SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA TRANSPORTASI UMUM BUS RAPID TRANSIT (BRT) KOTA MAKASSAR OLEH : M. SATRIA PUTRA B111 13 107 BAGIAN HUKUM PERDATA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 i SKRIPSI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA JASA TRANSPORTASI UMUM BUS RAPID TRANSIT (BRT) KOTA MAKASSAR OLEH : M. SATRIA PUTRA B111 13 107 Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka penyelesaian studi Sarjana dalam Program Kekhususan Hukum Perdata Program Studi Ilmu Hukum DEPARTEMEN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017 i PENGESAHAN SKRIPSI ii PERSETUJUAN PEMBIMBING iii PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN iv ABSTRAK M. Satria Putra (B111 13 107), dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Transportasi Umum Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar”, di bawah bimbingan Bapak Anwar Borahima sebagai pembimbing I dan Ibu Oky Deviany sebagai pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memenuhi hak-hak konsumen dalam kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, serta untuk mengetahui dan memahami pelaksanaan aturan yang dilakukan oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Pengangkutan Darat dalam memberi pelayanan terhadap pengguna jasa transportasi. Penelitian ini adalah penelitian hukum empiris. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam peneltian ini adalah berupa kuesioner, wawancara, observasi, dan studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif, yaitu mengemukakan masalah, menggunakan pendapat dan memecahkan permasalahan dari aspek hukumnya. Hasil penelitian menemukan bahwa pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memenuhi hak-hak konsumen dalam kaitannya dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen belum sepenuhnya memenuhi hak-hak konsumen, khususnya hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur; hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian akibat pelayanan yang diberikan oleh Bus Rapid Transit (BRT). Pelaksanaan UU Angkutan Darat oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memberikan pelayanan terhadap pengguna jasa transportasi belum sepenuhnya mengimplementasikan ketentuan yang diatur dalam UU LLAJ maupun peraturan pelaksanaannya, khususnya ketentuan mengenai fasilitas terminal yang yang wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan; kewajiban untuk menyerahkan tiket penumpang; dan ketentuan yang mengharuskan adanya pelayanan dan fasilitas khusus terhadap penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil. Kata Kunci : Perlindungan hukum, konsumen, Bus Rapid Transit (BRT). v ABSTRACT M. Satria Putra (B111 13 107), Legal Protection To Public Transportation’s Consumers of Bus Rapid Transit (BRT) in Makassar City, guided by Anwar Borahima as First Adviser and Oky Deviany as Second Adviser. The purposes of this research are to know and understand the service of Bus Rapid Transit (BRT) of Makassar City in fulfilling the consumer rights in relation to Law Number 8 Year 1999 About Consumers Protection, and to know and understand the implementation of the rules conducted by Bus Rapid Transit ( BRT) of Makassar City as stipulated in the Land Transportation Act in providing services to transport service users. This research is an empirical law study. Data collection method used in this research is in the form of questionnaires, interviews, observation, and literature study. The data obtained from the results of the study were analyzed qualitatively, namely raising problems, using opinions and solving problems from legal aspects. The results of the study found that the Bus Rapid Transit Service (BRT) of Makassar City in fulfilling the consumer rights in relation to Law No. 8 of 1999 About Consumer Protection has not fully fulfilled the rights of consumers, in particular the right to the true, clear and honest information; the right to be treated and served properly; and the right to compensation, and / or reimbursement due to services provided by the Bus Rapid Transit (BRT). Bus Rapid Transit (BRT) in implementing regulations that have been regulated Land Transportation Law in providing services to transportation service users have not applied the provisions stipulated in the UU LLAJ and its implementation regulations, in particular the provisions concerning terminal facilities which are required to meet safety and security requirements; conditions about the criteria for transport services of persons who must have scheduled and regular routes; liability to give the ticket to passengers; and provisions for which there are no special services and facilities for persons with disabilities, the elderly, and pregnant women. Keywords : Legal Protection, Consumer, BRT Trans Mamminasata. vi KATA PENGANTAR Alhamdulillahi Rabbil Alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Transportasi Umum Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar” sebagai salah satu syarat meraih gelar Sarjana Hukum pada program studi ilmu hukum di Universitas Hasanuddin Makassar. Selama penyusunan skripsi ini, tidak terlepas dari berbagai rintangan, namun berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil akhirnya penulis dapat melaluinya. Rasa terima kasih setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada kedua orang tua tercinta, H. Solle Abdul Hamid, S.E. dan Dwi Indriyani Purnama Sari atas segala memotivasi, jerih payah dan doa demi keberhasilan penulis. Pada kesempatan ini juga, penulis dengan segenap kerendahan hati menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Rektor Universitas Hasanuddin, Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA., beserta Wakil Rektor I, Prof. Dr. Ir. Junaedi Muhidong, M.Sc., Wakil Rektor II, Prof. Dr. Syamsul Bachri, S.H., M.H., Wakil Rektor III, Dr. Ir. Abd. Rasyid Djalil, M.Si., Wakil Rektor IV, Prof. dr. Budu, Ph.D. Sp.M(k). M.Med.Ed. vii 2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi S.H., M.Hum., Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar., S.H., M.H. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, dan Bapak Prof Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 3. Bapak Winner Sitorus, S.H., M.H., LL.M. selaku Ketua Bagian Hukum Perdata dan seluruh anggota bagian hukum perdata di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. 4. Bapak Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H. selaku Pembimbing I dan Ibu Dr. Oky Deviany, S.H., M.H. selaku pembimbing II yang selalu memberikan arahan dan pendapat dalam penulisan skripsi ini. 5. Ibu Prof. Dr. Badriyah, S.H., M.H., Ibu Dr. Harustiati A. Muin, S.H., M.H., dan Ibu Dr. Sakka Pati, S.H., M.H., selaku tim penguji yang memberikan masukan dan saran guna untuk penyempurnaan skripsi ini. 6. Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H, selaku pembimbing akademik yang telah memberikan tuntunan kepada penulis selama menempuh pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. 7. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Terima kasih atas ilmu dan pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. 8. Bapak dan Ibu Pegawai Akademik, Petugas Perpustakaan, dan segenap Civitas, Akademika Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan pelayanan administrasi yang sangat baik serta bantuan lainnya. viii 9. Kakak Lisa Satriani E. P., S.E. dan Ruwanti Satriani, S.Kom. yang selalu memberikan semangat kepada penulis mulai dari awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini. 10. Aldira Nurlita F. N. yang telah membantu dan menemani mulai dari awal perkuliahan hingga selesainya penulisan skripsi ini. 11. Muh. Ikhlas Wicaksono yang telah memberikan inspirasi sehingga penulis mengangkat judul dan menyelesaikan skripsi ini. 12. Daniel Baan, S.E. yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. 13. Teman - teman “rumput” & “muehehe” yang senantiasa mendoakan dan mendukung penulis dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati menerima setiap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak, sehingga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca khususnya dan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar pada umumnya. Makassar, November 2017 M. Satria Putra ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ............................................................................ i PENGESAHAN SKRIPSI .................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................... iii PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN .............................................. iv ABSTRAK ......................................................................................... v KATA PENGANTAR ......................................................................... vii DAFTAR ISI ....................................................................................... x DAFTAR TABEL ............................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah .............................................. 1 B. Rumusan Masalah ....................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ......................................................... 6 D. Manfaat Penelitian ....................................................... 7 TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 8 BAB II A. Pengertian Konsumen, Pelaku Usaha, Barang, dan Jasa dalam Hukum Perlindungan Konsumen ............. 8 1. Konsumen ............................................................ 8 2. Pelaku Usaha ........................................................ 11 3. Barang .................................................................. 11 4. Jasa ....................................................................... 12 B. Asas Perlindungan Konsumen .................................. 14 C. Tujuan Perlindungan Konsumen ............................... 17 D. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha ... 17 1. Hak dan Kewajiban Konsumen ............................. 17 2. Hak dan Kwwajiban Pelaku Usaha ........................ 22 E. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Angkutan Umum ..... 25 1. Pertanggungjawaban Dalam UUPK........................ 26 2. Pertanggungjawaban Dalam UU LLAJ ................... 26 F. Penyelesaian Sengketa Konsumen ........................... 28 x G. Tinjauan Tentang Pengangkutan ............................... 35 1. Pengangkutan Menurut Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan .................................... 35 2. Jenis-Jenis Pengangkutan .................................... 36 3. Standar Pengelolaan Alat Angkut dan Pelayanan Minimal Angkutan ........................................... 37 H. Pengangkutan Orang ................................................. 39 1. Pengangkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor dalam Trayek ......................................... 39 2. Pengangkutan Orang dengan Kendaraan BAB III BAB IV Bermotor Tidak dalam Trayek .............................. 40 I. Tinjauan Tentang Perum DAMRI ................................. 41 METODE PENELITIAN ..................................................... 44 A. Lokasi Penelitian ......................................................... 44 B. Populasi dan Sampel .................................................. 44 C. Jenis dan Sumber Data .............................................. 46 D. Metode Pengumpulan Data ......................................... 47 E. Analisis Data ............................................................... 48 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................... 49 A. Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam Memenuhi Hak-Hak Konsumen ....................... 49 B. Pelaksanaan UU Angkutan Darat oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam Memberikan Pelayanan terhadap Pengguna Jasa Transportasi ..... 87 PENUTUP ........................................................................ 102 A. Kesimpulan ................................................................. 102 B. Saran .......................................................................... 103 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 104 BAB V xi DAFTAR TABEL Halaman Tabel 4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia ....................... 51 Tabel 4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan 52 Tabel 4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ......... 52 Tabel 4.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan .............. 53 Tabel 4.5 Jumlah Penggunaan Bus Rapid Transit (BRT) ................... 53 Tabel 4.6 Keperluan Masyarakat Menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) ................................................................................. 55 Tabel 4.7 Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) di Halte ........................................................ 57 Tabel 4.8 Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) di Dalam Bus ............................................... 63 Tabel 4.9 Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Ketika Turun Bus ......................................... 68 Tabel 4.10 Tanggapan Responden Mengenai Ada/Tidaknya Karcis yang Diberikan ................................................................... 74 Tabel 4.11 Tanggapan Responden Mengenai Uang Kembalian ......... 75 Tabel 4.12 Reaksi/Tanggapan Responden ......................................... 81 Tabel 4.13 Tempat Mengajukan Keberatan Oleh Konsumen ............. 82 Tabel 4.14 Tanggapan Responden mengenai Kerugian Selama Menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) .......................... 85 xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara yang merdeka tentunya memiliki sebuah cita-cita yang luhur. Tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UUD NRI 1945 salah satunya yakni terbentuknya suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Dalam mewujudkan sebuah bangsa yang besar dan makmur terdapat 3 (tiga) hal, yakni tanah yang subur, kerja keras dan kelancaran transportasi orang dan barang dari suatu bagian negara ke negara bagian lainnya. Selain itu, peranan transportasi amat sangat penting untuk saling menghubungkan sumber bahan baku, daerah prduksi, daerah pemasaran dan daerah pemukiman sebagai tempat tinggal konsumen.1 Di negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang cukup besar, kegiatan perekonomian yang terus berkembang, dan arus perpindahan orang dan barang yang terus meningkat, pengembangan sarana dan prasarana transportasi sangat berperan penting sebagai penghubung wilayah untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tanpa adanya transportasi sebagai 1 H. M. Nasution. 1996. Manajemen Transportasi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm. 11. 1 sarana penunjang tidak dapat diharapkan tercapainya hasil yang memuaskan dalam usaha pengembangan ekonomi suatu negara.2 Pada wilayah perkotaan, transportasi memegang peranan yang penting. Transportasi atau pengangkutan merupakan bidang kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia karena pentingnya transportasi bagi masyarakat Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain keadaan geografis, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau kecil dan besar, perairan yang terdiri dari sebagian besar laut, sungai dan danau yang memungkinkan pengangkutan melalui darat, perairan, dan udara guna menjangkau seluruh wilayah Indonesia.3 Suatu kota yang baik dapat dilihat dari perkembangan transportasinya. Transportasi yang baik, aman, dan tertib mencerminkan keteraturan kota serta kelancaran kegiatan perekonomian kota. Di Kota Makassar terdapat beberapa jenis alat angkutan umum yang disediakan Pemerintah untuk mengakomodasi perpindahan orang maupun barang. Kota Makassar yang memiliki penduduk ± 1.700.571 jiwa4 dapat menimbulkan salah satu masalah dengan kapasitas penduduk yang padat, yaitu masalah kemacetan. Dalam mengantisipasi hal tersebut, maka pemerintah Kota Makassar kembali mengembangkan bus kota sebagai alat transportasi umum. Saat arus perpindahan orang semakin padat dan meningkat, bus dapat dijadikan sebagai pilihan transportasi umum karena 2 H. A. Abbas Salim. 1993. Manajemen Transportasi. PT Raja Grafindo. Jakarta. Hlm. 6. Abdulkadir Muhammad. 1998. Hukum Pengangkutan Niaga. Citra Aditya Bakri. Bandung. Hlm.7. 4 “Penduduk Kota Makassar”, http://makassarkota.go.id/107-penduduk-kota-makassar. html, diakses pada hari Selasa, 1 November 2016, pukul 22.50. 3 2 memiliki kapasitas pengangkutan yang besar (massal) sehingga lebih efisien jika dibandingkan dengan alat transportasi lainnya. Sebagaimana diketahui, Walikota Kota Makassar sedang berupaya untuk menjadikan Kota Makassar sebagai Kota Dunia dan program Bus Rapid Transit (BRT) Trans Mamminasata yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dianggap sejalan dengan upaya menjadi Kota Makassar sebagai Kota Dunia di sektor transportasi publik. Trans Mamminasata atau yang disebut dengan Bus Rapid Transit (BRT) oleh masyarakat Kota Makassar adalah sebuah layanan transportasi umum dengan sistem bus yang cepat, murah, aman, dan nyaman. Bus Rapid Transit (BRT) merupakan salah satu dari program yang dicanangkan Departemen Perhubungan. Adapun untuk pengadaan armada merupakan bantuan dari Kementerian Perhubungan sedangkan pembangunan halte transit dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Layanan ini mulai dioperasikan pada bulan Maret 2014. Dalam hal ini Pemerintah Kota Makassar bekerja sama dengan DAMRI yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang hingga saat ini masih tetap konsisten menjalankan tugasnya sebagai salah satu penyelenggara jasa angkutan penumpang dan barang dengan menggunakan bus dan truk.5 Penyelenggaraan Bus Rapid Transit (BRT) sebagai salah satu angkutan jalan tunduk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 5 https://id.wikipedia.org/wiki/DAMRI#Sejarah_DAMRI, diakses pada hari Sabtu, tanggal 1 April 2017, Pukul 09.00. 3 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UU LLAJ). Adapun salah satu peraturan pelaksanaannya adalah pada Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. Sebagai pelaku usaha di bidang jasa transportasi yang menyediakan jasa di bidang pelayanan publik, maka Bus Trans Mamminasata juga memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk menjamin hak-hak pelanggan yang menggunakan jasa transportasi ini. Pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) berdasarkan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya akan disebut UUPK) disebut sebagai konsumen. Oleh karena itu, semua pengguna jasa karena kedudukannya sebagai konsumen berhak untuk memeroleh perlindungan hak sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 4 UUPK. Salah satu hak konsumen berdasarkan Pasal 4 UUPK adalah hak atas kenyamanan, keamanan, keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.6 Selain itu, konsumen juga berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.7 Merujuk pada Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2014 tentang Angkutan Jalan bahwa salah satu kewajiban Pemerintah Daerah Provinsi dalam menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang antarkota dalam provinsi adalah menyediakan prasarana dan fasilitas pendukung angkutan umum.8 Selanjutnya, Pasal 23 ayat (1) huruf a dan b 6 Pasal 4 huruf a UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 4 huruf c UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 8 Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. 7 4 PP Angkutan Jalan bahwa pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor dalam trayek harus memiliki rute tetap dan teratur serta terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara. Namun, dalam kenyataannya di lapangan pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) tidak menerima pelayanan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dibentuknya sistim transportasi cepat ini. Berdasarkan pra penelitian yang dilakukan penulis di lapangan, tampaknya dalam pengoperasian BRT tidak terdapat jadwal kedatangan atau keberangkatan bus serta tidak ada papan informasi atau sejenisnya yang dapat menginformasikan jadwal kepada konsumen, sehingga apabila konsumen memiliki suatu keperluan yang mendesak, mereka dapat segera mengantisipasi keadaan tersebut. Selain itu, terdapat pula fasilitas-fasilitas pada halte yang kurang memadai seperti halte yang tidak utuh sebagaimana mestinya (hanya tangga untuk menaiki bus saja). Melihat fenomena yang terjadi di lapangan, penulis berpandangan bahwa pelaksanaan pengangkutan darat Bus Rapid Transit (BRT) sangat berbanding jauh dengan pelaksanaan pengangkutan darat di beberapa kota besar lainnya, salah satunya di Kota Jakarta yang sudah mengalami kemajuan, seperti tertibnya pada supir angkutan bus menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempatnya serta tersedianya informasi jadwal kedatangan, waktu tunggu, hingga waktu tempuh perjalanan bus yang juga telah tepat pada waktunya. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan di atas merupakan suatu bentuk ketidaksesuaian dengan apa yang diatur dalam UU Lalu Lintas dan 5 Angkutan Jalan serta peraturan pelaksananya serta menyebabkan timbulnya beberapa hak-hak konsumen yang telah dilanggar oleh pelaku usaha. Mengingat pentingnya peranan dari Bus Rapid Transit (BRT) Trans Mamminasata dalam menunjang perkembangan sistem transportasi publik yang memadai bagi konsumen, maka pelaksanaan perlindungan hak konsumen merupakan hal utama yang harus dilakukan. Oleh karena itu, penulis ingin meneliti dan mengkaji lebih lanjut dengan memilih judul : “Perlindungan Hukum Bagi Pengguna Jasa Transportasi Umum Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar”. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memenuhi hak-hak konsumen dalam kaitannya dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ? 2. Sejauh mana Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar telah melaksanakan aturan yang telah diatur dalam Undang-Undang Pengangkutan Darat dalam memberi pelayanan terhadap pengguna jasa transportasi ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memenuhi hak-hak konsumen dalam kaitannya dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan aturan yang dilakukan oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar sebagaimana yang telah diatur dalam 6 Undang-Undang Pengangkutan Darat dalam memberi pelayanan terhadap pengguna jasa transportasi. D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum perdata, khususnya hukum perlindungan konsumen di Indonesia. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran khusunya kepada praktisi hukum serta masyarakat mengenai hakhaknya sebagai konsumen dalam menggunakan transportasi Umum Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Konsumen, Pelaku Usaha, Barang, dan Jasa dalam Hukum Perlindungan Konsumen Pengertian perlindungan konsumen terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-undang Perlindungan Konsumen/UUPK) adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Rumusan pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPK tersebut cukup memadai. Kalimat (sic “frasa”) yang mengatur “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenangwenang yang merugikan pelaku usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen.9 1. Konsumen Pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka 2 UUPK adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. 9 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. Rajawali Pers. Jakarta. Hlm. 1. 8 Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.10 Penggunaan istilah “pemakai” dalam rumusan Pasal 1 angka 2 UUPK tersebut sesungguhnya kurang tepat. Ketentuan yang mengatur “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat”, apabila dihubungkan dengan anak kalimat yang menyatakan “bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain”, tampak ada kerancuan di dalamnya sebagai pemakai dengan sendirinya untuk kepentingan diri sendiri, dan bukan untuk keluarga, bitstander, atau makhluk hidup lainnya. Demikian pula penggunaan istilah “pemakai” menimbulkan kesan barang tersebut bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya telah terjadi transaksi jual beli, jika seandainya istilah yang digunakan “setiap orang yang memeroleh” maka secara hukum akan memberikan makna yang lebih tepat, karena apa yang diperoleh dapat digunakan untuk kepentingan sendiri maupun untuk orang lain.11 10 Ibid., hlm. 4. 11Ibid. 9 Menurut A.Z. Nasution adapun beberapa batasan tentang konsumen antara lain sebagai berikut : a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial); c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).12 Sehubungan dengan hal tersebut, menurut Hans W. Miklitz, secara garis besar dapat dibedakan 2 (dua) tipe konsumen yaitu :13 1. Konsumen yang terinformasi (well informed) yang memiliki ciriciri sebagai berikut : a. Memiliki tingkat pendidikan tertentu; b. Mempunyai sumber daya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam ekonomi pasar bebas; c. Lancar berkomunikasi. 2. Konsumen yang tidak terinformasi yang meiliki ciri-ciri : a. Kurang berpendidikan; b. Termasuk kategori ekonomi kelas menengah ke bawah; c. Tidak lancar dalam berkomunikasi. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa setiap pemakai barang dan/atau jasa yang ada dalam masyarakat yang dalam kedudukannya, konsumen di Indonesia terbagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar yakni konsumen yang terinformasi dan konsumen yang tidak terinformasi, dimana kedua-duanya mendapatkan perlindungan 12 Az. Nasution. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Diadit Media. Jakarta. Hlm. 13. 13 Sidharta. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi). PT. Grasindo. Jakarta. Hal. 3. 10 oleh hukum, khususnya dalam Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 2. Pelaku Usaha Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan gerakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam pengertian ini, termasuklah perusahaan; (koperasi) dalam segala bentuk dan bidang usahanya, seperti BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor; dan lain-lain.14 Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus bertanggungjawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang produsen.15 3. Barang Pengertian barang dalam Pasal 1 angka 4 UUPK adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun 14 Celina Tri Siwi Kristiyanti. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 41. 15 Janus Sidabalok. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm. 14. 11 tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Pemakaian teknologi yang makin baik, di satu sisi memungkinkan produsen mampu membuat produk beraneka macam jenis, bentuk, kegunaan, maupun kualitasnya sehingga pemenuhan kebutuhan konsumen dapat terpenuhi lebih luas, lengkap, cepat, dan menjangkau bagian terbesar lapisan masyarakat. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan teknologi akan memungkinkan dihasilkannya produk yang tidak sesuai dengan persyaratan keamanan dan keselamatan pemakai sehingga menimbulkan kerugian kepada konsumen.16 Berkaitan dengan produk cacat dapat ditemukan dalam tiga klasifikasi menurut tahap-tahap produksi, yaitu kerusakan produk, kerusakan design, dan pemberian informasi yang tidak memadai.17 Produk dapat dikategorikan cacat apabila produk itu rusak, atau designnya tidak sesuai dengan yang seharusnya, atau karena informasi yang menyertai produk itu tidak memadai. Cacat pada produk, pada tingkatan tertentu dapat membahayakan konsumen.18 4. Jasa Pengertian jasa dalam Pasal 1 angka 5 UUPK adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi 16 Ibid., Hlm. 15 Ibid., Hlm. 16. Dikutip dari Harry Duintjer Tebbens, International Product Liability, (Netrherland: Sitjoff & Noordoff International Publishers, 1980) Hlm. 7-8. 18Ibid. 17 12 masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Pengertian jasa dalam Pasal 1 angka 5 yang menyebut kata “bagi masyarakat”, memberikan kesan bahwa jasa yang dimaksud haruslah jasa yang ditawarkan kepada lebih dari satu orang. Ini berarti, jasa merupakan layanan khusus kepada individu secara perseorangan bukanlah jasa sebagaimana dimaksudkan dalam UUPK.19 Kesimpulan seperti ini mungkin dirasakan ganjil, terutama bila dihubungkan persediaan jasa-jasa atau yang disebut layanan itu sifatnya sangat terbatas sehingga hanya dapat ditawarkan kepada seseorang. Misalnya dalam jasa angkutan barang, yang kebetulan pengusaha baru memiliki satu alat angkutan, tidak dapat dihindari oleh pengusaha yang bersangkutan kecuali menawarkan hanya kepada seseorang. Dalam hubungan ini, kami berpikir bahwa lebih tepat bila dalam rumusan tersebut tidak menyebutkan istilah “bagi masyarakat” tetapi “bagi anggota masyarakat”. Dengan demikian tidak terbatas hanya ditawarkan untuk dua atau lebih orang, melainkan termasuk penawaran yang dilakukan kepada seseorang, yang dalam hal ini layanan dimaksud disediakan untuk anggota masyarakat.20 19 20 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., Hlm. 14. Ibid Hlm. 14. 13 B. Asas Perlindungan Konsumen Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama seluruh pihak yang terkait, pelaku usaha, dan pemerintah berdasarkan 5 (lima) asas, yang menurut Pasal 2 UUPK ini adalah:21 1. Asas Manfaat Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak di atas pihak lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masing-masing pihak, produsen/pelaku usaha dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan demikian diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa. 2. Asas Keadilan Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh (sic “memeroleh”) haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, 21 Janus Sidabalok, S.H., M.Hum., Op. Cit., Hlm. 26-27. 14 konsumen dan produsen - pelaku usaha dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Oleh karena itu, undang-undang ini mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan produsen - pelaku usaha. 3. Asas Keseimbangan Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen, produsen/pelaku usaha, dan pemerintah memperoleh (sic “memeroleh”) manfaat yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan antara konsumen, produsen/pelaku usaha, dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar daripada pihak lain. 4. Asas Keamanan dan Keselamatan Dimaksudkan untuk memberikan jaminan keamanan dan keselamatan dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memperoleh (sic ”memeroleh”) manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Oleh karena itu, undang-undang 15 ini memberikan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan sejumlah larangan yang harus dipatuhi produsen/pelaku usaha dalam memproduksi dan mengedarkan produknya. 5. Asas Kepastian Hukum Dimaksudkan agar, baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan mendapatkan keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Artinya, undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak dan kewajiban yang terkandung dalm undang-undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh (sic ”memeroleh”) keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan bunyinya. Dari kelima asas yang telah diuraikan di atas, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) bagian asas, yaitu :22 1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen; 2. asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan; dan 3. asas kepastian hukum. 22 Ahmadi Miru, 2011. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Rajawali Pers. Jakarta. Hlm. 33. 16 C. Tujuan Perlindungan Konsumen Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UUPK adalah : a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. D. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha 1. Hak dan Kewajiban Konsumen Istilah perlindungan konsumen berkaitan dengan perlindungan hukum, sehingga perlindungan kosumen pasti mengandung aspek hukum. 17 Dalam Pasal 4 UUPK disebutkan sejumlah hak konsumen yang mendapat jaminan dan perlindungan dari hukum, yaitu: a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengosumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakannya; e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang nyaman, aman, dan yang memberi keselamatan. Oleh karena itu, konsumen harus 18 dilindungi dari segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa dan harta bendanya karena memakai atau mengonsumsi produk (misalnya makanan). Dengan demikian, setiap produk, baik dari segi komposisi bahan, konstruksi, mempertinggi rasan maupun kualitasnya kenyamanan, harus keamanan, diarahkan dan untuk keselamatan konsumen.23 Dalam hal berproduksi produsen diharuskan bertindak jujur dalam memberi informasi sehingga konsumen dapat memilih produk yang terbaik bagi dirinya. Informasi yang diberikan produsen mengenai produknya diharuskan informasi yang jujur, benar, dan jelas sehingga tidak mengelabui atau membodohi konsumen. Karena itu, pemanfaatan media informasi oleh produsen, baik dengan iklan, billboard, dan media lainnya hendaknya dilandasi kejujuran dan niat baik.24 Konsumen yang sudah menentukan/menetapkan pilihannya atas suatu produk berdasarkan informasi yang tersedia berhak untuk mendapatkan produk tersebut sesuai dengan kondisi serta jaminan yang tertera di dalam informasi.25 Apabila setelah mengonsumsi, konsumen merasa dirugikan atau dikecewakan karena ternyata produk yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan informasi yang diterimanya (misalnya, kualitas tidak sesuai), produsen seharusnya mendengar keluhan konsumen itu dan memberikan penyelesaian yang baik.26 23 Janus Sidabalok, S.H., M.Hum., Op. Cit., Hlm. 33. Ibid., Hlm. 34. 25 Ibid. 26 Ibid. 24 19 Mengingat bahwa produsen berada dalam kedudukan yang lebih kuat, baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan (bargaining power, bargaining position) dibanding dengan konsumen, maka konsumen perlu mendapat advokasi, perlindungan, serta upaya penyelesaian sengketa secara patut atas hak-haknya. Perlindungan itu dibuat dalam suatu peraturan perundang-undangan serta dilaksanakan dengan baik.27 Konsumen juga berhak mendapatkan pembinaan dan pendidikan mengenai bagaimana berkonsumsi yang baik. Produsen pelaku usaha wajib memberi informasi yang benar dan mendidik sehingga konsumen makin dewasa dalam memenuhi kebutuhannya, bukan sebaliknya mengeksploitasi kelemahan-kelemahan konsumen terutama wanita dan anak-anak.28 Dalam memperoleh (sic “memeroleh”) pelayanan, konsumen juga berhak untuk diperlakukan benar dan jujur serta sama dengan konsumen lainnya, tanpa ada pembeda-bedaan berdasarkan ukuran apapun, misalnya suku, agama, budaya, daerah asal atau tempat tinggal, pendidikan, status ekonomi (kaya-miskin), dan status sosial lainnya.29 Konsumen berhak mendapatkan hak hak lainnya sesuai dengan kedudukannya sebagai konsumen berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan ini membuka kemungkinan 27 Ibid. Ibid. 29 Ibid., Hlm. 35 28 20 berkembangnya pemikiran tentang hak-hak dari konsumen di masa yang akan datang, sesuai dengan perkembangan zaman.30 Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, serta upaya penyelesaian sengketa secara patut itu perlu ditegaskan dalam suatu perundang-undangan sehingga semu pihak, baik konsumen itu sendiri, produsen, maupun pemerintah mempunyai presepsi yang sama dalam mewujudkannya. Ini berkaitan dengan upaya hukum dalam mempertahakankan hak-hak konsumen. Artinya, hak-hak konsumen yang dilanggar dapat dipertahankan melalui jalan hukum, dengan cara dan prosedur yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Menurut penulis, bagian inilah yang paling penting, yaitu bagaimana seorang konsumen yang dilanggar haknya atau menderita kerugian dapat memperoleh (sic “memeroleh”) haknya kembali. Ini merupakan inti dari penyebutan dan penegasan tentang adanya hak-hak konsumen. Menetapkan hak-hak konsumen dalam suatu perundang-undagan tanpa dapat dipertahankan atau dituntut secara hukum pemenuhannya, tidaklah cukup karena hanya berfungsi sebagai huruf-huruf mati dan tidak bermanfaat bagi konsumen.31 Kewajiban konsumen dalam Pasal 5 UUPK adalah: 30 31 Ibid. Ibid. 21 a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan. b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Adanya kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan merupakan hal penting untuk mendapat pengaturan. Hak ini akan menjadi lebih mudah diperoleh apabila konsumen mengikuti upaya penyelesaian sengketa secara patut. Hanya saja kewajiban konsumen ini, tidaklah cukup untuk maksud tersebut jika tidak diikuti oleh kewajiban yang sama dari pihak pelaku usaha.32 2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Yang menjadi hak-hak dari pelaku usaha berdasarkan Pasal 6 UUPK adalah : a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 32 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., Hlm. 49-50. 22 b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik; c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Nampak bahwa pokok-pokok hak dari produsen/pelaku usaha adalah :33 a. Menerima pembayaran; b. Mendapat perlindungan hukum; c. Membela diri; dan d. Rehabilitasi. Kewajiban pelaku usaha berdasarkan Pasal 7 UUPK adalah: a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan; c. Memperlakukan dan melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 33 Janus Sidabalok, S.H., M.Hum., Op. Cit., Hlm. 72. 23 d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta member jaminan dan/atau garansi yang dibuat dan/atau diperdagangkan. f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian. Dengan demikian, pokok-pokok kewajiban produsen/ pelaku usaha adalah:34 a. Beritikad baik; b. Memberi informasi; c. Melayani dengan cara yang sama; d. Memberi jaminan; e. Memberi kesempatan mencoba; dan f. Memberi kompensasi Kewajiban beritikad baik berarti produsen/pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya wajib melakukannya dengan itikad baik, yaitu secara berhati-hati, mematuhi dengan aturan-aturan, serta dengan penuh tanggungjawab.35 34 35 Ibid. Hlm. 73. Ibid. 24 Kewajiban memberi informasi berarti produsen/pelaku usaha wajib memberi informasi kepada konsumen atas produk dan segala hal sesuai mengenai produk yang dibutuhkan konsumen. Informasi itu adalah informasi yang benar, jelas, dan jujur.36 Kewajiban melayani berarti produsen/pelaku usaha wajib memberi pelayanan kepada konsumen secara benar dan jujur serta tidak membedabedakan cara ataupun kualitas pelayanan secara diskriminatif.37 Kewajiban memberi kesempatan berarti produsen/pelaku usaha wajib memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba produk tertentu sebelum konsumen memutuskan membeli atau tidak membeli, dengan maksud agar konsumen memperoleh (sic “memeroleh”) keyakinan akan kesesuaian produk dengan kebutuhannya.38 Kewajiban memberi kompensasi berarti produsen/pelaku usaha wajib memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian kerugian akibat tidak atau kurang bergunanya produk untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan fungsinya dan karena tidak sesuainya produk yang diterima dengan yang diperjanjikan.39 E. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Angkutan Umum Sudah merupakan suatu kewajiban para pelaku usaha untuk selalu senantiasa beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya 36 Ibid. Ibid. 38 Ibid. 39 Ibid., Hlm. 74. 37 25 sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 7 huruf a UUPK. Hal ini bertujuan untuk menjaga iklim usaha yang sehat serta tetap menjaga agar konsumen tidak dirugikan.40 Terkait dengan pembahasan ini, maka penulis selanjutnya menguraikan tanggung jawab pelaku usaha dalam kedudukannya sebagai penyelenggara jasa transportasi angkutan darat yang ditinjau berdasarkan UUPK maupun dalam UU LLAJ. 1. Pertanggungjawaban Dalam UUPK Dalam UUPK diatur mengenai pertanggungjawaban pelaku usaha dalam Pasal 18-28 Bab VI dengan judul Tanggung Jawab Pelaku Usaha. Tanggung jawab produsen/pelaku usaha sebagaimana diatur dalam pasalpasal di atas adalah tanggung jawab sehubungan dengan adanya hubungan hukum antara produsen/pelaku usaha dengan konsumennya dan tanggung jawab berdasarkan hubungan hukum yang lahir kemudian, sebagai konsekuensi dari memakai atau mengonsumsi produk. Dengan kata lain, tanggung jawab yang dimaksud di sini adalah tanggung jawab keperdataan, baik yang bersifat kontraktual maupun di luar hubungan kontraktual.41 2. Pertanggungjawaban Dalam UU LLAJ Penyelenggaraan angkutan penumpang bus umum yang aman, selamat, dan tertib, merupakan bagian penting dan menjadi salah satu tujuan utama dalam suatu penyelenggaraan angkutan. Untuk memenuhi 40 Adrian Sutedi, 2008. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Ghalian Indonesia. Ciawi-Bogor. Hal. 37. 41 Ibid., Hlm. 87. 26 tujuan utama tersebut, maka setiap penyelenggaraan angkutan penumpang bus umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi: (a) keamanan; (b) keselamatan; (c) kenyamanan; (d) keterjangkauan; (e) kesetaraan; dan (f) keteraturan, seperti yang ditentukan dalam Pasal 141 ayat (1) UU LLAJ, dan hal ini adalah sebagai hak penumpang.42 Pasal 192 ayat (1) UU LLAJ yang menegaskan bahwa perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan penumpang. Selanjutnya, dalam Pasal 234 ayat (1) UU LLAJ yang secara garis besar menjelaskan bahwa pihak penyedia jasa angkutan umum wajib bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penumpang yang diakibatkan oleh kelalaian pengemudi. Pasal 234 UU LLAJ tersebut mengisyaratkan kepada pihak penyedia angkutan umum tidak hanya menyediakan layanan yang nyaman, aman berupa fasilitas yang layak bagi penumpang sebagai konsumen, tetapi juga harus memberikan edukasi terhadap para supirnya agar berperilaku baik dalam menjakankan tugas yaitu mengantar penumpang sampai ke tujuan dengan selamat. Pemilik jasa angkutan umum tidak hanya mementingkan keuntungan semata yang 42 Rabiah Z. Harahap. 2016. Jurnal : Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Penumpang Bus dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen. Dr. Lega Lata, Volume I, Nomor I, Januari-Juni 2016. Hlm. 227. 27 diperoleh dari tiket penumpang tapi juga harus memikirkan keselamatan penumpang.43 F. Penyelesaian Sengketa Konsumen Ketentuan tentang penyelesaian sengketa konsumen menurut UUPK diatur di dalam Bab X dengan judul Penyelesaian Sengketa, mulai Pasal 45-48, dan dihubungkan dengan Bab XI tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 49-58. Akan tetapi, ketentuan pada Bab X tersebut sudah didahului dengan Pasal 19 dan 23 UUPK.44  Pasal 19 ayat (3) “Pemberian ganti rugi dilaksanakan dengan tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.”  Pasal 23 “Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UUPK, dapat digugat melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”  Pasal 45 ayat (1) “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara 43 44 Ibid. Hlm. 226. Ibid., Hlm. 128. 28 konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.”  Pasal 47 “Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.” Mengikuti ketentuan Pasal 19 ayat (3) dan Pasal 23 jo. Pasal 45 ayat (1) dan Pasal 47 UUPK tersebut, sengketa konsumen dapat diselesaikan di luar pengadilan dan melalui pengadilan.45 Melalui Pasal 45 ayat (1) UUPK dapat diketahui bahwa untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat 2 (dua) pilihan yaitu:46 1. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha; atau 2. Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. 1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diatur dalam Pasal 52 UUPK, yaitu sebagai berikut : 45 46 Ibid. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op. Cit., Hlm. 224. 29 a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan / atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undangundang ini; i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen; j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan; 30 k. Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian konsumen; l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 52 di atas, penyelesaian sengketa konsumen dapat dilalui dengan tiga cara yaitu arbitrase, mediasi, dan konsiliasi. a. Arbitrase Penyelesaian sengketa melalui peradilan arbitrase ini dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa, jika para pihak tersebut telah mencantumkan klausula arbitrase dalam perjanjian yang menjadi pokok sengketa atau mengadakan perjanjian arbitrase setelah timbulnya sengketa di antara mereka.47 Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena putusannya berkekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase ini memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan.48 47 48 Ibid., Hlm. 249. Ibid. 31 Walaupun arbitrase ini memiliki kelebihan, namun pada akhirakhir ini peran arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan digeser oleh alternatif penyelesaian sengketa lain. Alternatif-alternatif lainnya itu memiliki kesamaan dengan arbitrase, diantaranya adalah: sederhana dan cepat, prinsip konfidensial, dan diselesaikan oleh/melibatkan pihak ketiga yang netral dan memiliki pengetahuan khusus secara profesional. Namun, dibalik persamaan itu terdapat perbedaan yang dianggap fundamental dalam pelaksanaannya, karena pada arbitrase:49 1) Biaya mahal, karena walaupun secara teori biayanya lebih murah daripada penyelesaian melalui proses litigasi, namun berdasarkan pengalaman dan pengamatan, biaya yang harus dikeluarkan hampir sama dengan biaya litigasi, karena terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan, bahkan kadang-kadang jauh lebih besar daripada biaya litigasi. Komponen biaya tersebut terdiri atas, biaya administrasi, honor arbiter, biaya transportasi dan akomodasi arbiter, serta biaya saksi dan ahli; 2) Penyelesaian yang lambat, karena walaupun banyak sengketa yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu 60-90 hari, namun banyak juga penyelesaian yang memakan waktu panjang, bahkan ada yang bertahun-tahun atau puluhan tahun, apalagi kalau terjadi perbedaan pendapat tentang penunjukan arbitrase atau hukum 49 Ibid., Hlm. 250. 32 yang hendak diterapkan, maka penyelesaiannya akan bertambah rumit dan panjang. b. Konsiliasi Konsiliasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang juga bisa ditempuh di luar pengadilan, yang diartikan sebagai: an independent person (consilator) brings the parties together and encourages a mutually acceptable resolution of the dispute by facilitating communication between the parties.50 Konsiliasi ini juga dimungkinkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para pihak. Walaupun demikian, pendapat dari konsiliator tidak mengikat sebagaimana mengikatnya arbitrase.51 c. Mediasi Penyelesaian sengketa melalui mediasi harus didahului dengan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketanya melalui mediasi. Kesepakatan ini dapat dilakukan sebelum timbulnya sengketa, yaitu dengan memasukkan sebagai klausula perjanjian (mediation clause agreement), atau setelah timbul sengketa kemudian para pihak 50 Ibid., Hlm. 254. Dikutip dari; Lamuel W. Dowdy, et al., Prepared by Consumer Dispute Resolution Program Staff Attorneys, Federal Trade Comission-Division of Product Reliability, Washington, D.C., hlm. 5. 51 Ibid. 33 membuat kesepakatan untuk menyerahkan penyelesaiannya melalui mediasi (mediatiom submission). Dari dua cara tersebut lebih menguntungkan jika cara pertama yang ditempuh, karena para pihak yang bersengketa sejak awal telah menginginkan mediasi, sehingga kemungkinan berhasilnya proses mediasi lebih besar. Walaupun demikian, kesepakatan penyelesaian sengketa melalui mediasi sebelum timbulnya sengketa konsumen sulit dilakukan, karena perjanjian antara produsen dengan konsumen biasanya tidak tertulis atau tidak dicantumkan klausula-klausula tertentu secara rinci, bahkan orang yang tidak terikat perjanjian dengan produsen pun dapat menuntut ganti kerugian, sehingga untuk sengketa konsumen lebih tepat digunakan mediation submission. 2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan Dalam hal tuntutan diajukan melalui pengadilan, dipersoalkanlah proses atau tahapan-tahapan pemeriksaan tuntutan ganti rugi sehubungan dengan pertanggungjawaban produsen/pelaku usaha.52 Pasal 48 UUPK menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum. Ini berarti hukum acara yang dipakai dalam tata cara persidangan dan pemeriksaan perkara adalah berdasarkan Herziene Inlands Regeling (HIR) yang berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura atau Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), yang berlaku bagi 52 Janus Sidabalok, S.H., M.Hum., Op. Cit., Hlm. 132. 34 daerah luar Jawa dan Madura. Keduanya tidak mempunyai perbedaan yang mendasar (prinsipil).53 G. Tinjauan tentang Pengangkutan 1. Pengangkutan Menurut Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pengangkutan selalu berhubungan dengan kegiatan pengangkutan serta alat angkutannya. Pemahaman secara yuridis atas pengertian pengangkutan (dalam arti pengangkutan dengan menggunakan jalan) dapat merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disebut UU LLAJ), beserta peraturan pelaksanaannya. Dalam UU LLAJ, isitilah pengangkutan atau dalam bahasa Inggris transportation deiknal dengan nama “angkutan”.54 Pasal 1 angka 3 UU LLAJ memberikan pengertian atas angkutan sebagai perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan. Dalam hal ini yang dimaksudkan dengan kendaraan pada Pasal 1 angka 3 UU LLAJ tersebut dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 UU LLAJ adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas kendaraan bermotor, yakni kendaraan yang digerakkan oleh kendaraan mekanik berupa mesin selain kendaraan tidak bermotor (setiap kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan, vide Pasal 1 angka 9 UU LLAJ). 53 Ibid. Andika Wijaya, 2016. Aspek Hukum Bisnis Transportasi Jalan Online. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 10. 54 35 Keterkaitan pengguna jasa angkutan sebagai konsumen terlihat pada Pasal 1 angka 22 UU LLAJ bahwa “pengguna jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan umum”. Melalui aturan tersebut terdapat hubungan antara konsumen dan jasa angkutan, bahwa pengguna jasa angkutan dalam hal ini dikategorikan sebagai konsumen jasa angkutan. Oleh sebab itu, sebagai konsumen, pengguna jasa tidak terlepas dari kerugian yang mungkin diderita atau terjadi pada saat menggunakan jasa angkutan atau sedang melakukan perjalanan dengan alat transportasi yang disediakan oleh perusahaan angkutan.55 2. Jenis-Jenis Pengangkutan Pembagian jenis-jenis pengangkutan pada umumnnya didasarkan pada jenis alat angkut yang dipergunakan dan keadaan geografis yang menjadi wilayah tempat berlangsungnya kegiatan pengangkutan. Dalam pembagian jenis pengangkutan dapat dibedakan sebagai berikut : a. Pengangkutan darat terdiri dari :56 1. Pengangkutan dengan kendaraan bermotor 2. Pengangkutan dengan kereta api. 3. Pengangkutan dengan tenaga Hewan b. Pengangkutan di perairan yang terdiri dari : 55 Lanugranto Adi Nugroho. 2008. Skripsi : Konsumen dan Jasa Transportasi (Studi pada Perlindungan Hukum pada Konsumen Fasilitas Publik dan Pelayanan Jasa Transportasi Perusahaan Otobus di Kabupaten Wonogiri). Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Hlm. 5. 56 Hasim Purba. 2005. Hukum Pengangkutan di Laut. Pustaka Bangsa Press, Medan. Hlm. 9-10. 36 1. Pengangkutan di laut 2. Pengangkutan di sungai dan danau 3. Pengangkutan Penyeberangan c. Pengangkutan Udara Dalam pengangkutan juga terdapat unsur-unsur pokok transportasi, yaitu : 1. Manusia, yang membutuhkan transportasi 2. Barang, yang diperlukan manusia, 3. Kendaraan sebagai prasarana transportasi, 4. Jalan, sebagai pengelola transportasi 5. Organisasi, sebagai pengelola transportasi. Kelima unsur di atas saling terkait untuk terlaksananya transportasi, yaitu terjaminnya penumpang atau barang yang diangkut sampai ke tempat tujuan. 3. Standar Pengelolaan Alat Angkut dan Pelayanan Minimal Angkutan Pasal 3 ayat (1) UU LLAJ menentukan bahwa tujuan dari pengangkutan adalah tujuan dari pengangkutan adalah “terwujudnya lalu lintas dan angkutan jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa”. Pasal 48 UU LLAJ menjelaskan bahwa syarat teknis dan laik jalan antara lain adalah : 37 a. Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus memenuhi persyaratan teknis laik jalan. b. Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas susunan, perlengkapan, ukuran, karoseri, rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya, pemuatan, penggunaan, penggandengan kendaraan bermotor dan/atau penempelan kendaraan bermotor. c. Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal kendaraan bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas emisi, gas buang, kebisingan suara, efisien sistem rem utama, efisiensi sistem rem parkir, kincup roda depan, suara klakson, daya pancar dan arah sinar lampu utama, radius putar, akurasi alat penunjuk kecepatan, kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban dan kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat kendaraan. d. Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 98 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek bahwa : “Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) meliputi: Keamanan; Keselamatan; Kenyamanan; Keterjangkauan; Kesetaraan; Keteraturan”. Selanjutnya, dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 10 Tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Massal Berbasis Jalan juga menegaskan bahwa: “Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Jenis Pelayanan dan b. Mutu Pelayanan”. Dalam ayat (4) juga diegaskan bahwa “jenis pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a meliputi : keamana, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan.” Beberapa peraturan tersebut berkaitan dengan hak-hak penumpang yang merupakan konsumen pengguna jasa transportasi. 38 H. Pengangkutan Orang 1. Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam Trayek Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan memberi pengertian atas trayek sebagai lintasan kendaraan bermotor umum untuk pelayanan jasa angkutan orang dengan mobil penumpang atau mobil bus yang mempunyai asal dan tujuan perjalanan tetap, lintasan tetap, dan jenis kendaraan tetap, serta berjadwal atau tidak terjadwal. Adapun jenis angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek sebagaimana dimaksud terdiri atas : a. b. c. d. e. angkutan lintas batas negara; angkutan antarkota antarprovinsi; angkutan antarkota dalam provinsi; angkutan perkotaan; atau angkutan perdesaan. Kriteria angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek dijelaskan dalam Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan dijelaskan sebagai berikut :57 (1) Pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek harus memiliki kriteria : a. memiliki rute yang tetap dan teratur; b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara; c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan pedesaan. (2) Tempat menaikkan dan menurunkan penumpang dilakukan di : a. Teminal; b. Halte; dan/atau 57 Andika Widjaja. Op.cit. Hal. 187. 39 c. Rambu pemberhentian kendaraan bermotor umum. (3) Kendaraan yang dipergunakan meliputi : a. Mobil penumpang bus umum, yang merupakan kendaraan bermotor angkutan orang yang memiliki tempat duduk maksimal 8 (delapan) orang, termasuk untuk pengemudi yang beratnya tidak lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram; dan/atau b. Mobil bus umum, yang merupakan kendaran bermotor umum angkutan orang yang memiliki tempat duduk lebih dari 8 (delapan) orang, termasuk untuk pengemudi atau yang beratnya lebih dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram. 2. Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek Jenis lain dari angkutan orang dengan menggunakan kendaraan bermotor umum adalah angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek. Jenis angkutan demikian tidak mengenal trayek, dimana kegiatan angkutan orang yang dijalankan tidak mempunyai asal dan tujuan perjalanan tetap, tidak menggunakan lintasan tetap dan tidak memiliki jenis kendaraan tetap. Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan menentukan bahwa pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek terdiri atas : a. angkutan orang dengan menggunakan taksi; b. angkutan orang dengan tujuan tertentu; c. angkutan orang untuk tujuan pariwisata; d. angkutan orang di kawasan tertentu. Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan bahwa pengertian angkutan orang dengan tujuan tertentu adalah angkutan orang tidak dalam trayek dengan menggunakan mobil penumpang umum atau mobil bus umum untuk perluan selain 40 pelayanan taksi, pariwisata, dan kawasan tertentu antara lain angkutan antar jemput, angkutan karyawan, angkutan permukiman, angkutan carter, dan angkutan sewa khusus. Pasal tersebut menentukan secara imperatif bahwa angkutan orang dengan tujuan tertentu dilarang menaikkan dan/atau menurunkan penumpang di sepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan orang dalam trayek. I. Tinjauan tentang Perum DAMRI DAMRI adalah kepanjangan dari Djawatan Angkutan Motor Republik Indonesia yang dibentuk berdasarkan Maklumat Kementerian Perhubungan RI No.01/DAMRI/46 tanggal 25 November 1946 dengan tugas utama menyelenggarakan angkutan penumpang dan barang di atas jalan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Dalam perkembangan selanjutnya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terdiri dari Persero dan Perum berdasarkan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hingga saat ini, DAMRI memiliki jaringan pelayanan tersebar hampir diseluruh wilayah Republik Indonesia. Dalam kegiatan usahanya DAMRI menyelenggarakan pelayanan angkutan kota, angkutan antar kota dalam provinsi, angkutan pemadu moda, angkutan wisata, angkutan barang, angkutan perintis dan angkutan antar negara.58 Berdasarkan maklumat tersebut maka fungsi utama DAMRI adalah menyelenggarakan angkutan darat bagi kepentingan masyarakat dengan 58 https://damri.co.id/ diakses pada hari Sabtu, tanggal 1 April 2017, Pukul 13.00. 41 menggunakan truk, bus serta jenis angkutan motor lainnya. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1984, sebagaimana telah diubah berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang DAMRI, status DAMRI berubah menjadi Perusahaan Umum DAMRI dengan maksud dan tujuan adalah turut melaksanakan dan menunjang kebijaksanaan program pemerintah di bidang ekonomi serta pembangunan nasional pada umumnya, khususnya di subsektor perhubungan darat dengan armada bus dan truk serta tetap memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan.59 Pengembangan dan pengoperasian Bus Rapid Trans (BRT) merupakan implementasi dari visi dan misi pemerintahan Republik Indonesia periode tahun 2014 – 2019, melalui Konsep Trisakti dan Program Nawacita. Dalam rangka perwujudan Cita ke-6 dari Nawacita, yaitu meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, disusunlah agenda program prioritas, antara lain membangun transportasi massal di kawasan perkotaan dengan arah kebijakan mengembangkan sistem angkutan massal yang modern dan maju dengan orientasi kepada bus maupun rel, yang akan diwujudkan melalui strategi pengembangan Bus Rapid Trans (BRT) di 34 kota di Indonesia. Kementerian Perhubungan telah meresmikan perakitan 1.000 unit BRT kemudian menunjuk Perum DAMRI sebagai operator Bus Rapid Transit (BRT). Penunjukan tersebut dilatarbelakangi karena DAMRI memiliki pengalaman dan pengelolaan 59 Ibid. 42 bisnis transportasi umum moda darat (bus), juga bertujuan untuk menyamakan standar pelayanan BRT di semua kota yang juga kemudian diharapkan dapat bekerja sama dengan pemerintah kota dalam hal pelaksanaan pengangkutan umum dengan sarana bus. 60 60 Tim Redaksi Humas Direktoriat Perhubungan arat, 2015. Newsletter Info Hubdat. Humas Direktoriat Perhubungan Darat. Jakarta. Hlm. 4. 43 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Dalam rangka memeroleh data dan informasi terkait objek penelitian maka dalam proses penulisan skripsi ini, penulis melakukan penelitian di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, yakni pada Kantor Perum DAMRI yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Km. 14. Adapun pertimbangan penulis untuk memilih lokasi pada Kantor Perum DAMRI Kota Makassar karena Perum DAMRI adalah operator resmi yang mengelola dan mengoperasikan Bus Rapid Transit Trans Mamminasata di Kota Makassar sehingga lokasi penelitian yang dipilih memiliki keterkaitan langsung dengan objek penelitian, dimana penulis lebih mudah untuk memeroleh data dan informasi yang lebih lengkap dan akurat. B. Populasi dan Sampel Populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu dan ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.61 Populasi dalam penelitian ini adalah pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) dan pimpinan atau staf Perum DAMRI Makassar. Mengingat staf Perum DAMRI Makassar serta pengguna jasa Bus Rapid 61 Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Alfabeta,Bandung. Hal. 297. 44 Transit (BRT) yang tidak terbatas jumlahnya. Teknik penentuan informan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Purposive Sampling dan Accidental Sampling. 1. Teknik penentuan informan yang digunakan peneliti dalam menentukan informan aparatur adalah teknik Purposive Sampling, yaitu sejumlah informan yang ditentukan berdasarkan pertimbangan sesuai dengan objek penelitian sebagai berikut : 1) Manager Kantor Perum DAMRI Kota Makassar, penetapan Manager sebagai informan karena beliau merupakan orang yang mengetahui pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) di Kota Makassar, baik dalam pelaksanaannya, prosedur, dan tata kelola pelayanannya. 2) Pengawas Bus Rapid Transit (BRT), penetapan Pengawas karena beliau yang memberikan infomasi mengenai jalannya pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) sehari-hari. 3) Supir Bus Rapid Transit (BRT) penetapan Supir karena beliau yang mengetahui kondisi bus serta kendala pada pengoperasian Bus Rapid Transit (BRT). 2. Teknik penentuan informan yang digunakan peneliti dalam menentukan informan masyarakat adalah teknik Accidental Sampling, yaitu informan masyarakat sebagai pengguna Bus Rapid Transit (BRT) yang berada di dalam bus ataupun di halte pada saat peneliti melakukan penelitian. Adapun jumlah masyarakat sebagai pengguna Bus Rapid Transit (BRT) 45 yang dijadikan informan oleh peneliti adalah sebanyak 60 (enam puluh) orang. Penetapan jumlah informan masyarakat sebanyak 60 (enam puluh) orang karena melihat pada jumlah penumpang BRT yang ratarata berjumlah 10 sampai dengan 20 orang per rute, maka penulis memilih sebanyak 6 (enam) orang informan masyarakat yang bersedia memberikan keterangan dan mengisi kuesioner. C. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber yang diperoleh dengan melakukan studi lapangan (field research).62 Data primer yang digunakan penulis diperoleh dari observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa staf/karyawan pada Perum DAMRI Makassar serta sejumlah kuesioner yang disebarkan kepada para penumpang Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar. Sedangkan, data sekunder yang digunakan dalam penelitian adalah peraturan perundang-undangan, literatur atau bukubuku teks yang ditulis oleh para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum hasilhasil penelitian, artikel atau karya tulis yang dipublikasikan melalui internet, dan pendapat dari para ahli hukum. 62 Soerjono Soekanto, 2005. Pengantar Penelitian Hukum. UI-Press, Jakarta. Hal. 51. 46 D. Metode Pengumpulan Data Adapun metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kuisioner Suatu cara untuk mendapatkan informasi dengan memberikan Dalam hal ini yang menjadi responden adalah pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar. 2. Wawancara Wawancara dibuat secara terstruktur dan dilakukan dengan cara penyampaian sejumlah pertanyaan dari pewawancara kepada responden.63 Adapun yang menjadi narasumber penulis dalam penelitian ini adalah beberapa staf Perum DAMRI yang khusus menangani bagian Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar. 3. Observasi Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung pada objek kajian. Observasi dalam penelitian ini dilakukan pada pra-penelitian, saat penelitian dan pasca-penelitian guna untuk mengamati bagaimana Bus Rapid Transit (BRT) dalam memenuhi hak-hak konsumen. “Wawancara adalah”, https://id.wikipedia.org/wiki/Wawancara, diakses pada hari Senin, 5 Desember 2016, pukul 12.57. 63 47 4. Studi Kepustakaan Dilakukan untuk memeroleh data yang akurat dari sumber tertulis, baik itu berupa dokumen-dokumen maupun literatur-literatur yang terkait dengan penelitian ini serta dapat menunjang pembahasan yang akan dipaparkan dalam hasil penelitian ini. E. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian, baik dari data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif, yaitu mengemukakan masalah, menggunakan pendapat dan memecahkan permasalahan dari aspek hukumnya. Kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh kesimpulan yang menjawab masalah yang dibahas dalam penulisan skripsi ini. 48 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam Memenuhi Hak-Hak Konsumen Penyelenggaraan Bus Rapid Transit (BRT) merupakan salah satu bagian dari upaya pemerintah dalam mendukung pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan umum dalam bidang transportasi sebagaimana telah diamanatkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Sebagai bagian dari transportasi nasional, Bus Rapid Transit (BRT) perlu dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan kebutuhan masyarakat akan moda transportasi angkutan umum yang lebih mengedepankan pelayanan, fasilitas, serta hak-hak konsumen. Perlindungan konsumen diberikan melalui peraturan perundangundangan, yaitu dalam UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Hal ini perlu dilakukan dengan pertimbangan yang matang, dan tidak cukup hanya mencontoh undangundang negara lain yang dianggap berhasil dalam memberikan perlindungan kepada konsumen, karena keberhasilan undang-undang di negara lain belum tentu mencapai keberhasilan yang sama di Indonesia.64 Hak-hak konsumen merupakan suatu bagian dari hak asasi yang tidak dapat diabaikan dalam melakukan kegiatan bisnis yang sehat. Penegakan hak-hak konsumen merupakan suatu bentuk perlindungan 64 Ahmadi Miru. Op.Cit. Hal. 5. 49 yang diberikan oleh hukum atas tindakan pelaku usaha yang seringkali bersifat menguntungkan diri sendiri dan melanggar hukum, dimana tindakan demikian kerap kali menimbulkan kerugian konsumen. Adapun hak-hak konsumen yang berhubungan dengan Bus Rapid Transit (BRT) sebagaimana telah dijamin oleh undang-undang yaitu sebagai berikut : a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan patut serta tidak diskriminatif; f. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; g. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 50 Perlindungan konsumen merupakan hal yang penting dalam menjaga keseimbangan hubungan hukum antara produsen dengan konsumen. Di Indonesia, perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen tidak hanya meliputi perlindungan dalan hal mengkonsumsi suatu barang, melainkan juga meliputi perlindungan hukum terhadap konsumen dalam kedudukannya sebagai pengguna jasa. Terkait dengan penelitian ini, perlindungan konsumen akan difokuskan dalam kedudukannya sebagai pengguna jasa moda transportasi umum Bus Rapid Transit (BRT) guna untuk memenuhi hak-hak konsumen sebagaimana ditentukan dalam UUPK. Keberadaan Bus Rapid Transit (BRT) sebagai moda transportasi publik digunakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan dengan mengajukan kuesioner kepada 60 (enam puluh) orang responden, sebagai berikut : Tabel 4.1 : Karakteristik Responden Berdasarkan Usia No. Usia Responden Jumlah Responden Persentase 1. Di bawah 25 tahun 14 23% 2. 26 – 40 tahun 31 52% 3. 41 – 50 tahun 10 17% 4. Di atas 50 tahun 5 8% Jumlah 60 100 % Sumber : Data primer, diolah, 2017. 51 Berdasarkan table 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna Bus Rapid Transit (BRT) berusia 26 – 40 tahun yaitu sebanyak 31 responden atau 52%. Tabel 4.2 : Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Responden 1. SD 0 0% 2. SMP 4 7% 3. SMA 24 40% 4. Sarjana 26 43% 5. Pasca Sarjana 6 10% Jumlah 60 100 % No. Persentase Sumber : Data primer, diolah, 2017. Berdasarkan table 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna Bus Rapid Transit (BRT) berpendidikan sarjana yaitu sebanyak 26 responden atau 43%. Tabel 4.3 : Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Responden Responden 1. Pria 19 32% 2. Wanita 41 68% No. Persentase Sumber : Data primer, diolah, 2017. Berdasarkan table 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna Bus Rapid Transit (BRT) berjenis kelamin wanita yaitu sebanyak 41 responden atau 68%. 52 Tabel 4.4: Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan No. Pekerjaan Responden Jumlah Responden Persentase 1. Pelajar 15 25% 2. Karyawan 33 55% 3. Wiraswasta 4 7% 4. Lainnya 8 13% Jumlah 60 100 % Sumber : Data primer, diolah, 2017. Berdasarkan table 4.4 menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna Bus Rapid Transit (BRT) bekerja sebagai karyawan yaitu sebanyak 33 responden atau 55%. Tabel 4.5 : Jumlah Penggunaan Bus Rapid Transit (BRT) Penggunaan Bus Jumlah dalam Seminggu Responden 1. 1 kali seminggu 29 48% 2. 2 kali seminggu 10 17% 3. 3 kali seminggu 8 13% 4. 4 kali seminggu 6 10% 5. 5 kali seminggu 4 7% 6. 7 kali seminggu 2 3% 7. 12 kali seminggu 1 2% Jumlah 60 100 % No. Persentase Sumber : Data primer, diolah, 2017. 53 Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa diantara 60 orang responden pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT), dapat dilihat bahwa jawaban terbanyak responden yakni sebanyak 29 orang atau sebesar 48% menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) sebanyak sekali seminggu. Keberadaan Bus Rapid Transit (BRT) sebagai moda transportasi publik merupakan salah satu program pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yakni kebutuhan akan transportasi. Ditinjau dari hasil penyebaran kuesioner menunjukkan jumlah pengguna jasa BRT yang sekali dalam seminggu relatif lebih banyak, sehingga dapat dikatakan bahwa Bus Rapid Transit (BRT) belum dijadikan sebagai moda transportasi utama masyarakat dalam bepergian meskipun tarif yang ditawarkan lebih murah dibanding dengan moda transportasi umum lainnya. Menurut Tesar,65 seorang Kondektur Bus Rapid Transit (BRT) bahwa jumlah pelanggan Bus Rapid Transit (BRT) setiap harinya tidak menentu, kadang ramai dan kadang sepi. Peningkatan jumlah pelanggan biasanya baru terjadi saat akhir pekan yang besar penumpang ingin berpergian ke Mall. Rendahnya jumlah pelanggan akhir-akhir ini juga salah satunya dipengaruhi oleh perkembangan taksi online yang lebih mudah, dibandingkan apabila menggunakan Bus Rapid Transit (BRT), masyarakat harus menunggu di halte dengan waktu tunggu yang tidak menentu. 65 Wawancara dengan Tesar, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 14 Juli 2017. 54 Kadang pelanggan harus menunggu sekitar 15 – 30 menit, serta tidak adanya jadwal tetap keberangkatan dan kedatangan bus. Penulis berpandangan bahwa penggunaan Bus Rapid Transit (BRT) oleh masyarakat tentunya digantungkan pada minat, kebutuhan, dan kemudahan yang diberikan kepada masyarakat, menyadari keberadaan Bus Rapid Transit (BRT) sebagai moda transportasi publik yang juga harus bersaing dengan transportasi publik lainnya, seperti jasa transportasi online Grab, Uber, ataupun Go-Car. Tabel 4.6 : Keperluan Masyarakat Menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) No. Jenis Keperluan Persentase Pergi Bekerja Jumlah Responden 15 1. 2. Pergi ke Kampus 6 10% 3. Pergi ke Mall 30 50% 4. Pulang Ke Rumah 5 8% 5. Ingin mencoba BRT 4 7% Jumlah 60 100 % 25% Sumber : Data primer, diolah, 2017. Mengingat sejak lahirnya Bus Rapid Transit (BRT) pertama kali hanya memiliki rute dari mall ke mall, yakni rute Mall GTC hingga ke Mall Panakkukang. Berdasarkan hasil tanggapan responden pada tabel 4.6 menunjukkan jawaban terbanyak, yaitu 30 responden atau sebesar 50% menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) untuk pergi ke mall dan 15 responden atau sebesar 25% menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) untuk 55 pergi bekerja. Tabel di atas menunjukkan kesesuaian dengan keterangan yang diberikan oleh Tesar, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), sehingga dapat disimpulkan bahwa masyarakat lebih dominan menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) untuk tujuan melakukan perjalanan ke Mall, disamping ada juga masyarakat yang menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) untuk tujuan pergi bekerja. Berdasarkan tanggapan masyarakat sebagai pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT), alasan menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) yaitu karena mereka merasa nyaman, aman, dan tarif Bus Rapid Transit (BRT) yang terjangkau. Dikatakan aman karena selama menggunakan BRT mereka tidak pernah mengalami hal-hal yang tidak diinginkan seperti kehilangan barang ataupun pencopetan. Nyaman karena BRT memberikan fasilitas yang memadai seperti adanya pendingin ruangan (AC) dan kapasitas penumpang duduk yang disesuaikan dengan jumlah kursi, tidak seperti pada angkutan kota (Pete-Pete), dimana supir angkutan memaksakan penumpang semaksimal lainnya harus mungkin duduk jumlah penumpang bersempit-sempitan. sehingga Sedangkan dikatakan tarif terjangkau karena tarif BRT menjangkau seluruh kalangan masyarakat, baik dari kalangan masyarakat menengah hingga ke bawah. 1. Pelayanan di Halte Bus Rapid Transit (BRT) Adapun penilaian konsumen terkait dengan pelayanan yang diberikan oleh pihak pengelola ataupun petugas Bus Rapid Transit (BRT) pada halte, baik ditinjau dari segi sarana dan prasarana yang disediakan maupun petugas yang melayani penumpang, diuraikan sebagai berikut : 56 Tabel 4.7 : Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) di Halte No 1. Pernyataan STB Ketersediaan tempat 4. Jumlah 18 7 4 5 60 43% 30% 12% 7% 8% 100% 4 21 22 3 10 60 7% 35% 36% 5% 17% 100% 1 23 19 12 5 60 kenyamanan di halte 2% 38% 32% 20% 8% 100% Tempat 20 25 3 6 6 60 33% 42% 5% 10% 10% 100% 2 6 18 25 9 60 3% 10% 30% 42% 15% 100% - 3 17 34 6 60 5% 28% 57% 10% 100% 5 18 32 5 60 8% 30% 53% 8% 100% 29 17 8 4 2 60 48% 28% 13% 7% 3% 100% 20 22 7 9 2 60 33% 37% 12% 15% 3% 100% 20 18 12 9 1 60 33% 30% 20% 15% 2% 100% 2 4 23 28 3 60 3% 7% 38% 47% 5% 100% 20 15 13 11 1 60 33% 25% 22% 18% 2% 100% 20 19 13 2 6 60 33% 32% 22% 2% 10% 100% - 3 29 27 1 60 5% 48% 45% 2% 100% Kualitas tempat duduk di halte 3. SB 26 duduk di halte 2. Tanggapan Responden TB CB B Kebersihan prioritas dan duduk bagi nyandang pecacat, lansia, dan ibu hamil 5. Antri untuk masuk ke dalam halte 6. Antri untuk membeli tiket 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Petugas melayani yang Petunjuk lokasi (jalur) bus Petunjuk jadwal keberangkatan bus Petunjuk jadwal kedatangan bus Antri untuk masuk ke dalam bus Ketepatan kedatangan waktu Ketepatan waktu keberangkatan Petugas dalam Melayani keluhan Penumpang - Sumber : Data primer, diolah, 2017. 57 Berdasarkan hasil tanggapan responden mengenai pelayanan Bus Rapid Transit (BRT), maka diperoleh jawaban terbanyak responden adalah sangat tidak baik. Hal ini dapat dilihat dari indikator pertama, mengenai ketersediaan tempat duduk, rata-rata responden memberikan jawaban sangat tidak baik, yaitu sebanyak 26 orang atau 43%. Dikatakan sangat tidak baik karena dalam kaitannya dengan hasil observasi penulis ditemukan bahwa terdapat beberapa halte tertentu yang tidak dilengkapi dengan tempat duduk, seperti halte-halte di mal sehingga para calon penumpang yang menunggu kedatangan bus harus menunggu sambil berdiri. Disamping itu, terdapat pula halte-halte yang meskipun telah dilengkapi dengan tempat duduk untuk menunggu kedatangan bus, namun ketersediaan tempat duduk belum maksimal karena hanya mencakup untuk 6 (enam) orang, dimana selebihnya terhadap calon penumpang harus menunggu sambil berdiri, misalnya pada jam-jam pulang kantor, terdapat 6 (enam) orang yang duduk dan 5 (lima) orang yang berdiri hingga bus tiba. Terkait dengan kualitas tempat duduk pada halte, sebagian besar responden memberikan jawaban cukup baik, yaitu sebanyak 22 orang atau sebesar 36%. Hasil observasi pada beberapa halte Bus Rapid Transit (BRT), penulis menemukan bahwa walaupun jumlah tempat duduk yang disediakan tidak mencakup jumlah penumpang yang menunggu kedatangan bus, namun kualitas tempat duduk telah memenuhi standar pada umumnya, seperti tempat duduk bersih, terawat, dan masih tampak 58 seperti baru sehingga calon penumpang dapat menunggu bus dengan nyaman. Selanjutnya, mengenai kebersihan dan kenyamanan di halte, sebagian besar responden memberikan jawaban tidak baik, yaitu sebanyak 23 orang atau sebesar 38%. Kebersihan dalam halte merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan oleh pengelola Bus Rapid Transit (BRT), dimana kebersihan halte akan memengaruhi kenyamanan konsumen khususnya yang sedang menunggu kedatangan bus. Berdasarkan hasil observasi penulis menemukan bahwa kebersihan halte belum tampak secara maksimal, dikarenakan masih banyaknya kemasan makanan dan/atau minuman yang tidak dibuang pada tempatnya karena minimnya tempat sampah, disamping itu dalam halte tidak ada papan peringatan/himbauan untuk tetap menjaga kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya serta banyaknya halte yang dicoreti oleh orangorang yang tidak bertanggungjawab. Mengenai tempat duduk prioritas dalam halte bagi penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil, sebagian besar responden memberikan jawaban tidak baik, yaitu sebanyak 20 orang atau sebesar 33,3%. Adapun pertimbangan pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) menyatakan tidak baik karena berdasarkan hasil observasi ditemukan dalam halte tidak ada satupun tempat duduk yang dikhususkan bagi penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil, dimana masyarakat tidak menyadari bahwa terhadap 59 penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil harus diberikan prioritas untuk duduk. Terkait dengan antri untuk masuk ke dalam halte, antri untuk membeli tiket, petugas yang melayani, hingga antri untuk masuk ke dalam bus sebagian besar responden memberikan jawaban baik. Dikatakan baik karena ketika calon penumpang melakukan antri, ada kondektur bus yang menertibkan para penumpang, seperti pada saat antri masuk ke dalam bus, para penumpang dihimbau untuk tidak saling dorong mendorong, dan bagi orang tua yang membawa anak, dihimbau untuk memegang anaknya. Selanjutnya, mengenai petunjuk lokasi (jalur) bus, petunjuk jadwal keberangkatan bus, dan petunjuk jadwal kedatangan bus sebagian besar responden juga memberikan jawaban sangat tidak baik dan tidak baik. Dikatakan tidak baik karena berdasarkan hasil observasi menunjukkan bahwa terhadap keterangan mengenai petunjuk jalur bus, petunjuk jadwal kedatangan maupun keberangkatan bus, semuanya tidak dicantumkan pada setiap halte, sehingga masyarakat yang menunggu bus tidak dapat melihat jadwal kedatangan bus. Terkait dengan ketepatan waktu kedatangan maupun ketepatan waktu keberangkatan, sebagian besar responden memberikan jawaban sangat tidak baik. Dikatakan sangat tidak baik karena berdasarkan hasil observasi penulis, kedatangan bus maupun keberangkatannya selalu mengalami keterlambatan. Rohani, 66 Kondektur Bus Rapid Transit (BRT) 66 Wawancara dengan Rohani, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 15 Juli 2017. 60 menjelaskan bahwa kedatangan bus tidak bisa ditentukan waktunya karena lamanya waktu tempuh kedatangan bus tergantung pada kondisi jalan, apabila kondisi jalan saat itu macet, maka bus juga akan terlambat tiba ditempat tujuan. Hal ini disebabkan karena bus tidak memiliki jalur khusus. Selanjutnya, terkait dengan petugas dalam melayani keluhan penumpang, sebagian besar responden memberikan jawaban cukup baik, yaitu sebanyak 29 orang atau sebesar 48%. Adanya keterlambatan kedatangan bus menyebabkan banyaknya penguna jasa bus yang melakukan keberatan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan Tesar, Konderktur Bus Rapid Transit (BRT) menyatakan bahwa seringnya keterlambatan kedatangan bus karena kondisi jalan yang macet menyebabkan ia juga banyak menerima keluhan dari penumpang. Dalam menghadapi hal tersebut, para kondektur berusaha mengkomunikasikan kendala kemacetan yang dihadapi agar bisa diterima dengan baik oleh penumpang, dimana supir bus juga wajib mengutamakan kehati-hatian. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, apabila ditinjau dari segi pelayanan yang diberikan, baik pada saat menunggu bus di halte, antri untuk masuk ke halte hingga antri untuk masuk ke dalam bus, petunjuk jadwal kedatangan maupun keberangkatan bus pelayanan, serta petugas yang melayani keluhan penumpang, secara keseluruhan belum dapat dikatakan memadai. Hal ini didasarkan pada hasil tanggapan konsumen dan observasi penulis yang melihat pelayanan yang diberikan masih kurang mengutamakan kepentingan pengguna jasa yang termasuk dalam kategori 61 penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil. Disamping itu, yang menjadi kendala lainnya adalah disebabkan oleh kondisi jalan yang sering mengalami kemacetan sehingga kedatangan bus selalu mengalami keterlambatan, disamping tidak adanya jalur khusus bagi bus. 2. Pelayanan di Dalam Bus Rapid Transit (BRT) Pelayanan yang diberikan kepada pengguna jasa BRT tidak hanya terbatas pada pelayanan pada saat menunggu di halte, melainkan juga termasuk pelayanan di dalam bus. Dari hasil penyebaran kuesioner, dapat dilihat penilaian masyarakat terkait dengan pelayanan di dalam bus yang akan diuraikan dalam bentuk tabel di bawah ini :67 67 Indeks penilaian : 1 = Sangat Tidak Baik (STB), 2 = Tidak Baik (TB), 3 = Cukup Baik (CB), 4 = Baik (B), 5 = Sangat Baik (SB). 62 Tabel 4.8 : Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) di Dalam Bus No 1. Pernyataan 4. Kebersihan dalam bus Tempat duduk dalam bus Tempat duduk prioritas bagi penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil Tempat berpegangan 5. Kapasitas Muatan 6. Kualitas AC 7. Keamanan Barang Bawaan Penumpang Fasilitas lainnya (tv, dll) Pemberitahuan mengenai rute yang akan ditempuh Kehati-hatian supir dalam mengendarai bus 2. 3. 8. 9. 10. STB 21 35% - Tanggapan Responden TB CB B 4 25 21 7% 42% 35% 1 23 24 1,7% 38,3% 40% 23 8 4 38% 13% 7% Jumlah 60 100% 60 100% 60 100% 3 5% 1 2% 3 5% 11 18% 8 13% 22 37% 16 27% 20 33% 22 37% 27 45% 23 38% 32 53% 35 58% 27 45% 33 55% 18 30% 25 42% 5 8% 6 10% 12 20% 2 3% 1 2% 3 5% 60 100% 60 100% 60 100% 60 100% 60 100% 60 100% 5 8% 7 12% 24 40% 22 37% 2 3% 60 100% 1 2% - 1 2% 3 5% - SB 10 16% 12 20% 4 7% Sumber : Data primer, diolah, 2017. Berdasarkan tanggapan konsumen pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) terkait dengan pelayanan di dalam bus, sama seperti halnya dengan pelayanan di halte, sebagian besar memberikan jawaban cukup baik dan baik. Terhadap kebersihan dalam bus, yakni sebagian besar responden memberikan penilaian cukup baik, yaitu sebanyak 25 orang atau sebesar 42%. Kebersihan Bus Rapid Transit (BRT) merupakan suatu hal yang patut dijaga, mengingat BRT adalah salah satu moda transportasi 63 publik. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan penulis di dalam Bus Rapid Transit (BRT), kondisi Bus Rapid Transit (BRT) pada dasarnya terlihat bersih, dimana adanya peran kondektur yang kerap kali memberikan himbauan kepada masyarakat agar tidak membuang sampah di atas bus. Adanya sikap kondektur yang demikian menunjukkan suatu upaya agar kebersihan bus tetap terjaga. Selain dari aspek kebersihan, yang patut diperhatikan adalah tempat duduk maupun tempat berpegangan dalam bus. Bus Rapid Transit (BRT) memiliki kapasitas penumpang sebanyak 70 orang, dengan rincian 30 orang duduk (termasuk tempat duduk prioritas bagi lansia, penyandang cacat, dan ibu hamil), dan 40 orang berdiri dengan pegangan tangan, sebanyak 32 orang atau sebesar 53% memberikan penilaian baik. Dikatakan baik karena berdasarkan hasil observasi yang dilakukan penulis, tempat duduk maupun tempat berpegangan yang disediakan dalam bus cukup nyaman dan terawat sehingga terlihat masih seperti baru. Namun, berdasarkan observasi penulis, pada beberapa bus tidak memiliki kursi proritas bagi lansia/penyandang cacat/ibu hamil dimana apabila terdapat lansia/penyandang cacat/ibu hamil pada saat itu, maka mereka harus duduk pada kursi lainnya ataupun berdiri apabila tempat duduk telah penuh. Hal ini menunjukkan pihak Bus Rapid Transit (BRT) dalam memberikan pelayanan kepada publik kurang memerhatikan kepentingan lansia/penyandang cacat/ibu hamil yang seharusnya patut diprioritaskan, 64 mengingat lansia/penyandang cacat/ibu hamil adalah penumpang berkebutuhan khusus. Faktor keamanan dalam bus merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keputusan pelanggan untuk menggunakan Bus Rapid Transit (BRT). Dalam kaitannya dengan keamanan barang bawaan penumpang, sebanyak 33 orang atau sebesar 55% responden menyatakan baik. Hal ini menunjukkan bahwa apabila ditinjau dari segi keamanan, Bus Rapid Transit (BRT) dirasakan aman oleh sebagian besar penumpang. Adapun fasilitas yang diberikan selama penumpang berada dalam bus yaitu Bus Rapid Transit (BRT) dilengkapi dengan fasilitas berupa pendingin ruangan (AC) dan televisi, sebanyak 27 orang atau sebesar 45% tanggapan responden menyatakan cukup baik. Dari hasil observasi yang dilakukan penulis, BRT yang dilengkapi dengan pendingin ruangan (AC) dan dirasakan telah memberikan kenyamanan bagi pengguna jasanya, walaupun terkadang televisi yang ada dalam bus tidak difungsikan. Selain ditinjau dari segi fasilitas yang diberikan, yang patut diperhatikan adalah pemberitahuan mengenai rute yang akan ditempuh, dimana tanggapan responden adalah baik, yaitu sebanyak 25 orang atau sebesar 42%. Di dalam Bus Rapid Transit (BRT), ada juga yang telah dilengkapi dengan papan pemberitahuan yang menyebutkan rute selanjutnya yang akan ditempuh, dimana kerap kali kondektur juga menyebutkan secara lisan mengenai rute pemberhentian selanjutnya. Adanya pemberitahuan mengenai rute yang akan ditempuh lebih 65 membantu penumpang, khususnya bagi penumpang yang kurang mengetahui alur jalan. Kenyamanan dan keamanan penumpang dalam bus juga dipengaruhi oleh tingkat kehati-hatian supir dalam mengendarai bus. Dari hasil penyebaran kusioner, tanggapan responden mengenai kehati-hatian supir dalam mengendarai Bus Rapid Transit (BRT) adalah dinilai cukup baik, yaitu sebanyak 24 orang atau 40%. Dikatakan cukup baik karena dari hasil observasi penulis menunjukkan bahwa supir bus dalam mengendarai Bus Rapid Transit (BRT) telah menyesuaikan dengan kondisi lalu lintas dan jalan sesuai dengan jalur Bus Rapid Transit (BRT) sebagaimana ditetapkan di jalan raya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, terkait dengan pelayanan di dalam bus, dapat disimpulkan bahwa pelayanan di dalam bus Bus Rapid Transit (BRT) sudah cukup memadai, baik dari segi kebersihan, fasilitas dalam bus, pemberitahuan maupun kehati-hatian supir dalam mengendarai bus. Hal ini dapat dilihat dari jawaban pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) yang sebagian besar telah memberikan jawaban baik maupun cukup baik. Namun, yang kurang mendapatkan perhatian adalah tempat duduk prioritas bagi penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil yang tidak ada pada beberapa Bus Rapid Transit (BRT) karena perubahan struktur dalam bus. 3. Pelayanan Saat Turun Bus Rapid Transit (BRT) Pelayanan yang harus diberikan oleh Bus Rapid Transit (BRT) kepada konsumennya tidak hanya terbatas pada pelayanan sebelum 66 menaiki bus dan pada saat di dalam bus saja, melainkan pelayanan juga harus diberikan pada saat menurunkan penumpang dari bus. Adapun tanggapan responden terkait penilaiannya terhadap pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) ketika turun bus dapat diuraikan sebagai berikut :68 68 Indeks penilaian : 1 = Sangat Tidak Baik (STB), 2 = Tidak Baik (TB), 3 = Cukup Baik (CB), 4 = Baik (B), 5 = Sangat Baik (SB). 67 Tabel 4.9 : Tanggapan Konsumen mengenai Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Ketika Turun Bus No 1. 2. 3. Tanggapan Responden Pernyataan Jumlah STB TB CB B SB 2 2 25 29 2 60 3% 3% 43% 48% 3% 100% Prioritas menurunkan penumpang bagi penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil - 3 22 32 3 60 5% 37% 53% 5% 100% Pemberitahuan - 3 25 29 3 60 5% 42% 48% 5% 100% Antri untuk turun lokasi pemberhen- tian ketika bus berhenti 4. Rentan waktu saat 1 9 18 25 7 60 menurunkan penum- 2% 15% 30% 42% 11% 100% - 5 22 28 5 60 8% 36% 48% 8% 100% 3 7 24 22 4 60 5% 12% 40% 36% 7% 100% 1 5 23 28 3 60 2% 8% 38% 47% 5% 100% pang 5. Peringatan untuk tidak meninggalkan barang bawaan ketika hendak turun bus 6. Peringatan kon- dektur terhadap penumpang untuk tidak berdiri/bersandar di depan pintu 7. Kesigapan kondektur apabila ada barang yang ketinggalan Sumber : Data primer, diolah, 2017. Berdasarkan hasil penyebaran kuesioner pada tabel 4.9 di atas sebagian besar responden memberikan jawaban baik. Pada indikator 68 pertama, yaitu mengenai antri untuk turun, sebanyak 29 responden atau 48% menyatakan baik. Selanjutnya, terhadap prioritas menurunkan penumpang yang lansia, penyandang cacat, maupun ibu hamil dinilai baik yaitu sebanyak 32 responden atau 53%. Dari hasil observasi penulis, bagi penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil diturunkan terlebih dahulu dan menghimbau agar penumpang turun dengan hati-hati. Ketika bus sedang ramai penumpang, kondektur menyuruh para penumpang untuk antri dan tidak berdesak-desakan, dimana kondektur mendahulukan penumpang yang akan turun terlebih dahulu, lalu menaikkan penumpang sedang antri pada halte. Adanya pengaturan yang demikian menunjukkan kondektur sudah tepat dalam mengatur penumpang. Terkait dengan pemberitahuan lokasi pemberhentian, sebanyak 29 responden atau sebesar 48% menyatakan baik. Berdasarkan hasil observasi penulis, ketika bus berhenti, kondektur menyampaikan kepada seluruh penumpang mengenai rute/nama jalan yang sedang disinggahi, sehingga adanya pemberitahuan demikian, para penumpang juga mengetahui dimana selanjutnya mereka akan turun. Mengenai rentan waktu saat menurunkan penumpang, sebanyak 25 responden atau sebesar 42% menyatakan baik. Dalam kaitannya dengan rentan waktu menurunkan penumpang, dari hasil observasi penulis dilihat bahwa rentan waktu dalam menurunkan penumpang tidak ditentukan oleh durasi waktu tertentu, tergantung pada sedikit atau banyaknya penumpang yang turun, dimana kondektur menurunkan seluruh penumpang terlebih 69 dahulu kemudian menaikkan penumpang, lalu memberitahukan kepada supir bus untuk jalan ke rute selanjutnya, sehingga para penumpang bus tidak perlu terburu-buru atau berdesak-desakan untuk turun dari bus. Sebelum turun dari bus, ada juga kondektur yang menghimbau para penumpang untuk tidak meninggalkan barang bawaannya. Adapun penilaian konsumen Bus Rapid Transit (BRT) menanggapi hal tersebut adalah sebagian besar memberikan respon baik, yaitu sebanyak 28 orang atau sebesar 48%. Himbauan untuk tidak meninggalkan barang bawaan adalah merupakan suatu hal yang harus dilakukan oleh kondektur, mengingat banyaknya penumpang Bus Rapid Transit (BRT) yang biasanya datang dari mall untuk berbelanja sehingga sebagian besar dari mereka membawa barang bawaan. Selain itu, peringatan kondektur terhadap penumpang untuk tidak berdiri di depan pintu merupakan suatu hal yang wajib dilakukan dalam kaitannya dengan aspek keselamatan penumpang yang perlu diperhatikan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, sebagian responden memberikan jawaban cukup baik, yaitu sebanyak 24 orang atau sebesar 40%. Himbauan kepada penumpang agar tidak berdiri/bersandar di depan pintu diberitahukan pada saat penumpang bersiap-siap untuk turun dan dikhususkan bagi penumpang yang berdiri di dalam bus, dikarenakan pintu bus akan terbuka secara otomatis. Terkait dengan kesigapan kondektur terhadap barang bawaan penumpang yang ketinggalan di dalam bus, dari data yang diperoleh, 70 ditemukan bahwa sebanyak 28 responden atau sebesar 47% menyatakan baik. Adapun keterangan yang diberikan oleh seorang penumpang, 69 yang pernah mengalami ketinggalan barang pada bus Bus Rapid Transit (BRT), beliau menjelaskan bahwa pada saat barangnya ketinggalan di bus, beliau menghubungi nomor telepon Bus Rapid Transit (BRT). Selanjutnya pihak yang melayani laporan tersebut langsung menghubungi pada kondektur bus yang bersangkutan. Barang yang ketinggalan tersebut kemudian disimpan oleh kondektur bus dan pada hari berikutnya, barang dapat diambil pada kantor Bus Rapid Transit (BRT) yang terletak di Kantor Perum DAMRI Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar setelah dihubungi oleh pihak kantor BRT Trans Mamminasata terkait. Dari keterangan yang diberikan dapat diketahui bahwa terhadap barang bawaan penumpang yang ketinggalan menunjukkan suatu kesigapan dari kondektur untuk mengamankan dan menyimpan barang konsumen, dimana hal demikian akan menumbuhkan kepercayaan kepada konsumen dalam menggunakan BRT Trans Mamminasata. Berdasarkan tanggapan responden, apabila ditinjau dari bentuk pelayanan ketika turun bus, baik ketika antri untuk turun, berbagai peringatan/himbauan dari kondektur, serta kesigapan kondektur terhadap barang bawaan penumpang yang ketinggalan menunjukkan bahwa secara 69 Wawancara dengan Ikhlas, salah satu Konsumen Bus Rapid Transit (BRT) rute Jl. Ahmad Yani-Metro Tanjung Bunga, tanggal 14 Juli 2017, pukul 15.45 WITA. 71 keseluruhan telah memadai dan mendapatkan respon positif dari pengguna jasanya. 4. Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Dalam Kaitannya dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Setelah menguraikan tanggapan responden berdasarkan hasil penyebaran kuesioner, selanjutnya penulis akan meninjau pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak konsumen sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UUPK. a. Pemenuhan Hak Atas Kenyamanan, Keamanan, dan Keselamatan Aspek kenyamanan meliputi kebersihan, sarana dan prasarana yang terdapat di halte maupun di dalam bus, serta antri untuk masuk dan turun dari bus yang tertib. Sedangkan, aspek keamanan meliputi kapasitas muatan disesuaikan dengan jumlah kursi dan tempat berpegangan, adanya himbauan-himbauan yang diberikan oleh kondektur seperti peringatan untuk tidak meninggalkan barang bawaan, dan adanya kesigapan kondektur terhadap barang bawaan yang ketinggalan. Adapun aspek keselamatan meliputi kehati-hatian supir dalam mengendari bus ketika memuat penumpang, himbauanhimbauan yang diberikan oleh kondektur untuk tidak berdiri/bersandar di depan pintu, dan adanya prioritas bagi penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil untuk diturunkan lebih dahulu dari bus, serta adanya jaminan asuransi kecelakaan. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, terhadap bentuk pelayanan yang diberikan oleh Bus Rapid Transit (BRT) adalah 72 pelayanan yang dimulai dari pada saat konsumen berada di halte, pelayanan dalam bus, maupun pelayanan ketika turun bus. Dari tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa terhadap pelayanan yang diberikan pada dasarnya dinilai sudah cukup memadai. Namun, yang menjadi kendala adalah ketersediaan tempat duduk di halte yang masih kurang bahkan ada beberapa halte yang tidak tersedia tempat duduk. Kebersihan di halte juga masih perlu diperhatikan karena banyaknya sampah serta halte yang dicoreti tulisan menggunakan pylox oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, dimana hal ini seharusnya menjadi perhatian dalam pemenuhan hak konsumen berdasarkan Pasal 4 huruf a UUPK. b. Pemenuhan Hak Untuk Memilih dan Mendapatkan Barang dan/atau Jasa yang sesuai dengan Nilai Tukar dan Kondisi serta Jaminan yang Diperjanjikan Salah satu hal terpenting dalam menggunakan jasa transportasi bus adalah adanya karcis yang dibeli di terminal sebelum menaiki bus atau pada kondektur di dalam bus. Karcis adalah surat kecil (carik kertas khusus) sebagai tanda telah membayar ongkos dan sebagainya.70 Karcis merupakan suatu bukti tanda pembayaran atas tarif bus, di mana dengan membayar sejumlah uang berdasarkan tarif yang tertera pada karcis, secara otomatis penumpang telah mendapatkan perlindungan asuransi Jasa Raharja apabila selama menggunakan bus para penumpang mengalami kecelakaan. 70 http://kbbi.web.id/karcis diakses tanggal 17 Juli 2017. 73 Adapun tanggapan responden mengenai karcis pada saat menggunakan jasa Bus Rapid Transit (BRT), yang selanjutnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4.10 : Tanggapan Responden Mengenai Ada/Tidaknya Karcis yang Diberikan Jumlah Persentase No. Pernyataan Responden (%) 1. Diberi karcis 58 97% 2. Tidak diberi karcis 2 3% 60 100% Jumlah Sumber : Data primer, diolah, 2017. Dari data yang diperoleh, diketahui bahwa diantara 60 responden, terdapat 58 orang menyatakan selama naik bus mereka selalu diberi karcis, dan 2 orang lainnya menyatakan tidak diberi karcis. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dari pengumpulan data terlihat jumlah responden yang diberikan karcis lebih besar dibandingkan dengan jumlah responden yang tidak diberikan karcis. Sebagaimana terlihat pada potongan karcis Bus Rapid Transit (BRT) adalah adanya pencantuman tarif dan pernyataan bahwa tarif angkutan sudah termasuk asuransi Jasa Raharja. Adapun tarif yang ditetapkan saat ini adalah Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah). Melihat dari segi tarif yang ditetapkan, tarif Bus Rapid Transit (BRT) lebih ekonomis dibandingkan dengan tarif angkutan umum konvensional pada umumnya, seperti angkutan kota (angkot) dengan tarif Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah). 74 Berdasarkan hasil pengamatan penulis dalam Bus Rapid Transit (BRT), sebagian besar penumpang tidak menyediakan uang pas, sehingga sebagian besar penumpang memberikan uang dengan pecahan Rp. 5.000,- (lima ribu rupiah), sehingga masih ada kembalian yang harus diterima, yaitu Rp. 500,- (lima ratus rupiah), namun pihak kondektur sangat jarang pula memberikan kembalian dengan alasan tidak ada uang kecil. Untuk mengetahui jawaban responden mengenai uang kembalian, adapun tanggapan responden sebagai berikut : Tabel 4.11 : Tanggapan Responden mengenai Uang Kembalian No. Pernyataan Jumlah Persentase Responden (%) 1. Diberi kembalian 13 22% 2. Tidak diberi uang kembalian 34 57% 3. Membayar dengan uang pas sehingga tidak memerlukan uang kembalian Kadang tidak diberikan uang kembalian, tergantung ketersediaan uang kecil Jumlah 6 10% 7 11% 60 100% 4. Sumber : Data primer, diolah, 2017. Terkait dengan hasil pengamatan penulis pada Bus Rapid Transit (BRT) menunjukkan bahwa mengenai uang kembalian pada saat penumpang tidak memiliki uang pas, terlihat bahwa 34 orang atau 57% menyatakan tidak diberi uang kembalian; 7 orang atau sebesar 11% menyatakan kadang tidak diberikan kembalian; dan 13 orang atau 75 sebesar 22% diantaranya menyatakan diberi uang kembalian. Dengan demikian dapat dilihat suatu hasil yang signifikan bahwa sebagian besar penumpang yang tidak membayar dengan uang pas, maka tidak diberikan uang kembalian yang seharusnya diterima. Guna untuk memeroleh tanggapan mengenai hal tersebut, penulis melakukan wawancara dengan Rahman, bagian administrasi pada Kantor Bus Rapid Transit (BRT) yang menerangkan sebagai berikut :71 “Mengenai kembalian uang Rp. 500,- sering didapatkan pengaduan dari masyarakat. Hampir sebagian besar kondektur tidak memberikan uang kembalian karena kesulitan uang kecil. Oleh karena itu, pihak kantor menyediakan uang kecil setiap hari sebanyak Rp. 1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan diberikan kepada masing-masing kondektur bus sebelum berangkat beroperasi, namun alhasil kantor mengalami tekor.” Berdasarkan keterangan di atas, diperoleh suatu penjelasan bahwa tindakan kondektur yang tidak memberikan uang kembalian telah banyak dikeluhkan oleh konsumen, dimana dalam mengatasi hal tersebut, pihak administrasi Bus Rapid Transit (BRT) telah menyediakan uang kecil kepada kondektur sebelum berangkat beroperasi, namun upaya tersebut malahan menimbulkan kerugian (tekor) kepada Bus Rapid Transit (BRT). Pasal 4 huruf b UU Perlindungan Konsumen menentukan bahwa hak konsumen adalah “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapat barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan 71 Wawancara dengan Rahman, bagian Administrasi pada Kantor Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 18 Juli 2017. 76 kondisi serta jaminan yang diperjanjikan”. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, nilai tukar yang diperjanjikan adalah nilai/tarif sebagaimana tertera pada karcis bus. Selanjutnya, Pasal 8 ayat (1) huruf f UUPK, bahwa “pelaku usaha dilarang untuk memroduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.” Tidak diberikannya uang kembalian sebesar Rp. 500,- (lima ratus rupiah) merugikan konsumen dan melanggar hak konsumen untuk mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar yang diperjanjikan. Selain melanggar hak-hak konsumen Pasal 4 huruf b UUPK, tindakan kondektur yang demikian juga melanggar ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf f UUPK dimana secara tidak langsung tarif Bus Rapid Transit (BRT) oleh sebagian besar konsumen menjadi Rp. 5000,(lima ribu rupiah), sehingga tidak sesuai lagi dengan tarif yang tertera pada karcis bus. Guna untuk mengatasi fenomena demikian, diperlukan perhatian khusus bagi pihak pengelola Bus Rapid Transit (BRT) agar tidak secara terus menerus merugikan hak konsumen sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 huruf b UUPK. Salah satu cara yang dianggap mampu mengatasi fenomena tersebut adalah dengan mengubah metode pembayaran bus, yaitu dengan menggunakan sistim pembayaran elektronik dengan menggunakan kartu sebagaimana halnya telah 77 diterapkan di Kota Jakarta maupun di negara lainnya, sehingga konsumen Bus Rapid Transit (BRT) tidak lagi merasa dirugikan ketika tidak diberikan karcis maupun ketika tidak diberikan uang kembalian. c. Pemenuhan Hak Atas Informasi yang Benar, Jelas dan Jujur Mengenai Kondisi dan Jaminan Barang dan/atau Jasa Hak konsumen sebagaimana dilindungi oleh undang-undang tidak hanya sebatas hak untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan keselamatan, dan hak untuk memeroleh barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukarnya, dimana berdasarkan Pasal 4 huruf c jo. Pasal 7 huruf b UUPK memberikan hak kepada konsumen sekaligus menimbulkan kewajiban kepada pelaku usaha atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Informasi yang benar, jelas, dan jujur dalam kaitannya dengan Bus Rapid Transit (BRT) adalah terkait dengan petunjuk lokasi (jalur) bus, petunjuk jadwal kedatangan dan keberangkatan bus, ketepatan waktu kedatangan dan keberangkatan, pemberitahuan lokasi pemberhentian ketika bus berhenti, dan pemberitahuan/informasi kepada penumpang mengenai rute yang akan ditempuh. Namun pihak Bus Rapid Transit (BRT) tidak menginformasikan waktu kedatangan maupun keberangkatan bus, dimana bus sering mengalami keterlambatan sehingga sering mendapatkan keluhan dari konsumen. Tidak adanya informasi yang mengenai waktu kedatangan maupun keberangkatan bus menunjukkan bahwa konsumen belum memeroleh hak sebagaimana mestinya yang ditentukan dalam Pasal 4 78 huruf c UUPK. Menggapi hal tersebut, Tesar, 72 seorang kondektur BRT Trans Mamminasata menjelaskan sebagai berikut : “Kedatangan bus tidak bisa ditentukan waktunya karena bergantung pada kondisi jalan dan tidak adanya jalur khusus BRT, disamping armada BRT yang beroperasi terbatas yaitu pada hari Senin-Jumat hanya 5 armada, dan Sabtu-Minggu adalah 7 armada tiap rutenya. Kendala tersebut telah diberitahukan kepada masyarakat karena banyaknya yang mengeluh sehingga masyarakat dihimbau untuk menunggu kedatangan bus berkisar antara 15-20 menit.” Berdasarkan keterangan di atas, diperoleh suatu pemahaman bahwa informasi mengenaI jadwal kedatangan maupun keberangkatan bus tidak ditetapkan karena waktu kedatangan maupun keberangkatan bus tidak bisa diprediksi karena tergantung pada kondisi jalan. Tidak adanya jalur khusus Bus Rapid Transit (BRT) dan keterbatasan armada juga merupakan salah satu faktor penghambat sehingga kedatangan bus selalu mengalami keterlambatan, sehingga pihak Bus Rapid Transit (BRT) harus menginformasikan hal tersebut kepada konsumen dan memberitahukan masyarakat untuk menunggu kedatangan bus dalam waktu 15 hingga 20 menit. Penulis berpendapat bahwa dengan memberikan informasi berupa petunjuk lokasi (jalur) bus pada tiap-tiap halte dan penjelasan mengenai keadaan-keadaan sebagaimana dialami di jalan yang menyebabkan keterlambatan bus, seperti karena keterbatasan armada, kondisi jalan yang padat sehingga menyebabkan kemacetan dan waktu 72 Wawancara dengan Tesar, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 15 Juli 2017. 79 tunggu yang diinformasikan selama 15 hingga 20 menit, pada dasarnya pihak Bus Rapid Transit (BRT) telah menjalankan kewajiban sebagai pelaku usaha dengan memberikan informasi yang benar dan jujur, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 huruf b UUPK bahwa kewajiban pelaku usaha “memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan”. Namun yang menjadi kendala adalah karena kondisi kemacetan dan tidak adanya jalur khusus bus sehingga pihak Bus Rapid Transit (BRT) juga tidak dapat menginformasikan waktu kedatangan bus. Hal ini berdampak pada tidak adanya kepastian yang diberikan kepada pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) mengenai waktu kedatangan bus dan dilanggarnya hak konsumen untuk memeroleh informasi yang jelas mengenai produk jasa yang digunakan sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 4 huruf c UUPK. d. Pemenuhan Hak Untuk Didengar Pendapat dan Keluhannya atas Barang Dan/Atau Jasa Yang Digunakan Sebagaimana fenomena uang kembalian yang tidak diberikan kepada konsumen dan seringnya keterlambatan kedatangan bus berakibat banyaknya keluhan masyarakat. Seperti pada tidak adanya uang kembalian pecahan Rp. 500,- (lima ratus rupiah) yang masih seharusnya diterima oleh masyarakat selanjutnya menimbulkan tanggapan/reaksi yang berbeda-beda dari masyarakat. Adapun 80 tanggapan/reaksi masyarakat berdasarkan hasil penyebaran kuesioner dapat dilihat sebagai berikut : Tabel 4.12 : Reaksi/Tanggapan Responden No. Reaksi/Tanggapan Jumlah Persentase Responden (%) 1. Mengajukan keberatan 36 60% 2. Tidak mengajukan keberatan 24 40% 60 100% Jumlah Sumber : Data Primer, diolah, 2017. Dari 60 responden, terdapat 24 orang atau 40% menyatakan mengajukan keberatan dan 36 orang atau 60% menyatakan tidak mengajukan keberatan. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa jumlah responden yang mengajukan keberatan relatif lebih banyak dibandingkan yang tidak mengajukan keberatan. Semakin tingginya jumlah konsumen yang mengajukan keberatan menunjukkan bahwa sebagian besar konsumen telah menyadari hak-haknya sebagai konsumen yang harus ditegakkan. Keberatan yang diajukan oleh konsumen dilakukan pada berbagai pihak, seperti langsung pada kondektur maupun layanan khusus Bus Rapid Transit (BRT). Adapun tanggapan pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) dalam kaitannya dengan pengajukan keberatan sebagai berikut : 81 Tabel 4.13 : Tempat Mengajukan Keberatan oleh Konsumen No. Tempat Mengajukan Jumlah Persentase Keberatan Responden (%) 1. Layanan Khusus BRT 10 17% 2. Pengawas BRT 18 30% 3. Kondektur 20 33% 4. Tidak memberikan tanggapan Jumlah 12 20% 60 100% Sumber : Data primer, 2017, diolah. Dari data di atas menunjukkan bahwa diantara 60 responden, dapat diketahui bahwa jawaban terbanyak responden adalah mengajukan keberatan kepada kondektur yaitu sebanyak 20 orang atau sebesar 33%. S.S. Halayudi seorang kondektur Bus Rapid Transit (BRT) menjelaskan bahwa keluhan yang paling banyak diterima adalah masalah karcis dan masalah uang kembalian yang tidak diberikan. Dalam menanggapi hak tersebut, pihak kondektur selalu berusaha untuk menjawab keluhan konsumen dengan menjelaskan alasannya agar bisa diterima dan dimengerti konsumen.73 Pasal 4 huruf d UUPK menegaskan bahwa “konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan.” Adanya keberatan/keluhan yang diajukan pada 73 Wawancara dengan S.S. Halayudi, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 14 Juli 2017. 82 dasarnya sudah merupakan salah satu hak pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT). Oleh karena itu, tindakan kondektur untuk menerima dan mendengarkan dilakukan keluhan-keluhan mengingat adanya konsumen hak-hak sudah konsumen seharusnya yang harus ditegakkan dalam Pasal 4 UUPK. Terkait dengan banyaknya keluhan-keluhan dari konsumen, baik yang disampaikan kepada kondektur maupun yang disampaikan melalui layanan konsumen Bus Rapid Transit (BRT), Rahman, seorang staf administrasi Bus Rapid Transit (BRT) menjelaskan bahwa:74 “Dalam menghadapi keluhan-keluhan konsumen disediakan layanan pengaduan khusus konsumen yang dapat dihubungi pada nomor hotline 1500825. Selain keluhan lewat telepon, konsumen dapat menyampaikan keluhannya secara khusus melalui email. Layanan pengaduan khusus konsumen mendapat pemantauan langsung dari pusat.” Berdasarkan keterangan yang diberikan di atas dapat diketahui bahwa dalam meningkatkan pelayanan konsumen, pihak DAMRI sebagai pengelola Bus Rapid Transit (BRT) telah menyediakan layanan konsumen yang dapat dihubungi melalui telepon maupun email. Adanya layanan yang disediakan menunjukkan bahwa Bus Rapid Transit (BRT) telah memenuhi hak-hak konsumen dalam Pasal 4 huruf d UUPK. 74 Ibid. 83 e. Pemenuhan Hak Untuk Diperlakukan atau Dilayani Secara Benar dan Tidak Diskriminatif Pelayanan secara benar dan tidak diskriminatif merupakan suatu layanan yang harus diemban oleh Penyedia jasa Bus Rapid Transit (BRT) berdasarkan Pasal 4 huruf d UUPK. Berdasarkan observasi peneliti pelayanan untuk masyarakat yang bekebutuhan khusus yaitu bagi penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil belum diperlakukan secara benar, karena tidak adanya fasilitas penunjang seperti akses prioritas untuk penyandang cacat serta tempat duduk prioritas bagi penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil juga tidak ada, baik di halte maupun di dalam bus. Dengan demikian pelayanan yang diberikan belum memenuhi Pasal 4 huruf d UUPK. f. Pemenuhan Hak Untuk Mendapatkan Kompensasi, Ganti Rugi dan/atau Penggantian, Apabila Barang Dan/Atau Jasa yang Diterima Tidak Sesuai dengan Perjanjian atau Tidak Sebagaimana Mestinya Salah satu hak konsumen berdasarkan ketentuan Pasal 4 huruf h UUPK adalah hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Untuk melihat ada atau tidak adanya kerugian yang dialami konsumen selama menggunakan jasa Bus Rapid Transit (BRT) dapat dilihat dari jawaban responden di bawah ini : 84 Tabel 4.14 : Tanggapan Responden mengenai Kerugian Selama Menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) 1. Ada/Tidaknya Kerugian Selama menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) Ada kerugian 2. Tidak ada kerugian No. Jumlah Jumlah Responden Persentase (%) 3 5% 57 95% 60 100% Sumber : Data Primer, diolah, 2017. Melihat pada tanggapan responden mengenai ada atau tidaknya kerugian yang diderita selama menggunakan jasa Bus Rapid Transit (BRT) menunjukkan bahwa sebanyak 3 responden atau 5% menyatakan ada dan sebanyak 57 responden lainnya atau 95% menyatakan tidak ada kerugian. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen yang merasa tidak mengalami kerugian lebih sedikit dibanding dengan jumlah konsumen yang merasa mengalami kerugian. Adapun bentuk kerugian yang diderita oleh konsumen adalah kerugian dari segi materiil yaitu terhadap uang kembalian yang tidak diberikan oleh kondektur. 75 Apabila ditinjau berdasarkan Pasal 4 huruf h jo. Pasal 7 huruf f UUPK dengan tidak diberikannya uang kembalian tarif bus sudah tidak sesuai dengan yang tertera pada karcis, memberikan kewajiban kepada pelaku usaha dan sekaligus melahirkan hak kepada konsumen untuk memeroleh kompensasi atau ganti rugi. 75 Jawaban Responden yang merasa mengalami kerugian berdasarkan kuesioner. 85 Namun, dalam kenyatannya kmpensasi atau ganti rugi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 huruf h jo. Pasal 7 huruf f UUPK tidak pernah diberikan kepada konsumen, misalnya pada saat konsumen mengajukan keberatan melalui layanan khusus konsumen (hotline) mengenai uang kembalian yang tidak diberikan, para petugas yang melayani konsumen tersebut tidak menindaklanjuti dan hanya memberikan alasan agar kondisi tersebut dapat diterima oleh konsumen yang dirugikan.76 Adanya fenomena demikian menunjukkan suatu pertentangan hak konsumen yang telah diatur dalam Pasal 4 huruf h UUPK jo. Pasal 7 huruf f UUPK. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas mengenai pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memenuhi hakhak konsumen dalam kaitannya dengan UUPK menunjukkan bahwa pada dasarnya pelayanan yang diberikan belum sepenuhnya memenuhi hak-hak konsumen, yakni tidak adanya uang kembalian yang diberikan kepada konsumen sehingga bertentangan dengan Pasal 4 huruf b UUPK, tidak adanya informasi yang jelas mengenai kedatangan bus sehingga bertentangan dengan Pasal 4 huruf c UUPK, tidak dilayani secara benar dengan tidak adanya akses ataupun fasilitas prioritas bagi lansia/penyandang cacat/ibu hamil sehingga tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 4 huruf g UUPK, dan tidak adanya kompensasi/ganti rugi akibat keterlambatan sehingga belum memenuhi pula Pasal 4 huruf h UUPK. 76 Ibid. 86 Satjipto Raharjo menegaskan bahwa perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.77 B. Pelaksanaan UU Angkutan Darat oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam Memberikan Pelayanan terhadap Pengguna Jasa Transportasi Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (selanjutnya disingkat UU LLAJ) bahwa pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang, baik antar kota, antar provinsi, wilayah kabupaten/kota.78 Bus Rapid Transit (BRT) adalah sebuah upaya pemerintah pusat melalui Kementrian Perhubungan untuk meningkatkan pelayanan publik khususnya pada sektor transportasi darat di seluruh Indonesia dengan berbasis Transportasi massal Bus Rapid Transit (BRT), berorientasi pada pelayanan yang aman, lancar, nyaman, berkelanjutan, dan inovatif. Kualitas pelayanan transportasi Bus Rapid Transit (BRT) sangat menentukan keberhasilan upaya yang telah dihadirkan oleh pemerintah untuk melalui layanan ini. Salah satu dampak yang diharapkan dari layanan ini ialah dapat mengalihkan masyarakat untuk menggunakan transportasi umum, sehingga jumlah masyarakat yang menggunakan angkutan pribadi 77 78 Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal 74. Pasal 139 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 87 dapat ditekan, hal tersebut adalah salah satu langkah dalam mengatasi kemacetan. Perlindungan hukum terhadap pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) tidak hanya diatur dalam UUPK, melainkan juga dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Apa yang telah diamanatkan dalam UUPK, selanjutnya diatur secara khusus dalam UU LLAJ. Di dalam Undang-Undang tersebut, hak konsumen dijamin dengan adanya pengaturan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh pengusaha jasa angkutan umum dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya. Secara umum, kewajiban penyedia jasa angkutan tersebut tercantum dalam ketentuan Pasal 141 ayat (1) UU LLAJ, bahwa perusahaan angkutan umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal angkutan yang meliputi keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan. 1. Keamanan dan Keselamatan Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, penyelenggaraan Bus Rapid Transit (BRT) telah berupaya untuk memberikan keamanan, dan keselamatan pengguna jasanya baik pada saat menunggu di halte, di dalam bus, maupun ketika turun bus. Pasal 38 ayat (1) UU LLAJ menentukan bahwa setiap penyelenggara terminal wajib menyediakan fasilitas terminal yang memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan. 88 Pada dasarnya dalam pengoperasian Bus Rapid Transit (BRT) masih ada yang perlu diperbaiki dan disempurnakan, misalnya dari segi keamanan dan keteraturannya di halte. Berdasarkan hasil penelitian penulis yang dilakukan pada beberapa halte, ditemukan ada kondisi halte yang kurang memadai, seperti halte yang tidak utuh sebagaimana mestinya bahkan ada halte yang hanya terdiri atas tangga saja untuk menaiki bus. Keadaan tersebut tidak sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Nomor: 271/HK/.105/DRJD/96 tentang Pedoman Teknis Perekayasanaan Tempat Perhentian Kendaraan Penumpang Umum, yakni sebagaimana di jelaskan pada BAB I mengenai Ketentuan Umum bagian A poin 2 bahwa halte adalah tempat perhentian kendaraan penumpang umum untuk menurunkan dan/atau menaikkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan. Kurang memadainya kondisi halte seperti yang hanya terdiri atas tangga saja memengaruhi dari segi keamanan maupun keselamatan penumpang ketika naik maupun turun bus, misalnya ketika padatnya penumpang ataupun berdesak-desakan, dimana hal ini belum memenuhi ketentuan aspek keamanan maupun keselamatan sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (1) UU LLAJ. Pasal 22 ayat (2) huruf b Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 132 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Terminal Penumpang Angkutan Jalan juga menentukan bahwa fasilitas penunjang dalam terminal juga dapat berupa fasilitas keamanan (seperti checking point/ metal detector/ CCTV). Namun, berdasarkan hasil observasi penulis juga ditemukan bahwa 89 terhadap halte-halte belum dilengkapi dengan fasilitas keamanan, seperti halnya CCTV. Berdasarkan hasil wawancara Rahman, adapun alasan halte-halte belum dilengkapi dengan CCTV karena pada dasarnya pemerintah belum mengeluarkan anggaran untuk hal tersebut.79 Dengan demikian, kondisi halte yang belum dilengkapi CCTV belum dapat dikatakan menjamin keamanan penumpang, seperti ketika ada perampokan, vandalisme, ataupun tindak kejahatan lainnya yang kemungkinan terjadi ketika penumpang sedang berada di dalam halte. Hal ini pula menunjukkan bahwa kondisi halte belum memenuhi ketentuan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 132 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Terminal Penumpang Angkutan Jalan. Selanjutnya, mengenai keamanan dan kenyamanan dalam mengoperasikan BRT, Pasal 138 ayat (1) UU LLAJ juga menentukan bahwa “angkutan umum yang diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau”. Selamat dan aman maksudnya angkutan umum yang disediakan harus dapat menjamin keselamatan dan keamanan penumpang, dan terjangkau artinya tarif yang ditetapkan dapat dijangkau oleh semua kalangan masyarakat. Keamanan maupun keselamatan bus tidak hanya 79 Wawancara dengan Rahman, bagian Administrasi pada Kantor Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 18 Juli 2017. 90 digantungkan dari segi kondisi bus itu sendiri, melainkan pihak-pihak yang mengoperasikan jalannya bus, seperti kondektur dan supir bus. Guna untuk mengetahui bentuk keamanan maupun keselamatan yang diberikan oleh supir yang menjalankan bus, Abdurahman Sufri, seorang supir Bus Rapid Transit (BRT) menjelaskan bahwa : “Demi menjaga keamanan penumpang maupun supir, sebelum beroperasi, supir diwajibkan untuk melakukan pengecekan terlebih dahulu, mulai dari pengecekan mesin, oli, aki, air radiator, dan ban”. Berdasarkan keterangan yang diperoleh di atas, dapat diketahui bahwa dalam menjaga keamanan bus selama beroperasi, kepada supir bus diwajibkan untuk melakukan pengecekan terlebih dahulu. Adanya kewajiban yang dibebankan kepada supir bus untuk melakukan pengecekan-pengecekan sebelum bus menunjukkan salah satu langkah yang dilakukan guna untuk menjamin keamanan bus sebelum beroperasi. Namun, berdasarkan hasil obeservasi penulis selama melakukan penelitian dalam Bus Rapid Transit (BRT) terdapat satu hal yang selalu luput dari perhatian kondektur maupun kesadaran masyarakat, yakni mengenai penggunaan sabuk pengaman. Bahkan, terdapat beberapa Bus Rapid Transit (BRT) belum dilengkapi dengan sabuk pengaman, khususnya Bus Rapid Transit (BRT) yang model kursinya saling berhadap-hadapan. Sabuk pengaman sangat penting digunakan karena berfungsi untuk menjaga keselamatan para supir maupun penumpang yang menjadi pelindung badan ketika supir maupun penumpang harus terdorong ke depan akibat benturan atau keadaan yang tidak terduga seperti halnya 91 kecelakaan. Namun, hal tersebut sering diabaikan oleh supir maupun pengguna bus dan tidak adanya himbauan dari kondektur sebelum bus berjalan. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan keamanan dan keselamatan penumpang dalam UU LLAJ, juga ditentukan sebagai berikut: a. Perusahaan angkutan umum wajib membuat, melaksanakan dan menyempurnakan sistim keamanan dengan berpedoman pada program nasional Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.80 b. Perusahaan angkutan umum wajib membuat, melaksanakan dan menyempurnakan sistim manajemen keselamatan dengan berpedoman pada rencana umum nasional keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.81 Pada dasarnya Bus Rapid Transit (BRT) belum memenuhi segala aspek dalam menjamin keamanan dan keselamatan penumpang, seperti kondisi halte yang belum dilengkapi dengan CCTV dan tidak semua Bus Rapid Transit (BRT) dilengkapi dengan sabuk pengaman, disamping adanya suatu kewajiban yang belum dipenuhi dalam penyelenggaraan sistim transportasi Bus Rapid Transit (BRT), yakni belum adanya jalur khusus bus hingga saat ini, dimana hal tersebut dipandang belum memberikan keamanan sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang. 80 81 Pasal 201 ayat (1) UU LLAJ. Pasal 204 ayat (1) UU LLAJ. 92 2. Kenyamanan Salah satu hal yang memengaruhi kenyamanan dalam menggunakan angkutan umum adalah dari segi pemeliharaan fasilitasfasilitas utama dan fasilitas penunjang dari sarana angkutan umum tersebut. Pasal 38 ayat (3) UU LLAJ menentukan bahwa “untuk menjaga kondisi terminal, penyelenggara terminal wajib melakukan pemeliharaan.” Berdasarkan hasil observasi penulis yang dilakukan pada beberapa halte BRT Trans Mamminasata, ditemukan pula kondisi halte yang kurang terpelihara dari segi kebersihannya, karena masih ada saja sampah yang berserakan dan tidak dibuang pada tempatnya. Dengan kurang terpeliharanya kebersihan halte bus dapat dikatakan bahwa pemeliharaan halte masih kurang memadai sehingga belum memenuhi ketentuan Pasal 38 ayat (3) UU LLAJ. Namun, penulis berpendapat bahwa hal tersebut bukan saja menjadi tanggung jawab pihak pemerintah maupun pengelola Bus Rapid Transit (BRT), tetapi masyarakat sebagai pengguna jasa Bus Rapid Transit (BRT) juga harus memiliki andil yang sama dalam menciptakan sistim transportasi yang baik dan berguna bagi masyarakat, salah satunya dengan tetap menjaga kebersihan kondisi bus, mengingat fungsi Bus Rapid Transit (BRT) adalah untuk melayani kepentingan publik. Selain itu, dari hasil pengamatan penulis, terhadap kenyamanan yang diberikan kepada pengguna jasa yang penyandang cacat, lansia, dan ibu hamil masih kurang memadai. Pasal 242 ayat (1) UU LLAJ menentukan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perusahaan Angkutan 93 Umum wajib memberikan perlakuan khusus di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit. Selanjutnya, dalam kaitannya dengan tempat duduk prioritas, telah diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. Mengingat Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara layanan transportasi Bus Rapid Transit (BRT), maka kenyamanan dalam menggunakan Bus Rapid Transit (BRT) juga harus diperhatikan oleh pemerintah maupun pengelola BRT tersebut. Selanjutnya, Pasal 98 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan menentukan bahwa : Perlakuan khusus kepada penyandang cacat, manusia usia lanjut, anak-anak, wanita hamil, dan orang sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 meliputi : a. penyediaan fasilitas aksesibilitas yang memberikan kemudahan naik dan turun yang berupa paling sedikit alat bantu untuk naik turun dari dan ke kendaraan; b. memberi prioritas pelayanan pada saat naik dan turun dengan mendahulukan penyandang cacat, manusia usia lanjut, anakanak, wanita hamil, dan orang sakit; dan/atau c. menyediakan fasilitas pelayanan khusus dengan menyediakan tempat duduk prioritas. Sebagaimana hasil pengamatan penulis pada Bus Rapid Transit (BRT) dalam kaitannya dengan penyediaan fasilitas aksesibilitas yang memberikan kemudahan naik dan turun yang berupa paling sedikit alat bantu untuk naik turun dari dan ke Kendaraan untuk penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil belum terpenuhi, serta tempat duduk prioritas baik di halte maupun di dalam bus, penulis melihat bahwa tempat duduk belum memenuhi ketentuan sebagaimana telah diatur oleh undang-undang, 94 seperti di halte, penulis melihat belum adanya tempat duduk yang dikhususkan bagi penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil, di dalam bus juga belum dilengkapi dengan temapt duduk prioritas. Adanya fenomena tersebut dapat menimbulkan ketidaknyaman dalam menggunakan bus bagi penumpang penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil, dimana hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 98 ayat (1) huruf a dan c Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014. 3. Keterjangkauan Mengenai aspek keterjangkauan, dapat dilihat dari tarif bus yang ditetapkan dengan harga Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah) baik jauh maupun dekat, dimana dengan ditetapkannya tarif tersebut agar dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, apabila ditinjau dari segi ketentuan Pasal 141 ayat (1) huruf d UU LLAJ yang salah satunya menentukan standar pelayanan angkutan bus minimal meliputi keterjangkauan yang selamat, aman, dan terjangkau pada dasarnya telah dipenuhi oleh Bus Rapid Transit (BRT) sebagai salah satu penyedia jasa angkutan umum. 4. Keteraturan Keteraturan bus dapat dilihat dari segi keteraturan jadwal, rute, dan tempat menaikkan dan menurunkan penumpang. Pasal 143 UU LLAJ menentukan bahwa : 95 Kriteria pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf a harus: a. memiliki rute tetap dan teratur; b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di Terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara; dan c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan. Apabila ditinjau dari segi rute yang tetap dan teratur, sebagaimana telah diketahui bahwa pada setiap halte-halte telah dicantumkan mengenai rute keberangkatan Bus Rapid Transit (BRT) yang berlaku tetap setiap harinya. Hal ini menunjukkan BRT Trans Mamminasata telah memenuhi ketentuan Pasal 143 huruf a UU LLAJ. Selanjutnya, jika dilihat dari segi supir Bus Rapid Transit (BRT) menaikkan dan menurunkan penumpang, berdasarkan hasil pengamatan penulis, supir bus menaikkan maupun menurunkan penumpang berdasarkan rute yang ditempuh pada setiap halte-halte ketibaan. Hal ini menunjukkan bahwa supir Bus Rapid Transit (BRT) telah menurunkan penumpang pada tempat yang telah ditentukan, yaitu pada halte bus. Dengan demikian, pengoperasian Bus Rapid Transit (BRT) telah memenuhi ketentuan Pasal 143 huruf c UU LLAJ. Berdasarkan hal-hal yang diuraikan terkait dengan kriteria pelayanan angkutan dari segi keteraturan, sebagaimana diatur dalam Pasal 143 UU LLAJ dapat diketahui bahwa dalam memberikan pelayanan di bidang angkutan publik, pada dasarnya Bus Rapid Transit (BRT) telah terpenuhi. 96 Selain pelayanan angkutan bus wajib memenuhi standar minimal angkutan jalan, sebagaimana ketentuan dalam mengoperasikan bus, para penumpang diberikan karcis sebagai tanda bukti pembayarannya. Karcis dalam penyelenggaraan kegiatan bus merupakan suatu hal yang sangat penting, disamping sebagai bukti pembayaran juga merupakan suatu pegangan yang dapat dijadikan sebagai jaminan keselamatan penumpang untuk ditanggung oleh asuransi apabila mengalami kecelakaan ketika menggunakan Bus Rapid Transit (BRT). Dalam kaitannya dengan UU LLAJ, pemberian karcis kepada tiap-tiap pengguna jasa merupakan suatu kewajiban penyedia jasa. Pasal 166 ayat (1) UU LLAJ menentukan : “ Angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum yang melayani trayek tetap lintas batas negara, antarkota antarprovinsi, dan antarkota dalam provinsi harus dilengkapi dengan dokumen. Pasal 166 ayat (2) huruf a UU LLAJ menentukan : “dokumen angkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tiket penumpang umum untuk angkutan dalam trayek”. Selanjutnya, dalam Pasal 167 ayat (1) UU LLAJ bahwa : “perusahaan angkutan umum orang wajib menyerahkan tiket penumpang”. Dalam kaitannya dengan Bus Rapid Transit (BRT), istilah tiket penumpang lebih dikenal dengan sebutan “karcis”. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya, menunjukkan dari 60 responden terdapat 2 responden diantaranya menyatakan tidak diberi karcis. Tindakan kondektur Bus Rapid 97 Transit (BRT) yang kerap kali tidak memberikan karcis kepada penumpang dengan alasan karcis telah habis, dimana hal tersebut juga telah dikeluhkan oleh masyarakat. Menanggapi hal tersebut, Rohani, seorang kondektur Bus Rapid Transit (BRT menjelaskan bahwa :82 “Masalah kehabisan karcis biasanya terjadi ketika bus sedang ramai penumpang, khususnya pada akhir-akhir pekan. Jadi, kalau kehabisan karcis, kami beritahukan kepada penumpang dan kemudian jumlah penumpang yang tidak mendapatkan karcis dicatatkan pada LMB (Laporan Muatan Bus). Dalam LMB tersebut dicatat mengenai jumlah penumpang yang ada dalam bus dan kemudian di paraf oleh pengawas, selanjutnya disetorkan pada kantor pada saat bus telah selesai beroperasi.” Melalui wawancara yang dilakukan, diketahui bahwa dalam menggunakan bus, para penumpang tidak diberikan karcis apabila jumlah karcis pada saat itu telah habis. Hal ini disebabkan keterbatasan jumlah karcis yang seringkali habis ketika jumlah penumpang bus meningkat, yaitu khususnya pada akhir pekan. Dalam mengatasi hal tesebut, para kondektur memberitahukan kepada penumpang bahwa karcis bus telah habis. Selanjutnya para penumpang yang tidak mendapatkan karcis dicatat jumlahnya dalam Laporan Muatan Bus (LMB) yang kemudian diparaf oleh pengawas dan disetor pada kantor Bus Rapid Transit (BRT). Potongan karcis yang diberikan kepada penumpang tidak hanya berguna sebagai tanda bayar tapi sekaligus sebagai bukti pengajuan klaim 82 Wawancara dengan Rohani, Kondektur Bus Rapid Transit (BRT), tanggal 14 Juli 2017. 98 asuransi jika terjadi kecelakaan lalu lintas.83 Penulis berpendapat bahwa dengan tidak adanya karcis yang diberikan kepada konsumen secara tidak langsung mengurangi hak konsumen untuk mendapatkan perlindungan dalam menggunakan Bus Rapid Transit (BRT), yakni perlindungan terhadap asuransi kecelakaan ketika terjadi kejadian yang tidak dapat diduga sebelumnya. Dalam kaitannya dengan ketentuan UU LLAJ, fenomena tidak diberikannya karcis kepada pengguna jasa, disamping telah mengurangi hak konsumen untuk memeroleh perlindungan asuransi apabila mengalami kecelakaan pada saat menggunakan jasa Bus Rapid Transit (BRT), tampaknya juga melanggar ketentuan Pasal 166 ayat (1) dan ayat (2) UU LLAJ, dimana perusahaan angkutan umum melalui kondekturnya wajib menyerahkan karcis sebagaimana ketentuan Pasal 167 ayat (1) UU LLAJ. Masih mengenai karcis Bus Rapid Transit (BRT), pada lembaran karcis tersebut juga tercantum salah satu klausula yang menyebutkan bahwa “harga karcis sudah termasuk dengan asuransi Jasa Raharja”. Asuransi Jasa Raharja adalah program sosial terhadap kecelakaan penumpang alat angkutan umum yang dilaksanakan berdasarkan UndangUndang No. 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang serta Asuransi Tanggung Jawab Menurut Hukum 83 https://www.riauheadline.com/view/Ekbis/883/Karcis-Bus-Trans-Metro-Berfungsisebagai-Asuransi.html?open=view&catid=Ekbis&newsid=883&tit=Karcis-Bus-TransMetro-Berfungsi-sebagai-Asuransi diakses tanggal 17 Juli 2017 Pukul 11.00 WITA. 99 Terhadap Pihak Ketiga yang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No. 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan.84 Adanya klausula demikian pada lembaran karcis Bus Rapid Transit (BRT) dapat diketahui apabila pengguna jasa mengalami kecelakaan pada saat menggunakan jasa Bus Rapid Transit (BRT), maka pengguna jasa sebagai korban kecelakaan di tanggung oleh asuransi. Diikusertakannya Jasa Raharja dalam memberikan santunan asuransi karena menyadari Bus Rapid Transit (BRT) adalah salah satu angkutan publik yang diprogramkan oleh pemerintah untuk melayani kepentingan masyarakat. Dalam kaitannya dengan ketentuan UU LLAJ, Pasal 237 ayat (1) UU LLAJ menentukan : “Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan asuransi bagi korban kecelakaan.” Selanjutnya, dalam Pasal 239 UU LLAJ menentukan bahwa pemerintah mengembangkan program asuransi kecelakaan lalu lintas dan angkutan jalan, dan untuk tujuan tersebut, pemerintah membentuk perusahaan asuranasi kecelakaan lalu lintas dan pengangkutan jalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, adanya keikutsertaan Jasa Raharja dalam menjamin keselamatan konsumen merupakan suatu bentuk kepatuhan penyelenggara Bus Rapid Transit (BRT) terhadap ketentuan Pasal 237 jo. Pasal 239 UU LLAJ. 84 https://www.jasaraharja.co.id/layanan/lingkup-jaminan diakses tanggal 20 Juli 2017 Pukul 14.30 WITA. 100 Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, terkait dengan pelaksanaan UU Angkutan Darat oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memberikan pelayanan terhadap pengguna jasa transportasi belum sepenuhnya mengimplementasikan ketentuan yang telah diatur, khususnya dalam memberikan keamanan dan kenyamanan di halte, mengharuskan adanya pelayanan dan fasilitas terhadap penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil, serta mengenai lembaran karcis yang sering mengalami kehabisan sehingga para penumpang biasanya tidak diberi karcis. 101 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pelayanan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memenuhi hak-hak konsumen dalam kaitannya dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menunjukkan bahwa pada dasarnya pelayanan yang diberikan belum sepenuhnya memenuhi hak-hak konsumen, khususnya hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur; hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar; dan hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian akibat pelayanan yang diberikan oleh pihak Bus Rapid Transit (BRT) tidak sebagaimana mestinya. 2. Pelaksanaan UU Angkutan Darat oleh Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar dalam memberikan pelayanan terhadap pengguna jasa transportasi belum sepenuhnya mengimplementasikan ketentuan yang diatur dalam UU LLAJ maupun peraturan pelaksanaannya, khususnya ketentuan mengenai fasilitas terminal yang yang wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan; kewajiban untuk menyerahkan tiket penumpang; dan ketentuan yang mengharuskan adanya pelayanan dan fasilitas khusus terhadap penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil. 102 B. Saran 1. Kepada pengelola Bus Rapid Transit (BRT), hendaknya lebih memerhatikan hak-hak konsumen, seperti menyediakan uang kembalian agar konsumen merasa tidak dirugikan atau mengganti sistem pembayaran menjadi elektronik agar pembayaran lebih mudah serta menyediakan papan pengumuman mengenai jadwal dan rute keberangkatan maupun kedatangan bus pada setiap halte agar tidak membingungkan konsumen. 2. Kepada pemerintah sebagai penyelenggara Bus Rapid Transit (BRT) hendaknya memerhatikan sarana dan prasarana penunjang Bus Rapid Transit (BRT) seperti melakukan penyempurnaan terhadap kondisi halte yang belum memadai, menyediakan fasilitas khusus bagi penyandang cacat, lansia, maupun ibu hamil, dan membuat jalur khusus Bus Rapid Transit (BRT). 103 DAFTAR PUSTAKA Abbas Salim. 1993. Manajemen Transportasi. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta. Abdulkadir Muhammad. 1998. Hukum Pengangkutan Niaga. Citra Aditya Bakri : Bandung. Adrian Sutedi. 2008. Tanggung Jawab Produk dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Ghalia Indonesia : Ciawi-Bogor. Ahmadi Miru. 2011. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Rajawali Pers : Jakarta. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo. 2010. Hukum Perlindungan Konsumen. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta. Amiruddin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum. PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta. Andika Wijaya. 2016. Aspek Hukum Bisnis Transportasi Jalan Online. Sinar Grafika : Jakarta. Az. Nasution. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Diadit Media : Jakarta. Celina Tri Siwi Kristiyanti. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Sinar Grafika : Jakarta. Hasim Purba. 2005. Hukum Pengangkutan di Laut. Pustaka Bangsa Press : Medan. Janus Sidabalok. 2014. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung. Lanugranto Adi Nugroho. 2008. Skripsi : Konsumen dan Jasa Transportasi (Studi pada Perlindungan Hukum pada Konsumen Fasilitas Publik dan Pelayanan Jasa Transportasi Perusahaan Otobus di Kabupaten Wonogiri), Surakarta, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Nasution. 1996. Manajemen Transportasi. Ghalia Indonesia : Jakarta. 104 Rabiah Z. Harahap. 2016. Jurnal : Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Penumpang Bus dalam Mewujudkan Perlindungan Konsumen. Dr. Lega Lata, Volume I, Nomor I, Januari-Juni 2016. Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti. Bandung. Sidharta. 2008. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia (Edisi Revisi). PT. Grasindo: Jakarta. Sugiyono, 2011. Metode Alfabeta,Bandung. Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Supranto, 2003. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. PT. Rineka Cipta, Jakarta. Sumber Internet : Anonim, https://www.riauheadline.com/view/Ekbis/883/Karcis-Bus-TransMetro-Berfungsi-sebagai-Asuransi.html?open=view&catid=Ekbis& newsid=883&tit=Karcis-Bus-Trans-Metro-Berfungsi-sebagaiAsuransi diakses tanggal 17 Juli 2017 Pukul 11.00 WITA. Jasa Raharja, https://www.jasaraharja.co.id/layanan/lingkup-jaminan diakses tanggal 20 Juli 2017, pukul 14.30 WITA. Perum Damri, https://damri.co.id/ diakses pada hari Sabtu, tanggal 1 April 2017, Pukul 13.00. Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Wawancara, diakses pada hari Senin, 5 Desember 2016, pukul 12.57 ________ , https://id.wikipedia.org/wiki/DAMRI#Sejarah_DAMRI, diakses pada hari Sabtu, tanggal 1 April 2017, Pukul 09.00. Makassar Kota, http://makassarkota.go.id/107-pendudukkotamakassar. html, diakses pada hari Selasa, 1 November 2016, pukul 22.50. Peraturan Perundang-Undangan : - Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen - Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan - Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan. 105