Pengusaha institusional harus memiliki keterampilan selain mereka pengusaha tradisional, termasuk keterampilan dalam berurusan dengan pejabat pemerintah dan opini publik. Akibatnya, jika dibandingkan dengan pengusaha tradisional, Pengusaha institusional menghasilkan positive yang lebih signifikan eksternalitas terhadap ekonomi dan merupakan kekuatan penting pembangunan ekonomi dan reformasi Artim Yahya memanfaatkan program limpahan dari desa tetangga untuk menyejahterakan desanya. "Tabungan sapi" untuk ke Tanah Suci yang dia pelopori masih terus berjalan sampai kini. ANDRA NUR OKTAVIANI, Lombok Utara MEMANDANG pepohonan di lahan hutan yang dia kelola, Artim Yahya menarik napas lega. Sonokeling, sengon, dan beberapa jenis pohon lain tumbuh subur. Bahkan sudah cukup besar untuk dipanen. "Nilai-nilai ekonomis kayu-kayu itu sangat besar," katanya kepada Jawa Pos yang menemuinya awal bulan lalu. Desa Santong, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, tempat tinggalnya, kini juga sudah jauh berubah. Anak-anak mudanya sudah bersekolah sampai ke perguruan tinggi. Rumah-rumah warga telah bertembok. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah berhaji. Semua itu sungguh tak terbayangkan dua puluh tahun lalu. Dua dekade silam, Santong hanyalah desa gersang dengan rata-rata penduduk miskin. Tidak ada tanaman produktif yang tumbuh di kampung tersebut. Artim-lah figur sentral di balik transformasi Santong. Dari desa tertinggal hingga menjadi desa percontohan di Asia Tenggara sekarang ini. Dan, itu berawal dari sebuah "program limpahan" desa lain. Pada 1997 lalu itu, desa tetangga Santong-lah yang sejatinya terpilih sebagai desa percontohan program Hutan Kemasyarakatan (HKm). Tapi, entah kenapa, warga desa tersebut menolak. Mendengar itu, Artim yang ketika itu menjadi kepala desa langsung menawarkan desanya untuk dijadikan percontohan. Dia melihat HKm bisa menjadi jawaban atas kekhawatirannya pada nasib masyarakat Desa Santong yang secara ekonomi sangat jauh dari kata mapan. Bibit yang sudah dikirim pemerintah ke desa sebelah pun akhirnya diangkut Artim ke Desa Santong. Awalnya, Artim dan warga ragu untuk memanfaatkan hutan Santong karena tandus dan gersang. Tapi, dengan tekad kuat lepas dari kemiskinan, mereka mencoba mengolah lahan hutan dengan menanam berbagai jenis pohon yang bibitnya memang sudah diberikan pemerintah. "Seperti sonokeling, sengon, mahoni, gamelila, dan kalimuru, yang ditanam dengan sistem tumpang sari bersama dengan tanaman sirih," cerita Artim yang kini berusia 51 tahun. Seiring dengan berjalannya waktu, jenis tanaman yang ditanam di HKm pun bertambah. Masyarakat meluaskan sistem tumpang sari dengan menanam tanaman buah-buahan seperti kakao, kopi, alpukat, nangka, melinjo, kemiri, vanili, dan durian montong. Menurut Artim, jika hanya mengandalkan tanaman kayu-kayuan, masyarakat tetap tidak akan punya penghasilan rutin. Santong yang sebelumnya gersang dan tandus menghijau dan rimbun. Mereka pun mulai menikmati hasil tanaman buah yang mereka tanam. Kakao, kopi, alpukat, durian montong, dan yang lain menjadi sumber penghasilan warga. Itulah yang juga kemudian berhasil meningkatkan perekonomian warga sebagai komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK). Setelah merasakan sendiri dampaknya, warga Desa Santong semakin bersemangat mengelola lahan mereka. Tak semata mengandalkan hasil hutan, tapi juga mulai berinisiatif meningkatkan nilai ekonomis hasil hutan dengan mengolahnya menjadi barang jadi. Contohnya, jika sebelumnya warga Desa Santong menjual biji kopi ke koperasi untuk dijual kembali ke produsen kopi, kini mereka belajar mengolah kopi. "Nanti yang dijual dari petani itu berbentuk kopi bubuk. Harganya sudah jauh lebih tinggi daripada biji kopi," terangnya. Dinas koperasi juga memberikan pelatihan pascapanen berupa pembuatan keripik, sale pisang, dan dodol durian. Warga pun mulai mengaplikasikan hasil pelatihan tersebut. Misalnya, sale pisang. Sebelumnya, mereka menjual pisang dalam keadaan mentah seperti di pasar-pasar. Hal yang sama akan dilakukan pada kakao. Nanti ada pengolahan kakao para petani HKm. Setelah itu, hasilnya baru dijual ke luar. Dinas perkebunan membantu masyarakat dengan teknik pascapanen berupa fermentasi kakao agar hasil panen menjadi lebih bagus. Fermentasi kakao bisa membantu mengurangi biji kakao yang pecah. "Karena biji kakao yang pecah bisa mengurangi harga. Kami sangat butuh sentuhan teknologi untuk meningkatkan kualitas dan ekonomi dari hasil hutan kami," kata Artim. Dua puluh tahun lalu, ungkap dia, tidak ada satu pun warga yang berani bermimpi untuk naik haji. Jangankan naik haji, untuk kebutuhan sehari-hari saja, mereka masih kesulitan. Namun, sekarang tidak lagi. Dari hasil pertanian itu pula, setidaknya 20 warga Santong, termasuk Artim, sudah bisa menunaikan haji. Beberapa akan menyusul berangkat haji. Tidak seperti kebanyakan calon jamaah haji yang menabung di bank untuk membayar ongkos naik haji, warga Desa Santong menabung dengan cara mereka sendiri. Cara yang terbilang unik pada era modern sekarang ini. "Jadi, uang hasil menjual komoditas hutan kami gunakan untuk membeli sapi. Sapinya nanti terus besar dan beranak. Sapi itu kami jual untuk bayar ongkos naik haji," tutur Artim. Kesuksesan Desa Santong mengelola HKm itu pun menggema jauh. Hampir setiap tahun berbagai pihak datang berkunjung, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pada 2000, misalnya, bupati dan ketua DPRD Kulon Progo, Jogjakarta, datang. "Sekarang mereka juga sudah punya HKm sendiri," ujarnya. Kunjungan dari luar negeri dimulai pada 2009. Diawali rombongan dari Jepang. Pada 2011, utusan dari 14 negara di Asia giliran berkunjung ke HKm Santong untuk mempelajari keberhasilan pengelolaan hutan berbasis masyarakat itu. Pada tahun yang sama, ada 35 negara yang field trip ke Desa Santong. Tahun berikutnya, ada 15 negara yang melakukan kunjungan. Setelah itu, pada Oktober 2012, ada utusan dari 10 negara ASEAN yang datang untuk melakukan studi banding mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Mereka datang untuk melihat partisipasi masyarakat dan meminta informasi mengenai proses izin HKm Santong dari bupati Lombok Utara. Artim menyatakan, pada 2013, Bank Dunia juga sempat berkunjung ke HKm Santong. Mereka melihat dampak HKm Santong kepada masyarakat. Pada 2013, ada pula petani dari Jawa Timur yang ingin melihat pengelolaan kopi dan kakao. "Setahun, bisa ada dua rombongan yang datang berkunjung ke HKm Santong," jelas Artim. Itulah yang membuat Artim yang kini hanya berstatus petani biasa jadi lega. Meski belum sepenuhnya. HKm yang dikelola masyarakat Desa Santong belum mengantongi izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK). "Kami baru punya izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu. Sekarang kayunya mulai tua. Kalau izin tidak keluar, pohon akan tumbang," tegasnya. Tapi, seperti juga dua dekade silam, Artim tak hendak menyerah. Sekarang dia sedang menyiapkan berkas-berkas yang telah diperbarui untuk kembali mengajukan izin. (*/c5/ttg) Kondisi kehidupan masyarakat di sekitar kawasan hutan yang membentang di ujung timur Pulau Lombok itu tandus, dan hanya ditumbuhi padang ilalang. Kawasan hutan yang masuk wilayah hutan Rinjani itu merupakan bekas ladang berpindah. Untuk memenuhi kebutuhan, masyarakat di sekitar kawasan hutan itu terpaksa bekerja sebagai buruh. Mereka hidup dalam kondisi serba kekurangan. Tidak ada sumber penghasilan tetap yang bisa diharapkan untuk menopang hidup. Tujuh tahun silam masyarakat di pinggiran hutan itu hidup dalam lilitan kemiskinan. Jangankan biaya pendidikan anak-anak, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja sangat sulit. Tidak ada lahan pertanian yang bisa digarap. Itulah potret kehidupan masyarakat di Desa Santong, Kecamatan Kayangan, yang saat itu masih menjadi bagian dari Kabupaten Lombok Barat dan setelah dilakukan pemekaran empat tahun lalu desa itu masuk wilayah Kabupaten Lombok Utara. Kondisi yang cukup memprihatinkan itu memaksa H Artim Yahya, salah seorang petani di Desa Santong bersama petani lainnya berpikir keras bagaimana mengubah kondisi kehidupan menjadi lebih baik. Namun, cerita duka itu berangsur-angsur hilang setelah pemerintah mulai menginisiasi program Hutan Kemasyarakatan (HKM) atau "Community Forestery" pada 1997. Masyarakat Santong diberikan hak mengelola kawasan hutan. " Kami bisa bernafas lega ketika Saat itu di kawasan hutan seluas 758 hektare tersebut tidak ada tanda kehidupan. Para peladang berpindah menelantarkan begitu saja bekas lahan garapan yang kemudian berubah menjadi semak belukar yang gersang," kata pria berpenampilan sederhana itu. Petani kecil yang bernama lengkap H Artim Yahya yang menjadi kepala desa pertama di Santong sejak terbentuk tahun 1997 silam bersama masyarakat desa itu sepakat menerima tawaran mengelola HKM yang ditawarkan pemerintah saat itu. Kawasan Santong dan Monggal di Kabupaten Lombok Utara ditetapkan menjadi HKM dengan Surat Keputusan (SK) SK Menhut No: 447 /Menhut-II/2009. "Saat itu kami sempat psimis, karena kawasan hutan seluas 758 hektare itu kondisinya tandus, tanpa sebatang pohon dan nyaris tanpa tanda-tanda kehidupan," kata pria yang kini dikenal sebagai "bapak HKM" mengenang masa silam yang kelabu. Pada awalnya masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan Santong yang berjarak sekitar 50 kilometer arah utara Mataram itu mencoba menanam berbagai jenis pohon dengan sistem tumpang sari "Pada tahun pertama dan kedua kami memperoleh bantuan dari Dinas Kehutanan Provinsi NTB berupa bibit kayu-kayuan, antara lain sengon, kalimuru (udu), gamelila dan sonokeling dan pada tanaman kayu tersebut juga ditanam `lekoq¿ (sirih) ,¿ kata mantan kepala desa yang kini menjadi Ketua Koperasi Tani-Hutan Maju Bersama Desa Santong. Selain kayu-kayuan para petani hutan juga menanam bibit tanaman buah-buahan seperti nangka, melinjo, alpukat, durian, kemiri dan kakao atau cokelat. Komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) inilah yang kemudian menjadi sumber kehidupan masyarakat tepi hutan itu. Pada tahun ketiga yang merupakan masa pemeliharaan tahap kedua, masyarakat menyediakan bibit secara swadaya untuk penyulaman. Saat itu lahan tandus di kawasan hutan Santong tersebut mulai berubah menjadi hambaran pemohonan yang hijau. "Jadi ibaratnya kalau sebelum ada HKM tahun 1997, hutan Santong itu hanya kawasan semak belukar tanpa sebatang pohon. Namun pada 2011 kami sudah sulit untuk menanam pohon, karena semua lahan sudah dipenuhi tumbuhan,¿ kata pria yang memelopori masyarakat dalam mengembangkan HKM Santong. Perjuangan panjang dan melelahkan yang dilakukan Artim Yahya bersama masyarakat itu kini telah membuahkan hasil. Padang tandus yang sebelumnya hanya ditumbuhi ilalang itu kini telah berubah menjadi hutan yang menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitarnya. Kawasan hutan Santong seluas 758 hektare itu kini telah mampu memberikan kehidupan yang lebih baik bagi 1.258 orang petani hutan yang menjadi anggota Koperasi Tani Hutan Maju Bersama. Para petani itu tersebar di Kecamatan Kayangan dan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Bagi Artim Yahya keberhasilan itu tak mungkin bisa diraih tanpa perjuangan yang tak kenal lelah dan dorongan pemerintah daerah maupun pusat serta pembinaan dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial ( LP3ES). Pembinaan kepada petani HKM itu kemudian dilanjutkan oleh Konsorsium Untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) NTB dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) pemberdayaan masyarakat pinggiran. "Kami mendapat pembinaan dari PL3ES yang kemudian dilanjutkan oleh Konsepsi NTB dan LSM pemberdayaan masyarakat pinggiran mulai 1997 hingga tahun 2000. Hasilnya cukup menggembirakan para petani berhasil mengelola kawasan hutan yang sebelumnya tandus menjadi lahan produktif dan kami memiliki sumber penghasilan tetap," kata Artim Yahya dengan penuh semangat. Kawasan hutan yang dulunya gersang dan tandus kini teah berubah menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat. Dari lahan HKM masing-masing seluas 0,75 haktare yang ditanami berbagai jenis kayu-kayuan dan buah-buahan termasuk pisang itu para petani meraup penghasilan rata-rata Rp3 juta per bulan. Bahkan para petani hutan bis meraup keuntungan mencapai Rp5 juta lebih per bulan. Khusus dari tanaman "lekoq" atau sirih para petani mendapatkan keuntungan mencapai rata-rata Rp500.000 per bulan. "Daun sirih merupakan komoditas primadona bagi petani hutan di HKM Santong, karena. Bahan utama makan sirih ini cukup laris, karena tradisi makan sirih ini masih terus dilakukan masyarakat terutama para orang tua terutama di wilayah timur Kabupaten Lombok Utara," kata petani yang mengaku menunaikan ibadah haji dari hasil HKM. Desa Sejahtera Sejatinya keberadaan HKM telah mengubah wajah Desa Santong yang sebelumnya kental dengan nuansa keterbelakangan dan kemiskinan, menjadi desa yang maju dan sejahtera. Artim Yahya mengisahkan tujuh tahun silam warga desa di pinggiran hutan Santong umumnya tinggal di gubuk yang tidak layak huni dan anak-sanak saat itu paling tinggi hanya lulus SMP. Untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi masyarakat tidak memiliki biaya. "Anak-anak di Desa Santong paling tinggi lulus SMP. Berkat keberhasilan HKM anak-anak kami paling rendah lulusan SMA. Bahkan sudah banyak yang bisa melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Hingga kini 15 orang kuliah dan lima diantaranya sudah meraih gelar sarjana," kata bapak dari dua anak yang kini sedang duduk di bangku kuliah itu. Ke depan, kata Artim Yahya, akan banyak "Sarjana HKM" atau menjadi sarjana dengan biaya dari hasil hutan kemasyarakatan. Hingga kini sudah belasan orang yang menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makah termasuk pada musim haji tahun 2012 ada satu orang petani hutan yang menunaikan ibadah rukun Islam kelima itu. "Saat ini sudah banyak "Haji HKM" Di masa mendatang akan lebih banyak lagi menjadi haji dari hasil usaha tani hutan tersebut. Ini berkah dari Allah yang patut kita syukuri,¿ kata Artim yang juga bergelar Haji HKM ini. Keberhasilan para petani itu menjadi semakin sempurna ketika HKM Santong di Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Utara seluas 758 hektare meraih sertifikasi ekolabel pertama di Indonesia untuk jenis hutan kemasyarakatan. "Kami mendapatkan apresiasi atas sertifikasi itu dari Menteri Kehutanan bersamaan pada puncak peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN) 2011 di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat ," kata Artim Yahya dengan penuh kebanggaan. Penghargaan bergengsi itu diterima Artim Yahya atas perjuangannya membangun HK Santong itu diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Puncak peringatan HMPI dan BMN 2011 di Bukit Merah Putih, Santi Dharma Indonesia Peace and Security Center atau Pasukan Misi Pemeliharaan Perdamaian, di Sentul, Kecamatan Citeureup, Bogor, Provinsi Jawa Barat. Atas keberhasilnya memelopori program HKM Santong, kini Artim Yahya, petani kecil yang hidup sengsara tujuh tahun silam itu kini telah menjadi sosok petani terkenal tidak hanya di level nasional, tetapi juga di tararan internasional. Mantan Kepala Desa Santong itu kini menjadi terkenal bak "seleberity". Kesehariannya kini disibukkan dengan menerima kunjungan tamu baik dari provinsi lain maupun luar negeri yang ingin melihat secara langsung pengelolaan hutan berbasis masyarakat sekaligus ingin belajar bagaimana mengubah hutan tandus menjadi sumber kehidupan masyarakat. Prestasi gemilang yang dicapai Artim Yahya bersama masyarakat di Desa Santong itu kini telah menjadi objek studi banding internasional , banyak tamu dari luar negeri yang datang baik secara perorangan maupun kelompok Pada Oktober 2012 untusan dari 10 negara ASEAN melakukan studi banding mengenai pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Para pecinta lingkungan dari negara-negara Asia itu berkunjung ke HKM Santong untuk belajar mengenai pengelolaan hutan Santong, melihat partisipasi masyarakat dan meminta informasi mengenai proses izin HKM Santong dari Bupati Lombok Utara. "Hampir setiap tahun delegasi pemerhati hutan dari berbagai negara datang ke HKM Santong, baik melalui asosiasi maupun utusan dari masing-masing negara," kata Artim Yahya seraya berjanji akan terus mempertahankan hutan yang telah mendatangkan "berkah" bagi ribuan warga di Desa Santong itu . Tahun 2011, utusan dari 14 negara di Asia berkunjung ke HKm Santong untuk mempelajari mengenai keberhasilan pengelolaan hutan di daerah ini. Sementara pada 2009 rombongan dari Jepang juga melakukan penelitian atas keberhasilan masyarakat sekitar hutan mengelola HKm Santong. Kerja keras Yahya Artim bersama masyarakat Desa Santong ini agaknya patut menjadi contoh bagi masyarakat lainnya dalam mengubah lahan tandus menjadi hutan belantara yang menjadi sumber penghidupan. Dan tidak merusak hutan yang akhirnya akan mendatangkan bencana. (*) Haji Artim Yahya memperlihatkan peta berskala 1:2.500. Ada coretan perbaikan di beberapa titik, karena peta yang ia tunjukkan masih berupa rancangan. Ada batas lahan yang digarap masing-masing petani, berikut namanama petaninya. "Ketika sudah naik ke hutan untuk menentukan titik koordinat batas lahan garapan, ternyata petaninya tidak ada di lokasi, sehingga harus ke kampung mencari petaninya," ujar Artim menceritakan suka-duka pembuatan peta partisipatif ini kepada Republika.co.id, Senin (26/12). Untuk mencapai wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang harus dipetakan, mereka harus berjalan kaki melalui jalan setapak. Kadang ada lahan garapan yang dibelah oleh jalan setapak, sehingga sedikit merepotkan, karena lahannya menjadi dua bagian. "Ada saat harus bolak-balik ke titik koordinat yang akan diplot, sehingga membuat pemetaan menjadi lama, karena jalan setapaknya tak bisa dilalui sepeda motor," ujar Artim yang menjadi ketua HKm di Kabupaten Lombok Utara itu. Artim menyebut peta yang ia miliki merupakan peta HKm seluas 750 hektare. Ada empat blok wilayah garapan di Hkm itu, sehingga ada empat peta yang dibuat. Mereka harus belajar menggunakan peralatan yang sebelumnya tak pernah mereka lihat, seperti Global Positioning System (GPS). "Kami melakukan pemetaan partisipatif mulai September lalu, melalui program MCAI didampingi WWF Indonesia," ujar Artim. Yang dimaksud Artim sebagai MCAI adalah Millenium Challenge Account Indonesia, badan pengelola dana hibah dari Amerika Serikat melalui Millenium Challenge Corporation. Dana hibah ini digunakan untuk pengentasan kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi. Menurut Artim, Lombok Utara menjadi peserta program ini pada 2016. Salah satunya adalah program pemetaan partisipatif, yang dalam pelaksanaannya juga melibatkan Bappeda dan bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial (BIG). "Dengan peta ini, sekarang batas-batas wilayah garapan di HKm menjadi jelas," ujar petani kopi di Desa Santong, Kecamatan Kayangan, itu. H Artim Yahya memperlihatkan peta Hutan Kemasyarakatan (foto: Priyantono Oemar/ Republika). HKm itu dikelola empat desa di dua kecamatan di Lombok Utara. Menurut Artim, mereka sebenarnya sudah memiliki peta pada 1997, yang mereka dapatkan dari Dinas Kehutanan. Tetapi, peta ini belum detail, karena batasbatas wilayah garapannya masih kurang jelas. "Di desa kami masih memakai patokan batas alami, seperti kali dan bukit," ujar Artim. November lalu, pembuatan peta partisipatif sudah mereka tuntaskan untuk empat blok garapan di Hkm berikut peta desa. Blok wilayah garapan di desa Artim, ditanami kopi, durian, kakao, dan porang –umbi bahan baku mi. Lewat program pemetaan partisipatif itu, dilakukan pula pengukuran karbon di empat blok garapan. Di Lombok Utara ada empat desa yang melakukan pemetaan partisipatif. Masing-masing desa melibatkan enam orang. Tak ada perubahan batas, tetapi pemetaan partisipatif ini mempertegas batas yang sudah ada. "Di batasbatas alami, kita tetapkan titik koordinat," kata Artim yang memimpin 830 petani di empat desa yang tergabung dalam Koperasi Maju Bersama. Selesaikan masalah batas Dari pemetaan partisipatif ini, mereka juga memiliki peta kontur tanah. Desa Harapan Jaya di Riau, misalnya, membuat peta kontur berskala 1:2.000 sehingga dapat memberikan perlakuan secara benar terhadap lahan gambut di desa mereka. Dengan informasi dari peta kontur itu dibuatlah rencana pengelolaan air di lahan gambut kami, agar lahan gambut kami pulih kembali. Mereka lakukan perbaikan parit/kanal, karena tak mungkin membuat parit baru. Untuk memperbaiki parit saja, yaitu sepanjang 47,5 km dengan lebar lima meter dan dalam tiga meter, dibutuhkan anggaran Rp 3,3 miliar. Parit-parit yang membuat gambut kering disekat agar lahan gambutnya produktif. "Kami sekat parit-parit untuk menjaga kebasahan gambut," ujar Kepala Desa Harapan Jaya Rasidi kepada Republika.co.id pada 20 November lalu. Desa Harapan Jaya mengalami kerusakan lahan gambut cukup parah. Pembuatan parit oleh perusahaan pengelola tanaman industri dan pelaksana proyek pembangunan rawa terintegrasi telah menghancurkan kubah gambut, sehingga merusak lahan gambut yang mereka jadikan sawah. Pembuatan parit itu tak memperhatikan kontur lahan. Akibatnya, sejak 1992 hingga 1995, mereka tak bisa menanam padi lagi di lahan gambut mereka. Untuk memulihkan ekosistem lahan gambut, Desa Harapan Jaya mendapat bantuan dari Sekretariat ASEAN yang didukung Komisi Eropa. Pemetaan partisipatif menjadi salah satu kegiatan lewat pendampingan dari Global Environment Centre dan Yayasan Mitra Insani Riau. Keberhasilan di Harapan Jaya, menurut Direktur Yayasan Mitra Insani Zainuri Hasyim, dijadikan inspirasi program serupa di negara lain anggota ASEAN. Membahas pembuatan peta berteman kopi hingga larut malam (Dokumen: Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif/JKPP) Ketika Rasidi mencetuskan ide pemetaan partisipatif kepada warga desa, banyak yang bingung dibuatnya. Menurut Rasidi, pemetaan perlu dilakukan lantaran desa mereka selama ini tak memiliki batas yang jelas. Setiap ganti camat, batas desa mereka selalu berubah. Batas desa yang mereka jadikan acuan hanyalah peta transmigrasi yang menetapkan batas desa mereka adalah anak sungai dari Sungai Indragiri, Gaung Anak Serka. Setelah pemetaan partisipatif selesai, mereka memiliki batas wilayah administrasi. Dari pelaksanaan pemetaan itulah diketahui ada lahan yang dibuka warga ternyata masuk ke wilayah desa lain. Demikian juga diketahui adanya lahan di Desa Harapan Jaya yang dibuka oleh warga dari desa lain. "Ada tiga warga Harapan Jaya yang ternyata lahan yang dibuka berada di wilayah desa lain, dan ada tujuh warga desa lain yang lahannya ternyata masuk wilayah Harapan Jaya," ujar Sekretaris Desa Harapan Jaya Eko Sugisantoso mengungkapkan kepada Republika.co.id. Maka, kesepakatan dengan desa sebelah dilakukan, dan penjelasan kepada pemilik lahan juga diberikan agar tidak muncul konflik. Kesepakatan itu menetapkan hak kepemilikan lahan tetap ada pada warga selaku ahli waris dari warga yang dulu membuka lahan itu. "Mereka harus mengikuti segala peraturan yang ditetapkan oleh desa yang memiliki wilayah administratif lahan yang mereka garap itu," kata Eko. Dengan adanya pemetaan itu pula, warga menjadi tahu sejarah desa mereka karena pemetaan partisipatif juga menuliskan data sosial dan sejarah desa. Sudah ada tiga dari generasi pertama masyarakat transmigran yang dikirim pemerintah pada 1981. Manfaat peta Ketika ada kasus penyerobotan tanah oleh perusahaan swasta, Rasidi sempat ditahan sembilan hari karena perjuangannya melindungi tanah desa dari penyerobotan perusahaan. Untuk menyusun rencana pembangunan jangan panjang desa, mereka membutuhkan rencana tata ruang wilayah desa. Karena itu, menurut Rasidi, mereka perlu mengetahui batas wilayah yang jelas dan peta kontur tanah. Perlu 12 hari berada di lapangan untuk mengumpulkan titik-titik koordinat. Salah satu warga Harapan Jaya bahkan harus berenang di parit untuk mencapai titik yang akan diplot di GPS. Parit di lahan gambut biasanya mencapai kedalaman dua meter dengan lebar di atas empat meter. Ketika data lapangan itu harus dipindahkan ke kertas, harus dicocokkan satu sama lain, mereka perlu begadang bertemankan kopi. "Setelah peta selesai, karena kita buat sendiri, masyarakat jadi tahu batas wilayahnya, sehingga kami merasa perlu mempertanggungjawabkan jika orang luar mempertanyakannya," ujar Sekdes Eko. Peta hasil pemetaan partisipatif masyarakat di Lombok Utara (Foto: Priyantono Oemar/ Republika) Adanya konflik batas wilayah sempat dilontarkan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek dalam di acara Puncak Peringatan Hari Informasi Geospasial ke-47 di kantor BIG, Cibinong, Oktober 2016. Konflik itu muncul ketika ada kementerian yang mengeluarkan izin tambang tanpa berkoordinaasi dengan pemda. "Ribuan warga dari Kalimantan Tengah menyerbu Kalimantan Timur, mengklaim wilayah Kalimantan Timur sebagai wilayah mereka," ujar Awang Faroek. Karena ini wilayah antarprovinsi, Awang Faroek meminta BIG membantu menyelesaikan batas wilayah. Di pulau di Selat Makassar yang berbatasan dengan Sulawesi Barat, menurut Awang Faroek, juga muncul konflik. Pulau itu diperebutkan Kaltim dan Sulbar karena kandungan migasnya. "Semoga tak terjadi konflik di tingkat masyarakat," ujar Awang Faroek. Ketika BIG sudah memiliki peta, kata Awang Faroek, peta itu membantu dalam penyelesaikan konflik batas wilayah. "Kita MoU dengan BIG, Alhamdulillah banyak masalah batas yang bisa diselesaikan. Data akurat, investor percaya investasinya aman," ujar Awang Faroek. Di sela acara Puncak Peringatan Hari Informasi Geospasial itu, Kepala BIG Priyadi Kardono mengatakan jika ada konflik batas wilayah di tingkat masyarakat, lembaga-lembaga terkaitlah yang harus menyelesaikannya terlebih dulu. "BIG menyediakan data geospasial, tetapi tidak mempunyai akses untuk menyelesaikan kasusnya," ujar Priyadi menjawab pertanyaan Republika.co.id. Priyadi menjelaskan, Kemendagri memiliki 398 segmen batas wilayah administrasi. BIG baru menyelesaikan 30 persennya. Terkait konflik lahan masyarakat dengan lahan pertambangan dan kebun sawit, menurut Priyadi, KPK bahkan sempat meminta data kepada BIG untuk melihat tumpang tindih pemanfaatan lahan itu. KPK ingin mengetahui pemanfaatan lahan sebelum dikeluarkannya izin tambang dan izin kebun sawit. Kebijakan satu peta Menuju tercapainya kebijakan satu peta pada 2019, BIG telah menyelesaikan 80 persen pemetaan desa berskala 1:5.000. Pada 2016 ini, BIG berkonsentrasi melakukan pemetaan di Kalimantan, sesuai instruksi Presiden Jokowi. "Ada 85 peta tematik yang harus dibuat, sebanyak 66 peta tematik mencakup seluruh Kalimantan," ujar Priyadi. Jokowi memerintahkan penyelesaian pemetaan pada 2016 di Kalimantan lantaran banyak konflik lahan di Kalimantan. Pada 2017 pemetaan digeser ke Sumatra dan Sulawesi. Ada tumpang tindih peta pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan agraria, yang perlu dituntaskan. MCA Indonesia sedang dalam tahap ketiga melakukan pemetaan partisipatif, di 11 kabupaten yang ada di empat provinsi. Tahap pertama dilakukan di Merangin dan Muaro Jambi Provinsi Jambi dan di Mamuju dan Mamasa Provinsi Sulawesi Barat. Di tahap ini, berdasarkan analisis data, ditemukan 215 data tumpang tindih batas. Sebanyak 144 di Muaro Jambi, 43 di Mamuju dan tujuh di Mamasa. Tahap kedua di NTT, NTB, dan Jambi. Di NTT meliputi Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Timur, Sumba Tengah. Di NTB meliputi Lombok Tengah, Lombok Utara, dan Lombok Timur. Di Jambi meliputi Tanjung Jabung Timur dan Kerinci. "Peta-peta itu memudahkan penyusunan kebijakan dan kegiatan ekonomi," ujar Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Bappenas Kennedy Simanjuntak yang juga menjabat sebagai sekretaris Majelis Wali Amanah MCA Indonesia saat membuka Pameran Pengetahuan Kemakmuran Hijau yang diadakan Yayasan Bakti dan MCA Indonesia di Jakarta, Selasa (13/12). HKM Peraih Sertifikasi Ekolabel Pertama Meski telah mendapatkan izin pemanfaatan hutan sejak 1997 melalui program percontohan HKm, Artim mengatakan Hutan Santong ditetapkan sebagai HKm pada tahun 2009 melalui Surat Keputusan (SK) Menhut No: 447 /Menhut-II/2009 meliputi Kawasan Santong dan Monggal di Kabupaten Lombok Utara. Dan kerja keras anggota Koperasi Tani Hutan Maju ternyata mendapatkan apresiasi dari pemerintah. HKm Santong memperoleh sertifikat ekolabel dari Kementerian Kehutanan dan menjadi yang pertama di Indonesia untuk jenis hutan kemasyarakatan. Dengan sertifikasi tersebut, warga telah mendapat persetujuan izin usaha untuk pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHKM) oleh Kementerian Kehutanan. Sertifikasi tersebut diterima oleh Artim langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada acara puncak peringatan Hari Menanam Pohon Indonesia (HMPI) dan Bulan Menanam Nasional (BMN) 2011 di Sentul, Bogor, Jawa Barat . “Pada 2011, kami mendapatkan izin IUPHKM. Dengan izin itu, masyarakat dapat mengelola hutan dan memanfaatkannya sampai 35 tahun,” katanya. Tidak berhenti hanya sampai IUPHKM, Masyarakat Santong sedang mengajukan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPPHK) untuk bisa mengambil kayu dari hutan Santong. “Oleh karena itu, kami sedang membuat rencana umum dan operasional untuk pemanfaatan kayu,” ujar Artim.