MAKALAH HUBUNGAN INDUSTRIAL “PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL” Disusun oleh : Aditya Putra P C1B018070 Indah Mayang Sari C1B018072 Maelani Safitri C1B018076 Berliandika Muhammad EP C1B018078 Bewara Anindito Effendi C1B018096 Naufal Hilmi P C1B018097 JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2020 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur Alhamdulilah kita panjatkan Kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial”. Dalam penyusunan makalah ini kami banyak bimbingan, pengarahan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak, khususnya pada guru pembimbing. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi internal maupun teknik penulisan. Untuk itu kami terbuka dalam hal kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi diri kami masing-masing khususnya, dan para pembaca umumnya. Purwokerto, 27 Desember 2020 Penyusun BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat atau perselisihan pengusaha dengan pekerja dan atau dengan serikat pekerja berkaitan dengan syarat-syarat kerja seperti pemenuhan hak-hak pekerja dan atau serikat pekerja, harapan atau kepentingan pekerja, dan pemutusan hubungan kerja, serta perselisihan antar serikat pekerja di satu perusahaan. Dengan kata lain, perselisihan hubungan industrial pada dasarnya mencakup : a. Perselisihan hak, b. Perselisihan kepentingan, c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan d. Perselisihan antar serikat pekerja. Perselisihan hak adalah perselisihan pengusaha dengan pekerja dan atau serikat pekerja, karena pengusaha dianggap tidak melakukan kewajibannya memenuhi hak pekerja sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan pengusaha dengan pekerja dan atau serikat pekerja karena mereka tidak mencapai kesepakatan mengenai pembuatan atau perubahan syarat-syarat kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan pengusaha dengan pekerja dan atau serikat pekerja karena mereka tidak mencapai kesepakatan atas tindakan atau rencana pengusaha memberhentikan atau memutuskan hubungan kerja dengan pekerja. Perselisihan antar serikat pekerja adalah perselisihan antar satu atau beberapa serikat pekerja dengan serikat pekerja lain di dalam satu perusahaan karena mereka tidak mencpai kesepakatan antara lain mengenai keanggotaan dan atau mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerja. Perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan kerja pada umumnya timbul karena pengusaha dengan pekerja dan atau serikat pekerja tidak berhasil menyelesaikan keluhan, aspirasi, harapan, kepentingan, serta tuntutan menyangkut hak dan kewajiban pekerja secara bipartit, sehingga memerlukan keterlibatan atau bantuan pihak ketiga untuk menyelesaikannya, mediator atau konsilator atau arbiter, atau lebih lanjut ke panitia penyelesaian perselisihan atau pengadilan. Sesuai dengan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara bipartit di tingkat perusahaan, sesuai dengan jenis perselisihannya dapat diselesaikan melalui bantuan pihak ketiga yaitu arbiter, konsilator, atau mediator. Perselisihan yang tidak dapat diselesaikan konsilator atau mediator, dilanjutkan untuk diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial yang merupakan pengganti dari penyelesaian perselisihan melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) sesuai dengan UU No. 22 tahun 1957 dan UU No. 12 tahun 1964. Kedua undang-undang ini sudah dicabut melalui UU No. 22 tahun 2004, namun perlu diuraikan untuk memahami perkembangan hukum di Indonesia. B. Rumusan Masalah 1. Undang-Undang apa saja yang mengatur mengenai penyelesaian permasalahan? 2. Apa itu pemogokan dan penutupan perselisihan ? 3. Bagaimana jalan panjang menuju keadilan ? 4. Bagaimana penerapan dan penegakan hukum dalam penyelesaian perselisihan? C. Tujuan Makalah 1. Untuk mengetahui Undang-Undang yang mengatur mengenai penyelesaian permasalahan 2. Untuk mengetahui tentang pemogokan dan penutupan perselisihan 3. Untuk mengetahui jalan panjang menuju keadilan 4. Untuk mengetahui penerapan dan penegakan hukum dalam penyelesaian perselisihan BAB 2 PEMBAHASAN A. UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1957 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 1964 Penyelesaian perselisihan hubungan industrial selalu menekankan peranan Lembaga Kerjasama Bipartit . Masalah hubungan industrial yang tidak terselesaikan secara bipartit terpaksa melibatkan atau membutuhkan campur tangan pihak ketiga seperti dikemukakan di atas. Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 menekankan supaya setiap masalah dan perselisihan dapat diselesaikan secara damai dengan jalan perundingan di tingkat bipartit. Kesepakatan yang dicapai melaui perundingan tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk perjanjian kerja bersama. Bila penyelesaian secara bipartit tidak tercapai, maka bagi pengusaha dan pekerja dan atau serikat pekerja terbuka alternatif penyelesaian yaitu melaui arbitrase oleh juru pemisah atau melalui jasa perantaraan oleh pegawai perantara. Atas kesepakatan bersama, pengusaha dan serikat pekerja dapat meilih arbitrase tertentu untuk menyelesaikan kasus mereka. Bila kedua belah pihak tidak sepakat memilih arbitrase, salah satu atau secara beramasama dapat meminta bantuan perantaraan dari pegawai perantara. Pegawai perantara paling lambat 7 hari setelah menerima pemberitahuan, mengupayakan pendekatan dan memajukan anjuran kepada pengusaha dan pimpinan serikat pekerja untuk disepakati. Bila pengusaha dan serikat pekerja sepakat menerima anjuran pegawai perantara tersebut, kesepakatan dimaksud dituangkan dalam perjanjian kerja bersama. Bila pengusaha dan serikat pekerja tidak sepakat untuk menrima anjuran pegawai pearantara, alternatif penyelesaian perselisihan adalah pertama, melalui Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) Daerah dan atau P4 Pusat atau, kedua, dengan cara pemaksaan sepihak melalui pemogokan atau penutupan perusahaan (lock-out). Serikat pekerja dapat merencanakan pemogokan bila : a. Telah dilakukan perundingan yang intensif dengan pengusaha, dengan sepengetahuan atau diperentarai pegawai perantara, akan tetapi sangat diragukan kesepakatan, atau b. Permintaan serikat pekerja untuk berunding dalam 2 kali 2 miinggu tidak diindahkan atau telah ditolak oleh pengusaha. Rencana pemogokan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan kepada P4D dilengkapi dengan isi tuntutan dan bukti kegagalan upaya perundingan. Bila syarat tersebut dipenuhi, P4D dalam maksimum 7 hari menerbitkan tanda terima pemberitahuan rencana mogok. Serikat pekerja dapat melakukan pemogokan hanya bila setelah menerima tanda terima pemberitahuan tersebut. Pengusaha dapat merencanakan penutupan perusahaan (lock-out) hanya bila dapat dibuktikan upaya perundingan yang gagal. Rencana tersebut harus diberitahukan kepada serikat pekerja dan P4D. rencana penutupan perusahaan dapat dilakukan hanya bila P4D menerbitkam tanda terima pemberitahuan rencana lock-out. Pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja oleh pengusaha menjadi perselisihan industry bila pekerja atau serikat pekerja tidak dapat dengan sukarela menerima PHK tersebut. Undang-undang No. 12 tahun 1964 mensyaratkan pengusaha harus terlebih dahulu minta izin kepada P4D atau P4P untuk memberhentikan pekerja. 1. Pegawai Perantara Pegawai perantara adalah pegawai negeri yang ditunjuk oleh Menteri di bidang ketenagakerjaan untuk memberikan perantaraan dalam perselisihan pengusaha dengan serikat pekerja. Bila pengusaha dan serikat pekerja tidak berhasil menyelesaikan perselisihan secara bipartit dan mereka tidak sepakat menyelesaikannya dengan memilih dan melalui juru pemisah, maka mereka atau salah satu dari mereka dapat memberitahukan dan minta bantuan pegawai perantara untuk memperantarai. Paling lambat 7 hari setelah pemberitahuan tersebut, pegawai perantara harus sudah memulai memperantarai perselisihan dimaksud. Pegawai perantara yang bersangkutan pertama-tama menganjurkan pengusaha dan pimpinan serikat pekerja untuk kembali berunding secara bipartit. Bila satu atau kedua belah pihak tidak setuju untuk berunding, pegawai perantara mulai mempelajari kasus, menghimpun informasi dari pengusaha dan serikat pekerja, menganalisanya, mempertemukan pengusaha dan pimpinan serikat pekerja, kemudian menyusun dan mengajukan saran untuk diterima pengusaha dan serikat pekerja. Pengusaha dan serikat pekerja dapat menyepakati menerima saran pegawai perantara secara keseluruhan atau setelah melakukan beberapa amandemen. Hasil kesepakatan tersebut dirumuskan dalam bentuk Perjanjian Kerja Bersama, sehingga mengikat kedua belah pihak. Bila pengusaha dan atau serikat pekerja menolak saran pegawai perantara, maka pegawai perantara yang bersangkutan dapat menganjurkan kedua pihak yang berselisih memilih juru pemisah atau dewan pemisah atau arbitrase, atau melaporkanya kepada dan meminta P4D untuk menyelesaikannya. 2. Juru Pemisah Juru pemisah atau dewan pemisah atau arbitrase adalah orang atau badan yang bersifat bebas dan tidak memihak (independent), berfungsi menyelesaikan perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dan serikat pekerja atas permintaan kedua pihak yang berselisih. Atas kesepakatan bersama atau atas anjuran pegawai perantara, pemgusaha dan serikat pekerja dapat memilih dan meminta salah satu dari juru pemisah atau dewan pemisah untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Untuk itu, pengusaha dan serikat pekerja di hadapan pegawai perantara atau P4D membuat perjanjian yang memuat : a. Pokok-pokok perselisihan yang diserahkan untuk diselesaikan juru/dawn pemisah; b. Nama-nama wakil serikat pekerja dan pengusaha serta tempat dan kedudukan mereka masing-masing; c. Penunjukan nama dan tempat tinggal juru/dewan pemisah; d. Pengunduran diri atas keputusan juru/dewan pemisah; e. Hal-hal yang memperlancar proses penyelesaian. Keputusan juru/dewan pemisah bersifat final, wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak yang berselisih, tidak boleh diajukan untuk diperiksa ulang. Untuk memperoleh kekuatan hokum dalam rangka eksekusi, keputusan juru/dewan pemisah dapat disahkan oleh P4P. P4P tidak dapat mengubah atau mengamandemen keputusan juru/dewan pemisah, akan tetapi P4P dapat menolak pengesahan keputusan juru/dewan pemisah hanya bila keputusan juru/dewan pemisah melampaui kewenangannya, atau memuat itikad buruk, atau bertentangan dengan Undang-undang tentang ketertiban umum atau dengan kesusilaan. 3. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau P4D didirikan di tingkat provinsi atau mencakup beberapa kabupaten untuk menyelesaika perselisihan hubungan industrial. P4D terdiri dari wakil-wakil tripartit, yaitu 5 orang wakil Pemerintah, 5 orang wakil Serikat Pekerja dan 5 orang wakil Asosiasi Pengusaha. Wakil unsur Pemerintah terdiri dari wakil Departemen Tenagakerja sebagai Ketua merangkap anggota, wakil- wakil Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Departemen Pertanian dan Departemen Perhubungan. Ketua dan anggota P4D diangkat oleh Menteri yang membidangi ketenagakerjaan. Menurut kebutuhaan daerah setempat, Menteri dapat pula mengangkat anggota pengganti di beberapa P4D. a. Perselisihan Kepentingan Sebagaimana dikemukakan di atas, perselisihan kepentingan timbul bila pengusaha tidak bersedia atau tidak mampu memenuhi tuntutan serikat pekerja atas perbaikan sayarat kerja. Dalam menyelesaikan perselisihan kepentingan tersebut, P4D melaksanakan fungsi-fungsi berikut ini. - Pertama, P4D menerima pelimpahan kasus perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh pegawai perantara, dan kemudian mempelajarinya. - Kedua, P4D menghubungi pengusaha dan pimpinan serikat pekerja dan meminta mereka kembali menyelesaikan perselisihan secara damai, dengan atau tanpa pemerantaraan P4D. bila pengusaha dan serikat pekerja mencapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut dirumuskan dalam bentuk dan mempunyai kekuatan hokum sebagai Perjanjian Kerja Bersama. - Ketiga, bila anjuran penyelesaian secara damai ditolak olej pengusaha dan atau serikat pekerja, atau bila kedua pihak yang berselisih tidak menghasilkan kesepakatan, P4D menghimpun sebanyak mungkin bahan dan informasi tambahan yang diperlukan untuk pembahasan dan pengambilan keputusan yaitu : 1) Melalui pegawai perantara; 2) Dengan mengundang pengusaha dan serikat pekerja secara terpisah atau secara bersama-sama; 3) Dengan membentuk Panitia Angket atau Enquete yang bertugas secara khusus menghimpun bahan dan keterangan yang dibutuhkan. - Keempat, berdasarkan bahan-bahan yang telah dihimpun, P4D melakukan sidang-sidang untuk membahas kasus perselisihan dimaksud dengan atau tanpa menghadirkan pihak-pihak yang berselisih. Bila dianggap perlu, P4D dapat menghadirkan saksi-saksi dalam persidangan tersebut. - Kelima, dengan mempergunakan segala daya upaya dalam membahas kasus perselisihan, berlandaskan hukum, perjanjian, keadilan dan kepentingan Negara, P4D mengambil keputusan baik berupa anjuran maupun keputusan yang mengikat. Keputusan tersebut antara lain memuat : 1) Nama pengusaha dan seikat pekerja serta tempat kedudukan mereka 2) Ikhtisar tuntutan, laporan pegawai perantara, dan penjelasan kedua belah pihak 3) Pertimbangan yang menjadi dasar pengambilan keputusan 4) Isi keputusan 5) Tempat dan tanggal pengambilan keputusan yang ditandatangani oleh Ketua dan Panitera P4D - Keenam, paling lama dalam 7 hari setelah surat keputusan P4D diselesaikan, P4D harus menyerahkan salinan surat keputusan tersebut kepada pihak-pihak yang berselisih malalui surat tercatat atau diantarkan secara langsung. Bila pengusaha dan atau serikat pekerja berkeberatan menerima dan melaksanaakn keputusan P4D, maka dia atau mereka masing-masing dapat meminta P4D melakukan pemeriksaan ulang (banding) terhadap kasus perselisihan dimaksud dalam 14 hari setelah menerima keputusan P4D. Penyelesaian Perselisihan Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1957 Permintaan banding tersebut disampaikan melalui Pamitra P4D. Bila dalam 14 hari tersebut pengusaha dan atau serikat pekerja tidak mengajukan permohonan banding, maka kedua belah pihak wajib mematuhi dan melaksanakan keputusan P4D. b. Rencana Pemaksaan Sepihak Sebagaimana telah dijelaskan di depan, serikat pekerja atau pengusaha yang merencanakan upaya pemaksaan sepihak berupa pemogokan atau penutupan perusahaan, yang bersangkutan wajib memberitahukan rencana tersebut kepada P4D dan pihak lawan berselisih. Segera setelah menerima surat pembertahuan tersebut, P4D pertama-tama harus segera meneliti bahwa kedua belah pihak betul-betul sudah melakukan upaya maksimal namun tidak menghasilkan kesepakatan. Kedua, untuk memberikan keyakinan atas upaya maksimal tersebut, P4D dapat membentuk Panitia Angket untuk menghimpun informasi yang diperlukan. Ketiga, setelah meyakini bahwa kedua belah pihak telah melakukan upaya perundingan secara maksimal, P4D memberikan tanda terima pemberitahuan kepada pihak-pihak yang berselisih. Tindakan oemaksaan sepihak dapat dilakukan, hanya setelah memperoleh tanda terima dari P4D dimaksud. Bila P4D berkesimpulan bahwa pihak yang merencanakan tindakan pemaksaan ternyata belum melakukan upaya maksimal, P4D perlu memberitahukan hal tersebut dan menganjurkan yang bersangkutan melanjutkakn upaya perundingan. Selama P4D melakukan pendekatan dimaksud dan Panitia Angket melakukan tugasnya, rencana pemaksaan sepihak (pemogokan atau penutupan perusahaan) belum boleh dilaksanakan. c. Pemutusan Hubungan Kerja Sebagaimana dikemukakan di atas, untuk pemberhentian kurang dari 10 orang pekerja, pengusaha harus mengajukan permohonan izin dari P4D pertama-tama menganjurkan pengusaha menyelesaikannya secara bipartit. Kedua, bila anjuran penyelesaian secara bipartit tidak berhasil, P4D menghimpun informasi yang diperlukan baik dari pengusaha maupun dari pekerja. Ketiga, setelah membahas kasus dengan seksama, P4D menerbitkan keputusan yang antara lain memuat : 1) Alasan-alasan pengusaha mengajukan PHK 2) Penjelasan dari pihak pekerja 3) Pertimbangan-pertimbangan dalam pengambillan keputusan 4) Isi keputusan yang dapat berupa : a) Penolakan memberikan izin PHK yang berarti tetap mempekerjakan pekerja seperti biasa b) Penolakan memberikan izin PHK dengan anjuran atau kewajiban tertentu kepada pengusaha dan atau kepada pekerja c) Persetujuan memberi izin PHK dengan kewajiban pengusaha membayarkan uang masa kerja, uang ganti rugi, dengan atau tanpa uang pesangon Sama halnya dengan perselisihan kepentingan, pihak-pihak yang keberatan dengan keputusan P4D, dalam maksimum 14 hari dapat mengajukan banding ke P4D melalui Panitra P4D. 4. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat Sama halnya dengan P4D, anggota P4P juga terdiri dari wakil-wakil ketiga unsur tripartit, yaitu 5 orang wakil Pemerintah, 5 orang wakil pengusaha dan 5 orang wakil serikat pekerja. Wakil Pemerintah terdiri dari pejabat Departemen Tenagakerja sebagai Ketua merangkap anggota, serta masing-masing satu orang pejabat dari Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Departemen Pertanian, dan Departemen Perhubungan. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Bila dipandang perlu, Presiden dapat juga mengangkat 5 orang anggota pengganti dari masing-masing unsur. Pemilihan anggota dan anggota pengganti dari masing-masing unsur diupayakan supaya mencerminkan permasalahan hubungna industrial yang pada umumnya dihadapi. Peranan tugas –utama P4P adalah sebagai berikut ini : - Pertama, P4P menerima dan mengagendakan penyelesaian kasus perselisihan yang dibanding di tingkat P4D, baik perselisihan kepentingan maupun perselisihan pemutusan hubungna kerja. - Kedua, menerima surat pengajuan pengusaha untuk izin memberhentikan 10 orang pekerja atau lebih. - Ketiga, P4P dapat menarik untuk diselesaikan sendiri perselisihan yang sedang ditangani pegawai perantara atau P4D, bila perselisihan tersebut dianggap membahayakan kepentingan negara atau kepentingan umum. - Keempat, P4P menghimpun informasi sebanyak yang diperlukan, baik dengan mengudang pihak-pihak yang berselisih maupun dengan membentuk Panitia Angket. - Kelima, berdasarkan bahan-bahan yang telah dihimpun, P4P melakukan sidangsidang pembahasan perselisihan dimaksud, dengan atau tanpa menghadirkan pihakpihak yang berselisih. Bila dianggap perlu, P4P dapat menghadirkan saksi-saksi. - Keenam, setelah melaukan sidang-sidang pembahasan, berlandaskan hukum, perjanjian, kebiasaan, keadilan, dan kepentingan Negara, P4P mengambil keputusan mengikat. Surat keputusan tersebut antara lain memuat : a. Nama pihak-pihak yang berselisih (pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja) serta tempat kedudukan mereka b. Ikhtisar tuntutan atau pokok hal yang diperselisihkan c. Ikhtisar informasi dan penjelasan yang dihimpun dari berbagai sumber d. Pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan e. Isi keputusan f. Tempat dan tanggal pengambilan keputusan yang ditandatangani Ketua dan Panitra P4P - Ketujuh, Panitra P4P menyerahkan surat keputusan P4P kepada pihak-pihak yang berselisih. Menteri Tenagakerja dapat membatalkan atau menunda pelaksanan putusan P4P bila dianggap perlu untuk melindungi kepentingan umum dan atau kepentingan negara. Bila dalam waktu 14 hari setelah pengambilan keputusan P4P Menteri tidak membatalkan atau menunda pelaksanaannya, pihak-pihak yang berselisih wajib melaksanakan keputusan P4P tersebut. 5. Veto Menteri Menteri Tenagakerja dapat membatalkan atau menunda pelaksanaan keputusan P4P bila pelaksanaan keputusan P4D tersebut dianggap dapat menimbulkan ancaman terhadap ketertiban umum dan kepentingan Negara. Keputusan atau Veto seperti itu dapat dilakukan setelah Menteri Tenagakerja berkonsultasi dengan Menteri-Menteri terkait yang mempunyai perwakilan duduk di P4P, dan harus dilakukan paling lambat 14 hari setelah keputusan P4P. Inisiatif pembatalan atau penundaan pelaksanaan kepuutsan P4P pada dasarnya datang dari Menteri Tenagakerja sendiri, bukan karena upaya banding dari pihak-pihak yang berselisih. Namun sejak awal tahun 1980-an, semakin banyak pihak yang berselisih yang tidak puas dengan keputusan P4P memintakan Veto Menteri. Dalam rangka menganggapi permintaan tersebut, Menteri membentuk Tim Antar Departemen untuk menganalisis kepuutsan P4P dan permintaan veto, guna selanjutnya memberikan saran kepada Menteri. Dalam surat keputusan pembatalan atu penundaan pelaksanaan keputusan P4P, Menteri mengatur penyelesaian akibat pembatalan atau penundaan keputusan P4P tersebut. B. PEMOGOKAN DAN PENUTUPAN PERUSAHAAN Seperti diuraikan di atas, sebagai upaya terakhir mengatasi kebuntuan dalam perundingan antara serikat pekerja dan pengusaha dalam penyelesaian hubungan industrial, serikat pekerja dapat memilih cara pemaksaan dengan melakukan pemogokan atau pengusaha melakukan pemaksaan melalui penutupan perusahaan. Pemogokan adalah upaya serikat pekerja untuk menekan dan memaksa pengusaha menerima tuntutan serikat pekerja. Dengan mogok, proses produksi akan berhenti, pengusaha akan mengalami kerugian. Untuk menghindari menanggung kerugian yang semakin besar, pengusaha diharapkan memilih untuk memenuhi tuntutan serikat pekerja. Penutupan (lock-out) adalah upaya pengusaha untuk menekan dan memaksa serikat pekerja menerima syarat-syarat kerja yang ditawarkan pengusaha. Selama penutupan perusahaan, proses produksi memang berhenti, namun pekerja tidak memperoleh ipah dan jaminan sosial dari pengusaha. Untuk tetap memperoleh penghasilan, serikat pekerja diharapjan bersedia menerima syarat kerja yang ditawarkan pengusaha. Selama melakukan pemogokan, pekerja memang tidak menerima upah dari pengusaha. Di negara maju dengan keuangan serikat pekerja yang kuat, serikat pekerja memberikan kompensasi upah kepada pekerja. Bila dana serikat pekerja tidak kuat, pekerja sendiri harus siap untuk tidak menerima penghasilan apa-apa selama melakukan pemogokan. Dengan demikian, baik pemogokan maupun penutupan perusahaan, sama-sama merugikan pengusaha dan pekerja dan selanjutnya merugikan masyarakat umum dan negara. Oleh sebab itu, serikat pekerja dan pengusaha selalu dianjurkan untuk tidak memilih cara tersebut akan tetapi melanjutkan dan mnegintensifkan negosiasi atau perundingan. Itu pula sebabnya pihak yang bermaksud melaksanakan tindakan pemaksaan sepihak (mogok atau menutup perusahan) harus terlebih dahulu melalui jalur panjang yaitu: a. Mambuktikan upaya perundingan telah sungguh-sungguh dilakukan dan sudah menghadapi jalan buntu b. Memberitahukan rencana pemogokan atau penutupan perusahaan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat dengna tembusan kepada pengusaha/serikat pekerja. c. Tidak boleh melakukan tindakan pemogokan atau penutupan perusahaan : Sebelum menerima surat tanda terima pemberitahuan rencana dari Dinas Ketenagakerjaan Selama Dinas Ketenagakerjaan masih melakukan upaya mediasi memoertemukan serikat pekerja dan pengusaha melanjutkan perundingan 1. Pemogokan Pada awal revolusi industri kondisi kerja memang relatif buruk. Waktu kerja sangat panjang melebihi 10 jam per hari, upah rendah, jaminan sosial hampir tidak ada, sarana dan perlindungan, keselamatan dan kesehatan kerja sangat sederhana serta perlindungan politik sangat terbatas. Orientasi pengusaha terfokus pada akumulasi sebanyak mungkin keuntungan, kesadaran pengusaha untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja sangat rendah, campur tangan pemerintah dalam pengaturan syarat kerja sangat terbatas. Dengan demikian mudah dipahami bahwa serikat pekerja cenderung untuk menggunakan cara pemogokan untuk memaksa pengusaha memenuhi tuntutan serikat pekerja. Melalui perjuangan serikat pekerja, masyarakat internasional seperti ILO secara bertahap memberikan perhatian yang lebih besar dan menetapkan berbagai Konvensi dan Rekomendasi guna meningkatkan perlindungan pekerja, antara lain mengenai pengaturan jam kerja dan waktu istirahat, hak cuti, pemeliharaan keselamatan dan kesehatan kerja, ketentuan upah minimum, jaminan sosial, hak bernegosiasi dan beruding bersama, dan lainlain. Demikian juga setiap negara di dunia sudah memiliki serangkaian peraturan perundang-undangan yang memuat jaminan dan perlindungan hak-hak pekerja. Dengan demikian, baik pemogokan maupun penutupan perusahaan, sama-sama merugikan pengusaha dan pekerja dan selanjutnya merugikan masyarakat umum dan negara. Oleh sebab itu serikat pekerja dan pengusaha selalu dianjurkan untuk tidak memilih cara tersebut akan tetapi melanjutkan dan mengintensifkan negosiasi atau perundingan. Itu pula sebabnya pihak yang bermaksud melaksanakan tindakan pemaksaan sepihak (mogok atau menutup perusahaan) harus terlebih dahulu melalui jalur panjang yaitu : a. Membuktikan upaya perundingan telah sungguh-sungguh dilakukan dan sudah menghadapi jalan buntu b. Memberitahukan rencana pemogokan atau penutupan perusahaan kepada dinas ketenagakerjaan setempat dengan tembusan kepada pengusaha atau serikat pekerja c. Tidak boleh melakukan tindakan pemogokan atau penutupan perusahaan : - Sebelum menerima surat tanda terima pemberitahuan rencana dari dinas ketenagakerjaan - Selama dinas ketenagakerjaan masih melakukan upaya mediasi mempertemukan serikat pekerja dan pengusaha melanjutkan perundingan. Pada awal revolusi industri kondisi kerja memang relatif buruk. Waktu kerja sangat panjang melebihi 10 jam perhari upah rendah, jaminan sosial hampir tidak ada, sarana dan perlindungan, keselamatan dan kesehatan kerja sangat sederhana serta perlindungan politik sangat terbatas. Orientasi pengusaha terfokus pada akumulasi sebanyak mungkin keuntungan, kesadaran pengusaha untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja sangat rendah campur tangan pemerintah dalam pengaturan syarat kerja sangat terbatas. dengan demikian mudah dipahami bahwa serikat pekerja cenderung untuk menggunakan cara pemogokan untuk memaksa pengusaha memenuhi tuntutan serikat pekerja. Mulai perjuangan serikat pekerja, masyarakat internasional seperti ILO secara bertahap memberikan perhatian yang lebih besar dan menetapkan berbagai konvensi dan rekomendasi guna meningkatkan perlindungan pekerja, antara lain mengenai pengaturan jam kerja dan waktu istirahat, hak cuti, pemeliharaan keselamatan dan kesehatan kerja ketentuan upah minimum, jaminan sosial, hak berorganisasi dan berunding bersama, dan lain-lain. demikian juga setiap negara di dunia sudah memiliki serangkaian peraturan perundang-undangan yang memuat jaminan dan perlindungan hak-hak pekerja. Bersamaan dengan peningkatan perlindungan tersebut, pekerja dan pengusaha semakin memahami bahwa hak pekerja dapat dilaksanakan hanya sebagai alternatif terakhir, yaitu bila upaya-upaya lain tidak menghasilkan kesepakatan. Sebagaimana diuraikan di atas, pemogokan dimaksudkan untuk memaksa pengusaha memenuhi tuntutan serikat pekerja karena dengan pemogokan proses produksi akan berhenti dan pengusaha akan merugi. Di pihak lain, dengan melakukan pemogokan, pekerja tidak menerima upah dari pengusaha. oleh sebab itu apa serikat pekerja yang memobilisasikan pemogokan wajib memberikan kompensasi kepada pekerja atas upah yang tidak diterima. Besar kompensasi sangat tergantung pada kemampuan dana organisasi bila dana organisasi sangat terbatas maka setiap pekerja akan menerima kompensasi kurang dari upah setiap bulan atau sama sekali tidak menerima kompensasi upah. Dengan kata lain, pemogokan juga menuntut pengorbanan pekerja dan serikat pekerja. Oleh sebab itu, setiap rencana pemogokan biasanya harus merupakan konsensus atau terlebih dahulu mendapatkan dukungan mayoritas pekerjaan. pekerja dan serikat pekerja harus memperhitungkan berapa lama mereka mampu bertahan mogok tanpa menerima upah. Selama melakukan pemogokan pekerja tidak diperkenankan bekerja di tempat lain. Segera setelah serikat pekerja merencanakan pemogokan dan selama melakukan pemogokan pengusaha tidak diperkenankan melakukan pembalasan berupa memberhentikan pekerja untuk kemudian merekrut pengganti mereka. Selama pemogokan, pengusaha dan serikat pekerja, sambil berlomba daya tahan, dapat melakukan pendekatan untuk mencapai titik kompromi. Pemogokan pada dasarnya dapat dilakukan tanpa limit waktu. Pemogokan berakhir bila suatu pihak mengalah yaitu bila pengusaha memenuhi tuntutan serikat pekerja atau serikat pekerja menarik kembali tuntutannya, atau bila kedua belah pihak mencapai kesepakatan kompromi baru. Pemogokan yang berkepanjangan bukan saja merugikan pengusaha dan menimbulkan penderitaan pekerja, akan tetapi dapat merugikan kepentingan umum. Untuk menghindari kegiatan masyarakat yang terlalu besar pemerintah dapat melakukan intervensi yaitu dengan membawa kedua belah pihak ke meja perundingan dan atau menawarkan titik Kompromi. Menyadari pengorbanan dan kerugian yang demikian besar, sejak semula, semua pihak, pengusaha dan serikat pekerja dan pemerintah harus menghindari pemogokan. a. Pemogokan sebagai upaya terakhir Sebagaimana dikemukakan di atas, pemogokan adalah upaya terakhir dari serikat pekerja untuk memaksa pengusaha memenuhi tuntutan pekerja setelah berbagai upaya lainnya tidak berhasil seperti perundingan-perundingan dan jasa pegawai perantara atau mediasi. Harus dapat dibuktikan bahwa serangkaian pertemuan dengan pengusaha telah melakukan akan tetapi tidak mendatangkan hasil atau bahwa serikat pekerja dalam paling sedikit dua kali dalam 2 minggu setelah berkali-kali mengundang pengusaha untuk berunding tetapi tidak bersedia memenuhi tawaran atau undangan serikat pekerja. b. Pemogokan harus didukung seluruh anggota Pemogokan menuntut pengorbanan pekerja. Pemogokan berdampak ketidakpastian penghasilan bekerja. oleh sebab itu untuk mengambil keputusan merencanakan pemogokan serikat pekerja harus mendengarkan pendapat anggota-anggotanya. Rencana pemupukan harus diputuskan secara konsensus oleh seluruh anggota. Bila serikat pekerja berkeras memobilisasi pemogokan didukung oleh sebagian anggota pekerja lain tidak boleh dipaksa Ikut Moko baik yang sudah anggota serikat pekerja apalagi yang bukan anggota serikat pekerja. Dalam hal demikian pengusaha dapat tetap melanjutkan produksi dengan mengandalkan pekerja yang tidak mogok. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan tekanan terhadap pengusaha serikat pekerja harus mampu memobilisasi sebanyak mungkin pekerja. c. Pemogokan harus direncanakan dan diinformasikan Keputusan melakukan pemogokan harus disusun dalam satu rencana pemupukan yang antara lain memuat isi tuntutan serikat pekerja alasan untuk menggelar pemogokan, bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan, dan waktu memulai pemogokan. rencana pemogokan juga secara implisit memuat tanggung jawab serikat pekerja terhadap anggota yang ikut mogok kerja. Rencana pemogokan harus diinformasikan kepada pengusaha dan kepada P4D, dengan melampirkan bukti-bukti bahwa: - Setelah dilakukan serangkaian perundingan tetapi tidak membuahkan hasil atau - Dalam 2x2 Minggu, pengusaha menolak berunding dengan serikat pekerja. Dalam sekitar 1 minggu, dinas ketenagakerjaan diharapkan telah memberikan tanda terima pemberitahuan kepada serikat pekerja. Serikat pekerja dapat menggelar pemogokan setelah menerima tanda pemberitahuan tersebut. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa serikat pekerja dapat menggelar pemogokan paling cepat 1 minggu setelah pemberitahuan rencana pemogokan. Dalam jangka waktu tersebut, pengusaha, serikat pekerja dan pemerintah dapat melakukan pendekatan mencapai penyelesaian sehingga rencana pemogokan tidak jadi dilaksanakan. d. Penundaan rencana mogok Untuk memperkecil kesempatan melakukan pemogokan, dinas ketenagakerjaan setelah menerima pemberitahuan rencana pemogokan biasanya tidak langsung memberikan bukti tanda terima pemberitahuan. dinas ketenagakerjaan biasanya menghimpun informasi bahkan bila dianggap perlu membentuk panitia angket untuk menghimpun informasi guna membuktikan bahwa serikat pekerja telah melakukan upaya maksimal melalui itikad baik dan perundingan. selama menghimpun informasi atau panitia angket melakukan tugasnya, dinas ketenagakerjaan dapat mengajukan kasus perselisihan ke pengadilan hubungan industrial untuk menetapkan dan memerintahkan serikat pekerja menunda niatnya menggelar pemogokan. Dalam kenyataannya, baik p4d dulu maupun pengadilan hubungan industrial sekarang ini belum pernah menerbitkan tanda terima pemberitahuan tersebut, karena mereka biasanya justru mengajak kedua belah pihak untuk berunding. Dengan kata lain, semua pemogokan yang dilakukan terutama sebelum pemberlakuan UU no. 2 tahun 2004 tidak memenuhi tata prosedur yang diatur kan. e. Kewajiban serikat pekerja membayar kompensasi Selama bekerja melakukan pemogokan, pengusaha tidak wajib membayar upah mereka. oleh sebab itu serikat pekerja yang menggelar pemogokan seogiannya membayar kompensasi bagi pekerja yang ikut mogok. namun di Indonesia, serikat pekerja pada umumnya belum mampu membayar kompensasi bagi anggotanya. Sebaliknya pengurus cabang, pengurus daerah atau pengurus pusat serikat pekerja yang menggalang pemogokan mengambil balas jasa sekitar 10% sampai 20% dari hasil tuntutan pekerja. hal itu membuat penyelesaian perselisihan sering menjadi tambah sulit. Sementara pekerja sudah dapat menerima tawaran pengusaha serikat pekerja sering bertahan dengan tuntutan yang terlalu tinggi untuk mengharapkan bagian yang lebih besar. f. Pengusaha tidak boleh melakukan pembalasan Selama serikat pekerja menggelar pemogokan, pengusaha dapat memberhentikan seluruh proses produksi rumah atau dapat meneruskan produksi bila sebagian pekerja memutuskan tetap bekerja titik pengusaha tidak diperbolehkan melakukan tindakan pembalasan berupa memberhentikan mereka yang mogok dan merekrut pekerja baru. Bila pengusaha merasa tidak mampu memenuhi tuntutan serikat pekerja dan memutuskan untuk menutup perusahaan maka maksud tersebut harus segera diinformasikan kepada serikat pekerja dan dinas ketenagakerjaan titik pekerja akan kehilangan pekerjaannya dan terpaksa mencari pekerjaan baru. pengusaha tidak diperbolehkan kembali melanjutkan usaha yang sama di lokasi yang sama. g. Dampak pemogokan Sebagaimana diuraikan diatas tanpa mengurangi nilai pemogokan sebagai hak dan alat perjuangan pekerja dan serikat pekerja pemogokan hanya membawakan kerugian bagi pekerja pengusaha dan masyarakat.Misalkan serikat pekerja mampu bertahan mogok dalam waktu yang relatif lama sehingga pengusaha terpaksa mengalah dan memenuhi tuntutan serikat pekerja. namun akibat pemogokan tersebut dan tambahan beban yang harus dikeluarkan pengusaha untuk memenuhi tuntutan serikat pekerja, pengusaha akan menanggung rugi atau hanya mampu memperoleh margin keuntungan yang kecil. Dengan kondisi yang demikian tahun berikutnya serikat pekerja tidak mungkin lagi layak mengajukan tuntutan baru. Kalau serikat pekerja tetap memaksakan tuntutan baru, perusahaan akan bangkrut dan semua akan kehilangan pekerjaan. Angka pemogokan di Indonesia termasuk tinggi dan cenderung untuk terus meningkat terutama sejak awal tahun 1990-an, pemogokan meningkat dari 61 kasus dalam tahun 1990 menjadi 273 kasus dalam tahun 2000. Pekerja yang terlibat dalam pemupukan bertambah dari 31.234 orang dalam tahun 1990 menjadi 126.045 orang dalam tahun 2000. dalam periode tersebut jam kerja hilang meningkat dari 260 2014 jam kerja menjadi di 1,28 juta jam kerja. Dari tahun 2000 sampai tahun 2005 terjadi penurunan, akan tetapi tahun 2006 terjadi lonjakan menjadi 282 kasus yang melibatkan 595783 pekerja dan mengakibatkan 4,66 juta jam kerja hilang. h. Intervensi pemerintah Pemogokan yang berkepanjangan atau yang berakhir dengan penutupan perusahaan bukan saja merugikan pengusaha dan pekerja akan tetapi juga mengorbankan kepentingan umum dan negara. untuk menghindari kerugian seperti itu, pemerintah sejak awal perselisihan perlu memfasilitasi dialog saling pengertian dan perundingan antara pengusaha dan serikat pekerja. Pada saat kedua belah pihak menghadapi stagnasi, pemerintah harus secara bijaksana menawarkan titik kompromi. tawaran seperti itu dapat dituangkan dalam perjanjian bersama atau keputusan pengadilan hubungan industrial yang wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan serikat pekerja. 2. Penutupan perusahaan Untuk memberikan keseimbangan atas hak serikat pekerja melakukan pemogokan pengusaha juga diberi hak untuk menutup perusahaan sebagai reaksi terhadap tuntutan serikat pekerja yang tidak dapat dipenuhi nya. Sama halnya dengan rencana pemogokan, pengusaha harus menyusun rencana penutupan perusahaan yang antara lain memuat isi tuntutan serikat pekerja, alasan-alasan tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut dan upaya yang dilakukan untuk berunding dan dalam perundingan dengan serikat pekerja. Kemudian, pengusaha memberitahukan rencana tersebut kepada serikat pekerja dan kepada dinas ketenagakerjaan dengan bukti telah melakukan upaya maksimal berunding dengan serikat pekerja. dinas ketenagakerjaan memberikan tanda terima pemberitahuan setelah menghimpun informasi yang diperlukan baik dengan menghubungi langsung pihak-pihak yang berselisih dan atau dengan membentuk panitia angket juga sebelum memberikan tanda terima tersebut, dinas ketenagakerjaan akan melakukan pendekatan atau mediasi kepada kedua belah pihak yang berselisih supaya berupaya mencapai titik kompromi. Bila serikat pekerja dan pengusaha samasama bertahan atau sama-sama tidak bersedia mengalah perusahaan akan ditutup, pekerja akan kehilangan pekerjaannya. Pengusaha tidak diperbolehkan meneruskan perusahaan di lokasi yang sama dengan merekrut pegawai baru. Tergantung pada dampak penutupan perusahaan terhadap pengusaha dan pekerja serta terhadap kepentingan umum pemerintah pada dasarnya dapat melakukan intervensi yaitu dengan membawa kedua belah pihak kembali ke perundingan dan atau menawarkan bentuk kompromi. tawaran tersebut kemudian dapat ditetapkan sebagai perjanjian bersama atau keputusan menteri. 3. Menghindari Pemogokan dan Penutupan Perusahan Kondisi hubungan industrial pada awal tahun 2000-an sudah jauh berbeda dengan kondisi pada awal revolusi industri bahkan dengan kondisi hubungan industrial pada tahun 1990-an. Pertama, ILO sebagai lembaga tripartite nasional, terdiri dari wakil-wakil serikat pekerja, pengusaha dan Pemerintah negara-negara di dunia, sudah menerbitkan sejumlah Konvensi dan Rekomendasi mengenai perlindungan pekerja, yang secara moral wajib dilaksanakan di setiap negara. Kedua, Deklarasi ILO tahun 1998 mengenai pelaksanaan hak-hak dasar pekerja termasuk hak berorganisasi dan berunding bersama bagi pekerja dan pengusaha, telah memberikan dampak yang besar bagi perkembangan hubungan industrial di seluruh dunia. Ketiga, baik karena pengaruh ILO tersebut maupun karena gerakan serikat pekerja di tingkat nasional, masing-masing negara sekarang ini pasti sudah memiliki seperangkat peraturan perundang-undangan, lembaga dan mekanisme kerja melindungi para pekerja dan dunia usaha dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak lain. Tiap negara pasti sudah memiliki lembaga dan mekanisme dialog, perundingan dan penyelesaian perselisihan antara pengusaha dengan pekerja dan atau serikat pekerja. Keempat, baik pengusaha maupun para pimpinan serikat pekerja saat ini semakin berpikiran luas. Para pengusaha sudah menaruh perhatian pada perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja. Para pimpinan serikat pekerja tidak sekedar mengandalkan kekuatan otot akan tetapi semakin mengandalkan kemampuan intelektual, profesionalisme, dan kemampuan negosiasi. Kelima, semakin disadari bahwa pemogokan dan penutupan perusahaan selalu menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Oleh sebab itu, pimpinan serikat pekerja yang efektif dan berpengaruh bukanlah pimpinan yang mampu menggelar demonstarasi dan pemogokan yang berkepanjangan, tetapi pemimpin yang dapat menyelesaikan perselisihan melalui dialog dan negosiasi. Persaingan yang semakin tajam dalam era globalisasi menuntut pengusaha dan serikat pekerja harus sama-sama dan bergandeng tangan meningkatkan produktivitas dan daya saing mereka, yaitu di satu pihak dengan menyempurkanan sistem kerja dan meningkatakan kualitas sumberdaya manusia, dan di pihak lain menghindari segala bentuk pertikaian, perselisihan dan pemogokan yang mengganggu kelancaran produksi. C. JALAN PANJANG MENUJU KEADILAN Pengusaha dan serikat pekerja seyogyanya dapat memanfaatkan Lembaga Bipartit untuk menampung keluh kesah pekerja dan menyelesaikannya, sehingga tidak sampai meningkat menjadi perselisihan. Pada kenyataannya masih banyak perusahaan yang belum membentuk lembaga bipartit dan juga banyak lembaga bipartit belum berfungsi secara efektif. Bagi pengusaha dan serikat pekerja yang tidak berhasil menyelesaikan masalah secara bipartite, dapat meminta bantuan pegawai perantara atau mediator untuk mencapai kompromi. Namun dalam banyak kasus , mediator sering dianggap memihak, sehingga salah satu pihak atau keduanya menolak tawaran kompromi. Disamping mediator yang kurang professional, juga jumlah pegawai perantara dan pengawas ketenagakerjaan terlalu sedikit. Pada table 8.2, pegawai perantara dalam tahun 2000 hanya 942 orang termasuk 23 orang yang ditempatkan di kantor pusat Departemen. Jumlah tenaga yang mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan juga kecil yaitu 1.305 orang tahun 2000 dan 1.480 orang tahun 2009. Tabel 8.2 Jumlah Pegawai Perantara dan Pegawai Pengawas Indonesia, 2000-2009 No Provinsi 1 Aceh Pegawai Pegawai Pengawas Perantara 2000 2009 17 21 31 2 Sumatera Utara 64 83 46 3 Sumatera Barat 19 52 34 4 Riau 39 32 47 5 Kepulauan Riau - - 10 6 Jambi 19 22 17 7 Sumatera Selatan 43 53 31 8 Bangka Belitung - - 11 9 Bengkulu 27 18 27 10 Lampung 29 36 39 11 DKI Jakarta 83 102 76 12 Jawa Barat 85 171 183 13 Banten - - 37 14 Jawa Tengah 120 144 157 15 DIY 28 38 25 16 Jawa Timur 105 158 185 17 Bali 16 25 23 18 Nusa Tenggara Barat 17 20 18 19 Nusa Tenggara Timur 17 13 16 20 Kalimantan Barat 15 17 31 21 Kalimantan Selatan 17 28 28 22 Kalimantan Tengah 25 16 39 23 Kalimantan Timur 24 38 39 24 Sulawesi Utara 20 29 31 25 Gorontalo - - 5 26 Sulawesi Tengah 13 18 21 27 Sulawesi Selatan 37 57 60 28 Sulawesi Barat - - 10 29 Sulawesi Tenggara 14 14 25 30 Maluku 5 19 10 31 Maluku Utara - - 5 32 Irian Jaya 24 22 11 33 Papua Barat - - 7 34 Kantor Pusat Depnaker 23 68 145 Jumlah 942 1.305 1.480 Dengan menolak tawaran kompromi mediator, pengusaha dan serikat pekerja sebenarnya lebih baik bersepakat memilih juru atau dewan pemisah (arbitrase). Namun setelah Undang-undang No. 22 tahun 1957 diundangkan hingga dicabut dan diganti dengan UU No. 2 tahun 2004, hanya satu kasus perselisihan yang diselesaikan melalui dewan pemisah. Kasus perselisihan lainnya diselesaikan melalui P4D atau P4P. Dari segi komposisi anggota, P4D dan P4P patut diyakini sebagai lembaga yang dapat memberikan keputusan yang paling obyektif, seimbang dan adil. P4D dan P4P masingmasing mempunyai 5 anggota mewakili serikat pekerja, 5 anggota mewakili asosiasi pengusaha, serta 5 anggota dari unsur Pemerintah yang diharapkan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang seimbang atas kepentingan pekerja dan kepentingan pengusaha. Dengan keyakinan seperti itu, pengusaha dan serikat pekerja yang berselisih patut menerima dan melaksanakan keputusan P4D dan P4P dengan jiwa besar dan rasa suka cita. Pengalaman menunjukan bahwa sama halnya dengan pegawai perantara, P4D dan P4P sering dituding memihak pengusaha atau membela pekerja. Keputusan P4D dan P4P sering diminta ditinjau oleh Menteri. Tidak puas dengan keputusan Menteri, banding ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan tidak puas dengan PTUN dilanjutkan kasasi ke Mahkamah Agung. Keputusan P4D dan P4P pada dasarnya mengikat dan wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Bila pengusaha tidak melakukan kewajibannya, serikat pekerja dapat meminta pengadilan tinggi untuk memerintahkan eksekusi. Namun untuk eksekusi keputusan ini diperlukan biaya eksekusi. Karena keterbatasan biaya untuk eksekusi dibandingkan terhadap hasil yang diperoleh kurang seimbang, pekerja dan serikat pekerja terpaksa tidak menerima apa-apa dari pengusaha. Dengan kata lain, keputusan P4D dan P4P sering tidak diindahkan atau tidak dilaksanakan oleh pengusaha. Peninjauan kembali terhadap keputusan P4P pada dasarnya harus dari inisiatif Menteri, bukan karena permintaan pihak-pihak yang berselisih. Namun sejak pertengahan 1980-an, semakin banyak pihak merasa kalah dalam keputusan P4P mengajukan permohonan kepada Menteri untuk meninjau ulang atau membatalkan keputusan P4P. Dengan permohonan tersebut, Menteri merasa wajib memberikan tanggapan, baik dalam bentuk penolakan atau setelah berkonsultasi dengan wakil-wakil Departemen terkait penolakan atau setelah berkonsultasi dengan wakil-wakil Departemen terkait menerbitkan keputusan baru yang membatalkan atau mengamandemen keputusan P4P. Melalui UU No. 5 tanggal 29 Desember 1986 dibentuk Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai salah satu pelaksana kehakiman yang berfungsi memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa dalam bidang tata usaha negara, yaitu sengketa antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. PTUN didirikan untuk mewujudkan cita-cita luhur memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang merasa dirugikan akibat suatu keputusan BTUN. P4P yang memutus perselisihan dan Menteri Tenagakerja yang menunda, mengamandemen atau membatalkan keputusan P4P digolongkan sebagai lingkup BTUN yang dengan demikian harus tunduk kepada UU PTUN tersebut. Sebab itu, keputusan P4P dan keputusan Menteri dapat diminta tinjau ulang oleh PTUN atau dengan kata lain P4P dan Menteri Tenagakerja dapat digugat ke PTUN. UU PTUN ini berlaku secara efektif setelah Peraturan Pemerintah No. 7 diterbitkan tanggal 14 Januari 1991 yang menyatakan bahwa UU No. 5 tahun 1980 secara efektif diberlakukan di seluruh Indonesia. Sejak itu, semakin banyak keputusan P4P dan keputusan Menteri yang diminta banding ke PTUN, baik oleh pekerja atau serikat pekerja maupun oleh pengusaha. Pihak yang tidak puas dengan keputusan PTUN masih dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan jumlah perselisihan yang terus bertambah, setiap kasus menunggu antrian panjang untuk dibahas di P4D, P4P, PTUN dan Mahkamah Agung. Keseluruhan proses dapat mencapai 3-5 tahun. Upaya hukum mencapai “keadilan” yang belum tentu juga adil itu ternyata sangat mahal serta memerlukan jalan berliku dan panjang. Dari pihak pengusaha misalnya, sering terdengar keluhan bahwa di Indonesia lebih mudah mendirikan perusahaan baru daripada memberhentikan seorang pekerja walupun sudah melakukan kesalahan berat. Sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Jepang dan Jerman hampir sama dengan di Indonesia. Di Jepang terdapat Panitia Daerah dan Panitia Pusat, dan Menteri Tenagakerja dapat menerbitkan veto. Namun sejak didirikan tahun 1947 hingga akhir tahun 2001, Menteri Tenagakerja belum pernah menggunakan hak vetonya. Semua pihak yang berselisih menerima jasa perantaraan, mediasi atau konsiliasi, juru pemisah (arbitrase), atau Panitia Daerah, atau paling panjang menerima keputusan panitia Pusat. Tabel 8.3 Jumlah Kasus Gugatan Pekerja dan Pengusaha Ke PTUN Atas Putusan P4P dan Menteri Tenagakerja 1998-2002 Tahun Oleh Pekerja Oleh Pengusaha 1998 27 93 1999 48 144 2000 61 173 2001 68 199 2002 28 75 Di Jerman, disamping Panitia Daerah dan Panitia Federal (Pusat), terdapat Mahkamah Agung, Panitia Daerah menyelesaikan kasus yang memperselisihkan sampai batas nilai uang tertentu. Bila nilai yang diperselisihkan melebihi batas dimaksud, kasus perselisihan langsung diselesaikan Panitia Pusat. Mahkamah tidak merubah atau mengamandemen keputusan Panitia Pusat, tetapi hanya mengkaji kewenangan Panitia Pusat dalam membuat putusan tersebut. Menyadari berbagai kelemahan sistem penyelesaian perselisihan sebagaimana diuraikan di atas, Pemerintah dengan mitra kerjanya dari serikat-serikat pekerja, asosiasi pengusaha dan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengajukan Rancangan Undang-Undang ke DPR mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (RUU PPHI). Setelah melalui pembahasan yang intensif, DPR telah menyetujui UU PPHI yang ditandatangani tanggal 14 Januari 2004 dan diundangkan dalam Lembaran Negara No.6 tahun 2004. 1. Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Sesuai dengan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, perselisihan digolongkan dalam 4 macam yaitu perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja.Perselisihan hak adalah perselisihan antara pengusaha dan pekerja karena hak pekerja atau pengusaha tidak dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan kepentingan adalah perselisihan antara pengusaha dan pekerja karena tidak mencapai kesepakatan mengenai pembuatan atau perubahan syarat-syarat kerja untuk ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah perselisihan antara pengusaha dan pekerja karena tidak mencapai kesepakatan dalam mengakhiri hubungan kerja. Perselisihan antar serikat pekerja adalah perselisihan antara satu atau beberapa serikat pekerja dengan serikat pekerja lain di satu perusahaan karena mereka tidak mencapai kesepakatan antara lain mengenai organisasi dan atau keanggotaan serikat pekerja, program kerja atau perjuangan serikat pekerja Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat melalui 4 tahap, yaitu dua tahap di luar pengadilan dan dua tahap di dalam pengadilan. Di luar pengadilan melalui Perundingan bipartite dan Arbitrase atau Konsiliasi, atau Mediasi. Di dalam pengadilan melalui Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Kasasi di Mahkamah Agung. Undang-undang berusaha menghindari penumpukan perkara atau kasus perselisihan hubungan industrial di PHI Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Oleh sebab itu sesiap kasus/perselisihan yang tidak terselesaikan secara bipartit wajib diusahakan diselesaikan pada tahap kedua, yaitu dengan pertama-tama Dinas Ketenagakerjaan menawarkan kepada pihak yang berselisih memilih pihak ketiga untuk membantu penyelesaian a. Perselisihan kepentingan dan perselishan antar serikat pekerja ditawarkan untuk diselesaikan secara arbitrase atau konsiliasi b. Perselisihan PHK ditawarkan untuk dibantu melalui konsiliasi c. Perselisihan hak otomatis dimediasi oleh mediator d. Bila pihak yang berselisih tidak sepakat meminta bantuan konsiliator atau arbitrase, penyelesaian pihak otomatis dibantu oleh mediator Untuk menghindari perselisihan yang berlarut-larut, maka setiap perselisihan harus diusahakan harus diusahakan diselesaikan di tingkat bipartit paling lama 30 hari kerja. Bila perundingan tersebut masih gagal maka satu atau dua pihak mencatatkan perselisihan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-bukti upaya yang telah dilakukan. Setelah itu, dinas ketenagakerjaan menawarkan penyelesaian perselisihan untuk dibantu melalui arbitrase atau konsiliasi. Bila dalam 7 hari pihak yang berselisih tidak sepakat memilih arbitrase atau konsiliasi, maka Dinas Ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator 2. Mediasi oleh Mediator Di setiap kantor pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan diangkat beberapa orang pegawai sebagai mediator yang berfungsi melakukan mediasi menyelesaikan PHI. Dalam 7 hari setelah menerima permintaan atau penugasan penyelesaian perselisihan, mediator sudah harus mempelajari dan menghimpun informasi yang diperlukan, kemudian segera paling lambat pada hari kedelapan mengadakan pertemuan atau sidang mediasi. Untuk itu, mediator dapat memanggil saksi dan atau saksi ahli.Bila melalui mediasi tersebut pihak yang berselisih mencapai kesepakatan, maka kesepakatan tersebut dituangkan dalam Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak yang berselisih dan disaksikan oleh mediator. Bila pihak yang berselisih tidak mencapai dalam paling lama 10 hari kerja setelah sidang mediasi pertama, mediator harus sudah membuat anjuran tertulis kepada pihakpihak yang berselisih. Kemudian dalam 10 hari kerja setelah menerima anjuran tertulis tersebut, para pihak yang berselisih harus sudah menyampaikan pendapat secara tertulis kepada mediator untuk menyetujui atau menolaknya. 3. Konsiliasi oleh Konsiliator Konsiliator adalah anggota masyarakat yang telah berpengalaman di bidang hubungan industrial dan menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sehingga dianggap mampu melakukan konsiliasi dan memberikan anjuran tertulis kepada pihak yang berselisih menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja 4. Arbitrase oleh arbiter Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan oleh seorang atau tiga orang arbiter, yang atas kesepakatan para pihak yang berselisih diminta menyelesaikan perselisihan kepentingan, dan atau oerselisihan antar serikat pekerja. Dalam kesepakatan memilih penyelesaian arbitase, pihak yang berselisih membuat surat perjanjian arbitase yang antara lain memuat pokok persoalan perselisihan yang diserahkan kepada arbiter, jumlah arbiter yang akan dipilih, dan kesiapan untuk tunduk pada dan menjalankan keputusan arbitase. Putusan arbitase didaftarkan di PHI pada pengadilan negeri setempat, dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak berselisih. Bila salah satu pihak tidak melaksanakan keputusan abritase, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada PHI di pengadilan negri untuk memerintahkan pihak tersebut melaksanakan keputusan arbitase Dalam paling lama 30 hari sejak keputusan arbiter, salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan kepada mahkamah agung hanya apabila putusan arbiter diduga mengandung unsur-unsur : a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan ternyata diakui atau terbukti palsu b. Pihak lawan terbukti secara sengaja menyembunyikan dokumen yang bersifat menetukan dalam pengembalian keputusan c. Keputusan arbitase terbukti didasarkan pada tipu muslihat pihak lawan d. Putusan melampaui kewenangan arbiter e. Putusan bertetntangan dengan peraturan undang-undang Mahkamah agung dalam 30 hari harus memberi putusan atas permohonan pembatalan putusan arbitase. Keputusan MA dapat menolak atau menerima pembatalan sebagai atau seluruh putusan arbitase 5. Pengadilan Hubungan Industrial Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dibentuk di pengadilan negri dan pada mahkamah agung untuk pertama kali, pengadilan PHI dibentuk pengadilan Negri yang berada di ibukota provinsi. Secara bertahap, pengadilan PHI akan dibentuk di pengadilan negri yang berada di kabupaten atau kota yang padat industry. Susunan PHI pada pengadilan negri terdiri dari : a. Hakim b. Hakim Ad-Hoc c. Panitera Muda, dan d. Panitera Muda Pengganti Ketua pengadilan negri mengawasi pelaksanaan tugas hakim, hakim ad-hoc, panitera muda dan panitera muda pengganti. PHI pada pengadilan negri berwenang memeriksa dan memutus : a. Perselisihan hak untuk tingkat pertama b. Perselisihan kepentingan untuk tingkat pertama dan terakhir c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja untuk tingkat pertama d. Perselisihan antar serikat pekerja untuk tingkat pertama dan terakhir 6. Majelis Hakim Kasasi Permohonan kasasi atas outusan PHI pada Pengadilan Negri diperiksa dan diputus oleh Majelis Hakim Kasasi. Untuk itu pada Mahkamah Agung dibentukdan diangkat : a. Hakim agung b. Hakim Ad-Hoc c. Panitera Segera setelah menerima kasasi atas putusan PHI, Ketua mahkamah agung menetapkan susunan majelis hakim kasasi yang terdiri dari seorang Hakim Agung, seorang Hakim Ad-Hoc dari unsur serikat pekerja, dan seorang Hakim Ad-Hoc dari unsur asosiasi pengusaha. Majelis Hakim Kasasi Harus Menyelesaikan kasus perselisihan dimaksud paling kama 30 Hari Kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi. D. PENERAPAN DAN PENEGAKAN HUKUM Masalah sering terjadi akibat para pelaku yang bersangkutan kurang memperlihatkan kesediaan yang tulus dan kepatuhan pada peraturan yang ada dan pada keputusan Lembaga-lembaga yang berwenang. Demikian juga setelah UU No.2 tahun 2004 diundangkan, yang secara substantive dan procedural jauh lebih sederhana dan singkat dari UU No. 22 tahun 1957 dan UU No.12 tahun 1964. Pelaksanaanya sangat tergantung pada kesediaan dan keungguhan masing-masing unsur, yaitu pengusaha atau manajemen, para pekerja dan serikat pekerja, dan aparatur pemerintah sendiri. 1. Kesediaan saling memahami dan bekerjasama Kunci utama menghindari perselisihan adalah kesediaan masing-masing pihak, pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja, untuk saling memahami posisi,kondisi dan kepentingan mitra kerjanya. Semua keluhan atau benturan dalam hubungan industrial harus diselaraskan atau diseasikan, sehingga tidak meningkat menjadi perselisihan yang akan menguras tenaga dan perhatian kepada kedua pihak. Dengan demikian, pengusaha dengan pekerja dan serikat pekerja akan selalu dapat secara harmonis Bersama-sama memajukan perusahaan. 2. Profesionalisme Hubungan Industrial Banyak perselisihan hubungan industrial terjadi karena satu pihak atau kedua pihak tidak memahami peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan prinsip hubungan industrial dengan baik. oleh sebab itu, terutama opara manajemen dan pejanbat di bidang hubungan industrial serta para pengurus serikat pekerja harus betul-betul memahami : Peraturan peundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku Isi peraturan perusahaan atau perjanjian kerja Bersama Prinsip hubungan industrial Dalam hubungan ini, manajemen perlu mengambil inisiatif menyelenggarakan pembelajaran Bersama secara rutin. Misalnya melalui forum birparti atau forum lain. Pengusaha dan manajemen dan staf unit hubungan industrial, beserta pengurus serikat pekerja dan wakil-wakil pekerja yang lain duduk Bersama memahami berbagai peraturan, isi PP atau PKB, serta mengenai prinsip dan penerapan hubungan industrial, dengan atau tanpa narasumber dari luar. 3. Mengefektifkan pengawasan Pemerintah pada dasarnya berfungsi mengawasi pelaksanaan berbagai peraturan di perusahaan, baik melalui laporan tahunan yang disampaikan oleh poengusaha maupun melalui kunjungan pemeriksaan periodik khusus ke perusahaan. atau pemeriksaan Masyarakat selama ini mempunyai kesan bahwa pengawasan ini kurang efektif. Banyak pelanggaran yang tidak termonitoridan tidak diproses secara hukum. Di lain pihak dinyatakan bahwa jumlah pengawas terlalu kecil. Pengawasan tersebut dapat diefektifkan melalui peningkatan kualitas tenaga pengawas, meningkatkan peran serikat pekerja di perusahaan, serta peningkatan pemahaman mengenai dan kepatuhan manajemen melaksanakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. BAB 3 PENUTUP A. Kesimpulan Penyelesaian perselisihan hubungna industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungann pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan. Dalam rangka penyelesaian perselisihan hubungan tersebut, maka dapat dilakukan dengna dua cara penyelesaian. Yaitu yang pertama dengan jalur di luar pengadilan dan yang kedua dengan jalur pengadilan hubungna industrial. B. Saran Dalam hal terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat antara buru pengusaha yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja dalam suatu perusahaan maka janganlah terus diselesaikan di hubungna industrial namun selesaikanlah secara musyarawah mufakat.