TRANSISI DEMOKRASI LOKAL DALAM KOMUNITAS ELITE POLITIK MINANGKABAU MODERN (Studi Kasus pada Nagari Jawi- Jawi Kabupaten Solok)1 Tengku Rika Valentina, Andri Rusta2, Nicky Nia Gustriani3 Abstrak Adanya kegamangan dari para elite nagari dan pemuka adat ketika menjadikan nagari sebagai sebuah basis demokrasi lokal, mereka dihadapkan kepada dua pilihan yaitu tetap mempertahankan model demokrasi tradisional nagari atau mengganti dan merubahnya menjadi sebuah demokrasi yang moderen, terpola dan terstruktur serta ada aturan yang disahkan secara konstitusional dengan memasukan unsur- unsur demokrasi barat dalam pemerintahan nagari. Disisi lain negara ternyata tidak sepenuhnya menerapkan desentralisasi dan devolusi, dimana desentralisasi yang diberikan terhadap pemerintahan terendah harus juga diikuti dengan devolusi supaya bisa membentuk sebuah negara demokrasi baru. Negara masih terlampau jauh masuk dalam wilayah lokal, dengan membuat aturan formal disertai dengan dasar hukum yang mengikat yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan lokal. Kata kunci: demokratisasi,demokrasi lokal, elite nagari. Bab 1. Pendahuluan Di pentas studi ilmu politik dewasa ini, demokrasi liberal (elektoralprosedural) telah memenangi pertarungan pemaknaan tentang konsep demokrasi. Demokrasi prosedural meraih kemenangannya pada tahun 1970-an setelah berhasil menggeser pemahaman subtantifis demokrasi. Upaya ke arah ”demokrasi akar rumput ini” mengandaikan institusi- institusi atau pranata sosial ditingkat lokal4. Melihat bahwa demokrasi merupakan bagian penting dari political 1 Penelitian ini dibiayai oleh Dana DIPA Unand tahun 2009 Staf pengajar jurusan Ilmu Politik, FISIP. Unand 3 Mahasiswa (S1) pada Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fisip. Unand 4 Pranata sosial yang dimaksudkan disini adalah penjelasan alam UU No 22 tahun 1999 jo UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 200 ayat (2) menyatakan bahwa “Desa dapat dibentuk dan dihapus atau digabung dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarat, undang-undang tersebut memberi peluang kearah diwujudkannya pemerintahan terendah yang lebih otonom, demokratis dan dinamis sesuai dengan asal usulnya”. Pemerintah Sumatera Barat dalam menyikapi realisasi dari UU No 22 tahun 1999 Jo UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintah daerah pada pasal 200 ayat (2) tersebut adalah dengan membentuk kembali nagari sebagai unit pemerintahan terendah melaui Perda No. 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, dimana pemerintahan daerah memberi peluang pada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri termasuk menyesuaikan bentukbentuk pemerintahan nagari, berdasarkan asal usul kondisi sosial budaya masyarakat setempat berdasarkan “adat basandi syarak syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai, alam takambang jadi guru” ( adat bersendikan agama, agama bersendikan Al’quran, agama 2 1 institusion, maka institusionalisasi demokrasi kedalam lembaga yang otonom yang menjamin kelangsungan proses demokratisasi menjadi suatu hal yang penting. Institusi lokal sebagai sebagai basis masyarakat mayoritas, apa bila tidak bisa di transformasikan menjadi kekuatan demokrasi maka sangat mungkin akan sulit membangun demokrasi yang sesungguhnya. Dari sini akan terlihat erat kaitan antara demokrasi dengan institusi lokal, dengan pembaharuan relasi masyarakat dengan negara, sekaligus dengan demokrasi yang substansial. Nagari menjadi kajian yang cukup menarik untuk diangkat kepermukaan dalam kaitannya dengan proses demokrasi. Menuju kearah tingkatan demokratisasi di tingkat grasroot. Nagari dalam tradisi Minangkabau merupakan identitas kultural yang menjadi lambang mikrokosmik dari sebuah tatanan yang makrokosmik yang lebih luas. Di dalam nagari sebenarnya terkandung sistem yang memenuhi persyaratan embrional dari dari sebuah sistem negara. Nagari adalah ’negara’ dala artian miniatur dan merupakan ’republik kecil’ yang sifatnya selfcontained, otonom dan mampu membenahi diri sendiri. Sebagai sebuah lembaga, nagari bukan saja dipahami sebagai kualitas teritorial, tetapi juga mencakup kualitas geneologis, ia adalah lembaga pemerintah dan sekaligus merupakan lembaga kesatuan sosial utama yang dominan. Sebagai kesatuan masyarakat yang otonom nagari merupakan republik mini dengan terotorial yang jelas bagi anggotamya, punya pemerintahan sendiri, adat sendiri, yang mengatur tatanan kehidupan angotanya. Disamping nagari pada taraf pemerintahan mempunyai unsur utama legislatif (Badan Perwakilan Nagari ), eksekutif (Pemerintahan Nagari) dan yudikatif (Kerapatan Adat Nagari), ia juga merupakan kesatuan holistik bagi peranan tatanan sosial budaya lainnya. Ikatan bernagari bukan saja primodial konsaguinal sifatnya, tetapi juga struktural fungsional dalam artian teritorial pemerintahan yang efektif. mengatur adat memakai alam dunia bisa dijadikan sebagai guru atau pedoman hidup), maksudnya dengan pemberian wewenang yang lebih besar pada pemerintah daerah untuk mengelola potensi daerahnya, diyakini akan dapat memberi manfaat yang lebih besar dibanding pada masa sebelumnya, dengan melalui dukungan kebijakan desentralisasi yang memberikan keleluasaan pada daerah untuk menjadi daerah otonom yang lebih mandiri. 2 Kejatuhan Orba telah mengantarkan sebuah ”republik kecil (nagari) ”memasuki masa transisi menuju sebuah konsep demokrasi. Sebelum sampai lokus permasalahan, ada sebuah pertimbangan disini ketika proposal kecil ini dibuat, adalah semangat untuk mengkaji kembali transisi demokrasi pada tingkat lokal di Sumatera Barat, yang sebelumnya telah dihadapkan pada kondisi anomalie yang membingungkan. setelah reorganisasi pemerintahan desa kedalam pemerintahan nagari melalui Perda No 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, elite- elite Minangkabau kembali perhatian pada adat dan institusi yang merupakan bagian dari pemerintahan lokal, tetapi hanya sebatas pada semangat wawasan yang populis, nostalgia, dan berorenatasi pada masa kejayaan pemerintahan nagari sebelum kemerdekaan. sayangnya, semangat nostalgia pemerintahan lokal di Sumatera Barat itu sendiri sangat bertolak belakang dengan identitas Minangkabau. elite Minangkabau agak ambigu dalam memahami makna dari sebuah demokrasi lokal, sementara daerah lain di Indonesia menunjukan perhatian yang kuat dalam identitas kedaerahan mereka, identitas minangkabau terasa ambivalen. Bab 2. Perumusan Masalah. Dengan demikian penelitian ini ingin membuktikan tantangan di atas seraya melibatkan diri dalam arena perdebatan dan kajian demokratisasi Indonesia kontenporer untuk menjawab proses transisi demokrasi pada tingkatan lokal di Sumatera Barat, yang diselenggarakan oleh elite Minangkabau modern. Paling tidak ada beberapa pertanyaan yang telah penulis rumuskan yaitu: 1. Bagaimana proses transisi demokrasi lokal yang terjadi dalam Nagari ? 2. Lembaga- lembaga lokal apa saja yang terkait dalam proses transisi tersebut? Bab 3. Tinjauan Pustaka. Tujuan pustaka ini akan diarahkan pada dua hal yaitu: me-review sejumlah perspektif (pendekatan) yang menjelaskan transisi dan perspektif alternatif yang berbeda tentang konsep demokrasi: pada bagian pertama saya akan membongkar perspektif yang tidak memadai untuk menjelaskan proses transisi demokrasi di Indonesia. pada bagian kedua, saya akan menampilkan perspektif yang berbeda yang lebih memadai untuk menjelaskan perubahan transisi demokrasi lokal. 3 3.1.Demokrasi Dan Demokratisasi Fokus utama dalam proposal singkat ini adalah menjelaskan transisi yang dialami oleh pemerintahan lokal di Sumatera Barat ( nagari ) dalam memaknai sebuah konsep demokrasi, jadi kerangka konseptual ini lebih diarahkan pada konsep demokratisasi yaitu proses perubahan pemerintahan lokal tentang reorganisasi pemerintahan terendah dari nagari menjadi desa melalui UU No 5 tahun 1979 yang kemudian dirubah kembali menjadi nagari dengan semangat UU No 22/1999 jo 32/2004 tentang pemerintahan daerah dan Perda No 9 tahun 2001 tentang ketentuan pokok pemerintahan nagari (dari rezim yang non demokratis pada masa orba ke masa transisi yang lebih demokratis). Kajian pada demokratisasi akan diberi bobot lebih besar, yaitu bermaksud ingin menjelaskan seraya mengeksplorasi faktor- faktor penyebab transisi demokrasi di indonesia sehingga nantinya akan membantu saya untuk menganalisis transisi demokrasi lokal dan transisi elite Minangkabau di Sumatera Barat. 3.1.1. Demokrasi Minimalis Vs Demokrasi Maksimalis Konsep demokrasi pada umumnya diterjemahkan secara mendasar sebagai pemerintahan ( kratos) oleh rakyat (demos). Tetapi definisi sederhana itu dalam perkembangannya mengalami kemerosotan makna ( pejoratif ). Setelah nazi dan fasisme menglamai kehancuran pasca peran dunia II, setiap rezim yang berkuasa – termasuk totaliter sekalipun dibelahan dunia selalu mengklaim dirinya demokratis dan bertindak atas nama rakyat. Klaim itu diwujudkan lewat munculnya banyak label demokrasi, seperti demokrasi kerakyatan, demokrasi ploretariat, demokrasi borjuis, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila dan sebagainya. Untuk menilai apakah suatu sistem politik itu demokratis atau non demokratis , para ilmuan pada umumnya akan menjabarkan elemen- elemn kritis yang terkandung dalam frasa ”pemerintahan oleh rakyat”, selain dengan melihat perwujudan elemen- elemen demokrasi pada level empirik, jika dikaji lebih dalam frasa ” pemerintahan oleh rakyat ” itu menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis : ”siapa rakyat yang memerintah itu?” ”bagaimana rakyat memerintah?” seberapa besar rakyat ( dalam ) rakyat terlibat memerintah? . sejumlah pertanyaan ini 4 menyebabkan demokrasi tidak bermakna tunggal tetapi merupakan entitas dimanis yang memperoleh pemaknaan (interprestasi) berbeda- beda dari para filsuf dan ilmuan politik Dalam berbagai literatur ilmu politik konsep demokrasi dikaji dan dimaknai dengan dua pendekatan yang berbeda. Yang pertama kali muncul adalah pendekatan klasik- normatif yang lebih banyak mebicarakan tentang ide- ide dan model- model demokrasi secara substantif. Pendekatan ini mengikuti garis pemikiran klasik – dari zaman Yunani kuno, abad pertengahan sampai pada pemikiran sosialisme Karl Marx – yang memaknai demokrasi sebagai sumber wewenang dan tujuan ( kerangka preskripsi secara normatif untuk sistem politik). Pendekatan klasik normatif mendefinikan demokrasi dengan term kehendak rakyat sebagai sumber atau alat untuk mencapai tujuan kebaikan bersama.5 Karena diilhami oleh banyak tradisi pemikiran, pendekatan klasik normatif memaknai dan mengukur demokrasi secara maksimalis dengan memasukan unsur- unsur nonpolitik (sosial, ekonomi dan budaya). Kebebasan sebagai esensi dalam demokrasi, tidak hanya diterjemahkan sebagai kebebasan politik (berbicara, memilih, berkumpul, berorganisasi) tetapi juga kebebasan sosial ekonomi (yakni bebas dari berkeadilan, kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan dan sebagaimnya) para pemikir tradisional pencerahan seperti Rousseau dan Jhon Struat Mill, hingga pemikiran radikal seperti Karl Marx sepakat bahwa ketimpangan sosial ekonomi merupakan kendala bagi persamaan politik dan demokrasi. dengan kata lain suatu negara yahng diwarnai dengan ketimpangan sosial ekonomi tidak bisa dikatakan demokratis meski kebebasan politiknya terjamin. 6 Disisi lain pendekatan klasik normatif sangat memperhatikan elemen konstitusi dan gagasan rule of law untuk mengatur prosedur kelembagaan, hak dan kewajiban rakyat (warga negara) serta untuk membatasi penggunaan kekuasaan sehingga mereka tetap berkuasa atas kehendak rakyat. Akan tetapi 5 Lihat Giovanni Sartori, the theory of democracy revisited ( Chatam , New York : Chatam House , 1987) bandingkan dengan carol Gould , Rethinking Democracy ( Cambridge, New York: Cambridge university press 1988); Robert A. Dahl, democracy and its critics ( New haven : yale University Press, 1989) dan Robert A. Dahl, on democracy ( New haven : yale university press, 1998) 6 Georg Soronsen, democracy and democratization ( Boulder, Co : Westview press, 1993), hal 7-8 5 pendekatan klasik normatif mulai kehilangan pengaruh dihadapan ilmuan politik ketika studi demokratisasi berkembang sejak hakir dekade 1970-an. Pendekatan ini hanya digunakan oleh para ilmuan yang membicarakan ide – ide, wacana dan model - model demokrasi. Studi demokrasi mutakhir yang menjamur dalam satu-dua dekade terakhir justru menerapkan pendekatan empirik- minimalis ketimbang normatif – maksimalis. Pendekatan empirik minimalis yang menjadi basis pemikiran studi demokrasi lokal di Sumatera Barat yang saya uraikan lebih mengacu pada konstruksi teorinya Robert A. Dahl. Dahl menawarkan sebuah konsep demokrasi minimalis yang disebut sebagai ”poliarkhi”7. Di dalam poliarkhi ada sebuah derajat kontestasi publik yang tinggi (liberalisasi) maupun partisipasi (Inklusivitas). Untuk menjamin bekerja mekanisme poliarkhi, Dahl menyatakan bahwa rakyat harus diberi kesempatan untuk: (1) merumuskan pilihan (perferensi) atau kepentingannya sendiri; (2) memberitahukan perferensinya itu pada sesama warga negara dan pemerintah lewat tindakan individual maupun kolektif; (3) mengusahakan agar kepentingannya itu pertimbangannya secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak ada diskriminasi berdasarkan isu atau asalnya8 . tiga kesempatan itu dapat dicapai kata Dahl bila ditopang dengan delapan jaminan kelembagaan: (1) kekebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi; (2) kebebasan dalam menyampaikan pendapat; (3) hak memilih dalam pemilihan umum; (4) hak untuk menduduki jabatan publik; (5) hak para pemimpin untuk bersaing dan memperoleh dukungan dan suara rakyat; (6) tersedianya sumber- sumber informasi alternatif; (7) terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur; (8) adanya lembaga- lembaga yang menjamin agar kebijakan publik tergantung pada suara pemilihan umum, dan pada cara- cara penyampaian perferensi yang lain9. Sementara Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset menyederhanakan delapan kriteria Dahlian menjadi tiga kriteria untuk menndai sebuah sistem politik tersbeut lebih demokratis, yaitu: (1) kompetisi yang 7 Robert A. Dahl. Polyarchy: participation and Opposition. ( New Haven: Yale University Press. 1971) hal 2. 8 Ibid. hal 2 9 Ibid.hal 2-3 6 sungguh- sungguh dan meluas di antara individu- individu dan kelompokkelompok organisasi unutk merebut jabatan yang mempunyai kekuasaan efektif pada jangka waktu teratur dan tidak menggunakan daya paksa; (2) partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan lewat pemilihan umum, yang diselenggarakan secara teratur dan adil sehingga tidak ada satupun kelompok sosial (warga negara biasa) tanpa kecuali; (3) tingkat kebebasan sipil dan politik, yaitu kekebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi, yang cukup untuk menjamin integritas, kompetisi dan partisipasi politik.10 Dengan melihat dua pendekatan yang berbeda di atas, saya cenderung untuk memilih pendekatan empirik- minimalis ketimbang normatif- maksimalis. Tetapi saya tidak akan membuang ide dan model demokrasi yang terangkum dalam pendekatan normatif. Bagi saya ide dan model demokrasi sangat relevan dibicarakan sebagai kerangka preskripsi untuk menjelaskan demokrasi lokal di Sumatera Barat di masa depan. Namun pendekatan empirik – minimalis akan diberi bobot yang lebih besar dalam proposal singkat ini, karena saya hendak mengkaji proses (empirik) transisi menuju demokrasi pada politik lokal di Sumatera Barat yang baru saja merevisi perda tentang pemerintahan lokalnya ( nagari ) menjadi perda Propinsi Sumatera Barat No 2 tahun 2007 tentang pemerintahan nagari dengan memberdayakan sekaligus tiga pilar proses demokrasi lokal yaitu Badan Perwakilan Nagari dan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Jika ditempatkan pada perspektif komparatif, delapan kriteria Dahl, dan tiga kriteria Diamond dkk, akan saya gunakan untuk memetakan derajat proses perjalanan demokrasi lokal di Sumatera Barat mulai dari dari 1903 ketika nagari dijadikan pertama kali sebagai pemerintahan terendah oleh belanda dengan mengeluarkan Decentralisatiwed (staatsblaads no. 329/1903) yang memberikan peluang terbentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri, 10 Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). Democracy in Asia. (Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1989), hal xvi atau Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). Political and developing Countries: Comparing Experience with Democracy. (Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1990). Hal 6-7. 7 Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada “ Raad” atau dewan masyarakatmasyarakat daerah - sampai pada tahun 2007. Derajat pemetaan tentang transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di Sumatera Barat tersebut saya bagi kedalam beberapa varian berdasarkan bentuk pola pemerintahannya dan lembaga- lembaga adat yang ada dalam nagari tersebut. Demokrasi disini saya tempatkan sebagai variabel kontinu bukan dikotomis dengan nondemokrasi yang dipilah menjadi tiga yakni demokrasi (penuh), semi demokrasi dan nondemokrasi. Saya membuat sebuah asumsi awal apabila Suatu sistem politik dikatakan demokrasi bila memenuhi tiga kriteria yang ditetapkan oleh Diamond dkk. Derajat dibawahnya adalah semidemokrasi atau disebut sebagai demokrasi yang terbatas (restricted democracy), yang ditandai oleh: (1) tingkatan substansial kompetisi dan kebebasan politik tetapi kekuasaan efektif pemimpin- pemimpin yang terpilih sangat terbatas dan ada harapan dari perferensi publik; (2) kekebasan sipil dan politik sangat terbatas dimana oreantasi dan kebebasan politik tidak bisa mengorganisir dan mengekspresikan kebebasan itu. Sementara derajat yang paling rendah adalah nondemokrasi yakni rezim yang tidak memberikan kesempatan berkompetisi dan berpartisipasi secara bebas.11 Kemudian proses pemilahan dari varian demokrasi tersebut saya bagi lagi berdasarkan pada periodesasi perjalanan pemerintahan lokal yang ada di Sumatera Barat mulai dari 1903-2007 sehingga nantinya bisa membingkai proses transisi demokrasi dan melacak komunitas elite minangkabau modern di Sumatera Barat. Derajat dari demokrasi tersebut saya bagi jadi Dua yaitu mengambarkan proses terbentuknya komunitas elite politik minangkabau dan proses terbentuknya transisi demokrasi dalam komunitas elite politik minangkabau seperti yang digambarkan dalam tabel dibawah ini; Kerangka konseptualnya Dahl ingin saya pakai untuk melihat proses transisi tersebut, walaupun gelombang demokrasi tersebut baru muncul sekitar 1970-an hingga dekade 1990-an, tetapi saya yakin dari hasil temuan dilapangan nantinya ternyata gelombang demokrasi itu sudah ada pada pemerintahan lokal di Sumatera Barat setelah nagari dijadikan sebagai lembaga formal pada tahun 1903 oleh pemerintahan Pelanda. Dan sengaja saya memulainya pada masa penjajahan 11 Ibid.hal 6 8 belanda karena proses Decentralisatiwed (staatsblaads No. 329/1903) yang memberikan peluang terbentuknya satuan pemerintahan lokal yang mempunyai keuangan sendiri, Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada “Raad” atau dewan masyarakat-masyarakat daerah/nagari pertama kali dibentuk12. Dari proses transisi tersebut nantinya dapat membantu saya membingkai proses tumbuhnya komunitas baru elite Minangkabau modern yang ada dalam pemerintahan lokal di Sumatera Barat 3.1.2. Menjelaskan Transisi Menuju Demokrasi Menggunakan Pendekatan Kotingensi Elite. Dengan Dalam detour pada konsep demokratisasi yang didalamnya akan mencakup transisi, liberalisasi, instalasi dan konsolidasi demokrasi. demokratisasi adalah jalan atau proses perubahan dari rezim nondemokratis menjadi rezim demokratis. Menurut samuel Huntington, demokrasi pada tingkatan sederhana mencakup (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter; (2) dibangunnya sebuah rezim demokrartis (3) konsolidasi rezim demokratis13. Dalam membingkai kerangka konseptual ini saya lebih mengikuti konsep teoritis demokratisasinya Dahl, yaitu demokratisasi berarti proses perubahan rezim otoritarian (hegemoni tertutup) yang tidak memberikan kesempatan partisipasi dan liberalisasi menuju poliarkhi yang memberikan derajat kesempatan partisipasi dan liberalisasi lebih tinggi Secara umum demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan rumit tetapi saling berkaitan, dari liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi. liberalisasi adalah proses pengefektifkan hak- hak politik yang melindungi individu- individu dan kelompok sosial dati tindakan sewenang- wenang dan tidak sah dari negara atau pihak ketiga. Liberalisasi seperti dalam konseptualisasi Dahl (1971) mencakup konstelasi publik dan partisipasi dalam prosedur kelembagaan semacam pemilihan umum serta terbukanya kesempatan publik unutk mengekspresikan kebebasan politinya (kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi ) akan tetapi liberalisasi tidak sama dengan demokratisasi, meski ia muncul dalam proses transisi, liberalisasi tidak mesti diikuti dengan instlasi 12 Roni Ekha Putera dan Tengku Rika Valentina. Modul sistem pemerintahan dan DinamikaPembangunan Nagari Nagari. Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas Padang tahun 2006 13 Samuel Huntington (1991) .Op.Cit. hal. 44 9 demokrasi yang penuh (fully democracy). Tanpa jaminan bagi kekebasan individu dan kelompok yang inheren dalam liberalisasi, demokratisasi mungkin diturunkan derajatnya menjadi sekedar formalisme dalam sistem semi demokrasi/demokrasi terbatas (restricted democracy). Disisi lain tanpa pertanggungjawaban terhadap rakyat dan minoritas pemilih yang telah terlembaga dibawah demokrasi liberalisasi akan mudah dimanipulasi dan bahkan dibatalkan demi kepentingan mereka yang duduk di pemerintahan 14 Tahapan dari liberalisasi adalah transisi, transisi disini didefinisikan sebagai titik awal atau interval (selang waktu) proses perjalanan pemerintahan lokal di Sumatera Barat ( nagari ) diantara berbagai periode kekuasaan pemerintahan mulai dari masa penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde Baru Dan masuk pada rezim yang lebih demokratis yaitu pada masa reformasi. Dalam artian lain transisi yang saya lihat disini adalah pengesahan (instalasi) lembaga- lembaga politik pada pemerintahan lokal di Sumatera Barat dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi. Tetapi seperti halnya liberalisasi, transisi tidak mesti berakhir dengan sebuah instalasi kerangka demokrasi seperti konsep Dahl yang saya pakai, sebaliknya bisa saja nanti dari hasil temuan dilapangan, bisa saja tercipta rezim otoritarian baru dalam menjelaskan dinamika pemerintahan lokal (nagari ) yang ada di Sumatera Barat, atau bisa saja sifat dari demokrasi tersebut lebih ke semi demokrasi. Walaupun Gelombang demokratisasi sejak akhir dekade 1970-an hingga 1990-an dan merupakan objek yang paling menarik bagi para ilmuan politik, akan tetapi saya perlu melontarkan beberapa kritik awal bahwa sebahagian besar studi demokratisasi seperti dalam karyanya Huntington, Juan Linz, Seymour Martin Lipset, O’Donnel dan sebagainya sangat diilhami oleh ’semangat’ Eropa Selatan dan Amerika Latin dan tidak semuanya cocok dijadikan sebagai rujukan bagi studi demokrasi di wilayah pemerintahan lokal di Indonesia. Sejumlah kajian demokratisasi umumnya masih terombang- ambing antara kajian ideografis (melalui metode deskriptif- historis yang mendalam mengenai kejadian dan aktor) dan renungan abstrak dan normatif tentang prinsip- prinsip demokrasi yang didukung oleh sedikit bukti yang sistematis. Kajian ideografis ini memang 14 Robbert Dahl (1971) Op. cit 10 memberikan sumbangan yang berharga karena akan menjelaskan apa yang disebut oleh Dahl ’profil negeri’ dengan meliputi beberapa unsur pluralisme subkultur, tatanana sosial dan ekonomi. Akan tetapi kelemahan yang mendasar dari kajian ideografis ini adalah ketidakmampuan menarik suatu generalisasi (nomotetik) yang punya kekuatan eksplanasi dan prediksi secara memadai dan komparatif. Dengan kritik di atas proposal singkat ini hendak melakukan kajian mutakhir untuk menjembatani gap antara kajian ideografis, nomotetik dan spekulasi yang abstrak. Proposal singkat ini barangkali berada di tengah- tengah antara kajian ideografis (deskripsi mendalam) dan nomotetik (teoritis), disini saya lebih memfokuskan prosedur- prosedur lembaga politik pemerintahan lokal (Pemerintahan nagari, BPN dan KAN) dan aktor- aktor politik yang nantinya akan menciptakan sebuah komunitas elite minangkabau, dengan menawarkan generalisasi berlevel menengah sehingga bisa menghasilkan sebuah penelitian transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di Sumatera Barat menjadi lebih komparatif . Selain kritik diatas, jauh yang dapat saya lihat terdapat perspektif utama yang menjelaskan proses transisi menuju demokrasi pada politik lokal di Indonesia yaitu terletak pendekatan kontigensi elite. Pendekatan kontigensi yang sepenuhnya berpusat pada strategi dan pilihan- pilihan kontigen akor atau elite politik. Pendekatan ini sebenarnya diprakasai oleh para pengkaji demokratisasi yang sebelumnya menggunakan pendekatan negara. Seperti guillermo O’ Donnel , Phillippe Schmitter, Alferd Stepan, Adam Przeworski dan sebagainya. Sebegitu jauh mereka meninggalkan Negara dan variabel- variabel sosiokultural, dan memusatkan perhatian pada kinerja atau prosedur pada lembaga- lembaga politik serta pada tindakan (staretgi atau taktik) para aktor (elite) politik dalam proses menuju transisi demokrasi. Masih banyak karya lain yang terfokus pada peran aktor ( elite) politik dalam proses transisi menuju demokrasi, karya huntington (1991) misalnya mengulas bhwa keberhasilan demokratisasi sangat bergantung pada kemampuan elite ”pembaharu liberal ” dalam pemerintah untuk mengakali pola- pola yang mapan. Dalam konteks indonesia, Harold Crouch adalah analisis yang menggunakan pendekatan kontigensi untuk mengkaji prospek demokrasi. dengan 11 menolak- lemen- elemen sosio – ekonomi, struktur kelas, budaya, tekanan eksternal dan kekuatan oposisi, crouch menempatkan variabel konflik elite yang tampaknya merupakan pendorong kuat bagi proses transisi demiokrasi di indonesia. Menurut Crouch selama elite tetap terbagi dan persaingan mereka melibatkan mobilisasi dukungan nonelite, ada kemungkinan sistem akan menjadi lebih terbuka dan liberal. Fenomena ini akan semakin terlihat dengan jelas bahwa konflik elite membawa efek liberalisasi terbatas, seperti dalam bentuk keterbukaan politik semakin dinamis. semakin lama situasi ini berlangsung reformasi akan semakin menjadi melembaga dan elite akan semakin terbiasa dengan kompetisi politik.15 Proposal singkat ini menempatkan ”tindakan elite ” sebagai variabel terdepan yang sangat menentukan transisi, sebab transisi menuju demokrasi tidak hanya berkaitan dengan ”apa yang mendorong” tetapi juga ” siapa yang mengawali”. Dalam perspektif elitis terdapat dua macam pendekatan teoritis yang berlainan dalam menerangkan keberadaan kelompok elite. Teori pertama kelompok elite dianggap lahir dari proses alami. Mereka adalah orang- orang yang terpilih yang memang dikaruniai dengan kepandaian dalam memecahkan persoalan hidup. Dengan demikian kelompok ini lahir bukan karena mereka menempati posisi strategis dalam masyarakat, tetapi karena memiliki kapasitas personal yang lebih potensial unutk menempatkan posisi itu16. Dalam pendekatan teoritis yang kedua kelompok elite dikonsepsikan sebagai orang- orang yang terpilih menempati fungsi- fungsi penting dalam organisasi sosial, mereka diberi wewenang dan dipercaya untuk menjaga dan mengontrol ekonomi politik.17 Untuk melihat proses terbentuknya komunitas elite baru Minangkabau dalam masa transisi demokrasi, dua pendekatan teoritis diatas saya bagi menjadi dua periodesasi masa transisi demokrasi lokal, untuk teorisasi elite yang pertama saya pakai untuk menganalisa komunitas elite politik minangkabau di mulai dari Harold Crouch , “ Democratic prospect in Indonesia”, dalam David Bourchier dan Jhon Legge, (eds), democracy in Indonesia 1950s ( Clayton : Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1994, hal 115-126. 16 Prof. Sunyoto Usman. Elite dan Masyarakat ( bahan kuliah Sosiologi politik S2 ilmu politik ) hal 1-2 17 Ibid hal 2 15 12 sebelum indonesia merdeka, karena sifat dari pembentukan elitenya lebih didasarkan pada pemilihan yang alami dimana jabatan tersebut diserahkan langsung sesuai dengan kapasitas yang dia miliki. Sedangkan teorisasi elite yang kedua saya pakai untuk menganalisa terbentuknya komunitas baru elite politik setelah indonesia merdeka, dimana sirkulasi elitenya sudah didasarkan pada kompetisi. Saya mencoba membuat pemetaan dari dua pandangan teoritik diatas dimana proses terbentuknya elite tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh tiga model distribusi dari kekuasan tersebut18 yaitu model elite yang memerintah, model pluralis dan model populis. Model pertama melukiskan kekuasaan yahng dimiliki oleh sekelompok kecil orang (elite), model pluralis mengambarkan kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok sosial masyarakat, dan model populis melukiskan kekuasaan dipegang oleh setiap individu warga negara secara kolektif. Kemudian saya mencoba membingkai relasi antara demokrasi lokal di Sumatera Barat dengan tumbuhnya komunitas elite baru tersebut dengan memakai model Model voluntaris yang menempatkan rational choice sebagai instrumen untuk mendekati kekuasaan serta merujuk pemikiran Robert Dahl dalam melihat kekuasaan. Dimana, Dahl membingkai kekuasaan sebagai sebuah kapasitas untuk mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang diinginkannya Model voluntaris juga dipengaruhi dengan dengan analogi Newtonian yang menempatkan kekuasaan sebagai stimulus dari sebuah tindakan. Menurut Dahl19 supaya pemerintah bisa tanggap terhadap rakyat atau supaya pemerintah bisa berperilaku demokratis, maka rakyat harus diberikan kesempatan untuk: 1) merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri. 2)memberitahukan preferensi tersebut kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual atau kolektif. 3) mengusakan agar kepentingan itu di pertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak diskriminasi berdasarkan isi dan asal usulnya. 18 Ramlan Surbakti. Memahami ilmu politik. Garamedia Widiasarana Indonesia,Jakarta. 1992. hal 74-75 19 Robert Dahl. Polyarchy: participation and opposition. New Haven: yale .1973 dalam Dr. Mohtar Mas’oed. Negara capital dan demokrasi.Pustaka pelajar. Yogyakarta. 2003. hal 19 13 Ada keyakinan saya untuk melihat cara pandang desentralisasi dan demokrasi lokal untuk memaknai dan membingkai sebuah komunitas baru elite politik minangkabau, karena desentralisasi dan transisi demokrasi lokal yang saya kemukakan di sini mempunyai misi: (1) nagari dapat dipahami dengan kerangka pemerintahan sendiri yang berbasis (self-governing community). Konsep ini menggambarkan bahwa nagari adalah sebuah republik kecil, sebuah formasi pemerintahan otonom yang melekat pada nagari sejak lama. Nagari adalah suatu kesatuan geneologis dan teritorial yang menjadi dasar terbentuknya berbagai sistem dalam kehidupan bermasyarakat meliputi sistem pemerintahan, ekonomi, sosbudaya. Artinya nagari mempunyai otonomi (kemandirian) dalam membangun organisasi kekuasaan dan pemerintahan sendiri, keleluasaan mengambil keputusan lokal, mengelola pemerintahan sehari-hari secara mandiri, mengelola sumberdaya lokal sendiri, mengelola interaksi sosial, mempunyai pola pengelolaan konflik dan sistem peradilan sendiri. Self-governing community, pada prinsipnya, telah lama hidup sebelum nagari diintegrasikan ke dalam negara, yang dikerangkai dengan aturan (hukum) adat. Mengikuti hukum nasional, self-governing community berarti sebagai bentuk kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak dan kewenangan sesuai dengan asal-usulnya. (2) ketika nagari sudah masuk ke dalam formasi besar negara-bangsa, maka konsep subsidiarity sangat penting untuk memaknai ulang keberadaan nagari (1903-2007). Nagari sekarang berbeda dengan nagari dulu. Nagari dulu sangat otonom, mempunyai self-governing community bagaikan republik kecil yang terbebas dari kekuasaan pusat. Nagari sekarang tidak sepenuhnya otonom dari struktur negara. Struktur negara yang hirarkhis (dari pemerintah nasional, Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten) telah melakukan desentralisasi kekuasaan, kewenangan dan sumberdaya pada nagari 20. Dengan kalimat lain, otonomi nagari sekarang adalah “pemberian” negara. Karena itu, untuk membangkitkan (revitalisasi) semangat “republik kecil”, konsep subsidiarity adalah jawabannya. Sebagai sebuah prinsip politik, subsidiarity bukan sekadar berbicara tentang pembagian kewenangan ke unit pemerintahan yang lebih rendah, melainkan berbicara tentang pengambilan keputusan dan 20 Ada pelimpahan sebahagian urusan dan kewenangan pemerintah kabupaten ke pemerintah Nagari, contoh Kabupaten Solok melimpahkan 106 urusan dan kewenangan kepada pemerintah nagari sesuai dengan SK Bupati No 16 tahun 2001. 14 penggunaan kewenangan secara mandiri oleh unit pemerintahan atau komunitas yang paling rendah. Lokalisasi keputusan dan kewenangan pada pemerintahan terendah ini membutuhkan jaminan legal dan fasilitasi dari struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Kalau subsidiarity berjalan, maka nagari – dalam beberapa hal - tidak perlu lagi “mohon petunjuk” atau “menunggu Perda” dari Kabupaten. (3) demokrasi ala Minangkabau bisa dipahami secara lebih tepat dengan menggunakan demokrasi komunitarian (komunitas) atau dalam nama lain ketika saya akan menganalisa proses transisi demokrasi dimulai dari tahun 1903-200. Demokrasi komunitarian tidak sekadar berbicara tentang aturan main dan prosedur pengelolaan kekuasaan (misalnya aturan tentang Trias Politica), masyarakat sipil (civil society) dan pluralisme (terbuka, toleran, inklusif, nondiskriminatif, dll). Bab 4. Tujuan Penelitian. Tujuan dari proposal singkat ini sebenarnya ingin mengkonseptualisasikan proses transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di Sumatera Barat yang dilakukan oleh elite baru politik minangkabau, dan mencoba menawarkan cara pandang yang lebih komprehensif tentang fenomena sosial-politik masyarakat Minangkabau. Hal ini disebabkan karena dalam banyak literatur dan pemikiran para ahli tentang Minangkabau, saya berasumsi bahwa dinamika transisi demokrasi di nagari dipengaruhi oleh demokrasi dari Barat. Keberadaan demokrasi barat inilah yang menyebabkan berbagai fenomena yang berkembang dalam elite Minangkabau. Maka penelitian ini secara khusus diharapkan dapat menemukan model tentang bagaimana cara membaca proses transisi demokrasi pada tingkat lokal pada nagari. Bab 5. Metode Penelitian Penelitian tentang transisi Demokratisasi lokal pada nagari di Sumatera Barat merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Jenis dan sumber data berupa data primer (melalui wawancara mendalam dengan aparatur di pemerintahan nagari (Wali nagari, Badan Musyawarah Nagari, kerapatan Adat nagari), tokoh-tokoh informal dalam nagari ( Ninik mamak, alim ulama, dan Bundo kanduang ) dan Biro Pemerintahan Nagari Propinsi Sumatera Barat, 15 Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM), Pemerintah Kabupaten Solok (bagian Pemerintahan Nagari) Selain itu untuk membantu menjelaskan masalah yang diteliti, penelitian ini juga mengunakan sumber tertulis (data sekunder) seperti sumber dari arsip, dokumen pribadi, dokumen resmi, majalah ilmiah, dan seterusnya. Sedangkan unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah individu, dimana lebih difokuskan pada tokoh masyarakat (elite) yang duduk di pemerintahan nagari dan elite yang berada diluar pemerintahan nagari serta Stakeholder yang ada dalam pemerintahan. Untuk pengambilan informan dalam penelitian ini digunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Oleh karena penelitian ini ingin menemukenali proses transisi demokrasi lokal pada nagari di Sumatera Barat, maka penggunaan teknik ini dianggap sesuai dengan tujuan penelitian. Informan penelitian dipilih secara sengaja (purposive) berdasarkan kedudukan mereka dalam nagari. Dengan demikian jumlah informan pada akhirnya sangat ditentukan oleh kondisi lapangan. Untuk tokoh masyarakat nagari yang nantinya akan memberikan penjelasan tambahan tentang pelaksanaan demokrasi lokal pada pemerintahan nagari di Sumatera Barat maka proses penarikan informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowball dan berakhir hingga pada titik jenuh tertentu dengan ditemukannya suatu pola yang berulang atas jawaban dari pertanyaan yang diajukan ke informan tersebut. Adapun lokasi penelitiannya adalah dengan kriteria yaitu: Nagari yang terbentuk secara alami atau nagari yang sudah ada dulunya sejak zaman penjajahan belanda dan kembali direorganisasikan melalui perda Propinsi Sumatera Barat No 9/2000 jo No 2/2007 tentang pemerintahan nagari dan karakteristik masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat sebagai identitas sosio kultur dalam kehidupannya, yaitu Nagari Jawi- Jawi. Untuk menjaga keabsahan data maka dilakukan teknik triangulasi data agar validitas dan reliabilitas terhadap data yang diperoleh tercapai. Sedangkan untuk data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan prinsip metode kualitatf deskriptif yaitu dengan mendiskripsikan data yang diperoleh dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Disamping perolehan data dari pelaporan “on the spot”, data yang banyak tersebut juga harus direduksi dengan 16 jalan membuat abstraksi sebagai sebuah rangkuman yang inti. Di sini akan dicoba mendiskripsikan bagaimana proses transisi demokrasi lokal pada pemerintahan nagari di Sumatera Barat dan akhirnya terbentuk varian yang berbeda pada tiap nagari melalui Analisis dilakukan berdasarkan pandangan-pandangan informan (emik) yang sudah di validasi dengan menggunakan metode triangulasi. Kesimpulan dari analisis yang dilakukan terkait pada gabungan data yang didapat dari informan (emik) dan interpretasi peneliti (etic) terhadap data lapangan tersebut. Bab 6. Hasil dan Pembahasan Proses Transisi Demokrasi Lokal A. Proses Transisi pertama: Demokratisasi Lokal Sebagai Proses Pembentukan Identitas politik di tingkat ”nagari” Gelombang transisi demokrasi di Indonesia pasca reformasi telah membawa perubahan dan kemajuan yang berarti, tetapi juga menyajikan banyak problem dan tantangan konsolidasi serta menampilkan pergulatan antara warisan masa lampau yang masih mengakar dengan ide-ide alternatif untuk pembaharuan. Reformasi sistem pemerintahan yang dilakukan melalui proses desentralisasi Indonesia menunjukkan dua kecenderungan. Pertama, proses pergeseran itu cenderung dilihat sebagai persoalan ekonomi dan politik semata ketika identifikasi persoalan dan pemecahan yang dilakukan cenderung mengabaikan dimensidimensi sosial budaya21. Kedua, reformasi sistem pemerintahan masih menjadi konsep top-down yang proses pembagian otoritas politiknya masih didasarkan pada konsepsi politik dan kemauan politik pemerintah pusat22. Namun demikian, transisi demokrasi lokal secara bertahap dan pelan-pelan telah mendorong tumbuhnya pemerintahan lokal yang semakin terbuka. Fenomena pergeseran dari pemerintahan birokratis (bureaucratic government) ke pemerintahan partai (party government) merupakan sebuah contoh hadirnya pemerintahan yang semakin 21 Perubahan ekonomi dan politik tidak hanya direduksi dengan cara yang begitu sederhana sehingga mengabaikan dimensi sosial dan dimensi budaya dalam proses penciptaan suatu tatanan yang lebih baik dalam Soedjatmoko. 1983. Dimensi Sosial Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Dan Irwan Abdullah, 2003. Masalah Kebudayaan dalam Pembangunan. Dalam Humaniora, Vol.XV. 22 Dalam hal ini Otoritas lokal belum menjadi praktik aktual yang berlangsung secara dialogis dalam hubungan pusat –daerah 17 terbuka. Demokrasi mengajarkan bahwa kekuasaan politik dalam pemerintahan harus diorganisir melalui arena masyarakat politik, yakni “kompetisi” secara terbuka di antara aktor politik dan “partisipasi politik” masyarakat sebagai basisnya. Pemerintahan partai yang dibangun dari kompetisi dalam arena masyarakat politik, secara teoritis akan membuat linkage antara masyarakat dengan sistem politik. Menurut Dormeier- Freire dan Maurer23 desentralisasi bisa diinterprestasikan dengan tiga cara yaitu: (1) sebagai delegasi tugas- tugas tertentu sementara pusat masih menguasai tanggung jawab keseluruhan, yang bisa dibandingkan dengan UU 1974; (2) dekonsentrasi, yang mengacu pada pergeseran desicion making dalam negara terdesentralisasi, yang tercermin dalam Undangundang 1957; (3) devolusi yang menyangkut transfer kekuasaan secara aktual ketingkat- tingkat pemerintahan yang lebih rendah dan ini di implementasikan pada tahun 200124. Hal ini kemudian dipertegas dengan wawancara peneliti dengan salah seorang informan di lokus penelitian ”...Ketika UU No 5/1974 merumuskan supremasi pusat atas daerah- daerah, meskipun UU ini mendefenisikan propinsi dan kabupaten sebagai tingkat yang otonom serta memunculkan representasi bottom-up, dalam prakteknya pemerintah daerah tetap melaksanakan pembangunan secara top-down, para administrator daerah kenyataannya adalah agen- agen pusat. Dengan lahirnya UU No22/1999 jo 32/2004 tenang pemerintahan daerah ditambah lagi dengan menghidupkan kembali pemerintahan terendah yang berciri khas lokal seperti nagari, mempunyai arti khusus bagi sumatera barat dimana devolusi kekuasaan yang substansial telah membawa pemerintah kembali dekat dengan rakyat untuk menyodorkan transparansi yang lebih besar...”25 (daftar wawancara terlampir) Berdasarkan hasil analisis peneliti UU No 22 tahun 1999 jo 32 tahun 2004 telah menghidupkan kembali proses transisi demokrasi, desentralisasi dan devolusi yang dulu terhenti di akhir tahun 1950-an, karena otonomi baru diletakan pada tingkat kabupaten dan kota, kekuasaan propinsi seakan- akan telah Alexandre Frere Dormeire dan Jean- Luc Maurer. 2002. ’Le Dilemme de la decentraloization en Indonesie’, Archipel. dalam politik lokal di Indonesia. 2007. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Hal 16. 24 Untuk kasus Sumatera Barat sendiri adalah mengembalikan struktur pemerintahan terendah dari desa menjadi nagari 25 Wawancara dengan Bupati Solok pada tanggal 19 Mai 2009 23 18 dilucuti. Ketika dipandang dari perspektif ini transisi demokrasi lokal, desentralisasi dan devolusi menjadi sebuah strategi devide-et-impera dari pusat, yang ditujukan kepada kabupaten dan kota dengan tujuan memungkinkan kembali terjadi fragmentasi admnistratif sekaligus tetap mempertahankan kontrol fiskal di pusat. Dalam konteks demokrasi lokal bahwa makin besar otonomi suatu pemerintah daerah, baik dalam arti kewenangan membuat keputusan maupun kewenangan keuangan, akan makin besar pula derajat proses politik yang khas lokal (local politics) Terkait dengan proposisi tersebut, maka peneliti mengambil sebuah generalisasi bahwa: Pertama, makin besar otonomi lokal, makin besar proses transisi demokrasi dan politik lokal yang khas daerah. Kedua, makin intesif peran elit masyarakat, makin berkembang dinamika sosial politik di daerah yang bersangkutan. Ketiga, makin dinamis proses demokratisasi maka makin dinamis pula perkembangan politik lokal di daerah. Seiring dengan diberlakukannya Undang-Undang No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah merupakan peluang yang luas untuk melakukan proses transisi demokrasi di tingkat lokal. Selain itu, pembuatan dan penegakan berbagai peraturan untuk mencapai perubahan sosial dalam masyarakat akan melibatkan berbagai pihak seperti legislatif, eksekutif dan birokrasi, elit politik dan ekonomi, kelompok-kelompok kepentingan dan masyarakat. baik melalui perumusan dan pelaksanaan berbagai kebijakan untuk mengatur wilayah otonominya. Sepintas lalu peran pemerintah pusat tinggal seperti negara penjaga malam 26, daerah mempunyai otonomi dalam hubungannnya dengan pekerjaan umum, pendidikan dan kebudayaan, pemeliharaan kesehatan, pertanian, perhubungan, industri, perdagangan, invertasi, masalah- masalah lingkungan, tenaga kerja, koperasi dan tanah27. Tetapi upaya untuk memahami sifat dari sebuah transisi demokrasi salah satunya menurut analisa penulis yaitu mencermati pengaturan fiskal, ketika UU No 22/1999 jo UU. 32/2004 memfasilitasi sebuah devolusi kekuasan, UU No 25/1999 jo UU No 33/2004 tentang perimbangan antara keuangan pusat dan 26 Sisa tanggung jawab yang hanya segelintir termasuk pertahanan dan keamanan nasional, kebijakan luar negeri, masalah- masalah fiskal dan moneter, perencanaan ekonomi –makro, sumber- sumber alam, kehakiman dan agama 27 Henk Schute Nordholt dan Gerry Van Klinken. 2007. Politik lokal di Indonesia. Op. Cit. Hal 18. 19 daerah, masih mempunyai sifat sentralistis. Ini mengisyaratkan pemerintah pusat masih tetap mempertahankan cengkramannya pada sumber- sumber utama pendapatan daerah. Jadi apa yang sebenarnya terjadi untuk sebuah demokratisasi lokal di indonesia adalah sebuah desentralisasi kekuasaan administratif yang disubsidi secra besar- besaran oleh pemerintah pusat28. Transisi demokrasi lokal dalam wujud desentralisasi ”nagari” merupakan kebijakan negara yang dibutuhkan untuk mendukung otonomi nagari. ketika nagari berada dalam formasi negara. Prinsip dasar transisi demokrasi adalah pengakuan negara terhadap eksistensi nagari (sebagai kesatuan masyarakat hukum atau sebagai local self-government), yang kemudian diikuti dengan pembagian kekuasaan, kewenangan, sumberdaya dan tanggungjawab kepada nagari . Untuk membuat desentralisasi nagari bekerja, mau tidak mau, harus dimulai dari upaya membuat struktur pemerintahan secara nonhirarkhis. ”... Indonesia sejak dulu mewarisi struktur pemerintahan tersusun secara hirarkhis ketika kesatuan hukum masyarakat lokal diintegrasikan ke dalam formasi negara. Formasi negara sudah tersusun secara hirarkhis (pusat, provinsi, kabupaten dan desa pada waktu memakai UU No 5/1979) sehingga menghilangkan struktur self-governing community. Hirarkhi itu adalah realitas. Dalam memformulasikan otonomi nagari, kita tidak bisa berangkat dari titik nol, melainkan memperhatikan level (jika bukan diterima sebagai hirarkhi) pemerintahan yang sudah ada: pusat, provinsi, kabupaten dan nagari. Provinsi dan kabupaten/kota yang menjadi sentrum pembicaraan tentang basis otonomi daerah/nagari tentu tidak bisa saling meniadakan dan juga tidak bisa memandang sebelah mata terhadap nagari, yang konon mempunyai “otonomi asli” dan self-governing community jauh lebih tua ketimbang provinsi dan kabupaten. Apalagi nagari merupakan basis kehidupan yang paling dekat dengan masyarakat...”29 28 Kriteria distribusi sumber- sumber dana unutk pemerintah kabupaten dan kota sangat kompleks semuanya tergantung pada besarnya populasi, tingkat kemiskinan, kondisi geografis dan indeksindeks harga. 29 Wawancara dengan kepala Biro pemerintahan Nagari pada Tanggal 5 Mai 2009. 20 B. Proses Transisi kedua : menciptakan ”Negara demokratis baru” Cara Pandang Awal Membangun Kehidupan Bernagari Negara demokratis baru adalah sebuah negara yang ideal, terbuka dimana ada sebuah desentralisasi dan sebuah devolusi.30 Elemen dasar dari negara demokrasi baru menurut Giddens adalah Devolusi, pembaharuan ruang publik --- transparasi, efisiensi administrasi, mekanisme demokrasi langsung, pemerintah sebagai pengelola resiko Giddens31 menjelaskan bahwa heterogenitas itu sendiri bukan merupakan suatu halangan. Ia merupakan bagian terpenting yang tak dapat dipisahkan dari makna “bangsa kosmopolitan” yang sesungguhnya. Kehadiran masyarakat dalam wilayah publik yang terbuka merupakan bagian dari perluasan arena gerakan rakyat dengan cara ikut berpartisipasi di dalam pembentukan kebijakan daerah sebagai upaya penguatan basis lokal. Penguatan basis lokal tersebut diharapkan bisa mengubah taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih bermartabat. Oleh sebab itu, bagaimana menggunakan pintu pemberian otonomi daerah ini menjadi titik masuk bagi demokratisasi dan partisipasi rakyat. Sementara pertumbuhan otoritas pemerintah pusat yang disejajarkan dengan pemerintah lokal untuk melakukan stabilitas ekonomi dan politik serta meningkatkan partisipasi dalam program pembangunan. Penulis memakai skema yang dibuat oleh giddens untuk menjelaskan bagaimana bentuk negara demokrasi baru yang dikonsepsikan, dapat menjelaskan sebuah kerangka berpikir dalam mempelajari sebuah demokratisasi lokal pada tingkat nagari di Sumatera Barat. 30 Anthony Giddens. The Third Way The Renewal Of Social Democracy.published in the USA by Blakwell Publisher Ltd. : 350 Main Street Malden, MA 02148. USA. (terj: Jalan ketiga Pembaharuab demokrasi social. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1999. hal 89. 31 Anthony Gidden. 2000. Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka. 21 Gambar 1 Nation –State And Violence Berdasarkan Konsepsi Giddens32 Gerakan kebebasan berbicara Gerakan buruh. Gerkan perdamaian Gerakan ekologi Kebudayaan kounter Dalam konsepsi ini giddens menjelaskan bahwa negara mempunyai sebuah kepentingan yang otonom dari para kapitalis dalam menjalankan pengawasan atau surveillance. Yang digaris bawahi dalam pemikiran Giddens ini bahwa di dunia ini muncul aneka gerakan dan gerakan tersebut mempunyai usul yang berbeda. Konsep ini diterapkan untuk menerangkan perbedaan masyarakat dan kepentingan yang mendasarinya. Giddens tidak percaya bahwa perubahan kearah masyarakat yang lebih adil dapat dicapai dengan meningkatkan peranan negara33. Sehingga untuk menciptakan sebuah bentuk negara yang lebih demokratis harus diterapkan sepenuhnya sebuah konsep desentralisasi dan devolusi34. Konsepsi pemikiran giddens tentang nation-state and violence ini kemudian penulis kembangkan dalam bentuk kerangka berpikir baru yaitu: Gambar 2 Nation-State And Violence “Nagari” Demokratisasi lokal Nagari Gerakan masyarakat minang . Gerakan perdamaian Gerakan ekologi Budaya minangkabau LKAAM 32 Ibid hal xiv Ibid hal xviii 34 Ibid. Hal 89. 33 22 Penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan UU No 5/1979 yang telah menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan desa secara nasional, dalam kenyataannya telah menyebabkan kesulitan dan permasalahan dalam sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Sumatera Barat. Ketika UU No 22/1999 masih dalam bentuk draf dan sesuai dengan momentuk reformasi masyarakat sumatera barat melakukan sebuah gerakan menuntut pemerintah pusat untuk menghapus pemerintahan terendah dalam bentuk desa dan menggantikannya dengan nagari. Deskripsi dari nation- state violence ” nagari” dijelaskan dalam pointer dibawah ini: (1) gerakan ekologi pertama yang dilakukan masyarakat minang adalah dengan menguji pandangan elite dan tokoh masyarakat dengan melakukan jajak pendapat secara serentak mengenai kemungkinan pengembalian pemerintahan desa kepada pemerintaha nagari; (2) pada tanggal 15 desember 1998 di bentuklah tim elite yang terdiri dari tokoh masyarakat, ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, untuk melakukan pengkajian dengan mengambil beberapa nagari lama yang dijadikan sampel pengembalian pemerintaha desa ke nagari (3) jajak pendapat dilakukan pada bulan desember 1998- februari 1999 dengan hasil pengembalian pemerintahan desa ke nagari oleh seluruh masyarakat, dan ditolak oleh para kepala desa. (3) salah satu bentuk gerakan ekologi yang lain adalah dibentuk sebuah musyawarah kerja Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) dan membuat sebuah rekomendasi agar sistem pemerintahan desa dirubah menjadi nagari serta menghidupkan kembali konsep desentralisasi serta devolusi kepada nagari sebagai unit pemerintahan terendah. Devolusi dan kekuasaan dalam bagian sebuah negara demokrasi baru di sumatera barat disahkan pada tanggal 16 Desember 2000, yang diiringi juga dengan desentralisasi kewenangan dalam bentuk pemerintaha kabupaten menyerahkan sebahagian kewenangan dan tugasnya kepada pemerintahan nagari35 dan menghidupkan kembali eksistensi KAN sebagai lembaga yudikatifnya nagari. 35 Ada pelimpahan sebahagian urusan dan kewenangan pemerintah kabupaten ke pemerintah Nagari, contoh Kabupaten Solok melimpahkan 106 urusan dan kewenangan kepada nagari sesuai dengan SK Bupati No 16 tahun 2001. 23 C. Proses transisi ketiga: Pergeseran Perubahan Pemerintahan Desa Ke Nagari Termasuk lembaga nagari dan komunitas elite nagari C.1 . Republik Nagari (wali nagari, BMN dan KAN ) dengan dua sistem keselarasan36 Historiografi, etnografi, dan adat minangkabau selalu menekankan bahwa nagari adalah kesatuan sosial utama yang dominan yang menjadi ciri khas masyarakat Minangkabau. Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang otonom, dan merupakan sebuah republik mini dengan teritorial yang jelas bagi anggota- anggotanya. Mempunyai pemerintahan sendiri dan mempunyai adat sendiri yang mengatur tata kehidupan anggotanya37. Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa nagari di Minangkabau merupakan persekutuan hukum yang berdasarkan teritorial maupun geneologis. Suatu nagari mempunyai batas wilayah kekuasan tertentu dan harus terdiri dari minimal 4 suku dasar berdasarkan geneologis ( koto, piliang, bodi dan chaniago). Sebagai suatu persekutuan hukum, nagari merupakan sebuah persekutuan yang terlengkap susunan pemerintahannya, sehingga Charul Anwar38 mengumpamakan sebagai suatu kesatuan kenegaraan , sebuah negara kecil. Dalam sistem pemerintahan nagari inilah, seperti yang dikemukan oleh Soejono Soekanto dan Taneko39 disebut adanya dua sistem yaitu bodi Chaniago dan Koto Piliang. Secara tradisional pemimpin dalam masyarakat minangkabau adalah penghulu. Penghulu biasanya berhak dan memiliki hak istimewa dan khusus (privilige) untuk menjadi pemimpin sebuah nagari. Penghulu dalam memimpin nagari berada dalam kelembagaan kolektif yang biasa dikenal dengan kerapatan Adat. Atau kerapatan Adat Nagari. Mereka secara kolektif kelembagaan memimpin nagari Minangkabau bersama dengan alim ulama dan cerdik pandai yang tergabung dalam tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan. Untuk menjalankan sistem pemerintahan nagari, tradisi sosial politik nagari yang berlaku secara adat berdasarkan (1) lareh koto piliang, (2) lareh Bodi Caniago. 36 Sistem keselarasan merupakan sebuah sistem pemerintahan adat yang ada di minangkabau Prof. Imran Manan, MA, Phd. Tulisan ini di sarikan dari Minangkabau pra- kolonial dalam Nagari Dalam Perspektif Sejarah. Lentera 21. hal 3 38 Chairul Anwar . (1997). Hukum Adat Indonesia, Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Jakarta: Rineka Cipta. Hal 24 39 Soerjono Soekanto dkk. (1986). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali. Hal 25. 37 24 Dari kedua sistem diatas aspek yang sama pengertiannya adalah bahwa penghulu sama dengan kepala atau pemimpin adat. Penghulu dapat dikatakan juga sebagai pemimpin masyarakat Minangkabau. Seorang penghulu memiliki persyaratan yang substansial yaitu: ” lubuk akal, lautan budi, tahu diadat dan pusako, tahu menimbang sama berat, tahu mengagak, mengagihkan” ( sumber akal dan budi, mengerti adat istiadat dan bersikap adil.40 Penghulu dengan demikian dianggap sebagai pelindung dan pemimpin rakyat dalam arti sebenarnya. Pengakuan secara yuridis terhadap nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Minangkabau, terutama sejak berlakunya UU No 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, adalah dikeluarkanya peraturan pemerintah daerah Propinsi (Perda Dati 1) Sumatera Barat No 13 tahun 1983 tentang nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam Propinsi Daerah tingkat 1 Sumatera Barat yang lebih dikenal dengan Perda 13. Menunjuk kepada persyaratan yang harus dipenuhi untuk adanya kesatuan masyarakat hukum adat, maka sebagai suatu persekutuan, nagari agaknya sangat memenuhi syarat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat yang otonom. Peryataan ini dapat juga dilihat dari esensi yang terkandung dalam UU nagari seperti yang dikutip oleh A.A. Navis41 dan M. Nasroen42 Secara historis, republik nagari dilakukan oleh sebuah dewan yang disebut sebagai Rajo Tigo Selo (raja tiga sila) dengan batas kekuasaan yang dijelaskan sesuai dengan panggilan mereka; 1. Rajo Alam Nan Dipatuan, berkedudukan di pagaruyung yang merupakan penguasa tertinggi. 2. Rajo Adat, berkedudukan di Buo bertugas di bidang adat. 3. Rajo Ibadat, berkedudukan di supur kudus, bertugas dibidang agama. Ketiga penguasa ini dibantu oleh suatu dewan pemerintahan yang disebut sebagai Basa Ampek balai dengan pimpinan Bandaharo dengan batasbatas kewenangannya: 40 Ibid . hal 26. M.Nasroen. 1971. Dasar Falsah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang. Hal 136 42 A.A. Navis .1984. Alam Takambang Jadi Guru, Adapt Dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT Graviti Perss. Hal 194. 41 25 1. Bandaharo, berkedududkan di Sungai Tarab, memegang urusan adat 2. Pandito(Tuan Kadi), berkedudukan di padang ganting, memegang urusan agama. 3. Mengkudum, berkedudukan di Sumanik memegang urusan keamanan. 4. Indomo, berkedudukan di Saruaso yang memegang urusan perekonomian Bandaro dibantu oleh Manti ( pencatat atau sekretaris ), panglimo di bantu oleh dubalang dan kadi di bantu oleh imam bilal, chatib. Tiap putusan yang diambil baik ditingkat kampung , kaum suku maupun nagari dilakukan secara musyawarah. Musyawarah ditingkat nagari disebut sebagai kerapatan nagari, yang merupakan lembaga kekuasaan tertinggi dalam nagari. Pengambilan keputusan tersebut berdasarkan alur dan patut, alur adalah kosepsi adat yang telah diakui secara umum, sedangkan patut adalah penerapan melalui ruang dan waktu. Sistem pemerintahan nagari seperti yang dideskripsikan di atas eksistensinya telah berubah, oleh sistem pemerintahan nasional terutama sejak berlakuknya UU No 5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa, yang menghapuskan pemerintahan nagari sebagai tingkat pemerintahan terendah dibawah kecamatan. C.2. Bentuk Intervensi Negara Terhadap Nagari Tabel 2 Bentuk Intervensi Negara Terhadap Nagari Yang Tertuang Dalam Peraturan Perundang-Undangan Sejak 1903 - 2007 Tentang Pemerintahan Nagari43 No Tahun 1 Tahun 1903 mengeluarkan Decentralisatiwed (staatsblaads no. 329/1903) yang memberikan peluang terbentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri, Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada “ Raad” atau dewan masyarakatmasyarakat daerah. Tahun 1905 Decentralisatiebesliwet (staatsblaad no. 137/1905) dalam hal ini pemerintah daerah tidak punya kewenangan, dewan daerah hanya berhak membentuk peraturan setempat yang meyangkut hal-hal yang belum diatur oleh pemerintah kolonial, pengawasan pemerintahan setempat dilaksanakan sepenuhnya oleh GubernurGeneral Hindia Belanda di Batavia. 2 Bentuk intervensi negara. 43 Roni Ekha Putera. 2006. Modul Matakuliah Sistem Pemerintahan Desa dan Nagari. Padang: Fisip Universitas Andalas. 26 3 Tahun 1922 UU baru Wet op de Bestuurshervormin (Staatsblaads no. 216/1922) dibentuk sejumlah provincie, regentschap, stadsgemente dan groepmeneenchap 4 Tahun 1931, Inlandsche Gemeente Ordonientie Buitengewesten/IGOB (staatsblaads no. 356/1941), undang-undang ini tidak sempat diselenggarakan karena terjadinya perang Dunia II Ada beberapa hal yang perlu diketahui dari pelaksanaan IGOB: 5 Osamu Seire No. 27 tahun 1942 6 Tahun 1946 7 Tahun 1950 Pemerintah Nagari dijalankan oleh kepala Nagari Anggota dewan perwakilan anak Nagari terdiri dari fungsionaris adat yang diakui oleh penjajah (Kerapatan Adat Nagari) Kewenangan dimiliki oleh Kerapatan Adat Nagari dalam pemerintahan adat Keputusan diambil dengan suara bulat/mufakat Landasan hukum adalah hukum adat yang tidak tertulis yang mengatur penyelenggaraan pemerintah daerah. Misalnya Jawa dibagi dalam Syuu (yang dikepalai oleh Syuu Tyookan), Syuu dibagi menjadi Ken (yang dikepalai oleh Kentyoo), Ken dibagi menjadi Si (yang dikepalai oleh Sintyoo), sedangkan daerah khusus disebut Tokubetusi (yang dikepalai oleh Tokobetusi Sityoo). Pada masa ini pemerintahan provinsi dibuang dan penyebutan daerah otonom pada masa Jepang ini merupakan sesuatu yang menyesatkan. maklumat Residen Sumatera Barat No. 20 dan 21 tentang perubahan dalam susunan kelembagaan Nagari (Wali Nagari, DPN, DHN). Isi dari maklumat Residen; Pemerintahan Nagari dijalankan oleh wali Nagari bersama DHN (dewan Harian Nagari) Keanggotaan BPN dipilih langsung oleh rakyat disebut DPN (Dewan Perwakilan Nagari) Dalam hal kewenangan, yang berkaitan dengan pemerintahan diurus oleh DPN dan urusan adat yang diurus KAN Keputusan diambil dengan suatu terbanyak Landasan hukum adalah hukum negara Perda Propinsi Sumatera Tengah No. 5/G.P/1950. Dalam perda ini pemerintahan Nagari diganti menjadi pemerintahan wilayah. Hal yang menarik dari perda ini adalah dilakukannya sosialisasi perda, dimana Nagari yang berdekatan bergabung menjadi satu Nagari yang otonom (wilayah). Yang dipimpin oleh kepala wilayah yang diangkat dan diberhentikan oleh gubernur. Dengan konsekuensi DPN dan DHN dihapuskan dan wali Nagari dari masing-masing Nagari bergabung menjadi tepatan wilayah yang dipimpin oleh wali tepatan. Kendalanya adalah pembentukan wilayah berotonomi kurang didukung dengan faktor sosialisasi politik dan sosialisasi budaya dan tidak mempertimbangkan Nagari sebagai satu kesatuan wilayah pemerintahan dan komunitas suatu masyarakat. 27 8 Tahun 1954 9 Tahun 1955 10 1958 11 1959 12 1962 Peperda No. Prt/Paperda/01/4/1962 pemerintahan Nagari 13 1963 14 1968 Keputusan Gubernur Sumbar No. 02/GSB-Prt/1963 tentang Nagari dan pemerintahan dalam provinsi. Susunan pemerintahan Nagari adalah kepala Nagari, badan musyawarah Nagari, musyawarah gabungan, alat-alat perlengkapan Nagari (Pamong Praja, Panitera Nagari, dan Pegawai Nagari) Keputusan Gubernur sumbar No. 015/GSB/1968 tentang pokokpokok pemerintahan Nagari dalam daerah Provinsi Sumbar. Susunan Pemerintahan Nagari (wali Nagari, DPRN, Kerapatan Nagari, Penasehat Pemerintahan Nagari). Keputusan Gubernur Sumbar, No. 155/GSB/1974 tentang pokokpokok pemerintahan Nagari, No. 156/GSB/1974 tentang Kerapatan Nagari, No. 157/GSB/1974 tentang tata cara pemilihan Wali Nagari. Dalam surat keputusan tersebut konsep Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum yang merupakan bentuk pemerintahan terendah di Sumbar tidak berubah. Dari semua peraturan/keputusan hanya satu keputusan/peraturan yang tidak menghormati hak asal-usul Nagari adalah Perda Provinsi Sumatera Tengah No. 50/GP/1950 yang menghapuskan pemerintahan Nagari dan KAN. Nagari adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan pemerintahan dasar dari negara Republik Indonesia yang tertentu batas-batas wilayahnya, mempunyai harta benda sendiri, berhak mengatur rumah tangganya dan memilih penguasanya. 15 1974 dikeluarkannya petunjuk pelaksana sistem pemerintahan Nagari oleh MENDAGRI no. DDX/5/1/2 tanggal 17 februarai 1954 Keputusan Gubernur Sumatera Tengah No. 2/6/1955, tentang tata cara pembentukan DPRN sebagai penggaanti kerapatan Nagari menurut IGOB di jaman Penjajah. Hal yang menarik dari pelaksanaan keputusan di atas adalah adanya situasi yang tidak kondusif untuk melaksanaklan keputusan gubernur tersebut. Alasan berakibat pada; (1) pemilihan DPRN dan wali Nagari bersamaan waktunya dengan persiapan pemilu pertama bangsa kita, karena sistuasi politik sedang meninggi yang terlaksana hanya pemilihan wali Nagari saja. Alasannya; kedudukan wali Nagari menjadi rebutan diantara parpol yang ada di Nagari, sehingga menjadi terkotak-kotak. (2) kepemimpinan mereka hanya diterima sebagai hasil agitasi tidak berdasarkan kharismatik sebagaimana yang ada dalam masyarakat. keputusan Gubernur KDH Tk I Sumbar No. GSB/I/KN/ 1958 tentang pemilihan, penunjukan, pemberhantian dan perwakilan Nagari dalam daerah. Perda No. 32/1959 tentang susunan kerapatan Nagari dan cara pembentukannya. Kerapatan Nagari terdiri dari penghulupenghulu, laim ulama, cerdik pandai yang kedudukannya sangat penting dalam pemerintahan Nagari. tentang penertiban 28 16 1979 UU No. 5 Tahun 1979 tentang pokok-pokok pemerintahan desa. 17 1981 Perda No.7 Tahun 1981 tentang pembentukan, pemecahan, penyatuan, dan penghapusan desa dalam provinsi. Daerah Tk I Sumbar (mengacu pada instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1980. dalam hal ini yang dijadikan desa berkaitan dengan besarnya jumlah Inpres bantuan pembangunan Desa yang akan diterima. 18 1983 19 1983 20 1999 Surat keputusan Gubernur Sumbar No.162/G.SB/1983, menyatakan bahwa terhitung 1 Agustus 1983 seluruh jorong yang merupakan bagian dari Nagari Nagari dinyatakan sebagai desa baru. Perda No. 13 Tahun 1983 tentang Nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dalam provinsi Sumbar (terdapat dualisme/dua sisi mata uang). Desa sebagai pemerintahan terendah secara nasional seluruh Indonesia dan Nagari tetap terjamin eksistensinya. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah 21 2000 22 2007 Tentang Pemerintahan Nagari, disini Nagari dalam pelaksanaannya lebih difokuskan Perda No. 09 Tahun 1999 yaitu bagaimana caranya memfungsikan Nagari sebagai basis Otonomi daerah (pasal III UU No. 22 Tahun 1999, pasal 16,17 Perda) yaitu dengan cara; Penegasan penyelesaian pembentukan Nagari yang diawali dengan keputusan bupati tentang Nagari, Tata cara Pemilihan Wali Nagari, BPN, KAN, MTTS Mengatur tata hubungan pemerintahan Nagari dengan camat, kabupaten dan provinsi. Revisi perda No 9/2000 menjadi perda No 2/2007 tentang ketentuan pokok pemerintahan nagari. Dengan mempertegas hubungan dan pola pertanggungjawaban walinagari kepada camat sebagai atasan langsug dari wali nagari. D. Nagari jawi- jawi dalam proses transisi nya dijadikan sebagai komunitas elite dan lembaga di nagari Secara adminitratif nagari jawi- jawi, kecamatan gunung talang terdiri atas empat jorong, yaitu jorong bali oli, pakan jumat, pinang sinawa, tangah padang. Sebelum ada intervensi negara terhadap pemerintahan terendah di Sumatera Barat, nagari jawi- jawi di atur oleh dua model sisten demokrasi yang dinamakan lambah44 yaitu: 1. Lambah jawi- jawi diatur oleh Dt. Tanbasa, bersuku caniago dengan ”empat jinihnya” 44 Lambah sebuah system demokrasi yang ada dalam nagari jawi- jawi 29 2. lambah koto gaek bintungan , yang dipimpin oleh Dt. Bandaro, dengan ”empat jinihnya”. Setelah ada intervensi negara pada masa berlakunya UU No 5/1979 dua model sistem demokrasi balai ini tidak berlaku lagi dan digantikan dengan pemerintahan desa. Ketika pemerintahan desa di hapus dan diganti dengan pemerintahan nagari, nagari jawi- jawi termasuk dari sekian banyak nagari yang ada di kabupaten solok yang menghidupkan kembali sistem demokrasi lambah, dengan segala bentuk pelaksanaannya, dan ini lah yang akan mejadi sebuah ciri khas variasi demokrasi yang akan peneliti bahas dalam bab selanjutnya . Kalau dilihat dari kondisi geografisnya nagari jawi- jawi, sebelah utara berbatasan dengan nagari cupak, selatan berbatasan dengan nagari koto gadang, sebelah barat berbatasan dengan kota padang, dan sebelah timur berbatasan dengan nagari koto gadang. Dengan luas nagari 2400 Ha, dan jumlah penduduk 2481 jiwa (1286 laki- laki, 1495 perempuan ). Nagari jawi- jawi adalah sebuah nagari tiga serangkai dengan nagari batang barus dan koto gaek guguk, tetapi perbedaannya disini, proses pembentukan nagari menjadi pemerintah terendah tidak begitu banyak intervensi pemerintah daerah didalammnya, dibandingkan dengan nagari batang barus. Ketika terjadi model “integrasi antara adat dan desa” atau terjadi peleburan antara desa dan adat di Sumatera Barat sejak tahun 2000 dengan menggabungkan (integrasi) desa negara dengan adat nagari menjadi satu wadah tunggal nagari45, Nagari jawi-jawi sudah mengenal pembagian kekuasaan berdasarkan Trias Politica: eksekutif (pemerintah nagari), legislatif (badan musyawarah nagari ) dan yudikatif (kerapatan adat nagari maupun majelis adat dan syarak) yang bertugas menjadi instusi peradilan lokal (penyelesaian konflik lokal, bukan pidana) dan badan pertimbangan kepada eksekutif dan legislatif agar kebijakan nagari tetap sesuai dengan adat dan agama, sesuai dengan adat setempat, kepemerintahan dan kepemimpinan nagari bertumpu pada tigo 45 Sebelumnya ada dualisme antara pemerintah desa negara dengan adat nagari (dan adat mengalami marginalisasi), maka sekarang terjadi integrasi ke dalam nagari, sehingga nagari tumbuh menjadi the local state. Tetapi sekarang Nagari kini menggabungkan antara skema local self government dan self governing community, atau menegakkan prinsip tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan (negara, agama dan adat). 30 sajarangan (ninik mamak, cerdik pandai dan alim ulama), yang sekarang ditambah unsur bundo kanduang dan pemuda, seperti yang tergambar dalam bagan dibawah ini Gambar 3 Skema Trias Politica Pada Nagari Jawi- Jawi Di Kabupaten Solok46 Masyarakat nagari (1) Aspirasi & Kebutuhan (3) Penyepakatan (2) Konsultasi dengan KAN (yudikatif) (1) Aspirasi & Kebutuhan Pemerintahan nagari sebagai eksekutif (4) Pengesahan dalam bentuk peraturan nagari BMN (Legislatif) D.1. Wali nagari dengan pemerintahan nagarinya (eksekutif) Dalam melaksanakan tugasnya, perangkat pemerintah Nagari menerapkan prinsip-prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi. Dimana Sekretaris Nagari 46 Nagari yang baru mempunyai sederet kewenangan yang lebih jelas dan alokasi dana untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kewenangan nagari antara lain mencakup kewenangan administratif, mengontrol tanah ulayat, pasar, tata ruang nagari, dan seterusnya. Keputusan untuk investasi di nagari, misalnya, tidak diputuskan secara sepihak oleh kabupaten, melainkan keputusan pertama terletak pada negari. Gerakan "kembali ke nagari" mungkin terlalu berlebihan, yang terjadi sekarang adalah menciptakan kembali (recreating) nagari, karena struktur nagari tidak lagi seperti "republik kecil" di zaman dulu. Format nagari sekarang telah berubah mengikuti pemikiran, semangat dan perubahan baru; dan yang lebih penting nagari "diatur" oleh Propinsi dan Kabupaten. Konsekuensinya, nagari tidak sepenuhnya otonom, melainkan harus mengikuti regulasi yang dibuat oleh negara. Gerakan Kembali ke nagari, bukan hanya sekedar kembali dan berimajinasi, bagaimana ‘nagari’ purba dahulu dijalankan. Tapi, kembali berarti menuju nagari dalam bentuk baru namun tak tercerabut dari nilai-nilai sejarahnya. Karena bagaimana pun sejarah dan betuk kehidupan selalu berubah. Makanya ‘nagari’ hari ini berada pada persimpangan jalan. Akankah nagari diformat ulang atau malah mendandani nagari dengan baju lamanya dahulu? Dalam locus inilah, penulis melihat ada sebuah bentuk kekuasaan negara yang diadosi oleh nagari dalam bentuk triaspolitica nagari. 31 bertanggung jawab kepada wali Nagari dan Kepala-kepala seksi bertanggung jawab kepada wali melalui sekretaris Nagari, serta Kepala jorong bertanggung jawab kepada wali Nagari Gambar 4 Struktur Pemerintahan Nagari Jawi- Jawi Guguk. Wali nagari Ady Gaffar, SE Sekretaris nagari Ismail Kasi pemerintahan Syafni helda Jorong balai oli lasperman Kasi trantib asral Jorong pakan jumat armitos Kasi pembangunan dan Keuangan Rosmelita. S.Sos Jorong tangah padang alamsir Jorong pinang sinawa Jamilus. B Sumber: data primer tahun 2009. “... menjelaskan figur-figur yang akan menjadi wali nagari mungkin tidak dari penghulu, tidak usah bernostalgia, tokoh yang diharapkan pasti ada, tetapi saat ini belum muncul kepermukaan bisa ditentukan atau bisa saja pegawai negeri tapi harus dipilih langsung oleh masyarakat jangan ditetapkan oleh pemerintah kabupaten kalau seandainya wali nagari itu PNS...”47 Berdasarkan tugas dan fungsi dari wali nagari dengan melihat pelaksanaannya pada nagari jawi- jawi peneliti melihat ada beberapa faktor yang tidak bisa dihindari dan harus dipertimbangkan untuk kelancaran Pemerintahan Nagari yaitu faktor pertama yaitu masalah adminstratif Nagari, untuk kembali kepada Pemerintahan Nagari masalah urusan administrasi baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang akan dilalui oleh masyarakat harus ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan Nagari dengan birokrasinya tidak mempersulit masyarakat dan tidak berbelit, untuk membenahi masalah administarsi Pemerintahan Nagari perlu bersinergi dengan KAN dan BMN serta pemerintah kabupaten atau propinsi. Oleh sebab itu hambatan yang menghadang terciptanya Pemerintahan Nagari adalah banyaknya peraturan perundang-undangan yang harus dihilangkan atau direvisi serta berusaha untuk membersihkan sisasisa isme pemerintahan desa. Faktor kedua adalah ekonomi, merupakan faktor yang sangat vital dalam kehidupan manusia, baik sebagai 47 Wawancara dengan Ketua KAN Nagari Jawi- jawi pada Tanggal 6 Mai 2009. 32 pribadi maupun sebagai anggota kelompok. Tanpa faktor ekonomi ini masyarakat atau negara tidak akan mampu mencapai tujuan. Faktor ini merupakan faktor yang sangat penting dalam rangka menciptakan otonomi daerah, melihat sumber daya alam pada nagari jawi- jawi sangat minim, tetapi hak ulayat nagari masih dikuasai oleh Nagari, jangan sampai terjadi ulayat nagari dikuasai oleh negara atau oleh sekelompok orang. ”...Hidup bernagari juga harus ditopang dengan institusi sosial yang mapan, yang bisa dipandang sebagai sosial kapital dalam Pemerintahan Nagari yang disebut sebagai hak-hak ulayat, tetapi sejak berlakunya UU No. 5/1979 bahkan jauh sebelum itu UU No. 5/1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria, hak-hak ulayat masyarakat "desa" sudah dikuasai oleh negara...”48 Persepsi dari aparatur pemerintah menunjukkan bahwa Pemerintahan Nagari harus dikembalikan dengan segala otonomi yang dimilikinya, maka diperlukan pendekatan intensif, serius dan motologis agar “penyelamatan kembali sosial kapital” nagari memberikan hasil maksimal. Dibayangkan akan ada proses bertahap dan terpadu dalam merekayasa ulang ujud nagari yang legitimasinya menyeluruh serta diakui oleh segenap anak nagari, sehingga sesuai dengan revitalisasi nagari dalam konteks kekinian49. D.2. BMN ( Badan Musyawarah nagari ) (Legislatif) Sebagai level pemerintahan terendah dan memiliki otonomi seperti halnya desa di jawa, maka nagari juga memiliki sebuah badan legislatif yang bernama Badan Musyawarah Nagari ( BMN). Kehadiran BMN diharapkan dapat membawa perubahan bagi kehidupan sosial politik mayarakat nagari yang selama ini bergerak secara sentralistis tanpa adanya mekanisme cheks and balances serta adanya pemandulan partisipasi masyarakat. Keanggotaan BMN ini merupkan utusan unsur- unsur yang ada dalam masyarakat nagari, atau wakil dari penduduk nagari dengan mempertimbangkan keterwakilan wilayah dan unsur- unsur masyarakat yang di tetapkan secara 48 Wawancara dengan kepala Bagian Pemerintahan Nagari pada tanggal 27 Mai 2009. St. Majo Basa. Zukri Saad. 2000. “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Revitalisasi Nagari. Langkah Strategis Reaktualisasi Adat Basandui Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah”. Makalah Disampaikan pada seminar Nasional ICMI Sumatera Barat 22-23 Januari 2000 49 33 musyawarah dan mufakat. Kenaggotaan BMN berdasarkan perda No 7 tahun 2006 adalah berasal dari unsur ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang dan pemuda. Tiap unsur ini memiliki basis pada tingkat jorong, sehingga pada pemilihan anggota BMN maka masing- masing jorong mengutus masing- masing dua orang. kemudian utusan ini akan dimusyawarahkan untuk menentukan siapa sebagai wakilnya dalam BMN. Untuk nagari nagari jawi- jawi guguk, keaggotaanya tidak terbagi berdasarkan komisi tapi digabung menjadi satu kesatuan dan merumuskan semua permasalahan nagari secara bersama- sama, jumlah anggota BMNnya adalah 11. Dalam penyelenggaraan pemerintahan nagari akan berkerja sama dengan BMN, ketika dilihat dari unsur politiknya, kehadiran BMN di nagari Jawi- Jawi lebih memberikan kesempatan pada tungku tigo sajarangan (Ninik Mamak, alim Ulama dan Cadiak Pandai serta Bundo Kanduang dalam nagari ) terlibat dalam pembuatan keputusan di tingkat nagari. Masing- masing BMN dalam nagari mepunyai Dinamika yang berbeda dalam berdemokrasi, merujuk pada perda No 7/2006 tentang pemerintahan nagari. Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki oleh BMN selain membahas rancangan peraturan nagari, BMN juga mengusulkan pengangkatan wali nagari dan pemberhentian wali nagari. Disinilah menurut analisa peneliti letak keunikan dinamika berdemokrasi sistem politik koto piliang di nagari jawi- jawi masih tetap dipakai dalam menampung segala bentuk aspirasi masyarakat nagari, dalam prosesnya masyarakat nagari menyampaikan aspirasi memalui beberapa tingkatan perwakilan golongan ampek jinih (penghulu, malin adat, manti adat dan dubalang) masing- masing suku dalam nagari, kemudian penghulu-lah yang akan bertanggung jawab menyampaikan aspirasi tersebut kepada perwakilannya dalam BMN50di nagari, Jika dilihat dari komposisi keanggotaan dari masing- masing BMN yang ada di nagari harus mmenuhi persyaratan keaggotaan sesuai dengan ketentuan seperti terlihat pada tabel dibawah ini 50 Berdasarkan Perda No 7/2006 tentang Pemerintahan Nagari Jumlah anggota BMN paling sedikit 5 orang dan paling banyak 11 orang. dengan ketentuan jumlah seluruhnya termasuk pimpinan harus ganjil dengan memperhatikan kemampuan dan keuangan nagari . 34 Tabel 4 Komposisi Keanggotaan BMN Berdasarkan Perda NO 7/2006 Di Kabupaten Solok No Keterangan Jumlah Anggota Ninik Alim Cadiak Bundo Pemuda mamak ulama pandai kanduang 1 1 1 1 1 1 jika jumlah anggota BMN 5 orang maka sifat keaggotaannya masing- masing unsur harus diwakilkan oleh satu orang. 2 jumlah anggota 2 BMNnya 7 orang, harus terdiri 2 Jika jumlah anggota BMNnya 9 orang harus terdiri 3 Jika jumlah anggota BMNnya 11 orang harus terdiri dari 3 4 1 2 1 1 2 2 1 1 2 3 1 2 Sumber data primer 2009. Ternyata Intervensi negara tidak bisa dilepaskan dari segala bentuk aturan pada pemerintahan pada tingkat lokal, sifat dan aturan dari BMN sendiri ”negara” yang diwakilkan melalui pemerintah daerah terlalu banyak mengatur tatacara termasuk tugas dan fungsi dari BMN sendiri, termasuk di Kabupaten Solok, salah satu pasal dalam perda No 7/2006, pasal 76 tentang Pembentukan BMN No 6, ada sebuah keganjilan dan ketidak sikronan dengan tugas dan fungsi dari BMN itu sendiri ” ...untuk melaksanakan proses pencalonan dan penetapan anggota BMN periode berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya masa pengabdian BMN, wali nagari membentuk panitia pencalonan dengan jumlah anggota sebanyak 7 (tujuh) orang yang terdiri dari unsur BMN 4 (empat) orang dan unsur KAN 3 tiga ) orangyang dibantu oleh sekretariat panitia yang berasal dari perangkat nagari dengan jumlah paling banyak 3 (tiga) orang yang ditetapkan dengan keputusan wali nagari...” Padahal salah satu tugas dan fungsi dari BMN itu sendiri adalah mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian wali nagari serta pengawasa terhadap kinerja wali nagari. Bagaimana BMN bisa bekerja secara optimal kalau seandainya kegiatannya tetap berada dibawah pengawasan wali nagari. Inilah 35 salah satu bentuk intervensi negara pada pemerintahan lokal di sumatera barat, walaupun ”negara” selalu mengikut sertakan unsur tungku tigo sajarangan, tapi ”negara” tidak bisa sepenuhnya memberikan desentralisasi dan devolusinya pada pemerintahan terendah. D. 3. KAN ( Kerapatan Adat Nagari ) (yudikatif) Kerapatan adat Nagari (KAN ) merupakan lembaga yang telah ada sejak tumbuh dan berkembangya masyarakat minangkabau. Keberadaan KAN ini tidak bisa dipisahkan dari ninik mamak, karena seluruh penghulu /ninik mamak yang ada dalam sebuah nagari akan tergabung dalam KAN. Setiap nagari melaksanakan kekuasaan yudikatif melalui kerapatan adat, didalam kerapatan adat berkumpul para ninik mamak yang mewakili kaumnya dan melakukan peradilan atas kaumnya. Sebagai konsekuensi dihapusnya nagari sebagai unit pemerintahan terendah pada masa orde baru, maka KAN sebagai salah satu struktur dalam nagaripun dibekukan, akan tetapi kerapatan nagari sesungguhnya masih ada. Untuk melindungi nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat keluarlah perda No.13 tahun 1983, perda ini kembali mengukuhkan keberadaan KAN. Perda propinsi Sumatera Barat No 9/2000 dan diperbaharui dengan perda No 2/2006 tentang ketentuan pokok pemerintahan nagari masing- masing kabupaten menyikapi dengan menetapkan perda kabupaten tentang pemerintahan nagari yang beragam, akan tetapi ada persamaan dengan nagari sebelum berlakunya UU No 5/1979 yakni tentang kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah nagari yakni (1) kewenangan yang berdasarkan hak asal usul, (2) kewenangan yang belum diatur oleh pemerintah yang lebih atas, (3) kewenangan untuk melaksanakan tugas pembantuan.51 Untuk menyikapi kewenangan hal sal usul ini masing- masing kabupaten melaksanakan cara yang berbeda- beda, ada yang mengatur dominan kabupaten, ada yang memberikan kesempatan kepada nagari – nagari dengan membentuk beberapa kelembagaan adat dengan nama yang berbeda- beda seperti KAN, LAN ( lembaga Adat Nagari). Disamping itu ada juga kabupaten yang berusaha memertahankan sistem yang masih ada dengan 51 H. Musyair Zainuddin. 2008. Implementasi Pemerintahan Nagari Berdasarkann Hak Asal- Usul Adat Minangkabau. Yogyakarta: Ombak. Hal 22 36 melakukan penyesuaian dengan pola yang sedang bergulir selama reformasi dengan tetap melakukan pembinaan dalam pelaksanaan pemerintahan. Jika melihat perda No 13 tahun1983 seluruh harta kekayaan nagari di kelola oleh KAN, maka ketika devolusi kekuasaan di Sumatera Barat di serahkan pada nagari melalui perda No 9/2000 dan diperbaharui dengan perda No 2/2006, pengelolaan kekayaan nagari diserahkan kepada Pemerintahan nagari. Dalam perda Propinsi Sumatera Barat idak menyebutkan nama KAN , maka akan berbeda dengan kabupaten Solok. Melalui perda No 4/2001 dan direvisi dengan perda No7/2006 keberadaan KAN tetap diakui, bahkan posisi KAN dalam perda ini tetap ada. Pemerintah daerah berasumsi bahwa jika ada hal- hal yang tidak bisa diselesaikan oleh pemerintahan nagari, maka dapat diselesaikan dalam musyawarah KAN. ”...pemerintahan nagari harus mau mendengarkan dan memperhatikan pendapat dari KAN, pemerintah nagari diharapkan mengakomodir sumbang saran KAN, sehingga hubungan antara wali nagari dan KAN berjalan efektif...”52 Berdasarkan perda No 7 tahun 2006 tentang pemerintahan nagari berfungsi sebagai (a) sebagai lembaga yang mengurus dan mengelola adat nagari. (b) sebagai lembaga pendidikan pengembangan adat nagari.(c) sebagai lembaga peradilan adat nagari.(d) mengurus hukum adat dan istiadat dalam nagari. (e) memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal- hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat. Peneliti melihat bahwa ada dua bentuk kegamangan yang mendera masyarakat di yang ada pada nagari. Pertama, dalam imajinasi golongan elit Minang, mulai dari pemerintah, akademisi dan perantau—mencoba menjadikan institusi ‘nagari’ sebagai institusi modern. Dengan konstruksi struktur pemerintahan nagari yang berbasis modern, seperti, urgensi lembaga legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Di samping itu kelompok ini berupaya melakukan modernisasi Sumber Daya Manusia yang akan menjalankan roda pemerintahan nagari—dengan ini, berarti Nagari diseret dalam format yang sama sekali baru. Sementara golongan kedua. Tetap komitmen dengan bentuk ‘nagari’ purba dahulu, dimana peran datuk sebagai kepala suku tetap dipertahankan dalam 52 Wawancara dengan Bupati Solok Pada tanggal 19 Mai . 37 membangun perintahan nagari. Golongan ini mencoba berimajinasi dan melalang buana pada kehidupan ‘nagari’ masa silam. Tetapi peneliti mencoba membuat sebuah deskripsi nomotetik yaitu menggabungkan antara konsep dasar bernagari itu seperti apa lengkap dengan lembaga yang mewadahinya serta memasukan bagaimana cara negara mengintervensi secara tidak langsung pola kekuasaan yang ada di nagari dalam bentuk membuat sebuah lembaga nagari yang sifatnya yuridis serta formal sehingga akan bertemu suatu varian yang berbeda ketika melihat pada dua analisa diatas. Bab 7. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa demokrasi sebenarnya tidak terbatas pada sebuah sistem politik yang ada, demokrasi seharusnya juga tidak terbatas pada aturan- aturan formal yang terdapat dalam konstitusi. Pelaksanaan demokrasi, keberhasilan dan sebuah kegagalan juga sangat ditentukan dari sejauh mana nilai- nilai lokal yang tidak bertentangan dengan demokrasi mendapat tempat dan diserap sebagai bahan pokok untuk menjalankan kehidupan yang demokratis. Demokrasi seharusnya membutuhkan sebuah ”pembumian” makna dimana setiap prilaku yang terkait dengan publik dan interaksi sosial politik didalamnya didasari oleh nilai- nilai utama demokrasi seperti partisipasi dan akuntabilitas. Teori demokrasi barat sebenarnya bisa diadopsi untuk menilai bentuk demokrasi lokal di Indonesia dengan catatan awal ada sebuah turunan variabel dari teori tersebut yang khas dengan unsur demokrasi lokal. Aplikasi dari teori demokrasi yang tercermin dalam pergaulan sosial politik di komunitas masyarakat paling dasar (nagari) peneliti lebih merangkumnya pada dimensi struktural, dimana ada perubahan posisi atau status dalam masyarakat nagari setelah kurang lebih dua puluh tahun tidak lagi berkedudukan sebagai unit pemerintahan terendah. Walaupun status nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat eksistensinya masih diakui, namun peran, kekuasaan, otoritas, fungsi, integrasi, 38 hubungan antar satu posisi dengan posisi yang lainnya, arus komunikasi dari komponen yang ada dalam Nagari telah berubah. Nagari adalah lembaga mikrokosmik dari sebuah tatanan makrokosmik yang lebih luas nagari adalah sebuah “republik kecil” yang mempunyai pemerintahan sendiri secara otonom dan berbasis pada masyarakat (self-governing community). Sebagai sebuah “republik kecil”, nagari mempunyai perangkat pemerintahan demokratis: unsur legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Nagari, secara antropologis, merupakan kesatuan holistik bagi berbagai perangkat tatanan sosialbudaya. Ikatan ber-nagari di Minangkabau, dulu, bukan saja primordialkonsanguinal (ikatan darah dan kekerabatan adat) sifatnya, tetapi juga struktural fungsional dalam artian teritorial-pemerintahan yang efektif. Karena itu, nagari mempunyai kaitan ke atas; ke Luhak dan ke Alam, dan kaitan ke samping antara sesama nagari, terutama adalah kaitan emosional. Sistem otonom seperti ini adalah ciri khas masyarakat bersuku (tribal society) demi kepentingan mempertahankan diri dan pelestarian nilai-nilai masing-masing nagari, yang fokusnya adalah keragaman. Ikatan Luhak dan Alam adalah ikatan totemis dan kosmologis yang mempertemukan antara nagari-nagari itu dan mengikatnya menjadi kesatuan-kesatuan serta kekuasaan emosional spiritual. Karena itu orang Minang secara sadar membedakan antara kesatuan-teritorial-konsanguinal dalam bentuk republik nagari-nagari dengan kesatuan-totemis-kosmologis. Sebahagian nagari yang ada di Sumatera Barat salah satunya nagari yang ada di kabupaten Solok (nagari jawi- jawi) masih mempertahankan sistem pemerintahan tradisional nagarinya berdasarkan dua sistem keselarasan dan perda yang dikeluarkan hanya sebagai dasar hukum yang tidak baku bagi mereka, Negara masih terlampau jauh masuk dalam wilayah lokal, dengan membuat aturan formal disertai dengan dasar hukum yang mengikat, tapi disinilah letak sebuah varian demokrasi lokal tersebut. Ketika masyarakat nagari dihadapkan pada dua pilihan yaitu apakah tetap mempertahankan model demokrasi tradisional nagari yang berdasarkan kepada sistem politik koto piliang dan bodi chaniago, atau mengganti dan merubahnya menjadi sebuah demokrasi yang moderen, terpola dan terstruktur serta ada aturan yang disahkan secara konstitusional dengan memasukan unsur- unsur demokrasi 39 barat dalam pemerintahan nagari. Sampai pada kesimpulan penulis berpendapat sebuah anomali bentuk kekuasaan nagari tersebut bisa diminimalisir dengan cara, pemuka masyarakat nagari ( ninik mamak, alim ulama dan cadiak pandai ) harus membuka ruang kekuasaan kepada siapa saja yang mau dan punya kemampuan dalam membangun nagari, terlepas apakah mereka penduduk asli atau pendatang. Selain itu pemerintah kabupaten juga harus memperhatikan organisasi yang hidup di nagari, harus jelas bentuk dan visi organsiasinya ( apakah seperti LSM atau organisasi pemberdayaan lainnya yang berbasis nagari) samping itu ada sebuah aturan yang riil tentang organisasi politik yang hidup dalam nagari ( partai politik). Pendidikan politik juga harus diberikan kepada masyarakat nagari sehingga tidak mudah dimobilisasi oleh organisasi yang ada dalam nagari. B. Saran Demokratisasi lokal, sekali lagi ada sebuah perjuangan yang keras yang harus dilewati oleh para komunitas elite dan lembaga di nagari untuk sampai pada tingkatan desentralisasi dan devolusi yang otonom. Tanpa ada intervensi negara pada ranah lokal yang mencampur adukan antara sebuah pemerintahan nagari dengan pemerintahan adat yang kadangkala berujung pada konflik antara elite dalam nagari dan konflik dengan tema pemekaaran wilayah nagari, berbagai kalangan mempunyai semangan demokrasi yang tinggi tetapi sebahagian besar cenderung pesimis menatap masa depan sebuah demokrasi lokal nagari. Berbeda dengan pandangan pesimis (jika bukan fatalis), peneliti tetap berpandangan yang optimis. Bagaimanapun orang yang pesimis paling maksimal hanya bisa mengecam dan menghujat dan akhirnya gagal merumuskan tindakan stratergis di masa depan. Dulu orang- orang yang berhaluan pesimis sempat membayangkan bahwa demokrasi lokal yang ada di nagari tidak jauh berbeda dengan berdesa pada tahun 1979, masih tetap ada intervensi negara secara tidak langsung terhadap pelaksanaan demokrasi lokal pada nagari. peneliti justru melihat sisi positifnya, intervensi negara dalam hal ini mungkin adalah sebuah pembelajaran dari sebuah kegamangan menata sebuah demokrasi yang betul- betul berada pada ranah lokal. Ibaratnya negara ” pemerintah daerah ” berusaha menempatkan posisi mereka ketika berhadapan dengan nagari, dan berhadapan dengan para penghulu nagari 40 serta masyarakat nagari. Ada sebuah mainstrem yang berbeda antara masyarakat dan negara tentang konsep hidup bernagari. Tambo atau tiongkok/sejarah nagari menurut peneliti bisa membantu para elite lokal nagari dan elite yang berada pada tataran pemerintah menyatukan visi kedepan membangun nagari yang ideal itu seperti apa. Sisi positif yang lain Perbedaan pola demokrasi di nagari malahan menjadi sebuah warna varian dari sebuah demokrasi di nagari. Daftar Pustaka A. Dahl, Robert. (1971 Polyarchy: participation and Opposition. New Haven: Yale University Press ______________ (1990). Political and developing Countries: Comparing Experience with Democracy. Boulder Colorado: Lynne Rienner ________________(1989). democracy and its critics New haven : yale University Press,) ________________ (1998). on democracy. New haven : Yale University Press. ________________(2003). Negara capital dan demokrasi. Yogyakarta: Pustaka pelajar. Abdullah, Irwan, (2003). Jurnal Humaniora, Vol.XV Masalah Kebudayaan dalam Pembangunan Andrain, Charles F. (1970). Political Life and Social Change in the Third World. Boston: Unwin Hyman. Anthony Gidden. (2000). Jalan Ketiga, Pembaruan Demokrasi Sosial, terj. Ketut Arya Mahardika, Jakarta: Gramedia Pustaka. Anwar, Chairul. (1997). Hukum Adat Indonesia, Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Jakarta: Rineka Cipta. Babbie, E. 1983. The Practice of social research. California: Wadsworth Publishing Company. Berger, Peter L. (1976). Pyramids of sacrifice: political Ethics and social Change. New York : Anchor Books. Bourchier ,David dan Jhon Legge, (eds). (1994). Democracy In Indonesia 1950s. Monash University (Clayton ): Centre of Southeast Asian Studies. Data statistic tahun 2007. Diamond, Lary, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). (1989) Democracy in Asia. Boulder Colorado : Lynne Rienner. Diamond, Lary, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset (eds). (1990). Political and developing Countries: Comparing Experience with Democracy, Boulder, Colorado: Lynne Rienner. Eko, Sutoro. (2006). Demokrasi dan Potret Pemilu Lokal 2004 . Yogyakarta: Percik, Pustaka Pelajar. Eko, Sutoro. Makalah Desentralisasi dan demokrasi desa. Disampaikan Dalam Konsultasi Publik Revisi UU No. 22/1999 yang diselenggarakan oleh Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) Jakarta, Bitra 41 Indonesia Medan, dan Pusaka Indonesia, Deli Serdang, Sumatera Utara, 19 November 2003. Francesco Kjellberg. (1995). "The Changing Values of Local Government" Dalam ANNALS, AAPSS, 540, July 1995. American Academy. Fukuyama, Francis, (2004), The End of History and The Last Man, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam, Giddens, Anthony The Third Way The Renewal Of Social Democracy.published in the USA by Blakwell Publisher Ltd : 350 Main Street Malden, MA 02148. USA. (terj: Jalan ketiga Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1999. Gould, Carol, (1988), Rethinking Democracy, Cambridge, New York: Cambridge University Press Habermas, Jurgen. (1989). The Structural Transformationsof The Public Sphere. Terj Yudi Santoso. Ruang Publik. Sebuah Kajian tentang Kategori Masyarakat Burjois. Cetakan kedua. 2008. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Harrison, David. (1988). The Sosiology of Modernization and Development. London: Unwim Hyman. Hasbi, Muhammad, dkk. (1990). Nagari, Desa dan Pembangunan Pedesaan di Sumatera Barat), Padang: Yayasan Genta Budaya, Sumatera Barat Heinelt, Hubert and Wollmann, (2003). Local Politics Research In Germany: Developments and Characteristics In Comparative Perspective. London: Sage Publications. Held, David. (2007). Models Of Democracy. Edisi ketiga. Terj. Abdul Haris. Jakarta: Akbar Tandjung Institute. Holt, Claire et al culture and politics Indonesia,. Ithaca: Cornell university Press. John, Steward and Gerry Stoker, (1989). The Future of Local Government, London: Macmillan. Junus, Umar.1971. Kebudayaan Minangkabau (dalam Koentjaraningrat ed . Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta: Jembatan. Kahin, Audrey. (1999). Rebellion ti integration. Amsterdam: Amsterdam U Press. Kato, Tsyoshi (1982) Matriliny And Migration: Evolving Minangkabau Traditions In Indonesia. Ithaca: Cornell Universiy press. Kato, Tsyoshi . (1982). Matriliny And Migration: Evolving Minangkabau Traditions In Indonesia. Ithaca: Cornell Universiy press. Kemal, Iskandar. (1971). Beberapa studi tentang minangkabau. Padang: Fakultas Hukum Universitas Andalas M.Nasroen. (1971). Dasar Falsah Adat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang Manan, Imran. 1995. Birokrasi Modern dan Otoritas Tradisional di Minangkabau (Nagari dan Desa di Minangkabau), Padang : Yayasan Pengkajian Kebudayaan Minangkabau Moleong (2000), Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosda Karya Moleong, Lexy, 1998, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosda Karya, 42 Naim, Mochtar (ed). 1968. Menggali Hokum Tanah Dan Hukum Waris Minangkabau. Padang: Centre for Minangkabau Studies Press. Naim, Mochtar. (1990). “Nagari versus Desa. Sebuah Kerancuan Struktural” dalam Edi Utama (ed). Nagari, Desa dan Pembangunan di Sumatera Barat.. Padang : Genta Budaya Nasroen, M. (1957). Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta: Pasaman. Navis, A.A. (1984). Alam Takambang Jadi Guru, Adapt Dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: PT Graviti Perss Neuman, W.L. 1997. Social research methods, qualitative and quantitative approaches. London: Allyn and Bacon. Nugroho, Kris. (1992). “Telaah Peran Negara, Partisipasi dan Demokratisasi”. Asosiasi Ilmu Politik Indonesia 6 – 8 Agustus 1992 O’G. Anderson, Benedic R. (1972). the idea of power in Javanese culture, Ithaca: Cornell university Press. Oki, Akira (1977). Social Changein West Sumatran Village:1908-1945. disertasi Doktor, Australian national University. Owens, Edgar dan Robert Shaw. (1983). Pembangunan Ditinjau Kembali. Terjemahan A.S. Wan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. P.E. De. Josselin De Jong. (1960). Minangkabau and Negeri Sembilan Sociopolitical Structure In Indonesia. Djakarta: Bharata Pador, Zenwen Dkk. (2002). kembali ke Nagari: Batuka Baruak Jo Cigak?. Jakarta: PT Sinar Grafika. Perda Propinsi Sumatera barat No 13 tahun 1983 Saad, Zukri. (2000). “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Revitalisasi Nagari. Langkah Strategis Reaktualisasi Adat Basandui Syara’ Syara’ Basandi Kitabullah”. Makalah Disampaikan pada seminar Nasional ICMI Sumatera Barat 22-23 Januari 2000 Safirani, Amalinda, (2004), Local Strongman in New Regional Politic in Indonesia, thesis, unpublished Sairin, Sjafri ARTIKEL tanggal 28 April 2008 ”Demokrasi dalam Perspektif Kebudayaan Minangkabau” tulisan ini juga pernah dimuat dalam jurnal Jurnal Humaniora, Universitas Gadjah Mada (UGM), No 1 tahun 1995. Sartori, Giovanni, (1987), The Theory of Democracy Revisited, Chatam, New York : Chatam House Sjahmunir AM, SH, Prof. Dr. dkk. (2006). Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat. Padang: Andalas University Press. Sjamsudin, Nazarudin, (1989). Integrasi Politik di Indonesia, Jakarta: Gramedia. Soedjatmoko. (1983). Dimensi Sosial Pembangunan. Jakarta: LP3ES. Soekanto, Soerjono dkk. (1986). Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali. Soronsen, Georg, (1993), Democracy and Democratization, Boulder, Co: Westview Press. Surbakti, Ramlan (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo. Surbakti, Ramlan Himpunan Teori—Teori Politik. Surabaya: Fisip Universitas Airlangga. Ubed Abdilah S. (2002). Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, Magelang: Indonesiatera. 43