Uploaded by onosutriyono828

10

advertisement
SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA
TRANSPORTASI UMUM BUS RAPID TRANSIT (BRT)
KOTA MAKASSAR
OLEH :
M. SATRIA PUTRA
B111 13 107
BAGIAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
i
SKRIPSI
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA
TRANSPORTASI UMUM BUS RAPID TRANSIT (BRT)
KOTA MAKASSAR
OLEH :
M. SATRIA PUTRA
B111 13 107
Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka penyelesaian studi
Sarjana dalam Program Kekhususan Hukum Perdata Program
Studi Ilmu Hukum
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
i
PENGESAHAN SKRIPSI
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN
iv
ABSTRAK
M. Satria Putra (B111 13 107), dengan judul “Perlindungan Hukum
Bagi Pengguna Jasa Transportasi Umum Bus Rapid Transit (BRT) Kota
Makassar”, di bawah bimbingan Bapak Anwar Borahima sebagai
pembimbing I dan Ibu Oky Deviany sebagai pembimbing II.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pelayanan
Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memenuhi hak-hak
konsumen dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen, serta untuk mengetahui dan memahami
pelaksanaan aturan yang dilakukan oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota
Makassar sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang
Pengangkutan Darat dalam memberi pelayanan terhadap pengguna jasa
transportasi.
Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Metode pengumpulan
data yang digunakan dalam peneltian ini adalah berupa kuesioner,
wawancara, observasi, dan studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari
hasil penelitian dianalisis secara kualitatif, yaitu mengemukakan masalah,
menggunakan pendapat dan memecahkan permasalahan dari aspek
hukumnya.
Hasil penelitian menemukan bahwa pelayanan Bus Rapid Transit
(BRT) Kota Makassar dalam memenuhi hak-hak konsumen dalam
kaitannya dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen belum sepenuhnya memenuhi hak-hak konsumen, khususnya
hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi
yang benar, jelas, dan jujur; hak untuk diperlakukan dan dilayani secara
benar; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian akibat pelayanan yang diberikan oleh Bus Rapid Transit
(BRT). Pelaksanaan UU Angkutan Darat oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota
Makassar dalam memberikan pelayanan terhadap pengguna jasa
transportasi belum sepenuhnya mengimplementasikan ketentuan yang
diatur dalam UU LLAJ maupun peraturan pelaksanaannya, khususnya
ketentuan mengenai fasilitas terminal yang yang wajib memenuhi
persyaratan keselamatan dan keamanan; kewajiban untuk menyerahkan
tiket penumpang; dan ketentuan yang mengharuskan adanya pelayanan
dan fasilitas khusus terhadap penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil.
Kata Kunci : Perlindungan hukum, konsumen, Bus Rapid Transit (BRT).
v
ABSTRACT
M. Satria Putra (B111 13 107), Legal Protection To Public Transportation’s
Consumers of Bus Rapid Transit (BRT) in Makassar City, guided by Anwar
Borahima as First Adviser and Oky Deviany as Second Adviser.
The purposes of this research are to know and understand the service
of Bus Rapid Transit (BRT) of Makassar City in fulfilling the consumer rights
in relation to Law Number 8 Year 1999 About Consumers Protection, and
to know and understand the implementation of the rules conducted by Bus
Rapid Transit ( BRT) of Makassar City as stipulated in the Land
Transportation Act in providing services to transport service users.
This research is an empirical law study. Data collection method used
in this research is in the form of questionnaires, interviews, observation, and
literature study. The data obtained from the results of the study were
analyzed qualitatively, namely raising problems, using opinions and solving
problems from legal aspects.
The results of the study found that the Bus Rapid Transit Service
(BRT) of Makassar City in fulfilling the consumer rights in relation to Law
No. 8 of 1999 About Consumer Protection has not fully fulfilled the rights of
consumers, in particular the right to the true, clear and honest information;
the right to be treated and served properly; and the right to compensation,
and / or reimbursement due to services provided by the Bus Rapid Transit
(BRT). Bus Rapid Transit (BRT) in implementing regulations that have been
regulated Land Transportation Law in providing services to transportation
service users have not applied the provisions stipulated in the UU LLAJ and
its implementation regulations, in particular the provisions concerning
terminal facilities which are required to meet safety and security
requirements; conditions about the criteria for transport services of persons
who must have scheduled and regular routes; liability to give the ticket to
passengers; and provisions for which there are no special services and
facilities for persons with disabilities, the elderly, and pregnant women.
Keywords : Legal Protection, Consumer, BRT Trans Mamminasata.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Transportasi Umum Bus Rapid
Transit (BRT) Kota Makassar” sebagai salah satu syarat meraih gelar
Sarjana Hukum pada program studi ilmu hukum di Universitas Hasanuddin
Makassar.
Selama penyusunan skripsi ini, tidak terlepas dari berbagai
rintangan, namun berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik
moril maupun materil akhirnya penulis dapat melaluinya. Rasa terima kasih
setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada kedua orang tua tercinta, H.
Solle Abdul Hamid, S.E. dan Dwi Indriyani Purnama Sari atas segala
memotivasi, jerih payah dan doa demi keberhasilan penulis.
Pada kesempatan ini juga, penulis dengan segenap kerendahan hati
menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Rektor Universitas Hasanuddin, Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina
Pulubuhu, MA., beserta Wakil Rektor I, Prof. Dr. Ir. Junaedi
Muhidong, M.Sc., Wakil Rektor II, Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H.,
M.H., Wakil Rektor III, Dr. Ir. Abd. Rasyid Djalil, M.Si., Wakil Rektor
IV, Prof. dr. Budu, Ph.D. Sp.M(k). M.Med.Ed.
vii
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Ibu Prof. Dr. Farida
Patittingi S.H., M.Hum., Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H.
selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar., S.H., M.H. selaku Wakil Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan Bapak Prof Dr.
Hamzah Halim, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
3. Bapak Winner Sitorus, S.H., M.H., LL.M. selaku Ketua Bagian
Hukum Perdata dan seluruh anggota bagian hukum perdata di
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.
4. Bapak Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H. selaku Pembimbing I
dan Ibu Dr. Oky Deviany, S.H., M.H. selaku pembimbing II yang
selalu memberikan arahan dan pendapat dalam penulisan skripsi ini.
5. Ibu Prof. Dr. Badriyah, S.H., M.H., Ibu Dr. Harustiati A. Muin, S.H.,
M.H., dan Ibu Dr. Sakka Pati, S.H., M.H., selaku tim penguji yang
memberikan masukan dan saran guna untuk penyempurnaan skripsi
ini.
6. Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H, selaku pembimbing
akademik yang telah memberikan tuntunan kepada penulis selama
menempuh
pendidikan
pada
Fakultas
Hukum
Universitas
Hasanuddin Makassar.
7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Makassar yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Terima kasih atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan kepada
penulis selama menempuh pendidikan pada Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin.
8. Bapak dan Ibu Pegawai Akademik, Petugas Perpustakaan, dan
segenap
Civitas,
Akademika
Fakultas
Hukum
Universitas
Hasanuddin yang telah memberikan pelayanan administrasi yang
sangat baik serta bantuan lainnya.
viii
9. Kakak Lisa Satriani E. P., S.E. dan Ruwanti Satriani, S.Kom. yang
selalu memberikan semangat kepada penulis mulai dari awal
perkuliahan hingga selesainya skripsi ini.
10. Aldira Nurlita F. N. yang telah membantu dan menemani mulai dari
awal perkuliahan hingga selesainya penulisan skripsi ini.
11. Muh. Ikhlas Wicaksono yang telah memberikan inspirasi sehingga
penulis mengangkat judul dan menyelesaikan skripsi ini.
12. Daniel Baan, S.E. yang telah membantu penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
13. Teman - teman “rumput” & “muehehe” yang senantiasa mendoakan
dan mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati menerima setiap
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, sehingga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya dan mahasiswa Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin Makassar pada umumnya.
Makassar,
November 2017
M. Satria Putra
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................
i
PENGESAHAN SKRIPSI ..................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .....................................
iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN ..............................................
iv
ABSTRAK .........................................................................................
v
KATA PENGANTAR .........................................................................
vii
DAFTAR ISI .......................................................................................
x
DAFTAR TABEL ...............................................................................
xi
BAB I
PENDAHULUAN ..............................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..............................................
1
B. Rumusan Masalah .......................................................
6
C. Tujuan Penelitian .........................................................
6
D. Manfaat Penelitian .......................................................
7
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................
8
BAB II
A. Pengertian Konsumen, Pelaku Usaha, Barang, dan
Jasa dalam Hukum Perlindungan Konsumen .............
8
1. Konsumen ............................................................
8
2. Pelaku Usaha ........................................................
11
3. Barang ..................................................................
11
4. Jasa .......................................................................
12
B. Asas Perlindungan Konsumen ..................................
14
C. Tujuan Perlindungan Konsumen ...............................
17
D. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ...
17
1. Hak dan Kewajiban Konsumen .............................
17
2. Hak dan Kwwajiban Pelaku Usaha ........................
22
E. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Angkutan Umum .....
25
1. Pertanggungjawaban Dalam UUPK........................
26
2. Pertanggungjawaban Dalam UU LLAJ ...................
26
F. Penyelesaian Sengketa Konsumen ...........................
28
x
G. Tinjauan Tentang Pengangkutan ...............................
35
1. Pengangkutan Menurut Undang-Undang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan ....................................
35
2. Jenis-Jenis Pengangkutan ....................................
36
3. Standar Pengelolaan Alat Angkut dan Pelayanan Minimal Angkutan ...........................................
37
H. Pengangkutan Orang .................................................
39
1. Pengangkutan Orang dengan Kendaraan
Bermotor dalam Trayek .........................................
39
2. Pengangkutan Orang dengan Kendaraan
BAB III
BAB IV
Bermotor Tidak dalam Trayek ..............................
40
I. Tinjauan Tentang Perum DAMRI .................................
41
METODE PENELITIAN .....................................................
44
A. Lokasi Penelitian .........................................................
44
B. Populasi dan Sampel ..................................................
44
C. Jenis dan Sumber Data ..............................................
46
D. Metode Pengumpulan Data .........................................
47
E. Analisis Data ...............................................................
48
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ......................
49
A. Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar
dalam Memenuhi Hak-Hak Konsumen .......................
49
B. Pelaksanaan UU Angkutan Darat oleh Bus Rapid
Transit (BRT) Kota Makassar dalam Memberikan
Pelayanan terhadap Pengguna Jasa Transportasi .....
87
PENUTUP ........................................................................
102
A. Kesimpulan .................................................................
102
B. Saran ..........................................................................
103
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
104
BAB V
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia .......................
51
Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
52
Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin .........
52
Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan ..............
53
Tabel 4.5 Jumlah Penggunaan Bus Rapid Transit (BRT) ...................
53
Tabel 4.6 Keperluan Masyarakat Menggunakan Bus Rapid Transit
(BRT) .................................................................................
55
Tabel 4.7 Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid
Transit (BRT) di Halte ........................................................
57
Tabel 4.8 Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid
Transit (BRT) di Dalam Bus ...............................................
63
Tabel 4.9 Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid
Transit (BRT) Ketika Turun Bus .........................................
68
Tabel 4.10 Tanggapan Responden Mengenai Ada/Tidaknya Karcis
yang Diberikan ...................................................................
74
Tabel 4.11 Tanggapan Responden Mengenai Uang Kembalian .........
75
Tabel 4.12 Reaksi/Tanggapan Responden .........................................
81
Tabel 4.13 Tempat Mengajukan Keberatan Oleh Konsumen .............
82
Tabel 4.14 Tanggapan Responden mengenai Kerugian Selama
Menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) ..........................
85
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara yang merdeka tentunya memiliki sebuah
cita-cita yang luhur. Tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia
sebagaimana tertuang dalam UUD NRI 1945 salah satunya yakni
terbentuknya suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila. Dalam mewujudkan sebuah bangsa yang besar dan makmur
terdapat 3 (tiga) hal, yakni tanah yang subur, kerja keras dan kelancaran
transportasi orang dan barang dari suatu bagian negara ke negara bagian
lainnya. Selain itu, peranan transportasi amat sangat penting untuk saling
menghubungkan sumber bahan baku, daerah prduksi, daerah pemasaran
dan daerah pemukiman sebagai tempat tinggal konsumen.1
Di negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki tingkat
kepadatan penduduk yang cukup besar, kegiatan perekonomian yang terus
berkembang, dan arus perpindahan orang dan barang yang terus
meningkat, pengembangan sarana dan prasarana transportasi sangat
berperan penting sebagai penghubung wilayah untuk menunjang,
mendorong,
dan
menggerakkan
pembangunan
nasional
guna
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tanpa adanya transportasi sebagai
1
H. M. Nasution. 1996. Manajemen Transportasi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm. 11.
1
sarana penunjang tidak dapat diharapkan tercapainya hasil yang
memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi suatu negara.2
Pada wilayah perkotaan, transportasi memegang peranan yang
penting. Transportasi atau pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang
sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena pentingnya
transportasi bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor
antara lain keadaan geografis, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau kecil
dan besar, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau
yang memungkinkan pengangkutan melalui darat, perairan, dan udara
guna menjangkau seluruh wilayah Indonesia.3 Suatu kota yang baik dapat
dilihat dari perkembangan transportasinya. Transportasi yang baik, aman,
dan tertib mencerminkan keteraturan kota serta kelancaran kegiatan
perekonomian kota.
Di Kota Makassar terdapat beberapa jenis alat angkutan umum yang
disediakan Pemerintah untuk mengakomodasi perpindahan orang maupun
barang. Kota Makassar yang memiliki penduduk ± 1.700.571 jiwa4 dapat
menimbulkan salah satu masalah dengan kapasitas penduduk yang padat,
yaitu masalah kemacetan. Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka
pemerintah Kota Makassar kembali mengembangkan bus kota sebagai alat
transportasi umum. Saat arus perpindahan orang semakin padat dan
meningkat, bus dapat dijadikan sebagai pilihan transportasi umum karena
2
H. A. Abbas Salim. 1993. Manajemen Transportasi. PT Raja Grafindo. Jakarta. Hlm. 6.
Abdulkadir Muhammad. 1998. Hukum Pengangkutan Niaga. Citra Aditya Bakri. Bandung.
Hlm.7.
4 “Penduduk Kota Makassar”, http://makassarkota.go.id/107-penduduk-kota-makassar.
html, diakses pada hari Selasa, 1 November 2016, pukul 22.50.
3
2
memiliki kapasitas pengangkutan yang besar (massal) sehingga lebih
efisien jika dibandingkan dengan alat transportasi lainnya.
Sebagaimana diketahui, Walikota Kota Makassar sedang berupaya
untuk menjadikan Kota Makassar sebagai Kota Dunia dan program Bus
Rapid Transit (BRT) Trans Mamminasata yang dijalankan oleh Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan dianggap sejalan dengan upaya menjadi Kota
Makassar sebagai Kota Dunia di sektor transportasi publik. Trans
Mamminasata atau yang disebut dengan Bus Rapid Transit (BRT) oleh
masyarakat Kota Makassar adalah sebuah layanan transportasi umum
dengan sistem bus yang cepat, murah, aman, dan nyaman.
Bus Rapid Transit (BRT) merupakan salah satu dari program yang
dicanangkan Departemen Perhubungan. Adapun untuk pengadaan armada
merupakan
bantuan
dari
Kementerian
Perhubungan
sedangkan
pembangunan halte transit dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan. Layanan ini mulai dioperasikan pada bulan Maret 2014. Dalam hal
ini Pemerintah Kota Makassar bekerja sama dengan DAMRI yang
merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang hingga saat ini masih
tetap konsisten menjalankan tugasnya sebagai salah satu penyelenggara
jasa angkutan penumpang dan barang dengan menggunakan bus dan
truk.5
Penyelenggaraan Bus Rapid Transit (BRT) sebagai salah satu
angkutan jalan tunduk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
5
https://id.wikipedia.org/wiki/DAMRI#Sejarah_DAMRI, diakses pada hari Sabtu, tanggal
1 April 2017, Pukul 09.00.
3
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UU LLAJ).
Adapun salah satu peraturan pelaksanaannya adalah pada Peraturan
Pemerintah Nomor 74 tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Sebagai pelaku
usaha di bidang jasa transportasi yang menyediakan jasa di bidang
pelayanan
publik,
maka
Bus
Trans Mamminasata
juga
memiliki
tanggungjawab dan kewajiban untuk menjamin hak-hak pelanggan yang
menggunakan jasa transportasi ini.
Pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya akan disebut UUPK) disebut sebagai konsumen. Oleh karena
itu, semua pengguna jasa karena kedudukannya sebagai konsumen berhak
untuk memeroleh perlindungan hak sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 4 UUPK. Salah satu hak konsumen berdasarkan Pasal 4 UUPK
adalah
hak
atas
kenyamanan,
keamanan,
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa.6 Selain itu, konsumen juga berhak
atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa.7
Merujuk pada Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2014
tentang Angkutan Jalan bahwa salah satu kewajiban Pemerintah Daerah
Provinsi dalam menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan
orang antarkota dalam provinsi adalah menyediakan prasarana dan fasilitas
pendukung angkutan umum.8 Selanjutnya, Pasal 23 ayat (1) huruf a dan b
6
Pasal 4 huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Pasal 4 huruf c UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
8 Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
7
4
PP Angkutan Jalan bahwa pelayanan angkutan orang dengan kendaraan
bermotor dalam trayek harus memiliki rute tetap dan teratur serta terjadwal,
berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di terminal
untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara.
Namun, dalam kenyataannya di lapangan pengguna jasa Bus Rapid
Transit (BRT) tidak menerima pelayanan sesuai dengan apa yang menjadi
tujuan dibentuknya sistim transportasi cepat ini. Berdasarkan pra penelitian
yang dilakukan penulis di lapangan, tampaknya dalam pengoperasian BRT
tidak terdapat jadwal kedatangan atau keberangkatan bus serta tidak ada
papan informasi atau sejenisnya yang dapat menginformasikan jadwal
kepada konsumen, sehingga apabila konsumen memiliki suatu keperluan
yang mendesak, mereka dapat segera mengantisipasi keadaan tersebut.
Selain itu, terdapat pula fasilitas-fasilitas pada halte yang kurang memadai
seperti halte yang tidak utuh sebagaimana mestinya (hanya tangga untuk
menaiki bus saja).
Melihat fenomena yang terjadi di lapangan, penulis berpandangan
bahwa pelaksanaan pengangkutan darat Bus Rapid Transit (BRT) sangat
berbanding jauh dengan pelaksanaan pengangkutan darat di beberapa
kota besar lainnya, salah satunya di Kota Jakarta yang sudah mengalami
kemajuan, seperti tertibnya pada supir angkutan bus menaikkan dan
menurunkan penumpang pada tempatnya serta tersedianya informasi
jadwal kedatangan, waktu tunggu, hingga waktu tempuh perjalanan bus
yang juga telah tepat pada waktunya.
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas merupakan suatu
bentuk ketidaksesuaian dengan apa yang diatur dalam UU Lalu Lintas dan
5
Angkutan Jalan serta peraturan pelaksananya serta menyebabkan
timbulnya beberapa hak-hak konsumen yang telah dilanggar oleh pelaku
usaha. Mengingat pentingnya peranan dari Bus Rapid Transit (BRT) Trans
Mamminasata dalam menunjang perkembangan sistem transportasi publik
yang memadai bagi konsumen, maka pelaksanaan perlindungan hak
konsumen merupakan hal utama yang harus dilakukan. Oleh karena itu,
penulis ingin meneliti dan mengkaji lebih lanjut dengan memilih judul :
“Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Transportasi Umum Bus Rapid
Transit (BRT) Kota Makassar”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar
dalam memenuhi hak-hak konsumen dalam kaitannya dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?
2. Sejauh mana Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar telah
melaksanakan aturan yang telah diatur dalam Undang-Undang
Pengangkutan Darat dalam memberi pelayanan terhadap pengguna
jasa transportasi ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar
dalam memenuhi hak-hak konsumen dalam kaitannya dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan aturan yang dilakukan oleh Bus Rapid
Transit (BRT) Kota Makassar sebagaimana yang telah diatur dalam
6
Undang-Undang Pengangkutan Darat dalam memberi pelayanan
terhadap pengguna jasa transportasi.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pengembangan
ilmu pengetahuan dalam bidang hukum perdata, khususnya hukum
perlindungan konsumen di Indonesia.
2. Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran
khusunya kepada praktisi hukum serta masyarakat mengenai hakhaknya sebagai konsumen dalam menggunakan transportasi Umum
Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Konsumen, Pelaku Usaha, Barang, dan Jasa dalam
Hukum Perlindungan Konsumen
Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
(selanjutnya disebut Undang-undang Perlindungan Konsumen/UUPK)
adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberi perlindungan kepada konsumen.
Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam
Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut cukup memadai. Kalimat (sic “frasa”) yang
mengatur “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”,
diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenangwenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan
perlindungan konsumen.9
1. Konsumen
Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UUPK adalah setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
9
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. Rajawali Pers.
Jakarta. Hlm. 1.
8
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan
antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari
suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang
menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu
produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah
konsumen akhir.10
Penggunaan istilah “pemakai” dalam rumusan Pasal 1 angka 2
UUPK tersebut sesungguhnya kurang tepat. Ketentuan yang mengatur
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat”, apabila dihubungkan dengan anak kalimat
yang menyatakan “bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun mahluk hidup lain”, tampak ada kerancuan di dalamnya sebagai
pemakai dengan sendirinya untuk kepentingan diri sendiri, dan bukan
untuk keluarga, bitstander, atau makhluk hidup lainnya. Demikian pula
penggunaan istilah “pemakai” menimbulkan kesan barang tersebut
bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya telah terjadi transaksi jual beli,
jika seandainya istilah yang digunakan “setiap orang yang memeroleh”
maka secara hukum akan memberikan makna yang lebih tepat, karena
apa yang diperoleh dapat digunakan untuk kepentingan sendiri maupun
untuk orang lain.11
10
Ibid., hlm. 4.
11Ibid.
9
Menurut A.Z. Nasution adapun beberapa batasan tentang
konsumen antara lain sebagai berikut :
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau
jasa digunakan untuk tujuan tertentu;
b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan
barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat
barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan
komersial);
c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan
dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi
kebutuhan hidupnya, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak
untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).12
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Hans W. Miklitz,
secara garis besar dapat dibedakan 2 (dua) tipe konsumen yaitu :13
1. Konsumen yang terinformasi (well informed) yang memiliki ciriciri sebagai berikut :
a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu;
b. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga
dapat berperan dalam ekonomi pasar bebas;
c. Lancar berkomunikasi.
2. Konsumen yang tidak terinformasi yang meiliki ciri-ciri :
a. Kurang berpendidikan;
b. Termasuk kategori ekonomi kelas menengah ke bawah;
c. Tidak lancar dalam berkomunikasi.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui
bahwa setiap pemakai barang dan/atau jasa yang ada dalam masyarakat
yang dalam kedudukannya, konsumen di Indonesia terbagi ke dalam 2
(dua) kelompok besar yakni konsumen yang terinformasi dan konsumen
yang tidak terinformasi, dimana kedua-duanya mendapatkan perlindungan
12
Az. Nasution. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Diadit Media.
Jakarta. Hlm. 13.
13 Sidharta. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi). PT. Grasindo.
Jakarta. Hal. 3.
10
oleh hukum, khususnya dalam Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
2. Pelaku Usaha
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK adalah
setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan gerakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
Dalam pengertian ini, termasuklah perusahaan; (koperasi) dalam
segala bentuk dan bidang usahanya, seperti BUMN, koperasi, importir,
pedagang, distributor; dan lain-lain.14 Sebagai penyelenggara kegiatan
usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus bertanggungjawab atas
akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya
terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang
produsen.15
3. Barang
Pengertian barang dalam Pasal 1 angka 4 UUPK adalah setiap
benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun
14
Celina Tri Siwi Kristiyanti. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika. Jakarta.
Hal. 41.
15 Janus Sidabalok. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. PT. Citra Aditya
Bakti. Bandung. Hlm. 14.
11
tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang
dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan
oleh konsumen.
Pemakaian teknologi yang makin baik, di satu sisi memungkinkan
produsen mampu membuat produk beraneka macam jenis, bentuk,
kegunaan, maupun kualitasnya sehingga pemenuhan kebutuhan
konsumen dapat terpenuhi lebih luas, lengkap, cepat, dan menjangkau
bagian terbesar lapisan masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan
teknologi akan memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak sesuai
dengan persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga
menimbulkan kerugian kepada konsumen.16
Berkaitan dengan produk cacat dapat ditemukan dalam tiga
klasifikasi menurut tahap-tahap produksi, yaitu kerusakan produk,
kerusakan design, dan pemberian informasi yang tidak memadai.17
Produk dapat dikategorikan cacat apabila produk itu rusak, atau
designnya tidak sesuai dengan yang seharusnya, atau karena informasi
yang menyertai produk itu tidak memadai. Cacat pada produk, pada
tingkatan tertentu dapat membahayakan konsumen.18
4. Jasa
Pengertian jasa dalam Pasal 1 angka 5 UUPK adalah setiap
layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi
16
Ibid., Hlm. 15
Ibid., Hlm. 16. Dikutip dari Harry Duintjer Tebbens, International Product Liability,
(Netrherland: Sitjoff & Noordoff International Publishers, 1980) Hlm. 7-8.
18Ibid.
17
12
masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian jasa dalam
Pasal 1 angka 5 yang menyebut kata “bagi masyarakat”, memberikan
kesan bahwa jasa yang dimaksud haruslah jasa yang ditawarkan kepada
lebih dari satu orang. Ini berarti, jasa merupakan layanan khusus kepada
individu secara perseorangan bukanlah jasa sebagaimana dimaksudkan
dalam UUPK.19
Kesimpulan seperti ini mungkin dirasakan ganjil, terutama bila
dihubungkan persediaan jasa-jasa atau yang disebut layanan itu sifatnya
sangat terbatas sehingga hanya dapat ditawarkan kepada seseorang.
Misalnya dalam jasa angkutan barang, yang kebetulan pengusaha baru
memiliki satu alat angkutan, tidak dapat dihindari oleh pengusaha yang
bersangkutan kecuali menawarkan hanya kepada seseorang. Dalam
hubungan ini, kami berpikir bahwa lebih tepat bila dalam rumusan
tersebut tidak menyebutkan istilah “bagi masyarakat” tetapi “bagi
anggota masyarakat”. Dengan demikian tidak terbatas hanya ditawarkan
untuk dua atau lebih orang, melainkan termasuk penawaran yang
dilakukan kepada seseorang, yang dalam hal ini layanan dimaksud
disediakan untuk anggota masyarakat.20
19
20
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., Hlm. 14.
Ibid Hlm. 14.
13
B. Asas Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama
seluruh pihak yang terkait, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan 5
(lima) asas, yang menurut Pasal 2 UUPK ini adalah:21
1. Asas Manfaat
Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum
perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah
satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk
memberikan kepada masing-masing pihak, produsen/pelaku usaha dan
konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan demikian diharapkan
bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen
bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya
bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.
2. Asas Keadilan
Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan
pelaku usaha untuk memperoleh (sic “memeroleh”) haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa
melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini,
21
Janus Sidabalok, S.H., M.Hum., Op. Cit., Hlm. 26-27.
14
konsumen dan produsen - pelaku usaha dapat berlaku adil melalui
perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Oleh karena
itu, undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen
dan produsen - pelaku usaha.
3. Asas Keseimbangan
Dimaksudkan
untuk
memberikan
keseimbangan
antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil
dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, produsen/pelaku
usaha, dan pemerintah memperoleh (sic “memeroleh”) manfaat yang
seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen. Kepentingan antara konsumen, produsen/pelaku usaha, dan
pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai
dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat
perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar daripada pihak lain.
4. Asas Keamanan dan Keselamatan
Dimaksudkan
untuk
memberikan
jaminan
keamanan
dan
keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki
adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh (sic
”memeroleh”) manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan
sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan
keselamatan jiwa dan harta bendanya. Oleh karena itu, undang-undang
15
ini memberikan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan sejumlah
larangan
yang
harus
dipatuhi
produsen/pelaku
usaha
dalam
memproduksi dan mengedarkan produknya.
5. Asas Kepastian Hukum
Dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan mendapatkan keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Artinya, undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang
hak dan kewajiban yang terkandung dalm undang-undang ini harus
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak
memperoleh (sic ”memeroleh”) keadilan. Oleh karena itu, negara
bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan
bunyinya.
Dari kelima asas yang telah diuraikan di atas, bila diperhatikan
substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas, yaitu :22
1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen;
2. asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan
3. asas kepastian hukum.
22
Ahmadi Miru, 2011. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia.
Rajawali Pers. Jakarta. Hlm. 33.
16
C. Tujuan Perlindungan Konsumen
Adapun
tujuan
yang
hendak
dicapai
melalui
sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 3 UUPK adalah :
a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. Mengangkat
harkat
dan
martabat
konsumen
dengan
cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan
kesadaran
pelaku
usaha
mengenai
pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan
kualitas
barang
dan/atau
jasa
yang
menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
D. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
1. Hak dan Kewajiban Konsumen
Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan
hukum, sehingga perlindungan kosumen pasti mengandung aspek hukum.
17
Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan sejumlah hak konsumen yang mendapat
jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu:
a. Hak
atas
kenyamanan,
keamanan,
dan
keselamatan
dalam
mengosumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakannya;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
h. Hak
untuk
mendapatkan
kompensasi,
ganti
rugi
dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung
pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang nyaman,
aman, dan yang memberi keselamatan. Oleh karena itu, konsumen harus
18
dilindungi dari segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa dan harta
bendanya
karena
memakai
atau
mengonsumsi
produk
(misalnya
makanan). Dengan demikian, setiap produk, baik dari segi komposisi
bahan,
konstruksi,
mempertinggi
rasan
maupun
kualitasnya
kenyamanan,
harus
keamanan,
diarahkan
dan
untuk
keselamatan
konsumen.23
Dalam hal berproduksi produsen diharuskan bertindak jujur dalam
memberi informasi sehingga konsumen dapat memilih produk yang terbaik
bagi dirinya. Informasi yang diberikan produsen mengenai produknya
diharuskan informasi yang jujur, benar, dan jelas sehingga tidak mengelabui
atau membodohi konsumen. Karena itu, pemanfaatan media informasi oleh
produsen, baik dengan iklan, billboard, dan media lainnya hendaknya
dilandasi kejujuran dan niat baik.24
Konsumen yang sudah menentukan/menetapkan pilihannya atas
suatu produk berdasarkan informasi yang tersedia berhak untuk
mendapatkan produk tersebut sesuai dengan kondisi serta jaminan yang
tertera di dalam informasi.25 Apabila setelah mengonsumsi, konsumen
merasa dirugikan atau dikecewakan karena ternyata produk yang
dikonsumsinya tidak sesuai dengan informasi yang diterimanya (misalnya,
kualitas tidak sesuai), produsen seharusnya mendengar keluhan konsumen
itu dan memberikan penyelesaian yang baik.26
23
Janus Sidabalok, S.H., M.Hum., Op. Cit., Hlm. 33.
Ibid., Hlm. 34.
25 Ibid.
26 Ibid.
24
19
Mengingat bahwa produsen berada dalam kedudukan yang lebih
kuat, baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan (bargaining
power, bargaining position) dibanding dengan konsumen, maka konsumen
perlu mendapat
advokasi, perlindungan, serta upaya penyelesaian
sengketa secara patut atas hak-haknya. Perlindungan itu dibuat dalam
suatu peraturan perundang-undangan serta dilaksanakan dengan baik.27
Konsumen juga berhak mendapatkan pembinaan dan pendidikan
mengenai bagaimana berkonsumsi yang baik. Produsen pelaku usaha
wajib memberi informasi yang benar dan mendidik sehingga konsumen
makin dewasa dalam memenuhi kebutuhannya, bukan sebaliknya
mengeksploitasi kelemahan-kelemahan konsumen terutama wanita dan
anak-anak.28
Dalam memperoleh (sic “memeroleh”) pelayanan, konsumen juga
berhak untuk diperlakukan benar dan jujur serta sama dengan konsumen
lainnya, tanpa ada pembeda-bedaan berdasarkan ukuran apapun,
misalnya suku, agama, budaya, daerah asal atau tempat tinggal,
pendidikan, status ekonomi (kaya-miskin), dan status sosial lainnya.29
Konsumen berhak mendapatkan hak hak lainnya sesuai dengan
kedudukannya sebagai konsumen berdasarkan peraturan perundangundangan
yang
berlaku.
Ketentuan
ini
membuka
kemungkinan
27
Ibid.
Ibid.
29 Ibid., Hlm. 35
28
20
berkembangnya pemikiran tentang hak-hak dari konsumen di masa yang
akan datang, sesuai dengan perkembangan zaman.30
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, serta upaya
penyelesaian sengketa secara patut itu perlu ditegaskan dalam suatu
perundang-undangan sehingga semu pihak, baik konsumen itu sendiri,
produsen, maupun pemerintah mempunyai presepsi yang sama dalam
mewujudkannya.
Ini
berkaitan
dengan
upaya
hukum
dalam
mempertahakankan hak-hak konsumen. Artinya, hak-hak konsumen yang
dilanggar dapat dipertahankan melalui jalan hukum, dengan cara dan
prosedur yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Menurut
penulis, bagian inilah yang paling penting, yaitu bagaimana seorang
konsumen yang dilanggar haknya atau menderita kerugian dapat
memperoleh (sic “memeroleh”) haknya kembali. Ini merupakan inti dari
penyebutan
dan
penegasan
tentang
adanya
hak-hak
konsumen.
Menetapkan hak-hak konsumen dalam suatu perundang-undagan tanpa
dapat dipertahankan atau dituntut secara hukum pemenuhannya, tidaklah
cukup karena hanya berfungsi sebagai huruf-huruf mati dan tidak
bermanfaat bagi konsumen.31
Kewajiban konsumen dalam Pasal 5 UUPK adalah:
30
31
Ibid.
Ibid.
21
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan
keselamatan.
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
d. Mengikuti upaya
penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk
informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa
demi keamanan dan keselamatan merupakan hal penting untuk mendapat
pengaturan. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh apabila konsumen
mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja
kewajiban konsumen ini, tidaklah cukup untuk maksud tersebut jika tidak
diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.32
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Yang menjadi hak-hak dari pelaku usaha berdasarkan Pasal 6 UUPK
adalah :
a.
Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
32
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., Hlm. 49-50.
22
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang tidak beritikad baik;
c. Hak
untuk melakukan
pembelaan diri sepatutnya
di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Nampak bahwa pokok-pokok hak dari produsen/pelaku usaha
adalah :33
a. Menerima pembayaran;
b. Mendapat perlindungan hukum;
c. Membela diri; dan
d. Rehabilitasi.
Kewajiban pelaku usaha berdasarkan Pasal 7 UUPK adalah:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c. Memperlakukan dan melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
33
Janus Sidabalok, S.H., M.Hum., Op. Cit., Hlm. 72.
23
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau yang
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta member jaminan
dan/atau garansi yang dibuat dan/atau diperdagangkan.
f.
Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen
tidak sesuai dengan perjanjian.
Dengan demikian, pokok-pokok kewajiban produsen/ pelaku usaha
adalah:34
a. Beritikad baik;
b. Memberi informasi;
c. Melayani dengan cara yang sama;
d. Memberi jaminan;
e. Memberi kesempatan mencoba; dan
f.
Memberi kompensasi
Kewajiban beritikad baik berarti produsen/pelaku usaha dalam
menjalankan kegiatan usahanya wajib melakukannya dengan itikad baik,
yaitu secara berhati-hati, mematuhi dengan aturan-aturan, serta dengan
penuh tanggungjawab.35
34
35
Ibid. Hlm. 73.
Ibid.
24
Kewajiban memberi informasi berarti produsen/pelaku usaha wajib
memberi informasi kepada konsumen atas produk dan segala hal sesuai
mengenai produk yang dibutuhkan konsumen. Informasi itu adalah
informasi yang benar, jelas, dan jujur.36
Kewajiban melayani berarti produsen/pelaku usaha wajib memberi
pelayanan kepada konsumen secara benar dan jujur serta tidak membedabedakan cara ataupun kualitas pelayanan secara diskriminatif.37
Kewajiban memberi kesempatan berarti produsen/pelaku usaha
wajib memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau
mencoba produk tertentu sebelum konsumen memutuskan membeli atau
tidak membeli, dengan maksud agar konsumen memperoleh (sic
“memeroleh”) keyakinan akan kesesuaian produk dengan kebutuhannya.38
Kewajiban memberi kompensasi berarti produsen/pelaku usaha
wajib memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian kerugian
akibat tidak atau kurang bergunanya produk untuk memenuhi kebutuhan
sesuai dengan fungsinya dan karena tidak sesuainya produk yang diterima
dengan yang diperjanjikan.39
E. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Angkutan Umum
Sudah merupakan suatu kewajiban para pelaku usaha untuk selalu
senantiasa
beritikad
baik
dalam
melakukan
kegiatan
usahanya
36
Ibid.
Ibid.
38 Ibid.
39 Ibid., Hlm. 74.
37
25
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 huruf a UUPK. Hal ini bertujuan
untuk menjaga iklim usaha yang sehat serta tetap menjaga agar konsumen
tidak dirugikan.40 Terkait dengan pembahasan ini, maka penulis selanjutnya
menguraikan tanggung jawab pelaku usaha dalam kedudukannya sebagai
penyelenggara jasa transportasi angkutan darat yang ditinjau berdasarkan
UUPK maupun dalam UU LLAJ.
1. Pertanggungjawaban Dalam UUPK
Dalam UUPK diatur mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha
dalam Pasal 18-28 Bab VI dengan judul Tanggung Jawab Pelaku Usaha.
Tanggung jawab produsen/pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasalpasal di atas adalah tanggung jawab sehubungan dengan adanya
hubungan hukum antara produsen/pelaku usaha dengan konsumennya
dan tanggung jawab berdasarkan hubungan hukum yang lahir kemudian,
sebagai konsekuensi dari memakai atau mengonsumsi produk. Dengan
kata lain, tanggung jawab yang dimaksud di sini adalah tanggung jawab
keperdataan, baik yang bersifat kontraktual maupun di luar hubungan
kontraktual.41
2. Pertanggungjawaban Dalam UU LLAJ
Penyelenggaraan angkutan penumpang bus umum yang aman,
selamat, dan tertib, merupakan bagian penting dan menjadi salah satu
tujuan utama dalam suatu penyelenggaraan angkutan. Untuk memenuhi
40
Adrian Sutedi, 2008. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen.
Ghalian Indonesia. Ciawi-Bogor. Hal. 37.
41 Ibid., Hlm. 87.
26
tujuan
utama
tersebut,
maka
setiap
penyelenggaraan
angkutan
penumpang bus umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang
meliputi:
(a)
keamanan;
(b)
keselamatan;
(c)
kenyamanan;
(d)
keterjangkauan; (e) kesetaraan; dan (f) keteraturan, seperti yang ditentukan
dalam Pasal 141 ayat (1) UU LLAJ, dan hal ini adalah sebagai hak
penumpang.42
Pasal 192 ayat (1) UU LLAJ yang menegaskan bahwa perusahaan
angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh
penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan
angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah
atau dihindari atau karena kesalahan penumpang.
Selanjutnya, dalam Pasal 234 ayat (1) UU LLAJ yang secara garis
besar menjelaskan bahwa pihak penyedia jasa angkutan umum wajib
bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penumpang yang
diakibatkan oleh kelalaian pengemudi. Pasal 234 UU LLAJ tersebut
mengisyaratkan kepada pihak penyedia angkutan umum tidak hanya
menyediakan layanan yang nyaman, aman berupa fasilitas yang layak bagi
penumpang sebagai konsumen, tetapi juga harus memberikan edukasi
terhadap para supirnya agar berperilaku baik dalam menjakankan tugas
yaitu mengantar penumpang sampai ke tujuan dengan selamat. Pemilik
jasa angkutan umum tidak hanya mementingkan keuntungan semata yang
42
Rabiah Z. Harahap. 2016. Jurnal : Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Penumpang
Bus dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen. Dr. Lega Lata, Volume I, Nomor I,
Januari-Juni 2016. Hlm. 227.
27
diperoleh dari tiket penumpang tapi juga harus memikirkan keselamatan
penumpang.43
F. Penyelesaian Sengketa Konsumen
Ketentuan tentang penyelesaian sengketa konsumen menurut
UUPK diatur di dalam Bab X dengan judul Penyelesaian Sengketa, mulai
Pasal 45-48, dan dihubungkan dengan Bab XI tentang Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen Pasal 49-58. Akan tetapi, ketentuan pada Bab X
tersebut sudah didahului dengan Pasal 19 dan 23 UUPK.44
 Pasal 19 ayat (3)
“Pemberian ganti rugi dilaksanakan dengan tenggang waktu 7 (tujuh)
hari setelah tanggal transaksi.”
 Pasal 23
“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan
dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4) UUPK, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan
konsumen.”
 Pasal 45 ayat (1)
“Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara
43
44
Ibid. Hlm. 226.
Ibid., Hlm. 128.
28
konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum.”
 Pasal 47
“Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi
dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan
terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita
oleh konsumen.”
Mengikuti ketentuan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 jo. Pasal 45 ayat
(1) dan Pasal 47 UUPK tersebut, sengketa konsumen dapat diselesaikan di
luar pengadilan dan melalui pengadilan.45 Melalui Pasal 45 ayat (1) UUPK
dapat diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat
2 (dua) pilihan yaitu:46
1. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa
konsumen dan pelaku usaha; atau
2. Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK)
Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) diatur dalam Pasal 52 UUPK, yaitu sebagai berikut :
45
46
Ibid.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., Hlm. 224.
29
a. Melaksanakan
penanganan
dan
penyelesaian
sengketa
konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau
konsiliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran
ketentuan dalam undang-undang ini;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan
konsumen;
f.
Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan
konsumen;
g. Memanggil
pelaku
usaha
yang
diduga
telah
melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan / atau setiap
orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undangundang ini;
i.
Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,
saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada
huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen;
j.
Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
30
k. Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian
konsumen;
l.
Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang ini.
Sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 52 di atas,
penyelesaian sengketa konsumen dapat dilalui dengan tiga cara yaitu
arbitrase, mediasi, dan konsiliasi.
a. Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui peradilan arbitrase ini dapat
dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, jika para pihak tersebut
telah mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian yang menjadi
pokok sengketa atau mengadakan perjanjian arbitrase setelah
timbulnya sengketa di antara mereka.47
Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena
putusannya berkekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Putusan arbitrase ini memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila
pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka
pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan.48
47
48
Ibid., Hlm. 249.
Ibid.
31
Walaupun arbitrase ini memiliki kelebihan, namun pada akhirakhir ini peran arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa diluar
pengadilan digeser oleh alternatif penyelesaian sengketa lain.
Alternatif-alternatif lainnya itu memiliki kesamaan dengan arbitrase,
diantaranya adalah: sederhana dan cepat, prinsip konfidensial, dan
diselesaikan oleh/melibatkan pihak ketiga yang netral dan memiliki
pengetahuan khusus secara profesional. Namun, dibalik persamaan itu
terdapat
perbedaan
yang
dianggap
fundamental
dalam
pelaksanaannya, karena pada arbitrase:49
1) Biaya mahal, karena walaupun secara teori biayanya lebih murah
daripada penyelesaian melalui proses litigasi, namun berdasarkan
pengalaman dan pengamatan, biaya yang harus dikeluarkan
hampir sama dengan biaya litigasi, karena terdapat beberapa
komponen biaya yang harus dikeluarkan, bahkan kadang-kadang
jauh lebih besar daripada biaya litigasi. Komponen biaya tersebut
terdiri atas, biaya administrasi, honor arbiter, biaya transportasi dan
akomodasi arbiter, serta biaya saksi dan ahli;
2) Penyelesaian yang lambat, karena walaupun banyak sengketa
yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu 60-90 hari, namun
banyak juga penyelesaian yang memakan waktu panjang, bahkan
ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun, apalagi kalau terjadi
perbedaan pendapat tentang penunjukan arbitrase atau hukum
49
Ibid., Hlm. 250.
32
yang hendak diterapkan, maka penyelesaiannya akan bertambah
rumit dan panjang.
b. Konsiliasi
Konsiliasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa
yang juga bisa ditempuh di luar pengadilan, yang diartikan sebagai: an
independent person (consilator) brings the parties together and
encourages a mutually acceptable resolution of the dispute by
facilitating communication between the parties.50 Konsiliasi ini juga
dimungkinkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen
berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Penyelesaian
sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga
menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya
tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun
demikian, pendapat dari konsiliator tidak mengikat sebagaimana
mengikatnya arbitrase.51
c. Mediasi
Penyelesaian sengketa melalui mediasi harus didahului dengan
kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui
mediasi. Kesepakatan ini dapat dilakukan sebelum timbulnya sengketa,
yaitu dengan memasukkan sebagai klausula perjanjian (mediation
clause agreement), atau setelah timbul sengketa kemudian para pihak
50
Ibid., Hlm. 254. Dikutip dari; Lamuel W. Dowdy, et al., Prepared by Consumer Dispute
Resolution Program Staff Attorneys, Federal Trade Comission-Division of Product
Reliability, Washington, D.C., hlm. 5.
51 Ibid.
33
membuat kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaiannya melalui
mediasi (mediatiom submission). Dari dua cara tersebut lebih
menguntungkan jika cara pertama yang ditempuh, karena para pihak
yang bersengketa sejak awal telah menginginkan mediasi, sehingga
kemungkinan berhasilnya proses mediasi lebih besar. Walaupun
demikian, kesepakatan penyelesaian sengketa melalui mediasi
sebelum timbulnya sengketa konsumen sulit dilakukan, karena
perjanjian antara produsen dengan konsumen biasanya tidak tertulis
atau tidak dicantumkan klausula-klausula tertentu secara rinci, bahkan
orang yang tidak terikat perjanjian dengan produsen pun dapat
menuntut ganti kerugian, sehingga untuk sengketa konsumen lebih
tepat digunakan mediation submission.
2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan
Dalam hal tuntutan diajukan melalui pengadilan, dipersoalkanlah
proses atau tahapan-tahapan pemeriksaan tuntutan ganti rugi
sehubungan dengan pertanggungjawaban produsen/pelaku usaha.52
Pasal 48 UUPK menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa
konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang
peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata cara
persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan Herziene
Inlands Regeling (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura
atau Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), yang berlaku bagi
52
Janus Sidabalok, S.H., M.Hum., Op. Cit., Hlm. 132.
34
daerah luar Jawa dan Madura. Keduanya tidak mempunyai perbedaan
yang mendasar (prinsipil).53
G. Tinjauan tentang Pengangkutan
1. Pengangkutan Menurut Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan
Pengangkutan selalu berhubungan dengan kegiatan pengangkutan
serta alat angkutannya. Pemahaman secara yuridis atas pengertian
pengangkutan (dalam arti pengangkutan dengan menggunakan jalan)
dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UU LLAJ), beserta
peraturan pelaksanaannya. Dalam UU LLAJ, isitilah pengangkutan atau
dalam bahasa Inggris transportation deiknal dengan nama “angkutan”.54
Pasal 1 angka 3 UU LLAJ memberikan pengertian atas angkutan
sebagai perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain
dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan. Dalam hal ini
yang dimaksudkan dengan kendaraan pada Pasal 1 angka 3 UU LLAJ
tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 UU LLAJ adalah suatu sarana
angkut di jalan yang terdiri atas kendaraan bermotor, yakni kendaraan yang
digerakkan oleh kendaraan mekanik berupa mesin selain kendaraan tidak
bermotor (setiap kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia
dan/atau hewan, vide Pasal 1 angka 9 UU LLAJ).
53
Ibid.
Andika Wijaya, 2016. Aspek Hukum Bisnis Transportasi Jalan Online. Sinar Grafika.
Jakarta. Hal. 10.
54
35
Keterkaitan pengguna jasa angkutan sebagai konsumen terlihat
pada Pasal 1 angka 22 UU LLAJ bahwa “pengguna jasa adalah
perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan
umum”. Melalui aturan tersebut terdapat hubungan antara konsumen dan
jasa angkutan, bahwa pengguna jasa angkutan dalam hal ini dikategorikan
sebagai konsumen jasa angkutan. Oleh sebab itu, sebagai konsumen,
pengguna jasa tidak terlepas dari kerugian yang mungkin diderita atau
terjadi pada saat menggunakan jasa angkutan atau sedang melakukan
perjalanan dengan alat transportasi yang disediakan oleh perusahaan
angkutan.55
2. Jenis-Jenis Pengangkutan
Pembagian jenis-jenis pengangkutan pada umumnnya didasarkan
pada jenis alat angkut yang dipergunakan dan keadaan geografis yang
menjadi wilayah tempat berlangsungnya kegiatan pengangkutan. Dalam
pembagian jenis pengangkutan dapat dibedakan sebagai berikut :
a. Pengangkutan darat terdiri dari :56
1. Pengangkutan dengan kendaraan bermotor
2. Pengangkutan dengan kereta api.
3. Pengangkutan dengan tenaga Hewan
b. Pengangkutan di perairan yang terdiri dari :
55
Lanugranto Adi Nugroho. 2008. Skripsi : Konsumen dan Jasa Transportasi (Studi pada
Perlindungan Hukum pada Konsumen Fasilitas Publik dan Pelayanan Jasa Transportasi
Perusahaan Otobus di Kabupaten Wonogiri). Surakarta. Universitas Muhammadiyah
Surakarta. Hlm. 5.
56 Hasim Purba. 2005. Hukum Pengangkutan di Laut. Pustaka Bangsa Press, Medan.
Hlm. 9-10.
36
1. Pengangkutan di laut
2. Pengangkutan di sungai dan danau
3. Pengangkutan Penyeberangan
c. Pengangkutan Udara
Dalam pengangkutan juga terdapat unsur-unsur pokok transportasi,
yaitu :
1. Manusia, yang membutuhkan transportasi
2. Barang, yang diperlukan manusia,
3. Kendaraan sebagai prasarana transportasi,
4. Jalan, sebagai pengelola transportasi
5. Organisasi, sebagai pengelola transportasi.
Kelima unsur di atas saling terkait untuk terlaksananya transportasi,
yaitu terjaminnya penumpang atau barang yang diangkut sampai ke tempat
tujuan.
3. Standar Pengelolaan Alat Angkut dan Pelayanan Minimal
Angkutan
Pasal 3 ayat (1) UU LLAJ menentukan bahwa tujuan dari
pengangkutan adalah tujuan dari pengangkutan adalah “terwujudnya lalu
lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu
dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional,
memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan
bangsa serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa”.
Pasal 48 UU LLAJ menjelaskan bahwa syarat teknis dan laik jalan
antara lain adalah :
37
a. Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus
memenuhi persyaratan teknis laik jalan.
b. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas susunan, perlengkapan, ukuran, karoseri, rancangan teknis
kendaraan
sesuai
dengan
peruntukannya,
pemuatan,
penggunaan, penggandengan kendaraan bermotor dan/atau
penempelan kendaraan bermotor.
c. Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditentukan oleh kinerja minimal kendaraan bermotor yang diukur
sekurang-kurangnya terdiri atas emisi, gas buang, kebisingan
suara, efisien sistem rem utama, efisiensi sistem rem parkir,
kincup roda depan, suara klakson, daya pancar dan arah sinar
lampu utama, radius putar, akurasi alat penunjuk kecepatan,
kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban dan kesesuaian daya
mesin penggerak terhadap berat kendaraan.
d. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 98 Tahun 2013
tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang Dengan Kendaraan
Bermotor Umum dalam Trayek bahwa : “Standar pelayanan minimal
sebagaimana
dimaksudkan
pada
ayat
(1)
meliputi:
Keamanan;
Keselamatan; Kenyamanan; Keterjangkauan; Kesetaraan; Keteraturan”.
Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 2012
tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan juga
menegaskan bahwa: “Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi : a. Jenis Pelayanan dan b. Mutu Pelayanan”. Dalam
ayat (4) juga diegaskan bahwa “jenis pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) huruf a meliputi : keamana, keselamatan, kenyamanan,
keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan.” Beberapa peraturan
tersebut
berkaitan dengan hak-hak penumpang yang merupakan
konsumen pengguna jasa transportasi.
38
H. Pengangkutan Orang
1. Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam
Trayek
Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014
tentang Angkutan Jalan memberi pengertian atas trayek sebagai lintasan
kendaraan bermotor umum untuk pelayanan jasa angkutan orang dengan
mobil penumpang atau mobil bus yang mempunyai asal dan tujuan
perjalanan tetap, lintasan tetap, dan jenis kendaraan tetap, serta berjadwal
atau tidak terjadwal.
Adapun jenis angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum
dalam trayek sebagaimana dimaksud terdiri atas :
a.
b.
c.
d.
e.
angkutan lintas batas negara;
angkutan antarkota antarprovinsi;
angkutan antarkota dalam provinsi;
angkutan perkotaan; atau
angkutan perdesaan.
Kriteria angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam
trayek dijelaskan dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun
2014 tentang Angkutan Jalan dijelaskan sebagai berikut :57
(1) Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum
dalam trayek harus memiliki kriteria :
a. memiliki rute yang tetap dan teratur;
b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan
penumpang di terminal untuk angkutan antarkota dan lintas
batas negara;
c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang
ditentukan untuk angkutan perkotaan dan pedesaan.
(2) Tempat menaikkan dan menurunkan penumpang dilakukan di :
a. Teminal;
b. Halte; dan/atau
57
Andika Widjaja. Op.cit. Hal. 187.
39
c. Rambu pemberhentian kendaraan bermotor umum.
(3) Kendaraan yang dipergunakan meliputi :
a. Mobil penumpang bus umum, yang merupakan kendaraan
bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk
maksimal 8 (delapan) orang, termasuk untuk pengemudi yang
beratnya tidak lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram;
dan/atau
b. Mobil bus umum, yang merupakan kendaran bermotor umum
angkutan orang yang memiliki tempat duduk lebih dari 8
(delapan) orang, termasuk untuk pengemudi atau yang
beratnya lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram.
2. Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam
Trayek
Jenis lain dari angkutan orang dengan menggunakan kendaraan
bermotor umum adalah angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum
tidak dalam trayek. Jenis angkutan demikian tidak mengenal trayek, dimana
kegiatan angkutan orang yang dijalankan tidak mempunyai asal dan tujuan
perjalanan tetap, tidak menggunakan lintasan tetap dan tidak memiliki jenis
kendaraan tetap. Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014
tentang Angkutan Jalan menentukan bahwa pelayanan angkutan orang
dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek terdiri atas :
a. angkutan orang dengan menggunakan taksi;
b. angkutan orang dengan tujuan tertentu;
c. angkutan orang untuk tujuan pariwisata;
d. angkutan orang di kawasan tertentu.
Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014
tentang Angkutan Jalan bahwa pengertian angkutan orang dengan tujuan
tertentu adalah angkutan orang tidak dalam trayek dengan menggunakan
mobil penumpang umum atau mobil bus umum untuk perluan selain
40
pelayanan taksi, pariwisata, dan kawasan tertentu antara lain angkutan
antar jemput, angkutan karyawan, angkutan permukiman, angkutan carter,
dan angkutan sewa khusus. Pasal tersebut menentukan secara imperatif
bahwa angkutan orang dengan tujuan tertentu dilarang menaikkan dan/atau
menurunkan penumpang di sepanjang perjalanan untuk keperluan lain di
luar pelayanan angkutan orang dalam trayek.
I. Tinjauan tentang Perum DAMRI
DAMRI adalah kepanjangan dari Djawatan Angkutan Motor Republik
Indonesia
yang
dibentuk
berdasarkan
Maklumat
Kementerian
Perhubungan RI No.01/DAMRI/46 tanggal 25 November 1946 dengan
tugas utama menyelenggarakan angkutan penumpang dan barang di atas
jalan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Dalam perkembangan
selanjutnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terdiri dari Persero dan
Perum berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003
Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hingga saat ini, DAMRI
memiliki jaringan pelayanan tersebar hampir diseluruh wilayah Republik
Indonesia.
Dalam
kegiatan
usahanya
DAMRI
menyelenggarakan
pelayanan angkutan kota, angkutan antar kota dalam provinsi, angkutan
pemadu moda, angkutan wisata, angkutan barang, angkutan perintis dan
angkutan antar negara.58
Berdasarkan maklumat tersebut maka fungsi utama DAMRI adalah
menyelenggarakan angkutan darat bagi kepentingan masyarakat dengan
58
https://damri.co.id/ diakses pada hari Sabtu, tanggal 1 April 2017, Pukul 13.00.
41
menggunakan truk, bus serta jenis angkutan motor lainnya. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1984,
sebagaimana telah diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang DAMRI, status DAMRI berubah
menjadi Perusahaan Umum DAMRI dengan maksud dan tujuan adalah
turut melaksanakan dan menunjang kebijaksanaan program pemerintah di
bidang ekonomi serta pembangunan nasional pada umumnya, khususnya
di subsektor perhubungan darat dengan armada bus dan truk serta tetap
memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan.59
Pengembangan dan pengoperasian Bus Rapid Trans (BRT)
merupakan implementasi dari visi dan misi pemerintahan Republik
Indonesia periode tahun 2014 – 2019, melalui Konsep Trisakti dan Program
Nawacita. Dalam rangka perwujudan Cita ke-6 dari Nawacita, yaitu
meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional,
disusunlah agenda program prioritas, antara lain membangun transportasi
massal di kawasan perkotaan dengan arah kebijakan mengembangkan
sistem angkutan massal yang modern dan maju dengan orientasi kepada
bus maupun rel, yang akan diwujudkan melalui strategi pengembangan Bus
Rapid Trans (BRT) di 34 kota di Indonesia. Kementerian Perhubungan telah
meresmikan perakitan 1.000 unit BRT kemudian menunjuk Perum DAMRI
sebagai operator Bus Rapid Transit (BRT). Penunjukan tersebut
dilatarbelakangi karena DAMRI memiliki pengalaman dan pengelolaan
59
Ibid.
42
bisnis transportasi umum moda darat (bus), juga bertujuan untuk
menyamakan standar pelayanan BRT di semua kota yang juga kemudian
diharapkan dapat bekerja sama dengan pemerintah kota dalam hal
pelaksanaan pengangkutan umum dengan sarana bus. 60
60
Tim Redaksi Humas Direktoriat Perhubungan arat, 2015. Newsletter Info Hubdat.
Humas Direktoriat Perhubungan Darat. Jakarta. Hlm. 4.
43
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian
Dalam rangka memeroleh data dan informasi terkait objek penelitian
maka dalam proses penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian di
Kota Makassar, Sulawesi Selatan, yakni pada Kantor Perum DAMRI yang
terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 14.
Adapun pertimbangan penulis untuk memilih lokasi pada Kantor
Perum DAMRI Kota Makassar karena Perum DAMRI adalah operator resmi
yang
mengelola
dan
mengoperasikan
Bus
Rapid
Transit
Trans
Mamminasata di Kota Makassar sehingga lokasi penelitian yang dipilih
memiliki keterkaitan langsung dengan objek penelitian, dimana penulis
lebih mudah untuk memeroleh data dan informasi yang lebih lengkap dan
akurat.
B. Populasi dan Sampel
Populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas
objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu dan
ditetapkan
oleh
peneliti
untuk
dipelajari
dan
kemudian
ditarik
kesimpulannya.61 Populasi dalam penelitian ini adalah pengguna jasa Bus
Rapid Transit (BRT) dan pimpinan atau staf Perum DAMRI Makassar.
Mengingat staf Perum DAMRI Makassar serta pengguna jasa Bus Rapid
61
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Alfabeta,Bandung.
Hal. 297.
44
Transit (BRT) yang tidak terbatas jumlahnya. Teknik penentuan informan
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Purposive Sampling dan
Accidental Sampling.
1. Teknik penentuan informan yang digunakan peneliti dalam menentukan
informan aparatur adalah teknik Purposive Sampling, yaitu sejumlah
informan yang ditentukan berdasarkan pertimbangan sesuai dengan
objek penelitian sebagai berikut :
1) Manager Kantor Perum DAMRI Kota Makassar, penetapan
Manager sebagai informan karena beliau merupakan orang yang
mengetahui pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) di Kota
Makassar, baik dalam pelaksanaannya, prosedur, dan tata kelola
pelayanannya.
2) Pengawas Bus Rapid Transit (BRT), penetapan Pengawas karena
beliau yang memberikan infomasi mengenai jalannya pelayanan
Bus Rapid Transit (BRT) sehari-hari.
3) Supir Bus Rapid Transit (BRT) penetapan Supir karena beliau
yang mengetahui kondisi bus serta kendala pada pengoperasian
Bus Rapid Transit (BRT).
2. Teknik penentuan informan yang digunakan peneliti dalam menentukan
informan masyarakat adalah teknik Accidental Sampling, yaitu informan
masyarakat sebagai pengguna Bus Rapid Transit (BRT) yang berada di
dalam bus ataupun di halte pada saat peneliti melakukan penelitian.
Adapun jumlah masyarakat sebagai pengguna Bus Rapid Transit (BRT)
45
yang dijadikan informan oleh peneliti adalah sebanyak 60 (enam puluh)
orang. Penetapan jumlah informan masyarakat sebanyak 60 (enam
puluh) orang karena melihat pada jumlah penumpang BRT yang ratarata berjumlah 10 sampai dengan 20 orang per rute, maka penulis
memilih sebanyak 6 (enam) orang informan masyarakat yang bersedia
memberikan keterangan dan mengisi kuesioner.
C. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari
sumber yang diperoleh dengan melakukan studi lapangan (field
research).62 Data primer yang digunakan penulis diperoleh dari
observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa
staf/karyawan pada Perum DAMRI Makassar serta sejumlah kuesioner
yang disebarkan kepada para penumpang Bus Rapid Transit (BRT)
Kota Makassar. Sedangkan, data sekunder yang digunakan dalam
penelitian adalah peraturan perundang-undangan, literatur atau bukubuku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum hasilhasil penelitian, artikel atau karya tulis yang dipublikasikan melalui
internet, dan pendapat dari para ahli hukum.
62
Soerjono Soekanto, 2005. Pengantar Penelitian Hukum. UI-Press, Jakarta. Hal. 51.
46
D. Metode Pengumpulan Data
Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Kuisioner
Suatu cara untuk mendapatkan informasi dengan memberikan
Dalam hal ini yang menjadi responden adalah pengguna jasa Bus
Rapid Transit (BRT) Kota Makassar.
2. Wawancara
Wawancara dibuat secara terstruktur dan dilakukan dengan cara
penyampaian sejumlah pertanyaan dari pewawancara kepada
responden.63 Adapun yang menjadi narasumber penulis dalam
penelitian ini adalah beberapa staf Perum DAMRI yang khusus
menangani bagian Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar.
3. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
melakukan pengamatan langsung pada objek kajian. Observasi
dalam penelitian ini dilakukan pada pra-penelitian, saat penelitian
dan pasca-penelitian guna untuk mengamati bagaimana Bus Rapid
Transit (BRT) dalam memenuhi hak-hak konsumen.
“Wawancara adalah”, https://id.wikipedia.org/wiki/Wawancara, diakses pada hari Senin,
5 Desember 2016, pukul 12.57.
63
47
4. Studi Kepustakaan
Dilakukan untuk memeroleh data yang akurat dari sumber tertulis,
baik itu berupa dokumen-dokumen maupun literatur-literatur yang
terkait dengan penelitian ini serta dapat menunjang pembahasan
yang akan dipaparkan dalam hasil penelitian ini.
E. Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian, baik dari data primer
maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif, yaitu mengemukakan
masalah, menggunakan pendapat dan memecahkan permasalahan dari
aspek hukumnya. Kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan,
menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang
erat kaitannya dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil analisis tersebut
diperoleh kesimpulan yang menjawab masalah yang dibahas dalam
penulisan skripsi ini.
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam Memenuhi
Hak-Hak Konsumen
Penyelenggaraan Bus Rapid Transit (BRT) merupakan salah satu
bagian dari upaya pemerintah dalam mendukung pembangunan dan
mewujudkan kesejahteraan umum dalam bidang transportasi sebagaimana
telah diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Sebagai bagian dari
transportasi nasional, Bus Rapid Transit (BRT) perlu dikembangkan potensi
dan perannya untuk mewujudkan kebutuhan masyarakat akan moda
transportasi angkutan umum yang lebih mengedepankan pelayanan,
fasilitas, serta hak-hak konsumen.
Perlindungan konsumen diberikan melalui peraturan perundangundangan, yaitu dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Hal ini perlu dilakukan dengan
pertimbangan yang matang, dan tidak cukup hanya mencontoh undangundang
negara
lain
yang
dianggap
berhasil
dalam
memberikan
perlindungan kepada konsumen, karena keberhasilan undang-undang di
negara lain belum tentu mencapai keberhasilan yang sama di Indonesia.64
Hak-hak konsumen merupakan suatu bagian dari hak asasi yang
tidak dapat diabaikan dalam melakukan kegiatan bisnis yang sehat.
Penegakan hak-hak konsumen merupakan suatu bentuk perlindungan
64
Ahmadi Miru. Op.Cit. Hal. 5.
49
yang diberikan oleh hukum atas tindakan pelaku usaha yang seringkali
bersifat menguntungkan diri sendiri dan melanggar hukum, dimana
tindakan demikian kerap kali menimbulkan kerugian konsumen.
Adapun hak-hak konsumen yang berhubungan dengan Bus Rapid
Transit (BRT) sebagaimana telah dijamin oleh undang-undang yaitu
sebagai berikut :
a. Hak
atas
kenyamanan,
keamanan,
dan
keselamatan
dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
e. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan patut serta
tidak diskriminatif;
f.
Hak
untuk
mendapatkan
kompensasi,
ganti
rugi
dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
g. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
50
Perlindungan konsumen merupakan hal yang penting dalam
menjaga keseimbangan hubungan hukum antara produsen dengan
konsumen. Di Indonesia, perlindungan hukum yang diberikan kepada
konsumen tidak hanya meliputi perlindungan dalan hal mengkonsumsi
suatu barang, melainkan juga meliputi perlindungan hukum terhadap
konsumen dalam kedudukannya sebagai pengguna jasa.
Terkait dengan penelitian ini, perlindungan konsumen akan
difokuskan dalam kedudukannya sebagai pengguna jasa moda transportasi
umum Bus Rapid Transit (BRT) guna untuk memenuhi hak-hak konsumen
sebagaimana ditentukan dalam UUPK. Keberadaan Bus Rapid Transit
(BRT) sebagai moda transportasi publik digunakan oleh berbagai lapisan
masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang telah
dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada 60 (enam puluh) orang
responden, sebagai berikut :
Tabel 4.1 : Karakteristik Responden Berdasarkan Usia
No.
Usia Responden
Jumlah
Responden
Persentase
1.
Di bawah 25 tahun
14
23%
2.
26 – 40 tahun
31
52%
3.
41 – 50 tahun
10
17%
4.
Di atas 50 tahun
5
8%
Jumlah
60
100 %
Sumber : Data primer, diolah, 2017.
51
Berdasarkan table 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar
pengguna Bus Rapid Transit (BRT) berusia 26 – 40 tahun yaitu sebanyak
31 responden atau 52%.
Tabel 4.2 : Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat Pendidikan
Jumlah
Responden
Responden
1.
SD
0
0%
2.
SMP
4
7%
3.
SMA
24
40%
4.
Sarjana
26
43%
5.
Pasca Sarjana
6
10%
Jumlah
60
100 %
No.
Persentase
Sumber : Data primer, diolah, 2017.
Berdasarkan table 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar
pengguna Bus Rapid Transit (BRT) berpendidikan sarjana yaitu sebanyak
26 responden atau 43%.
Tabel 4.3 : Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Jumlah
Responden
Responden
1.
Pria
19
32%
2.
Wanita
41
68%
No.
Persentase
Sumber : Data primer, diolah, 2017.
Berdasarkan table 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar
pengguna Bus Rapid Transit (BRT) berjenis kelamin wanita yaitu sebanyak
41 responden atau 68%.
52
Tabel 4.4: Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan
No.
Pekerjaan Responden
Jumlah
Responden
Persentase
1.
Pelajar
15
25%
2.
Karyawan
33
55%
3.
Wiraswasta
4
7%
4.
Lainnya
8
13%
Jumlah
60
100 %
Sumber : Data primer, diolah, 2017.
Berdasarkan table 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar
pengguna Bus Rapid Transit (BRT) bekerja sebagai karyawan yaitu
sebanyak 33 responden atau 55%.
Tabel 4.5 : Jumlah Penggunaan Bus Rapid Transit (BRT)
Penggunaan Bus
Jumlah
dalam Seminggu
Responden
1.
1 kali seminggu
29
48%
2.
2 kali seminggu
10
17%
3.
3 kali seminggu
8
13%
4.
4 kali seminggu
6
10%
5.
5 kali seminggu
4
7%
6.
7 kali seminggu
2
3%
7.
12 kali seminggu
1
2%
Jumlah
60
100 %
No.
Persentase
Sumber : Data primer, diolah, 2017.
53
Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa diantara 60 orang
responden pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT), dapat dilihat bahwa
jawaban terbanyak responden yakni sebanyak 29 orang atau sebesar 48%
menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) sebanyak sekali seminggu.
Keberadaan Bus Rapid Transit (BRT) sebagai moda transportasi
publik merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat, yakni kebutuhan akan transportasi.
Ditinjau dari hasil penyebaran kuesioner menunjukkan jumlah pengguna
jasa BRT yang sekali dalam seminggu relatif lebih banyak, sehingga dapat
dikatakan bahwa Bus Rapid Transit (BRT) belum dijadikan sebagai moda
transportasi utama masyarakat dalam bepergian meskipun tarif yang
ditawarkan lebih murah dibanding dengan moda transportasi umum
lainnya.
Menurut Tesar,65 seorang Kondektur Bus Rapid Transit (BRT) bahwa
jumlah pelanggan Bus Rapid Transit (BRT) setiap harinya tidak menentu,
kadang ramai dan kadang sepi. Peningkatan jumlah pelanggan biasanya
baru terjadi saat akhir pekan yang besar penumpang ingin berpergian ke
Mall. Rendahnya jumlah pelanggan akhir-akhir ini juga salah satunya
dipengaruhi oleh perkembangan taksi
online yang lebih mudah,
dibandingkan apabila menggunakan Bus Rapid Transit (BRT), masyarakat
harus menunggu di halte dengan waktu tunggu yang tidak menentu.
65
Wawancara dengan Tesar, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 14 Juli 2017.
54
Kadang pelanggan harus menunggu sekitar 15 – 30 menit, serta tidak
adanya jadwal tetap keberangkatan dan kedatangan bus.
Penulis berpandangan bahwa penggunaan Bus Rapid Transit (BRT)
oleh masyarakat tentunya digantungkan pada minat, kebutuhan, dan
kemudahan yang diberikan kepada masyarakat, menyadari keberadaan
Bus Rapid Transit (BRT) sebagai moda transportasi publik yang juga harus
bersaing dengan transportasi publik lainnya, seperti jasa transportasi online
Grab, Uber, ataupun Go-Car.
Tabel 4.6 : Keperluan Masyarakat Menggunakan Bus Rapid
Transit (BRT)
No.
Jenis Keperluan
Persentase
Pergi Bekerja
Jumlah
Responden
15
1.
2.
Pergi ke Kampus
6
10%
3.
Pergi ke Mall
30
50%
4.
Pulang Ke Rumah
5
8%
5.
Ingin mencoba BRT
4
7%
Jumlah
60
100 %
25%
Sumber : Data primer, diolah, 2017.
Mengingat sejak lahirnya Bus Rapid Transit (BRT) pertama kali
hanya memiliki rute dari mall ke mall, yakni rute Mall GTC hingga ke Mall
Panakkukang. Berdasarkan hasil tanggapan responden pada tabel 4.6
menunjukkan jawaban terbanyak, yaitu 30 responden atau sebesar 50%
menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) untuk pergi ke mall dan 15
responden atau sebesar 25% menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) untuk
55
pergi bekerja. Tabel di atas menunjukkan kesesuaian dengan keterangan
yang diberikan oleh Tesar, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), sehingga
dapat disimpulkan bahwa masyarakat lebih dominan menggunakan Bus
Rapid Transit (BRT) untuk tujuan melakukan perjalanan ke Mall, disamping
ada juga masyarakat yang menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) untuk
tujuan pergi bekerja.
Berdasarkan tanggapan masyarakat sebagai pengguna jasa Bus
Rapid Transit (BRT), alasan menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) yaitu
karena mereka merasa nyaman, aman, dan tarif Bus Rapid Transit (BRT)
yang terjangkau. Dikatakan aman karena selama menggunakan BRT
mereka tidak pernah mengalami hal-hal yang tidak diinginkan seperti
kehilangan barang ataupun pencopetan. Nyaman karena BRT memberikan
fasilitas yang memadai seperti adanya pendingin ruangan (AC) dan
kapasitas penumpang duduk yang disesuaikan dengan jumlah kursi, tidak
seperti pada angkutan kota (Pete-Pete), dimana supir angkutan
memaksakan
penumpang
semaksimal
lainnya
harus
mungkin
duduk
jumlah
penumpang
bersempit-sempitan.
sehingga
Sedangkan
dikatakan tarif terjangkau karena tarif BRT menjangkau seluruh kalangan
masyarakat, baik dari kalangan masyarakat menengah hingga ke bawah.
1. Pelayanan di Halte Bus Rapid Transit (BRT)
Adapun penilaian konsumen terkait dengan pelayanan yang
diberikan oleh pihak pengelola ataupun petugas Bus Rapid Transit (BRT)
pada halte, baik ditinjau dari segi sarana dan prasarana yang disediakan
maupun petugas yang melayani penumpang, diuraikan sebagai berikut :
56
Tabel 4.7 : Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid Transit
(BRT) di Halte
No
1.
Pernyataan
STB
Ketersediaan tempat
4.
Jumlah
18
7
4
5
60
43%
30%
12%
7%
8%
100%
4
21
22
3
10
60
7%
35%
36%
5%
17%
100%
1
23
19
12
5
60
kenyamanan di halte
2%
38%
32%
20%
8%
100%
Tempat
20
25
3
6
6
60
33%
42%
5%
10%
10%
100%
2
6
18
25
9
60
3%
10%
30%
42%
15%
100%
-
3
17
34
6
60
5%
28%
57%
10%
100%
5
18
32
5
60
8%
30%
53%
8%
100%
29
17
8
4
2
60
48%
28%
13%
7%
3%
100%
20
22
7
9
2
60
33%
37%
12%
15%
3%
100%
20
18
12
9
1
60
33%
30%
20%
15%
2%
100%
2
4
23
28
3
60
3%
7%
38%
47%
5%
100%
20
15
13
11
1
60
33%
25%
22%
18%
2%
100%
20
19
13
2
6
60
33%
32%
22%
2%
10%
100%
-
3
29
27
1
60
5%
48%
45%
2%
100%
Kualitas tempat duduk
di halte
3.
SB
26
duduk di halte
2.
Tanggapan Responden
TB
CB
B
Kebersihan
prioritas
dan
duduk
bagi
nyandang
pecacat,
lansia, dan ibu hamil
5.
Antri untuk masuk ke
dalam halte
6.
Antri untuk membeli
tiket
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Petugas
melayani
yang
Petunjuk lokasi (jalur)
bus
Petunjuk
jadwal
keberangkatan bus
Petunjuk
jadwal
kedatangan bus
Antri untuk masuk ke
dalam bus
Ketepatan
kedatangan
waktu
Ketepatan
waktu
keberangkatan
Petugas
dalam
Melayani
keluhan
Penumpang
-
Sumber : Data primer, diolah, 2017.
57
Berdasarkan hasil tanggapan responden mengenai pelayanan Bus
Rapid Transit (BRT), maka diperoleh jawaban terbanyak responden adalah
sangat tidak baik. Hal ini dapat dilihat dari indikator pertama, mengenai
ketersediaan tempat duduk, rata-rata responden memberikan jawaban
sangat tidak baik, yaitu sebanyak 26 orang atau 43%. Dikatakan sangat
tidak baik karena dalam kaitannya dengan hasil observasi penulis
ditemukan bahwa terdapat beberapa halte tertentu yang tidak dilengkapi
dengan tempat duduk, seperti halte-halte di mal sehingga para calon
penumpang yang menunggu kedatangan bus harus menunggu sambil
berdiri. Disamping itu, terdapat pula halte-halte yang meskipun telah
dilengkapi dengan tempat duduk untuk menunggu kedatangan bus, namun
ketersediaan tempat duduk belum maksimal karena hanya mencakup untuk
6 (enam) orang, dimana selebihnya terhadap calon penumpang harus
menunggu sambil berdiri, misalnya pada jam-jam pulang kantor, terdapat 6
(enam) orang yang duduk dan 5 (lima) orang yang berdiri hingga bus tiba.
Terkait dengan kualitas tempat duduk pada halte, sebagian besar
responden memberikan jawaban cukup baik, yaitu sebanyak 22 orang atau
sebesar 36%. Hasil observasi pada beberapa halte Bus Rapid Transit
(BRT), penulis menemukan bahwa walaupun jumlah tempat duduk yang
disediakan
tidak
mencakup
jumlah
penumpang
yang
menunggu
kedatangan bus, namun kualitas tempat duduk telah memenuhi standar
pada umumnya, seperti tempat duduk bersih, terawat, dan masih tampak
58
seperti baru sehingga calon penumpang dapat menunggu bus dengan
nyaman.
Selanjutnya, mengenai kebersihan dan kenyamanan di halte,
sebagian besar responden memberikan jawaban tidak baik, yaitu sebanyak
23 orang atau sebesar 38%. Kebersihan dalam halte merupakan salah satu
aspek penting yang harus diperhatikan oleh pengelola Bus Rapid Transit
(BRT), dimana kebersihan halte akan memengaruhi kenyamanan
konsumen
khususnya
yang
sedang
menunggu
kedatangan
bus.
Berdasarkan hasil observasi penulis menemukan bahwa kebersihan halte
belum tampak secara maksimal, dikarenakan masih banyaknya kemasan
makanan dan/atau minuman yang tidak dibuang pada tempatnya karena
minimnya tempat sampah, disamping itu dalam halte tidak ada papan
peringatan/himbauan untuk tetap menjaga kebersihan dan membuang
sampah pada tempatnya serta banyaknya halte yang dicoreti oleh orangorang yang tidak bertanggungjawab.
Mengenai tempat duduk prioritas dalam halte bagi penyandang
cacat, lansia, dan ibu hamil, sebagian besar responden memberikan
jawaban tidak baik, yaitu sebanyak 20 orang atau sebesar 33,3%. Adapun
pertimbangan pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) menyatakan tidak
baik karena berdasarkan hasil observasi ditemukan dalam halte tidak ada
satupun tempat duduk yang dikhususkan bagi penyandang cacat, lansia,
dan ibu hamil, dimana masyarakat tidak menyadari bahwa terhadap
59
penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil harus diberikan prioritas untuk
duduk.
Terkait dengan antri untuk masuk ke dalam halte, antri untuk
membeli tiket, petugas yang melayani, hingga antri untuk masuk ke dalam
bus sebagian besar responden memberikan jawaban baik. Dikatakan baik
karena ketika calon penumpang melakukan antri, ada kondektur bus yang
menertibkan para penumpang, seperti pada saat antri masuk ke dalam bus,
para penumpang dihimbau untuk tidak saling dorong mendorong, dan bagi
orang tua yang membawa anak, dihimbau untuk memegang anaknya.
Selanjutnya, mengenai petunjuk lokasi (jalur) bus, petunjuk jadwal
keberangkatan bus, dan petunjuk jadwal kedatangan bus sebagian besar
responden juga memberikan jawaban sangat tidak baik dan tidak baik.
Dikatakan tidak baik karena berdasarkan hasil observasi menunjukkan
bahwa terhadap keterangan mengenai petunjuk jalur bus, petunjuk jadwal
kedatangan maupun keberangkatan bus, semuanya tidak dicantumkan
pada setiap halte, sehingga masyarakat yang menunggu bus tidak dapat
melihat jadwal kedatangan bus.
Terkait dengan ketepatan waktu kedatangan maupun ketepatan
waktu keberangkatan, sebagian besar responden memberikan jawaban
sangat tidak baik. Dikatakan sangat tidak baik karena berdasarkan hasil
observasi penulis, kedatangan bus maupun keberangkatannya selalu
mengalami keterlambatan. Rohani, 66 Kondektur Bus Rapid Transit (BRT)
66
Wawancara dengan Rohani, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 15 Juli 2017.
60
menjelaskan bahwa kedatangan bus tidak bisa ditentukan waktunya karena
lamanya waktu tempuh kedatangan bus tergantung pada kondisi jalan,
apabila kondisi jalan saat itu macet, maka bus juga akan terlambat tiba
ditempat tujuan. Hal ini disebabkan karena bus tidak memiliki jalur khusus.
Selanjutnya, terkait dengan petugas dalam melayani keluhan
penumpang, sebagian besar responden memberikan jawaban cukup baik,
yaitu sebanyak 29 orang atau sebesar 48%. Adanya keterlambatan
kedatangan bus menyebabkan banyaknya penguna jasa bus yang
melakukan keberatan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan
Tesar, Konderktur Bus Rapid Transit (BRT) menyatakan bahwa seringnya
keterlambatan kedatangan bus karena kondisi jalan yang macet
menyebabkan ia juga banyak menerima keluhan dari penumpang. Dalam
menghadapi hal tersebut, para kondektur berusaha mengkomunikasikan
kendala kemacetan yang dihadapi agar bisa diterima dengan baik oleh
penumpang, dimana supir bus juga wajib mengutamakan kehati-hatian.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, apabila ditinjau dari
segi pelayanan yang diberikan, baik pada saat menunggu bus di halte, antri
untuk masuk ke halte hingga antri untuk masuk ke dalam bus, petunjuk
jadwal kedatangan maupun keberangkatan bus pelayanan, serta petugas
yang melayani keluhan penumpang, secara keseluruhan belum dapat
dikatakan memadai. Hal ini didasarkan pada hasil tanggapan konsumen
dan observasi penulis yang melihat pelayanan yang diberikan masih kurang
mengutamakan kepentingan pengguna jasa yang termasuk dalam kategori
61
penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil. Disamping itu, yang menjadi
kendala lainnya adalah disebabkan oleh kondisi jalan yang sering
mengalami kemacetan sehingga kedatangan bus selalu mengalami
keterlambatan, disamping tidak adanya jalur khusus bagi bus.
2. Pelayanan di Dalam Bus Rapid Transit (BRT)
Pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa BRT tidak hanya
terbatas pada pelayanan pada saat menunggu di halte, melainkan juga
termasuk pelayanan di dalam bus. Dari hasil penyebaran kuesioner, dapat
dilihat penilaian masyarakat terkait dengan pelayanan di dalam bus yang
akan diuraikan dalam bentuk tabel di bawah ini :67
67
Indeks penilaian : 1 = Sangat Tidak Baik (STB), 2 = Tidak Baik (TB), 3 = Cukup Baik
(CB), 4 = Baik (B), 5 = Sangat Baik (SB).
62
Tabel 4.8 : Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid Transit
(BRT) di Dalam Bus
No
1.
Pernyataan
4.
Kebersihan
dalam
bus
Tempat duduk dalam
bus
Tempat
duduk
prioritas bagi penyandang
cacat,
lansia, dan ibu hamil
Tempat berpegangan
5.
Kapasitas Muatan
6.
Kualitas AC
7.
Keamanan
Barang
Bawaan Penumpang
Fasilitas lainnya (tv,
dll)
Pemberitahuan
mengenai rute yang
akan ditempuh
Kehati-hatian
supir
dalam mengendarai
bus
2.
3.
8.
9.
10.
STB
21
35%
-
Tanggapan Responden
TB
CB
B
4
25
21
7%
42%
35%
1
23
24
1,7%
38,3%
40%
23
8
4
38%
13%
7%
Jumlah
60
100%
60
100%
60
100%
3
5%
1
2%
3
5%
11
18%
8
13%
22
37%
16
27%
20
33%
22
37%
27
45%
23
38%
32
53%
35
58%
27
45%
33
55%
18
30%
25
42%
5
8%
6
10%
12
20%
2
3%
1
2%
3
5%
60
100%
60
100%
60
100%
60
100%
60
100%
60
100%
5
8%
7
12%
24
40%
22
37%
2
3%
60
100%
1
2%
-
1
2%
3
5%
-
SB
10
16%
12
20%
4
7%
Sumber : Data primer, diolah, 2017.
Berdasarkan tanggapan konsumen pengguna jasa Bus Rapid
Transit (BRT) terkait dengan pelayanan di dalam bus, sama seperti halnya
dengan pelayanan di halte, sebagian besar memberikan jawaban cukup
baik dan baik. Terhadap kebersihan dalam bus, yakni sebagian besar
responden memberikan penilaian cukup baik, yaitu sebanyak 25 orang atau
sebesar 42%. Kebersihan Bus Rapid Transit (BRT) merupakan suatu hal
yang patut dijaga, mengingat BRT adalah salah satu moda transportasi
63
publik. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan penulis di dalam Bus
Rapid Transit (BRT), kondisi Bus Rapid Transit (BRT) pada dasarnya
terlihat bersih, dimana adanya peran kondektur yang kerap kali memberikan
himbauan kepada masyarakat agar tidak membuang sampah di atas bus.
Adanya sikap kondektur yang demikian menunjukkan suatu upaya agar
kebersihan bus tetap terjaga.
Selain dari aspek kebersihan, yang patut diperhatikan adalah tempat
duduk maupun tempat berpegangan dalam bus. Bus Rapid Transit (BRT)
memiliki kapasitas penumpang sebanyak 70 orang, dengan rincian 30
orang duduk (termasuk tempat duduk prioritas bagi lansia, penyandang
cacat, dan ibu hamil), dan 40 orang berdiri dengan pegangan tangan,
sebanyak 32 orang atau sebesar 53% memberikan penilaian baik.
Dikatakan baik karena berdasarkan hasil observasi yang dilakukan penulis,
tempat duduk maupun tempat berpegangan yang disediakan dalam bus
cukup nyaman dan terawat sehingga terlihat masih seperti baru. Namun,
berdasarkan observasi penulis, pada beberapa bus tidak memiliki kursi
proritas bagi lansia/penyandang cacat/ibu hamil dimana apabila terdapat
lansia/penyandang cacat/ibu hamil pada saat itu, maka mereka harus
duduk pada kursi lainnya ataupun berdiri apabila tempat duduk telah penuh.
Hal ini menunjukkan pihak Bus Rapid Transit (BRT) dalam memberikan
pelayanan
kepada
publik
kurang
memerhatikan
kepentingan
lansia/penyandang cacat/ibu hamil yang seharusnya patut diprioritaskan,
64
mengingat
lansia/penyandang
cacat/ibu
hamil
adalah
penumpang
berkebutuhan khusus.
Faktor keamanan dalam bus merupakan salah satu faktor yang
memengaruhi keputusan pelanggan untuk menggunakan Bus Rapid Transit
(BRT). Dalam kaitannya dengan keamanan barang bawaan penumpang,
sebanyak 33 orang atau sebesar 55% responden menyatakan baik. Hal ini
menunjukkan bahwa apabila ditinjau dari segi keamanan, Bus Rapid Transit
(BRT) dirasakan aman oleh sebagian besar penumpang.
Adapun fasilitas yang diberikan selama penumpang berada dalam
bus yaitu Bus Rapid Transit (BRT) dilengkapi dengan fasilitas berupa
pendingin ruangan (AC) dan televisi, sebanyak 27 orang atau sebesar 45%
tanggapan responden menyatakan cukup baik. Dari hasil observasi yang
dilakukan penulis, BRT yang dilengkapi dengan pendingin ruangan (AC)
dan dirasakan telah memberikan kenyamanan bagi pengguna jasanya,
walaupun terkadang televisi yang ada dalam bus tidak difungsikan.
Selain ditinjau dari segi fasilitas yang diberikan, yang patut
diperhatikan adalah pemberitahuan mengenai rute yang akan ditempuh,
dimana tanggapan responden adalah baik, yaitu sebanyak 25 orang atau
sebesar 42%. Di dalam Bus Rapid Transit (BRT), ada juga yang telah
dilengkapi dengan papan pemberitahuan yang menyebutkan rute
selanjutnya yang akan ditempuh, dimana kerap kali kondektur juga
menyebutkan secara lisan mengenai rute pemberhentian selanjutnya.
Adanya pemberitahuan mengenai rute yang akan ditempuh lebih
65
membantu penumpang, khususnya bagi penumpang yang kurang
mengetahui alur jalan.
Kenyamanan
dan
keamanan
penumpang
dalam
bus
juga
dipengaruhi oleh tingkat kehati-hatian supir dalam mengendarai bus. Dari
hasil penyebaran kusioner, tanggapan responden mengenai kehati-hatian
supir dalam mengendarai Bus Rapid Transit (BRT) adalah dinilai cukup
baik, yaitu sebanyak 24 orang atau 40%. Dikatakan cukup baik karena dari
hasil observasi penulis menunjukkan bahwa supir bus dalam mengendarai
Bus Rapid Transit (BRT) telah menyesuaikan dengan kondisi lalu lintas dan
jalan sesuai dengan jalur Bus Rapid Transit (BRT) sebagaimana ditetapkan
di jalan raya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, terkait dengan pelayanan di
dalam bus, dapat disimpulkan bahwa pelayanan di dalam bus Bus Rapid
Transit (BRT) sudah cukup memadai, baik dari segi kebersihan, fasilitas
dalam bus, pemberitahuan maupun kehati-hatian supir dalam mengendarai
bus. Hal ini dapat dilihat dari jawaban pengguna jasa Bus Rapid Transit
(BRT) yang sebagian besar telah memberikan jawaban baik maupun cukup
baik. Namun, yang kurang mendapatkan perhatian adalah tempat duduk
prioritas bagi penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil yang tidak ada pada
beberapa Bus Rapid Transit (BRT) karena perubahan struktur dalam bus.
3. Pelayanan Saat Turun Bus Rapid Transit (BRT)
Pelayanan yang harus diberikan oleh Bus Rapid Transit (BRT)
kepada konsumennya tidak hanya terbatas pada pelayanan sebelum
66
menaiki bus dan pada saat di dalam bus saja, melainkan pelayanan juga
harus diberikan pada saat menurunkan penumpang dari bus. Adapun
tanggapan responden terkait penilaiannya terhadap pelayanan Bus Rapid
Transit (BRT) ketika turun bus dapat diuraikan sebagai berikut :68
68
Indeks penilaian : 1 = Sangat Tidak Baik (STB), 2 = Tidak Baik (TB), 3 = Cukup Baik
(CB), 4 = Baik (B), 5 = Sangat Baik (SB).
67
Tabel 4.9 : Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid Transit
(BRT) Ketika Turun Bus
No
1.
2.
3.
Tanggapan Responden
Pernyataan
Jumlah
STB
TB
CB
B
SB
2
2
25
29
2
60
3%
3%
43%
48%
3%
100%
Prioritas menurunkan penumpang bagi penyandang cacat, lansia, dan ibu
hamil
-
3
22
32
3
60
5%
37%
53%
5%
100%
Pemberitahuan
-
3
25
29
3
60
5%
42%
48%
5%
100%
Antri untuk turun
lokasi
pemberhen-
tian ketika bus berhenti
4.
Rentan waktu saat
1
9
18
25
7
60
menurunkan penum-
2%
15%
30%
42%
11%
100%
-
5
22
28
5
60
8%
36%
48%
8%
100%
3
7
24
22
4
60
5%
12%
40%
36%
7%
100%
1
5
23
28
3
60
2%
8%
38%
47%
5%
100%
pang
5.
Peringatan
untuk
tidak meninggalkan
barang bawaan ketika hendak turun bus
6.
Peringatan
kon-
dektur terhadap penumpang untuk tidak
berdiri/bersandar di
depan pintu
7.
Kesigapan kondektur
apabila ada barang
yang ketinggalan
Sumber : Data primer, diolah, 2017.
Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner pada tabel 4.9 di atas
sebagian besar responden memberikan jawaban baik. Pada indikator
68
pertama, yaitu mengenai antri untuk turun, sebanyak 29 responden atau
48% menyatakan baik. Selanjutnya, terhadap prioritas menurunkan
penumpang yang lansia, penyandang cacat, maupun ibu hamil dinilai baik
yaitu sebanyak 32 responden atau 53%. Dari hasil observasi penulis, bagi
penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil diturunkan terlebih dahulu dan
menghimbau agar penumpang turun dengan hati-hati. Ketika bus sedang
ramai penumpang, kondektur menyuruh para penumpang untuk antri dan
tidak berdesak-desakan, dimana kondektur mendahulukan penumpang
yang akan turun terlebih dahulu, lalu menaikkan penumpang sedang antri
pada halte. Adanya pengaturan yang demikian menunjukkan kondektur
sudah tepat dalam mengatur penumpang.
Terkait dengan pemberitahuan lokasi pemberhentian, sebanyak 29
responden atau sebesar 48% menyatakan baik. Berdasarkan hasil
observasi penulis, ketika bus berhenti, kondektur menyampaikan kepada
seluruh penumpang mengenai rute/nama jalan yang sedang disinggahi,
sehingga adanya pemberitahuan demikian, para penumpang juga
mengetahui dimana selanjutnya mereka akan turun.
Mengenai rentan waktu saat menurunkan penumpang, sebanyak 25
responden atau sebesar 42% menyatakan baik. Dalam kaitannya dengan
rentan waktu menurunkan penumpang, dari hasil observasi penulis dilihat
bahwa rentan waktu dalam menurunkan penumpang tidak ditentukan oleh
durasi waktu tertentu, tergantung pada sedikit atau banyaknya penumpang
yang turun, dimana kondektur menurunkan seluruh penumpang terlebih
69
dahulu kemudian menaikkan penumpang, lalu memberitahukan kepada
supir bus untuk jalan ke rute selanjutnya, sehingga para penumpang bus
tidak perlu terburu-buru atau berdesak-desakan untuk turun dari bus.
Sebelum turun dari bus, ada juga kondektur yang menghimbau para
penumpang untuk tidak meninggalkan barang bawaannya. Adapun
penilaian konsumen Bus Rapid Transit (BRT) menanggapi hal tersebut
adalah sebagian besar memberikan respon baik, yaitu sebanyak 28 orang
atau sebesar 48%. Himbauan untuk tidak meninggalkan barang bawaan
adalah merupakan suatu hal yang harus dilakukan oleh kondektur,
mengingat banyaknya penumpang Bus Rapid Transit (BRT) yang biasanya
datang dari mall untuk berbelanja sehingga sebagian besar dari mereka
membawa barang bawaan.
Selain itu, peringatan kondektur terhadap penumpang untuk tidak
berdiri di depan pintu merupakan suatu hal yang wajib dilakukan dalam
kaitannya dengan aspek keselamatan penumpang yang perlu diperhatikan.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, sebagian responden memberikan
jawaban cukup baik, yaitu sebanyak 24 orang atau sebesar 40%. Himbauan
kepada
penumpang
agar
tidak
berdiri/bersandar
di
depan
pintu
diberitahukan pada saat penumpang bersiap-siap untuk turun dan
dikhususkan bagi penumpang yang berdiri di dalam bus, dikarenakan pintu
bus akan terbuka secara otomatis.
Terkait dengan kesigapan kondektur terhadap barang bawaan
penumpang yang ketinggalan di dalam bus, dari data yang diperoleh,
70
ditemukan bahwa sebanyak 28 responden atau sebesar 47% menyatakan
baik. Adapun keterangan yang diberikan oleh seorang penumpang, 69 yang
pernah mengalami ketinggalan barang pada bus Bus Rapid Transit (BRT),
beliau menjelaskan bahwa pada saat barangnya ketinggalan di bus, beliau
menghubungi nomor telepon Bus Rapid Transit (BRT). Selanjutnya pihak
yang melayani laporan tersebut langsung menghubungi pada kondektur
bus yang bersangkutan. Barang yang ketinggalan tersebut kemudian
disimpan oleh kondektur bus dan pada hari berikutnya, barang dapat
diambil pada kantor Bus Rapid Transit (BRT) yang terletak di Kantor Perum
DAMRI Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar setelah dihubungi oleh
pihak kantor BRT Trans Mamminasata terkait. Dari keterangan yang
diberikan dapat diketahui bahwa terhadap barang bawaan penumpang
yang ketinggalan menunjukkan suatu kesigapan dari kondektur untuk
mengamankan dan menyimpan barang konsumen, dimana hal demikian
akan menumbuhkan kepercayaan kepada konsumen dalam menggunakan
BRT Trans Mamminasata.
Berdasarkan tanggapan responden, apabila ditinjau dari bentuk
pelayanan ketika turun bus, baik ketika antri untuk turun, berbagai
peringatan/himbauan dari kondektur, serta kesigapan kondektur terhadap
barang bawaan penumpang yang ketinggalan menunjukkan bahwa secara
69
Wawancara dengan Ikhlas, salah satu Konsumen Bus Rapid Transit (BRT) rute Jl.
Ahmad Yani-Metro Tanjung Bunga, tanggal 14 Juli 2017, pukul 15.45 WITA.
71
keseluruhan telah memadai dan mendapatkan respon positif dari pengguna
jasanya.
4.
Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Dalam Kaitannya dengan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen
Setelah menguraikan tanggapan responden berdasarkan hasil
penyebaran kuesioner, selanjutnya penulis akan meninjau pelayanan Bus
Rapid Transit (BRT) dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak
konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUPK.
a. Pemenuhan Hak Atas Kenyamanan, Keamanan, dan Keselamatan
Aspek kenyamanan meliputi kebersihan, sarana dan prasarana
yang terdapat di halte maupun di dalam bus, serta antri untuk masuk
dan turun dari bus yang tertib. Sedangkan, aspek keamanan meliputi
kapasitas muatan disesuaikan dengan jumlah kursi dan tempat
berpegangan, adanya himbauan-himbauan yang diberikan oleh
kondektur seperti peringatan untuk tidak meninggalkan barang bawaan,
dan adanya kesigapan kondektur terhadap barang bawaan yang
ketinggalan. Adapun aspek keselamatan meliputi kehati-hatian supir
dalam mengendari bus ketika memuat penumpang, himbauanhimbauan yang diberikan oleh kondektur untuk tidak berdiri/bersandar
di depan pintu, dan adanya prioritas bagi penyandang cacat, lansia, dan
ibu hamil untuk diturunkan lebih dahulu dari bus, serta adanya jaminan
asuransi kecelakaan.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, terhadap bentuk
pelayanan yang diberikan oleh Bus Rapid Transit (BRT) adalah
72
pelayanan yang dimulai dari pada saat konsumen berada di halte,
pelayanan dalam bus, maupun pelayanan ketika turun bus. Dari
tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa terhadap pelayanan yang
diberikan pada dasarnya dinilai sudah cukup memadai. Namun, yang
menjadi kendala adalah ketersediaan tempat duduk di halte yang masih
kurang bahkan ada beberapa halte yang tidak tersedia tempat duduk.
Kebersihan di halte juga masih perlu diperhatikan karena banyaknya
sampah serta halte yang dicoreti tulisan menggunakan pylox oleh pihak
yang tidak bertanggungjawab, dimana hal ini seharusnya menjadi
perhatian dalam pemenuhan hak konsumen berdasarkan Pasal 4 huruf
a UUPK.
b. Pemenuhan Hak Untuk Memilih dan Mendapatkan Barang dan/atau
Jasa yang sesuai dengan Nilai Tukar dan Kondisi serta Jaminan
yang Diperjanjikan
Salah satu hal terpenting dalam menggunakan jasa transportasi
bus adalah adanya karcis yang dibeli di terminal sebelum menaiki bus
atau pada kondektur di dalam bus. Karcis adalah surat kecil (carik
kertas
khusus)
sebagai
tanda
telah
membayar
ongkos
dan
sebagainya.70 Karcis merupakan suatu bukti tanda pembayaran atas
tarif bus, di mana dengan membayar sejumlah uang berdasarkan tarif
yang tertera pada karcis, secara otomatis penumpang telah
mendapatkan perlindungan asuransi Jasa Raharja apabila selama
menggunakan bus para penumpang mengalami kecelakaan.
70
http://kbbi.web.id/karcis diakses tanggal 17 Juli 2017.
73
Adapun tanggapan responden mengenai karcis pada saat
menggunakan jasa Bus Rapid Transit (BRT), yang selanjutnya dapat
dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 4.10 : Tanggapan Responden Mengenai Ada/Tidaknya
Karcis yang Diberikan
Jumlah
Persentase
No.
Pernyataan
Responden
(%)
1.
Diberi karcis
58
97%
2.
Tidak diberi karcis
2
3%
60
100%
Jumlah
Sumber : Data primer, diolah, 2017.
Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa diantara 60 responden,
terdapat 58 orang menyatakan selama naik bus mereka selalu diberi
karcis, dan 2 orang lainnya menyatakan tidak diberi karcis. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa dari pengumpulan data terlihat
jumlah responden yang diberikan karcis lebih besar dibandingkan
dengan jumlah responden yang tidak diberikan karcis.
Sebagaimana terlihat pada potongan karcis Bus Rapid Transit
(BRT) adalah adanya pencantuman tarif dan pernyataan bahwa tarif
angkutan sudah termasuk asuransi Jasa Raharja. Adapun tarif yang
ditetapkan saat ini adalah Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).
Melihat dari segi tarif yang ditetapkan, tarif Bus Rapid Transit (BRT)
lebih
ekonomis
dibandingkan
dengan
tarif
angkutan
umum
konvensional pada umumnya, seperti angkutan kota (angkot) dengan
tarif Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah).
74
Berdasarkan hasil pengamatan penulis dalam Bus Rapid Transit
(BRT), sebagian besar penumpang tidak menyediakan uang pas,
sehingga sebagian besar penumpang memberikan uang dengan
pecahan Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah), sehingga masih ada kembalian
yang harus diterima, yaitu Rp. 500,- (lima ratus rupiah), namun pihak
kondektur sangat jarang pula memberikan kembalian dengan alasan
tidak ada uang kecil. Untuk mengetahui jawaban responden mengenai
uang kembalian, adapun tanggapan responden sebagai berikut :
Tabel 4.11 : Tanggapan Responden mengenai Uang Kembalian
No.
Pernyataan
Jumlah
Persentase
Responden
(%)
1.
Diberi kembalian
13
22%
2.
Tidak diberi uang kembalian
34
57%
3.
Membayar dengan uang pas
sehingga tidak memerlukan
uang kembalian
Kadang tidak diberikan uang
kembalian,
tergantung
ketersediaan uang kecil
Jumlah
6
10%
7
11%
60
100%
4.
Sumber : Data primer, diolah, 2017.
Terkait dengan hasil pengamatan penulis pada Bus Rapid Transit
(BRT) menunjukkan bahwa mengenai uang kembalian pada saat
penumpang tidak memiliki uang pas, terlihat bahwa 34 orang atau 57%
menyatakan tidak diberi uang kembalian; 7 orang atau sebesar 11%
menyatakan kadang tidak diberikan kembalian; dan 13 orang atau
75
sebesar 22% diantaranya menyatakan diberi uang kembalian. Dengan
demikian dapat dilihat suatu hasil yang signifikan bahwa sebagian
besar penumpang yang tidak membayar dengan uang pas, maka tidak
diberikan uang kembalian yang seharusnya diterima.
Guna untuk memeroleh tanggapan mengenai hal tersebut, penulis
melakukan wawancara dengan Rahman, bagian administrasi pada
Kantor Bus Rapid Transit (BRT) yang menerangkan sebagai berikut :71
“Mengenai kembalian uang Rp. 500,- sering didapatkan
pengaduan dari masyarakat. Hampir sebagian besar kondektur
tidak memberikan uang kembalian karena kesulitan uang kecil.
Oleh karena itu, pihak kantor menyediakan uang kecil setiap hari
sebanyak Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan
diberikan kepada masing-masing kondektur bus sebelum
berangkat beroperasi, namun alhasil kantor mengalami tekor.”
Berdasarkan keterangan di atas, diperoleh suatu penjelasan
bahwa tindakan kondektur yang tidak memberikan uang kembalian
telah banyak dikeluhkan oleh konsumen, dimana dalam mengatasi hal
tersebut,
pihak
administrasi
Bus
Rapid
Transit
(BRT)
telah
menyediakan uang kecil kepada kondektur sebelum berangkat
beroperasi, namun upaya tersebut malahan menimbulkan kerugian
(tekor) kepada Bus Rapid Transit (BRT).
Pasal 4 huruf b UU Perlindungan Konsumen menentukan bahwa
hak konsumen adalah “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapat barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
71 Wawancara
dengan Rahman, bagian Administrasi pada Kantor Bus Rapid Transit (BRT),
tanggal 18 Juli 2017.
76
kondisi serta jaminan yang diperjanjikan”. Dalam kaitannya dengan
penelitian
ini,
nilai
tukar
yang
diperjanjikan
adalah
nilai/tarif
sebagaimana tertera pada karcis bus. Selanjutnya, Pasal 8 ayat (1)
huruf f UUPK, bahwa “pelaku usaha dilarang untuk memroduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai
dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.”
Tidak diberikannya uang kembalian sebesar Rp. 500,- (lima ratus
rupiah) merugikan konsumen dan melanggar hak konsumen untuk
mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang
diperjanjikan. Selain melanggar hak-hak konsumen Pasal 4 huruf b
UUPK, tindakan kondektur yang demikian juga melanggar ketentuan
Pasal 8 ayat (1) huruf f UUPK dimana secara tidak langsung tarif Bus
Rapid Transit (BRT) oleh sebagian besar konsumen menjadi Rp. 5000,(lima ribu rupiah), sehingga tidak sesuai lagi dengan tarif yang tertera
pada karcis bus.
Guna untuk mengatasi fenomena demikian, diperlukan perhatian
khusus bagi pihak pengelola Bus Rapid Transit (BRT) agar tidak secara
terus menerus merugikan hak konsumen sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 4 huruf b UUPK. Salah satu cara yang dianggap mampu
mengatasi fenomena tersebut adalah dengan mengubah metode
pembayaran bus, yaitu dengan menggunakan sistim pembayaran
elektronik dengan menggunakan kartu sebagaimana halnya telah
77
diterapkan di Kota Jakarta maupun di negara lainnya, sehingga
konsumen Bus Rapid Transit (BRT) tidak lagi merasa dirugikan ketika
tidak diberikan karcis maupun ketika tidak diberikan uang kembalian.
c. Pemenuhan Hak Atas Informasi yang Benar, Jelas dan Jujur
Mengenai Kondisi dan Jaminan Barang dan/atau Jasa
Hak konsumen sebagaimana dilindungi oleh undang-undang tidak
hanya sebatas hak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan, dan hak untuk memeroleh barang dan/atau jasa sesuai
dengan nilai tukarnya, dimana berdasarkan Pasal 4 huruf c jo. Pasal 7
huruf b UUPK memberikan hak kepada konsumen sekaligus
menimbulkan kewajiban kepada pelaku usaha atas informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa. Informasi yang benar, jelas, dan jujur dalam kaitannya dengan Bus
Rapid Transit (BRT) adalah terkait dengan petunjuk lokasi (jalur) bus,
petunjuk jadwal kedatangan dan keberangkatan bus, ketepatan waktu
kedatangan dan keberangkatan, pemberitahuan lokasi pemberhentian
ketika bus berhenti, dan pemberitahuan/informasi kepada penumpang
mengenai rute yang akan ditempuh.
Namun pihak Bus Rapid Transit (BRT) tidak menginformasikan
waktu kedatangan maupun keberangkatan bus, dimana bus sering
mengalami keterlambatan sehingga sering mendapatkan keluhan dari
konsumen. Tidak adanya informasi yang mengenai waktu kedatangan
maupun keberangkatan bus menunjukkan bahwa konsumen belum
memeroleh hak sebagaimana mestinya yang ditentukan dalam Pasal 4
78
huruf c UUPK. Menggapi hal tersebut, Tesar, 72 seorang kondektur BRT
Trans Mamminasata menjelaskan sebagai berikut :
“Kedatangan bus tidak bisa ditentukan waktunya karena
bergantung pada kondisi jalan dan tidak adanya jalur khusus
BRT, disamping armada BRT yang beroperasi terbatas yaitu
pada hari Senin-Jumat hanya 5 armada, dan Sabtu-Minggu
adalah 7 armada tiap rutenya. Kendala tersebut telah
diberitahukan kepada masyarakat karena banyaknya yang
mengeluh sehingga masyarakat dihimbau untuk menunggu
kedatangan bus berkisar antara 15-20 menit.”
Berdasarkan keterangan di atas, diperoleh suatu pemahaman
bahwa informasi mengenaI jadwal kedatangan maupun keberangkatan
bus tidak ditetapkan karena waktu kedatangan maupun keberangkatan
bus tidak bisa diprediksi karena tergantung pada kondisi jalan. Tidak
adanya jalur khusus Bus Rapid Transit (BRT) dan keterbatasan armada
juga merupakan salah satu faktor penghambat sehingga kedatangan
bus selalu mengalami keterlambatan, sehingga pihak Bus Rapid Transit
(BRT) harus menginformasikan hal tersebut kepada konsumen dan
memberitahukan masyarakat untuk menunggu kedatangan bus dalam
waktu 15 hingga 20 menit.
Penulis berpendapat bahwa dengan memberikan informasi
berupa petunjuk lokasi (jalur) bus pada tiap-tiap halte dan penjelasan
mengenai keadaan-keadaan sebagaimana dialami di jalan yang
menyebabkan keterlambatan bus, seperti karena keterbatasan armada,
kondisi jalan yang padat sehingga menyebabkan kemacetan dan waktu
72
Wawancara dengan Tesar, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 15 Juli 2017.
79
tunggu yang diinformasikan selama 15 hingga 20 menit, pada dasarnya
pihak Bus Rapid Transit (BRT) telah menjalankan kewajiban sebagai
pelaku usaha dengan memberikan informasi yang benar dan jujur,
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 huruf b UUPK bahwa kewajiban
pelaku usaha “memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan”. Namun yang
menjadi kendala adalah karena kondisi kemacetan dan tidak adanya
jalur khusus bus sehingga pihak Bus Rapid Transit (BRT) juga tidak
dapat menginformasikan waktu kedatangan bus. Hal ini berdampak
pada tidak adanya kepastian yang diberikan kepada pengguna jasa Bus
Rapid Transit (BRT) mengenai waktu kedatangan bus dan dilanggarnya
hak konsumen untuk memeroleh informasi yang jelas mengenai produk
jasa yang digunakan sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 4
huruf c UUPK.
d. Pemenuhan Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya atas
Barang Dan/Atau Jasa Yang Digunakan
Sebagaimana fenomena uang kembalian yang tidak diberikan
kepada konsumen dan seringnya keterlambatan kedatangan bus
berakibat banyaknya keluhan masyarakat. Seperti pada tidak adanya
uang kembalian pecahan Rp. 500,- (lima ratus rupiah) yang masih
seharusnya diterima oleh masyarakat selanjutnya menimbulkan
tanggapan/reaksi yang berbeda-beda dari masyarakat. Adapun
80
tanggapan/reaksi masyarakat berdasarkan hasil penyebaran kuesioner
dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 4.12 : Reaksi/Tanggapan Responden
No.
Reaksi/Tanggapan
Jumlah
Persentase
Responden
(%)
1.
Mengajukan keberatan
36
60%
2.
Tidak mengajukan keberatan
24
40%
60
100%
Jumlah
Sumber : Data Primer, diolah, 2017.
Dari 60 responden, terdapat 24 orang atau 40% menyatakan
mengajukan keberatan dan 36 orang atau 60% menyatakan tidak
mengajukan keberatan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
jumlah responden yang mengajukan keberatan relatif lebih banyak
dibandingkan yang tidak mengajukan keberatan. Semakin tingginya
jumlah konsumen yang mengajukan keberatan menunjukkan bahwa
sebagian besar konsumen telah menyadari hak-haknya sebagai
konsumen yang harus ditegakkan.
Keberatan yang diajukan oleh konsumen dilakukan pada berbagai
pihak, seperti langsung pada kondektur maupun layanan khusus Bus
Rapid Transit (BRT). Adapun tanggapan pengguna jasa Bus Rapid
Transit (BRT) dalam kaitannya dengan pengajukan keberatan sebagai
berikut :
81
Tabel 4.13 : Tempat Mengajukan Keberatan oleh Konsumen
No.
Tempat Mengajukan
Jumlah
Persentase
Keberatan
Responden
(%)
1.
Layanan Khusus BRT
10
17%
2.
Pengawas BRT
18
30%
3.
Kondektur
20
33%
4.
Tidak
memberikan
tanggapan
Jumlah
12
20%
60
100%
Sumber : Data primer, 2017, diolah.
Dari data di atas menunjukkan bahwa diantara 60 responden,
dapat
diketahui bahwa
jawaban
terbanyak responden
adalah
mengajukan keberatan kepada kondektur yaitu sebanyak 20 orang atau
sebesar 33%.
S.S. Halayudi seorang kondektur Bus Rapid Transit (BRT)
menjelaskan bahwa keluhan yang paling banyak diterima adalah
masalah karcis dan masalah uang kembalian yang tidak diberikan.
Dalam menanggapi hak tersebut, pihak kondektur selalu berusaha
untuk menjawab keluhan konsumen dengan menjelaskan alasannya
agar bisa diterima dan dimengerti konsumen.73
Pasal 4 huruf d UUPK menegaskan bahwa “konsumen berhak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan.” Adanya keberatan/keluhan yang diajukan pada
73
Wawancara dengan S.S. Halayudi, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 14 Juli
2017.
82
dasarnya sudah merupakan salah satu hak pengguna jasa Bus Rapid
Transit (BRT). Oleh karena itu, tindakan kondektur untuk menerima dan
mendengarkan
dilakukan
keluhan-keluhan
mengingat
adanya
konsumen
hak-hak
sudah
konsumen
seharusnya
yang
harus
ditegakkan dalam Pasal 4 UUPK.
Terkait dengan banyaknya keluhan-keluhan dari konsumen, baik
yang disampaikan kepada kondektur maupun yang disampaikan
melalui layanan konsumen Bus Rapid Transit (BRT), Rahman, seorang
staf administrasi Bus Rapid Transit (BRT) menjelaskan bahwa:74
“Dalam menghadapi keluhan-keluhan konsumen disediakan
layanan pengaduan khusus konsumen yang dapat dihubungi
pada nomor hotline 1500825. Selain keluhan lewat telepon,
konsumen dapat menyampaikan keluhannya secara khusus
melalui email. Layanan pengaduan khusus konsumen
mendapat pemantauan langsung dari pusat.”
Berdasarkan keterangan yang diberikan di atas dapat diketahui
bahwa dalam meningkatkan pelayanan konsumen, pihak DAMRI
sebagai pengelola Bus Rapid Transit (BRT) telah menyediakan layanan
konsumen yang dapat dihubungi melalui telepon maupun email.
Adanya layanan yang disediakan menunjukkan bahwa Bus Rapid
Transit (BRT) telah memenuhi hak-hak konsumen dalam Pasal 4 huruf
d UUPK.
74
Ibid.
83
e. Pemenuhan Hak Untuk Diperlakukan atau Dilayani Secara Benar
dan Tidak Diskriminatif
Pelayanan secara benar dan tidak diskriminatif merupakan suatu
layanan yang harus diemban oleh Penyedia jasa Bus Rapid Transit
(BRT) berdasarkan Pasal 4 huruf d UUPK. Berdasarkan observasi
peneliti pelayanan untuk masyarakat yang bekebutuhan khusus yaitu
bagi penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil belum diperlakukan
secara benar, karena tidak adanya fasilitas penunjang seperti akses
prioritas untuk penyandang cacat serta tempat duduk prioritas bagi
penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil juga tidak ada, baik di halte
maupun di dalam bus. Dengan demikian pelayanan yang diberikan
belum memenuhi Pasal 4 huruf d UUPK.
f.
Pemenuhan Hak Untuk Mendapatkan Kompensasi, Ganti Rugi
dan/atau Penggantian, Apabila Barang Dan/Atau Jasa yang
Diterima Tidak Sesuai dengan Perjanjian atau Tidak Sebagaimana
Mestinya
Salah satu hak konsumen berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf h
UUPK adalah hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Untuk melihat ada
atau tidak adanya
kerugian yang dialami konsumen selama
menggunakan jasa Bus Rapid Transit (BRT) dapat dilihat dari jawaban
responden di bawah ini :
84
Tabel 4.14 : Tanggapan Responden mengenai Kerugian Selama
Menggunakan Bus Rapid Transit (BRT)
1.
Ada/Tidaknya Kerugian
Selama menggunakan Bus
Rapid Transit (BRT)
Ada kerugian
2.
Tidak ada kerugian
No.
Jumlah
Jumlah
Responden
Persentase
(%)
3
5%
57
95%
60
100%
Sumber : Data Primer, diolah, 2017.
Melihat pada tanggapan responden mengenai ada atau tidaknya
kerugian yang diderita selama menggunakan jasa Bus Rapid Transit
(BRT) menunjukkan bahwa sebanyak 3 responden atau 5%
menyatakan ada dan sebanyak 57 responden lainnya atau 95%
menyatakan tidak ada kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen
yang merasa tidak mengalami kerugian lebih sedikit dibanding dengan
jumlah konsumen yang merasa mengalami kerugian.
Adapun bentuk kerugian yang diderita oleh konsumen adalah
kerugian dari segi materiil yaitu terhadap uang kembalian yang tidak
diberikan oleh kondektur. 75 Apabila ditinjau berdasarkan Pasal 4 huruf
h jo. Pasal 7 huruf f UUPK dengan tidak diberikannya uang kembalian
tarif bus sudah tidak sesuai dengan yang tertera pada karcis,
memberikan kewajiban kepada pelaku usaha dan sekaligus melahirkan
hak kepada konsumen untuk memeroleh kompensasi atau ganti rugi.
75
Jawaban Responden yang merasa mengalami kerugian berdasarkan kuesioner.
85
Namun,
dalam
kenyatannya
kmpensasi
atau
ganti
rugi
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 huruf h jo. Pasal 7 huruf f UUPK
tidak pernah diberikan kepada konsumen, misalnya pada saat
konsumen mengajukan keberatan melalui layanan khusus konsumen
(hotline) mengenai uang kembalian yang tidak diberikan, para petugas
yang melayani konsumen tersebut tidak menindaklanjuti dan hanya
memberikan alasan agar kondisi tersebut dapat diterima oleh
konsumen yang dirugikan.76 Adanya fenomena demikian menunjukkan
suatu pertentangan hak konsumen yang telah diatur dalam Pasal 4
huruf h UUPK jo. Pasal 7 huruf f UUPK.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas mengenai
pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memenuhi hakhak konsumen dalam kaitannya dengan UUPK menunjukkan bahwa pada
dasarnya pelayanan yang diberikan belum sepenuhnya memenuhi hak-hak
konsumen, yakni tidak adanya uang kembalian yang diberikan kepada
konsumen sehingga bertentangan dengan Pasal 4 huruf b UUPK, tidak
adanya informasi yang jelas mengenai kedatangan bus sehingga
bertentangan dengan Pasal 4 huruf c UUPK, tidak dilayani secara benar
dengan
tidak
adanya
akses
ataupun
fasilitas
prioritas
bagi
lansia/penyandang cacat/ibu hamil sehingga tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 4 huruf g UUPK, dan tidak adanya kompensasi/ganti rugi akibat
keterlambatan sehingga belum memenuhi pula Pasal 4 huruf h UUPK.
76
Ibid.
86
Satjipto Raharjo menegaskan bahwa perlindungan hukum adalah
memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang
lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka
dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.77
B. Pelaksanaan UU Angkutan Darat oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota
Makassar dalam Memberikan Pelayanan terhadap Pengguna Jasa
Transportasi
Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat
UU LLAJ) bahwa pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum
untuk jasa angkutan orang dan/atau barang, baik antar kota, antar provinsi,
wilayah kabupaten/kota.78 Bus Rapid Transit (BRT) adalah sebuah upaya
pemerintah pusat melalui Kementrian Perhubungan untuk meningkatkan
pelayanan publik khususnya pada sektor transportasi darat di seluruh
Indonesia dengan berbasis Transportasi massal Bus Rapid Transit (BRT),
berorientasi pada pelayanan yang aman, lancar, nyaman, berkelanjutan,
dan inovatif.
Kualitas pelayanan transportasi Bus Rapid Transit (BRT) sangat
menentukan keberhasilan upaya yang telah dihadirkan oleh pemerintah
untuk melalui layanan ini. Salah satu dampak yang diharapkan dari layanan
ini ialah dapat mengalihkan masyarakat untuk menggunakan transportasi
umum, sehingga jumlah masyarakat yang menggunakan angkutan pribadi
77
78
Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal 74.
Pasal 139 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
87
dapat ditekan, hal tersebut adalah salah satu langkah dalam mengatasi
kemacetan.
Perlindungan hukum terhadap pengguna jasa Bus Rapid Transit
(BRT) tidak hanya diatur dalam UUPK, melainkan juga dalam UU Nomor
22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Apa yang telah
diamanatkan dalam UUPK, selanjutnya diatur secara khusus dalam UU
LLAJ. Di dalam Undang-Undang tersebut, hak konsumen dijamin dengan
adanya pengaturan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh
pengusaha jasa angkutan umum dalam menyelenggarakan kegiatan
usahanya.
Secara umum, kewajiban penyedia jasa angkutan tersebut
tercantum dalam ketentuan Pasal 141 ayat (1) UU LLAJ, bahwa
perusahaan angkutan umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal
angkutan
yang
meliputi
keamanan,
keselamatan,
kenyamanan,
keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan.
1. Keamanan dan Keselamatan
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, penyelenggaraan Bus
Rapid Transit (BRT) telah berupaya untuk memberikan keamanan, dan
keselamatan pengguna jasanya baik pada saat menunggu di halte, di dalam
bus, maupun ketika turun bus. Pasal 38 ayat (1) UU LLAJ menentukan
bahwa setiap penyelenggara terminal wajib menyediakan fasilitas terminal
yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan.
88
Pada dasarnya dalam pengoperasian Bus Rapid Transit (BRT)
masih ada yang perlu diperbaiki dan disempurnakan, misalnya dari segi
keamanan dan keteraturannya di halte. Berdasarkan hasil penelitian
penulis yang dilakukan pada beberapa halte, ditemukan ada kondisi halte
yang kurang memadai, seperti halte yang tidak utuh sebagaimana mestinya
bahkan ada halte yang hanya terdiri atas tangga saja untuk menaiki bus.
Keadaan tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal
Perhubungan Darat Nomor: 271/HK/.105/DRJD/96 tentang Pedoman
Teknis Perekayasanaan Tempat Perhentian Kendaraan Penumpang
Umum, yakni sebagaimana di jelaskan pada BAB I mengenai Ketentuan
Umum bagian A poin 2 bahwa halte adalah tempat perhentian kendaraan
penumpang umum untuk menurunkan dan/atau menaikkan penumpang
yang dilengkapi dengan bangunan. Kurang memadainya kondisi halte
seperti yang hanya terdiri atas tangga saja memengaruhi dari segi
keamanan maupun keselamatan penumpang ketika naik maupun turun
bus, misalnya ketika padatnya penumpang ataupun berdesak-desakan,
dimana hal ini belum memenuhi ketentuan aspek keamanan maupun
keselamatan sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU LLAJ.
Pasal 22 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM
132 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Terminal Penumpang Angkutan
Jalan juga menentukan bahwa fasilitas penunjang dalam terminal juga
dapat berupa fasilitas keamanan (seperti checking point/ metal detector/
CCTV). Namun, berdasarkan hasil observasi penulis juga ditemukan bahwa
89
terhadap halte-halte belum dilengkapi dengan fasilitas keamanan, seperti
halnya CCTV.
Berdasarkan hasil wawancara Rahman, adapun alasan halte-halte
belum dilengkapi dengan CCTV karena pada dasarnya pemerintah belum
mengeluarkan anggaran untuk hal tersebut.79 Dengan demikian, kondisi
halte yang belum dilengkapi CCTV belum dapat dikatakan menjamin
keamanan penumpang, seperti ketika ada perampokan, vandalisme,
ataupun tindak kejahatan lainnya yang kemungkinan terjadi ketika
penumpang sedang berada di dalam halte. Hal ini pula menunjukkan bahwa
kondisi halte belum memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor PM 132 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Terminal
Penumpang Angkutan Jalan.
Selanjutnya,
mengenai
keamanan
dan
kenyamanan
dalam
mengoperasikan BRT, Pasal 138 ayat (1) UU LLAJ juga menentukan
bahwa “angkutan umum yang diselenggarakan dalam upaya memenuhi
kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau”.
Selamat dan aman maksudnya angkutan umum yang disediakan harus
dapat menjamin keselamatan dan keamanan penumpang, dan terjangkau
artinya tarif yang ditetapkan dapat dijangkau oleh semua kalangan
masyarakat.
Keamanan
maupun
keselamatan
bus
tidak
hanya
79
Wawancara dengan Rahman, bagian Administrasi pada Kantor Bus Rapid Transit (BRT), tanggal
18 Juli 2017.
90
digantungkan dari segi kondisi bus itu sendiri, melainkan pihak-pihak yang
mengoperasikan jalannya bus, seperti kondektur dan supir bus.
Guna untuk mengetahui bentuk keamanan maupun keselamatan
yang diberikan oleh supir yang menjalankan bus, Abdurahman Sufri,
seorang supir Bus Rapid Transit (BRT) menjelaskan bahwa :
“Demi menjaga keamanan penumpang maupun supir, sebelum
beroperasi, supir diwajibkan untuk melakukan pengecekan
terlebih dahulu, mulai dari pengecekan mesin, oli, aki, air radiator,
dan ban”.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh di atas, dapat diketahui
bahwa dalam menjaga keamanan bus selama beroperasi, kepada supir bus
diwajibkan untuk melakukan pengecekan terlebih dahulu. Adanya
kewajiban yang dibebankan kepada supir bus untuk melakukan
pengecekan-pengecekan sebelum bus menunjukkan salah satu langkah
yang dilakukan guna untuk menjamin keamanan bus sebelum beroperasi.
Namun, berdasarkan hasil obeservasi penulis selama melakukan penelitian
dalam Bus Rapid Transit (BRT) terdapat satu hal yang selalu luput dari
perhatian kondektur maupun kesadaran masyarakat, yakni mengenai
penggunaan sabuk pengaman. Bahkan, terdapat beberapa Bus Rapid
Transit (BRT) belum dilengkapi dengan sabuk pengaman, khususnya Bus
Rapid Transit (BRT) yang model kursinya saling berhadap-hadapan.
Sabuk pengaman sangat penting digunakan karena berfungsi untuk
menjaga keselamatan para supir maupun penumpang yang menjadi
pelindung badan ketika supir maupun penumpang harus terdorong ke
depan akibat benturan atau keadaan yang tidak terduga seperti halnya
91
kecelakaan. Namun, hal tersebut sering diabaikan oleh supir maupun
pengguna bus dan tidak adanya himbauan dari kondektur sebelum bus
berjalan.
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan keamanan dan
keselamatan penumpang dalam UU LLAJ, juga ditentukan sebagai berikut:
a. Perusahaan angkutan umum wajib membuat, melaksanakan dan
menyempurnakan sistim keamanan dengan berpedoman pada
program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.80
b. Perusahaan angkutan umum wajib membuat, melaksanakan dan
menyempurnakan
sistim
manajemen
keselamatan
dengan
berpedoman pada rencana umum nasional keselamatan Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan.81
Pada dasarnya Bus Rapid Transit (BRT) belum memenuhi segala
aspek dalam menjamin keamanan dan keselamatan penumpang, seperti
kondisi halte yang belum dilengkapi dengan CCTV dan tidak semua Bus
Rapid Transit (BRT) dilengkapi dengan sabuk pengaman, disamping
adanya suatu kewajiban yang belum dipenuhi dalam penyelenggaraan
sistim transportasi Bus Rapid Transit (BRT), yakni belum adanya jalur
khusus bus hingga saat ini, dimana hal tersebut dipandang belum
memberikan keamanan sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang.
80
81
Pasal 201 ayat (1) UU LLAJ.
Pasal 204 ayat (1) UU LLAJ.
92
2. Kenyamanan
Salah
satu
hal
yang
memengaruhi
kenyamanan
dalam
menggunakan angkutan umum adalah dari segi pemeliharaan fasilitasfasilitas utama dan fasilitas penunjang dari sarana angkutan umum
tersebut. Pasal 38 ayat (3) UU LLAJ menentukan bahwa “untuk menjaga
kondisi terminal, penyelenggara terminal wajib melakukan pemeliharaan.”
Berdasarkan hasil observasi penulis yang dilakukan pada beberapa
halte BRT Trans Mamminasata, ditemukan pula kondisi halte yang kurang
terpelihara dari segi kebersihannya, karena masih ada saja sampah yang
berserakan
dan
tidak dibuang pada
tempatnya.
Dengan kurang
terpeliharanya kebersihan halte bus dapat dikatakan bahwa pemeliharaan
halte masih kurang memadai sehingga belum memenuhi ketentuan Pasal
38 ayat (3) UU LLAJ. Namun, penulis berpendapat bahwa hal tersebut
bukan saja menjadi tanggung jawab pihak pemerintah maupun pengelola
Bus Rapid Transit (BRT), tetapi masyarakat sebagai pengguna jasa Bus
Rapid Transit (BRT) juga harus memiliki andil yang sama dalam
menciptakan sistim transportasi yang baik dan berguna bagi masyarakat,
salah satunya dengan tetap menjaga kebersihan kondisi bus, mengingat
fungsi Bus Rapid Transit (BRT) adalah untuk melayani kepentingan publik.
Selain itu, dari hasil pengamatan penulis, terhadap kenyamanan
yang diberikan kepada pengguna jasa yang penyandang cacat, lansia, dan
ibu hamil masih kurang memadai. Pasal 242 ayat (1) UU LLAJ menentukan
bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan
93
Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak,
wanita hamil, dan orang sakit. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan tempat
duduk prioritas, telah diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Mengingat Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara layanan
transportasi Bus Rapid Transit (BRT), maka kenyamanan dalam
menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) juga harus diperhatikan oleh
pemerintah maupun pengelola BRT tersebut.
Selanjutnya, Pasal 98 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 74
Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan menentukan bahwa :
Perlakuan khusus kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut,
anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 meliputi :
a. penyediaan fasilitas aksesibilitas yang memberikan
kemudahan naik dan turun yang berupa paling sedikit alat
bantu untuk naik turun dari dan ke kendaraan;
b. memberi prioritas pelayanan pada saat naik dan turun dengan
mendahulukan penyandang cacat, manusia usia lanjut, anakanak, wanita hamil, dan orang sakit; dan/atau
c. menyediakan
fasilitas
pelayanan
khusus
dengan
menyediakan tempat duduk prioritas.
Sebagaimana hasil pengamatan penulis pada Bus Rapid Transit
(BRT) dalam kaitannya dengan penyediaan fasilitas aksesibilitas yang
memberikan kemudahan naik dan turun yang berupa paling sedikit alat
bantu untuk naik turun dari dan ke Kendaraan untuk penyandang cacat,
lansia, maupun ibu hamil belum terpenuhi, serta tempat duduk prioritas baik
di halte maupun di dalam bus, penulis melihat bahwa tempat duduk belum
memenuhi ketentuan sebagaimana telah diatur oleh undang-undang,
94
seperti di halte, penulis melihat belum adanya tempat duduk yang
dikhususkan bagi penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil, di dalam
bus juga belum dilengkapi dengan temapt duduk prioritas. Adanya
fenomena
tersebut
dapat
menimbulkan
ketidaknyaman
dalam
menggunakan bus bagi penumpang penyandang cacat, lansia, maupun ibu
hamil, dimana hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 98 ayat (1) huruf
a dan c Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014.
3. Keterjangkauan
Mengenai aspek keterjangkauan, dapat dilihat dari tarif bus yang
ditetapkan dengan harga Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah) baik
jauh maupun dekat, dimana dengan ditetapkannya tarif tersebut agar dapat
dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, apabila
ditinjau dari segi ketentuan Pasal 141 ayat (1) huruf d UU LLAJ yang salah
satunya menentukan standar pelayanan angkutan bus minimal meliputi
keterjangkauan yang selamat, aman, dan terjangkau pada dasarnya telah
dipenuhi oleh Bus Rapid Transit (BRT) sebagai salah satu penyedia jasa
angkutan umum.
4. Keteraturan
Keteraturan bus dapat dilihat dari segi keteraturan jadwal, rute, dan
tempat menaikkan dan menurunkan penumpang. Pasal 143 UU LLAJ
menentukan bahwa :
95
Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor
Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140
huruf a harus:
a. memiliki rute tetap dan teratur;
b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau
menurunkan penumpang di Terminal untuk angkutan
antarkota dan lintas batas negara; dan
c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang
ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan.
Apabila ditinjau dari segi rute yang tetap dan teratur, sebagaimana
telah diketahui bahwa pada setiap halte-halte telah dicantumkan mengenai
rute keberangkatan Bus Rapid Transit (BRT) yang berlaku tetap setiap
harinya. Hal ini menunjukkan BRT Trans Mamminasata telah memenuhi
ketentuan Pasal 143 huruf a UU LLAJ.
Selanjutnya, jika dilihat dari segi supir Bus Rapid Transit (BRT)
menaikkan dan menurunkan penumpang, berdasarkan hasil pengamatan
penulis,
supir
bus
menaikkan
maupun
menurunkan
penumpang
berdasarkan rute yang ditempuh pada setiap halte-halte ketibaan. Hal ini
menunjukkan bahwa supir Bus Rapid Transit (BRT) telah menurunkan
penumpang pada tempat yang telah ditentukan, yaitu pada halte bus.
Dengan demikian, pengoperasian Bus Rapid Transit (BRT) telah memenuhi
ketentuan Pasal 143 huruf c UU LLAJ.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan terkait dengan kriteria pelayanan
angkutan dari segi keteraturan, sebagaimana diatur dalam Pasal 143 UU
LLAJ dapat diketahui bahwa dalam memberikan pelayanan di bidang
angkutan publik, pada dasarnya Bus Rapid Transit (BRT) telah terpenuhi.
96
Selain pelayanan angkutan bus wajib memenuhi standar minimal
angkutan jalan, sebagaimana ketentuan dalam mengoperasikan bus, para
penumpang diberikan karcis sebagai tanda bukti pembayarannya. Karcis
dalam penyelenggaraan kegiatan bus merupakan suatu hal yang sangat
penting, disamping sebagai bukti pembayaran juga merupakan suatu
pegangan yang dapat dijadikan sebagai jaminan keselamatan penumpang
untuk ditanggung oleh asuransi apabila mengalami kecelakaan ketika
menggunakan Bus Rapid Transit (BRT). Dalam kaitannya dengan UU LLAJ,
pemberian karcis kepada tiap-tiap pengguna jasa merupakan suatu
kewajiban penyedia jasa.
Pasal 166 ayat (1) UU LLAJ menentukan : “
Angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum yang
melayani trayek tetap lintas batas negara, antarkota antarprovinsi,
dan antarkota dalam provinsi harus dilengkapi dengan dokumen.
Pasal 166 ayat (2) huruf a UU LLAJ menentukan : “dokumen
angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tiket
penumpang umum untuk angkutan dalam trayek”. Selanjutnya, dalam
Pasal 167 ayat (1) UU LLAJ bahwa : “perusahaan angkutan umum orang
wajib menyerahkan tiket penumpang”. Dalam kaitannya dengan Bus Rapid
Transit (BRT), istilah tiket penumpang lebih dikenal dengan sebutan
“karcis”.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada pembahasan
sebelumnya, menunjukkan dari 60 responden terdapat 2 responden
diantaranya menyatakan tidak diberi karcis. Tindakan kondektur Bus Rapid
97
Transit (BRT) yang kerap kali tidak memberikan karcis kepada penumpang
dengan alasan karcis telah habis, dimana hal tersebut juga telah dikeluhkan
oleh masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Rohani, seorang kondektur Bus Rapid
Transit (BRT menjelaskan bahwa :82
“Masalah kehabisan karcis biasanya terjadi ketika bus sedang
ramai penumpang, khususnya pada akhir-akhir pekan. Jadi, kalau
kehabisan karcis, kami beritahukan kepada penumpang dan
kemudian jumlah penumpang yang tidak mendapatkan karcis
dicatatkan pada LMB (Laporan Muatan Bus). Dalam LMB tersebut
dicatat mengenai jumlah penumpang yang ada dalam bus dan
kemudian di paraf oleh pengawas, selanjutnya disetorkan pada
kantor pada saat bus telah selesai beroperasi.”
Melalui wawancara yang dilakukan, diketahui bahwa dalam
menggunakan bus, para penumpang tidak diberikan karcis apabila jumlah
karcis pada saat itu telah habis. Hal ini disebabkan keterbatasan jumlah
karcis yang seringkali habis ketika jumlah penumpang bus meningkat, yaitu
khususnya pada akhir pekan. Dalam mengatasi hal tesebut, para kondektur
memberitahukan kepada penumpang bahwa karcis bus telah habis.
Selanjutnya para penumpang yang tidak mendapatkan karcis dicatat
jumlahnya dalam Laporan Muatan Bus (LMB) yang kemudian diparaf oleh
pengawas dan disetor pada kantor Bus Rapid Transit (BRT).
Potongan karcis yang diberikan kepada penumpang tidak hanya
berguna sebagai tanda bayar tapi sekaligus sebagai bukti pengajuan klaim
82
Wawancara dengan Rohani, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 14 Juli 2017.
98
asuransi jika terjadi kecelakaan lalu lintas.83 Penulis berpendapat bahwa
dengan tidak adanya karcis yang diberikan kepada konsumen secara tidak
langsung mengurangi hak konsumen untuk mendapatkan perlindungan
dalam menggunakan Bus Rapid Transit (BRT), yakni perlindungan
terhadap asuransi kecelakaan ketika terjadi kejadian yang tidak dapat
diduga sebelumnya.
Dalam kaitannya dengan ketentuan UU LLAJ, fenomena tidak
diberikannya karcis kepada pengguna jasa, disamping telah mengurangi
hak konsumen untuk memeroleh perlindungan asuransi apabila mengalami
kecelakaan pada saat menggunakan jasa Bus Rapid Transit (BRT),
tampaknya juga melanggar ketentuan Pasal 166 ayat (1) dan ayat (2) UU
LLAJ, dimana perusahaan angkutan umum melalui kondekturnya wajib
menyerahkan karcis sebagaimana ketentuan Pasal 167 ayat (1) UU LLAJ.
Masih mengenai karcis Bus Rapid Transit (BRT), pada lembaran
karcis tersebut juga tercantum salah satu klausula yang menyebutkan
bahwa “harga karcis sudah termasuk dengan asuransi Jasa Raharja”.
Asuransi Jasa Raharja adalah program sosial terhadap kecelakaan
penumpang alat angkutan umum yang dilaksanakan berdasarkan UndangUndang No. 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang serta Asuransi Tanggung Jawab Menurut Hukum
83
https://www.riauheadline.com/view/Ekbis/883/Karcis-Bus-Trans-Metro-Berfungsisebagai-Asuransi.html?open=view&catid=Ekbis&newsid=883&tit=Karcis-Bus-TransMetro-Berfungsi-sebagai-Asuransi diakses tanggal 17 Juli 2017 Pukul 11.00 WITA.
99
Terhadap Pihak Ketiga yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang
No. 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.84
Adanya klausula demikian pada lembaran karcis Bus Rapid Transit
(BRT) dapat diketahui apabila pengguna jasa mengalami kecelakaan pada
saat menggunakan jasa Bus Rapid Transit (BRT), maka pengguna jasa
sebagai korban kecelakaan di tanggung oleh asuransi. Diikusertakannya
Jasa Raharja dalam memberikan santunan asuransi karena menyadari Bus
Rapid Transit (BRT) adalah salah satu angkutan publik yang diprogramkan
oleh pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan ketentuan UU LLAJ, Pasal 237 ayat (1) UU
LLAJ menentukan : “Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program
asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan
asuransi bagi korban kecelakaan.” Selanjutnya, dalam Pasal 239 UU LLAJ
menentukan bahwa pemerintah mengembangkan program asuransi
kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan, dan untuk tujuan tersebut,
pemerintah membentuk perusahaan asuranasi kecelakaan lalu lintas dan
pengangkutan jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Oleh karena itu, adanya keikutsertaan Jasa Raharja dalam
menjamin keselamatan konsumen merupakan suatu bentuk kepatuhan
penyelenggara Bus Rapid Transit (BRT) terhadap ketentuan Pasal 237 jo.
Pasal 239 UU LLAJ.
84
https://www.jasaraharja.co.id/layanan/lingkup-jaminan diakses tanggal 20 Juli 2017
Pukul 14.30 WITA.
100
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, terkait dengan
pelaksanaan UU Angkutan Darat oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota
Makassar dalam memberikan pelayanan terhadap pengguna jasa
transportasi belum sepenuhnya mengimplementasikan ketentuan yang
telah diatur, khususnya dalam memberikan keamanan dan kenyamanan di
halte, mengharuskan adanya pelayanan dan fasilitas terhadap penyandang
cacat, lansia, maupun ibu hamil, serta mengenai lembaran karcis yang
sering mengalami kehabisan sehingga para penumpang biasanya tidak
diberi karcis.
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memenuhi
hak-hak konsumen dalam kaitannya dengan UU Nomor 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen menunjukkan bahwa pada dasarnya
pelayanan yang diberikan belum sepenuhnya memenuhi hak-hak
konsumen, khususnya hak untuk memilih dan mendapatkan barang
dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur; hak untuk
diperlakukan dan dilayani secara benar; dan hak untuk mendapatkan
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian akibat pelayanan yang
diberikan oleh pihak Bus Rapid Transit (BRT) tidak sebagaimana
mestinya.
2. Pelaksanaan UU Angkutan Darat oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota
Makassar dalam memberikan pelayanan terhadap pengguna jasa
transportasi belum sepenuhnya mengimplementasikan ketentuan yang
diatur dalam UU LLAJ maupun peraturan pelaksanaannya, khususnya
ketentuan mengenai fasilitas terminal yang yang wajib memenuhi
persyaratan
keselamatan
dan
keamanan;
kewajiban
untuk
menyerahkan tiket penumpang; dan ketentuan yang mengharuskan
adanya pelayanan dan fasilitas khusus terhadap penyandang cacat,
lansia, maupun ibu hamil.
102
B. Saran
1. Kepada pengelola Bus Rapid Transit (BRT), hendaknya lebih
memerhatikan
hak-hak
konsumen,
seperti
menyediakan
uang
kembalian agar konsumen merasa tidak dirugikan atau mengganti
sistem pembayaran menjadi elektronik agar pembayaran lebih mudah
serta menyediakan papan pengumuman mengenai jadwal dan rute
keberangkatan maupun kedatangan bus pada setiap halte agar tidak
membingungkan konsumen.
2. Kepada pemerintah sebagai penyelenggara Bus Rapid Transit (BRT)
hendaknya memerhatikan sarana dan prasarana penunjang Bus Rapid
Transit (BRT) seperti melakukan penyempurnaan terhadap kondisi
halte yang belum memadai, menyediakan fasilitas khusus bagi
penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil, dan membuat jalur
khusus Bus Rapid Transit (BRT).
103
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Salim. 1993. Manajemen Transportasi. PT. Raja Grafindo Persada :
Jakarta.
Abdulkadir Muhammad. 1998. Hukum Pengangkutan Niaga. Citra Aditya
Bakri : Bandung.
Adrian Sutedi. 2008. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan
Konsumen. Ghalia Indonesia : Ciawi-Bogor.
Ahmadi Miru. 2011. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia. Rajawali Pers : Jakarta.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen.
PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Andika Wijaya. 2016. Aspek Hukum Bisnis Transportasi Jalan Online. Sinar
Grafika : Jakarta.
Az. Nasution. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar.
Diadit Media : Jakarta.
Celina Tri Siwi Kristiyanti. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar
Grafika : Jakarta.
Hasim Purba. 2005. Hukum Pengangkutan di Laut. Pustaka Bangsa Press
: Medan.
Janus Sidabalok. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. PT.
Citra Aditya Bakti : Bandung.
Lanugranto Adi Nugroho. 2008. Skripsi : Konsumen dan Jasa Transportasi
(Studi pada Perlindungan Hukum pada Konsumen Fasilitas Publik
dan Pelayanan Jasa Transportasi Perusahaan Otobus di
Kabupaten Wonogiri), Surakarta, Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Nasution. 1996. Manajemen Transportasi. Ghalia Indonesia : Jakarta.
104
Rabiah Z. Harahap. 2016. Jurnal : Aspek Hukum Perlindungan Terhadap
Penumpang Bus dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen. Dr.
Lega Lata, Volume I, Nomor I, Januari-Juni 2016.
Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung.
Sidharta. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi).
PT. Grasindo: Jakarta.
Sugiyono, 2011. Metode
Alfabeta,Bandung.
Penelitian
Kombinasi
(Mixed
Methods).
Supranto, 2003. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. PT. Rineka Cipta,
Jakarta.
Sumber Internet :
Anonim, https://www.riauheadline.com/view/Ekbis/883/Karcis-Bus-TransMetro-Berfungsi-sebagai-Asuransi.html?open=view&catid=Ekbis&
newsid=883&tit=Karcis-Bus-Trans-Metro-Berfungsi-sebagaiAsuransi diakses tanggal 17 Juli 2017 Pukul 11.00 WITA.
Jasa
Raharja,
https://www.jasaraharja.co.id/layanan/lingkup-jaminan
diakses tanggal 20 Juli 2017, pukul 14.30 WITA.
Perum Damri, https://damri.co.id/ diakses pada hari Sabtu, tanggal 1 April
2017, Pukul 13.00.
Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Wawancara, diakses pada hari
Senin, 5 Desember 2016, pukul 12.57
________ , https://id.wikipedia.org/wiki/DAMRI#Sejarah_DAMRI, diakses
pada hari Sabtu, tanggal 1 April 2017, Pukul 09.00.
Makassar Kota, http://makassarkota.go.id/107-pendudukkotamakassar.
html, diakses pada hari Selasa, 1 November 2016, pukul 22.50.
Peraturan Perundang-Undangan :
- Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan
- Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.
105
Download