BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam Pendidikan Agama Islam menjelaskan bahwa organisasi Islam modern di Indonesia merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dipelajari, mengingat bahwa organisasi Islam merupakan representasi dari umat Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia. Hal ini menjadikan organisasi Islam menjadi sebuah kekuatan sosial maupun politik yang diperhitungkan dalam pentas politik di Indonesia. Organisasi Islam merupakan kelompok organisasi yang terbesar jumlahnya, baik yang memiliki skala nasional maupun yang bersifat lokal saja. Tidak kurang dari 40 buah organisasi keagamaan Islam yang berskala nasional memiliki cabang-cabang organisasinya di ibukota propinsi maupun ibukota kabupaten. Di samping itu, terbentuknya berbagai organisasi ini memberikan akses terhadap kesadaran untuk memperjuangkan nasib sendiri melalui instrument organisasi yang besifat nasional. Perkembangan organisasi keagamaan di Indonesia memang sangat panjang dari zaman sebelum kemerdekaan sampai pasca orde baru (modern). Organisasi juga biasa dikenal sebagai gerakan keagamaan, yang didefinisikan oleh Nottingham sebagai suatu usaha berorganisasi untuk menyebarkan agama baru, atau interpretasi baru mengenai agama yang sudah ada. 1 B. RUMUSAN MASALAH 1. Apa saja organisasi Islam modern di Indonesia? 2. Bagaimana sejarah atau latar belakang Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, salafi, Hizbut Tahrir? 3. Bagaimana ajaran dan pemikiran Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Salafi, dan Hizbut Tahrir? 4. Siapa saja basis massa dari NU, Muhammadiyah, Salafi, dan Hizbut Tahrir? 5. Bagaimana pendekatan dakwah yang dilakukan oleh NU, Muhammadiyah, Salafi, dan Hizbut Tahrir? C. TUJUAN Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini yaitu: 1. Untuk mengetahui apa saja organisasi Islam modern di Indonesia 2. Untuk mengetahui latar belakang atau sejarah dari NU, Muhammadiyah, Salafi, dan Hizbut Tahrir 3. Untuk mengetahui ajaran - ajaran dan pemikiran dari NU, Muhammadiyah, Salafi, dan Hizbut Tahrir 4. Untuk mengetahui basis massa atau pengikut dari NU, Muhammadiyah, Salafi, Hizbut Tahrir 5. Untuk mengetahui pendekatan dakwah yang dilakukan oleh NU, Muhammadiyah, Salafi, dan Hizbut Tahrir 2 BAB II PEMBAHASAN A. NAHDATUL ULAMA (NU) 1. Latar Belakang Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdatul Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid' ah. Namun gagasan tersebut ditolak oleh kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman pemahaman menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut. Untuk Iebih sistematis memperjuangkan aspirasi dalam membela keberagaman dan untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini 3 dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar (Ketua Agung). 1 yang semula masih menggunakan pesantren sebagai basis kegiatannya, melestarikan tradisi tradisi lama bergerak dalam bidang sosial keagamaan. Walaupun dalam perkembangannya selalu memperbarui sistem, metode, dan kurikulum pesantrennya tapi tetap melestarikan tradisi-tradisi lama. Mereka disebut tradisionalis karena teguh dan memegang tradisi di samping aliran. Tradisi tidak semata diartikan kebiasaan atau adat melainkan warisan masa lalu baik berupa pemikiran, budaya, dan lain-lain dari ulama yang hidup pada masa klasik (abad 813 M). Tradisi yang merupakan terjemahan dari turats (bahasa Arab), mengandung arti warisan yang tetap dipelihara bahkan dijadikan rujukan utama setelah Alquran. Di Indonesia mereka sering dikatakan mengikuti fiqih Syafi'i akidah ahli sunah wal jama'ah, dan tasawuf Al-Junaedi, Al Gazali. Kitab-kitab mereka jadi rujukan dalam beramal, ber ibadah dan bertasawuf. Walaupun begitu tidak selalu bermakna konservatif, tidak modern atau menolak modernitas Dalam sisi tertentu mereka sangat akrab dengan modernitas seperti menggunakan telepon seluler, komputer, pesawat dan lain-lain, yang merupakan produk dari modernitas. Mereka disebut tradisionalis lantaran metodologi keberagamaannya yang berlandaskan pada warisan pemikiran ulama masa lalu, seperti terlihat pada rujukannya pada kitab-kitab kuning Mereka mempunyai pedoman almuhafadzah ala al-gadimi al-shalih, wal ahzu ila al-jadidi al-ashlah (memelihara yang lama yang sah, sambil mengambil yang baru yang lebih baik). Dalam konteks sosial politik, kaum tradisionalis memiliki kesadaran beragama yang sebangun dengan bentuk khilafah Umayyah dan Abbasiyah. Hubungan antara ulama dan pemerintah berjalan harmonis. Mereka tidak mempersoalkan apakah bentuk negaranya Islam atau tidak, bagi mereka bentuk pemerintahan yang zalim masih lebih baik ketimbang tidak ada pemerintahan sama sekali. Oleh karena itu, ekspresi politik yang ditampilkan tidak bersifat radikal oposisional, melainkan kooperatif reformatif. Tidak berarti para ulama diposisikan sebagai "tukang stempel" atau pemberi legitimasi atas penguasa, melainkan mereka berupaya tetap menjaga harmonitas dan stabilitas 1 Srijanti, Purwanto S.K dan Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 53-54 4 sambil melakukan perbaikan. Maka tidak dibenarkan mereka melakukan kudeta dan oposisi radikal, sebab akan memunculkan sesuatu yang lebih buruk.2 Aktivitas Organisasi NU, yaitu: 1) Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan. 2) Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas. 3) Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan. 4) Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat. 5) Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 2. Ajaran Dan Pemikiran Ajaran NU yang relative menonjol yaitu: a. Disamping mengamalkan ajaran yang secara eksplisit tercantum dalam al-Quran dan hadis, NU juga mengamalkan ibadah yang tidak disebutkan secara eksplisit di dalam al-Quran dan hadis shahih, seperti Tahlilan, Istifhatsah, Diba’an, Manaqib, dll. b. Mengikuti hasil ijtihad imam-imam mazhab empat, terutama mazhab Syafi’i dan para pengikutnya, seperti tarawih 20 rakaat, qunut subuh dan witir pada separo bulan Ramadhan, dll. c. Disamping menggunakan al-Quran dan hadis Nabi, NU juga menjadikan pendapat sahabat, tabiin dan para ulama (yang terkumpul dalam kitab kuning), sebagai rujukan penting dalam berakidah dan beribadah. d. Meyakini adanya berkah yang bisa diambil dari orang-orang shalih, baik yang masih hidup maupun sudah meninggal. 2 Musyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 309-311 5 e. Pesantren tradisional beserta pengasuh (kyai)nya dijadikan sebagai lembaga dan rujukan penting untuk mengatasi segala problematika kehidupan agama dan sosial, sekaligus menjadi basis penyebaran NU. 3. Basis Massa NU Menurut Mujani (Asyari, 2010:1), populasi pengikut NU di Indonesia berjumlah 40 juta jiwa yang mayoritas berada di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra dengan beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Saat ini basis pendukung NU mengalami pergeseran. Sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, banyak warga NU di desa yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Sehingga basis intelektual warga NU juga semakin luas. Dalam menentukan basis massa NU, ada dua istilah yang sering dipakai, yaitu massa jam’iyah (penganut NU secara organisatoris), dan massa jama’ah (penganut NU yang loyal, tapi tidak punya kartu anggota). Basis sosial NU menurut Billah (Yunahar, 1993:11) adalah pesantren, tradisional, petani, desa, Jawa, pedalaman. 4. Pendekatan Dakwah Dalam berdakwah, NU banyak menggunakan pendekatan kultural, yakni berdakwah dengan menjadikan budaya masyarakat setempat sebagai instrumennya serta mengakomodasi dan melestarikan budaya masyarakat selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut NU, berdakwah pada masyarakat awam tidak bisa dilakukan secara kaku dan radikal. Dakwah Islam akan diterima bila ada kedekatan fisik antara fisik dan psikis antara pendakwah dan umat yang didakwahi. Oleh karena itu harus dilakukan secara halus dan bertahap. Prinsip aswaja juga selalu dijunjung tinggi oleh NU dalam menyikapi segala sesuatu yang berkembang di masyarakat, yaitu tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), tawassuth (moderat), dan istidal (tegak lurus).3 3 Afinda RA, “Gerakan dan Organisasi Islam Modern di Indonesia”, diakses dari http://afindajustsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-islam-modern-di.html?m=1 pada 6 Desember 2017 pukul 07.07 6 B. MUHAMMADIYAH 1. Latar Belakang Muhammadiyah adalah organisasi sosial-keagamaan yang ruang lingkupnya sangat luas, menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat Ia tidak pemah absent dalam peraturan kehidupan kemasyarakatan. Prof. Mukti Ali menyebutnya dengan “gerakan seribu wajah”. Pada awalnya tujuan utama Muhammadiyah merupakan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia, kemudian berkembang tidak hanya memberantas penyelewengan ajaran agama Islam, tetapi juga meningkatkan kualitas hidup umat. Dr. Kuntowijoyo menyebut Muhammadiyah sebagai “gejala kota”. Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan K.H. Ahmad Dahlan. 4 Kelahiran Muhammadiyah merupakan awal dari sebuah gerakan Islam modernis yang melakukan perintisan pemurnian akidah (purifikasi) sekaligus pembaruan Islam di Indonesia. Kelahiran Muhammadiyah merupakan manifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan dari sang pendiri, KH. Achmad Dahlan. Kata Muhammadiyah secara bahasa berarti pengikut Nabi Muhammad. Penggunaan kata Muhammadiyah dimaksudkan untuk menisbahkan penganut Muhammadiyah dengan ajaran Nabi Muhammad.5 Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Sebagai dampak positif dari organisasi ini, telah banyak didirikan rumah sakit dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia. Sebagai organisasi yang modern, Muhammadiyah juga melakukan pembaruan pendidikan dengan mengadopsi model pendidikan kalangan Kristen dan kolonialis dengan tetap mempertahankan nilai Islam dengan mendirikan lembaga pendidikan modern. Menurut Mitsue Nakamura (1976), dengan model pendidikan seperti itu,. Muhammadiyah secara langsung membangkitkan kesadaran nasionalisme bangsa 4 Srijanti, Purwanto S.K dan Wahyudi Pramono, Etika Membangun Masyarakat Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 55 5 Afinda RA, “Gerakan dan Organisasi Islam Modern di Indonesia”, diakses dari http://afindajustsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-islam-modern-di.html?m=1 pada 6 Desember 2017 pukul 07.07 7 Indonesia, menyebarkan ide pembaruan secara luas, serta mempromosikan penggunaan ilmu praktis dari pengetahuan modern. Golongan pembaru (modernis) hari ini (tahun 2004) yang terbesar adalah Muhammadiyah. Dalam sejarah, Muhammadiyah memiliki peran penting dalam memperkenalkan modernitas, terutama dalam pendidikan. Model pendidikan tradisional (pesantren) yang dulu digunakan diganti dengan model pendidikan Barat (Belanda), yang memakai kelas bangku, jadwal, kurikulum. Hal itu didorong oleh kesadaran beragama yang modernis, yakni menjadikan modernitas sebagai kebenaran yang netral dan tidak identik dengan Barat Modernitas Barat dianggap sebagai kelanjutan dari modernitas Islam periode klasik. Oleh karena itu, mereka tidak khawatir akan “terbaratkan” ketika mengadopsi modernitas. Metodologi yang digunakan adalah menjadikan Alquran dan Hadis sebagai sumber utama, tetapi pembacaannya berorientasi pada modernitas. Maksudnya, modernitas dijadikan kerangka berpikir sedang Al - qur'an diasumsikan sebagai “rimba belantara” yang senantiasa digali untuk dicarikan relevansinya dengan modernitas. Maka demokrasi, pluralisme, inklusivisme, civil society dan sebagainya yang merupakan produk modernitas Barat diadopsi oleh kaum modernis dalam kehidupan sosial, politik, dan keagamaan.6 2. Ajaran dan Pemikiran Diantara ajaran Muhammadiyah yang relatif menonjol adalah : a. Mengamalkan ibadah hanya yang secara eksplisit disebutkan dalam hadis shahih. b. Selain menggunakan al-Quan dan Hadis Nabi, mereka mengikuti hasil ijtihad dari ulama yang dipandang sebagai tokoh- tokoh pembaru, seperti: Ahmad bin Hanbal, Ibnu Taimiyyah, Ibn al-Qayyim al Jauziyah, dll atau mengikuti hasil keputusan Majlis Tarjih (lembaga musyawarah hokum Islam melalui pengumpulan dalil-dalil terkuat dari al- Quran dan hadis). c. KHA Dahlan menyerang sinkretisme (pencampuradukan ajaran), segala hal yang bid’ah (membuat syariat baru yang terlarang dalam agama) dan pengaruh animisme 6 Musyrifah Sunarto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 311 8 maupun agama lain yang dianggapnya menodai Islam dan sudah membudaya. Ia juga menolak praktik- praktik kultural keagamaan seperti tahlilan dan segala ritus yang tidak secara jelas bersumber pada al-Quran dan hadis yang sahih. d. Menggunakan metode hisab (perhitungan astronomi matematis) untuk menentukan awal dan akhir Ramadhan. e. Lebih peduli pada pengembangan pendidikan formal daripada pendidikan non formal seperti pesantren. f. Lebih peduli pada program sosial kemasyarakatan daripada melaksanakan ritual keagamaan yang bersifat kultural. 3. Basis Massa Menurut Mujani (Asyari, 2010:1), lebih dari 25 juta muslim Indonesia adalah pengikut Muhammadiyah. Pada umumnya mereka berada di daerah perkotaan dan merupakan kaum terpelajar. MM Billah (Yunahar, 1993:11) berpendapat bahwa basis sosial dari Muhammadiyah adalah sekolah modern, para pedagang, penduduk kota, para petani, dan mencakup wilayah Jawa dan luar Jawa. 4. Pendekatan Dakwah Dalam dakwah, Muhammadiyah cenderung menggunakan pendekatan salaf (manhaj al-salaf) dan dakwah menyeluruh (dakwah Islam al-kaffah). Muhammadiyah memfokuskan dakwahnya pada pendidikan dan pelayanan kesehatan. Buktinya yaitu banyak rumah sakit dan sekolah yang didirikan oleh Muhammadiyah. Muhammadiyah juga menggunakan pendekatan amar ma’ruf nahi mungkar yang bersifat struktural dari atas ke bawah (melalui kekuasaan). Muhammadiyah konsen pada pemurnian dan pembaharuan. Di samping itu, dakwah Muhammadiyah bertumpu pada tiga prinsip yaitu tabsyir (menyenangkan), islah (memperbaiki), dan tajdid (memperbarui).7 7 Afinda RA, “Gerakan dan Organisasi Islam Modern di Indonesia”, diakses dari http://afindajustsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-islam-modern-di.html?m=1 pada 6 Desember 2017 pukul 07.07 9 C. SALAFI 1. Latar Belakang Kata Salafi berasal dari bahasa Arab Salaf, artinya yang lalu atau klasik. Tetapi Salaf di sini dimaksudkan sebagai para sahabat Nabi Muhammad yang memahami dan mempraktikkan Islam sebagaimana dipraktikkan oleh Nabi. Salafi adalah penisbatan terhadap orang-orang yang mempraktekkan Islam sebagaimana dianjurkan atau dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya tadi. Istilah salaf banyak terkandung dalam beberapa hadis Nabi. Kelompok salaf dianggap sebagai orang-orang yang telah mempraktekkan dan memahami Islam secara benar. Mereka benar dalam ber-Islam, karena mereka adalah kalangan yang sezaman dengan Nabi sehingga setiap kali ada penyimpangan baik itu dalam pemahaman maupun dalam praktek Islam, mereka selalu mendapat petunjuk atau teguran dari Nabi. Kebersamaan mereka bersama Nabi adalah hal utama yang menyebabkan praktik dan pemahaman Islam mereka dianggap ‘sangat benar’. Dalam perkembangannya, apa yang dimaksudkan dengan salaf atau salafush-sholeh ini tidak hanya para sahabat, tetapi juga para tabi’in yakni mereka yang mengikuti jejak para sahabat atau bisa disebut generasi sesudah sahabat. Bahkan lebih jauh para penganut ajaran salaf ini memasukkan Tabiut Tabiin sebagai salaf, yakni generasi sesudah Tabi’in. Alhasil apa yang dimaksudkan dengan generasi salaf adalah tiga generasi, yakni generasi sahabat (mereka yang hidup semasa dengan Nabi), generasi sesudahnya, dan generasi sesudahnya lagi. Selain disebut salaf, tiga generasi ini juga disebut ahli sunnah waljamaah, yaitu mereka yang berpegang kepada sunnah Nabi. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri, ketika beliau menyatakan bahwa ahli sunnah adalah mereka yang akan selamat dan masuk surga. Nabi menyatakan hal ini dalam konteks akan munculnya berbagai golongan dalam Islam yang jumlahnya mencapai 73 golongan. Semua golongan ini, kata Nabi, akan celaka kecuali satu, yaitu Ahlussunnah wal Jama ’ah. Ahli sunnah batasannya adalah ‘ma ana alaihi wa ashabi’, yaitu mereka yang mengikuti ajaran yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. 10 Dalam sejarah Islam memang kemudian terbukti bahwa berbagai macam golongan muncul. Meskipun pada mulanya golongan-golongan ini merupakan by product dari perjalanan politik yang muncul di panggung dunia Islam, kehadirannya telah kebid’ahan tidak saja mewarnai kalangan NU tetapi juga menghinggapi Muhammadiyah dan kelompok Islam lainnya. Karena sikapnya yang sangat anti bid’ah maka muncul sebutan terhadap kelompok Salafi sebagai ‘orang yang suka membid’ahkan orang lain’. Artinya, kelompok Salafi ini sering dituding sebagai orang yang menganggap praktek ibadah dan pemahaman Islam orang lain sebagai sesat karena dalam Hadis dikatakan bahwa setiap bid ’ah itu dholalah (sesat) dan setiap yang sesat akan mendapat tempatnya di neraka. 8 Gerakan Salafi di Indonesia banyak dipengaruhi oleh ide dan gerakan perubahan yang dilancarkan oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahhab di kawasan Jazirah Arabia. Ide pembaruan ini diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatra Barat pada awal abad ke 19, yaitu kaum Padri yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa gerakan ini sebenarnya telah muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh, Iskandar Muda (1603-1637). Disamping itu, ide pembaruan ini secara relatif memberikan pengaruh pada gerakan-gerakan Islam modern Indonesia yang lahir kemudian, seperti Muhammadiyah, PERSIS (Persatuan Islam), dan Al-Irsyad. Sejumlah tokoh yang menjadi penggerak gerakan Salafi Modern di Indonesia, seperti: Ja’far Umar Thalib, Yazid Abdul Qadir Jawwaz (Bogor), Abdul Hakim Abdat (Jakarta), Muhammad Umar As-Sewed (Solo), Ahmad Fais Asifuddin (Solo) dan Abu Nida’ (Yogyakarta). Gerakan Salafi baru terdengar tahun-tahun belakangan ini, setidaknya setelah reformasi politik dilakukan oleh bangsa Indonesia. Hampir sama dengan gerakan serupa yang menekankan kembali ke Islam, Salafi sebenamya lebih merupakan gerakan dakwah. Dakwah Islam semacam ini baru mulai di awal 1990-an, yakni ketika mulai banyak pelajar Indonesia dari Timur Tengah kembali ke tanah air, yang bukan saja mempunyai pengetahuan Islam yang memadai tetapi juga mempunyai concern melaksanakan Islam atau berIslam ‘secara benar’. 8 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm. 154 11 Kehadiran Salafi di kancah dakwah Islam telah menarik banyak kalangan karena kaum Salafi sering dikategorikan sebagai fundamentalis yang konsekuensinya sering dikaitkan dengan gerakan politik dan sejenisnya. Tetapi, ada kesulitan dalam mengkategorikan gerakan ini, mengingat para pendukungnya mengklaim Salafi bukan sebagai organisasi, Salafi sebagaimana diklaim oleh para pendukungnya, adalah kegiatan dakwah yang dilakukan oleh orang-orang yang concern dengan pembangunan kembali Islam. Istilah pembangunan penting untuk digaris bawahi karena Salafi melihat bahwa Islam yang ada sekarang bukan saja tidak ideal tetapi juga melenceng. Karenanya, Islam ini perlu dibangun kembali secara benar menurut apa yang diajarkan Nabi dan para sahabatnya. Tidak ada kamus pengembangan dalam Salafi, mengingat semua yang bermakna pengembangan akan cenderung melenceng dari platform yang digariskan Nabi. Karena itu pula kalangan Salafi menghindari istilah gerakan atau harakah. Selain kata ini tidak tepat untuk praktek-praktek mereka, harakah cenderung mempunyai arti politik. Banyak harakah yang kemudian memakai politik sebagai kendaraan untuk mencapai citacitanya. 2. Ajaran Kelompok Salafi di Indonesia melalui dakwahnya hanya bertujuan satu, yaitu mengubah cara pandang, cara bepikir atau cara memperaktekkan Islam masyarakat agar sesuai dengan cara yang dilakukan oleh tiga generasi tadi, yakni generasi sahabat, Tabiin dan Tabiittabi’in. Kelompok Salafi, karenanya, bisa disebut sebagai fundamentalis radikal. Mereka mengharapkan untuk mengubah wajah Islam Indonesia agar sesuai dengan yang diidealkan oleh mereka. Mereka melihat apa yang dipraktekkan oleh kalangan Islam adalah (Islam yang) salah, yakni menyimpang dari yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka merasa berkewajiban untuk mengembalikan Islam sehingga benar-benar sesuai dengan tuntutan Qur’an sendiri dan tidak menyimpang dan yang dipraktekkan oleh Nabi. Gerakan Salafi dipengaruhi oleh gerakan Wahabi di Saudi Arabia. Muhammad bin Abdul Wahab adalah pendiri Wahabi yang berusaha untuk mengubah wajah Islam sebelumnya agar sesuai dengan yang dipraktekkan oleh Nabi. Dalam pandangannya, 12 Islam saat itu telah dipenuhi oleh bid ’ah dan khurafat. Beberapa praktek Islam kaum Muslimin saat itu, termasuk yang bersifat ritual, banyak yang tidak dilakukan Nabi di saat hidupnya. Karena itu, dalam pandangannya hal-hal ini tidak mempunyai rujukan (dari Nabi) secara jelas, dan setiap yang tidak punya rujukan adalah bid’ ah, dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat neraka tempatnya. Apa yang dipikirkan Muhammad bin Abdul Wahab saat itu sebenarnya juga dipikirkan oleh banyak cendekiawan Islam semasa dan sesudahnya. Muhammad Abduh, misalnya, juga melakukan terobosan dan langkah yang sama. Bedanya, yang disebut terakhir ini hanya terbatas pada gerakan pemikiran. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa gerakan semacam inilah yang justru ikut mempengaruhi gerakan-gerakan sosial keagamaan seperti Wahabi tadi. Gerakan Wahabi karena terjadi di awal abad ke-20 ikut berpengaruh terhadap gerakan sosial keagamaan di Indonesia. Seperti diketahui, komunikasi antara kalangan ulama Indonesia dengan mereka yang di Saudi Arabia cukup intensif saat itu, lebih-lebih setelah ada di antara ulama Indonesia yang belajar Islam di sana saat itu. Karenanya, apa yang dilakukan oleh gerakan Wahabi diketahui oleh mereka, dan sebagian dari yang dilakukan Wahabi bahkan telah mengkhawatirkan para ulama Indonesia. Gerakan Wahabi, di antaranya, telah membongkar apa-apa yang dikeramatkan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia saat itu. Mereka, misalnya, membongkar kuburan-kuburan yang dianggap keramat. Reaksi Ulama ini dibuktikan dengan dibentuknya apa yang disebut Komite Hijaz yang memberikan inspirasi terhadap atau sebagai embrio bagi kelahiran Nahdatul Ulama (NU). Gerakan Salafi ini bisa dikatakan sebagai bagian dari gerakan fundamentalisme klasik di lingkungan Islam. Idenya biasanya terbatas pada upaya memperbaiki ke-Islaman kaum Muslimin karena praktek peribadatan dan kepercayaan mereka dianggap sudah dilumuri oleh masalah-masalah bid’ ah. Karenanya ide purifikasi Islam menjadi agenda utama mereka. Masalah-masalah yang berkaitan dengan politik pada awalnya agak kurang menyentuh mereka. Setidaknya, hal ini penting untuk dicatat karena hal inilah yang membedakan mereka dengan gerakan fundamentalisme Islam lainnya yang biasanya sarat dengan muatan politik. Bahkan bisa dikatakan bahwa gerakan fundamentalisme 13 Islam kontemporer biasanya sangat politis karena tujuan utama para penggagasnya adalah untuk meraih kekuasaan atau menempatkan Islam dalam kekuasaan. Jenis fundamentalisme ini bisa dilihat dan Ikhwanul Muslimin di Mesir. Ikhwanul Muslimin sering dianggap sebagai gerakan fundamentalisme Islam yang tidak hanya berusaha meraih kekuasaan politik, tetapi juga yang memakai kekerasan sebagai media untuk meraih kekuasaan tersebut. Situasi dan kondisi masing-masing memang telah berpengaruh berbeda terhadap berbagai gerakan fundamentalisme Islam yang muncul di berbagai negara. Hegemoni kolonialisme asing terhadap Mesir telah melahirkan tokohtokoh politik dan juga ilmuwan – ilmuwan Islam yang begitu khawatir dengan nasib Islam sendiri. Arjomand (1995) berusaha membedakan gerakan gerakan fundamentalism Islam yang murni religious Oriented sebagai scriptural fundamentalism dari gerakan fundamentalisme yang berorientasi politik. Bisa dikatakan bahwa mayoritas gerakan fundamentalisme Islam modern lebih berorientasi politik. Bisa dikatakan bahwa mayoritas gerakan fundamentalism Islam modern lebih berorientasi politik karena apa yang mereka perjuangkan tidak saja ditujukan untuk menerapkan syariat Islam tetapi juga mengaitkan Islam dengan kekuasaan. Di Indonesia, kecenderungan seperti ini bisa dilihat dari Hizbut Tahrir, Majelis Mujahidin atau Darul Islam. Lebih dari itu, ada juga gerakan gerakan fundamentalis Islam yang bahkan menggunakan partai politik sebagai media perjuangannya, seperti Partai Keadilan (Sejahtera). 9 Setidaknya ada empat ajaran penting dari gerakan Salafi Modern, yaitu: a. Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada pembersihan ragam bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam. b. Mereka memandang keterlibatan dalam semua proses politik praktis seperti pemilihan umum sebagai sebuah bid’ah dan penyimpangan. c. Mereka cenderung kooperatif dalam menyikapi gerakan-gerakan Islam yang ada d. Mereka meyakini adanya larangan melakukan gerakan separatis dalam sebuah pemerintahan Islam yang sah. 9 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm. 160-162 14 Terdapat sejumlah kritik terhadap organisasi dan gerakan Salafi, yakni: a. Pola dakwahnya terlalu eksklusif dan kurang simpatik. b. Model perjuangan yang “hitam-putih” sering menuai cap teroris. c. Susah menerima kebenaran dari luar komunitasnya. d. Kurang fokus pada dakwah dasar dan lebih menekankan isu jihad. e. Dalam menentukan prioritas dakwah, sering terpengaruhi isu global dunia Islam. 3. Basis Massa Jumlah pengikut Salafi di Indonesia masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan pengikut NU atau Muhammadiyah. Pada umumnya mereka adalah alumni pesantren atau majelis taklim yang diasuh oleh para ustadz tamatan sekolah di Timur Tengah.10 4. Pendekatan Dakwah Bagi penganut Salafi, untuk urusan agama tidak ada istilah kompromi. Apa yang dipandang tidak benar menurut dalil al-Qur’an dan sunnah secara tegas ditolak. Sedangkan apa yang dianggap benar akan disampaikan meski pahit. Pandangan seperti inilah yang membawa Salafi ke kancah perdebatan dengan gerakan lain. Dakwah Salafi muncul terutama di Jawa dan kota-kota besar. Di Yogyakarta Salafi muncul dengan dipimpin Abu Nida, beriringan dengan kehadiran Forum komunikasi Ahli Sunnah Waljamaah pimpinan Ja’far Umar Thalib. Jafar dan Abu Nida memang mempunyai ide yang sama mengenai bagaimana Islam seharusnya dipraktikkan. Di Bandung, Salafi diperkenalkan oleh Abu Haedar. Tokoh muda Islam ini seumur dengan dua tokoh Islam tersebut. Walhasil, ketiga orang ini mempunyai rencana besar bersama untuk membangun kembali Islam di Indonesia melalui dakwah. Jika Ja’far Umar berhasil mendirikan FKAWJ maka dua orang yang disebut terakhir memilih melakukan dakwah tanpa organisasi. Pemilihan ini juga karena mereka 10 Afinda RA, “Gerakan dan Organisasi Islam Modern di Indonesia”, diakses dari http://afindajustsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-islam-modern-di.html?m=1 pada 6 Desember 2017 pukul 07.07 15 melihat apa yang dilakukan Ja’far tidak cocok dengan yang mereka pikirkan. Apalagi Ja' far Kemudi an mendirikan Laskar Jihad dan terlibat dalam pertikaian antara Muslim dan Kristen di Ambon. Dalam pandangan Abu Haedar, keterlibatan di Ambon benar-benar politis yang memang tidak boleh mereka lakukan karena tidak sejalan dengan ide pembangunan kembali Islam. Salafi memilih jalan dakwah itu, dan Salafi bukanlah sebuah organisasi bahkan organisasi dakwah sekalipun. Para pendukungnya hanyalah mereka yang satu ide atau mengikuti ide yang dipikirkan atau dipakai oleh para ‘guru’ atau seniornya. Di Bandung, Abu Haedar adalah tokoh utama Salafi ini, tetapi bukan pemimpin Salafi karena dalam pandangan pengikut Salafi mereka tidak mempunyai organisasi dan pengurus, bahkan dalam jamaah mereka sama sekali tidak ada hierarki. Semua pengikut (dalam arti yang longgar) mempunyai kedudukan yang sama. Karenanya mereka lebih merupakan gerakan dakwah untuk menerapkan manhaj (cara atau metode berpikir) yang diyakini. Apa yang disebut jamaah Salafi Bandung misalnya, adalah mereka yang mengikuti ceramah atau dakwah Abu Haedar dan para aktivis lainnya tetapi tanpa ada keanggotaan. Siapa saja boleh menghadiri dakwah yang mereka laksanakan. Di Bandung sendiri memang agak susah menemukan kelompok Salafi ini, mengingat mereka bukan organisasi. Tetapi, setelah dilakukan penelusuran melalui jalur individual yang terlibat dalam dakwah yang ada bisa diketahui bahwa dakwah mereka tersebar di berbagai tempat. Dakwah mereka kelihatannya baru mencapai atau bisa masuk di lingkungan pinggiran. Mainstream Muslim di Bandung belum tersentuh oleh mereka, yakni arus utama Islam yang biasanya terpusat di masjid-masjid besar (seperti masjid Salman 1TB) sebagai tempat membicarakan atau mengembangkan Islam yang ada. Kesulitan ini memang berkaitan dengan manhaj yang mereka perkenalkan di samping kehadiran mereka juga baru seumur jagung. Cara-cara mereka mempraktekkan Islam sangat dipengaruhi oleh Wahabi, yang karenanya mereka berhadapan dengan masalah praktek Islam yang ada yang agak betolak belakang. Islam yang ada adalah Islam yang terpengaruh oleh kultur lokal. Islam yang dipraktekkan di Indonesia adalah Islam yang sudah dikembangkan karena dalam setiap proses pengenalan Islam selalu terjadi apa yang disebut parokhialisasi dan generalisasi. Parokhialisasi adalah penyesuaian Islam kedalam 16 kultur lokal, sementara generalisasi adalah menarik kultur lokal ke dalam kerangka Islam yang umum atau mungkin yang dasar yang bisa berlaku di mana-mana. Karena itulah dakwah Salafi sulit diterima banyak kalangan di Bandung karena akan mengubah praktek Islam yang ada. Pengikut Salafi sering disebut sebagai kelompok yang menganggap orang lain melakukan praktek Islam yang tidak dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya. Salafi, karenanya juga bisa disebut sebagai dakwah pemurnian Islam. 11 5. Radikalisme Salafi Kalangan Salafi bisa dikatakan sebagai kelompok fundamentalis radikal setidaknya dalam pemikiran. Hal ini berkaitan dengan keinginan mereka untuk menerapkan dasardasar Islam dalam kehidupan masyarakat. Di samping itu, mereka juga berkeinginan untuk mengganti Islam yang sementara ini dipraktekkan oleh masyarakat dengan Islam yang mereka anut dan dianggap paling benar. Seperti dikemukakan di atas, mayoritas umat Islam Indonesia dalam pandangan Salafi telah terlumuri oleh praktek Islam yang melenceng. Bid’ah karena nya terpraktekkan di mana-mana. Kelompok masyarakat yang mempraktekkan bid’ ah ini tidak terbatas pada kalangan NU (tradisionalis) karena memelihara tradisi yang ada, tetapi juga kalangan lain yang biasa disebut modernis, seperti Muhammadiyah. Di sini kelihatan bahwa Salafi berusaha melakukan purifikasi, karena Islam yang ada di anggap terkotori oleh pengaruh atau praktek dan pemikiran yang tidak berasal dari para sahabat Nabi. Karena itulah, mereka dalam hal ini selalu menolak pemikiran-pemikiran baru yang datang dan ulama atau intelektual Islam lain selain dari kelompok mereka. Jadi radikalnya itu terbatas pada kegigihannya untuk mengubah situasi atau praktek Islami yang ada yang dilakukan oleh mayoritas Muslim Indonesia dan mengembalikan nya kedalam situasi atau praktek para sahabat Nabi. Radikal nya mereka tidak menyentuh dimensi pembaharuan atau reformasi baik dalam pemikiran maupun lainnya. Meskipun demikian radikalisme Salafi hanya terbatas pada sikap atau pemikiran dan tidak tertuangkan dalam tindakan. Karena itulah meskipun dikatakan radikal, para pengikut Salafi tidak menimbulkan masalah sosial dalam kaitannya dengan anggota 11 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm.163-164 17 kelompok lain. Apa yang memungkinkan mereka disebut radikal adalah keteguhannya untuk menerapkan Islam yang benar tadi. Dalam tindakan, mereka sepertinya membiarkan masalah-masalah yang sejauh ini mereka anggap bertentangan dengan Islam. Mereka terutama memberikan perhatian besar terhadap apa yang mereka sebut pelurusan akidah. Mereka, misalnya, berbeda pendapat dalam apa yang dilakukan oleh kelompok Islam lain yang menghancurkan beberapa tempat yang dianggap maksiat. Dalih yang digunakan adalah bahwa penanganan masalah seperti itu harus dilakukan oleh mereka yang punya power. Makanya hal itu sebenamya urusan pemerintah. Apa yang perlu dilakukan oleh orang Islam adalah bersikap. setidaknya negatif terhadap masalah maksiat tadi. Mereka mengakui bahwa penerapan Islam itu memang meliputi banyak aspek dalam kehidupan manusia. Tetapi keterbatasan diri telah membatasi langkah manusia mengenai mana yang bisa dilakukan dan mana yang tidak. Perintah Qur’an untuk melarang atau mengubah kelakuan atau praktek maksiat tidak bisa dilakukan secara individual. Perubahan di bidang ini, kata mereka, haruslah menggunakan power yang memang jauh dan tangan mereka. Seorang Islam akan terbebas dan perintah itu ketika dia tidak mempunyai kekuatan dan juga menyikapi masalah kemungkaran itu sebagai masalah yang jelek yang dilarang oleh agama. Sikap di atas nampaknya menjadi karakter penganut Salafi yang kelihatannya tidak melibatkan diri dalam tindakan tindakan yang provokatif yang dapat menimbulkan masalah dalam masyarakat. Ini artinya bahwa lepas dari radikalisme pemikiran yang dianut mereka, kalangan Salafi dalam banyak hal hanya membatasi diri pada lapangan dakwah saja. Radikalisme yang mereka anut terbatas pada radikalisme dalam pemikiran, dan itupun juga lebih difokuskan pada mengubah praktek keIslaman yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia Karena itulah, mereka agak mengecam apa yang dilakukan oleh kelompok Islam lain yang melakukan perusakan terhadap tempat maksiat. Menurut mereka, kekerasan sendiri bukan saja tidak sesuai dengan Islam tetapi juga tidak akan menyelesaikan masalah yang ada, untuk tidak mengatakan memperkeruhnya. 12 12 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm.169-171 18 D. HIZBUT TAHRIR (HT) 1. Latar Belakang Hizbut Tahrir (Hajib al-Tahrir HT) secara etimologis berarti Partai Pembebasan. Hizbut Tahrir didirikan oleh Sheikh Taqiyyudin al-Nabhani (1909-1979) pada tahun 1953 di al-Quds, Palestina. Organisasi ini diakui oleh pendirinya dan sekaligus para aktivisnya bukan sebagai organisasi sosial keagamaan tetapi sebagai partai politik. Setelah Sheikh Taqiyyudin an-Nabhani meninggal, kepemimpinan digantikan oleh Sheikh Abdul Qodim Zallum. Pandangan - pandangan kedua tokoh ini dapat dilihat dari buku-buku yang sudah diterbitkan Hizbut Tahrir, lewat Thariqah Izzah. Sepeninggal pemimpin kedua, sejak tahun 2003, Hizbut Tahrir dipimpin Sheikh A. Abu Rostah secara internasional. Beliaulah orang nomor satu dalam struktur kepemimpinan Hizbut Tahrir sekarang ini. Hizbut Tahrir berkembang diseluruh negara Arab di Timur Tengah, termasuk di Afrika, Eropa, Amerika dan Asia. Di Indonesia, Hizbut Tahrir masuk pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar diseluruh Indonesia. Pada era 1990-an, ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantor, perusahaan dan perumahan. Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia melalui Abdurrahman al-Baghdadi (Lebanon). Bila dilacak sejarahnya, akar pemikiran Hizbut Tahrir bertemu dengan ide-ide pemikir Mesir awal abad 20, M. Rasyid Ridlo. Pemikiran juga berasal dengan Ibnu Taimiyyah dan Ahmad Ibnu Hanbal. Sejak diselenggarakannya Konferensi internasional di Istora senayan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh Hizbut Tahrir internasional maupun nasional serta tokoh-tokoh Islam dari organisasi lain, Hizbut Tahrir resmi melakukan aktivitasnya di Indonesia secara terbuka seperti bisa dilihat dari munculnya organisasi ini dalam konteks Indonesia yang kemudian dikenal dengan nama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Para tokoh HTI banyak yang bertempat tinggal di Bogor, dan upaya mereka dalam mensosialisasikan gerakannya tampaknya mendapat sambutan juga dari civitas academica IPB sehingga salah satu pimpinan pusat HTI, Muhammad al-Khottot adalah alumni di perguruan tinggi ini. Dalam lingkup nasional, humas HTI dipegang Ismail Yusanto, sedangkan untuk wilayah Jawa Barat dipegang Muhammad Syababi. HTI dibangun atas dasar kemandirian yang memperoleh dana dari para simpatisan, dan tidak menerima bantuan dari pemerintah 19 bahkan secara tegas menolak dan mengharamkan penerimaan uang dari pemerintah. Untuk menjaga kemandirian dan indepensi inilah maka setiap Sumbangan yang diberikan kepada HTI harus melalui penelitian yang seksama. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sejak awal memang didesain sebagai organisasi politik. Tetapi, berbeda dengan organisasi politik yang dikenal selama ini, HTI tidak mendaftarkan diri secara formal sebagai parpol yang ikut dalam pemilu. Hal ini karena menurut seorang aktivisnya, dalam situasi sekarang ini banyaknya partai Islam justru membingungkan umat Islam. Oleh karena itu kelompok ini tidak mengikuti jejak partai partai lain yang berdasarkan Islam untuk ikut andil dalam pemilu yang kemudian dapat menjadi anggota legislatif.13 2. Ajaran Ada beberapa ajaran yang diyakini benar oleh para pengikut Hizbut Tahrir, diantaranya adalah: a. Menegakkan syariat Islam dalam setiap aspek kehidupan. b. Mengupayakan berdirinya Negara Islam global yang dipimpin oleh seorang khalifah. c. Mengharamkan segala bentuk instrumen demokrasi termasuk pemilihan umum yang dipandang sebagai produk pemikiran barat. d. Melarang keterlibatan anggotanya dalam politik praktis melalui partai selama masih menggunakan sistem demokrasi. e. Menolak segala tatanan politik, sosial, ekonomi, teknologi produk Barat modern dan menggantinya dengan tatanan Islam. “Kedatangan Hizbuttahrir sebenarnya hampir berbarengan dengan gerakan-gerakan Islam lainnya seperti lkhwanul Muslimin, Jama'ah Tabligh, dan kelompok salafi Iainnya, Sebelum saya bertemu dengan Hizbuttahrir, saya sudah membaca buku-buku lkhwan, buku-buku Sayyid Qutb, Al- Banna, dan lain sebagainya. Waktu itu kedua tokoh itu menjadi ikon gerakan Islam di mana-mana, termasuk di lndonesia, Kemudian saya mengenal Hizbuttahrir. Saya sebenarnya sudah mengetahui Hizbuttahrir lewat nasyroh13 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm.265 20 nasyrohnya dan beberapa materi yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Nah, di situ saya melihat memang ada nuansa yang berbeda." Ismail Yusanto termasuk orang yang paling awal memasuki HT. Sekarang ini ia menjabat juru Bicara Hizbuttahrir Indonesia. Karena itu ada baiknya melihat beberapa sisi kehidupannya untuk melihat kemunculan dan perkembangan HT di Indonesia. Ismail Yusanto lahir di Yogyakarta pada 2 Desember 1962. Kedua orang tuanya berasal dari Majenang, sebuah kota di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pada waku kecil, orang tuanya membawanya kembali ke Majenang. Di kota ini, yang memiliki tradisi keagamaan Nahdatul Ulama (NU), ia mendapatkan pendidikan dasarnya. Keluarganya, baik dari pihak ayah maupun ibu, adalah orang-orang yang memiliki tradisi NU. Kenyataan ini menyebabkan ia belajar dengan kyai-kyai NU. Ia bercerita bahwa pada waktu kecil, ia belajar di pesantren yang diasuh oleh seorang kyai yang cukup terkenal di desanya. Di pesantren ini ia diperkenalkan kepada tradisi keagamaan yang kerap kali disebut kitab kuning. Cukup lama ia belajar di lingkungan NU. Pada waktu remaja ia pindah ke Yogya. Di kota ini pun ia masih belajar di lingkungan NU. Bahkan ia pernah menyantri pada K.H. Ali Ma’sum dari Krapyak. Selelah menyelesaikan sekolahnya, Ismail mendaftar di Universitas Gajah Mada Jurusan Teknik Geologi. Di sini kontaknya dengan pemikiran Islam semakin intensif. Pertama la berkenalan dengan pemikiran sejumlah tokoh intelektual Muhammadiyah Yogya, seperti Kuntowijoyo, Watik Pratik nya, dan Amin Rais. Bahkan dengan tokoh terakhir ini ia pernah menjadi santri kalongnya di Pesantren Budi Mulia. Sebenarnya pemikiran ketiga tokoh ini cukup menyegarkan pemikiran keIslamannya. Namun Ismail merasa belum puas. Karena itu ia pun mulai berhubungan dengan sejumlah pengajian yang diselenggarakan di kampus yang kemudian mengantarkannya pada pemikiran Islam kontemporer. Di sinilah ia kemudian berhubungan dengan Forum Studi Islam (Fodi), Pengkajian Nilai Dasar Islam (PNDI), Pengkajian Risalah Tauhid (PRT) yang kemudian melahirkan HMI-MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi, faksi HMI yang tidak setuju dengan Asas Tunggal Pancasila). Pada waktu itu, ketiga forum ini cukup besar pengaruhnya di beberapa kampus dan mewarnai kegiatan kampus pada era 80-an. Mereka merupakan cikal bakal terbentuk nya 21 gerakan Islam kontemporer yang lebih terorganisasi. Gerakan jilbab, halaqah, usrah, dan tarbiyah yang marak pada tahun-tahun tersebut pada mulanya dirintis dari forum-forum semacam itu. Kegiatan mereka biasanya diadakan pada akhir Sabtu sore dan berakhir Minggu sore. Meskipun dilaksanakan dalam unit-unit yang kecil dan terbatas, tapi karena sangat intensif, melahirkan sejumlah kader yang kemudian berperan dalam kelanjutan gerakan tersebut. Ismail besar dalam suasana gerakan seperti itu. Ia bahkan merasa pemikiran keIslamannya sangat dipengaruhi oleh pergaulannya dalam forum-forum tersebut. Namun ia belum menemukan bentuk pemikiran keIslaman yang betul-betul ia inginkan. Ketika ia membaca pemikiran tokoh-tokoh Ikhwan, misalnya, ia menemukan beberapa kelemahan di dalamnya. Ketidakpuasan ini menyebabkan ia terus mencari. Sampai akhimya ia menemukan apa yang ia cari dalam karya-karya Taqiyuddin Al-Nabhani. Namun keterbatasannya untuk mengakses dalam bahasa aslinya, bahasa Arab, menyebabkan ia hanya bisa membaca nasyroh-nasyrohnya atau versi terjemahan yang ia dapatkan dari teman-temannya. “Disitu saya memang melihat ada nuansa yang berbeda, satu pemikiran dengan semangat atau dengan warna ideologi yang sangat kental yang dimiliki Hizbuttahrir, termasuk cita-cita politiknya. Terus terang saja, saya baru mengenal istilah khilafah Islamiyah dari Hizbuttahrir. Saya pernah belajar fiqih Sulaiman Rasjid. Di ujungnya kan ada istilah fiqih siyasah, tapi saya nggak paham apa yang dimaksud dengan fiqih siyasah. Saya baru paham setelah bertemu Hizbuttahrir.” Ismail termasuk orang yang merasakan pahit-getirnya hidup sebagai aktivis Islam. Pada waktu itu adalah masa-masa sulit yang dihadapi para aktivis. Dalam satu malam satu kegiatan bisa berpindah tiga kali. Apalagi setelah peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Sandal dan sepatu peserta dibawa masuk ke dalam masjid atau mushalla. Mereka tidak menggunakan pengeras suara, alat perekam, foto, atau semacamnya. Dan ketika selesai, peserta pulang secara bergantian. Semuanya ini mereka lakukan untuk menghindari kecurigaan aparat pemerintah dan untuk menghilangkan jejak. Ismail mengaku bahwa ia melewati kehidupan seperti itu selama sebelas tahun. Beberapa 22 temannya pernah ditangkap termasuk Irfan Awwas gara-gara menerbitkan Ar-Risalah, buletin gerakan yang dianggap anti pemerintah. Pemerintah, menurut pengakuan Ismail, tidak pernah berhasil melacak keberadaan HT. Hal ini karena para aktivis HT selalu menekankan pentingnya hidup low-profile di masyarakat. Pengalaman yang tidak menguntungkan yang menimpa kaum aktivis Islam di beberapa negara di Timur Tengah menjadi pelajaran yang amat berharga bagi anggota HT di Indonesia. Menurut cerita Ismail, ketika masih berada di Timur Tengah, para seniornya bahkan mengubur buku- buku HT agar tidak diketahui oleh aparat keamanan. Sejak awal HT menghindari publikasi, sehingga banyak anggota HT yang tidak mengenal figur pimpinan mereka yang sebenarnya. Pasca Reformasi, kehidupan sosial politik berubah total. Momentum ini dimanfaatkan oleh para aktivis Islam untuk memformalkan gerakan mereka. HT pun memanfaatkan momen ini untuk keluar dari ’persembunyiannya’. Hal ini dianggap perlu, di samping agar ide-ide HT lebih dikenal oleh masyarakat, HT juga ingin berpartisipasi dalam proses transformasi yang tengah berlangsung di masyarakat. HT, menurut Ismail, menawarkan penyelesaian yang menyeluruh atas segala persoalan yang dihadapi umat manusia. Untuk mengatasi masalah yang ada, HT memulainya dengan pembentukan masyarakat Muslim. Namun karena masyarakat terdiri dari dua unsur, yaitu individu dan sistem, maka ke dua hal itu di tangani secara bersamaan. Untuk individu, HT mengembangkan teori yang disebut syakhsiyyah Islamiyyah (kepribadian Islam). Sementara itu, HT mengembangkan dua pilar masyarakat, yaitu politik dan ekonomi. Di sinilah kemudian dibentuk ekonomi Islam, Politik Islam, daulah Islamiyah, dan berpuncak pada khilafah Islamiyah. Sementara itu HT juga berkepentingan untuk membentuk pemikiran Islam, hukum Islam, dan tsaqafah Islamiyah. Dengan kata lain, HT memulai dengan suprastruktur, infrastruktur, dan struktur sistem. HT menyebut tiga hal itu, ara (pendapat), afkar (pemikiran), dan ahkam (hukum-hukum) dan menganggapnya sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sebelumnya Ismail tidak punya bayangan sama sekali, bagaimana daulah Islamiyah dan khilafah Islamiyah ditegakkan. Namun setelah membaca karya-karya kelompok HT, 23 daulah dan khilafah Islamiyah bukan hanya mungkin tapi juga perlu untuk mengatasi kebuntuan ideologis yang ada. Pemikiran HT sebenarnya banyak persamaannya dengan IM. Bahkan ada yang mengatakan HT merupakan sempalan IM. Namun HT menolak klaim ini. Perbedaan HT dan 1M pada dasarnya terletak pada pendekatan perjuangan. IM menekankan pentingnya pembinaan pribadi sebagai prasyarat mutlak lahirnya masyarakat Muslim. Hal ini tercermin dalam ucapan Dr. Hasan Al-Hudaibi, seorang tokoh IM. “Dirikanlah daulah Islamiyah dalam dirimu, maka ia akan berdiri di atas bumimu.” Sementara itu HT menganggap pembentukan pribadi dan masyarakat harus dibarengi dengan penegakan daulah Islamiyah atau khilafah Islamiyah. Khilafah meru pakan konsep sentral dalam pemikiran HT. Ia merupakan instrumen utama untuk mendirikan masyarakat Muslim. Menurut HT, masyarakat bukan hanya kumpulan individu, tapi juga interaksi antar individu. Kumpulan individu tidak melahirkan masyarakat, tapi jama’ah (kelompok). Dengan kata lain, ada sebuah system yang mengatur masyarakat karena itu pendekatannya pun harus sistematik pula. Ideologi HT didasarkan kepada Alqur’an dan Sunnah. HT mengajak kaum Muslimin untuk mengamalkan Islam secara menyeluruh dalam kehidupan mereka. Bagi HT model Islam yang dikembangkan Nabi dan para sahabat adalah satu-satunya model yang harus diikuti oleh kaum Muslimin. Model inilah yang kemudian membawa kaum muslimin mengalami masa kejayaannya. Ketika mereka tidak lagi mengikuti model itu, mereka ditimpa kehinaan dan kekalahan. Karena itu mengimani Islam secara kaffah merupakan dasar ideologi HT. Tak ada pilihan lain bagi kaum Muslimin untuk tidak mengimani nila-nilai Islam seperti yang telah diamalkan oleh generasi awal Islam. Pada dasarnya HT adalah gerakan salaf yang berusaha kembali kepada sumber Islam yang sejati. Memang bila dilacak akar pemikiran HT akan bertemu dengan pemikir Mesir awal abad keduapuluh, Muhammad Rasyid Ridha. Taqiyuddin pernah berguru dengan beberapa ulama yang merupakan murid langsung Ridha. Pemikirannya akan bertemu dengan Ibnu Taimiyah dan Ahmad ibn Hanbal. Berdasarkan kenyataan ini tidak aneh bila kemudian ditemukan aspek-aspek salaf dan puritanisme dalam HT. Aspek ini, misalnya, terlihat dalam ciri-ciri fisik aktivis HT seperti memelihara jenggot atau 24 penolakan terhadap praktik keagamaan, seperti ritual tarekat yang sering dilakukan oleh kelompok Islam tradisional. Namun demikian, menganggap HT semata gerakan salaf juga tidak tepat. Tepatnya adalah HT merupakan perkembangan dari salafisme Ridha, reformisme Abduh dan PanIslamisme Al-Afghani. Pada aspek terakhir HT mengembangkannya lebih lanjut, yaitu sistem khilafah Islam yang bersifat internasional. Bahkan HT telah berjasa dalam mem perkenalkan khazanah klasik Islam kepada masyarakat Muslim. Khazanah tersebut dikembangkan sehingga betul-betul sesuai dengan kondisi sekarang ini. “Bila salafi di sini diartikan merujuk pada para ulama salaf yang muktabar, maka HT adalah salaf. justru kalau boleh saya bicara, kita mengenal dan memiliki semangat untuk belajar khazanah klasik dari HT. HT betul-betul menghargai khazanah klasik, mulai dari ushul fiqih, fiqih, dan kitab-kitab terkemuka lainnya. Namun kalau salafi di sini diartikan sebuah gerakan yang melulu bertumpu pada ulama salaf, maka HT bukan salaf.” Bila orientasi HT adalah internasionalisme Islam, seperti tercermin dalam konsep khilafah, di mana seluruh Dunia Islam berada di bawah satu kekuasaan pemerintahan Islam, gerakan salaf-seperti tercermin dalam pandangan FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlusunnah Wal Jama’ah) tidak memiliki pandangan itu. FKAWJ hanya ingin mengembalikan semangat keagamaan masyarakat ke jalan yang telah dirintis oleh generasi awal Islam yang salih (al-salaf al-salih). Mereka tidak memiliki aspek internasionalisme Islam. Bahkan orientasi politik FKAWJ bersifat lokal. Konsep khilafah HT berbeda dengan Pan-Islamisme Jamaluddin Al-Afghani. Yang terakhir adalah kerja sama antar-negara Islam yang independen untuk mencapai tujuan bersama, tujuan ini bisa tujuan politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan. Khilafah berarti seluruh Dunia Islam berada di bawah satu garis komando, di bawah satu khalifah yang memiliki kekuasaan untuk mengatur segala hal mengenai pemerintahan dan kehidupan sosial kemasyarakatan. Sistem kekhalifahan Islam versi HT merujuk pada Sistem 25 kekhalifahan pada masa awal Islam, di mana Nabi dan kemudian Khulafa Al-Rasyidin menjadi penguasa atas kehidupan kaum Muslimin.14 Organisasi dan gerakan Hizbut Tahrir mendapatkan kritik dari sejumlah kalangan. Kritik-kritik tersebut diantaranya: a. Hizbut Tahrir tidak menerima teori-teori politik modern. b. Hizbut Tahrir dipandang memahami syariat secara sempit dan dangkal. c. Belum ada contoh kongkrit dimasa kini tentang penerapan miniatur sistem khilafah di dunia Islam. d. Hizbut Tahrir dianggap banyak melakukan simplifikasi penanganan persoalan umat dengan jargon khilafah. e. Hizbut Tahrir fokus pada isu penegakan khilafah dan penerapan syariat. 3. Basis Massa Mayoritas pengikut Hizbut Tahrir di Indonesia adalah kaum muda dari kalangan mahasiswa di kampus-kampus perguruan tinggi umum. Lembaga-lembaga yang menjadi basis Hizbut Tahrir adalah Badan Dakwah Kampus (BDK) atau Lembaga Dakwah Kampus (LDK).15 4. Pendekatan Dakwah Meskipun umat Islam Indonesia merupakan mayoritas, ide penerapan Syariat Islam tidak mudah diterima oleh sebagian mereka. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang merasa alergi ide itu. Meskipun demikian, apa yang paling dominan dari sikap menolak ini adalah ketidaktahuan mereka tentang apa itu syariat Islam. Kondisi ini cukup memprihatinkan para aktivis HTI, sehingga mereka merasa berkewajiban untuk menandaskan, penyadaran terhadap orang lain untuk membangun sistem Islam lebih efektif. 14 Jajang Jahroni Jamhari, Gerakan Salafi Radikal di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 271275 15 Afinda RA, “Gerakan dan Organisasi Islam Modern di Indonesia”, diakses dari http://afindajustsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-islam-modern-di.html?m=1 pada 6 Desember 2017 pukul 07.07 26 Meskipun demikian, HTI juga menekankan perlunya konsisten dan bertakwa. Artinya, bertakwa kepada pemimpin hanya diberikan selama mereka bertakwa tadi. Dengan demikian, ketaatan harus ditempatkan dalam reserve tertentu yaitu sejauh ia tidak melanggar syariat Islam. Kalau seorang pemimpin sudah tidak lagi mematuhi syarat maka tidak ada kewajiban bagi kaum Muslimin untuk mentaatinya. 16 Pendekatan yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam berdakwah adalah pendekatan demonstratif-publikatif. Maksudnya adalah berbagai macam pendekatan yang dilakukan untuk menarik perhatian masyarakat melalui media cetak, media online dan elektronik, dalam bentuk penyebaran buletin Jumat, brosur dan lain-lain. Disamping itu, Hizbut Tahrir juga menggunakan pendekatan sel, yakni membentuk kelompok-kelompok kecil untuk diberikan pencerahan doktrin tentang khilafah dan sistem politik Islam. Berdasarkan sirah Rasulullah SAW, Hizbut Tahrir menetapkan metode perjalanan dakwahnya dalam tiga tahapan, yakni: tahapan pembinaan, yang dilaksanakan untuk membentuk kader- kader yang mempercayai pemikiran dan metode Hizbut Tahrir dalam rangka pembentukan kerangka tubuh partai; tahapan berinteraksi dengan umat, yang dilaksanakan agar umat turut memikul kewajiban dakwah Islam; tahapan penerimaan, yang dilaksanakan untuk menerapkan Islam secara menyeluruh dan mengemban risalah Islam keseluruh dunia. 16 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2004), hlm. 278 27 BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Organisasi Islam Modern di Indonesia, diantaranya yaitu: a) Nahdatul Ulama (NU) b) Muhammadiyah c) Salafi d) Hizbut Tahrir (HT) 2. Sejarah dari Organisasi tersebut yaitu: a) Nahdatul Ulama (NU) Nahdatul Ulama (Kebangkitan Ulama) dibentuk pada 16 Rajab1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar (Ketua Agung). b) Muhammadiyah Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan K.H. Ahmad Dahlan c) Salafi Gerakan Salafi diduga pertama kali dibawa masuk ke kawasan Nusantara oleh beberapa ulama asal Sumatra Barat pada awal abad ke 19, yaitu kaum Padri yang salah satu tokoh utamanya adalah Tuanku Imam Bonjol. Sementara pendapat lain mengatakan bahwa gerakan ini sebenarnya telah muncul bibitnya pada masa Sultan Aceh, Iskandar Muda (1603-1637). d) Hizbut Tahrir (HT) Hizbut Tahrir didirikan oleh Sheikh Taqiyyudin al-Nabhani (1909-1979) pada tahun 1953 di al-Quds, Palestina. Di Indonesia, Hizbut Tahrir masuk pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar diseluruh Indonesia. 3. Ajaran, Basis Masa dan Pendekatan Organisasi tersebut yaitu : a) Nahdatul Ulama (NU) 28 NU mengamalkan ajaran yang secara eksplisit tercantum dalam al-Quran dan hadis,dan juga mengamalkan ibadah yang tidak disebutkan secara eksplisit di dalam al-Quran dan hadis. populasi pengikut NU di Indonesia berjumlah 40 juta jiwa yang mayoritas berada di pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra dengan beragam profesi. Dalam berdakwah, NU banyak menggunakan pendekatan kultural, yakni berdakwah dengan menjadikan budaya masyarakat setempat sebagai instrumennya serta mengakomodasi dan melestarikan budaya masyarakat selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. b) Muhammadiyah Mengamalkan ibadah hanya yang secara eksplisit disebutkan dalam hadis shahih. lebih dari 25 juta muslim Indonesia adalah pengikut Muhammadiyah. Pada umumnya mereka berada di daerah perkotaan dan merupakan kaum terpelajar. Dalam dakwah, Muhammadiyah cenderung menggunakan pendekatan salaf (manhaj al-salaf) dan dakwah menyeluruh (dakwah Islam al-kaffah). c) Salafi Upaya-upaya yang mereka kerahkan salah satunya terpusat pada pembersihan ragam bid’ah yang selama ini diyakini dan diamalkan oleh berbagai lapisan masyarakat Islam. Pada umumnya pengikut Salafi adalah alumni pesantren atau majelis taklim yang diasuh oleh para ustadz tamatan sekolah di Timur Tengah. Salafi bukanlah sebuah organisasi bahkan organisasi dakwah sekalipun. Para pendukungnya hanyalah mereka yang satu ide atau mengikuti ide yang dipikirkan atau dipakai oleh para ‘guru’ atau seniornya. d) Hizbut Tahrir (HT) Hizbut Tahrir ingin menegakkan syariat Islam dalam setiap aspek kehidupan. Mayoritas pengikut Hizbut Tahrir di Indonesia adalah kaum muda dari kalangan mahasiswa di kampus-kampus perguruan tinggi umum. Pendekatan yang ditempuh Hizbut Tahrir dalam berdakwah adalah pendekatan demonstratif-publikatif. 29 DAFTAR PUSTAKA Jamhari, Jajang Jahroni. 2004. Gerakan Salafi Radikal di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Srijanti, dkk.2009. Etika Membangun Masyarakat Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sunarto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Turmudi, Endang dan Riza Sihbudi. 2004. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press. Http://afinda-justsharing.blogspot.com/2016/04/gerakan-dan-organisasi-Islam-moderndi.html?m=1 30