Uploaded by habibahshabila

Grup B Makalah Bedah Kasus Hukum Perdata Reg A

advertisement
UNIVERSITAS INDONESIA
Analisis Kasus PT Kalista Alam dalam Putusan Perdata Nomor
12/PDT.G/2012/PN.MBO
TUGAS KELOMPOK
HUKUM LINGKUNGAN
Kelas A - Reguler
DISUSUN OLEH:
GRUP B
Amanda Prasetya
1806218965
Anggardha Anindito
1806139115
Bari Rizqullah
1806220300
Calvin Nathanael Pakpahan
1806219646
Chairul Yaqin
1806220194
Dimas Anggana Putra
1806219135
Farhan N Kharismatyaka
1806220181
Habibah Shabila
1806139310
Hikari Kepartono
1806220420
Nanda Auliak Survito Alham
1806219053
Reviana Ditya
1806139582
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM SARJANA
DEPOK
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1. Kasus Posisi1
Pada tanggal 11 April 2012 dan tanggal 26 Juli 2012, di dalam Laporan Unit Kerja
Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan atau disingkat dengan “UKP4”
kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (Penggugat) menyebutkan
bahwa terdapat titik panas (hotspot) yang mengindikasikan terjadinya kebakaran/dugaan
pembakaran lahan di wilayah perkebunan PT Kalista Alam (Tergugat) seluas 1.605 hektar yang
berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi
yang dilindungi oleh Undang-Undang, selain itu, data hotspot (titik panas) yang bersumber dari
MODIS yang dikeluarkan oleh NASA yang merekam persebaran titik panas di Provinsi Aceh
juga menunjukkan bahwa titik panas (indikasi peningkatan suhu di permukaan) memang
terlihat muncul di koordinat wilayah perkebunan yang dimiliki Tergugat. Kedua laporan
tersebut kemudian dikonfirmasi oleh ahli kebakaran hutan dan lahan, Prof. Dr. Ir. Bambang
Hero Saharjo, M.AGR, yang menyebutkan bahwa titik panas (hotspot) yang merupakan
indikasi terjadinya kebakaran terjadi pada sekitar bulan-bulan Januari 2011 hingga November
2011 dan Februari 2012 hingga Juni 2012. Bahkan menurut keterangan ahli a quo, berdasarkan
data hotspots satelit MODIS titik-titik panas tersebut sudah terjadi sejak Februari 2009 hingga
November 2011. Adanya titik panas yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan
bumi di wilayah usaha Tergugat tersebut merupakan indikator terjadinya peningkatan suhu
permukaan yang mengarah kepada terjadinya kebakaran. Kemudian, berlandaskan data dan
informasi tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melalui Deputi V Penegakan dan
Penaatan Hukum Lingkungan membentuk dan menugaskan suatu tim lapangan yang
beranggotakan para ahli dan staf Kementerian Lingkungan Hidup serta perwakilan Pemerintah
Provinsi Aceh untuk melakukan pengamatan dan verifikasi lapangan (ground check) di lokasi
dimana titik-titik panas (hotspot) tersebut terlihat, yaitu di lokasi perkebunan tergugat, Pulo
Kruet dan Suak Bahung, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh
pada tanggal 5 Mei 2012 dan 15 Juni 2012. Tujuan dari pengecekan dan verifikasi lapangan ini
adalah agar Tim Lapangan dapat memberikan kesimpulan kepada Kementerian Lingkungan
Hidup tentang (1) apakah telah terjadi kebakaran yang disebabkan oleh kegiatan pembakaran
lahan?; (2) apakah lokasi kebakaran terjadi di tempat Tergugat ?; dan (3) apakah akibat
1
Pengadilan Negeri Meulaboh. Putusan No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO.
terjadinya kebakaran tersebut telah mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup?
Berdasarkan Berita Acara Verifikasi Lapangan, terbukti bahwa memang benar titik
koordinat lokasi lahan bekas terbakar berada di wilayah usaha Tergugat. Selanjutnya,
berdasarkan keterangan Karyawan Tergugat, kebakaran di lahan gambut telah terjadi pada
tanggal 23 Maret 2012 selama 3 (tiga) hari berturut-turut salah satunya di afdeling Blok A4
yang berdasarkan hasil survey verifikasi oleh Tim Lapangan luas areal yang terbakar pada blok
A4 itu saja seluas 29.5 ha. Namun, yang dilaporkan terbakar pihak Karyawan kepada Tim
Verifikasi hanya 5 hektar serta hanya dipadamkan oleh karyawan yang berjumlah delapan
orang. Berdasarkan hasil penelitian oleh anggota Tim Lapangan, ditemukan juga tanda-tanda
fisik bekas kebakaran seperti log kayu bekas yang telah ditanami kelapa sawit di lokasi bekas
lahan terbakar, log pohon bekas tebangan hutan alam yang terbakar, lahan gambut yang tidak
terbakar yang menjadi pembatas antar blok atau petak yang digunakan untuk transportasi
kegiatan pengelolaan kebun kelapa sawit, areal lahan kebun kelapa sawit yang tidak dilengkapi
dengan papan peringatan tentang larangan penggunaan api, kelengkapan peralatan pencegah
maupun pemadaman kebakaran, kemudian, pola pengeringan air pada lahan gambut tersebut
juga mengakibatkan pengeringan pada permukaan gambut sehingga menjadi sensitif terhadap
kemungkinan kebakaran, dan juga terdapat log-log yang digunakan untuk membakar. Selain
fakta-fakta lapangan yang telah ditemukan tersebut, terdapat juga ketidakwajaran dalam
struktur biaya pembukaan lahan yang digunakan dalam SPK yang menurut analisis Penggugat
sangat tidak wajar untuk suatu pembukaan lahan dengan metode/cara tidak membakar atau
disingkat PLTB. Hal tersebut dikatakan demikian karena bila menggunakan metode PLTB,
maka biaya normal yang diperlukan adalah sekitar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta Rupiah)
/ hektar. Sehingga total biaya yang mestinya dikeluarkan untuk membuka lahan yang luasnya
1000 hektar adalah sebesar Rp. 40.000.000.000,- (empat puluh miliar Rupiah). Sementara
dalam SPK, Tergugat hanya membayar biaya sebesar Rp. 8.946.667 sehingga total biaya
menjadi sebesar Rp. 2.684.000.000,- Oleh karena itu, jelas terbukti bahwa Tergugat membuka
lahan dengan biaya jauh dibawah biaya normal bila menggunakan metode PLTB. Berdasarkan
fakta-fakta tersebut, maka terbukti secara faktual dan tidak terbantahkan bahwa telah terjadi
kebakaran di lokasi perkebunan milik Tergugat.
Bahwa berdasarkan Pasal 69 ayat (1) huruf h UU Lingkungan Hidup, Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran
Lingkungan Hidup , Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010
tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang
Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/ atau Lahan, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2004 tentang Perkebunan perbuatan Tergugat yang membuka lahan perkebunan dengan
cara membakar tersebut dilarang. Berdasarkan dalil-dalil diatas terbukti bahwa perbuatan
Tergugat yang telah terbukti membakar lahan untuk keperluan pembukaan lahan perkebunan
telah memenuhi kualifikasi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang dapat
dituntut ganti ruginya berdasarkan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup dan Pasal 1365 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Bahwa khususnya dalam perbuatan melanggar hukum yang
merugikan lingkungan, pertanggungjawaban Tergugat sebagai pemilik lahan perkebunan dapat
dituntut sesuai dengan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang dianut oleh UU
Lingkungan Hidup, dimana pelaku usaha wajib bertanggung jawab mutlak atas kerusakan
lingkungan oleh karena dampak yang diakibatkan dari usahanya dapat menimbulkan ancaman
serius bagi lingkungan.
Bahwa selain itu, fakta kebakaran yang terjadi setiap tahun secara terus menerus telah
pula membuktikan bahwa Tergugat telah lalai melakukan kewajiban hukumnya sesuai dengan
ketentuan undang-undang serta Izin Usaha yang berlaku dimana Tergugat diwajibkan
melakukan tindakan dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan/
atau lahan di lokasi kegiatan usahanya. Kewajiban hukum tersebut diatur dalam Pasal 25 huruf
C UU Perkebunan, dan lebih lanjut kewajiban-kewajiban tersebut dirinci dalam Pasal 12, 13
dan 14 PP 4/2001. Selain itu, kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
kebakaran juga melekat pada Izin Usaha sebagai dasar beroperasinya usaha perkebunan
Tergugat. Kemudian, sesuai peraturan teknis bidang perkebunan, Tergugat sebagai pelaku
usaha memiliki kewajiban untuk menyediakan SOP pengendalian kebakaran, menyediakan
personil dan tenaga kerja yang mempu mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran,
menyediakan sarana dan prasarana untuk pengendalian / penanggulangan kebakaran, memiliki
organisasi dan sistem tanggap darurat dan menyediakan rekaman pelaksanaan pencegahan dan
penanggulangan, pemantauan dan pelaporan kebakaran. Selain itu, dokumen Upaya
Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) juga
mensyaratkan Tergugat untuk menyediakan sarana dan prasarana yang cukup serta melakukan
upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang dapat timbul di lokasi lahan
perkebunannya. Lalu tergugat juga tidak memenuhi kewajibannya yang tercantum dalam Pasal
34 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/ Permentan/OT.140/2/2007 yaitu untuk memiliki
sarana, prasarana dan sistem untuk pembukaan lahan tanpa pembakaran serta pengendalian
kebakaran, mengelola sumber daya alam secara lestari, dan menerapkan AMDAL atau UPL
dan UKL. Dalam kasus ini, penggugat juga menyebutkan bahwa akibat kebakaran yang terjadi
di wilayah Tergugat telah menimbulkan kerusakan bagi lingkungan dikarenakan rusaknya
struktur tanah gambut yang terdapat dalam KEL yang dilindungi oleh undang-undang.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, Penggugat mengajukan gugatan provisi agar majelis
hakim memerintahkan tergugat tidak mengusahakan lahan gambut yang telah terbakar untuk
usaha budidaya perkebunan termasuk kelapa sawit. Kemudian memerintahkan Tergugat agar
sebelum perkara ini mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht van gewijsde) agar
Tergugat untuk tidak melakukan tindakan apapun (status quo) baik melalui tindakan hukum
perdata atau kepailitan terhadap Penggugat yang bertujuan menjual atau mengalihkan baik
secara di bawah tangan maupun melalui pelelangan umum atau lelang negara atau lelang
swasta di dalam negeri atau di luar negeri atau menjaminkan dalam bentuk apapun menjual /
mengalihkan dalam bentuk apapun atau tindakan dalam bentuk apapun di dalam atau luar
negeri atas harta kekayaan Penggugat. Kemudian, pihak Tergugat dalam kasus ini mengajukan
eksepsi atas gugatan tersebut dengan alasan penggugat tidak lengkap, tergugat kurang pihak
dan gugatan kabur atau tidak jelas. Pada akhirnya, Hakim mengabulkan gugatan Penggugat
sebahagian, yaitu menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan di atas tanah,
bangunan dan tanaman di atasnya, menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan
Melanggar Hukum dan Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil secara tunai
kepada Penggugat melalui rekening Kas Negara sebesar Rp. 114.303.419.000,00,
memerintahkan Tergugat untuk tidak menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas
kurang lebih 1000 hektar yang berada di dalam wilayah Izin Usaha, menghukum Tergugat
untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang
lebih 1000 hektar dengan biaya sebesar Rp. 251.765.250.000,00 sehingga lahan dapat
difungsikan kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp.
5.000.000,00 per hari atas keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam perkara ini ,
menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini
sejumlah Rp. 10.946.000,-, dan menolak gugatan Penggugat selebihnya.
2. Rumusan Masalah
1) Bagaimana para pihak mengartikan serta membuktikan unsur-unsur PMH dan
Strict liability?
2) Bagaimana hakim (PN, PT, dan MA) menafsirkan strict liability? Bandingkan!
3) Berikan kritik saudara atas didalilkannya unsur kesengajaan. Berikan pula
komentar saudara atas pertimbangan hakim mengenai kesengajaan/kelalaian.
4) Mengapa penggugat meminta agar hakim merujuk pada Putusan
Mandalawangi? Bagaimana pendapat hakim atas hal ini? Bagaimana pendapat
anda?
5) Berikan kritik anda terkait penggunaan dan penafsiran doktrin res ipsa
loquitur.
6) Berikan kritik anda terkait penggunaan dan penafsiran precautionary principle
dalam kasus ini.
7) Berikan tanggapan Anda mengenai in dubio pro natura. Bagaimana konsep ini
terkait dengan precautionary principle (persamaan dan perbedaan)? Apakah
penerapan konsep in dubio pro natura dalam kasus ini tepat?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pandangan Para Pihak dalam Mengartikan serta Membuktikan Unsur-Unsur
Perbuatan Melawan Hukum dan Strict liability
a. Pihak Penggugat
Dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut.”2 Dapat dijabarkan beberapa unsur perbuatan melawan hukum dari
pasal tersebut, yaitu:
1. Adanya suatu perbuatan
2. Perbuatan tersebut melawan hukum
3. Adanya kesalahan
4. Adanya kerugian
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Adapun dalam putusan terkait, Penggugat yaitu Menteri Negara Lingkungan
Hidup menggugat PT. Kallista Alam (Tergugat) karena melanggar Pasal 69 ayat (1)
huruf h UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UU PPLH), yang mana dalam pasal tersebut dicantumkan larangan melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar. Penggugat berpendapat bahwa Tergugat
dengan sengaja maupun karena kelalaian melanggar Pasal 69 ayat (1) huruf h UU PPLH
sehingga dapat dikatakan merupakan Perbuatan Melawan Hukum. Penggugat
membuktikan dengan cara membuktikan unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum
perbuatan aktif atau kesengajaan yang mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata dan
perbuatan pasif atau kelalaian atau ketidak hati-hatian yang mengacu pada Pasal 1366
KUHPerdata. Dalam membuktikan adanya kesengajaan, Penggugat membuktikan
dengan cara menjabarkan bukti-bukti bahwa di lokasi lahan gambut yang telah terbakar
ditemukan hal-hal yang mendukung adanya kesengajaan dalam pembakaran hutan,
seperti log-log kayu yang dijadikan bahan bakar untuk membakar lahan gambut dan
kanal yang dibangun dengan tujuan untuk mengurangi air pada lahan
gambut.
2
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk van Wetboek], diterjemahkan Subekti dan
Tjitrosudibio, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2017).
Sedangkan, dalam membuktikan adanya kelalaian, Penggugat membuktikan dengan
cara bahwa Tergugat tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang mengenai
pencegahan dan penanggulangan kebakaran dengan tidak melakukan penyiapan alat
tanggap darurat dan alat pemadam kebakaran, tidak melakukan pengawasan dan patroli
seputar area kebun, dan tidak adanya Standar Operasional Prosedur penanggulangan
kebakaran.
Dalam kasus ini, Tergugat terbukti membakar lahan gambut untuk keperluan
pembukaan lahan kelapa sawit perkebunan sehingga dalam hal ini Tergugat terbukti
sengaja melakukan pembakaran dan lalai dalam mencegah atau menanggulangi
terjadinya kebakaran tersebut. Menurut Penggugat, Tergugat telah terbukti memenuhi
kualifikasi perbuatan melawan hukum dan dapat dituntut ganti rugi sebagaimana yang
dijelaskan dalam Pasal 90 ayat (1) UU PPLH, yaitu “Instansi pemerintah dan
pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang
mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau
kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan dan/atau kerusakan lingkungan
hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.” Oleh karena itu, Tergugat
telah melakukan perbuatan yang melanggar norma undang-undang yang dikualifisir
sebagai suatu perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) yang dapat dituntut
ganti rugi. Dalam dokumen UKL-UPL, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32
Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, areal lahan pembibitan dan kebun
mempunyai kedalaman lebih dari tiga meter, yang mana ditetapkan sebagai kawasan
lindung. Tergugat mengetahui hal ini dan seharusnya tidak boleh digunakan untuk
usaha sawit, karena hal ini pula Penggugat berpendapat bahwa Tergugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum.
Sedangkan, untuk Strict Liability berarti unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan
oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.3 Dalam Pasal 88 UU PPLH
disebutkan secara tegas mengenai konsep Strict Liability yaitu, “Setiap orang yang
tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3 (Bahan Berbahaya
dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang
menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak
atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Penggugat
3
Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 30.
berpendapat bahwa dalam perbuatan melanggar hukum yang merugikan lingkungan,
pertanggungjawaban Tergugat sebagai pemilik lahan perkebunan dapat dituntut sesuai
dengan prinsip Strict Liability, dimana pelaku usaha wajib bertanggung jawab mutlak
atas kerusakan lingkungan oleh karena dampak yang diakibatkan dari usahanya dapat
menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan, yang mana unsur kesalahan tidak perlu
dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
Mengacu pada dalil pihak Penggugat di kasus terkait, Penggugat memasukkan
prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability) dengan menyisipkannya dalam dalil
Tergugat telah sengaja membuka lahan dengan cara membakar pada poin 11 dimana
Penggugat dalam dalilnya menyatakan:
“Bahwa khususnya dalam Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan
lingkungan, pertanggungjawaban Tergugat sebagai pemilik lahan perkebunan
dapat dituntut sesuai dengan prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability)
yang dianut oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup, dimana pelaku usaha
wajib bertanggung jawab mutlak atas kerusakan lingkungan oleh karena
dampak yang diakibatkan dari usahanya dapat menimbulkan ancaman serius
bagi lingkungan.”
Maka dengan Penggugat meminta pertanggungjawaban Strict Liability melalui
menguraikan unsur kesengajaan terlebih dahulu. Serta selanjutnya Penggugat meminta
Majelis Hakim merujuk Putusan Mandalawangi sebagai argumen pendukung doktrin
res ipsa loquitur untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle).
Sehingga dengan ini terlihat jelas bahwa pemahaman Penggugat mengenai penerapan
Strict Liability adalah dengan membuktikan Perbuatan Melawan Hukum dan
precautionary principle, baru setelahnya Tergugat bertanggung jawab juga secara Strict
Liability.
Oleh karena itu, nampak jelas bahwa Strict Liability hanya dijadikan
supplementary dari gugatan Perbuatan Melawan Hukum pada umumnya. Setelah
mendalilkan kesalahan Tergugat mengenai kesengajaan atau kelalaiannya, barulah
didalilkan Strict Liability. Tentu saja hal tersebut termasuk dalam liability based on
fault yang membuktikan kesalahan Tergugat, padahal sejatinya Strict Liability tidak
perlu membuktikan kesalahan. Dengan demikian, penerapan Strict Liability dalam
putusan ini masih kurang tepat, dimana masih terdapat kekeliruan dalam menafsirkan
Strict Liability, karena masih dipersamakan dengan Perbuatan Melawan Hukum.
Karena seharusnya dalam gugatan Strict Liability, unsur melawan hukum dan
kesalahan tidak perlu dibuktikan lagi, cukup membuktikan bahwa kegiatan yang
dilakukan bersifat abnormally dangerous dan terdapat kerugian yang timbul akibat dari
kegiatan tersebut.4
b. Pihak Tergugat
Tergugat berpendapat bahwa tuntutan penggugat harus ditolak, atau setidaktidaknya tidak bisa diterima. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pertama,
penggugat dengan sengaja dan lalai melakukan pembelaan dalam gugatan. Dalam
"KUH Perdata", terdapat perbedaan regulasi untuk tindakan ilegal yang disebabkan
oleh niat dan kelalaian. Pasal 1365 KUH Perdata mengatur tentang perbuatan melawan
hukum akibat kesengajaan, dan Pasal 1366 KUH Perdata mengatur tentang perbuatan
melawan hukum akibat kelalaian, sehingga tergugat berpendapat bahwa gugatan yang
diajukan bersifat ambigu atau tidak jelas (obscuur libel). Kemudian, tergugat
berpendapat bahwa dalam buku Perbuatan Melawan Hukum oleh Prof. Rosa Agustina,
S.H., M.H. menyatakan pembuatan undang-undang menerapkan istilah schuld
(kesalahan) dalam beberapa arti yaitu (a) pertanggungjawaban si pelaku atas perbuatan
dan atas kerugian, yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut; (b) kealpaan sebagai
lawan kesengajaan.5 Bahkan, tergugat berkeyakinan bahwa penggugat tidak bisa
menentukan apakah perbuatan yang dituduhkan itu merupakan kesengajaan atau
kelalaian, seperti diuraikan di atas. Selanjutnya Tergugat membuktikan tidak
melakukan PMH dengan menyatakan bahwa Hakim Aceh tidak mempertimbangkan
perhitungan baku mutu dan baku kerusakan lingkungan sebagai dasar bahwa Tergugat
telah melakukan PMH, dan tidak ada bukti nyata. Di lain pihak, Tergugat menyatakan
bahwasannya gugatan tidak dapat diterima dengan alasan sebagai berikut: (1)
penggugat tidak lengkap; (2) tergugat kurang pihak; (3) gugatan tidak jelas/kabur,
karena terdapat pertentangan antara Petitum dan gugatan. Penggugat juga ragu untuk
menentukan apakah perilaku tergugat itu lalai atau disengaja, sehingga menjadi kabur.
Terkait Strict Liability, berdasarkan eksepsi, Tergugat terfokus untuk
membantah dalil Penggugat mengenai inkonsistensi Penggugat dalam membuktikan
unsur kesalahan Tergugat, oleh karena Penggugat mendalilkan kesengajaan dan
kelalaian dalam satu gugatan. Tergugat sama sekali tidak membantah ataupun
4
William K. Jones, “Strict Liability for Hazardous Enterprise”, Columbia Law Review, Vol. 927
(November 1992), hlm. 1710.
5
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003), hlm. 10-12.
membahas mengenai Strict Liability. Akan tetapi, bila melihat dalil-dalil Tergugat
dapat dilihat bahwa Tergugat berusaha membantah dalil kesengajaan Penggugat
dengan mendalilkan bahwa pembukaan lahan yang dilakukan tergugat adalah tanpa
membakar dan tata kelola perkebunan tergugat telah sesuai dengan ketentuan hukum
dan praktek yang baik.
2. Perbandingan Penafsiran Hakim Mengenai Strict Liability
Strict Liability atau disebut juga dengan istilah "tanggung jawab mutlak”
merupakan salah satu dasar pertanggungjawaban perdata. Di Indonesia, strict liability
diatur dalam Pasal 88 UU PPLH. Pasal 88 berbunyi “Setiap orang yang tindakannya,
usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola
limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup
bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.” Artinya, adanya unsur melawan hukum tidak menjadi dasar dalam strict
liability. Maka meskipun seorang tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum,
ia tetap bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh kegiatannya, sepanjang
kegiatan tersebut dikategorikan sebagai sangat berbahaya (abnormally dangerous). Hal
tersebut tentu bertolak belakang dengan pertanggungjawaban berdasarkan unsur
kesalahan (liability based on fault), yakni Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Dengan
demikian, strict liability adalah pertanggungjawaban yang tidak saja menghilangkan
unsur kesalahan subjektif (mens rea), tetapi juga kesalahan secara objektif (melawan
hukum).6
Dalam
putusan
Pengadilan
Negeri
Meulaboh
Nomor
12/PDT.G/2012/PN.MBO, penggugat mendalilkan bahwa karena perbuatan Tergugat
yang mengakibatkan dampak kerusakan lingkungan yang besar, maka Tergugat dapat
dimintai pertanggungjawaban atas dasar strict liability. Terhadap hal tersebut, Tergugat
mengajukan eksepsi bahwa penggabungan kesengajaan dan kelalaian dalam satu
gugatan menyebabkan gugatan tersebut kabur (obscuur libel)
Terhadap hal tersebut, hakim menimbang bahwa penggabungan kesengajaan
dan kelalaian tidak mengakibatkan gugatan kabur, karena kesengajaan dan kelalaian
merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum. Lebih lanjut, hakim menilai bahwa
6
Vernon Palmer, “a General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law, Civil
Law, and Comparative Law”, Tulane Law Review, Vol. 62 (1988), hlm. 1305.
tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dengan telah membakar lahan
gambut untuk membuka lahan, dan oleh karena Pasal 1365 KUHPerdata, dapat dimintai
pertanggungjawaban.
Hal ini dapat diartikan bahwa hakim masih melihat unsur kesalahan yang di
dalamnya termasuk kesengajaan atau kelalaian sebagai suatu unsur yang masih harus
dibuktikan. Dalam pertimbangannya juga, hakim tidak menyebutkan sama sekali
mengenai Pasal 88 UU PPLH yang telah disebut dalam gugatan dan menjadi salah satu
alat bukti untuk menerapkan konsep strict liability. Dengan demikian, hakim dalam
putusan tingkat pertama menafsirkan strict liability sebagai bagian dari perbuatan
melawan hukum dan tidak memperhatikan adanya konsep strict liability yang berdiri
sendiri dan memungkinkan tidak perlunya pembuktian unsur kesalahan subjektif dalam
suatu tindakan perbuatan melawan hukum.
Jika melihat ke dalam putusan tingkat banding Nomor 50 / PDT / 2014 /
PT.BNA di dalam pertimbangan hakim di dalam halaman 55 dikatakan bahwa:
“Menimbang bahwa terhadap perkara perusakan lingkungan hidup sesuai ketentuan
pasal 88 UU PPLH juga mengatur pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability), yaitu
unsur kesalahan tidak harus dibuktikan oleh Terbanding /Penggugat sebagai dasar
pembayaran ganti rugi, dengan demikian beban pembuktian tidak hanya dibebankan
kepada Terbanding/ Penggugat tetapi dibebankan kepada Pembanding/Tergugat untuk
membuktikan tidak adanya perbuatan melawan hukum.”7
Hakim mengatakan bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan dalam strict
liability akan tetapi hakim menyatakan bahwa pembuktian mengenai Perbuatan
Melawan Hukum juga harus dibebankan kepada tergugat. Sehingga konsep strict
liability yang dianut oleh hakim ini menjadi membingungkan.
Jika melihat ke dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/Pdt/2015,
penggunaan kata strict liability terdapat di dalam halaman 15 dalil gugatan bagian 5.25.
Di dalam halaman 9 dalil gugatan no. 5 berjudul “Tergugat Telah Sengaja Membuka
Lahan Dengan Cara Membakar”. Kemudian di dalam dalil gugatan poin 5.1 dikatakan
bahwa ”… patutlah diduga Tergugat telah dengan sengaja melakukan pembakaran
lahan gambut…” Selanjutnya dalam dalil gugatan poin 5.24 menyatakan bahwa
berdasarkan kesemua dalil poin 5 diatas maka “perbuatan Tergugat telah memenuhi
kualifikasi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad).” Hal tersebut
7
Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Putusan No 50/PDT/2014/PT.BNA.
menjelaskan bahwasannya dalam putusan ini penggugat terdahulu yang sekarang dalam
tingkat kasasi menjadi tergugat (Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik
Indonesia) memasukkan unsur perbuatan melawan hukum ke dalam konsep strict
liability.
Kemudian yang menjadi pertanyaan bagaimana pandangan hakim mengenai
konsep strict liability? Apakah sama dengan konsep yang diberikan oleh Menteri
Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia ataukah sebaliknya? Hakim sama sekali
tidak menyinggung mengenai strict liability atau tanggung jawab mutlak. Konsep strict
liability didalilkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia dalam
kasus kebakaran lahan gambut di area PT. Kalista Alam. Oleh karenanya kita akan
melihat pandangan hakim mengenai kebakaran lahan gambut di area PT. Kalista Alam.
Di dalam bagian pertimbangan hakim halaman 70 dikatakan bahwa:
“Bahwa Pemohon Kasasi/Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum
sehingga yang menyebabkan kebakaran lahan yang menimbulkan kerugian lingkungan
hidup, terdapat unsur kesalahan pada diri Tergugat setidaknya kelalaian atau kekurang
hati-hatian dalam menjalankan usaha sehingga telah menyebabkan terjadi kebakaran
lahan dalam wilayah izin Tergugat/Pemohon Kasasi.”8
Maka jelaslah dari kutipan tersebut hakim sama sekali tidak menyebutkan
tentang strict liability dalam putusannya.
Sedangkan dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1 PK/Pdt/2017 tidak
membahas mengenai strict liability. Pemohon Peninjauan Kembali atau Tergugat
mengajukan Peninjauan Kembali dengan menggunakan alasan-alasan kekhilafan
hakim namun tidak ada satu di antaranya yang terkait pertanggungjawaban mutlak.9
3. Unsur Kesengajaan Terhadap Perbuatan Melawan Hukum dan Strict Liability
Di dalam putusan, unsur kesengajaan beberapa kali disebutkan oleh penggugat
dalam gugatannya atau pun hakim dalam pertimbangan hakim. Di dalam gugatannya,
Penggugat menyebutkan bahwa Tergugat secara sengaja membuka lahan dengan cara
membakar dengan menyertai beberapa bukti. Penggugat yakin terdapat hubungan
kausalitas pada peristiwa kebakaran dengan “maksud” atau “intent” oleh Tergugat
untuk membuka lahan perkebunan sawit. Atas perbuatan Tergugat tersebut, Penggugat
8
9
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No.651K/Pdt/2015.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No. 1PK/Pdt/2017.
mengajukan gugatan atas dasar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(“KUHPerdata”). Di mana menurut Penggugat, pembukaan lahan dengan cara
membakar yang dilakukan oleh Tergugat dapat dikualifisir sebagai suatu perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad). Penggugat menyatakan unsur kesengajaan
dalam perbuatan Tergugat tersebut terlihat dari log-log bekas pohon hutan alam yang
bertebaran di permukaan lahan yang dibuka tersusun dalam rumpukan dan dikeringkan
di bawah terik matahari. Hal tersebut kemudian menyebabkan rumpukan kayu yang
berada diatas permukaan tanah tersebut juga akan mengering dan menjadi mudah untuk
dibakar secara langsung maupun tidak langsung.
Kemudian, masih banyak pula pembuktian lain yang dilakukan oleh Penggugat
dalam perkara ini, seperti biaya yang dikeluarkan oleh Tergugat, “klausula bakar”
dalam SPK atau SOP Tergugat yang tidak sesuai dan cenderung membiarkan lahan
terbakar yang kemudian menimbulkan kerugian. Namun, yang perlu diperhatikan
adalah bahwa Penggugat juga menggugat Tergugat dengan dalil strict liability atau
prinsip tanggung jawab mutlak. Mengenai strict liability ini Penggugat merujuk ke
Pasal 88 UU PPLH. Kemudian, atas gugatan tersebut, Tergugat menanggapi dalam
eksepsinya dengan membahas sedikit dari unsur kesengajaan dikaitkan dengan PMH
menurut pendapat Agustina. Di mana dinyatakan bahwa “unsur kesengajaan dalam
PMH dianggap ada apabila dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut
telah menimbulkan konsekuensi tertentu terhadap fisik dan/atau mental atau harta
benda korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai (fisik atau
mental) dari korban tersebut.”
Menurut Tergugat, Penggugat belum bisa mengklasifikasikan perbuatan
Tergugat sebagai kesengajaan atau kelalaian, sehingga membuat gugatan tersebut
menjadi kabur. Terhadap hal-hal tersebut kemudian Hakim menanggapi beberapa hal
terkait unsur kesengajaan dalam perbuatan Tergugat tersebut. Di mana Hakim tidak
menyetujui anggapan bahwa gugatan yang diajukan Penggugat kabur karena
menggabungkan kesengajaan dan kelalaian sebagaimana yang dinyatakan oleh
Tergugat dalam eksepsi. Melainkan, Hakim menjadikan kelalaian atau kesengajaan
dalam perbuatan Tergugat merupakan bagian dari PMH sebagai suatu pertimbangan
untuk menjatuhkan putusan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Penggugat dalam putusan ini
menggugat Tergugat atas dasar PMH dan strict liability. PMH sebagaimana
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata harus memenuhi unsur-unsur: (1) adanya
kesalahan; (2) adanya kerugian; serta (3) terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan
dan kerugian. Maka dari itu, dalam PMH penggugat harus membuktikan adanya unsur
kesalahan sebagaimana dikutip oleh Wibisana terhadap pendapat Djojodirdjo.10
Kesalahan menurut Agustina, dapat diartikan sebagai kesalahan secara subjektif
(abstrak) dan secara objektif (konkret). Kesalahan objektif adalah kesalahan kesalahan
dianggap ada apabila pelaku melakukan perbuatan secara lain dari apa yang seharusnya
ia lakukan.11 Sedangkan, menurut Elizabeth, “fault in the subjective sense refers to the
individual’s state of mind at the time of the tort.”12 Maka dari itu, kesalahan subjektif
cenderung lebih melihat ke kondisi jiwa pelaku pada saat pelanggaran tersebut
dilakukan, dalam hal ini dapat dipertimbangkan terkait kesengajaan.
Masih
berkaitan
dengan
unsur
kesalahan,
Cantu
membedakan
pertanggungjawaban perdata menjadi dua, yaitu fault-based liability dan liability
without fault. Lebih khusus lagi, fault-based liability terdiri dari intentional tort, di
mana kesalahan ditunjukan dengan kesengajaan pihak tergugat untuk menghasilkan
kerugian pada penggugat, serta negligence, atau yang berarti kesalahan ditentukkan
dengan pelanggaran terhadap aturan kehati-hatian yang layak (reasonable care) yang
hidup di dalam masyarakat.13 Sedangkan, sesuai dengan sebutannya, liability without
fault, atau lebih dikenal sebagai strict liability, merupakan pertanggungjawaban yang
tidak berdasarkan pada kesalahan, baik dalam bentuk intentional tort atau pun
negligence.14 Dalam doktrin strict liability, tergugat dapat melepaskan diri dari gugatan
apabila dapat membuktikan bahwa ada alasan pemaaf. Alasan pemaaf itu secara umum
adalah:15
(1) kesalahan korban sendiri,
(2) kesalahan pihak ketiga, dan
(3) keadaan force majeure.
Berdasarkan teori-teori yang sudah dijelaskan maka terdapat beberapa kritik
terhadap unsur kesengajaan yang terdapat dalam gugatan yang diajukan oleh Tergugat
10
Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa
Pelajaran dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) vs PT Bumi Mekar Hijau
(BMH),” Bina Hukum Lingkungan Vol. 1 No. 1 (Oktober 2016), hlm. 39.
11
Ibid.
12
Elizabeth van Schilfgaarde, “Negligence under the Netherlands Civil Code: An Economic Analysis”,
California Western International Law Journal, Vol. 21 (1991), hlm. 18.
13
Wibisana, Pertanggungjawaban Perdata.., hlm. 38.
14
Ibid.
15
William K. Jones, “Strict Liability for Hazardous Enterprise”, Columbia Law Review, Vol. 92,
1705-1779 (1992), hlm. 1706.
dan pertimbangan hukum yang dilakukan oleh Hakim dalam perkara ini. Pertama-tama,
perlu diketahui berdasarkan teori yang dijelaskan sebelumnya bahwa terkait tanggung
jawab berdasarkan kesalahan, pihak yang menggugat atau meminta ganti rugi harus
membuktikan bahwa kerugian yang diderita disebabkan oleh perbuatan dan kesalahan
dari pihak yang digugat atau yang dimintai ganti kerugian. Sedangkan, dalam tanggung
jawab tidak berdasarkan kesalahan, terlepas dari ada atau tidaknya kesalahan dalam
perbuatannya atau pada dirinya, seseorang harus bertanggung jawab atas kerugian yang
ada. Maka, atas alasan tersebut dapat dikatakan bahwa PMH dan strict liability adalah
dua hal yang berbeda. Di mana untuk membuktikan suatu perbuatan adalah PMH, perlu
diperhatikan apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur kesalahan. Kemudian, atas
kesalahan yang ada pada diri atau perbuatannya apakah terdapat unsur kesengajaan atau
kelalaian.
Dengan demikian, terkait gugatan penggugat yang menyatakan bahwa
perbuatan Tergugat adalah suatu PMH sudah benar dalam hal pembuktian atas
kesalahan serta unsur kesengajaan terhadap Tergugat yang disertakan. Namun, dalam
hal ini Penggugat tidaklah dapat menyatukan antara PMH dan strict liability. Karena
apabila Penggugat ingin menggugat atas dasar strict liability maka sudah tidak
diperlukan lagi untuk melakukan pembuktian terhadap kesalahan yang ada pada diri
Tergugat. Begitu pula dengan Hakim, apabila Hakim ingin menjatuhi putusan terhadap
Tergugat berdasarkan PMH, maka Hakim perlu mempertimbangkan bukti-bukti terkait
terpenuhinya unsur-unsur kesalahan hingga kesengajaan pada perbuatan yang
dilakukan oleh Tergugat. Tetapi, jika putusan dijatuhi berdasarkan strict liability, maka
Hakim sudah tidak perlu mempertimbangkan bukti yang ada terkait unsur kesalahan.
4. Rujukan Penggugat Terhadap Kasus Mandalawangi dan Penerapannya oleh
Hakim.
Kasus Mandalawangi merupakan kasus kerusakan lingkungan yang dilakukan
secara class action terhadap perusahaan umum perhutani yang mengelola wilayah
hutan kawasan Gunung Mandalawangi di Kabupaten Garut.16 Pada kasus
Mandalawangi, operasional perusahaan menyebabkan terjadinya longsor, akibat
longsor tersebut terdapat korban meninggal dan kerugian materil yang cukup besar,
oleh karena itu masyarakat korban longsor menuntut ganti rugi. Dalam putusannya,
16
Pengadilan Negeri Bandung, Putusan Pengadilan Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.
hakim menerapkan prinsip strict liability, di mana hakim menyatakan:
“Menimbang bahwa bagaimana bentuk tanggung jawab, maka dengan
penerapan ini pembuktian unsur kesalahan (liability based on fault) seperti dalil
gugatan penggugat supaya para tergugat dinyatakan telah melakukan perbuatan
melawan hukum menjadi tidak relevan, karena dengan diterapkannya prinsip
“precautionary principle” pertanggungjawaban menjadi mutlak (strict liability), yang
paling penting disini adalah penentuan siapa yang harus bertanggung jawab atas adanya
dampak longsor nya beberapa sudut di belahan Gunung Mandalawangi, dan arena
secara “notair feit” telah menimbulkan kerugian, maka bagaimana pemulihan atas
adanya kerugian tersebut”
Penerapan strict liability oleh hakim dalam kasus Mandalawangi sesuai dengan
strict liability yang ada dalam hukum internasional, yaitu strict liability tanpa
membuktikan adanya kesalahan dan hanya dibutuhkan kausalitas antara aksi dengan
kerusakan.17 Dalam hal ini, alasan penggugat meminta agar Hakim mereferensikan
putusan mandalawangi adalah sebagai suatu contoh agar hakim mengikuti putusan
tersebut.
Dalam putusan, hakim tidak menerapkan strict liability seperti kasus
Mandalawangi, bahkan hakim tidak secara eksplisit membahas strict liability maupun
precautionary principle. Hakim menyinggung sedikit mengenai strict liability yaitu
dengan menyebutkan
“Posita Gugatan Mendalilkan Kesengajaan dan Kelalaian dalam Satu
Gugatan”
Dapat ditarik bahwa hakim masih menganggap kesengajaan sebagai salah satu
dasar yang harus dibuktikan. Terlebih lagi hakim tidak menerapkan pasal 88 UU PPLH
yang menjadi salah satu dasar gugatan dan dasar adanya strict liability. Dalam putusan
nya, hakim juga tidak mempertimbangkan keputusan Mandalawangi.
Kegagalan hakim menerapkan Strict liability sangat disayangkan. Dalam kasus
Mandalawangi, hakim harus mengisi kekosongan hukum (rechts vinding) dan bersedia
untuk memeriksa United Nation Conference on Environment and Development untuk
memperjelas hukum apa yang sebaik nya berlaku. Penerapan Strict liability sangat
17
Vernon Palmer, "General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law, Civil Law,
and Comparative Law," Tulane Law Review 62, no. 6 (1987-1988): 1303-1356, p. 1322.
dipentingkan untuk melindungi lingkungan, agar pelaku usaha terdorong untuk
memastikan bahwa operasi mereka tidak membawa dampak buruk terhadap
lingkungan.
5. Kritik Terkait Penggunaan dan Penafsiran Doktrin Res Ipsa Loquitur.
Res ipsa loquitur berasal dari bahasa latin yang berarti “the thing itself speaks”
atau kemudian diartikan “the thing speaks for itself”18 yang mana merupakan sebuah
doktrin hukum yang pada umumnya digunakan untuk membuktikan kasus-kasus yang
berkaitan dengan kelalaian (negligence).
Dalam buku Principles of Tort Law
disebutkan bahwa res ipsa loquitur merupakan sebuah situasi di mana dalam hal hakim
akan menyimpulkan bahwa suatu kasus telah ada unsur kelalaian (negligence), maka
pihak tergugatlah yang memberikan bantahan bahwa kasus tersebut tidak terjadi karena
kelalaian.19 Jadi, kesalahan dari tergugat dianggap telah ada sehingga tergugat yang
dibebani untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.20
Pengertian lain mengenai res ipsa loquitur yaitu merupakan sebuah prinsip yang
memperbolehkan seorang penggugat/penuntut untuk memenuhi beban pembuktian
berupa bukti tidak langsung (circumstantial evidence/indirect evidence). Dalam hal ini,
penggugat dapat membuat dugaan kelalaian yang dapat dibantah oleh tergugat dengan
membuktikan bahwa kerugian biasanya tidak akan terjadi apabila kelalaian tidak
dilakukan oleh tergugat, bahwa objek yang menyebabkan terjadinya kerugian tersebut
berada dibawah kendali tergugat, serta tidak ada sebab lain mengapa kerugian tersebut
terjadi.21 Walaupun disebut sebagai doktrin hukum, John Megaw, hakim Pengadilan
Tinggi di Inggris dan Wales, menyebutkan bahwa res ipsa loquitur tidak lebih dari
sebuah konsep umum dalam menghadapi suatu kasus.22
Kriteria mengenai res ipsa loquitur pertama kali ada dalam kasus Scott v
London and St Katherine’s Docks yang menyebutkan bahwa terdapat tiga kriteria agar
res ipsa loquitur dapat diterapkan, yaitu:23
18
19
“The Northwestern Reporter Vol. 168”, (Minnesota: West Publishing Company, 1918), Hlm. 571
Vivienne Harpwood, “Principles of Tort Law” 4th Ed., (London: Cavendish Publishing, 2000), Hlm.
144
20
Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa
Pelajaran dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) vs PT Bumi Mekar Hijau
(BMH),” Bina Hukum Lingkungan Vol. 1 No. 1 (Oktober 2016), hlm. 46.
21
Legal
Information
Institute,
“Res
Ipsa
Loquitur”,
Law
Cornell
Edu,
https://www.law.cornell.edu/wex/res_ipsa_loquitur, diakses 26 November 2020..
22
Vivienne Harpwood, “Principles of Tort Law” 4th Ed, Hlm. 144
23
Ibid, Hlm. 144.
1. Kerugian harus merupakan kerugian yang sulit untuk dijelaskan dan penyebab
kerugian tersebut harus tidak diketahui;
2. Kerugian hanya akan terjadi karena kurangnya kehati-hatian (lack of proper
care);
3. Tergugat harus berkuasa penuh atau memiliki kontrol atas situasi/kejadian yang
terjadi.
Dari sedikit penjelasan diatas mengenai res ipsa loquitur, penulis berpendapat
sama dengan pendapat John Megaw. Penulis berpendapat bahwa res ipsa loquitur
bukanlah sebuah doktrin/prinsip hukum layaknya doktrin/prinsip hukum lainnya seperti
doktrin lex specialis derogat legi generali misalnya, melainkan hanya sebuah cara
memberikan sebuah bukti tidak langsung pada umumnya, di mana biasanya digunakan
anggapan-anggapan atau hasil pemikiran secara logis dari fakta-fakta yang ada, dan
bukanlah sebuah doktrin yang bersifat teknis.
Merujuk pada kasus PT Kalista Alam ini, terlihat bahwa pihak penggugat
memberikan sebuah argumen yang menyatakan bahwa majelis hakim seharusnya
melihat kasus ini dengan bukti-bukti yang ada, yaitu seperti lahan yang terbakar di
tempat tergugat, jejak-jejak kebakaran yang dilakukan oleh manusia, tidak adanya
pencegahan serta tidak dimilikinya prasarana yang memadai, sehingga dapat
membuktikan bahwa Kalista Alam telah melakukan kelalaian dan demikian maka
harusnya Kalista Alam dinyatakan bersalah. Penulis merasa keberatan dengan argumen
yang diberikan oleh pihak penggugat. Hal ini karena seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, bahwa penggugat menuduh tergugat telah melakukan kelalaian, padahal
sebelumnya disebutkan bahwa penggugat menuduh tergugat dengan sengaja
melakukan pembakaran atas lahan tersebut yang tentu saja bertentangan dengan
tuduhan kelalaian. Selanjutnya, penggugat juga menyebutkan bahwa terdapat buktibukti berupa jejak-jejak pembakaran yang disebabkan oleh manusia yang tentu saja
bertentangan dengan apa yang dimaksud lalai, karena jelas berarti tergugat dengan
sengaja melakukan pembakaran lahan.
Dengan demikian, penggunaan res ipsa loquitur dirasa kurang tepat, khususnya
melihat dari bukti-bukti yang disediakan oleh penggugat. Kembali merujuk pada
penjelasan mengenai res ipsa loquitur diatas, maka dapat diketahui bahwa res ipsa
loquitur ini hanya dapat dipakai dalam konteks kelalaian. Penggugat memberikan bukti
yang menyatakan bahwa tergugat dengan sengaja telah melakukan pembakaran lahan
dengan ditemukannya jejak-jejak pembakaran oleh manusia dan juga biaya pembukaan
lahan yang dinilai tidak normal. Hal tersebut tentu membuktikan bahwa tergugat
melakukan pembakaran dengan sengaja dan bukan karena kelalaian.
Selanjutnya, konteks kelalaian dalam hal penerapan res ipsa loquitur ini juga
kemudian dibuat menjadi lebih spesifik dengan adanya kriteria-kriteria yang harus
dipenuhi seperti yang telah disebutkan di atas. Dari kriteria-kriteria tersebut, terdapat
kriteria tidak mampu dipenuhi oleh penggugat sehingga res ipsa loquitur ini tidak tepat
digunakan dalam kasus ini. Kriteria yang tidak terpenuhi tersebut adalah mengenai
kerugian yang harus sulit dijelaskan dan penyebabnya harus tidak diketahui. Dalam
kasus ini, kerugian tidak sulit dijelaskan karena penyebab kebakaran hutan dalam kasus
ini sebenarnya sudah diketahui. Hal ini kembali lagi berkaitan dengan banyaknya buktibukti yang diberikan oleh pihak penggugat dan tergugat ke dalam pengadilan yang
membuktikan bahwa kasus ini tidak sulit untuk dibuktikan/dijelaskan. Salah dua
penyebab kebakaran hutan ini dapat dilihat dari bukti ditemukannya lahan gambut yang
sengaja dikeringkan serta adanya tumpukan kayu kering yang sengaja dijadikan bahan
bakar.
Penulis juga menilai bahwa penggugat tidak seharusnya menggunakan
“doktrin” res ipsa loquitur karena yang disebut “doktrin” tersebut bukanlah sebuah
doktrin pada biasanya, melainkan hanya sekedar frasa latin saja, layaknya apa yang
disebut oleh Robert Megarry dalam kasus Lloyde v West Midlands Gas Board dimana
ia mengatakan “I doubt whether it is right to describe res ipsa loquitur as a ‘doctrine’.
I think that it is no more than an exotic, although convenient, phrase to describe what
is in essence no more than a common sense approach, not limited by technical rules, to
the assessment of the effect of evidence in certain circumstances”24.
6. Kritik Terhadap Penggunaan dan Penafsiran Precautionary Principle
Asas kehati-hatian atau yang biasa dikenal dengan istilah precautionary
principle ini diadopsi dari Prinsip ke-15 Deklarasi Rio 1992 yang berbunyi sebagai
berikut:
“In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely
applied by States according to their capabilities. Where are threats of serious or
irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for
24
David Swarbrick, “Lloyde v West Midlands Gas Board: CA 1971”,
https://swarb.co.uk/lloyde-v-west-midlands-gas-board-ca-1971/, diakses pada 27 November 2020
swarb.co.uk,
postponing cost effective measures to prevent environment degradation.”25
Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, isi dari ketentuan Prinsip ke-15
Deklarasi Rio 1992 kurang lebih yaitu: “Untuk melindungi lingkungan hidup,
pendekatan keberhati-hatian harus diterapkan oleh negara-negara. Jika terdapat
ancaman serius atau sungguh-sungguh atau kerugian yang tidak terpulihkan, ketiadaan
kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak membuat putusan yang
mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup”.
Precautionary principle ini kemudian diadopsi oleh Indonesia dan dapat
ditemukan dalam Pasal 2 huruf f UU PPLH yang berbunyi: “Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas kehati-hatian”.26 Dengan
demikian, precautionary principle ini adalah suatu prinsip pendekatan kehati-hatian
dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diterapkan jika
terdapat ketidakpastian akan terjadinya suatu ancaman terhadap lingkungan. Lebih
lanjut, precautionary principle ini diterapkan jika terdapat “ketidakpastian” akan
dampak terhadap lingkungan.27
Merujuk pada perkara ini, berdasarkan bukti P-13 dan bukti P-16, terdapat lahan
areal PT. Kalista Alam dalam kondisi terdapat banyaknya log bekas terbakar dan telah
ditanami kelapa sawit. Lokasi tepatnya berada di blok A4 dengan luas 29,5 hektar.
Berdasarkan bukti P-13 verifikasi lapangan dan bukti P-20, terbukti bahwa lahan yang
bersangkutan tidak dilengkapi dengan peringatan tentang larangan penggunaan api dan
tidak adanya kelengkapan peralatan sebagai usaha untuk mencegah kebakaran maupun
memadamkan. Dengan demikian, memang patut diduga bahwa Tergugat sengaja
membiarkan adanya kebakaran tersebut terjadi dan menghanguskan kurang lebih 1000
hektar lahan tanpa adanya usaha untuk mencegah atau menanggulangi dari Tergugat.
Selain itu, Tergugat telah melanggar janji dan pernyataan kesanggupannya untuk
menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang bertujuan untuk
mencegah dan menanggulangi dalam hal terjadi suatu kebakaran dalam wilayah
usahanya.
Penemuan hukum (rechtsvinding) telah dilakukan oleh Mahkamah Agung
25
The Rio Declaration of Environment and Development 1992, Principle 15.
Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23 Tahun 1997, LN No. 68
Tahun 1997, TLN No.3699, Ps. 2 huruf f.
27
Arya Rema Mubarak, “Conflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan
Kemudahan Berinvestasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018,” Jurnal Hukum Lingkungan
Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019 (April 2019), hlm. 288.
26
dengan menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap para pelaku usaha yang
memanfaatkan hutan dan lahan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan seperti
yang dimaksud dalam putusan Mandalawangi Nomor 1794K/Pdt/2004. Dengan
demikian, putusan tersebut dapat dijadikan pertimbangan Majelis Hakim dalam
memeriksa perkara ini. Kelalaian tergugat telah terbukti dengan disebutkannya fakta
fakta yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Tergugat menyebabkan terbakarnya
lahan gambut di wilayahnya. Dengan demikian, Tergugat dapat digugat berdasarkan
Pasal 1366 KUHPer jo. Pasal 90 UU PPLH.
Penggunaan dan penafsiran precautionary principle pada perkara PT Kalista
Alam ini kurang tepat karena precautionary principle baru diterapkan jika adanya
ketidakpastian ilmiah atas kerusakan yang akan terjadi. Sedangkan dalam perkara ini,
terdapat kepastian akan kerusakan lingkungan, yaitu kepastian akan terjadinya suatu
kebakaran karena terdapat log-log kering yang tersebar di atas lahan, tidak adanya
peringatan tentang larangan penggunaan api di lahan yang bersangkutan, dan tidak
adanya kelengkapan peralatan sebagai usaha untuk mencegah kebakaran maupun
memadamkan. Dengan demikian, terdapat kepastian dalam hal tersebut. Selain itu, PT.
Kalista Alam juga tidak menyediakan sarana prasarana untuk menanggulangi hal
tersebut serta tidak memasang papan peringatan untuk mencegah kebakaran lahan.
Menurut pandangan penulis, prinsip preventive principle lebih cocok diterapkan
dalam kasus ini dikarenakan prinsip ini digunakan dalam mencegah kerusakan yang
pasti terjadi, seperti kebakaran lahan akibat log-log kering yang disebar di atas lahan.
Adapun perbedaan dari prinsip preventive principle dengan precautionary principle
adalah precautionary principle dilakukan pada bahaya yang belum pasti ada sedangkan
preventive principle dilakukan pada bahaya yang sudah pasti.28 Dengan demikian, pada
seharusnya Penggugat dalam perkara ini menggunakan argumen preventive principle
dalam menjelaskan kelalaian PT Kalista Alam karena terdapat kepastian ancaman
kerusakan berupa kebakaran karena PT Kalista Alam tidak menyediakan sarana
prasarana pencegahan kebakaran.
28
Ibid.
7. Asas In Dubio Pro Natura dan Kaitannya dengan precautionary principle serta
Tanggapan Mengenai Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dalam Kasus PT
Kalista Alam
Pengertian asas in dubio pro natura secara sederhana menurut Bryen adalah:29
In case of doubt or uncertainty, we resolve that uncertainty in favor that which affords
greater protection or conservation of nature. It can have application in all forms of
decision making related to the environment. For adjudicative interpretation of complex
matters, it gives weight toward interpreting constitutional provisions, law policies,
norms in favor of that which will give greater environmental protection .
Asas in dubio pro natura pada dasarnya digunakan untuk mengatasi ketika
terjadi keragu-raguan terkait dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu kegiatan
dimana jangan sampai pelaku perusak lingkungan tidak dihukum karena ada
keterbatasan-keterbatasan dalam memprosesnya.
Kemudian pada prinsip kehati-hatian atau precautionary principle, prinsip ini
mengandung pengertian bahwa apabila terdapat ancaman yang berarti atau ancaman
adanya kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), tiadanya
temuan atau pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti tidak dapat dijadikan alasan
untuk menunda upaya-upaya untuk mencegah kerusakan lingkungan. Dalam
menerapkan prinsip ini, pengambilan keputusan harus dilandasi oleh evaluasi yang
sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal mungkin kerusakan lingkungan yang
tidak dapat dipulihkan; serta penilaian (assessment) terhadap risiko dengan
mempertimbangkan berbagai opsi.30
Persamaan dari asas in dubio pro natura dengan prinsip kehati-hatian adalah
ketidak pastian atau keragu-raguan dalam suatu kasus pengrusakan lingkungan tidak
dapat dijadikan alasan untuk menunda untuk memulihkan atau menjalankan upayaupaya pencegahan pengrusakan lingkungan. Perbedaan diantara keduanya ada pada
ruang lingkup penggunaan prinsip kehati-hatian berbeda dengan asas in dubio pro
natura, ketidakpastian dalam prinsip kehati-hatian adalah ketidakpastian mengenai
dampak yang akan terjadi atau sesuai dengan perkembangan, dan dapat juga digunakan
ketika telah ada dampak dan mencegah agar dampak yang sudah ada jangan sampai
29
Nicholas Bryner, “Applying the Principle In Dubio Pro Natura for Enforcement of Environmental
Law,” Organization of American State (2015), Hlm.166.
30
Achmad Santosa, Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan, (Jakarta: Prima Pustaka, 2006), Hlm. 6.
bertambah buruk. Sedangkan ruang lingkup pada asas in dubio pro natura adalah
berbicara mengenai keragu-raguan dalam pemilihan kebijakan hukum jangan sampai
pelaku pengrusak alam tidak dihukum karena adanya ketidakpastian hukum.
Penggunaan atau penerapan konsep in dubio pro natura dalam kasus PT kalista
Alam menurut kami adalah tidak tepat. Asas in dubio pro natura digunakan ketika
adanya ketidakpastian hukum, ketidakpastian hukum dapat berupa adanya dua hukum
yang dapat digunakan kemudian hakim memilih hukum mana yang sesuai digunakan
untuk kepentingan lingkungan.31 Pada kasus ini tidak ada pertentangan hukum atau
tidak adanya dua pilihan hukum dimana hakim harus memilih hukum mana yang
diberlakukan. Dalam kasus ini PT Kalista Alam dihadapkan pada ketidakpastian luasan
lahan yang terbakar karena kurangnya alat bukti dikarenakan tidak dilakukannya
peninjauan ulang terhadap lahan yang terbakar. Ketidakpastian luasan lahan inilah yang
menimbulkan ketidakpastian besaran ganti rugi. Pada kasus ini penggunaan asas in
dubio pro natura tidaklah tepat karena bukan merupakan ketidakpastian hukum
melainkan ketidakpastian sebab akibat besaran ganti rugi yang disebabkan karena
kurangnya alat bukti di persidangan.
31
Bella Anastasia Pratiwi, “Analisa Terhadap Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dalam Perkara
Lingkungan Hidup Putusan Mahkamah Agung No.651K/PDT/2015,” (Skripsi Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2017), hlm.18.
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan pendapat antara pihak Penggugat dan Tergugat dalam mengartikan
serta membuktikan unsur-unsur PMH dan strict liablility.
a. Dalam kasus ini, Penggugat mengartikan perbuatan Tergugat sebagai PMH
karena terdapat unsur kesengajaan dalam membuka lahan dengan cara
membakar serta setidak-tidaknya terdapat unsur kelalaian dalam mencegah dan
menanggulangi kebakaran. Salah satu pembuktian adanya unsur kesengajaan
dilihat dari adanya log-log kayu yang dijadikan bahan bakar untuk membakar
lahan gambut. Pembuktian adanya unsur kelalaian adalah dengan perbuatan
Tergugat yang tidak mempersiapkan alat tanggap darurat dan alat pemadam
kebakaran. Selanjutnya, strict liability diartikan Penggugat sebagai keadaan
dimana pelaku usaha wajib bertanggung jawab mutlak atas kerusakan
lingkungan oleh karena dampak yang diakibatkan dari usahanya dapat
menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan. Pemahaman Penggugat
mengenai penerapan Strict Liability adalah dengan membuktikan Perbuatan
Melawan Hukum dan precautionary principle, baru setelahnya Tergugat
bertanggung jawab juga secara Strict Liability.
b. Tergugat berpendapat bahwa PMH dan kelalaian merupakan hal yang berbeda.
Tergugat mengaku tidak melakukan PMH dengan membuktikan bahwa tidak
ada bukti nyata dan tidak adanya pertimbangan perhitungan baku mutu dan baku
kerusakan lingkungan. Tergugat juga membantah adanya kesengajaan karena
pembukaan lahan dilakukan dengan tanpa membakar dan tata kelola
perkebunan telah sesuai dengan ketentuan hukum. Namun dalam kasus ini,
Tergugat tidak membahas mengenai strict liability.
2. Mengenai perbandingan penafsiran hakim di tingkat pertama, banding, kasasi, dan
peninjauan kembali. mengenai strict liability, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
a. Pada putusan tingkat pertama, hakim tidak memperhatikan adanya konsep
strict liability. Hal ini karena hakim masih membebankan Penggugat untuk
membuktikan kesalahan Tergugat, baik sengaja atau kelalaian, sebagaimana
ketentuan pembuktian PMH.
b. Pada putusan tingkat banding, hakim menafsirkan bahwa unsur kesalahan tidak
perlu dibuktikan dalam strict liability. Namun, hakim selanjutnya menyatakan
bahwa pembuktian mengenai adanya PMH dibebankan kepada Penggugat dan
Tergugat. Dengan demikian, penafsiran strict liability oleh hakim pada tingkat
ini agak membingungkan.
c. Pada putusan tingkat kasasi dan peninjauan kembali, hakim sama sekali tidak
menyinggung mengenai strict liability.
3. Gugatan penggugat yang menyatakan bahwa perbuatan Tergugat adalah suatu PMH
sudah benar. Namun, dalam hal ini Penggugat tidaklah dapat menyatukan antara PMH
dan strict liability. Begitu pula dengan Hakim, apabila Hakim ingin menjatuhi putusan
terhadap Tergugat berdasarkan PMH, maka Hakim perlu mempertimbangkan buktibukti terkait terpenuhinya unsur-unsur kesalahan hingga kesengajaan pada perbuatan
yang dilakukan oleh Tergugat. Tetapi, jika putusan dijatuhi berdasarkan strict liability,
maka Hakim sudah tidak perlu mempertimbangkan bukti yang ada terkait unsur
kesalahan.
4. Dalam kasus PT Kalista Alam ini, penggugat meminta agar Hakim mereferensikan
Putusan Mandalawangi karena Penggugat ingin Putusan Mandalawangi dijadikan
sebagai suatu contoh agar Hakim mengikuti putusan tersebut. Hakim tidak menerapkan
strict liability seperti kasus Mandalawangi.
5. Doktrin res ipsa loquitur tidak tepat digunakan dalam kasus PT Kalista Alam karena
res ipsa loquitur digunakan dalam konteks kelalaian, sedangkan kasus PT Kalista Alam
merupakan kasus yang terdapat unsur kesengajaan. Selan itu, kasus ini juga tidak
memenuhi kriteria res ipsa loquitur karena kerugiannya tidak sulit dijelaskan serta
penyebab kebakaran ini pun sebenarnya telah diketahui.
6. Penggunaan dan penafsiran precautionary principle dalam kasus PT Kalista Alam ini
tidak tepat digunakan. Preventive principle lebih tepat digunakan dalam kasus ini
karena terdapat kepastian terjadinya ancaman, yaitu berupa kebakaran.
7. Asas in dubio pro natura adalah asas yang mana jika terjadi keraguan maka keraguan
tersebut diselesaikan dengan mengedepankan perlindungan lingkungan hidup. Terdapat
persamaan antara asas tersebut dengan precautionary principle, yaitu ketidakpastian
tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda pemulihan lingkungan. Namun, ruang
lingkupnya berbeda karena ruang lingkup asas in dubio pro natura adalah
ketidakpastian hukum. Dalam kasus, ini penggunaan asas in dubio pro natura tidak
tepat karena tidak ada perihal mengenai ketidakpastian hukum dalam kasus PT Kalista
Alam, tetapi hanya terdapat ketidakpastian luasan lahan dan ketidakpastian besaran
ganti rugi.
Daftar Pustaka
Buku
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003.
Harpwood, Vivienne. “Principles of Tort Law”. London: Cavendish Publishing, 2000.
Jones, William K. “Strict Liability for Hazardous Enterprise.”Columbia Law Review. Vol. 92,
1992.
Lotulung, Paulus Effendi. Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata. Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1993.
Palmer, Vernon. “A General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law,
Civil Law, and Comparative Law.” Tulane Law Review. Vol. 62, 1988.
Santosa, Achmad. Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan. Jakarta: Prima Pustaka, 2006.
Jurnal
Arya Rema Mubarak, “Conflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup
dengan Kemudahan Berinvestasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
2018,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019 (April 2019).
Bryner, Nicholas. “Applying the Principle In Dubio Pro Natura for Enforcemet of
Environmental Law.” Organization of American State. 2015.
Company, West Publishing. “The Northwestern Reporter Vol. 168”. Minnesota: West
Publishing Company, 1918.
Palmer, Vernon. “a General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law,
Civil Law, and Comparative Law”. Tulane Law Review: Vol. 62. 1988.
Wibisana, Andri. G. “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa
Pelajaran dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) vs PT
Bumi Mekar Hijau (BMH)”. Bina Hukum Lingkungan Vol. 1 No. 1 (Oktober 2016).
Schilfgaarde, Elizabeth van.“Negligence under the Netherlands Civil Code: An Economic
Analysis.” California Western International Law Journal, Vol. 21 (1991).
Skripsi
Pratiwi, Bella Anastasia. “Analisa Terhadap Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dalam
Perkara Lingkungan Hidup Putusan Mahkamah Agung No.651K/PDT/2015.” Skripsi
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 2017.
Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32
Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk van Wetboek]. Diterjemahkan Subekti dan
Tjitrosudibio. Jakarta: PT Balai Pustaka, 2017.
The Rio Declaration of Environment and Development 1992.
Putusan Pengadilan
Pengadilan Negeri Meulaboh. Putusan No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO.
Pengadilan Negeri Bandung, Putusan Pengadilan Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.
Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Putusan No 50/PDT/2014/PT.BNA.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No.651K/Pdt/2015.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No. 1PK/Pdt/2017.
Internet
Institute,
Legal
Information.
“Res
Ipsa
Loquitur”.
https://www.law.cornell.edu/wex/res_ipsa_loquitur. Diakses 26 November 2020
Swarbrick, David. “Lloyde v West Midlands Gas Board: CA 1971”. https://swarb.co.uk/lloydev-west-midlands-gas-board-ca-1971/. Diakses 27 November 2020
Download
Study collections