III. Analisis a. Makna Katekisasi Katekisasi pertama sekali dimengerti sebagai pengajaran kepada umat, khususnya pada yang berusia muda dengan menganut amanat agung tentang “..ajarlah mereka (Mat. 28:19). Dengan begitu hakekatnya ialah pengajaran, yakni pemberian pengetahuan. Pemberian pengetahuan sebagai kegiatan transformasi pikiran (konsep) untuk lebih memahami apa itu imanku dan mengapa beriman, serta sebagai kegiatan melakukan, untuk apa imanku. Pengajaran itu ialah tentang Allah dan kehendak-Nya (“.. melakukan segala sesuatu yang telah kuperintahkan..”) seperti yang ajar mereka yang sejak kecil sebagai anggota gereja (belum penuh secara keanggotaannya secara sacramental) Kristus melalui baptisan dibawa dan terhisap kepada janji dan berkat Tuhan dalam persekutuannya melalui sakramen perjamuan kudus berdasarkan iman. Itu sebabnya, melalui pengajaran, iman mereka dibubuhi pemahaman yang memadai tentang isi iman yang mereka sedang anut. Setelah itu mereka dilayakan mengakuinya di hadapan jemaat. Di sini berarti katekisasi erat sekali dengan perjamuan kudus dan baptisan kudus. Hanya saja, ini semua baru dalam pengertian eklesiologis. Dan katekisasi pada tahap ini merupakan titikberat dari seluruh pengajaran gereja. Artinya, bukan sebuah pekerjaan yang gampang. Katekisasi ibarat pintu masuk gereja. Para presbiter/majelis adalah penjaga pintu itu, sehingga tidak sembarang orang dapat masuk dengan motivasi yang salah, tidak sesuai iman dan ajaran Kristus dalam gereja-Nya. Pada dasarnya, setiap orang dewasa yang berkepentingan ingin dibaptis menjadi anggota gereja atau sekarang ini untuk alasan tertentu (menikah, dll) mesti terlebih dahulu diisi dengan pengetahuan: “tanpa pengetahuan kerajinan pun tidak baik..” (Ams.19:2). Alasan gereja mengatur katekisasi bagi mereka ialah bersifat missioner, memperluas perkembangan jemaat. Dengan mengikuti katekisasi, mereka diterima dan dibaptis menjadi anggota gereja. Melalui katekisasi, baptisan memperoleh maknanya paling lengkap, yaitu dapat memperoleh bekal mengapa saya beriman kepada Yesus dan menjadi murid-Nya? Atau secara lebih luas, mengapa saya harus memilih menjadi Kristen? b. Tujuan Katekisasi Dari ini semua tujuan umum katekisasi yang varian ini ialah bahwa melalui pengajarannya (katekisasi oleh gereja) kepada semua anggota gereja untuk memperlengkapi mereka bagi sebuah hidup yang bertanggung jawab di dalam dunia sebagai anggota-anggota yang dewasa dari gereja Yesus Kristus dan secara berangsur-angsur dididik agar rupa Kristus menjadi nyata dalam hidup setiap anak-anak dan orang dewasa. Implikasinya, hidup orang beriman, khususnya anak-anak bertumbuh ke arah menyerupai Kristus secara konformis. Untuk itu, melalui inventarisir yang dilakukan Abineno1 terhadap pikiran beberapa ahli ihwal katekisasi dibagi tujuan katekisasi dibagi menjadi 4 bagian: Pertama, katekisasi sebagai pemberian pengetahuan. Di sini katekumen harus mengetahui hal-hal pokok-pokok dari isi Alkitab, mereka harus mengetahui tentang ajaran gereja, yang diambil dari Alkitab. Selain dari pada itu mereka juga harus mengetahui garis-garis besar tentang gereja, tentang 1 Dyana L. Hinson, Christian Education (Planning for Lifelong Faith Formation). Nashville: Abingdong Press Journal, Pdf, hlm. 5. pelayanan dan sejarahnya. Kedua, tujuannya sebagai pendidikan (baca:pembinaan) anggotaanggota jemaat untuk menyadari tugas mereka di dalam gereja. Dalam tujuan pertama ini terdapat juga fungsi katekisasi sebagai hubungan antara baptisan dan perjamuan kudus. Para katekumen harus mengetahui, bahwa gereja adalah persekutuan dalam arti am. Ketiga, mendidik anak-anak muda & dewasa supaya mereka menjadi hamba-hamba Allah yang bertanggung jawab di dalam dunia. Berdasarkan tujuan ini, mereka dibebaskan dari isolemen mereka (hidup tertutup di dalam gereja) dan ditempatkan di tengah-tengah dunia sebagai saksi dan pelayan Kristus. Keempat, menyampaikan pengetahuan tentang Allah dari generasi ke generasi. Keselamatan Allah – yang diberitakan kepada di dalam Alkitab – harus disampaikan kepada semua orang dari generasi ke generasi. Selain Abineno, sekali lagi Riemer member pandangannya perihal tujuan umum katekisasi gereja, yaitu setiap orang yang dididik ajaran Kristus untuk mengenal Allah, mengasihi Dia, dan memuji Dia. Agar dengan demikian, hidup sesuai dan dapat mengasihi setiap orang pula, yaitu mampu menuruti semua perintah-perintah-Nya (1 Yoh.4:7-11). Pandangan tentang tujuan di atas hanya dapat dicapai apabila anak-anak dan orang dewasa – pada khususnya, mengikuti katekisasi, telah sebelumnya dipimpin kepada pengakuan pribadi yang mendasar akan Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat mereka. Tanpa hal ini, pada hematnya, mereka tidak dimungkinkan dapat menunaikan tugas seperti yang gereja harapkan dari mereka, yaitu sebagai saksi-saksi dan pelayan-pelayan Kristus yang bertanggung jawab di dalam dunia milik-Nya. c. Kaitan-kaitan dalam Katekisasi Adapun hal-hal yang berkaitan dengan katekisasi adalah 1. Dogma gereja Katekisasi mengajar berdasarkan dogma gereja yang bersangkutan. Setiap denominasi gereja membuat buku katekisasi dengan penekanan yang berbeda. Kendati tentang inti keKristenan sendiri mungkin saja banyak memiliki persamaan. Tak mengherankan bahwa perbedaan tekanan itu sering diterima secara berbeda pula dalam diri murid katekisasi. Kita berharap bahwa para murid katekisasi yang kelak menjadi anggota sesuatu jemaat tertentu dapat menerima perbedaan penekanan itu secara terbuka, khususnya apabila mereka berada dalam forum-forum oikoumenis. 2. Etika gereja/Kristen Dalam kaitannya dengan etika secara umum, gereja-gereja mempunyai persamaanpersamaannya, kecuali dengan praktik etika yang lebih rinci, dapat terjadi perbedaan pandangan etis antara gereja yang satu dengan gereja yang lain. Hal ini berangkat dari perbedaan penghayatan terhadap hukum-hukum Tuhan pada umumnya. Contoh: hal merokok, bunga uang, merias diri (make up), dan lain-lain. 3. Praktek spiritualitas Masalah spiritualitas amat ditentukan oleh bagaimana sebuah gereja telah melaksanakannya dalam tradisi kehidupannya sehari-hari. Praktik doa, puasa, persembahan, penghayatan iman dalam pergaulan di tengah masyarakat, dan lain-lain di sebuah gereja akan mendorong seluruh anggota jemaat untuk mewujudkannya dalam kehidupan pribadi dan keluarganya. Itulah sebabnya kita mengenal ciri khas gereja tertentu, yang melaksanakan hal-hal itu, sedang di gereja yang lain tidak. 4. Tata Gereja/Tata Laksana Sekalipun tata gereja/tata laksana bukan landasan hakiki iman Kristen, namun tetap perlu mendapat perhatian anggota jemaat, mengingat itulah "aturan main" dalam kehidupan bergereja. Ketaatan dan sikap menghargai tata gereja/tata laksana akan menjadikan kehidupan bergereja itu jelas. Namun demikian, tata gereja/tata laksana tak boleh dijadikan sebagai Torah baru atau Alkitab baru. 5. Tradisi gereja Praktik kehidupan berjemaat yang bertahun-tahun dan mengakar di tengah jemaat dapat disebut tradisi gereja. Tradisi gereja yang baik hendaknya dilestarikan dan diajarkan kepada anggota jemaat yang baru, agar mereka mengikuti apa yang selama ini berlangsung di dalam jemaat tersebut. Misalnya, kebaktian pengucapan syukur tahunan, pelaksanaan perayaan Perjamuan Kudus. Baptisan/Baptisan Anak, dan lain-lain. Kaitan-kaitan itu perlu diketahui oleh para calon anggota, sehingga mereka dapat mempertimbangkan kesediaannya sebelum masuk dalam lingkungan jemaat. Sesudah mereka merasa benar-benar mantap, jadilah mereka sebagai anggota-anggota jemaat yang benarbenar paham akan ajaran, tradisi dan praktik kehidupan Kristen/jemaatnya. Pada masa kini, kita juga menjumpai perkembangan mobilitas kehidupan beroikoumene, baik melalui pergaulan antar gereja, maupun antar individu. Kenyataan ini sering membuat terjadinya arus perpindahan timbal balik anggota-anggota jemaat dari sini ke sana dan sebaliknya. Karenanya, kita mengenal adanya anggota anggota jemaat dari gereja-gereja yang seazas dan yang tak seazas; gereja-gereja dalam ikatan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dengan PSMSM-nya (Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima) dan yang bukan anggota PGI. Pernikahan juga membawa dampak, misalnya suami dan istri yang semula berasal dari dua gereja, kemudian bergabung dalam satu gereja. Amat diharapkan. bahwa semua arus perpindahan itu terjadi karena alasan-alasan yang sehat dan bukan akibat dari suatu perselisihan atau penilaian terhadap kepemimpinan gereja yang dirasakan merugikan anggota jemaat yang bersangkutan. Misalnya, seseorang yang merasa diperlakukan tidak memuaskan antara lain ditegur dan digembalakan khusus oleh pimpinan jemaatnya pindah ke jemaat lain atau seorang anggota jemaat pindah ke jemaat lain karena tak puas dengan praktik kehidupan jemaat semula.2 2 Abineno, J.L.Ch. Sekitar Katekese Gerejawi - Pedoman Guru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.