Uploaded by niasarastika2

NARASI ARTIM YAHYA - nia sarastika, rian priyatno

advertisement
Pengusaha institusional harus memiliki keterampilan selain
mereka pengusaha tradisional, termasuk keterampilan dalam berurusan
dengan pejabat pemerintah dan opini publik.
Akibatnya, jika dibandingkan dengan pengusaha tradisional,
Pengusaha institusional menghasilkan positive yang lebih signifikan
eksternalitas terhadap ekonomi dan merupakan kekuatan penting
pembangunan ekonomi dan reformasi
Artim Yahya memanfaatkan program limpahan dari desa tetangga untuk menyejahterakan desanya. "Tabungan
sapi" untuk ke Tanah Suci yang dia pelopori masih terus berjalan sampai kini.
ANDRA NUR OKTAVIANI, Lombok Utara
MEMANDANG pepohonan di lahan hutan yang dia kelola, Artim Yahya menarik napas lega. Sonokeling,
sengon, dan beberapa jenis pohon lain tumbuh subur. Bahkan sudah cukup besar untuk dipanen.
"Nilai-nilai ekonomis kayu-kayu itu sangat besar," katanya kepada Jawa Pos yang menemuinya awal bulan lalu.
Desa Santong, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, tempat tinggalnya, kini juga sudah jauh berubah. Anak-anak
mudanya sudah bersekolah sampai ke perguruan tinggi. Rumah-rumah warga telah bertembok.
Bahkan banyak di antara mereka yang sudah berhaji.
Semua itu sungguh tak terbayangkan dua puluh tahun lalu. Dua dekade silam, Santong hanyalah desa gersang
dengan rata-rata penduduk miskin. Tidak ada tanaman produktif yang tumbuh di kampung tersebut.
Artim-lah figur sentral di balik transformasi Santong. Dari desa tertinggal hingga menjadi desa percontohan di
Asia Tenggara sekarang ini. Dan, itu berawal dari sebuah "program limpahan" desa lain.
Pada 1997 lalu itu, desa tetangga Santong-lah yang sejatinya terpilih sebagai desa percontohan program Hutan
Kemasyarakatan (HKm). Tapi, entah kenapa, warga desa tersebut menolak.
Mendengar itu, Artim yang ketika itu menjadi kepala desa langsung menawarkan desanya untuk dijadikan
percontohan. Dia melihat HKm bisa menjadi jawaban atas kekhawatirannya pada nasib masyarakat Desa Santong
yang secara ekonomi sangat jauh dari kata mapan.
Bibit yang sudah dikirim pemerintah ke desa sebelah pun akhirnya diangkut Artim ke Desa Santong. Awalnya,
Artim dan warga ragu untuk memanfaatkan hutan Santong karena tandus dan gersang. Tapi, dengan tekad kuat
lepas dari kemiskinan, mereka mencoba mengolah lahan hutan dengan menanam berbagai jenis pohon yang
bibitnya memang sudah diberikan pemerintah.
"Seperti sonokeling, sengon, mahoni, gamelila, dan kalimuru, yang ditanam dengan sistem tumpang sari bersama
dengan tanaman sirih," cerita Artim yang kini berusia 51 tahun.
Seiring dengan berjalannya waktu, jenis tanaman yang ditanam di HKm pun bertambah. Masyarakat meluaskan
sistem tumpang sari dengan menanam tanaman buah-buahan seperti kakao, kopi, alpukat, nangka, melinjo, kemiri,
vanili, dan durian montong.
Menurut Artim, jika hanya mengandalkan tanaman kayu-kayuan, masyarakat tetap tidak akan punya penghasilan
rutin.
Santong yang sebelumnya gersang dan tandus menghijau dan rimbun. Mereka pun mulai menikmati hasil tanaman
buah yang mereka tanam.
Kakao, kopi, alpukat, durian montong, dan yang lain menjadi sumber penghasilan warga. Itulah yang juga
kemudian berhasil meningkatkan perekonomian warga sebagai komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK).
Setelah merasakan sendiri dampaknya, warga Desa Santong semakin bersemangat mengelola lahan mereka. Tak
semata mengandalkan hasil hutan, tapi juga mulai berinisiatif meningkatkan nilai ekonomis hasil hutan dengan
mengolahnya menjadi barang jadi.
Contohnya, jika sebelumnya warga Desa Santong menjual biji kopi ke koperasi untuk dijual kembali ke produsen
kopi, kini mereka belajar mengolah kopi.
"Nanti yang dijual dari petani itu berbentuk kopi bubuk. Harganya sudah jauh lebih tinggi daripada biji kopi,"
terangnya.
Dinas koperasi juga memberikan pelatihan pascapanen berupa pembuatan keripik, sale pisang, dan dodol durian.
Warga pun mulai mengaplikasikan hasil pelatihan tersebut. Misalnya, sale pisang. Sebelumnya, mereka menjual
pisang dalam keadaan mentah seperti di pasar-pasar.
Hal yang sama akan dilakukan pada kakao. Nanti ada pengolahan kakao para petani HKm. Setelah itu, hasilnya
baru dijual ke luar. Dinas perkebunan membantu masyarakat dengan teknik pascapanen berupa fermentasi kakao
agar hasil panen menjadi lebih bagus.
Fermentasi kakao bisa membantu mengurangi biji kakao yang pecah. "Karena biji kakao yang pecah bisa
mengurangi harga. Kami sangat butuh sentuhan teknologi untuk meningkatkan kualitas dan ekonomi dari hasil
hutan kami," kata Artim.
Dua puluh tahun lalu, ungkap dia, tidak ada satu pun warga yang berani bermimpi untuk naik haji. Jangankan
naik haji, untuk kebutuhan sehari-hari saja, mereka masih kesulitan. Namun, sekarang tidak lagi.
Dari hasil pertanian itu pula, setidaknya 20 warga Santong, termasuk Artim, sudah bisa menunaikan haji.
Beberapa akan menyusul berangkat haji.
Tidak seperti kebanyakan calon jamaah haji yang menabung di bank untuk membayar ongkos naik haji, warga
Desa Santong menabung dengan cara mereka sendiri. Cara yang terbilang unik pada era modern sekarang ini.
"Jadi, uang hasil menjual komoditas hutan kami gunakan untuk membeli sapi. Sapinya nanti terus besar dan
beranak. Sapi itu kami jual untuk bayar ongkos naik haji," tutur Artim.
Kesuksesan Desa Santong mengelola HKm itu pun menggema jauh. Hampir setiap tahun berbagai pihak datang
berkunjung, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Pada 2000, misalnya, bupati dan ketua DPRD Kulon Progo, Jogjakarta, datang. "Sekarang mereka juga sudah
punya HKm sendiri," ujarnya.
Kunjungan dari luar negeri dimulai pada 2009. Diawali rombongan dari Jepang. Pada 2011, utusan dari 14 negara
di Asia giliran berkunjung ke HKm Santong untuk mempelajari keberhasilan pengelolaan hutan berbasis
masyarakat itu.
Pada tahun yang sama, ada 35 negara yang field trip ke Desa Santong. Tahun berikutnya, ada 15 negara yang
melakukan kunjungan. Setelah itu, pada Oktober 2012, ada utusan dari 10 negara ASEAN yang datang untuk
melakukan studi banding mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Mereka datang untuk melihat
partisipasi masyarakat dan meminta informasi mengenai proses izin HKm Santong dari bupati Lombok Utara.
Artim menyatakan, pada 2013, Bank Dunia juga sempat berkunjung ke HKm Santong. Mereka melihat dampak
HKm Santong kepada masyarakat. Pada 2013, ada pula petani dari Jawa Timur yang ingin melihat pengelolaan
kopi dan kakao. "Setahun, bisa ada dua rombongan yang datang berkunjung ke HKm Santong," jelas Artim.
Itulah yang membuat Artim yang kini hanya berstatus petani biasa jadi lega. Meski belum sepenuhnya. HKm
yang dikelola masyarakat Desa Santong belum mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK).
"Kami baru punya izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Sekarang kayunya mulai tua. Kalau izin tidak
keluar, pohon akan tumbang," tegasnya. Tapi, seperti juga dua dekade silam, Artim tak hendak menyerah.
Sekarang dia sedang menyiapkan berkas-berkas yang telah diperbarui untuk kembali mengajukan izin. (*/c5/ttg)
Kondisi kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan yang membentang di ujung timur Pulau Lombok itu
tandus, dan hanya ditumbuhi padang ilalang. Kawasan hutan yang masuk wilayah hutan Rinjani itu merupakan
bekas ladang berpindah.
Untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat di sekitar kawasan hutan itu terpaksa bekerja sebagai buruh.
Mereka hidup dalam kondisi serba kekurangan. Tidak ada sumber penghasilan tetap yang bisa diharapkan untuk
menopang hidup.
Tujuh tahun silam masyarakat di pinggiran hutan itu hidup dalam lilitan kemiskinan. Jangankan biaya
pendidikan anak-anak, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja sangat sulit. Tidak ada lahan pertanian
yang bisa digarap.
Itulah potret kehidupan masyarakat di Desa Santong, Kecamatan Kayangan, yang saat itu masih menjadi
bagian dari Kabupaten Lombok Barat dan setelah dilakukan pemekaran empat tahun lalu desa itu masuk wilayah
Kabupaten Lombok Utara.
Kondisi yang cukup memprihatinkan itu memaksa H Artim Yahya, salah seorang petani di Desa Santong
bersama petani lainnya berpikir keras bagaimana mengubah kondisi kehidupan menjadi lebih baik.
Namun, cerita duka itu berangsur-angsur hilang setelah pemerintah mulai menginisiasi program Hutan
Kemasyarakatan (HKM) atau "Community Forestery" pada 1997. Masyarakat Santong diberikan hak mengelola
kawasan hutan.
" Kami bisa bernafas lega ketika Saat itu di kawasan hutan seluas 758 hektare tersebut tidak ada tanda
kehidupan. Para peladang berpindah menelantarkan begitu saja bekas lahan garapan yang kemudian berubah
menjadi semak belukar yang gersang," kata pria berpenampilan sederhana itu.
Petani kecil yang bernama lengkap H Artim Yahya yang menjadi kepala desa pertama di Santong sejak
terbentuk tahun 1997 silam bersama masyarakat desa itu sepakat menerima tawaran mengelola HKM yang
ditawarkan pemerintah saat itu.
Kawasan Santong dan Monggal di Kabupaten Lombok Utara ditetapkan menjadi HKM dengan Surat
Keputusan (SK) SK Menhut No: 447 /Menhut-II/2009.
"Saat itu kami sempat psimis, karena kawasan hutan seluas 758 hektare itu kondisinya tandus, tanpa
sebatang pohon dan nyaris tanpa tanda-tanda kehidupan," kata pria yang kini dikenal sebagai "bapak HKM"
mengenang masa silam yang kelabu.
Pada awalnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan Santong yang berjarak sekitar 50 kilometer
arah utara Mataram itu mencoba menanam berbagai jenis pohon dengan sistem tumpang sari
"Pada tahun pertama dan kedua kami memperoleh bantuan dari Dinas Kehutanan Provinsi NTB berupa bibit
kayu-kayuan, antara lain sengon, kalimuru (udu), gamelila dan sonokeling dan pada tanaman kayu tersebut juga
ditanam `lekoq¿ (sirih) ,¿ kata mantan kepala desa yang kini menjadi Ketua Koperasi Tani-Hutan Maju Bersama
Desa Santong.
Selain kayu-kayuan para petani hutan juga menanam bibit tanaman buah-buahan seperti nangka, melinjo,
alpukat, durian, kemiri dan kakao atau cokelat. Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) inilah yang
kemudian menjadi sumber kehidupan masyarakat tepi hutan itu.
Pada tahun ketiga yang merupakan masa pemeliharaan tahap kedua, masyarakat menyediakan bibit secara
swadaya untuk penyulaman. Saat itu lahan tandus di kawasan hutan Santong tersebut mulai berubah menjadi
hambaran pemohonan yang hijau.
"Jadi ibaratnya kalau sebelum ada HKM tahun 1997, hutan Santong itu hanya kawasan semak belukar tanpa
sebatang pohon. Namun pada 2011 kami sudah sulit untuk menanam pohon, karena semua lahan sudah dipenuhi
tumbuhan,¿ kata pria yang memelopori masyarakat dalam mengembangkan HKM Santong.
Perjuangan panjang dan melelahkan yang dilakukan Artim Yahya bersama masyarakat itu kini telah
membuahkan hasil. Padang tandus yang sebelumnya hanya ditumbuhi ilalang itu kini telah berubah menjadi hutan
yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitarnya.
Kawasan hutan Santong seluas 758 hektare itu kini telah mampu memberikan kehidupan yang lebih baik
bagi 1.258 orang petani hutan yang menjadi anggota Koperasi Tani Hutan Maju Bersama. Para petani itu tersebar
di Kecamatan Kayangan dan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Bagi Artim Yahya keberhasilan itu tak mungkin bisa diraih tanpa perjuangan yang tak kenal lelah dan
dorongan pemerintah daerah maupun pusat serta pembinaan dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial ( LP3ES).
Pembinaan kepada petani HKM itu kemudian dilanjutkan oleh Konsorsium Untuk Studi dan Pengembangan
Partisipasi (Konsepsi) NTB dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemberdayaan masyarakat pinggiran.
"Kami mendapat pembinaan dari PL3ES yang kemudian dilanjutkan oleh Konsepsi NTB dan LSM
pemberdayaan masyarakat pinggiran mulai 1997 hingga tahun 2000. Hasilnya cukup menggembirakan para petani
berhasil mengelola kawasan hutan yang sebelumnya tandus menjadi lahan produktif dan kami memiliki sumber
penghasilan tetap," kata Artim Yahya dengan penuh semangat.
Kawasan hutan yang dulunya gersang dan tandus kini teah berubah menjadi sumber penghidupan bagi
masyarakat. Dari lahan HKM masing-masing seluas 0,75 haktare yang ditanami berbagai jenis kayu-kayuan dan
buah-buahan termasuk pisang itu para petani meraup penghasilan rata-rata Rp3 juta per bulan.
Bahkan para petani hutan bis meraup keuntungan mencapai Rp5 juta lebih per bulan. Khusus dari tanaman
"lekoq" atau sirih para petani mendapatkan keuntungan mencapai rata-rata Rp500.000 per bulan.
"Daun sirih merupakan komoditas primadona bagi petani hutan di HKM Santong, karena. Bahan utama
makan sirih ini cukup laris, karena tradisi makan sirih ini masih terus dilakukan masyarakat terutama para orang
tua terutama di wilayah timur Kabupaten Lombok Utara," kata petani yang mengaku menunaikan ibadah haji dari
hasil HKM.
Desa Sejahtera
Sejatinya keberadaan HKM telah mengubah wajah Desa Santong yang sebelumnya kental dengan nuansa
keterbelakangan dan kemiskinan, menjadi desa yang maju dan sejahtera.
Artim Yahya mengisahkan tujuh tahun silam warga desa di pinggiran hutan Santong umumnya tinggal di
gubuk yang tidak layak huni dan anak-sanak saat itu paling tinggi hanya lulus SMP. Untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi masyarakat tidak memiliki biaya.
"Anak-anak di Desa Santong paling tinggi lulus SMP. Berkat keberhasilan HKM anak-anak kami paling
rendah lulusan SMA. Bahkan sudah banyak yang bisa melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Hingga kini
15 orang kuliah dan lima diantaranya sudah meraih gelar sarjana," kata bapak dari dua anak yang kini sedang
duduk di bangku kuliah itu.
Ke depan, kata Artim Yahya, akan banyak "Sarjana HKM" atau menjadi sarjana dengan biaya dari hasil
hutan kemasyarakatan. Hingga kini sudah belasan orang yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makah
termasuk pada musim haji tahun 2012 ada satu orang petani hutan yang menunaikan ibadah rukun Islam kelima
itu.
"Saat ini sudah banyak "Haji HKM" Di masa mendatang akan lebih banyak lagi menjadi haji dari hasil
usaha tani hutan tersebut. Ini berkah dari Allah yang patut kita syukuri,¿ kata Artim yang juga bergelar Haji HKM
ini.
Keberhasilan para petani itu menjadi semakin sempurna ketika HKM Santong di Kecamatan Kayangan,
Kabupaten Lombok Utara seluas 758 hektare meraih sertifikasi ekolabel pertama di Indonesia untuk jenis hutan
kemasyarakatan.
"Kami mendapatkan apresiasi atas sertifikasi itu dari Menteri Kehutanan bersamaan pada puncak peringatan
Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN) 2011 di Sentul, Kabupaten Bogor,
Jawa Barat ," kata Artim Yahya dengan penuh kebanggaan.
Penghargaan bergengsi itu diterima Artim Yahya atas perjuangannya membangun HK Santong itu
diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Puncak peringatan HMPI dan BMN 2011 di Bukit Merah
Putih, Santi Dharma Indonesia Peace and Security Center atau Pasukan Misi Pemeliharaan Perdamaian, di Sentul,
Kecamatan Citeureup, Bogor, Provinsi Jawa Barat.
Atas keberhasilnya memelopori program HKM Santong, kini Artim Yahya, petani kecil yang hidup sengsara
tujuh tahun silam itu kini telah menjadi sosok petani terkenal tidak hanya di level nasional, tetapi juga di tararan
internasional. Mantan Kepala Desa Santong itu kini menjadi terkenal bak "seleberity".
Kesehariannya kini disibukkan dengan menerima kunjungan tamu baik dari provinsi lain maupun luar negeri
yang ingin melihat secara langsung pengelolaan hutan berbasis masyarakat sekaligus ingin belajar bagaimana
mengubah hutan tandus menjadi sumber kehidupan masyarakat.
Prestasi gemilang yang dicapai Artim Yahya bersama masyarakat di Desa Santong itu kini telah menjadi
objek studi banding internasional , banyak tamu dari luar negeri yang datang baik secara perorangan maupun
kelompok
Pada Oktober 2012 untusan dari 10 negara ASEAN melakukan studi banding mengenai pengelolaan hutan
berbasis masyarakat. Para pecinta lingkungan dari negara-negara Asia itu berkunjung ke HKM Santong untuk
belajar mengenai pengelolaan hutan Santong, melihat partisipasi masyarakat dan meminta informasi mengenai
proses izin HKM Santong dari Bupati Lombok Utara.
"Hampir setiap tahun delegasi pemerhati hutan dari berbagai negara datang ke HKM Santong, baik melalui
asosiasi maupun utusan dari masing-masing negara," kata Artim Yahya seraya berjanji akan terus
mempertahankan hutan yang telah mendatangkan "berkah" bagi ribuan warga di Desa Santong itu .
Tahun 2011, utusan dari 14 negara di Asia berkunjung ke HKm Santong untuk mempelajari mengenai
keberhasilan pengelolaan hutan di daerah ini. Sementara pada 2009 rombongan dari Jepang juga melakukan
penelitian atas keberhasilan masyarakat sekitar hutan mengelola HKm Santong.
Kerja keras Yahya Artim bersama masyarakat Desa Santong ini agaknya patut menjadi contoh bagi
masyarakat lainnya dalam mengubah lahan tandus menjadi hutan belantara yang menjadi sumber penghidupan.
Dan tidak merusak hutan yang akhirnya akan mendatangkan bencana. (*)
Haji Artim Yahya memperlihatkan peta berskala 1:2.500. Ada coretan perbaikan di beberapa titik, karena peta
yang ia tunjukkan masih berupa rancangan. Ada batas lahan yang digarap masing-masing petani, berikut namanama petaninya.
"Ketika sudah naik ke hutan untuk menentukan titik koordinat batas lahan garapan, ternyata petaninya tidak ada
di lokasi, sehingga harus ke kampung mencari petaninya," ujar Artim menceritakan suka-duka pembuatan peta
partisipatif ini kepada Republika.co.id, Senin (26/12).
Untuk mencapai wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang harus dipetakan, mereka harus berjalan kaki
melalui jalan setapak. Kadang ada lahan garapan yang dibelah oleh jalan setapak, sehingga sedikit merepotkan,
karena lahannya menjadi dua bagian. "Ada saat harus bolak-balik ke titik koordinat yang akan diplot, sehingga
membuat pemetaan menjadi lama, karena jalan setapaknya tak bisa dilalui sepeda motor," ujar Artim yang menjadi
ketua HKm di Kabupaten Lombok Utara itu.
Artim menyebut peta yang ia miliki merupakan peta HKm seluas 750 hektare. Ada empat blok wilayah garapan
di Hkm itu, sehingga ada empat peta yang dibuat. Mereka harus belajar menggunakan peralatan yang sebelumnya
tak pernah mereka lihat, seperti Global Positioning System (GPS). "Kami melakukan pemetaan partisipatif mulai
September lalu, melalui program MCAI didampingi WWF Indonesia," ujar Artim.
Yang dimaksud Artim sebagai MCAI adalah Millenium Challenge Account Indonesia, badan pengelola dana
hibah dari Amerika Serikat melalui Millenium Challenge Corporation. Dana hibah ini digunakan untuk
pengentasan kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi.
Menurut Artim, Lombok Utara menjadi peserta program ini pada 2016. Salah satunya adalah program pemetaan
partisipatif, yang dalam pelaksanaannya juga melibatkan Bappeda dan bekerja sama dengan Badan Informasi
Geospasial (BIG). "Dengan peta ini, sekarang batas-batas wilayah garapan di HKm menjadi jelas," ujar petani
kopi di Desa Santong, Kecamatan Kayangan, itu.
H Artim Yahya memperlihatkan peta Hutan Kemasyarakatan (foto: Priyantono Oemar/ Republika).
HKm itu dikelola empat desa di dua kecamatan di Lombok Utara. Menurut Artim, mereka sebenarnya sudah
memiliki peta pada 1997, yang mereka dapatkan dari Dinas Kehutanan. Tetapi, peta ini belum detail, karena batasbatas wilayah garapannya masih kurang jelas. "Di desa kami masih memakai patokan batas alami, seperti kali dan
bukit," ujar Artim.
November lalu, pembuatan peta partisipatif sudah mereka tuntaskan untuk empat blok garapan di Hkm berikut
peta desa. Blok wilayah garapan di desa Artim, ditanami kopi, durian, kakao, dan porang –umbi bahan baku mi.
Lewat program pemetaan partisipatif itu, dilakukan pula pengukuran karbon di empat blok garapan.
Di Lombok Utara ada empat desa yang melakukan pemetaan partisipatif. Masing-masing desa melibatkan enam
orang. Tak ada perubahan batas, tetapi pemetaan partisipatif ini mempertegas batas yang sudah ada. "Di batasbatas alami, kita tetapkan titik koordinat," kata Artim yang memimpin 830 petani di empat desa yang tergabung
dalam Koperasi Maju Bersama.
Selesaikan masalah batas
Dari pemetaan partisipatif ini, mereka juga memiliki peta kontur tanah. Desa Harapan Jaya di Riau, misalnya,
membuat peta kontur berskala 1:2.000 sehingga dapat memberikan perlakuan secara benar terhadap lahan gambut
di desa mereka.
Dengan informasi dari peta kontur itu dibuatlah rencana pengelolaan air di lahan gambut kami, agar lahan gambut
kami pulih kembali. Mereka lakukan perbaikan parit/kanal, karena tak mungkin membuat parit baru.
Untuk memperbaiki parit saja, yaitu sepanjang 47,5 km dengan lebar lima meter dan dalam tiga meter, dibutuhkan
anggaran Rp 3,3 miliar. Parit-parit yang membuat gambut kering disekat agar lahan gambutnya produktif. "Kami
sekat parit-parit untuk menjaga kebasahan gambut," ujar Kepala Desa Harapan Jaya Rasidi kepada
Republika.co.id pada 20 November lalu.
Desa Harapan Jaya mengalami kerusakan lahan gambut cukup parah. Pembuatan parit oleh perusahaan pengelola
tanaman industri dan pelaksana proyek pembangunan rawa terintegrasi telah menghancurkan kubah gambut,
sehingga merusak lahan gambut yang mereka jadikan sawah. Pembuatan parit itu tak memperhatikan kontur
lahan. Akibatnya, sejak 1992 hingga 1995, mereka tak bisa menanam padi lagi di lahan gambut mereka.
Untuk memulihkan ekosistem lahan gambut, Desa Harapan Jaya mendapat bantuan dari Sekretariat ASEAN yang
didukung Komisi Eropa. Pemetaan partisipatif menjadi salah satu kegiatan lewat pendampingan dari Global
Environment Centre dan Yayasan Mitra Insani Riau. Keberhasilan di Harapan Jaya, menurut Direktur Yayasan
Mitra Insani Zainuri Hasyim, dijadikan inspirasi program serupa di negara lain anggota ASEAN.
Membahas pembuatan peta berteman kopi hingga larut malam (Dokumen: Jaringan Kerja Pemetaan
Partisipatif/JKPP)
Ketika Rasidi mencetuskan ide pemetaan partisipatif kepada warga desa, banyak yang bingung dibuatnya.
Menurut Rasidi, pemetaan perlu dilakukan lantaran desa mereka selama ini tak memiliki batas yang jelas. Setiap
ganti camat, batas desa mereka selalu berubah. Batas desa yang mereka jadikan acuan hanyalah peta transmigrasi
yang menetapkan batas desa mereka adalah anak sungai dari Sungai Indragiri, Gaung Anak Serka.
Setelah pemetaan partisipatif selesai, mereka memiliki batas wilayah administrasi. Dari pelaksanaan pemetaan
itulah diketahui ada lahan yang dibuka warga ternyata masuk ke wilayah desa lain. Demikian juga diketahui
adanya lahan di Desa Harapan Jaya yang dibuka oleh warga dari desa lain. "Ada tiga warga Harapan Jaya yang
ternyata lahan yang dibuka berada di wilayah desa lain, dan ada tujuh warga desa lain yang lahannya ternyata
masuk wilayah Harapan Jaya," ujar Sekretaris Desa Harapan Jaya Eko Sugisantoso mengungkapkan kepada
Republika.co.id.
Maka, kesepakatan dengan desa sebelah dilakukan, dan penjelasan kepada pemilik lahan juga diberikan agar tidak
muncul konflik. Kesepakatan itu menetapkan hak kepemilikan lahan tetap ada pada warga selaku ahli waris dari
warga yang dulu membuka lahan itu. "Mereka harus mengikuti segala peraturan yang ditetapkan oleh desa yang
memiliki wilayah administratif lahan yang mereka garap itu," kata Eko.
Dengan adanya pemetaan itu pula, warga menjadi tahu sejarah desa mereka karena pemetaan partisipatif juga
menuliskan data sosial dan sejarah desa. Sudah ada tiga dari generasi pertama masyarakat transmigran yang
dikirim pemerintah pada 1981.
Manfaat peta
Ketika ada kasus penyerobotan tanah oleh perusahaan swasta, Rasidi sempat ditahan sembilan hari karena
perjuangannya melindungi tanah desa dari penyerobotan perusahaan. Untuk menyusun rencana pembangunan
jangan panjang desa, mereka membutuhkan rencana tata ruang wilayah desa. Karena itu, menurut Rasidi, mereka
perlu mengetahui batas wilayah yang jelas dan peta kontur tanah.
Perlu 12 hari berada di lapangan untuk mengumpulkan titik-titik koordinat. Salah satu warga Harapan Jaya bahkan
harus berenang di parit untuk mencapai titik yang akan diplot di GPS. Parit di lahan gambut biasanya mencapai
kedalaman dua meter dengan lebar di atas empat meter.
Ketika data lapangan itu harus dipindahkan ke kertas, harus dicocokkan satu sama lain, mereka perlu begadang
bertemankan kopi. "Setelah peta selesai, karena kita buat sendiri, masyarakat jadi tahu batas wilayahnya, sehingga
kami merasa perlu mempertanggungjawabkan jika orang luar mempertanyakannya," ujar Sekdes Eko.
Peta hasil pemetaan partisipatif masyarakat di Lombok Utara (Foto: Priyantono Oemar/ Republika)
Adanya konflik batas wilayah sempat dilontarkan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek dalam di acara
Puncak Peringatan Hari Informasi Geospasial ke-47 di kantor BIG, Cibinong, Oktober 2016. Konflik itu muncul
ketika ada kementerian yang mengeluarkan izin tambang tanpa berkoordinaasi dengan pemda. "Ribuan warga
dari Kalimantan Tengah menyerbu Kalimantan Timur, mengklaim wilayah Kalimantan Timur sebagai wilayah
mereka," ujar Awang Faroek.
Karena ini wilayah antarprovinsi, Awang Faroek meminta BIG membantu menyelesaikan batas wilayah. Di pulau
di Selat Makassar yang berbatasan dengan Sulawesi Barat, menurut Awang Faroek, juga muncul konflik. Pulau
itu diperebutkan Kaltim dan Sulbar karena kandungan migasnya. "Semoga tak terjadi konflik di tingkat
masyarakat," ujar Awang Faroek.
Ketika BIG sudah memiliki peta, kata Awang Faroek, peta itu membantu dalam penyelesaikan konflik batas
wilayah. "Kita MoU dengan BIG, Alhamdulillah banyak masalah batas yang bisa diselesaikan. Data akurat,
investor percaya investasinya aman," ujar Awang Faroek.
Di sela acara Puncak Peringatan Hari Informasi Geospasial itu, Kepala BIG Priyadi Kardono mengatakan jika ada
konflik batas wilayah di tingkat masyarakat, lembaga-lembaga terkaitlah yang harus menyelesaikannya terlebih
dulu. "BIG menyediakan data geospasial, tetapi tidak mempunyai akses untuk menyelesaikan kasusnya," ujar
Priyadi menjawab pertanyaan Republika.co.id.
Priyadi menjelaskan, Kemendagri memiliki 398 segmen batas wilayah administrasi. BIG baru menyelesaikan 30
persennya. Terkait konflik lahan masyarakat dengan lahan pertambangan dan kebun sawit, menurut Priyadi, KPK
bahkan sempat meminta data kepada BIG untuk melihat tumpang tindih pemanfaatan lahan itu. KPK ingin
mengetahui pemanfaatan lahan sebelum dikeluarkannya izin tambang dan izin kebun sawit.
Kebijakan satu peta
Menuju tercapainya kebijakan satu peta pada 2019, BIG telah menyelesaikan 80 persen pemetaan desa berskala
1:5.000. Pada 2016 ini, BIG berkonsentrasi melakukan pemetaan di Kalimantan, sesuai instruksi Presiden Jokowi.
"Ada 85 peta tematik yang harus dibuat, sebanyak 66 peta tematik mencakup seluruh Kalimantan," ujar Priyadi.
Jokowi memerintahkan penyelesaian pemetaan pada 2016 di Kalimantan lantaran banyak konflik lahan di
Kalimantan. Pada 2017 pemetaan digeser ke Sumatra dan Sulawesi. Ada tumpang tindih peta pertambangan,
perkebunan, kehutanan, dan agraria, yang perlu dituntaskan.
MCA Indonesia sedang dalam tahap ketiga melakukan pemetaan partisipatif, di 11 kabupaten yang ada di empat
provinsi. Tahap pertama dilakukan di Merangin dan Muaro Jambi Provinsi Jambi dan di Mamuju dan Mamasa
Provinsi Sulawesi Barat. Di tahap ini, berdasarkan analisis data, ditemukan 215 data tumpang tindih batas.
Sebanyak 144 di Muaro Jambi, 43 di Mamuju dan tujuh di Mamasa.
Tahap kedua di NTT, NTB, dan Jambi. Di NTT meliputi Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Timur, Sumba
Tengah. Di NTB meliputi Lombok Tengah, Lombok Utara, dan Lombok Timur. Di Jambi meliputi Tanjung
Jabung Timur dan Kerinci.
"Peta-peta itu memudahkan penyusunan kebijakan dan kegiatan ekonomi," ujar Deputi Bidang Pendanaan
Pembangunan Bappenas Kennedy Simanjuntak yang juga menjabat sebagai sekretaris Majelis Wali Amanah
MCA Indonesia saat membuka Pameran Pengetahuan Kemakmuran Hijau yang diadakan Yayasan Bakti dan
MCA Indonesia di Jakarta, Selasa (13/12).
HKM Peraih Sertifikasi Ekolabel Pertama
Meski telah mendapatkan izin pemanfaatan hutan sejak 1997 melalui program percontohan HKm, Artim
mengatakan Hutan Santong ditetapkan sebagai HKm pada tahun 2009 melalui Surat Keputusan (SK) Menhut No:
447 /Menhut-II/2009 meliputi Kawasan Santong dan Monggal di Kabupaten Lombok Utara.
Dan kerja keras anggota Koperasi Tani Hutan Maju ternyata mendapatkan apresiasi dari pemerintah. HKm
Santong memperoleh sertifikat ekolabel dari Kementerian Kehutanan dan menjadi yang pertama di Indonesia
untuk jenis hutan kemasyarakatan.
Dengan sertifikasi tersebut, warga telah mendapat persetujuan izin usaha untuk pemanfaatan hutan
kemasyarakatan (IUPHKM) oleh Kementerian Kehutanan.
Sertifikasi tersebut diterima oleh Artim langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara puncak
peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN) 2011 di Sentul, Bogor,
Jawa Barat .
“Pada 2011, kami mendapatkan izin IUPHKM. Dengan izin itu, masyarakat dapat mengelola hutan dan
memanfaatkannya sampai 35 tahun,” katanya.
Tidak berhenti hanya sampai IUPHKM, Masyarakat Santong sedang mengajukan izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu (IUPPHK) untuk bisa mengambil kayu dari hutan Santong. “Oleh karena itu, kami sedang membuat
rencana umum dan operasional untuk pemanfaatan kayu,” ujar Artim.
Download