Uploaded by User81297

5. penyelesaian perselisihan HI

advertisement
MAKALAH HUBUNGAN INDUSTRIAL
“PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL”
Disusun oleh :
Aditya Putra P
C1B018070
Indah Mayang Sari
C1B018072
Maelani Safitri
C1B018076
Berliandika Muhammad EP C1B018078
Bewara Anindito Effendi
C1B018096
Naufal Hilmi P
C1B018097
JURUSAN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2020
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur Alhamdulilah kita panjatkan Kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial”.
Dalam penyusunan makalah ini kami banyak bimbingan, pengarahan dan dorongan
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak, khususnya pada guru pembimbing.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan baik dari segi internal maupun teknik penulisan. Untuk itu kami terbuka dalam
hal kritik dan saran yang membangun. Semoga makalah ini bermanfaat bagi diri kami
masing-masing khususnya, dan para pembaca umumnya.
Purwokerto, 27 Desember 2020
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat atau perselisihan
pengusaha dengan pekerja dan atau dengan serikat pekerja berkaitan dengan syarat-syarat
kerja seperti pemenuhan hak-hak pekerja dan atau serikat pekerja, harapan atau kepentingan
pekerja, dan pemutusan hubungan kerja, serta perselisihan antar serikat pekerja di satu
perusahaan. Dengan kata lain, perselisihan hubungan industrial pada dasarnya mencakup :
a. Perselisihan hak,
b. Perselisihan kepentingan,
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
d. Perselisihan antar serikat pekerja.
Perselisihan hak adalah perselisihan pengusaha dengan pekerja dan atau serikat
pekerja, karena pengusaha dianggap tidak melakukan kewajibannya memenuhi hak pekerja
sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama atau peraturan perundang-undangan.
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan pengusaha dengan pekerja dan atau
serikat pekerja karena mereka tidak mencapai kesepakatan mengenai pembuatan atau
perubahan syarat-syarat kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan pengusaha dengan pekerja
dan atau serikat pekerja karena mereka tidak mencapai kesepakatan atas tindakan atau
rencana pengusaha memberhentikan atau memutuskan hubungan kerja dengan pekerja.
Perselisihan antar serikat pekerja adalah perselisihan antar satu atau beberapa serikat
pekerja dengan serikat pekerja lain di dalam satu perusahaan karena mereka tidak mencpai
kesepakatan antara lain mengenai keanggotaan dan atau mengenai pelaksanaan hak dan
kewajiban serikat pekerja.
Perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan pemutusan hubungan
kerja pada umumnya timbul karena pengusaha dengan pekerja dan atau serikat pekerja tidak
berhasil menyelesaikan keluhan, aspirasi, harapan, kepentingan, serta tuntutan menyangkut
hak dan kewajiban pekerja secara bipartit, sehingga memerlukan keterlibatan atau bantuan
pihak ketiga untuk menyelesaikannya, mediator atau konsilator atau arbiter, atau lebih lanjut
ke panitia penyelesaian perselisihan atau pengadilan.
Sesuai dengan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara bipartit di tingkat perusahaan,
sesuai dengan jenis perselisihannya dapat diselesaikan melalui bantuan pihak ketiga yaitu
arbiter, konsilator, atau mediator. Perselisihan yang tidak dapat diselesaikan konsilator atau
mediator, dilanjutkan untuk diselesaikan di Pengadilan Hubungan Industrial yang
merupakan pengganti dari penyelesaian perselisihan melalui Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan (P4) sesuai dengan UU No. 22 tahun 1957 dan UU No. 12 tahun
1964. Kedua undang-undang ini sudah dicabut melalui UU No. 22 tahun 2004, namun perlu
diuraikan untuk memahami perkembangan hukum di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Undang-Undang apa saja yang mengatur mengenai penyelesaian
permasalahan?
2. Apa itu pemogokan dan penutupan perselisihan ?
3. Bagaimana jalan panjang menuju keadilan ?
4. Bagaimana penerapan dan penegakan hukum dalam penyelesaian
perselisihan?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui Undang-Undang yang mengatur mengenai penyelesaian
permasalahan
2. Untuk mengetahui tentang pemogokan dan penutupan perselisihan
3. Untuk mengetahui jalan panjang menuju keadilan
4. Untuk mengetahui penerapan dan penegakan hukum dalam penyelesaian
perselisihan
BAB 2
PEMBAHASAN
A.
UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1957 DAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 12 TAHUN 1964
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial selalu menekankan peranan Lembaga
Kerjasama Bipartit . Masalah hubungan industrial yang tidak terselesaikan secara bipartit
terpaksa melibatkan atau membutuhkan campur tangan pihak ketiga seperti dikemukakan di
atas. Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 menekankan supaya setiap masalah dan
perselisihan dapat diselesaikan secara damai dengan jalan perundingan di tingkat bipartit.
Kesepakatan yang dicapai melaui perundingan tersebut dapat dirumuskan dalam bentuk
perjanjian kerja bersama.
Bila penyelesaian secara bipartit tidak tercapai, maka bagi pengusaha dan pekerja dan
atau serikat pekerja terbuka alternatif penyelesaian yaitu melaui arbitrase oleh juru pemisah
atau melalui jasa perantaraan oleh pegawai perantara. Atas kesepakatan bersama, pengusaha
dan serikat pekerja dapat meilih arbitrase tertentu untuk menyelesaikan kasus mereka.
Bila kedua belah pihak tidak sepakat memilih arbitrase, salah satu atau secara beramasama dapat meminta bantuan perantaraan dari pegawai perantara. Pegawai perantara paling
lambat 7 hari setelah menerima pemberitahuan, mengupayakan pendekatan dan memajukan
anjuran kepada pengusaha dan pimpinan serikat pekerja untuk disepakati. Bila pengusaha
dan serikat pekerja sepakat menerima anjuran pegawai perantara tersebut, kesepakatan
dimaksud dituangkan dalam perjanjian kerja bersama.
Bila pengusaha dan serikat pekerja tidak sepakat untuk menrima anjuran pegawai
pearantara, alternatif penyelesaian perselisihan adalah pertama, melalui Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) Daerah dan atau P4 Pusat atau, kedua, dengan
cara pemaksaan sepihak melalui pemogokan atau penutupan perusahaan (lock-out).
Serikat pekerja dapat merencanakan pemogokan bila :
a. Telah dilakukan perundingan yang intensif dengan pengusaha, dengan sepengetahuan
atau diperentarai pegawai perantara, akan tetapi sangat diragukan kesepakatan, atau
b. Permintaan serikat pekerja untuk berunding dalam 2 kali 2 miinggu tidak diindahkan
atau telah ditolak oleh pengusaha.
Rencana pemogokan tersebut harus diberitahukan secara tertulis kepada pengusaha
dan kepada P4D dilengkapi dengan isi tuntutan dan bukti kegagalan upaya perundingan.
Bila syarat tersebut dipenuhi, P4D dalam maksimum 7 hari menerbitkan tanda terima
pemberitahuan rencana mogok. Serikat pekerja dapat melakukan pemogokan hanya bila
setelah menerima tanda terima pemberitahuan tersebut.
Pengusaha dapat merencanakan penutupan perusahaan (lock-out) hanya bila dapat
dibuktikan upaya perundingan yang gagal. Rencana tersebut harus diberitahukan kepada
serikat pekerja dan P4D. rencana penutupan perusahaan dapat dilakukan hanya bila P4D
menerbitkam tanda terima pemberitahuan rencana lock-out.
Pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja oleh pengusaha
menjadi perselisihan industry bila pekerja atau serikat pekerja tidak dapat dengan sukarela
menerima PHK tersebut. Undang-undang No. 12 tahun 1964 mensyaratkan pengusaha harus
terlebih dahulu minta izin kepada P4D atau P4P untuk memberhentikan pekerja.
1.
Pegawai Perantara
Pegawai perantara adalah pegawai negeri yang ditunjuk oleh Menteri di bidang
ketenagakerjaan untuk memberikan perantaraan dalam perselisihan pengusaha dengan
serikat pekerja. Bila pengusaha dan serikat pekerja tidak berhasil menyelesaikan
perselisihan secara bipartit dan mereka tidak sepakat menyelesaikannya dengan
memilih dan melalui juru pemisah, maka mereka atau salah satu dari mereka dapat
memberitahukan dan minta bantuan pegawai perantara untuk memperantarai.
Paling lambat 7 hari setelah pemberitahuan tersebut, pegawai perantara harus
sudah memulai memperantarai perselisihan dimaksud. Pegawai perantara yang
bersangkutan pertama-tama menganjurkan pengusaha dan pimpinan serikat pekerja
untuk kembali berunding secara bipartit. Bila satu atau kedua belah pihak tidak setuju
untuk berunding, pegawai perantara mulai mempelajari kasus, menghimpun informasi
dari pengusaha dan serikat pekerja, menganalisanya, mempertemukan pengusaha dan
pimpinan serikat pekerja, kemudian menyusun dan mengajukan saran untuk diterima
pengusaha dan serikat pekerja.
Pengusaha dan serikat pekerja dapat menyepakati menerima saran pegawai
perantara secara keseluruhan atau setelah melakukan beberapa amandemen. Hasil
kesepakatan tersebut dirumuskan dalam bentuk Perjanjian Kerja Bersama, sehingga
mengikat kedua belah pihak.
Bila pengusaha dan atau serikat pekerja menolak saran pegawai perantara, maka
pegawai perantara yang bersangkutan dapat menganjurkan kedua pihak yang berselisih
memilih juru pemisah atau dewan pemisah atau arbitrase, atau melaporkanya kepada
dan meminta P4D untuk menyelesaikannya.
2.
Juru Pemisah
Juru pemisah atau dewan pemisah atau arbitrase adalah orang atau badan yang
bersifat bebas dan tidak memihak (independent), berfungsi menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial antara pengusaha dan serikat pekerja atas permintaan kedua pihak
yang berselisih.
Atas kesepakatan bersama atau atas anjuran pegawai perantara, pemgusaha dan
serikat pekerja dapat memilih dan meminta salah satu dari juru pemisah atau dewan
pemisah untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Untuk itu, pengusaha dan serikat
pekerja di hadapan pegawai perantara atau P4D membuat perjanjian yang memuat :
a. Pokok-pokok perselisihan yang diserahkan untuk diselesaikan juru/dawn
pemisah;
b. Nama-nama wakil serikat pekerja dan pengusaha serta tempat dan kedudukan
mereka masing-masing;
c. Penunjukan nama dan tempat tinggal juru/dewan pemisah;
d. Pengunduran diri atas keputusan juru/dewan pemisah;
e. Hal-hal yang memperlancar proses penyelesaian.
Keputusan juru/dewan pemisah bersifat final, wajib dilaksanakan oleh kedua belah
pihak yang berselisih, tidak boleh diajukan untuk diperiksa ulang. Untuk memperoleh
kekuatan hokum dalam rangka eksekusi, keputusan juru/dewan pemisah dapat disahkan
oleh P4P. P4P tidak dapat mengubah atau mengamandemen keputusan juru/dewan
pemisah, akan tetapi P4P dapat menolak pengesahan keputusan juru/dewan pemisah
hanya bila keputusan juru/dewan pemisah melampaui kewenangannya, atau memuat
itikad buruk, atau bertentangan dengan Undang-undang tentang ketertiban umum atau
dengan kesusilaan.
3. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah atau P4D didirikan di tingkat
provinsi atau mencakup beberapa kabupaten untuk menyelesaika perselisihan hubungan
industrial. P4D terdiri dari wakil-wakil tripartit, yaitu 5 orang wakil Pemerintah, 5 orang
wakil Serikat Pekerja dan 5 orang wakil Asosiasi Pengusaha. Wakil unsur Pemerintah
terdiri dari wakil Departemen Tenagakerja sebagai Ketua merangkap anggota, wakil-
wakil Departemen Perindustrian, Departemen Keuangan, Departemen Pertanian dan
Departemen Perhubungan. Ketua dan anggota P4D diangkat oleh Menteri yang
membidangi ketenagakerjaan. Menurut kebutuhaan daerah setempat, Menteri dapat pula
mengangkat anggota pengganti di beberapa P4D.
a.
Perselisihan Kepentingan
Sebagaimana dikemukakan di atas, perselisihan kepentingan timbul bila
pengusaha tidak bersedia atau tidak mampu memenuhi tuntutan serikat pekerja atas
perbaikan sayarat kerja. Dalam menyelesaikan perselisihan kepentingan tersebut,
P4D melaksanakan fungsi-fungsi berikut ini.
-
Pertama, P4D menerima pelimpahan kasus perselisihan yang tidak dapat
diselesaikan oleh pegawai perantara, dan kemudian mempelajarinya.
-
Kedua, P4D menghubungi pengusaha dan pimpinan serikat pekerja dan
meminta mereka kembali menyelesaikan perselisihan secara damai, dengan atau
tanpa pemerantaraan P4D. bila pengusaha dan serikat pekerja mencapai
kesepakatan, maka kesepakatan tersebut dirumuskan dalam bentuk dan
mempunyai kekuatan hokum sebagai Perjanjian Kerja Bersama.
-
Ketiga, bila anjuran penyelesaian secara damai ditolak olej pengusaha dan atau
serikat pekerja, atau bila kedua pihak yang berselisih tidak menghasilkan
kesepakatan, P4D menghimpun sebanyak mungkin bahan dan informasi
tambahan yang diperlukan untuk pembahasan dan pengambilan keputusan yaitu :
1) Melalui pegawai perantara;
2) Dengan mengundang pengusaha dan serikat pekerja secara terpisah atau
secara bersama-sama;
3) Dengan membentuk Panitia Angket atau Enquete yang bertugas secara
khusus menghimpun bahan dan keterangan yang dibutuhkan.
-
Keempat, berdasarkan bahan-bahan yang telah dihimpun, P4D melakukan
sidang-sidang untuk membahas kasus perselisihan dimaksud dengan atau tanpa
menghadirkan pihak-pihak yang berselisih. Bila dianggap perlu, P4D dapat
menghadirkan saksi-saksi dalam persidangan tersebut.
-
Kelima, dengan mempergunakan segala daya upaya dalam membahas kasus
perselisihan, berlandaskan hukum, perjanjian, keadilan dan kepentingan Negara,
P4D mengambil keputusan baik berupa anjuran maupun keputusan yang
mengikat. Keputusan tersebut antara lain memuat :
1) Nama pengusaha dan seikat pekerja serta tempat kedudukan mereka
2) Ikhtisar tuntutan, laporan pegawai perantara, dan penjelasan kedua belah
pihak
3) Pertimbangan yang menjadi dasar pengambilan keputusan
4) Isi keputusan
5) Tempat dan tanggal pengambilan keputusan yang ditandatangani oleh
Ketua dan Panitera P4D
-
Keenam, paling lama dalam 7 hari setelah surat keputusan P4D diselesaikan,
P4D harus menyerahkan salinan surat keputusan tersebut kepada pihak-pihak
yang berselisih malalui surat tercatat atau diantarkan secara langsung. Bila
pengusaha dan atau serikat pekerja berkeberatan menerima dan melaksanaakn
keputusan P4D, maka dia atau mereka masing-masing dapat meminta P4D
melakukan pemeriksaan ulang (banding) terhadap kasus perselisihan dimaksud
dalam 14 hari setelah menerima keputusan P4D.
Penyelesaian Perselisihan Berdasarkan UU No. 22 Tahun 1957
Permintaan banding tersebut disampaikan melalui Pamitra P4D. Bila dalam 14 hari
tersebut pengusaha dan atau serikat pekerja tidak mengajukan permohonan banding,
maka kedua belah pihak wajib mematuhi dan melaksanakan keputusan P4D.
b.
Rencana Pemaksaan Sepihak
Sebagaimana telah dijelaskan di depan, serikat pekerja atau pengusaha yang
merencanakan upaya pemaksaan sepihak berupa pemogokan atau penutupan
perusahaan, yang bersangkutan wajib memberitahukan rencana tersebut kepada P4D
dan pihak lawan berselisih.
Segera setelah menerima surat pembertahuan tersebut, P4D pertama-tama
harus segera meneliti bahwa kedua belah pihak betul-betul sudah melakukan upaya
maksimal namun tidak menghasilkan kesepakatan.
Kedua, untuk memberikan keyakinan atas upaya maksimal tersebut, P4D dapat
membentuk Panitia Angket untuk menghimpun informasi yang diperlukan.
Ketiga, setelah meyakini bahwa kedua belah pihak telah melakukan upaya
perundingan secara maksimal, P4D memberikan tanda terima pemberitahuan kepada
pihak-pihak yang berselisih. Tindakan oemaksaan sepihak dapat dilakukan, hanya
setelah memperoleh tanda terima dari P4D dimaksud.
Bila P4D berkesimpulan bahwa pihak yang merencanakan tindakan
pemaksaan ternyata belum melakukan upaya maksimal, P4D perlu memberitahukan
hal tersebut dan menganjurkan yang bersangkutan melanjutkakn upaya perundingan.
Selama P4D melakukan pendekatan dimaksud dan Panitia Angket melakukan
tugasnya, rencana pemaksaan sepihak (pemogokan atau penutupan perusahaan)
belum boleh dilaksanakan.
c. Pemutusan Hubungan Kerja
Sebagaimana dikemukakan di atas, untuk pemberhentian kurang dari 10 orang
pekerja, pengusaha harus mengajukan permohonan izin dari P4D pertama-tama
menganjurkan pengusaha menyelesaikannya secara bipartit. Kedua, bila anjuran
penyelesaian secara bipartit tidak berhasil, P4D menghimpun informasi yang
diperlukan baik dari pengusaha maupun dari pekerja. Ketiga, setelah membahas
kasus dengan seksama, P4D menerbitkan keputusan yang antara lain memuat :
1) Alasan-alasan pengusaha mengajukan PHK
2) Penjelasan dari pihak pekerja
3) Pertimbangan-pertimbangan dalam pengambillan keputusan
4) Isi keputusan yang dapat berupa :
a) Penolakan memberikan izin PHK yang berarti tetap mempekerjakan
pekerja seperti biasa
b) Penolakan memberikan izin PHK dengan anjuran atau kewajiban tertentu
kepada pengusaha dan atau kepada pekerja
c) Persetujuan
memberi
izin
PHK
dengan
kewajiban
pengusaha
membayarkan uang masa kerja, uang ganti rugi, dengan atau tanpa uang
pesangon
Sama halnya dengan perselisihan kepentingan, pihak-pihak yang keberatan
dengan keputusan P4D, dalam maksimum 14 hari dapat mengajukan banding ke
P4D melalui Panitra P4D.
4. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat
Sama halnya dengan P4D, anggota P4P juga terdiri dari wakil-wakil ketiga unsur
tripartit, yaitu 5 orang wakil Pemerintah, 5 orang wakil pengusaha dan 5 orang wakil
serikat pekerja. Wakil Pemerintah terdiri dari pejabat Departemen Tenagakerja sebagai
Ketua merangkap anggota, serta masing-masing satu orang pejabat dari Departemen
Perindustrian,
Departemen
Keuangan,
Departemen
Pertanian,
dan
Departemen
Perhubungan. Mereka diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Bila dipandang perlu,
Presiden dapat juga mengangkat 5 orang anggota pengganti dari masing-masing unsur.
Pemilihan anggota dan anggota pengganti dari masing-masing unsur diupayakan supaya
mencerminkan permasalahan hubungna industrial yang pada umumnya dihadapi. Peranan
tugas –utama P4P adalah sebagai berikut ini :
-
Pertama, P4P menerima dan mengagendakan penyelesaian kasus perselisihan yang
dibanding di tingkat P4D, baik perselisihan kepentingan maupun perselisihan
pemutusan hubungna kerja.
-
Kedua, menerima surat pengajuan pengusaha untuk izin memberhentikan 10 orang
pekerja atau lebih.
-
Ketiga, P4P dapat menarik untuk diselesaikan sendiri perselisihan yang sedang
ditangani pegawai perantara atau P4D, bila perselisihan tersebut dianggap
membahayakan kepentingan negara atau kepentingan umum.
-
Keempat, P4P menghimpun informasi sebanyak yang diperlukan, baik dengan
mengudang pihak-pihak yang berselisih maupun dengan membentuk Panitia Angket.
-
Kelima, berdasarkan bahan-bahan yang telah dihimpun, P4P melakukan sidangsidang pembahasan perselisihan dimaksud, dengan atau tanpa menghadirkan pihakpihak yang berselisih. Bila dianggap perlu, P4P dapat menghadirkan saksi-saksi.
-
Keenam, setelah melaukan sidang-sidang pembahasan, berlandaskan hukum,
perjanjian, kebiasaan, keadilan, dan kepentingan Negara, P4P mengambil keputusan
mengikat. Surat keputusan tersebut antara lain memuat :
a.
Nama pihak-pihak yang berselisih (pengusaha dan serikat pekerja atau pekerja)
serta tempat kedudukan mereka
b.
Ikhtisar tuntutan atau pokok hal yang diperselisihkan
c.
Ikhtisar informasi dan penjelasan yang dihimpun dari berbagai sumber
d.
Pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan
e.
Isi keputusan
f.
Tempat dan tanggal pengambilan keputusan yang ditandatangani Ketua dan
Panitra P4P
-
Ketujuh, Panitra P4P menyerahkan surat keputusan P4P kepada pihak-pihak yang
berselisih. Menteri Tenagakerja dapat membatalkan atau menunda pelaksanan putusan
P4P bila dianggap perlu untuk melindungi kepentingan umum dan atau kepentingan
negara. Bila dalam waktu 14 hari setelah pengambilan keputusan P4P Menteri tidak
membatalkan atau menunda pelaksanaannya, pihak-pihak yang berselisih wajib
melaksanakan keputusan P4P tersebut.
5. Veto Menteri
Menteri Tenagakerja dapat membatalkan atau menunda pelaksanaan keputusan
P4P bila pelaksanaan keputusan P4D tersebut dianggap dapat menimbulkan ancaman
terhadap ketertiban umum dan kepentingan Negara. Keputusan atau Veto seperti itu
dapat dilakukan setelah Menteri Tenagakerja berkonsultasi dengan Menteri-Menteri
terkait yang mempunyai perwakilan duduk di P4P, dan harus dilakukan paling lambat 14
hari setelah keputusan P4P.
Inisiatif pembatalan atau penundaan pelaksanaan kepuutsan P4P pada dasarnya
datang dari Menteri Tenagakerja sendiri, bukan karena upaya banding dari pihak-pihak
yang berselisih. Namun sejak awal tahun 1980-an, semakin banyak pihak yang berselisih
yang tidak puas dengan keputusan P4P memintakan Veto Menteri. Dalam rangka
menganggapi permintaan tersebut, Menteri membentuk Tim Antar Departemen untuk
menganalisis kepuutsan P4P dan permintaan veto, guna selanjutnya memberikan saran
kepada Menteri.
Dalam surat keputusan pembatalan atu penundaan pelaksanaan keputusan P4P,
Menteri mengatur penyelesaian akibat pembatalan atau penundaan keputusan P4P
tersebut.
B.
PEMOGOKAN DAN PENUTUPAN PERUSAHAAN
Seperti diuraikan di atas, sebagai upaya terakhir mengatasi kebuntuan dalam
perundingan antara serikat pekerja dan pengusaha dalam penyelesaian hubungan industrial,
serikat pekerja dapat memilih cara pemaksaan dengan melakukan pemogokan atau
pengusaha melakukan pemaksaan melalui penutupan perusahaan. Pemogokan adalah upaya
serikat pekerja untuk menekan dan memaksa pengusaha menerima tuntutan serikat pekerja.
Dengan mogok, proses produksi akan berhenti, pengusaha akan mengalami kerugian. Untuk
menghindari menanggung kerugian yang semakin besar, pengusaha diharapkan memilih
untuk memenuhi tuntutan serikat pekerja.
Penutupan (lock-out) adalah upaya pengusaha untuk menekan dan memaksa serikat
pekerja menerima syarat-syarat kerja yang ditawarkan pengusaha. Selama penutupan
perusahaan, proses produksi memang berhenti, namun pekerja tidak memperoleh ipah dan
jaminan sosial dari pengusaha. Untuk tetap memperoleh penghasilan, serikat pekerja
diharapjan bersedia menerima syarat kerja yang ditawarkan pengusaha.
Selama melakukan pemogokan, pekerja memang
tidak menerima upah dari
pengusaha. Di negara maju dengan keuangan serikat pekerja yang kuat, serikat pekerja
memberikan kompensasi upah kepada pekerja. Bila dana serikat pekerja tidak kuat, pekerja
sendiri harus siap untuk tidak menerima penghasilan apa-apa selama melakukan
pemogokan.
Dengan demikian, baik pemogokan maupun penutupan perusahaan, sama-sama
merugikan pengusaha dan pekerja dan selanjutnya merugikan masyarakat umum dan
negara. Oleh sebab itu, serikat pekerja dan pengusaha selalu dianjurkan untuk tidak memilih
cara tersebut akan tetapi melanjutkan dan mnegintensifkan negosiasi atau perundingan. Itu
pula sebabnya pihak yang bermaksud melaksanakan tindakan pemaksaan sepihak (mogok
atau menutup perusahan) harus terlebih dahulu melalui jalur panjang yaitu:
a.
Mambuktikan upaya perundingan telah sungguh-sungguh dilakukan dan sudah
menghadapi jalan buntu
b.
Memberitahukan rencana pemogokan atau penutupan perusahaan kepada Dinas
Ketenagakerjaan setempat dengna tembusan kepada pengusaha/serikat pekerja.
c.
Tidak boleh melakukan tindakan pemogokan atau penutupan perusahaan :
 Sebelum menerima surat tanda terima pemberitahuan rencana dari Dinas
Ketenagakerjaan
 Selama Dinas Ketenagakerjaan masih melakukan upaya mediasi memoertemukan
serikat pekerja dan pengusaha melanjutkan perundingan
1.
Pemogokan
Pada awal revolusi industri kondisi kerja memang relatif buruk. Waktu kerja sangat
panjang melebihi 10 jam per hari, upah rendah, jaminan sosial hampir tidak ada, sarana dan
perlindungan, keselamatan dan kesehatan kerja sangat sederhana serta perlindungan politik
sangat terbatas. Orientasi pengusaha terfokus pada akumulasi sebanyak mungkin
keuntungan, kesadaran pengusaha untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja sangat rendah,
campur tangan pemerintah dalam pengaturan syarat kerja sangat terbatas. Dengan demikian
mudah dipahami bahwa serikat pekerja cenderung untuk menggunakan cara pemogokan
untuk memaksa pengusaha memenuhi tuntutan serikat pekerja.
Melalui perjuangan serikat pekerja, masyarakat internasional seperti ILO secara
bertahap memberikan perhatian yang lebih besar dan menetapkan berbagai Konvensi dan
Rekomendasi guna meningkatkan perlindungan pekerja, antara lain mengenai pengaturan
jam kerja dan waktu istirahat, hak cuti, pemeliharaan keselamatan dan kesehatan kerja,
ketentuan upah minimum, jaminan sosial, hak bernegosiasi dan beruding bersama, dan lainlain. Demikian juga setiap negara di dunia sudah memiliki serangkaian peraturan
perundang-undangan yang memuat jaminan dan perlindungan hak-hak pekerja. Dengan
demikian, baik pemogokan maupun penutupan perusahaan, sama-sama merugikan
pengusaha dan pekerja dan selanjutnya merugikan masyarakat umum dan negara. Oleh
sebab itu serikat pekerja dan pengusaha selalu dianjurkan untuk tidak memilih cara tersebut
akan tetapi melanjutkan dan mengintensifkan negosiasi atau perundingan. Itu pula sebabnya
pihak yang bermaksud melaksanakan tindakan pemaksaan sepihak (mogok atau menutup
perusahaan) harus terlebih dahulu melalui jalur panjang yaitu :
a.
Membuktikan upaya perundingan telah sungguh-sungguh dilakukan dan sudah
menghadapi jalan buntu
b.
Memberitahukan rencana pemogokan atau penutupan perusahaan kepada dinas
ketenagakerjaan setempat dengan tembusan kepada pengusaha atau serikat pekerja
c.
Tidak boleh melakukan tindakan pemogokan atau penutupan perusahaan :
- Sebelum menerima surat tanda terima pemberitahuan rencana dari dinas
ketenagakerjaan
- Selama dinas ketenagakerjaan masih melakukan upaya mediasi mempertemukan
serikat pekerja dan pengusaha melanjutkan perundingan.
Pada awal revolusi industri kondisi kerja memang relatif buruk. Waktu kerja sangat
panjang melebihi 10 jam perhari upah rendah, jaminan sosial hampir tidak ada, sarana dan
perlindungan, keselamatan dan kesehatan kerja sangat sederhana serta perlindungan politik
sangat terbatas. Orientasi pengusaha terfokus pada akumulasi sebanyak mungkin
keuntungan, kesadaran pengusaha untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja sangat rendah
campur tangan pemerintah dalam pengaturan syarat kerja sangat terbatas. dengan demikian
mudah dipahami bahwa serikat pekerja cenderung untuk menggunakan cara pemogokan
untuk memaksa pengusaha memenuhi tuntutan serikat pekerja.
Mulai perjuangan serikat pekerja, masyarakat internasional seperti ILO secara
bertahap memberikan perhatian yang lebih besar dan menetapkan berbagai konvensi dan
rekomendasi guna meningkatkan perlindungan pekerja, antara lain mengenai pengaturan
jam kerja dan waktu istirahat, hak cuti, pemeliharaan keselamatan dan kesehatan kerja
ketentuan upah minimum, jaminan sosial, hak berorganisasi dan berunding bersama, dan
lain-lain. demikian juga setiap negara di dunia sudah memiliki serangkaian peraturan
perundang-undangan yang memuat jaminan dan perlindungan hak-hak pekerja.
Bersamaan dengan peningkatan perlindungan tersebut, pekerja dan pengusaha
semakin memahami bahwa hak pekerja dapat dilaksanakan hanya sebagai alternatif terakhir,
yaitu bila upaya-upaya lain tidak menghasilkan kesepakatan. Sebagaimana diuraikan di atas,
pemogokan dimaksudkan untuk memaksa pengusaha memenuhi tuntutan serikat pekerja
karena dengan pemogokan proses produksi akan berhenti dan pengusaha akan merugi.
Di pihak lain, dengan melakukan pemogokan, pekerja tidak menerima upah dari
pengusaha. oleh sebab itu apa serikat pekerja yang memobilisasikan pemogokan wajib
memberikan kompensasi kepada pekerja atas upah yang tidak diterima. Besar kompensasi
sangat tergantung pada kemampuan dana organisasi bila dana organisasi sangat terbatas
maka setiap pekerja akan menerima kompensasi kurang dari upah setiap bulan atau sama
sekali tidak menerima kompensasi upah. Dengan kata lain, pemogokan juga menuntut
pengorbanan pekerja dan serikat pekerja. Oleh sebab itu, setiap rencana pemogokan
biasanya harus merupakan konsensus atau terlebih dahulu mendapatkan dukungan
mayoritas pekerjaan. pekerja dan serikat pekerja harus memperhitungkan berapa lama
mereka mampu bertahan mogok tanpa menerima upah. Selama melakukan pemogokan
pekerja tidak diperkenankan bekerja di tempat lain. Segera setelah serikat pekerja
merencanakan
pemogokan
dan
selama
melakukan
pemogokan
pengusaha
tidak
diperkenankan melakukan pembalasan berupa memberhentikan pekerja untuk kemudian
merekrut pengganti mereka.
Selama pemogokan, pengusaha dan serikat pekerja, sambil berlomba daya tahan,
dapat melakukan pendekatan untuk mencapai titik kompromi. Pemogokan pada dasarnya
dapat dilakukan tanpa limit waktu. Pemogokan berakhir bila suatu pihak mengalah yaitu
bila pengusaha memenuhi tuntutan serikat pekerja atau serikat pekerja menarik kembali
tuntutannya, atau bila kedua belah pihak mencapai kesepakatan kompromi baru.
Pemogokan yang berkepanjangan bukan saja merugikan pengusaha dan menimbulkan
penderitaan pekerja, akan tetapi dapat merugikan kepentingan umum. Untuk menghindari
kegiatan masyarakat yang terlalu besar pemerintah dapat melakukan intervensi yaitu dengan
membawa kedua belah pihak ke meja perundingan dan atau menawarkan titik Kompromi.
Menyadari pengorbanan dan kerugian yang demikian besar, sejak semula, semua pihak,
pengusaha dan serikat pekerja dan pemerintah harus menghindari pemogokan.
a. Pemogokan sebagai upaya terakhir
Sebagaimana dikemukakan di atas, pemogokan adalah upaya terakhir dari
serikat pekerja untuk memaksa pengusaha memenuhi tuntutan pekerja setelah
berbagai upaya lainnya tidak berhasil seperti perundingan-perundingan dan jasa
pegawai perantara atau mediasi. Harus dapat dibuktikan bahwa serangkaian
pertemuan dengan pengusaha telah melakukan akan tetapi tidak mendatangkan hasil
atau bahwa serikat pekerja dalam paling sedikit dua kali dalam 2 minggu setelah
berkali-kali mengundang pengusaha untuk berunding tetapi tidak bersedia memenuhi
tawaran atau undangan serikat pekerja.
b. Pemogokan harus didukung seluruh anggota Pemogokan menuntut pengorbanan
pekerja. Pemogokan berdampak ketidakpastian penghasilan bekerja. oleh sebab itu
untuk mengambil keputusan merencanakan pemogokan serikat pekerja harus
mendengarkan pendapat anggota-anggotanya. Rencana pemupukan harus diputuskan
secara konsensus oleh seluruh anggota. Bila serikat pekerja berkeras memobilisasi
pemogokan didukung oleh sebagian anggota pekerja lain tidak boleh dipaksa Ikut
Moko baik yang sudah anggota serikat pekerja apalagi yang bukan anggota serikat
pekerja. Dalam hal demikian pengusaha dapat tetap melanjutkan produksi dengan
mengandalkan pekerja yang tidak mogok. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan
tekanan terhadap pengusaha serikat pekerja harus mampu memobilisasi sebanyak
mungkin pekerja.
c. Pemogokan harus direncanakan dan diinformasikan
Keputusan melakukan pemogokan harus disusun dalam satu rencana pemupukan
yang antara lain memuat isi tuntutan serikat pekerja alasan untuk menggelar
pemogokan, bentuk kegiatan yang akan dilaksanakan, dan waktu memulai
pemogokan. rencana pemogokan juga secara implisit memuat tanggung jawab serikat
pekerja terhadap anggota yang ikut mogok kerja. Rencana pemogokan harus
diinformasikan kepada pengusaha dan kepada P4D, dengan melampirkan bukti-bukti
bahwa:
- Setelah dilakukan serangkaian perundingan tetapi tidak membuahkan hasil atau
- Dalam 2x2 Minggu, pengusaha menolak berunding dengan serikat pekerja.
Dalam sekitar 1 minggu, dinas ketenagakerjaan diharapkan telah memberikan
tanda terima pemberitahuan kepada serikat pekerja. Serikat pekerja dapat menggelar
pemogokan setelah menerima tanda pemberitahuan tersebut. Dengan kata lain dapat
disimpulkan bahwa serikat pekerja dapat menggelar pemogokan paling cepat 1
minggu setelah pemberitahuan rencana pemogokan. Dalam jangka waktu tersebut,
pengusaha, serikat pekerja dan pemerintah dapat melakukan pendekatan mencapai
penyelesaian sehingga rencana pemogokan tidak jadi dilaksanakan.
d. Penundaan rencana mogok
Untuk
memperkecil
kesempatan
melakukan
pemogokan,
dinas
ketenagakerjaan setelah menerima pemberitahuan rencana pemogokan biasanya tidak
langsung memberikan bukti tanda terima pemberitahuan. dinas ketenagakerjaan
biasanya menghimpun informasi bahkan bila dianggap perlu membentuk panitia
angket untuk menghimpun informasi guna membuktikan bahwa serikat pekerja telah
melakukan upaya maksimal melalui itikad baik dan perundingan. selama
menghimpun
informasi
atau
panitia
angket
melakukan
tugasnya,
dinas
ketenagakerjaan dapat mengajukan kasus perselisihan ke pengadilan hubungan
industrial untuk menetapkan dan memerintahkan serikat pekerja menunda niatnya
menggelar pemogokan.
Dalam kenyataannya, baik p4d dulu maupun pengadilan hubungan industrial
sekarang ini belum pernah menerbitkan tanda terima pemberitahuan tersebut, karena
mereka biasanya justru mengajak kedua belah pihak untuk berunding. Dengan kata
lain, semua pemogokan yang dilakukan terutama sebelum pemberlakuan UU no. 2
tahun 2004 tidak memenuhi tata prosedur yang diatur kan.
e. Kewajiban serikat pekerja membayar kompensasi
Selama bekerja melakukan pemogokan, pengusaha tidak wajib membayar upah
mereka. oleh sebab itu serikat pekerja yang menggelar pemogokan seogiannya
membayar kompensasi bagi pekerja yang ikut mogok. namun di Indonesia, serikat
pekerja pada umumnya belum mampu membayar kompensasi bagi anggotanya.
Sebaliknya pengurus cabang, pengurus daerah atau pengurus pusat serikat pekerja
yang menggalang pemogokan mengambil balas jasa sekitar 10% sampai 20% dari
hasil tuntutan pekerja. hal itu membuat penyelesaian perselisihan sering menjadi
tambah sulit. Sementara pekerja sudah dapat menerima tawaran pengusaha serikat
pekerja sering bertahan dengan tuntutan yang terlalu tinggi untuk mengharapkan
bagian yang lebih besar.
f. Pengusaha tidak boleh melakukan pembalasan
Selama
serikat
pekerja
menggelar
pemogokan,
pengusaha
dapat
memberhentikan seluruh proses produksi rumah atau dapat meneruskan produksi bila
sebagian pekerja memutuskan tetap bekerja titik pengusaha tidak diperbolehkan
melakukan tindakan pembalasan berupa memberhentikan mereka yang mogok dan
merekrut pekerja baru.
Bila pengusaha merasa tidak mampu memenuhi tuntutan serikat pekerja dan
memutuskan untuk menutup perusahaan maka maksud tersebut harus segera
diinformasikan kepada serikat pekerja dan dinas ketenagakerjaan titik pekerja akan
kehilangan pekerjaannya dan terpaksa mencari pekerjaan baru. pengusaha tidak
diperbolehkan kembali melanjutkan usaha yang sama di lokasi yang sama.
g. Dampak pemogokan
Sebagaimana diuraikan diatas tanpa mengurangi nilai pemogokan sebagai hak dan
alat perjuangan pekerja dan serikat pekerja pemogokan hanya membawakan kerugian
bagi pekerja pengusaha dan masyarakat.Misalkan serikat pekerja mampu bertahan
mogok dalam waktu yang relatif lama sehingga pengusaha terpaksa mengalah dan
memenuhi tuntutan serikat pekerja. namun akibat pemogokan tersebut dan tambahan
beban yang harus dikeluarkan pengusaha untuk memenuhi tuntutan serikat pekerja,
pengusaha akan menanggung rugi atau hanya mampu memperoleh margin
keuntungan yang kecil. Dengan kondisi yang demikian tahun berikutnya serikat
pekerja tidak mungkin lagi layak mengajukan tuntutan baru. Kalau serikat pekerja
tetap memaksakan tuntutan baru, perusahaan akan bangkrut dan semua akan
kehilangan pekerjaan.
Angka pemogokan di Indonesia termasuk tinggi dan cenderung untuk terus
meningkat terutama sejak awal tahun 1990-an, pemogokan meningkat dari 61 kasus
dalam tahun 1990 menjadi 273 kasus dalam tahun 2000. Pekerja yang terlibat dalam
pemupukan bertambah dari 31.234 orang dalam tahun 1990 menjadi 126.045 orang
dalam tahun 2000. dalam periode tersebut jam kerja hilang meningkat dari 260 2014
jam kerja menjadi di 1,28 juta jam kerja. Dari tahun 2000 sampai tahun 2005 terjadi
penurunan, akan tetapi tahun 2006 terjadi lonjakan menjadi 282 kasus yang
melibatkan 595783 pekerja dan mengakibatkan 4,66 juta jam kerja hilang.
h. Intervensi pemerintah
Pemogokan yang berkepanjangan atau yang berakhir dengan penutupan perusahaan
bukan saja merugikan pengusaha dan pekerja akan tetapi juga mengorbankan
kepentingan umum dan negara. untuk menghindari kerugian seperti itu, pemerintah
sejak awal perselisihan perlu memfasilitasi dialog saling pengertian dan perundingan
antara pengusaha dan serikat pekerja. Pada saat kedua belah pihak menghadapi
stagnasi, pemerintah harus secara bijaksana menawarkan titik kompromi. tawaran
seperti itu dapat dituangkan dalam perjanjian bersama atau keputusan pengadilan
hubungan industrial yang wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan serikat pekerja.
2. Penutupan perusahaan
Untuk memberikan keseimbangan atas hak serikat pekerja melakukan pemogokan
pengusaha juga diberi hak untuk menutup perusahaan sebagai reaksi terhadap tuntutan
serikat pekerja yang tidak dapat dipenuhi nya. Sama halnya dengan rencana
pemogokan, pengusaha harus menyusun rencana penutupan perusahaan yang antara
lain memuat isi tuntutan serikat pekerja, alasan-alasan tidak mampu memenuhi
tuntutan tersebut dan upaya yang dilakukan untuk berunding dan dalam perundingan
dengan serikat pekerja.
Kemudian, pengusaha memberitahukan rencana tersebut kepada serikat pekerja
dan kepada dinas ketenagakerjaan dengan bukti telah melakukan upaya maksimal
berunding dengan serikat pekerja. dinas ketenagakerjaan memberikan tanda terima
pemberitahuan setelah menghimpun informasi yang diperlukan baik dengan
menghubungi langsung pihak-pihak yang berselisih dan atau dengan membentuk
panitia angket juga sebelum memberikan tanda terima tersebut, dinas ketenagakerjaan
akan melakukan pendekatan atau mediasi kepada kedua belah pihak yang berselisih
supaya berupaya mencapai titik kompromi. Bila serikat pekerja dan pengusaha samasama bertahan atau sama-sama tidak bersedia mengalah perusahaan akan ditutup,
pekerja akan kehilangan pekerjaannya. Pengusaha tidak diperbolehkan meneruskan
perusahaan di lokasi yang sama dengan merekrut pegawai baru. Tergantung pada
dampak penutupan perusahaan terhadap pengusaha dan pekerja serta terhadap
kepentingan umum pemerintah pada dasarnya dapat melakukan intervensi yaitu
dengan membawa kedua belah pihak kembali ke perundingan dan atau menawarkan
bentuk kompromi. tawaran tersebut kemudian dapat ditetapkan sebagai perjanjian
bersama atau keputusan menteri.
3. Menghindari Pemogokan dan Penutupan Perusahan
Kondisi hubungan industrial pada awal tahun 2000-an sudah jauh berbeda
dengan kondisi pada awal revolusi industri bahkan dengan kondisi hubungan
industrial pada tahun 1990-an. Pertama, ILO sebagai lembaga tripartite nasional,
terdiri dari wakil-wakil serikat pekerja, pengusaha dan Pemerintah negara-negara di
dunia, sudah menerbitkan sejumlah Konvensi dan Rekomendasi mengenai
perlindungan pekerja, yang secara moral wajib dilaksanakan di setiap negara.
Kedua, Deklarasi ILO tahun 1998 mengenai pelaksanaan hak-hak dasar
pekerja
termasuk hak berorganisasi dan berunding bersama bagi pekerja dan
pengusaha, telah memberikan dampak yang besar bagi perkembangan hubungan
industrial di seluruh dunia.
Ketiga, baik karena pengaruh ILO tersebut maupun karena gerakan serikat
pekerja di tingkat nasional, masing-masing negara sekarang ini pasti sudah memiliki
seperangkat
peraturan
perundang-undangan,
lembaga dan mekanisme kerja
melindungi para pekerja dan dunia usaha dari tindakan sewenang-wenang oleh pihak
lain. Tiap negara pasti sudah memiliki lembaga dan mekanisme dialog, perundingan
dan penyelesaian perselisihan antara pengusaha dengan pekerja dan atau serikat
pekerja.
Keempat, baik pengusaha maupun para pimpinan serikat pekerja saat ini
semakin berpikiran luas. Para pengusaha sudah menaruh perhatian pada perbaikan
kualitas hidup dan kesejahteraan pekerja. Para pimpinan serikat pekerja tidak sekedar
mengandalkan kekuatan otot akan tetapi semakin mengandalkan kemampuan
intelektual, profesionalisme, dan kemampuan negosiasi.
Kelima, semakin disadari bahwa pemogokan dan penutupan perusahaan selalu
menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Oleh sebab itu, pimpinan serikat
pekerja yang efektif dan berpengaruh bukanlah pimpinan yang mampu menggelar
demonstarasi dan pemogokan yang berkepanjangan, tetapi pemimpin yang dapat
menyelesaikan perselisihan melalui dialog dan negosiasi.
Persaingan yang semakin tajam dalam era globalisasi menuntut pengusaha dan
serikat pekerja harus sama-sama dan bergandeng tangan meningkatkan produktivitas
dan daya saing mereka, yaitu di satu pihak dengan menyempurkanan sistem kerja dan
meningkatakan kualitas sumberdaya manusia, dan di pihak lain menghindari segala
bentuk pertikaian, perselisihan dan pemogokan yang mengganggu kelancaran
produksi.
C. JALAN PANJANG MENUJU KEADILAN
Pengusaha dan serikat pekerja seyogyanya dapat memanfaatkan Lembaga Bipartit
untuk menampung keluh kesah pekerja dan menyelesaikannya, sehingga tidak sampai
meningkat menjadi perselisihan. Pada kenyataannya masih banyak perusahaan yang
belum membentuk lembaga bipartit dan juga banyak lembaga bipartit belum berfungsi
secara efektif.
Bagi pengusaha dan serikat pekerja yang tidak berhasil menyelesaikan masalah secara
bipartite, dapat meminta bantuan pegawai perantara
atau mediator untuk mencapai
kompromi. Namun dalam banyak kasus , mediator sering dianggap memihak, sehingga
salah satu pihak atau keduanya menolak tawaran kompromi. Disamping mediator yang
kurang professional, juga jumlah pegawai perantara dan pengawas ketenagakerjaan
terlalu sedikit. Pada table 8.2, pegawai perantara dalam tahun 2000 hanya 942 orang
termasuk 23 orang yang ditempatkan di kantor pusat Departemen. Jumlah tenaga yang
mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan juga
kecil yaitu 1.305 orang tahun 2000 dan 1.480 orang tahun 2009.
Tabel 8.2 Jumlah Pegawai Perantara dan Pegawai Pengawas Indonesia, 2000-2009
No
Provinsi
1
Aceh
Pegawai
Pegawai Pengawas
Perantara
2000
2009
17
21
31
2
Sumatera Utara
64
83
46
3
Sumatera Barat
19
52
34
4
Riau
39
32
47
5
Kepulauan Riau
-
-
10
6
Jambi
19
22
17
7
Sumatera Selatan
43
53
31
8
Bangka Belitung
-
-
11
9
Bengkulu
27
18
27
10
Lampung
29
36
39
11
DKI Jakarta
83
102
76
12
Jawa Barat
85
171
183
13
Banten
-
-
37
14
Jawa Tengah
120
144
157
15
DIY
28
38
25
16
Jawa Timur
105
158
185
17
Bali
16
25
23
18
Nusa Tenggara Barat
17
20
18
19
Nusa Tenggara Timur
17
13
16
20
Kalimantan Barat
15
17
31
21
Kalimantan Selatan
17
28
28
22
Kalimantan Tengah
25
16
39
23
Kalimantan Timur
24
38
39
24
Sulawesi Utara
20
29
31
25
Gorontalo
-
-
5
26
Sulawesi Tengah
13
18
21
27
Sulawesi Selatan
37
57
60
28
Sulawesi Barat
-
-
10
29
Sulawesi Tenggara
14
14
25
30
Maluku
5
19
10
31
Maluku Utara
-
-
5
32
Irian Jaya
24
22
11
33
Papua Barat
-
-
7
34
Kantor Pusat Depnaker
23
68
145
Jumlah
942
1.305
1.480
Dengan menolak tawaran kompromi mediator, pengusaha dan serikat pekerja
sebenarnya lebih baik bersepakat memilih juru atau dewan pemisah (arbitrase). Namun
setelah Undang-undang No. 22 tahun 1957 diundangkan hingga dicabut dan diganti dengan
UU No. 2 tahun 2004, hanya satu kasus perselisihan yang diselesaikan melalui dewan
pemisah. Kasus perselisihan lainnya diselesaikan melalui P4D atau P4P.
Dari segi komposisi anggota, P4D dan P4P patut diyakini sebagai lembaga yang dapat
memberikan keputusan yang paling obyektif, seimbang dan adil. P4D dan P4P masingmasing mempunyai 5 anggota mewakili serikat pekerja, 5 anggota mewakili asosiasi
pengusaha, serta 5 anggota dari unsur Pemerintah yang diharapkan dapat memberikan
pertimbangan-pertimbangan yang seimbang atas kepentingan pekerja dan kepentingan
pengusaha. Dengan keyakinan seperti itu, pengusaha dan serikat pekerja yang berselisih patut
menerima dan melaksanakan keputusan P4D dan P4P dengan jiwa besar dan rasa suka cita.
Pengalaman menunjukan bahwa sama halnya dengan pegawai perantara, P4D dan
P4P sering dituding memihak pengusaha atau membela pekerja. Keputusan P4D dan P4P
sering diminta ditinjau oleh Menteri. Tidak puas dengan keputusan Menteri, banding ke
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan tidak puas dengan PTUN dilanjutkan kasasi ke
Mahkamah Agung.
Keputusan P4D dan P4P pada dasarnya mengikat dan wajib dilaksanakan oleh kedua
belah pihak. Bila pengusaha tidak melakukan kewajibannya, serikat pekerja dapat meminta
pengadilan tinggi untuk memerintahkan eksekusi. Namun untuk eksekusi keputusan ini
diperlukan biaya eksekusi. Karena keterbatasan biaya untuk eksekusi dibandingkan terhadap
hasil yang diperoleh kurang seimbang, pekerja dan serikat pekerja terpaksa tidak menerima
apa-apa dari pengusaha. Dengan kata lain, keputusan P4D dan P4P sering tidak diindahkan
atau tidak dilaksanakan oleh pengusaha.
Peninjauan kembali terhadap keputusan P4P pada dasarnya harus dari inisiatif
Menteri, bukan karena permintaan pihak-pihak yang berselisih. Namun sejak pertengahan
1980-an, semakin banyak pihak merasa kalah dalam keputusan P4P mengajukan permohonan
kepada Menteri untuk meninjau ulang atau membatalkan keputusan P4P. Dengan
permohonan tersebut, Menteri merasa wajib memberikan tanggapan, baik dalam bentuk
penolakan atau setelah berkonsultasi dengan wakil-wakil Departemen terkait penolakan atau
setelah berkonsultasi dengan wakil-wakil Departemen terkait menerbitkan keputusan baru
yang membatalkan atau mengamandemen keputusan P4P.
Melalui UU No. 5 tanggal 29 Desember 1986 dibentuk Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN) sebagai salah satu pelaksana kehakiman yang berfungsi memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa dalam bidang tata usaha negara, yaitu sengketa antara orang atau
badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. PTUN didirikan untuk
mewujudkan cita-cita luhur memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang
merasa dirugikan akibat suatu keputusan BTUN.
P4P yang memutus perselisihan dan Menteri Tenagakerja yang menunda,
mengamandemen atau membatalkan keputusan P4P digolongkan sebagai lingkup BTUN
yang dengan demikian harus tunduk kepada UU PTUN tersebut. Sebab itu, keputusan P4P
dan keputusan Menteri dapat diminta tinjau ulang oleh PTUN atau dengan kata lain P4P dan
Menteri Tenagakerja dapat digugat ke PTUN.
UU PTUN ini berlaku secara efektif setelah Peraturan Pemerintah No. 7 diterbitkan
tanggal 14 Januari 1991 yang menyatakan bahwa UU No. 5 tahun 1980 secara efektif
diberlakukan di seluruh Indonesia. Sejak itu, semakin banyak keputusan P4P dan keputusan
Menteri yang diminta banding ke PTUN, baik oleh pekerja atau serikat pekerja maupun oleh
pengusaha.
Pihak yang tidak puas dengan keputusan PTUN masih dapat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung. Dengan jumlah perselisihan yang terus bertambah, setiap kasus
menunggu antrian panjang untuk dibahas di P4D, P4P, PTUN dan Mahkamah Agung.
Keseluruhan proses dapat mencapai 3-5 tahun. Upaya hukum mencapai “keadilan” yang
belum tentu juga adil itu ternyata sangat mahal serta memerlukan jalan berliku dan panjang.
Dari pihak pengusaha misalnya, sering terdengar keluhan bahwa di Indonesia lebih mudah
mendirikan perusahaan baru daripada memberhentikan seorang pekerja walupun sudah
melakukan kesalahan berat.
Sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial di Jepang dan Jerman hampir
sama dengan di Indonesia. Di Jepang terdapat Panitia Daerah dan Panitia Pusat, dan Menteri
Tenagakerja dapat menerbitkan veto. Namun sejak didirikan tahun 1947 hingga akhir tahun
2001, Menteri Tenagakerja belum pernah menggunakan hak vetonya. Semua pihak yang
berselisih menerima jasa perantaraan, mediasi atau konsiliasi, juru pemisah (arbitrase), atau
Panitia Daerah, atau paling panjang menerima keputusan panitia Pusat.
Tabel 8.3 Jumlah Kasus Gugatan Pekerja dan Pengusaha Ke PTUN Atas Putusan P4P
dan Menteri Tenagakerja 1998-2002
Tahun
Oleh Pekerja
Oleh Pengusaha
1998
27
93
1999
48
144
2000
61
173
2001
68
199
2002
28
75
Di Jerman, disamping Panitia Daerah dan Panitia Federal (Pusat), terdapat Mahkamah
Agung, Panitia Daerah menyelesaikan kasus yang memperselisihkan sampai batas nilai uang
tertentu. Bila nilai yang diperselisihkan melebihi batas dimaksud, kasus perselisihan langsung
diselesaikan Panitia Pusat. Mahkamah tidak merubah atau mengamandemen keputusan
Panitia Pusat, tetapi hanya mengkaji kewenangan Panitia Pusat dalam membuat putusan
tersebut.
Menyadari berbagai kelemahan sistem penyelesaian perselisihan sebagaimana
diuraikan di atas, Pemerintah dengan mitra kerjanya dari serikat-serikat pekerja, asosiasi
pengusaha dan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengajukan Rancangan
Undang-Undang ke DPR mengenai Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (RUU
PPHI). Setelah melalui pembahasan yang intensif, DPR telah menyetujui UU PPHI yang
ditandatangani tanggal 14 Januari 2004 dan diundangkan dalam Lembaran Negara No.6
tahun 2004.
1.
Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Sesuai dengan UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, perselisihan digolongkan dalam 4 macam yaitu perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja.Perselisihan hak adalah perselisihan antara pengusaha dan pekerja karena hak
pekerja atau pengusaha tidak dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan antara pengusaha dan pekerja karena tidak
mencapai kesepakatan mengenai pembuatan atau perubahan syarat-syarat kerja untuk
ditetapkan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja
bersama. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah perselisihan antara
pengusaha dan pekerja karena tidak mencapai kesepakatan dalam mengakhiri hubungan
kerja. Perselisihan antar serikat pekerja adalah perselisihan antara satu atau beberapa
serikat pekerja dengan serikat pekerja lain di satu perusahaan karena mereka tidak
mencapai kesepakatan antara lain mengenai organisasi dan atau keanggotaan serikat
pekerja, program kerja atau perjuangan serikat pekerja
Proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat melalui 4 tahap, yaitu
dua tahap di luar pengadilan dan dua tahap di dalam pengadilan. Di luar pengadilan
melalui Perundingan bipartite dan Arbitrase atau Konsiliasi, atau Mediasi. Di dalam
pengadilan
melalui
Pengadilan
Hubungan
Industrial
di
Pengadilan
Negeri
dan Mahkamah Kasasi di Mahkamah Agung.
Undang-undang berusaha menghindari penumpukan perkara atau kasus
perselisihan hubungan industrial di PHI Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Oleh
sebab itu sesiap kasus/perselisihan yang tidak terselesaikan secara bipartit wajib
diusahakan diselesaikan pada tahap kedua, yaitu dengan pertama-tama Dinas
Ketenagakerjaan menawarkan kepada pihak yang berselisih memilih pihak ketiga untuk
membantu penyelesaian
a. Perselisihan kepentingan dan perselishan antar serikat pekerja ditawarkan untuk
diselesaikan secara arbitrase atau konsiliasi
b. Perselisihan PHK ditawarkan untuk dibantu melalui konsiliasi
c. Perselisihan hak otomatis dimediasi oleh mediator
d. Bila pihak yang berselisih tidak sepakat meminta bantuan konsiliator atau arbitrase,
penyelesaian pihak otomatis dibantu oleh mediator
Untuk menghindari perselisihan yang berlarut-larut, maka setiap perselisihan
harus diusahakan harus diusahakan diselesaikan di tingkat bipartit paling lama 30 hari
kerja. Bila perundingan tersebut masih gagal maka satu atau dua pihak mencatatkan
perselisihan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-bukti upaya
yang telah dilakukan. Setelah itu, dinas ketenagakerjaan menawarkan penyelesaian
perselisihan untuk dibantu melalui arbitrase atau konsiliasi. Bila dalam 7 hari pihak yang
berselisih tidak sepakat memilih arbitrase atau konsiliasi, maka Dinas Ketenagakerjaan
melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator
2. Mediasi oleh Mediator
Di setiap kantor pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
diangkat beberapa orang pegawai sebagai mediator yang berfungsi melakukan mediasi
menyelesaikan PHI. Dalam 7 hari setelah menerima permintaan atau penugasan
penyelesaian perselisihan, mediator sudah harus mempelajari dan menghimpun informasi
yang diperlukan, kemudian segera paling lambat pada hari kedelapan mengadakan
pertemuan atau sidang mediasi. Untuk itu, mediator dapat memanggil saksi dan atau
saksi ahli.Bila melalui mediasi tersebut pihak yang berselisih mencapai kesepakatan,
maka kesepakatan tersebut dituangkan dalam Perjanjian Bersama yang ditandatangani
oleh para pihak yang berselisih dan disaksikan oleh mediator.
Bila pihak yang berselisih tidak mencapai dalam paling lama 10 hari kerja setelah
sidang mediasi pertama, mediator harus sudah membuat anjuran tertulis kepada pihakpihak yang berselisih. Kemudian dalam 10 hari kerja setelah menerima anjuran tertulis
tersebut, para pihak yang berselisih harus sudah menyampaikan pendapat secara tertulis
kepada mediator untuk menyetujui atau menolaknya.
3. Konsiliasi oleh Konsiliator
Konsiliator adalah anggota masyarakat yang telah berpengalaman di bidang hubungan
industrial dan menguasai peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan sehingga
dianggap mampu melakukan konsiliasi dan memberikan anjuran tertulis kepada pihak
yang berselisih menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja
4. Arbitrase oleh arbiter
Arbitrase adalah penyelesaian perselisihan oleh seorang atau tiga orang arbiter, yang
atas kesepakatan para pihak yang berselisih diminta menyelesaikan perselisihan
kepentingan, dan atau oerselisihan antar serikat pekerja. Dalam kesepakatan memilih
penyelesaian arbitase, pihak yang berselisih membuat surat perjanjian arbitase yang
antara lain memuat pokok persoalan perselisihan yang diserahkan kepada arbiter, jumlah
arbiter yang akan dipilih, dan kesiapan untuk tunduk pada dan menjalankan keputusan
arbitase.
Putusan arbitase didaftarkan di PHI pada pengadilan negeri setempat, dan merupakan
putusan yang bersifat akhir dan tetap dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
para pihak berselisih. Bila salah satu pihak tidak melaksanakan keputusan abritase, pihak
yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada PHI di pengadilan negri
untuk memerintahkan pihak tersebut melaksanakan keputusan arbitase
Dalam paling lama 30 hari sejak keputusan arbiter, salah satu pihak dapat mengajukan
permohonan pembatalan kepada mahkamah agung hanya apabila putusan arbiter diduga
mengandung unsur-unsur :
a.
Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan ternyata diakui atau terbukti
palsu
b.
Pihak lawan terbukti secara sengaja menyembunyikan dokumen yang bersifat
menetukan dalam pengembalian keputusan
c.
Keputusan arbitase terbukti didasarkan pada tipu muslihat pihak lawan
d.
Putusan melampaui kewenangan arbiter
e.
Putusan bertetntangan dengan peraturan undang-undang
Mahkamah agung dalam 30 hari harus memberi putusan atas permohonan
pembatalan putusan arbitase. Keputusan MA dapat menolak atau menerima
pembatalan sebagai atau seluruh putusan arbitase
5. Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dibentuk di pengadilan negri dan pada
mahkamah agung untuk pertama kali, pengadilan PHI dibentuk pengadilan Negri yang
berada di ibukota provinsi. Secara bertahap, pengadilan PHI akan dibentuk di pengadilan
negri yang berada di kabupaten atau kota yang padat industry. Susunan PHI pada
pengadilan negri terdiri dari :
a. Hakim
b. Hakim Ad-Hoc
c. Panitera Muda, dan
d. Panitera Muda Pengganti
Ketua pengadilan negri mengawasi pelaksanaan tugas hakim, hakim ad-hoc, panitera
muda dan panitera muda pengganti. PHI pada pengadilan negri berwenang memeriksa
dan memutus :
a. Perselisihan hak untuk tingkat pertama
b. Perselisihan kepentingan untuk tingkat pertama dan terakhir
c. Perselisihan pemutusan hubungan kerja untuk tingkat pertama
d. Perselisihan antar serikat pekerja untuk tingkat pertama dan terakhir
6. Majelis Hakim Kasasi
Permohonan kasasi atas outusan PHI pada Pengadilan Negri diperiksa dan diputus
oleh Majelis Hakim Kasasi. Untuk itu pada Mahkamah Agung dibentukdan diangkat :
a. Hakim agung
b. Hakim Ad-Hoc
c. Panitera
Segera setelah menerima kasasi atas putusan PHI, Ketua mahkamah agung
menetapkan susunan majelis hakim kasasi yang terdiri dari seorang Hakim Agung,
seorang Hakim Ad-Hoc dari unsur serikat pekerja, dan seorang Hakim Ad-Hoc dari
unsur asosiasi pengusaha. Majelis Hakim Kasasi Harus Menyelesaikan kasus
perselisihan dimaksud paling kama 30 Hari Kerja terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan kasasi.
D. PENERAPAN DAN PENEGAKAN HUKUM
Masalah sering terjadi akibat para pelaku yang bersangkutan kurang memperlihatkan
kesediaan yang tulus dan kepatuhan pada peraturan yang ada dan pada keputusan
Lembaga-lembaga yang berwenang.
Demikian juga setelah UU No.2 tahun 2004 diundangkan, yang secara substantive
dan procedural jauh lebih sederhana dan singkat dari UU No. 22 tahun 1957 dan UU
No.12 tahun 1964. Pelaksanaanya sangat tergantung pada kesediaan dan keungguhan
masing-masing unsur, yaitu pengusaha atau manajemen, para pekerja dan serikat pekerja,
dan aparatur pemerintah sendiri.
1. Kesediaan saling memahami dan bekerjasama
Kunci utama menghindari perselisihan adalah kesediaan masing-masing pihak,
pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja, untuk saling memahami posisi,kondisi
dan kepentingan mitra kerjanya. Semua keluhan atau benturan dalam hubungan
industrial harus diselaraskan atau diseasikan, sehingga tidak meningkat menjadi
perselisihan yang akan menguras tenaga dan perhatian kepada kedua pihak. Dengan
demikian, pengusaha dengan pekerja dan serikat pekerja akan selalu dapat secara
harmonis Bersama-sama memajukan perusahaan.
2. Profesionalisme Hubungan Industrial
Banyak perselisihan hubungan industrial terjadi karena satu pihak atau kedua pihak
tidak memahami peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan prinsip
hubungan industrial dengan baik. oleh sebab itu, terutama opara manajemen dan
pejanbat di bidang hubungan industrial serta para pengurus serikat pekerja harus
betul-betul memahami :

Peraturan peundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku

Isi peraturan perusahaan atau perjanjian kerja Bersama

Prinsip hubungan industrial
Dalam hubungan ini, manajemen perlu mengambil inisiatif menyelenggarakan
pembelajaran Bersama secara rutin. Misalnya melalui forum birparti atau forum lain.
Pengusaha dan manajemen dan staf unit hubungan industrial, beserta pengurus serikat
pekerja dan wakil-wakil pekerja yang lain duduk Bersama memahami berbagai
peraturan, isi PP atau PKB, serta mengenai prinsip dan penerapan hubungan
industrial, dengan atau tanpa narasumber dari luar.
3. Mengefektifkan pengawasan
Pemerintah pada dasarnya berfungsi mengawasi pelaksanaan berbagai
peraturan di perusahaan, baik melalui laporan tahunan yang disampaikan oleh
poengusaha maupun melalui kunjungan pemeriksaan periodik
khusus ke perusahaan.
atau pemeriksaan
Masyarakat selama ini mempunyai kesan bahwa pengawasan ini kurang
efektif. Banyak pelanggaran yang tidak termonitoridan tidak diproses secara hukum.
Di lain pihak dinyatakan bahwa jumlah pengawas terlalu kecil. Pengawasan tersebut
dapat diefektifkan melalui peningkatan kualitas tenaga pengawas, meningkatkan
peran serikat pekerja di perusahaan, serta peningkatan pemahaman mengenai dan
kepatuhan manajemen melaksanakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyelesaian perselisihan hubungna industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungann pengusaha dengan
pekerja atau serikat pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat
pekerja dalam satu perusahaan. Dalam rangka penyelesaian perselisihan hubungan
tersebut, maka dapat dilakukan dengna dua cara penyelesaian. Yaitu yang pertama
dengan jalur di luar pengadilan dan yang kedua dengan jalur pengadilan hubungna
industrial.
B. Saran
Dalam hal terjadi perselisihan dan perbedaan pendapat antara buru pengusaha yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha dengan pekerja atau serikat pekerja dalam
suatu perusahaan maka janganlah terus diselesaikan di hubungna industrial namun
selesaikanlah secara musyarawah mufakat.
Download