GERAI Infeksi Studi Kasus: Pemberian Propoelix® Sebagai Terapi Tambahan pada Pasien HIV/AIDS Oleh: Dr. M. Fauzan, Dr. Bagus Sulistyo Budhi A (Ketua Pokja HIV/AIDS, RSUD Sungailiat - Bangka, RSPAD Gatot Subroto - Jakarta, PSIK S3 UNS) IDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom dengan gejala penyakit infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang biasanya akan membawa kematian pada akhirnya (Fauci, 2001). Tahun 1993, CDC (Centers of Disease Control and Prevention) mendefinisikan AIDS berdasarkan kondisi klinis yang berhubungan dengan HIV dan hitung sel CD4+ T limfosit (Kaplan, 2010; Fauci, 2001). Semua keadaan pada kategori C tanpa memandang keadaan derajat immunosupresinya didiagnosis sebagai AIDS, sedangkan semua pasien dengan CD4+ limfosit T <200/mm3 didiagnosis sebagai AIDS tanpa melihat keadaan klinisnya (Kaplan, 2010; Fauci, 2001). Infeksi HIV dan AIDS sudah menjadi suatu pandemi di seluruh dunia. Jumlah kasus infeksi HIV pada orang dewasa pada tahun 2000 saja sudah lebih kurang 34 juta jiwa, dan dua per tiganya berada di Afrika Sub Sahara. Sebagai tambahan, diperkirakan 1,3 juta anak-anak di bawah 15 tahun hidup dengan HIV/AIDS. Cara penularan HIV antara lain melalui hubungan 40 FARMACIA • Maret 2016 seks heteroseksual, pemakaian narkotika injeksi, dan hubungan homoseksual. Sisanya melalui transfusi darah/ produk darah, transmisi perinatal, dan belum diketahui. Namun prosentase jumlah penularan ini mengalami perubahan seiring ditemukannya kasus baru seperti terlihat pada grafik. Pengobatan dilakukan untuk menghambat replikasi virus HIV dan menghilangkan infeksi oportunistik. Sampai saat ini, obat anti retroviral sudah dikembangkan dan terbagi menjadi kelompok-kelompok sebagai berikut: Nukleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI) terdiri dari AZT (Azidothimidine)/Zidovudine dan menjadi obat antiretroviral yang paling sering digunakan dan direkomendasikan untuk pasien dengan hitung sel CD4 kurang dari 500 sel. Didanosine (ddI), diberikan pada pasien HIV/AIDS dengan hitung CD4 kurang dari 500 yang tidak toleran terhadap efek samping AZT atau yang memakai AZT sekurangkurangnya 16 minggu, tetapi tetap menunjukkan progresivitas penyakitnya. Dideoxycitidine (ddC) meskipun masih berkaitan erat dengan ddI, tetapi jarang menyebabkan insomnia (1% pasien). Obat lain Stavudine (d4T), Lamivudine dan sebagainya. Obat go- longan inhibitor protease seperti Saquinavir, Ritonavir, Indinavir, dan sebagainya. Dari golongan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI) misalnya Nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV). Pengobatan kombinasi memberikan efek yang lebih baik. Kombinasi berupa beberapa obat anti retroviral mekanisme kerjanya berbeda dan tempat kerjanya berbeda sehingga dapat menurunkan masing-masing dosis obat dan efek samping minimal. Sejak ditemukan antiretroviral inhibitor protease, AZT tidak pernah digunakan lagi sebagai monoterapi. Meskipun demikian, AZT tetap merupakan komponen penting dalam kombinasi karena protease inhibitor tidak dapat menembus sawar darah otak sehingga tidak efektif mengobati gangguan neurokognitif. Tetapi, kombinasi dengan obat ini dapat menghalangi progresivitas gangguan ini dengan proses yang hingga saat ini belum jelas diketahui tapi dipikirkan mungkin karena dapat mengurangi viral load. Contoh kombinasi dapat berupa triple (AZT+ddC+ Saquinavir) atau double (AZT+Saquinavir) atau (AZT+ddC). (Kaplan, 2010; Treisman, 2006). GERAI GERAI Grafik 3. Proporsi Perubahan CD4 dari 1 Bulan sampai 6 Bulan ditambahkan Propoelix dengan Tetap Menggunakan ARV. ® Propolis merupakan produk alami yang berasal dari resin tanaman yang dikumpulkan oleh lebah madu. Propolis bersifat lengket pada suhu ruangan atau di atasnya (20°C). Sementara jika lebih rendah, akan menjadi keras dan rapuh. Produk ini telah digunakan sejak 300 SM oleh bangsa Yunani, Romawi, dan Mesir untuk penyembuhan karena memiliki sifat anti-inflamasi. Dalam dunia kedokteran Arab, propolis diidentifikasi oleh Ibnu Sina sebagai malam yang berwarna gelap, sebagai sisa kotoran dari sarang. Sementara malam yang berwarna bening dikenali sebagai bahan untuk membuat sarang. Malam yang berwarna gelap ini diketahui memiliki sifat membersihkan. Di daerah dengan iklim apapun di seluruh dunia, eksudat bud poplar (terutama dari Populus Nigra L) adalah sumber utama resin yang dikumpulkan. Propolis poplar memiliki sekitar 50 jenis zat, terutama resin dan balsam tumbuhan (50%), lilin (30%), minyak esensial (10%), dan serbuk sari (5%). Ditemukan pula senyawa biologis aktif dalam balsam propolis, termasuk senyawa polifenol (caffeic acid phenethyl ester [CAPE]), flavonoid (chrysin, catechin, galangin), turunan stilben (resveratrol), dan asam lemak. Senyawa ini, dalam CAPE dan flavonoid tertentu, terbukti memiliki aktivitas anti-inflamasi dan imunomodulasi yang potensial dalam percobaan laboratorium. CAPE secara signifikan menghambat produksi sitokin dan limfokin, termasuk TNF-α, IL-2, IL-10, IL-12, IFN, dan menghambat proliferasi sel T (Lardo, 2014). Propoelix® adalah ekstraksi super dari propolis yang dilakukan dengan menggunakan pro- 42 FARMACIA • Maret 2016 ses ekstraksi unik untuk menghilangkan bahan yang tidak diperlukan tubuh (misalnya resin), serta mempertahankan bahan aktif dalam bentuk unik yang bisa larut dalam air. Pemberian Terapi Tambahan Propoelix Pada Pasien HIV/AIDS Berikut adalah beberapa hasil penelitian: Tabel 1. Karakteristik Subjek penelitian pasien HIV Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (data diolah) Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (data diolah) di RSUD Sungailiat Bangka Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (data diolah) Grafik 1. Proporsi Perubahan CD4 setelah 1 Bulan ditambahkan Pasien HIV/AIDS mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh, sifat propolis ekstrak yang merupakan zat dengan kemampuan imunomodulator, anti jamur, dan antiinflamasi diharapkan mampu memperbaiki kondisi klinis dan parameter laboratorium pada pasien HIV/AIDS sebagai terapi tambahan. M. Fauzan, Ketua Pokja HIV/AIDS dari RSUD Sungailiat, Bangka dan Bagus Sulistyo Budhi dari RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta melakukan studi kasus untuk melihat manfaat tambahan Propoelix® pada 52 pasien dengan HIV/ AIDS yang berobat di RSUD Sungailiat, baik yang sudah mendapatkan ARV ataupun belum. Waktu penelitian dilaksanakan selama 6 bulan dari bulan Penggunaan ARV Februari s/d Agustus 2014. Pemberian ARV dan Propoelix® sebagai terapi tambahan, dosis 2 x 200 mg /hari. * *SD = Standar Deviasi Tabel 2. Gambaran Rerata Perubahan Kadar CD4 Awal dan Masa Pengobatan dengan Lama Propoelix® dengan Tetap Menggunakan ARV Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (data diolah) Grafik 2. Proporsi Perubahan CD4 setelah 6 Bulan ditambahkan Propoelix® dengan Tetap Menggunakan ARV. Sumber: Hasil Penelitian, 2015 (data diolah) Secara keseluruhan seluruh subjek penelitian menyampaikan kondisi fisiknya lebih baik. Kondisi subjektif pasien adalah merupakan keluhan dan pernyataan pasien selama follow up. Pasien yang drop out dikarenakan tidak datang untuk follow up selama proses terapi, sebagian besar karena ketidakpatuhan dalam terapi yang dijalaninya. Beberapa kasus sangat menonjol dengan perbaikan klinis dari perawatan di ICU, sebulan kemudian mampu beraktifitas seperti sebelumnya sampai dapat naik sepeda motor. Ditunjukkan juga dengan pengukuran CD4 yang awalnya hanya 4/mm2, setelah 1 bulan mendapat terapi tambahan Propoelix® menjadi 127/mm2, dan setelah 6 bulan pengukuran CD4 menjadi 148 /mm2. Kasus pada pasien yang tidak mendapatkan ARV sebelumnya dengan pemberian Propoelix® juga meningkat jumlah CD4-nya. Kenaikan diperkirakan secara rata-rata dari seluruh subjek penelitan terdapat peningkatan jumlah CD4 setelah mendapat terapi tambahan Propoelix®. Propoelix® meningkatkan jumlah CD4 pada pasien dengan HIV/ AIDS. Peningkatan pada bulan pertama dari baseline cukup nyata dibandingkan setelah 6 bulan mendapatkan terapi tambahan. Cara kerja propolis sebagai imunomodulator dan anti-inflamasi serta antibakteri telah banyak disampaikan melalui penelitian-penelitian. Cara kerja imunomodulator pada propolis hijau Brazil pada mencit menurut Sforcin dkk (2010) adalah dengan mengaktivasi langkah awal respon imun oleh peningkatan ekspresi TLR-2 dan TLR-4 dan produksi sitokin proinflamasi (IL-1 dan IL-6) yang diproduksi oleh makrofag dan sel lien, yang berkontribusi untuk mengenali mikroorganisme dan mengaktifkan limfosit oleh antigen presenting cells. Cara kerja ini didapat oleh dosis 200 mg/kg. Flavonoid yang diisolasi dari Phyllanthus niruri memiliki aktivitas imunomodulator terhadap limfosit. Dibuktikan bahwa proliferasi limfosit meningkat 2x nilai normal pada DPPH assay. Aktifitas anti-inflamasi propolis dilaporkan dalam berbagai model penelitian. Pemberian propolis 200 mg/kg dalam waktu singkat (3 hari) pada mencit menghambat produksi IFN-α pada kultur splenosit. Mencit C57BL/6 yang diberikan propolis hijau Brazil 200 mg/kg selama 14 hari menunjukkan aktifitas anti-inflamasi dengan penghambatan produksi IL-1β, IL-6, IFN-α, IL-2 dan IL-10 oleh sel lien yang biasa terjadi pada inflamasi kronik. Flavonoid Naringenin menghambat kemampuan C. trachomatis untuk memfosforilasi p38 dalam makrofag, sehingga menunjukkan suatu mekanisme yang berpotensi terhadap pelemahan daya produksi mediator inflamasi. Naringenin adalah imunomodulator dalam peradangan yang dipicu oleh C. trachomatis, yang dimediasi oleh TLR2, TLR4, dan reseptor CD86 pada makrofag yang terinfeksi melalui jalur p38 MAPK. Propolis hijau Brazil 10% menstimulasi produsi antibodi (Sforcin dkk, 2005). Pemberian CAPE dalam dosis 5, 10 dan 20 mg/kg pada mencit BALB/c meningkatkan produksi antibodi (Park dkk, 2004). Studi kasus pemberian terapi tambahan Propoelix® pada pasien HIV/AIDS menggambarkan bahwa Propoelix® secara signifikan memperbaiki kondisi klinis dan laboratoris pada pasien dengan HIV/AIDS di RSUD Sungailiat Bangka. Terdapat peningkatan jumlah CD4 pada pasien, dengan peningkatan pada bulan pertama pemberian tampak sangat jelas dibandingkan bulan keenam. Yang mempunyai arti bahwa pemberian Propoelix® efektif memperbaiki sistem imunitas pasien. Semua pasien melaporkan peningkatan kualitas hidup (quality of life) mereka selama penelitian berlangsung. F Maret 2016 • FARMACIA 43