UNIVERSITAS INDONESIA Analisis Kasus PT Kalista Alam dalam Putusan Perdata Nomor 12/PDT.G/2012/PN.MBO TUGAS KELOMPOK HUKUM LINGKUNGAN Kelas A - Reguler DISUSUN OLEH: GRUP B Amanda Prasetya 1806218965 Anggardha Anindito 1806139115 Bari Rizqullah 1806220300 Calvin Nathanael Pakpahan 1806219646 Chairul Yaqin 1806220194 Dimas Anggana Putra 1806219135 Farhan N Kharismatyaka 1806220181 Habibah Shabila 1806139310 Hikari Kepartono 1806220420 Nanda Auliak Survito Alham 1806219053 Reviana Ditya 1806139582 FAKULTAS HUKUM PROGRAM SARJANA DEPOK 2020 BAB I PENDAHULUAN 1. Kasus Posisi1 Pada tanggal 11 April 2012 dan tanggal 26 Juli 2012, di dalam Laporan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan atau disingkat dengan “UKP4” kepada Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (Penggugat) menyebutkan bahwa terdapat titik panas (hotspot) yang mengindikasikan terjadinya kebakaran/dugaan pembakaran lahan di wilayah perkebunan PT Kalista Alam (Tergugat) seluas 1.605 hektar yang berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang dilindungi oleh Undang-Undang, selain itu, data hotspot (titik panas) yang bersumber dari MODIS yang dikeluarkan oleh NASA yang merekam persebaran titik panas di Provinsi Aceh juga menunjukkan bahwa titik panas (indikasi peningkatan suhu di permukaan) memang terlihat muncul di koordinat wilayah perkebunan yang dimiliki Tergugat. Kedua laporan tersebut kemudian dikonfirmasi oleh ahli kebakaran hutan dan lahan, Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.AGR, yang menyebutkan bahwa titik panas (hotspot) yang merupakan indikasi terjadinya kebakaran terjadi pada sekitar bulan-bulan Januari 2011 hingga November 2011 dan Februari 2012 hingga Juni 2012. Bahkan menurut keterangan ahli a quo, berdasarkan data hotspots satelit MODIS titik-titik panas tersebut sudah terjadi sejak Februari 2009 hingga November 2011. Adanya titik panas yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan bumi di wilayah usaha Tergugat tersebut merupakan indikator terjadinya peningkatan suhu permukaan yang mengarah kepada terjadinya kebakaran. Kemudian, berlandaskan data dan informasi tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melalui Deputi V Penegakan dan Penaatan Hukum Lingkungan membentuk dan menugaskan suatu tim lapangan yang beranggotakan para ahli dan staf Kementerian Lingkungan Hidup serta perwakilan Pemerintah Provinsi Aceh untuk melakukan pengamatan dan verifikasi lapangan (ground check) di lokasi dimana titik-titik panas (hotspot) tersebut terlihat, yaitu di lokasi perkebunan tergugat, Pulo Kruet dan Suak Bahung, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh pada tanggal 5 Mei 2012 dan 15 Juni 2012. Tujuan dari pengecekan dan verifikasi lapangan ini adalah agar Tim Lapangan dapat memberikan kesimpulan kepada Kementerian Lingkungan Hidup tentang (1) apakah telah terjadi kebakaran yang disebabkan oleh kegiatan pembakaran lahan?; (2) apakah lokasi kebakaran terjadi di tempat Tergugat ?; dan (3) apakah akibat 1 Pengadilan Negeri Meulaboh. Putusan No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO. terjadinya kebakaran tersebut telah mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup? Berdasarkan Berita Acara Verifikasi Lapangan, terbukti bahwa memang benar titik koordinat lokasi lahan bekas terbakar berada di wilayah usaha Tergugat. Selanjutnya, berdasarkan keterangan Karyawan Tergugat, kebakaran di lahan gambut telah terjadi pada tanggal 23 Maret 2012 selama 3 (tiga) hari berturut-turut salah satunya di afdeling Blok A4 yang berdasarkan hasil survey verifikasi oleh Tim Lapangan luas areal yang terbakar pada blok A4 itu saja seluas 29.5 ha. Namun, yang dilaporkan terbakar pihak Karyawan kepada Tim Verifikasi hanya 5 hektar serta hanya dipadamkan oleh karyawan yang berjumlah delapan orang. Berdasarkan hasil penelitian oleh anggota Tim Lapangan, ditemukan juga tanda-tanda fisik bekas kebakaran seperti log kayu bekas yang telah ditanami kelapa sawit di lokasi bekas lahan terbakar, log pohon bekas tebangan hutan alam yang terbakar, lahan gambut yang tidak terbakar yang menjadi pembatas antar blok atau petak yang digunakan untuk transportasi kegiatan pengelolaan kebun kelapa sawit, areal lahan kebun kelapa sawit yang tidak dilengkapi dengan papan peringatan tentang larangan penggunaan api, kelengkapan peralatan pencegah maupun pemadaman kebakaran, kemudian, pola pengeringan air pada lahan gambut tersebut juga mengakibatkan pengeringan pada permukaan gambut sehingga menjadi sensitif terhadap kemungkinan kebakaran, dan juga terdapat log-log yang digunakan untuk membakar. Selain fakta-fakta lapangan yang telah ditemukan tersebut, terdapat juga ketidakwajaran dalam struktur biaya pembukaan lahan yang digunakan dalam SPK yang menurut analisis Penggugat sangat tidak wajar untuk suatu pembukaan lahan dengan metode/cara tidak membakar atau disingkat PLTB. Hal tersebut dikatakan demikian karena bila menggunakan metode PLTB, maka biaya normal yang diperlukan adalah sekitar Rp. 40.000.000,- (empat puluh juta Rupiah) / hektar. Sehingga total biaya yang mestinya dikeluarkan untuk membuka lahan yang luasnya 1000 hektar adalah sebesar Rp. 40.000.000.000,- (empat puluh miliar Rupiah). Sementara dalam SPK, Tergugat hanya membayar biaya sebesar Rp. 8.946.667 sehingga total biaya menjadi sebesar Rp. 2.684.000.000,- Oleh karena itu, jelas terbukti bahwa Tergugat membuka lahan dengan biaya jauh dibawah biaya normal bila menggunakan metode PLTB. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka terbukti secara faktual dan tidak terbantahkan bahwa telah terjadi kebakaran di lokasi perkebunan milik Tergugat. Bahwa berdasarkan Pasal 69 ayat (1) huruf h UU Lingkungan Hidup, Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup , Pasal 3 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 tentang Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup Yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan/ atau Lahan, dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan perbuatan Tergugat yang membuka lahan perkebunan dengan cara membakar tersebut dilarang. Berdasarkan dalil-dalil diatas terbukti bahwa perbuatan Tergugat yang telah terbukti membakar lahan untuk keperluan pembukaan lahan perkebunan telah memenuhi kualifikasi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) yang dapat dituntut ganti ruginya berdasarkan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup dan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bahwa khususnya dalam perbuatan melanggar hukum yang merugikan lingkungan, pertanggungjawaban Tergugat sebagai pemilik lahan perkebunan dapat dituntut sesuai dengan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) yang dianut oleh UU Lingkungan Hidup, dimana pelaku usaha wajib bertanggung jawab mutlak atas kerusakan lingkungan oleh karena dampak yang diakibatkan dari usahanya dapat menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan. Bahwa selain itu, fakta kebakaran yang terjadi setiap tahun secara terus menerus telah pula membuktikan bahwa Tergugat telah lalai melakukan kewajiban hukumnya sesuai dengan ketentuan undang-undang serta Izin Usaha yang berlaku dimana Tergugat diwajibkan melakukan tindakan dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan/ atau lahan di lokasi kegiatan usahanya. Kewajiban hukum tersebut diatur dalam Pasal 25 huruf C UU Perkebunan, dan lebih lanjut kewajiban-kewajiban tersebut dirinci dalam Pasal 12, 13 dan 14 PP 4/2001. Selain itu, kewajiban untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran juga melekat pada Izin Usaha sebagai dasar beroperasinya usaha perkebunan Tergugat. Kemudian, sesuai peraturan teknis bidang perkebunan, Tergugat sebagai pelaku usaha memiliki kewajiban untuk menyediakan SOP pengendalian kebakaran, menyediakan personil dan tenaga kerja yang mempu mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran, menyediakan sarana dan prasarana untuk pengendalian / penanggulangan kebakaran, memiliki organisasi dan sistem tanggap darurat dan menyediakan rekaman pelaksanaan pencegahan dan penanggulangan, pemantauan dan pelaporan kebakaran. Selain itu, dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) juga mensyaratkan Tergugat untuk menyediakan sarana dan prasarana yang cukup serta melakukan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran yang dapat timbul di lokasi lahan perkebunannya. Lalu tergugat juga tidak memenuhi kewajibannya yang tercantum dalam Pasal 34 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/ Permentan/OT.140/2/2007 yaitu untuk memiliki sarana, prasarana dan sistem untuk pembukaan lahan tanpa pembakaran serta pengendalian kebakaran, mengelola sumber daya alam secara lestari, dan menerapkan AMDAL atau UPL dan UKL. Dalam kasus ini, penggugat juga menyebutkan bahwa akibat kebakaran yang terjadi di wilayah Tergugat telah menimbulkan kerusakan bagi lingkungan dikarenakan rusaknya struktur tanah gambut yang terdapat dalam KEL yang dilindungi oleh undang-undang. Berdasarkan fakta-fakta di atas, Penggugat mengajukan gugatan provisi agar majelis hakim memerintahkan tergugat tidak mengusahakan lahan gambut yang telah terbakar untuk usaha budidaya perkebunan termasuk kelapa sawit. Kemudian memerintahkan Tergugat agar sebelum perkara ini mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht van gewijsde) agar Tergugat untuk tidak melakukan tindakan apapun (status quo) baik melalui tindakan hukum perdata atau kepailitan terhadap Penggugat yang bertujuan menjual atau mengalihkan baik secara di bawah tangan maupun melalui pelelangan umum atau lelang negara atau lelang swasta di dalam negeri atau di luar negeri atau menjaminkan dalam bentuk apapun menjual / mengalihkan dalam bentuk apapun atau tindakan dalam bentuk apapun di dalam atau luar negeri atas harta kekayaan Penggugat. Kemudian, pihak Tergugat dalam kasus ini mengajukan eksepsi atas gugatan tersebut dengan alasan penggugat tidak lengkap, tergugat kurang pihak dan gugatan kabur atau tidak jelas. Pada akhirnya, Hakim mengabulkan gugatan Penggugat sebahagian, yaitu menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan di atas tanah, bangunan dan tanaman di atasnya, menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melanggar Hukum dan Menghukum Tergugat membayar ganti rugi materiil secara tunai kepada Penggugat melalui rekening Kas Negara sebesar Rp. 114.303.419.000,00, memerintahkan Tergugat untuk tidak menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar yang berada di dalam wilayah Izin Usaha, menghukum Tergugat untuk melakukan tindakan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1000 hektar dengan biaya sebesar Rp. 251.765.250.000,00 sehingga lahan dapat difungsikan kembali sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menghukum Tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 5.000.000,00 per hari atas keterlambatan dalam melaksanakan putusan dalam perkara ini , menghukum Tergugat untuk membayar ongkos perkara yang timbul dalam perkara ini sejumlah Rp. 10.946.000,-, dan menolak gugatan Penggugat selebihnya. 2. Rumusan Masalah 1) Bagaimana para pihak mengartikan serta membuktikan unsur-unsur PMH dan Strict liability? 2) Bagaimana hakim (PN, PT, dan MA) menafsirkan strict liability? Bandingkan! 3) Berikan kritik saudara atas didalilkannya unsur kesengajaan. Berikan pula komentar saudara atas pertimbangan hakim mengenai kesengajaan/kelalaian. 4) Mengapa penggugat meminta agar hakim merujuk pada Putusan Mandalawangi? Bagaimana pendapat hakim atas hal ini? Bagaimana pendapat anda? 5) Berikan kritik anda terkait penggunaan dan penafsiran doktrin res ipsa loquitur. 6) Berikan kritik anda terkait penggunaan dan penafsiran precautionary principle dalam kasus ini. 7) Berikan tanggapan Anda mengenai in dubio pro natura. Bagaimana konsep ini terkait dengan precautionary principle (persamaan dan perbedaan)? Apakah penerapan konsep in dubio pro natura dalam kasus ini tepat? BAB II PEMBAHASAN 1. Pandangan Para Pihak dalam Mengartikan serta Membuktikan Unsur-Unsur Perbuatan Melawan Hukum dan Strict liability a. Pihak Penggugat Dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”2 Dapat dijabarkan beberapa unsur perbuatan melawan hukum dari pasal tersebut, yaitu: 1. Adanya suatu perbuatan 2. Perbuatan tersebut melawan hukum 3. Adanya kesalahan 4. Adanya kerugian 5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian Adapun dalam putusan terkait, Penggugat yaitu Menteri Negara Lingkungan Hidup menggugat PT. Kallista Alam (Tergugat) karena melanggar Pasal 69 ayat (1) huruf h UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang mana dalam pasal tersebut dicantumkan larangan melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Penggugat berpendapat bahwa Tergugat dengan sengaja maupun karena kelalaian melanggar Pasal 69 ayat (1) huruf h UU PPLH sehingga dapat dikatakan merupakan Perbuatan Melawan Hukum. Penggugat membuktikan dengan cara membuktikan unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum perbuatan aktif atau kesengajaan yang mengacu pada Pasal 1365 KUHPerdata dan perbuatan pasif atau kelalaian atau ketidak hati-hatian yang mengacu pada Pasal 1366 KUHPerdata. Dalam membuktikan adanya kesengajaan, Penggugat membuktikan dengan cara menjabarkan bukti-bukti bahwa di lokasi lahan gambut yang telah terbakar ditemukan hal-hal yang mendukung adanya kesengajaan dalam pembakaran hutan, seperti log-log kayu yang dijadikan bahan bakar untuk membakar lahan gambut dan kanal yang dibangun dengan tujuan untuk mengurangi air pada lahan gambut. 2 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk van Wetboek], diterjemahkan Subekti dan Tjitrosudibio, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2017). Sedangkan, dalam membuktikan adanya kelalaian, Penggugat membuktikan dengan cara bahwa Tergugat tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang mengenai pencegahan dan penanggulangan kebakaran dengan tidak melakukan penyiapan alat tanggap darurat dan alat pemadam kebakaran, tidak melakukan pengawasan dan patroli seputar area kebun, dan tidak adanya Standar Operasional Prosedur penanggulangan kebakaran. Dalam kasus ini, Tergugat terbukti membakar lahan gambut untuk keperluan pembukaan lahan kelapa sawit perkebunan sehingga dalam hal ini Tergugat terbukti sengaja melakukan pembakaran dan lalai dalam mencegah atau menanggulangi terjadinya kebakaran tersebut. Menurut Penggugat, Tergugat telah terbukti memenuhi kualifikasi perbuatan melawan hukum dan dapat dituntut ganti rugi sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 90 ayat (1) UU PPLH, yaitu “Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran lingkungan dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup.” Oleh karena itu, Tergugat telah melakukan perbuatan yang melanggar norma undang-undang yang dikualifisir sebagai suatu perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) yang dapat dituntut ganti rugi. Dalam dokumen UKL-UPL, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, areal lahan pembibitan dan kebun mempunyai kedalaman lebih dari tiga meter, yang mana ditetapkan sebagai kawasan lindung. Tergugat mengetahui hal ini dan seharusnya tidak boleh digunakan untuk usaha sawit, karena hal ini pula Penggugat berpendapat bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Sedangkan, untuk Strict Liability berarti unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.3 Dalam Pasal 88 UU PPLH disebutkan secara tegas mengenai konsep Strict Liability yaitu, “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun, editor), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Penggugat 3 Paulus Effendi Lotulung, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 30. berpendapat bahwa dalam perbuatan melanggar hukum yang merugikan lingkungan, pertanggungjawaban Tergugat sebagai pemilik lahan perkebunan dapat dituntut sesuai dengan prinsip Strict Liability, dimana pelaku usaha wajib bertanggung jawab mutlak atas kerusakan lingkungan oleh karena dampak yang diakibatkan dari usahanya dapat menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan, yang mana unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Mengacu pada dalil pihak Penggugat di kasus terkait, Penggugat memasukkan prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability) dengan menyisipkannya dalam dalil Tergugat telah sengaja membuka lahan dengan cara membakar pada poin 11 dimana Penggugat dalam dalilnya menyatakan: “Bahwa khususnya dalam Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan lingkungan, pertanggungjawaban Tergugat sebagai pemilik lahan perkebunan dapat dituntut sesuai dengan prinsip tanggung jawab mutlak (Strict Liability) yang dianut oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup, dimana pelaku usaha wajib bertanggung jawab mutlak atas kerusakan lingkungan oleh karena dampak yang diakibatkan dari usahanya dapat menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan.” Maka dengan Penggugat meminta pertanggungjawaban Strict Liability melalui menguraikan unsur kesengajaan terlebih dahulu. Serta selanjutnya Penggugat meminta Majelis Hakim merujuk Putusan Mandalawangi sebagai argumen pendukung doktrin res ipsa loquitur untuk menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Sehingga dengan ini terlihat jelas bahwa pemahaman Penggugat mengenai penerapan Strict Liability adalah dengan membuktikan Perbuatan Melawan Hukum dan precautionary principle, baru setelahnya Tergugat bertanggung jawab juga secara Strict Liability. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa Strict Liability hanya dijadikan supplementary dari gugatan Perbuatan Melawan Hukum pada umumnya. Setelah mendalilkan kesalahan Tergugat mengenai kesengajaan atau kelalaiannya, barulah didalilkan Strict Liability. Tentu saja hal tersebut termasuk dalam liability based on fault yang membuktikan kesalahan Tergugat, padahal sejatinya Strict Liability tidak perlu membuktikan kesalahan. Dengan demikian, penerapan Strict Liability dalam putusan ini masih kurang tepat, dimana masih terdapat kekeliruan dalam menafsirkan Strict Liability, karena masih dipersamakan dengan Perbuatan Melawan Hukum. Karena seharusnya dalam gugatan Strict Liability, unsur melawan hukum dan kesalahan tidak perlu dibuktikan lagi, cukup membuktikan bahwa kegiatan yang dilakukan bersifat abnormally dangerous dan terdapat kerugian yang timbul akibat dari kegiatan tersebut.4 b. Pihak Tergugat Tergugat berpendapat bahwa tuntutan penggugat harus ditolak, atau setidaktidaknya tidak bisa diterima. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pertama, penggugat dengan sengaja dan lalai melakukan pembelaan dalam gugatan. Dalam "KUH Perdata", terdapat perbedaan regulasi untuk tindakan ilegal yang disebabkan oleh niat dan kelalaian. Pasal 1365 KUH Perdata mengatur tentang perbuatan melawan hukum akibat kesengajaan, dan Pasal 1366 KUH Perdata mengatur tentang perbuatan melawan hukum akibat kelalaian, sehingga tergugat berpendapat bahwa gugatan yang diajukan bersifat ambigu atau tidak jelas (obscuur libel). Kemudian, tergugat berpendapat bahwa dalam buku Perbuatan Melawan Hukum oleh Prof. Rosa Agustina, S.H., M.H. menyatakan pembuatan undang-undang menerapkan istilah schuld (kesalahan) dalam beberapa arti yaitu (a) pertanggungjawaban si pelaku atas perbuatan dan atas kerugian, yang ditimbulkan karena perbuatan tersebut; (b) kealpaan sebagai lawan kesengajaan.5 Bahkan, tergugat berkeyakinan bahwa penggugat tidak bisa menentukan apakah perbuatan yang dituduhkan itu merupakan kesengajaan atau kelalaian, seperti diuraikan di atas. Selanjutnya Tergugat membuktikan tidak melakukan PMH dengan menyatakan bahwa Hakim Aceh tidak mempertimbangkan perhitungan baku mutu dan baku kerusakan lingkungan sebagai dasar bahwa Tergugat telah melakukan PMH, dan tidak ada bukti nyata. Di lain pihak, Tergugat menyatakan bahwasannya gugatan tidak dapat diterima dengan alasan sebagai berikut: (1) penggugat tidak lengkap; (2) tergugat kurang pihak; (3) gugatan tidak jelas/kabur, karena terdapat pertentangan antara Petitum dan gugatan. Penggugat juga ragu untuk menentukan apakah perilaku tergugat itu lalai atau disengaja, sehingga menjadi kabur. Terkait Strict Liability, berdasarkan eksepsi, Tergugat terfokus untuk membantah dalil Penggugat mengenai inkonsistensi Penggugat dalam membuktikan unsur kesalahan Tergugat, oleh karena Penggugat mendalilkan kesengajaan dan kelalaian dalam satu gugatan. Tergugat sama sekali tidak membantah ataupun 4 William K. Jones, “Strict Liability for Hazardous Enterprise”, Columbia Law Review, Vol. 927 (November 1992), hlm. 1710. 5 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003), hlm. 10-12. membahas mengenai Strict Liability. Akan tetapi, bila melihat dalil-dalil Tergugat dapat dilihat bahwa Tergugat berusaha membantah dalil kesengajaan Penggugat dengan mendalilkan bahwa pembukaan lahan yang dilakukan tergugat adalah tanpa membakar dan tata kelola perkebunan tergugat telah sesuai dengan ketentuan hukum dan praktek yang baik. 2. Perbandingan Penafsiran Hakim Mengenai Strict Liability Strict Liability atau disebut juga dengan istilah "tanggung jawab mutlak” merupakan salah satu dasar pertanggungjawaban perdata. Di Indonesia, strict liability diatur dalam Pasal 88 UU PPLH. Pasal 88 berbunyi “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.” Artinya, adanya unsur melawan hukum tidak menjadi dasar dalam strict liability. Maka meskipun seorang tergugat tidak melakukan perbuatan melawan hukum, ia tetap bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh kegiatannya, sepanjang kegiatan tersebut dikategorikan sebagai sangat berbahaya (abnormally dangerous). Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan pertanggungjawaban berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault), yakni Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Dengan demikian, strict liability adalah pertanggungjawaban yang tidak saja menghilangkan unsur kesalahan subjektif (mens rea), tetapi juga kesalahan secara objektif (melawan hukum).6 Dalam putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 12/PDT.G/2012/PN.MBO, penggugat mendalilkan bahwa karena perbuatan Tergugat yang mengakibatkan dampak kerusakan lingkungan yang besar, maka Tergugat dapat dimintai pertanggungjawaban atas dasar strict liability. Terhadap hal tersebut, Tergugat mengajukan eksepsi bahwa penggabungan kesengajaan dan kelalaian dalam satu gugatan menyebabkan gugatan tersebut kabur (obscuur libel) Terhadap hal tersebut, hakim menimbang bahwa penggabungan kesengajaan dan kelalaian tidak mengakibatkan gugatan kabur, karena kesengajaan dan kelalaian merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum. Lebih lanjut, hakim menilai bahwa 6 Vernon Palmer, “a General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law, Civil Law, and Comparative Law”, Tulane Law Review, Vol. 62 (1988), hlm. 1305. tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dengan telah membakar lahan gambut untuk membuka lahan, dan oleh karena Pasal 1365 KUHPerdata, dapat dimintai pertanggungjawaban. Hal ini dapat diartikan bahwa hakim masih melihat unsur kesalahan yang di dalamnya termasuk kesengajaan atau kelalaian sebagai suatu unsur yang masih harus dibuktikan. Dalam pertimbangannya juga, hakim tidak menyebutkan sama sekali mengenai Pasal 88 UU PPLH yang telah disebut dalam gugatan dan menjadi salah satu alat bukti untuk menerapkan konsep strict liability. Dengan demikian, hakim dalam putusan tingkat pertama menafsirkan strict liability sebagai bagian dari perbuatan melawan hukum dan tidak memperhatikan adanya konsep strict liability yang berdiri sendiri dan memungkinkan tidak perlunya pembuktian unsur kesalahan subjektif dalam suatu tindakan perbuatan melawan hukum. Jika melihat ke dalam putusan tingkat banding Nomor 50 / PDT / 2014 / PT.BNA di dalam pertimbangan hakim di dalam halaman 55 dikatakan bahwa: “Menimbang bahwa terhadap perkara perusakan lingkungan hidup sesuai ketentuan pasal 88 UU PPLH juga mengatur pertanggungjawaban mutlak (Strict Liability), yaitu unsur kesalahan tidak harus dibuktikan oleh Terbanding /Penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi, dengan demikian beban pembuktian tidak hanya dibebankan kepada Terbanding/ Penggugat tetapi dibebankan kepada Pembanding/Tergugat untuk membuktikan tidak adanya perbuatan melawan hukum.”7 Hakim mengatakan bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan dalam strict liability akan tetapi hakim menyatakan bahwa pembuktian mengenai Perbuatan Melawan Hukum juga harus dibebankan kepada tergugat. Sehingga konsep strict liability yang dianut oleh hakim ini menjadi membingungkan. Jika melihat ke dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 651 K/Pdt/2015, penggunaan kata strict liability terdapat di dalam halaman 15 dalil gugatan bagian 5.25. Di dalam halaman 9 dalil gugatan no. 5 berjudul “Tergugat Telah Sengaja Membuka Lahan Dengan Cara Membakar”. Kemudian di dalam dalil gugatan poin 5.1 dikatakan bahwa ”… patutlah diduga Tergugat telah dengan sengaja melakukan pembakaran lahan gambut…” Selanjutnya dalam dalil gugatan poin 5.24 menyatakan bahwa berdasarkan kesemua dalil poin 5 diatas maka “perbuatan Tergugat telah memenuhi kualifikasi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad).” Hal tersebut 7 Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Putusan No 50/PDT/2014/PT.BNA. menjelaskan bahwasannya dalam putusan ini penggugat terdahulu yang sekarang dalam tingkat kasasi menjadi tergugat (Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia) memasukkan unsur perbuatan melawan hukum ke dalam konsep strict liability. Kemudian yang menjadi pertanyaan bagaimana pandangan hakim mengenai konsep strict liability? Apakah sama dengan konsep yang diberikan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia ataukah sebaliknya? Hakim sama sekali tidak menyinggung mengenai strict liability atau tanggung jawab mutlak. Konsep strict liability didalilkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia dalam kasus kebakaran lahan gambut di area PT. Kalista Alam. Oleh karenanya kita akan melihat pandangan hakim mengenai kebakaran lahan gambut di area PT. Kalista Alam. Di dalam bagian pertimbangan hakim halaman 70 dikatakan bahwa: “Bahwa Pemohon Kasasi/Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum sehingga yang menyebabkan kebakaran lahan yang menimbulkan kerugian lingkungan hidup, terdapat unsur kesalahan pada diri Tergugat setidaknya kelalaian atau kekurang hati-hatian dalam menjalankan usaha sehingga telah menyebabkan terjadi kebakaran lahan dalam wilayah izin Tergugat/Pemohon Kasasi.”8 Maka jelaslah dari kutipan tersebut hakim sama sekali tidak menyebutkan tentang strict liability dalam putusannya. Sedangkan dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 1 PK/Pdt/2017 tidak membahas mengenai strict liability. Pemohon Peninjauan Kembali atau Tergugat mengajukan Peninjauan Kembali dengan menggunakan alasan-alasan kekhilafan hakim namun tidak ada satu di antaranya yang terkait pertanggungjawaban mutlak.9 3. Unsur Kesengajaan Terhadap Perbuatan Melawan Hukum dan Strict Liability Di dalam putusan, unsur kesengajaan beberapa kali disebutkan oleh penggugat dalam gugatannya atau pun hakim dalam pertimbangan hakim. Di dalam gugatannya, Penggugat menyebutkan bahwa Tergugat secara sengaja membuka lahan dengan cara membakar dengan menyertai beberapa bukti. Penggugat yakin terdapat hubungan kausalitas pada peristiwa kebakaran dengan “maksud” atau “intent” oleh Tergugat untuk membuka lahan perkebunan sawit. Atas perbuatan Tergugat tersebut, Penggugat 8 9 Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No.651K/Pdt/2015. Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No. 1PK/Pdt/2017. mengajukan gugatan atas dasar Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”). Di mana menurut Penggugat, pembukaan lahan dengan cara membakar yang dilakukan oleh Tergugat dapat dikualifisir sebagai suatu perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad). Penggugat menyatakan unsur kesengajaan dalam perbuatan Tergugat tersebut terlihat dari log-log bekas pohon hutan alam yang bertebaran di permukaan lahan yang dibuka tersusun dalam rumpukan dan dikeringkan di bawah terik matahari. Hal tersebut kemudian menyebabkan rumpukan kayu yang berada diatas permukaan tanah tersebut juga akan mengering dan menjadi mudah untuk dibakar secara langsung maupun tidak langsung. Kemudian, masih banyak pula pembuktian lain yang dilakukan oleh Penggugat dalam perkara ini, seperti biaya yang dikeluarkan oleh Tergugat, “klausula bakar” dalam SPK atau SOP Tergugat yang tidak sesuai dan cenderung membiarkan lahan terbakar yang kemudian menimbulkan kerugian. Namun, yang perlu diperhatikan adalah bahwa Penggugat juga menggugat Tergugat dengan dalil strict liability atau prinsip tanggung jawab mutlak. Mengenai strict liability ini Penggugat merujuk ke Pasal 88 UU PPLH. Kemudian, atas gugatan tersebut, Tergugat menanggapi dalam eksepsinya dengan membahas sedikit dari unsur kesengajaan dikaitkan dengan PMH menurut pendapat Agustina. Di mana dinyatakan bahwa “unsur kesengajaan dalam PMH dianggap ada apabila dengan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja tersebut telah menimbulkan konsekuensi tertentu terhadap fisik dan/atau mental atau harta benda korban, meskipun belum merupakan kesengajaan untuk melukai (fisik atau mental) dari korban tersebut.” Menurut Tergugat, Penggugat belum bisa mengklasifikasikan perbuatan Tergugat sebagai kesengajaan atau kelalaian, sehingga membuat gugatan tersebut menjadi kabur. Terhadap hal-hal tersebut kemudian Hakim menanggapi beberapa hal terkait unsur kesengajaan dalam perbuatan Tergugat tersebut. Di mana Hakim tidak menyetujui anggapan bahwa gugatan yang diajukan Penggugat kabur karena menggabungkan kesengajaan dan kelalaian sebagaimana yang dinyatakan oleh Tergugat dalam eksepsi. Melainkan, Hakim menjadikan kelalaian atau kesengajaan dalam perbuatan Tergugat merupakan bagian dari PMH sebagai suatu pertimbangan untuk menjatuhkan putusan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa Penggugat dalam putusan ini menggugat Tergugat atas dasar PMH dan strict liability. PMH sebagaimana berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata harus memenuhi unsur-unsur: (1) adanya kesalahan; (2) adanya kerugian; serta (3) terdapat hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian. Maka dari itu, dalam PMH penggugat harus membuktikan adanya unsur kesalahan sebagaimana dikutip oleh Wibisana terhadap pendapat Djojodirdjo.10 Kesalahan menurut Agustina, dapat diartikan sebagai kesalahan secara subjektif (abstrak) dan secara objektif (konkret). Kesalahan objektif adalah kesalahan kesalahan dianggap ada apabila pelaku melakukan perbuatan secara lain dari apa yang seharusnya ia lakukan.11 Sedangkan, menurut Elizabeth, “fault in the subjective sense refers to the individual’s state of mind at the time of the tort.”12 Maka dari itu, kesalahan subjektif cenderung lebih melihat ke kondisi jiwa pelaku pada saat pelanggaran tersebut dilakukan, dalam hal ini dapat dipertimbangkan terkait kesengajaan. Masih berkaitan dengan unsur kesalahan, Cantu membedakan pertanggungjawaban perdata menjadi dua, yaitu fault-based liability dan liability without fault. Lebih khusus lagi, fault-based liability terdiri dari intentional tort, di mana kesalahan ditunjukan dengan kesengajaan pihak tergugat untuk menghasilkan kerugian pada penggugat, serta negligence, atau yang berarti kesalahan ditentukkan dengan pelanggaran terhadap aturan kehati-hatian yang layak (reasonable care) yang hidup di dalam masyarakat.13 Sedangkan, sesuai dengan sebutannya, liability without fault, atau lebih dikenal sebagai strict liability, merupakan pertanggungjawaban yang tidak berdasarkan pada kesalahan, baik dalam bentuk intentional tort atau pun negligence.14 Dalam doktrin strict liability, tergugat dapat melepaskan diri dari gugatan apabila dapat membuktikan bahwa ada alasan pemaaf. Alasan pemaaf itu secara umum adalah:15 (1) kesalahan korban sendiri, (2) kesalahan pihak ketiga, dan (3) keadaan force majeure. Berdasarkan teori-teori yang sudah dijelaskan maka terdapat beberapa kritik terhadap unsur kesengajaan yang terdapat dalam gugatan yang diajukan oleh Tergugat 10 Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) vs PT Bumi Mekar Hijau (BMH),” Bina Hukum Lingkungan Vol. 1 No. 1 (Oktober 2016), hlm. 39. 11 Ibid. 12 Elizabeth van Schilfgaarde, “Negligence under the Netherlands Civil Code: An Economic Analysis”, California Western International Law Journal, Vol. 21 (1991), hlm. 18. 13 Wibisana, Pertanggungjawaban Perdata.., hlm. 38. 14 Ibid. 15 William K. Jones, “Strict Liability for Hazardous Enterprise”, Columbia Law Review, Vol. 92, 1705-1779 (1992), hlm. 1706. dan pertimbangan hukum yang dilakukan oleh Hakim dalam perkara ini. Pertama-tama, perlu diketahui berdasarkan teori yang dijelaskan sebelumnya bahwa terkait tanggung jawab berdasarkan kesalahan, pihak yang menggugat atau meminta ganti rugi harus membuktikan bahwa kerugian yang diderita disebabkan oleh perbuatan dan kesalahan dari pihak yang digugat atau yang dimintai ganti kerugian. Sedangkan, dalam tanggung jawab tidak berdasarkan kesalahan, terlepas dari ada atau tidaknya kesalahan dalam perbuatannya atau pada dirinya, seseorang harus bertanggung jawab atas kerugian yang ada. Maka, atas alasan tersebut dapat dikatakan bahwa PMH dan strict liability adalah dua hal yang berbeda. Di mana untuk membuktikan suatu perbuatan adalah PMH, perlu diperhatikan apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur kesalahan. Kemudian, atas kesalahan yang ada pada diri atau perbuatannya apakah terdapat unsur kesengajaan atau kelalaian. Dengan demikian, terkait gugatan penggugat yang menyatakan bahwa perbuatan Tergugat adalah suatu PMH sudah benar dalam hal pembuktian atas kesalahan serta unsur kesengajaan terhadap Tergugat yang disertakan. Namun, dalam hal ini Penggugat tidaklah dapat menyatukan antara PMH dan strict liability. Karena apabila Penggugat ingin menggugat atas dasar strict liability maka sudah tidak diperlukan lagi untuk melakukan pembuktian terhadap kesalahan yang ada pada diri Tergugat. Begitu pula dengan Hakim, apabila Hakim ingin menjatuhi putusan terhadap Tergugat berdasarkan PMH, maka Hakim perlu mempertimbangkan bukti-bukti terkait terpenuhinya unsur-unsur kesalahan hingga kesengajaan pada perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat. Tetapi, jika putusan dijatuhi berdasarkan strict liability, maka Hakim sudah tidak perlu mempertimbangkan bukti yang ada terkait unsur kesalahan. 4. Rujukan Penggugat Terhadap Kasus Mandalawangi dan Penerapannya oleh Hakim. Kasus Mandalawangi merupakan kasus kerusakan lingkungan yang dilakukan secara class action terhadap perusahaan umum perhutani yang mengelola wilayah hutan kawasan Gunung Mandalawangi di Kabupaten Garut.16 Pada kasus Mandalawangi, operasional perusahaan menyebabkan terjadinya longsor, akibat longsor tersebut terdapat korban meninggal dan kerugian materil yang cukup besar, oleh karena itu masyarakat korban longsor menuntut ganti rugi. Dalam putusannya, 16 Pengadilan Negeri Bandung, Putusan Pengadilan Nomor 49/Pdt.G/2003/PN. hakim menerapkan prinsip strict liability, di mana hakim menyatakan: “Menimbang bahwa bagaimana bentuk tanggung jawab, maka dengan penerapan ini pembuktian unsur kesalahan (liability based on fault) seperti dalil gugatan penggugat supaya para tergugat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum menjadi tidak relevan, karena dengan diterapkannya prinsip “precautionary principle” pertanggungjawaban menjadi mutlak (strict liability), yang paling penting disini adalah penentuan siapa yang harus bertanggung jawab atas adanya dampak longsor nya beberapa sudut di belahan Gunung Mandalawangi, dan arena secara “notair feit” telah menimbulkan kerugian, maka bagaimana pemulihan atas adanya kerugian tersebut” Penerapan strict liability oleh hakim dalam kasus Mandalawangi sesuai dengan strict liability yang ada dalam hukum internasional, yaitu strict liability tanpa membuktikan adanya kesalahan dan hanya dibutuhkan kausalitas antara aksi dengan kerusakan.17 Dalam hal ini, alasan penggugat meminta agar Hakim mereferensikan putusan mandalawangi adalah sebagai suatu contoh agar hakim mengikuti putusan tersebut. Dalam putusan, hakim tidak menerapkan strict liability seperti kasus Mandalawangi, bahkan hakim tidak secara eksplisit membahas strict liability maupun precautionary principle. Hakim menyinggung sedikit mengenai strict liability yaitu dengan menyebutkan “Posita Gugatan Mendalilkan Kesengajaan dan Kelalaian dalam Satu Gugatan” Dapat ditarik bahwa hakim masih menganggap kesengajaan sebagai salah satu dasar yang harus dibuktikan. Terlebih lagi hakim tidak menerapkan pasal 88 UU PPLH yang menjadi salah satu dasar gugatan dan dasar adanya strict liability. Dalam putusan nya, hakim juga tidak mempertimbangkan keputusan Mandalawangi. Kegagalan hakim menerapkan Strict liability sangat disayangkan. Dalam kasus Mandalawangi, hakim harus mengisi kekosongan hukum (rechts vinding) dan bersedia untuk memeriksa United Nation Conference on Environment and Development untuk memperjelas hukum apa yang sebaik nya berlaku. Penerapan Strict liability sangat 17 Vernon Palmer, "General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law, Civil Law, and Comparative Law," Tulane Law Review 62, no. 6 (1987-1988): 1303-1356, p. 1322. dipentingkan untuk melindungi lingkungan, agar pelaku usaha terdorong untuk memastikan bahwa operasi mereka tidak membawa dampak buruk terhadap lingkungan. 5. Kritik Terkait Penggunaan dan Penafsiran Doktrin Res Ipsa Loquitur. Res ipsa loquitur berasal dari bahasa latin yang berarti “the thing itself speaks” atau kemudian diartikan “the thing speaks for itself”18 yang mana merupakan sebuah doktrin hukum yang pada umumnya digunakan untuk membuktikan kasus-kasus yang berkaitan dengan kelalaian (negligence). Dalam buku Principles of Tort Law disebutkan bahwa res ipsa loquitur merupakan sebuah situasi di mana dalam hal hakim akan menyimpulkan bahwa suatu kasus telah ada unsur kelalaian (negligence), maka pihak tergugatlah yang memberikan bantahan bahwa kasus tersebut tidak terjadi karena kelalaian.19 Jadi, kesalahan dari tergugat dianggap telah ada sehingga tergugat yang dibebani untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah.20 Pengertian lain mengenai res ipsa loquitur yaitu merupakan sebuah prinsip yang memperbolehkan seorang penggugat/penuntut untuk memenuhi beban pembuktian berupa bukti tidak langsung (circumstantial evidence/indirect evidence). Dalam hal ini, penggugat dapat membuat dugaan kelalaian yang dapat dibantah oleh tergugat dengan membuktikan bahwa kerugian biasanya tidak akan terjadi apabila kelalaian tidak dilakukan oleh tergugat, bahwa objek yang menyebabkan terjadinya kerugian tersebut berada dibawah kendali tergugat, serta tidak ada sebab lain mengapa kerugian tersebut terjadi.21 Walaupun disebut sebagai doktrin hukum, John Megaw, hakim Pengadilan Tinggi di Inggris dan Wales, menyebutkan bahwa res ipsa loquitur tidak lebih dari sebuah konsep umum dalam menghadapi suatu kasus.22 Kriteria mengenai res ipsa loquitur pertama kali ada dalam kasus Scott v London and St Katherine’s Docks yang menyebutkan bahwa terdapat tiga kriteria agar res ipsa loquitur dapat diterapkan, yaitu:23 18 19 “The Northwestern Reporter Vol. 168”, (Minnesota: West Publishing Company, 1918), Hlm. 571 Vivienne Harpwood, “Principles of Tort Law” 4th Ed., (London: Cavendish Publishing, 2000), Hlm. 144 20 Andri G. Wibisana, “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) vs PT Bumi Mekar Hijau (BMH),” Bina Hukum Lingkungan Vol. 1 No. 1 (Oktober 2016), hlm. 46. 21 Legal Information Institute, “Res Ipsa Loquitur”, Law Cornell Edu, https://www.law.cornell.edu/wex/res_ipsa_loquitur, diakses 26 November 2020.. 22 Vivienne Harpwood, “Principles of Tort Law” 4th Ed, Hlm. 144 23 Ibid, Hlm. 144. 1. Kerugian harus merupakan kerugian yang sulit untuk dijelaskan dan penyebab kerugian tersebut harus tidak diketahui; 2. Kerugian hanya akan terjadi karena kurangnya kehati-hatian (lack of proper care); 3. Tergugat harus berkuasa penuh atau memiliki kontrol atas situasi/kejadian yang terjadi. Dari sedikit penjelasan diatas mengenai res ipsa loquitur, penulis berpendapat sama dengan pendapat John Megaw. Penulis berpendapat bahwa res ipsa loquitur bukanlah sebuah doktrin/prinsip hukum layaknya doktrin/prinsip hukum lainnya seperti doktrin lex specialis derogat legi generali misalnya, melainkan hanya sebuah cara memberikan sebuah bukti tidak langsung pada umumnya, di mana biasanya digunakan anggapan-anggapan atau hasil pemikiran secara logis dari fakta-fakta yang ada, dan bukanlah sebuah doktrin yang bersifat teknis. Merujuk pada kasus PT Kalista Alam ini, terlihat bahwa pihak penggugat memberikan sebuah argumen yang menyatakan bahwa majelis hakim seharusnya melihat kasus ini dengan bukti-bukti yang ada, yaitu seperti lahan yang terbakar di tempat tergugat, jejak-jejak kebakaran yang dilakukan oleh manusia, tidak adanya pencegahan serta tidak dimilikinya prasarana yang memadai, sehingga dapat membuktikan bahwa Kalista Alam telah melakukan kelalaian dan demikian maka harusnya Kalista Alam dinyatakan bersalah. Penulis merasa keberatan dengan argumen yang diberikan oleh pihak penggugat. Hal ini karena seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa penggugat menuduh tergugat telah melakukan kelalaian, padahal sebelumnya disebutkan bahwa penggugat menuduh tergugat dengan sengaja melakukan pembakaran atas lahan tersebut yang tentu saja bertentangan dengan tuduhan kelalaian. Selanjutnya, penggugat juga menyebutkan bahwa terdapat buktibukti berupa jejak-jejak pembakaran yang disebabkan oleh manusia yang tentu saja bertentangan dengan apa yang dimaksud lalai, karena jelas berarti tergugat dengan sengaja melakukan pembakaran lahan. Dengan demikian, penggunaan res ipsa loquitur dirasa kurang tepat, khususnya melihat dari bukti-bukti yang disediakan oleh penggugat. Kembali merujuk pada penjelasan mengenai res ipsa loquitur diatas, maka dapat diketahui bahwa res ipsa loquitur ini hanya dapat dipakai dalam konteks kelalaian. Penggugat memberikan bukti yang menyatakan bahwa tergugat dengan sengaja telah melakukan pembakaran lahan dengan ditemukannya jejak-jejak pembakaran oleh manusia dan juga biaya pembukaan lahan yang dinilai tidak normal. Hal tersebut tentu membuktikan bahwa tergugat melakukan pembakaran dengan sengaja dan bukan karena kelalaian. Selanjutnya, konteks kelalaian dalam hal penerapan res ipsa loquitur ini juga kemudian dibuat menjadi lebih spesifik dengan adanya kriteria-kriteria yang harus dipenuhi seperti yang telah disebutkan di atas. Dari kriteria-kriteria tersebut, terdapat kriteria tidak mampu dipenuhi oleh penggugat sehingga res ipsa loquitur ini tidak tepat digunakan dalam kasus ini. Kriteria yang tidak terpenuhi tersebut adalah mengenai kerugian yang harus sulit dijelaskan dan penyebabnya harus tidak diketahui. Dalam kasus ini, kerugian tidak sulit dijelaskan karena penyebab kebakaran hutan dalam kasus ini sebenarnya sudah diketahui. Hal ini kembali lagi berkaitan dengan banyaknya buktibukti yang diberikan oleh pihak penggugat dan tergugat ke dalam pengadilan yang membuktikan bahwa kasus ini tidak sulit untuk dibuktikan/dijelaskan. Salah dua penyebab kebakaran hutan ini dapat dilihat dari bukti ditemukannya lahan gambut yang sengaja dikeringkan serta adanya tumpukan kayu kering yang sengaja dijadikan bahan bakar. Penulis juga menilai bahwa penggugat tidak seharusnya menggunakan “doktrin” res ipsa loquitur karena yang disebut “doktrin” tersebut bukanlah sebuah doktrin pada biasanya, melainkan hanya sekedar frasa latin saja, layaknya apa yang disebut oleh Robert Megarry dalam kasus Lloyde v West Midlands Gas Board dimana ia mengatakan “I doubt whether it is right to describe res ipsa loquitur as a ‘doctrine’. I think that it is no more than an exotic, although convenient, phrase to describe what is in essence no more than a common sense approach, not limited by technical rules, to the assessment of the effect of evidence in certain circumstances”24. 6. Kritik Terhadap Penggunaan dan Penafsiran Precautionary Principle Asas kehati-hatian atau yang biasa dikenal dengan istilah precautionary principle ini diadopsi dari Prinsip ke-15 Deklarasi Rio 1992 yang berbunyi sebagai berikut: “In order to protect the environment, the precautionary approach shall be widely applied by States according to their capabilities. Where are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for 24 David Swarbrick, “Lloyde v West Midlands Gas Board: CA 1971”, https://swarb.co.uk/lloyde-v-west-midlands-gas-board-ca-1971/, diakses pada 27 November 2020 swarb.co.uk, postponing cost effective measures to prevent environment degradation.”25 Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, isi dari ketentuan Prinsip ke-15 Deklarasi Rio 1992 kurang lebih yaitu: “Untuk melindungi lingkungan hidup, pendekatan keberhati-hatian harus diterapkan oleh negara-negara. Jika terdapat ancaman serius atau sungguh-sungguh atau kerugian yang tidak terpulihkan, ketiadaan kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak membuat putusan yang mencegah penurunan kualitas lingkungan hidup”. Precautionary principle ini kemudian diadopsi oleh Indonesia dan dapat ditemukan dalam Pasal 2 huruf f UU PPLH yang berbunyi: “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan berdasarkan asas kehati-hatian”.26 Dengan demikian, precautionary principle ini adalah suatu prinsip pendekatan kehati-hatian dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diterapkan jika terdapat ketidakpastian akan terjadinya suatu ancaman terhadap lingkungan. Lebih lanjut, precautionary principle ini diterapkan jika terdapat “ketidakpastian” akan dampak terhadap lingkungan.27 Merujuk pada perkara ini, berdasarkan bukti P-13 dan bukti P-16, terdapat lahan areal PT. Kalista Alam dalam kondisi terdapat banyaknya log bekas terbakar dan telah ditanami kelapa sawit. Lokasi tepatnya berada di blok A4 dengan luas 29,5 hektar. Berdasarkan bukti P-13 verifikasi lapangan dan bukti P-20, terbukti bahwa lahan yang bersangkutan tidak dilengkapi dengan peringatan tentang larangan penggunaan api dan tidak adanya kelengkapan peralatan sebagai usaha untuk mencegah kebakaran maupun memadamkan. Dengan demikian, memang patut diduga bahwa Tergugat sengaja membiarkan adanya kebakaran tersebut terjadi dan menghanguskan kurang lebih 1000 hektar lahan tanpa adanya usaha untuk mencegah atau menanggulangi dari Tergugat. Selain itu, Tergugat telah melanggar janji dan pernyataan kesanggupannya untuk menyediakan sarana, prasarana, dan sistem tanggap darurat yang bertujuan untuk mencegah dan menanggulangi dalam hal terjadi suatu kebakaran dalam wilayah usahanya. Penemuan hukum (rechtsvinding) telah dilakukan oleh Mahkamah Agung 25 The Rio Declaration of Environment and Development 1992, Principle 15. Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23 Tahun 1997, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No.3699, Ps. 2 huruf f. 27 Arya Rema Mubarak, “Conflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019 (April 2019), hlm. 288. 26 dengan menerapkan prinsip kehati-hatian terhadap para pelaku usaha yang memanfaatkan hutan dan lahan yang bertujuan untuk melindungi lingkungan seperti yang dimaksud dalam putusan Mandalawangi Nomor 1794K/Pdt/2004. Dengan demikian, putusan tersebut dapat dijadikan pertimbangan Majelis Hakim dalam memeriksa perkara ini. Kelalaian tergugat telah terbukti dengan disebutkannya fakta fakta yang telah disebutkan sebelumnya bahwa Tergugat menyebabkan terbakarnya lahan gambut di wilayahnya. Dengan demikian, Tergugat dapat digugat berdasarkan Pasal 1366 KUHPer jo. Pasal 90 UU PPLH. Penggunaan dan penafsiran precautionary principle pada perkara PT Kalista Alam ini kurang tepat karena precautionary principle baru diterapkan jika adanya ketidakpastian ilmiah atas kerusakan yang akan terjadi. Sedangkan dalam perkara ini, terdapat kepastian akan kerusakan lingkungan, yaitu kepastian akan terjadinya suatu kebakaran karena terdapat log-log kering yang tersebar di atas lahan, tidak adanya peringatan tentang larangan penggunaan api di lahan yang bersangkutan, dan tidak adanya kelengkapan peralatan sebagai usaha untuk mencegah kebakaran maupun memadamkan. Dengan demikian, terdapat kepastian dalam hal tersebut. Selain itu, PT. Kalista Alam juga tidak menyediakan sarana prasarana untuk menanggulangi hal tersebut serta tidak memasang papan peringatan untuk mencegah kebakaran lahan. Menurut pandangan penulis, prinsip preventive principle lebih cocok diterapkan dalam kasus ini dikarenakan prinsip ini digunakan dalam mencegah kerusakan yang pasti terjadi, seperti kebakaran lahan akibat log-log kering yang disebar di atas lahan. Adapun perbedaan dari prinsip preventive principle dengan precautionary principle adalah precautionary principle dilakukan pada bahaya yang belum pasti ada sedangkan preventive principle dilakukan pada bahaya yang sudah pasti.28 Dengan demikian, pada seharusnya Penggugat dalam perkara ini menggunakan argumen preventive principle dalam menjelaskan kelalaian PT Kalista Alam karena terdapat kepastian ancaman kerusakan berupa kebakaran karena PT Kalista Alam tidak menyediakan sarana prasarana pencegahan kebakaran. 28 Ibid. 7. Asas In Dubio Pro Natura dan Kaitannya dengan precautionary principle serta Tanggapan Mengenai Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dalam Kasus PT Kalista Alam Pengertian asas in dubio pro natura secara sederhana menurut Bryen adalah:29 In case of doubt or uncertainty, we resolve that uncertainty in favor that which affords greater protection or conservation of nature. It can have application in all forms of decision making related to the environment. For adjudicative interpretation of complex matters, it gives weight toward interpreting constitutional provisions, law policies, norms in favor of that which will give greater environmental protection . Asas in dubio pro natura pada dasarnya digunakan untuk mengatasi ketika terjadi keragu-raguan terkait dampak negatif yang ditimbulkan dari suatu kegiatan dimana jangan sampai pelaku perusak lingkungan tidak dihukum karena ada keterbatasan-keterbatasan dalam memprosesnya. Kemudian pada prinsip kehati-hatian atau precautionary principle, prinsip ini mengandung pengertian bahwa apabila terdapat ancaman yang berarti atau ancaman adanya kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), tiadanya temuan atau pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya untuk mencegah kerusakan lingkungan. Dalam menerapkan prinsip ini, pengambilan keputusan harus dilandasi oleh evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal mungkin kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan; serta penilaian (assessment) terhadap risiko dengan mempertimbangkan berbagai opsi.30 Persamaan dari asas in dubio pro natura dengan prinsip kehati-hatian adalah ketidak pastian atau keragu-raguan dalam suatu kasus pengrusakan lingkungan tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda untuk memulihkan atau menjalankan upayaupaya pencegahan pengrusakan lingkungan. Perbedaan diantara keduanya ada pada ruang lingkup penggunaan prinsip kehati-hatian berbeda dengan asas in dubio pro natura, ketidakpastian dalam prinsip kehati-hatian adalah ketidakpastian mengenai dampak yang akan terjadi atau sesuai dengan perkembangan, dan dapat juga digunakan ketika telah ada dampak dan mencegah agar dampak yang sudah ada jangan sampai 29 Nicholas Bryner, “Applying the Principle In Dubio Pro Natura for Enforcement of Environmental Law,” Organization of American State (2015), Hlm.166. 30 Achmad Santosa, Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan, (Jakarta: Prima Pustaka, 2006), Hlm. 6. bertambah buruk. Sedangkan ruang lingkup pada asas in dubio pro natura adalah berbicara mengenai keragu-raguan dalam pemilihan kebijakan hukum jangan sampai pelaku pengrusak alam tidak dihukum karena adanya ketidakpastian hukum. Penggunaan atau penerapan konsep in dubio pro natura dalam kasus PT kalista Alam menurut kami adalah tidak tepat. Asas in dubio pro natura digunakan ketika adanya ketidakpastian hukum, ketidakpastian hukum dapat berupa adanya dua hukum yang dapat digunakan kemudian hakim memilih hukum mana yang sesuai digunakan untuk kepentingan lingkungan.31 Pada kasus ini tidak ada pertentangan hukum atau tidak adanya dua pilihan hukum dimana hakim harus memilih hukum mana yang diberlakukan. Dalam kasus ini PT Kalista Alam dihadapkan pada ketidakpastian luasan lahan yang terbakar karena kurangnya alat bukti dikarenakan tidak dilakukannya peninjauan ulang terhadap lahan yang terbakar. Ketidakpastian luasan lahan inilah yang menimbulkan ketidakpastian besaran ganti rugi. Pada kasus ini penggunaan asas in dubio pro natura tidaklah tepat karena bukan merupakan ketidakpastian hukum melainkan ketidakpastian sebab akibat besaran ganti rugi yang disebabkan karena kurangnya alat bukti di persidangan. 31 Bella Anastasia Pratiwi, “Analisa Terhadap Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dalam Perkara Lingkungan Hidup Putusan Mahkamah Agung No.651K/PDT/2015,” (Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2017), hlm.18. BAB III KESIMPULAN Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Terdapat perbedaan pendapat antara pihak Penggugat dan Tergugat dalam mengartikan serta membuktikan unsur-unsur PMH dan strict liablility. a. Dalam kasus ini, Penggugat mengartikan perbuatan Tergugat sebagai PMH karena terdapat unsur kesengajaan dalam membuka lahan dengan cara membakar serta setidak-tidaknya terdapat unsur kelalaian dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran. Salah satu pembuktian adanya unsur kesengajaan dilihat dari adanya log-log kayu yang dijadikan bahan bakar untuk membakar lahan gambut. Pembuktian adanya unsur kelalaian adalah dengan perbuatan Tergugat yang tidak mempersiapkan alat tanggap darurat dan alat pemadam kebakaran. Selanjutnya, strict liability diartikan Penggugat sebagai keadaan dimana pelaku usaha wajib bertanggung jawab mutlak atas kerusakan lingkungan oleh karena dampak yang diakibatkan dari usahanya dapat menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan. Pemahaman Penggugat mengenai penerapan Strict Liability adalah dengan membuktikan Perbuatan Melawan Hukum dan precautionary principle, baru setelahnya Tergugat bertanggung jawab juga secara Strict Liability. b. Tergugat berpendapat bahwa PMH dan kelalaian merupakan hal yang berbeda. Tergugat mengaku tidak melakukan PMH dengan membuktikan bahwa tidak ada bukti nyata dan tidak adanya pertimbangan perhitungan baku mutu dan baku kerusakan lingkungan. Tergugat juga membantah adanya kesengajaan karena pembukaan lahan dilakukan dengan tanpa membakar dan tata kelola perkebunan telah sesuai dengan ketentuan hukum. Namun dalam kasus ini, Tergugat tidak membahas mengenai strict liability. 2. Mengenai perbandingan penafsiran hakim di tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. mengenai strict liability, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: a. Pada putusan tingkat pertama, hakim tidak memperhatikan adanya konsep strict liability. Hal ini karena hakim masih membebankan Penggugat untuk membuktikan kesalahan Tergugat, baik sengaja atau kelalaian, sebagaimana ketentuan pembuktian PMH. b. Pada putusan tingkat banding, hakim menafsirkan bahwa unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan dalam strict liability. Namun, hakim selanjutnya menyatakan bahwa pembuktian mengenai adanya PMH dibebankan kepada Penggugat dan Tergugat. Dengan demikian, penafsiran strict liability oleh hakim pada tingkat ini agak membingungkan. c. Pada putusan tingkat kasasi dan peninjauan kembali, hakim sama sekali tidak menyinggung mengenai strict liability. 3. Gugatan penggugat yang menyatakan bahwa perbuatan Tergugat adalah suatu PMH sudah benar. Namun, dalam hal ini Penggugat tidaklah dapat menyatukan antara PMH dan strict liability. Begitu pula dengan Hakim, apabila Hakim ingin menjatuhi putusan terhadap Tergugat berdasarkan PMH, maka Hakim perlu mempertimbangkan buktibukti terkait terpenuhinya unsur-unsur kesalahan hingga kesengajaan pada perbuatan yang dilakukan oleh Tergugat. Tetapi, jika putusan dijatuhi berdasarkan strict liability, maka Hakim sudah tidak perlu mempertimbangkan bukti yang ada terkait unsur kesalahan. 4. Dalam kasus PT Kalista Alam ini, penggugat meminta agar Hakim mereferensikan Putusan Mandalawangi karena Penggugat ingin Putusan Mandalawangi dijadikan sebagai suatu contoh agar Hakim mengikuti putusan tersebut. Hakim tidak menerapkan strict liability seperti kasus Mandalawangi. 5. Doktrin res ipsa loquitur tidak tepat digunakan dalam kasus PT Kalista Alam karena res ipsa loquitur digunakan dalam konteks kelalaian, sedangkan kasus PT Kalista Alam merupakan kasus yang terdapat unsur kesengajaan. Selan itu, kasus ini juga tidak memenuhi kriteria res ipsa loquitur karena kerugiannya tidak sulit dijelaskan serta penyebab kebakaran ini pun sebenarnya telah diketahui. 6. Penggunaan dan penafsiran precautionary principle dalam kasus PT Kalista Alam ini tidak tepat digunakan. Preventive principle lebih tepat digunakan dalam kasus ini karena terdapat kepastian terjadinya ancaman, yaitu berupa kebakaran. 7. Asas in dubio pro natura adalah asas yang mana jika terjadi keraguan maka keraguan tersebut diselesaikan dengan mengedepankan perlindungan lingkungan hidup. Terdapat persamaan antara asas tersebut dengan precautionary principle, yaitu ketidakpastian tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda pemulihan lingkungan. Namun, ruang lingkupnya berbeda karena ruang lingkup asas in dubio pro natura adalah ketidakpastian hukum. Dalam kasus, ini penggunaan asas in dubio pro natura tidak tepat karena tidak ada perihal mengenai ketidakpastian hukum dalam kasus PT Kalista Alam, tetapi hanya terdapat ketidakpastian luasan lahan dan ketidakpastian besaran ganti rugi. Daftar Pustaka Buku Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2003. Harpwood, Vivienne. “Principles of Tort Law”. London: Cavendish Publishing, 2000. Jones, William K. “Strict Liability for Hazardous Enterprise.”Columbia Law Review. Vol. 92, 1992. Lotulung, Paulus Effendi. Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993. Palmer, Vernon. “A General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law, Civil Law, and Comparative Law.” Tulane Law Review. Vol. 62, 1988. Santosa, Achmad. Alam pun Butuh Hukum dan Keadilan. Jakarta: Prima Pustaka, 2006. Jurnal Arya Rema Mubarak, “Conflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018,” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019 (April 2019). Bryner, Nicholas. “Applying the Principle In Dubio Pro Natura for Enforcemet of Environmental Law.” Organization of American State. 2015. Company, West Publishing. “The Northwestern Reporter Vol. 168”. Minnesota: West Publishing Company, 1918. Palmer, Vernon. “a General Theory of the Inner Structure of Strict Liability: Common Law, Civil Law, and Comparative Law”. Tulane Law Review: Vol. 62. 1988. Wibisana, Andri. G. “Pertanggungjawaban Perdata Untuk Kebakaran Hutan/Lahan: Beberapa Pelajaran dari Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) vs PT Bumi Mekar Hijau (BMH)”. Bina Hukum Lingkungan Vol. 1 No. 1 (Oktober 2016). Schilfgaarde, Elizabeth van.“Negligence under the Netherlands Civil Code: An Economic Analysis.” California Western International Law Journal, Vol. 21 (1991). Skripsi Pratiwi, Bella Anastasia. “Analisa Terhadap Penerapan Asas In Dubio Pro Natura Dalam Perkara Lingkungan Hidup Putusan Mahkamah Agung No.651K/PDT/2015.” Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta, 2017. Peraturan Perundang-undangan Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk van Wetboek]. Diterjemahkan Subekti dan Tjitrosudibio. Jakarta: PT Balai Pustaka, 2017. The Rio Declaration of Environment and Development 1992. Putusan Pengadilan Pengadilan Negeri Meulaboh. Putusan No. 12/PDT.G/2012/PN.MBO. Pengadilan Negeri Bandung, Putusan Pengadilan Nomor 49/Pdt.G/2003/PN. Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Putusan No 50/PDT/2014/PT.BNA. Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No.651K/Pdt/2015. Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan No. 1PK/Pdt/2017. Internet Institute, Legal Information. “Res Ipsa Loquitur”. https://www.law.cornell.edu/wex/res_ipsa_loquitur. Diakses 26 November 2020 Swarbrick, David. “Lloyde v West Midlands Gas Board: CA 1971”. https://swarb.co.uk/lloydev-west-midlands-gas-board-ca-1971/. Diakses 27 November 2020