transisi demokrasi lokal dalam komunitas elite

advertisement
TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE
POLITIK MINANGKABAU MODERN
(Studi Kasus pada Nagari Jawi- Jawi Kabupaten Solok)1
Tengku Rika Valentina, Andri Rusta2, Nicky Nia Gustriani3
Abstrak
Adanya kegamangan dari para elite nagari dan pemuka adat ketika menjadikan
nagari sebagai sebuah basis demokrasi lokal, mereka dihadapkan kepada dua pilihan yaitu
tetap mempertahankan model demokrasi tradisional nagari atau mengganti dan
merubahnya menjadi sebuah demokrasi yang moderen, terpola dan terstruktur serta ada
aturan yang disahkan secara konstitusional dengan memasukan unsur- unsur demokrasi
barat dalam pemerintahan nagari. Disisi lain negara ternyata tidak sepenuhnya
menerapkan desentralisasi dan devolusi, dimana desentralisasi yang diberikan terhadap
pemerintahan terendah harus juga diikuti dengan devolusi supaya bisa membentuk sebuah
negara demokrasi baru. Negara masih terlampau jauh masuk dalam wilayah lokal, dengan
membuat aturan formal disertai dengan dasar hukum yang mengikat yang ditujukan
kepada perangkat pemerintahan lokal.
Kata kunci: demokratisasi,demokrasi lokal, elite nagari.
Bab 1. Pendahuluan
Di pentas studi ilmu politik dewasa ini, demokrasi liberal (elektoralprosedural) telah memenangi pertarungan pemaknaan tentang konsep demokrasi.
Demokrasi prosedural meraih kemenangannya pada tahun 1970-an setelah
berhasil menggeser pemahaman subtantifis demokrasi. Upaya ke arah ”demokrasi
akar rumput ini” mengandaikan institusi- institusi atau pranata sosial ditingkat
lokal4. Melihat bahwa demokrasi merupakan bagian penting dari political
1
Penelitian ini dibiayai oleh Dana DIPA Unand tahun 2009
Staf pengajar jurusan Ilmu Politik, FISIP. Unand
3
Mahasiswa (S1) pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fisip. Unand
4
Pranata sosial yang dimaksudkan disini adalah penjelasan alam UU No 22 tahun 1999 jo UU
No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 200 ayat (2) menyatakan bahwa
“Desa dapat dibentuk dan dihapus atau digabung dengan memperhatikan asal usulnya atas
prakarsa masyarat, undang-undang tersebut memberi peluang kearah diwujudkannya
pemerintahan terendah yang lebih otonom, demokratis dan dinamis sesuai dengan asal usulnya”.
Pemerintah Sumatera Barat dalam menyikapi realisasi dari UU No 22 tahun 1999 Jo UU no 32
tahun 2004 tentang Pemerintah daerah pada pasal 200 ayat (2) tersebut adalah dengan membentuk
kembali nagari sebagai unit pemerintahan terendah melaui Perda No. 9 tahun 2000 tentang
Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, dimana pemerintahan daerah memberi peluang pada
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk menyesuaikan bentukbentuk pemerintahan nagari, berdasarkan asal usul kondisi sosial budaya masyarakat setempat
berdasarkan “adat basandi syarak syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai,
alam takambang jadi guru” ( adat bersendikan agama, agama bersendikan Al’quran, agama
2
1
institusion, maka institusionalisasi demokrasi kedalam lembaga yang otonom
yang menjamin kelangsungan proses demokratisasi menjadi suatu hal yang
penting. Institusi lokal sebagai sebagai basis masyarakat mayoritas, apa bila tidak
bisa di transformasikan menjadi kekuatan demokrasi maka sangat mungkin akan
sulit membangun demokrasi yang sesungguhnya. Dari sini akan terlihat erat kaitan
antara demokrasi dengan institusi lokal, dengan pembaharuan relasi masyarakat
dengan negara, sekaligus dengan demokrasi yang substansial.
Nagari menjadi kajian yang cukup menarik untuk diangkat kepermukaan
dalam kaitannya dengan proses
demokrasi. Menuju kearah tingkatan
demokratisasi di tingkat grasroot. Nagari dalam tradisi Minangkabau merupakan
identitas kultural yang menjadi lambang mikrokosmik dari sebuah tatanan yang
makrokosmik yang lebih luas. Di dalam nagari sebenarnya terkandung sistem yang
memenuhi persyaratan embrional dari dari sebuah sistem negara. Nagari adalah
’negara’ dala artian miniatur dan merupakan ’republik kecil’ yang sifatnya selfcontained, otonom dan mampu membenahi diri sendiri. Sebagai sebuah lembaga,
nagari bukan saja dipahami sebagai kualitas teritorial, tetapi juga mencakup
kualitas geneologis, ia adalah lembaga pemerintah dan sekaligus merupakan
lembaga kesatuan sosial utama yang dominan. Sebagai kesatuan masyarakat yang
otonom nagari merupakan republik mini dengan terotorial yang jelas bagi
anggotamya, punya pemerintahan sendiri, adat sendiri, yang mengatur tatanan
kehidupan angotanya.
Disamping nagari pada taraf pemerintahan mempunyai unsur utama
legislatif (Badan Perwakilan Nagari ), eksekutif (Pemerintahan Nagari) dan
yudikatif (Kerapatan Adat Nagari), ia juga merupakan kesatuan holistik bagi
peranan tatanan sosial budaya lainnya. Ikatan bernagari bukan saja primodial
konsaguinal sifatnya, tetapi juga struktural fungsional dalam artian teritorial
pemerintahan yang efektif.
mengatur adat memakai alam dunia bisa dijadikan sebagai guru atau pedoman hidup), maksudnya
dengan pemberian wewenang yang lebih besar pada pemerintah daerah untuk mengelola potensi
daerahnya, diyakini akan dapat memberi manfaat yang lebih besar dibanding pada masa
sebelumnya, dengan melalui dukungan kebijakan desentralisasi yang memberikan keleluasaan
pada daerah untuk menjadi daerah otonom yang lebih mandiri.
2
Kejatuhan Orba telah mengantarkan sebuah ”republik kecil (nagari)
”memasuki masa transisi menuju sebuah konsep demokrasi. Sebelum sampai
lokus permasalahan, ada sebuah pertimbangan disini ketika proposal kecil ini
dibuat, adalah semangat untuk mengkaji kembali transisi demokrasi pada tingkat
lokal di Sumatera Barat, yang sebelumnya telah dihadapkan pada kondisi
anomalie yang membingungkan. setelah reorganisasi pemerintahan desa kedalam
pemerintahan nagari melalui Perda No 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok
Pemerintahan Nagari, elite- elite Minangkabau kembali perhatian pada adat dan
institusi yang merupakan bagian dari pemerintahan lokal, tetapi hanya sebatas
pada semangat wawasan yang populis, nostalgia, dan berorenatasi pada masa
kejayaan pemerintahan nagari sebelum kemerdekaan. sayangnya, semangat
nostalgia pemerintahan lokal di Sumatera Barat itu sendiri sangat bertolak
belakang dengan identitas Minangkabau. elite Minangkabau agak ambigu dalam
memahami makna dari sebuah demokrasi lokal, sementara daerah lain di
Indonesia menunjukan perhatian yang kuat dalam identitas kedaerahan mereka,
identitas minangkabau terasa ambivalen.
Bab 2. Perumusan Masalah.
Dengan demikian penelitian ini ingin membuktikan tantangan di atas
seraya melibatkan diri dalam arena perdebatan dan kajian demokratisasi Indonesia
kontenporer untuk menjawab proses transisi demokrasi pada tingkatan lokal di
Sumatera Barat, yang diselenggarakan oleh elite Minangkabau modern. Paling
tidak ada beberapa pertanyaan yang telah penulis rumuskan yaitu:
1. Bagaimana proses transisi demokrasi lokal yang terjadi dalam Nagari ?
2. Lembaga- lembaga lokal apa saja yang terkait dalam proses transisi
tersebut?
Bab 3. Tinjauan Pustaka.
Tujuan pustaka ini akan diarahkan pada dua hal yaitu: me-review sejumlah
perspektif (pendekatan) yang menjelaskan transisi dan perspektif alternatif yang
berbeda tentang konsep demokrasi: pada bagian pertama saya akan membongkar
perspektif yang tidak memadai untuk menjelaskan proses transisi demokrasi di
Indonesia. pada bagian kedua, saya akan menampilkan perspektif yang berbeda
yang lebih memadai untuk menjelaskan perubahan transisi demokrasi lokal.
3
3.1.Demokrasi Dan Demokratisasi
Fokus utama dalam proposal singkat ini adalah menjelaskan transisi yang
dialami oleh pemerintahan lokal di Sumatera Barat ( nagari ) dalam memaknai
sebuah konsep demokrasi, jadi kerangka konseptual ini lebih diarahkan pada
konsep demokratisasi yaitu proses perubahan pemerintahan lokal
tentang
reorganisasi pemerintahan terendah dari nagari menjadi desa melalui UU No 5
tahun 1979 yang kemudian dirubah kembali menjadi nagari dengan semangat UU
No 22/1999 jo 32/2004 tentang pemerintahan daerah dan Perda No 9 tahun 2001
tentang ketentuan pokok pemerintahan nagari (dari rezim yang non demokratis
pada masa orba ke masa transisi yang lebih demokratis). Kajian pada
demokratisasi akan diberi bobot lebih besar, yaitu bermaksud ingin menjelaskan
seraya mengeksplorasi faktor- faktor penyebab transisi demokrasi di indonesia
sehingga nantinya akan membantu saya untuk menganalisis transisi demokrasi
lokal dan transisi elite Minangkabau di Sumatera Barat.
3.1.1. Demokrasi Minimalis Vs Demokrasi Maksimalis
Konsep demokrasi pada umumnya diterjemahkan secara mendasar sebagai
pemerintahan ( kratos) oleh rakyat (demos). Tetapi definisi sederhana itu dalam
perkembangannya mengalami kemerosotan makna ( pejoratif ). Setelah nazi dan
fasisme menglamai kehancuran pasca peran dunia II, setiap rezim yang berkuasa –
termasuk totaliter sekalipun dibelahan dunia selalu mengklaim dirinya demokratis
dan bertindak atas nama rakyat. Klaim itu diwujudkan lewat munculnya banyak
label demokrasi, seperti demokrasi kerakyatan, demokrasi ploretariat, demokrasi
borjuis, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila
dan
sebagainya.
Untuk menilai apakah suatu sistem politik itu demokratis atau non
demokratis , para ilmuan pada umumnya akan menjabarkan elemen- elemn kritis
yang terkandung dalam frasa ”pemerintahan oleh rakyat”, selain dengan melihat
perwujudan elemen- elemen demokrasi pada level empirik, jika dikaji lebih dalam
frasa ” pemerintahan oleh rakyat ” itu menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis :
”siapa rakyat yang memerintah itu?” ”bagaimana rakyat memerintah?” seberapa
besar rakyat ( dalam ) rakyat terlibat memerintah? . sejumlah pertanyaan ini
4
menyebabkan demokrasi tidak bermakna tunggal tetapi merupakan entitas
dimanis yang memperoleh pemaknaan (interprestasi) berbeda- beda dari para
filsuf dan ilmuan politik
Dalam berbagai literatur ilmu politik konsep demokrasi dikaji dan
dimaknai dengan dua pendekatan yang berbeda. Yang pertama kali muncul adalah
pendekatan klasik- normatif yang lebih banyak mebicarakan tentang ide- ide dan
model- model demokrasi secara substantif. Pendekatan ini mengikuti garis
pemikiran klasik – dari zaman Yunani kuno, abad pertengahan sampai pada
pemikiran sosialisme Karl Marx – yang memaknai demokrasi sebagai sumber
wewenang dan tujuan ( kerangka preskripsi secara normatif untuk sistem politik).
Pendekatan klasik normatif mendefinikan demokrasi dengan term kehendak
rakyat sebagai sumber atau alat untuk mencapai tujuan kebaikan bersama.5
Karena diilhami oleh banyak tradisi pemikiran, pendekatan klasik normatif
memaknai dan mengukur demokrasi secara maksimalis dengan memasukan
unsur- unsur nonpolitik (sosial, ekonomi dan budaya). Kebebasan sebagai esensi
dalam demokrasi, tidak hanya diterjemahkan sebagai kebebasan politik (berbicara,
memilih, berkumpul, berorganisasi) tetapi juga kebebasan sosial ekonomi (yakni
bebas dari berkeadilan, kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan
dan sebagaimnya) para pemikir tradisional pencerahan seperti Rousseau dan Jhon
Struat Mill, hingga pemikiran radikal seperti Karl Marx sepakat bahwa
ketimpangan sosial ekonomi merupakan kendala bagi persamaan politik dan
demokrasi. dengan kata lain suatu negara yahng diwarnai dengan ketimpangan
sosial ekonomi tidak bisa dikatakan demokratis meski kebebasan politiknya
terjamin. 6
Disisi lain pendekatan klasik normatif sangat memperhatikan elemen
konstitusi dan gagasan rule of law untuk mengatur prosedur kelembagaan, hak
dan kewajiban rakyat (warga negara) serta untuk membatasi penggunaan
kekuasaan sehingga mereka tetap berkuasa atas kehendak rakyat. Akan tetapi
5
Lihat Giovanni Sartori, the theory of democracy revisited ( Chatam , New York : Chatam House
, 1987) bandingkan dengan carol Gould , Rethinking Democracy ( Cambridge, New York:
Cambridge university press 1988); Robert A. Dahl, democracy and its critics ( New haven : yale
University Press, 1989) dan Robert A. Dahl, on democracy ( New haven : yale university press,
1998)
6
Georg Soronsen, democracy and democratization ( Boulder, Co : Westview press, 1993), hal 7-8
5
pendekatan klasik normatif mulai kehilangan pengaruh dihadapan ilmuan politik
ketika studi demokratisasi berkembang sejak hakir dekade 1970-an. Pendekatan
ini hanya digunakan oleh para ilmuan yang membicarakan ide – ide, wacana dan
model - model demokrasi.
Studi demokrasi mutakhir yang menjamur dalam satu-dua dekade terakhir
justru menerapkan pendekatan empirik- minimalis ketimbang normatif –
maksimalis. Pendekatan empirik minimalis yang menjadi basis pemikiran studi
demokrasi lokal di Sumatera Barat yang saya uraikan lebih mengacu pada
konstruksi teorinya Robert A. Dahl. Dahl menawarkan sebuah konsep demokrasi
minimalis yang disebut sebagai ”poliarkhi”7. Di dalam poliarkhi ada sebuah
derajat
kontestasi
publik
yang
tinggi
(liberalisasi)
maupun
partisipasi
(Inklusivitas). Untuk menjamin bekerja mekanisme poliarkhi, Dahl menyatakan
bahwa rakyat harus diberi kesempatan untuk: (1) merumuskan pilihan (perferensi)
atau kepentingannya sendiri; (2) memberitahukan perferensinya itu pada sesama
warga negara dan pemerintah lewat tindakan individual maupun kolektif; (3)
mengusahakan agar kepentingannya itu pertimbangannya secara setara dalam
proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak ada diskriminasi
berdasarkan isu atau asalnya8 . tiga kesempatan itu dapat dicapai kata Dahl bila
ditopang dengan delapan jaminan kelembagaan: (1) kekebasan membentuk dan
bergabung dalam organisasi; (2) kebebasan dalam menyampaikan pendapat; (3)
hak memilih dalam pemilihan umum; (4) hak untuk menduduki jabatan publik;
(5) hak para pemimpin untuk bersaing dan memperoleh dukungan dan suara
rakyat; (6) tersedianya sumber- sumber informasi alternatif; (7) terselenggaranya
pemilihan umum yang bebas dan jujur; (8) adanya lembaga- lembaga yang
menjamin agar kebijakan publik tergantung pada suara pemilihan umum, dan pada
cara- cara penyampaian perferensi yang lain9.
Sementara Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset
menyederhanakan delapan kriteria Dahlian menjadi tiga kriteria untuk menndai
sebuah sistem politik tersbeut lebih demokratis, yaitu: (1) kompetisi yang
7
Robert A. Dahl. Polyarchy: participation and Opposition. ( New Haven: Yale University Press.
1971) hal 2.
8
Ibid. hal 2
9
Ibid.hal 2-3
6
sungguh- sungguh dan meluas di antara individu- individu dan kelompokkelompok organisasi unutk merebut jabatan yang mempunyai kekuasaan efektif
pada jangka waktu teratur dan tidak menggunakan daya paksa; (2) partisipasi
politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan
pemimpin atau kebijakan lewat pemilihan umum, yang diselenggarakan secara
teratur dan adil sehingga tidak ada satupun kelompok sosial (warga negara biasa)
tanpa kecuali; (3) tingkat kebebasan sipil dan politik, yaitu kekebasan berbicara,
kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi,
yang cukup untuk menjamin integritas, kompetisi dan partisipasi politik.10
Dengan melihat dua pendekatan yang berbeda di atas, saya cenderung
untuk memilih pendekatan empirik- minimalis ketimbang normatif- maksimalis.
Tetapi saya tidak akan membuang ide dan model demokrasi yang terangkum
dalam pendekatan normatif. Bagi saya ide dan model demokrasi sangat relevan
dibicarakan sebagai kerangka preskripsi untuk menjelaskan demokrasi lokal di
Sumatera Barat di masa depan. Namun pendekatan empirik – minimalis akan
diberi bobot yang lebih besar dalam proposal singkat ini, karena saya hendak
mengkaji proses (empirik) transisi menuju demokrasi
pada politik lokal di
Sumatera Barat yang baru saja merevisi perda tentang pemerintahan lokalnya (
nagari ) menjadi perda Propinsi Sumatera Barat
No 2 tahun 2007 tentang
pemerintahan nagari dengan memberdayakan sekaligus tiga pilar proses
demokrasi lokal yaitu Badan Perwakilan Nagari dan Kerapatan Adat Nagari
(KAN).
Jika ditempatkan pada perspektif komparatif, delapan kriteria Dahl, dan
tiga kriteria Diamond dkk, akan saya gunakan untuk memetakan derajat proses
perjalanan demokrasi lokal di Sumatera Barat mulai dari dari 1903 ketika nagari
dijadikan pertama kali sebagai pemerintahan terendah oleh belanda dengan
mengeluarkan Decentralisatiwed (staatsblaads no. 329/1903) yang memberikan
peluang terbentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri,
10
Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). Democracy in Asia. (Boulder,
Colorado: Lynne Rienner, 1989), hal xvi atau Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin
Lipset (eds). Political and developing Countries: Comparing Experience with Democracy.
(Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1990). Hal 6-7.
7
Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada “ Raad” atau dewan masyarakatmasyarakat daerah - sampai pada tahun 2007.
Derajat pemetaan tentang transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di
Sumatera Barat tersebut saya bagi kedalam beberapa varian berdasarkan bentuk
pola pemerintahannya dan lembaga- lembaga adat yang ada dalam nagari tersebut.
Demokrasi disini saya tempatkan sebagai variabel kontinu bukan dikotomis
dengan nondemokrasi yang dipilah menjadi tiga yakni demokrasi (penuh), semi
demokrasi dan nondemokrasi. Saya membuat sebuah asumsi awal apabila Suatu
sistem politik dikatakan demokrasi bila memenuhi tiga kriteria yang ditetapkan
oleh Diamond dkk. Derajat dibawahnya adalah semidemokrasi atau disebut
sebagai demokrasi yang terbatas (restricted democracy), yang ditandai oleh: (1)
tingkatan substansial kompetisi dan kebebasan politik tetapi kekuasaan efektif
pemimpin- pemimpin yang terpilih sangat terbatas dan ada harapan dari perferensi
publik; (2) kekebasan sipil dan politik sangat terbatas dimana oreantasi dan
kebebasan politik tidak bisa mengorganisir dan mengekspresikan kebebasan itu.
Sementara derajat yang paling rendah adalah nondemokrasi yakni rezim yang
tidak memberikan kesempatan berkompetisi dan berpartisipasi secara bebas.11
Kemudian proses pemilahan dari varian demokrasi tersebut saya bagi lagi
berdasarkan pada periodesasi perjalanan pemerintahan lokal yang ada di Sumatera
Barat mulai dari 1903-2007 sehingga nantinya bisa membingkai proses transisi
demokrasi dan melacak komunitas elite minangkabau modern di Sumatera Barat.
Derajat dari demokrasi tersebut saya bagi jadi Dua yaitu mengambarkan proses
terbentuknya komunitas elite politik minangkabau dan proses terbentuknya
transisi demokrasi dalam komunitas elite politik minangkabau seperti
yang
digambarkan dalam tabel dibawah ini;
Kerangka konseptualnya Dahl ingin saya pakai untuk melihat proses
transisi tersebut, walaupun gelombang demokrasi tersebut baru muncul sekitar
1970-an hingga dekade 1990-an, tetapi saya yakin dari hasil temuan dilapangan
nantinya ternyata gelombang demokrasi itu sudah ada pada pemerintahan lokal di
Sumatera Barat setelah nagari dijadikan sebagai lembaga formal pada tahun 1903
oleh pemerintahan Pelanda. Dan sengaja saya memulainya pada masa penjajahan
11
Ibid.hal 6
8
belanda karena proses Decentralisatiwed (staatsblaads No. 329/1903) yang
memberikan peluang terbentuknya satuan pemerintahan lokal yang mempunyai
keuangan sendiri, Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada “Raad” atau
dewan masyarakat-masyarakat daerah/nagari pertama kali dibentuk12. Dari proses
transisi tersebut nantinya dapat membantu saya membingkai proses tumbuhnya
komunitas baru elite Minangkabau modern yang ada dalam pemerintahan lokal di
Sumatera Barat
3.1.2. Menjelaskan
Transisi
Menuju
Demokrasi
Menggunakan Pendekatan Kotingensi Elite.
Dengan
Dalam detour pada konsep demokratisasi yang didalamnya akan
mencakup transisi, liberalisasi, instalasi dan konsolidasi demokrasi. demokratisasi
adalah jalan atau proses perubahan dari rezim nondemokratis menjadi rezim
demokratis. Menurut samuel Huntington, demokrasi pada tingkatan sederhana
mencakup (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter; (2) dibangunnya sebuah rezim
demokrartis (3) konsolidasi rezim demokratis13. Dalam membingkai kerangka
konseptual ini saya lebih mengikuti konsep teoritis demokratisasinya Dahl, yaitu
demokratisasi berarti proses perubahan rezim otoritarian (hegemoni tertutup) yang
tidak memberikan kesempatan partisipasi dan liberalisasi menuju poliarkhi yang
memberikan derajat kesempatan partisipasi dan liberalisasi lebih tinggi
Secara umum demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan rumit
tetapi saling berkaitan, dari liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi.
liberalisasi adalah proses pengefektifkan hak- hak politik yang melindungi
individu- individu dan kelompok sosial dati tindakan sewenang- wenang dan tidak
sah dari negara atau pihak ketiga. Liberalisasi seperti dalam konseptualisasi Dahl
(1971) mencakup konstelasi publik dan partisipasi dalam prosedur kelembagaan
semacam pemilihan umum serta terbukanya kesempatan publik unutk
mengekspresikan kebebasan politinya (kebebasan berbicara, berkumpul dan
berorganisasi ) akan tetapi liberalisasi tidak sama dengan demokratisasi, meski ia
muncul dalam proses transisi, liberalisasi tidak mesti diikuti dengan instlasi
12
Roni Ekha Putera dan Tengku Rika Valentina. Modul sistem pemerintahan dan
DinamikaPembangunan Nagari Nagari. Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas Padang
tahun 2006
13
Samuel Huntington (1991) .Op.Cit. hal. 44
9
demokrasi yang penuh (fully democracy). Tanpa jaminan bagi kekebasan individu
dan kelompok yang inheren dalam liberalisasi, demokratisasi mungkin diturunkan
derajatnya menjadi sekedar formalisme dalam sistem semi demokrasi/demokrasi
terbatas (restricted democracy). Disisi lain tanpa pertanggungjawaban terhadap
rakyat dan minoritas pemilih yang telah terlembaga dibawah demokrasi
liberalisasi akan mudah dimanipulasi dan bahkan dibatalkan demi kepentingan
mereka yang duduk di pemerintahan 14
Tahapan dari liberalisasi adalah transisi, transisi disini didefinisikan
sebagai titik awal atau interval (selang waktu) proses perjalanan pemerintahan
lokal di Sumatera Barat ( nagari ) diantara berbagai periode kekuasaan
pemerintahan mulai dari masa penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde
Baru Dan masuk pada rezim yang lebih demokratis yaitu pada masa reformasi.
Dalam artian lain transisi yang saya lihat disini adalah pengesahan (instalasi)
lembaga- lembaga politik pada pemerintahan lokal di Sumatera Barat dan aturan
politik baru di bawah payung demokrasi. Tetapi seperti halnya liberalisasi, transisi
tidak mesti berakhir dengan sebuah instalasi kerangka demokrasi seperti konsep
Dahl yang saya pakai, sebaliknya bisa saja nanti dari hasil temuan dilapangan,
bisa saja tercipta rezim otoritarian baru dalam menjelaskan dinamika
pemerintahan lokal (nagari ) yang ada di Sumatera Barat, atau bisa saja sifat dari
demokrasi tersebut lebih ke semi demokrasi.
Walaupun Gelombang demokratisasi sejak akhir dekade 1970-an hingga
1990-an dan merupakan objek yang paling menarik bagi para ilmuan politik, akan
tetapi saya perlu melontarkan beberapa kritik awal bahwa sebahagian besar studi
demokratisasi seperti dalam karyanya Huntington, Juan Linz, Seymour Martin
Lipset, O’Donnel dan sebagainya sangat diilhami oleh ’semangat’ Eropa Selatan
dan Amerika Latin dan tidak semuanya cocok dijadikan sebagai rujukan bagi studi
demokrasi di wilayah pemerintahan lokal di Indonesia. Sejumlah kajian
demokratisasi umumnya masih terombang- ambing antara kajian ideografis
(melalui metode deskriptif- historis yang mendalam mengenai kejadian dan aktor)
dan renungan abstrak dan normatif tentang prinsip- prinsip demokrasi yang
didukung oleh sedikit bukti yang sistematis. Kajian ideografis ini memang
14
Robbert Dahl (1971) Op. cit
10
memberikan sumbangan yang berharga karena akan menjelaskan apa yang disebut
oleh Dahl ’profil negeri’ dengan meliputi beberapa unsur pluralisme subkultur,
tatanana sosial dan ekonomi. Akan tetapi kelemahan yang mendasar dari kajian
ideografis ini adalah ketidakmampuan menarik suatu generalisasi (nomotetik)
yang punya kekuatan eksplanasi dan prediksi secara memadai dan komparatif.
Dengan kritik di atas proposal singkat ini hendak melakukan kajian
mutakhir untuk menjembatani gap antara kajian ideografis, nomotetik dan
spekulasi yang abstrak. Proposal singkat ini barangkali berada di tengah- tengah
antara kajian ideografis (deskripsi mendalam) dan nomotetik (teoritis), disini saya
lebih memfokuskan prosedur- prosedur lembaga politik pemerintahan lokal
(Pemerintahan nagari, BPN dan KAN) dan aktor- aktor politik yang nantinya akan
menciptakan sebuah komunitas elite minangkabau, dengan menawarkan
generalisasi berlevel menengah sehingga bisa menghasilkan sebuah penelitian
transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di Sumatera Barat menjadi lebih
komparatif .
Selain kritik diatas, jauh yang dapat saya lihat terdapat perspektif utama
yang menjelaskan proses transisi menuju demokrasi pada politik lokal di
Indonesia yaitu terletak pendekatan kontigensi elite.
Pendekatan kontigensi yang sepenuhnya berpusat pada strategi dan
pilihan- pilihan kontigen akor atau elite politik. Pendekatan ini sebenarnya
diprakasai oleh para pengkaji demokratisasi yang sebelumnya menggunakan
pendekatan negara. Seperti guillermo O’ Donnel , Phillippe Schmitter, Alferd
Stepan, Adam Przeworski dan sebagainya. Sebegitu jauh mereka meninggalkan
Negara dan variabel- variabel sosiokultural, dan memusatkan perhatian pada
kinerja atau prosedur pada lembaga- lembaga politik serta pada tindakan (staretgi
atau taktik) para aktor (elite) politik dalam proses menuju transisi demokrasi.
Masih banyak karya lain yang terfokus pada peran aktor ( elite) politik dalam
proses transisi menuju demokrasi, karya huntington (1991) misalnya mengulas
bhwa keberhasilan demokratisasi sangat bergantung pada kemampuan elite
”pembaharu liberal ” dalam pemerintah untuk mengakali pola- pola yang mapan.
Dalam konteks indonesia, Harold Crouch adalah analisis
yang
menggunakan pendekatan kontigensi untuk mengkaji prospek demokrasi. dengan
11
menolak- lemen- elemen sosio – ekonomi, struktur kelas, budaya, tekanan
eksternal dan kekuatan oposisi, crouch menempatkan variabel konflik elite yang
tampaknya merupakan pendorong kuat bagi proses transisi demiokrasi di
indonesia. Menurut Crouch selama elite tetap terbagi dan persaingan mereka
melibatkan mobilisasi dukungan nonelite, ada kemungkinan sistem akan menjadi
lebih terbuka dan liberal. Fenomena ini akan semakin terlihat dengan jelas bahwa
konflik elite membawa efek liberalisasi terbatas, seperti dalam bentuk
keterbukaan politik semakin dinamis. semakin lama situasi ini berlangsung
reformasi akan semakin menjadi melembaga dan elite akan semakin terbiasa
dengan kompetisi politik.15
Proposal singkat ini menempatkan ”tindakan elite ” sebagai variabel
terdepan yang sangat menentukan transisi, sebab transisi menuju demokrasi tidak
hanya berkaitan dengan ”apa yang mendorong” tetapi juga ” siapa yang
mengawali”.
Dalam perspektif elitis terdapat dua macam pendekatan teoritis yang
berlainan dalam menerangkan keberadaan kelompok elite. Teori pertama
kelompok elite dianggap lahir dari proses alami. Mereka adalah orang- orang yang
terpilih yang memang dikaruniai dengan kepandaian dalam memecahkan
persoalan hidup. Dengan demikian kelompok ini lahir bukan karena mereka
menempati posisi strategis dalam masyarakat, tetapi karena memiliki kapasitas
personal yang lebih potensial unutk menempatkan posisi itu16. Dalam pendekatan
teoritis yang kedua kelompok elite dikonsepsikan sebagai orang- orang yang
terpilih menempati fungsi- fungsi penting dalam organisasi sosial, mereka diberi
wewenang dan dipercaya untuk menjaga dan mengontrol ekonomi politik.17
Untuk melihat proses terbentuknya komunitas elite baru Minangkabau
dalam masa transisi demokrasi, dua pendekatan teoritis diatas saya bagi menjadi
dua periodesasi masa transisi demokrasi lokal, untuk teorisasi elite yang pertama
saya pakai untuk menganalisa komunitas elite politik minangkabau di mulai dari
Harold Crouch , “ Democratic prospect in Indonesia”, dalam David Bourchier dan Jhon Legge,
(eds), democracy in Indonesia 1950s ( Clayton : Centre of Southeast Asian Studies, Monash
University, 1994, hal 115-126.
16
Prof. Sunyoto Usman. Elite dan Masyarakat ( bahan kuliah Sosiologi politik S2 ilmu politik )
hal 1-2
17
Ibid hal 2
15
12
sebelum indonesia merdeka, karena sifat dari pembentukan elitenya lebih
didasarkan pada pemilihan yang alami dimana jabatan tersebut diserahkan
langsung sesuai dengan kapasitas yang dia miliki. Sedangkan teorisasi elite yang
kedua saya pakai untuk menganalisa terbentuknya komunitas baru elite politik
setelah indonesia merdeka, dimana sirkulasi elitenya sudah didasarkan pada
kompetisi.
Saya mencoba membuat pemetaan dari dua pandangan teoritik diatas
dimana proses terbentuknya elite tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh tiga model
distribusi dari kekuasan tersebut18 yaitu model elite yang memerintah, model
pluralis dan model populis. Model pertama melukiskan kekuasaan yahng dimiliki
oleh sekelompok kecil orang (elite), model pluralis mengambarkan kekuasaan
yang dimiliki oleh kelompok sosial masyarakat, dan model populis melukiskan
kekuasaan dipegang oleh setiap individu warga negara secara kolektif.
Kemudian saya mencoba membingkai relasi antara demokrasi lokal di
Sumatera Barat dengan tumbuhnya komunitas elite baru tersebut dengan memakai
model Model voluntaris yang menempatkan rational choice sebagai instrumen
untuk mendekati kekuasaan serta merujuk pemikiran Robert Dahl dalam melihat
kekuasaan. Dimana, Dahl membingkai kekuasaan sebagai sebuah kapasitas untuk
mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang diinginkannya Model
voluntaris
juga
dipengaruhi
dengan
dengan
analogi
Newtonian
yang
menempatkan kekuasaan sebagai stimulus dari sebuah tindakan. Menurut Dahl19
supaya pemerintah bisa tanggap terhadap rakyat atau supaya pemerintah bisa
berperilaku demokratis, maka rakyat harus diberikan kesempatan untuk: 1)
merumuskan
preferensi
atau
kepentingannya
sendiri.
2)memberitahukan
preferensi tersebut kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui
tindakan individual atau kolektif. 3) mengusakan agar kepentingan itu di
pertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah,
artinya tidak diskriminasi berdasarkan isi dan asal usulnya.
18
Ramlan Surbakti. Memahami ilmu politik. Garamedia Widiasarana Indonesia,Jakarta. 1992. hal
74-75
19
Robert Dahl. Polyarchy: participation and opposition. New Haven: yale .1973 dalam Dr.
Mohtar Mas’oed. Negara capital dan demokrasi.Pustaka pelajar. Yogyakarta. 2003. hal 19
13
Ada keyakinan saya untuk melihat cara pandang desentralisasi dan
demokrasi lokal untuk memaknai dan membingkai sebuah komunitas baru elite
politik minangkabau, karena desentralisasi dan transisi demokrasi lokal yang saya
kemukakan di sini mempunyai misi: (1) nagari dapat dipahami dengan kerangka
pemerintahan sendiri yang berbasis (self-governing community). Konsep ini
menggambarkan bahwa nagari adalah sebuah republik kecil, sebuah formasi
pemerintahan otonom yang melekat pada nagari sejak lama. Nagari adalah suatu
kesatuan geneologis dan teritorial yang menjadi dasar terbentuknya berbagai
sistem dalam kehidupan bermasyarakat meliputi sistem pemerintahan, ekonomi,
sosbudaya. Artinya nagari mempunyai otonomi (kemandirian) dalam membangun
organisasi kekuasaan dan pemerintahan sendiri, keleluasaan mengambil keputusan
lokal, mengelola pemerintahan sehari-hari secara mandiri, mengelola sumberdaya
lokal sendiri, mengelola interaksi sosial, mempunyai pola pengelolaan konflik dan
sistem peradilan sendiri. Self-governing community, pada prinsipnya, telah lama
hidup sebelum nagari diintegrasikan ke dalam negara, yang dikerangkai dengan
aturan (hukum) adat. Mengikuti hukum nasional, self-governing community
berarti sebagai bentuk kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak dan
kewenangan sesuai dengan asal-usulnya. (2) ketika nagari sudah masuk ke dalam
formasi besar negara-bangsa, maka konsep subsidiarity sangat penting untuk
memaknai ulang keberadaan nagari (1903-2007). Nagari sekarang berbeda dengan
nagari dulu. Nagari dulu sangat otonom, mempunyai self-governing community
bagaikan republik kecil yang terbebas dari kekuasaan pusat. Nagari sekarang tidak
sepenuhnya otonom dari struktur negara. Struktur negara yang hirarkhis (dari
pemerintah nasional, Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten) telah melakukan
desentralisasi kekuasaan, kewenangan dan sumberdaya pada nagari 20. Dengan
kalimat lain, otonomi nagari sekarang adalah “pemberian” negara. Karena itu,
untuk
membangkitkan
(revitalisasi)
semangat
“republik
kecil”,
konsep
subsidiarity adalah jawabannya. Sebagai sebuah prinsip politik, subsidiarity
bukan sekadar berbicara tentang pembagian kewenangan ke unit pemerintahan
yang lebih rendah, melainkan berbicara tentang pengambilan keputusan dan
20
Ada pelimpahan sebahagian urusan dan kewenangan pemerintah kabupaten ke pemerintah
Nagari, contoh Kabupaten Solok melimpahkan 106 urusan dan kewenangan kepada pemerintah
nagari sesuai dengan SK Bupati No 16 tahun 2001.
14
penggunaan kewenangan secara mandiri oleh unit pemerintahan atau komunitas
yang paling rendah. Lokalisasi keputusan dan kewenangan pada pemerintahan
terendah ini membutuhkan jaminan legal dan fasilitasi dari struktur pemerintahan
yang lebih tinggi. Kalau subsidiarity berjalan, maka nagari – dalam beberapa hal - tidak perlu lagi “mohon petunjuk” atau “menunggu Perda” dari Kabupaten. (3)
demokrasi ala Minangkabau bisa dipahami secara lebih tepat dengan
menggunakan demokrasi komunitarian (komunitas) atau dalam nama lain ketika
saya akan menganalisa proses transisi demokrasi dimulai dari tahun 1903-200.
Demokrasi komunitarian
tidak sekadar berbicara tentang aturan main dan
prosedur pengelolaan kekuasaan (misalnya aturan tentang Trias Politica),
masyarakat sipil (civil society) dan pluralisme (terbuka, toleran, inklusif,
nondiskriminatif, dll).
Bab 4. Tujuan Penelitian.
Tujuan
dari
proposal
singkat
ini
sebenarnya
ingin
mengkonseptualisasikan proses transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di
Sumatera Barat yang dilakukan oleh elite baru politik minangkabau,
dan
mencoba menawarkan cara pandang yang lebih komprehensif tentang fenomena
sosial-politik masyarakat Minangkabau. Hal ini disebabkan karena dalam banyak
literatur dan pemikiran para ahli tentang Minangkabau, saya berasumsi bahwa
dinamika transisi demokrasi di nagari dipengaruhi oleh demokrasi dari Barat.
Keberadaan demokrasi barat inilah yang menyebabkan berbagai fenomena yang
berkembang dalam elite Minangkabau. Maka penelitian
ini secara khusus
diharapkan dapat menemukan model tentang bagaimana cara membaca proses
transisi demokrasi pada tingkat lokal pada nagari.
Bab 5. Metode Penelitian
Penelitian tentang transisi Demokratisasi lokal pada nagari di Sumatera
Barat merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Jenis dan
sumber data berupa data primer (melalui wawancara mendalam dengan aparatur
di pemerintahan nagari (Wali nagari, Badan Musyawarah Nagari, kerapatan Adat
nagari), tokoh-tokoh informal dalam nagari ( Ninik mamak, alim ulama, dan
Bundo kanduang ) dan Biro Pemerintahan Nagari Propinsi Sumatera Barat,
15
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Pemerintah Kabupaten
Solok (bagian Pemerintahan Nagari) Selain itu untuk membantu menjelaskan
masalah yang diteliti, penelitian ini juga mengunakan sumber tertulis (data
sekunder) seperti sumber dari arsip, dokumen pribadi, dokumen resmi, majalah
ilmiah, dan seterusnya.
Sedangkan unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
individu, dimana lebih difokuskan pada tokoh masyarakat (elite) yang duduk di
pemerintahan nagari dan elite yang berada diluar pemerintahan nagari serta
Stakeholder yang ada dalam pemerintahan. Untuk pengambilan informan dalam
penelitian ini digunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Oleh
karena penelitian ini ingin menemukenali proses transisi demokrasi lokal pada
nagari di Sumatera Barat, maka penggunaan teknik ini dianggap sesuai dengan
tujuan penelitian. Informan penelitian dipilih secara sengaja (purposive)
berdasarkan kedudukan mereka dalam nagari. Dengan demikian jumlah informan
pada akhirnya sangat ditentukan oleh kondisi lapangan. Untuk tokoh masyarakat
nagari yang nantinya akan memberikan penjelasan tambahan tentang pelaksanaan
demokrasi lokal pada pemerintahan nagari di Sumatera Barat
maka proses
penarikan informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowball dan berakhir
hingga pada titik jenuh tertentu dengan ditemukannya suatu pola yang berulang
atas jawaban dari pertanyaan yang diajukan ke informan tersebut.
Adapun lokasi penelitiannya adalah dengan kriteria yaitu: Nagari yang
terbentuk secara alami atau nagari yang sudah ada dulunya sejak zaman
penjajahan belanda dan kembali direorganisasikan melalui perda Propinsi
Sumatera Barat No 9/2000 jo No 2/2007 tentang pemerintahan nagari
dan
karakteristik masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat sebagai
identitas sosio kultur dalam kehidupannya, yaitu Nagari Jawi- Jawi.
Untuk menjaga keabsahan data maka dilakukan teknik triangulasi data
agar validitas dan reliabilitas terhadap data yang diperoleh tercapai. Sedangkan
untuk data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan prinsip metode kualitatf
deskriptif yaitu dengan mendiskripsikan data yang diperoleh dengan menelaah
seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Disamping perolehan data dari
pelaporan “on the spot”, data yang banyak tersebut juga harus direduksi dengan
16
jalan membuat abstraksi sebagai sebuah rangkuman yang inti. Di sini akan dicoba
mendiskripsikan bagaimana proses transisi demokrasi lokal pada pemerintahan
nagari di Sumatera Barat dan akhirnya terbentuk varian yang berbeda pada tiap
nagari melalui Analisis dilakukan berdasarkan pandangan-pandangan informan
(emik) yang sudah di validasi dengan menggunakan metode triangulasi.
Kesimpulan dari analisis yang dilakukan terkait pada gabungan data yang didapat
dari informan (emik) dan interpretasi peneliti (etic) terhadap data lapangan
tersebut.
Bab 6. Hasil dan Pembahasan
Proses Transisi Demokrasi Lokal
A. Proses Transisi pertama: Demokratisasi Lokal Sebagai Proses
Pembentukan Identitas politik di tingkat ”nagari”
Gelombang transisi demokrasi di Indonesia pasca reformasi telah
membawa perubahan dan kemajuan yang berarti, tetapi juga menyajikan banyak
problem dan tantangan konsolidasi serta menampilkan pergulatan antara warisan
masa lampau yang masih mengakar dengan ide-ide alternatif untuk pembaharuan.
Reformasi sistem pemerintahan yang dilakukan melalui proses desentralisasi
Indonesia menunjukkan dua kecenderungan. Pertama, proses pergeseran itu
cenderung dilihat sebagai persoalan ekonomi dan politik semata ketika identifikasi
persoalan dan pemecahan yang dilakukan cenderung mengabaikan dimensidimensi sosial budaya21. Kedua, reformasi sistem pemerintahan masih menjadi
konsep top-down yang proses pembagian otoritas politiknya masih didasarkan
pada konsepsi politik dan kemauan politik pemerintah pusat22. Namun demikian,
transisi demokrasi lokal secara bertahap dan pelan-pelan telah mendorong
tumbuhnya pemerintahan lokal yang semakin terbuka. Fenomena pergeseran dari
pemerintahan birokratis (bureaucratic government) ke pemerintahan partai (party
government) merupakan sebuah contoh hadirnya pemerintahan yang semakin
21
Perubahan ekonomi dan politik tidak hanya direduksi dengan cara yang begitu sederhana
sehingga mengabaikan dimensi sosial dan dimensi budaya dalam proses penciptaan suatu tatanan
yang lebih baik dalam Soedjatmoko. 1983. Dimensi Sosial Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Dan
Irwan Abdullah, 2003. Masalah Kebudayaan dalam Pembangunan. Dalam Humaniora, Vol.XV.
22
Dalam hal ini Otoritas lokal belum menjadi praktik aktual yang berlangsung secara dialogis
dalam hubungan pusat –daerah
17
terbuka. Demokrasi mengajarkan bahwa kekuasaan politik dalam pemerintahan
harus diorganisir melalui arena masyarakat politik, yakni “kompetisi” secara
terbuka di antara aktor politik dan “partisipasi politik” masyarakat sebagai
basisnya. Pemerintahan partai yang dibangun dari kompetisi dalam arena
masyarakat politik, secara teoritis akan membuat linkage antara masyarakat
dengan sistem politik.
Menurut
Dormeier-
Freire
dan
Maurer23
desentralisasi
bisa
diinterprestasikan dengan tiga cara yaitu: (1) sebagai delegasi tugas- tugas tertentu
sementara pusat masih menguasai tanggung jawab keseluruhan, yang bisa
dibandingkan dengan UU 1974; (2) dekonsentrasi, yang mengacu pada pergeseran
desicion making dalam negara terdesentralisasi, yang tercermin dalam Undangundang 1957; (3) devolusi yang menyangkut transfer kekuasaan secara aktual
ketingkat- tingkat pemerintahan yang lebih rendah dan ini di implementasikan
pada tahun 200124. Hal ini kemudian dipertegas dengan wawancara peneliti
dengan salah seorang informan di lokus penelitian
”...Ketika UU No 5/1974 merumuskan supremasi pusat atas
daerah- daerah, meskipun UU ini mendefenisikan propinsi dan
kabupaten sebagai tingkat yang otonom serta memunculkan
representasi bottom-up, dalam prakteknya pemerintah daerah tetap
melaksanakan pembangunan secara top-down, para administrator
daerah kenyataannya adalah agen- agen pusat. Dengan lahirnya UU
No22/1999 jo 32/2004 tenang pemerintahan daerah ditambah lagi
dengan menghidupkan kembali pemerintahan terendah yang berciri
khas lokal seperti nagari, mempunyai arti khusus bagi sumatera
barat dimana devolusi kekuasaan yang substansial telah membawa
pemerintah kembali dekat dengan rakyat untuk menyodorkan
transparansi yang lebih besar...”25 (daftar wawancara terlampir)
Berdasarkan hasil analisis peneliti
UU No 22 tahun 1999 jo 32 tahun
2004 telah menghidupkan kembali proses transisi demokrasi, desentralisasi dan
devolusi
yang dulu terhenti di akhir tahun 1950-an, karena otonomi baru
diletakan pada tingkat kabupaten dan kota, kekuasaan propinsi seakan- akan telah
Alexandre Frere Dormeire dan Jean- Luc Maurer. 2002. ’Le Dilemme de la decentraloization en
Indonesie’, Archipel. dalam politik lokal di Indonesia. 2007. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Hal 16.
24
Untuk kasus Sumatera Barat sendiri adalah mengembalikan struktur pemerintahan terendah dari
desa menjadi nagari
25
Wawancara dengan Bupati Solok pada tanggal 19 Mai 2009
23
18
dilucuti. Ketika dipandang dari perspektif ini transisi demokrasi lokal,
desentralisasi dan devolusi menjadi sebuah strategi devide-et-impera dari pusat,
yang ditujukan kepada kabupaten dan kota dengan tujuan memungkinkan kembali
terjadi fragmentasi admnistratif sekaligus tetap mempertahankan kontrol fiskal di
pusat.
Dalam konteks demokrasi lokal bahwa makin besar otonomi suatu
pemerintah daerah, baik dalam arti kewenangan membuat keputusan maupun
kewenangan keuangan, akan makin besar pula derajat proses politik yang khas
lokal (local politics) Terkait dengan proposisi tersebut, maka peneliti mengambil
sebuah generalisasi bahwa: Pertama, makin besar otonomi lokal, makin besar
proses transisi demokrasi dan politik lokal yang khas daerah. Kedua, makin intesif
peran elit masyarakat, makin berkembang dinamika sosial politik di daerah yang
bersangkutan. Ketiga, makin dinamis proses demokratisasi maka makin dinamis
pula perkembangan politik lokal di daerah.
Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang No.32 tahun 2004
tentang pemerintah daerah merupakan peluang yang luas untuk melakukan proses
transisi demokrasi di tingkat lokal. Selain itu, pembuatan dan penegakan berbagai
peraturan untuk mencapai perubahan sosial dalam masyarakat akan melibatkan
berbagai pihak seperti legislatif, eksekutif dan birokrasi, elit politik dan ekonomi,
kelompok-kelompok kepentingan dan masyarakat. baik melalui perumusan dan
pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur wilayah otonominya. Sepintas
lalu peran pemerintah pusat tinggal seperti negara penjaga malam 26, daerah
mempunyai otonomi dalam hubungannnya dengan pekerjaan umum, pendidikan
dan kebudayaan, pemeliharaan kesehatan, pertanian, perhubungan, industri,
perdagangan, invertasi, masalah- masalah lingkungan, tenaga kerja, koperasi dan
tanah27. Tetapi upaya untuk memahami sifat dari sebuah transisi demokrasi salah
satunya menurut analisa penulis yaitu mencermati pengaturan fiskal, ketika UU
No 22/1999 jo UU. 32/2004 memfasilitasi sebuah devolusi kekuasan, UU No
25/1999 jo UU No 33/2004 tentang perimbangan antara keuangan pusat dan
26
Sisa tanggung jawab yang hanya segelintir termasuk pertahanan dan keamanan nasional,
kebijakan luar negeri, masalah- masalah fiskal dan moneter, perencanaan ekonomi –makro,
sumber- sumber alam, kehakiman dan agama
27
Henk Schute Nordholt dan Gerry Van Klinken. 2007. Politik lokal di Indonesia. Op. Cit. Hal 18.
19
daerah, masih mempunyai sifat sentralistis. Ini mengisyaratkan pemerintah pusat
masih tetap mempertahankan cengkramannya pada sumber- sumber utama
pendapatan daerah. Jadi apa yang sebenarnya terjadi untuk sebuah demokratisasi
lokal di indonesia adalah sebuah desentralisasi kekuasaan administratif yang
disubsidi secra besar- besaran oleh pemerintah pusat28.
Transisi demokrasi lokal dalam wujud desentralisasi ”nagari” merupakan
kebijakan negara yang dibutuhkan untuk mendukung otonomi nagari. ketika
nagari berada dalam formasi negara. Prinsip dasar transisi demokrasi adalah
pengakuan negara terhadap eksistensi nagari
(sebagai kesatuan masyarakat
hukum atau sebagai local self-government), yang kemudian diikuti dengan
pembagian kekuasaan, kewenangan, sumberdaya dan tanggungjawab kepada
nagari . Untuk membuat desentralisasi nagari bekerja, mau tidak mau, harus
dimulai dari upaya membuat struktur pemerintahan secara nonhirarkhis.
”... Indonesia sejak dulu mewarisi struktur pemerintahan tersusun
secara hirarkhis ketika kesatuan hukum masyarakat lokal
diintegrasikan ke dalam formasi negara. Formasi negara sudah
tersusun secara hirarkhis (pusat, provinsi, kabupaten dan desa
pada waktu memakai UU No 5/1979) sehingga menghilangkan
struktur self-governing community. Hirarkhi itu adalah realitas.
Dalam memformulasikan otonomi nagari, kita tidak bisa
berangkat dari titik nol, melainkan memperhatikan level (jika
bukan diterima sebagai hirarkhi) pemerintahan yang sudah ada:
pusat, provinsi, kabupaten dan nagari. Provinsi dan
kabupaten/kota yang menjadi sentrum pembicaraan tentang basis
otonomi daerah/nagari tentu tidak bisa saling meniadakan dan
juga tidak bisa memandang sebelah mata terhadap nagari, yang
konon mempunyai “otonomi asli” dan self-governing community
jauh lebih tua ketimbang provinsi dan kabupaten. Apalagi nagari
merupakan basis kehidupan yang paling dekat dengan
masyarakat...”29
28
Kriteria distribusi sumber- sumber dana unutk pemerintah kabupaten dan kota sangat kompleks
semuanya tergantung pada besarnya populasi, tingkat kemiskinan, kondisi geografis dan indeksindeks harga.
29
Wawancara dengan kepala Biro pemerintahan Nagari pada Tanggal 5 Mai 2009.
20
B. Proses Transisi kedua : menciptakan ”Negara demokratis baru” Cara
Pandang Awal Membangun Kehidupan Bernagari
Negara demokratis baru adalah sebuah negara yang ideal, terbuka dimana ada
sebuah desentralisasi dan sebuah devolusi.30 Elemen dasar dari negara demokrasi
baru menurut Giddens adalah Devolusi, pembaharuan ruang publik --- transparasi,
efisiensi administrasi, mekanisme demokrasi langsung, pemerintah sebagai
pengelola resiko
Giddens31 menjelaskan bahwa heterogenitas itu sendiri bukan merupakan
suatu halangan. Ia merupakan bagian terpenting yang tak dapat dipisahkan dari
makna “bangsa kosmopolitan” yang sesungguhnya. Kehadiran masyarakat dalam
wilayah publik yang terbuka merupakan bagian dari perluasan arena gerakan
rakyat dengan cara ikut berpartisipasi di dalam pembentukan kebijakan daerah
sebagai upaya penguatan basis lokal. Penguatan basis lokal tersebut diharapkan
bisa mengubah taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Oleh sebab
itu, bagaimana menggunakan pintu pemberian otonomi daerah ini menjadi titik
masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat. Sementara pertumbuhan otoritas
pemerintah pusat yang disejajarkan dengan pemerintah lokal untuk melakukan
stabilitas ekonomi dan politik serta meningkatkan partisipasi dalam program
pembangunan.
Penulis memakai skema yang dibuat oleh giddens untuk menjelaskan
bagaimana bentuk negara demokrasi baru yang dikonsepsikan, dapat menjelaskan
sebuah kerangka berpikir dalam mempelajari sebuah demokratisasi lokal pada
tingkat nagari di Sumatera Barat.
30
Anthony Giddens. The Third Way The Renewal Of Social Democracy.published in the USA by
Blakwell Publisher Ltd. : 350 Main Street Malden, MA 02148. USA. (terj: Jalan ketiga
Pembaharuab demokrasi social. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1999. hal 89.
31
Anthony Gidden. 2000. Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya
Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka.
21
Gambar 1
Nation –State And Violence Berdasarkan Konsepsi Giddens32
Gerakan kebebasan
berbicara
Gerakan buruh.
Gerkan perdamaian
Gerakan ekologi
Kebudayaan kounter
Dalam konsepsi ini giddens menjelaskan bahwa negara mempunyai
sebuah kepentingan yang otonom dari para kapitalis dalam menjalankan
pengawasan atau surveillance. Yang digaris bawahi dalam pemikiran Giddens ini
bahwa di dunia ini muncul aneka gerakan dan gerakan tersebut mempunyai usul
yang berbeda. Konsep ini diterapkan untuk menerangkan perbedaan masyarakat
dan kepentingan yang mendasarinya. Giddens tidak percaya bahwa perubahan
kearah masyarakat yang lebih adil dapat dicapai dengan meningkatkan peranan
negara33. Sehingga untuk menciptakan sebuah bentuk negara yang lebih
demokratis harus diterapkan sepenuhnya sebuah konsep desentralisasi dan
devolusi34.
Konsepsi pemikiran giddens tentang nation-state and violence ini
kemudian penulis kembangkan dalam bentuk kerangka berpikir baru yaitu:
Gambar 2
Nation-State And Violence “Nagari”
Demokratisasi lokal
Nagari
Gerakan
masyarakat minang .
Gerakan perdamaian
Gerakan ekologi
Budaya minangkabau
LKAAM
32
Ibid hal xiv
Ibid hal xviii
34
Ibid. Hal 89.
33
22
Penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan UU No 5/1979 yang
telah menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa
secara nasional, dalam kenyataannya telah menyebabkan kesulitan dan
permasalahan dalam sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Sumatera
Barat. Ketika UU No 22/1999 masih dalam bentuk draf dan sesuai dengan
momentuk reformasi masyarakat sumatera barat melakukan sebuah gerakan
menuntut pemerintah pusat untuk menghapus pemerintahan terendah dalam
bentuk desa dan menggantikannya dengan nagari. Deskripsi dari nation- state
violence ” nagari” dijelaskan dalam pointer dibawah ini: (1) gerakan ekologi
pertama yang dilakukan masyarakat minang adalah dengan menguji pandangan
elite dan tokoh masyarakat dengan melakukan jajak pendapat secara serentak
mengenai kemungkinan pengembalian pemerintahan desa kepada pemerintaha
nagari; (2) pada tanggal 15 desember 1998 di bentuklah tim elite yang terdiri dari
tokoh masyarakat, ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, untuk melakukan
pengkajian dengan mengambil beberapa nagari lama yang dijadikan sampel
pengembalian pemerintaha desa ke nagari (3) jajak pendapat dilakukan pada
bulan desember 1998- februari 1999 dengan hasil pengembalian pemerintahan
desa ke nagari oleh seluruh masyarakat, dan ditolak oleh para kepala desa. (3)
salah satu bentuk gerakan ekologi yang lain adalah dibentuk sebuah musyawarah
kerja Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dan membuat
sebuah rekomendasi agar sistem pemerintahan desa dirubah menjadi nagari serta
menghidupkan kembali konsep desentralisasi serta devolusi kepada nagari sebagai
unit pemerintahan terendah.
Devolusi dan kekuasaan dalam bagian sebuah negara demokrasi baru di
sumatera barat disahkan pada tanggal 16 Desember 2000, yang diiringi juga
dengan desentralisasi kewenangan dalam bentuk pemerintaha kabupaten
menyerahkan sebahagian kewenangan dan tugasnya kepada pemerintahan nagari35
dan menghidupkan kembali eksistensi KAN sebagai lembaga yudikatifnya nagari.
35
Ada pelimpahan sebahagian urusan dan kewenangan pemerintah kabupaten ke pemerintah
Nagari, contoh Kabupaten Solok melimpahkan 106 urusan dan kewenangan kepada nagari sesuai
dengan SK Bupati No 16 tahun 2001.
23
C. Proses transisi ketiga: Pergeseran Perubahan Pemerintahan Desa Ke
Nagari Termasuk lembaga nagari dan komunitas elite nagari
C.1 . Republik Nagari (wali nagari, BMN dan KAN ) dengan dua
sistem keselarasan36
Historiografi, etnografi, dan adat minangkabau selalu menekankan bahwa
nagari adalah kesatuan sosial utama yang dominan yang menjadi ciri khas
masyarakat Minangkabau. Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat
yang otonom, dan merupakan sebuah republik mini dengan teritorial yang jelas
bagi anggota- anggotanya. Mempunyai pemerintahan sendiri dan mempunyai adat
sendiri yang mengatur tata kehidupan anggotanya37.
Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa nagari di Minangkabau
merupakan persekutuan hukum yang berdasarkan teritorial maupun geneologis.
Suatu nagari mempunyai batas wilayah kekuasan tertentu dan harus terdiri dari
minimal 4 suku dasar berdasarkan geneologis ( koto, piliang, bodi dan chaniago).
Sebagai suatu persekutuan hukum, nagari merupakan sebuah persekutuan yang
terlengkap susunan pemerintahannya, sehingga Charul Anwar38 mengumpamakan
sebagai suatu kesatuan kenegaraan , sebuah negara kecil. Dalam sistem
pemerintahan nagari inilah, seperti yang dikemukan oleh Soejono Soekanto dan
Taneko39 disebut adanya dua sistem yaitu bodi Chaniago dan Koto Piliang.
Secara tradisional pemimpin dalam masyarakat minangkabau adalah
penghulu. Penghulu biasanya berhak dan memiliki hak istimewa dan khusus
(privilige) untuk menjadi pemimpin sebuah nagari. Penghulu dalam memimpin
nagari berada dalam kelembagaan kolektif yang biasa dikenal dengan kerapatan
Adat. Atau kerapatan Adat Nagari. Mereka secara kolektif kelembagaan
memimpin nagari Minangkabau bersama dengan alim ulama dan cerdik pandai
yang tergabung dalam tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan. Untuk
menjalankan sistem pemerintahan nagari, tradisi sosial politik nagari yang berlaku
secara adat berdasarkan (1) lareh koto piliang, (2) lareh Bodi Caniago.
36
Sistem keselarasan merupakan sebuah sistem pemerintahan adat yang ada di minangkabau
Prof. Imran Manan, MA, Phd. Tulisan ini di sarikan dari Minangkabau pra- kolonial dalam
Nagari Dalam Perspektif Sejarah. Lentera 21. hal 3
38
Chairul Anwar . (1997). Hukum Adat Indonesia, Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Jakarta:
Rineka Cipta. Hal 24
39
Soerjono Soekanto dkk. (1986). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali. Hal 25.
37
24
Dari kedua sistem diatas aspek yang sama pengertiannya adalah bahwa
penghulu sama dengan kepala atau pemimpin adat. Penghulu dapat dikatakan juga
sebagai pemimpin masyarakat Minangkabau. Seorang penghulu memiliki
persyaratan yang substansial yaitu: ” lubuk akal, lautan budi, tahu diadat dan
pusako, tahu menimbang sama berat, tahu mengagak, mengagihkan” ( sumber
akal dan budi, mengerti adat istiadat dan bersikap adil.40 Penghulu dengan
demikian dianggap sebagai pelindung dan pemimpin rakyat dalam arti
sebenarnya.
Pengakuan secara yuridis terhadap nagari sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat di Minangkabau, terutama sejak berlakunya UU No 5 tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa, adalah dikeluarkanya peraturan pemerintah daerah
Propinsi (Perda Dati 1) Sumatera Barat No 13 tahun 1983 tentang nagari sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Daerah tingkat 1 Sumatera Barat
yang lebih dikenal dengan Perda 13.
Menunjuk kepada persyaratan yang harus dipenuhi untuk adanya kesatuan
masyarakat hukum adat, maka sebagai suatu persekutuan, nagari agaknya sangat
memenuhi syarat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat yang otonom.
Peryataan ini dapat juga dilihat dari esensi yang terkandung dalam UU nagari
seperti yang dikutip oleh A.A. Navis41 dan M. Nasroen42
Secara historis, republik nagari
dilakukan oleh sebuah dewan yang
disebut sebagai Rajo Tigo Selo (raja tiga sila) dengan batas kekuasaan yang
dijelaskan sesuai dengan panggilan mereka;
1. Rajo Alam Nan Dipatuan, berkedudukan di pagaruyung yang
merupakan penguasa tertinggi.
2. Rajo Adat, berkedudukan di Buo bertugas di bidang adat.
3. Rajo Ibadat, berkedudukan di supur kudus, bertugas dibidang agama.
Ketiga penguasa ini dibantu oleh suatu dewan pemerintahan yang
disebut sebagai Basa Ampek balai dengan pimpinan Bandaharo dengan batasbatas kewenangannya:
40
Ibid . hal 26.
M.Nasroen. 1971. Dasar Falsah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang. Hal 136
42
A.A. Navis .1984. Alam Takambang Jadi Guru, Adapt Dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta:
PT Graviti Perss. Hal 194.
41
25
1. Bandaharo, berkedududkan di Sungai Tarab, memegang urusan adat
2. Pandito(Tuan Kadi), berkedudukan di padang ganting, memegang
urusan agama.
3. Mengkudum, berkedudukan di Sumanik memegang urusan keamanan.
4. Indomo,
berkedudukan
di
Saruaso
yang
memegang
urusan
perekonomian
Bandaro dibantu oleh Manti ( pencatat atau sekretaris ), panglimo di bantu oleh
dubalang dan kadi di bantu oleh imam bilal, chatib. Tiap putusan yang diambil
baik ditingkat kampung , kaum suku maupun nagari dilakukan secara
musyawarah. Musyawarah ditingkat nagari disebut sebagai kerapatan nagari, yang
merupakan lembaga kekuasaan tertinggi dalam nagari. Pengambilan keputusan
tersebut berdasarkan alur dan patut, alur adalah kosepsi adat yang telah diakui
secara umum, sedangkan patut adalah penerapan melalui ruang dan waktu.
Sistem pemerintahan nagari seperti yang dideskripsikan di atas
eksistensinya telah berubah, oleh sistem pemerintahan nasional terutama sejak
berlakuknya UU No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan
desa, yang
menghapuskan pemerintahan nagari sebagai tingkat pemerintahan terendah
dibawah kecamatan.
C.2. Bentuk Intervensi Negara Terhadap Nagari
Tabel 2
Bentuk Intervensi Negara Terhadap Nagari Yang Tertuang Dalam
Peraturan Perundang-Undangan Sejak 1903 - 2007 Tentang Pemerintahan
Nagari43
No
Tahun
1
Tahun 1903
mengeluarkan Decentralisatiwed (staatsblaads no. 329/1903)
yang memberikan peluang terbentuknya satuan pemerintahan
yang mempunyai keuangan sendiri, Penyelenggaraan
pemerintahan diserahkan pada “ Raad” atau dewan masyarakatmasyarakat daerah.
Tahun 1905
Decentralisatiebesliwet (staatsblaad no. 137/1905) dalam hal ini
pemerintah daerah tidak punya kewenangan, dewan daerah hanya
berhak membentuk peraturan setempat yang meyangkut hal-hal
yang belum diatur oleh pemerintah kolonial, pengawasan
pemerintahan setempat dilaksanakan sepenuhnya oleh GubernurGeneral Hindia Belanda di Batavia.
2
Bentuk intervensi negara.
43
Roni Ekha Putera. 2006. Modul Matakuliah Sistem Pemerintahan Desa dan Nagari. Padang:
Fisip Universitas Andalas.
26
3
Tahun 1922
UU baru Wet op de Bestuurshervormin (Staatsblaads no.
216/1922) dibentuk sejumlah provincie, regentschap,
stadsgemente dan groepmeneenchap
4
Tahun 1931,
Inlandsche Gemeente Ordonientie Buitengewesten/IGOB
(staatsblaads no. 356/1941), undang-undang ini tidak sempat
diselenggarakan karena terjadinya perang Dunia II
Ada beberapa hal yang perlu diketahui dari pelaksanaan
IGOB:
5
Osamu Seire
No. 27 tahun
1942
6
Tahun 1946
7
Tahun 1950
 Pemerintah Nagari dijalankan oleh kepala Nagari
 Anggota dewan perwakilan anak Nagari terdiri
dari fungsionaris adat yang diakui oleh penjajah
(Kerapatan Adat Nagari)
 Kewenangan dimiliki oleh Kerapatan Adat
Nagari dalam pemerintahan adat
 Keputusan diambil dengan suara bulat/mufakat
 Landasan hukum adalah hukum adat yang tidak
tertulis
yang mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah. Misalnya
Jawa dibagi dalam Syuu (yang dikepalai oleh Syuu Tyookan),
Syuu dibagi menjadi Ken (yang dikepalai oleh Kentyoo), Ken
dibagi menjadi Si (yang dikepalai oleh Sintyoo), sedangkan
daerah khusus disebut Tokubetusi (yang dikepalai oleh Tokobetusi
Sityoo). Pada masa ini pemerintahan provinsi dibuang dan
penyebutan daerah otonom pada masa Jepang ini merupakan
sesuatu yang menyesatkan.
maklumat Residen Sumatera Barat No. 20 dan 21 tentang
perubahan dalam susunan kelembagaan Nagari (Wali Nagari,
DPN, DHN).
Isi dari maklumat Residen;
 Pemerintahan Nagari dijalankan oleh wali Nagari
bersama DHN (dewan Harian Nagari)
 Keanggotaan BPN dipilih langsung oleh rakyat
disebut DPN (Dewan Perwakilan Nagari)
 Dalam hal kewenangan, yang berkaitan dengan
pemerintahan diurus oleh DPN dan urusan adat
yang diurus KAN
 Keputusan diambil dengan suatu terbanyak
 Landasan hukum adalah hukum negara
Perda Propinsi Sumatera Tengah No. 5/G.P/1950. Dalam perda
ini pemerintahan Nagari diganti menjadi pemerintahan wilayah.
Hal yang menarik dari perda ini adalah dilakukannya sosialisasi
perda, dimana Nagari yang berdekatan bergabung menjadi satu
Nagari yang otonom (wilayah). Yang dipimpin oleh kepala
wilayah yang diangkat dan diberhentikan oleh gubernur. Dengan
konsekuensi DPN dan DHN dihapuskan dan wali Nagari dari
masing-masing Nagari bergabung menjadi tepatan wilayah yang
dipimpin oleh wali tepatan.
Kendalanya adalah pembentukan wilayah berotonomi
kurang didukung dengan faktor sosialisasi politik dan sosialisasi
budaya dan tidak mempertimbangkan Nagari sebagai satu
kesatuan wilayah pemerintahan dan komunitas suatu masyarakat.
27
8
Tahun 1954
9
Tahun 1955
10
1958
11
1959
12
1962
Peperda No. Prt/Paperda/01/4/1962
pemerintahan Nagari
13
1963
14
1968
Keputusan Gubernur Sumbar No. 02/GSB-Prt/1963 tentang
Nagari dan pemerintahan dalam provinsi. Susunan pemerintahan
Nagari adalah kepala Nagari, badan musyawarah Nagari,
musyawarah gabungan, alat-alat perlengkapan Nagari (Pamong
Praja, Panitera Nagari, dan Pegawai Nagari)
Keputusan Gubernur sumbar No. 015/GSB/1968 tentang pokokpokok pemerintahan Nagari dalam daerah Provinsi Sumbar.
Susunan Pemerintahan Nagari (wali Nagari, DPRN, Kerapatan
Nagari, Penasehat Pemerintahan Nagari).
Keputusan Gubernur Sumbar, No. 155/GSB/1974 tentang pokokpokok pemerintahan Nagari, No. 156/GSB/1974 tentang
Kerapatan Nagari, No. 157/GSB/1974 tentang tata cara pemilihan
Wali Nagari.
Dalam surat keputusan tersebut konsep Nagari sebagai
kesatuan masyarakat hukum yang merupakan bentuk
pemerintahan terendah di Sumbar tidak berubah. Dari semua
peraturan/keputusan hanya satu keputusan/peraturan yang tidak
menghormati hak asal-usul Nagari adalah Perda Provinsi
Sumatera Tengah No. 50/GP/1950 yang menghapuskan
pemerintahan Nagari dan KAN.
Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan
pemerintahan dasar dari negara Republik Indonesia yang tertentu
batas-batas wilayahnya, mempunyai harta benda sendiri, berhak
mengatur rumah tangganya dan memilih penguasanya.
15
1974
dikeluarkannya petunjuk pelaksana sistem pemerintahan Nagari
oleh MENDAGRI no. DDX/5/1/2 tanggal 17 februarai 1954
Keputusan Gubernur Sumatera Tengah No. 2/6/1955, tentang tata
cara pembentukan DPRN sebagai penggaanti kerapatan Nagari
menurut IGOB di jaman Penjajah.
Hal yang menarik dari pelaksanaan keputusan di atas adalah
adanya situasi yang tidak kondusif untuk melaksanaklan
keputusan gubernur tersebut. Alasan berakibat pada; (1)
pemilihan DPRN dan wali Nagari bersamaan waktunya dengan
persiapan pemilu pertama bangsa kita, karena sistuasi politik
sedang meninggi yang terlaksana hanya pemilihan wali Nagari
saja. Alasannya; kedudukan wali Nagari menjadi rebutan diantara
parpol yang ada di Nagari, sehingga menjadi terkotak-kotak. (2)
kepemimpinan mereka hanya diterima sebagai hasil agitasi tidak
berdasarkan kharismatik sebagaimana yang ada dalam
masyarakat.
keputusan Gubernur KDH Tk I Sumbar No. GSB/I/KN/ 1958
tentang pemilihan, penunjukan, pemberhantian dan perwakilan
Nagari dalam daerah.
Perda No. 32/1959 tentang susunan kerapatan Nagari dan cara
pembentukannya. Kerapatan Nagari terdiri dari penghulupenghulu, laim ulama, cerdik pandai yang kedudukannya sangat
penting dalam pemerintahan Nagari.
tentang
penertiban
28
16
1979
UU No. 5 Tahun 1979 tentang pokok-pokok pemerintahan desa.
17
1981
Perda No.7 Tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan,
penyatuan, dan penghapusan desa dalam provinsi. Daerah Tk I
Sumbar (mengacu pada instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4
Tahun 1980. dalam hal ini yang dijadikan desa berkaitan dengan
besarnya jumlah Inpres bantuan pembangunan Desa yang akan
diterima.
18
1983
19
1983
20
1999
Surat keputusan Gubernur Sumbar No.162/G.SB/1983,
menyatakan bahwa terhitung 1 Agustus 1983 seluruh jorong yang
merupakan bagian dari Nagari Nagari dinyatakan sebagai desa
baru.
Perda No. 13 Tahun 1983 tentang Nagari sebagai kesatuan
masyarakat hukum adat dalam provinsi Sumbar (terdapat
dualisme/dua sisi mata uang). Desa sebagai pemerintahan
terendah secara nasional seluruh Indonesia dan Nagari tetap
terjamin eksistensinya.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah
21
2000
22
2007
Tentang Pemerintahan Nagari, disini Nagari dalam
pelaksanaannya lebih difokuskan Perda No. 09 Tahun 1999 yaitu
bagaimana caranya memfungsikan Nagari sebagai basis Otonomi
daerah (pasal III UU No. 22 Tahun 1999, pasal 16,17 Perda) yaitu
dengan cara;
 Penegasan penyelesaian pembentukan Nagari yang
diawali dengan keputusan bupati tentang Nagari, Tata
cara Pemilihan Wali Nagari, BPN, KAN, MTTS
 Mengatur tata hubungan pemerintahan Nagari dengan
camat, kabupaten dan provinsi.
Revisi perda No 9/2000 menjadi perda No 2/2007 tentang
ketentuan pokok pemerintahan nagari. Dengan mempertegas
hubungan dan pola pertanggungjawaban walinagari kepada
camat sebagai atasan langsug dari wali nagari.
D. Nagari jawi- jawi dalam proses transisi nya dijadikan sebagai
komunitas elite dan lembaga di nagari
Secara adminitratif nagari jawi- jawi, kecamatan gunung talang terdiri atas
empat jorong, yaitu jorong bali oli, pakan jumat, pinang sinawa, tangah padang.
Sebelum ada intervensi negara terhadap pemerintahan terendah di Sumatera Barat,
nagari jawi- jawi di atur oleh dua model sisten demokrasi yang dinamakan
lambah44 yaitu:
1. Lambah jawi- jawi diatur oleh Dt. Tanbasa, bersuku caniago
dengan ”empat jinihnya”
44
Lambah sebuah system demokrasi yang ada dalam nagari jawi- jawi
29
2. lambah koto gaek bintungan , yang dipimpin oleh Dt. Bandaro,
dengan ”empat jinihnya”.
Setelah ada intervensi negara pada masa berlakunya UU No 5/1979 dua
model sistem demokrasi balai ini tidak berlaku lagi dan digantikan dengan
pemerintahan desa.
Ketika pemerintahan desa di hapus dan diganti dengan
pemerintahan nagari, nagari jawi- jawi termasuk dari sekian banyak nagari yang
ada di kabupaten solok yang menghidupkan kembali sistem demokrasi lambah,
dengan segala bentuk pelaksanaannya, dan ini lah yang akan mejadi sebuah ciri
khas variasi demokrasi yang akan peneliti bahas dalam bab selanjutnya .
Kalau dilihat dari kondisi geografisnya nagari jawi- jawi, sebelah utara
berbatasan dengan nagari cupak, selatan berbatasan dengan nagari koto gadang,
sebelah barat berbatasan dengan kota padang, dan sebelah timur berbatasan
dengan nagari koto gadang. Dengan luas nagari 2400 Ha, dan jumlah penduduk
2481 jiwa (1286 laki- laki, 1495 perempuan ). Nagari jawi- jawi adalah sebuah
nagari tiga serangkai dengan nagari batang barus dan koto gaek guguk, tetapi
perbedaannya disini, proses pembentukan nagari menjadi pemerintah terendah
tidak begitu banyak intervensi pemerintah daerah didalammnya, dibandingkan
dengan nagari batang barus.
Ketika terjadi model “integrasi antara adat dan desa” atau terjadi
peleburan antara desa dan adat di Sumatera Barat sejak tahun 2000 dengan
menggabungkan (integrasi) desa negara dengan adat nagari menjadi satu wadah
tunggal nagari45, Nagari jawi-jawi sudah
mengenal pembagian kekuasaan
berdasarkan Trias Politica: eksekutif (pemerintah nagari), legislatif (badan
musyawarah nagari ) dan yudikatif (kerapatan adat nagari maupun majelis adat
dan syarak) yang bertugas menjadi instusi peradilan lokal (penyelesaian konflik
lokal, bukan pidana) dan badan pertimbangan kepada eksekutif dan legislatif agar
kebijakan nagari tetap sesuai dengan adat dan agama, sesuai dengan adat
setempat, kepemerintahan dan kepemimpinan nagari bertumpu pada tigo
45
Sebelumnya ada dualisme antara pemerintah desa negara dengan adat nagari (dan adat
mengalami marginalisasi), maka sekarang terjadi integrasi ke dalam nagari, sehingga nagari
tumbuh menjadi the local state. Tetapi sekarang Nagari kini menggabungkan antara skema local
self government dan self governing community, atau menegakkan prinsip tali tigo sapilin, tungku
tigo sajarangan (negara, agama dan adat).
30
sajarangan (ninik mamak, cerdik pandai dan alim ulama), yang sekarang
ditambah unsur bundo kanduang dan pemuda, seperti yang tergambar dalam
bagan dibawah ini
Gambar 3
Skema Trias Politica Pada Nagari Jawi- Jawi Di Kabupaten Solok46
Masyarakat nagari
(1) Aspirasi &
Kebutuhan
(3) Penyepakatan
(2) Konsultasi dengan
KAN (yudikatif)
(1) Aspirasi &
Kebutuhan
Pemerintahan nagari
sebagai eksekutif
(4) Pengesahan dalam
bentuk peraturan nagari
BMN
(Legislatif)
D.1. Wali nagari dengan pemerintahan nagarinya (eksekutif)
Dalam melaksanakan tugasnya, perangkat pemerintah Nagari menerapkan
prinsip-prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi. Dimana Sekretaris Nagari
46
Nagari yang baru mempunyai sederet kewenangan yang lebih jelas dan alokasi dana untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kewenangan
nagari antara lain mencakup kewenangan administratif, mengontrol tanah ulayat, pasar, tata ruang
nagari, dan seterusnya. Keputusan untuk investasi di nagari, misalnya, tidak diputuskan secara
sepihak oleh kabupaten, melainkan keputusan pertama terletak pada negari. Gerakan "kembali ke
nagari" mungkin terlalu berlebihan, yang terjadi sekarang adalah menciptakan kembali
(recreating) nagari, karena struktur nagari tidak lagi seperti "republik kecil" di zaman dulu. Format
nagari sekarang telah berubah mengikuti pemikiran, semangat dan perubahan baru; dan yang lebih
penting nagari "diatur" oleh Propinsi dan Kabupaten. Konsekuensinya, nagari tidak sepenuhnya
otonom, melainkan harus mengikuti regulasi yang dibuat oleh negara. Gerakan Kembali ke nagari,
bukan hanya sekedar kembali dan berimajinasi, bagaimana ‘nagari’ purba dahulu dijalankan. Tapi,
kembali berarti menuju nagari dalam bentuk baru namun tak tercerabut dari nilai-nilai sejarahnya.
Karena bagaimana pun sejarah dan betuk kehidupan selalu berubah. Makanya ‘nagari’ hari ini
berada pada persimpangan jalan. Akankah nagari diformat ulang atau malah mendandani nagari
dengan baju lamanya dahulu? Dalam locus inilah, penulis melihat ada sebuah bentuk kekuasaan
negara yang diadosi oleh nagari dalam bentuk triaspolitica nagari.
31
bertanggung jawab kepada wali Nagari dan Kepala-kepala seksi bertanggung
jawab kepada wali melalui sekretaris Nagari, serta Kepala jorong bertanggung
jawab kepada wali Nagari
Gambar 4
Struktur Pemerintahan Nagari Jawi- Jawi Guguk.
Wali nagari
Ady Gaffar, SE
Sekretaris nagari
Ismail
Kasi pemerintahan
Syafni helda
Jorong balai oli
lasperman
Kasi trantib
asral
Jorong pakan jumat
armitos
Kasi pembangunan dan
Keuangan
Rosmelita. S.Sos
Jorong tangah padang
alamsir
Jorong pinang sinawa
Jamilus. B
Sumber: data primer tahun 2009.
“... menjelaskan figur-figur yang akan menjadi wali nagari
mungkin tidak dari penghulu, tidak usah bernostalgia, tokoh yang
diharapkan pasti ada, tetapi saat ini belum muncul kepermukaan
bisa ditentukan atau bisa saja pegawai negeri tapi harus dipilih
langsung oleh masyarakat jangan ditetapkan oleh pemerintah
kabupaten kalau seandainya wali nagari itu PNS...”47
Berdasarkan tugas dan fungsi dari wali nagari dengan melihat
pelaksanaannya pada nagari jawi- jawi peneliti melihat ada beberapa faktor yang
tidak bisa dihindari dan harus dipertimbangkan untuk kelancaran Pemerintahan
Nagari yaitu faktor pertama yaitu masalah adminstratif Nagari, untuk kembali
kepada Pemerintahan Nagari masalah urusan administrasi baik yang dilakukan
oleh pemerintah maupun yang akan dilalui oleh masyarakat harus ditujukan untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan Nagari dengan
birokrasinya tidak mempersulit masyarakat dan tidak berbelit, untuk membenahi
masalah administarsi Pemerintahan Nagari perlu bersinergi dengan KAN dan
BMN serta pemerintah kabupaten atau propinsi. Oleh sebab itu hambatan yang
menghadang terciptanya Pemerintahan Nagari adalah banyaknya peraturan
perundang-undangan yang harus dihilangkan atau direvisi serta berusaha untuk
membersihkan sisasisa isme pemerintahan desa. Faktor kedua adalah ekonomi,
merupakan faktor yang sangat vital dalam kehidupan manusia, baik sebagai
47
Wawancara dengan Ketua KAN Nagari Jawi- jawi pada Tanggal 6 Mai 2009.
32
pribadi maupun sebagai anggota kelompok. Tanpa faktor ekonomi ini masyarakat
atau negara tidak akan mampu mencapai tujuan. Faktor ini merupakan faktor yang
sangat penting dalam rangka menciptakan otonomi daerah, melihat sumber daya
alam pada nagari jawi- jawi sangat minim, tetapi hak ulayat nagari masih dikuasai
oleh Nagari, jangan sampai terjadi ulayat nagari dikuasai oleh negara atau oleh
sekelompok orang.
”...Hidup bernagari juga harus ditopang dengan institusi sosial
yang mapan, yang bisa dipandang sebagai sosial kapital dalam
Pemerintahan Nagari yang disebut sebagai hak-hak ulayat,
tetapi sejak berlakunya UU No. 5/1979 bahkan jauh sebelum
itu UU No. 5/1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria,
hak-hak ulayat masyarakat "desa" sudah dikuasai oleh
negara...”48
Persepsi dari aparatur pemerintah menunjukkan bahwa Pemerintahan
Nagari harus dikembalikan dengan segala otonomi yang dimilikinya, maka
diperlukan pendekatan intensif, serius dan motologis agar “penyelamatan kembali
sosial kapital” nagari memberikan hasil maksimal. Dibayangkan akan ada proses
bertahap dan terpadu dalam merekayasa ulang ujud nagari yang legitimasinya
menyeluruh serta diakui oleh segenap anak nagari, sehingga sesuai dengan
revitalisasi nagari dalam konteks kekinian49.
D.2. BMN ( Badan Musyawarah nagari ) (Legislatif)
Sebagai level pemerintahan terendah dan memiliki otonomi seperti halnya
desa di jawa, maka nagari juga memiliki sebuah badan legislatif yang bernama
Badan Musyawarah Nagari ( BMN).
Kehadiran BMN diharapkan dapat
membawa perubahan bagi kehidupan sosial politik mayarakat nagari yang selama
ini bergerak secara sentralistis tanpa adanya mekanisme cheks and balances serta
adanya pemandulan partisipasi masyarakat.
Keanggotaan BMN ini merupkan utusan unsur- unsur yang ada dalam
masyarakat nagari, atau wakil dari penduduk nagari dengan mempertimbangkan
keterwakilan wilayah dan unsur- unsur masyarakat yang di tetapkan secara
48
Wawancara dengan kepala Bagian Pemerintahan Nagari pada tanggal 27 Mai 2009.
St. Majo Basa. Zukri Saad. 2000. “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Revitalisasi Nagari.
Langkah Strategis Reaktualisasi Adat Basandui Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah”. Makalah
Disampaikan pada seminar Nasional ICMI Sumatera Barat 22-23 Januari 2000
49
33
musyawarah dan mufakat. Kenaggotaan BMN berdasarkan perda No 7 tahun
2006 adalah berasal dari unsur ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo
kanduang dan pemuda.
Tiap unsur ini memiliki basis pada tingkat jorong,
sehingga pada pemilihan anggota BMN maka masing- masing jorong mengutus
masing- masing dua orang. kemudian utusan ini akan dimusyawarahkan untuk
menentukan siapa sebagai wakilnya dalam BMN.
Untuk nagari nagari jawi- jawi guguk, keaggotaanya tidak terbagi
berdasarkan komisi tapi digabung menjadi satu kesatuan dan merumuskan semua
permasalahan nagari secara bersama- sama, jumlah anggota BMNnya adalah 11.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari akan berkerja sama dengan
BMN, ketika dilihat dari unsur politiknya, kehadiran BMN di nagari Jawi- Jawi
lebih memberikan kesempatan pada tungku tigo sajarangan (Ninik Mamak, alim
Ulama dan Cadiak Pandai serta Bundo Kanduang dalam nagari ) terlibat dalam
pembuatan keputusan di tingkat nagari.
Masing- masing BMN dalam nagari mepunyai Dinamika yang berbeda
dalam berdemokrasi, merujuk pada perda No 7/2006 tentang pemerintahan nagari.
Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki oleh BMN selain membahas
rancangan peraturan nagari, BMN juga mengusulkan pengangkatan wali nagari
dan pemberhentian wali nagari. Disinilah menurut analisa peneliti letak keunikan
dinamika berdemokrasi sistem politik koto piliang di nagari jawi- jawi masih tetap
dipakai dalam menampung segala bentuk aspirasi masyarakat nagari, dalam
prosesnya masyarakat nagari menyampaikan aspirasi memalui beberapa tingkatan
perwakilan golongan ampek jinih (penghulu, malin adat, manti adat dan
dubalang) masing- masing suku dalam nagari, kemudian penghulu-lah yang akan
bertanggung jawab menyampaikan aspirasi tersebut kepada perwakilannya dalam
BMN50di nagari,
Jika dilihat dari komposisi keanggotaan dari masing- masing BMN yang
ada di nagari harus mmenuhi persyaratan keaggotaan sesuai dengan ketentuan
seperti terlihat pada tabel dibawah ini
50
Berdasarkan Perda No 7/2006 tentang Pemerintahan Nagari Jumlah anggota BMN paling
sedikit 5 orang dan paling banyak 11 orang. dengan ketentuan jumlah seluruhnya termasuk
pimpinan harus ganjil dengan memperhatikan kemampuan dan keuangan nagari .
34
Tabel 4
Komposisi Keanggotaan BMN Berdasarkan Perda NO 7/2006
Di Kabupaten Solok
No Keterangan
Jumlah Anggota
Ninik
Alim
Cadiak Bundo
Pemuda
mamak
ulama
pandai kanduang
1
1
1
1
1
1
jika jumlah anggota
BMN 5 orang maka
sifat keaggotaannya
masing- masing unsur
harus diwakilkan oleh
satu orang.
2
jumlah
anggota 2
BMNnya 7 orang,
harus terdiri
2
Jika jumlah anggota
BMNnya 9 orang
harus terdiri
3
Jika jumlah anggota
BMNnya 11 orang
harus terdiri dari
3
4
1
2
1
1
2
2
1
1
2
3
1
2
Sumber data primer 2009.
Ternyata Intervensi negara tidak bisa dilepaskan dari segala bentuk aturan
pada pemerintahan pada tingkat lokal, sifat dan aturan dari BMN sendiri ”negara”
yang diwakilkan melalui pemerintah daerah terlalu banyak mengatur tatacara
termasuk tugas dan fungsi dari BMN sendiri, termasuk di Kabupaten Solok, salah
satu pasal dalam perda No 7/2006, pasal 76 tentang Pembentukan BMN No 6, ada
sebuah keganjilan dan ketidak sikronan dengan tugas dan fungsi dari BMN itu
sendiri
” ...untuk melaksanakan proses pencalonan dan penetapan anggota
BMN periode berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum
berakhirnya masa pengabdian BMN, wali nagari membentuk panitia
pencalonan dengan jumlah anggota sebanyak 7 (tujuh) orang yang
terdiri dari unsur BMN 4 (empat) orang dan unsur KAN 3 tiga )
orangyang dibantu oleh sekretariat panitia yang berasal dari perangkat
nagari dengan jumlah paling banyak 3 (tiga) orang yang ditetapkan
dengan keputusan wali nagari...”
Padahal salah satu tugas dan fungsi dari BMN itu sendiri adalah
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian wali nagari serta pengawasa
terhadap kinerja wali nagari. Bagaimana BMN bisa bekerja secara optimal kalau
seandainya kegiatannya tetap berada dibawah pengawasan wali nagari. Inilah
35
salah satu bentuk intervensi negara pada pemerintahan lokal di sumatera barat,
walaupun ”negara” selalu mengikut sertakan unsur tungku tigo sajarangan, tapi
”negara” tidak bisa sepenuhnya memberikan desentralisasi dan devolusinya pada
pemerintahan terendah.
D. 3. KAN ( Kerapatan Adat Nagari ) (yudikatif)
Kerapatan adat Nagari (KAN ) merupakan lembaga yang telah ada sejak
tumbuh dan berkembangya masyarakat minangkabau. Keberadaan KAN ini tidak
bisa dipisahkan dari ninik mamak, karena seluruh penghulu /ninik mamak yang
ada dalam sebuah nagari akan tergabung dalam KAN. Setiap nagari melaksanakan
kekuasaan yudikatif melalui kerapatan adat, didalam kerapatan adat berkumpul
para ninik mamak yang mewakili kaumnya dan melakukan peradilan atas
kaumnya. Sebagai konsekuensi dihapusnya nagari sebagai unit pemerintahan
terendah pada masa orde baru, maka KAN sebagai salah satu struktur dalam
nagaripun dibekukan, akan tetapi kerapatan nagari sesungguhnya masih ada.
Untuk melindungi nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat keluarlah
perda No.13 tahun 1983, perda ini kembali mengukuhkan keberadaan KAN.
Perda propinsi Sumatera Barat No 9/2000 dan diperbaharui dengan perda
No 2/2006 tentang ketentuan pokok pemerintahan nagari masing- masing
kabupaten menyikapi dengan menetapkan perda kabupaten tentang pemerintahan
nagari yang beragam, akan tetapi ada persamaan dengan nagari sebelum
berlakunya UU No 5/1979 yakni tentang kewenangan yang dimiliki oleh
pemerintah nagari yakni (1) kewenangan yang berdasarkan hak asal usul, (2)
kewenangan yang belum diatur oleh pemerintah yang lebih atas, (3) kewenangan
untuk melaksanakan tugas pembantuan.51 Untuk menyikapi kewenangan hal sal
usul ini masing- masing kabupaten melaksanakan cara yang berbeda- beda, ada
yang mengatur dominan kabupaten, ada yang memberikan kesempatan kepada
nagari – nagari dengan membentuk beberapa kelembagaan adat dengan nama
yang berbeda- beda seperti KAN, LAN ( lembaga Adat Nagari). Disamping itu
ada juga kabupaten yang berusaha memertahankan sistem yang masih ada dengan
51
H. Musyair Zainuddin. 2008. Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkann Hak Asal- Usul
Adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak. Hal 22
36
melakukan penyesuaian dengan pola yang sedang bergulir selama reformasi
dengan tetap melakukan pembinaan dalam pelaksanaan pemerintahan.
Jika melihat perda No 13 tahun1983 seluruh harta kekayaan nagari di
kelola oleh KAN, maka ketika devolusi kekuasaan di Sumatera Barat di serahkan
pada nagari melalui perda No 9/2000 dan diperbaharui dengan perda No 2/2006,
pengelolaan kekayaan nagari diserahkan kepada Pemerintahan nagari. Dalam
perda Propinsi Sumatera Barat idak menyebutkan nama KAN , maka akan
berbeda dengan kabupaten Solok. Melalui perda No 4/2001 dan direvisi dengan
perda No7/2006 keberadaan KAN tetap diakui, bahkan posisi KAN dalam perda
ini tetap ada. Pemerintah daerah berasumsi bahwa jika ada hal- hal yang tidak bisa
diselesaikan oleh pemerintahan nagari, maka dapat diselesaikan dalam
musyawarah KAN.
”...pemerintahan nagari harus mau mendengarkan dan
memperhatikan pendapat dari KAN, pemerintah nagari diharapkan
mengakomodir sumbang saran KAN, sehingga hubungan antara
wali nagari dan KAN berjalan efektif...”52
Berdasarkan perda No 7 tahun 2006 tentang pemerintahan nagari berfungsi
sebagai (a) sebagai lembaga yang mengurus dan mengelola adat nagari. (b)
sebagai lembaga pendidikan pengembangan adat nagari.(c) sebagai lembaga
peradilan adat nagari.(d) mengurus hukum adat dan istiadat dalam nagari. (e)
memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal- hal yang
menyangkut harta kekayaan masyarakat.
Peneliti melihat bahwa ada dua bentuk kegamangan yang mendera
masyarakat di yang ada pada nagari. Pertama, dalam imajinasi golongan elit
Minang, mulai dari pemerintah, akademisi dan perantau—mencoba menjadikan
institusi ‘nagari’ sebagai institusi modern. Dengan konstruksi struktur
pemerintahan nagari yang berbasis modern, seperti, urgensi lembaga legislatif,
yudikatif, dan eksekutif. Di samping itu kelompok ini berupaya melakukan
modernisasi Sumber Daya Manusia yang akan menjalankan roda pemerintahan
nagari—dengan ini, berarti Nagari diseret dalam format yang sama sekali baru.
Sementara golongan kedua. Tetap komitmen dengan bentuk ‘nagari’ purba
dahulu, dimana peran datuk sebagai kepala suku tetap dipertahankan dalam
52
Wawancara dengan Bupati Solok Pada tanggal 19 Mai .
37
membangun perintahan nagari. Golongan ini mencoba berimajinasi dan melalang
buana pada kehidupan ‘nagari’ masa silam. Tetapi peneliti mencoba membuat
sebuah deskripsi nomotetik yaitu menggabungkan antara konsep dasar bernagari
itu seperti apa lengkap dengan lembaga yang mewadahinya serta memasukan
bagaimana cara negara mengintervensi secara tidak langsung pola kekuasaan yang
ada di nagari dalam bentuk membuat sebuah lembaga nagari yang sifatnya yuridis
serta formal sehingga akan bertemu suatu varian yang berbeda ketika melihat pada
dua analisa diatas.
Bab 7. Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan
Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa demokrasi sebenarnya tidak
terbatas pada sebuah sistem politik yang ada, demokrasi seharusnya juga tidak
terbatas pada aturan- aturan formal yang terdapat dalam konstitusi. Pelaksanaan
demokrasi, keberhasilan dan sebuah kegagalan juga sangat ditentukan dari sejauh
mana nilai- nilai lokal yang tidak bertentangan dengan demokrasi mendapat
tempat dan diserap sebagai bahan pokok untuk menjalankan kehidupan yang
demokratis. Demokrasi seharusnya membutuhkan sebuah ”pembumian” makna
dimana setiap prilaku yang terkait dengan publik dan interaksi sosial politik
didalamnya didasari oleh nilai- nilai utama demokrasi seperti partisipasi dan
akuntabilitas.
Teori demokrasi barat sebenarnya bisa diadopsi untuk menilai bentuk
demokrasi lokal di Indonesia dengan catatan awal ada sebuah turunan variabel
dari teori tersebut yang khas dengan unsur demokrasi lokal. Aplikasi dari teori
demokrasi yang tercermin dalam pergaulan sosial politik di komunitas masyarakat
paling dasar (nagari) peneliti lebih merangkumnya pada dimensi struktural,
dimana ada perubahan posisi atau status dalam masyarakat nagari setelah kurang
lebih dua puluh tahun tidak lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan
terendah. Walaupun status nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat
eksistensinya masih diakui, namun peran, kekuasaan, otoritas, fungsi, integrasi,
38
hubungan antar satu posisi dengan posisi yang lainnya, arus komunikasi dari
komponen yang ada dalam Nagari telah berubah.
Nagari adalah lembaga mikrokosmik dari sebuah tatanan makrokosmik
yang lebih luas nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai
pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing
community). Sebagai sebuah “republik kecil”, nagari mempunyai perangkat
pemerintahan demokratis: unsur legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Nagari, secara
antropologis, merupakan kesatuan holistik bagi berbagai perangkat tatanan sosialbudaya. Ikatan ber-nagari di Minangkabau, dulu, bukan saja primordialkonsanguinal (ikatan darah dan kekerabatan adat) sifatnya, tetapi juga struktural
fungsional dalam artian teritorial-pemerintahan yang efektif. Karena itu, nagari
mempunyai kaitan ke atas; ke Luhak dan ke Alam, dan kaitan ke samping antara
sesama nagari, terutama adalah kaitan emosional. Sistem otonom seperti ini
adalah ciri khas masyarakat bersuku (tribal society) demi kepentingan
mempertahankan diri dan pelestarian nilai-nilai masing-masing nagari, yang
fokusnya adalah keragaman. Ikatan Luhak dan Alam adalah ikatan totemis dan
kosmologis yang mempertemukan antara nagari-nagari itu dan mengikatnya
menjadi kesatuan-kesatuan serta kekuasaan emosional spiritual. Karena itu orang
Minang secara sadar membedakan antara kesatuan-teritorial-konsanguinal dalam
bentuk republik nagari-nagari dengan kesatuan-totemis-kosmologis.
Sebahagian nagari yang ada di Sumatera Barat salah satunya nagari yang
ada di kabupaten Solok (nagari jawi- jawi) masih mempertahankan sistem
pemerintahan tradisional nagarinya berdasarkan dua sistem
keselarasan dan
perda yang dikeluarkan hanya sebagai dasar hukum yang tidak baku bagi mereka,
Negara masih terlampau jauh masuk dalam wilayah lokal, dengan
membuat aturan formal disertai dengan dasar hukum yang mengikat, tapi disinilah
letak sebuah varian demokrasi lokal tersebut.
Ketika masyarakat nagari dihadapkan pada dua pilihan yaitu apakah tetap
mempertahankan model demokrasi tradisional nagari yang berdasarkan kepada
sistem politik koto piliang dan bodi chaniago, atau mengganti dan merubahnya
menjadi sebuah demokrasi yang moderen, terpola dan terstruktur serta ada aturan
yang disahkan secara konstitusional dengan memasukan unsur- unsur demokrasi
39
barat dalam pemerintahan nagari. Sampai pada kesimpulan penulis berpendapat
sebuah anomali bentuk kekuasaan nagari tersebut bisa diminimalisir dengan cara,
pemuka masyarakat nagari ( ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai ) harus
membuka ruang kekuasaan kepada siapa saja yang mau dan punya kemampuan
dalam membangun nagari, terlepas apakah mereka penduduk asli atau pendatang.
Selain itu pemerintah kabupaten juga harus memperhatikan organisasi yang hidup
di nagari, harus jelas bentuk dan visi organsiasinya ( apakah seperti LSM atau
organisasi pemberdayaan lainnya yang berbasis nagari) samping itu ada sebuah
aturan yang riil tentang organisasi politik yang hidup dalam nagari ( partai
politik). Pendidikan politik juga harus diberikan kepada masyarakat nagari
sehingga tidak mudah dimobilisasi oleh organisasi yang ada dalam nagari.
B. Saran
Demokratisasi lokal, sekali lagi ada sebuah perjuangan yang keras yang
harus dilewati oleh para komunitas elite dan lembaga di nagari untuk sampai
pada tingkatan desentralisasi dan devolusi yang otonom. Tanpa ada intervensi
negara pada ranah lokal yang mencampur adukan antara sebuah pemerintahan
nagari dengan pemerintahan adat yang kadangkala berujung pada konflik antara
elite dalam nagari dan konflik dengan tema pemekaaran wilayah nagari, berbagai
kalangan mempunyai semangan demokrasi yang tinggi tetapi sebahagian besar
cenderung pesimis menatap masa depan sebuah demokrasi lokal nagari. Berbeda
dengan pandangan pesimis (jika bukan fatalis), peneliti tetap berpandangan yang
optimis. Bagaimanapun orang yang pesimis paling maksimal hanya bisa
mengecam dan menghujat dan akhirnya gagal merumuskan tindakan stratergis di
masa depan. Dulu orang- orang yang berhaluan pesimis sempat membayangkan
bahwa demokrasi lokal yang ada di nagari tidak jauh berbeda dengan berdesa
pada tahun 1979, masih tetap ada intervensi negara secara tidak langsung terhadap
pelaksanaan demokrasi lokal pada nagari. peneliti justru melihat sisi positifnya,
intervensi negara dalam hal ini mungkin adalah sebuah pembelajaran dari sebuah
kegamangan menata sebuah demokrasi yang betul- betul berada pada ranah lokal.
Ibaratnya negara ” pemerintah daerah ” berusaha menempatkan posisi mereka
ketika berhadapan dengan nagari, dan berhadapan dengan para penghulu nagari
40
serta masyarakat nagari. Ada sebuah mainstrem yang berbeda antara masyarakat
dan negara tentang konsep hidup bernagari. Tambo atau tiongkok/sejarah nagari
menurut peneliti bisa membantu para elite lokal nagari dan elite yang berada pada
tataran pemerintah menyatukan visi kedepan membangun nagari yang ideal itu
seperti apa. Sisi positif yang lain Perbedaan pola demokrasi di nagari malahan
menjadi sebuah warna varian dari sebuah demokrasi di nagari.
Daftar Pustaka
A. Dahl, Robert. (1971 Polyarchy: participation and Opposition. New Haven:
Yale University Press
______________ (1990). Political and developing Countries: Comparing
Experience with Democracy. Boulder Colorado: Lynne Rienner
________________(1989). democracy and its critics New haven : yale University
Press,)
________________ (1998). on democracy. New haven : Yale University Press.
________________(2003). Negara capital dan demokrasi. Yogyakarta: Pustaka
pelajar.
Abdullah, Irwan, (2003). Jurnal Humaniora, Vol.XV Masalah Kebudayaan dalam
Pembangunan
Andrain, Charles F. (1970). Political Life and Social Change in the Third World.
Boston: Unwin Hyman.
Anthony Gidden. (2000). Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut
Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka.
Anwar, Chairul. (1997). Hukum Adat Indonesia, Meninjau Hukum Adat
Minangkabau, Jakarta: Rineka Cipta.
Babbie, E. 1983. The Practice of social research. California: Wadsworth
Publishing Company.
Berger, Peter L. (1976). Pyramids of sacrifice: political Ethics and social Change.
New York : Anchor Books.
Bourchier ,David dan Jhon Legge, (eds). (1994). Democracy In Indonesia 1950s.
Monash University (Clayton ): Centre of Southeast Asian Studies.
Data statistic tahun 2007.
Diamond, Lary, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). (1989) Democracy
in Asia. Boulder Colorado : Lynne Rienner.
Diamond, Lary, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). (1990). Political and
developing Countries: Comparing Experience with Democracy, Boulder,
Colorado: Lynne Rienner.
Eko, Sutoro. (2006). Demokrasi dan Potret Pemilu Lokal 2004 . Yogyakarta:
Percik, Pustaka Pelajar.
Eko, Sutoro. Makalah Desentralisasi dan demokrasi desa. Disampaikan Dalam
Konsultasi Publik Revisi UU No. 22/1999 yang diselenggarakan oleh
Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Jakarta, Bitra
41
Indonesia Medan, dan Pusaka Indonesia, Deli Serdang, Sumatera Utara,
19 November 2003.
Francesco Kjellberg. (1995). "The Changing Values of Local Government" Dalam
ANNALS, AAPSS, 540, July 1995. American Academy.
Fukuyama, Francis, (2004), The End of History and The Last Man, Kemenangan
Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam,
Giddens, Anthony The Third Way The Renewal Of Social Democracy.published in
the USA by Blakwell Publisher Ltd : 350 Main Street Malden, MA
02148. USA. (terj: Jalan ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama. 1999.
Gould, Carol, (1988), Rethinking Democracy, Cambridge, New York: Cambridge
University Press
Habermas, Jurgen. (1989). The Structural Transformationsof The Public Sphere.
Terj Yudi Santoso. Ruang Publik. Sebuah Kajian tentang Kategori
Masyarakat Burjois. Cetakan kedua. 2008. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Harrison, David. (1988). The Sosiology of Modernization and Development.
London: Unwim Hyman.
Hasbi, Muhammad, dkk. (1990). Nagari, Desa dan Pembangunan Pedesaan di
Sumatera Barat), Padang: Yayasan Genta Budaya, Sumatera Barat
Heinelt, Hubert and Wollmann, (2003). Local Politics Research In Germany:
Developments and Characteristics In Comparative Perspective. London:
Sage Publications.
Held, David. (2007). Models Of Democracy. Edisi ketiga. Terj. Abdul Haris.
Jakarta: Akbar Tandjung Institute.
Holt, Claire et al culture and politics Indonesia,. Ithaca: Cornell university Press.
John, Steward and Gerry Stoker, (1989). The Future of Local Government,
London: Macmillan.
Junus, Umar.1971. Kebudayaan Minangkabau (dalam Koentjaraningrat ed .
Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Jembatan.
Kahin, Audrey. (1999). Rebellion ti integration. Amsterdam: Amsterdam U
Press.
Kato, Tsyoshi (1982) Matriliny And Migration: Evolving Minangkabau
Traditions In Indonesia. Ithaca: Cornell Universiy press.
Kato, Tsyoshi . (1982). Matriliny And Migration: Evolving Minangkabau
Traditions In Indonesia. Ithaca: Cornell Universiy press.
Kemal, Iskandar. (1971). Beberapa studi tentang minangkabau. Padang: Fakultas
Hukum Universitas Andalas
M.Nasroen. (1971). Dasar Falsah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang
Manan,
Imran. 1995.
Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di
Minangkabau (Nagari dan Desa di Minangkabau), Padang : Yayasan
Pengkajian Kebudayaan Minangkabau
Moleong (2000), Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya
Moleong, Lexy, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosda
Karya,
42
Naim, Mochtar (ed). 1968. Menggali Hokum Tanah Dan Hukum Waris
Minangkabau. Padang: Centre for Minangkabau Studies Press.
Naim, Mochtar. (1990). “Nagari versus Desa. Sebuah Kerancuan Struktural”
dalam Edi Utama (ed). Nagari, Desa dan Pembangunan di Sumatera
Barat.. Padang : Genta Budaya
Nasroen, M. (1957). Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Pasaman.
Navis, A.A. (1984). Alam Takambang Jadi Guru, Adapt Dan Kebudayaan
Minangkabau. Jakarta: PT Graviti Perss
Neuman, W.L. 1997. Social research methods, qualitative and quantitative
approaches. London: Allyn and Bacon.
Nugroho, Kris. (1992). “Telaah Peran Negara, Partisipasi dan Demokratisasi”.
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia 6 – 8 Agustus 1992
O’G. Anderson, Benedic R. (1972). the idea of power in Javanese culture,
Ithaca: Cornell university Press.
Oki, Akira (1977). Social Changein West Sumatran Village:1908-1945. disertasi
Doktor, Australian national University.
Owens, Edgar dan Robert Shaw. (1983). Pembangunan Ditinjau Kembali.
Terjemahan A.S. Wan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
P.E. De. Josselin De Jong. (1960). Minangkabau and Negeri Sembilan
Sociopolitical Structure In Indonesia. Djakarta: Bharata
Pador, Zenwen Dkk. (2002). kembali ke Nagari: Batuka Baruak Jo Cigak?.
Jakarta: PT Sinar Grafika.
Perda Propinsi Sumatera barat No 13 tahun 1983
Saad, Zukri. (2000). “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Revitalisasi Nagari.
Langkah Strategis Reaktualisasi Adat Basandui Syara’ Syara’ Basandi
Kitabullah”. Makalah Disampaikan pada seminar Nasional ICMI
Sumatera Barat 22-23 Januari 2000
Safirani, Amalinda, (2004), Local Strongman in New Regional Politic in
Indonesia, thesis, unpublished
Sairin, Sjafri ARTIKEL tanggal 28 April 2008 ”Demokrasi dalam Perspektif
Kebudayaan Minangkabau” tulisan ini juga pernah dimuat dalam jurnal
Jurnal Humaniora, Universitas Gadjah Mada (UGM), No 1 tahun 1995.
Sartori, Giovanni, (1987), The Theory of Democracy Revisited, Chatam, New
York : Chatam House
Sjahmunir AM, SH, Prof. Dr. dkk. (2006). Pemerintahan Nagari dan Tanah
Ulayat. Padang: Andalas University Press.
Sjamsudin, Nazarudin, (1989). Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia.
Soedjatmoko. (1983). Dimensi Sosial Pembangunan. Jakarta: LP3ES.
Soekanto, Soerjono dkk. (1986). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Soronsen, Georg, (1993), Democracy and Democratization, Boulder, Co:
Westview Press.
Surbakti, Ramlan (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo.
Surbakti, Ramlan Himpunan Teori—Teori Politik. Surabaya: Fisip Universitas
Airlangga.
Ubed Abdilah S. (2002). Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa
Identitas, Magelang: Indonesiatera.
43
Download