PENANGANAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI DINAS SOSIAL DAN TENAGA KERJA KOTA TARAKAN (STUDI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI NO. 15 TAHUN 2000 TENTANG KETENAGAKERJAAN) SKRIPSI Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1 OLEH: HELDA ROZALIA NIM : 0902015013 FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2013 PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah di tulis atau di terbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis di kutip dalam naskah ini dan di sebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila ternyata didalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur plagiat, saya bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh (sarjana) di batalkan serta di proses sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Samarinda, Januari 2013 HELDA ROZALIA NIM. 0902015013 HALAMAN PENGESAHAN Judul Skripsi : Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan ( Studi Implementasi Keputusan Menteri No.150 Tahun 2000 Tentang ketenagakerjaan) Nama : Helda Rozalia NIM : 0902015013 Jurusan : Ilmu Administrasi Program Studi : Administrasi Negara Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dr Anthonius Margono, M.Si NIP. 19540817 198403 1 002 Dra. Hj. Ida Wahyuni, M.Si NIP. 19662010 200910 2 002 Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman Prof. Dr. H. Adam Idris, M.Si NIP. 19600114 198803 1 003 Lulus Tanggal : 11-03-2013 RINGKASAN Helda Rozalia, Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan (Studi Implementasi Keputusan Menteri No.150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan); di bawah bimbingan Bapak Dr. Anthonius Margono, M.Si dan Ibu Dra. Hj. Ida Wahyuni, M.Si Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis penanganan pemutusan huhungan kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan dan untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pennganan PHK di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. Teknik pengumpulan data melalui; wawancara, observasi, dan dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan teknik analisis data model interaktif dari pendapat Miles dan Huberman dalam Sugiyono. Dalam penelitian ini penulis bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja Kota Tarakan sebagai informan yang memberikan informasi tentang data yang berhubungan dengan objek yang penulis teliti yaitu penanganan pemutusan hubungan kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. Kata kunci : Implementasi RIWAYAT HIDUP Helda Rozalia, lahir pada tanggal 20 September 1991 di Tarakan Kalimantan Utara. Merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Ayahanda Drs. H. Zaini, M. dan Ibunda Hj. Massutiawati. Pada tahun 1996 memasuki Taman Kanak-Kanak Handayani di Tarakan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 1997 memasuki Sekolah Dasar Negeri Utama 1 Tarakan lulus pada tahun 2003. Dan pada tahun 2003 melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tarakan lulus pada tahun 2006. Selanjutnya pada tahun 2006 melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Tarakan dan lulus pada tahun 2009. Masuk perguruan tinggi Universitas Mulawarman di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Administrasi, Program Studi Administrasi Negara pada tahun 2009 melalui seleksi penerimaan mahasiswa baru. Selama kuliah telah mengikuti beberapa kegiatan diantaranya kegiatan pengenalan kampus dan kegiatan Pengenalan Mahasiswa Administrasi Negara (PEDILMAN) tahun 2009. Sedangkan pengalaman yang berhubungan dengan akademik / kurikulum Pendidikan di Universitas Mulawarman yaitu mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) angkatan XXXVIII di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Samarinda. KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman. Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan baik moril maupun materiil serta saran-saran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih dan penghormatan sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Zamruddin Hasid, SE, S.U selaku Rektor Universitas Mulawarman yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menyelesaikan studi sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Prof. Dr. H. Adam Idris, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawaraman yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman. 3. Ibu Dra. Rossa Anggraeny, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi yang telah memberikan motivasi dan saran-saran dalam rangka penyelesaian skripsi ini. 4. Bapak Drs. M. Zaenal Arifin, M.Si selaku Ketua Program Studi Administrasi Negara yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman. 5. Bapak Dr. Anthonius Margono, M.Si selaku pembimbing I dan Ibu Dra. Hj. Ida Wahyuni, M.Si selaku pembimbing II. Terima kasih atas kesediaan bapak dan ibu yang telah meluangkan waktu ditengah kesibukan untuk memberikan bimbingan serta masukan, saran dan nasehat agar karya tulis ini menjadi karya ilmiah yang baik. 6. Dosen penguji seminar skripsi : Bapak Dr. Djumadi, M.Si selaku penguji I dan Ibu Santi Rande, S.Sos., M.Si selaku penguji II. Terima kasih atas bantuan dan saransarannya yang telah diberikan kepada penulis. 7. Segenap dosen yang telah memberikan ilmunya dari awal penulis mengenal bangku kuliah hingga akhir perjalanan selama menempuh pendidikan di Administrasi Negara FISIP UNMUL. Seluruh Staf Akademik, Staf Kemahasiswaan dan juga staf Tata Usaha. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya telah banyak membantu saya. 8. Terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses penelitian, Kepada Bapak Drs. H.Zaini. M selaku Kepala Dinas, Bapak H. Anto Bismoko, S.Sos selaku Kasi Hubin Syaker, Bapak Imanmanuel. P.ST selaku Fungsional Umum bidang PHI, Bapak Aulianegara, SH selaku Mediator Hubungan Industrial, terima kasih untuk jalinan persaudaraan dalam perkenalan yang singkat. Terima kasih atas masukan ide dan sambutan hangat yang diberikan. 9. Ayahanda Drs. H. Zaini. M, Ibunda Hj. Massutiawati, Kakakanda Hesty Rozaniza, Kakaknda Daeng Adimas Bayu Wicaksana SE, Adiknda Muhammad Azizan Fikri Algazi, Adiknda Daeng Akmalif Putra Aryuza tercinta yang telah memberikan Doa, Cinta, Dukungan dan Nasehat yang tak ternilai, Terima kasih atas segalanya. 10. Untuk sahabat-sahabat yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas dukungan dan semangat yang telah diberikan kepada saya. Semoga skripsi ini berguna untuk menambah informasi dan pengetahuan bagi para pembacanya, Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayahnya, Amin Samarinda, 11 Februari 2013 Penulis Helda Rozalia DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN ORISINALITAS ………………………………………………. HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………. ABSTRAK …………………………………………………………………... RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………….. KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. DAFTAR ISI ………………............................................................................ DAFTAR TABEL …………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… i ii iii iv v vii x xi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………………………………………………….. B. Rumusan Masalah ………………………………………………. C. Tujuan Penelitian ……………………………………………....... D. Kegunaan Penelitian …………..………………………………… 1 5 6 6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori dan Konsep ……………………………………..……… ... 2.1.1 Pengertian Implementasi ……………………………….…. 2.1.2 Pengertian Kebijakan publik ..…......…………..…............. 2.1.4 Pengertian Implementasi kebijakan……………………..… 2.1.5 Pengertian Ketenargakerjaan……………………………… 2.2 Definisi Konsepsional……………………………………………. 8 9 12 18 26 40 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian …………………………………………………… 3.2 Fokus Penelitian ………………..………………………………… 3.3 Tempat Penelitian …….……………………….............................. 3.4 Sumber Data……………………..………………………............. 3.5 Teknik Pengumpulan Data ..……….……………......................... 3.6 Analisis Data…………………....................................................... 41 41 42 43 44 45 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum .......................................................................... 48 4.1.1 Profil Kantor Dinas Sosial dan Tenaga Kerja ..................... 48 4.2. Hasil Penelitian ............................................................................. 59 4.2.1. Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja............................ 60 4.2.2. Faktor Pendukung................................................................ 76 4.3. Pembahasan ................................................................................... 78 4.3.1. Mendesripsikan Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja.. 79 4.3.2.Faktor Pendukung .............................................................. 83 BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan........... ......................................................................... 85 5.2. Saran-saran..................................................................................... 87 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR TABEL No Tubuh Utama Halaman 1. Tabel 1 Jumlah SDM di Disosnaker berdasarkan pendidikan.……………….... 52 2. Tabel 2 Jumlah pegawai Disosnaker berdasarkan golongan......................….…. 53 3. Tabel 3 Jumlah khasus PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)……………………. 62 DAFTAR GAMBAR No Tubuh Utama Halaman 1. Gambar 1. Analisis data model kebijakan…………………………..……… 11 2. Gambar 2. Analisis data model Interaktif………………….....………..…… 46 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan Nasional Bangsa Indonesia, sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia. Artinya, setiap warga negara Indonesia harus ikut serta dan berperan dalam pelaksanaan pembangunan, yang meliputi seluruh bidang kehidupan bangsa dan Negara Republik Indonesia. Keberhasilan pembangunan nasional ditentukan terutama oleh kualitas sumber daya manusianya, baik yang menjadi pengambil keputusan, penentu kebijaksanaan, pemikir, perencana maupun yang menjadi para pelaksana di sektor terdepan, dan para pelaku fungsi kontrol atau pengawasan pembangunan. Hal ini menunjukan bahwa unsur manusialah yang menjadi roda penggerak pembangunan nasional tersebut. Sumber daya manusia merupakan kunci utama keberhasilan pembangunan. Kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan pembangunan nasional. Hakekat pembangunan nasional adalah, pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Maka landasan pelaksanaan pembangunan nasional adalah ( Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945). Sebagian besar manusia di muka bumi Indonesia menyadari bahwa dalam pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja memiliki peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dalam pencapai tujuan pembangunan. Sejalan dengan itu, pembangunan ketenagakerjaan diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martbat kemanusiaan. Penjelasan umum Keputusan Menteri No. 150 tahun 2000 menyatakan bahwa pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan merata baik material maupun spiritual. Negara Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang sebagaimana lazimnya telah menggiatkan pembangunan di segala bidang. Oleh sebab itu, maka diperlukanlah tenaga kerja yang yang ahli dan handal dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut, seperti halnya menguasai perkembangan teknologi dan komputerisasi. Oleh karena itu, agar tenaga kerja tersebut dapat menggunakannya maka diadakannya suatu pelatihan dan pembinaan. Adapun tujuan pembinaan tenaga kerja adalah meningkatkan kesetiaan dan ketaatan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, menghasilkan tenaga kerja yang berdaya guna dan moral kerja yang tingi. Karena semangat kegairahan kerja yang tinggi sangat mempengaruhi secara langsung terhadap produktifitas kerja dan akan membawa dampak positif yang baik bagi perusahaan. Pada umumnya kelangsungan ikatan kerja bersama antara perusahaan dengan tenaga kerja terjalin apabila kedua belah pihak masih saling membutuhkan dan saling patuh dan taat akan perjanjian yang telah disepakatinya pada saat mereka mulai menjalin kerja bersama. Dengan adanya keterikatan kerja bersama antara perusahaan, khususnya manager dengan para tenaga kerja, berarti masing-masing pihak memiliki hak dan memiliki kewajiban. Demikian pula sebaliknya, apabila terjadi pemutusan hubungan kerja berarti manager dituntut untuk memenuhi hak dan kewajiban terhadap tenaga kerja sesuai dengan kondisi pada saat terjadi kontrak kerja. Kontrak kerja antara manager dapat secara tertulis maupun tidak tertulis. Dapat pula ditentukan dalam jangka waktu tertentu maupun tidak ditentukan berapa lama tenaga kerja tersebut harus bekerja pada perusahaan. Pemutusan hubugan kerja adalah suatu proses pelepasan keterikatan kerja sama antara perusahaan dengan tenaga kerja, baik atas permintaan tenaga kerja yang bersangkutan maupun atas kebijakan perusahaan yang karenanya tenaga kerja tersebut sudah tidak mampu memberikan prodiktivitas kerja lagi atau karena kondisi perusahaan yang tidak memungkinkan. Pemutusan hubungan kerja pada dasarnya merupakan masalah yang kompleks karena mempunyai dampak pada pengangguran, kriminalitas, kesempatan kerja. Seiring dengan laju perkembangan industri serta meningkatnya jumlah angkatan kerja yang bekerja, permasalahan pemutusan hubungan kerja merupakan permasalahan yang menyangkut kehidupan manusia. Dan hal tersebut merupakan awal penderitaan bagi pekerja dan keluarganya. Sedang bagi perusahaan pemutusan hubungan kerja juga merupakan kerugian karena harus melepas pekerja yang telah dididik dan telah mengetahui cara-cara kerja di perusahaannya. Terjadinya pemutusan hubungan kerja dengan demikian bukan hanya menimbulkan kesulitan bagi pekerja tetapi juga akan menimbulkan kesulitan bagi perusahaan. Untuk itu pemerintah perlu ikut campur tangan dalam mengatasi masalah pemutusan hubungan kerja. Berdasarkan hasil observasi awal penulis bahwa khasus PHK tahun 2012 Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan yaitu: melanggar peraturan (PKB) 7 orang dan mangkir dari pekerjaan (tidak disiplin) 21 orang. Jadi total pekerja yang di PHK sampai bulan Desember sebanyak 28 orang. Pemerintah telah mengadakan kebijaksanaan mengenai PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dengan maksud untuk lebih menjamin adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pelaksanaan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) antara lain menetapkan peraturan perundang-undangan tentang pemutusan hubungan kerja, penyelesaian perselisihan hubungan industrial serta berbagai keputusan menteri. Apabila telah ditetapkannya pemutusan hubungan kerja, maka ditetapkan pula kewajiban pengusaha untuk memberikan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan ganti kerugian kepada pekerja. Kewajiban ini berlaku bagi pengusaha yang melakukan PHK kepada para pekerjanya. Pembayaran kompensasi tersebut harus mengikuti prosedur sebagaimana yang telah ditetapkann dalam UU No.13 tahun 2003 dimana didalam UU No. 13 Tahun 2003 adalah penyempurna dari isi Kep.Men No. 150 Tahun 2000 yang bertujuan untuk terciptanya suatu kesepakatan yang baik antara pengusaha dengan pekerja. Tetapi dalam pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak jarang ditemukan kendala seperti ketidakadilan perusahaan terhadap PHK terhadap buruh sehingga menimbulkan ketidakpuasan para buruh karena khasus PHK. Jadi berdasarkan skripsi tersebut, penulis tertarik mengajukan judul skripsi “Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan (Studi Implementasi Keputusan Menteri No.150 Tahun 2000 Tentang Ketenagakerjaan) ” 1.2 Rumusan Masalah: Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang tentang Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan (Studi Implementasi Keputusan Menteri No.150 Tahun 2000 Tentang Ketenagakerjaan) maka dalam penelitian ini masalah yang dapat dirumuskan yaitu: 1. Bagaimana Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan ? 2. Apa saja faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan ? 1.3 Tujuan Penelitian: Setiap penelitian pada dasarnya mempunyai beberapa tujuan yang ingin dicapai. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan arahan kepada seorang peneliti dalam melakukan pekerjaan dan dapat menentukan kemana seharusnya berjalan dan berbuat. sejalan dengan permasalahan yang di rumuskan, maka penelitian ini bertujuan: 1. Untuk mengetahui Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. 1.4 Kegunaan Penelitian: Hasil penelitian pada umumnya sangat diharapkan dapat memberikan kegunaan dan manfaat yang sebesar-besarnya baik untuk penulis sendiri maupun bagi orang lain yang menggunakannya. Dengan penelitian ini, kegunaan dan manfaat yang diharapkan yaitu: 1. Secara teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu sosial terutama ilmu Administrasi Negara, khususnya dibidang kebijakan publik. 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran, terutama bagi pihak yang berwenang Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kota Tarakan dalam menghadapi masalah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). BAB II KERANGKA DASAR TEORI 2.1 Teori dan Konsep Dalam setiap penelitian ilmiah tidak terlepas dari teori dan konsep yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Hal ini dimaksudkan agar penelitian yang dilakukan dapat memberikan arahan yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Teori adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan perangkat konsep, definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Jadi teori memuat konsep, definisi, dan proposisi. Secara umum fungsi dari teori adalah sebagi berikut: 1. Menjelaskan (explanation), ruang lingkup variabel-variabel yang akan diteliti. 2. Meramalkan (prediction), yaitu menyusun hipotesis dan menyusun instrument penelitian. 3. Pengendalian (control), yaitu membahas hasil penelitian dan memberikan saran. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sugiono (2003:55) bahwa teori adalah seperangkat asumsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk mengungkapkan, menjelaskan, dan memprediksi prilaku yang memiliki keteraturan. Konsep menurut Husain Usman dan Purnomo Setiady Akbar (2003:8) mengatakan bahwa “konsep dipakai oleh penulis untuk menggambarkan suatu gejala sosial atau gejala alamiah.” Konsep dapat juga disebut sebagai generalisasi dari kelompok gejala tertentu sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai gejala yang sama. 2.1.1 Implementasi. Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undangundang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan. Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab adalah: “Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”(Webster dalam Wahab,2004:64). Berdasarkan diatas maka implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat.Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat. Pandangan Van Meter dan Van Horn bahwa implementasi merupakan tindakan oleh individu, pejabat, kelompok badan pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu keputusan tertentu. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah yang membawa dampak pada warganegaranya. Namun dalam praktinya badan-badan pemerintah sering menghadapi pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat dari UndangUndang, sehingga membuat mereka menjadi tidak jelas untuk memutuskan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Mazmanian dan Sebastiar juga mendefinisikan implementasi sebagai berikut: “Implementasi adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan”. (Mazmanian dan Sebastiar dalam Wahab,2004:68). Implementasi menurut Mazmanian dan Sebastier merupakan pelaksanaan kebijakan dasar berbentuk undang-undang juga berbentuk perintah atau keputusan-keputusan yang penting atau seperti keputusan badan peradilan. Proses implementasi ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu seperti tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai perbaikan kebijakan yang bersangkutan. Menurut uraian di atas, jadi implementasi itu merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat, Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat. Gambar 1 Berikut ini model analisis kebijakan: Sebelum Implementasi Kebijakan Sesudah Konsekuensi-Konsekuensi Kebijakan Model Prespektif Model Integratif Model Retrospektif Gambar 2.1: Model Analisis Kebijakan menurut Dunn dalam Edi Suharto, PhD (2008:86) 1. Model prospektif adalah bentuk analisi kebijakan yang mengarahkan kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut sebagai model prediktif, karena seringkali melibatkan teknik-teknik peramalan (forecasting) untuk memprediksi kemungkinankemungkinan yang akan timbul dari suatu kebijakan yang akan diusulkan. 2. Model retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibatakibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini biasanya disebuut juga model evaluative, karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi terhadap dampak-dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan. 3. Model integrative adalah model perpaduan antara kedua model diatas. Model ini kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik, karena analisis dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul, baik sebelum maupun sesudah suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis kebijakan ini biasanya melibatkan teknik-teknik peramalan dan evaluasi secara terintegrasi. 2.1.2 Kebijakan Publik Kebijakan menurut pendapat Carl Friedrich yang dikutip oleh Wahab bahwa: “Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan” (Friedrich dalam Wahab, 2004:3). Berdasarkan definisi di atas, kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk mencapai tujuan dan umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus mencari peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang diinginkan. Hal tersebut berarti kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik- praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Apabila kebijakan berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut akan mendapat kendala ketika di implementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan harus mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik-praktik yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. (Edi Suharto 2008:7). James E. Anderson dalam Subarsono (2005:2) mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Thomas R. Dye dalam Subarsono (2005:2) yang menyatakan kebijakan publik sebagai apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan. Para ahli tersebut menekankan peran pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kebijakan publik dihasilkan oleh organisasi publik dan organisasi publik identik dengan organisasi pemerintah. 2.1.2.1. Model kebijakan publik Menurut Lester dan Stewart (dalam Wahab 2008: 178) ada 2 model kebijakan yang paling baik, yaitu model elitis dan model pluralis. 1. Model Elitis Di sebagian besar negara-negara berkembang dan negara yang mendasarkan diri pada sistem otoriter, seperti misalnya Kuba dan Korea Utara, model elitis merupakan model yang cukup baik untuk menganalisis kebijakan publik yang berlangsung di negara-negara tersebut. Model ini mempuyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan dari elit yang memerintah. Argumentasi pokok dari model ini adalah bahwa bukan rakyat atau “massa” yang menentukan kebijakan publik melalui tuntutan-tuntutan dan tindakan mereka, tetapi kebijakan publik ditentukan oleh elit yang memerintah dan dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan badan-badan pemerintah yang berada di bawahnya. Thomas Dye dan Harmon dalam The Irony of Democracy memberikan suatu ringkasan pemikiran menyangkut model ini, yakni : 1. Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan (power) dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja orang yang mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat sementara massa tidak memutuskan kebijakan. 2. Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para elit ini (the rulling class) biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang ekonominya tinggi. 3. Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elitis sangat pelan dan berkesinambungan untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit yang telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima ke dalam lingkaran yang memerintah. 4. Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem sosial dan pemeliharaan sistem. Misalnya, di Amerika Serikat konsensus elit mencakup perusahaan swasta, hak milik pribadi, pemerintahan terbatas dan kebebasan individu. 5. Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilai-nilai elit yang berlaku. Perubahan-perubahan dalam kebijakan publik adalah secara inkremental daripada secara revolusioner. Perubahan-perubahan secara inkremental memungkinkan tanggapan-tanggapan yang timbul hanya mengancam sistem sosial dengan perubahan sistem yang relatif kecil dibandingkan bila perubahan tersebut didasarkan teori rasional komprehensif. 6. Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang apatis. Sebaliknya, para elit mempengaruhi massa yang lebih besar. Namun demikian, walaupun model ini dapat sangat berguna untuk menjelaskan kebijakan yang berlangsung di negara-negara otoriter, tetapi model ini bersifat agak provokatif. Dalam pandangan model ini, kebijakan merupakan produk elit, merefleksikan nilai-nilai mereka dan membantu tujuan-tujuan mereka. Walaupun salah satu dari tujuan-tujuan itu mungkin merupakan keinginan untuk mernberikan kesejahteraan massa. Model elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan dalam pembentukan kebijakan-kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalam suatu sistem politik beberapa orang memerintah orang banyak, para elit politik yang mempengaruhi massa rakyat dan bukan sebaliknya. Namun demikian, apakah para elit memerintah dan menentukan kebijakan dengan pengaruh yang kecil dari massa merupakan proposisi yang sulit dibuktikan. Untuk mempertahankan proposisi ini secara berhasil seorang ilmuwan politik Robert Dahl mengatakan bahwa orang harus mengidentifikasi “kelompok yang mengendalikan dibandingkan dengan ukuran mayoritas, yang bukan merupakan artefak dari peraturan-peraturan demokratik, suatu minoritas individu-individu yang mempunyai pilihan-pilihan yang secara teratur berlaku dalam kasus-kasus perbedaan pilihan-pilihan tentang masalah-masalah politik pokok. 2. Model Pluralis Berkebalikan dengan model elit yang titik perhatiannya lebih bertumpu pada elit politik, maka model pluralis lebih percaya pada peran subsistem-subsistem yang berada dalam sistern demokrasi. Di negara-negara berkembang model elitis akan cukup memadai untuk menjelaskan proses politik yang berlangsung, namun akan kesulitan dalam menjelaskan proses politik di negara yang mendasarkan diri pada sistem demokrasi, terlebih demokrasi pluralis seperti di Amerika Serikat. Pandangan-pandangan pluralis disarikan dari ilmuwan Robert Dahl dan David Truman. Pandangan pluralis dapat dirangkum dalam uraian berikut: 1. Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individuindividu yang lain dalam proses pembuatan keputusan. 2. Hubungan-hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, hubunganhubungan kekuasaan lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan ini dibuat maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan nampak, hubungan ini akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika keputusan selanjutnya hendak dibuat. 3. Tidak ada pembedaan yang tetap di antara “elit” dan “massa”. Individuindividu yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam suatu waktu tidak dibutuhkan oleh individu yang sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain. Individu masuk dan keluar dalam partisipasinya sebagai pembuat keputusan digolongkan menjadi aktif atau tidak aktif dalam politik. 4. Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi, kesehatan merupakan aset dalam politik, tetapi hanya merupakan salah satu dari sekian banyak aset politik yang ada. 5. Terdapat banyak pusat kekuasaan di antara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan. 6. Kompetisi dapat dianggap berada di antara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut dipandang merefleksikan tawar-menawar atau kompromi yang dicapai di antara kompetisi pemimpin-pemimpin politik. 2.1.3 Implementasi kebijakan Implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan Stewart yang dikutip oleh Winarno, menjelaskan bahwa implementasi kebijakan adalah: “Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Lester dan Stewart dalam Winarno, 2002:101-102). Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk tidak bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat. Implementasi kebijakan menurut Nugroho terdapat dua pilihan untuk mengimplementasikannya, yaitu langsung mengimplementasikan nya dalam bentuk program-program dan melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2003:158). Oleh karena itu, implementasi kebijakan yang telah dijelaskan oleh Nugroho merupakan dua pilihan, dimana yang pertama langsung mengimplementasi dalam bentuk program dan pilihan kedua melalui formulasi kebijakan. Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implmentasi. Meter dan Horn dalam Wahab,(2004:79) juga mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi, yaitu: 1. Ukuran dan tujuan kebijakan. 2. Sumber-sumber kebijakan. 3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana. 4. Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan pelaksanaan. 5. Sikap para pelaksana. 6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik. Keberhasilan suatu implementasi menurut kutipan Wahab dapat dipengaruhi berdasarkan faktor-faktor di atas, yaitu: Kesatu yaitu ukuran dan tujuan diperlukan untuk mengarahkan dalam melaksanakan kebijakan, hal tersebut dilakukan agar sesuai dengan program yang sudah direncanakan. Kedua, sumber daya kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses implementasi kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan waktu (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:142). Sumber-sumber kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber penggerak dan pelaksana kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran pembiayaan kebijakan agar tidak menghambat proses kebijakan. Sedangkan waktu merupakan bagian yang penting dalam pelaksanaan kebijakan, karena waktu sebagai pendukung keberhasilan kebijakan. Sumber daya waktu merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan. Ketiga, keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya. Menurut Subarsono kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor, kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya (Subarsono, 2006:7). Keempat, komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya koordinasi implementasi kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn yang dikutip oleh Wahab bahwa: “Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur administrasi yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yaitu praktik pelaksanaan kebijakan”. (Hogwood dan Gunn dalam Wahab, 2004:77). Berdasarkan teori diatas maka Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya. Kelima, menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Widodo, bahwa karakteristik para pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi (Meter dan Horn dalam Subarsono, 2006:101). Sikap para pelaksana dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai pelaksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap disiplin. Hal tersebut dilakukan karena dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, setiap badan/instansi pelaksana kebijakan harus merasa memiliki terhadap tugasnya masing-masing berdasarkan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya. Keenam, dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino adalah sejauh mana lingkungan eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan, lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi, sosial, dan politik (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:144). Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan suatu implementasi. Untuk mengefektifkan implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka diperlukan adanya tahap-tahap implementasi kebijakan. (M. Irfan Islamy 2000:102-106) membagi tahap implementasi dalam 2 bentuk, yaitu: 1. Bersifat self-executing, yang berarti bahwa dengan dirumuskannya dan disahkannya suatu kebijakan maka kebijakan tersebut akan terimplementasikan dengan sendirinya, misalnya pengakuan suatu negara terhadap kedaulatan negara lain. 2. Bersifat non self-executing yang berarti bahwa suatu kebijakan publik perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan pembuatan kebijakan tercapai. Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab, yaitu mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan. Yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasi maupun usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran (target grup) tetapi memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh pada impelementasi kebijakan negara. 2.1.3.1 Faktor Pendukung dan Penghambat dari Implementasi Kebijakan. Adapun faktor pendukung dari implementasi yaitu; Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak hanya ditujukan dan dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan tetapi ditujukan dan harus dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di lingkungannya. Menurut James Anderson, masyarakat mengetahui dan melaksanakan suatu kebijakan publik dikarenakan : 1. Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan badan-badan pemerintah. 2. Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan. 3. Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah, konstitusional, dan dibuat oleh para pejabat pemerintah yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan. 4. Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan itu lebih sesuai dengan kepentingan pribadi. 5. Adanya sanksi-sanksi tertentu yang akan dikenakan apabila tidak melaksanakan suatu kebijakan. (Suggono, 2000:23) Berdasarkan teori diatas bahwa faktor pendukung implementasi kebijakan harus didukung dan diterima oleh masyarakat, apabila anggota masyarakat mengikuti dan mentaati sebuah kebijakan maka sebuah implementasi kebijakan akan berjalan sesuai tujuan yang telah ditetapkan tanpa ada hambatan-hambatan yang mengakibatkan sebuah kebijakan tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Bambang Sunggono dalam buku Hukum dan kebijakan publik, implementasi kebijakan mempunyai beberapa faktor penghambat, yaitu: 1. Isi kebijakan. Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci, saranasarana dan penerapan prioritas, atau program-program kebijakan terlalu umum atau sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern dari kebijakan yang akan dilaksanakan. Ketiga, kebijakan yang akan diimplementasiakan dapat juga menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan yang sangat berarti. Keempat, penyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi suatu kebijakan publik dapat terjadi karena kekurangan-kekurangan yang menyangkut sumber daya-sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut waktu, biaya/dana dan tenaga manusia. 2. Informasi. Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para pemegang peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat berkaitan untuk dapat memainkan perannya dengan baik.Informasi ini justru tidak ada, misalnya akibat adanya gangguan komunikasi. 3. Dukungan. Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan tersebut. 4. Pembagian potensi. Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian wewenang dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas. (Sunggono,2000: 149-153). Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain, tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat harus sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Sehingga apabila perilaku atau perbuatan mereka tidak sesuai dengan keinginan pemerintah atau negara, maka suatu kebijakan publik tidaklah efektif. 2.1.4 Ketenagakerjaan Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan masalah tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja. Hukum ketanagakerjaan mempunyai fungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang menyalurkan arah kegiatan manusia kearah yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pembangunan ketenagakerjaan. Pembangunan ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan pembangunan nasional diarahkan untuk mengatur, membina dan mengawasi segala kegiatan yang berhubungan dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya ketertiban untuk mencapai keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju perkembangan pembangunan yang semakin pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan industrial dan peningkatan perlindungan tenaga kerja. Sebagaimana menurut fungsinya sebagai sarana pembaharuan, hukum ketenagakerjaan merubah pula cara berfikir masyarakat yang kuno kearah cara berfikir yang modern yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembangunan sehingga hukum ketenagakerjaan dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat membebaskan tenaga kerja dari perbudakan, peruluran, perhambaan, kerja paksa dan punale sanksi, membebaskan tenaga kerja dari kehilangan pekerjaan, memberikan kedudukan hukum yang seimbang dan kedudukan ekonomis yang layak kepada tenaga kerja. 2.1.5 PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) Menurut Kep.Men No. 150 Tahun 2000 dan UU No. 13 tahun 2003 PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha. Tergantung alasannya, PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena pekerja tidak mengetahui hak mereka. Pekerja kontrak dan tetap : Pengaturan kompensasi PHK berbeda untuk pekerja kontrak (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu-PKWT) dan pekerja tetap (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu-PKWTT). Dalam hal kontrak, pihak yang memutuskan kontrak diperintahkan membayar sisa nilai kontrak tersebut. Sedangkan bagi pekerja tetap, diatur soal wajib tidaknya pengusaha memberi kompensasi atas PHK tersebut. Dalam PHK terhadap pekerja tetap, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja. Kewajiban ini hanya berlaku bagi pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerja untuk waktu tidak tertentu. Pekerja dengan kontrak mungkin menerima pesangon bila diatur dalam perjanjiannya. 2.1.5.1 PHK Sukarela Pekerja dapat mengajukan pengunduran diri kepada pengusaha secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, pekerja harus memenuhi syarat: Mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya, tidak ada ikatan dinas, tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri. Pekerja yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Pekerja mungkin mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat antara pekerja dan pengusaha, terkait apakah pekerja yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan penghargaan masa kerja. 2.1.5.2 PHK Tidak Sukarela a. PHK oleh Pengusaha Seseorang dapat dipecat (PHK tidak sukarela) karena bermacam hal, antara lain rendahnya performa kerja, melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan pengusaha. Tidak semua kesalahan dapat berakibat pemecatan. Hal ini tergantung besarnya tingkat kesalahan. Pengusaha dimungkinkan memPHK pekerjanya dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Ini, setelah sebelumnya kepada pekerja diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Surat peringatan masingmasing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Pengusaha dapat memberikan surat peringatan kepada pekerja untuk berbagai pelanggaran dan menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran. Pengusaha dimungkinkan juga mengeluarkan misalnya SP 3 secara langsung, atau terhadap perbuatan tertentu langsung memPHK. Hal ini dengan catatan hal tersebut diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja bersama (PKB), dan dalam ketiga aturan tersebut, disebutkan secara jelas jenis pelanggaran yang dapat mengakibatkan PHK b. Kesalahan Berat (Pasal 158) Semenjak Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat. Berdasarkan asas praduga tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK apabila pekerja terbukti melakukan kesalahan berat yang termasuk tindak pidana. Atas putusan MK ini, Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha memberikan penjelasan tentang akibat putusan tersebut. Yang termasuk kesalahan berat ialah: 1. Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan. 2. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan; 3. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja. 4. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja. 5. Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja. 6. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan. 7. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja, 8. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara, atau 9. Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. c. Permohonan PHK oleh Pekerja Pekerja juga berhak untuk mengajukan permohonan PHK ke LPPHI bila pengusaha melakukan perbuatan seperti : 1. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja, 2. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, 3. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih, 4. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja, 5. Memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, 6. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja. d. PHK oleh Hakim PHK dapat pula terjadi karena putusan hakim. Apabila hakim memandang hubungan kerja tidak lagi kondusif dan tidak mungkin dipertahankan maka hakim dapat melakukan PHK yang berlaku sejak putusan dibacakan. e. PHK karena Peraturan Perundang-undangan Pekerja yang meninggal dunia, Perusahaan yang pailit, dan force majeure merupakan alasan PHK diluar keinginan para pihak. Meski begitu dalam praktek force majeure sering dijadikan alasan pengusaha untuk mem-PHK pekerjanya. 2.1.5.3 Mekanisme PHK Pekerja, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha pekerja/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI). Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah: a. Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya. b. Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali. c. Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundangundangan. d. Pekerja meninggal dunia. e. Pekerja ditahan. f. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan pekerja melakukan permohonan PHK. Selama belum ada penetapan dari LPPHI, pekerja dan pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak pekerja. 2.1.5.4 Perselisihan Tenaga Kerja Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan tenaga kerja yang didalamnya terdapat perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara pekerja dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK. Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang : 1. Perundingan Bipartit Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan. Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlunya mendaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan salah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit. 2. Perundingan Tripartit Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak: a. Mediasi Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas Tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran. b. Konsiliasi Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran. c. Arbitrase Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer. 3. Pengadilan Hubungan Industrial Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar. Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya: a. Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak, b. Perselisihan kepentingan dan c. Perselisihan antar serikat pekerja. d. Kasasi (Mahkamah Agung) Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung, untuk diputus. 2.1.5.5 Kompensasi PHK Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya. Perhitungan uang pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut : 1. Masa Kerja Uang Pesangon masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah; a. Masa kerja 1 - 2 tahun, 2 (dua) bulan upah; b. Masa kerja 2 - 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah; c. Masa kerja 3 - 4 tahun 4 (empat) bulan upah; d. Masa kerja 4 - 5 tahun 5 (lima) bulan upah; e. Masa kerja 5 - 6 tahun 6 (enam) bulan upah; f. Masa kerja 6 - 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah. g. Masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah; h. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah. 2. Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut : a. Masa Kerja UPMK b. Masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah; c. Masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah; d. Masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah; e. Masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah; f. Masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah; g. Masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah; h. Masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah; i. Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah 3. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi : a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur; b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja; c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat; d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 4. Alasan PHK dan Hak Atas Pesangon Besaran Perkalian pesangon, tergantung alasan PHKnya. Besaran Pesangon dapat ditambah tapi tidak boleh dikurangi. Besaran Pesangon tergantung alasan PHK sebagai berikut: a. Masa percobaan -Tidak berhak kompensasi b. Mengundurkan diri (kemauan sendiri) -Berhak atas UPH c. Tidak lulus nya PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ) -Tidak Berhak atas Kompensasi d. Pekerja melakukan kesalahan berat - Berhak atas UPH e. Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau Peraturan Perusahaan- ­1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH f. Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya. Tergantung kesepakatan g. Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan) - 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH h. PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure- 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH i. PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi. - 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH j. Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pekerja tidak mau melanjutkan hubungan kerja- 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH k. Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pengusaha tidak mau melanjutkan hubungan kerja - 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH l. Perusahaan pailit - 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH m. Pekerja meninggal dunia- 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH n. Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut - UPH dan Uang pisah o. Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan) - 2 kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH p. Pekerja memasuki usia pensiun - Sesuai Pasal 167 UU 13/2003 q. Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan)- 1 kali UPMK dan UPH r. Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah - 1 kali UPMK dan UPH Contoh : A yang tinggal di Samarinda telah bekerja selama sepuluh tahun di PT B yang juga berdomisili di Samarinda, dengan upah Rp 3 juta per bulan. Ia kemudian di PHK perusahaannya karena melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja. Maka, ia berhak atas kompensasi sebesar: UP = Rp3.000.000,- x 1x9 = 27.000.000, (3 juta Dikali 1 UP (karena melanggar Perjanjan kerja) dikalikan dengan 9 bulan upah) UPMK= Rp3.000.000 x1x 4= 12.000.000,- (tiga juta kali 4 bulan upah, karena masa kerja 10 tahun UPH = 15% (uang penggantian perumahan dan pengobatan) x (27 juta +12juta) =Rp5.850.000,Total Kompensasi = UP + UPMK + UPH 27.000.000+ 12.000.000 + 5.850.000 = 44.850.000,- 2.2 Definisi Konsepsional Sesuai dengan judul penelitian ini, maka penulis memberikan batasan pengertian konsep sebagai berikut : Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan dalam menghadapi masalah PHK Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan adalah sebagai mediator didalam permasalahan PHK antara perusahaan dengan buruh yang disebabkan karena PHK tidak sukarela, mekanisme PHK, perselisihan tenaga kerja, dan kompensasi PHK sehingga terciptanya keputusan dan kesepakatan yang baik diantara keduanya dan tidak merugikan pihak manapun. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis penelitian Dalam penelitian ini penulis memakai penelitian Deskriptif Kualitatif. Data kualitatif yaitu, data yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik berwujud pertanyaan atau berupa kata-kata. Data ini biasanya didapat dari wawancara dan bersifat subjektif sebab data tersebut ditafsirkan lain oleh orang yang berbeda (Riduan, 2003: 57). Data kualitatif dapat diberi dalam bentuk ordinal atau rangking (skala yang diurutkan dari jenjang terendah atau sebaliknya). Penulis menggunakan jenis penelitian ini dengan tujuan memaparkan dan untuk memberikan gambaran serta penjelasan dari variable yang diteliti, dalam hal ini adalah Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan (Implementasi Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan) 3.2 Fokus Penelitian Dijelaskan oleh Moleong (2000;63) pada dasarnya penelitian kualitatif dimulai oleh sesuatu yang kosong tetapi berdasarkan presepsi seseorang terhadap adanya suatu masalah. Demikian pula di dalam alam ini tidak ada masalah tetapi hanyalah manusia itu sendiri yang mempresepsikan adanya masalah itu. Dari penjelasan diatas dan berdasarkan masalah yang diteliti serta tujuan penelitian, maka yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan (Implementasi Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan) adalah : a. PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja) tidak sukarela b. Mekanisme PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja) c. Perselisihan tenaga kerja d. Kompensasi 2. Faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan (Implementasi Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan) 3.3 Tempat Penelitian Adapun yang menjadi lokasi penelitian, dalam penelitian ini adalah Dinas Sosial Dan Tenaga Kerja Kota Tarakan, yang berada dijalan Teuku Umar Rt.14 No. 45 Kelurahan Pamusian Tarakan Tengah. 3.4 Sumber Data Menurut Arikunto (2003:114) sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data diperoleh. Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah: 1. Data Primer Adalah data yang diperoleh melalui narasumber dengan cara melakukan wawancara secara langsung dan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan fokus penelitian. Dalam penelitian ini untuk memperoleh data primer harus ada pemilihan narasumber, menurut Sugiyono (2006: 96-97) dapat melalui dua metode sampling yaitu sebagai berikut: a. Purposive Sampling Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel atau orang yang memiliki kekuasaan, pengetahuan, atau yang mengetahui tentang apa yang ingin diteliti. Purposive sampling dilakukan untuk mencari narasumber sebagai Key informan dan informan. Dalam penelitian ini yang menjadi Key informan yaitu Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan, dan yang menjadi informannya adalah Pegawai Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan b. Accidental Sampling Accidental sampling merupakan teknik pemilihan sampel dari siapa saja yang kebetulan ada atau yang kebetulan beraktivitas terkait dengan penelitian. Dalam teknik penelitian ini yang menjadi sampel adalah Para Pekerja yang telah di PHK dan Serikat buruh. 2. Data Sekunder Adalah data yang diperoleh melalui beberapa sumber informasi, antara lain meliputi: a. Dokumen-dokumen, b. Buku-buku ilmiah, hasil penelitian dan media masa yang relevan dengan fokus penelitian. 3.5 Teknik pengumpulan data Dalam suatu penelitian diperlukan teknik pengumpulan data untuk mendapatkan data-data yang akurat. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian keperpustakaan (Library Research) Yaitu cara mengumpulkan data dengan memanfaatkan perpustakaan sebagai sarana dala mengumpulkan data dengan mempelajari buku-buku dan hasil penelitian orang lain sebagai bahan referensi 2. Penelitian lapangan (Field Work Research) Yaitu cara mengumpulkan data dengan terjun langsung ke lapangan dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu: a. Observasi Yaitu cara mengumpulakan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaannya langsung pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi terjadi. b. Wawancara Yaitu cara untuk mendapatkan data-data dengan melakukan interview atau tanya jawab dengan orang-orang yang merupakan sumber keterangan dan mengetahui Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. c. Dokumen Yaitu cara mengumpulkan data melalui catatan-catatan peristiwa yang telah berlalu yang dapat membentuk tulisan, gambar atau rekaman-rekaman yang ada pada seseorang, suatu instansi ataupun pada suatu lembaga yang relevan dengan objek penelitian ini. 3.6 Analisis Data. Analisis data sangat penting dalam suatu penelitian karena didalam analisis data dilakukan pengorganisasian terhadap data yang terkumpul dilapangan. Sesuai dengan jenis penelitian, termasuk penelitian deskriptif dimaksud menggambarkan fenomenafenomena yang terjadi dilapangan terutama berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Data Model Interaktif (Interactive Model Of Analisis) menurut Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2005:92), menggambarkan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Analisis data kualitatif ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang dikerjakan secara bersamaan yaitu : Reduksi Data, Penyajian Data, Penarikan Kesimpulan, atau Verifikasi. Seperti terlihat pada gambar berikut ini : Gambar 2 Analisis Data Model Interaktif Sumber : Milles dan Huberman dalam Sugiyono (2005:92) Adapun penjelasan dari gambar analisis dan model interaktif yang dikembangkan Milles dan Huberman dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Pengumpulan data (data collection): merupakan kegiatan awal yang berupa mengumpulkan data mentah dari suatu penelitian. 2. Penyajian data (data display): Peneliti mengembangkan sebuah deskripsi informasi tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan. Display data atau penyajian data yang lazim digunakan pada langkah ini adalah dalam bentuk teks naratif. 3. Reduksi data (data reduction): dalam tahap ini peneliti melakukan pemilihan, dan pemusatan perhatian untuk penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data kasar yang diperoleh. 4. Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification): Peneliti berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi dengan mencari makna setiap gejala yang diperolehnya dari lapangan, mencatat keteraturan dan konfigurasi yang mungkin ada, dari fenomena, dan proposisi. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Kantor Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan kini sudah berusia 41 Tahun lamanya berdiri atau berada di Kota Tarakan sejak tahun 1970, dengan nama Kantor Resort Tenaga Kerja yang dahulu berada di alamat Jalan Jenderal Sudirman dengan menyewa Kantor Angkatan Laut yaitu bersebelahan dengan gedung Gita Jalatama. Dan berdasarkan Keputusan Walikota Tarakan No. 08 Tahun 2008 Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sekarang mempunyai Gedung sendiri di Jalan Teuku Umar Rt.14 No.45 Kelurahan pamusian Tarakan Tengah. 4.1.1.1 Tugas Pokok dan Fungsi 1. Tugas Pokok. Berdasarkan Keputusan Walikota Tarakan No.08 Tahun 2008 tentang Tugas Pokok dan Fungsi serta Tata Kerja Organisasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja mempunyai tuga pokok yaitu melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah di bidang Sosial dan Ketenagakerjaan. 2. Fungsi. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan mempunyai fungsi : a. Melakukan pelaksanaan pembinaan kewenangan di bidang ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. b. Penyusunan pelaksanaan rencana dan program di bidang pembinaan teknis dan bimbingan teknis ketenagakerjaan. c. Melakukan pengelolaan, penyelenggaraan penyuluhan ketenagakerjaan. d. Melakukan pengawasan, pengendalian dan pemantauan terhadap palayanan perizinan dibidang ketenagakerjaan. e. Melakukan penyuluhan dan pelatihan keterampilan ketenagakerjaan. f. Melakukan pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. g. Melaksanakan penetapan pedoman pembinaan terhadap syarat-syarat kerja, jaminan sosial dan kesejahteraan tenaga kerja dan masyarakat. h. Melaksanakan penyelesaian hubungan ketenagakerjaan dan penyelesaian pemutusan hubungan kerja. i. Melaksanakan kewajiban tentang pelayanan bidang sosial dan ketenagakerjaan. j. Melaksanakan pengawasan pelaksanaan norma khusus dibidang ketenagakerjaan termasuk keselamatan dan kesehatan kerja, hiperkes, jaminan sosial tenaga kerja, pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Luar Negeri dan penggunaan tenaga kerja asing. k. Pengelolaan administrasi umum meliputi penyususnan program ketenagakerjaan, sosial, keuangan, kepegawaian, peralatan, dan perlengkapan. l. Perumusan, pengkoordinasian dan pelaksanaan kebijakan pengembangan kelembagaan kesejahteraan sosial. m. Melaksanakan rehabilitasi dan pelayanan sosial yang meliputi pembinaan anak dan lanjut usia, rehabilitasi penyandang cacat dan rehabilitasi tunasusila 4.1.1.2 Struktur Organisasi Dengan keputusan Walikota Tarakan No. 08 Tahun 2008 Dinas Sosial dan Tenaga Kerja memiliki struktur organisasi sebagai berikut: 1. Kepala Dinas Kepala Dinas Sosial merupakan unsur pempinan yang mempunyai tugas pokok memimpin, membina, dan mengkoordinasikan serta mengendalikan dan mengevaluasi kegiatan penyusunan, perumusan, perencanaan, kebijakan teknis operasional program pengembangan, peningkatan penyelenggraan dan pemberian pelayanan umum dibidang kesejahteraan sosial meliputi urusan kesekretariatan, urusan pelayanan, serta pemberdayaan potensi sumber kesejahteraan sosial yang searah kebijakan umum daerah. 2. Sekretaris Sekretaris merupakan unsur pembantu dan pelaksana pelayanan administrasi mempunyai tugas pokok memimpin, membina, dan mengkoordinasi perumusan kebijakan teknis kesekretariatan yang meliputi urusan administrasi penganggaran, akuntansi, pengelolaan keuangan, surat menyurat, kearsipan, rumah tangga, perlengkapan, kehumasan, kepegawaian, penyusunan program kedinasan, monitoring, evaluasi, dan pelaporan serta kegiatan umum lainnya sesuai dengan arahan Kepala Dinas sesuai kebijakan umum daerah. Dalam melaksanakan fungsi dan perannya sekretaris dibantu oleh: a. Sub bagian umum b. Sub bagian keuangan c. Sub bagian perencanaan program. 3. Bidang Kesejahteraan Sosial Bidang Kesejahteraan Sosial ini mempunyai tugas teknis yang mempunyai tugas pokok memimpin, membina, mengkoordinasi pelayanan perumusan kebijakan dalam memberikan pelayanan teknis manajemen kesejahteraan sosial dengan penyelenggaraan kegiatan teknis pelayanan dan rehabilitasi sosial sesuai ruang lingkup tanggung jawab dan kewenangannya yang diarahkan oleh kepala dinas sesuai kebijakan umum daerah. Dalam menyelenggarakan tugas pokoknya kepala bidang kesejahteraan sosial dibantu oleh: a. Seksi kesos dan pembinaan kehidupan beragama b. Seksi rehabilitasi sosial 4. Bidang Tenaga Kerja Bidang tenaga kerja bertugas dan pelaksana pelayanan teknis yang mempunyai tugas pokok memimpin, mengkonsultasikan, merencenakan mengevaluasi, membina, operasional, mengendalikan, mengkoordinasikan, mengawasi melaporkan kegiatan selaku Kepala Bidang Tenaga Kerja. Dalam menyelenggarakan tugas pokoknya bidang tenaga kerja dibantu oleh: dan a. Seksi penempatan dan perluasan. b. Seksi hubungan dan pembinaan. c. Seksi pengawasan tenaga kerja. Keadaan SDM berdasarkan tingkat pendidikan pada Disosnaker adalah Tabel 4.1 SDM Di Disosnaker Berdasarkan tingkat pendidikan Pendidikan Jumlah Pegawai Persentase No. 1. Pasca Sarjana (S2) 2 Orang 3% 2. Sarjana (S1) 25 Orang 37 % 3. D3 1 Orang 2% 4. SMA 35 Orang 53% 5. SMP 1 Orang 2% 6. SD 2 Orang 3% 66 Orang 100% Jumlah Sumber : Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan Tahun 2012 Dari tabel diatas menujukkan bahwa jumlah pegawai berdasarkan tingkat pendidikan dari yang tertinggi yaitu Pasca Sarjana(S2) sebanyak 2 orang dengan presentasi 3 %, lalu tingkat pendidikan Sarjana (S1) sebanyak 25 orang dengan presentase 37%, dilanjutkan dengan tingkat pendidikan D3 hanya ada 1 orang dengan presentase 2%, lalu dengan tingkat pendidikan SMA sebanyak 35 orang dengan presentase 53%, dilanjutkan dengan tingkat pendidikan SMP sebanyak 1 orang dengan presentase 2%, dan tingkat pendidikan SD sebanyak 2 orang dengan presentase 3 %. Jadi, dari daftar tabel diatas dapat terlihat bahwa SDM di Disosnaker kota Tarakan memiliki tingkat pendidikan terbanyak yaitu dari tingkat SMA sebanyak 35 oarang dengan presentase 35%. Berikut jumlah pegawai Dinas Sosial dan Tenaga Kerja berdasarkan tingkat golongan : Tabel 4.2 Jumlah pegawai Disosnaker berdasarkan golongan No Golongan Pegawai Jumlah pegawai Presentase 1. IV b 2 Orang 3% 2. IV a 3 Orang 4% 3. III d 7 Orang 11% 4. III c 6 orang 9% 5. III b 2 orang 3% 6. III a 11 orang 17% 7. II d 4 orang 6% 8. II c 13 0rang 20% 9. II b 2 Orang 3% 10. II a 6 Orang 9% 11. PTTB 10 Orang 15% Jumlah 66 Orang 100% Sumber : Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan Tahun 2012 Dari tabel diatas dapat disimpulkan yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan mempunyai golongan tertinggi yaitu IVb sebanyak 2 orang dengan presentase 3 %, lalu golongan IVa sebanyak 3 orang denga presentase 4%, dilanjutkan dengan golongan IIId sebanyak 7 orang dengan presentase 11%, golongan IIIc sebanyak 6 orang dengan presentase 9%, golongan IIIb sebanyak 2 orang dengan presentase 3%, golongan IIIa sebanyak 11 orang dengan presentase 17%, golongan IId sebanyak 4 orang dengan presentase 6%, golongan IIc sebanyak 13 orang dengan presentase 20%, golongan IIb sebanyak 2 orang dengan presentase 3%, golongan IIa sebanyak 6 orang dengan presentase 9% dan PTTB sebanyak 10 orang dengan presentase 15%. Jadi, dari data diatas dapat dilihat kesimpulan bahwa presentase pegawai di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja terbanyak terdapat di golongan IIc sebanyak 13 orang dengan presentase 20%. 4.1.1.3 Sarana dan Prasarana Untuk menunjang kegiatan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan dilengkapi dengan sarana dan prasarana berupa tanah, bangunan kantor, kendaraan roda 4, kendaraan roda 2, Note book / Laptop, PC unit, monitor, printer, keyboard, mesin ketik manual, pesawat telepon, faxcimile, AC, handy came, wireless, meja dan kursi kerja, Sarana dan prasarana tersebut sebagian dalam kondisi baik dan diharapkan semuanya dapat dimanfaatkan secara optimal. 4.1.1.4 Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran 1. Visi Dalam mengantisipasi tantangan kedepan menuju kondisi yang diinginkan, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan sebagai organisasi yang membantu Pemerintah Kota Tarakan perlu secara terus menerus mengembangkan peluang dan inovasi baru. Perubahan tersebut harus disusun dalam tahapan yang terencana, kosisten, dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan akuntabilitas kinerja yang berorientasi pada pencapaian hasil atau manfaat. Sehubungan dengan itu Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan harus mempunyai visi sebagai cara pandang jauh ke depan tentang kemana Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan akan diarahkan dan apa yang akan dicapai agar dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Sejalan dengan Visi Pemerintah Kota Tarakan yaitu “Kota Pusat Pelayanan, Perdagangan Dan Jasa Yang Sehat, Berbudaya, Adil, Sejahtera, Dan Berkelanjutan”, maka VISI Dinas Sosial dan Tenaga Kerja adalah ”Terwujudnya Pelayanan Kesejahteraan Sosial Dan Ketenagakerjaan Yang Profesional Demi Terciptanya Masyarakat Yang Mandiri Dan Hubungan Industrial Yang Sehat Menuju Kota Jasa Dan Perdagangan”. Nilai-nilai inti yang terkandung dalam pernyataan visi tersebut adalah: a. Pelayanan adalah proses kegiatan yang memberikan kemudahan bagi masyarakat atau lembaga yang berurusan di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. b. Pembinaan, suatu lembaga yang diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk membina suatu hubungan kerja, baik sebelum, selama dan setelah selesainya suatu hubungan kerja, yang muara akhirnya adalah memberikan perlindungan terhadap semua pelaku program. c. Hubungan Industrial, adalah sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam proses produksi barang dan jasa yang berdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. d. Profesional, bahwa segala potensi yang dimiliki Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan akan dimanfaatkan secara optimal dan akurat sehingga hasil akhir dari suatu tugas membawa suatu pengaruh terhadap perubahan-perubahan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Visi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. Untuk mewujudkan Kota Tarakan sebagai kota pusat pelayanan perdagangan dan jasa maka Pemerintah Kota Tarakan dengan segenap jajarannya wajib memiliki perencanaan pembangunan yang dapat diandalkan sebagai kerangka/acuan operasional pembangunan kota jasa dan perdagangan. Keadaan seperti ini yang harus dimiliki Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. 2. Misi Misi merupakan sesuatu yang harus diemban dan dilaksanakan oleh organisasi pemerintah sesuai dengan visi yang ditetapkan agar tujuan organisasi dapat terlaksanan dan berhasil dengan baik. Dengan pernyataan misi ini diharapkan seluruh pegawai dan pihak yang berkepentingan dapat mengenal organisasinya dengan baik, mengetahui peran dan program-programnya serta hasil yang akan diperoleh di waktu-waktu yang akan datang. Dengan adanya misi diharapkan seluruh aparat dan masyarakat dapat mengenal instansi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dan ikut berperan dalam programprogramnya agar diproleh hasil sesuai yang diharapkan. Perumusan misi dilakukan dengan memperhatikan masukan dari pihak yang berkepentingan dan memberikan peluang untuk perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan. Adapun misi Dinas Sosial adalah: a. Mengembangkan kemudahan memperoleh informasi ketenagakerjaan sebagai upaya pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya. b. Membina dan mengembangkan Lembaga yang menangani pelatihan dan kesehatan kerja, serta Perselisihan Hubungan Industrial. c. Mengadakan pelatihan secara rutin dan terarah dalam rangka meningkatkan SDM dibidang Tenaga Kerja dan masyarakat umum untuk mengatasi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. d. Menciptakan hubungan industrial yang kondusif dan harmonis, termasuk penciptaan lingkungan kerja yang aman dan sehat. e. Meningkatkan peran aktif dan prakarsa masyarakat dalam rangka menuju pembangunan kesejahteraan sosial. 3. Tujuan Tujuan merupakan implementasi atau penjabaran dari misi dan merupakan sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan pada kurun waktu tertentu. Bedasarkan uraian di atas, maka Dinas Sosial dan Tenaga Kerja menetapkan tujuan sebagai berikut: a. Idealistik artinya adalah suatu pemahaman dan keyakinan yang kuat akan suatu dan untuk mewujudkan keadaan menjadi lebih baik dan berhasil. b. Jangkauan ke depan dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih sebagaimana yang ditetapkan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. c. Abstrak, bahwa tujuan sebelum tergambar secara kuantitatif, tetapi menunjukkan suatu kondisi yang ingin dimasa yang akan dating. d. Konsisten, yaitu tujuan harus konsisten sesuai dengan tugas pokok dan fungsi organisasi. e. Mempertajam tujuan umum seluruh unit organisasi. f. Mewakili tujuan umum seluruh unit organisasi. 4. Sasaran Sasaran merupakan dari tujuan secara terukur yang akan dicapai secara merata dan nyata dalam jangka waktu setahun, semesteran atau bulanan. Sasaran merupakan bagian integral dalam proses perencanaan strategi yang terfokus pada tindakan. Fokus utama sasaran adalah tindakan dan alokasi sumber data dalam kegiatan organisasi/pemerintah daerah. Sasaran bersifat spesifik, dapat dinilai, dapat diukur, menantag namun dapat di capai, berorientasi pada hasil dan dapat dicapai dalam priode satu tahun. Bedasarkan pengertian tersebut, sasaran Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan dalam kebijaksanaannya ialah: a. Pengembangan Sistem IPK dan Penyususnan PTKT. b. Pengembangan Pelayanan di Bidang KT. c. Pengembangan Sistem Informasi Ketenagakerjaan. d. Pengembangan Pembinaan dan Perlindungan Tenaga Kerja. e. Pengembangan aparatur pegawai perantara/pengawas. Sasaran pembangunan kesejahteraan tenaga kerja memiliki program operasional sebanyak lima program resmi yaitu: a. Penyususnan sistem IPK dan PTKT. b. Penyusunan Raperda tentang Retribusi Pelayanan KT. c. Peningkatana sistem informasi tentang ketenagakerjaan. d. Peningkatan pembinaan dan pengawasan KT. e. Peningkatan kualitas aparatur pegawai perantara dan petugas. Untuk mengatur capaian kerja sebagaimana yang telah ditatapkan dalan Rencana Strategis tahun 2012/2013, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan menetapkan rencana dari masing-masing sasaran serta kegiatan yang harus dicapai sesuai dengan Rencana Kinerja. Perencanaan kinerja merupakan proses penyusunan Rencana Kinerja sebagai penjabaran dari sasaran dan program yang telah ditetapkan dalam rencana strategis oleh instansi yang bersangkutan melalui berbagai kegiatan secara tahunan. 4.2 Hasil Penelitian Pada bagian ini penulis menyajikan data berdasarkan cerita asli para informan dan responden menurut bahasa, pandangan, dan ungkapan oleh mereka sebagai karyawan dan para masyarakat yang mengadukan kasus PHK pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan. Dimana kemudian penulis mendeskripsikan Keputusan Menteri No. 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan dalam menghadapi masalah PHK (pemutusan hubungan kerja) pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan telah diperoleh data-data sebagai berikut : 4.2.1. Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan (Implementasi Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan) Dalam hal ini Keputusan Menteri No.150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan dalam menghadapi masalah PHK (pemutusan hubungan kerja) pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan, penulis akan menjabarkan hasil penelitian berdasarkan beberapa fokus penelitian, sebagai berikut : 4.2.1.1. PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja) tidak sukarela) PHK tidak sukarela merupakan suatu tindakan pemutusan hubungan kerja yang terjadi dari perusahaan kepada para karyawan. Seseorang dapat dipecat (PHK tidak sukarela) karena bermacam hal, antara lain rendahnya performa kerja, melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kebijakankebijakan lain yang dikeluarkan pengusaha. Dalam PHK terhadap pekerja tetap, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja. Kewajiban ini hanya berlaku bagi pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerja untuk waktu tidak tertentu. Pekerja dengan kontrak mungkin menerima pesangon bila diatur dalam perjanjiannya. Berikut wawancara penulis kepada PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Penulis menanyakan penyelesaian apa yang diberikan pihak Dinas Sosial dan Tenaga Kerja terhadap penyelesaian permasalahan PHK tidak sukarela, Bapak Drs. H. Zaini menjawab : “Jadi, penyelesaian PHK yang kami berikan kepada para buruh yang telah di PHK ialah menyelesaikan segala sesuatu yang mengikuti peraturan UndangUndang No.13 tahun 2003, seperti menyarankan para pengusaha dengan para buruh melakukan perundingan secara musyawarah, apabila tidak terdapat kesepakatan maka dinas akan membuatkan anjuran kepada kedua belah pihak, setelah itu pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.” (wawancara tanggal 26 Desember 2012) Berdasarkan hasil wawancara diatas dengan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kota Tarakan, mengenai pemutusuan hubungan kerja penyelesaian PHK tidak sukarela, dinas berpedoman dengan UU yang terdapat di dalam UU No. 13 Tahun 2003. Jadi, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja akan bekerja mengikuti landasan UU No. 13 Tahun 2003 seperti melakukan memberikan saran kepada pengusaha dengan pekerja agar dapat menyelesaikan khasus dengan cara musyawarah terlebih dahulu, apabila tidak terdapat titik temu maka khasus akan diselesaikan melalui bidang PHI. Berikut ini data khasus PHK yang yang didapatkan dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan yang terjadi selama tahun 2012. Tabel 4.3 Data khasus PHK dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan NO KHASUS JUMLAH 1. Melanggar peraturan/ Melanggar perjanjian bersama (PKB) 7 orang 2. Mangkir dari pekerjaan/ tidak disiplin 21 orang Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan Tahun 2012 Jadi, total pekerja yang di PHK dari bulan Januari sampai dengan Desember 2012 di Kota Tarakan adalah sebanyak 28 orang. Kemudian penulis melanjutkan wawancara dengan salah satu karyawan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di bidang Hubungan Industrial dengan pertanyaan, bagaimana cara bapak menyelesaikan khasus PHK tidak sukarela yang terjadi selama ini, bapak Immanuel. P,St tersebut menjawab : “kami akan bertanya kepada pelapor, bagaimana sebenarnya kejadian sehingga pekerja tersebut sampai di PHK, lalu kami akan memproses khasusnya. Dengan landasan Undang-undang No.13 Tahun 2003 dan UU No. 02 tahun 2004. Setelah itu kami akan memanggil kedua belak pihak yaitu pihak pengusaha dengan pekerja dan kami menyarankan agar khasus tersebut sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu secara bipatrit/musyawarah. Apabila dalam 7 hari masa kerja tidak terdapat kesepakatan maka akan kami akan mengadakan anjuran dan menyelesaikan khasus tersebut dengan menggunakan mediator.” (wawancara tanggal 26 Desember 2012) Serta berikut wawancara penulis dengan salah satu masyarakat yang berada sedang berada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yang telah di PHK bernama Bapak Suandi, penulis menanyakan apa penyebab bapak di PHK secara tidak sukarela, Bapak Suandi menjawab : “Saya di PHK karena saya telah lalai dalam menyetir kendaraan yang dimiliki oleh perusahaan, saya menabrak pohon karena pada saat itu hujan turun sangat deras sehingga saya tidak dapat berkonsentrasi dalam berkendara. Tetapi perusahaan tidak menerima alasan saya mengapa kecelakaan tersebut dapat terjadi, sehingga saya di PHK” (wawancara tanggal 26 Desember 2012)” Lalu berikut wawancara penulis kepada Bapak Suandi, penulis menanyakan penyelesaian apa yang diberikan pihak Dinas Sosial dan Tenaga Kerja terhadap penyelesaian permasalahan PHK tidak sukarela yang bapak alami, Bapak Suandi menjawab : “Penyelesaian yang saya dapatkan dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yaitu, saya dipertemukan dengan pihak perusahaan dan dinas menyarankan bahwa khasus ini diselesaikan dengan cara bipatrit/ kekeluargaan antara saya dengan perusahaan. Itu sudah kami lakukan, tetapi tidak juga mendapat titik temu, Karena perusahaan tidak mau membayar hak penuh saya. Jadi, sampai hari ini saya masih menunggu keputusan yang jelas dari para mediator dengan pengusaha bagaimana hasil akhir dari hak saya sewaktu saya masih bekerja.” (wawancara tanggal 26 Desember 2012) Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Suandi mengenai proses penyelesaian PHK yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan, penulis tertarik mengajukan pertanyaan kepada Serikat Pekerja/ Buruh yang pada saat itu ketua SP/SB sedang berada di Dinas sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. Penulis bertanya, bagaimanakah cara bapak untuk membantu para buruh dalam khasus PHK tidak sukarela, bapak Daud mengatakan : “Cara saya membantu para buruh dalam menghadapi khasus PHK ialah saya akan berperan penuh menjadi wali dari buruh dalam berbicara kepada pihak perusahaan dan saya akan berjuang mati-matian dalam membela hak para buruh., sehingga para buruh dapat mendapatkan hak yang seharusnya diperoleh..” (wawancara tanggal 26 Desember 2012) Dari beberapa wawancara yang telah dikumpulkan, kesimpulan dari segala wawancara yang dilakukan penulis dengan Kepala Dinas, pegawai, buruh dengan Serikat Pekerja, dapat diketahui bahwa penyelesaian PHK yang dilakukan secara tidak sukarela ialah mempertemukan kedua belah pihak yaitu pihak pengusaha dengan pekerja dan mencoba menyelesaikan khasus dengan kekeluargaan, apabila tidak ditemukannya titik temu maka khasus akan diserahkan kepada bidang PHI dan mediator memiliki hak penuh dalam penyelesaian dari khasus tersebut dan penyelesaian khasus tersebut harus dilakukan sesuai dengan pedoman UU No. 13 Tahun 2003, UU No. 02 Tahun 2004 dan Kep.Men No.150 Tahun 2000. Tetapi dalam wawancara dengan bapak Suandi dapat kita lihat bahwa perusahaan benarbenar tidak adil dalam khasus pembayaran hak yang sudah seharusnya diperoleh oleh buruh tersebut. Tetapi dengan adanya bantuan dari Serikat Buruh, maka ada sedikit titik cerah bagi buruh tersebut untuk mendapatkan hak yang seharusnya diperoleh. 4.2.1.2. Mekanisme PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja) Mekanisme PHK adalah suatu proses penyelesaian hubungan kerja melalui tahapan-tahapan atau prosedur yang sesuai dengan Undang-undang dan Keputusan Menteri tentang ketenagakerjaan. Berikut wawancara penulis kepada PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, penulis menanyakan apakah proses penyelesaian PHK yang terjadi sudah sesuai dengan mekanisme PHK yang ditetapkan oleh UU dan Kep.Men. Bapak Drs. H. Zaini menjawab : “Proses penyelesaian PHK yang kami selesaikan selama ini sudah sesuai dengan mekanisme yang telah ada kami mengikuti sesuai dengan prosedur UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004. Jadi proses awal yaitu para pihak yang berselisih harus mengajukan permohonan ke Dinas, nanti sekretrariat akan memproses khasus yang akan di selesaikan, sehingga menunggu surat balasan dari mediator untuk memanggil masing-masing pihak untuk menyelesaikan khasus secara bipatrit, apabila dalam 7 hari kerja tidak ditemukannya kesepakatan, maka khasus sepenuhnya diserahkan oleh mediator, sehingga para yang berselisih menyerahkan sepenuhnya khasus yang dialami kepada mediator.” (wawancara tanggal 26 Desember 2012) Dan berikut wawancara penulis kepada karyawan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dengan pertanyaan bagaimana proses mekanisme dalam penyelesaian PHK di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kota Tarakan, bapak Aulianegara, SH menjawab : “Proses mekanisme dalam penyelesaian khasus phk terlebih dahulu pihak yang berselisih mengajukan permohonan secara tertulis, lalu permohonan akan diajukan ke sekretariat, setelah itu permohonan akan diajukan ke Kepala Dinas. Setelah itu, kepala Dinas akan mendesposisi permohonan ke Kepala Bidang Tenaga Kerja dan dilanjutkan ke Kepala Seksi Hubungan Industrial dan syarat-syarat kerja atau mediator. Stelah itu, mediator menelaah permohonan yang masuk dan membut surat panggilan kepada pihak yang berselisih. Pihak yang berselisih terlebih dahulu diminta mengadakan perundingan Bipartit. Apabil perundingan Bipartit gagal, mediator berusaha menyelesaikan perselisihan selama masa 30 hari kerja. Apabila mediasi berhasil, dibuatkan perjanjian bersama dan jika tidak maka akan dibuatkan anjuran. Perjanjian bersama atau ajnuran ditandatangani oleh mediator. Seksi hubinsyaker atau mediator menyampaikan hasil mediasi ke pihak masing-masing.” (wawancara tanggal 26 Desember 2012) Serta berikut wawancara penulis kepada salah satu masyarakat yang mengalami PHK bernama Bapak Andi. Penulis menanyakan apakah proses mekanisme pada saat bapak melaporkan khasus bapak di dinas ini cukup berbelitbelit, Bapak Andi menjawab : “Mekanisme pelaporan khasus saya pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yang saya alami kemarin tidak terlalu sulit, saya hanya mengajukan permohonan ke sekretariat tentang permasalahan yang sedang saya alami, lalu selanjutnya pihak dinas yang akan menyelesaikan, sehingga saya hanya menunggu panggilan dalam menyelesaikan khasus saya ini dengan cara kekeluargaan, tetapi pada saat perundingan tersebut tidak terdapatnya titik temu dengan pengusaha, sehingga khasus saya diserahkan penuh kepada mediator, dan sekarang saya hanya menunggu bagaimana akhir dari khasus yang saya alami ini.” (wawancara tanggal 28 Desember 2012) Hal yang sama pun diungkapkan oleh salah satu pelapor khasus PHK di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yang sedang mengurus khasus yang sedang dialami, penulis bertanya menurut bapak apakah proses mekanisme penyelesaian khasus bapak di Dinas ini cukup rumit, bapak Yusril menjawab : “Waktu saya pertama kali melaporkan khasus saya ke dinas ini di bagian PHI, saya hanya di suruh unuk membuat permohonan ke Dinas ini untuk membantu saya dalam menyelesaikan khasus yang sedang saya alami, setelah itu saya hanya menunggu panggilan dari dinas untuk menyelesaikan khasus saya dengan cara kekeluargaan dengan pengusaha. Terkadang saya hampir setiap hari datang ke sini untuk bertanya bagaimana akhir dari masalah yang sedang saya alami. Tetapi untuk keseluruhan dalam mekanismenya saya tidak merasa berbelit-belit, hanya saja pengusahalah yang berbelit-belit dan sangat lama dalam mengadilkan hak yang seharusnya saya peroleh” (wawancara tanggal 28 Desember 2012) Dari beberapa wawancara yang telah dikumpulkan, kesimpulan dari segala wawancara yang dilakukan penulis dengan Kepala Dinas, pegawai, dan buruh dapat diketahui bahwa mekanisme PHK yang dilakukan dari pihak Dinas sudah cukup baik dan tidak menyusahkan para pelapor, dapat kita lihat dengan wawancara penulis dengan bapak Andi dan bapak Yusril dimana pelapor hanya disuruh untuk membuat sebuah permohoman ke dinas, setelah itu dinas yang akan memproses segala sesuatu permasalahan yang dilaporkan oleh para pekerja, dan pekerja hanya menunggu panggilan pada saat penyelesaian secara bipatrit/musyawarah antara pihak pengusaha dengan para pekerja/para buruh. 4.2.1.3. Perselisihan Tenaga Kerja Perselisihan adalah perentangan antara Pengusaha dengan para buruh atau Serikat Pekerja(SP), berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan keadaan perburuhan lainnya. Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara pekerja dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Jenis perselisihan dalam dunia ketenaga kerjaan ada 4 (empat) : Perselisihan Hak yaitu, perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerjasama yang timbul dalam hubungan kerja. a. Perselisihan Kepentingan yaitu, perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. b. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yaitu, perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak. c. Perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh yaitu, perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan. Berikut wawancara penulis kepada PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja. Penulis menanyakan apakah usaha yang di lakukan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam menyelesaian perselisihan dalam khasus PHK, bapak Drs. H. Zaini menjawab : “Pertama-tama pihak Dinas akan menganjurkan untuk melakukan perundingan kepada pihak perusahaan dengan pihak buruh untuk melakukan perundingan secara bipatrit atau biasa dengan disebut kekeluargaan. Apabila tidak berhasil maka kami akan menganjurkan perundingan tripartit yaitu, penyelesaian yang dilakukan oleh pihak ke 3, yaitu dengan adanya mediator, apabila tidak berhasil, maka khasus akan dilaporkan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Tetapi, sampai saat ini, belum pernah kami menangani khasus hingga ke pengadilan. Selama 30 hari kerja kami akan menyelesaikan khasus sebaik mungkin dan berusaha membantu kedua belah pihak agar terjadinya kesepakatan bersama melalui mediator.” (wawancara tanggal 28 Desember 2012) Dari wawancara dengan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja diatas dapat dilihat bahwa usaha penyelesaian perselisihan PHK yang dilakukan sudah cukup baik dan memuaskan, oleh karena itu penulis bertanya kepada pegawai Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dengan pertanyaan, bagaimana cara bapak menyelesaikan khasus perselisihan di dunia ketenagakerjaan, seperti perselisihan hak, kepentingan, PHK, dan perselisihan antara Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, bapak H. Anto Bismoko S.Sos menjawab : “Cara kami dalam menyelesaikan masalah perselisihan dalam ketenagakerjaan seperti perselisihan hak, kepentingan, PHK, dan perselisihan Serikat Pekerja/Serikat Buruh, kami akan memulai dengan musyawarah, dan apabila kami tidak berhasil menyelesaikan perselisihan tersebut, maka kami wajib mengeluarkan anjuran tertulis, dan apabila anjuran kami diterima oleh para pihak maka dibuat Persetujuan Bersama (PB) yang selanjutnya dicatatkan di Pengadilan Hubungan Industrial, namun apabila anjuran tersebut ditolak oleh salah satu pihak, maka pihak yang keberatanlah yang mencatatkan perselisihannya ke Pengadilan Hubungan Industrial.” (wawancara tanggal 28 Desember 2012) Hasil wawancara diatas menunjukan bahwa penyelesaian masalah perselishan tenaga kerja Dinas Sosial dan Tenaga Kerja lebih banyak memberikan penyelesaian secara bipatrit yaitu secara kekeluargaan, apabila tidak ditemukannya jalan keluar lalu akan dilakukannya anjuran secara tertulis dan diselesaikan melalui mediator. Dan berikut wawancara penulis dengan salah satu masyarakat yang sedang melakukan pengaduan khasus perselisihan yaitu tentang hak, kepentingan dan PHK. Penulis menanyakan apakah yang bapak harapkan dari penyelesaian khasus perselisihan yang sedang bapak alami, bapak Suryono menjawab : “Tentu saja saya mengharapkan yang terbaik dan saya menyerahkan masalah ini kepada Dinas ini, karena pihak saya dengan perusahaan sudah melakukan penyelesaian secara bipartit, tetapi pihak kami tidak menemui titik temu yang dapat saya terima. Jadi, saya berharap khasus saya dapat diselesaikan dengan betul-betul menghitung bagaimana jasa saya selama bekerja di perusahaan itu.” (wawancara tanggal 28 Desember 2012) Begitu pula wawancara penulis dengan ibu Puspa, dimana beliau baru terlihat keluar dari ruangan PHI, penulis menayakan khasus perselisihan apa yang sedang ibu alami, dan sudah sampai sejauh mana khasus ibu berlanjut, Ibu Puspa mengatakan : “Sedang mengalami PHK, dimana sekarang saya sedang memperjuangkan hak yang seharusnya saya peroleh. Saya sudah mengajukan bukti bahwa saya sudah betahun-tahun bekerja di perusahaan x tetapi perusahaan x tidak mau sepenuhnya membayar upah yang seharusnya saya peroleh, saya merasa kesal dan sangat marah, tetapi saya masih harus bersabar karena sekarang khasus saya masih sedang diproses. Saya hanya berharap bahwa upah saya harus dibayarkan penuh sehingga saya tidak merasa dirugikan dalam pekerjaan saya selama ini” (wawancara tanggal 28 Desember 2012) Penulis melakukan wawancara dengan salah satu anggota Serikat Buruh yang sedang berada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pekerjaannya membantu para pekerja yang sedang mempertahankan hak yang seharusnya diperoleh, penulis menanyakan, apakah bapak sudah cukup puas dengan penyelesaian khasus perselisihan yang sudah berjalan pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, bapak Gunawan menjawab : “Sejauh ini, saya tidak ada masalah dengan penyelesaian khasus yang diselesaikan oleh Dinas ini, tetapi saya hanya ingin memberikan masukan, dimana pada saat penyelesaian khasus pengusaha jangan terlalu mengencang dan terlalu terbawa emosi sehingga khasus perselisihan dapat terselesaikan dengan baik dan kepala dingin” (wawancara tanggal 28 Desember 2012) Bedasarkan hasil wawancara diatas menunjukan bahwa penyelesaian khasus perselisihan yang diberikan Disosnaker kepada para masyarakat sudah cukup baik dan melalui proses yang sangat panjang. Dapat kita lihat dari beberapa wawancara diatas bahwa para pekerja yang sedang mengalami khasus perselisihan tenaga kerja seperti di phk banyak mengalami kerugian dikarenakan pihak perusahaan yang tidak adil dalam pembagian upah pada saat pemecatan terjadi. Dan para pengusaha terkadang terlalu mementingkan keegoisan dan keuntungannya sendiri. 4.2.1.4. Kompensasi Bila seorang pekerja di-PHK ada 4 komponen yang dipakai sebagai kompensasi PHK yaitu : a. Uang Pesangon yaitu pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja. b. Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai penghargaan berdasarkan masa kerja akibat adanya PHK. c. Uang Ganti Kerugian adalah Pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh sabagai ganti rugi istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya perjalanan pulang ke tempat di mana pekerja diterima bekerja, fasilitas pengobatan dan fasilitas perumahan. d. Uang Pisah adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh atas pengunduran diri secara baik-baik dan mengikuti prosedur sesuai ketentuan yaitu diajukan secara tertulis 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri yang besar nilainya berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Komponen-komponen sebagai kompensasi tersebut diberikan sesuai dengan alasan alasan PHK. Dalam UUKK No. 13 tahun 2003 sudah mengatur 12 jenis alasan pemutusan hubungan kerja yang termuat di dalam pasal 150 s/d 172. Berbagai alasan PHK tersebut mempunyai nilai kompensasi yang berbeda-beda. Berikut wawancara penulis dengan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, penulis menanyakan apakah besaran kompensasi yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang dan Kep.Men sudah sesuai dengan keinginan kedua belah pihak, bapak Drs. Zaini, M menjawab : “Sejauh ini, kami menyelesaikan kompensasi dalam khasus PHK sudah mengikuti UUKK, tetapi terkadang adanya perselisihan antara pekerja dengan perusahaan, sehingga besaran kompensasi terkadang kurang adil dalam pembayaran pesangon para buruh yang telah di PHK. Jadi didalam besaran kompensasi yang terjadi terkadang tidak sesuai dengan harapan dengan kenyataan yang ada” (wawancara tanggal 28 Desember 2012) Penulis masih bertanya kepada Bapak Drs. H. Zaini M. berapa besaran biaya yang dikeluarkan pihak pengusaha didalam pembayaran upah/pesangon didalam khasus PHK, Bapak Drs. H. Zaini M. mengatakan : “Kami hanya bertugas sebagai penengah dan pembantu penyelesaian dari khasus antara pengusaha dan pekerja, tetapi didalam besarnya perhitungan uang yang dibayarkan itu kembali menjadi keputusan kedua belah pihak, apabila kedua belah pihak sudah mempunyai kesepakatan berapa biaya yang harus dibayarkan berarti terselesaikannya lah khasus yang sedang dihadapi, tetapi dari salah satu ada yang menuntut dari kesepakatan yang telah dibuat kami hanya membantu mencari jalan tengah dari khasus yang sedang terjadi. Dan intinya kami tidak ikut campur dalam besarnya biaya yang akan dibayarkan pengusaha untuk para pekerja yang telah di phk.” (Wawancara tanggal 28 Desember 2012) Dari hasil wawancara penulis dengan PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja hanya sebagai pembangu dan penengah dari khasus yang telah terjadi diantara pengusaha dengan pekerja dan dapat dilihat juga bahwa proses penyelesaian kompensasi di Dinas sudah mengikuti aturan UU Ketenagakerjaan, tetapi pihak dari perusahaan yang bersikap kurang adil kepada para buruh yang di PHK nya, sehingga para buruh banyak yang merasa dirugikan dari keputusan para pengusaha. Berikut wawancara penulis dengan bapak Anto selaku Kabid Hubungan Industrial, penulis menayakan, apa saja biaya kompensasi yang diterima oleh para buruh yang telah di PHK oleh para pengusaha, bapak H. Anto Bismoko S.Sos menjawab : “Didalam penyelesaian kompensasi ada beberapa hal yang harus dibayar, sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.” (wawancara tanggal 28 Desember 2012) Dari wawancara penulis dengan Kabid Hubungan Industrial Disosnaker, maka penulis bertanya dengan salah satu masyarakat yang sedang berada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, penulis bertanya, apakah biaya kompensasi bapak yang telah dibayarkan oleh perusahaan sudah sesuai dengan Undang-Undang tentang ketenagakerjaan dan sesuai dengan Kep.Men yang mengacu pada ketenagakerjaan, bapak Anandhika menjawab : “Saya baru mempelajari tentang UU, Kep.Men dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan pembayaran upah dan pesangon, dan dari khasus yang saya alami pengusaha belum membayarkan hak saya secara penuh. Saya sudah menjalani proses penyelesaian khasus PHK saya ini selama 2 minggu, jadi saya ingin mendapatkan kepastian, karena upah yang saya terima hanya pesangon dan uang pergantian hak, pergantian uang penghargaan masa kerja saya belum dibayar oleh perusahaan. Saya sudah bekerja pada perusahaan tersebut selama 13 tahun, tetapi mengapa perusahaan tetap bersikeras tidak mau membayar uang penghargaan masa kerja saya. Jadi, saya berharap Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dapat tetap membantu saya dalam mempertahankan hak yang harus saya dapatkan sesuai dengan hak yang memang harus saya dapatkan.” (wawancara tanggal 03 Januari 2013) Dari wawancara diatas, penulis bertanya kembali kepada bapak Anandhika apakah bapak sudah cukup puas dengan biaya kompensasi yang bapak dapatkan sekarang. Bapak Anandhika menjawab : “Dari upah yang saya terima, sejauh ini saya masih belum puas, karena hak saya belum terbayarkan seutuhnya. Sampai perusahaan membayarkan semua hak yang saya dapatkan, saya baru akan merasa puas dan saya harap dengan bantuan Dinas ini hak saya dapat cepat terbayarkan secara utuh. Sehingga saya tidak perlu menunggu lebih lama lagi.” (wawancara tanggal 03 Januari 2013) Dan penulis bertemu dengan seorang buruh yang sedang mengurus biaya konpensasi di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, penulis bertanya, apakah permasalahan konpensasi yang bapak alami sekarang sudah sesuai dengan yang harus bapak dapatkan selama masa bapak bekerja, sampai akhirnya masa bapak bekerja telah berakhir, bapak Dullah menjawab : “Hari ini khasus saya sudah selesai diselesaikan oleh Dinas dan juga telah dirundingkan oleh para pengusaha. Awalnya susah mencari kesepakatan untuk dapat membayar hak penuh saya dalam pembayaran kompensasi ini, tetapi setelah dirundingkan secara bipatrit, maka terjadinya kesepakatan yang telah disetuji oleh saya dan pengusha.” (wawancara tanggal 03 Januari 2013) Dari wawancara diatas, dapat kita simpulkan bahwa pihak perusahaanlah yang kurang adil dalam pembagian hak yang seharusnya diterima oleh para buruh. Seharusnya perusahaan harus membayarkan semua hak yang harus diterima oleh buruh, sehingga tidak adanya permasalahan yang seharusnya terjadi di dunia ketenagakerjaan. Dan juga pengusaha seharusnya lebih bersikap menghormati hak para buruh yang telah lama bekerja dan mengabdi pada perusahaannya, jadi pengusaha tidak boleh seenaknya tidak mau membayar upah yang sudah menjadi hak para pekerja/buruh. 4.2.2 Faktor Pendukung Ada beberapa faktor yang mendukung Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dalam mengahadapi masalah PHK di Disosnaker Kota Tarakan. Penulis menanyakan kepala PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan, apa saja faktor pendukung dalam penanganan pemutusan hubungan kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan, bapak Drs. H. Zaini. M menjawab : “Yang menjadi faktor pendukung dalam pelaksanaan penanganan pemutusan hubungan kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja ialah kemauan para pihak untuk menyelesaikan perelisihan melalui proses mediasi, kewenangan mediator yang besar dalam mendorong para pihak yang berselisih untuk melakukan perjanjian bersama (PB), keinginan untuk berdamai atau menyelesaikan perselisihan antara pihak, kemampuan mediator dalam menganalisis masalah dan menggunakan teknik-teknik mediasi.” (Wawancara tanggal 03 Januari 2013) Bedasarkan hasil wawancara, faktor yang mendukung pelaksanaan penangan pemutusan hubungan kerja ialah bagaimana kerja sama anatara pihak-pihak yang terkait antara pihak perusahan dengan para buruh dalam menyelesaikan khasusnya dengan cara kekeluargaan, dan kepercayaan pihak-pihak yang terkait kepada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam menyelesaikan khasus yang di jalankan. 4.2.3 Faktor Penghambat Dalam pelaksanaan penyelesaian masalah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan masih mengalami beberapa kendala, Bedasarkan hasil wawancara dengan PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, penulis mennyakan adakah faktor penghambat dalam pelaksanaan penyelesaian PHK di Disosnaker Kota Tarakan, Bapak Drs. H. Zaini menjawab : “Kendala-kendala yang kami hadapi pada saat penyelesaian khasus PHK ialah kurangnya pengetahuan dan pemahaman buruh dan pengusaha dalam penerapan UU No.13 Tahun 2003, dan peraturan pendukung lainnya, kondisi lapangan yang jauh (para pekerja atau pengusaha berada di camb/ tambang yang bukan di kota Tarakan), penggunaan pihak ke 3 oleh pekerja/buruh untuk mendampingi dalam proses mediasi selain Serikt Pekerja/Buruh.” (Wawancara tanggal 03 Desember 2013) Dari hasil wawancara di atas dapat di artikan bahwa, penyelesaian khasus PHK masih mengalami kendala-kendala di antaranya; kurangnya pemahaman para pekerja maupun pengusaha dalam penerapan yang terdapat di dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 sehingga sering terjadinya perselisihan antara ke dua belah pihak, Lokasi pada saat masalah terjadi jauh dari Kota Tarakan sehingga sulitnya meninjau ulang permasalahan yang sedang terjadi. 4.3 Pembahasan Untuk membahas permasalahan yang telah diuraikan dalam penelitian ini maka semua data dan informasi yang telah diperoleh akan di analisis dan dibahas dari setiap indikator yang merupakan pokok-pokok dari penelitian ini. Yang merupakan indikator dari penyelesaian masalah PHK yang sesuai dengan Kep.Men No. 150 Tahun 2000 pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan mencakup pemasalahan PHK secara tidak sukarela, mekanisme PHK, perselisihan tenaga kerja, dan kompensasi. Berdasarkan fokus penelitian tersebut maka dapat dilihat bagaimana penyelesaian masalah PHK sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003, Kep.men No. 150 Tahun 2000 pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. Dan untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari pembahasan berikut ini : 4.3.1 Mendeskripsikan Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan (Implementasi Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan) Sesuai dengan Kep.Men No. 150 Tahun 2000 dan Undang-Undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 bagaimana penyelesaian masalah PHK yang harus dilakukan sesuai dengan ketentuan UU dan Kep.Men maka para pengusaha, buruh, maupun pihak ke 3 yaitu Dinas Sosial dan Tenaga Kerja harus berlaku sebaik mungkin, agar dapat terciptanya suatu keputusan yang terbaik agar penyelesaian masalah PHK tersebut dapat selesai dengan cara kekeluargaan, dan tidak merugikan pihak manapun. 4.3.1.1 PHK Tidak Sukarela Pengusaha dimungkinkan memPHK pekerjanya dalam hal pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Setelah sebelumnya kepada pekerja diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Surat peringatan masingmasing berlaku paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Berdasarkan penelitian yang penulis dapatkan, selain karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam keadaan merugi, pailit, maupun PHK terjadi karena keadaan diluar kuasa pengusaha (force majeure). Dan didalam pemutusan hubungan kerja secara tidak sukarela pihak dinas selalu menyarankan untuk melakukan penyelesaian khasus secara musyawarah kepada para pengusaha dan para buruh. Tetapi jarang sekali ditemukan titik temu dan penyelesaian yang baik diantara kedua belah pihak. 4.3.1.2 Mekanisme PHK Mekanisme PHK adalah proses pengakhiran hubungan kerja melalui tahapan yang sudah di tentukan oleh Undang-Undang. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan dilapangan bahwa mekanisme PHK yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sudah berjalan sesuai dengan Undang-Undang No.13 tahun 2003, Undang-Undang No. 02 Tahun 2004 dan Kep.Men No.150 Tahun 2000, penyelesaian dapat dilakukan dengan cara yang sederhana dan tidak menyusahkan para pekerja, karena pekerja hanya mengajukan surat anjuran kepada Dinas yang bersangkutan dan pihak dinas yang akan meneruskan surat permohonan tersebut sehingga dapat diprosesnya khasus yang sedang dilaporkan oleh pelapor, apabila mediator telah menelaah surat permohonan yang masuk maka mediator akan membuat surat panggilan kepada pihak-pihak yang berselisih dan menganjurkan para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan khasus dengan cara kekeluargaan, apabila terdapatnya titik temu maka dinas akan membuat surat perjanjian bersama, tetapi apabila tidak ditemukannya titik temu, maka mediator akan membuatkan anjuran dan khasus secara penuh hanya bisa diselesaikan oleh mediator yang menangani khasus yang bersangkutan. 4.3.1.3 Perselisihan Tenaga Kerja Perselisihan tenaga kerja adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. (Pasal 1 UU No. 2 Tahun 2004). Dengan demikian UU No.2 tahun 2004 mengenal 4 jenis perselisihan yaitu; a. perselisihan hak b. perselisihan kepentingan c. perselisihan PHK, dan d. perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan. Berdasarkan penelitian penulis dilapangan, didapatkan bahwa perselisihan tenaga kerja timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan atau perubahan syarat-syarat kerja sehingga timbul adanya ketidaksesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Dan didalam penelitian dilapangan, penulis sangat banyak menemui khasus perselisihan PHK dan perselisihan hak, dimana perselisihan tersebut sangat berpengaruh dalam kelanjutan hidup para pekerja/buruh. Yang dimana pengusaha mem PHK para pekerja dan tidak membayarkan hak yang seharusnya di peroleh oleh para pekerja/buruh. Sehingga membuat permasalahan yang sangat kompleks bagi para pekerja yang telah di PHK. 4.3.1.4 Kompensasi Kompensasi PHK menurut UU Ketenagakerjaan, UU No 13 tahun 2003 pasal 156, terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, atau lebih sering disebut dengan istilah PMTK. PMTK sendiri merupakan singkatan Peraturan Menteri Tenaga Kerja, dan istilah PMTK ini sebenarnya biasa di gunakan saat masih di berlakukan Kepmenaker nomor: Kep-150/Men/2000, tapi setelah diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2003, istilah PMTK ini masih sering digunakan untuk menyebut Kompensasi PHK. Berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan bahwa kompensasi yang di berikan oleh perusahaan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh para buruh. Dikarenakan upah yang seharusnya didapatkan oleh para pekerja apabila terjadinya pemutusan hubungan kerja tidak terealisasikan secara penuh. Semua itu terlihat dari pengusaha hanya membayar separuh dari hak para pekerja, dan mambuat permasalahan yang terjadi semakin lama dan proses penyelesain yang panjang. Sehingga dalam khasus ini sangat terlihat bahwa kejadian yang terjadi sangat tidak sesuai dengan harapan dan kenyataan yang ada. Dikarenakan dalam proses pembayaran upah/pesangon sudah terdapat didalam UU No.13 Tahun 2003 dan Kep.Men No.150 Tahun 2000 yang didalamnya membahas tentang pembayaran upah dan pesangon yang seharusnya diterima oleh para pekerja/buruh yang telah di PHK. 4.3.2. Faktor Pendukung Faktor yang mendukung penyelesaian masalah PHK pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan ialah adanya kerja sama antara pihak yang berselisih dengan Dinas yang terkait dalam pelaksanaan proses penyelesaian khasus yang sedang berjalan. Berdasarkan penelitian penulis dilapangan faktor pendukung terhadap penanganan khasus PHK ialah dimana keuasaan yang dimiliki oleh mediator sangat berpengaruh besar dalam mendorong para pihak yang berselisih untuk melakukan perjanjian bersama, agar penyelesaian masalah tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Dan para yang berselisih akan dapat berdamai dan khasus dapat terselesaikan tanpa merugikan pihak manapun. 4.3.3 Faktor Penghambat Berdasarkan penelitian penulis dilapangan yang menjadi faktor penghambat didalam penyelesaian masalah PHK di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja ialah masih kurangnya pengetahuan dan pemahaman pihak pekerja atau buruh, dan pengusaha terhadap penerapan Kep.Men No. 150 Tahun 2000 dan UU No.13 Tahun 2003 dan peraturan pendukung lainnya. Sehingga dari hal tersebut menimbulkan banyaknya permasalahan yang muncul dan menimbulkan perelisihan tentang ketenagakerjaan. Sehingga permasalahan yang muncul selalu berkaitan dengan pembayaran biaya dan upah pesangon yang seharusnya didapatkan oleh para pekerja apabila terjadinya suatu pemutusan hubungan kerja. Tetapi, para pengusaha tetap bersikeras dalam kemauan mereka yang terkadang tidak mau membayarkan hak penuh kepada pekerja dalam pembayaran hak yang seharusnya diterima oleh para pekerja. BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dilapangan mengenai Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan (Implementasi Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan), serta penyajian data dan pembahasannya telah diuraikan dalam penelitian ini maka penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Keputusan Menteri No. 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan dalam menghadapi masalah PHK pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan, terdiri dari : a. PHK tidak sukarela yang dilakukan oleh perusahaan kepada para buruh dikarenakan kesalahan yang dilakukan oleh para pekerja, sehingga pengusaha sudah menjalankan PHK tidak sukarela sesuai dengan Kep.Men dan Undang-Undang yang ada. b. Mekanisme PHK di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan sudah berjalan sesuai dengan semaksimal mungkin dikarenakan proses pegajuan permohonan hanya diserahkan kepada Dinas yang terkait sehingga pihak Dinas yang akan memproses dan apabila telah siap untuk diproses maka pihak yang bersangkutan akan dipanggil untuk menyelesaikan khasus secara bipatrit/kekeluargaan apabila khasus terdapat titik temu maka akan diadakan perjanjian bersama, tetapi apabila tidak terdapatnya titik temu maka dibuatkan anjuran dari mediator. c. Perselisihan tenaga kerja yang diselesaikan oleh pihak Disosnaker kepada para pekerja/buruh sudah cukup baik dan pada saat penyelesaian perselisihan tersebut sangat terlihat bahwa perselisihan phk dan perselisihan hak lah yang paling banyak terjadi didalam perselisihan tenaga kerja. Dikarenakan pada saat terjadinya PHK para pengusaha tidak membayar penuh hak yang seharusnya diperoleh para pekerja/buruh. d. Kompensasi yang diberikan oleh para pengusaha dengan para buruh tidak berjalan dengan semestinya. Dikarenakan upah yang diberikan tidak terbayar penuh dengan yang seharusnya tercantum dalam Kep.Men Dan Undang-Undang. 2. Faktor pendukung dalam implementasi UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dalam menghadapi masalah PHK ialah kemauan para pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui proses mediasi, kewenangan mediator yang besar dalam mendorong para pihak untuk melakukan perjanjian bersama, keinginan kedua belah pihak untuk berdamai. 3. Beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan implementasi UU No.13 Tahun 2003 tantang ketenagakerjaan dalam menghadapi masalah PHK ialah, kurangnya pengetahuan dan pemahaman buruh dan pengusaha dalam penerapan UU No.13 Tahun 2003, dan kondisi lapangan yang jauh dari tempat penyelesaian masalah. 5.2. Saran – saran Dari beberapa hasil penelitian yang penulis dapatkan, maka penulis memberikan saran atau masukan yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi semua pihak. Adapun saran-saran yang penulis utarakan adalah sebagai berikut : 1. Pihak Disosnaker harus turun ke lapangan dan melihat situasi perusahaan beserta buruh dengan cara memberikan sosialisasi langsung agar menghindari terjadinya khasus perselisihan tenaga kerja. 2. Seyogyanya pengusaha harus menerima saran-saran dari para Serikat Pekerja/ Serikat Buruh agar perusahaan dapat membayar hak penuh para pekerja sehingga pihak buruh tidak merasa dirugikan. 3. Seharusnya pihak perusahaan harus membayar penuh hak para pekerja/ para buruh agar tidak memperlambat proses penyelesaian kompensasi pada saat terjadinya khasus PHK. 4. Kedua belah pihak harus menghormati dan menghargai hak masing-masing baik pengusaha maupun serikat pekerja agar terhindarnya dari perselisihan tenaga kerja.. DAFTAR PUSTAKA Agustino, Leo. 2006. Politik dan Kebijakan publik. Bandung: AIPI DR. B. Siswanto Sastrohadiwiryo, 2005. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Bumi aksara. Dunn, William N. 2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi kedua. Jakarta. Hotma P. D. Sitompoel, SH. 2005. Hukum Acara Perburuhan. Jakarta: Dss Publishing. Husni, 2000. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Islamy, Irfan M. 2003. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta:Bumi Aksara Nugroho, Riant 2008, Public Policy: Teori Kebijakan – Analisis Kebijakan – Proses Kebijakan Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management dalam Kebijakan Publik, Kebijakan sebagai The Fifth Estate – Metode Penelitian Kebijakan, Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta. Miles, Mathew , B. dan A. Michael Huberman. Analisis data kualitatif, Universitas Indonesia, Jakarta : 2007 Satori Djam’an dan Komariah Aan. 2010 Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Silichin, Abdul Wahab. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang. Suharto, Edi. 2008. Kebijakan sosial sebagai kebijakan publik. Bandung: Alfabeta. Sugiyono, 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Dokumen-dokumen: Acuan kerja. 2012. Data Hubungan Industrial Tentang Hubungan Industrial Anonim. No. 2003. Undang-Undang No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. No. 21 Tahun 2004 Tanggal 4 agustus tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh. 2004. Undang-Undang No.2 tahun 2004 Tentang Penyelisihan Hubungan Industrial. 2006. Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional 2008. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, Dan Pelayanan Jaminan Sosial Dan Tenaga Kerja. 2008. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan. Sumber Internet: http://kafeilmu.com/2012/04/mekanisme-PHK. http://rumahkita2010.wordpress.com/2010/03/08/community-based/street-based/center based http://www.masbied.com/2012/04/09/pengertian-Undang-undang-i/ http://www.suaramerdeka.com/ www.detik.com