31 BAB II GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN BUDI PEKERTI DALAM PENDIDIKAN KARAKTER Pendidikan karakter atau budi pekerti atau akhlak sampai saat ini masih menjadi fokus pembicaraan yang menarik untuk selalu dikaji dan dicarikan solusinya. Pendidikan karakter di Indonesia tergantung pada pendidikan Islam sebagai konsekwensi penduduknya yang mayoritas beragama Islam. Bagian ini merupakan media untuk menjelaskan Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti mengupayakan keberhasilan pendidikan karakter di lingkungan pendidikan sekolah serta konsep pendidikan karakter itu sendiri. A. Peran Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti 1. Definisi Peran Definisi yang paling umum disepakati adalah bahwa peran merupakan seperangkat patokan, yang membatasi apa perilaku yang mesti dilakukan oleh seseorang, yang menduduki suatu posisi.45 Menurut Soerjono Soekanto, yaitu peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan.46 Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia” mempunyai arti pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan pada peserta didik.47 45 Edy Suhardono, Teori Peran Konsep, Derivasi dan Implikasinya, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2016), hal 15 46 Soerjono Soekanto, Teori Peranan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), hal 243. 47 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal 854. 31 32 Ketika istilah peran digunakan dalam lingkungan pekerjaan, maka seseorang yang diberi (atau mendapatkan) sesuatu posisi, juga diharapkan menjalankan perannya sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pekerjaan tersebut. Harapan mengenai peran seseorang dalam posisinya, dapat dibedakan atas harapan dari si pemberi tugas dan harapan dari orang yang menerima manfaat dari pekerjaan/posisi tersebut. 2. Konsep Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Makna pendidikan dalam pengertiannya yang luas adalah semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta keterampilannya (orang menamakan hal ini juga sebagai mengalihkan kebudayaan) kepada generasi muda, sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.48 Sedangkan arti pendidikan agama disebutkan dalam Peraturan Menteri Agama (Permenag) RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang pengelolaan pendidikan agama pada sekolah pasal 1 ayat 1 bahwasannya konsep dari pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan.49 Hasil rumusan seminar Pendidikan Islam se-Indonesia pada tahun 1960 secara sepesifik memberikan pengertian tentang pendidikan Islam, yaitu sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan mengarah, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran islam. Istilah membimbing dan mengarahkan serta mengasuh atau melatih mengandung pengertian usaha mempengaruhi jiwa anak didik 48 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal 213. Peraturan Menteri Agama RI Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama pada Sekolah, hal 3. 49 33 melalui proses setingkat demi setingkat menuju tujuan yang ditetapkan, yaitu menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran sehingga terbentuklah manusia yang berpribadi dan berbudi luhur sesuai ajaran Islam.50 Konteksnya yang lebih khas dalam sebutan Pendidikan Agama Islam memiliki makna sebagai usaha-usaha sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran pendidikan agama Islam.51 Dengan maksud ini berarti pendidikan agama islam lebih mengupayakan agar peserta didiknya hidup di dunia sesuai dengan jalan dan alur yang telah ditetapkan oleh ajaran islam, yakni dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Beberapa definisi Pendidikan Agama Islam di atas merupakan sebagian dari sekian banyak pandangan pakar pendidikan Islam, untuk lebih jelasnya perlu diuraikan tentang landasan dan dasar Pendidikan Agama Islam yang dilaksanakan pada pendidikan formal atau sekolah, yaitu: a. Dasar Yuridis Dasar ini menjadi landasan pelaksanaan pendidikan agama yang berasal dari peraturan perundang-undangan, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat dijadikan pegangan dalam pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah ataupun lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia. Adapun dasar yuridis ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1) Dasar Ideal Dasar ideal adalah dasar dari Falsafah Negara Pancasila dimana sila pertama dari pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini mengandung pengertian bahwa 50 51 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal 151. Zuhairini, dkk, Metode Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1983), hal 27. 34 seluruh bangsa indonesia harus percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa atau tegasnya harus beragama. 2) Dasar Operasional Yakni dasar dari UUD 1945 dalam Bab XI Pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: (a) Negara berdasarkan atas ketuhanan yang maha esa. (b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya tersebut. 3) Dasar Struktural/Konstitusional Dasar struktural adalah dasar yang secara langsung mengatur pelaksanaan pendidikan agama di sekolah-sekolah yang ada di Indonesia. Dasar struktural juga merupakan dasar UUD Tahun 2002 Pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi: Negara berdasakan atas Tuhan Yang Maha Esa (ayat 1), Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya (ayat 2). Bunyi dari UUD di atas mengandung pengertian bahwa bangsa indonesia harus beragama, dalam pengertian manusia yang hidup di bumi indonesia adalah orang-orang yang mempunyai agama. b. Dasar Religius Maksud dasar religius adalah dasar yang bersumber dari ajaran Islam. Ajaran Islam menegaskan pendidikan agama adalah perintah Tuhan dan merupakan perwujudan ibadah kepada-Nya. Al-Qur’an dengan banyak ayat yang menunjukkan perintah tersebut, antara lain QS al-Nahl/16 : 125. 35 Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. An-Nahl: 125).52 c. Dasar psikologis Dasar psikologis adalah dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan individu maupun masyarakat. Manusia di dunia ini dalam pandangan psikologis selalu membutuhkan adanya pegangan hidup yang disebut dengan agama. Mereka merasakan bahwa dalam jiwanya ada suatu perasaan yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa, tempat mereka berlindung dan tempat mereka memohon pertolonganNya.53 Pendidikan Agama Islam dalam konteks psokologis, baik makna maupun tujuannya haruslah mengacu kepada penanaman nilai-nilai Islam dengan tidak melupakan etika sosial dan moralitas sosial. Pendidikan Agama Islam menurut Ditbinpaisun (Direktorat Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum) adalah suatu usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan dapat memahami apa yang terkandung di dalam islam secara keseluruhan, menghayati makna dan maksud serta tujuannya, pada akhirnya dapat mengamalkannya serta menjadikan ajaran-ajaran agama islam yang telah 52 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemah, (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2012), cet. X, hal 281. 53 Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), hal 133. 36 dianutnya itu sebagai pandangan hidupnya sehingga dapat mendatangkan keselamatan dunia dan akhiratnya kelak.54 3. Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti dilihat dari keberadaannya dalam kurikulum pendidikan nasional merupakan salah satu dari tiga mata pelajaran yang dimasukkan ke dalam kurikulum setiap lembaga pendidikan formal di Indonesia. Hal ini karena kehidupan beragama merupakan salah satu dimensi kehidupan yang penting pada setiap individu dan warga negara. Melalui pendidikan agama diharapkan mampu terwujud individu-individu yang berkepribadian utuh sejalan dengan pandangan hidup bangsa., mengingat berat dan besarnya peran pendidikan agama islam, maka perlu diformulasikan sedemikian rupa, baik yang menyangkut sarana insani maupun non insani secara komprehensif dan integral. Formulasi yang demikian bisa dilakukan melalui sistem pengajaran agama Islam yang baik dengan didukung sumber daya manusia (guru) yang berkualitas, metode pengajaran yang tepat, dan sarana prasarana yang memadai. 55 Istilah lain yang lazim digunakan untuk guru adalah pendidik. Uhbiyati dan Ahmadi menyatakan bahwa pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai kedewasaannya, mampu melaksanakan tugasnya sebagai makhluk Allah, kholifah dimuka bumi, sebagai makhluk sosial dan sebagai individu yang sanggup berdiri sendiri.56 Menurut Undang-Undang Republik Indonesia (UU RI) nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 1 menyebutkan bahwasanya definisi seorang guru adalah pendidik 54 Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), cet. XI, hal 88. Selanjutnya ditulis Daradjat, Ilmu. 55 Ahmad Munjin Nasih & Lilik Nur Kholidah, Metode dan Teknik Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Refika Aditama, 2013), cet. II, hal 6. 56 Nur Uhbiyati dan Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Setia, 1997), cet. I, hal 71. 37 profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.57 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 6 menyebutkan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.58 Sedangkan pengertian guru agama Islam adalah orang yang melaksanakan bimbingan terhadap peserta didik secara islami dalam suatu situasi pendidikan Islam untuk mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan ajaran islam.59 Selain terminologi normatif dalam konstitusi tersebut, terdapat definisi lain yang menyatakan pendidik (dalam islam) adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, potensi kognitif, maupun potensi psikomotorik.60 Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas, dapat diketahui bahwa yang dimaksud guru atau pendidik adalah orang yang bertugas dan bertanggung jawab memberi bimbingan kepada anak didik dalam perkembangannya baik pada jalur pendidikan formal atau non formal. Adapun yang dimaksud dengan Pendidikan Agama Islam adalah usaha 57 Undang – Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) RI Nomor 11 Tahun 2011 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2013), cet. IX, hal 2. 58 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Serta Wajib Belajar, (Bandung: Citra Umbara, 2012), cet. IV, hal 3. 59 Ramayulis, Metodologi PAI, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), hal 50. Selanjutnya ditulis Ramayulis, Metodologi. 60 Abd. Majid, Pendidikan Berbasis Ketuhanan Membangun Manusia Berkarakter, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014), hal 31. 38 sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.4 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti adalah orang yang bertugas dan bertanggung jawab memberi bimbingan kepada anak didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam baik pada jalur pendidikan formal atau non formal. 4. Syarat-syarat Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Terkait dari pengertian guru PAI seperti yang telah dijelaskan di atas, pekerjaan guru sebagai suatu profesi memerlukan suatu keahlian khusus serta tidak semua orang dapat melakukannya dengan baik dan benar. Adapun beberapa syarat tersebut meliputi persyaratan fisik, mental, moral dan intelektual. Untuk lebih jelasnya, Oemar Hamalik mengemukakan sebagai berikut : a. Pengertian fisik yaitu kesehatan jasmani yang artinya seseorang guru harus berpotensi dan tidak memilki penyakit manular yang membahayakan; b. Persyaratan psikis yaitu kesehatan rohani yang artinya tidak mengalami gangguan jiwa atau kelainan; c. Persyaratan mental yaitu memilki sikap mental yang baik terhadap profesi kependidikan, mencintai dan mengabdi serta memilki dedikasi yang tinggi pada tugas dan jabatannya; d. Persyaratan moral yaitu memiliki budipekerti luhur dan memilki sikap susila tinggi; e. Persyaratan intelektual yaitu memiliki pengetahuan dan keterampilan yang tinggi yang diperoleh dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang member bekal guna menunaikan tugas dan kewajiban sebagai pendidik.61 Zakiyah Darajat dkk menambahkan suatu syarat khususnya bagi calon guru agama yaitu persyaratan Aqidah. Guru agama harus takwa kepada Allah. Sebab ia menjadi teladan 61 Cece Wijaya dan Tabrani Rusyam, Kemampuan Dasar Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung : Rosdakarya, 1991), hal 9. 39 bagi anak didiknya sebagaiaman rosullullah menjadi teladan bagi umatnya.6 Secara umum, Purwanto menyebutkan syarat-syarat menjadi guru yaitu: a. b. c. d. e. Berijasah Sehat jasmani dan rohani Taqwa kepada tuhan yang maha esa Bertanggung jawab Berjiwa nasional.62 Semua persyaratan di atas dapat diterima dalam sistem pendidikan Islam, maka dapat disimpulkan bahwa persyaratan untuk menjadi guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti dalam beberapa hal sama dengan persyaratan guru pada umumnya. Perbedaannya hanya terkait dengan penekanan pada tiga hal, yakni: kemampuan guru dalam penanaman nilai-nilai ajaran agama ke dalam pribadi siswa, ketaqwaannya kepada Allah, dan kepribadian muslim yang sejati. Pada intinya persyaratan yang ditentukan oleh para ahli pendidikan Islam, semuanya dimaksudkan agar guru dapat melaksanakan tugas sebagaimana mestinya atau dengan kata lain bila guru telah memenuhi persyaratan khususnya syarat keahlian, maka tugas guru yang berat itu akan lebih mudah untuk dilakukan. Al Kanani, sebagaimana dikutip oleh Ramayulis, mengemukakan persyaratan seorang pendidik atas tiga macam, yaitu: a. Syarat-syarat guru berhubungan dengan dirinya yaitu: 1) Hendaknya guru senatiasa inysaf akan pengawasan Allah terhadapnya dalam segala perkataan dan perbuatan bahwa ia memegang amanat almiah yang diberikan Allah kepadanya; 2) Hendaknya guru memeliahara kemuliaan ilmu; 3) Hendaknya guru bersifat zuhud; 4) Hendaknya guru tidak berorientasi duniawi dengan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk mencapainya; 5) Hendaknya guru menjauhi mata pencaharian yang hina dalam pandangan syara‟ dan menjauhi situasi yang mendatangkan fitnah dan tidak menjatuhkan harga dirinya; 6) Hendaknya guru memelihara syiar-syiar Islam; 7) Hendaknya guru melakukan hal-hal yang disunnahkan agama; 62 Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Dan Praktis, (Bandung: Remaja Karya, 1995), hal 171. 40 8) Hendaknya guru memelihara akhlak yang mulia dan menghindar dari akhlak buruk; 9) Hendaknya guru mengisi waktu luang dengan hal yang bermanfaat; 10) Hendaknya guru selalu belajar dan tidak merasa malu menerima ilmu dari orang yang lebih rendah; 11) Hendaknya guru rajin meneliti, menyusun dan mengarang dengan memperhatikan ketrampilan dan kealhian yang dibutuhkan untuk itu. b. Syarat-syarat guru berhubungan dengan pelajaran yaitu: 1) Sebelum berangkat mengajar, hendaknya guru bersuci dari hadats dan kotoran; 2) Ketika keluar dari rumah hendaknya berdoa agar tidak sesat dan menyesatkan; 3) Hendaknya guru mencari posisi yang dapat dilihat oleh semua muridnya; 4) Hendaknya guru membaca sebagian ayat al qur‟an sebelum mulai mengajar; 5) Hendaknya guru mengajar bidang studi sesuai dengan hierarki nilai kemuliaan dan kepentinganya; 6) Hendaknya guru selalu mengatur volume suaranya; 7) Hendaknya guru menjaga ketertiban mejelis dengan mengarahkan pembahasan pada obyek tertentu; 8) Hendaknya guru menegur muridnya yang tidak menjaga sopan santun; 9) Hendaknya guru bersikap bijak dalam melaksanakan proses pembelajaran; 10) Hendaknya guru berusaha mempersatukan hati siswanya antara satu dengan lainnya; 11) Hendaknya guru menyerahkan kembali segala urusan kepada Allah; 12) Hendaknya guru tidak mengasuh bidang studi yang tidak dikuasainya. c. Syarat-syarat guru ditengah-tengah para muridnya, yaitu: 1) Hendaknya guru mengajar dengan niat mengaharap ridha Allah; 2) Hendaknya guru tidak menolak untuk mengajar murid yang tidak mempunyai niat tulus untuk belajar; 3) Hendaknya guru mencintai muridnya seperti mencintai anaknya sendiri; 4) Hendaknya guru memotivasi muridnya untuk mencari ilmu seluas mungkin; 5) Hendaknya guru memahami kondisi muridnya dan mengetahui tingkat kemampuannya; 6) Hendaknya guru melakukan evaluasi terhadap kegiatan pembelajarannya; 7) Hendaknya guru bersikap adil terhadap semua siswanya; 8) Hendaknya guru berusaha memenuhi kemaslahatan muridnya; 9) Hendaknya guru terus memantau perkembangan muridnya.63 5. Kode Etik Profesi Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Guru Indonesia menyadari bahwa pendidikan adalah bidang pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, bangsa dan negara serta kemanusiaan pada umumnya. Guru Indonesia yang berjiwa Pancasila dan setiap pada Undang Undang turut bertanggumg jawab atas terwujudnya citacita proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Oleh sebab itu, guru 63 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta; Kalam Mulia, 2006), hal 69-73. 41 Indonesia terpanggil untuk menunaikan karyanya dengan memedomani dasar-dasar sebagai berikut: a. b. c. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa pancasila; Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran professional; Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan; Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya menunjang berhasilnya proses belajar mengajar; Guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan; Guru secara pribadi dan bersama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya; Guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial; Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian; Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.64 d. e. f. g. h. i. 6. Peran Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti Peran sebenarnya dari seorang guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti menurut Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) adalah: a. Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai pengajar Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti harus menjadi pengajar yang baik, dalam arti persiapan mengajar, pelaksanaan pengajaran, sikap di depan kelas, dan pemahaman peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan. Di samping itu, seorang guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti juga harus dapat memilih bahan yang akan disampaikan, metode yang sesuai dengan kondisi, situasi, dan tujuan serta pengadaan evaluasi. Tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup serta mengembangkan karakter 64 Soetjipto dan Raflis Kosasi, Profesi Keguruan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), cet. I, hal 29. 42 individu. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada individu yang menjadi peserta didik. Adapun tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan dirinya sebagai orang tua kedua. Ia harus mampu menariksimpati sehingga menjadi idola para peserta didiknya. b. Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai pendidik Guru sebagai pendidik dalam hal ini yaitu guru mampu mengubah tingkah laku dirinya menjadi seorang guru yang professional. Seorang pendidik harus menjaga wibawa didepan peserta didiknya. Guru mampu mendidik apabila dia mempunyai kestabilan emosi, memiliki rasa tanggung jawab yang besar untuk menunjukan anak didik bersikap realitis, bersikap jujur serta bersikap terbuka dan peka terhadap perkembangan, terutama inovasi pendidikan.65 Sebagai guru pendidikan agama Islam dan budi pekerti tidak hanya mempunyai tugas menyampaikan atau mentransfer ilmu kepada peserta didiknya, tetapi yang lebih penting adalah membentuk jiwa dan batin peserta didik sehingga dapat menjadikan mereka berakhlak mulia. c. Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai da’i Fungsi ini dalam arti sempit, artinya guru pendidikan agama Islam dan budi pekerti yang mengajar di sekolah umum mendapat tanggapan positif dari guru-guru lain di sekolah tersebut. d. Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai konsultan 65 Oemar Hamalik, Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, (Bandung: PT. Bumi Aksara, 2002 ) Hal 43. 43 Maksudnya di samping sebagai pengajar dan pendidik, guru pendidikan agama Islam dan budi pekerti juga berfungsi sebagai konsultan bagi peserta didik atau guru lainnya dalam mengatasi permasalahan-permasalahan pribadi atau permasalahan belajar. Peranan guru yang tidak kalah pentingnya dari semua peran yang telah disebutkan di atas, adalah guru sebagai konsultan, peranan yang harus lebih dipentingkan, karena kehadiran guru disekolah adalah untuk membimbing anak didik menjadi manusia dewasa susila yang cakap, tanpa pembimbing, anak didik akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya, kekurang mampuan anak didik menyebabkan lebih banyak tergantung pada bantuan guru, tetapi semakin dewasa, ketergantugan anak didik semakin berkurang. Jadi, bagaimanapun juga bimbingan dari guru sangat diperlukan pada saat anak didik belum mampu berdiri sendiri (mandiri). e. Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai pemimpin pramuka Salah satu kegiatan yang bias mengembangkan jiwa kepemimpinan adalah kegiatan pramuka. Pada dasarnya setiap peserta didik memiliki potensi untuk menjadi seorang pemimpin. Karena itulah jiwa kepemimpinan pada seorang anak harus dikembangkan. Kegiatan pramuka dapat dijadikan sebagai tempat mengembangkan pendidikan agama Islam dan budi pekerti, lebih sempurna lagi apabila guru pendidikan agama Islam dan budi pekerti aktif di dalamnya. f. Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti sebagai pemimpin informal Artinya guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti bukan hanya sebagai pengajar dan pendidik, tetapi sebagai pemimpin keluarga dan masyarakat.66 Pendidikan 66 104-105. Novan Ardy Wiyani, Pendidikan Karakter Berbasis Iman Dan Takwa, (Yogyakarta: Teras, 2012), hal 44 karakter merupakan misi utama pendidikan Islam dan terwujudnya karakter di kalangan umat tidak dapat lepas dari proses pendidikan Islam.67 Banyak peranan yang diperlukan dari seorang guru sebagai pendidik atau siapa saja yang telah menjadi guru. Semua peranan yang diharapkan dari guru sebagaimana dinyatakan oleh Djamarah adalah sebagai berikut: a. Korektor, yaitu guru harus bisa membedakan mana nilai yang baik dan buruk; b. Inspirator, yaitu guru harus dapat memberikan ilham yang baik bagi siswanya. Guru harus dapat memberi petunjuk bagaimana cara belajar yang baik; c. Informator, yaitu guru harus dapat memberi informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain sejumlah bahan pelajaran untuk setiap mata pelajaran yang telah diprogramkan dalam kurikulum; d. Organisator, yaitu guru memiliki kegiatan pengelolaan kegiatan akademik, menyusun tata tertib sekolah, menyusun kalender akademik dan sebagainya; e. Motivator, yaitu guru hendaknya dapat mendorong anak didik agar bergairah dan aktif belajar; f. Inisiator yaitu guru harus dapat menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan dan pengajaran; g. Fasilitator, yaitu guru hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang memungkinkan kemudahan kegiatan belajar anak didik; h. Pembimbing, yaitu guru hendaknya dapat membimbing anak didiknya menjadi manusia dewasa susila yang cakap; i. Demonstrator, yaitu guru hendaknya dapat memperagakan apa yang diajarkan secara didaktis, sehingga apa yang guru inginkan sejalan dengan pemahaman anak didik; 67 Marzuki., Pendidikan, hal 38. 45 j. Pengelola kelas, yaitu guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik, karena kelas adalah tempat berhimpu semua anak didik dan guru dalam rangka menerima bahan pelajaran dari guru; k. Mediator yaitu, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang media pendidikan dalam berbagai bentuk dan jenisnya, baik media nonmaterial maupun materiil; l. Supervisor yaitu, guru hendaknya dapat membantu, memperbaiki dan menilai secara kritis terhadap proses pengajaran; m. Evaluator yaitu, guru dituntut untuk menjadi seorang evaluator yang baik dan jujur, dengan memberikan penilaian yang menyentuh aspek ekstrintik dan intrinsik.68 Adapun beberapa tugas guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti diantaranya sebagai berikut: a. Sebagai pembimbing, guru agama harus membawa peserta didik ke arah kedewasaan berpikir yang kreatif dan inovatif; b. Sebagai penghubung, antara sekolah dan masyarakat, setelah peserta didik tamat belajar di suatu sekolah, guru agama harus membantu agar alumninya mampu mengabdikan dirinya dalam lingkungan masyarakat; c. Sebagai penegak disiplin, guru agama harus menjadi contoh dalam melaksanakan peraturan yang sudah ditetapkan oleh sekolah; d. Sebagai suatu profesi, seorang guru agama harus bekerja profesional dan menyadari benar-benar pekerjaannya sebagai amanah dari Allah SWT; 68 Djamarah., Guru, hal 43-48. 46 e. Sebagai perencana kurikulum, guru agama harus berpartisipasi aktif dalam setiap penyusunan kurikulum, karena ia lebih tahu kebutuhan peserta didik dan masyarakat tentang masalah keagamaan; f. Sebagai pekerja yang memimpin (guidance worker), guru agama harus berusaha membimbing peserta didik dalam pengalaman belajar; g. Sebagai fasilitator pembelajaran, guru agama bertugas membimbing dalam mendapatkan pengalaman belajar, memonitor kemajuan belajar, membantu kesulitan belajar (melancarkan pembelajaran); h. Sebagai motivator, guru agama harus dapat memberikan dorongan dan niat yang ikhlas karena Allah SWT dalam belajar; i. Sebagai organisator, guru agama harus dapat mengorganisir kegiatan belajar peserta didik baik di sekolah maupun diluar sekolah; j. Sebagai manusia sumber, guru agama harus menjadi sumber nilai keagamaan, dan dapat memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peserta didik terutama dalam aspek keagamaan; k. Sebagai manager, guru agama harus berpartisipasi dalam managemen pendidikan di sekolahnya baik yang bersifat kurikulum maupun di luar kurikulum.69 Keutamaan seorang pendidik disebabkan oleh tugas mulia yang diembannya. Tugas yang diemban seorang pendidik hampir sama dengan tugas seorang rasul, yaitu: a. Tugas secara umum adalah sebagai warasat al-anbiya yang pada hakikatnya mengemban misi rahmat li al alamin yakni suatu misi yang mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hokum-hukum Allah, guna memperolehh keselamatan dunia 69 Ramayulis., Metodologi, hal 55-57. 47 dan akhirat. Kemudian misi ini dikembangkan kepada pembentukan kepribadian yang berjiwa tauhid, kreatif, beramal saleh dan bermoral tinggi. Selain itu tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah b. Tugas secara khusus adalah sebagai berikut : 1) Sebagai pengajar yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun dan penilaian setelah program itu dilaksanakan; 2) Sebagai pendidik yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaan yang berpepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah menciptakan manusia; 3) Sebagai pemimpin, yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan.70 Pengertian ini menjadikan tugas guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti tidaklah ringan karena di samping secara akademik dituntut untuk mengajarkan ilmu pengetahuan agama kepada anak didik, juga dituntut dalam penanaman nilai-nilai keagamaan ke dalam pribadi peserta didik, sehingga diharapkan peserta didik akan menjadi manusia yang dewasa baik dalam intelektual maupun kepribadiannya atau akhlaqnya. Proses pembelajaran merupakan suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan peserta didik atas hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu, di mana dalam proses tersebut 70 Ramayulis., Metodologi, hal 63. 48 terkandung multiperan dari guru. Peranan guru meliputi banyak hal, yaitu guru dapat berperan sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan belajar, perencana pembelajaran, supervisor, motivator, dan sebagai evaluator.71 B. Konsep Pendidikan Karakter 1. Pengertian Pendidikan Karakter Pendidikan adalah usaha yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk memotivasi, membina, membantu, serta membimbing seseorang mengembangkan segala potensinya sehingga mencapai kualitas diri yang lebih baik. Inti dari pendidikan adalah usaha pendewasaan manusia seutuhnya (lahir dan batin), baik oleh orang lain maupun oleh dirinya sendiri, dalam arti tuntutan yang menuntut agar anak didik memiliki kemerdekaan berpikir, merasa, berbicara, dan bertindak serta percaya diri dengan penuh rasa tanggung jawab dalam setiap tindakan dan perilaku kehidupannya sehari-hari.72 Istilah pendidikan ini diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan education yang mempunyai arti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa arab istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah”yang berarti pendidikan.73 Sementara itu, istilah karakter yang dalam bahasa Inggris character, berasal dari istilah yunani, charassein yang berarti membuat tajam atau membuat dalam.74 Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain.75 Karakter definisikan sebagai nama dari jumlah seluruh ciri pribadi yang 71 Rusman, Model-Model Pembelajaran, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), cet. V, hal 58. Beni Ahmad Saebani & Hendra Akhdiyat, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hal 39. Selanjutnya ditulis Saebani, Ilmu. 73 Ramayulis., Metodologi, hal 1. 74 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2005), hal 392. Selanjutnya ditulis Bagus, Kamus. 75 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hal 623. 72 49 mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, ketidaksukaan, kemampuan, kecenderungan, potensi, nilai-nilai, dan pola-pola pemikiran, atau suatu kerangka kepribadian yang relatif mapan yang memungkinkan ciri-ciri semacam ini mewujudkan dirinya.76 Pengertian karakter juga banyak dikaitkan dengan pengertian budi pekerti, akhlak mulia, moral, dan bahkan dengan kecerdasan ganda (Multiple Intelligences).77 Pendidikan Islam menempatkan karakter sebagai pendidikan akhlak.78 Adapun pendidikan karakter merupakan proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa.79 Pendidikan karakter diartikan pula sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.80 Pendidikan karakter disebut pula sebagai upaya yang disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli atas nilai-nilai susila. Menurut Ramli, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak.81 Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat dan warga negara yang baik. Definisi lain tentang pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yang intinya merupakan program pengajaran yang bertujuan mengembangkan watak dan 76 Bagus., Kamus, hal 392. Suparlan, Suparlan.com. Diakses hari Minggu tanggal 20 Desember 2015 Waktu 22:09:31 WIB 78 Nur Syam, Rekonstruksi Pendidikan Akhlak, http://nursyam.sunan-ampel.ac.id. Diakses hari Sabtu tanggal 19 Desember 2015 Waktu 17:07:49 WIB 79 Muchlas Samani & Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), cet. III, hal 44. 80 Imam Machali & Muhajir, Pendidikan Karakter Pengalaman Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah, ( Yogyakarta: Aura Pustaka, 2011), hal 7. 81 Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), hal 23. 77 50 tabiat peserta didik dengan cara menghayati nilai-nilai dan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan moral dalam hidupnya melalui kejujuran, dapat dipercaya, disiplin, dan kerja sama yang menekankan ranah afektif (perasaan/sikap) tanpa meninggalkan ranah kognitif (berfikir rasional), dan ranah skill (keterampilan, terampil mengolah data, mengemukakan pendapat, dan kerja sama).82 Proses yang dideskripsikan di atas, penjelasannya dapat diringkas sebagai berikut: PIKIRAN= KEINGINAN= PERBUATAN= KEBIASAAN= KARAKTER. Salah satu cara untuk membangun karakter adalah melalui pendidikan. Pendidikan yang ada, baik itu pendidikan di keluarga, masyarakat, atau pendidikan formal di sekolah berperan menanamkan nilai-nilai untuk pembentukan karakter. Pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak, mengingat demoralisasi dan degradasi pengetahuan sudah sedemikian akut menjangkiti bangsa ini di semua lapisan masyarakat. Pendidikan karakter diharapkan mampu membangkitkan kesadaran bangsa ini untuk membangun pondasi kebangsaan yang kokoh.83 Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang benar. Pendidikan keluarga maupun pendidikan dalam sekolah, orang tua, dan guru tetap sadar bahwa pembangunan tabiat yang agung adalah tugas mereka.84 Banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa karakter seseorang dapat mempengaruhi kesuksesannya. Penelitian di Harvard University, Amerika Serikat menyatakan bahwa ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih kepada kemampuan 82 Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 25. Selanjutnya ditulis Zubaedi, Desain. 83 Jamal Ma’mur Asmani, Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter Di Sekolah, (Jogjakarta: Diva Press, 2012), cet. V, hal 47. Selanjutnya ditulis Asmani, Buku. 84 Kurniawan., Pendidikan, hal 31. 51 mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini mengungkapkan bahwa kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya 80 persen oleh soft skill.85 Orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil karena lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. 2. Tujuan Pendidikan Karakter Tujuan pendidikan merupakan bagian terpadu dari faktor-faktor pendidikan. Tujuan termasuk kunci keberhasilan pendidikan di samping faktor-faktor lainnya, seperti pendidik, peserta didik, alat pendidikan, dan lingkungan pedidikan. Keberadaan empat faktor ini tidak ada artinya bila tidak diarahkan oleh suatu tujuan. Tak ayal lagi bahwa tujuan menempati posisi yang penting dalam proses pendidikan sehingga materi, metode dan alat pengajaran selalu di sesuaikan dengan tujuan.86 Tujuan pendidikan karakter adalah penanaman nilai dalam diri peserta didik dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu. Tujuan jangka panjangnya tidak lain adalah mendasarkan diri pada tanggapan aktif kontekstual individu atas impuls natural sosial yang diterimanya, yang pada gilirannya semakin mempertajam visi hidup yang akan diraih lewat proses pembentukan diri secara terus menerus (on going formation).87 Tujuan mulia pendidikan karakter ini akan berdampak langsung pada prestasi peserta didik. Konteks tujuan pembelajaran secara eksplisit diusahakan untuk dicapai dengan tindakan instruksional yang berbentuk pengetahuan dan keterampilan. Apabila ditinjau 85 Zubaedi., Desain, hal 32. Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal 3. 87 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak Di Zaman Global, (Jakarta: Grasindo, 2010), hal 135. Selanjutnya ditulis Koesoema, Pendidikan. 86 52 secara umum, tujuan belajar dapat dihubungkan dengan tujuan pembelajaran pendidikan karakter, yaitu sebagai berikut: a. Untuk mendapatkan pengetahuan Pemikiran pengetahuan dan kemampuan berpikir tidak dapat dipisahkan. Tujuan inilah yang memiliki kecenderungan lebih besar perkembangannya dalam kegiatan belajar; b. Penanaman konsep dan keterampilan Penanaman konsep juga memerlukan keterampilan, menyangkut persoalan penghayatan dan keterampilan berpikir, serta kreativitas untuk menyelesaikan dan merumuskan suatu masalah atau konsep; c. Pembentukan sikap Dalam menumbuhkan sikap mental, perilaku dan pribadi anak didik, guru lebih bijak dan hati-hati dalam pendekatannya. Untuk itu, dibutuhkan kecakapan mengarahkan motivasi dan berpikir tanpa melupakan menggunakan pribadi guru dengan contoh atau model.88 Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan pancasila. 3. Fungsi Pendidikan Karakter Pendidikan karakter diberikan pada pendidikan formal khususnya lembaga pendidikan TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, MAK dan Perguruan Tinggi melalui pembelajaran, dan ekstrakurikuler, penciptaan budaya satuan pendidikan, dan 88 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal 23. 53 pembiasaan. Sasaran pada pendidikan formal adalah peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Hal ini sesuai dengan fungsi pendidikan karakter menurut Kementerian Pendidikan Nasional adalah: a. Pengembangan potensi dasar, agar berhati baik, berpikiran baik dan berperilaku baik; b. Perbaikan perilaku yang kurang baik dan penguatan perilaku yang sudah baik; c. Penyaring budaya yang kurang sesuai dengan nilai-nilai luhur pancasila.89 Pendidikan agama di sekolah secara teoritis berfungsi sebagai: a. Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin; b. Penanaman nilai ajaran islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; c. Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial; d. Perbaikan kesalahan, kelemahan peserta didik dalam keyakinan pengalaman ajaran agama islam dalam kehidupan sehari-hari; e. Pencegahan dari hal-hal negatif budaya asing yang dihadapinya sehari-hari; f. Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nirnyata); g. Penyaluran untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.90 89 Anas Salahudin & Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter (Pendidikan Berbasis Agama & Budaya), (Bandung: Pustaka Setia, 2013), cet. I, hal 105. 90 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan di Sekolah, (Bandung: Pustaka Setia, 2004), hal 40. 54 Kedudukan dan fungsi agama dalam kehidupan manusia sedemikian urgen, maka agama dapat dijadikan nilai dasar bagi pendidikan, termasuk pendidikan karakter, sehingga melahirkan model pendekatan pendidikan karakter berbasis agama. 4. Tahap-Tahap Pendidikan Karakter Pendidikan karakter diklasifikasikan ke dalam beberapa tahap, berdasarkan hadits Rasulullah saw terdapat beberapa tahap, yaitu: a. Tahap penanaman adab (umur 5-6 tahun); b. Tahap penanaman tanggung jawab (umur 7-8 tahun); c. Tahap penanaman kepedulian (umur 9-10 tahun); d. Tahap penanaman kemandirian (umur 11-12 tahun); e. Tahap penanaman pentingnya bermasyarakat (umur 13 tahun ke atas).91 Pendidikan karakter membutuhkan proses atau tahapan secara sistematis dan gradual, sesuai dengan fase pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Pembangunan karakter tidaklah cukup hanya dimulai dan diakhiri dengan penetapan misi. Akan tetapi, hal ini perlu dilanjutkan dengan proses yang dilakukan secara terus-menerus sepanjang hidup.92 5. Konsep Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pendidikan karakter dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi nilai dasar karakter bangsa. Kebajikan yang menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Oleh karena itu, pendidikan karakter pada dasarnya adalah pengembangan nilai-nilai yang berasal dari pandangan hidup atau ideologi bangsa 91 M. Furqan Hidayatullah, Pendidikan Karakter; Membangun Peradaban Bangsa, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), hal 32. 92 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual; ESQ, Emotional Spiritual Quotient, (Jakarta: Arga, 2008), hal 278. 55 Indonesia, agama, budaya, dan nilai-nilai yang terumuskan dalam tujuan pendidikan nasional.93 Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di Indonesia diidentifikasi berasal dari sumber-sumber berikut ini: a. Agama Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. b. Pancasila Negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara. c. 93 Budaya Zubaedi., Desain, hal 72-73. 56 Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. d. Tujuan Pendidikan Nasional Sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa. 94 Berdasarkan keempat sumber nilai tersebut, teridentifikasi sejumlah nilai untuk pendidikan karakter seperti berikut ini. Tabel 2.1 Nilai dan Deskripsi Nilai Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa No 1 Nilai Religius Deskripsi Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 94 Kementerian Pendidikan Nasional, LITBANG, Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan nilai-nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa: Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa (Jakarta: Pusat Kurikulum, 2010), hal 7-10. 57 2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikandirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5 Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8 Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9 Rasa Ingin Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih Tahu mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10 Semangat Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan Kebangsaan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 58 11 Cinta Tanah Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, Air kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12 Menghargai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan Prestasi sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13 14 Bersahabat/ Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan Komuniktif bekerja sama dengan orang lain. Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15 16 Gemar Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan Membaca yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Peduli Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada Lingkungan lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18 Tanggungjawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. 59 Delapan belas nilai untuk pendidikan karakter di atas dapat ditambah atau dikurangi dengan menyesuaikan kebutuhan.95 6. Konsep Religius Kata religius berasal dari kata religious yang berarti sifat religi yang melekat pada diri seseorang. Sehingga kata religious juga diartikan sebagai pelajaran agama, seorang yang saleh, berhubungan dengan agama, beragama, beriman.96 Kementerian Pendidikan Nasional mendeskripsikan karakter religius kepada sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain, maka hal ini senada dengan penjelasan dari Nurcholis Madjid bahwa religius dan beragama sama-sama menunjukkan totalitas tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang dilandasi dengan iman kepada Allah, sehingga perilakunya yang senantiasa berlandaskan iman dan taqwa kepada Allah SWT terbentuk menjadi suatu akhlakul karimah yang mengkristal dalam dirinya.97 Nurcholis Madjid mengemukakan bahwa agama bukan hanya kepercayaan kepada yang ghaib dan melaksanakan ritual-ritual tertentu. Agama adalah keseluruhan tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridha Allah. Agama, dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah laku manusia dalam hidup ini, 95 Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter Konsepsi & Implementasinya Secara Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, Dan Masyarakat, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), cet. I, hal 41. Selanjutnya ditulis Kurniawan, Pendidikan. 96 John M. Echols dan Hassan Shadily, An English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2005), cet. XXVI, hal 476. 97 Nurcholis Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 2010), hal 90. Selanjutnya ditulis Madjid, Masyarakat. 60 yang tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia berbudi luhur (akhlaq karimah), atas dasar percaya atau iman kepada allah dan tanggung jawab pribadi di hari kemudian.98 Religius dalam konteks pendidikan karakter adalah manifestasi lebih mendalam atas agama berupa penghayatan dan implementasi ajaran agama dalam kehidupan seharihari.99 Artinya orang yang beragama dituntut mampu menunjukkan sikap religiusitasnya sehingga barulah ia dikatakan manusia yang religius. Kata religius tidak selalu identik dengan kata agama. Kata religius lebih tepat diterjemahkan sebagai keberagamaan. Keberagamaan lebih melihat aspek yang ada di dalam lubuk hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang lain karena menafaskan jiwa, cita rasa yang mencakup totalitas ke dalam pribadi manusia, dan bukan pada aspek yang bersifat formal.100 Religiusitas dapat dirumuskan sebagai komitmen religius (yang berhubungan dengan agama atau keyakinan iman) yang dapat dilihat melalui aktifitas atau perilaku individu yang bersangkutan dengan agama atau keyakinan iman yang dianut. Nilai kadar keberagamaan seseorang dapat dilihat dari dimensi-dimensi keberagamaan sebagai berikut: a. Dimensi keyakinan yang mengandung pengharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut; b. Dimensi praktik agama mencakup perilaku pemujaan, ketaaan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya; 98 Madjid., Masyarakat, hal 34. Ngainun Naim, Character Building: Optimalisasi Peran Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu dan Pembentukan Karakter Bangsa, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hal 124. 100 Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), hal 288. 99 61 c. Dimensi pengalaman yakni dimensi yang berhubungan dengan pengalamanpengalaman religius seperti perasaan persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami pelaku dan bersifat subyektif. d. Dimensi pengetahuan agama mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasardasar keyakinan, kitab suci dan tradisi-tradisi. e. Dimensi pengamalan atau konsekuensi mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.101 Rumusan nilai karakter Kementerian Pendidikan Nasional menjadikan nilai karakter religius sebagai hal tersendiri karena di dalamnya meskipun berwujud pada suatu sikap yang tunduk dan patuh pada ajaran agama, namun tetap mengandung unsur kepercayaan dan keimanan kepada Tuhan sebagai dasar pijakan utama dalam berperilaku yang sesuai dengan ajaran agama. Dari sini terlihat jelas nilai karakter religius menjadi berbeda dengan nilai-nilai karakter yang lain dikarenakan mengandung unsur keyakinan yang kokoh kepada Tuhan dan berdampak terhadap timbulnya berbagai perilaku yang terpuji sejalan dengan perintah dan ajaran agama. 7. Metode Pendidikan Karakter Terdapat lima metode pendidikan karakter dalam penerapannya di lembaga sekolah yaitu mengajarkan, keteladanan, menentukan prioritas, praksis prioritas dan refleksi. 101 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami: Solusi Islam Atas Problem-Problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hal 77-78. 62 a. Mengajarkan. Pemahaman konseptual tetap dibutuhkan sebagai bekal konsep-konsep nilai yang kemudian menjadi rujukan bagi perwujudan karakter tertentu. Mengajarkan karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai tertentu, keutamaan, dan maslahatnya. Mengajarkan nilai memiliki dua faedah, pertama, memberikan pengetahuan konseptual baru, kedua, menjadi pembanding atas pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses mengajarkan tidaklah monolog, melainkan melibatkan peran serta peserta didik; b. Keteladanan. Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan menepati posisi yang sangat penting. Guru harus terlebih dahulu memiliki karakter yang hendak diajarkan. Peserta didik akan meniru apa yang dilakukan gurunya ketimbang yang dilaksanakan sang guru. Keteladanan tidak hanya bersumber dari guru, melainkan juga dari seluruh manusia yang ada dalam lembaga pendidikan tersebut. Juga bersumber dari orang tua, karib kerabat, dan siapapun yang sering berhubungan dengan peserta didik. Pada titik ini, pendidikan karakter membutuhkan lingkungan pendidikan yang utuh, saling mengajarkan karakter; c. Menentukan prioritas. Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar proses evaluasi atas berhasil atau tidak nya pendidikan karakter dapat menjadi jelas, tanpa prioritas, pendidikan karakter tidak dapat terfokus dan karenanya tidak dapat dinilai berhasil atau tidak berhasil. Pendidikan karakter menghimpun kumpulan nilai yang dianggap penting bagi pelaksanaan dan realisasi visi lembaga. Oleh karena itu, lembaga pendidikan memiliki kewajiban. Pertama, menentukan tuntutan standar yang akan ditawarkan pada peserta didik. Kedua, semua pribadi yang terlibat dalam lembaga pendidikan harus memahami secara jernih apa nilai yang akan ditekankan pada 63 lembaga pendidikan karakter ketiga. Jika lembaga ingin menentukan perilaku standar yang menjadi ciri khas lembaga maka karakter lembaga itu harus dipahami oleh anak didik , orang tua dan masyarakat; d. Praksis prioritas. Unsur lain yang sangat penting setelah penentuan prioritas karakter adalah bukti dilaksanakan prioritas karakter tersebut. Lembaga pendidikan harus mampu membuat verifikasi sejauh mana prioritas yang telah ditentukan telah dapat direalisasikan dalam lingkungan pendidikan melalui berbagai unsur yang ada dalam lembaga pendidikan itu; e. Refleksi. Berarti dipantulkan kedalam diri. apa yang telah dialami masih tetap terpisah dengan kesadaran diri sejauh ia belum dikaitkan, dipantulkan dengan isi kesadaran seseorang. Refleksi juga dapat disebut sebagai proses bercermin, mematut-matutkan diri ada peristiwa/konsep yang telah teralami. 102 Sedangkan model penanaman atau pembentukan nilai karakter terdapat berbagai macam cara yaitu: a. Keteladanan Konsep keteladanan ini telah diberikan oleh Rasulullah SAW agar menjadi panutan yang baik bagi semua umat islam sepanjang sejarah dan bagi semua manusia di setiap masa dan tempat. Sehingga dengan ini guru harus memberikan teladan yang baik karena jika guru berbuat kesalahan maka akan lahirlah peserta didik yang lebih buruk baginya. b. Memberikan bimbingan Bimbingan lebih merupakan suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian 102 Koesoema., Pendidikan, hal 212-217. 64 dalam pemahaman diri, pengarahan diri, dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungannya. c. Dorongan atau motivasi Desakan atau drive diartikan sebagai dorongan yang diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani. Motif adalah dorongan yang terarah kepada pemenuhan kebutuhan psikis atau rohaniah. Kebutuhan atau need adalah suatu keadaan dimana individu merasakan adanya kekurangan, atau ketiadaan sesuatu yang diperlukannya. Sedangkan wish adalah harapan untuk mendapatkan atau memiliki sesuatu yang dibutuhkan. Kondisi-kondisi yang mendorong individu untuk melakukan suatu kegiatan disebut motivasi. d. Kontinuitas (proses pembiasaan) Al-Qur’an menjadikan kebiasaan itu sebagai salah satu teknik atau metode pendidikan. Lalu ia mengubah seluruh sifat-sifat baik menjadi kebiasaan, sehingga jiwa dapat menunaikan kebiasaan itu tanpa terlalu payah, tanpa kehilangan banyak tenaga, dan tanpa menemukan banyak kesulitan. Al-Qur’an mempergunakan cara bertahap dalam menciptakan kebiasaan yang baik, begitu juga dalam menghilangkan kebiasaan yang buruk dalam diri seseorang. e. Repetition (pengulangan) Pendidikan yang efektif dilakukan dengan berulang kali sehingga anak menjadi mengerti. Pelajaran atau nasihat apapun perlu dilakukan secara berulang, sehingga mudah dipahami oleh anak. 65 f. Pengorganisasian Guru harus mampu mengorganisasikan pengetahuan dan pengalaman yang sudah diperoleh peserta didik di luar sekolah dengan pegalaman belajar yang diberikannya. Pengorganisasian yang sistematis dapat membantu guru untuk menyampaikan informasi. Informasi tersebut kemudian dijadikan sebagai umpan balik untuk kegiatan belajar yang sedang dilaksanakan.103 C. Peran Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti dalam Pendidikan Karakter Guru adalah aktor utama sekaligus menentukan berhasil atau tidaknya proses pembelajaran. Dikaitkan dengan pendidikan karakter, peranan guru sangat penting. Di samping harus mempunyai kompetensi-kompetensi yang telah di uraikan di atas, seorang guru juga harus memiliki karakter-karakter mulia dalam dirinya sendiri, sebagai bagian dari hidupnya. Hal ini menjadi penting karena bagaimana mau mengajari peserta didik tentang pendidikan karakter, sementara yang bersangkutan yaitu guru, tidak berkarakter.104 Makna guru dalam dunia pendidikan amatlah penting dan berpengaruh terhadap perkembangan peserta didiknya, sebab dialah yang mempunyai peluang banyak untuk berinteraksi atau tatap muka dengan peserta didiknya dalam proses belajar mengajar. Guru mendidik anak didiknya agar mengerti dan memahami mata pelajaran, mendidik dan memberi contoh perilaku yang patut diteladani oleh anak didiknya.105 Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti adalah pendidik profesional, karenanya secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian 103 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karkater Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hal 117-138. 104 Kurniawan., Pendidikan, hal 119. 105 Saebani., Ilmu, hal 209. 66 tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak para orang tua. Mereka ini, tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah, sekaligus berarti pelimpahan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru. Hal itupun menunjukkan pula bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang guru/sekolah karena tidak sembarang orang dapat menjabat guru.106 Guru Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti, dalam hal ini, harus memiliki kompetensi yang memadai agar dapat melakukan tugasnya dengan baik dan berhasil sesuai yang diharapkan. Dalam Pasal 28 PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan ditegaskan bahwa semua pendidik, termasuk guru agama, harus memiliki empat kompetensi pokok, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Permendiknas RI No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kompetensi Akademik Dan Kompetensi Guru kemudian memerinci empat kompetensi guru tersebut dengan detail melalui lampirannya. Dengan ketentuan yang rinci ini diharapkan guru agama tidak sekadar dapat melaksanakan tugas sesuai dengan jatah waktu yang diberikan dan menghabiskan materi (kompetensi) yang ditargetkan, tetapi guru agama harus benar-benar memiliki kompetensi akademik dan profesional yang cukup agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan profesional serta penuh tanggung jawab. Kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial merupakan pendukung penting agar tugas yang dilaksanakan berhasil dengan baik, mengingat guru harus menjadi teladan bagi para peserta didiknya dalam bersikap dan berperilaku, baik secara individu maupun sosial.107 Dalam konteks pendidikan karakter, peran guru sangat vital sebagai sosok yang diidolakan, serta menjadi sumber inspirasi dan motivasi murid-muridnya. Sikap dan perilaku 106 Daradjat., Ilmu, hal 39. Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, (Jakarta: Amzah, 2015), cet. I, hal 37-38. Selanjutnya ditulis Marzuki, Pendidikan. 107 67 seorang guru sangat membekas dalam diri seorang murid, sehingga ucapan, karakter, dan kepribadian guru menjadi cermin murid.108 Peran guru yang dimaksud di sini adalah berkaitan dengan peran guru dalam proses pembelajaran. Guru merupakan faktor penentu yang sangat dominan dalam pendidikan pada umunya, karena guru memegang peranan dalam proses pembelajaran, di mana proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan. 108 Asmani., Buku, hal 72.