PDF SKRPSIII (02-23-13-04-49-06)

advertisement
PENANGANAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI DINAS SOSIAL DAN
TENAGA KERJA KOTA TARAKAN
(STUDI IMPLEMENTASI KEPUTUSAN MENTERI NO. 15 TAHUN 2000 TENTANG
KETENAGAKERJAAN)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Strata 1
OLEH:
HELDA ROZALIA
NIM : 0902015013
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2013
PERNYATAAN ORISINALITAS SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan saya di
dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi dan tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah di tulis atau di terbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis di kutip dalam
naskah ini dan di sebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata didalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur
plagiat, saya bersedia skripsi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh
(sarjana) di batalkan serta di proses sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Samarinda, Januari 2013
HELDA ROZALIA
NIM. 0902015013
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tarakan ( Studi Implementasi Keputusan Menteri No.150 Tahun 2000
Tentang ketenagakerjaan)
Nama
: Helda Rozalia
NIM
: 0902015013
Jurusan
: Ilmu Administrasi
Program Studi : Administrasi Negara
Fakultas
: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr Anthonius Margono, M.Si
NIP. 19540817 198403 1 002
Dra. Hj. Ida Wahyuni, M.Si
NIP. 19662010 200910 2 002
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Mulawarman
Prof. Dr. H. Adam Idris, M.Si
NIP. 19600114 198803 1 003
Lulus Tanggal : 11-03-2013
RINGKASAN
Helda Rozalia, Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tarakan (Studi Implementasi Keputusan Menteri No.150 Tahun 2000 tentang
ketenagakerjaan); di bawah bimbingan Bapak Dr. Anthonius Margono, M.Si dan Ibu Dra. Hj.
Ida Wahyuni, M.Si
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis penanganan pemutusan
huhungan kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan dan untuk mengetahui
faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan pennganan PHK di Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. Teknik pengumpulan data melalui; wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan teknik analisis data model
interaktif dari pendapat Miles dan Huberman dalam Sugiyono.
Dalam penelitian ini penulis bekerjasama dengan Dinas Tenaga Kerja Kota Tarakan
sebagai informan yang memberikan informasi tentang data yang berhubungan dengan objek
yang penulis teliti yaitu penanganan pemutusan hubungan kerja di Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kota Tarakan.
Kata kunci : Implementasi
RIWAYAT HIDUP
Helda Rozalia, lahir pada tanggal 20 September 1991 di Tarakan Kalimantan
Utara. Merupakan anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Ayahanda
Drs. H. Zaini, M. dan Ibunda Hj. Massutiawati.
Pada tahun 1996 memasuki Taman Kanak-Kanak Handayani di Tarakan lulus
pada tahun 1997. Pada tahun 1997 memasuki Sekolah Dasar Negeri Utama 1 Tarakan lulus
pada tahun 2003. Dan pada tahun 2003 melanjutkan Sekolah Menengah Pertama Negeri 1
Tarakan lulus pada tahun 2006. Selanjutnya pada tahun 2006 melanjutkan ke Sekolah
Menengah Atas Negeri 1 Tarakan dan lulus pada tahun 2009.
Masuk perguruan tinggi Universitas Mulawarman di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Administrasi, Program Studi Administrasi Negara pada tahun 2009 melalui
seleksi penerimaan mahasiswa baru.
Selama kuliah telah mengikuti beberapa kegiatan diantaranya kegiatan pengenalan kampus
dan kegiatan Pengenalan Mahasiswa Administrasi Negara (PEDILMAN) tahun 2009.
Sedangkan pengalaman yang berhubungan dengan akademik / kurikulum Pendidikan di
Universitas Mulawarman yaitu mengikuti program Kuliah Kerja Nyata (KKN) angkatan
XXXVIII di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Samarinda.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
program studi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Mulawarman.
Tersusunnya skripsi ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan baik moril maupun
materiil serta saran-saran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih
dan penghormatan sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Zamruddin Hasid, SE, S.U selaku Rektor Universitas Mulawarman
yang telah memberikan kesempatan penulis untuk menyelesaikan studi sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. H. Adam Idris, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Mulawaraman yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyelesaikan studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Mulawarman.
3. Ibu Dra. Rossa Anggraeny, M.Si selaku Ketua Jurusan Ilmu Administrasi yang telah
memberikan motivasi dan saran-saran dalam rangka penyelesaian skripsi ini.
4. Bapak Drs. M. Zaenal Arifin, M.Si selaku Ketua Program Studi Administrasi Negara
yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan menyelesaikan
studi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman.
5. Bapak Dr. Anthonius Margono, M.Si selaku pembimbing I dan Ibu Dra. Hj. Ida
Wahyuni, M.Si selaku pembimbing II. Terima kasih atas kesediaan bapak dan ibu yang
telah meluangkan waktu ditengah kesibukan untuk memberikan bimbingan serta
masukan, saran dan nasehat agar karya tulis ini menjadi karya ilmiah yang baik.
6. Dosen penguji seminar skripsi : Bapak Dr. Djumadi, M.Si selaku penguji I dan Ibu
Santi Rande, S.Sos., M.Si selaku penguji II. Terima kasih atas bantuan dan saransarannya yang telah diberikan kepada penulis.
7. Segenap dosen yang telah memberikan ilmunya dari awal penulis mengenal bangku
kuliah hingga akhir perjalanan selama menempuh pendidikan di Administrasi Negara
FISIP UNMUL. Seluruh Staf Akademik, Staf Kemahasiswaan dan juga staf Tata Usaha.
Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya telah banyak membantu saya.
8. Terima kasih kepada seluruh pihak yang terlibat dalam proses penelitian, Kepada Bapak
Drs. H.Zaini. M selaku Kepala Dinas, Bapak H. Anto Bismoko, S.Sos selaku Kasi
Hubin Syaker, Bapak Imanmanuel. P.ST selaku Fungsional Umum bidang PHI, Bapak
Aulianegara, SH selaku Mediator Hubungan Industrial, terima kasih untuk jalinan
persaudaraan dalam perkenalan yang singkat. Terima kasih atas masukan ide dan
sambutan hangat yang diberikan.
9. Ayahanda Drs. H. Zaini. M, Ibunda Hj. Massutiawati, Kakakanda Hesty Rozaniza,
Kakaknda Daeng Adimas Bayu Wicaksana SE, Adiknda Muhammad Azizan Fikri
Algazi, Adiknda Daeng Akmalif Putra Aryuza tercinta yang telah memberikan Doa,
Cinta, Dukungan dan Nasehat yang tak ternilai, Terima kasih atas segalanya.
10. Untuk sahabat-sahabat yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas
dukungan dan semangat yang telah diberikan kepada saya.
Semoga skripsi ini berguna untuk menambah informasi dan pengetahuan bagi para
pembacanya, Semoga Allah SWT senantiasa memberikan Rahmat dan Hidayahnya, Amin
Samarinda, 11 Februari 2013
Penulis
Helda Rozalia
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN ORISINALITAS ……………………………………………….
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………….
ABSTRAK …………………………………………………………………...
RIWAYAT HIDUP …………………………………………………………..
KATA PENGANTAR ………………………………………………………..
DAFTAR ISI ………………............................................................................
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………
i
ii
iii
iv
v
vii
x
xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang …………………………………………………..
B. Rumusan Masalah ……………………………………………….
C. Tujuan Penelitian …………………………………………….......
D. Kegunaan Penelitian …………..…………………………………
1
5
6
6
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori dan Konsep ……………………………………..……… ...
2.1.1 Pengertian Implementasi ……………………………….….
2.1.2 Pengertian Kebijakan publik ..…......…………..….............
2.1.4 Pengertian Implementasi kebijakan……………………..…
2.1.5 Pengertian Ketenargakerjaan………………………………
2.2 Definisi Konsepsional…………………………………………….
8
9
12
18
26
40
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian ……………………………………………………
3.2 Fokus Penelitian ………………..…………………………………
3.3 Tempat Penelitian …….………………………..............................
3.4 Sumber Data……………………..……………………….............
3.5 Teknik Pengumpulan Data ..……….…………….........................
3.6 Analisis Data………………….......................................................
41
41
42
43
44
45
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum ..........................................................................
48
4.1.1 Profil Kantor Dinas Sosial dan Tenaga Kerja .....................
48
4.2. Hasil Penelitian .............................................................................
59
4.2.1. Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja............................
60
4.2.2. Faktor Pendukung................................................................
76
4.3. Pembahasan ...................................................................................
78
4.3.1. Mendesripsikan Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja..
79
4.3.2.Faktor Pendukung ..............................................................
83
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan........... .........................................................................
85
5.2. Saran-saran.....................................................................................
87
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
No Tubuh Utama
Halaman
1.
Tabel 1 Jumlah SDM di Disosnaker berdasarkan pendidikan.………………....
52
2.
Tabel 2 Jumlah pegawai Disosnaker berdasarkan golongan......................….….
53
3.
Tabel 3 Jumlah khasus PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)…………………….
62
DAFTAR GAMBAR
No Tubuh Utama
Halaman
1.
Gambar 1. Analisis data model kebijakan…………………………..………
11
2.
Gambar 2. Analisis data model Interaktif………………….....………..……
46
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan Nasional Bangsa Indonesia, sebagai usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya menjadi tanggung jawab
pemerintah saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh bangsa Indonesia. Artinya,
setiap warga negara Indonesia harus ikut serta dan berperan dalam pelaksanaan
pembangunan, yang meliputi seluruh bidang kehidupan bangsa dan Negara Republik
Indonesia. Keberhasilan pembangunan nasional ditentukan terutama oleh kualitas
sumber daya manusianya, baik yang menjadi pengambil keputusan, penentu
kebijaksanaan, pemikir, perencana maupun yang menjadi para pelaksana di sektor
terdepan, dan para pelaku fungsi kontrol atau pengawasan pembangunan. Hal ini
menunjukan bahwa unsur manusialah yang menjadi roda penggerak pembangunan
nasional tersebut.
Sumber daya manusia merupakan kunci utama keberhasilan pembangunan.
Kualitas sumber daya manusia harus ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta perkembangan pembangunan nasional. Hakekat
pembangunan nasional adalah, pembangunan manusia Indonesia seutuhnya, dan
pembangunan seluruh masyarakat Indonesia. Maka landasan pelaksanaan pembangunan
nasional adalah ( Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945).
Sebagian besar manusia di muka bumi Indonesia menyadari bahwa dalam
pelaksanaan pembangunan nasional, tenaga kerja memiliki peran dan kedudukan yang
sangat penting sebagai pelaku dalam pencapai tujuan pembangunan. Sejalan dengan itu,
pembangunan
ketenagakerjaan
diarahkan
untuk
meningkatkan
kualitas
dan
kontribusinya dalam pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya sesuai
dengan harkat dan martbat kemanusiaan. Penjelasan umum Keputusan Menteri No. 150
tahun 2000 menyatakan bahwa pembangunan ketenagakerjaan sebagai bagian integral
dari pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat seluruhnya untuk meningkatkan
harkat, martabat dan harga diri tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera,
adil, makmur dan merata baik material maupun spiritual.
Negara Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang sebagaimana lazimnya
telah menggiatkan pembangunan di segala bidang. Oleh sebab itu, maka diperlukanlah
tenaga kerja yang yang ahli dan handal dalam pelaksanaan pekerjaan tersebut, seperti
halnya menguasai perkembangan teknologi dan komputerisasi. Oleh karena itu, agar
tenaga kerja tersebut dapat menggunakannya maka diadakannya suatu pelatihan dan
pembinaan. Adapun tujuan pembinaan tenaga kerja adalah meningkatkan kesetiaan dan
ketaatan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab, menghasilkan tenaga kerja yang
berdaya guna dan moral kerja yang tingi. Karena semangat kegairahan kerja yang tinggi
sangat mempengaruhi secara langsung terhadap produktifitas kerja dan akan membawa
dampak positif yang baik bagi perusahaan.
Pada umumnya kelangsungan ikatan kerja bersama antara perusahaan dengan
tenaga kerja terjalin apabila kedua belah pihak masih saling membutuhkan dan saling
patuh dan taat akan perjanjian yang telah disepakatinya pada saat mereka mulai
menjalin kerja bersama. Dengan adanya keterikatan kerja bersama antara perusahaan,
khususnya manager dengan para tenaga kerja, berarti masing-masing pihak memiliki
hak dan memiliki kewajiban. Demikian pula sebaliknya, apabila terjadi pemutusan
hubungan kerja berarti manager dituntut untuk memenuhi hak dan kewajiban terhadap
tenaga kerja sesuai dengan kondisi pada saat terjadi kontrak kerja. Kontrak kerja antara
manager dapat secara tertulis maupun tidak tertulis. Dapat pula ditentukan dalam jangka
waktu tertentu maupun tidak ditentukan berapa lama tenaga kerja tersebut harus bekerja
pada perusahaan. Pemutusan hubugan kerja adalah suatu proses pelepasan keterikatan
kerja sama antara perusahaan dengan tenaga kerja, baik atas permintaan tenaga kerja
yang bersangkutan maupun atas kebijakan perusahaan yang karenanya tenaga kerja
tersebut sudah tidak mampu memberikan prodiktivitas kerja lagi atau karena kondisi
perusahaan yang tidak memungkinkan.
Pemutusan hubungan kerja pada dasarnya merupakan masalah yang kompleks
karena mempunyai dampak pada pengangguran, kriminalitas, kesempatan kerja. Seiring
dengan laju perkembangan industri serta meningkatnya jumlah angkatan kerja yang
bekerja, permasalahan pemutusan hubungan kerja merupakan permasalahan yang
menyangkut kehidupan manusia. Dan hal tersebut merupakan awal penderitaan bagi
pekerja dan keluarganya. Sedang bagi perusahaan pemutusan hubungan kerja juga
merupakan kerugian karena harus melepas pekerja yang telah dididik dan telah
mengetahui cara-cara kerja di perusahaannya. Terjadinya pemutusan hubungan kerja
dengan demikian bukan hanya menimbulkan kesulitan bagi pekerja tetapi juga akan
menimbulkan kesulitan bagi perusahaan. Untuk itu pemerintah perlu ikut campur tangan
dalam mengatasi masalah pemutusan hubungan kerja.
Berdasarkan hasil observasi awal penulis bahwa khasus PHK tahun 2012 Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan yaitu: melanggar peraturan (PKB) 7 orang dan
mangkir dari pekerjaan (tidak disiplin) 21 orang. Jadi total pekerja yang di PHK sampai
bulan Desember sebanyak 28 orang.
Pemerintah telah mengadakan kebijaksanaan mengenai PHK (Pemutusan
Hubungan Kerja) dengan maksud untuk lebih menjamin adanya ketertiban dan
kepastian hukum dalam pelaksanaan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) antara lain
menetapkan peraturan perundang-undangan tentang pemutusan hubungan kerja,
penyelesaian perselisihan hubungan industrial serta berbagai keputusan menteri.
Apabila telah ditetapkannya pemutusan hubungan kerja, maka ditetapkan pula
kewajiban pengusaha untuk memberikan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja,
dan ganti kerugian kepada pekerja. Kewajiban ini berlaku bagi pengusaha yang
melakukan PHK kepada para pekerjanya. Pembayaran kompensasi tersebut harus
mengikuti prosedur sebagaimana yang telah ditetapkann dalam UU No.13 tahun 2003
dimana didalam UU No. 13 Tahun 2003 adalah penyempurna dari isi Kep.Men No. 150
Tahun 2000 yang bertujuan untuk terciptanya suatu kesepakatan yang baik antara
pengusaha dengan pekerja.
Tetapi dalam pelaksanaan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak jarang
ditemukan kendala seperti ketidakadilan perusahaan terhadap PHK terhadap buruh
sehingga menimbulkan ketidakpuasan para buruh karena khasus PHK.
Jadi berdasarkan skripsi tersebut, penulis tertarik mengajukan judul skripsi
“Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tarakan (Studi Implementasi Keputusan Menteri No.150 Tahun 2000 Tentang
Ketenagakerjaan) ”
1.2 Rumusan Masalah:
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang tentang
Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tarakan (Studi Implementasi Keputusan Menteri No.150 Tahun 2000 Tentang
Ketenagakerjaan) maka dalam penelitian ini masalah yang dapat dirumuskan yaitu:
1.
Bagaimana Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Tarakan ?
2.
Apa saja faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam Penanganan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan ?
1.3 Tujuan Penelitian:
Setiap penelitian pada dasarnya mempunyai beberapa tujuan yang ingin dicapai. Hal
ini dimaksudkan untuk memberikan arahan kepada seorang peneliti dalam melakukan
pekerjaan dan dapat menentukan kemana seharusnya berjalan dan berbuat. sejalan
dengan permasalahan yang di rumuskan, maka penelitian ini bertujuan:
1.
Untuk mengetahui Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja Kota Tarakan.
2.
Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam Penanganan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tarakan.
1.4 Kegunaan Penelitian:
Hasil penelitian pada umumnya sangat diharapkan dapat memberikan kegunaan dan
manfaat yang sebesar-besarnya baik untuk penulis sendiri maupun bagi orang lain yang
menggunakannya. Dengan penelitian ini, kegunaan dan manfaat yang diharapkan yaitu:
1.
Secara teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu sosial terutama ilmu Administrasi Negara, khususnya dibidang
kebijakan publik.
2.
Secara praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran, terutama bagi
pihak yang berwenang Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kota Tarakan dalam menghadapi
masalah PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).
BAB II
KERANGKA DASAR TEORI
2.1 Teori dan Konsep
Dalam setiap penelitian ilmiah tidak terlepas dari teori dan konsep yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Hal ini dimaksudkan agar penelitian yang
dilakukan dapat memberikan arahan yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan.
Teori adalah alur logika atau penalaran, yang merupakan perangkat konsep,
definisi, dan proposisi yang disusun secara sistematis. Jadi teori memuat konsep,
definisi, dan proposisi. Secara umum fungsi dari teori adalah sebagi berikut:
1. Menjelaskan (explanation), ruang lingkup variabel-variabel yang akan diteliti.
2. Meramalkan (prediction), yaitu menyusun hipotesis dan menyusun instrument
penelitian.
3. Pengendalian (control), yaitu membahas hasil penelitian dan memberikan saran.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sugiono (2003:55) bahwa
teori adalah seperangkat asumsi dan generalisasi yang dapat digunakan untuk
mengungkapkan, menjelaskan, dan memprediksi prilaku yang memiliki keteraturan.
Konsep menurut Husain Usman dan Purnomo Setiady Akbar (2003:8)
mengatakan bahwa “konsep dipakai oleh penulis untuk menggambarkan suatu gejala
sosial atau gejala alamiah.” Konsep dapat juga disebut sebagai generalisasi dari
kelompok gejala tertentu sehingga dapat dipakai untuk menggambarkan berbagai gejala
yang sama.
2.1.1 Implementasi.
Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti
mengimplementasikan.
Implementasi
merupakan
penyediaan
sarana
untuk
melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu
tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undangundang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh
lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan. Secara etimologis
pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip oleh Solichin Abdul
Wahab adalah: “Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement.
Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the
means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give
practical effect to (untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”(Webster
dalam Wahab,2004:64). Berdasarkan diatas maka implementasi itu merupakan
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di
tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat
kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat
memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat.Hal tersebut bertujuan agar
suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan
masyarakat. Pandangan Van Meter dan Van Horn bahwa implementasi merupakan
tindakan oleh individu, pejabat, kelompok badan pemerintah atau swasta yang
diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu keputusan
tertentu. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah yang
membawa dampak pada warganegaranya. Namun dalam praktinya badan-badan
pemerintah sering menghadapi pekerjaan-pekerjaan di bawah mandat dari UndangUndang, sehingga membuat mereka menjadi tidak jelas untuk memutuskan apa yang
seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan. Mazmanian dan
Sebastiar juga mendefinisikan implementasi sebagai berikut: “Implementasi adalah
pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun
dapat pula berbentuk perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau
keputusan badan peradilan”. (Mazmanian dan Sebastiar dalam Wahab,2004:68).
Implementasi menurut Mazmanian dan Sebastier merupakan pelaksanaan kebijakan
dasar berbentuk undang-undang juga berbentuk perintah atau keputusan-keputusan yang
penting atau seperti keputusan badan peradilan. Proses implementasi ini berlangsung
setelah melalui sejumlah tahapan tertentu seperti tahapan pengesahan undang-undang,
kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai
perbaikan kebijakan yang bersangkutan. Menurut uraian di atas, jadi implementasi itu
merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah
di tetapkan dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat
kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat
memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat, Hal tersebut bertujuan
agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan
masyarakat.
Gambar 1
Berikut ini model analisis kebijakan:
Sebelum
Implementasi
Kebijakan
Sesudah
Konsekuensi-Konsekuensi Kebijakan
Model Prespektif
Model Integratif
Model Retrospektif
Gambar 2.1: Model Analisis Kebijakan menurut Dunn dalam Edi Suharto, PhD (2008:86)
1.
Model prospektif adalah bentuk analisi kebijakan yang mengarahkan kajiannya
pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan diterapkan.
Model ini dapat disebut sebagai model prediktif, karena seringkali melibatkan
teknik-teknik peramalan (forecasting) untuk memprediksi kemungkinankemungkinan yang akan timbul dari suatu kebijakan yang akan diusulkan.
2.
Model retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan terhadap akibatakibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan. Model ini biasanya
disebuut juga model evaluative, karena banyak melibatkan pendekatan evaluasi
terhadap dampak-dampak kebijakan yang sedang atau telah diterapkan.
3.
Model integrative adalah model perpaduan antara kedua model diatas. Model ini
kerap disebut sebagai model komprehensif atau model holistik, karena analisis
dilakukan terhadap konsekuensi-konsekuensi kebijakan yang mungkin timbul,
baik sebelum maupun sesudah suatu kebijakan dioperasikan. Model analisis
kebijakan ini biasanya melibatkan teknik-teknik peramalan dan evaluasi secara
terintegrasi.
2.1.2 Kebijakan Publik
Kebijakan menurut pendapat Carl Friedrich yang dikutip oleh Wahab bahwa:
“Kebijakan adalah suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan
adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai
tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan” (Friedrich dalam Wahab, 2004:3).
Berdasarkan definisi di atas, kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk
mencapai tujuan dan umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok
ataupun pemerintah. Kebijakan tentu mempunyai hambatan-hambatan tetapi harus
mencari peluang-peluang untuk mewujudkan tujuan dan sasaran yang diinginkan. Hal
tersebut berarti kebijakan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktik-
praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Apabila kebijakan berisi nilai-nilai yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka kebijakan tersebut
akan mendapat kendala ketika di implementasikan. Sebaliknya, suatu kebijakan harus
mampu mengakomodasikan nilai-nilai dan praktik-praktik yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat.
Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk
mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam
mencapai tujuan tertentu. (Edi Suharto 2008:7).
James E. Anderson dalam Subarsono (2005:2) mendefinisikan kebijakan publik
sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah.
Thomas R. Dye dalam Subarsono (2005:2) yang menyatakan kebijakan publik
sebagai apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan. Para ahli
tersebut menekankan peran pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa kebijakan publik dihasilkan oleh organisasi publik dan
organisasi publik identik dengan organisasi pemerintah.
2.1.2.1. Model kebijakan publik
Menurut Lester dan Stewart (dalam Wahab 2008: 178) ada 2 model kebijakan
yang paling baik, yaitu model elitis dan model pluralis.
1. Model Elitis
Di sebagian besar negara-negara berkembang dan negara yang mendasarkan diri
pada sistem otoriter, seperti misalnya Kuba dan Korea Utara, model elitis merupakan
model yang cukup baik untuk menganalisis kebijakan publik yang berlangsung di
negara-negara tersebut. Model ini mempuyai asumsi bahwa kebijakan publik dapat
dipandang sebagai nilai-nilai dan pilihan-pilihan dari elit yang memerintah. Argumentasi pokok dari model ini adalah bahwa bukan rakyat atau “massa” yang menentukan kebijakan publik melalui tuntutan-tuntutan dan tindakan mereka, tetapi kebijakan
publik ditentukan oleh elit yang memerintah dan dilaksanakan oleh pejabat-pejabat dan
badan-badan pemerintah yang berada di bawahnya.
Thomas Dye dan Harmon dalam The Irony of Democracy memberikan suatu
ringkasan pemikiran menyangkut model ini, yakni :
1. Masyarakat terbagi dalam suatu kelompok kecil yang mempunyai kekuasaan
(power) dan massa yang tidak mempunyai kekuasaan. Hanya sekelompok kecil saja
orang yang mengalokasikan nilai-nilai untuk masyarakat sementara massa tidak
memutuskan kebijakan.
2. Kelompok kecil yang memerintah itu bukan tipe massa yang dipengaruhi. Para elit
ini (the rulling class) biasanya berasal dari lapisan masyarakat yang ekonominya
tinggi.
3. Perpindahan dari kedudukan non-elit ke elitis sangat pelan dan berkesinambungan
untuk memelihara stabilitas dan menghindari revolusi. Hanya kalangan non-elit
yang telah menerima konsensus elit yang mendasar yang dapat diterima ke dalam
lingkaran yang memerintah.
4. Elit memberikan konsensus pada nilai-nilai dasar sistem sosial dan pemeliharaan
sistem. Misalnya, di Amerika Serikat konsensus elit mencakup perusahaan swasta,
hak milik pribadi, pemerintahan terbatas dan kebebasan individu.
5. Kebijakan publik tidak merefleksikan tuntutan-tuntutan massa, tetapi nilai-nilai elit
yang berlaku. Perubahan-perubahan dalam kebijakan publik adalah secara
inkremental daripada secara revolusioner. Perubahan-perubahan secara inkremental
memungkinkan tanggapan-tanggapan yang timbul hanya mengancam sistem sosial
dengan perubahan sistem yang relatif kecil dibandingkan bila perubahan tersebut
didasarkan teori rasional komprehensif.
6. Para elit secara relatif memperoleh pengaruh langsung yang kecil dari massa yang
apatis. Sebaliknya, para elit mempengaruhi massa yang lebih besar.
Namun demikian, walaupun model ini dapat sangat berguna untuk menjelaskan
kebijakan yang berlangsung di negara-negara otoriter, tetapi model ini bersifat agak
provokatif. Dalam pandangan model ini, kebijakan merupakan produk elit,
merefleksikan nilai-nilai mereka dan membantu tujuan-tujuan mereka. Walaupun salah
satu dari tujuan-tujuan itu mungkin merupakan keinginan untuk mernberikan
kesejahteraan massa.
Model elit lebih memusatkan perhatian pada peranan kepemimpinan dalam
pembentukan kebijakan-kebijakan publik. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
dalam suatu sistem politik beberapa orang memerintah orang banyak, para elit politik
yang mempengaruhi massa rakyat dan bukan sebaliknya. Namun demikian, apakah para
elit memerintah dan menentukan kebijakan dengan pengaruh yang kecil dari massa
merupakan proposisi yang sulit dibuktikan. Untuk mempertahankan proposisi ini secara
berhasil seorang ilmuwan politik Robert Dahl mengatakan bahwa orang harus
mengidentifikasi “kelompok yang mengendalikan dibandingkan dengan ukuran
mayoritas, yang bukan merupakan artefak dari peraturan-peraturan demokratik, suatu
minoritas individu-individu yang mempunyai pilihan-pilihan yang secara teratur berlaku
dalam kasus-kasus perbedaan pilihan-pilihan tentang masalah-masalah politik pokok.
2. Model Pluralis
Berkebalikan dengan model elit yang titik perhatiannya lebih bertumpu pada elit
politik, maka model pluralis lebih percaya pada peran subsistem-subsistem yang berada
dalam sistern demokrasi. Di negara-negara berkembang model elitis akan cukup
memadai untuk menjelaskan proses politik yang berlangsung, namun akan kesulitan
dalam menjelaskan proses politik di negara yang mendasarkan diri pada sistem
demokrasi, terlebih demokrasi pluralis seperti di Amerika Serikat.
Pandangan-pandangan pluralis disarikan dari ilmuwan Robert Dahl dan David
Truman. Pandangan pluralis dapat dirangkum dalam uraian berikut:
1. Kekuasaan merupakan atribut individu dalam hubungannya dengan individuindividu yang lain dalam proses pembuatan keputusan.
2. Hubungan-hubungan kekuasaan tidak perlu tetap berlangsung, hubunganhubungan
kekuasaan lebih dibentuk untuk keputusan-keputusan khusus. Setelah keputusan ini
dibuat maka hubungan-hubungan kekuasaan tersebut tidak akan nampak, hubungan
ini akan digantikan oleh seperangkat hubungan kekuasaan yang berbeda ketika
keputusan selanjutnya hendak dibuat.
3. Tidak ada pembedaan yang tetap di antara “elit” dan “massa”. Individuindividu
yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dalam suatu waktu tidak
dibutuhkan oleh individu yang sama yang berpartisipasi dalam waktu yang lain.
Individu masuk dan keluar dalam partisipasinya sebagai pembuat keputusan
digolongkan menjadi aktif atau tidak aktif dalam politik.
4. Kepemimpinan bersifat cair dan mempunyai mobilitas yang tinggi, kesehatan
merupakan aset dalam politik, tetapi hanya merupakan salah satu dari sekian banyak
aset politik yang ada.
5. Terdapat banyak pusat kekuasaan di antara komunitas. Tidak ada kelompok tunggal
yang mendominasi pembuatan keputusan untuk semua masalah kebijakan.
6. Kompetisi dapat dianggap berada di antara pemimpin. Kebijakan publik lebih lanjut
dipandang merefleksikan tawar-menawar atau kompromi yang dicapai di antara
kompetisi pemimpin-pemimpin politik.
2.1.3 Implementasi kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan
dapat mencapai tujuannya. Lester dan Stewart yang dikutip oleh Winarno, menjelaskan
bahwa implementasi kebijakan adalah: “Implementasi kebijakan dipandang dalam
pengertian luas merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi,
prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna
meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Lester dan Stewart dalam Winarno,
2002:101-102). Jadi implementasi itu merupakan tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh pemerintah untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan dalam suatu keputusan
kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji
terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk tidak
bagi masyarakat. Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan
masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.
Implementasi kebijakan menurut Nugroho terdapat dua pilihan untuk
mengimplementasikannya, yaitu langsung mengimplementasikan nya dalam bentuk
program-program dan melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan
tersebut (Nugroho, 2003:158). Oleh karena itu, implementasi kebijakan yang telah
dijelaskan oleh Nugroho merupakan dua pilihan, dimana yang pertama langsung
mengimplementasi dalam bentuk program dan pilihan kedua melalui formulasi
kebijakan. Pengertian implementasi kebijakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan suatu implmentasi.
Meter dan Horn dalam Wahab,(2004:79) juga mengemukakan beberapa hal yang
dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi, yaitu:
1. Ukuran dan tujuan kebijakan.
2. Sumber-sumber kebijakan.
3. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana.
4. Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan pelaksanaan.
5. Sikap para pelaksana.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik.
Keberhasilan suatu implementasi menurut kutipan Wahab dapat dipengaruhi
berdasarkan faktor-faktor di atas, yaitu:
Kesatu yaitu ukuran dan tujuan diperlukan untuk mengarahkan dalam
melaksanakan kebijakan, hal tersebut dilakukan agar sesuai dengan program yang sudah
direncanakan.
Kedua, sumber daya kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn yang dikutip
oleh Agustino, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses implementasi
kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan
waktu (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:142). Sumber-sumber kebijakan tersebut
sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Sumber daya manusia sangat penting karena sebagai sumber penggerak dan pelaksana
kebijakan, modal diperlukan untuk kelancaran pembiayaan kebijakan agar tidak
menghambat proses kebijakan. Sedangkan waktu merupakan bagian yang penting
dalam pelaksanaan kebijakan, karena waktu sebagai pendukung keberhasilan kebijakan.
Sumber daya waktu merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan dan
melaksanakan kebijakan.
Ketiga, keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi
pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan
publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para
badan atau instansi pelaksananya. Menurut Subarsono kualitas dari suatu kebijakan
dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor, kualitas tersebut adalah tingkat
pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya
(Subarsono, 2006:7).
Keempat, komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya
koordinasi implementasi kebijakan. Menurut Hogwood dan Gunn yang dikutip oleh
Wahab
bahwa:
“Koordinasi
bukanlah
sekedar
menyangkut
persoalan
mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur administrasi yang
cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yaitu praktik
pelaksanaan kebijakan”. (Hogwood dan Gunn dalam Wahab, 2004:77). Berdasarkan
teori diatas maka Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang
terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan
sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.
Kelima, menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Widodo, bahwa
karakteristik para pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan
pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi (Meter dan Horn dalam Subarsono,
2006:101). Sikap para pelaksana dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai
pelaksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap disiplin. Hal tersebut dilakukan
karena dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, setiap badan/instansi
pelaksana kebijakan harus merasa memiliki terhadap tugasnya masing-masing
berdasarkan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Keenam, dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan menurut
Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino adalah sejauh mana lingkungan
eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan,
lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi, sosial, dan politik (Meter dan Horn
dalam Agustino, 2006:144). Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan
faktor yang menentukan keberhasilan suatu implementasi. Untuk mengefektifkan
implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka diperlukan adanya tahap-tahap
implementasi kebijakan.
(M. Irfan Islamy 2000:102-106) membagi tahap implementasi dalam 2 bentuk,
yaitu:
1. Bersifat self-executing, yang berarti bahwa dengan dirumuskannya dan disahkannya
suatu kebijakan maka kebijakan tersebut akan terimplementasikan dengan
sendirinya, misalnya pengakuan suatu negara terhadap kedaulatan negara lain.
2. Bersifat non self-executing yang berarti bahwa suatu kebijakan publik perlu
diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan pembuatan
kebijakan tercapai.
Sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab,
yaitu mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami
apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan.
Yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan
kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasi maupun usaha
untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi
perilaku lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran (target grup) tetapi
memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh pada
impelementasi kebijakan negara.
2.1.3.1 Faktor Pendukung dan Penghambat dari Implementasi
Kebijakan.
Adapun faktor pendukung dari implementasi yaitu; Kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah tidak hanya ditujukan dan dilaksanakan untuk intern pemerintah saja, akan
tetapi ditujukan dan harus dilaksanakan pula oleh seluruh masyarakat yang berada di
lingkungannya. Menurut James Anderson, masyarakat mengetahui dan melaksanakan
suatu kebijakan publik dikarenakan :
1.
Respek anggota masyarakat terhadap otoritas dan keputusan badan-badan
pemerintah.
2.
Adanya kesadaran untuk menerima kebijakan.
3.
Adanya keyakinan bahwa kebijakan itu dibuat secara sah, konstitusional, dan dibuat
oleh para pejabat pemerintah yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan.
4.
Sikap menerima dan melaksanakan kebijakan publik karena kebijakan itu lebih
sesuai dengan kepentingan pribadi.
5.
Adanya sanksi-sanksi tertentu yang akan dikenakan apabila tidak melaksanakan
suatu kebijakan. (Suggono, 2000:23)
Berdasarkan teori diatas bahwa faktor pendukung implementasi kebijakan harus
didukung dan diterima oleh masyarakat, apabila anggota masyarakat mengikuti dan
mentaati sebuah kebijakan maka sebuah implementasi kebijakan akan berjalan sesuai
tujuan yang telah ditetapkan tanpa ada hambatan-hambatan yang mengakibatkan sebuah
kebijakan tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Bambang Sunggono dalam buku Hukum dan kebijakan publik,
implementasi kebijakan mempunyai beberapa faktor penghambat, yaitu:
1.
Isi kebijakan. Pertama, implementasi kebijakan gagal karena masih samarnya isi
kebijakan, maksudnya apa yang menjadi tujuan tidak cukup terperinci, saranasarana dan penerapan prioritas, atau program-program kebijakan terlalu umum atau
sama sekali tidak ada. Kedua, karena kurangnya ketetapan intern maupun ekstern
dari
kebijakan
yang
akan
dilaksanakan.
Ketiga,
kebijakan
yang
akan
diimplementasiakan dapat juga menunjukkan adanya kekurangan-kekurangan yang
sangat berarti. Keempat, penyebab lain dari timbulnya kegagalan implementasi
suatu kebijakan publik dapat terjadi karena kekurangan-kekurangan yang
menyangkut sumber daya-sumber daya pembantu, misalnya yang menyangkut
waktu, biaya/dana dan tenaga manusia.
2.
Informasi. Implementasi kebijakan publik mengasumsikan bahwa para pemegang
peran yang terlibat langsung mempunyai informasi yang perlu atau sangat berkaitan
untuk dapat memainkan perannya dengan baik.Informasi ini justru tidak ada,
misalnya akibat adanya gangguan komunikasi.
3.
Dukungan. Pelaksanaan suatu kebijakan publik akan sangat sulit apabila pada
pengimlementasiannya tidak cukup dukungan untuk pelaksanaan kebijakan
tersebut.
4.
Pembagian potensi. Sebab musabab yang berkaitan dengan gagalnya implementasi
suatu kebijakan publik juga ditentukan aspek pembagian potensi diantara para
pelaku yang terlibat dalam implementasi. Dalam hal ini berkaitan dengan
diferensiasi tugas dan wewenang organisasi pelaksana. Struktur organisasi
pelaksanaan dapat menimbulkan masalah-masalah apabila pembagian wewenang
dan tanggung jawab kurang disesuaikan dengan pembagian tugas atau ditandai oleh
adanya pembatasan-pembatasan yang kurang jelas. (Sunggono,2000: 149-153).
Suatu kebijakan publik akan menjadi efektif apabila dilaksanakan dan
mempunyai manfaat positif bagi anggota-anggota masyarakat. Dengan kata lain,
tindakan atau perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat harus sesuai dengan apa
yang diinginkan oleh pemerintah atau negara. Sehingga apabila perilaku atau perbuatan
mereka tidak sesuai dengan keinginan pemerintah atau negara, maka suatu kebijakan
publik tidaklah efektif.
2.1.4 Ketenagakerjaan
Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan adalah segala
hal yang berhubungan dengan masalah tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan
sesudah masa kerja.
Hukum ketanagakerjaan mempunyai fungsi sebagai sarana pembaharuan
masyarakat yang menyalurkan arah kegiatan manusia kearah yang sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh pembangunan ketenagakerjaan.
Pembangunan ketenagakerjaan sebagai salah satu upaya dalam mewujudkan
pembangunan nasional diarahkan untuk mengatur, membina dan mengawasi segala
kegiatan yang berhubungan dengan tenaga kerja sehingga dapat terpelihara adanya
ketertiban untuk mencapai keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang
dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di bidang ketenagakerjaan itu
harus memadai dan sesuai dengan laju perkembangan pembangunan yang semakin pesat
sehingga dapat mengantisipasi tuntutan perencanaan tenaga kerja, pembinaan hubungan
industrial dan peningkatan perlindungan tenaga kerja.
Sebagaimana menurut fungsinya sebagai sarana pembaharuan, hukum
ketenagakerjaan merubah pula cara berfikir masyarakat yang kuno kearah cara berfikir
yang modern yang sesuai dengan yang dikehendaki oleh pembangunan sehingga hukum
ketenagakerjaan dapat berfungsi sebagai sarana yang dapat membebaskan tenaga kerja
dari perbudakan, peruluran, perhambaan, kerja paksa dan punale sanksi, membebaskan
tenaga kerja dari kehilangan pekerjaan, memberikan kedudukan hukum yang seimbang
dan kedudukan ekonomis yang layak kepada tenaga kerja.
2.1.5 PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)
Menurut Kep.Men No. 150 Tahun 2000 dan UU No. 13 tahun 2003 PHK adalah
pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya
hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.
Tergantung alasannya, PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski
begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada
instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak berujung
sengketa hukum, atau karena pekerja tidak mengetahui hak mereka.
Pekerja kontrak dan tetap :
Pengaturan kompensasi PHK berbeda untuk pekerja kontrak (terikat Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu-PKWT) dan pekerja tetap (terikat Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu-PKWTT). Dalam hal kontrak, pihak yang memutuskan kontrak diperintahkan
membayar sisa nilai kontrak tersebut. Sedangkan bagi pekerja tetap, diatur soal wajib
tidaknya pengusaha memberi kompensasi atas PHK tersebut.
Dalam PHK terhadap pekerja tetap, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang
seharusnya diterima pekerja. Kewajiban ini hanya berlaku bagi pengusaha yang
melakukan PHK terhadap pekerja untuk waktu tidak tertentu. Pekerja dengan kontrak
mungkin menerima pesangon bila diatur dalam perjanjiannya.
2.1.5.1 PHK Sukarela
Pekerja dapat mengajukan pengunduran diri kepada pengusaha secara tertulis
tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti
pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk
mengundurkan diri, pekerja harus memenuhi syarat: Mengajukan permohonan
selambatnya 30 hari sebelumnya, tidak ada ikatan dinas, tetap melaksanakan kewajiban
sampai mengundurkan diri. Pekerja yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak
atas kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan
dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Pekerja mungkin mendapatakan lebih bila
diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat antara
pekerja dan pengusaha, terkait apakah pekerja yang mengundurkan diri berhak atas 15%
dari uang pesangon dan penghargaan masa kerja.
2.1.5.2 PHK Tidak Sukarela
a. PHK oleh Pengusaha
Seseorang dapat dipecat (PHK tidak sukarela) karena bermacam hal, antara lain
rendahnya performa kerja, melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan pengusaha. Tidak semua
kesalahan dapat berakibat pemecatan. Hal ini tergantung besarnya tingkat kesalahan.
Pengusaha dimungkinkan memPHK pekerjanya dalam hal pekerja melakukan
pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama. Ini, setelah sebelumnya kepada pekerja diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Surat peringatan masingmasing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Pengusaha dapat memberikan surat peringatan kepada pekerja untuk berbagai
pelanggaran dan menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran.
Pengusaha dimungkinkan juga mengeluarkan misalnya SP 3 secara langsung, atau
terhadap perbuatan tertentu langsung memPHK. Hal ini dengan catatan hal tersebut
diatur dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja
bersama (PKB), dan dalam ketiga aturan tersebut, disebutkan secara jelas jenis
pelanggaran yang dapat mengakibatkan PHK
b. Kesalahan Berat (Pasal 158)
Semenjak
Mahkamah
Konstitusi
(MK)
menyatakan
Pasal
158
UU
Ketenagakerjaan inkonstitusional, maka pengusaha tidak lagi dapat langsung
melakukan PHK apabila ada dugaan pekerja melakukan kesalahan berat. Berdasarkan
asas praduga tak bersalah, pengusaha baru dapat melakukan PHK apabila pekerja
terbukti melakukan kesalahan berat yang termasuk tindak pidana. Atas putusan MK ini,
Depnaker mengeluarkan surat edaran yang berusaha memberikan penjelasan tentang
akibat putusan tersebut.
Yang termasuk kesalahan berat ialah:
1.
Melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik
perusahaan.
2.
Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan
perusahaan;
3.
Mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau
mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja.
4.
Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja.
5.
Menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau
pengusaha di lingkungan kerja.
6.
Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan
yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan ceroboh atau sengaja
merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang
menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
7.
Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam
keadaan bahaya di tempat kerja,
8.
Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan
kecuali untuk kepentingan negara, atau
9.
Melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
c.
Permohonan PHK oleh Pekerja
Pekerja juga berhak untuk mengajukan permohonan PHK ke LPPHI bila
pengusaha melakukan perbuatan seperti :
1. Menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja,
2. Membujuk dan/atau menyuruh pekerja untuk melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
3. Tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 bulan
berturut-turut atau lebih,
4. Tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja,
5. Memerintahkan pekerja untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan,
6. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan
kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.
d. PHK oleh Hakim
PHK dapat pula terjadi karena putusan hakim. Apabila hakim memandang
hubungan kerja tidak lagi kondusif dan tidak mungkin dipertahankan maka hakim dapat
melakukan PHK yang berlaku sejak putusan dibacakan.
e. PHK karena Peraturan Perundang-undangan
Pekerja yang meninggal dunia, Perusahaan yang pailit, dan force majeure
merupakan alasan PHK diluar keinginan para pihak. Meski begitu dalam praktek force
majeure sering dijadikan alasan pengusaha untuk mem-PHK pekerjanya.
2.1.5.3 Mekanisme PHK
Pekerja, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk
menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha pekerja/serikatnya,
PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).
Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus
dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI).
Hal-hal tersebut adalah:
a.
Pekerja masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara
tertulis sebelumnya.
b.
Pekerja mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan
sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya
hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
c.
Pekerja mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundangundangan.
d.
Pekerja meninggal dunia.
e.
Pekerja ditahan.
f.
Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan pekerja
melakukan permohonan PHK.
Selama belum ada penetapan dari LPPHI, pekerja dan pengusaha harus
tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha
dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak pekerja.
2.1.5.4 Perselisihan Tenaga Kerja
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan tenaga kerja yang didalamnya
terdapat perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat
pekerja. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara
pekerja dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah
satu pihak.
Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan
besaran kompensasi atas PHK.
Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang :
1. Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan
pekerja atau serikat pekerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan
dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian
perselisihan.
Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi
risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para
pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian
Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama
dilakukan. Perlunya mendaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari
kemungkinan salah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi.
Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka pekerja dan pengusaha mungkin harus
menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.
2. Perundingan Tripartit
Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih
oleh para pihak:
a. Mediasi
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas Tenagakerja
kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar
tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak
membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai
kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
b. Konsiliasi
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak.
Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta
kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga
mengeluarkan produk berupa anjuran.
c. Arbitrase
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak
mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang
menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena
adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.
3. Pengadilan Hubungan Industrial
Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan
gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya
didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/
kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan
industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan
eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
mengadili jenis perselisihan lainnya:
a.
Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak,
b.
Perselisihan kepentingan dan
c.
Perselisihan antar serikat pekerja.
d.
Kasasi (Mahkamah Agung)
Pihak yang menolak Putusan PHI soal Perselisihan PHK dapat langsung
mengajukan kasasi (tidak melalui banding) atas perkara tersebut ke Mahkamah Agung,
untuk diputus.
2.1.5.5 Kompensasi PHK
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar
uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang
penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung
berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.
Perhitungan uang pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
1. Masa Kerja Uang Pesangon
masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah;
a. Masa kerja 1 - 2 tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. Masa kerja 2 - 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. Masa kerja 3 - 4 tahun 4 (empat) bulan upah;
d. Masa kerja 4 - 5 tahun 5 (lima) bulan upah;
e. Masa kerja 5 - 6 tahun 6 (enam) bulan upah;
f. Masa kerja 6 - 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
g. Masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah;
h. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
2. Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai
berikut :
a. Masa Kerja UPMK
b. Masa kerja 3 - 6 tahun 2 (dua) bulan upah;
c. Masa kerja 6 - 9 tahun 3 (tiga) bulan upah;
d. Masa kerja 9 - 12 tahun 4 (empat) bulan upah;
e. Masa kerja 12 - 15 tahun 5 (lima) bulan upah;
f. Masa kerja 15 - 18 tahun 6 (enam) bulan upah;
g. Masa kerja 18 - 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah;
h. Masa kerja 21 - 24 tahun 8 (delapan) bulan upah;
i. Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah
3. Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi :
a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
4. Alasan PHK dan Hak Atas Pesangon
Besaran Perkalian pesangon, tergantung alasan PHKnya. Besaran Pesangon
dapat ditambah tapi tidak boleh dikurangi. Besaran Pesangon tergantung alasan PHK
sebagai berikut:
a. Masa percobaan -Tidak berhak kompensasi
b. Mengundurkan diri (kemauan sendiri) -Berhak atas UPH
c. Tidak lulus nya PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ) -Tidak Berhak atas
Kompensasi
d. Pekerja melakukan kesalahan berat - Berhak atas UPH
e. Pekerja melakukan Pelanggaran Perjanjian Kerja, Perjanjian Kerja Bersama, atau
Peraturan Perusahaan- ­1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
f. Pekerja menerima PHK meski bukan karena kesalahannya. Tergantung kesepakatan
g. Pernikahan antar pekerja (jika diatur oleh perusahaan) - 1 kali UP, 1 kali UPMK,
dan UPH
h. PHK Massal karena perusahaan rugi atau force majeure- 1 kali UP, 1 kali UPMK,
dan UPH
i. PHK Massal karena Perusahaan melakukan efisiensi. - 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan
UPH
j. Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pekerja tidak mau melanjutkan
hubungan kerja- 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
k. Peleburan, Penggabungan, perubahan status dan Pengusaha tidak mau melanjutkan
hubungan kerja - 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
l. Perusahaan pailit - 1 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
m. Pekerja meninggal dunia- 2 kali UP, 1 kali UPMK, dan UPH
n. Pekerja mangkir 5 hari atau lebih dan telah dipanggil 2 kali secara patut - UPH dan
Uang pisah
o. Pekerja sakit berkepanjangan atau karena kecelakaan kerja (setelah 12 bulan) - 2
kali UP, 2 kali UPMK, dan UPH
p. Pekerja memasuki usia pensiun - Sesuai Pasal 167 UU 13/2003
q. Pekerja ditahan dan tidak dapat melakukan pekerjaan (setelah 6 bulan)- 1 kali
UPMK dan UPH
r. Pekerja ditahan dan diputuskan bersalah - 1 kali UPMK dan UPH
Contoh :
A yang tinggal di Samarinda telah bekerja selama sepuluh tahun di PT B yang juga
berdomisili di Samarinda, dengan upah Rp 3 juta per bulan. Ia kemudian di PHK
perusahaannya karena melakukan pelanggaran terhadap perjanjian kerja.
Maka, ia berhak atas kompensasi sebesar:
UP = Rp3.000.000,- x 1x9 = 27.000.000, (3 juta Dikali 1 UP (karena melanggar Perjanjan
kerja) dikalikan dengan 9 bulan upah)
UPMK= Rp3.000.000 x1x 4= 12.000.000,- (tiga juta kali 4 bulan upah, karena masa
kerja 10 tahun
UPH = 15% (uang penggantian perumahan dan pengobatan) x (27 juta +12juta)
=Rp5.850.000,Total Kompensasi = UP + UPMK + UPH
27.000.000+ 12.000.000 + 5.850.000 = 44.850.000,-
2.2 Definisi Konsepsional
Sesuai dengan judul penelitian ini, maka penulis memberikan batasan pengertian
konsep sebagai berikut :
Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan dalam
menghadapi masalah PHK Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan adalah sebagai
mediator didalam permasalahan PHK antara perusahaan dengan buruh yang disebabkan
karena PHK tidak sukarela, mekanisme PHK, perselisihan tenaga kerja, dan kompensasi
PHK sehingga terciptanya keputusan dan kesepakatan yang baik diantara keduanya dan
tidak merugikan pihak manapun.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini penulis memakai penelitian Deskriptif Kualitatif. Data
kualitatif yaitu, data yang berhubungan dengan kategorisasi, karakteristik berwujud
pertanyaan atau berupa kata-kata. Data ini biasanya didapat dari wawancara dan bersifat
subjektif sebab data tersebut ditafsirkan lain oleh orang yang berbeda (Riduan, 2003: 57). Data kualitatif dapat diberi dalam bentuk ordinal atau rangking (skala yang
diurutkan dari jenjang terendah atau sebaliknya).
Penulis menggunakan jenis penelitian ini dengan tujuan memaparkan dan untuk
memberikan gambaran serta penjelasan dari variable yang diteliti, dalam hal ini adalah
Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tarakan
(Implementasi
Keputusan
Menteri
No
150
Tahun
2000
tentang
ketenagakerjaan)
3.2 Fokus Penelitian
Dijelaskan oleh Moleong (2000;63) pada dasarnya penelitian kualitatif dimulai
oleh sesuatu yang kosong tetapi berdasarkan presepsi seseorang terhadap adanya suatu
masalah. Demikian pula di dalam alam ini tidak ada masalah tetapi hanyalah manusia
itu sendiri yang mempresepsikan adanya masalah itu.
Dari penjelasan diatas dan berdasarkan masalah yang diteliti serta tujuan
penelitian, maka yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja Kota Tarakan (Implementasi Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000
tentang ketenagakerjaan) adalah :
a. PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja) tidak sukarela
b. Mekanisme PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja)
c. Perselisihan tenaga kerja
d. Kompensasi
2.
Faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam Penanganan Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan
(Implementasi Keputusan Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan)
3.3 Tempat Penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian, dalam penelitian ini adalah Dinas Sosial
Dan Tenaga Kerja Kota Tarakan, yang berada dijalan Teuku Umar Rt.14 No. 45
Kelurahan Pamusian Tarakan Tengah.
3.4 Sumber Data
Menurut Arikunto (2003:114) sumber data dalam penelitian adalah subyek dari
mana data diperoleh. Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah:
1.
Data Primer
Adalah data yang diperoleh melalui narasumber dengan cara melakukan
wawancara secara langsung dan dipandu melalui pertanyaan-pertanyaan yang sesuai
dengan fokus penelitian. Dalam penelitian ini untuk memperoleh data primer harus
ada pemilihan narasumber, menurut Sugiyono (2006: 96-97) dapat melalui dua metode
sampling yaitu sebagai berikut:
a. Purposive Sampling
Purposive sampling merupakan teknik penentuan sampel atau orang yang
memiliki kekuasaan, pengetahuan, atau yang mengetahui tentang apa yang ingin
diteliti. Purposive sampling dilakukan untuk mencari narasumber sebagai Key
informan dan informan. Dalam penelitian ini yang menjadi Key informan yaitu Kepala
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan, dan yang menjadi informannya
adalah Pegawai Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan
b. Accidental Sampling
Accidental sampling merupakan teknik pemilihan sampel dari siapa saja yang
kebetulan ada atau yang kebetulan beraktivitas terkait dengan penelitian. Dalam teknik
penelitian ini yang menjadi sampel adalah Para Pekerja yang telah di PHK dan Serikat
buruh.
2.
Data Sekunder
Adalah data yang diperoleh melalui beberapa sumber informasi, antara lain
meliputi:
a. Dokumen-dokumen,
b. Buku-buku ilmiah, hasil penelitian dan media masa yang relevan dengan fokus
penelitian.
3.5 Teknik pengumpulan data
Dalam suatu penelitian diperlukan teknik pengumpulan data untuk mendapatkan
data-data yang akurat. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Penelitian keperpustakaan (Library Research)
Yaitu cara mengumpulkan data dengan memanfaatkan perpustakaan sebagai
sarana dala mengumpulkan data dengan mempelajari buku-buku dan hasil penelitian
orang lain sebagai bahan referensi
2. Penelitian lapangan (Field Work Research)
Yaitu cara mengumpulkan data dengan terjun langsung ke lapangan dengan
menggunakan beberapa teknik, yaitu:
a. Observasi
Yaitu cara mengumpulakan data yang dilakukan melalui pengamatan dan
pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian yang pelaksanaannya
langsung pada tempat dimana suatu peristiwa, keadaan atau situasi terjadi.
b. Wawancara
Yaitu cara untuk mendapatkan data-data dengan melakukan interview atau tanya
jawab dengan orang-orang yang merupakan sumber keterangan dan mengetahui
Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tarakan.
c. Dokumen
Yaitu cara mengumpulkan data melalui catatan-catatan peristiwa yang telah
berlalu yang dapat membentuk tulisan, gambar atau rekaman-rekaman yang ada pada
seseorang, suatu instansi ataupun pada suatu lembaga yang relevan dengan objek
penelitian ini.
3.6 Analisis Data.
Analisis data sangat penting dalam suatu penelitian karena didalam analisis data
dilakukan pengorganisasian terhadap data yang terkumpul dilapangan. Sesuai dengan
jenis penelitian, termasuk penelitian deskriptif dimaksud menggambarkan fenomenafenomena yang terjadi dilapangan terutama berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Data Model
Interaktif (Interactive Model Of Analisis) menurut Miles dan Huberman dalam
Sugiyono (2005:92), menggambarkan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif
dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas,
sehingga datanya sudah jenuh. Analisis data kualitatif ini terdiri dari tiga alur kegiatan
yang dikerjakan secara bersamaan yaitu : Reduksi Data, Penyajian Data, Penarikan
Kesimpulan, atau Verifikasi. Seperti terlihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2
Analisis Data Model Interaktif
Sumber : Milles dan Huberman dalam Sugiyono (2005:92)
Adapun penjelasan dari gambar analisis dan model interaktif yang
dikembangkan Milles dan Huberman dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Pengumpulan data (data collection): merupakan kegiatan awal yang berupa
mengumpulkan data mentah dari suatu penelitian.
2. Penyajian data (data display): Peneliti mengembangkan sebuah deskripsi
informasi tersusun untuk menarik kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Display data atau penyajian data yang lazim digunakan pada langkah ini adalah
dalam bentuk teks naratif.
3. Reduksi data (data reduction): dalam tahap ini peneliti melakukan pemilihan,
dan pemusatan perhatian untuk penyederhanaan, abstraksi, dan transformasi data
kasar yang diperoleh.
4. Penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification):
Peneliti berusaha menarik kesimpulan dan melakukan verifikasi dengan mencari
makna setiap gejala yang diperolehnya dari lapangan, mencatat keteraturan dan
konfigurasi yang mungkin ada, dari fenomena, dan proposisi.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
4.1.1 Kantor Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan kini sudah berusia 41 Tahun
lamanya berdiri atau berada di Kota Tarakan sejak tahun 1970, dengan nama Kantor
Resort Tenaga Kerja yang dahulu berada di alamat Jalan Jenderal Sudirman dengan
menyewa Kantor Angkatan Laut yaitu bersebelahan dengan gedung Gita Jalatama. Dan
berdasarkan Keputusan Walikota Tarakan No. 08 Tahun 2008 Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja sekarang mempunyai Gedung sendiri di Jalan Teuku Umar Rt.14 No.45
Kelurahan pamusian Tarakan Tengah.
4.1.1.1 Tugas Pokok dan Fungsi
1. Tugas Pokok.
Berdasarkan Keputusan Walikota Tarakan No.08 Tahun 2008 tentang Tugas
Pokok dan Fungsi serta Tata Kerja Organisasi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
mempunyai tuga pokok yaitu melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah di
bidang Sosial dan Ketenagakerjaan.
2. Fungsi.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Tarakan mempunyai fungsi :
a. Melakukan pelaksanaan pembinaan kewenangan di bidang ketenagakerjaan yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah.
b. Penyusunan pelaksanaan rencana dan program di bidang pembinaan teknis dan
bimbingan teknis ketenagakerjaan.
c. Melakukan pengelolaan, penyelenggaraan penyuluhan ketenagakerjaan.
d. Melakukan pengawasan, pengendalian dan pemantauan terhadap palayanan
perizinan dibidang ketenagakerjaan.
e. Melakukan penyuluhan dan pelatihan keterampilan ketenagakerjaan.
f. Melakukan pengawasan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan.
g. Melaksanakan penetapan pedoman pembinaan terhadap syarat-syarat kerja, jaminan
sosial dan kesejahteraan tenaga kerja dan masyarakat.
h. Melaksanakan penyelesaian hubungan ketenagakerjaan dan penyelesaian pemutusan
hubungan kerja.
i. Melaksanakan kewajiban tentang pelayanan bidang sosial dan ketenagakerjaan.
j. Melaksanakan pengawasan pelaksanaan norma khusus dibidang ketenagakerjaan
termasuk keselamatan dan kesehatan kerja, hiperkes, jaminan sosial tenaga kerja,
pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Luar Negeri dan penggunaan tenaga kerja
asing.
k. Pengelolaan administrasi umum meliputi penyususnan program ketenagakerjaan,
sosial, keuangan, kepegawaian, peralatan, dan perlengkapan.
l. Perumusan,
pengkoordinasian
dan
pelaksanaan
kebijakan
pengembangan
kelembagaan kesejahteraan sosial.
m. Melaksanakan rehabilitasi dan pelayanan sosial yang meliputi pembinaan anak dan
lanjut usia, rehabilitasi penyandang cacat dan rehabilitasi tunasusila
4.1.1.2 Struktur Organisasi
Dengan keputusan Walikota Tarakan No. 08 Tahun 2008 Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja memiliki struktur organisasi sebagai berikut:
1. Kepala Dinas
Kepala Dinas Sosial merupakan unsur pempinan yang mempunyai tugas pokok
memimpin, membina, dan mengkoordinasikan serta mengendalikan dan mengevaluasi
kegiatan penyusunan, perumusan, perencanaan, kebijakan teknis operasional program
pengembangan, peningkatan penyelenggraan dan pemberian pelayanan umum dibidang
kesejahteraan
sosial
meliputi
urusan
kesekretariatan,
urusan
pelayanan,
serta
pemberdayaan potensi sumber kesejahteraan sosial yang searah kebijakan umum daerah.
2. Sekretaris
Sekretaris merupakan unsur pembantu dan pelaksana pelayanan administrasi
mempunyai tugas pokok memimpin, membina, dan mengkoordinasi perumusan
kebijakan teknis kesekretariatan yang meliputi urusan administrasi penganggaran,
akuntansi, pengelolaan keuangan, surat menyurat, kearsipan, rumah tangga,
perlengkapan, kehumasan, kepegawaian, penyusunan program kedinasan, monitoring,
evaluasi, dan pelaporan serta kegiatan umum lainnya sesuai dengan arahan Kepala
Dinas sesuai kebijakan umum daerah.
Dalam melaksanakan fungsi dan perannya sekretaris dibantu oleh:
a. Sub bagian umum
b. Sub bagian keuangan
c. Sub bagian perencanaan program.
3. Bidang Kesejahteraan Sosial
Bidang Kesejahteraan Sosial ini mempunyai tugas teknis yang mempunyai tugas
pokok memimpin, membina, mengkoordinasi pelayanan perumusan kebijakan dalam
memberikan pelayanan teknis manajemen kesejahteraan sosial dengan penyelenggaraan
kegiatan teknis pelayanan dan rehabilitasi sosial sesuai ruang lingkup tanggung jawab dan
kewenangannya yang diarahkan oleh kepala dinas sesuai kebijakan umum daerah.
Dalam menyelenggarakan tugas pokoknya kepala bidang kesejahteraan sosial
dibantu oleh:
a. Seksi kesos dan pembinaan kehidupan beragama
b. Seksi rehabilitasi sosial
4. Bidang Tenaga Kerja
Bidang tenaga kerja bertugas dan pelaksana pelayanan teknis yang mempunyai
tugas
pokok
memimpin,
mengkonsultasikan,
merencenakan
mengevaluasi,
membina,
operasional,
mengendalikan,
mengkoordinasikan,
mengawasi
melaporkan kegiatan selaku Kepala Bidang Tenaga Kerja.
Dalam menyelenggarakan tugas pokoknya bidang tenaga kerja dibantu oleh:
dan
a. Seksi penempatan dan perluasan.
b. Seksi hubungan dan pembinaan.
c. Seksi pengawasan tenaga kerja.
Keadaan SDM berdasarkan tingkat pendidikan pada Disosnaker adalah
Tabel 4.1
SDM Di Disosnaker Berdasarkan tingkat pendidikan
Pendidikan
Jumlah Pegawai
Persentase
No.
1.
Pasca Sarjana (S2)
2 Orang
3%
2.
Sarjana (S1)
25 Orang
37 %
3.
D3
1 Orang
2%
4.
SMA
35 Orang
53%
5.
SMP
1 Orang
2%
6.
SD
2 Orang
3%
66 Orang
100%
Jumlah
Sumber : Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan Tahun 2012
Dari tabel diatas menujukkan bahwa jumlah pegawai berdasarkan tingkat
pendidikan dari yang tertinggi yaitu Pasca Sarjana(S2) sebanyak 2 orang dengan
presentasi 3 %, lalu tingkat pendidikan Sarjana (S1) sebanyak 25 orang dengan
presentase 37%, dilanjutkan dengan tingkat pendidikan D3 hanya ada 1 orang dengan
presentase 2%, lalu dengan tingkat pendidikan SMA sebanyak 35 orang dengan
presentase 53%, dilanjutkan dengan tingkat pendidikan SMP sebanyak 1 orang dengan
presentase 2%, dan tingkat pendidikan SD sebanyak 2 orang dengan presentase 3 %.
Jadi, dari daftar tabel diatas dapat terlihat bahwa SDM di Disosnaker kota
Tarakan memiliki tingkat pendidikan terbanyak yaitu dari tingkat SMA sebanyak 35
oarang dengan presentase 35%.
Berikut jumlah pegawai Dinas Sosial dan Tenaga Kerja berdasarkan tingkat
golongan :
Tabel 4.2
Jumlah pegawai Disosnaker berdasarkan golongan
No
Golongan Pegawai
Jumlah pegawai
Presentase
1.
IV b
2 Orang
3%
2.
IV a
3 Orang
4%
3.
III d
7 Orang
11%
4.
III c
6 orang
9%
5.
III b
2 orang
3%
6.
III a
11 orang
17%
7.
II d
4 orang
6%
8.
II c
13 0rang
20%
9.
II b
2 Orang
3%
10.
II a
6 Orang
9%
11.
PTTB
10 Orang
15%
Jumlah
66 Orang
100%
Sumber : Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan Tahun 2012
Dari tabel diatas dapat disimpulkan yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
di Kota Tarakan mempunyai golongan tertinggi yaitu IVb sebanyak 2 orang dengan
presentase 3 %, lalu golongan IVa sebanyak 3 orang denga presentase 4%, dilanjutkan
dengan golongan IIId sebanyak 7 orang dengan presentase 11%, golongan IIIc sebanyak
6 orang dengan presentase 9%, golongan IIIb sebanyak 2 orang dengan presentase 3%,
golongan IIIa sebanyak 11 orang dengan presentase 17%, golongan IId sebanyak 4 orang
dengan presentase 6%, golongan IIc sebanyak 13 orang dengan presentase 20%,
golongan IIb sebanyak 2 orang dengan presentase 3%, golongan IIa sebanyak 6 orang
dengan presentase 9% dan PTTB sebanyak 10 orang dengan presentase 15%.
Jadi, dari data diatas dapat dilihat kesimpulan bahwa presentase pegawai di
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja terbanyak terdapat di golongan IIc sebanyak 13 orang
dengan presentase 20%.
4.1.1.3 Sarana dan Prasarana
Untuk menunjang kegiatan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya, Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan dilengkapi dengan sarana dan prasarana berupa
tanah, bangunan kantor, kendaraan roda 4, kendaraan roda 2, Note book / Laptop, PC unit,
monitor, printer, keyboard, mesin ketik manual, pesawat telepon, faxcimile, AC, handy
came, wireless, meja dan kursi kerja, Sarana dan prasarana tersebut sebagian dalam
kondisi baik dan diharapkan semuanya dapat dimanfaatkan secara optimal.
4.1.1.4 Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran
1. Visi
Dalam mengantisipasi tantangan kedepan menuju kondisi yang diinginkan,
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan sebagai organisasi yang membantu
Pemerintah Kota Tarakan perlu secara terus menerus mengembangkan peluang dan
inovasi baru. Perubahan tersebut harus disusun dalam tahapan yang terencana,
kosisten, dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan akuntabilitas kinerja yang
berorientasi pada pencapaian hasil atau manfaat. Sehubungan dengan itu Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja Kota Tarakan harus mempunyai visi sebagai cara pandang jauh ke
depan tentang kemana Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan akan diarahkan
dan apa yang akan dicapai agar dapat eksis, antisipatif, dan inovatif. Sejalan dengan
Visi Pemerintah Kota Tarakan yaitu “Kota Pusat Pelayanan, Perdagangan Dan Jasa
Yang Sehat, Berbudaya, Adil, Sejahtera, Dan Berkelanjutan”, maka VISI Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja adalah ”Terwujudnya Pelayanan Kesejahteraan Sosial Dan
Ketenagakerjaan Yang Profesional Demi Terciptanya Masyarakat Yang Mandiri Dan
Hubungan Industrial Yang Sehat Menuju Kota Jasa Dan Perdagangan”.
Nilai-nilai inti yang terkandung dalam pernyataan visi tersebut adalah:
a.
Pelayanan adalah proses kegiatan yang memberikan kemudahan bagi masyarakat
atau lembaga yang berurusan di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan.
b. Pembinaan, suatu lembaga yang diberikan kewenangan dan tanggung jawab untuk
membina suatu hubungan kerja, baik sebelum, selama dan setelah selesainya suatu
hubungan kerja, yang muara akhirnya adalah memberikan perlindungan terhadap
semua pelaku program.
c. Hubungan Industrial, adalah sistem hubungan yang terbentuk antara pelaku dalam
proses produksi barang dan jasa yang berdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh,
dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Profesional, bahwa segala potensi yang dimiliki Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tarakan akan dimanfaatkan secara optimal dan akurat sehingga hasil akhir
dari suatu tugas membawa suatu pengaruh terhadap perubahan-perubahan baik
jangka pendek maupun jangka panjang.
Visi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. Untuk mewujudkan Kota
Tarakan sebagai kota pusat pelayanan perdagangan dan jasa maka Pemerintah Kota
Tarakan dengan segenap jajarannya wajib memiliki perencanaan pembangunan yang
dapat diandalkan sebagai kerangka/acuan operasional pembangunan kota jasa dan
perdagangan. Keadaan seperti ini yang harus dimiliki Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tarakan.
2. Misi
Misi merupakan sesuatu yang harus diemban dan dilaksanakan oleh organisasi
pemerintah sesuai dengan visi yang ditetapkan agar tujuan organisasi dapat terlaksanan
dan berhasil dengan baik. Dengan pernyataan misi ini diharapkan seluruh pegawai dan
pihak yang berkepentingan dapat mengenal organisasinya dengan baik, mengetahui
peran dan program-programnya serta hasil yang akan diperoleh di waktu-waktu yang
akan datang. Dengan adanya misi diharapkan seluruh aparat dan masyarakat dapat
mengenal instansi Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dan ikut berperan dalam programprogramnya agar diproleh hasil sesuai yang diharapkan. Perumusan misi dilakukan
dengan memperhatikan masukan dari pihak yang berkepentingan dan memberikan
peluang untuk perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Adapun misi Dinas Sosial adalah:
a. Mengembangkan kemudahan memperoleh informasi ketenagakerjaan sebagai
upaya pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya.
b. Membina dan mengembangkan Lembaga yang menangani pelatihan dan kesehatan
kerja, serta Perselisihan Hubungan Industrial.
c. Mengadakan pelatihan secara rutin dan terarah dalam rangka meningkatkan SDM
dibidang Tenaga Kerja dan masyarakat umum untuk mengatasi pengangguran dan
mengentaskan kemiskinan.
d. Menciptakan hubungan industrial yang kondusif dan harmonis, termasuk
penciptaan lingkungan kerja yang aman dan sehat.
e.
Meningkatkan peran aktif dan prakarsa masyarakat dalam rangka menuju
pembangunan kesejahteraan sosial.
3. Tujuan
Tujuan merupakan implementasi atau penjabaran dari misi dan merupakan
sesuatu yang akan dicapai atau dihasilkan pada kurun waktu tertentu. Bedasarkan
uraian di atas, maka Dinas Sosial dan Tenaga Kerja menetapkan tujuan sebagai
berikut:
a. Idealistik artinya adalah suatu pemahaman dan keyakinan yang kuat akan suatu dan
untuk mewujudkan keadaan menjadi lebih baik dan berhasil.
b. Jangkauan ke depan dicapai dalam jangka waktu 5 (lima) tahun atau lebih
sebagaimana yang ditetapkan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan.
c. Abstrak, bahwa tujuan sebelum tergambar secara kuantitatif, tetapi menunjukkan
suatu kondisi yang ingin dimasa yang akan dating.
d. Konsisten, yaitu tujuan harus konsisten sesuai dengan tugas pokok dan fungsi
organisasi.
e. Mempertajam tujuan umum seluruh unit organisasi.
f. Mewakili tujuan umum seluruh unit organisasi.
4.
Sasaran
Sasaran merupakan dari tujuan secara terukur yang akan dicapai secara merata
dan nyata dalam jangka waktu setahun, semesteran atau bulanan. Sasaran merupakan
bagian integral dalam proses perencanaan strategi yang terfokus pada tindakan. Fokus
utama sasaran adalah tindakan dan alokasi sumber data dalam kegiatan
organisasi/pemerintah daerah. Sasaran bersifat spesifik, dapat dinilai, dapat diukur,
menantag namun dapat di capai, berorientasi pada hasil dan dapat dicapai dalam priode
satu tahun. Bedasarkan pengertian tersebut, sasaran Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tarakan dalam kebijaksanaannya ialah:
a. Pengembangan Sistem IPK dan Penyususnan PTKT.
b. Pengembangan Pelayanan di Bidang KT.
c. Pengembangan Sistem Informasi Ketenagakerjaan.
d. Pengembangan Pembinaan dan Perlindungan Tenaga Kerja.
e. Pengembangan aparatur pegawai perantara/pengawas.
Sasaran pembangunan kesejahteraan tenaga kerja memiliki program operasional
sebanyak lima program resmi yaitu:
a. Penyususnan sistem IPK dan PTKT.
b. Penyusunan Raperda tentang Retribusi Pelayanan KT.
c. Peningkatana sistem informasi tentang ketenagakerjaan.
d. Peningkatan pembinaan dan pengawasan KT.
e.
Peningkatan kualitas aparatur pegawai perantara dan petugas.
Untuk mengatur capaian kerja sebagaimana yang telah ditatapkan dalan
Rencana Strategis tahun 2012/2013, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan
menetapkan rencana dari masing-masing sasaran serta kegiatan yang harus dicapai
sesuai dengan Rencana Kinerja. Perencanaan kinerja merupakan proses penyusunan
Rencana Kinerja sebagai penjabaran dari sasaran dan program yang telah ditetapkan
dalam rencana strategis oleh instansi yang bersangkutan melalui berbagai kegiatan
secara tahunan.
4.2 Hasil Penelitian
Pada bagian ini penulis menyajikan data berdasarkan cerita asli para informan
dan responden menurut bahasa, pandangan, dan ungkapan oleh mereka sebagai
karyawan dan para masyarakat yang mengadukan kasus PHK pada Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja di Kota Tarakan. Dimana kemudian penulis mendeskripsikan
Keputusan Menteri No. 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan dalam menghadapi
masalah PHK (pemutusan hubungan kerja) pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di
Kota Tarakan. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan telah diperoleh
data-data sebagai berikut :
4.2.1. Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Tarakan (Implementasi Keputusan Menteri No 150
Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan)
Dalam hal ini Keputusan Menteri No.150 Tahun 2000 tentang
ketenagakerjaan dalam menghadapi masalah PHK (pemutusan hubungan kerja)
pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan, penulis akan menjabarkan
hasil penelitian berdasarkan beberapa fokus penelitian, sebagai berikut :
4.2.1.1. PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja) tidak sukarela)
PHK tidak sukarela merupakan suatu tindakan pemutusan hubungan kerja
yang terjadi dari perusahaan kepada para karyawan. Seseorang dapat dipecat (PHK
tidak sukarela) karena bermacam hal, antara lain rendahnya performa kerja,
melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau kebijakankebijakan lain yang dikeluarkan pengusaha. Dalam PHK terhadap pekerja tetap,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa
kerja, dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja. Kewajiban ini
hanya berlaku bagi pengusaha yang melakukan PHK terhadap pekerja untuk waktu
tidak tertentu. Pekerja dengan kontrak mungkin menerima pesangon bila diatur
dalam perjanjiannya.
Berikut wawancara penulis kepada PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja. Penulis menanyakan penyelesaian apa yang diberikan pihak Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja terhadap penyelesaian permasalahan PHK tidak sukarela, Bapak
Drs. H. Zaini menjawab :
“Jadi, penyelesaian PHK yang kami berikan kepada para buruh yang telah di
PHK ialah menyelesaikan segala sesuatu yang mengikuti peraturan UndangUndang No.13 tahun 2003, seperti menyarankan para pengusaha dengan para
buruh melakukan perundingan secara musyawarah, apabila tidak terdapat
kesepakatan maka dinas akan membuatkan anjuran kepada kedua belah
pihak, setelah itu pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja
dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.” (wawancara tanggal 26
Desember 2012)
Berdasarkan hasil wawancara diatas dengan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja kota Tarakan, mengenai pemutusuan hubungan kerja penyelesaian PHK tidak
sukarela, dinas berpedoman dengan UU yang terdapat di dalam UU No. 13 Tahun
2003. Jadi, Dinas Sosial dan Tenaga Kerja akan bekerja mengikuti landasan UU
No. 13 Tahun 2003 seperti melakukan memberikan saran kepada pengusaha dengan
pekerja agar dapat menyelesaikan khasus dengan cara musyawarah terlebih dahulu,
apabila tidak terdapat titik temu maka khasus akan diselesaikan melalui bidang
PHI. Berikut ini data khasus PHK yang yang didapatkan dari Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Tarakan yang terjadi selama tahun 2012.
Tabel 4.3
Data khasus PHK dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan
NO
KHASUS
JUMLAH
1.
Melanggar peraturan/ Melanggar
perjanjian bersama (PKB)
7 orang
2.
Mangkir dari pekerjaan/ tidak
disiplin
21 orang
Sumber: Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan Tahun 2012
Jadi, total pekerja yang di PHK dari bulan Januari sampai dengan Desember
2012 di Kota Tarakan adalah sebanyak 28 orang. Kemudian penulis melanjutkan
wawancara dengan salah satu karyawan Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di bidang
Hubungan Industrial dengan pertanyaan, bagaimana cara bapak menyelesaikan
khasus PHK tidak sukarela yang terjadi selama ini, bapak Immanuel. P,St tersebut
menjawab :
“kami akan bertanya kepada pelapor, bagaimana sebenarnya kejadian
sehingga pekerja tersebut sampai di PHK, lalu kami akan memproses
khasusnya. Dengan landasan Undang-undang No.13 Tahun 2003 dan UU No.
02 tahun 2004. Setelah itu kami akan memanggil kedua belak pihak yaitu
pihak pengusaha dengan pekerja dan kami menyarankan agar khasus tersebut
sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu secara bipatrit/musyawarah. Apabila
dalam 7 hari masa kerja tidak terdapat kesepakatan maka akan kami akan
mengadakan anjuran dan menyelesaikan khasus tersebut dengan
menggunakan mediator.” (wawancara tanggal 26 Desember 2012)
Serta berikut wawancara penulis dengan salah satu masyarakat yang berada
sedang berada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yang telah di PHK bernama Bapak
Suandi, penulis menanyakan apa penyebab bapak di PHK secara tidak sukarela,
Bapak Suandi menjawab :
“Saya di PHK karena saya telah lalai dalam menyetir kendaraan yang
dimiliki oleh perusahaan, saya menabrak pohon karena pada saat itu hujan
turun sangat deras sehingga saya tidak dapat berkonsentrasi dalam
berkendara. Tetapi perusahaan tidak menerima alasan saya mengapa
kecelakaan tersebut dapat terjadi, sehingga saya di PHK” (wawancara
tanggal 26 Desember 2012)”
Lalu
berikut
wawancara
penulis
kepada
Bapak
Suandi,
penulis
menanyakan penyelesaian apa yang diberikan pihak Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
terhadap penyelesaian permasalahan PHK tidak sukarela yang bapak alami, Bapak
Suandi menjawab :
“Penyelesaian yang saya dapatkan dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
yaitu, saya dipertemukan dengan pihak perusahaan dan dinas menyarankan
bahwa khasus ini diselesaikan dengan cara bipatrit/ kekeluargaan antara
saya dengan perusahaan. Itu sudah kami lakukan, tetapi tidak juga
mendapat titik temu, Karena perusahaan tidak mau membayar hak penuh
saya. Jadi, sampai hari ini saya masih menunggu keputusan yang jelas dari
para mediator dengan pengusaha bagaimana hasil akhir dari hak saya
sewaktu saya masih bekerja.” (wawancara tanggal 26 Desember 2012)
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Suandi mengenai proses
penyelesaian PHK yang dilakukan oleh Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tarakan, penulis tertarik mengajukan pertanyaan kepada Serikat Pekerja/ Buruh
yang pada saat itu ketua SP/SB sedang berada di Dinas sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tarakan. Penulis bertanya, bagaimanakah cara bapak untuk membantu para
buruh dalam khasus PHK tidak sukarela, bapak Daud mengatakan :
“Cara saya membantu para buruh dalam menghadapi khasus PHK ialah saya
akan berperan penuh menjadi wali dari buruh dalam berbicara kepada pihak
perusahaan dan saya akan berjuang mati-matian dalam membela hak para
buruh., sehingga para buruh dapat mendapatkan hak yang seharusnya
diperoleh..” (wawancara tanggal 26 Desember 2012)
Dari beberapa wawancara yang telah dikumpulkan, kesimpulan dari segala
wawancara yang dilakukan penulis dengan Kepala Dinas, pegawai, buruh dengan
Serikat Pekerja, dapat diketahui bahwa penyelesaian PHK yang dilakukan secara
tidak sukarela ialah mempertemukan kedua belah pihak yaitu pihak pengusaha
dengan pekerja dan mencoba menyelesaikan khasus dengan kekeluargaan, apabila
tidak ditemukannya titik temu maka khasus akan diserahkan kepada bidang PHI
dan mediator memiliki hak penuh dalam penyelesaian dari khasus tersebut dan
penyelesaian khasus tersebut harus dilakukan sesuai dengan pedoman UU No. 13
Tahun 2003, UU No. 02 Tahun 2004 dan Kep.Men No.150 Tahun 2000. Tetapi
dalam wawancara dengan bapak Suandi dapat kita lihat bahwa perusahaan benarbenar tidak adil dalam khasus pembayaran hak yang sudah seharusnya diperoleh
oleh buruh tersebut. Tetapi dengan adanya bantuan dari Serikat Buruh, maka ada
sedikit titik cerah bagi buruh tersebut untuk mendapatkan hak yang seharusnya
diperoleh.
4.2.1.2. Mekanisme PHK ( Pemutusan Hubungan Kerja)
Mekanisme PHK adalah suatu proses penyelesaian hubungan kerja melalui
tahapan-tahapan atau prosedur yang sesuai dengan Undang-undang dan Keputusan
Menteri tentang ketenagakerjaan.
Berikut wawancara penulis kepada PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja, penulis menanyakan apakah proses penyelesaian PHK yang terjadi sudah
sesuai dengan mekanisme PHK yang ditetapkan oleh UU dan Kep.Men. Bapak Drs.
H. Zaini menjawab :
“Proses penyelesaian PHK yang kami selesaikan selama ini sudah sesuai
dengan mekanisme yang telah ada kami mengikuti sesuai dengan prosedur
UU No. 13 Tahun 2003 dan UU No. 2 Tahun 2004. Jadi proses awal yaitu
para pihak yang berselisih harus mengajukan permohonan ke Dinas, nanti
sekretrariat akan memproses khasus yang akan di selesaikan, sehingga
menunggu surat balasan dari mediator untuk memanggil masing-masing
pihak untuk menyelesaikan khasus secara bipatrit, apabila dalam 7 hari kerja
tidak ditemukannya kesepakatan, maka khasus sepenuhnya diserahkan oleh
mediator, sehingga para yang berselisih menyerahkan sepenuhnya khasus
yang dialami kepada mediator.” (wawancara tanggal 26 Desember 2012)
Dan berikut wawancara penulis kepada karyawan Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja dengan pertanyaan bagaimana proses mekanisme dalam penyelesaian PHK
di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja kota Tarakan, bapak Aulianegara, SH menjawab :
“Proses mekanisme dalam penyelesaian khasus phk terlebih dahulu pihak
yang berselisih mengajukan permohonan secara tertulis, lalu permohonan
akan diajukan ke sekretariat, setelah itu permohonan akan diajukan ke
Kepala Dinas. Setelah itu, kepala Dinas akan mendesposisi permohonan ke
Kepala Bidang Tenaga Kerja dan dilanjutkan ke Kepala Seksi Hubungan
Industrial dan syarat-syarat kerja atau mediator. Stelah itu, mediator
menelaah permohonan yang masuk dan membut surat panggilan kepada
pihak yang berselisih. Pihak yang berselisih terlebih dahulu diminta
mengadakan perundingan Bipartit. Apabil perundingan Bipartit gagal,
mediator berusaha menyelesaikan perselisihan selama masa 30 hari kerja.
Apabila mediasi berhasil, dibuatkan perjanjian bersama dan jika tidak
maka akan dibuatkan anjuran. Perjanjian bersama atau ajnuran
ditandatangani oleh mediator. Seksi hubinsyaker atau mediator
menyampaikan hasil mediasi ke pihak masing-masing.” (wawancara
tanggal 26 Desember 2012)
Serta berikut wawancara penulis kepada salah satu masyarakat yang
mengalami PHK bernama Bapak Andi. Penulis menanyakan apakah proses
mekanisme pada saat bapak melaporkan khasus bapak di dinas ini cukup berbelitbelit, Bapak Andi menjawab :
“Mekanisme pelaporan khasus saya pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
yang saya alami kemarin tidak terlalu sulit, saya hanya mengajukan
permohonan ke sekretariat tentang permasalahan yang sedang saya alami,
lalu selanjutnya pihak dinas yang akan menyelesaikan, sehingga saya
hanya menunggu panggilan dalam menyelesaikan khasus saya ini dengan
cara kekeluargaan, tetapi pada saat perundingan tersebut tidak terdapatnya
titik temu dengan pengusaha, sehingga khasus saya diserahkan penuh
kepada mediator, dan sekarang saya hanya menunggu bagaimana akhir
dari khasus yang saya alami ini.” (wawancara tanggal 28 Desember 2012)
Hal yang sama pun diungkapkan oleh salah satu pelapor khasus
PHK
di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja yang sedang mengurus khasus yang sedang
dialami, penulis bertanya menurut bapak apakah proses mekanisme penyelesaian
khasus bapak di Dinas ini cukup rumit, bapak Yusril menjawab :
“Waktu saya pertama kali melaporkan khasus saya ke dinas ini di bagian
PHI, saya hanya di suruh unuk membuat permohonan ke Dinas ini untuk
membantu saya dalam menyelesaikan khasus yang sedang saya alami,
setelah itu saya hanya menunggu panggilan dari dinas untuk
menyelesaikan khasus saya dengan cara kekeluargaan dengan pengusaha.
Terkadang saya hampir setiap hari datang ke sini untuk bertanya
bagaimana akhir dari masalah yang sedang saya alami. Tetapi untuk
keseluruhan dalam mekanismenya saya tidak merasa berbelit-belit, hanya
saja pengusahalah yang berbelit-belit dan sangat lama dalam mengadilkan
hak yang seharusnya saya peroleh” (wawancara tanggal 28 Desember
2012)
Dari beberapa wawancara yang telah dikumpulkan, kesimpulan dari
segala wawancara yang dilakukan penulis dengan Kepala Dinas, pegawai, dan
buruh dapat diketahui bahwa mekanisme PHK yang dilakukan dari pihak Dinas
sudah cukup baik dan tidak menyusahkan para pelapor, dapat kita lihat dengan
wawancara penulis dengan bapak Andi dan bapak Yusril dimana pelapor hanya
disuruh untuk membuat sebuah permohoman ke dinas, setelah itu dinas yang akan
memproses segala sesuatu permasalahan yang dilaporkan oleh para pekerja, dan
pekerja
hanya
menunggu
panggilan
pada
saat
penyelesaian
secara
bipatrit/musyawarah antara pihak pengusaha dengan para pekerja/para buruh.
4.2.1.3. Perselisihan Tenaga Kerja
Perselisihan adalah perentangan antara Pengusaha dengan para buruh atau
Serikat Pekerja(SP), berhubung dengan tidak adanya persesuaian paham mengenai
hubungan kerja, syarat-syarat kerja dan keadaan perburuhan lainnya. Perselisihan
PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak,
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja. Perselisihan PHK
timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara pekerja dan pengusaha
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Jenis
perselisihan dalam dunia ketenaga kerjaan ada 4 (empat) :
Perselisihan Hak yaitu, perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya
hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerjasama yang timbul dalam hubungan kerja.
a. Perselisihan Kepentingan yaitu, perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan perubahan
syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
b. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yaitu, perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja
yang dilakukan oleh salah satu pihak.
c. Perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh yaitu, perselisihan antara
serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya
dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
Berikut wawancara penulis kepada PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja. Penulis menanyakan apakah usaha yang di lakukan Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja dalam menyelesaian perselisihan dalam khasus PHK, bapak Drs. H. Zaini
menjawab :
“Pertama-tama pihak Dinas akan menganjurkan untuk melakukan
perundingan kepada pihak perusahaan dengan pihak buruh untuk melakukan
perundingan secara bipatrit atau biasa dengan disebut kekeluargaan. Apabila
tidak berhasil maka kami akan menganjurkan perundingan tripartit yaitu,
penyelesaian yang dilakukan oleh pihak ke 3, yaitu dengan adanya mediator,
apabila tidak berhasil, maka khasus akan dilaporkan ke Pengadilan Hubungan
Industrial. Tetapi, sampai saat ini, belum pernah kami menangani khasus
hingga ke pengadilan. Selama 30 hari kerja kami akan menyelesaikan khasus
sebaik mungkin dan berusaha membantu kedua belah pihak agar terjadinya
kesepakatan bersama melalui mediator.” (wawancara tanggal 28 Desember
2012)
Dari wawancara dengan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja diatas dapat
dilihat bahwa usaha penyelesaian perselisihan PHK yang dilakukan sudah cukup
baik dan memuaskan, oleh karena itu penulis bertanya kepada pegawai Dinas Sosial
dan Tenaga Kerja dengan pertanyaan, bagaimana cara bapak menyelesaikan khasus
perselisihan di dunia ketenagakerjaan, seperti perselisihan hak, kepentingan, PHK,
dan perselisihan antara Serikat Pekerja/ Serikat Buruh, bapak H. Anto Bismoko
S.Sos menjawab :
“Cara kami dalam menyelesaikan masalah perselisihan dalam
ketenagakerjaan seperti perselisihan hak, kepentingan, PHK, dan perselisihan
Serikat Pekerja/Serikat Buruh, kami akan memulai dengan musyawarah, dan
apabila kami tidak berhasil menyelesaikan perselisihan tersebut, maka kami
wajib mengeluarkan anjuran tertulis, dan apabila anjuran kami diterima oleh
para pihak maka dibuat Persetujuan Bersama (PB) yang selanjutnya
dicatatkan di Pengadilan Hubungan Industrial, namun apabila anjuran
tersebut ditolak oleh salah satu pihak, maka pihak yang keberatanlah yang
mencatatkan perselisihannya ke Pengadilan Hubungan Industrial.”
(wawancara tanggal 28 Desember 2012)
Hasil wawancara diatas menunjukan bahwa penyelesaian masalah perselishan
tenaga kerja Dinas Sosial dan Tenaga Kerja lebih banyak memberikan penyelesaian
secara bipatrit yaitu secara kekeluargaan, apabila tidak ditemukannya jalan keluar
lalu akan dilakukannya anjuran secara tertulis dan diselesaikan melalui mediator.
Dan berikut wawancara penulis dengan salah satu masyarakat yang sedang
melakukan pengaduan khasus perselisihan yaitu tentang hak, kepentingan dan
PHK. Penulis menanyakan apakah yang bapak harapkan dari penyelesaian khasus
perselisihan yang sedang bapak alami, bapak Suryono menjawab :
“Tentu saja saya mengharapkan yang terbaik dan saya
menyerahkan
masalah ini kepada Dinas ini, karena pihak saya dengan perusahaan sudah
melakukan penyelesaian secara bipartit, tetapi pihak kami tidak menemui
titik temu yang dapat saya terima. Jadi, saya berharap khasus saya dapat
diselesaikan dengan betul-betul menghitung bagaimana jasa saya selama
bekerja di perusahaan itu.” (wawancara tanggal 28 Desember 2012)
Begitu pula wawancara penulis dengan ibu Puspa, dimana beliau baru
terlihat keluar dari ruangan PHI, penulis menayakan khasus perselisihan apa yang
sedang ibu alami, dan sudah sampai sejauh mana khasus ibu berlanjut, Ibu Puspa
mengatakan :
“Sedang mengalami PHK, dimana sekarang saya sedang memperjuangkan
hak yang seharusnya saya peroleh. Saya sudah mengajukan bukti bahwa
saya sudah betahun-tahun bekerja di perusahaan x tetapi perusahaan x tidak
mau sepenuhnya membayar upah yang seharusnya saya peroleh, saya
merasa kesal dan sangat marah, tetapi saya masih harus bersabar karena
sekarang khasus saya masih sedang diproses. Saya hanya berharap bahwa
upah saya harus dibayarkan penuh sehingga saya tidak merasa dirugikan
dalam pekerjaan saya selama ini” (wawancara tanggal 28 Desember 2012)
Penulis melakukan wawancara dengan salah satu anggota Serikat Buruh
yang sedang berada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dalam pekerjaannya
membantu para pekerja yang sedang mempertahankan hak yang seharusnya
diperoleh, penulis menanyakan, apakah bapak sudah cukup puas dengan
penyelesaian khasus perselisihan yang sudah berjalan pada Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja, bapak Gunawan menjawab :
“Sejauh ini, saya tidak ada masalah dengan penyelesaian khasus yang
diselesaikan oleh Dinas ini, tetapi saya hanya ingin memberikan masukan,
dimana pada saat penyelesaian khasus pengusaha jangan terlalu
mengencang dan terlalu terbawa emosi sehingga khasus perselisihan dapat
terselesaikan dengan baik dan kepala dingin” (wawancara tanggal 28
Desember 2012)
Bedasarkan hasil wawancara diatas menunjukan bahwa penyelesaian khasus
perselisihan yang diberikan Disosnaker kepada para masyarakat sudah cukup baik
dan melalui proses yang sangat panjang. Dapat kita lihat dari beberapa wawancara
diatas bahwa para pekerja yang sedang mengalami khasus perselisihan tenaga kerja
seperti di phk banyak mengalami kerugian dikarenakan pihak perusahaan yang
tidak adil dalam pembagian upah pada saat pemecatan terjadi. Dan para pengusaha
terkadang terlalu mementingkan keegoisan dan keuntungannya sendiri.
4.2.1.4. Kompensasi
Bila seorang pekerja di-PHK ada 4 komponen yang dipakai sebagai
kompensasi PHK yaitu :
a.
Uang Pesangon yaitu pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja
sebagai akibat adanya Pemutusan Hubungan Kerja.
b.
Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) adalah pemberian berupa uang dari
pengusaha kepada pekerja/buruh sebagai penghargaan berdasarkan masa kerja
akibat adanya PHK.
c.
Uang Ganti Kerugian adalah Pemberian berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja/buruh sabagai ganti rugi istirahat tahunan, istirahat panjang, biaya
perjalanan pulang ke tempat di mana pekerja diterima bekerja, fasilitas
pengobatan dan fasilitas perumahan.
d.
Uang Pisah adalah pemberian berupa uang dari pengusaha kepada pekerja/buruh
atas pengunduran diri secara baik-baik dan mengikuti prosedur sesuai ketentuan
yaitu diajukan secara tertulis 30 hari sebelum tanggal pengunduran diri yang
besar nilainya berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja.
Komponen-komponen sebagai kompensasi tersebut diberikan sesuai dengan
alasan alasan PHK. Dalam UUKK No. 13 tahun 2003 sudah mengatur 12 jenis alasan
pemutusan hubungan kerja yang termuat di dalam pasal 150 s/d 172. Berbagai alasan
PHK tersebut mempunyai nilai kompensasi yang berbeda-beda. Berikut wawancara
penulis dengan Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, penulis menanyakan apakah
besaran kompensasi yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang dan Kep.Men
sudah sesuai dengan keinginan kedua belah pihak, bapak Drs. Zaini, M menjawab :
“Sejauh ini, kami menyelesaikan kompensasi dalam khasus PHK sudah
mengikuti UUKK, tetapi terkadang adanya perselisihan antara pekerja dengan
perusahaan, sehingga besaran kompensasi terkadang kurang adil dalam
pembayaran pesangon para buruh yang telah di PHK. Jadi didalam besaran
kompensasi yang terjadi terkadang tidak sesuai dengan harapan dengan
kenyataan yang ada” (wawancara tanggal 28 Desember 2012)
Penulis masih bertanya kepada Bapak Drs. H. Zaini M. berapa besaran biaya
yang dikeluarkan pihak pengusaha didalam pembayaran upah/pesangon didalam
khasus PHK, Bapak Drs. H. Zaini M. mengatakan :
“Kami hanya bertugas sebagai penengah dan pembantu penyelesaian dari
khasus antara pengusaha dan pekerja, tetapi didalam besarnya perhitungan
uang yang dibayarkan itu kembali menjadi keputusan kedua belah pihak,
apabila kedua belah pihak sudah mempunyai kesepakatan berapa biaya yang
harus dibayarkan berarti terselesaikannya lah khasus yang sedang dihadapi,
tetapi dari salah satu ada yang menuntut dari kesepakatan yang telah dibuat
kami hanya membantu mencari jalan tengah dari khasus yang sedang terjadi.
Dan intinya kami tidak ikut campur dalam besarnya biaya yang akan
dibayarkan pengusaha untuk para pekerja yang telah di phk.” (Wawancara
tanggal 28 Desember 2012)
Dari hasil wawancara penulis dengan PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja hanya sebagai pembangu dan penengah dari khasus yang telah terjadi diantara
pengusaha dengan pekerja dan dapat dilihat juga bahwa proses penyelesaian
kompensasi di Dinas sudah mengikuti aturan UU Ketenagakerjaan, tetapi pihak dari
perusahaan yang bersikap kurang adil kepada para buruh yang di PHK nya, sehingga
para buruh banyak yang merasa dirugikan dari keputusan para pengusaha. Berikut
wawancara penulis dengan bapak Anto selaku Kabid Hubungan Industrial, penulis
menayakan, apa saja biaya kompensasi yang diterima oleh para buruh yang telah di
PHK oleh para pengusaha, bapak H. Anto Bismoko S.Sos menjawab :
“Didalam penyelesaian kompensasi ada beberapa hal yang harus dibayar,
sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 maka pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja
(UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP,
UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.”
(wawancara tanggal 28 Desember 2012)
Dari wawancara penulis dengan Kabid Hubungan Industrial Disosnaker,
maka penulis bertanya dengan salah satu masyarakat yang sedang berada di Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja, penulis bertanya, apakah biaya kompensasi bapak yang
telah dibayarkan oleh perusahaan sudah sesuai dengan Undang-Undang tentang
ketenagakerjaan dan sesuai dengan Kep.Men yang mengacu pada ketenagakerjaan,
bapak Anandhika menjawab :
“Saya baru mempelajari tentang UU, Kep.Men dan dokumen-dokumen
yang berhubungan dengan pembayaran upah dan pesangon, dan dari khasus
yang saya alami pengusaha belum membayarkan hak saya secara penuh.
Saya sudah menjalani proses penyelesaian khasus PHK saya ini selama 2
minggu, jadi saya ingin mendapatkan kepastian, karena upah yang saya
terima hanya pesangon dan uang pergantian hak, pergantian uang
penghargaan masa kerja saya belum dibayar oleh perusahaan. Saya sudah
bekerja pada perusahaan tersebut selama 13 tahun, tetapi mengapa
perusahaan tetap bersikeras tidak mau membayar uang penghargaan masa
kerja saya. Jadi, saya berharap Dinas Sosial dan Tenaga Kerja dapat tetap
membantu saya dalam mempertahankan hak yang harus saya dapatkan
sesuai dengan hak yang memang harus saya dapatkan.” (wawancara tanggal
03 Januari 2013)
Dari wawancara diatas, penulis bertanya kembali kepada bapak Anandhika
apakah bapak sudah cukup puas dengan biaya kompensasi yang bapak dapatkan
sekarang. Bapak Anandhika menjawab :
“Dari upah yang saya terima, sejauh ini saya masih belum puas, karena hak
saya belum terbayarkan seutuhnya. Sampai perusahaan membayarkan semua
hak yang saya dapatkan, saya baru akan merasa puas dan saya harap dengan
bantuan Dinas ini hak saya dapat cepat terbayarkan secara utuh. Sehingga
saya tidak perlu menunggu lebih lama lagi.” (wawancara tanggal 03 Januari
2013)
Dan penulis bertemu dengan seorang buruh yang sedang mengurus biaya
konpensasi di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, penulis bertanya, apakah
permasalahan konpensasi yang bapak alami sekarang sudah sesuai dengan yang
harus bapak dapatkan selama masa bapak bekerja, sampai akhirnya masa bapak
bekerja telah berakhir, bapak Dullah menjawab :
“Hari ini khasus saya sudah selesai diselesaikan oleh Dinas dan juga telah
dirundingkan oleh para pengusaha. Awalnya susah mencari kesepakatan
untuk dapat membayar hak penuh saya dalam pembayaran kompensasi ini,
tetapi setelah dirundingkan secara bipatrit, maka terjadinya kesepakatan yang
telah disetuji oleh saya dan pengusha.” (wawancara tanggal 03 Januari 2013)
Dari wawancara diatas, dapat kita simpulkan bahwa pihak perusahaanlah
yang kurang adil dalam pembagian hak yang seharusnya diterima oleh para buruh.
Seharusnya perusahaan harus membayarkan semua hak yang harus diterima oleh
buruh, sehingga tidak adanya permasalahan yang seharusnya terjadi di dunia
ketenagakerjaan. Dan juga pengusaha seharusnya lebih bersikap menghormati hak
para buruh yang telah lama bekerja dan mengabdi pada perusahaannya, jadi
pengusaha tidak boleh seenaknya tidak mau membayar upah yang sudah menjadi
hak para pekerja/buruh.
4.2.2 Faktor Pendukung
Ada beberapa faktor yang mendukung Undang-Undang No.13 Tahun 2003
tentang ketenagakerjaan dalam mengahadapi masalah PHK di Disosnaker Kota
Tarakan. Penulis menanyakan kepala PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga Kerja
Kota Tarakan, apa saja faktor pendukung dalam penanganan pemutusan hubungan
kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan, bapak Drs. H. Zaini. M
menjawab :
“Yang menjadi faktor pendukung dalam pelaksanaan penanganan pemutusan
hubungan kerja di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja ialah kemauan para pihak
untuk menyelesaikan perelisihan melalui proses mediasi, kewenangan
mediator yang besar dalam mendorong para pihak yang berselisih untuk
melakukan perjanjian bersama (PB), keinginan untuk berdamai atau
menyelesaikan perselisihan antara pihak, kemampuan mediator dalam
menganalisis masalah dan menggunakan teknik-teknik mediasi.” (Wawancara
tanggal 03 Januari 2013)
Bedasarkan hasil wawancara, faktor yang mendukung pelaksanaan penangan
pemutusan hubungan kerja ialah bagaimana kerja sama anatara pihak-pihak yang
terkait antara pihak perusahan dengan para buruh dalam menyelesaikan khasusnya
dengan cara kekeluargaan, dan kepercayaan pihak-pihak yang terkait kepada Dinas
Sosial dan Tenaga Kerja dalam menyelesaikan khasus yang di jalankan.
4.2.3 Faktor Penghambat
Dalam pelaksanaan penyelesaian masalah PHK (Pemutusan Hubungan
Kerja) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan masih mengalami beberapa
kendala, Bedasarkan hasil wawancara dengan PLH Kepala Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja, penulis mennyakan adakah faktor penghambat dalam pelaksanaan
penyelesaian PHK di Disosnaker Kota Tarakan, Bapak Drs. H. Zaini menjawab :
“Kendala-kendala yang kami hadapi pada saat penyelesaian khasus PHK
ialah kurangnya pengetahuan dan pemahaman buruh dan pengusaha dalam
penerapan UU No.13 Tahun 2003, dan peraturan pendukung lainnya,
kondisi lapangan yang jauh (para pekerja atau pengusaha berada di camb/
tambang yang bukan di kota Tarakan), penggunaan pihak ke 3 oleh
pekerja/buruh untuk mendampingi dalam proses mediasi selain Serikt
Pekerja/Buruh.” (Wawancara tanggal 03 Desember 2013)
Dari hasil wawancara di atas dapat di artikan bahwa, penyelesaian khasus
PHK masih mengalami kendala-kendala di antaranya; kurangnya pemahaman para
pekerja maupun pengusaha dalam penerapan yang terdapat di dalam Undang-Undang
No.13 Tahun 2003 sehingga sering terjadinya perselisihan antara ke dua belah pihak,
Lokasi pada saat masalah terjadi jauh dari Kota Tarakan sehingga sulitnya meninjau
ulang permasalahan yang sedang terjadi.
4.3 Pembahasan
Untuk membahas permasalahan yang telah diuraikan dalam penelitian ini
maka semua data dan informasi yang telah diperoleh akan di analisis dan dibahas
dari setiap indikator yang merupakan pokok-pokok dari penelitian ini.
Yang merupakan indikator dari penyelesaian masalah PHK yang sesuai
dengan Kep.Men No. 150 Tahun 2000 pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota
Tarakan mencakup pemasalahan PHK secara tidak sukarela, mekanisme PHK,
perselisihan tenaga kerja, dan kompensasi.
Berdasarkan fokus penelitian tersebut maka dapat dilihat bagaimana
penyelesaian masalah PHK sesuai dengan UU No.13 Tahun 2003, Kep.men No.
150 Tahun 2000 pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan. Dan untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dari pembahasan berikut ini :
4.3.1 Mendeskripsikan Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di
Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan (Implementasi Keputusan
Menteri No 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan)
Sesuai dengan Kep.Men No. 150 Tahun 2000 dan Undang-Undang
Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 bagaimana penyelesaian masalah PHK yang
harus dilakukan sesuai dengan ketentuan UU dan Kep.Men maka para pengusaha,
buruh, maupun pihak ke 3 yaitu Dinas Sosial dan Tenaga Kerja harus berlaku sebaik
mungkin, agar dapat terciptanya suatu keputusan yang terbaik agar penyelesaian
masalah PHK tersebut dapat selesai dengan cara kekeluargaan, dan tidak merugikan
pihak manapun.
4.3.1.1 PHK Tidak Sukarela
Pengusaha dimungkinkan memPHK pekerjanya dalam hal pekerja melakukan
pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama. Setelah sebelumnya kepada pekerja diberikan surat
peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Surat peringatan masingmasing berlaku paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Berdasarkan penelitian yang penulis dapatkan, selain karena kesalahan
pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain. Misalnya bila perusahaan
memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau peleburan, dalam keadaan
merugi, pailit, maupun PHK terjadi karena keadaan diluar kuasa pengusaha (force
majeure). Dan didalam pemutusan hubungan kerja secara tidak sukarela pihak dinas
selalu menyarankan untuk melakukan penyelesaian khasus secara musyawarah
kepada para pengusaha dan para buruh. Tetapi jarang sekali ditemukan titik temu dan
penyelesaian yang baik diantara kedua belah pihak.
4.3.1.2 Mekanisme PHK
Mekanisme PHK adalah proses pengakhiran hubungan kerja melalui tahapan
yang sudah di tentukan oleh Undang-Undang.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan dilapangan bahwa
mekanisme PHK yang ada di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja sudah berjalan sesuai
dengan Undang-Undang No.13 tahun 2003, Undang-Undang No. 02 Tahun 2004 dan
Kep.Men No.150 Tahun 2000, penyelesaian dapat dilakukan dengan cara yang
sederhana dan tidak menyusahkan para pekerja, karena pekerja hanya mengajukan surat
anjuran kepada Dinas yang bersangkutan dan pihak dinas yang akan meneruskan surat
permohonan tersebut sehingga dapat diprosesnya khasus yang sedang dilaporkan oleh
pelapor, apabila mediator telah menelaah surat permohonan yang masuk maka mediator
akan membuat surat panggilan kepada pihak-pihak yang berselisih dan menganjurkan
para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan khasus dengan cara kekeluargaan,
apabila terdapatnya titik temu maka dinas akan membuat surat perjanjian bersama,
tetapi apabila tidak ditemukannya titik temu, maka mediator akan membuatkan anjuran
dan khasus secara penuh hanya bisa diselesaikan oleh mediator yang menangani khasus
yang bersangkutan.
4.3.1.3 Perselisihan Tenaga Kerja
Perselisihan tenaga kerja adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan
pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau
serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam
satu perusahaan. (Pasal 1 UU No. 2 Tahun 2004).
Dengan demikian UU No.2 tahun 2004 mengenal 4 jenis perselisihan yaitu;
a. perselisihan hak
b. perselisihan kepentingan
c. perselisihan PHK, dan
d. perselisihan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam satu perusahaan.
Berdasarkan penelitian penulis dilapangan, didapatkan bahwa perselisihan
tenaga kerja timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan dan
atau perubahan syarat-syarat kerja sehingga timbul adanya ketidaksesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Dan didalam
penelitian dilapangan, penulis sangat banyak menemui khasus perselisihan PHK dan
perselisihan hak, dimana perselisihan tersebut sangat berpengaruh dalam kelanjutan
hidup para pekerja/buruh. Yang dimana pengusaha mem PHK para pekerja dan tidak
membayarkan hak yang seharusnya di peroleh oleh para pekerja/buruh. Sehingga
membuat permasalahan yang sangat kompleks bagi para pekerja yang telah di PHK.
4.3.1.4 Kompensasi
Kompensasi PHK menurut UU Ketenagakerjaan, UU No 13 tahun 2003 pasal
156, terdiri dari uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian
hak, atau lebih sering disebut dengan istilah PMTK. PMTK sendiri merupakan
singkatan Peraturan Menteri Tenaga Kerja, dan istilah PMTK ini sebenarnya biasa di
gunakan saat masih di berlakukan Kepmenaker nomor: Kep-150/Men/2000, tapi
setelah diberlakukannya UU No. 13 Tahun 2003, istilah PMTK ini masih sering
digunakan untuk menyebut Kompensasi PHK.
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan bahwa kompensasi yang di
berikan oleh perusahaan tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh para buruh.
Dikarenakan upah yang seharusnya didapatkan oleh para pekerja apabila terjadinya
pemutusan hubungan kerja tidak terealisasikan secara penuh. Semua itu terlihat dari
pengusaha hanya membayar separuh dari hak para pekerja, dan mambuat
permasalahan yang terjadi semakin lama dan proses penyelesain yang panjang.
Sehingga dalam khasus ini sangat terlihat bahwa kejadian yang terjadi sangat tidak
sesuai dengan harapan dan kenyataan yang ada. Dikarenakan dalam proses
pembayaran upah/pesangon sudah terdapat didalam UU
No.13 Tahun 2003 dan
Kep.Men No.150 Tahun 2000 yang didalamnya membahas tentang pembayaran upah
dan pesangon yang seharusnya diterima oleh para pekerja/buruh yang telah di PHK.
4.3.2. Faktor Pendukung
Faktor yang mendukung penyelesaian masalah PHK pada Dinas Sosial dan
Tenaga Kerja Kota Tarakan ialah adanya kerja sama antara pihak yang berselisih
dengan Dinas yang terkait dalam pelaksanaan proses penyelesaian khasus yang sedang
berjalan.
Berdasarkan penelitian
penulis
dilapangan
faktor pendukung terhadap
penanganan khasus PHK ialah dimana keuasaan yang dimiliki oleh mediator sangat
berpengaruh besar dalam mendorong para pihak yang berselisih untuk melakukan
perjanjian bersama, agar penyelesaian masalah tersebut dapat diselesaikan secara
kekeluargaan. Dan para yang berselisih akan dapat berdamai dan khasus dapat
terselesaikan tanpa merugikan pihak manapun.
4.3.3 Faktor Penghambat
Berdasarkan penelitian penulis dilapangan yang menjadi faktor penghambat
didalam penyelesaian masalah PHK di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja ialah masih
kurangnya pengetahuan dan pemahaman pihak pekerja atau buruh, dan pengusaha
terhadap penerapan Kep.Men No. 150 Tahun 2000 dan UU No.13 Tahun 2003 dan
peraturan pendukung lainnya. Sehingga dari hal tersebut menimbulkan banyaknya
permasalahan yang muncul dan menimbulkan perelisihan tentang ketenagakerjaan.
Sehingga permasalahan yang muncul selalu berkaitan dengan pembayaran biaya dan
upah pesangon yang seharusnya didapatkan oleh para pekerja apabila terjadinya suatu
pemutusan hubungan kerja. Tetapi, para pengusaha tetap bersikeras dalam kemauan
mereka yang terkadang tidak mau membayarkan hak penuh kepada pekerja dalam
pembayaran hak yang seharusnya diterima oleh para pekerja.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dilapangan mengenai Penanganan Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan (Implementasi Keputusan Menteri No
150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan), serta penyajian data dan pembahasannya telah
diuraikan dalam penelitian ini maka penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Keputusan Menteri No. 150 Tahun 2000 tentang ketenagakerjaan dalam menghadapi
masalah PHK pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja di Kota Tarakan, terdiri dari :
a. PHK tidak sukarela yang dilakukan oleh perusahaan kepada para buruh dikarenakan
kesalahan yang dilakukan oleh para pekerja, sehingga pengusaha sudah menjalankan
PHK tidak sukarela sesuai dengan Kep.Men dan Undang-Undang yang ada.
b. Mekanisme PHK di Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Tarakan sudah berjalan
sesuai dengan semaksimal mungkin dikarenakan proses pegajuan permohonan hanya
diserahkan kepada Dinas yang terkait sehingga pihak Dinas yang akan memproses
dan apabila telah siap untuk diproses maka pihak yang bersangkutan akan dipanggil
untuk menyelesaikan khasus secara bipatrit/kekeluargaan apabila khasus terdapat titik
temu maka akan diadakan perjanjian bersama, tetapi apabila tidak terdapatnya titik
temu maka dibuatkan anjuran dari mediator.
c.
Perselisihan tenaga kerja yang diselesaikan oleh pihak Disosnaker kepada para
pekerja/buruh sudah cukup baik dan pada saat penyelesaian perselisihan tersebut
sangat terlihat bahwa perselisihan phk dan perselisihan hak lah yang paling banyak
terjadi didalam perselisihan tenaga kerja. Dikarenakan pada saat terjadinya PHK para
pengusaha
tidak
membayar
penuh
hak
yang seharusnya
diperoleh
para
pekerja/buruh.
d. Kompensasi yang diberikan oleh para pengusaha dengan para buruh tidak berjalan
dengan semestinya. Dikarenakan upah yang diberikan tidak terbayar penuh dengan
yang seharusnya tercantum dalam Kep.Men Dan Undang-Undang.
2.
Faktor pendukung dalam implementasi UU No.13 Tahun 2003 tentang
ketenagakerjaan dalam menghadapi masalah PHK ialah kemauan para pihak untuk
menyelesaikan perselisihan melalui proses mediasi, kewenangan mediator yang besar
dalam mendorong para pihak untuk melakukan perjanjian bersama, keinginan kedua
belah pihak untuk berdamai.
3. Beberapa faktor penghambat dalam pelaksanaan implementasi UU No.13 Tahun 2003
tantang ketenagakerjaan dalam menghadapi masalah PHK ialah, kurangnya
pengetahuan dan pemahaman buruh dan pengusaha dalam penerapan UU No.13
Tahun 2003, dan kondisi lapangan yang jauh dari tempat penyelesaian masalah.
5.2. Saran – saran
Dari beberapa hasil penelitian yang penulis dapatkan, maka penulis memberikan
saran atau masukan yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi semua
pihak.
Adapun saran-saran yang penulis utarakan adalah sebagai berikut :
1.
Pihak Disosnaker harus turun ke lapangan dan melihat situasi perusahaan beserta
buruh dengan cara memberikan sosialisasi langsung agar menghindari terjadinya
khasus perselisihan tenaga kerja.
2.
Seyogyanya pengusaha harus menerima saran-saran dari para Serikat Pekerja/
Serikat Buruh agar perusahaan dapat membayar hak penuh para pekerja sehingga
pihak buruh tidak merasa dirugikan.
3.
Seharusnya pihak perusahaan harus membayar penuh hak para pekerja/ para buruh
agar tidak memperlambat proses penyelesaian kompensasi pada saat terjadinya
khasus PHK.
4.
Kedua belah pihak harus menghormati dan menghargai hak masing-masing baik
pengusaha maupun serikat pekerja agar terhindarnya dari perselisihan tenaga kerja..
DAFTAR PUSTAKA
Agustino, Leo. 2006. Politik dan Kebijakan publik. Bandung: AIPI
DR. B. Siswanto Sastrohadiwiryo, 2005. Manajemen Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta:
Bumi aksara.
Dunn, William N. 2004. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi kedua. Jakarta.
Hotma P. D. Sitompoel, SH. 2005. Hukum Acara Perburuhan. Jakarta: Dss Publishing.
Husni, 2000. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Islamy, Irfan M. 2003. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta:Bumi
Aksara
Nugroho, Riant 2008, Public Policy: Teori Kebijakan – Analisis Kebijakan – Proses
Kebijakan Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi Risk Management
dalam Kebijakan Publik, Kebijakan sebagai The Fifth Estate – Metode
Penelitian Kebijakan, Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta.
Miles, Mathew , B. dan A. Michael Huberman. Analisis data kualitatif, Universitas
Indonesia, Jakarta : 2007
Satori Djam’an dan Komariah Aan. 2010 Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta.
Silichin, Abdul Wahab. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang.
Suharto, Edi. 2008. Kebijakan sosial sebagai kebijakan publik. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Dokumen-dokumen:
Acuan kerja. 2012. Data Hubungan Industrial Tentang Hubungan Industrial
Anonim. No. 2003. Undang-Undang No.13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
No. 21 Tahun 2004 Tanggal 4 agustus tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
2004. Undang-Undang No.2 tahun 2004 Tentang Penyelisihan Hubungan
Industrial.
2006. Peraturan Pemerintah No.31 Tahun 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja
Nasional
2008. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia
tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran,
Pembayaran Santunan, Dan Pelayanan Jaminan Sosial Dan Tenaga Kerja.
2008. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Ketenagakerjaan.
Sumber Internet:
http://kafeilmu.com/2012/04/mekanisme-PHK.
http://rumahkita2010.wordpress.com/2010/03/08/community-based/street-based/center
based
http://www.masbied.com/2012/04/09/pengertian-Undang-undang-i/
http://www.suaramerdeka.com/
www.detik.com
Download