Uploaded by User77093

BAB214136310048

advertisement
31
BAB II
GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI
DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
Pendidikan karakter atau budi pekerti atau akhlak sampai saat ini masih menjadi
fokus pembicaraan yang menarik untuk selalu dikaji dan dicarikan solusinya. Pendidikan
karakter di Indonesia tergantung pada pendidikan Islam sebagai konsekwensi penduduknya
yang mayoritas beragama Islam. Bagian ini merupakan media untuk menjelaskan Guru
Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti mengupayakan keberhasilan pendidikan karakter
di lingkungan pendidikan sekolah serta konsep pendidikan karakter itu sendiri.
A. Peran Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
1. Definisi Peran
Definisi yang paling umum disepakati adalah bahwa peran merupakan seperangkat
patokan, yang membatasi apa perilaku yang mesti dilakukan oleh seseorang, yang
menduduki suatu posisi.45
Menurut Soerjono Soekanto, yaitu peran merupakan aspek dinamis kedudukan
(status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan
kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.46
Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” mempunyai arti pemain
sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat tingkah yang
diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan pada peserta didik.47
45
Edy Suhardono, Teori Peran Konsep, Derivasi dan Implikasinya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2016), hal 15
46
Soerjono Soekanto, Teori Peranan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hal 243.
47
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal
854.
31
32
Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka seseorang yang
diberi (atau mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh pekerjaan tersebut. Harapan mengenai peran seseorang
dalam posisinya, dapat dibedakan atas harapan dari si pemberi tugas dan harapan dari orang
yang menerima manfaat dari pekerjaan/posisi tersebut.
2. Konsep Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
Makna pendidikan dalam pengertiannya yang luas adalah semua perbuatan dan usaha
dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta
keterampilannya (orang menamakan hal ini juga sebagai mengalihkan kebudayaan) kepada
generasi muda, sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik
jasmaniah maupun rohaniah.48
Sedangkan arti pendidikan agama disebutkan dalam Peraturan Menteri Agama
(Permenag) RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang pengelolaan pendidikan agama pada sekolah
pasal 1 ayat 1 bahwasannya konsep dari pendidikan agama adalah pendidikan yang
memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta
didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui
mata pelajaran pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan.49 Hasil rumusan seminar
Pendidikan Islam se-Indonesia pada tahun 1960 secara sepesifik memberikan pengertian
tentang pendidikan Islam, yaitu sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan
jasmani menurut ajaran Islam dengan mengarah, mengajarkan, melatih, mengasuh dan
mengawasi berlakunya semua ajaran islam. Istilah membimbing dan mengarahkan serta
mengasuh atau melatih mengandung pengertian usaha mempengaruhi jiwa anak didik
48
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal 213.
Peraturan Menteri Agama RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada
Sekolah, hal 3.
49
33
melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan
taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran sehingga terbentuklah manusia yang
berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam.50
Konteksnya yang lebih khas dalam sebutan Pendidikan Agama Islam memiliki
makna sebagai usaha-usaha sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik supaya
mereka hidup sesuai dengan ajaran pendidikan agama Islam.51 Dengan maksud ini berarti
pendidikan agama islam lebih mengupayakan agar peserta didiknya hidup di dunia sesuai
dengan jalan dan alur yang telah ditetapkan oleh ajaran islam, yakni dapat mencapai
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Beberapa definisi Pendidikan Agama Islam di atas merupakan sebagian dari sekian
banyak pandangan pakar pendidikan Islam, untuk lebih jelasnya perlu diuraikan tentang
landasan dan dasar Pendidikan Agama Islam yang dilaksanakan pada pendidikan formal
atau sekolah, yaitu:
a.
Dasar Yuridis
Dasar ini menjadi landasan pelaksanaan pendidikan agama yang berasal dari
peraturan perundang-undangan, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
dijadikan pegangan dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah ataupun
lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia. Adapun dasar yuridis ini dibagi
menjadi tiga macam, yaitu:
1) Dasar Ideal
Dasar ideal adalah dasar dari Falsafah Negara Pancasila dimana sila pertama dari
pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung pengertian bahwa
50
51
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal 151.
Zuhairini, dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), hal 27.
34
seluruh bangsa indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau
tegasnya harus beragama.
2) Dasar Operasional
Yakni dasar dari UUD 1945 dalam Bab XI Pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
(a) Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa. (b) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadah menurut agama dan kepercayaannya tersebut.
3) Dasar Struktural/Konstitusional
Dasar struktural adalah dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan
pendidikan agama di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Dasar struktural juga
merupakan dasar UUD Tahun 2002 Pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: Negara
berdasakan atas Tuhan Yang Maha Esa (ayat 1), Negara menjamin tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agama dan kepercayaannya (ayat 2).
Bunyi dari UUD di atas mengandung pengertian bahwa bangsa indonesia harus
beragama, dalam pengertian manusia yang hidup di bumi indonesia adalah orang-orang
yang mempunyai agama.
b.
Dasar Religius
Maksud dasar religius adalah dasar yang bersumber dari ajaran Islam. Ajaran
Islam menegaskan pendidikan agama adalah perintah Tuhan dan merupakan perwujudan
ibadah kepada-Nya. Al-Qur’an dengan banyak ayat yang menunjukkan perintah tersebut,
antara lain QS al-Nahl/16 : 125.
35
             
           
Artinya:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
(Q.S. An-Nahl: 125).52
c.
Dasar psikologis
Dasar psikologis adalah dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan
kehidupan individu maupun masyarakat. Manusia di dunia ini dalam pandangan
psikologis selalu membutuhkan adanya pegangan hidup yang disebut dengan agama.
Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Dzat
Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolonganNya.53 Pendidikan Agama Islam dalam konteks psokologis, baik makna maupun
tujuannya haruslah mengacu kepada penanaman nilai-nilai Islam dengan tidak melupakan
etika sosial dan moralitas sosial.
Pendidikan Agama Islam menurut Ditbinpaisun (Direktorat Pembinaan Pendidikan
Agama Islam pada Sekolah Umum) adalah suatu usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak
didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan dapat memahami apa yang terkandung di
dalam islam secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta tujuannya, pada
akhirnya dapat mengamalkannya serta menjadikan ajaran-ajaran agama islam yang telah
52
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2012),
cet. X, hal 281.
53
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal
133.
36
dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya sehingga dapat mendatangkan keselamatan dunia
dan akhiratnya kelak.54
3. Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti dilihat dari keberadaannya dalam
kurikulum pendidikan nasional merupakan salah satu dari tiga mata pelajaran yang
dimasukkan ke dalam kurikulum setiap lembaga pendidikan formal di Indonesia. Hal ini
karena kehidupan beragama merupakan salah satu dimensi kehidupan yang penting pada
setiap individu dan warga negara. Melalui pendidikan agama diharapkan mampu terwujud
individu-individu yang berkepribadian utuh sejalan dengan pandangan hidup bangsa.,
mengingat berat dan besarnya peran pendidikan agama islam, maka perlu diformulasikan
sedemikian rupa, baik yang menyangkut sarana insani maupun non insani secara
komprehensif dan integral. Formulasi yang demikian bisa dilakukan melalui sistem
pengajaran agama Islam yang baik dengan didukung sumber daya manusia (guru) yang
berkualitas, metode pengajaran yang tepat, dan sarana prasarana yang memadai. 55
Istilah lain yang lazim digunakan untuk guru adalah pendidik. Uhbiyati dan Ahmadi
menyatakan bahwa pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi
bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar
mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, kholifah
dimuka bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.56
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) nomor 14 tahun 2005 tentang
guru dan dosen pasal 1 menyebutkan bahwasanya definisi seorang guru adalah pendidik
54
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), cet. XI, hal 88. Selanjutnya
ditulis Daradjat, Ilmu.
55
Ahmad Munjin Nasih & Lilik Nur Kholidah, Metode dan Teknik Pembelajaran Pendidikan Agama
Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2013), cet. II, hal 6.
56
Nur Uhbiyati dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Setia, 1997), cet. I, hal 71.
37
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.57
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa pendidik adalah tenaga
kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar,
widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.58
Sedangkan pengertian guru agama Islam adalah orang yang melaksanakan
bimbingan terhadap peserta didik secara islami dalam suatu situasi pendidikan Islam untuk
mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan ajaran islam.59
Selain terminologi normatif dalam konstitusi tersebut, terdapat definisi lain yang
menyatakan pendidik (dalam islam) adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, potensi kognitif, maupun
potensi psikomotorik.60
Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa yang
dimaksud guru atau pendidik adalah orang yang bertugas dan bertanggung jawab memberi
bimbingan kepada anak didik dalam perkembangannya baik pada jalur pendidikan formal
atau non formal. Adapun yang dimaksud dengan Pendidikan Agama Islam adalah usaha
57
Undang – Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas)
RI Nomor 11 Tahun 2011 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2013), cet. IX, hal 2.
58
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan
Pemerintah RI Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Serta Wajib Belajar, (Bandung: Citra Umbara,
2012), cet. IV, hal 3.
59
Ramayulis, Metodologi PAI, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hal 50. Selanjutnya ditulis Ramayulis,
Metodologi.
60
Abd. Majid, Pendidikan Berbasis Ketuhanan Membangun Manusia Berkarakter, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2014), hal 31.
38
sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan
mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dengan
memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar
umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.4
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan guru Pendidikan
Agama Islam dan Budi Pekerti adalah orang yang bertugas dan bertanggung jawab memberi
bimbingan kepada anak didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan
agama Islam baik pada jalur pendidikan formal atau non formal.
4. Syarat-syarat Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
Terkait dari pengertian guru PAI seperti yang telah dijelaskan di atas, pekerjaan guru
sebagai suatu profesi memerlukan suatu keahlian khusus serta tidak semua orang dapat
melakukannya dengan baik dan benar. Adapun beberapa syarat tersebut meliputi persyaratan
fisik, mental, moral dan intelektual. Untuk lebih jelasnya, Oemar Hamalik mengemukakan
sebagai berikut :
a.
Pengertian fisik yaitu kesehatan jasmani yang artinya seseorang guru harus
berpotensi dan tidak memilki penyakit manular yang membahayakan;
b. Persyaratan psikis yaitu kesehatan rohani yang artinya tidak mengalami gangguan
jiwa atau kelainan;
c. Persyaratan mental yaitu memilki sikap mental yang baik terhadap profesi
kependidikan, mencintai dan mengabdi serta memilki dedikasi yang tinggi pada
tugas dan jabatannya;
d. Persyaratan moral yaitu memiliki budipekerti luhur dan memilki sikap susila tinggi;
e. Persyaratan intelektual yaitu memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi
yang diperoleh dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang member bekal
guna menunaikan tugas dan kewajiban sebagai pendidik.61
Zakiyah Darajat dkk menambahkan suatu syarat khususnya bagi calon guru agama
yaitu persyaratan Aqidah. Guru agama harus takwa kepada Allah. Sebab ia menjadi teladan
61
Cece Wijaya dan Tabrani Rusyam, Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung
: Rosdakarya, 1991), hal 9.
39
bagi anak didiknya sebagaiaman rosullullah menjadi teladan bagi umatnya.6 Secara umum,
Purwanto menyebutkan syarat-syarat menjadi guru yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
Berijasah
Sehat jasmani dan rohani
Taqwa kepada tuhan yang maha esa
Bertanggung jawab
Berjiwa nasional.62
Semua persyaratan di atas dapat diterima dalam sistem pendidikan Islam, maka dapat
disimpulkan bahwa persyaratan untuk menjadi guru Pendidikan Agama Islam dan Budi
Pekerti dalam beberapa hal sama dengan persyaratan guru pada umumnya. Perbedaannya
hanya terkait dengan penekanan pada tiga hal, yakni: kemampuan guru dalam penanaman
nilai-nilai ajaran agama ke dalam pribadi siswa, ketaqwaannya kepada Allah, dan
kepribadian muslim yang sejati. Pada intinya persyaratan yang ditentukan oleh para ahli
pendidikan Islam, semuanya dimaksudkan agar guru dapat melaksanakan tugas sebagaimana
mestinya atau dengan kata lain bila guru telah memenuhi persyaratan khususnya syarat
keahlian, maka tugas guru yang berat itu akan lebih mudah untuk dilakukan.
Al Kanani, sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, mengemukakan persyaratan
seorang pendidik atas tiga macam, yaitu:
a. Syarat-syarat guru berhubungan dengan dirinya yaitu:
1) Hendaknya guru senatiasa inysaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam
segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat almiah yang diberikan
Allah kepadanya;
2) Hendaknya guru memeliahara kemuliaan ilmu;
3) Hendaknya guru bersifat zuhud;
4) Hendaknya guru tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat
untuk mencapainya;
5) Hendaknya guru menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara‟ dan
menjauhi situasi yang mendatangkan fitnah dan tidak menjatuhkan harga dirinya;
6) Hendaknya guru memelihara syiar-syiar Islam;
7) Hendaknya guru melakukan hal-hal yang disunnahkan agama;
62
Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, (Bandung: Remaja Karya, 1995), hal 171.
40
8) Hendaknya guru memelihara akhlak yang mulia dan menghindar dari akhlak buruk;
9) Hendaknya guru mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat;
10) Hendaknya guru selalu belajar dan tidak merasa malu menerima ilmu dari orang yang
lebih rendah;
11) Hendaknya guru rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan
ketrampilan dan kealhian yang dibutuhkan untuk itu.
b. Syarat-syarat guru berhubungan dengan pelajaran yaitu:
1) Sebelum berangkat mengajar, hendaknya guru bersuci dari hadats dan kotoran;
2) Ketika keluar dari rumah hendaknya berdoa agar tidak sesat dan menyesatkan;
3) Hendaknya guru mencari posisi yang dapat dilihat oleh semua muridnya;
4) Hendaknya guru membaca sebagian ayat al qur‟an sebelum mulai mengajar;
5) Hendaknya guru mengajar bidang studi sesuai dengan hierarki nilai kemuliaan dan
kepentinganya;
6) Hendaknya guru selalu mengatur volume suaranya;
7) Hendaknya guru menjaga ketertiban mejelis dengan mengarahkan pembahasan pada
obyek tertentu;
8) Hendaknya guru menegur muridnya yang tidak menjaga sopan santun;
9) Hendaknya guru bersikap bijak dalam melaksanakan proses pembelajaran;
10) Hendaknya guru berusaha mempersatukan hati siswanya antara satu dengan lainnya;
11) Hendaknya guru menyerahkan kembali segala urusan kepada Allah;
12) Hendaknya guru tidak mengasuh bidang studi yang tidak dikuasainya.
c. Syarat-syarat guru ditengah-tengah para muridnya, yaitu:
1) Hendaknya guru mengajar dengan niat mengaharap ridha Allah;
2) Hendaknya guru tidak menolak untuk mengajar murid yang tidak mempunyai niat
tulus untuk belajar;
3) Hendaknya guru mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri;
4) Hendaknya guru memotivasi muridnya untuk mencari ilmu seluas mungkin;
5) Hendaknya guru memahami kondisi muridnya dan mengetahui tingkat
kemampuannya;
6) Hendaknya guru melakukan evaluasi terhadap kegiatan pembelajarannya;
7) Hendaknya guru bersikap adil terhadap semua siswanya;
8) Hendaknya guru berusaha memenuhi kemaslahatan muridnya;
9) Hendaknya guru terus memantau perkembangan muridnya.63
5. Kode Etik Profesi Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara serta kemanusiaan pada umumnya. Guru
Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setiap pada Undang Undang turut bertanggumg jawab
atas terwujudnya citacita proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, guru
63
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta; Kalam Mulia, 2006), hal 69-73.
41
Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai
berikut:
a.
b.
c.
Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia
seutuhnya yang berjiwa pancasila;
Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional;
Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan
melakukan bimbingan dan pembinaan;
Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya menunjang berhasilnya proses
belajar mengajar;
Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya
untuk membina peran serta rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan;
Guru secara pribadi dan bersama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan
martabat profesinya;
Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan
sosial;
Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI
sebagai sarana perjuangan dan pengabdian;
Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.64
d.
e.
f.
g.
h.
i.
6. Peran Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
Peran sebenarnya dari seorang guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
menurut Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) adalah:
a.
Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai pengajar
Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti harus menjadi pengajar yang
baik, dalam arti persiapan mengajar, pelaksanaan pengajaran, sikap di depan kelas, dan
pemahaman peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan. Di samping itu, seorang
guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti juga harus dapat memilih bahan yang
akan disampaikan, metode yang sesuai dengan kondisi, situasi, dan tujuan serta
pengadaan evaluasi.
Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik
berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup serta mengembangkan karakter
64
Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), cet. I, hal 29.
42
individu. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada
individu yang menjadi peserta didik. Adapun tugas guru dalam bidang kemanusiaan di
sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu
menariksimpati sehingga menjadi idola para peserta didiknya.
b. Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai pendidik
Guru sebagai pendidik dalam hal ini yaitu guru mampu mengubah tingkah laku
dirinya menjadi seorang guru yang professional. Seorang pendidik harus menjaga
wibawa didepan peserta didiknya. Guru mampu mendidik apabila dia mempunyai
kestabilan emosi, memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk menunjukan anak didik
bersikap realitis, bersikap jujur serta bersikap terbuka dan peka terhadap perkembangan,
terutama inovasi pendidikan.65
Sebagai guru pendidikan agama Islam dan budi pekerti tidak hanya mempunyai
tugas menyampaikan atau mentransfer ilmu kepada peserta didiknya, tetapi yang lebih
penting adalah membentuk jiwa dan batin peserta didik sehingga dapat menjadikan
mereka berakhlak mulia.
c.
Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai da’i
Fungsi ini dalam arti sempit, artinya guru pendidikan agama Islam dan budi
pekerti yang mengajar di sekolah umum mendapat tanggapan positif dari guru-guru lain
di sekolah tersebut.
d. Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai konsultan
65
Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Bandung: PT. Bumi Aksara,
2002 ) Hal 43.
43
Maksudnya di samping sebagai pengajar dan pendidik, guru pendidikan agama
Islam dan budi pekerti juga berfungsi sebagai konsultan bagi peserta didik atau guru
lainnya dalam mengatasi permasalahan-permasalahan pribadi atau permasalahan belajar.
Peranan guru yang tidak kalah pentingnya dari semua peran yang telah
disebutkan di atas, adalah guru sebagai konsultan, peranan yang harus lebih
dipentingkan, karena kehadiran guru disekolah adalah untuk membimbing anak didik
menjadi manusia dewasa susila yang cakap, tanpa pembimbing, anak didik akan
mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya, kekurang mampuan
anak didik menyebabkan lebih banyak tergantung pada bantuan guru, tetapi semakin
dewasa, ketergantugan anak didik semakin berkurang. Jadi, bagaimanapun juga
bimbingan dari guru sangat diperlukan pada saat anak didik belum mampu berdiri
sendiri (mandiri).
e.
Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai pemimpin pramuka
Salah satu kegiatan yang bias mengembangkan jiwa kepemimpinan adalah
kegiatan pramuka. Pada dasarnya setiap peserta didik memiliki potensi untuk menjadi
seorang pemimpin. Karena itulah jiwa kepemimpinan pada seorang anak harus
dikembangkan.
Kegiatan pramuka dapat dijadikan sebagai tempat mengembangkan pendidikan
agama Islam dan budi pekerti, lebih sempurna lagi apabila guru pendidikan agama Islam
dan budi pekerti aktif di dalamnya.
f.
Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai pemimpin informal
Artinya guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti bukan hanya sebagai
pengajar dan pendidik, tetapi sebagai pemimpin keluarga dan masyarakat.66 Pendidikan
66
104-105.
Novan Ardy Wiyani, Pendidikan Karakter Berbasis Iman Dan Takwa, (Yogyakarta: Teras, 2012), hal
44
karakter merupakan misi utama pendidikan Islam dan terwujudnya karakter di kalangan
umat tidak dapat lepas dari proses pendidikan Islam.67
Banyak peranan yang diperlukan dari seorang guru sebagai pendidik atau siapa
saja yang telah menjadi guru. Semua peranan yang diharapkan dari guru sebagaimana
dinyatakan oleh Djamarah adalah sebagai berikut:
a. Korektor, yaitu guru harus bisa membedakan mana nilai yang baik dan buruk;
b. Inspirator, yaitu guru harus dapat memberikan ilham yang baik bagi siswanya. Guru
harus dapat memberi petunjuk bagaimana cara belajar yang baik;
c. Informator, yaitu guru harus dapat memberi informasi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, selain sejumlah bahan pelajaran untuk setiap mata
pelajaran yang telah diprogramkan dalam kurikulum;
d. Organisator, yaitu guru memiliki kegiatan pengelolaan kegiatan akademik, menyusun
tata tertib sekolah, menyusun kalender akademik dan sebagainya;
e. Motivator, yaitu guru hendaknya dapat mendorong anak didik agar bergairah dan
aktif belajar;
f. Inisiator yaitu guru harus dapat menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan
dan pengajaran;
g. Fasilitator, yaitu guru hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan
kemudahan kegiatan belajar anak didik;
h. Pembimbing, yaitu guru hendaknya dapat membimbing anak didiknya menjadi
manusia dewasa susila yang cakap;
i. Demonstrator, yaitu guru hendaknya dapat memperagakan apa yang diajarkan secara
didaktis, sehingga apa yang guru inginkan sejalan dengan pemahaman anak didik;
67
Marzuki., Pendidikan, hal 38.
45
j. Pengelola kelas, yaitu guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik, karena
kelas adalah tempat berhimpu semua anak didik dan guru dalam rangka menerima
bahan pelajaran dari guru;
k. Mediator yaitu, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup
tentang media pendidikan dalam berbagai bentuk dan jenisnya, baik media
nonmaterial maupun materiil;
l. Supervisor yaitu, guru hendaknya dapat membantu, memperbaiki dan menilai secara
kritis terhadap proses pengajaran;
m. Evaluator yaitu, guru dituntut untuk menjadi seorang evaluator yang baik dan jujur,
dengan memberikan penilaian yang menyentuh aspek ekstrintik dan intrinsik.68
Adapun beberapa tugas guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
diantaranya sebagai berikut:
a.
Sebagai pembimbing, guru agama harus membawa peserta didik ke arah kedewasaan
berpikir yang kreatif dan inovatif;
b.
Sebagai penghubung, antara sekolah dan masyarakat, setelah peserta didik tamat
belajar di suatu sekolah, guru agama harus membantu agar alumninya mampu
mengabdikan dirinya dalam lingkungan masyarakat;
c.
Sebagai penegak disiplin, guru agama harus menjadi contoh dalam melaksanakan
peraturan yang sudah ditetapkan oleh sekolah;
d.
Sebagai suatu profesi, seorang guru agama harus bekerja profesional dan menyadari
benar-benar pekerjaannya sebagai amanah dari Allah SWT;
68
Djamarah., Guru, hal 43-48.
46
e.
Sebagai perencana kurikulum, guru agama harus berpartisipasi aktif dalam setiap
penyusunan kurikulum, karena ia lebih tahu kebutuhan peserta didik dan masyarakat
tentang masalah keagamaan;
f.
Sebagai pekerja yang memimpin (guidance worker), guru agama harus berusaha
membimbing peserta didik dalam pengalaman belajar;
g.
Sebagai fasilitator pembelajaran, guru agama bertugas membimbing dalam
mendapatkan pengalaman belajar, memonitor kemajuan belajar, membantu kesulitan
belajar (melancarkan pembelajaran);
h.
Sebagai motivator, guru agama harus dapat memberikan dorongan dan niat yang
ikhlas karena Allah SWT dalam belajar;
i.
Sebagai organisator, guru agama harus dapat mengorganisir kegiatan belajar peserta
didik baik di sekolah maupun diluar sekolah;
j.
Sebagai manusia sumber, guru agama harus menjadi sumber nilai keagamaan, dan
dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peserta didik terutama dalam
aspek keagamaan;
k.
Sebagai manager, guru agama harus berpartisipasi dalam managemen pendidikan di
sekolahnya baik yang bersifat kurikulum maupun di luar kurikulum.69
Keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya.
Tugas yang diemban seorang pendidik hampir sama dengan tugas seorang rasul, yaitu:
a.
Tugas secara umum adalah sebagai warasat al-anbiya yang pada hakikatnya
mengemban misi rahmat li al alamin yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk
tunduk dan patuh pada hokum-hukum Allah, guna memperolehh keselamatan dunia
69
Ramayulis., Metodologi, hal 55-57.
47
dan akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribadian
yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi. Selain itu tugas
pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan hati
manusia untuk bertaqarrub kepada Allah
b. Tugas secara khusus adalah sebagai berikut :
1) Sebagai pengajar yang bertugas merencanakan program pengajaran dan
melaksanakan program yang telah disusun dan penilaian setelah program itu
dilaksanakan;
2) Sebagai pendidik yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang
berpepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia;
3) Sebagai pemimpin, yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik
dan masyarakat yang terkait menyangkut upaya pengarahan, pengawasan,
pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan.70
Pengertian ini menjadikan tugas guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti
tidaklah ringan karena di samping secara akademik dituntut untuk mengajarkan ilmu
pengetahuan agama kepada anak didik, juga dituntut dalam penanaman nilai-nilai
keagamaan ke dalam pribadi peserta didik, sehingga diharapkan peserta didik akan
menjadi manusia yang dewasa baik dalam intelektual maupun kepribadiannya atau
akhlaqnya.
Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian
perbuatan guru dan peserta didik atas hubungan timbal balik yang berlangsung dalam
situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu, di mana dalam proses tersebut
70
Ramayulis., Metodologi, hal 63.
48
terkandung multiperan dari guru. Peranan guru meliputi banyak hal, yaitu guru dapat
berperan sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan belajar,
perencana pembelajaran, supervisor, motivator, dan sebagai evaluator.71
B. Konsep Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk
memotivasi, membina, membantu, serta membimbing seseorang mengembangkan segala
potensinya sehingga mencapai kualitas diri yang lebih baik. Inti dari pendidikan adalah
usaha pendewasaan manusia seutuhnya (lahir dan batin), baik oleh orang lain maupun
oleh dirinya sendiri, dalam arti tuntutan yang menuntut
agar anak didik memiliki
kemerdekaan berpikir, merasa, berbicara, dan bertindak serta percaya diri dengan penuh
rasa tanggung jawab dalam setiap tindakan dan perilaku kehidupannya sehari-hari.72
Istilah pendidikan ini diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan education
yang mempunyai arti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa arab istilah ini
sering diterjemahkan dengan tarbiyah”yang berarti pendidikan.73
Sementara itu, istilah karakter yang dalam bahasa Inggris character, berasal dari
istilah yunani, charassein yang berarti membuat tajam atau membuat dalam.74 Karakter
adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari
yang lain.75 Karakter definisikan sebagai nama dari jumlah seluruh ciri pribadi yang
71
Rusman, Model-Model Pembelajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), cet. V, hal 58.
Beni Ahmad Saebani & Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal
39. Selanjutnya ditulis Saebani, Ilmu.
73
Ramayulis., Metodologi, hal 1.
74
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), hal 392. Selanjutnya ditulis Bagus, Kamus.
75
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2011), hal 623.
72
49
mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, kecenderungan,
potensi, nilai-nilai, dan pola-pola pemikiran, atau suatu kerangka kepribadian yang relatif
mapan yang memungkinkan ciri-ciri semacam ini mewujudkan dirinya.76
Pengertian karakter juga banyak dikaitkan dengan pengertian budi pekerti, akhlak
mulia, moral, dan bahkan dengan kecerdasan ganda (Multiple Intelligences).77 Pendidikan
Islam menempatkan karakter sebagai pendidikan akhlak.78
Adapun pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan kepada
peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati,
pikir, raga, serta rasa dan karsa.79 Pendidikan karakter diartikan pula sebagai sebuah
usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan
mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan
kontribusi yang positif kepada lingkungannya.80
Pendidikan karakter disebut pula sebagai upaya yang disengaja untuk membantu
memahami manusia, peduli atas nilai-nilai susila. Menurut Ramli, pendidikan karakter
memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak.81 Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik,
warga masyarakat dan warga negara yang baik.
Definisi lain tentang pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus,
yang intinya merupakan program pengajaran yang bertujuan mengembangkan watak dan
76
Bagus., Kamus, hal 392.
Suparlan, Suparlan.com. Diakses hari Minggu tanggal 20 Desember 2015 Waktu 22:09:31 WIB
78
Nur Syam, Rekonstruksi Pendidikan Akhlak, http://nursyam.sunan-ampel.ac.id. Diakses hari Sabtu
tanggal 19 Desember 2015 Waktu 17:07:49 WIB
79
Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2013), cet. III, hal 44.
80
Imam Machali & Muhajir, Pendidikan Karakter Pengalaman Implementasi Pendidikan Karakter di
Sekolah, ( Yogyakarta: Aura Pustaka, 2011), hal 7.
81
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), hal 23.
77
50
tabiat peserta didik dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai
kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja
sama yang menekankan ranah afektif (perasaan/sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif
(berfikir
rasional),
dan
ranah
skill
(keterampilan,
terampil
mengolah
data,
mengemukakan pendapat, dan kerja sama).82
Proses yang dideskripsikan di atas, penjelasannya dapat diringkas sebagai berikut:
PIKIRAN= KEINGINAN= PERBUATAN= KEBIASAAN= KARAKTER. Salah satu
cara untuk membangun karakter adalah melalui pendidikan. Pendidikan yang ada, baik
itu pendidikan di keluarga, masyarakat, atau pendidikan formal di sekolah berperan
menanamkan nilai-nilai untuk pembentukan karakter. Pendidikan karakter menjadi
kebutuhan mendesak, mengingat demoralisasi dan degradasi pengetahuan sudah
sedemikian akut menjangkiti bangsa ini di semua lapisan masyarakat. Pendidikan
karakter diharapkan mampu membangkitkan kesadaran bangsa ini untuk membangun
pondasi kebangsaan yang kokoh.83 Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari
sistem pendidikan yang benar. Pendidikan keluarga maupun pendidikan dalam sekolah,
orang tua, dan guru tetap sadar bahwa pembangunan tabiat yang agung adalah tugas
mereka.84
Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa karakter seseorang dapat
mempengaruhi kesuksesannya. Penelitian di Harvard University, Amerika Serikat
menyatakan bahwa ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh
pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih kepada kemampuan
82
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta:
Kencana, 2011), hal 25. Selanjutnya ditulis Zubaedi, Desain.
83
Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter Di Sekolah, (Jogjakarta: Diva
Press, 2012), cet. V, hal 47. Selanjutnya ditulis Asmani, Buku.
84
Kurniawan., Pendidikan, hal 31.
51
mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa
kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh
soft skill.85 Orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil karena lebih banyak didukung
kemampuan soft skill daripada hard skill.
2. Tujuan Pendidikan Karakter
Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan.
Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan di samping faktor-faktor lainnya, seperti
pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan pedidikan. Keberadaan empat
faktor ini tidak ada artinya bila tidak diarahkan oleh suatu tujuan. Tak ayal lagi bahwa
tujuan menempati posisi yang penting dalam proses pendidikan sehingga materi, metode
dan alat pengajaran selalu di sesuaikan dengan tujuan.86
Tujuan pendidikan karakter adalah penanaman nilai dalam diri peserta didik dan
pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu. Tujuan
jangka panjangnya tidak lain adalah mendasarkan diri pada tanggapan aktif kontekstual
individu atas impuls natural sosial yang diterimanya, yang pada gilirannya semakin
mempertajam visi hidup yang akan diraih lewat proses pembentukan diri secara terus
menerus (on going formation).87 Tujuan mulia pendidikan karakter ini akan berdampak
langsung pada prestasi peserta didik.
Konteks tujuan pembelajaran secara eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan
tindakan instruksional yang berbentuk pengetahuan dan keterampilan. Apabila ditinjau
85
Zubaedi., Desain, hal 32.
Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi (Jakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hal 3.
87
Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak Di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo,
2010), hal 135. Selanjutnya ditulis Koesoema, Pendidikan.
86
52
secara umum, tujuan belajar dapat dihubungkan dengan tujuan pembelajaran pendidikan
karakter, yaitu sebagai berikut:
a.
Untuk mendapatkan pengetahuan
Pemikiran pengetahuan dan kemampuan berpikir tidak dapat dipisahkan. Tujuan
inilah yang memiliki kecenderungan lebih besar perkembangannya dalam kegiatan
belajar;
b.
Penanaman konsep dan keterampilan
Penanaman konsep juga memerlukan keterampilan, menyangkut persoalan
penghayatan dan keterampilan berpikir, serta kreativitas untuk menyelesaikan dan
merumuskan suatu masalah atau konsep;
c.
Pembentukan sikap
Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru lebih bijak
dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk itu, dibutuhkan kecakapan mengarahkan
motivasi dan berpikir tanpa melupakan menggunakan pribadi guru dengan contoh
atau model.88
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,
berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya
dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan pancasila.
3. Fungsi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter diberikan pada pendidikan formal khususnya lembaga
pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, MAK dan Perguruan Tinggi
melalui pembelajaran, dan ekstrakurikuler, penciptaan budaya satuan pendidikan, dan
88
Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal 23.
53
pembiasaan. Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga
kependidikan.
Hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan karakter menurut Kementerian
Pendidikan Nasional adalah:
a.
Pengembangan potensi dasar, agar berhati baik, berpikiran baik dan berperilaku baik;
b.
Perbaikan perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik;
c.
Penyaring budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila.89
Pendidikan agama di sekolah secara teoritis berfungsi sebagai:
a.
Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Serta akhlak mulia
peserta didik seoptimal mungkin;
b.
Penanaman nilai ajaran islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat;
c.
Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial;
d.
Perbaikan kesalahan, kelemahan peserta didik dalam keyakinan pengalaman ajaran
agama islam dalam kehidupan sehari-hari;
e.
Pencegahan dari hal-hal negatif budaya asing yang dihadapinya sehari-hari;
f.
Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nirnyata);
g.
Penyaluran untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih
tinggi.90
89
Anas Salahudin & Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter (Pendidikan Berbasis Agama & Budaya),
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), cet. I, hal 105.
90
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan di Sekolah, (Bandung: Pustaka Setia,
2004), hal 40.
54
Kedudukan dan fungsi agama dalam kehidupan manusia sedemikian urgen, maka
agama dapat dijadikan nilai dasar bagi pendidikan, termasuk pendidikan karakter,
sehingga melahirkan model pendekatan pendidikan karakter berbasis agama.
4. Tahap-Tahap Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter diklasifikasikan ke dalam beberapa tahap, berdasarkan hadits
Rasulullah saw terdapat beberapa tahap, yaitu:
a.
Tahap penanaman adab (umur 5-6 tahun);
b.
Tahap penanaman tanggung jawab (umur 7-8 tahun);
c.
Tahap penanaman kepedulian (umur 9-10 tahun);
d.
Tahap penanaman kemandirian (umur 11-12 tahun);
e.
Tahap penanaman pentingnya bermasyarakat (umur 13 tahun ke atas).91
Pendidikan karakter membutuhkan proses atau tahapan secara sistematis dan
gradual, sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Pembangunan
karakter tidaklah cukup hanya dimulai dan diakhiri dengan penetapan misi. Akan tetapi,
hal ini perlu dilanjutkan dengan proses yang dilakukan secara terus-menerus sepanjang
hidup.92
5. Konsep Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang
menjadi nilai dasar karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada
dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu, pendidikan karakter pada dasarnya adalah
pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa
91
M. Furqan Hidayatullah, Pendidikan Karakter; Membangun Peradaban Bangsa, (Surakarta: Yuma
Pustaka, 2010), hal 32.
92
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual; ESQ, Emotional
Spiritual Quotient, (Jakarta: Arga, 2008), hal 278.
55
Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan
nasional.93
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia
diidentifikasi berasal dari sumber-sumber berikut ini:
a.
Agama
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan
individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan
kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai
yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan
budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang
berasal dari agama.
b.
Pancasila
Negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada
Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat
dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi
nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan,
budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan
peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang
memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam
kehidupannya sebagai warga negara.
c.
93
Budaya
Zubaedi., Desain, hal 72-73.
56
Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang
tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya
itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam
komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting
dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam
pendidikan budaya dan karakter bangsa.
d.
Tujuan Pendidikan Nasional
Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia,
dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan
pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang
paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. 94
Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi sejumlah nilai untuk
pendidikan karakter seperti berikut ini.
Tabel 2.1
Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
No
1
Nilai
Religius
Deskripsi
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain,
dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
94
Kementerian Pendidikan Nasional, LITBANG, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran
Berdasarkan nilai-nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa: Pengembangan Pendidikan
Budaya dan Karakter Bangsa (Jakarta: Pusat Kurikulum, 2010), hal 7-10.
57
2
Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikandirinya sebagai
orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan.
3
Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4
Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada
berbagai ketentuan dan peraturan.
5
Kerja Keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi
berbagai
hambatan
belajar
dan
tugas,
serta
menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
6
Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil
baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7
Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8
Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
9
Rasa Ingin
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
Tahu
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan
didengar.
10
Semangat
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
Kebangsaan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
58
11
Cinta Tanah
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan,
Air
kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12
Menghargai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
Prestasi
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
13
14
Bersahabat/
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan
Komuniktif
bekerja sama dengan orang lain.
Cinta Damai
Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15
16
Gemar
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan
Membaca
yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
Peduli
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
Lingkungan
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17
Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang
lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18
Tanggungjawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan
tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri
sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara
dan Tuhan Yang Maha Esa.
59
Delapan belas nilai untuk pendidikan karakter di atas dapat ditambah atau
dikurangi dengan menyesuaikan kebutuhan.95
6. Konsep Religius
Kata religius berasal dari kata religious yang berarti sifat religi yang melekat pada
diri seseorang. Sehingga kata religious juga diartikan sebagai pelajaran agama, seorang
yang saleh, berhubungan dengan agama, beragama, beriman.96
Kementerian Pendidikan Nasional mendeskripsikan karakter religius kepada sikap
dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran
terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain,
maka hal ini senada dengan penjelasan dari Nurcholis Madjid bahwa religius dan
beragama sama-sama menunjukkan totalitas tingkah laku manusia dalam kehidupan
sehari-hari yang dilandasi dengan iman kepada Allah, sehingga perilakunya yang
senantiasa berlandaskan iman dan taqwa kepada Allah SWT terbentuk menjadi suatu
akhlakul karimah yang mengkristal dalam dirinya.97
Nurcholis Madjid mengemukakan bahwa agama bukan hanya kepercayaan
kepada yang ghaib dan melaksanakan ritual-ritual tertentu. Agama adalah keseluruhan
tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridha Allah.
Agama, dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini,
95
Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter Konsepsi & Implementasinya Secara Terpadu di Lingkungan
Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, Dan Masyarakat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), cet. I, hal 41.
Selanjutnya ditulis Kurniawan, Pendidikan.
96
John M. Echols dan Hassan Shadily, An English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2005), cet.
XXVI, hal 476.
97
Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2010), hal 90. Selanjutnya ditulis
Madjid, Masyarakat.
60
yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (akhlaq karimah), atas
dasar percaya atau iman kepada allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian.98
Religius dalam konteks pendidikan karakter adalah manifestasi lebih mendalam
atas agama berupa penghayatan dan implementasi ajaran agama dalam kehidupan seharihari.99 Artinya orang yang beragama dituntut mampu menunjukkan sikap religiusitasnya
sehingga barulah ia dikatakan manusia yang religius.
Kata religius tidak selalu identik dengan kata agama. Kata religius lebih tepat
diterjemahkan sebagai keberagamaan. Keberagamaan lebih melihat aspek yang ada di
dalam lubuk hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak merupakan misteri
bagi orang lain karena menafaskan jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas ke dalam
pribadi manusia, dan bukan pada aspek yang bersifat formal.100
Religiusitas dapat dirumuskan sebagai komitmen religius (yang berhubungan
dengan agama atau keyakinan iman) yang dapat dilihat melalui aktifitas atau perilaku
individu yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut. Nilai kadar
keberagamaan seseorang dapat dilihat dari dimensi-dimensi keberagamaan sebagai
berikut:
a.
Dimensi keyakinan yang mengandung pengharapan-pengharapan dimana orang
religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran
doktrin-doktrin tersebut;
b.
Dimensi praktik agama mencakup perilaku pemujaan, ketaaan dan hal-hal yang
dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya;
98
Madjid., Masyarakat, hal 34.
Ngainun Naim, Character Building: Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu dan
Pembentukan Karakter Bangsa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal 124.
100
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal 288.
99
61
c.
Dimensi pengalaman yakni dimensi yang berhubungan dengan pengalamanpengalaman religius seperti perasaan persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang
dialami pelaku dan bersifat subyektif.
d.
Dimensi pengetahuan agama mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang
beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasardasar keyakinan, kitab suci dan tradisi-tradisi.
e.
Dimensi pengamalan atau konsekuensi mengacu pada identifikasi akibat-akibat
keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke
hari.101
Rumusan nilai karakter Kementerian Pendidikan Nasional menjadikan nilai
karakter religius sebagai hal tersendiri karena di dalamnya meskipun berwujud pada
suatu sikap yang tunduk dan patuh pada ajaran agama, namun tetap mengandung unsur
kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan sebagai dasar pijakan utama dalam berperilaku
yang sesuai dengan ajaran agama. Dari sini terlihat jelas nilai karakter religius menjadi
berbeda dengan nilai-nilai karakter yang lain dikarenakan mengandung unsur keyakinan
yang kokoh kepada Tuhan dan berdampak terhadap timbulnya berbagai perilaku yang
terpuji sejalan dengan perintah dan ajaran agama.
7. Metode Pendidikan Karakter
Terdapat lima metode pendidikan karakter dalam penerapannya di lembaga
sekolah yaitu mengajarkan, keteladanan, menentukan prioritas, praksis prioritas dan
refleksi.
101
Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem
Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal 77-78.
62
a. Mengajarkan. Pemahaman konseptual tetap dibutuhkan sebagai bekal konsep-konsep
nilai yang kemudian menjadi rujukan bagi perwujudan karakter tertentu. Mengajarkan
karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai
tertentu, keutamaan, dan maslahatnya. Mengajarkan nilai memiliki dua faedah,
pertama, memberikan pengetahuan konseptual baru, kedua, menjadi pembanding atas
pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses
mengajarkan tidaklah monolog, melainkan melibatkan peran serta peserta didik;
b. Keteladanan. Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan
menepati posisi yang sangat penting. Guru harus terlebih dahulu memiliki karakter
yang hendak diajarkan. Peserta didik akan meniru apa yang dilakukan gurunya
ketimbang yang dilaksanakan sang guru. Keteladanan tidak hanya bersumber dari
guru, melainkan juga dari seluruh manusia yang ada dalam lembaga pendidikan
tersebut. Juga bersumber dari orang tua, karib kerabat, dan siapapun yang sering
berhubungan dengan peserta didik. Pada titik ini, pendidikan karakter membutuhkan
lingkungan pendidikan yang utuh, saling mengajarkan karakter;
c. Menentukan prioritas. Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar proses
evaluasi atas berhasil atau tidak nya pendidikan karakter dapat menjadi jelas, tanpa
prioritas, pendidikan karakter tidak dapat terfokus dan karenanya tidak dapat dinilai
berhasil atau tidak berhasil. Pendidikan karakter menghimpun kumpulan nilai yang
dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi visi lembaga. Oleh karena itu,
lembaga pendidikan memiliki kewajiban. Pertama, menentukan tuntutan standar yang
akan ditawarkan pada peserta didik. Kedua, semua pribadi yang terlibat dalam lembaga
pendidikan harus memahami secara jernih apa nilai yang akan ditekankan pada
63
lembaga pendidikan karakter ketiga. Jika lembaga ingin menentukan perilaku standar
yang menjadi ciri khas lembaga maka karakter lembaga itu harus dipahami oleh anak
didik , orang tua dan masyarakat;
d. Praksis prioritas. Unsur lain yang sangat penting setelah penentuan prioritas karakter
adalah bukti dilaksanakan prioritas karakter tersebut. Lembaga pendidikan harus
mampu membuat verifikasi sejauh mana prioritas yang telah ditentukan telah dapat
direalisasikan dalam lingkungan pendidikan melalui berbagai unsur yang ada dalam
lembaga pendidikan itu;
e. Refleksi. Berarti dipantulkan kedalam diri. apa yang telah dialami masih tetap terpisah
dengan kesadaran diri sejauh ia belum dikaitkan, dipantulkan dengan isi kesadaran
seseorang. Refleksi juga dapat disebut sebagai proses bercermin, mematut-matutkan
diri ada peristiwa/konsep yang telah teralami. 102
Sedangkan model penanaman atau pembentukan nilai karakter terdapat berbagai
macam cara yaitu:
a. Keteladanan
Konsep keteladanan ini telah diberikan oleh Rasulullah SAW agar menjadi
panutan yang baik bagi semua umat islam sepanjang sejarah dan bagi semua manusia
di setiap masa dan tempat. Sehingga dengan ini guru harus memberikan teladan yang
baik karena jika guru berbuat kesalahan maka akan lahirlah peserta didik yang lebih
buruk baginya.
b. Memberikan bimbingan
Bimbingan lebih merupakan suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus
dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian
102
Koesoema., Pendidikan, hal 212-217.
64
dalam pemahaman diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat
perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungannya.
c. Dorongan atau motivasi
Desakan atau drive diartikan sebagai dorongan yang diarahkan kepada
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani. Motif adalah dorongan yang terarah kepada
pemenuhan kebutuhan psikis atau rohaniah. Kebutuhan atau need adalah suatu
keadaan dimana individu merasakan adanya kekurangan, atau ketiadaan sesuatu yang
diperlukannya. Sedangkan wish adalah harapan untuk mendapatkan atau memiliki
sesuatu yang dibutuhkan. Kondisi-kondisi yang mendorong individu untuk melakukan
suatu kegiatan disebut motivasi.
d. Kontinuitas (proses pembiasaan)
Al-Qur’an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode
pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga
jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak
tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan. Al-Qur’an mempergunakan cara
bertahap dalam menciptakan kebiasaan yang baik, begitu juga dalam menghilangkan
kebiasaan yang buruk dalam diri seseorang.
e. Repetition (pengulangan)
Pendidikan yang efektif dilakukan dengan berulang kali sehingga anak menjadi
mengerti. Pelajaran atau nasihat apapun perlu dilakukan secara berulang, sehingga
mudah dipahami oleh anak.
65
f. Pengorganisasian
Guru harus mampu mengorganisasikan pengetahuan dan pengalaman yang sudah
diperoleh peserta didik di luar sekolah dengan pegalaman belajar yang diberikannya.
Pengorganisasian yang sistematis dapat membantu guru untuk menyampaikan
informasi. Informasi tersebut kemudian dijadikan sebagai umpan balik untuk kegiatan
belajar yang sedang dilaksanakan.103
C. Peran Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti dalam Pendidikan Karakter
Guru adalah aktor utama sekaligus menentukan berhasil atau tidaknya proses
pembelajaran. Dikaitkan dengan pendidikan karakter, peranan guru sangat penting. Di
samping harus mempunyai kompetensi-kompetensi yang telah di uraikan di atas, seorang
guru juga harus memiliki karakter-karakter mulia dalam dirinya sendiri, sebagai bagian dari
hidupnya. Hal ini menjadi penting karena bagaimana mau mengajari peserta didik tentang
pendidikan karakter, sementara yang bersangkutan yaitu guru, tidak berkarakter.104
Makna guru dalam dunia pendidikan amatlah penting dan berpengaruh terhadap
perkembangan peserta didiknya, sebab dialah yang mempunyai peluang banyak untuk
berinteraksi atau tatap muka dengan peserta didiknya dalam proses belajar mengajar. Guru
mendidik anak didiknya agar mengerti dan memahami mata pelajaran, mendidik dan
memberi contoh perilaku yang patut diteladani oleh anak didiknya.105
Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti adalah pendidik profesional,
karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian
103
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karkater Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2012), hal 117-138.
104
Kurniawan., Pendidikan, hal 119.
105
Saebani., Ilmu, hal 209.
66
tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak para orang tua. Mereka ini, tatkala
menyerahkan anaknya ke sekolah, sekaligus berarti pelimpahan sebagian tanggung jawab
pendidikan anaknya kepada guru. Hal itupun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak
mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang guru/sekolah karena tidak sembarang
orang dapat menjabat guru.106
Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, dalam hal ini, harus memiliki
kompetensi yang memadai agar dapat melakukan tugasnya dengan baik dan berhasil sesuai
yang diharapkan. Dalam Pasal 28 PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan ditegaskan bahwa semua pendidik, termasuk guru agama, harus memiliki empat
kompetensi pokok, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, dan kompetensi sosial. Permendiknas RI No. 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kompetensi Akademik Dan Kompetensi Guru kemudian memerinci empat kompetensi guru
tersebut dengan detail melalui lampirannya. Dengan ketentuan yang rinci ini diharapkan
guru agama tidak sekadar dapat melaksanakan tugas sesuai dengan jatah waktu yang
diberikan dan menghabiskan materi (kompetensi) yang ditargetkan, tetapi guru agama harus
benar-benar memiliki kompetensi akademik dan profesional yang cukup agar dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik dan profesional serta penuh tanggung jawab.
Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial merupakan pendukung penting agar tugas
yang dilaksanakan berhasil dengan baik, mengingat guru harus menjadi teladan bagi para
peserta didiknya dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun sosial.107
Dalam konteks pendidikan karakter, peran guru sangat vital sebagai sosok yang
diidolakan, serta menjadi sumber inspirasi dan motivasi murid-muridnya. Sikap dan perilaku
106
Daradjat., Ilmu, hal 39.
Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), cet. I, hal 37-38. Selanjutnya ditulis
Marzuki, Pendidikan.
107
67
seorang guru sangat membekas dalam diri seorang murid, sehingga ucapan, karakter, dan
kepribadian guru menjadi cermin murid.108 Peran guru yang dimaksud di sini adalah
berkaitan dengan peran guru dalam proses pembelajaran. Guru merupakan faktor penentu
yang sangat dominan dalam pendidikan pada umunya, karena guru memegang peranan
dalam proses pembelajaran, di mana proses pembelajaran merupakan inti dari proses
pendidikan secara keseluruhan.
108
Asmani., Buku, hal 72.
Download