Uploaded by User82284

ISI

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam Pendidikan Agama Islam menjelaskan bahwa organisasi Islam modern di
Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dipelajari, mengingat bahwa
organisasi Islam merupakan representasi dari umat Islam yang menjadi mayoritas di
Indonesia. Hal ini menjadikan organisasi Islam menjadi sebuah kekuatan sosial maupun
politik yang diperhitungkan dalam pentas politik di Indonesia.
Organisasi Islam merupakan kelompok organisasi yang terbesar jumlahnya, baik yang
memiliki skala nasional maupun yang bersifat lokal saja. Tidak kurang dari 40 buah
organisasi keagamaan Islam yang berskala nasional memiliki cabang-cabang organisasinya
di ibukota propinsi maupun ibukota kabupaten.
Di samping itu, terbentuknya berbagai organisasi ini memberikan akses terhadap
kesadaran untuk memperjuangkan nasib sendiri melalui instrument organisasi yang besifat
nasional. Perkembangan organisasi keagamaan di Indonesia memang sangat panjang dari
zaman sebelum kemerdekaan sampai pasca orde baru (modern). Organisasi juga biasa
dikenal sebagai gerakan keagamaan, yang didefinisikan oleh Nottingham sebagai suatu
usaha berorganisasi untuk menyebarkan agama baru, atau interpretasi baru mengenai agama
yang sudah ada.
1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja organisasi Islam modern di Indonesia?
2. Bagaimana sejarah atau latar belakang Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, salafi, Hizbut
Tahrir?
3. Bagaimana ajaran dan pemikiran Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Salafi, dan
Hizbut Tahrir?
4. Siapa saja basis massa dari NU, Muhammadiyah, Salafi, dan Hizbut Tahrir?
5. Bagaimana pendekatan dakwah yang dilakukan oleh NU, Muhammadiyah, Salafi, dan
Hizbut Tahrir?
C. TUJUAN
Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui apa saja organisasi Islam modern di Indonesia
2. Untuk mengetahui latar belakang atau sejarah dari NU, Muhammadiyah, Salafi, dan
Hizbut Tahrir
3. Untuk mengetahui ajaran - ajaran dan pemikiran dari NU, Muhammadiyah, Salafi, dan
Hizbut Tahrir
4. Untuk mengetahui basis massa atau pengikut dari NU, Muhammadiyah, Salafi, Hizbut
Tahrir
5. Untuk mengetahui pendekatan dakwah yang dilakukan oleh NU, Muhammadiyah, Salafi,
dan Hizbut Tahrir
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. NAHDATUL ULAMA (NU)
1. Latar Belakang
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami
bangsa
Indonesia akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah
kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan
pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan
"Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana
setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa
lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon
kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti
Nahdatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918
didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdatul Fikri” (kebangkitan
pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri.
Dari situ kemudian didirikan Nahdatul Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu
dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdatul Tujjar
itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di
Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra
Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid' ah. Namun gagasan tersebut
ditolak oleh kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman pemahaman
menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Untuk
Iebih sistematis memperjuangkan aspirasi dalam membela
keberagaman dan untuk
mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kiai,
akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdatul
Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini
3
dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar (Ketua Agung). 1 yang semula
masih menggunakan pesantren sebagai basis kegiatannya, melestarikan tradisi tradisi
lama bergerak dalam bidang sosial keagamaan. Walaupun dalam perkembangannya
selalu memperbarui sistem, metode, dan kurikulum pesantrennya tapi tetap melestarikan
tradisi-tradisi lama. Mereka disebut tradisionalis karena teguh dan memegang tradisi di
samping aliran. Tradisi tidak semata diartikan kebiasaan atau adat melainkan warisan
masa lalu baik berupa pemikiran, budaya, dan lain-lain dari ulama yang hidup pada masa
klasik (abad 813 M). Tradisi yang merupakan terjemahan dari turats (bahasa Arab),
mengandung arti warisan yang tetap dipelihara bahkan dijadikan rujukan utama setelah
Alquran. Di Indonesia mereka sering dikatakan mengikuti fiqih Syafi'i akidah ahli sunah
wal jama'ah, dan tasawuf Al-Junaedi, Al Gazali. Kitab-kitab mereka jadi rujukan dalam
beramal, ber ibadah dan bertasawuf. Walaupun begitu tidak selalu bermakna konservatif,
tidak modern atau menolak modernitas Dalam sisi tertentu mereka sangat akrab dengan
modernitas seperti menggunakan telepon seluler, komputer, pesawat dan lain-lain, yang
merupakan produk dari modernitas. Mereka disebut tradisionalis lantaran metodologi
keberagamaannya yang berlandaskan pada warisan pemikiran ulama masa lalu, seperti
terlihat pada rujukannya pada kitab-kitab kuning Mereka mempunyai pedoman almuhafadzah ala al-gadimi al-shalih, wal ahzu ila al-jadidi al-ashlah (memelihara yang
lama yang sah, sambil mengambil yang baru yang lebih baik).
Dalam konteks sosial politik, kaum tradisionalis memiliki kesadaran beragama
yang sebangun dengan bentuk khilafah Umayyah dan Abbasiyah. Hubungan antara ulama
dan pemerintah berjalan harmonis. Mereka tidak mempersoalkan apakah bentuk
negaranya Islam atau tidak, bagi mereka bentuk pemerintahan yang zalim masih lebih
baik ketimbang tidak ada pemerintahan sama sekali. Oleh karena itu, ekspresi politik
yang ditampilkan tidak bersifat radikal oposisional, melainkan kooperatif reformatif.
Tidak berarti para ulama diposisikan sebagai "tukang stempel" atau pemberi legitimasi
atas penguasa, melainkan mereka berupaya tetap menjaga harmonitas dan stabilitas
1
Srijanti, Purwanto S.K dan Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam Modern (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009), hlm. 53-54
4
sambil melakukan perbaikan. Maka tidak dibenarkan mereka melakukan kudeta dan
oposisi radikal, sebab akan memunculkan sesuatu yang lebih buruk.2
Aktivitas Organisasi NU, yaitu:
1) Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa
persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2) Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
3) Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang
sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.
4) Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil
pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
5) Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2. Ajaran Dan Pemikiran
Ajaran NU yang relative menonjol yaitu:
a. Disamping mengamalkan ajaran yang secara eksplisit tercantum dalam al-Quran
dan hadis, NU juga mengamalkan ibadah yang tidak disebutkan secara eksplisit di
dalam al-Quran dan hadis shahih, seperti Tahlilan, Istifhatsah, Diba’an, Manaqib,
dll.
b. Mengikuti hasil ijtihad imam-imam mazhab empat, terutama mazhab Syafi’i dan
para pengikutnya, seperti tarawih 20 rakaat, qunut subuh dan witir pada separo
bulan Ramadhan, dll.
c. Disamping menggunakan al-Quran dan hadis Nabi, NU juga menjadikan pendapat
sahabat, tabiin dan para ulama (yang terkumpul dalam kitab kuning), sebagai
rujukan penting dalam berakidah dan beribadah.
d. Meyakini adanya berkah yang bisa diambil dari orang-orang shalih, baik yang
masih hidup maupun sudah meninggal.
2
Musyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 309-311
5
e. Pesantren tradisional beserta pengasuh (kyai)nya dijadikan sebagai lembaga dan
rujukan penting untuk mengatasi segala problematika kehidupan agama dan sosial,
sekaligus menjadi basis penyebaran NU.
3. Basis Massa
NU Menurut Mujani (Asyari, 2010:1), populasi pengikut NU di Indonesia
berjumlah 40 juta jiwa yang mayoritas berada di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan
Sumatra dengan beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata,
baik di kota maupun di desa. Saat ini basis pendukung NU mengalami pergeseran.
Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, banyak warga NU di
desa yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Sehingga basis intelektual warga
NU juga semakin luas. Dalam menentukan basis massa NU, ada dua istilah yang sering
dipakai, yaitu massa jam’iyah (penganut NU secara organisatoris), dan massa jama’ah
(penganut NU yang loyal, tapi tidak punya kartu anggota). Basis sosial NU menurut
Billah (Yunahar, 1993:11) adalah pesantren, tradisional, petani, desa, Jawa, pedalaman.
4. Pendekatan Dakwah
Dalam berdakwah, NU banyak menggunakan pendekatan kultural, yakni
berdakwah dengan menjadikan budaya masyarakat setempat sebagai instrumennya serta
mengakomodasi dan melestarikan budaya masyarakat selama tidak bertentangan dengan
ajaran Islam. Menurut NU, berdakwah pada masyarakat awam tidak bisa dilakukan
secara kaku dan radikal. Dakwah Islam akan diterima bila ada kedekatan fisik antara fisik
dan psikis antara pendakwah dan umat yang didakwahi. Oleh karena itu harus dilakukan
secara halus dan bertahap. Prinsip aswaja juga selalu dijunjung tinggi oleh NU dalam
menyikapi segala sesuatu yang berkembang di masyarakat, yaitu tawazun (seimbang),
tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), dan istidal (tegak lurus).3
3
Afinda RA, “Gerakan dan Organisasi Islam Modern di Indonesia”, diakses dari http://afindajustsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-islam-modern-di.html?m=1 pada 6 Desember 2017 pukul
07.07
6
B. MUHAMMADIYAH
1. Latar Belakang
Muhammadiyah adalah organisasi sosial-keagamaan yang ruang lingkupnya sangat
luas, menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat Ia tidak pemah absent dalam
peraturan kehidupan kemasyarakatan. Prof. Mukti Ali menyebutnya dengan “gerakan
seribu wajah”. Pada awalnya tujuan utama Muhammadiyah merupakan gerakan
pembaharuan Islam
di Indonesia, kemudian berkembang tidak hanya memberantas
penyelewengan ajaran agama Islam, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup umat. Dr.
Kuntowijoyo menyebut Muhammadiyah sebagai “gejala kota”.
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis,
kemudian dikenal dengan K.H. Ahmad Dahlan. 4
Kelahiran Muhammadiyah merupakan awal dari sebuah gerakan Islam modernis
yang melakukan perintisan pemurnian akidah (purifikasi) sekaligus pembaruan Islam di
Indonesia. Kelahiran Muhammadiyah merupakan manifestasi dari gagasan pemikiran dan
amal perjuangan dari sang pendiri, KH. Achmad Dahlan. Kata Muhammadiyah secara
bahasa
berarti
pengikut
Nabi
Muhammad.
Penggunaan
kata
Muhammadiyah
dimaksudkan untuk menisbahkan penganut Muhammadiyah dengan ajaran Nabi
Muhammad.5
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan
masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Sebagai dampak positif dari organisasi ini, telah
banyak didirikan rumah sakit dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
Sebagai organisasi yang modern, Muhammadiyah juga melakukan pembaruan
pendidikan dengan mengadopsi model pendidikan kalangan Kristen dan kolonialis
dengan tetap mempertahankan nilai Islam dengan mendirikan lembaga pendidikan
modern. Menurut Mitsue Nakamura
(1976), dengan model pendidikan seperti itu,.
Muhammadiyah secara langsung membangkitkan kesadaran nasionalisme bangsa
4
Srijanti, Purwanto S.K dan Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam Modern (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2009), hlm. 55
5
Afinda RA, “Gerakan dan Organisasi Islam Modern di Indonesia”, diakses dari http://afindajustsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-islam-modern-di.html?m=1 pada 6 Desember 2017 pukul
07.07
7
Indonesia, menyebarkan ide pembaruan secara luas, serta mempromosikan penggunaan
ilmu praktis dari pengetahuan modern.
Golongan pembaru (modernis) hari ini (tahun 2004) yang terbesar adalah
Muhammadiyah. Dalam sejarah, Muhammadiyah memiliki peran penting dalam
memperkenalkan modernitas, terutama dalam pendidikan. Model pendidikan tradisional
(pesantren) yang dulu digunakan diganti dengan model pendidikan Barat (Belanda), yang
memakai kelas bangku, jadwal, kurikulum. Hal itu didorong oleh kesadaran beragama
yang modernis, yakni menjadikan modernitas sebagai kebenaran yang netral dan tidak
identik dengan Barat Modernitas Barat dianggap sebagai kelanjutan dari modernitas
Islam periode klasik. Oleh karena itu, mereka tidak khawatir akan “terbaratkan” ketika
mengadopsi modernitas.
Metodologi yang digunakan adalah menjadikan Alquran dan Hadis sebagai sumber
utama, tetapi pembacaannya berorientasi pada modernitas. Maksudnya, modernitas
dijadikan kerangka berpikir sedang Al - qur'an diasumsikan sebagai “rimba belantara”
yang senantiasa digali untuk dicarikan relevansinya dengan modernitas. Maka demokrasi,
pluralisme, inklusivisme, civil society dan sebagainya yang merupakan produk
modernitas Barat diadopsi oleh kaum modernis dalam kehidupan sosial, politik, dan
keagamaan.6
2. Ajaran dan Pemikiran
Diantara ajaran Muhammadiyah yang relatif menonjol adalah :
a. Mengamalkan ibadah hanya yang secara eksplisit disebutkan dalam hadis shahih.
b. Selain menggunakan al-Quan dan Hadis Nabi, mereka mengikuti hasil ijtihad dari
ulama yang dipandang sebagai tokoh- tokoh pembaru, seperti: Ahmad bin Hanbal,
Ibnu Taimiyyah, Ibn al-Qayyim al Jauziyah, dll atau mengikuti hasil keputusan
Majlis Tarjih (lembaga musyawarah hokum Islam melalui pengumpulan dalil-dalil
terkuat dari al- Quran dan hadis).
c. KHA Dahlan menyerang sinkretisme (pencampuradukan ajaran), segala hal yang
bid’ah (membuat syariat baru yang terlarang dalam agama) dan pengaruh animisme
6
Musyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 311
8
maupun agama lain yang dianggapnya menodai Islam dan sudah membudaya. Ia juga
menolak praktik- praktik kultural keagamaan seperti tahlilan dan segala ritus yang
tidak secara jelas bersumber pada al-Quran dan hadis yang sahih.
d. Menggunakan metode hisab (perhitungan astronomi matematis) untuk menentukan
awal dan akhir Ramadhan.
e. Lebih peduli pada pengembangan pendidikan formal daripada pendidikan non formal
seperti pesantren.
f. Lebih peduli pada program sosial kemasyarakatan daripada melaksanakan ritual
keagamaan yang bersifat kultural.
3. Basis Massa
Menurut Mujani (Asyari, 2010:1), lebih dari 25 juta muslim Indonesia adalah
pengikut Muhammadiyah. Pada umumnya mereka berada di daerah perkotaan dan
merupakan kaum terpelajar. MM Billah (Yunahar, 1993:11) berpendapat bahwa basis
sosial dari Muhammadiyah adalah sekolah modern, para pedagang, penduduk kota, para
petani, dan mencakup wilayah Jawa dan luar Jawa.
4. Pendekatan Dakwah
Dalam dakwah, Muhammadiyah cenderung menggunakan pendekatan salaf
(manhaj al-salaf) dan dakwah menyeluruh (dakwah Islam al-kaffah). Muhammadiyah
memfokuskan dakwahnya pada pendidikan dan pelayanan kesehatan. Buktinya yaitu
banyak rumah sakit dan sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah
juga menggunakan pendekatan amar ma’ruf nahi mungkar yang bersifat struktural dari
atas ke bawah (melalui kekuasaan). Muhammadiyah konsen pada pemurnian dan
pembaharuan. Di samping itu, dakwah Muhammadiyah bertumpu pada tiga prinsip yaitu
tabsyir (menyenangkan), islah (memperbaiki), dan tajdid (memperbarui).7
7
Afinda RA, “Gerakan dan Organisasi Islam Modern di Indonesia”, diakses dari http://afindajustsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-islam-modern-di.html?m=1 pada 6 Desember 2017 pukul
07.07
9
C. SALAFI
1. Latar Belakang
Kata Salafi berasal dari bahasa Arab Salaf, artinya yang lalu atau klasik. Tetapi
Salaf di sini dimaksudkan sebagai para sahabat Nabi Muhammad yang memahami dan
mempraktikkan Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi. Salafi adalah penisbatan
terhadap orang-orang yang mempraktekkan Islam sebagaimana dianjurkan atau
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya tadi.
Istilah salaf banyak terkandung dalam beberapa hadis Nabi. Kelompok salaf
dianggap sebagai orang-orang yang telah mempraktekkan dan memahami Islam secara
benar. Mereka benar dalam ber-Islam, karena mereka adalah kalangan yang sezaman
dengan Nabi sehingga setiap kali ada penyimpangan baik itu dalam pemahaman maupun
dalam praktek Islam, mereka selalu mendapat petunjuk atau teguran dari Nabi.
Kebersamaan mereka bersama Nabi adalah hal utama yang menyebabkan praktik dan
pemahaman Islam mereka dianggap ‘sangat benar’.
Dalam perkembangannya, apa yang dimaksudkan dengan salaf atau salafush-sholeh
ini tidak hanya para sahabat, tetapi juga para tabi’in yakni mereka yang mengikuti jejak
para sahabat atau bisa disebut generasi sesudah sahabat. Bahkan lebih jauh para penganut
ajaran salaf ini memasukkan Tabiut Tabiin sebagai salaf, yakni generasi sesudah Tabi’in.
Alhasil apa yang dimaksudkan dengan generasi salaf adalah tiga generasi, yakni generasi
sahabat (mereka yang hidup semasa dengan Nabi), generasi sesudahnya, dan generasi
sesudahnya lagi.
Selain disebut salaf, tiga generasi ini juga disebut ahli sunnah waljamaah, yaitu
mereka yang berpegang kepada sunnah Nabi. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh
Nabi Muhammad sendiri, ketika beliau menyatakan bahwa ahli sunnah adalah mereka
yang akan selamat dan masuk surga. Nabi menyatakan hal ini dalam konteks akan
munculnya berbagai golongan dalam Islam yang jumlahnya mencapai 73 golongan.
Semua golongan ini, kata Nabi, akan celaka kecuali satu, yaitu Ahlussunnah wal
Jama ’ah. Ahli sunnah batasannya adalah ‘ma ana alaihi wa ashabi’, yaitu mereka yang
mengikuti ajaran yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
10
Dalam sejarah Islam memang kemudian terbukti bahwa berbagai macam golongan
muncul. Meskipun pada mulanya golongan-golongan ini merupakan by product dari
perjalanan politik yang muncul di panggung dunia Islam, kehadirannya telah kebid’ahan
tidak saja mewarnai kalangan NU tetapi juga menghinggapi Muhammadiyah dan
kelompok Islam lainnya.
Karena sikapnya yang sangat anti bid’ah maka muncul sebutan terhadap kelompok
Salafi sebagai ‘orang yang suka membid’ahkan orang lain’. Artinya, kelompok Salafi ini
sering dituding sebagai orang yang menganggap praktek ibadah dan pemahaman Islam
orang lain sebagai sesat karena dalam Hadis dikatakan bahwa setiap bid ’ah itu dholalah
(sesat) dan setiap yang sesat akan mendapat tempatnya di neraka. 8
Gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan perubahan
yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Ide
pembaruan ini diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa
ulama asal Sumatra Barat pada awal abad ke 19, yaitu kaum Padri yang salah satu tokoh
utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa
gerakan ini sebenarnya telah muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh, Iskandar Muda
(1603-1637). Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif memberikan pengaruh pada
gerakan-gerakan Islam modern Indonesia yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah,
PERSIS (Persatuan Islam), dan Al-Irsyad. Sejumlah tokoh yang menjadi penggerak
gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Ja’far Umar Thalib, Yazid Abdul Qadir
Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo),
Ahmad Fais Asifuddin (Solo) dan Abu Nida’ (Yogyakarta).
Gerakan Salafi baru terdengar tahun-tahun belakangan ini, setidaknya setelah
reformasi politik dilakukan oleh bangsa Indonesia. Hampir sama dengan gerakan serupa
yang menekankan kembali ke Islam, Salafi sebenamya lebih merupakan gerakan dakwah.
Dakwah Islam semacam ini baru mulai di awal 1990-an, yakni ketika mulai banyak
pelajar Indonesia dari Timur Tengah kembali ke tanah air, yang bukan saja mempunyai
pengetahuan Islam yang memadai tetapi juga mempunyai concern melaksanakan Islam
atau berIslam ‘secara benar’.
8
Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm. 154
11
Kehadiran Salafi di kancah dakwah Islam telah menarik banyak kalangan karena
kaum Salafi sering dikategorikan sebagai fundamentalis yang konsekuensinya sering
dikaitkan dengan gerakan politik dan sejenisnya. Tetapi, ada kesulitan dalam
mengkategorikan gerakan ini, mengingat para pendukungnya mengklaim Salafi bukan
sebagai organisasi, Salafi sebagaimana diklaim oleh para pendukungnya, adalah kegiatan
dakwah yang dilakukan oleh orang-orang yang concern dengan pembangunan kembali
Islam. Istilah pembangunan penting untuk digaris bawahi karena Salafi melihat bahwa
Islam yang ada sekarang bukan saja tidak ideal tetapi juga melenceng. Karenanya, Islam
ini perlu dibangun kembali secara benar menurut apa yang diajarkan Nabi dan para
sahabatnya. Tidak ada kamus pengembangan dalam Salafi, mengingat semua yang
bermakna pengembangan akan cenderung melenceng dari platform yang digariskan Nabi.
Karena itu pula kalangan Salafi menghindari istilah gerakan atau harakah. Selain kata ini
tidak tepat untuk praktek-praktek mereka, harakah cenderung mempunyai arti politik.
Banyak harakah yang kemudian memakai politik sebagai kendaraan untuk mencapai citacitanya.
2. Ajaran
Kelompok Salafi di Indonesia melalui dakwahnya hanya bertujuan satu, yaitu
mengubah cara pandang, cara bepikir atau cara memperaktekkan Islam masyarakat agar
sesuai dengan cara yang dilakukan oleh tiga generasi tadi, yakni generasi sahabat, Tabiin
dan Tabiittabi’in. Kelompok Salafi, karenanya, bisa disebut sebagai fundamentalis radikal.
Mereka mengharapkan untuk mengubah wajah Islam Indonesia agar sesuai dengan yang
diidealkan oleh mereka. Mereka melihat apa yang dipraktekkan oleh kalangan Islam
adalah (Islam yang) salah, yakni menyimpang dari yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Mereka merasa berkewajiban untuk mengembalikan Islam sehingga benar-benar
sesuai dengan tuntutan Qur’an sendiri dan tidak menyimpang dan yang dipraktekkan oleh
Nabi.
Gerakan Salafi dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Saudi Arabia. Muhammad bin
Abdul Wahab adalah pendiri Wahabi yang berusaha untuk mengubah wajah Islam
sebelumnya agar sesuai dengan yang dipraktekkan oleh Nabi. Dalam pandangannya,
12
Islam saat itu telah dipenuhi oleh bid ’ah dan khurafat. Beberapa praktek Islam kaum
Muslimin saat itu, termasuk yang bersifat ritual, banyak yang tidak dilakukan Nabi di saat
hidupnya. Karena itu, dalam pandangannya hal-hal ini tidak mempunyai rujukan (dari
Nabi) secara jelas, dan setiap yang tidak punya rujukan adalah bid’ ah, dan setiap bid’ah
adalah sesat dan setiap yang sesat neraka tempatnya.
Apa yang dipikirkan Muhammad bin Abdul Wahab saat itu sebenarnya juga
dipikirkan oleh banyak cendekiawan Islam semasa dan sesudahnya. Muhammad Abduh,
misalnya, juga melakukan terobosan dan langkah yang sama. Bedanya, yang disebut
terakhir ini hanya terbatas pada gerakan pemikiran. Meskipun demikian, perlu dicatat
bahwa gerakan semacam inilah yang justru ikut mempengaruhi gerakan-gerakan sosial
keagamaan seperti Wahabi tadi.
Gerakan Wahabi karena terjadi di awal abad ke-20 ikut berpengaruh terhadap
gerakan sosial keagamaan di Indonesia. Seperti diketahui, komunikasi antara kalangan
ulama Indonesia dengan mereka yang di Saudi Arabia cukup intensif saat itu, lebih-lebih
setelah ada di antara ulama Indonesia yang belajar Islam di sana saat itu. Karenanya, apa
yang dilakukan oleh gerakan Wahabi diketahui oleh mereka, dan sebagian dari yang
dilakukan Wahabi bahkan telah mengkhawatirkan para ulama Indonesia. Gerakan
Wahabi, di antaranya, telah membongkar apa-apa yang dikeramatkan oleh sebagian besar
umat Islam Indonesia saat itu. Mereka, misalnya, membongkar kuburan-kuburan yang
dianggap keramat. Reaksi Ulama ini dibuktikan dengan dibentuknya apa yang disebut
Komite Hijaz yang memberikan inspirasi terhadap atau sebagai embrio bagi kelahiran
Nahdatul Ulama (NU).
Gerakan Salafi ini bisa dikatakan sebagai bagian dari gerakan fundamentalisme
klasik di lingkungan Islam. Idenya biasanya terbatas pada upaya memperbaiki ke-Islaman
kaum Muslimin karena praktek peribadatan dan kepercayaan mereka dianggap sudah
dilumuri oleh masalah-masalah bid’ ah. Karenanya ide purifikasi Islam menjadi agenda
utama mereka. Masalah-masalah yang berkaitan dengan politik pada awalnya agak
kurang menyentuh mereka. Setidaknya, hal ini penting untuk dicatat karena hal inilah
yang membedakan mereka dengan gerakan fundamentalisme Islam lainnya yang biasanya
sarat dengan muatan politik. Bahkan bisa dikatakan bahwa gerakan fundamentalisme
13
Islam kontemporer biasanya sangat politis karena tujuan utama para penggagasnya adalah
untuk
meraih
kekuasaan
atau
menempatkan
Islam
dalam
kekuasaan.
Jenis
fundamentalisme ini bisa dilihat dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ikhwanul Muslimin
sering dianggap sebagai gerakan fundamentalisme Islam yang tidak hanya berusaha
meraih kekuasaan politik, tetapi juga yang memakai kekerasan sebagai media untuk
meraih kekuasaan tersebut. Situasi dan kondisi masing-masing memang telah
berpengaruh berbeda terhadap berbagai gerakan fundamentalisme Islam yang muncul di
berbagai negara. Hegemoni kolonialisme asing terhadap Mesir telah melahirkan tokohtokoh politik dan juga ilmuwan – ilmuwan Islam yang begitu khawatir dengan nasib
Islam sendiri.
Arjomand (1995) berusaha membedakan gerakan gerakan fundamentalism Islam
yang murni religious Oriented sebagai scriptural fundamentalism dari gerakan
fundamentalisme yang berorientasi politik. Bisa dikatakan bahwa mayoritas gerakan
fundamentalisme Islam modern lebih berorientasi politik.
Bisa dikatakan bahwa
mayoritas gerakan fundamentalism Islam modern lebih berorientasi politik karena apa
yang mereka perjuangkan tidak saja ditujukan untuk menerapkan syariat Islam tetapi juga
mengaitkan Islam dengan kekuasaan. Di Indonesia, kecenderungan seperti ini bisa dilihat
dari Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin atau Darul Islam. Lebih dari itu, ada juga gerakan gerakan fundamentalis Islam yang bahkan menggunakan partai politik sebagai media
perjuangannya, seperti Partai Keadilan (Sejahtera). 9
Setidaknya ada empat ajaran penting dari gerakan Salafi Modern, yaitu:
a. Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada pembersihan ragam
bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat
Islam.
b. Mereka memandang keterlibatan dalam semua proses politik praktis seperti
pemilihan umum sebagai sebuah bid’ah dan penyimpangan.
c. Mereka cenderung kooperatif dalam menyikapi gerakan-gerakan Islam yang ada
d.
Mereka meyakini adanya larangan melakukan gerakan separatis dalam sebuah
pemerintahan Islam yang sah.
9
Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm. 160-162
14
Terdapat sejumlah kritik terhadap organisasi dan gerakan Salafi, yakni:
a. Pola dakwahnya terlalu eksklusif dan kurang simpatik.
b. Model perjuangan yang “hitam-putih” sering menuai cap teroris.
c. Susah menerima kebenaran dari luar komunitasnya.
d. Kurang fokus pada dakwah dasar dan lebih menekankan isu jihad.
e. Dalam menentukan prioritas dakwah, sering terpengaruhi isu global dunia Islam.
3. Basis Massa
Jumlah pengikut Salafi di Indonesia masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan
pengikut NU atau Muhammadiyah. Pada umumnya mereka adalah alumni pesantren atau
majelis taklim yang diasuh oleh para ustadz tamatan sekolah di Timur Tengah.10
4. Pendekatan Dakwah
Bagi penganut Salafi, untuk urusan agama tidak ada istilah kompromi. Apa yang
dipandang tidak benar menurut dalil al-Qur’an dan sunnah secara tegas ditolak.
Sedangkan apa yang dianggap benar akan disampaikan meski pahit. Pandangan seperti
inilah yang membawa Salafi ke kancah perdebatan dengan gerakan lain.
Dakwah Salafi muncul terutama di Jawa dan kota-kota besar. Di Yogyakarta Salafi
muncul dengan dipimpin Abu Nida, beriringan dengan kehadiran Forum komunikasi Ahli
Sunnah Waljamaah pimpinan Ja’far Umar Thalib. Jafar dan Abu Nida memang
mempunyai ide yang sama mengenai bagaimana Islam seharusnya dipraktikkan. Di
Bandung, Salafi diperkenalkan oleh Abu Haedar. Tokoh muda Islam ini seumur dengan
dua tokoh Islam tersebut. Walhasil, ketiga orang ini mempunyai rencana besar bersama
untuk membangun kembali Islam di Indonesia melalui dakwah.
Jika Ja’far Umar berhasil mendirikan FKAWJ maka dua orang yang disebut
terakhir memilih melakukan dakwah tanpa organisasi. Pemilihan ini juga karena mereka
10
Afinda RA, “Gerakan dan Organisasi Islam Modern di Indonesia”, diakses dari http://afindajustsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-islam-modern-di.html?m=1 pada 6 Desember 2017 pukul
07.07
15
melihat apa yang dilakukan Ja’far tidak cocok dengan yang mereka pikirkan. Apalagi Ja'
far Kemudi an mendirikan Laskar Jihad dan terlibat dalam pertikaian antara Muslim dan
Kristen di Ambon. Dalam pandangan Abu Haedar, keterlibatan di Ambon benar-benar
politis yang memang tidak boleh mereka lakukan karena tidak sejalan dengan ide
pembangunan kembali Islam.
Salafi memilih jalan dakwah itu, dan Salafi bukanlah sebuah organisasi bahkan
organisasi dakwah sekalipun. Para pendukungnya hanyalah mereka yang satu ide atau
mengikuti ide yang dipikirkan atau dipakai oleh para ‘guru’ atau seniornya. Di Bandung,
Abu Haedar adalah tokoh utama Salafi ini, tetapi bukan pemimpin Salafi karena dalam
pandangan pengikut Salafi mereka tidak mempunyai organisasi dan pengurus, bahkan
dalam jamaah mereka sama sekali tidak ada hierarki. Semua pengikut (dalam arti yang
longgar) mempunyai kedudukan yang sama. Karenanya mereka lebih merupakan gerakan
dakwah untuk menerapkan manhaj (cara atau metode berpikir) yang diyakini.
Apa yang disebut jamaah Salafi Bandung misalnya, adalah mereka yang mengikuti
ceramah atau dakwah Abu Haedar dan para aktivis lainnya tetapi tanpa ada keanggotaan.
Siapa saja boleh menghadiri dakwah yang mereka laksanakan. Di Bandung sendiri
memang agak susah menemukan kelompok Salafi ini, mengingat mereka bukan
organisasi. Tetapi, setelah dilakukan penelusuran melalui jalur individual yang terlibat
dalam dakwah yang ada bisa diketahui bahwa dakwah mereka tersebar di berbagai tempat.
Dakwah mereka kelihatannya baru mencapai atau bisa masuk di lingkungan
pinggiran. Mainstream Muslim di Bandung belum tersentuh oleh mereka, yakni arus
utama Islam yang biasanya terpusat di masjid-masjid besar (seperti masjid Salman 1TB)
sebagai tempat membicarakan atau mengembangkan Islam yang ada. Kesulitan ini
memang berkaitan dengan manhaj yang mereka perkenalkan di samping kehadiran
mereka juga baru seumur jagung. Cara-cara mereka mempraktekkan Islam sangat
dipengaruhi oleh Wahabi, yang karenanya mereka berhadapan dengan masalah praktek
Islam yang ada yang agak betolak belakang. Islam yang ada adalah Islam yang
terpengaruh oleh kultur lokal. Islam yang dipraktekkan di Indonesia adalah Islam yang
sudah dikembangkan karena dalam setiap proses pengenalan Islam selalu terjadi apa yang
disebut parokhialisasi dan generalisasi. Parokhialisasi adalah penyesuaian Islam kedalam
16
kultur lokal, sementara generalisasi adalah menarik kultur lokal ke dalam kerangka Islam
yang umum atau mungkin yang dasar yang bisa berlaku di mana-mana. Karena itulah
dakwah Salafi sulit diterima banyak kalangan di Bandung karena akan mengubah praktek
Islam yang ada. Pengikut Salafi sering disebut sebagai kelompok yang menganggap
orang lain melakukan praktek Islam yang tidak dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Salafi, karenanya juga bisa disebut sebagai dakwah pemurnian Islam. 11
5. Radikalisme Salafi
Kalangan Salafi bisa dikatakan sebagai kelompok fundamentalis radikal setidaknya
dalam pemikiran. Hal ini berkaitan dengan keinginan mereka untuk menerapkan dasardasar Islam dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, mereka juga berkeinginan
untuk mengganti Islam yang sementara ini dipraktekkan oleh masyarakat dengan Islam
yang mereka anut dan dianggap paling benar. Seperti dikemukakan di atas, mayoritas
umat Islam Indonesia dalam pandangan Salafi telah terlumuri oleh praktek Islam yang
melenceng. Bid’ah karena nya terpraktekkan di mana-mana. Kelompok masyarakat yang
mempraktekkan bid’ ah ini tidak terbatas pada kalangan NU (tradisionalis) karena
memelihara tradisi yang ada, tetapi juga kalangan lain yang biasa disebut modernis,
seperti Muhammadiyah. Di sini kelihatan bahwa Salafi berusaha melakukan purifikasi,
karena Islam yang ada di anggap terkotori oleh pengaruh atau praktek dan pemikiran
yang tidak berasal dari para sahabat Nabi. Karena itulah, mereka dalam hal ini selalu
menolak pemikiran-pemikiran baru yang datang dan ulama atau intelektual Islam lain
selain dari kelompok mereka. Jadi radikalnya itu terbatas pada kegigihannya untuk
mengubah situasi atau praktek Islami yang ada yang dilakukan oleh mayoritas Muslim
Indonesia dan mengembalikan nya kedalam situasi atau praktek para sahabat Nabi.
Radikal nya mereka tidak menyentuh dimensi pembaharuan atau reformasi baik dalam
pemikiran maupun lainnya.
Meskipun demikian radikalisme Salafi hanya terbatas pada sikap atau pemikiran
dan tidak tertuangkan dalam tindakan. Karena itulah meskipun dikatakan radikal, para
pengikut Salafi tidak menimbulkan masalah sosial dalam kaitannya dengan anggota
11
Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm.163-164
17
kelompok lain. Apa yang memungkinkan mereka disebut radikal adalah keteguhannya
untuk menerapkan Islam yang benar tadi.
Dalam tindakan, mereka sepertinya membiarkan masalah-masalah yang sejauh ini
mereka anggap bertentangan dengan Islam. Mereka terutama memberikan perhatian besar
terhadap apa yang mereka sebut pelurusan akidah. Mereka, misalnya, berbeda pendapat
dalam apa yang dilakukan oleh kelompok Islam lain yang menghancurkan beberapa
tempat yang dianggap maksiat. Dalih yang digunakan adalah bahwa penanganan masalah
seperti itu harus dilakukan oleh mereka yang punya power. Makanya hal itu sebenamya
urusan pemerintah. Apa yang perlu dilakukan oleh orang Islam adalah bersikap.
setidaknya negatif terhadap masalah maksiat tadi.
Mereka mengakui bahwa penerapan Islam itu memang meliputi banyak aspek
dalam kehidupan manusia. Tetapi keterbatasan diri telah membatasi langkah manusia
mengenai mana yang bisa dilakukan dan mana yang tidak. Perintah Qur’an untuk
melarang atau mengubah kelakuan atau praktek maksiat tidak bisa dilakukan secara
individual. Perubahan di bidang ini, kata mereka, haruslah menggunakan power yang
memang jauh dan tangan mereka. Seorang Islam akan terbebas dan perintah itu ketika dia
tidak mempunyai kekuatan dan juga menyikapi masalah kemungkaran itu sebagai
masalah yang jelek yang dilarang oleh agama.
Sikap di atas nampaknya menjadi karakter penganut Salafi yang kelihatannya tidak
melibatkan diri dalam tindakan tindakan yang provokatif yang dapat menimbulkan
masalah dalam masyarakat. Ini artinya bahwa lepas dari radikalisme pemikiran yang
dianut mereka, kalangan Salafi dalam banyak hal hanya membatasi diri pada lapangan
dakwah saja. Radikalisme yang mereka anut terbatas pada radikalisme dalam pemikiran,
dan itupun juga lebih difokuskan pada mengubah praktek keIslaman yang selama ini
dianut oleh masyarakat Indonesia Karena itulah, mereka agak mengecam apa yang
dilakukan oleh kelompok Islam lain yang melakukan perusakan terhadap tempat maksiat.
Menurut mereka, kekerasan sendiri bukan saja tidak sesuai dengan Islam tetapi juga tidak
akan menyelesaikan masalah yang ada, untuk tidak mengatakan memperkeruhnya. 12
12
Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm.169-171
18
D. HIZBUT TAHRIR (HT)
1. Latar Belakang
Hizbut Tahrir (Hajib al-Tahrir HT) secara etimologis berarti Partai Pembebasan.
Hizbut Tahrir didirikan oleh Sheikh Taqiyyudin al-Nabhani (1909-1979) pada tahun 1953
di al-Quds, Palestina. Organisasi ini diakui oleh pendirinya dan sekaligus para aktivisnya
bukan sebagai organisasi sosial keagamaan tetapi sebagai partai politik. Setelah Sheikh
Taqiyyudin an-Nabhani meninggal, kepemimpinan digantikan oleh Sheikh Abdul Qodim
Zallum. Pandangan - pandangan kedua tokoh ini dapat dilihat dari buku-buku yang sudah
diterbitkan Hizbut Tahrir, lewat Thariqah Izzah. Sepeninggal pemimpin kedua, sejak
tahun 2003, Hizbut Tahrir dipimpin Sheikh A. Abu Rostah secara internasional.
Beliaulah orang nomor satu dalam struktur kepemimpinan Hizbut Tahrir sekarang ini.
Hizbut Tahrir berkembang diseluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di
Afrika, Eropa, Amerika dan Asia. Di Indonesia, Hizbut Tahrir masuk pada tahun 1980-an
dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar diseluruh Indonesia. Pada era 1990-an,
ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat melalui berbagai aktivitas
dakwah di masjid, perkantor, perusahaan dan perumahan. Hizbut Tahrir masuk ke
Indonesia melalui Abdurrahman al-Baghdadi (Lebanon). Bila dilacak sejarahnya, akar
pemikiran Hizbut Tahrir bertemu dengan ide-ide pemikir Mesir awal abad 20, M. Rasyid
Ridlo. Pemikiran juga berasal dengan Ibnu Taimiyyah dan Ahmad Ibnu Hanbal.
Sejak diselenggarakannya Konferensi internasional di Istora senayan yang dihadiri
oleh tokoh-tokoh Hizbut Tahrir internasional maupun nasional serta tokoh-tokoh Islam
dari organisasi lain, Hizbut Tahrir resmi melakukan aktivitasnya di Indonesia secara
terbuka seperti bisa dilihat dari munculnya organisasi ini dalam konteks Indonesia yang
kemudian dikenal dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Para tokoh HTI banyak
yang bertempat tinggal di Bogor, dan upaya mereka dalam mensosialisasikan gerakannya
tampaknya mendapat sambutan juga dari civitas academica IPB sehingga salah satu
pimpinan pusat HTI, Muhammad al-Khottot adalah alumni di perguruan tinggi ini.
Dalam lingkup nasional, humas HTI dipegang Ismail Yusanto, sedangkan untuk
wilayah Jawa Barat dipegang Muhammad Syababi. HTI dibangun atas dasar kemandirian
yang memperoleh dana dari para simpatisan, dan tidak menerima bantuan dari pemerintah
19
bahkan secara tegas menolak dan mengharamkan penerimaan uang dari pemerintah.
Untuk menjaga kemandirian dan indepensi inilah maka setiap Sumbangan yang diberikan
kepada HTI harus melalui penelitian yang seksama.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sejak awal memang didesain sebagai organisasi
politik. Tetapi, berbeda dengan organisasi politik yang dikenal selama ini, HTI tidak
mendaftarkan diri secara formal sebagai parpol yang ikut dalam pemilu. Hal ini karena
menurut seorang aktivisnya, dalam situasi sekarang ini banyaknya partai Islam justru
membingungkan umat Islam. Oleh karena itu kelompok ini tidak mengikuti jejak partai
partai lain yang berdasarkan Islam untuk ikut andil dalam pemilu yang kemudian dapat
menjadi anggota legislatif.13
2. Ajaran
Ada beberapa ajaran yang diyakini benar oleh para pengikut Hizbut Tahrir,
diantaranya adalah:
a. Menegakkan syariat Islam dalam setiap aspek kehidupan.
b. Mengupayakan berdirinya Negara Islam global yang dipimpin oleh seorang khalifah.
c. Mengharamkan segala bentuk instrumen demokrasi termasuk pemilihan umum yang
dipandang sebagai produk pemikiran barat.
d. Melarang keterlibatan anggotanya dalam politik praktis melalui partai selama masih
menggunakan sistem demokrasi.
e.
Menolak segala tatanan politik, sosial, ekonomi, teknologi produk Barat modern dan
menggantinya dengan tatanan Islam.
“Kedatangan Hizbuttahrir sebenarnya hampir berbarengan dengan gerakan-gerakan
Islam lainnya seperti lkhwanul Muslimin, Jama'ah Tabligh, dan kelompok salafi Iainnya,
Sebelum saya bertemu dengan Hizbuttahrir, saya sudah membaca buku-buku lkhwan,
buku-buku Sayyid Qutb, Al- Banna, dan lain sebagainya. Waktu itu kedua tokoh itu
menjadi ikon gerakan Islam di mana-mana, termasuk di lndonesia, Kemudian saya
mengenal Hizbuttahrir. Saya sebenarnya sudah mengetahui Hizbuttahrir lewat nasyroh13
Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm.265
20
nasyrohnya dan beberapa materi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Nah, di
situ saya melihat memang ada nuansa yang berbeda."
Ismail Yusanto termasuk orang yang paling awal memasuki HT. Sekarang ini ia
menjabat juru Bicara Hizbuttahrir Indonesia. Karena itu ada baiknya melihat beberapa
sisi kehidupannya untuk melihat kemunculan dan perkembangan HT di Indonesia. Ismail
Yusanto lahir di Yogyakarta pada 2 Desember 1962. Kedua orang tuanya berasal dari
Majenang, sebuah kota di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pada waku kecil,
orang tuanya membawanya kembali ke Majenang. Di kota ini, yang memiliki tradisi
keagamaan Nahdatul Ulama (NU), ia mendapatkan pendidikan dasarnya. Keluarganya,
baik dari pihak ayah maupun ibu, adalah orang-orang yang memiliki tradisi NU.
Kenyataan ini menyebabkan ia belajar dengan kyai-kyai NU. Ia bercerita bahwa pada
waktu kecil, ia belajar di pesantren yang diasuh oleh seorang kyai yang cukup terkenal di
desanya. Di pesantren ini ia diperkenalkan kepada tradisi keagamaan yang kerap kali
disebut kitab kuning. Cukup lama ia belajar di lingkungan NU. Pada waktu remaja ia
pindah ke Yogya. Di kota ini pun ia masih belajar di lingkungan NU. Bahkan ia pernah
menyantri pada K.H. Ali Ma’sum dari Krapyak.
Selelah menyelesaikan sekolahnya, Ismail mendaftar di Universitas Gajah Mada
Jurusan Teknik Geologi. Di sini kontaknya dengan pemikiran Islam semakin intensif.
Pertama la berkenalan dengan pemikiran sejumlah tokoh intelektual Muhammadiyah
Yogya, seperti Kuntowijoyo, Watik Pratik nya, dan Amin Rais. Bahkan dengan tokoh
terakhir ini ia pernah menjadi santri kalongnya di Pesantren Budi Mulia. Sebenarnya
pemikiran ketiga tokoh ini cukup menyegarkan pemikiran keIslamannya. Namun Ismail
merasa belum puas. Karena itu ia pun mulai berhubungan dengan sejumlah pengajian
yang diselenggarakan di kampus yang kemudian mengantarkannya pada pemikiran Islam
kontemporer. Di sinilah ia kemudian berhubungan dengan Forum Studi Islam (Fodi),
Pengkajian Nilai Dasar Islam (PNDI), Pengkajian Risalah Tauhid (PRT) yang kemudian
melahirkan HMI-MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi,
faksi HMI yang tidak setuju dengan Asas Tunggal Pancasila).
Pada waktu itu, ketiga forum ini cukup besar pengaruhnya di beberapa kampus dan
mewarnai kegiatan kampus pada era 80-an. Mereka merupakan cikal bakal terbentuk nya
21
gerakan Islam kontemporer yang lebih terorganisasi. Gerakan jilbab, halaqah, usrah, dan
tarbiyah yang marak pada tahun-tahun tersebut pada mulanya dirintis dari forum-forum
semacam itu. Kegiatan mereka biasanya diadakan pada akhir Sabtu sore dan berakhir
Minggu sore. Meskipun dilaksanakan dalam unit-unit yang kecil dan terbatas, tapi karena
sangat intensif, melahirkan sejumlah kader yang kemudian berperan dalam kelanjutan
gerakan tersebut.
Ismail besar dalam suasana gerakan seperti itu. Ia bahkan merasa pemikiran
keIslamannya sangat dipengaruhi oleh pergaulannya dalam forum-forum tersebut. Namun
ia belum menemukan bentuk pemikiran keIslaman yang betul-betul ia inginkan. Ketika ia
membaca pemikiran tokoh-tokoh Ikhwan, misalnya, ia menemukan beberapa kelemahan
di dalamnya. Ketidakpuasan ini menyebabkan ia terus mencari. Sampai akhimya ia
menemukan apa yang ia cari dalam karya-karya Taqiyuddin Al-Nabhani. Namun
keterbatasannya untuk mengakses dalam bahasa aslinya, bahasa Arab, menyebabkan ia
hanya bisa membaca nasyroh-nasyrohnya atau versi terjemahan yang ia dapatkan dari
teman-temannya.
“Disitu saya memang melihat ada nuansa yang berbeda, satu pemikiran dengan
semangat atau dengan warna ideologi yang sangat kental yang dimiliki Hizbuttahrir,
termasuk cita-cita politiknya. Terus terang saja, saya baru mengenal istilah khilafah
Islamiyah dari Hizbuttahrir. Saya pernah belajar fiqih Sulaiman Rasjid. Di ujungnya kan
ada istilah fiqih siyasah, tapi saya nggak paham apa yang dimaksud dengan fiqih siyasah.
Saya baru paham setelah bertemu Hizbuttahrir.”
Ismail termasuk orang yang merasakan pahit-getirnya hidup sebagai aktivis Islam.
Pada waktu itu adalah masa-masa sulit yang dihadapi para aktivis. Dalam satu malam
satu kegiatan bisa berpindah tiga kali. Apalagi setelah peristiwa Tanjung Priok tahun
1984. Sandal dan sepatu peserta dibawa masuk ke dalam masjid atau mushalla. Mereka
tidak menggunakan pengeras suara, alat perekam, foto, atau semacamnya. Dan ketika
selesai, peserta pulang secara bergantian. Semuanya ini mereka lakukan untuk
menghindari kecurigaan aparat pemerintah dan untuk menghilangkan jejak. Ismail
mengaku bahwa ia melewati kehidupan seperti itu selama sebelas tahun. Beberapa
22
temannya pernah ditangkap termasuk Irfan Awwas gara-gara menerbitkan Ar-Risalah,
buletin gerakan yang dianggap anti pemerintah.
Pemerintah, menurut pengakuan Ismail, tidak pernah berhasil melacak keberadaan
HT. Hal ini karena para aktivis HT selalu menekankan pentingnya hidup low-profile di
masyarakat. Pengalaman yang tidak menguntungkan yang menimpa kaum aktivis Islam
di beberapa negara di Timur Tengah menjadi pelajaran yang amat berharga bagi anggota
HT di Indonesia. Menurut cerita Ismail, ketika masih berada di Timur Tengah, para
seniornya bahkan mengubur buku- buku HT agar tidak diketahui oleh aparat keamanan.
Sejak awal HT menghindari publikasi, sehingga banyak anggota HT yang tidak mengenal
figur pimpinan mereka yang sebenarnya.
Pasca Reformasi, kehidupan sosial politik berubah total. Momentum ini
dimanfaatkan oleh para aktivis Islam untuk memformalkan gerakan mereka. HT pun
memanfaatkan momen ini untuk keluar dari ’persembunyiannya’. Hal ini dianggap perlu,
di samping agar ide-ide HT lebih dikenal oleh masyarakat, HT juga ingin berpartisipasi
dalam proses transformasi yang tengah berlangsung di masyarakat.
HT, menurut Ismail, menawarkan penyelesaian yang menyeluruh atas segala
persoalan yang dihadapi umat manusia. Untuk mengatasi masalah yang ada, HT
memulainya dengan pembentukan masyarakat Muslim. Namun karena masyarakat terdiri
dari dua unsur, yaitu individu dan sistem, maka ke dua hal itu di tangani secara
bersamaan. Untuk individu, HT mengembangkan teori yang disebut syakhsiyyah
Islamiyyah (kepribadian Islam). Sementara itu, HT mengembangkan dua pilar
masyarakat, yaitu politik dan ekonomi. Di sinilah kemudian dibentuk ekonomi Islam,
Politik Islam, daulah Islamiyah, dan berpuncak pada khilafah Islamiyah. Sementara itu
HT juga berkepentingan untuk membentuk pemikiran Islam, hukum Islam, dan tsaqafah
Islamiyah. Dengan kata lain, HT memulai dengan suprastruktur, infrastruktur, dan
struktur sistem. HT menyebut tiga hal itu, ara (pendapat), afkar (pemikiran), dan ahkam
(hukum-hukum) dan menganggapnya sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Sebelumnya Ismail tidak punya bayangan sama sekali, bagaimana daulah Islamiyah dan
khilafah Islamiyah ditegakkan. Namun setelah membaca karya-karya kelompok HT,
23
daulah dan khilafah Islamiyah bukan hanya mungkin tapi juga perlu untuk mengatasi
kebuntuan ideologis yang ada.
Pemikiran HT sebenarnya banyak persamaannya dengan IM. Bahkan ada yang
mengatakan HT merupakan sempalan IM. Namun HT menolak klaim ini. Perbedaan HT
dan 1M pada dasarnya terletak pada pendekatan perjuangan. IM menekankan pentingnya
pembinaan pribadi sebagai prasyarat mutlak lahirnya masyarakat Muslim. Hal ini
tercermin dalam ucapan Dr. Hasan Al-Hudaibi, seorang tokoh IM. “Dirikanlah daulah
Islamiyah dalam dirimu, maka ia akan berdiri di atas bumimu.” Sementara itu HT
menganggap pembentukan pribadi dan masyarakat harus dibarengi dengan penegakan
daulah Islamiyah atau khilafah Islamiyah. Khilafah meru pakan konsep sentral dalam
pemikiran HT. Ia merupakan instrumen utama untuk mendirikan masyarakat Muslim.
Menurut HT, masyarakat bukan hanya kumpulan individu, tapi juga interaksi antar
individu. Kumpulan individu tidak melahirkan masyarakat, tapi jama’ah (kelompok).
Dengan kata lain, ada sebuah system yang mengatur masyarakat karena itu
pendekatannya pun harus sistematik pula.
Ideologi HT didasarkan kepada Alqur’an dan Sunnah. HT mengajak kaum
Muslimin untuk mengamalkan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan mereka. Bagi
HT model Islam yang dikembangkan Nabi dan para sahabat adalah satu-satunya model
yang harus diikuti oleh kaum Muslimin. Model inilah yang kemudian membawa kaum
muslimin mengalami masa kejayaannya. Ketika mereka tidak lagi mengikuti model itu,
mereka ditimpa kehinaan dan kekalahan. Karena itu mengimani Islam secara kaffah
merupakan dasar ideologi HT. Tak ada pilihan lain bagi kaum Muslimin untuk tidak
mengimani nila-nilai Islam seperti yang telah diamalkan oleh generasi awal Islam.
Pada dasarnya HT adalah gerakan salaf yang berusaha kembali kepada sumber
Islam yang sejati. Memang bila dilacak akar pemikiran HT akan bertemu dengan pemikir
Mesir awal abad keduapuluh, Muhammad Rasyid Ridha. Taqiyuddin pernah berguru
dengan beberapa ulama yang merupakan murid langsung Ridha. Pemikirannya akan
bertemu dengan Ibnu Taimiyah dan Ahmad ibn Hanbal. Berdasarkan kenyataan ini tidak
aneh bila kemudian ditemukan aspek-aspek salaf dan puritanisme dalam HT. Aspek ini,
misalnya, terlihat dalam ciri-ciri fisik aktivis HT seperti memelihara jenggot atau
24
penolakan terhadap praktik keagamaan, seperti ritual tarekat yang sering dilakukan oleh
kelompok Islam tradisional.
Namun demikian, menganggap HT semata gerakan salaf juga tidak tepat. Tepatnya
adalah HT merupakan perkembangan dari salafisme Ridha, reformisme Abduh dan
PanIslamisme Al-Afghani. Pada aspek terakhir HT mengembangkannya lebih lanjut,
yaitu sistem khilafah Islam yang bersifat internasional. Bahkan HT telah berjasa dalam
mem perkenalkan khazanah klasik Islam kepada masyarakat Muslim. Khazanah tersebut
dikembangkan sehingga betul-betul sesuai dengan kondisi sekarang ini.
“Bila salafi di sini diartikan merujuk pada para ulama salaf yang muktabar, maka
HT adalah salaf. justru kalau boleh saya bicara, kita mengenal dan memiliki semangat
untuk belajar khazanah klasik dari HT. HT betul-betul menghargai khazanah klasik,
mulai dari ushul fiqih, fiqih, dan kitab-kitab terkemuka lainnya. Namun kalau salafi di
sini diartikan sebuah gerakan yang melulu bertumpu pada ulama salaf, maka HT bukan
salaf.”
Bila orientasi HT adalah internasionalisme Islam, seperti tercermin dalam konsep
khilafah, di mana seluruh Dunia Islam berada di bawah satu kekuasaan pemerintahan
Islam, gerakan salaf-seperti tercermin dalam pandangan FKAWJ (Forum Komunikasi
Ahlusunnah Wal Jama’ah) tidak memiliki pandangan itu. FKAWJ hanya ingin
mengembalikan semangat keagamaan masyarakat ke jalan yang telah dirintis oleh
generasi awal Islam yang salih (al-salaf al-salih). Mereka tidak memiliki aspek
internasionalisme Islam. Bahkan orientasi politik FKAWJ bersifat lokal.
Konsep khilafah HT berbeda dengan Pan-Islamisme Jamaluddin Al-Afghani. Yang
terakhir adalah kerja sama antar-negara Islam yang independen untuk mencapai tujuan
bersama, tujuan ini bisa tujuan politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Khilafah berarti
seluruh Dunia Islam berada di bawah satu garis komando, di bawah satu khalifah yang
memiliki kekuasaan untuk mengatur segala hal mengenai pemerintahan dan kehidupan
sosial kemasyarakatan. Sistem kekhalifahan Islam versi HT merujuk pada Sistem
25
kekhalifahan pada masa awal Islam, di mana Nabi dan kemudian Khulafa Al-Rasyidin
menjadi penguasa atas kehidupan kaum Muslimin.14
Organisasi dan gerakan Hizbut Tahrir mendapatkan kritik dari sejumlah kalangan.
Kritik-kritik tersebut diantaranya:
a. Hizbut Tahrir tidak menerima teori-teori politik modern.
b. Hizbut Tahrir dipandang memahami syariat secara sempit dan dangkal.
c. Belum ada contoh kongkrit dimasa kini tentang penerapan miniatur sistem khilafah
di dunia Islam.
d. Hizbut Tahrir dianggap banyak melakukan simplifikasi penanganan persoalan umat
dengan jargon khilafah.
e. Hizbut Tahrir fokus pada isu penegakan khilafah dan penerapan syariat.
3. Basis Massa
Mayoritas pengikut Hizbut Tahrir di Indonesia adalah kaum muda dari kalangan
mahasiswa di kampus-kampus perguruan tinggi umum. Lembaga-lembaga yang menjadi
basis Hizbut Tahrir adalah Badan Dakwah Kampus (BDK) atau Lembaga Dakwah
Kampus (LDK).15
4. Pendekatan Dakwah
Meskipun umat Islam Indonesia merupakan mayoritas, ide penerapan Syariat Islam
tidak mudah diterima oleh sebagian mereka. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang
merasa alergi ide itu. Meskipun demikian, apa yang paling dominan dari sikap menolak
ini adalah ketidaktahuan mereka tentang apa itu syariat Islam. Kondisi ini cukup
memprihatinkan para aktivis HTI, sehingga mereka merasa berkewajiban untuk
menandaskan, penyadaran terhadap orang lain untuk membangun sistem Islam lebih
efektif.
14
Jajang Jahroni Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 271275
15
Afinda RA, “Gerakan dan Organisasi Islam Modern di Indonesia”, diakses dari http://afindajustsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-islam-modern-di.html?m=1 pada 6 Desember 2017 pukul
07.07
26
Meskipun demikian, HTI juga menekankan perlunya konsisten dan bertakwa.
Artinya, bertakwa kepada pemimpin hanya diberikan selama mereka bertakwa tadi.
Dengan demikian, ketaatan harus ditempatkan dalam reserve tertentu yaitu sejauh ia tidak
melanggar syariat Islam. Kalau seorang pemimpin sudah tidak lagi mematuhi syarat maka
tidak ada kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mentaatinya. 16
Pendekatan yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam berdakwah adalah pendekatan
demonstratif-publikatif. Maksudnya adalah berbagai macam pendekatan yang dilakukan
untuk menarik perhatian masyarakat melalui media cetak, media online dan elektronik,
dalam bentuk penyebaran buletin Jumat, brosur dan lain-lain. Disamping itu, Hizbut
Tahrir juga menggunakan pendekatan sel, yakni membentuk kelompok-kelompok kecil
untuk diberikan pencerahan doktrin tentang khilafah dan sistem politik Islam.
Berdasarkan sirah Rasulullah SAW, Hizbut Tahrir menetapkan metode perjalanan
dakwahnya dalam tiga tahapan, yakni: tahapan pembinaan, yang dilaksanakan untuk
membentuk kader- kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir dalam
rangka pembentukan kerangka tubuh partai; tahapan berinteraksi dengan umat, yang
dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam; tahapan penerimaan,
yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah
Islam keseluruh dunia.
16
Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm. 278
27
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Organisasi Islam Modern di Indonesia, diantaranya yaitu:
a) Nahdatul Ulama (NU)
b) Muhammadiyah
c) Salafi
d) Hizbut Tahrir (HT)
2. Sejarah dari Organisasi tersebut yaitu:
a) Nahdatul Ulama (NU)
Nahdatul Ulama (Kebangkitan Ulama) dibentuk pada 16 Rajab1344 H (13 Januari
1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar (Ketua
Agung).
b) Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad
Darwis, kemudian dikenal dengan K.H. Ahmad Dahlan
c) Salafi
Gerakan Salafi diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh
beberapa ulama asal Sumatra Barat pada awal abad ke 19, yaitu kaum Padri yang
salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Sementara pendapat lain
mengatakan bahwa gerakan ini sebenarnya telah muncul bibitnya pada masa Sultan
Aceh, Iskandar Muda (1603-1637).
d) Hizbut Tahrir (HT)
Hizbut Tahrir didirikan oleh Sheikh Taqiyyudin al-Nabhani (1909-1979) pada tahun
1953 di al-Quds, Palestina. Di Indonesia, Hizbut Tahrir masuk pada tahun 1980-an
dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar diseluruh Indonesia.
3. Ajaran, Basis Masa dan Pendekatan Organisasi tersebut yaitu :
a) Nahdatul Ulama (NU)
28
NU mengamalkan ajaran yang secara eksplisit tercantum dalam al-Quran dan
hadis,dan juga mengamalkan ibadah yang tidak disebutkan secara eksplisit di dalam
al-Quran dan hadis. populasi pengikut NU di Indonesia berjumlah 40 juta jiwa yang
mayoritas berada di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra dengan beragam
profesi. Dalam berdakwah, NU banyak menggunakan pendekatan kultural, yakni
berdakwah dengan menjadikan budaya masyarakat setempat sebagai instrumennya
serta
mengakomodasi
dan
melestarikan
budaya
masyarakat
selama
tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
b) Muhammadiyah
Mengamalkan ibadah hanya yang secara eksplisit disebutkan dalam hadis shahih.
lebih dari 25 juta muslim Indonesia adalah pengikut Muhammadiyah. Pada
umumnya mereka berada di daerah perkotaan dan merupakan kaum terpelajar.
Dalam dakwah, Muhammadiyah cenderung menggunakan pendekatan salaf (manhaj
al-salaf) dan dakwah menyeluruh (dakwah Islam al-kaffah).
c) Salafi
Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada pembersihan ragam
bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat
Islam. Pada umumnya pengikut Salafi adalah alumni pesantren atau majelis taklim
yang diasuh oleh para ustadz tamatan sekolah di Timur Tengah. Salafi bukanlah
sebuah organisasi bahkan organisasi dakwah sekalipun. Para pendukungnya hanyalah
mereka yang satu ide atau mengikuti ide yang dipikirkan atau dipakai oleh para
‘guru’ atau seniornya.
d) Hizbut Tahrir (HT)
Hizbut Tahrir ingin menegakkan syariat Islam dalam setiap aspek kehidupan.
Mayoritas pengikut Hizbut Tahrir di Indonesia adalah kaum muda dari kalangan
mahasiswa di kampus-kampus perguruan tinggi umum. Pendekatan yang ditempuh
Hizbut Tahrir dalam berdakwah adalah pendekatan demonstratif-publikatif.
29
DAFTAR PUSTAKA
Jamhari, Jajang Jahroni. 2004. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Srijanti, dkk.2009. Etika Membangun Masyarakat Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sunarto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Turmudi, Endang dan Riza Sihbudi. 2004. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI
Press.
Http://afinda-justsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-Islam-moderndi.html?m=1
30
Download