menunjang kegiatan administrasi di LAPAN. 22 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Gambar 1 Komposisi SDM LAPAN berdasarkan jabatan fungsional khusus Sumber: Lakin LAPAN 2016, 2017 Besarnya ruang lingkup litbang yang dilakukan oleh LAPAN, berdampak pada tingginya kebutuhan SDM baik yang ahli maupun terampil untuk melaksanakan program dan kegiatan LAPAN sesuai dengan kompetensinya. Ada beberapa kelemahan dari penelitian dan pengembangan di LAPAN, antara lain: perlengkapan fasilitas litbang masih kurang memadai dibandingkan dengan lembaga keantariksaan Negara lain, produktivitas hasil litbang LAPAN masih belum memenuhi standar pusat unggulan Ristekdikti, komposisi pendidikan terakhir SDM LAPAN kurang lebih 40 persen berpendidikan terakhir dibawah S1 dan jumlah SDM masih kurang dan penyebarannya tidak merata. Dengan adanya kebijakan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 23 moratorium dari Pemerintah pusat, maka LAPAN tidak dapat menambah jumlah SDM. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan strategi LAPAN tahun 2015-2019, LAPAN memberdayakan SDM peneliti, teknisi litkayasa dan perekayasa yang dimilikinya dengan mengembangkan kompetensinya. Tujuan pengembangan SDM menurut Amstrong (2006) adalah untuk memastikan bahwa organisasi mempunyai orang-orang yang berkualitas untuk mencapai tujuan organisasi untuk meningkatkan kinerja dan pertumbuhan. Sedangkan David (2010) mengatakan bahwa tujuan dasar dari pelatihan adalah menghilangkan atau memperbaiki masalah kinerja (Sanjeevkumar, 2011). Setelah reorganisasi di tahun 2011, maka LAPAN mulai kembali kegiatan rancang bangun pesawat terbang. Dimulai dengan keterlibatan LAPAN dalam program nasional pesawat terbang N-219 bersama PT. DI. Pesawat N-219 merupakan proyek nasional pesawat terbang kelas 19 penumpang bermesin ganda yang sesuai dengan kondisi geografis Indonesia yang khas, terutama di daerah terpencil yang menuntut adanya pesawat yang bisa mengatasi kendala antara lain landasan pendek dan berbukit-bukit. Selain itu, LAPAN juga mempunyai program sendiri, yaitu mengembangkan pesawat Light Surveillance Aircraft (LSA). LSA merupakan pesawat ringan dengan atau tanpa awak. Dalam mengembangkan pesawat LSA, LAPAN bekerjasama dengan PT. DI, ITB dan Technical University Berlin. Misi dari pengembangan pesawat LSA ini adalah untuk memperkuat sistem pemantauan nasional sekaligus memperkuat 24 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 penguasaan teknologi pesawat terbang. Selain Pesawat LSA, LAPAN juga mengembangkan pesawat Unmanned Aerial Vehicle (UAV) yang bekerjasama dengan Chiba University Jepang, TUM Jerman serta KARI Korea yang mampu terbang hingga 24 jam non stop, untuk memantau titik-titik perbatasan (border monitoring system), pencurian ikan (illegal fishing) maupun pengamanan dari pencurian hutan (illegal logding). Pustekbang telah mengirimkan SDM untuk mengikuti pelatihan dan pendidikan sejak tahun 2011 hingga sekarang. Akan tetapi setiap selesai melakukan program diklat tersebut tidak pernah dilaksanakan evaluasi pelatihan. Padahal tanpa dilakukannya evaluasi kita tidak akan mengetahui seberapa efektifnya suatu program diklat. Akibatnya anggaran dan waktu bisa terbuang percuma. An evaluation of the training program is necessary to determine whether the training accomplished its objectives, menurut Pynes (2013). Ada 2 alasan utama mengapa evaluasi jarang dilakukan, yang pertama karena berkaitan dengan biaya yang diperlukan dan waktu yang dibutuhkan untuk mengevaluasi hasil dari program diklat. Cromwell and Kolb (2004) mengatakan bahwa tidak lebih dari 15 persen hasil dari pelatihan ditransfer pada pekerjaan (Sanjeevkumar, 2011). Studi lain yang dilakukan oleh Baldwin and Ford (1988); Burke and Hutchins (2007); Fitzpatrick (2001); Ford and Kozlowski (1997) juga mendapati bahwa biasanya rata-rata hanya berkisar antara 10 - 40 persen. Oleh karena itu, penting untuk mengeksplorasi metode untuk mendorong proses penerapan hasil pelatihan guna mencapai tujuan pelatihan yang lebih besar terhadap praktek SDM. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 25 B. Pendekatan dan Metode Evaluasi program diklat bertujuan untuk mengetahui efektivitas program diklat dalam arti sejauhmana keberhasilan program tersebut. Keberhasilan program diklat dapat diartikan bahwa para peserta yang telah mengikuti program tersebut diharapkan bertambah pengetahuan, keterlampilan dan perubahan sikap dari sebelum mengikuti diklat dan setelah mengikuti diklat terdapat perubahan untuk bekerja lebih produktif. Pada penelitian ini, peneliti hanya fokus pada level 3 dan 4 yaitu level perilaku (behavior) dan level hasil (result), karena lokus tempat penelitian bukan sebagai penyelenggara pendidikan dan pelatihan melainkan instansi yang mengirimkan pegawainya untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional melalui wawancara mendalam dan studi literature menunjukkan bahwa pada level perilaku (behavior) terjadi perubahan sikap pegawai terhadap tugas utama, waktu kerja, membuat keputusan, kerjasama tim dan menghadapi kritikan, pegawai Pustekbang juga jadi lebih professional dan termotivasi setelah mengikuti diklat. Sedangkan pada level hasil (result) berdasarkan tabel capaian kinerja tahun 2016, dapat dilihat bahwa dari 8 indikator kinerja utama 7 diantaranya berhasil terealisasi semua dengan nilai capaian 100%, sementara hanya 1 indikator kinerja yang tidak terealisasi. 26 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Bila dibandingkan antara capaian kinerja tahun 2015 dan tahun 2016, dapat dikatakan bahwa kinerja Pustekbang terjadi peningkatan. Akan tetapi, peningkatan kompetensi SDM Pustekbang harus terus dilaksanakan secara bertahap. C. Implikasi dan Rekomendasi Berdasarkan gambaran perilaku (behavior), pegawai Pustekbang telah mengalami peningkatan terhadap pengetahuan atau kompetensi dasarnya dan peningkatan terkait pekerjaan sehari-hari. Peningkatan juga terjadi pada pengetahuan pegawai terhadap program utama Pustekbang, Demikian halnya dengan pengetahuan pegawai tentang visi misi dari Pustekbang yang juga mengalami peningkatan. setelah mengikuti diklat bahwa keterlampilan teknisi litkayasa bertambah. Pegawai juga mampu untuk memenuhi standar kinerja yang berlaku dan menularkan pengetahuan serta keterlampilan yang di dapat dari diklat kepada pegawai lain. setelah diklat adalah pegawai menjadi lebih professional dan lebih termotivasi. Selain itu, sikap pegawai terhadap tugas utamanya juga mengalami perubahan ke arah lebih baik. Sikap terhadap waktu kerja, sikap dalam membuat keputusan, sikap terhadap kerjasama dalam tim dan menghadapi kritikan juga mengalami perubahan menjadi cepat, lebih menghargai rekan dalam tim dan memiliki cara pandang baru. Berdasarkan gambaran hasil (results) tujuan program diklat telah berhasil dicapai melalui diklat teknis yang sudah dilaksanakan. Hal tersebut juga terkait dengan visi misi LAPAN maupun visi misi Pustekbang yang tercapai karena memang pada saat menyusun perencanaan diklat, berdasarkan pada tujuan program diklat yang mendukung visi misi organisasi. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 27 Kinerja pegawai setelah mengikuti diklat, didapatkan peningkatan dalam pengetahuan, keterlampilan, juga sikapnya. Dengan meningkatnya ketiga hal tersebut, maka kualitas dari pegawai tersebut pun akan meningkat. Hasil diklat yang telah dilaksanakan oleh pegawainya, dapat juga dinilai berdasarkan hasil kerja yang juga meningkatkan kualitas pegawai tersebut. Kinerja organisasi dapat tercapai target dan program yang menjadi tujuan organisasi melalui pegawai yang mengikuti diklat teknis karena pelatihan cenderung berfokus pada kebutuhan organisasi secara langsung. Referensi 1. Kirkpatrick, Donald L & Kirkpatrick, James D. (2005). Evaluating Training Programs, The Four Levels (3rd ed). Berrett-Koehler Publisher, Inc 2. Kirkpatrick, Donald L & Kirkpatrick, James D. (2007). Implementing The Four Levels, a Practical Guide for Effective Evaluation of Training Programs. Berrett-Koehler Publisher, Inc. 3. Kirkpatrick, Donald L. (2006). Improving Employee Performance Through Appraisal and Coaching (2nd ed). Amacom, New York. 4. Stone, Raymond J. (2011). Human Resource Management (7th ed). John Wiley & Sons, Inc. ---***--- 28 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Seri Policy Brief – Nomor 004-2017 PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL, KOMITMEN KEORGANISASIAN, DAN KEPUASAN KERJA TERHADAP PERILAKU ETIS PEGAWAI DI PUSDIKLAT PEGAWAI KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN oleh Renny Retnowatie dan Pantius Drahen Soeling Ringkasan Eksekutif PNS sebagai salah satu aparatur negara mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menyelenggarakan tugas-tugas negara, pemerintahan dan pembangunan sehingga setiap perilaku PNS sering menjadi sorotan dari masyarakat terutama perilaku negatif seperti terlambat datang, korupsi, belanja di mall saat jam kantor, dan sebagainya. Oleh sebab itu dibutuhkan sosok PNS yang memiliki perilaku etis yang baik dalam menjalankan tugas dan dapat menunjukkan perilaku yang sesuai dengan norma dan peraturan yang berlaku di dalam organisasi. Dalam penelitian diperoleh variabel kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan kepuasan kerja pegawai memiliki pengaruh yang positif terhadap perilaku etis pegawai di Pusdiklat Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan Hal ini berarti naik dan turunnya tingkat kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan kepuasan kerja pegawai secara bersamasama dapat mempengaruhi tingkat perilaku etis pegawai di Pusdiklat Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan. Sehingga diperlukannya mempertahankan dan meningkatkan kualitas pegawai dengan menyediakan fasilitas dan sarana kerja yang KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 29 sesuai dengan kebutuhan pegawai, pemberian promosi kepada pegawai yang berprestasi, mengikutsertakan pegawai ke dalam berbagai kegiatan peningkatan softskill, memberikan pemahaman tujuan organisasi kepada para pegawai, dan sebagainya yang dapat memberikan dampak atau pengaruh yang positif terhadap perilaku etis pegawai. A. Pendahuluan Salah satu isu strategis dalam reformasi birokrasi adalah berkaitan dengan kompetensi SDM aparatur yang di dalamnya mencakup etika dan budaya kerja. PNS sebagai salah satu aparatur negara mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menyelenggarakan tugas-tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Setiap tingkah laku atau perilaku seorang PNS sering menjadi sorotan dari masyarakat. Masyarakat banyak melihat beberapa kali terjadi pemberitaan terhadap perilaku PNS yang tidak etis yang sangat memberikan kesan yang negatif terhadap citra PNS di hadapan masyarakat. Menurut Griffin dan Ebert (2006:58) perilaku etis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma sosial yang diterima secara umum. Perilaku etis dari pegawai menunjukkan bagaimana pegawai dapat berperilaku sesuai dengan norma dan peraturan yang berlaku di dalam perusahaan. Perilaku etis dipengaruhi oleh kecerdasan emosional seseorang. Kecerdasan emosional sangat diperlukan dalam dunia kerja. Tidak hanya kepintaran yang diperlukan dalam bersaing dalam dunia kerja saat ini, namun kecerdasan emosional juga penting dimiliki oleh setiap pegawai. Cooper dan Sawaf (1999:496) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai 30 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. PNS yang memiliki kecerdasan emosional yang baik mampu berpikir jernih walaupun dalam tekanan, bertindak sesuai dengan etika, berpegang pada prinsip dan memiliki dorongan berprestasi. Bagi kehidupan organisasi, komitmen merupakan prasayarat untuk menjaga kelangsungan hidup, stabilitas dan pengembangan organisasi. Menurut Mowday, Porter, dan Steers (1982:186) mendefinisikan komitmen keorganisasian sebagai kekuatan relatif dari identifikasi individu dan keterlibatan dalam organisasi tertentu. Selain itu kepuasan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk mendapatkan hasil kerja yang optimal. Kepuasan kerja merupakan kondisi emosi positif atau menyenangkan yang muncul dari penilaian kerja atau pengalaman kerja (Nelson dan Quick, 2006: 87). Ketika seorang merasakan kepuasan dalam bekerja tentunya ia akan berupaya semaksimal mungkin dengan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. B. Pendekatan dan Metode Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner dengan pertanyaan tertutup. Berdasarkan hasil analisis uji regresi dapat diketahui bahwa kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap perilaku etis pegawai di Pusdiklat Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan. Pengaruh tersebut bersifat positif dalam arti semakin baik kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan kepuasan kerja pegawai maka akan semakin tinggi juga perilaku etis pegawai. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 31 C. Implikasi dan Rekomendasi Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan kepuasan kerja memiliki peran penting dalam membentuk perilaku etis pegawai di Pusdiklat Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan. Pegawai-pegawai yang memiliki perilaku etis akan bertindak dan berperilaku sesuai dengan norma-norma dan peraturan yang berlaku di organisasi. Perilaku etis dapat membangun ikatan dan keharmonisan di antara pegawai di tempat kerja. Sehingga pimpinan dan pegawai harus mengembangkan perilaku yang berperan dalam mendukung terbentuknya pegawai yang memiliki perilaku etis. Peranan kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan kepuasan kerja telah terbukti mampu memberikan dampak positif dan signifikan terhadap perilaku etis pegawai. Hal ini juga mengungkapkan kecerdasan emosional memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku etis pegawai. Kemampuan pegawai dalam memahami kedalaman emosinya dan dapat mengekspresikan emosinya akan memiliki perasaaan dan pengakuan emosi yang baik. Pengendalian emosi diri dan mengerti dengan kondisi emosi orang lain dapat berdampak pada perilaku pegawai dalam kegiatannya sehari-hari di organisasi. Selian itu kepuasan kerja yang juga memberikan pengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku etis pegawai. Pemberian pembayaran gaji yang adil, rekan kerja yang mendukung, pemberian promosi bagi pegawai yang berprestasi, dan pimpinan yang berperilaku adil serta mendukung aktivitas pegawainya dapat membuat pegawai dapat berperilaku sesuai dengan norma dan aturan organisasi. 32 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Hasil ini dapat menjadi bahan pertimbangan bagi Pusdiklat Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang isi kompetensinya atau materinya tidak hanya bersifat hardskill tetapi juga bersifat softskill sehingga dapat meningkatkan PNS yang profesional. Selain itu pegawai di Pusdiklat Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan tidak hanya selalu memberikan pelayanan kediklatan kepada orang lain, tetapi pegawai juga harus berpartisipasi aktif sebagai peserta diklat atau pelatihan lain yang sifatnya softskill agar semakin baik dan terpeliharanya kompetensi yang dimiliki pegawai. Tingkat kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, kepuasan kerja, dan perilaku etis pegawai akan menurun jika tidak dilakukan maintenance oleh pimpinan dan bidang kepegawaian. Rekomendasi yang dapat dilakukan oleh lembaga adalah sebagai berikut: 1. Biro Organisasi dan Kepegawaian bekerja sama dengan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan serta Lembaga Administrasi Negara dapat meningkatkan kualitas pelatihan dengan menambahkan materi-materi dalam pelatihan tentang kecerdasan emosional, komitmen keorganisasian, dan kepuasan kerja secara spesifik agar tercipta kualitas pegawai yang baik sehingga dapat menambah kualitas pelayanan dan peningkatan pencapaian tujuan organisasi. 2. Pusdiklat Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan melakukan tindakan-tindakan yang dapat mempertahankan dan meningkatkan perilaku etis pegawai dengan penyediaan fasilitas dan sarana kerja yang sesuai dengan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 33 kebutuhan pegawai, pemberian promosi kepada pegawai yang berprestasi, mengikutsertakan pegawai ke dalam berbagai kegiatan peningkatan softskill, memberikan pemahaman tujuan organisasi kepada para pegawai, dan sebagainya yang dapat memberikan dampak atau pengaruh yang positif terhadap perilaku etis pegawai. Referensi 1. Cooper, R.K. & Sawaf, A. (1999). Executive EQ. Kecerdasan Emosional Dalam Kepemimpinan dan Organisasi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 2. Ebert, Ronald J. & Griffin, Ricky W. (2006). Bisnis. Jakarta: Erlangga. 3. Mowday, Richard T., Porter, Lyman W., & Steers, Richard M. (1982). Employee Organization Linkages: The Psychology of Commitment, Absenteeism and Tumover. New York: Academics Press. 4. Nelson, Debra L. and James Campbell Quick. (2006). Organizational Behavior: Foundations, Realities & Challenges. Ohio: South-Western. ---***--- 34 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Seri Policy Brief – Nomor 005-2017 IMPLEMENTASI ANALISIS JABATAN PADA JABATAN FUNGSIONAL DI INSTANSI PEMERINTAH oleh Agus Muhammad Arifin dan Amy Yayuk Sri Rahayu Ringkasan Eksekutif Terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) menggantikan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menekankan perubahan karakteristik struktur organisasi dan struktur jabatan, yaitu organisasi yang miskin struktur dan kaya fungsi dengan peranan lebih besar pada jabatan fungsional dibandingkan jabatan struktural dan pelaksana. Secara faktual, implikasi terbitnya UU ASN terhadap jabatan fungsional secara nasional dapat dilihat dari: peningkatan siginifikan pembentukan jabatan fungsional, peningkatan signifikan formasi CPNS dalam jabatan fungsional, hanya 25% CPNS yang diangkat menjadi jabatan fungsional definitif, dan penyelenggaraan inpassing besar-besaran ke dalam jabatan fungsional. Sangat perlu diperhatikan bahwa pembentukan dan pengisian jabatan fungsional harus sesuai dengan kebutuhan atau desain organisasi, di mana desain organisasi dan pekerjaan/jabatan ini erat kaitannya dengan analisis jabatan, karena implementasi analisis jabatan merupakan prosedur untuk menentukan tugas dari posisi atau jabatan dalam organisasi dan karakteristik orang agar direkrut untuk menempatinya. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 35 A. Pendahuluan Upaya untuk membangun aparatur negara tidak terlepas dari berbagai permasalahan yang nampak masih menjadi gejala yang tidak kunjung putus dan selesai. Setidaknya ada lima permasalahan saat ini, yakni: 1) Manpower planning yang tidak jelas; 2) Distribusi pendidikan PNS yang tidak terancang dengan jelas; 3) Desain organisasi, wewenang dan pekerjaan yang tidak jelas dan efisien; 4) Tidak dijalankannya dasardasar manajemen SDM yang profesional; dan 5) Lemahnya penegakan disiplin, integritas, dan good governance. Dari kelima masalah yang diketengahkan tersebut, masalah ketiga sangat erat kaitannya dengan factual problem penelitian ini yakni bahwa desain organisasi, wewenang dan pekerjaan yang tidak jelas dan efisien akan sangat mempengaruhi produktifitas organisasi. Terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menjadi payung hukum reformasi aparatur sipil negara di Indonesia. Dalam UU tersebut diamanatkan perubahan karakteristik struktur jabatan, yaitu jabatan pimpinan tinggi, jabatan administrasi, dan jabatan fungsional. Hal tersebut merupakan karakteristik berbeda dari Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yang mengamanatkan struktur jabatan terdiri atas jabatan struktural dan jabatan fungsional, di mana jabatan fungsional ini masih terdiri atas jabatan fungsional tertentu dan jabatan fungsional umum. Berbeda dengan jabatan struktural yang merupakan jabatan yang secara tegas ada dalam struktur organisasi, maka jabatan fungsional merupakan jabatan teknis yang tidak tercantum 36 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 dalam struktur organisasi, tetapi dari sudut pandang fungsinya sangat diperlukan dalam pelaksanaan tugas-tugas pokok organisasi. Kemunculan UU Nomor 5/2014 memberikan peran yang lebih besar pada jabatan fungsional. Kebijakan pemerintah untuk merespon UU tersebut adalah melalui kebijakan nasional penyiapan formasi jabatan fungsional sebesar-besarnya, selain itu juga secara bertahap dilakukan “inpassing” nasional ke dalam jabatan fungsional. Jumlah jabatan fungsional saat ini sudah mencapai 142 jenis dengan target mencapai 240 jabatan fungsional. Secara konseptual, organisasi harus menentukan pekerjaan/jabatan apa yang perlu dilakukan/dibentuk dan berapa banyak serta jenis pekerja yang dibutuhkan untuk pekerjaan/jabatan tersebut. Dalam terminologi manajemen, hal ini disebut pengorganisasian. Dengan demikian, pembentukan struktur organisasi membantu dalam menentukan keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan yang dibutuhkan oleh pemegang pekerjaan/jabatan. Untuk menentukan pekerjaan dan pekerja tersebut, manajemen SDM melakukan analisis jabatan. Semua pekerjaan/jabatan pada akhirnya harus terikat pada misi dan arahan strategis organisasi. B. Pendekatan Dan Metode Pendekatan penelitian yang digunakan adalah post-positivis karena teori digunakan untuk memberikan petunjuk dan menjadi alat analisis sehingga akan memberikan hasil yang mendekati kebenaran dari keadaan di lapangan melalui proses identifikasi dan analisis terhadap implementasi analisis jabatan pada jabatan fungsional. Penulis menggunakan metode KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 37 kualitatif untuk mengumpulkan data. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui 2 (dua) teknik yaitu wawancara dan studi pustaka, sedangkan penentuan informan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Analisis data menggunakan model analisis interaktif, yaitu melalui tiga kegiatan yang dilakukan sejak awal penelitian dan selama penelitian dilakukan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan dan verifikasi. Strategi triangulasi digunakan untuk melakukan validasi atau menguji validitas data yang terkumpul. C. Implikasi Dan Rekomendasi Implementasi analisis jabatan pada jabatan fungsional harus memperhatikan beberapa perubahan kebijakan terhadap: 1. Penentuan penggunaan data hasil analisis jabatan; 2. Keterlibatan para pihak (bagian SDM, pimpinan, dan karyawan) dalam penyusunan analisis jabatan; 3. Penentuan informan kunci dalam pengumpulan data analisis jabatan; 4. Proses verifikasi dan validasi hasil analisis jabatan; dan 5. Kesesuaian aspek bezetting dan formasi. Kebijakan pertama, penentuan penggunaan data hasil analisis jabatan. Peranan analisis jabatan diakui sebagai sebuah alat yang handal bagi pengelolaan kepegawaian, sesuai teori di mana hampir segala sesuatu yang manajemen SDM kerjakan berhubungan langsung dengan analisis jabatan. Namun secara faktual ditemukan bahwa penyusunan analisis jabatan masih 38 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 bersifat temporer (sementara), karena merupakan pemenuhan kebutuhan data hasil analisis jabatan untuk persyaratan yang sifatnya diharuskan oleh instansi luar, khususnya Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Namun mulai diterapkan penggunaan analisis jabatan dalam pengelolaan kepegawaian secara keseluruhan walaupun baru dilakukan secara bertahap. Perubahan terhadap kebijakan pertama ini akan berimplikasi terhadap upaya menggeser kewajiban penyusunan analisis jabatan menjadi kebutuhan bagi organisasi maupun individu pegawai. Dengan penggunaan data analisis jabatan secara menyeluruh dalam aspek pengelolaan kepegawaian akan menempatkan data analisis jabatan sebagai komponen dasar dalam penentuan pengambilan keputusan pengelolaan kepegawaian yang mengikat terhadap organisasi maupun individu pegawai. Kebijakan kedua, keterlibatan para pihak (bagian SDM, pimpinan, dan karyawan) dalam penyusunan analisis jabatan Pelaksanaan penyusunan analisis jabatan pada sebuah organisasi melibatkan berbagai pihak, terutama bagian SDM, karyawan, dan pimpinan/atasan. Hal ini harus dipertimbangkan dengan baik, sehingga pelaksanaan analisis jabatan menjadi sebuah usaha bersama yang diwujudkan dengan keterlibatan para pihak dalam pelaksanaan analisis jabatan agar mencapai hasil yang optimal. Perubahan terhadap kebijakan kedua ini akan berimplikasi terhadap keharusan pembentukan sebuah tim yang solid KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 39 dengan melibatkan bagian SDM, pimpinan/atasan langsung, dan karyawan itu sendiri. Harus dibentuk tim analisis jabatan yang handal sebagai penggerak utama dan mampu menjembatani antara bagian SDM, pimpinan/atasan langsung, dan karyawan agar terlibat secara langsung dalam penyusunan analisis jabatan. Kebijakan ketiga, penentuan informan kunci pengumpulan data analisis jabatan Kelemahan mendasar dalam penentuan informan kunci yaitu tingkat pemahaman informan kunci yang tidak mengetahui secara pasti keseluruhan pekerjaan yang dilaksanakan seluruh pegawai di unit kerja, terutama mengenai volume hasil kegiatan. Yang kedua adalah mengenai durasi waktu dalam pengumpulan data dari informan, meskipun jika melihat dari pedoman analisis jabatan di Permenpan 33/2011 maka durasi waktu yang ideal adalah 2 atau 3 hari agar tidak berlarut-larut. Menganalisis pekerjaan aktual (sebenarnya) dilakukan dengan mengumpulkan data pada kegiatan yang melekat pada jabatan, kondisi kerja dan pegawai, dan kemampuan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. Secara konseptual, informasi jabatan kemudian dianalisis dan didokumentasikan sebagai pekerjaan yang ada (exist) dan bukan merupakan pekerjaan yang seharusnya ada (should exist). Sehingga ke-exist-an sebuah pekerjaan akan menjadi ukuran bahwa penyusunan analisis jabatan sesuai dengan kebutuhan organisasi dan bukan berdasarkan kebutuhan individu pegawai. Implikasi dari perubahan kebijakan ketiga terhadap penentuan informan kunci akan menjadi sebuah langkah yang strategis. Sudah seharusnya informan kunci yang dijadikan sumber 40 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 informasi dalam penyusunan analisis jabatan mampu memahami dan menguasai setiap informasi yang diperlukan dalam pelaksanaan penyusunan analisis jabatan. Informan kunci harus ditetapkan secara objektif dan dibekali bahanbahan mengenai setiap detil pekerjaan yang akan dianalisis. Kebijakan keempat, proses verifikasi dan validasi hasil analisis jabatan. Penting diperhatikan bahwa menganalisis pekerjaan sebenarnya (aktual) merupakan aspek yang menentukan keberhasilan penyusunan analisis jabatan. Pada hakekatnya analisis jabatan adalah analisis organisasi, sesuai dengan hakekat tersebut maka aspek pokok yang dianalisis dalam analisis jabatan adalah pelaksanaan pekerjaan yang menjabarkan fungsi-fungsi yang ada di setiap unit kerja. Secara konseptual telah dinyatakan bahwa proses verifikasi dan validasi merupakan langkah untuk memastikan bahwa informasi analisis jabatan yang dikumpulkan secara faktual adalah benar dan komprehensif. Sehingga langkah ini akan meningkatkan pencapaian penerimaan hasil analisis jabatan oleh stakeholders. Langkah ini akan memudahkan dalam memperoleh kesepakatan sehingga dapat mengakomodir kesesuaian informasi faktual dengan kebutuhan organisasi. Secara umum, kesulitan terbesar dalam penyusunan analisis jabatan dan beban kerja pada jabatan fungsional adalah volume dari output kegiatan. Hal ini memerlukan kesepakatan para pihak terkait, baik antar pemangku jabatan fungsional maupun dengan pimpinan unit kerja, selain itu juga harus didukung dengan dokumen atau laporan yang valid. Selain itu, penyusunan analisis jabatan yang dilakukan untuk aspek KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 41 syarat jabatan dirasa masih sangat minim, kecenderungan yang dimasukkan informasinya pendidikan formal minimal saja. karena adalah Implikasi dari perubahan kebijakan keempat adalah harus dibentuk forum resmi yang melibatkan para pihak yang berwenang dalam penetapan hasil analisis jabatan. Forum ini harus menjadi penentu akan kevalidan data hasil analisis jabatan sehingga bisa dijadikan pedoman dasar penggunaan bagi pengelolaan kepegawaian yang handal, dipertanggungjawabkan, dan konsisten bisa diterapkan. Kebijakan kelima, kesesuaian aspek bezetting dan formasi Penggunaan dan pembentukan jenis/nomenklatur jabatan fungsional berdasarkan pada analisis jabatan, sehingga keberadaan jabatan fungsional merupakan kebutuhan organisasi. Berkenaan dengan kesesuaian jumlah pemangku jabatan fungsional ini digambarkan ke dalam 2 (dua) aspek, pertama kesesuaian antar jenjang jabatan fungsional dan kedua kesesuaian antara jumlah pemangku jabatan yang ada dengan formasi dari hasil penghitungan melalui analisis jabatan. Kesesuaian antar jenjang jabatan fungsional untuk melihat bagaimana sebaran jabatan fungsional antar jenjang baik jenjang keahlian maupun keterampilan. Karena aspek ini menyangkut pengelolaan jabatan fungsional yang erat kaitannya dengan analisis jabatan dan beban kerja, terutama dalam hal bezetting dan formasi berdasarkan kebutuhan organisasi. 42 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Madya 70 Pertama 970 583 Mahir Pemula 358 76 1,003 1,397 1,839 Gambar 1. Piramida Sebaran Pejabat Fungsional Per Jenjang Jabatan Keberadaan sebaran jabatan fungsional menunjukkan bahwa harus segera ditetapkan formasi ideal jabatan fungsional sampai dengan per jenjang dengan didasarkan pada analisis jabatan. Selain itu, ketiadaan formasi yang ideal dalam organisasi akan membuat para pemangku jabatan fungsional kesulitan dalam mengumpulkan angka kredit sehingga akan terhambat jenjang karirnya dan bahkan dapat mengakibatkan pemberhentian dari jabatan fungsional. Tabel 1. Rekapitulasi Data Kebutuhan Jabatan Fungsional di Kementerian LHK Jenjang Kondisi Kondisi Selisih (%) Jabatan Yang Ada Seharusnya (Orang) gap Fungsional (Orang) (Orang) Keahlian 3.029 7.260 4.231 139,68 Terampil 4.068 11.752 7.684 188,89 7.097 19.012 11.915 167,89 Sumber: Diolah dari https://formasi.menpan.go.id/, update Maret 2017 Dari rekapitulasi data pada tabel 1 di atas, dapat dilihat bahwa selisih antara bezetting dan formasi pemangku jabatan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 43 fungsional memiliki angka yang besar. Data tersebut menunjukkan angka formasi pegawai pada jabatan fungsional lebih dari dua kali lipat dari jabatan fungsional yang ada (bezetting). Harus ditetapkan peta kebutuhan pegawai berdasarkan analisis jabatan untuk kemudian ditetapkan menjadi formasi. Implikasi dari perubahan kebijakan kelima ini adalah ditetapkannya formasi yang dapat diukur secara ideal berdasarkan analisis jabatan sehingga kebutuhan pegawai akan menggambarkan kekuatan pegawai yang ada (bezetting) menjadi aspek yang relevan bagi organisasi. Analisis jabatan dijadikan dasar dalam penyusunan formasi dan dapat ditetapkan dalam peta jabatan yang menyajikan secara ideal peta kebutuhan pegawai dan ketersediaan pegawai yang ada. Dari perubahan kebijakan dan implikasi yang disajikan tersebut di atas, maka direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut: 1. Instansi pemerintah harus menetapkan penggunaan data hasil analisis jabatan secara komprehensif dalam pengelolaan kepegawaian, sehingga penyusunan analisis jabatan bergeser dari yang awalnya bersifat kewajiban menjadi kebutuhan baik bagi organisasi maupun individu pegawai. 2. Harus ditingkatkan keterlibatan para pihak (bagian kepegawaian, pimpinan/atasan langsung, dan pegawai) dalam analisis jabatan, yaitu dengan membentuk tim analis jabatan yang handal dan fokus dalam menyusun analisis jabatan serta meningkatkan keterlibatan pimpinan/atasan langsung dan seluruh pegawai untuk berkontribusi dalam penyusunan analisis jabatan. 44 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 3. Harus ditentukan informan yang tepat untuk menjadi sumber informasi utama, melalui penentuan posisi jabatan dan individu pegawai yang dapat mewakili sebuah unit kerja, memiliki kapasitas yang baik dalam menyusun analisis jabatan, dibekali rangkuman dan dokumentasi data pekerjaan yang diwakili secara detail disertai dokumen pendukung yang relevan untuk dapat dijadikan bahan bagi informan dalam penyusunan analisis jabatan bersama dengan tim analis jabatan. 4. Harus dilakukan proses verifikasi dan validasi atas data hasil analisis jabatan melalui forum resmi dengan melibatkan Kementerian PAN-RB dan BKN serta pihak berkompeten lainnya, agar data hasil analisis jabatan dapat terverifikasi dan tervalidasi dengan tepat sehingga dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam pengelolaan kepegawaian yang berkualitas. 5. Untuk meningkatkan kesesuaian berdasarkan bezetting dan formasi pada jabatan fungsional maka data hasil analisis jabatan harus dijadikan pedoman dasar, baik dalam penentuan jenis/nomenklatur jabatan, penetapan formasi maupun pengisian jabatan fungsional melalui penetapan peta jabatan fungsional. Referensi 1. Badan Kepegawaian Negara. 2010. Pedoman Analisis Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Puslitbang BKN. 2. DeCenzo, David A. & Robbins, Stephen P. 2010. Fundamentals of Human Resource Management – 10th ed. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 45 3. Dessler, Gary. 2013. Human Resource Management 13th ed. USA: Pearson Education, Inc. 4. Fahrani, Novi Savarianti. 2016. Model Perencanaan Pegawai Negeri Sipil (Studi Kasus di Jabatan Fungsional Tertentu). Jakarta: Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara. ---***--- 46 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Seri Policy Brief – Nomor 006-2017 MEMPERSIAPKAN INOVASI DI PUSDIKLAT KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN oleh Vetty Ilona dan Lina Miftahul Jannah A. Pendahuluan Ketenagakerjaan merupakan urusan wajib dilaksanakan di Pemerintah Daerah. Kurangnya tenaga fungsional ketenagakerjaan baik secara kuantitas maupun kualitas harus ditingkatkan. Salah satu caranya yaitu melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan (Diklat) juga sebagai salah satu bentuk realisasi dalam percepatan reformasi birokrasi di Kemnaker yaitu dengan perubahan mindset. PNS yang berada dibawah Kemnaker maupun berada di dinas ketenagakerjaan seluruh pemerintah daerah Indonesia belum semuanya memperoleh kesempatan untuk mengikuti diklat. (sumber Pusdiklat Kemnaker pada Sarasehan Fact and Finding di Gatot Subroto Maret 2016). Tabel 1.1 Perkiraan Jumlah Peserta Pendidikan dan Pelatihan tahun 2015-2019 Pengawas Mediator Penganta Instruktu PNS Ketenaga Hubungan r Kerja r Tenaga Kemnake kerjaan Industrial Kerja r 1.815 orang 2.755 orang 3.300 4.327 3.326 orang orang orang Total 16.668 orang KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 47 Rapat Fact finding dihadiri oleh Bapak Sekretaris Jenderal Ir. Abdul Wahab Bangkona, M.Sc (Gatsu Rabu 16 Maret 2016) Arahan Sekretaris Jenderal, menyatakan dari data yang disampaikan Pusdiklat, bahwa Kemnaker memiliki banyak pekerjaan rumah yang berkaitan dengan kediklatan, diantaranya banyaknya diklat pegawai yang harus dipenuhi, namun kapasitas Pusdiklat terbatas, untuk mengejar ketinggalan maka perlu metode atau inovasi baru. Inovasi yang dikembangkan oleh Pusdiklat Kemnaker salah satunya adalah e-learning. Inovasi e-learning akan dilaksanakan pada April-Juni 2017. E-learning diklat yang dilaksanakan adalah Diklat Dasar Ketenagakerjaan. Diklat ini merupakan pilot project untuk program inovasi selanjutnya. Elearning akan dikembangkan lagi oleh Pusdiklat menjadi diklat yang menghubungkan metode klasik, praktek lapangan dan elearning (sumber Pusdiklat Kemnaker pada Sarasehan Fact and Finding di Gatot Subroto Maret 2016). Perkembangan teknologi, perubahan pelanggan (peserta), perubahan lingkungan operasional serta kompetisi yang semakin ketat. (Goffin & Mitchell, 2010) menuntut setiap organisasi melalukan inovasi. Agar inovasi berjalan sukses maka harus dipersiapkan dengan baik. Pertanyaan yang muncul dari inovasi Pusdiklat adalah bagaimana kesiapan inovasi di Pusdiklat dan hambatan yang terjadi dalam mempersiapkan inovasi di Pusdiklat. B. Kondisi saat ini Sangat penting suatu organisasi mencoba mengevaluasi awal inovasi untuk menjamin kesesuaian adop.(dikutip oleh (Wang, 48 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Hsu, Yen, Chiu, & Wei, 2010)). Tidak ada elemen yang pasti dalam menentukan suatu organisasi siap atau tidak siap dalam melaksanakan suatu inovasi. Wang, 2010 mencoba membuat lima elemen kunci penting yang menentukan suatu organisasi siap untuk melakukan inovasi layanan. Kelima kunci itu adalah Investasi strategis, toleransi resiko, keberhasilan inovasi, pengalaman IT dan kolaborasi antar organisasi. Penelitian ini menggunakan paradigma post positivis dengan metode campuran yang menggabungkan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam, kuesioner dan studi dokumen. Hasil penelitian sebagai berikut: 1. Investasi strategis Inovasi ini merupakan investasi Pusdiklat Kemnaker dalam rangka pencapaian tujuan. Untuk mencapai tujuan ini dibuatlah inovasi tahap awal yaitu e-learning. Dalam pelaksanaannya dibentuk tim dan tim ini sudah dilegalkan oleh Kepala Pusdiklat Kemnaker. Tim ini yang melaksanakan, memantau, bertanggung jawab dan melaporkan kepimpinan tentang perkembangan inovasi tahap awal ini. Permasalahan yang ada karena penggantian pimpinan sehingga Surat Keputusan (SK) terlambat dilegalkan tetapi inovasi sudah berjalan. Pelayanan baru ini berfokus pada tugas Pusdiklat Kemnaker untuk mendidik dan melatih PNS agar memiliki kompetensi seperti yang diharapkan. E-learning dalam pelaksanaannya dapat membantu pegawai Pusdiklat dalam melaksanakan tugasnya. Penggunaan teknologi menyebabkan beberapa pegawai yang mengalami kesulitan dari inovasi ini. Inovasi ini dianggap sebagai sesuatu hal yang tertutup. Perubahan harus KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 49 dilakukan secara keseluruhan apabila dilakukan secara tertutup maka bisa menimbulkan resistance. Peningkatan kompetensi pegawai dan perbaikan sarana serta prasarana inovasi diharapkan agar pegawai selanjutnya merasa dipermudah. Hampir semua pegawai merasa bahwa dengan diselenggarakannya inovasi tahap awal ini adalah investasi bagi Pusdiklat Kemnaker. Hal yang menjadi perhatian dari semua pegawai adalah investasi ini terus diperbaiki agar mendapatkan hasil yang maksimal dan dapat terus dikembangkan inovasi ini. Untuk itu pelaksanaan serta target yang jelas beberapa pegawai merasa sudah ada dan bahkan sudah terlaksana. Permasalahannya masih ada beberapa pegawai yang merasa tidak mengetahui pelaksanaan dan target tersebut. Ini menjadi tanggung jawab pemimpin dan pegawai semuanya untuk berkomunikasi mengenai pelaksanaan dan target agar semua pegawai menyadari tugas, fungsi dan tanggung jawabnya. 2. Toleransi resiko Pelayanan pendukung untuk mentoleransi resiko yang mungkin terjadi belum dilakukan oleh Pusdiklat. Pusdiklat hanya memperbaiki hambatan yang bisa menyebabkan resiko kegagalan. Dalam mentoleransi resiko, sistem anggaran menjadi kendala toleransi resiko. Pusdiklat akan tetap menjalani inovasi walaupun ada resiko kegagalan. Hal ini sebenarnya bisa diatasi dengan mempersiapkan sumber daya yang diperlukan untuk mentoleransi resiko kegagalan. Sumber 50 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 daya tidak bisa langsung dipersiapkan direncanakan satu tahun sebelumnya. karena harus Pusdiklat tidak dapat berubah dengan cepat dalam mengakomodir pemenuhan kebutuhan pelanggan. Karena ini organisasi publik yang terikat dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Tetapi untuk respon cepat, tanggap dan memenuhi kebutuhan pelanggan penanggung jawab bisa mengambil langkah-langkah yang dianggap baik. Hal ini juga harus dilaporkan dan persetujuan pimpinan langsungnya. 3. Keberhasilan inovasi Inovasi tahap awal adalah salah satu cara Pusdiklat Kemnaker dalam menjawab kebutuhan pelanggannya. Menurut sebagian besar pegawai Pusdiklat sudah memperkenalkan program ini ke pelanggannya. Walaupun ada juga yang menilai bahwa ini belum berjalan optimal. Kesuksesan suatu inovasi baru membutuhkan ide-ide baru untuk perbaikan inovasi itu. Berdasarkan hasil kuesioner maupun wawancara, sebagian besar pegawai merasa sudah dapat memberikan ide-idenya untuk kemajuan Pusdiklat. Ada beberapa orang pegawai ide-ide yang dapat disalurkan hanya dari golongan atau kelompok tertentu. Enterpreneurship dapat dibangkitkan melalui keterbukaan yang dilakukan Pusdiklat, sehingga inovasi baru dapat muncul dan perbaikan inovasi yang ada dapat berjalan. Pimpinan Kepala Pusdiklat berusaha terbuka dan mengali ide– ide yang ada. Sebagian besar pegawaipun berpendapat yang KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 51 sama. Ide-ide yang ada ditampung oleh Pusdiklat dan berusaha untuk dijalanin. Masalah anggaran kadang menjadi hambatan dalam merealisasi ide-ide tersebut. 4. Pengalaman IT Saat ini adalah era informasi teknologi. Semua kehidupan dapat dipermudah dengan adanya Informasi Teknologi (disingkat IT). Pusdiklat juga mulai menggunakan IT untuk memperkenalkan pengenalan pelayanan baru. Pelayanan baru diperkenalkan melalui website dan dibantu melalui surat edaran. Sosialisasi dan komunikasi yang dirasa masih kurang oleh sebagian kecil pegawai juga harus menjadi titik perhatian dalam peningkatan pelayanan. Dalam pelayanan e-learning ini semua dilakukan melalui IT baik via web, Whatsapp, email ataupun media IT lainnya. Untuk e-learning ini hampir semua kegiatan dilakukan melalui IT. Tidak ada yang tidak melalui IT. Perbaikan infrastruktur untuk proses penggunaan IT ini harus lebih ditingkatkan dan lebih cepat prosesnya, karena proses awal inovasi ini sudah berjalan. 5. Kolaborasi antar organisasi Pusdiklat Kemnaker bukanlah organisasi yang berdiri sendiri, melainkan keberadaannya tergantung dan bekerjasama dengan unit-unit didalam satu Kemnaker ataupun kementerian, lembaga lain maupun pihak swasta. Mitra organisai yang paling sering bekerjasama adalah Biro Organisasi dan Kepegawaian serta unit-unit teknis (masih bersifat internal). 52 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Kolaborasi yang dilakukan Pusdiklat hanya bersifat internal, sedangkan kolaborasi eksternal (Pemda, Universitas, swasta maupun kementerian dan instansi lain baik yang berada didalam maupun diluar negeri) belum maksimal. Kurang maksimalnya kolaborasi terutama dengan Pemerintah Daerah dan Universitas (khususnya Universitas Terbuka), sehingga kedepannya harus lebih dioptimalkan lagi. Dalam berkolaborasi tentunya ada aturan-aturan yang harus ditaati. Pusdiklat berkolaborasi dengan mitra organisasi lain juga hendaknya memiliki plattform. Untuk kedepannya Pusdiklat lebih mengoptimalkan kolaborasi dengan platform sehingga informasi-informasi yang diperlukan pimpinan atas dapat diberikan sebagai bahan untuk pengambilan keputusan. Pusdiklat menyadari bahwa perubahan yang tejadi diluar maupun didalam organisasi harus segera direspon. Kolaborasi yang ada untuk merespon perubahan itu mengalami hambatan. Hambatan yang meng hambat adalah anggaran. Kepala Pusdiklat berusaha mencari cara dan strategi agar Pusdiklat tetap dapat berkolaborasi dengan anggaran yang terbatas dan tanpa melanggar peraturan yang ada. C. Hambatan Kesiapan Inovasi Inovasi dipandang sebagai penting untuk kesuksesan suatu organisasi, tetapi kurangnya 'kesiapan inovasi' melumpuhkan potensi yang sudah dipersiapkan. Schein (1979) Hambatan yang sering terjadi di inovasi publik adalah keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia, persyaratan peraturan, kekurangan dukungan manajemen, insentif untuk staf, KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 53 ketidakpastian penerimaan dari pengguna, budaya pengambilan resiko dan resistance. (Giedraityte, 2014) Ada beberapa hambatan yang menjadi kendala dalam mempersiapkan inovasi di Pusdiklat Kemnaker. Hambatan yang utama adalah Sumber Daya Manusia (SDM) dan Anggaran. Lain-lain IT Kepemimpinan Tidak Diisi Anggaran Budaya Organisasi Perencanaan Sarpras SDM Pola Lama 0 10 20 30 40 Grafik 1. Hasil Kuesioner Hambatan Inovasi Di Pusdiklat Kemnaker n= 65 orang (Sumber: Data Primer Penelitian Mei 2017) 1. Sumber Daya Manusia Kondisi sumber daya manusia di Pusdiklat yang masih banyak pegawai sudah berusia lanjut dengan masa kerja lebih dari 25 tahun keatas dan tidak ada rotasi ke unit kerja lain. Hal ini menjadikan tantangan tersendiri untuk melakukan inovasi 54 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 diklat dengan menggunakan teknologi. Selain itu berdasarkan data kepegawaian di Pusdiklat, ada beberapa pegawai yang pendidikannya adalah SMA kebawah. Hasil wawancara dengan Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian Kemnaker, beliau akan mencoba menyelesaikan masalah ini dengan menambah pegawai atau meningkatkan kompetensi SDM yang ada di Pusdiklat. 2. Anggaran Proyek inovasi membutuhkan sumber daya keuangan. Tidak fleksible anggaran di pemerintahan menyebabkan anggaran adalah masalah utama. Hal ini dikarenakan prinsip sentralisasi dan disentralisasi kekuasaan dalam segala tingkatan. Secara mudahnya, sektor publik harus didukung dana yang flexible atau dana yang dapat disimpan untuk efisiensi. Kesulitan dari sumber dana yang tidak pasti ini, maka Borrins mengusulkan harus ada reform manajemen anggaran di sektor publik untuk meningkatkan inovasi. (yang dikutip oleh (Giedraityte, 2014)). D. Implikasi dan Rekomendasi Dengan berbagai macam permasalahan diatas, tulisan ini menyarankan agar pemberian perhatian dan alokasi anggaran untuk pengembangan sumber daya manusia lebih ditingkatkan. Begitupula dengan pimpinan Pusdiklat meningkatkan keterbukaan terhadap masukan ide dan informasi dari semua pihak dalam rangka meningkatkan inovasi teknologi. Serta peningkatan kualitas sumber daya manusia di Pusdiklat dengan melakukan studi banding ataupun diklat pendek. Peningkatkan kerjasama dan kolaborasi dengan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 55 pihak eksternal maupun internal terkait agar diklat yang dilaksanakan memiliki daya tarik bagi calon peserta diklat Referensi 1. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. 2. Yen, H. J., Wang, W., Wei, C.-P., Hsu, S. H.-Y., & Chiu, H.-C. (2012). Service Innovation Readiness: Dimensions and Performance Outcome. SciVerse ScienceDirect, 813-824. 3. Giedraityte, A. R. (2014). Innovation Process Barriers in Public Sector: A Comparative Analysis. International Journal of Business and Management; Vol. 9, Nomor 10. 4. Goffin, K., & Mitchell, T. (2010). Innovation Management. UK: Palgrave Matchmillan. ---***--- 56 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Seri Policy Brief – Nomor 007-2017 MENUMBUHKAN ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN PELAKU USAHA KECIL DAN MENENGAH oleh Agrin Syifarose Mulyadi dan Umanto Ringkasan Eksekutif Orientasi kewirausahaan yang dimiliki para pelaku usaha di sektor produksi oleh-oleh Malang memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja usaha yang ditandai dengan pertumbuhan angka penjualan produk, pertumbuhan profitabilitas usaha, pertumbuhan kualitas produk dan peningkatan inovasi produk. Sementara itu, sisi lain yang menarik dari studi ini adalah orientasi kewirausahaan lebih banyak direfleksikan oleh perilaku mereka sebagai risk-taker, dimana mereka percaya bahwa perubahan pada pasar membawa sebuah kesempatan yang positif terhadap usaha mereka. Penerapan sumberdaya manusia tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap kinerja usaha kecil dan menengah, sehingga penerapan sumberdaya manusia bukan merupakan variabel mediasi antara orientasi kewirausahaan dan kinerja. Kondisi tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam memberikan pelatihan dan pembekalan khususnya dalam hal pengambilan risiko usaha. A. Pendahuluan Pertumbuhan ekonomi Indonesia memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan UKM. Hal tersebut dibuktikan pada hasil KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 57 penelitian Keizer (2002) yaitu negara berkembang memiliki UKM yang paling inovatif. Aktivitas yang inovatif dari UKM mendukung pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan jumlah tenaga kerja yang terserap dan mengurangi jumlah pengangguran. Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia, pada tahun 2013 jumlah tenaga kerja yang diserap oleh UKM sebanyak 114.144.082 tenaga kerja, jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 6,03% dari tahun sebelumnya yaitu 107.657.509 tenaga kerja. UKM mengalami pertumbuhan jumlah setiap tahunnya, pada tahun 2013 jumlah UKM meningkat jumlahnya menjadi 57.900.787 usaha, dengan 57.189.393 usaha mikro, 654.222 usaha kecil dan 52.106 usaha menengah. Perubahan lingkungan yang cepat mendorong para pelaku usaha untuk memiliki orientasi kewirausahaan yang berkomitmen pada proses pengambilan risiko, inovasi, dan sikap proaktif terhadap perubahan yang terjadi (Miller, 1983). Peluang-peluang di masa depan memiliki kemungkinan tidak sesuai dengan batasan usaha strategik yang ada. Kompetensi yang dibutuhkan untuk memasuki peluang persaingan baru pada akhirnya mengharuskan setiap organisasi usaha untuk memadukan kompetensi-kompetensinya dalam menghadapi persaingan usaha tersebut. Hal tersebut tidak hanya dihadapi oleh para pengusaha dalam skala usaha yang besar, tetapi juga bagi UKM yang tersebar di Indonesia. Pada akhinya, inovasi, sikap proaktif dan juga keberanian dalam pengambilan risiko dibutuhkan untuk bertahan dan berkembang dalam pasar. Pengembangan sumberdaya manusia pada UKM diperlukan untuk peningkatan ketrampilan dan kreativitas karyawan yang 58 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 dapat menunjang inovasi pada perusahaan. Dengan adanya program-program pengembangan UKM diharapkan dapat menjadi pengetahuan baru yang dapat digunakan sebagai pengetahuan untuk pembelajaran dalam organisasi UKM. B. Pendekatan dan Metode Hasil kajian ini menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan memiliki hubungan signifikan dan positif dengan kinerja usaha kecil dan menengah di Malang Raya. Hal tersebut membuktikan bahwa pelaku usaha bersikap inovatif, proaktif dan berani mengambil resiko dalam usahanya memiliki kinerja usaha yang baik, semakin baik orientasi kewirausahaan pelaku usaha maka akan semakin baik pula kinerja usaha mereka. Perilaku usaha yang inovatif dan proaktif mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan dan persaingan pasar. Dalam hal ini para konsultan PLUT KUMKM Malang dan Dinas Koperasi dan UMKM memiliki peran dalam melakukan pembinaan dan memberikan informasi mengenai perkembangan pasar, sehingga para pelaku usaha terpicu kesadarannya untuk bersikap lebih inovatif dan proaktif. Dari hasil penelitian, sikap berani dalam mengambil resiko usaha memiliki peran yang paling besar terhadap kinerja usaha. Hal tersebut perlu diimbangi dengan adanya laporan keuangan sederhana dan perhitungan keuangan yang cukup agar keberanian dalam pengambilan resiko dapat meningkatkan kinerja usaha. Pengambilan resiko yang tidak berdasarkan perhitungan keuangan yang baik dapat berpengaruh terhadap kinerja usaha. Dalam hal ini para konsultan PLUT KUMKM di Malang, khususnya konsultan dalam bidang keuangan diharapkan memiliki program KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 59 pencatatan keuangan sederhana yang dapat membantu para pelaku usaha untuk membuat laporan keuangan yang berguna sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan usaha, misalnya keputusan penambahan modal dengan pinjaman. Dinas Koperasi dan UMKM dan Pemerintah Daerah dapat juga melakukan kerjasama dengan perusahaan yang menyediakan sistem akuntansi, baik dalam pengadaan sistem akuntasi bagi para pelaku usaha dan binaan terhadap pentingnya sistem keuangan yang baik. Kelemahan dari pada pelaku usaha kecil dan menengah adalah mereka tidak memiliki pencatatan keuangan dan aset yang baik yang dapat mendukung usaha mereka. Dengan adanya pencatatan keuangan yang baik, para pelaku usaha kecil dan menengah dapat berkontribusi terhadap pembayaran pajak dengan dasar laporan keuangan yang baik. Adanya usaha kecil dan menengah dapat menjadi sumber pendapatan pajak sehingga pemerintah daerah harus berperan lebih aktif dalam peningkatan kinerja usaha kecil dan menengah agar dapat meningkatkan pendapatan usaha kecil dan menengah tersebut yang dapat meningkatkan pendapatan pajak. Dari hasil penelitian ini juga diketahui bahwa penerapan sumberdaya manusia tidak memiliki pengaruh yang signifkan terhadap kinerja usaha kecil dan menengah di sektor produksi oleh-oleh Malang. hal tersebut dapat menjadi dasar bahwa pemerintah daerah melalui PLUT KUMKM di wilayah Malang diharapkan memberikan pembinaan tidak hanya terhadap pelaku usahanya saja tetapi juga para pegawai saat melakukan kunjungan rutin saat konsultasi. Para pegawai usaha kecil dan menegah di sektor produksi oleh-oleh Malang berfokus pada pelatihan ketrampilan dalam produksi, sehingga dapat meningkatkan produktivitas, tetapi pada kenyataannya bahwa 60 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 peningkatan produktivitas harus diiringi juga dengan peningkatan penjualan dan juga peningkatan profitabilitas agar kinerja usaha meningkat. Hal tersebut diperlukan peran dari para konsultan PLUT KUMKM untuk melakukan pembinaan mengenai perlunya orientasi kewirausahaan yang harus dimiliki oleh seluruh pegawai usaha, sehingga mereka dapat bersikap inovatif dan proaktif sehingga dapat membantu meningkatkan inovasi produk yang dapat bersaing di pasar. C. Implikasi dan Rekomendasi Berdasarkan penelitian ini direkomendasikan model pembinaan usaha kecil dan menengah khususnya di sektor produksi oleh-oleh Malang secara terpadu sebagaimana dijelaskan pada model di bawah ini: Pemda UKM PT Swasta Gambar Model Pembinaan Usaha Kecil dan Menengah di Sektor Produksi Oleh-Oleh Malang Sumber: diolah oleh penulis, 2017 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 61 Pemerintah daerah, perguruan tinggi dan pihak swasta memiliki peran yang cukup penting dalam perkembangan usaha kecil dan menengah. Pemerintah daerah melalui PLUT KUMKM di wilayah Malang, Dinas Koperasi dan UMKM, serta Dinas Perindustrian memiliki peran dan kewajiban dalam melakukan pembinaan usaha kecil dan menengah agar dapat meningkatkan kinerja mereka. Dalam hal pembinaan keuangan terkait dengan keputusan usaha dan juga pelaporan berkaitan dengan pajak pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan pihak swasta yaitu perusahaan yang menyediakan program sistem akuntansi sehingga para usaha kecil dan menengah juga memiliki laporan keuangan sederhana yang dapat mencatat aset mereka dan juga pendapat mereka, hal tersebut dapat memudakan pemerintah dalam melakukan pemetaan usaha kecil dan menengah karena adanya ketersediaan informasi keuangan mereka yang sudah tersusun dengan baik. Disisi lain, dengan adanya usaha kecil dan menengah yang terus meningkat dan memiliki laporan keuangan yang baik dapat memberikan kontribusi terhadap daerah dan negara dengan peningkatan pendapatan pajak. Hal tesebut menjadi salah satu hubungan timbal balik antara pemerintah dan juga usaha kecil dan menengah. Perguruan tinggi juga memiliki peran dalam melakukan pembinaan terhadap usaha kecil dan menengah. Di Malang Raya pembinaan dilakukan oleh perguruan tinggi, salah satunya adalah Universitas Brawijaya melalui Inkubator Bisnis yang bekerja sama dengan pihak swasta yaitu Danareksa. Pihak perguruan tinggi memberikan pembinaan dan pelatihan juga sarana konsultasi bagi para usaha kecil dan menengah, membina usaha kecil agar berkembang menjadi usaha menengah dan usaha menengah dan berkembang menjadi 62 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 usaha besar. Hubungan timbal balik juga terjadi antara perguruan tinggi dan usaha kecil menengah di Malang, perguruan tinggi sebagai akademisi mendapatkan usaha kecil dan menengah sebagai kajian ilmu mereka sehingga dapat berkontribusi untuk memberikan informasi berkaitan dengan usaha kecil dan menengah. Di Universitas Brawijaya sendiri, mahasiswa juga memiliki peran untuk melakukan magang atau pembinaan usaha kecil dan menengah di Malang sebagai salah satu pembelajaran mereka. Perusahaan swasta juga memiliki peran penting dalam perkembangan usaha kecil dan menengah di sektor produksi oleh-oleh Malang. Perusahaan swasta bekerjasama dengan pihak perguruan tinggi dan pemerintah daerah membantu dalam pengadaan dana pinjaman atau pembinaan bagi para usaha kecil dan menengah. Di Malang sendiri, Danareksa bekerjasama dengan Universitas Brawijaya untuk melakukan pembinaan dan pengadaan dana pinjaman usaha bagi sekitar 60 usaha kecil dan menengah di Malang, salah satunya di sektor produksi oleh-oleh Malang. Referensi 1. Kreiser, Patrick M. Louis D. Marino, Donald F. Kuratko, and K. Mark Weaver, (2013), Disaggregating entrepreneurial orientation: the non-linear impact of innovativeness, proactiveness and risk-taking on SME performance, Small Business Economics, Volume 40, Issue 2, pp 273–291. 2. Miller, D. (1983). The correlatess of entrepreneurship in three types of firms. Management Science. Vol. 29, Issue 7, pp.770-791 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 63 Seri Policy Brief – Nomor 008-2017 REFORMULASI KEBIJAKAN CFC (CONTROLLED FOREIGN COMPANIES) RULES DI INDONESIA oleh Nur Afianti Fajriyan dan Haula Rosdiana Ringkasan Eksekutif Kemunculan perusahaan multinasional (MNC) sebagai dampak dari sistem ekonomi dunia yang semakin mengglobal, dan perubahan peraturan perpajakan yang tidak seimbang dengan perkembangan globalisasi telah memberikan kesempatan untuk dilakukan tax avoidance. Secara umum tax avoidance yang dilakukan oleh MNC (seperti google, starbuck, amazone dan lainnya) adalah dengan mendirikan perusahaan terkendali dinegara yang memiliki tarif pajak rendah. Sebagai upaya menangkal tax avoidance tersebut, OECD dan G20 membuat rencana aksi berisikan rekomendasi penguatan CFC rules, yang diharapkan dapat diadopsi oleh semua negara anggota. Indonesia sebagai salah satu anggota G20 yang tidak lepas dari dampak ekonomi global, perlu mengadopsi rencana aksi tersebut untuk membuat CFC rules lebih efektif sebagai salah satu anti tax avoidance rules. A. Pendahuluan Arus globalisasi yang terjadi pada hampir setiap aspek kehidupan telah memberikan pengaruh terhadap sikap serta paradigma manusia, termasuk pada bidang ekonomi. Peningkatan FDI (Foreign Direct Investment) merupakan ciri 64 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 semakin mengglobalnya sistem ekonomi suatu negara. Peningkatan tersebut, khususnya outward FDI (investasi keluar Indonesia) perlu dicermati karena dapat meningkatkan potensi penghindaran pajak melalui pendirian CFC. Dado dan Sedmihradsky dalam Lang, Aigner, Scheuerle dan Stafaner (2004,127) menjelaskan bahwa CFC adalah entitas diluar negeri yang dikendalikan oleh WPDN (Wajib Pajak Dalam Negeri) di mana istilah CFC tersebut digunakan dalam kontek suatu rejim untuk menyerang persinggahan keuntungan dari WPDN ke tempat yang menerapkan tarif pajak rendah. Untuk menangkal terjadinya penghindaran pajak melalui pendirian CFC, maka suatu negara akan membuat CFC rules. Menurut Arnold dan Dibout (2001,40), CFC rules merupakan ketentuan yang digunakan untuk membatasi atau mengeliminasi penangguhan kewajiban pajak dari WPDN yang mendapatkan penghasilan dari entitas di luar negeri. Penghindaran pajak melalui pendirian CFC dapat terjadi karena adanya perbedaan perlakukan pemajakan antara penghasilan yang diperoleh WPDN dari cabang dan anak perusahaan. Cabang dan kantor pusat dianggap sebagai single entity sehingga penghasilan dari cabang dikenakan pajak berdasarkan current basis. Cabang tidak dapat menahan pembagian laba. Anak dan induk perusahaan dianggap sebagai separate entity di mana penghasilan dividen dari anak dikenakan pajak berdasarkan cash basis, sehingga anak dapat melakukan tax defferal melalui penangguhan pembagian dividen. Penangguhan yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan akan berakibat pada terjadinya eliminasi pemajakan oleh Indonesia. Indonesia telah memiliki CFC rules yang terdapat pada PMK Nomor256/PMK.03/2008. Namun CFC rules Indonesia telah lama tidak mengalami perubahan, sehingga kurang relevan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 65 dengan perkembangan model bisnis yang semakin rumit dan canggih. CFC rules Indonesia hanya mensyaratkan adanya kontrol pada entitas terkendali secara langsung. Persyaratan tersebut akan mudah dihindari dengan melakukan kontrol secara tidak langsung. Pada kasus panama papers, WPDN mendirikan perusahaan cangkang di luar negeri untuk menempatkan laba yang didapat. Kepemilikan perusahaan cangkang dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung melalui wali amanat atau yang dikenal dengan trust. Melalui skema tersebut maka CFC rules tidak dapat diterapkan sehingga penghasilan WPDN tidak akan dikenakan pajak di dalam negeri. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dari CFC rules Indonesia. Semakin maraknya isu penghindaran pajak yang dilakukan melalui pemanfaatan kelemahan CFC rules membuat OECD dan G20 mempublikasikan rencana aksi 3 tentang rekomendasi desain CFC rules, berisi enam building blocks yang diharapkan dapat diadopsi oleh negara anggota OECD dan G20 sehingga tercapai harmonisasi peraturan perpajakan dalam menangkal BEPS melalui CFC. Perubahan terhadap CFC rules Indonesia menjadi suatu yang wajib untuk dilakukan mengingat lemahnya CFC rules yang ada. B. Pendekatan dan Metode Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dua teknik yaitu studi pustaka dan lapangan. Studi pustaka dilakukan dengan membaca buku, jurnal dan lainnya yang bertema CFC sedangkan studi lapangan dilakukan dengan wawancara terhadap DJP (Direktorat Jenderal Pajak), konsultan pajak, dan akademisi perpajakan. 66 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Terdapat tiga tujuan CFC rules di Indonesia yaitu sebagai ketentuan untuk mencegah terjadinya tax defferal, melindungi capital export neutrality dan penerimaan negara. Untuk dapat mencapai ketiga tujuan tersebut, maka CFC rules harus diterapkan secara efektif dan efisien dengan meminimalkan kelemahan yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan penghindaran pajak. Terdapat beberapa kelemahan CFC rules Indonesia saat ini yaitu: 1. Kelemahan CFC Rules Dari Aspek Definisi CFC dan Kontrol Berdasarkan aspek definisi CFC , tidak ditemukan istilah ataupun definisi CFC secara eksplisit baik dalam UU PPh (Undang – Undang Pajak Penghasilan) maupun turunannya. Berdasarkan pasal 18 ayat (2) UU PPh, indikasi CFC dilihat berdasarkan kepemilikan modal minimum 50% oleh WPDN pada badan usaha di luar negeri yang tidak menjual sahamnya di bursa efek. Penggunaan istilah badan usaha di luar negeri dalam mendefinisikan CFC merupakan tindakan yang tepat karena lebih fleksibel dalam mengantisipasi kemungkinan adanya entitas baru yang diterapkan CFC rules. Tidak tertutup kemungkinan CFC rules dapat diterapkan terhadap entitas di luar negeri yang dikuasai WPDN secara hukum atau secara ekonomi, sepanjang entitas tersebut diperlakukaan sebagai separate taxable entity. Berdasarkan aspek definisi kontrol, CFC rules di Indonesia hanya mensyaratkan adanya kontrol berupa saham dengan persentase minimal 50%, padahal WPDN masih dapat melakukan kontrol terhadap badan usaha di luar negeri melalui hak istimewa yang dimiliki (misalnya kemampuan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 67 mengangkat dan memberhentikan direksi, pengaruh terhadap operasional dan finansial perusahaan) walaupun sahamnya dibawah 50%. Hal ini tentunya merupakan kelemahan yang dapat berpotensi menimbulkan penghindaran pajak. Kelemahan berikutnya adalah tidak adanya ketentuan yang jelas dan tegas tentang cakupan sifat kontrol sehingga wajib pajak menganggap bahwa syarat kontrol hanya bersifat langsung. Hal tersebut membuat penghindaran pajak dapat dilakukan dengan kepemilikan secara tidak langsung melalui artificial share ownership (perusahaan perantara). 2. Kelemahan CFC rules dari Aspek Exemption CFC rules merupakan antitax defferal, sehingga hanya diterapkan terhadap entitas yang memiliki resiko defferal. Menurut Arnold (1986,84) terdapat dua kondisi deferral dapat memberikan manfaat bagi WPDN untuk melakukan penghindaran pajak. Pertama, penghasilan yang berasal dari badan usaha di luar negeri yang diterima WPDN menjadi objek pajak di negara tempat WPDN (world wide income). Kedua, pajak efektif di luar negeri lebih rendah dari pajak domestik. Melalui kredit pajak yang ada di Indonesia, apabila tarif pajak efektif di luar negeri lebih tinggi dari Indonesia maka tidak akan ada penerimaan. Penerapan CFC rules ke semua negara hanya akan membuat CFC rules tidak efektif, sehingga perlu untuk dibuat definisi low tax juridiction. 3. Kelemahan dari aspek Definisi Penghasilan CFC Pasal 3 PMK 256/PMK.03/2008 menyatakan bahwa jumlah dividen yang menjadi hak wajib pajak terhadap laba setelah 68 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 pajak. Berdasarkan hal tersebut maka penghasilan CFC mencakup seluruh penghasilan yang diperoleh CFC (baik pasif maupun aktif). Indonesia menggunakan entity approach dalam mendefinisikan penghasilan CFC. Terdapat kelemahan dalam definisi tersebut karena seharusnya CFC rules tidak diterapkan terhadap entitas di luar negeri yang melakukan genuine economic exemption dan tidak memiliki motif penghindaran pajak. Sebagaimana diungkapkan pihak DJP bahwa terhadap entitas yang mampu membuktikan dirinya melakukan usaha sesungguhnya dan tidak memiliki motif penghindaran pajak suda seharusnya dikecualikan. Pengecualian tersebut dilakukan agar entitas luar ngeri yang dimiliki WPDN dapat bersaing dengan perushaan asing lainnya. 4. Kelemahan CFC Rules Dari Aspek Penghitungan Penghasilan CFC Berdasarkan pasal 1 PMK 256/PMK.03/2008 CFC rules akan diterapkan apablia hingga bulan keempat setelah berakhirnya kewajiban penyampaian SPT Tahunan atau setelah bulan ketujuh akhir tahun pajak badan usaha di luar negeri (bagi badan usaha yang tidak memiliki kewajiban SPT) belum membagikan dividen. Kelemahan yang terdapat pada ketentuan tersebut adalah hanya mengatur tentang saat diperolehannya dividen dan tidak mengatur tentang besar dividen yang harus diterima WPDN ketika tidak ditetapkan saat perolehannya. Oleh karena itu, penghindaran pajak masih dapat dilakukan dengan membagi dividen sebelum ditetapkan saat perolehannya tetapi tidak sesuai dengan jumlah yang seharusnya diterima oleh WPDDN. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 69 5. CFC Kelemahan CFC Rules dari Aspek Atribusi Penghasilan Atribusi penghasilan CFC dihitung berdasarkan persentase kepemilikan saham dikalikan dengan laba setelah pajak CFC, dengan persyaratan kriteria kontrol telah terpenuhi. Kelemahan yang terdapat pada ketentuan tersebut adalah dimungkinkan dilakukan penghindaran pajak melalui pengurangan persentase kepemilikan saham pada akhir tahun pajak. Sebaiknya CFC rules menggunakan periode kepemilikan sebagai bagian dari penghitungan besar atribusi penghasilan CFC. Kelemahan – kelemahan pada CFC rules telah memberikan kesempatan dilakukannya penghindaran pajak. Oleh karena itu, OECD dan G20 membuat rekomendasi berupa 6 building blocks, sebagai berikut: No 1. 2. 70 Ringkasan Rekomendasi Rencana Aksi 3 Ketentuan Rekomendsi Definisi CFC Memperluas definisi CFC yang tidak dan kontrol hanya mencakup Perseroan Terbatas tetapi juga transparent entity dan BUT (Bentuk Usaha Tetap). Memperluas kontrol yang minimum mencakup kontrol legal dan kontrol ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung Exemption Penggunaan ETR (efective tax rate) dan threshold sebagai acuan dalam mengecualikan penerapan CFC rules KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 3. Definisi penghasil an CFC 4. Penghitungan Penghasil an CFC 5. Atribusi Penghasilan CFC Memberikan kebebasan terhadap masing – masing yuridiksi dalam mendefinisikan penghasilan CFC berdasarkan tingkat resiko BEPS yang dihadapi Menggunakan ketentuan pengitungan penghasilan yang ada pada yuridiksi induk dan keharusan yuridiksi induk untuk membuat ketentuan spesifik tentang batasaan kerugian CFC. 1. Taxpayer yang 1.Batas atribusi mendapat harusnya sama atribusi degan batas penghasil an kontrol 2. Jumlah yang 2.Beradasarkan diatribusi kan proporsi 3. Kapan penghasil kepemilikaan an dimasuk kan dan periode dalam penghasil kepemilikan atau an taxpayer periode 4. Perlakukan pengaruh terhadap 3.Berdasarkan penghasil an ketentuan 5. Tarif pajak yang domestik yang diterapkan ada pada yuridiksi induk 4. Berdasarkan ketentuan domestik yang ada pada yuridiksi induk 5.CFC rules KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 71 6. Eliminasi Pemajakan Berganda harusnya menerapkan tarif pajak yuridiksi induk pada penghasilan 1.Memperbolehkan adanya kredit pajak atas pajak yang telah CFC bayar 2.Memperbolehkan adanya kredit pajak atas pajak yang telah CFC bayar 1. Atribusi penghasil an CFC menjadi subjek pemajakan entitas luar negeri 2. Lebih dari satu yuridiksi menerapk an CFC rules pada penghasil an CFC yang sama Sumber : Diolah penulis berdasarkan Designing Effective Controlled Foreign Company Rules, OECD C. Implikasi dan Rekomendasi Perubahan pada CFC rules Indonesia menjadi perlu untuk dilakukan mengingat semakin canggih skema penghindaran pajak yang dilakukan WPDN. Untuk membuat CFC rules lebih efektif, maka terdapat beberapa alternatif kebijakan sebagai berikut; Alternatif pertama: memperbaiki kelemahan yang ada CFC rules saat ini yaitu dengan memperluas definisi kontrol yang mencakup legal control secara langsung dan tidak langsung, 72 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 membuat definisi low tax juridiction berdasarkan list, menerapkan exemption pada genuine economic activity, dan mengatur tentang saat diperolehnya dividen serta besar dividen. Kelebihan alternatif ini adalah CFC rules Indonesia dapat diterapkan secara lebih luas mencakup kepemilikan saham secara langsung dan tidak langsung, dan terdapat kepastian hukum terkait negara yang diterapkan CFC rules (black list). Kekurangan alternatif ini adalah kontrol hanya mencakup saham sedangkan pada kenyataannya kontrol secara ekonomi juga mampu mengendalikan suatu entitas dan perlu dilakukan update terkait daftar negara yang diterapkan CFC rules. Alternatif kedua: Mengadopsi rekomendasi OECD untuk memperluas memperluas definisi kontrol mencakup legal dan economic control secara langsung dan tidak langsung, menggunakan ETR dalam mendefinisikan low tax juridiction, penghitungan atribusi penghasilan berdasarkan besar dan periode kepemilikan saham. Kelebihan alternatif ini adalah penerapan CFC rules lebih luas mencakup saham dan kontrol ekonomi secara langsung dan tidak langsung. CFC rules diterapkan secara lebih adil karena melihat pada perbandingan tarif pajak efektif. Kekurangan alternatif ini adalah sulit untuk membuktikan adanya kontrol secaraa ekonomi. Menimbulkan cost of taxation karena sulit membandingkan tarif pajak efektif pada setiap negara Berdasarkan beberapa alternatif tersebut, rekomendasi yang dapat diberikan yaitu: 1. Perlu untuk merubah UU PPh terutama pada pasal 18 ayat (2) dengan secara jelas dan tegas mengatur cakupan kontrol KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 73 yang meliputi secara laangsung dan tidak langsung. Untuk batasan kontrol, cara penghitungan dividen dan lainnyaa sebaiknya diatur pada level PMK. 2. Apabila UU PPh tidak dirubah, maka perbaikan CFC rules dapat dilakukan dengan membuat PMK yang secara tegas dan jelas mensyaratkan adanya kontrol secara langsung dan tidak langsung. Hal ini tidak bertentangan dengan UU PPh karena tidak terdapat penjelasan terkait sifat kontrol. Perlu untuk membuat aturan tentang definisi low tax juridiction maupun besar dividen agar CFC rules diterapkan secara efektif. Referensi 1. Arnold, Brian. J. The Taxation of Controlled Foreign Corporation: An International Comparison Canadia Tax Paper. 1986 2. Arnold, Brian .J and Michael J.McIntyre. International Tax Primer. The Hague: Kluwer Law International. 2002 3. Lang, Michael, Hans-Jorgen Aigner, Ulrich Scheuerle, and Markus Stefaner. CFC Legislation, Tax Treaties and EC Law. The Hague; Kluwer Law International. 2004 4. Pinto, Carlos. Tax Competition Of EU Law. The Hague; Kluwer Law Internasional. 2003. 5. Rohatgi, Roy. Basic International Taxation Volume 1:Principles. London:BNA International Inc. 2005 ---***--- 74 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Seri Policy Brief – Nomor 009-2017 KNOWLEDGE CREATION DI PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEGAWAI KEMENTERIAN KETENAGAKERJAAN oleh Alfiah Pra Mundiarsih dan Andreo Wahyudi Atmoko Ringkasan Eksekutif Kurangnya SDM penyelenggara maupun Widyaiswara baik dari segi kualitas maupun kuantitas dalam penyelenggaraan diklat dan kurangnya inovasi pengembangan SDM di Pusdiklat Pegawai Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menjadi salah satu isu yang perlu segera ditangani karena mempengaruhi rendahnya kepuasan peserta mengikuti diklat dan kinerja pusdiklat. Munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) bahwa pengembangan kompetensi bagi setiap PNS dilakukan paling sedikit 20 (dua puluh) jam pelajaran dalam 1 (satu) tahun menjadi tantangan bagi pusdiklat untuk menyiapkan SDM, teknologi maupun sarana dan prasarana. Pendekatan proses penciptaan pengetahuan (knowledge creation) melalui sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi dan internalisasi (SECI) bagi pegawai di Pusdiklat Kemnaker perlu dibangun untuk menghasilkan inovasi dan mewujudkan visi Pusdiklat sebagai “center of excellent, center of development dan center empowerment “(CEDE). KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 75 A. Pendahuluan Pentingnya pengetahuan dalam menghadapi perubahan pada organisasi publik dimulai dengan adanya reformasi birokrasi yang menitikberatkan pada kompetensi dan profesionalisme aparatur. Penciptaan pengetahuan (knowledge creation) bagi pegawai Pusdiklat Kemnaker menjadi salah satu hal yang perlu dikembangkan untuk mewujudkan visi Pusdiklat sebagai “center of excellent, center of development dan center empowerment “(CEDE) dan meningkatkan kinerja Pusdiklat. Melalui pengembangan knowledge creation, pegawai Pusdiklat diharapkan dapat menghasilkan ide-ide baru yang mendorong penyelenggaraan diklat yang berkualitas. Nonaka (1995:3) mendefinisikan penciptaan pengetahuan organisasi sebagai kemampuan organisasi secara keseluruhan untuk menciptakan pengetahuan baru, menyebarkan pengetahuan tersebut ke seluruh organisasi, dan menyatu dalam produk, pelayanan maupun sistem. Lebih lanjut Nonaka menjelaskan bahwa knowledge creation menjadi sebuah kunci dalam menciptakan inovasi secara terus menerus sehingga organisasi mampu berdaya saing. Menurut Nonaka (1994:14), knowledge creation dapat dipahami sebagai proses dimana organisasi menciptakan dan mendefinisikan masalah untuk mengembangkan pengetahuan baru dalam memecahkan masalah tersebut. Dalam hal ini konsep kreativitas dan inovasi menjadi bagian yang tak terpisahkan ketika sebuah organisasi menciptakan pengetahuan baru. Definisi tersebut menyiratkan bahwa salah satu indikator penciptaan pengetahuan dalam sebuah organisasi yaitu inovasi baik dalam bentuk produk, pelayanan maupun sistem yang baru. 76 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Pervaiz Ahmed (2002:58) mengemukakan bahwa konsep knowledge creation dipengaruhi oleh keahlian dan talenta yang terkait dengan pengetahuan tacit. Proses penciptaan pengetahuan tersebut menurut Nonaka (1995:62) diperoleh melalui konversi pengetahuan tacit dan eksplisit dengan empat mode yaitu sosialisasi, eksternalisasi, kombinasi dan internalisasi (SECI). Sosialisasi merupakan proses transfer pengetahuan tacit ke pengetahuan tacit melalui berbagi pengalaman seperti mental model dan keahlian teknis. Eksternalisasi merupakan proses transfer pengetahuan tacit ke pengetahuan eksplisit melalui konsep. Kombinasi merupakan proses transfer pengetahuan eksplisit yang ada ke pengetahuan eksplisit yang baru. Internalisasi merupakan proses transfer pengetahuan eksplisit ke tacit melalui learning by doing. Kurangnya jumlah dan kualitas Widyaiswara secara tidak langsung mengakibatkan menurunnya kepuasan peserta mengikuti diklat dan kurangnya inovasi. Data yang diperoleh dari Laporan Akuntabilitas Kinerja Instasi Pemerintah (LAKIP) Pusdiklat Pegawai Kemnaker tahun 2016 menunjukkan bahwa masih diperlukan pengembangan dan inovasi program pengembangan SDM di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan. Sementara disisi lain, data evaluasi penyelenggaraan diklat yang ada dari tahun ke tahun khususnya perbandingan hasil evaluasi diklat tahun 2014 dan 2015 menunjukkan bahwa kualitas tenaga pengajar dalam penyampaian materi yang terkait dengan metode pengajaran yang kurang variatif bahkan cenderung menurun serta penyelenggara yang tidak banyak mengetahui program pelatihan yang berjalan. (Sumber: Pusdiklat Pegawai Kemnaker disampaikan dalam Fact finding di Gatot Subroto, KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 77 Maret 2016). Hal tersebut secara tidak langsung mempengaruhi kepuasan dalam mengikuti diklat dengan nilai yang cenderung menurun. Grafik 1. 1 Hasil evaluasi penyelenggaraan diklat Kemnaker tahun 2014-2015 Sumber : Pusdiklat Pegawai Kemnaker Oleh karena itu, proses penciptaan pengetahuan (knowledge creation) berupa pengetahuan tacit akan penyelenggaraan diklat menjadi penting khususnya untuk meningkatkan kualitas SDM baik penyelenggara diklat maupun Widyaiswara sehingga dapat menghasilkan diklat yang berkualitas. B. Pendekatan dan Metode Penciptaan pengetahuan (knowledge creation) dengan model SECI dari Nonaka & Takeuchi menjadi rujukan yang dipilih sebab pertama, proses penciptaan pengetahuan dalam konsep 78 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 tersebut digambarkan secara lebih sederhana namun secara lengkap menjelaskan proses penciptaan pengetahuan dalam organisasi. Kedua, konsep tersebut mencakup tidak hanya pengetahuan apa yang diperlukan dalam organisasi dan bagaimana proses organisasi menciptakan pengetahuan baru, namun juga menjelaskan pembelajaran secara menyeluruh mulai dari level individu, kelompok, organisasi bahkan inter organsisasi. Ketiga, konsep tersebut tidak hanya sebatas pada penciptaan pengetahuan namun mencakup transfer pengetahuan yang ada dimana kedua hal tersebut menjadi sesuatu yang penting dalam mengembangkan pengetahuan organisasi untuk memeprkuat posisi organisasi dan emnajdikannya berdaya saing. Apabila dikaitkan dengan proses SECI secara keseluruhan, proses konversi pengetahuan yang terjadi di Pusdiklat cenderung dominan pada tahap kombinasi. Artinya pengetahuan yang dikonversi lebih banyak pada pengetahuan eksplisit ke eksplisit terutama pada pengetahuan eksplisit peraturan Menteri Ketenagakerjaan dan pengetahuan eksplisit kurikulum diklat. Sedangkan untuk sosialisasi masih terdapat ego sektoral yang mengakibatkan kurangnya transfer pengetahuan tacit antar bagian, pada tahap eksternalisasi, pengetahuan tacit masih tersimpan dalam brain pegawai dan belum dieksplor untuk dibukukan dan pada tahap internalisasi masih ditemukan kurangnya rasa kepercayaan dalam memberikan kesempatan kepada pegawai junior untuk melakukan pekerjaan sepenuhnya melalui proses learning by doing. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 79 C. Implikasi dan Rekomendasi Terdapat dua hal yang perlu segera ditindaklanjuti oleh Pusdiklat Pegawai Kemnaker untuk mencapai visi Pusdiklat sebagai center of excellent, center of development dan center of empowerment. Pertama, dominasi pengetahuan eksplisit yang menyebabkan sirkulasi spiral SECI hanya berputar pada tahap kombinasi. Hal tersebut ditunjukkan dengan lebih banyaknya pengetahuan eksplisit yang dihasilkan seperti Peraturan Menteri Tenaga kerja dan kurikulum diklat. Sementara Pusdiklat memerlukan pengetahuan tacit akan koordinasi dengan unit teknis, communication proficiency, pengelolaan jadual mengajar dan pengelolaan kelas untuk menentukan keberhasilan suatu diklat. Dengan adanya dominasi pengetahuan eksplisit, maka alternatif kebijakan yang dapat diberikan yaitu : Alternatif pertama, pengembangan pengetahuan tacit dapat dilakukan melalui forum diskusi atau Community of Practice untuk mengurangi ego sektoral sehingga proses apprenticeship dapat berjalan untuk meningkatkan sosialisasi. Kelebihan dari alternatif ini adalah pegawai dapat memiliki satu visi dan diberikan keleluasaan dalam mengembangkan ide-ide kreatifnya melalui berbagi pengetahuan dalam forum tersebut. Kekurangan dari alternatif ini adalah tidak seluruh pegawai bersedia berpartisipasi terutama terkait dengan kepercayaan, reward dan waktu yang disediakan untuk berbagi pengetahuan Alternatif Kedua, pengembangan pengetahuan tacit terutama dalam hal meningkatkan kualitas SDM pusdiklat dapat dilakukan dengan memberikan dukungan dana dan motivasi kepada pegawai untuk mengeksplor pengetahuan tacit ke 80 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 dalam bentuk buku. Kelebihan dari alternatif ini adalah dengan adanya dukungan dana dapat mempermudah dan memotivasi pegawai untuk bersedia mengeksplor pengetahuan tacit ke dalam bentuk buku. Kekurangan dari alternatif ini adalah akan menimbulkan dilema sebab diperlukan anggaran yang cukup besar ditengah adanya pengurangan anggaran. Alternatif Ketiga, pengembangan pengetahuan tacit pegawai dapat dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi pegawai untuk terjun langsung di lapangan melalui learning by doing khususnya untuk internalisasi tacit knowledge mengajar sehingga membantu meningkatkan pengetahuan pegawai sekaligus sebagai pembelajaran bagi pegawai. Kelebihan alternatif ini adalah melalui learning by doing akan mempercepat transfer pengetahuan tacit antar pegawai. Kekurangan alternatif ini adalah proses learning by doing sangat tergantung pada kompetensi pegawai yang bersangkutan. Hal kedua yang perlu dikaji lebih lanjut yaitu terkait dengan belum seluruh pegawai memiliki pandangan dan pengetahuan yang sama akan visi dan misi pusdiklat dan belum adanya database yang terintegrasi untuk seluruh bagian di Pusdiklat mengakibatkan kurangnya penyebaran informasi dan pengetahuan antar pegawai. Oleh karena itu, alternative kebijakan yang dapat diberikan yaitu : Alternatif pertama, untuk memperoleh pandangan yang sama akan visi dan misi Pusdiklat, maka pemimpin perlu mengkomunikasikan visi dan misi pusdiklat di setiap pertemuan pegawai sehingga pegawai dapat memahami dan bersedia menjalankan visi dan misi di setiap pekerjaan yang KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 81 dilakukan. Kelebihan alternatif ini adalah pegawai akan lebih mudah memahami visi dan misi pusdiklat melalui repetisi visi dan misi. Kelemahan dari alternative ini adalah perlu ketegasan dan komitmen dari pemimpin untuk mengkomunikasikan visi dan misi tersebut Alternatif kedua, untuk mengintegrasikan penyebaran informasi dan pengetahuan antar pegawai perlu disusun sistem database yang terintegrasi mulai dari pemanggilan peserta diklat, pelaksanaan diklat yang meliputi jadual hingga evaluasi peserta diklat, widyaiswara maupun penyelenggara dan database alumni diklat. Kelebihan alternatif ini adalah melalui sistem database informasi dan pengetahuan mengenai diklat dapat diakses dengan mudah oleh seluruh pegawai kapanpun dan dimanapun serta memudahkan penyebaran informasi antar pegawai. Kelemahan dari alternatif ini adalah diperlukan anggaran yang cukup besar serta SDM yang memadai dalam hal teknologi informasi sehingga database tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik. Berdasarkan beberapa alternatif tersebut, rekomendasi yang dapat diberikan yaitu : 1. Apabila melihat dominasi pengetahuan eksplisit yang ada di Pusdiklat, maka sebaiknya Pusdiklat Pegawai Kemnaker khususnya Kepala Pusdiklat dapat membentuk forum diskusi atau Community of Practice serta memberikan dukungan dana untuk diterapkan kepada pegawai Pusdiklat 2. Apabila melihat kecendrungan kurangnya pemahaman yang sama akan visi dan misi Pusdiklat serta kurangnya penyebaran informasi dan pengetahuan antar pegawai, maka sebaiknya Kepala Pusdiklat serta pejabat struktural 82 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Pusdiklat dan biro kepegawaian serta unit teknis bekerjasama untuk menyusun database diklat terintegrasi. Referensi 1. Ahmed K Pervais, Kwang Kok Lim, and Ann Loh. (2002). Learning Through Knowledge Management, Oxford: Butterworth Heinemann 2. Ikujiro Nonaka and Hirotaka Takeuchi. (1995). The Knowledge Creating Company, New York:Oxford University Press 3. Ikujiro Nonaka and Teece, David. (2001). Managing industrial knowledge : creation, transfer and utilization, London: Sage Publications 4. Nezafati Navid et.al. (2009). A dynamic model for measuring knowledge level organizations based on Nonaka and Takeuchi Model (SECI), Academic Journals, Vol. 4 , pp 531-542 ---***--- KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 83 Seri Policy Brief – Nomor 010-2017 MENUJU TATAKELOLA PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN LEBIH TERDESENTRALISASI DAN TERINTEGRASI oleh R. N. Afsdy Saksono , Eko Prasojo, dan Andreo Wahyudi Atmoko A. Pendahuluan Pertanian merupakan urusan bersifat konkuren (concurrent) yaitu urusan bersama antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Dengan kata lain, pembangunan pertanian direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan oleh keetiga level pemerintahan tersebut. Hasil studi1 memperlihatkan bahwa pembangunan pertanian sangat sedikit dibiayai dari anggaran daerah (porsi anggaran daerah untuk pembangunan prtanian tidak lebih dari 20% dari total biaya pembangunan pertanian) dan sebaliknya pemerintah pusat banyak berperan dengan pengeluaran biaya jauh lebih besar dibanding dana yang bersumber dari pemerintah daerah. Kenyataan tersebut, dan juga hingga saat ini pembangunan pertanian masih menyisakan masalah dimana relatif belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan, baik pada tingkat output misalnya ketersediaan infrastruktur pertanian misalnya lahan pertanian (pembukaan lahan/pencetakan sawah baru), irigasi, jalan, teknolgi (alsintan), terlebih lagi 1 Studi kasus: Provinsi Lampung, Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Jawa Tengah, dan Kabupaten Sukoharjo (Saksono, 2017). 84 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 pada tingkat ourcome misalnya produktivitas dan produksi, dan kesejahteraan petani/NTP, pemenuhan kebutuhan pangan (swasembada) dan apalagi ekspor pangan. Gambar 1 Sumber Pendanaan Pembangunan Pertanian Tabel 1. Anggaran Kementerian Pertanian 2013-2016, Rp Triliun 2013 2014 2015* 2016 17,8 15,5 32,70** 31,6 * APBN-P ** Anggaran awal Rp 15,8 T dan mendapatan tambahan Rp 16,9 T Sunber: Kementerian Pertanian, Gatranews (27 Januari 2015), Kementerian Keuangan dalam Kompas (2 November 2015) KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 85 Gambar 2 Porsi Anggaran Pembangunan Pertanian Provinsi Lampung 2014 berasal dari APBN Pembagian urusan juga mengandung makna pembagian wewenang antar level pemerintahan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 8/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebagai pengganti PP Nomor 25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, dan terakhir dimuat dalam Lampiran UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pada kenyataan pengaturan pembagian urusan juga menyisakan permasalahan, misalnya pengaturan yang bersifat umum dan berpotensi multitafsir dan juga masalah koordinasi. Dalam hal jalan, selama ini dikenal jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten/kota dan untuk konteks pertanian juga dikenal jalan usaha tani (JUT). Realitanya, pusat dalam hal ini Kementerian Pertanian melalui skema TP juga mengurus JUT. 86 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Selain itu, dalam urusan irigasi dikenal irigasi primer oleh pusat, irigasi sekunder oleh provinsi dan irigasi tersier oleh kabupaten/kota. Dalam konteks pertanian juga di kenal embung. Pada kenyataannya, pusat (Kementerian Pertanian) juga melaksanakan/mengurus embung yaitu melalui Tugas Pembantuan (TP), baik yang langsung ke kabupaten/kota maupun melalui TP provinsi. Realita yang tidak beda juga nampak pada urusan benih. Lebih lanjut, tantangan koordinasi dalam pelaksanaan urusan yang bersifat concurrent, tidak saja dalam perspektif vertikal (antar level pemerintahan) tetapi juga horisontal dan diagonal. Di Indonesia berlaku bahwa Gubernur merupakan kepala daerah dan sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah dan lebih lanjut bahwa dalam kedua kedudukan tersebut berlaku pada wilayah yang sama (integrated prefectoral system). Sebagai wakil pusat (prefect), gubernur melaksanakan peran berdasarkan asas dekonsentrasi dalam koordinasi baik antara kabupaten/kota dalam wilayan provinsi yang bersangkutan, antara kabupaten/kota dan provinsi, maupun antara organ kementerian di daerah dan pemerintah daerah, maupun antara daerah dan pusat. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 87 Gambar 3 Aliran Dana Pembangunan Pertanian dari Pusat Perencanaan pembangunan termasuk koordinasi yang selama ini banyak dari pusat telah menyebabnya membengkaknya ukuran kementerian sebagai realita yang mengikuti Parkinson’s Law. Perencanaan dan koordinasi secara langsung oleh pusat, selain berimplikasi pada ukuran organisasi kementerian, efektivitasnya juga masih belum optimal sebagaiman dapat dilihat dari adanya permasalahan koordinasi dan kinerja pembangunan selama ini. 88 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 B. Kebutuhan Rekonstruksi Terdapat realitas/temuan adanya penumpukan anggaran di pusat (K/L) yang pada kenyataannya juga dialirkan ke daerah dalam skema dana dekonsentasi dan tugas pembantuan, yaitu disertai dengan ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh pusat, bahkan termasuk DAK yang sebenarnya masuk dalam APBD. Sehingga dapat dikatakan bahwa koordinasi dan juga perencanaan dilakukan oleh pusat. Dalam konteks pembangunan pertanian, terkait hal tersebut muncul pertanyaan, pendekatan mana yang dipilih/diterapkan oleh pusat: pembangunan (oleh) daerah atau pembangunan di daerah (oleh pusat). Tatakelola dalam perencanaan pembangunan pertanian multilevel terdesentralisasi selama ini menggunakan pendekatan integrating role yaitu gubernur sebagai wakil pusat lebih sebagai/sekedar peran untuk kepentingan integrasikeselarasan dan belum mencerminkan sebagai insitusi terstruktur. Selain itu tatakelola besifat centralizedfragmented. Konstruksi tatakelola perencanaan pembangunan pertanian multilevel terdesentralisasi masih belum sepenuhnya sejalan dengan semangat kebijakan desentralisasi, tuntutan dan perkembangan/kecenderungan praktek perencanaan pembangunan yang lebih mengarah pada territorial approach dimana diperlukan posisi dan peran gubernur dalam hal ini sebagai wakil pemerintah pusat yang lebih besar dan aktif. Dalam konteks perencanaan pembangunan pertanian, peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak didukung dengan adanya organ/institusi yang membantu pelaksanaan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 89 peran gubernur tersebut. Peran koordinasi oleh gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dalam perencanaan pembangunan pertanian belum dilaksanakan secara terstruktur dan detail, melainkan melalui mekanisme Musrenbang. Hubungan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dengan institusi K/L di daerah dalam konteks perencanaan pembangunan masih belum terumuskan dengan baik dan belum berjalan optimal dan efektif. Lebih lanjut, pengendalian atas perencanaan pembangunan pertanian di kabupaten dalam rangka tercapainya keselarasan dengan provinsi dilakukan oleh Bappeda Provinsi (SKPD sebagai organ provinsi sebagai daerah otonom), bukan oleh organ gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dengan kata lain, masih belum adanya pemisahan yang tegas antara institusi sebagai organ pemerintah provinsi sebagai daerah otonom (dalam ini adalah SKPD) dan institusi sebagai organi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Konstruksi tatakelola perencanaan pembangunan pertanian multilevel terdesentralisasi yang direkomendasikan dengan butir-butir pokok: Pertama, organ gubernur sebagai wakil pemerintah pusat direkonstruksi sebagai berwujud organisasi/institusi formal dengan sebutan Sekretariat Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat berupa institusi formal, dipimpin oleh Sekreatris, merupakan pegawai pusat atas usulan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, Sekreatris Prefektur bertanggung jawab kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Sekretariat Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat terdiri atas beberapa biro, salah satunya adalah Biro Koordinasi Pembangunan, dengan kepala biro sebagai pegawai pusat. Staf pelaksana pada biro dapat berasal pemerintah provinsi (yang diperbantukan). 90 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Kedua, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, Gubernur memiliki wewenang mengkoordinasikan segala kebijakan dan program di wilayahnya, termasuk terhadap unit dari K/L yang berada di daerah di wilayahnya. Koordinasi yang dimaksud termasuk dalam bentuk upaya untuk menyelaraskan perencanaan dan pelakanan pembangunan oleh instansi vertikal dengan perencanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh provinsi sebagai daerah otonom dan juga dengan perencanaan yang dilaksanakan oleh kabupaten dengan memperhatikan konsep dan prinsip perencanaan pembangunan regional. Dalam konstruksi tersebut sebagai wakil pemerintah pusat memegang kewenangan kooridnasi penganggaran di wilayahnya. Anggaran pembangunan (pertanian) yang merupakan dan selama ini dipegang pusat (Kementerian Pertanian) dialihkan/ dialirkan kepada dan dikelola oleh Gubernur sebagai wakil pemerinah pusat. Dengan demikian, gubernur akan mengelola dan mengatur prioritas dan pendistribusian kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota semuanya dalam kerangka pembangunan regional dan untuk memastikannya sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Usulan dari provinsi dan kabupaten/kota untuk pembiayaan pembangunan daerahnya tidak lagi ke Kementerian Pertanian tetapi cukup ke Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat karena gubernurlah yang (dinilai) paling mengetahui kebutuhan pembiayaan dalam kerangka pembangunan regional. Anggaran yang mengalir ke “instansi vertical” di wilayahnya juga di bawah kordinasi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 91 Ketiga, hubungan koordinatif gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dengan “instansi vertikal” (unit pusat/ kementerian di daerah) yang selama ini pasif, yaitu instansi vertikal (unit pusat/ kementerian di daerah) melakukan koordinasi dengan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, dikonstruksi ulang menjadi aktif dimana gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah mengkoordinasikan “instansi vertikal” (unit pusat/ kementerian di daerah). Keempat, dana dekonsentrasi dimana dalam konstruksi saat ini dikelola, digunakan dan dipertanggungjawabkan oleh Dinas Pertanian provinsi mengacu Pasal 4 PP Nomor 7/2008 tentang Dekon dan TP (“sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dilaksanakan oleh SKPD provinsi berdasarkan penetapan dari gubernur” dan Pasal 31 (“Kepala SKPD provinsi bertanggungjawab atas pelaporan kegiatan dekonsentrasi” diusulkan perubahan menjadi dikelola, digunakan dan dipertanggungjawabkan organ Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Kelima, Bappenas berkedudukan dan berperan sebagai leading institution dalam perencanaan pembangunan untuk lebih menjamin keselarasan perencanaan pembangunan dan agar tercapai value at the enterprise level dalam hal tujuan pembangunan nasional. Artinya, konsultasi dan penilaian terhadap aspek substansi dari Rancangan Akhir RPJMD Provinsi diberikan oleh Bappenas dengan tetap berkoordinasi dengan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Sementara itu, peran Kemendagri dalam hal ini lebih pada posisi untuk pembinaan dan memastikan agar proses perencanaan oleh pemda dapat berjalan sesuai dengan ketentuan sehingga 92 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 mampu menghasilkan rencana pembanguan yang baik, sesuai dengan kebutuhan daerah dan tetap selaras dengan/dalam kerangka dengan rencana pembangunan nasional. D. Implikasi Setidaknya ada lima implikasi dari rekonstruksi tatakelola perencanaan pembangunan pertanian multilevel terdesentralisasi. Pertama, sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, Gubernur memiliki wewenang mengkoordinasikan segala kebijakan dan program di wilayahnya, termasuk terhadap unit dari K/L yang berada di daerah di wilayahnya. Koordinasi yang dimaksud termasuk dalam bentuk upaya untuk menyelaraskan perencanaan dan pelakanan pembangunan oleh instansi vertikal dengan perencanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh provinsi sebagai daerah otonom dan juga dengan perencanaan yang dilaksanakan oleh kabupaten dengan memperhatikan konsep dan prinsip perencanaan pembangunan regional. Kedua, konstruksi tersebut memerlukan peningkatan wewenang Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat khususnya dalam konteks penganggaran. Anggaran pembangunan (pertanian) yang merupakan dan selama ini dipegang pusat (Kementerian Pertanian) dialihkan/ dialirkan kepada dan dikelola oleh Gubernur sebagai wakil pemerinah pusat. Dengan demikian, gubernur akan mengelola dan mengatur prioritas dan pendistribusian kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota semuanya dalam kerangka pembangunan regional dan untuk memastikannya sebagai bagian integral dari pembangunan nasional. Usulan dari provinsi dan kabupaten/kota untuk pembiayaan pembangunan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 93 daerahnya tidak lagi ke Kementerian Pertanian tetapi cukup ke Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat karena gubernurlah yang (dinilai) paling mengetahui kebutuhan pembiayaan dalam kerangka pembangunan regional. Anggaran yang mengalir ke “instansi vertical” di wilayahnya juga di bawah kordinasi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Ketiga, Pemerintah pusat (Kementrian Pertanian) tidak lagi menerbitkan Petunjuk Teknis (Juknis), tetapi cukup berupa pedoman yang berisi norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK). Selanjutnya, juknis akan dibuat oleh Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat sebagai panduan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam perencanaan pembangunan pertanian dan pengajuan pembiayaan pembangunan. Selain itu, keempat, untuk lebih menjamin keselarasan perencanaan pembangunan dan agar tercapai value at the enterprise level dalam hal tujuan pembangunan nasional, maka perlu penegasan dan penguatan peran Bappenas, yaitu sebagai leading institution dalam perencanaan pembangunan. Artinya, konsultasi dan penilaian terhadap aspek substansi dari Rancangan Akhir RPJMD Provinsi diberikan oleh Bappenas dengan tetap berkoordinasi dengan Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Sementara itu, peran Kemendagri dalam hal ini lebih pada posisi untuk pembinaan dan memastikan agar proses perencanaan oleh pemda dapat berjalan sesuai dengan ketentuan sehingga mampu menghasilkan rencana pembanguan yang baik, sesuai dengan kebutuhan daerah dan tetap selaras dengan/dalam kerangka dengan rencana pembangunan nasional. Akhirnya, kelima, diperlukan peninjauan ulang dan lebih lanjut revisi kebijakan (bila diperlukan) untuk lebih memperjelas, 94 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 mempertegas, mengoptimalkan serta meningkatkan efektivitas kedudukan dan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, termasuk kebijakan (peraturan pemerintah dan peraturan Menteri Dalam Negeri) yang berlaku saat ini yang secara spesifik mengatur tentang dekonsentrasi, tugas pembantuan, tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang serta kedudukan keuangan gubernur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. E. Mitigasi Risiko Dalam hal potensi resiko pembekaan kelembagaan yaitu dengan kebutuhan kelembagaan formal berupa sekretariat Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, hal tersebut tidak terelakkan. Yang perlu diantispasi justru pada aspek personalia, artinya perlu dijaga agar tidak ada pembekaan jumlah jabatan dan personalia. Mengingat sebagian peran perencanan, koordinasi, pengendalian dan pengawasan pembangunan daerah, termasuk pengelolaan keuangan, beralih dari pemerintah pusat (kementerian) ke wakil pemerintah pusat di daerah (Gubernur sebagai wakil pusat beserta sekretariannya), maka struktur kelembagaan kementerian seharus tidak lagi besar seperti sekarang, dan sebagian bisa dialihkan ke Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat. Selain itu, kelembagaan dan personalia dinas di pemerintah provinsi juga dapat dikurangi karena pengelolaan dana dekonsentrasi dan TP yang selama ini dilakukan oleh dinas teknis karena belum ada atau berfungsinya Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat, dalam konstrusi tatakelola perencanaan pembangunan multilevel terdesentalisasi yang direkomendasikan, pengelolaan tersebut KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 95 dilakukan oleh Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat. Dengan antisipasi/solusi tersebut diharapkan tidak masalah dalam hal kemampuan/ kompetensi personalia Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat karena mereka merupakan pralihan dari kementerian dan juga dinas pemprov telah melakukan tugas dan peran tersebut. Potensi resiko berikutnya terkait dengan koordinasi antara Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat dengan kementerian teknis, Bappenas, Kemendagri dan Kementerian Keuangan. Komunikasi dan koordinasi antar lembaga tersebut sebenarnya selama ini juga sudah dilakukan, misalnya dalam analisis dan penetapan DAK dimana berbagai lembaga terkait terlibat di dalamnya. Komunikasi dan koordinasi perlu lebih intens angara Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat dengan kementerian teknis terkait dengan pelimpahan kewenangan ke Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat dalam hal penerbitan petunjuk teknis pemanfaatan DAK yang diselaraskan dengan kebutuhan wilayah provinsi dan mengacu pada panduan umum yang diterbitkan leh kementerian teknis. Koordinasi antar kabupatan/kota oleh Sekreatriat Gubernur sebagai wakil pusat juga perlu didesain dan dilakukan instensif untuk memastikan kualitas perencanaan pembangunan daerah sebagai bagian dari perencanaan pembangunan regional (provinsi) serta nasional. ---***--- 96 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Seri Policy Brief – Nomor 011-2017 ISU DISKRESI DALAM KASUS KORUPSI KEPALA DAERAH DI INDONESIA oleh Teguh Kurniawan, Eko Prasojo, dan Gunadi A. Apa yang menjadi masalah? Rendahnya penyerapan APBD di banyak Daerah oleh sejumlah pihak termasuk Pemerintah Pusat dikaitkan dengan maraknya kasus korupsi penggunaan anggaran oleh Kepala Daerah yang ditangkap KPK akibat kebijakannya dianggap bermasalah. Kondisi ini membuat ketakutan yang berlebihan dalam menggunakan anggaran Daerah, sehingga Pemerintah Pusat kemudian menghimbau penegak hukum untuk mengesampingkan faktor pidana apabila belum ada bukti akurat dan lebih mendahulukan proses administrasi pemerintahan. Bahkan Pemerintah Pusat membuat kebijakan yang dapat melindungi para pejabat termasuk Kepala Daerah dalam mengambil kebijakan, diantaranya melalui Inpres Nomor 1 Tahun 2016. Padahal sebelumnya telah terdapat sejumlah peraturan diantaranya UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang memberikan sejumlah pengaturan untuk melindungi Pejabat Administrasi Pemerintahan dalam melaksanakan tugasnya serta UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam salah satu bab nya mengatur mengenai Inovasi dan perlindungan terhadap kriminalisasi bagi Kepala Daerah yang melakukan inovasi. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 97 Ketakutan dari berbagai pihak tersebut, kemudian menimbulkan keingintahuan untuk mengetahui secara mendalam berbagai kasus korupsi yang melibatkan para Kepala Daerah yang ditangani oleh KPK. Sejumlah literatur mengemukakan mengenai penyebab maraknya korupsi di Pemerintahan Daerah termasuk di Indonesia. Berdasarkan pendapat dari sejumlah literatur, dapat dipahami bahwa korupsi yang dilakukan oleh Pemerintahan Daerah di Indonesia sangat mungkin terjadi akibat besarnya kekuasaan dalam pengelolaan anggaran yang tidak diimbangi dengan mekanisme transparansi, pengawasan dan akuntabilitas yang memadai sehingga rawan terhadap penyalahgunaan wewenang, serta akibat dari penggunaan diskresi yang tidak terkontrol. Terkait diskresi, studi awal yang dilakukan terhadap 30 kasus korupsi Kepala Daerah yang ditangani oleh KPK pada periode 2004-2010 dan telah memiliki kekuatan hukum tetap menunjukan bahwa 26 kasus diantaranya memiliki kemungkinan terkait dengan diskresi apabila dilihat dari substansi tindakan korupsi yang dilakukan berdasarkan dakwaan yang dikenakan kepada mereka oleh Jaksa Penuntut Umum. Karenanya, melalui kajian terhadap 5 kasus korupsi Kepala Daerah ini, berusaha diketahui apakah terdapat diskresi dalam berbagai kasus korupsi tersebut. Selain itu ingin dicari tahu seperti apa diskresi yang dapat menyebabkan terjadinya korupsi sehingga kemudian dapat mengusulkan sejumlah upaya atau solusi yang mampu mengurangi korupsi yang terjadi sebagai akibat dari kebijakan atau diskresi tersebut. B. Apakah yang dimaksud dengan Diskresi? Diskresi menurut Robbins adalah penggunaan penilaian pribadi pejabat untuk membuat kebijakan (Robbins, 2005, 98 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 186). Sementara menurut Davis (1969, 4 dalam Sainsbury, 2001, 297), seorang pejabat publik dapat melakukan diskresi manakala batasan efektif dari kekuasaan yang dimiliki membuatnya memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan dalam melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan. Adapun menurut Sullivan (2009, 10) diskresi merupakan kewenangan untuk membuat pilihan atau penilaian tentang bagaimana menerapkan suatu program atau undang-undang. Diskresi merupakan sebuah hal yang diperlukan dan tak terelakkan dalam rangka pelaksanaan tugas yang efektif dan dalam memastikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan (Burke, 1901 dalam Haque, 2004, 704). Karenanya, diskresi melibatkan hampir setiap aspek dari administrasi negara (Holzer dan Yang, 2005, 128). Meskipun penting, konsep diskresi tidak didefinisikan dengan baik dan faktor-faktor yang mempengaruhi penerapannya tidak dipelajari secara jelas (Scott, 1997 dalam Holzer dan Yang, 2005, 128). Karenanya, diskresi menghadapi sebuah dilema yang besar dalam penyelenggaraan Administrasi Negara, yakni merupakan hal yang sangat dibutuhkan sekaligus menimbulkan masalah (West, 1984 dalam Holzer dan Yang, 2005, 128). Salah satu masalah yang timbul dari penerapan diskresi adalah korupsi. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Gould dan AmaroReyes (1983, 17 dalam Quah, 1999, 74) maupun Glaeser dan Goldin (2006, 346). Menyangkut keterkaitan antara diskresi dengan korupsi maka menurut Klitgaard (1998a, 4, 1998b, 92), korupsi adalah adanya monopoli kekuasaan terhadap barang atau jasa ditambah dengan kekuasaan diskresi mengenai siapa KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 99 yang akan atau berhak menerima barang atau jasa tersebut tetapi tanpa diimbangi adanya akuntabilitas. Sejumlah literatur lainnya juga menjelaskan bahwa diskresi akan menghasilkan korupsi ketika terjadi penyalahgunaan dalam menerapkannya. Menurut Williams, penyalahgunaan terhadap diskresi merujuk pada sebuah situasi dimana sebuah diskresi dilakukan diantaranya dengan: (1) tidak masuk akal; (2) irasionalitas; (3) motif tersembunyi; (4) tujuan yang tidak tepat; (5) kegagalan untuk memperhitungkan pertimbangan yang relevan; (6) mempertimbangkan pertimbangan yang tidak relevan; dan (7) itikad buruk (Williams, 1994, 194). C. Apakah memang terdapat Diskresi dalam berbagai Kasus Korupsi oleh Kepala Daerah? Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh para Kepala Daerah bukanlah diakibatkan oleh diskresi karena tindakan yang dilakukan oleh para Kepala Daerah tersebut seharusnya terikat dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Diskresi dapat terjadi ketika peraturan perundang-undangan memberikan kebebasan kepada Kepala Daerah untuk memilih karena diberikan pilihan, karena tidak ada aturan hukum yang mengatur, karena norma aturan yang ada tidak jelas, serta karena adanya keaadaan mendesak. Berbagai tindakan dalam kasus korupsi Kepala Daerah terikat oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga jelas terdapat aturan hukum yang mengatur. Aturan hukum yang mengatur pun jelas serta tidak ada keadaan yang mendesak untuk membuat berbagai tindakan tersebut. 100 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Tindakan yang melanggar atau bertentangan dengan berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan sebagai tindakan pejabat yang melampaui kewenangan apabila mengacu kepada UU 30/2014 sehingga berbagai tindakan yang dilakukan oleh para Kepala Daerah tersebut menjadi tidak sah. Selain itu, berbagai keputusan yang diambil oleh para Kepala Daerah adalah keputusan yang dibuat dengan tidak mengikuti prosedur yang ada dalam berbagai peraturan perundangundangan. Ketidaktaatan terhadap prosedur merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan kewenangan dari para Kepala Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dari UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan yaitu keputusan dibuat secara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. D. Apa yang menyebabkan terjadinya korupsi oleh Kepala Daerah? Terdapat setidaknya 5 (lima) penyebab dari terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para Kepala Daerah di Indonesia, yaitu: (1) ketidaktahuan terhadap peraturan perundang-undangan; (2) permasalahan terkait sistem pengawasan dan pengendalian; (3) mahalnya biaya politik; (4) rendahnya integritas; serta (5) gaya hidup. Terkait dengan permasalahan ketidaktahuan terhadap peraturan perundang-undangan, terdapat kondisi yang sangat mengkhawatirkan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Indonesia dimana masih terdapat Kepala Daerah yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 101 pelaksanaan administrasi pemerintahan sebagai akibat dari latar belakang mereka sebelum menjabat. Kondisi ini tentu saja perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah sehingga dapat meminimalisir jumlah Kepala Daerah yang terkena masalah sebagai akibat kekurangpahaman ataupun ketidaktahuan mereka terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Ketidaktahuan ini hanya terjadi pada sebagian kecil Kepala Daerah saja. Sementara banyak dari Kepala Daerah yang melakukan tindak pidana korupsi sebenarnya mengetahui keberadaan peraturan perundang-undangan yang terbukti dilanggarnya. Dari berbagai literatur korupsi, khususnya yang dikembangkan oleh para ahli yang berasal dari negara maju, maka tidak terdapat satupun teori yang secara langsung menyebutkan mengenai faktor ketidaktahuan terhadap peraturan perundang-undangan sebagai salah satu penyebab korupsi. Teori yang ada tersebut umumnya mengemukakan bahwa penyebab korupsi kalaupun terkait dengan peraturan perundang-undangan adalah sebagai akibat dari faktor budaya sebagaimana misalnya yang dikemukakan oleh Holmes (1993) yang dikutip oleh Voskanyan (2000, 17). Menurut Holmes (1993), salah satu faktor budaya sebagai penyebab korupsi adalah sebagai akibat dari lemahnya tradisi dalam aturan hukum serta rendahnya tingkat penghormatan terhadap hukum. Artinya menurut Holmes, masyarakat mengetahui aturan tetapi tidak menghormatinya. Jadi bukan karena ketidaktahuan. Dengan demikian, ketidaktahuan terhadap peraturan perundang-undangan dapat dikategorikan sebagai faktor penyebab korupsi dalam konteks Indonesia dan negara 102 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 berkembang lainnya, mengingat ditemukan juga adanya literatur korupsi yang ditulis oleh penulis yang berasal dari negara berkembang menyebutkan mengenai ketidaktahuan terhadap peraturan perundang-undangan ini. Misalnya dalam Singh (2016, 5) yang mengungkapkan bahwa salah satu penyebab utama korupsi pada India modern adalah kurangnya kesadaran atau ketidaktahuan akan peraturan dan hukum. E. Upaya apa yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi oleh Kepala Daerah? Terdapat setidaknya 6 (enam) upaya atau solusi yang dapat ditempuh dalam rangka mencegah korupsi oleh Kepala Daerah di Indonesia dalam pembuatan keputusan atau kebijakan termasuk diskresi. Keenam upaya atau solusi tersebut adalah: (1) Peningkatan kapasitas dari Kepala Daerah; (2) Perbaikan terhadap sistem pengawasan; (3) Upaya untuk mengurangi biaya politik; (4) Membangun budaya integritas pejabat; (5) Membangun akuntabilitas kebijakan; serta (6) Membangun budaya anti korupsi di masyarakat. Upaya terkait Peningkatan kapasitas dari Kepala Daerah merupakan upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi permasalahan ketidaktahuan dari para Kepala Daerah terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan. Melalui kegiatan ini, kepada para Kepala Daerah yang baru terpilih akan diberikan pemahaman mengenai berbagai peraturan perundang-undangan, pemahaman mengenai batas kewenangan, serta berbagai pengalaman dari Kepala Daerah lain yang lebih berpengalaman. Salah satu peraturan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 103 perundang-undangan terpenting yang perlu dipahami adalah UU 30/2014 yang dirasakan dapat membantu untuk melindungi pejabat atau Kepala Daerah yang terkena masalah sebagai akibat ketidaktahuan mereka terhadap peraturan perundang-undangan, selain tentu saja UU 30/2014 memiliki pengaturan mengenai diskresi. Selain mengatur tentang diskresi, UU 30/2014 juga memberikan penekanan mengenai pentingnya pengujian terhadap penyalahgunaan kewenangan. Melalui pengujian ini dapat terlihat mana tindakan yang disengaja atau yang tidak disengaja karena ketidaktahuan seorang Kepala Daerah. Selain pelatihan, upaya peningkatan kapasitas dari Kepala Daerah juga harus didukung oleh pembuatan database yang dapat digunakan oleh Kepala Daerah dalam pengambilan kebijakan. Dengan database ini maka Kepala Daerah dapat mengetahui peraturan apa saja yang sudah tersedia dan harus diikuti, serta berbagai informasi lainnya yang dibutuhkan dalam proses penerbitan izin. Selain itu, melalui database ini juga dapat memantau berbagai kebijakan yang dibuat oleh para Kepala Daerah sehingga dapat menjadi sarana dalam melakukan pengawasan terhadap kebijakan Kepala Daerah termasuk dalam hal perizinan. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketidaktahuan terhadap peraturan perundang-undangan adalah dengan mengoptimalkan peran aparat penegak hukum seperti Kejaksaan dan KPK serta Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dalam memberikan konsultasi kepada Kepala Daerah sebelum membuat sebuah kebijakan. Terkait dengan keterlibatan APIP dalam pemberian konsultasi, maka perlu dipastikan terlebih dahulu kompetensi dan 104 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 profesionalitas dari APIP. Sehingga memberikan saran yang tidak tepat. APIP tidak akan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 105 ---***--- Seri Policy Brief – Nomor 012-2017 MEMANDANG TAX ALLOWANCE SEBAGAI BAGIAN DARI INSENTIF EKONOMI oleh Suhartanto dan Ning Rahayu A. Pendahuluan Salah satu kebijakan fiskal yang diimplementasi Pemerintah Indonesia adalah kebijakan fasilitas pajak penghasilan untuk penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu (tax allowance). Kebijakan tax allowance diimplementasikan Pemerintah Indonesia pada tahun 2007 dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor (Nomor) 1 tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. PP tersebut beberapa kali direvisi menjadi PP Nomor 62 Tahun 2008, PP Nomor 52 Tahun 2011, PP Nomor 18 Tahun 2015, dan terahir PP Nomor 9 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu. Semangat revisi regulasi kebijakan tax allowance bertujuan untuk memperluas kesempatan para perusahaan untuk mendapatkan fasilitas insentif pajak tax allowance, agar semakin banyak jumlah penerima fasilitas tersebut. Sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan masyarakat. Akan tetapi, 106 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 dari tahun ke tahun perusahaan penerima fasilitas insentif pajak tax allowances mengalami trend yang menurun. Berikut tabel 1.1 adalah perkembangan penerima fasilitas insentif pajak tax allowances tahun 2007-2016: Tabel 1.1 Perkembangan Penerima Fasilitas Insentif Pajak Tax Allowances Tahun 2007-2016 Total Tahun PMDN PMA Perusahaan 2007 25 27 52 2008 0 5 5 2009 4 6 10 2010 1 5 6 2011 0 5 5 2012 0 1 1 2013 0 2 2 2014 2 5 7 2015 1 7 8 2016 6 19 25 Jumlah 39 82 121 Sumber: telah diolah kembali dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal Melihat tabel 1.1, pada tahun 2007 pemenerima fasilitas insentif pajak tax allowances berjumlah 52 perusahaan. Pada tahun 2008 turun lebih dari 90% atau lima perusahaan penerima fasilitas insentif pajak tax allowances. Pada tahun 2012 paling buruk, karena terbatas satu perusahaan penerima fasilitas insentif pajak tax allowances. Pada tahun 2013 penerima fasilitas insentif pajak tax allowances mulai meningkat kembali, menjadi dua perusahaan. Tahun 2014 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 107 menjadi 7 perusahaan, tahun 2015 menjadi 8 perusahaan, dan tahun 2016 menjadi 25 perusahaan. Secara keseluruhan, peningkatan perusahaan penerima fasilitas insentif pajak tax allowances dari tahun 2013-2016 dibandingkan dengan tahun 2007 masih terpaut jauh. Penurunan jumlah perusahaan pemenerima fasilitas insentif pajak tax allowance akibat dari beberapa kali revisi regulasi kebijakan tax allowance. Penurunan jumlah perusahaan penerima fasilitas insentif pajak tax allowance menjadikan kebijakan tax allowance semakin jauh dari kelompok sasaran. Revisi tersebut meningkatkan kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi, sehingga mempersulit perusahaan untuk memperoleh fasilitas insentif pajak tax allowance. Revisi regulasi kebijakan tax allowance berdampak pada ketidakmampuan kebijakan untuk mencapai tujuan secara maksimal. Tujuan revisi regulasi untuk meningkatkan jumlah perusahaan penerima fasilitas insentif pajak tax allowance, namun yang terjadi adalah penurunan jumlah perusahaan penerima fasilitas insentif pajak tax allowance, sehingga tujuan revisi regulasi kebijakan tax allowance tidak tercapai. B. Urgensi Tax Allowance Mendorong investasi langsung baik melalui investasi asing maupun dalam negeri dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan percepatan pembangunan dibidang usaha tertentu dan/atau daerah tertentu. Memberikan pengurangan pajak berupa fasilitas, seperti investment allowances, accelerated depreciations, reduced rates, 108 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 dan loss carry forward, dan dapat juga diberikan kepada perusahaan apabila usulan permohonan fasilitas insentif pajak tax holiday ditolak oleh Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan. C. Isu dan Alternatif Kebijakan Dari tahun 2007-2016 kebijakan tax allowance mampu mendorong investasi langsung di bidang usaha dan/atau daerah tertentu, namun terbatas pada 121 perusahaan yang mendapat fasilitas insentif pajak tax allowance. Jumlah perusahaan yang mendapat fasilitas insentif pajak tax allowance tersebut sangat kecil dan tidak berdampak besar pada multiplier efek ekonomi. Jumlah perusahaan yang mendapat fasilitas insentif pajak tax allowance terbatas dikarenakan regulasi kebijakan tax allowance mengatur kriteria dan persyaratan yang berat untuk dipenuhi oleh perusahaan. Sehingga fasilitas insentif pajak tax allowance tidak acsessable untuk semua perusahaan. Terbatas untuk perusahaan yang memiliki investasi tinggi, menyerap tenaga kerja besar, dan memiliki kandungan lokal tinggi. Kriteria dalam regulasi kebijakan tax allowance membatasi perusahaan untuk memanfaatkan fasilitas insentif pajak tax allowance. Pada Pasal 3, PP Nomor 18 Tahun 2015 berlaku ketentuan perusahaan yang dapat diberikan fasilitas insentif pajak tax allowance sepanjang memiliki nilai investasi yang tinggi atau untuk ekspor, memiliki penyerapan tenaga kerja yang besar, atau memiliki kandungan lokal yang tinggi. Ketentuan tersebut sampai sekarang masih berlaku, karena revisi pada PP Nomor 18 Tahun 2015 menjadi PP Nomor 9 Tahun 2016 digunakan untuk merubah lampiran bidang usaha KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 109 dan/atau daerah tertentu. Pemerintah Indonesia menargetkan perusahaan besar yang mampu memenuhi salah satu atau lebih kriteria di atas. Sehingga terdapat batasan untuk perusahaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Perusahaan usaha mikro, kecil, dan menengah tidak memiliki akses untuk memanfaatkan fasilitas insentif pajak tax allowance. Apabila dibandingkan perusahaan yang mampu memenuhi salah satu dari ketiga kriteria di atas tidak sebanyak perusahaan usaha mikro, kecil, dan menengah. Pada PP Nomor 52 Tahun 2011 dan regulasi sebelum-sebelumnya usaha mikro, kecil, dan menengah dalam bentuk Koperasi dapat diberikan fasilitas insentif pajak tax allowance. Regulasi kebijakan tax allowance pada masa sekarang lebih memandang kapitasisasi modal dalam memberikan fasilitas insentif pajak tax allowance. Persyaratan dalam regulasi kebijakan tax allowance yang disyaratkan sulit untuk dipenuhi oleh perusahaan. Ada tiga instansi yang harus dilewati oleh perusahaan dalam proses permohonan fasilitas insentif pajak tax allowance dan masingmasing instansi memiliki ketentuan tersendiri. Tiga instalasi tersebut adalah Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian Teknis (sesuai dengan bidang usaha perusahaan pemohon), dan Direktorat Jenderal Pajak. Ketika di Badan Koordinasi Penanaman Modal perusahaan harus memenuhi 8 dokumen persyaratan. Pada saat di Kementerian Teknis perusahaan harus memenuhi persyaratan kualitatif yang diatur dalam Peraturan Menteri Teknis. Waktu di Direktorat Jenderal Pajak harus dinyatakan lolos dalam pemeriksaan oleh Direktur Peraturan Perpajakan II untuk diputuskan mendapat fasilitas insentif pajak tax allowance. Kebijakan tax allowance memberikan penawaran kepada 110 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 perusahaan dengan fasilitas, seperti investment allowance (pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah investasi selama 6 tahun, masing-masing sebesar lima persen pertahun), accelerated depreciations (penyusutan yang dipercepat atas aktiva berwujud dan amortisasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud), reduced rates (pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dividen yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10% atau tarif lebih rendah menurut tax treaty), loss carry forward (kompensasi kerugian yang lebih lama dari lima tahun tetapi tidak lebih dari 10 tahun. Memberikan empat fasilitas pajak sekaligus dalam satu kebijakan, berdampak besar bagi perusahaan penerima fasilitas insentif pajak tax allowance untuk menghemat biaya pajak dan meningkatkan pendapatan. Akan tetapi untuk mendapatkan fasilitas insentif pajak tax allowance perusahaan harus memenuhi kriteria dan persyaratan dari ketiga instansi di atas yang sulit untuk dipenuhi. Pada akhirnya tidak banyak perusahaan yang mendapatkan manfaat dari diimplementasi kebijakan tax allowance. Pemerintah Indonesia dipandang setengah hati dalam mengimplementasikan kebijakan tax allowance. Implementasi kebijakan tax allowance mampu mencapai tujuan, namun dihadapkan pada masalah kriteria dan persyaratan. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, perlu adanya perubahan sudut pandang dalam melihat kebijakan tax allowance. Pada saat ini kebijakan tax allowance dilihat sebagai paradigma kebijakan pajak. Paradigma kebijakan pajak secara umum adalah meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan negara. Sehingga implementasi kebijakan tax allowance dipandang KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 111 mengurangi penerimaan pajak. Seharusnya melihat kebijakan tax allowance sebagai paradigma insentif ekonomi. Kebijakan tax allowance bagian dari insentif ekonomi, seperti insentif lain yang mendorong investasi langsung. Sehingga kebijakan tax allowance lebih maksimal untuk mendorong investasi langsung dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan percepatan pembangunan di bidang usaha dan/atau daerah tertentu. D. Rekomendasi Kebijakan Mengubah sudut pandang kebijakan tax allowance dari paradigma pajak menjadi paradigma insentif ekonomi. Jadi menempatkan persetujuan atau penolakan permohonan fasilitas insentif pajak tax allowance dari Direktorat Jenderal Pajak kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, termasuk kebijakan fasilitas pajak lain. Membuat grading kriteria dan persyaratan perusahaan untuk mendapatkan fasilitas insentif pajak tax allowance. Setiap tingkatan kriteria perusahaan mendapatkan tingkat yang sama fasilitas insentif pajak tax allowance. Semakin tinggi tingkat kriteria dan persyaratan maka semakin tinggi fasilitas yang didapatkan, begitu juga dengan sebaliknya. Regulasi kebijakan tax allowance diatur dalam tingkatan peratuan undang-undang tersendiri bersama-sama dengan kebijakan fasilitas pajak lain. Referensi 1. Republik 112 Indonesia. Peraturan Pemerintah KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2011, tanggal 22 Desember 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- Daerah Tertentu. 2. ______. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2015, tanggal 06 April 2015 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- Daerah Tertentu. 3. ______. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2016, tanggal 15 April 2016 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- Daerah Tertentu. 4. Suhartanto. (2017). Efektivitas Kebijakan Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- Daerah Tertentu (Tax Allowance) Tahun 2007-2016. Jakarta: Universitas Indonesia. ---***--- KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 113 Seri Policy Brief – Nomor 013-2017 PENERAPAN SISTEM TUNJANGAN KINERJA PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN oleh Nizar dan Amy Yayuk Sri Rahayu Ringkasan Eksekutif Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan sistem tunjangan kinerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum efektif dalam mendukung peningkatan kinerja pegawai. Hal ini disebabkan oleh: (1) tidak tersedianya reward bagi pegawai yang berhasil mencapai target kinerjanya sehingga pemberian tunjangan kinerja sampai dengan saat ini belum mampu meningkatkan motivasi pegawai untuk berprestasi, (2) belum efektifnya penerapan SKP dan PKP dalam memotret kinerja pegawai yang sesungguhnya, (3) belum diterapkannya prinsip merit pay, dan (4) tidak adanya kajian tentang evaluasi penerapan sistem tunjangan kinerja yang sudah berjalan sampai dengan saat ini sehingga upaya-upaya yang sudah dilakukan untuk merevisi belum mampu memperbaiki sistem yang ada secara komprehensif. Selanjutnya, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penerapan sistem tunjangan kinerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Faktor-faktor tersebut meliputi: komitmen pegawai, evaluasi jabatan, komitmen pemimpin, evaluasi kinerja, dan sistem pendanaan. KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 114 A. Pendahuluan Menurut Pramusinto (2010:77-78) sistem kompensasi birokrasi yang ada di Indonesia mengandung beberapa kelemahan. Pertama, dari jumlah gaji dan tunjangan resmi, pendapatan yang dibawa pulang masih relatif rendah dan tidak sesuai dengan kebutuhan pegawai. Kedua, ketimpangan juga terjadi apabila gaji PNS dibandingkan dengan gaji pegawai di sektor privat. Secara umum, gaji pokok PNS di Indonesia masih kalah kompetitif dibandingkan dengan pegawai swasta. Ketiga, sistem kompensasi PNS di Indonesia terlalu rumit karena terdiri dari banyak komponen yang meliputi: gaji pokok dan penghasilan lain baik yang dapat berupa tunjangan, honor, maupun upah. Keempat, sistem kompensasi PNS tidak cukup memadai apabila ditempatkan sebagai jaminan hidup pada masa yang akan datang terutama bagi PNS yang sudah memasuki masa pensiun. Berlarut-larutnya penyelesaian berbagai permasalahan dalam kompensasi tersebut pada akhirnya menjadi salah satu penyebab rendahnya kinerja PNS. Pada sisi yang lain, Kumorotomo (2010) menyebutkan bahwa permasalahan rendahnya kinerja PNS bukanlah disebabkan oleh karena faktor gaji yang terlalu sedikit namun justru disebabkan oleh sistem penggajian yang kurang memiliki kaitan signifikan dengan indikator kinerja. Artinya bahwa sistem kompensasi yang berlaku sampai dengan saat ini belum menjadikan kinerja sebagai dasar dalam penentuan besaran gaji dan tunjangan yang akan diterima oleh pegawai. Sistem kompensasi yang ada masih mendasarkan perhitungan gaji dan tunjangan menurut aspekaspek konvensional seperti masa kerja. Hal ini menyebabkan iklim kerja menjadi tidak kompetitif dan tidak mampu KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 115 merangsang pegawai untuk meningkatkan kinerja walaupun pegawai yang bersangkutan memiliki potensi besar untuk maju. Walaupun bukan menjadi satu-satunya faktor penyebab jebloknya kinerja, sistem kompensasi secara bertahap mulai mendapatkan perhatian yang lebih serius dalam kerangka reformasi birokrasi. Hal ini terbukti dari digulirkannya pemberian tunjangan kinerja kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kementerian/lembaga. Pemberian tunjangan kinerja merupakan amanat Pasal 80 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Tujuan pemberian tunjangan kinerja adalah untuk menghargai kontribusi dan mendorong munculnya kinerja terbaik dari seorang pegawai (Worldatwork, 2007:311). Hal ini dilatarbelakangi oleh logika bahwa jika gaji dibuat memiliki hubungan ketergantungan dengan kinerja, maka motivasi pegawai untuk mencapai kinerja yang tinggi akan meningkat. Kementerian LH dan Kehutanan merupakan salah satu instansi pemerintah yang telah menerapkan tunjangan kinerja. Dari studi yang pernah dilakukan oleh Andrianto (2013:113) dapat diketahui bahwa praktik pemberian tunjangan kinerja di Kementerian LH dan Kehutanan belum bisa sepenuhnya memenuhi kebutuhan pegawai, belum mampu mendorong motivasi, belum mampu memacu produktivitas, dan belum kompetitif dengan sektor swasta. Penyebab dari permasalahan tersebut adalah karena tunjangan kinerja tidak didasarkan pada beban kerja, tanggung jawab, kompetensi, dan prestasi kerja pegawai. Dari hasil penelitian juga diketahui bahwa motivasi pegawai dalam bekerja terkait dengan adanya sikap disiplin yang diterapkan, keteladanan dan perhatian dari atasan, rasa 116 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 keadilan dalam pembagian tugas, dan suasana kerja yang kondusif serta sarana prasarana di dalam kantor. B. Pendekatan dan Metode Pendekatan penelitian yang digunakan adalah post-positivist dengan menggunakan metode kualitatif dalam mengumpulkan data. Metode ini terdiri dari 2 (dua) teknik yaitu wawancara mendalam (in-depth interview) dan dokumentasi. Pengambilan informan dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Informan berikutnya ditentukan secara snowball sampling. Peneliti menggunakan metode analisis interaktif dari Miles dan Huberman (2004:16-19) untuk menganalisis data yang diperoleh dari lapangan. Untuk memperkuat keabsahan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi. Jenis triangulasi yang digunakan adalah triangulasi metode. C. Rekomendasi Sebagai upaya untuk mengatasi sejumlah permasalahan dalam penerapan sistem tunjangan kinerja di Kementerian LHK, maka alternatif solusi yang dapat diterapkan yaitu: (a) diperlukan adanya reward and punishment yang nilainya disesuaikan dengan tingkat pencapaian kinerja pegawai, (b) diperlukan adanya upaya untuk mengaitkan pemberian tunjangan kinerja dengan tingkat pencapaian kinerja pegawai, (c) diperlukan adanya penyusunan standar kinerja jabatan dan pelatihan penilai (rater training) serta perubahan pendekatan penilaian, (d) diperlukan adanya penyesuaian penerapan e-kinerja dengan KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 117 memperhatikan aspek kebutuhan dan kondisi internal Kementerian LHK, (e) dibutuhkan penciptaan satker pilot project yang nantinya akan berfungsi sebagai pembina bagi satker-satker lain di lingkup kerjanya, dan (f) diperlukan adanya kajian tentang evaluasi penerapan sistem tunjangan kinerja yang selama ini sudah/sedang berjalan. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penerapan sistem tunjangan kinerja di Kementerian LHK perlu dijadikan prioritas dalam proses perbaikan sistem tunjangan kinerja yang ada. Untuk itu, maka diperlukan alternatif upaya-upaya sebagai berikut: (a) untuk mendorong komitmen pegawai dalam mencapai target kinerja harus diwujudkan dengan pemberian reward dan penegasan punishment yang dikaitkan dengan pencapaian kinerja, (b) penyusunan evaluasi jabatan harus didasarkan pada dinamika jabatan, (c) untuk mendorong komitmen pemimpin, maka harus diwujudkan dalam bentuk pemberian reward dan penerapan punishment yang dikaitkan dengan pencapaian kinerja, (d) dalam evaluasi kinerja, maka diperlukan adanya penyusunan standar kinerja jabatan dan perubahan pendekatan penilaian kinerja khususnya untuk penilaian PKP, dan (e) agar pendanaan tunjangan kinerja dapat tercukupi, maka diperlukan konsistensi dalam efisiensi dan efektivitas berbagai pos anggaran program. Referensi 1. Andrianto, Findiana Galih. (2013). Analisis Remunerasi di Balai Pengelolaan Daerah Air Sungai Unda Anyar di Bali. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. 118 KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 2. Kumorotomo, Wahyudi. (2011). Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) dan Upaya Peningkatan Kinerja: Kasus di Provinsi Gorontalo dan Provinsi DKI jakarta. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Vol. 5, Nomor 1 Juni 2011. Jakarta: Badan Kepegawaian Negara. 3. Miles, Matthew B dan Michael A. Huberman. (2004). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. 4. Pramusinto, Agus. (2010). Beberapa catatan penting tentang sistem penggajian pegawai negeri sipil di indoensia. Dalam Wahyudi Kumorotomo dan Ambar Widaningrum. (2010). Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gava Media. 5. WorldatWork. (2007). The Worldatwork Handbook of Compensation, Benefits and Total Rewards: A Comprehensive Guide for HR Professionals.. New Jersey: John Wiley and Sons Inc. ---***--- KUMPULAN POLICY BRIEF FIA UI 2017 119