Uploaded by ririnnoviantyyy

Buku-Fistat

advertisement
ISBN : 978-602-9238-69-3
FISIKA STATISTIK
Rustam E. Siregar
FISIKA STATISTIK
Rustam E. Siregar
Departemen Fisika, FMIPA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
KATA PENGANTAR
Fisika Statistik adalah cabang fisika yang menggunakan metoda-metoda
probabilitas dan statistik, dan khususnya matematika dalam memecahkan masalahmasalah dengan jumlah partikel yang besar. Aplikasinya meliputi bidang-bidang
fisika dan kimia.
Isi buku ini dirancang untuk perkuliahan di tingkat sarjana (S1) dan tingkat
magister (S2). Mahasiswa yang mengikuti mata kuliah ini diharapkan telah
mengikuti kuliah-kuliah Fisika Matematika, Termodinamika dan Fisika Kuantum.
Semoga buku ini bermanfaat.
Jatinangor, Agustus 2012
Rustam E. Siregar
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
i
ii
1. Pendahuluan
1.1 Sejarah
1.2 Dasar-dasar Termodinamik
1.3 Potensial Termodinamik
1.4 Proses-proses dengan Entropi
1.5 Kesetimbangan Termodinamik
1.6 Kesetimbangan Fasa
1.7 Kesetimbangan Kimia
Soal-soal
1
1
1
4
7
11
16
21
24
2. Statistik Maxwell-Boltzmann
2.1 Keadaan Mikro dan Makro
2.2 Entropi
2.3 Ensembel Mikrokanonik
2.4 Ensembel Kanonik; Distribusi Maxwell-Boltzmann
2.5 Ensembel Kanonik Besar
Soal-soal
27
27
29
32
36
45
49
3. Gas Ideal
3.1 Gas Ideal dalam Ensembel Kanonik
3.2 Gas Ideal dalam Ensembel Kanonik Besar
3.3 Batasan Klassik Gas ideal
3.4 Distribusi Energi dan Kecepatan Gas Ideal
3.5 Gas Ideal Diatomik
Soal-soal
51
51
55
57
59
61
66
4. Gas Non-Ideal
4.1 Sistem Partikel Berinteraksi
4.2 Ekspansi Virial
4.3 Persamaan Keadaan van der Waals
4.4 Campuran dan pemisahan fasa
4.5 Transisi Fasa Order Pertama
4.6 Transisi Fasa Order Kedua
Soal-soal
70
70
75
78
81
87
90
96
5. Statistik Fermi-Dirac
5.1 Pendahuluan
5.2 Distribusi Fermi-Dirac
5.3 Gas Elektron
5.4 Emisi Termionik
5.5 Energi Fermi dalam Semikonduktor
Soal-soal
98
98
99
101
109
111
117
ii
6. Sistem Spin dan Kemagnetan
6.1 Paramagnetisme
6.2 Paramagnetik Pauli
6.3 Fluktuasi magnetisasi
6.4 Diamagnetisme Landau
6.5 Sistem Spin berinteraksi; Model Ising 1-dimensi
6.6 Model Ising 2-Dimensi
6.7 Teori Mean-Field
6.8 Teori Landau tentang Transisi Fasa
Soal-soal
120
120
127
131
132
135
145
148
152
156
7. Statistik Bose-Einstein
7.1 Distribusi Bose-Einstein
7.2 Radiasi Planck
7.3 Gas Ideal Boson
7.4 Kapasitas Zat Padat
Soal-soal
158
158
160
162
171
175
8, Kondensasi Bose-Einstein
8.1 Kondensasi Boson
8.2 Fenomena Okupasi Makroskopik
8.3 Persamaan Gross-Pitaevskii
8.4 Helium 4He
8.5 Superfluid Helium
8.6 Penjebakan dan pendinginan atom=atom
8.7 Laser Atom
8.8 Helium 3He
176
176
178
180
181
182
184
185
186
Apendiks 1. Konstanta Fundamental
Apendiks 2. Turunan dari Persamaan Keadaan
Apendiks 3. Beberapa Integral
Apendiks 4. Rumus Stirling
Apendiks 5. Fungsi Gamma
Apendiks 6. Integral Fermi
Apendiks 7. Integral Bose
Apendiks 8. Tabel Periodik
188
190
192
194
196
197
198
199
Daftar Bacaan
200
iii
1. PENDAHULUAN
1.1 Sejarah Fisika Statistik
Termodinamika adalah teori yang dikembangkan secara fenomenologis untuk
sistem-sistem makroskopik. Teori ini berlaku pada keadaan setimbang termal, dan
untuk sistem-sistem yang berawal dari keadaan setimbang dan berakhir pada
keadaan setimbang. Termodinamika yang dikembangkan di abad 19, berkembang
pesat di abad selanjutnya karena berkaitan dengan fisika kuantum dan transisitransisi fasa. Termodinamika saat ini dirumuskan sebagai suatu sistem aksioma
dengan tiga buah hukum termodinamika. Konsep utamanya adalah energi dan
entropi, dan konsep itulah yang mendasari ketiga hukum tersebut.
Fisika Statistik diawali oleh Daniel Bernoulli (1700-1792), dilanjutkan oleh
Rudolf Clausius (1822–1888), James Clerk Maxwell (1831–1879) tentang teori
kinetik
gas
dan
distribusi
kecepatan.
Ludwig
Boltzmann
(1844–1906)
menyumbangkan hubungan mendasar dalam kinetika dan memperkenalkan
rumusan entropi sedangkan Josiah Willard Gibbs (1839–1903) mengemukakan
perumusan modern tentang ensambel dalam mekanika statistik. Lars Onsager
(1903–1976) mengemukakan solusi eksak dari model Ising; dia membuktikan
bahwa kerangka sesungguhnya fisika statistik bisa mengatasi masalah transisi fasa.
Onsager memperoleh hadiah nobel kimia pada tahun 1968 untuk hasil kerjanya
dalam termodinamika irreversibel. Claude E. Shannon pada 1948 melakukan studi
tentang teori informasi yang berhubungan langsung dengan entropinya statistik
Boltzmann. Kontribusi terakhir adalah dari Kenneth G. Wilson (1936–), penerima
hadiah nobel pada 1982, tentang teori grup renormalisasi yang memungkinkan
orang menghitung scaling exponents pada transisi fasa.
1.2 Dasar-dasar Termodinamik
Termodinamika adalah teori makroskopik yang pada awalnya dikembangkan tanpa
asumsi-asumsi tentang sifat-sifat mikroskopik dari bahan atau radiasi. Dalam
termodinamika, sistem-sistem dikarakterisasi dengan nilai-nilai dari variabelvariabel termodinamik yang bisa diklasifikasikan dalam dua jenis variable, ekstensif
dan intensif.
1
Variabel ekstensif adalah variabel yang sebanding dengan kandungan sistem
dan dipakai oleh keseluruhan sistem. Contoh variabel ekstensif adalah energidalam U, entropi S, volume V, jumlah partikel N, dan kapasitas panas C. Untuk
memudahkan perhitungan sering sekali dalam fisika variabel-variabel itu
diungkapkan per partikel, misalnya u=U/N, s=S/N dan sebagainya. Variabel intensif
adalah variabel yang tidak bergantung pada ukuran sistem. Contohnya adalah
tekanan p, suhu T dan potensial kimiawi µ.
Dalam gas ideal, energi
tersimpan yang biasa disebut energi-dalam,
merupakan penjumlahan energi-energi kinetik dari semua atom-atom (yang
dipandang sebagai mono atom)
pi2
U 
.
i 2m
(1.1)
di mana m adalah massa atom dan pi adalah momentum atom ke-i dalam gas.
Momentum atom-atom dalam gas ideal terdistribusi sesuai dengan distribusi
Maxwell. Dengan menggunakan distribusi itu diperoleh energi rata-rata satu atom
E 
2
pave
3
 k BT .
2m 2
(1.2)
sehingga energi-dalam gas ideal dengan N buah atom, adalah
UN E 
3
Nk BT .
2
(1.3)
Dalam hal ini kB=1,3805x10-23 J/K adalah konstanta Boltzmann, dan T suhu dalam
satuan Kelvin.
Sifat lain dari gas ideal adalah
pV
pV  Nk BT
(1.4a)
  konstan untuk proses adiabatik.
(1.4b)
2
di mana p adalah tekanan, V adalah volume, dan =Cp/CV adalah perbandingan
kapasitas panas pada tekan tetap dan volume tetap. NkB=nR dengan n=N/NA adalah
jumlah mol dari N atom dan NA=6,022×1023/mol adalah bilangan Avogadro,
sedangkan R=NA kB =8,3134 JK/mol adalah konstanta gas universal.
Energi bisa mengalir ke dalam atau ke luar gas. Dalam Hukum Pertama
Termodinamika, perubahan energi gas dU dirumuskan seperti
dU=Q-W.
(1.5)
di mana Q adalah kalor (panas) yang memasuki gas (jumlah kalor positif); W
adalah kerja yang dilakukan gas sehubungan dengan pembesaran volume (kerja
positif): W=pdV.
Simbol diferensil  menyatakan Q dan W bukan variabel
termodinamik. Kalor tersebut berkaitan dengan perubahan entropi S dari gas pada
suhu T. Hubungannya adalah
EQ=TdS.
(1.6)
Selain perubahan energi-dalam karena adanya kerja dan kalor, gas bisa juga
mengalami perubahan energi-dalam karena perubahan jumlah atom dalam gas itu.
Jika perubahan itu terjadi dalam proses reversibel dengan entropi (S) dan volume (V)
yang konstan, maka perubahan energi
dU=µ dN.
(1.7a)
di mana µ adalah potensial kimia yang didefenisikan seperti
 U 
.

 N  S , V
 
(1.7b)
Aliran partikel sangat penting dalam transisi fasa, reaksi kimia, dan masalah diffusi.
Dalam suatu proses berlaku hubungan diferensial
dU  Q  W  dN
(1.8)
 TdS  pdV  dN .
3
Dalam bentuk yang lebih ril, gas memenuhi persamaan van der Waals

N 2a 
p
 (V  Nb)  Nk BT
2 

V


(1.9)
atau
2
p
Nk BT  N 
  a
V  Nb  V 
(1.10a)
atau
p
k BT a

v  b v2
dengan v  V / N adalah volume satu molekul. Perumusan itu cukup rumit sebagai
akibat dari interaksi antar molekul gas. Suku a/v2 muncul dari gaya tarik-menarik
antar molekul yang menyebabkan berkurangnya tekanan pada volume tetap,
sedangkan b menggambarkan pengurangan volume satu molekul sehubungan
dengan peningkatan tekanan. Persamaan van der Waals mempunyai batasan, dia
tidak memberikan jabaran kuantitatif yang cukup baik dari gas yang sebenarnya,
tetapi sebagai model cukup baik dalam hal transisi gas-cair.
1.3 Potensial Termodinamik
Sebagai akibat dari hukum termodinamika pertama, maka di dalam termodinamika
didefenisikan berbagai jenis potensial termodinamika seperti U (energi-dalam), H
(entalpi), F (energi bebas Helmholtz) dan G (energi bebas Gibbs).
Potensial-
potensial termodinamika itu merupakan fungsi dari besaran-besaran makroskopik
sistem partikel: p (tekanan) , V (volume), T (suhu), S (entropi) dan N (jumlah
partikel).
Energi-dalam U:`
U  TS  pV  N .
(1.11a)
dU  TdS  pdV  dN .
(1.11b)
Jika T, p dan µ konstan,
Jika U, V, S, dan N konstan, sedangkan s=S/N dan v=V/N masing-masing adalah
entropi dan volume per molekul, maka diperoleh persamaan Gibbs-Duhem:
4
d  s dT  vdp .
(1.11c)
H  U  pV .
(1.12a)
Entalpi H:
Jika T,V dan µ konstan,
dH  TdS  Vdp  dN .
(1.12b)
Energi bebas Helmholtz F:
F  U  TS .
(1.13a)
Jika S, p dan µ konstan
dF  SdT  pdV  dN .
(1.13b)
Energi bebas Gibbs G:
G  F  pV  U  TS  pV  N .
(1.14a)
Jika S, V dan µ konstan
dG  SdT  Vdp  dN .
(1.14b)
  F  N .
(1.15a)
Potensial besar :
Jika S, p dan N konstan
d  SdT  pdV  Nd
(1.15b)
 disebut juga potensial Landau.
Dalam persamaan-persamaan di atas µ adalah potensial kimia satu molekul.
Berdasarkan hubungan-hubungan di atas, diperoleh hubungan-hubungan sebagai
berikut.
 U 
 F 
  
p  
  
  

 V  S , N
 V T , N
 V T ,
 U 
 H 
T 



 S V , N  S  p , N
 F 
 G 
  
S  
 




 T V , N
 T  p , N
 T V ,
(1.16)
(1.17)
(1.18)
5
 U 
 H 
 F 
 G 
.
 
 
 

 N  S ,V  N  S , p  N T ,V  N  T , p
 
(1.19)
Panas jenis pada volume konstan adalah
 U 
 Q 
 S 
CV  
 
  T
 .
 T V  T V
 T V
(1.20)
Panas jenis pada tekanan tetap
 U 
 V 
 Q 
 S 
 U 
Cp  
  T   
  
  p 

 T  p
 T  p  T V  V T
 T  p
(1.21)
Untuk gas ideal U tidak bergantung pada V, sehingga diperoleh
C p  CV  Nk B .
(1.22)
Tinjaulah potensial termodinamik A(X,Y) yang bergantung pada variabel
bebas X dan Y. Diferensial dapat dituliskan seperti
dA  R X dX  RY dY .
Karena berlaku
2 A
2 A

XY YX
maka
 R X 
 R 

  Y  .
 Y  X  X Y
Contoh: dari dU=TdS-pdV (N konstan) maka diperoleh
 T 
 p 

    .
 V  S
 S V
6
Sebenarnya, dengan A(X,Y) berlaku
 A 
 A 
dA  
 dX  
 dY .
 X Y
 Y  X
Misalkan ada variabel ketiga, Z. Maka berlaku
 A 
 A  X
  

 Z Y  X Y Z
(1.23a)
 A 
 A 
 A   Y 

 
   
 .
 X  Z  X Y  Y  X  X  Z
(1.23b)
dan
Kedua persamaan di atas disebut hubungan Maxwell.
Contoh: Dalam persamaan (1.13b), dengan N konstan maka dF=-SdT-pdV.
Selanjutnya diperoleh hubungan
  F 
  F 
 S 
 p(V , T ) 

 

 

 

V  T V
T  V T  T V
 V T
Dari persamaan (1.14a) dengan N konstan diperoleh dG=-SdT+Vdp dan selanjutnya
 S 
  G 
  G 
 V ( p, T ) 
    
  
 

p  T  p
p  P T  T  p
 p T
dan dari persamaan (1.11b) dengan N konstan, dU=TdS-pdV sehingga
 U 
 S (V , T ) 
 p(V , T ) 

  T
  p  T 
 p
 V T
 V T
 T V
 U 
 V ) 

  C p  p
 .
 T  p
 T  p
1.4 Proses-proses dengan Entropi
Suatu proses yang berlangsung melalui keadaan-keadaan yang tidak setimbang dari
7
sistem disebut proses irreversibel (tidak dapat dibalik). Proses yang
melalui
keadaan-keadaan setimbang dari sistem disebut proses reversibel (dapat dibalik).
Proses itu berlangsung secara
bertahap, sedikit-demi-sedikit, sehingga keadaan
selalu setimbang.
Jika suatu sistem berubah dari keadaan 1 ke keadaan 2 melalui proses
reversibel, maka dari dS=  Q/T :
2
S 2  S1  
1
Q
T
.
(1.24)
Karena entropi hanya bergantung pada keadaan sistem saja, maka integral dari
keadaan 1 ke keadaan 2 di sebelah kanan tidak bergantung pada proses reversibel
yang diikuti. Dalam proses reversibel isotermal, suhu T konstan, sehingga
2
1
Q
S 2  S1    Q 
T1
T
(1.25)
Q  T ( S 2  S1 ).
Karena T selalu positif , maka selisih S2-S1 bisa positif atau negatif bergantung pada
apakah kalor Q diserap atau dilepaskan oleh sistem. Untuk proses reversibel
adiabatik, dQ=0, maka S2-S1=0 atau S konstan. Dari dS= đQ/T diperoleh:
2
Q   TdS
1
yang menyatakan kalor yang diserap ketika sistem mengalami perubahan dari
keadaan A1 ke keadaan A2. Luas di bawah kurva proses dari keadaan A1 ke keadaan
A2 adalah kalor yang diserap (Q) ; lihat Gambar 1.1(a).
Jika proses itu berbentuk siklis seperti Gambar 1.1(b), maka tidak ada
perubahan entropi:
S  
dQ
 0.
T
(1.26a)
Proses siklis ini disebut siklis reversibel. Kalor bersih yang diserap adalah
8
Q   TdS
(1.26b)
merupakan luas dalam siklis. Besarnya kalor itu sama dengan kerja yang dilakukan
sistem.
T
A1
T
A
(a)
T1
(b)
A2
T
S1
B
T2
dS
S2
S
S
Gambar 1.1 (a) Proses reversibel, (b) proses siklis.
Suatu sistem yang terisolasi dari lingkungannya, dalam keadaan setimbang
memiliki entropi maksimum. Karena entropinya maksimum, maka proses-proses
yang mungkin dilakukan dalam sistem tersebut adalah proses-proses dengan dS=0
(yang tidak mengubah entropi). Proses-proses itu tentulah revesibel. Jika sistem itu
tidak dalam keadaan setimbang, maka sistem itu secara alami akan berevolusi dalam
arah di mana entropinya meningkat. Jadi, jika suatu sistem yang terisolasi tidak
dalam keadaan setimbang, maka proses yang paling mungkin terjadi adalah proses
dengan
dS  0 .
(1.27)
Tanda sama dengan dipenuhi jika prosesnya reversibel, dan tanda > jika keadaan
awal sistem tidak setimbang; lihat Gambar 1.2.
Sehubungan dengan hal di atas, maka Hukum Kedua Termodinamika
diungkapkan sebagai berikut:
Proses-proses yang bisa terjadi dalam suatu sistem terisolasi adalah prosesproses di mana entropi meningkat atau tetap.
Fenomena transpor seperti difusi molekul dan konduksi termal adalah contoh dari
proses irreverrsibel. Diffusi berlangsung dalam arah di mana konsentrasi menjadi
9
homogen (entropi maksimum). Proses sebaliknya, perubahan spontan dari keadaan
homogen ke keadaan tidak homogen (penurunan entropi), tidak mungkin terjadi.
S
S maksimum
t
Gambar 1.2 Perubahan entropi sistem terisolasi ketika berkembang menuju
kesetimbangan.
Jika suatu sistem tidak terisolasi, entropi sistem itu bisa turun dan entropi
sistem-sistem di sekitarnya juga berubah karena ada interaksi antara sistem dan
lingkungannya. Tetapi, jumlah perubahan entropi akan memenuhi dS  0 . Sebagai
contoh, jika gabungan dua sistem terisolasi dan total entropi: S=S1+ S2, maka prosesproses yang terjadi di dalam sistem gabungan akan memenuhi
dS  dS1  dS 2  0
(1.28)
Entropi salah satu sistem bisa menurun selama proses, namun total perubahan
entropi keseluruhan haruslah positif atau nol.
Siklis Carnot seperti Gambar 1.3 adalah siklus yang terdiri dari dua proses
isotermik (AB dan CD) dan dua proses adiabatik (DA dan BC).
T
T1
T2
A
B
C
D
S1
S2
S
Gambar 1.3 Siklis Carnot.
Perubahan entropi adalah:
SAB=Q1/T1 isotermik, Q1=kalor diserap.
10
SBC=0 adiabatik.
SCD=-Q2/T2 isotermik, Q2=kalor dilepaskan.
SDA=0, diabatik.
Untuk satu siklis, perubahan entropi bersih Ssiklis=0, sehingga:
Q1 Q2

0
T1 T2
Kalor bersih adalah Q=Q1-Q2; ini sama dengan kerja yang dilakukan oleh sistem
dalam satu siklis. Jadi, W=Q=(T1-T2)(S2-S1). Efisiensi siklis Carnot adalah
perbanding kerja yang dilakukan dengan kalor yang diserap:

W
Q1
(1.29)
Karena Q1=T1SAB=T1(S2-S1), maka

(T1  T2 )(S 2  S1 ) T1  T2

T1 ( S 2  S1 )
T1
(1.30)
Jadi, efisiensi suatu mesin kalor yang beroperasi secara Carnot (reversibel) tidak
bergantung pada zat yang digunakan dan hanya bergantung pada kedua suhu
reservoir. Inilah yang disebut teori Carnot. Karena tidak bergantung pada zat yang
digunakan maka siklis Carnot adalah siklis yang mempunyai efisiensi paling tinggi.
Salah satu ungkapan dari Hukum Kedua Termodinakia adalah: Tidak mungkin
membuat suatu mesin kalor yang mempunyai efisiensi lebih besar atau sama dengan
efisiensi mesin Carnot.
1.5 Kesetimbangan Termodinamik
Kesetimbangan Sistem Tertutup
Tinjau dua sistem masing-masing dengan volume V1 dan V2 dan jumlah partikel N1
dan N2 pada suhu masing-masing T1 dan T2. Kedua sistem diberi kontak termal
dengan volume dan jumlah partikel masing-masing konstan. Berdasarkan hukum
termodinamika kedua, berlaku
11
dStotal  dS1  dS 2

dU1  p1dV1  1dN1 dU 2  p2 dV2   2 dN 2

T1
T2
(1.31)
1 1
    dU1  0
 T1 T2 
di mana dV1= dV2=0 dan dU2=-dU1. Jelas, jika T1<T2 maka dU1>0 dan kalor
mengalir dari sistem kedua ke sistem pertama. Kesetimbangang tercapai jika T1=T2.
Misalkan volume masing-masing sistem konstant, dan suhu kedua sistem
sama, T1=T2=T.
Kedua sistem diberi kontak agar terjadi perpindahan partikel
sehingga dN1= -dN2. Karena total energi konstan maka dU1+ dU2=0, maka
dStotal 
1
(  2  1 )dN1  0
T
(1.32)
Jadi jika  2  1 dan dN1>0, maka partikel mengalir dari sistem kedua ke sistem
pertama. Sebaliknya, jika  2  1 dan dN1<0, partikel mengalir dari12sistem
pertama ke sistem kedua. Berdasarkan itu maka berlaku
 S 

 N U ,V
  T 
(1.33)
Kesetimbangan Sistem Terbuka
Sudah diperlihatkan bahwa, untuk sistem-sistem yang terisolasi secara termal,
kesetimbangan termodinamik bisa didefenisikan sebagai keadaan dengan total
entropi maksimum. Tetapi untuk suatu sistem yang kontak dengan reservoir,
defenisi kesetimbangan termodinamik agak berbeda, yakni memaksimumkan total
entropi sistem dan reservoir terhadap keadaan sistem. Dengan memaksimumkan
total entropi itu maka besaran sistem yang disebut availabilitas:
A=U-TS +pV-µN
menjadi minimum terhadap keadaan sistem.
12
Tinjau suatu sistem dan reservoir yang bisa bertukar energi-dalam bentuk
kalor/kerja dan partikel. Menurut hukum kedua termodinamik, perubahan total
entropi adalah
dStotal  dS  dS R  0
dan perubahan availabilitas
dA  TR dStotal  0
di mana dS adalah perubahan entropi sistem dan dSR adalah perubahan entropi
reservoir. Perubahan entropi reservoir adalah
dS R 
dU R  p R dVR   R dN R
TR
sehingga perubahan total entropi adalah
dStotal 
TR dS  dU R  p R dVR   R dN R
TR
(1.34)
Dengan hukum kekekalan, maka dU=-dUR , dV=-dVR dan dN=-dNR sehingga
dStotal 
TR dS  dU  p R dV   R dN
TR
(1.35)
Dengan itu maka perubahan availabilitas adalah
dA  dU  TR dS  pR dV   R dN
(1.36)
Jika reservoir cukup besar, jauh lebih besar dari pada sistem maka TR, pR dan µR
konstan. Jadi availabilitas bergantung pada U, S, V dan N dari sistem dengan
rumusan
A  U  TR S  pRV   R N
(1.37)
Saat menuju kesetimbangan total entropi meningkat dan availabilitas menurun. Pada
saat mencapai kesetimbangan yang stabil, maka dA=0. Untuk berbagai kendala yang
khas, minimum availabilitas menjadi identik dengan minimum potensial
termodinamik bersangkutan.
13
Kesetimbangan jika p, S, N konstan
Dari persamaan (1.33),
dA p,S ,N  dU  TR dS  pR dV   R dN  p,S ,N
 d (U  pV ) p ,S , N
dengan p=pR . Tetapi, karena entalpi H=U+pV, maka
dA p,S ,N  d ( H ) p,S ,N
(1.38)
Jadi, pada keadaan sistem dengan tekanan, entropi dan jumlah partikel konstan,
keadaan availabitas minimum ekivalen dengan entalpi minimum.
Kesetimbangan pada T,V, N konstan
dAT , V , N  dU  TR dS  p R dV   R dN T ,V , N
 d (U  TS )T , V , N
dengan T=TR. Karena energi bebas Helmholtz F=U-TS maka
dAT , V , N  d ( F )T , V ,N
(1.39)
Jadi, pada keadaan sistem dengan suhu, volume dan jumlah partikel konstan,
keadaan availabitas minimum ekivalen dengan energi bebas Helmholtz minimum.
p1
p2
T
Gambar 1.4 Dua gas yang awalnya bertekanan p1 dan p2 dipisahkan oleh pemisah
yang dapat bergerak. Suhu dibuat konstan, T.
Gambar 1.4 memperlihatkan dua sistem gas yang kontak satu sama lain dengan
suhu, volume dan jumlah partikel konstan. Total energi bebas Helmholtz
14
F  F1  F2
 (U1  T1S1 )  (U 2  T2 S 2 )
Karena T1=T2=T dan dU=TdS-pdV maka
dF   p1dV1  p2 dV2
Tetapi, dV2=-dV1 sehingga
dF  ( p1  p2 d )V1
Jadi, keadaan setimbang tercapai jika dF=0 sehingga
p1  p2
Kesetimbangan pada T, p, N konstan
dAT , p, N  dU  TR dS  p R dV   R dN T ,V , N
 d (U  TS  pV )T , p , N
dengan TR=T, dan pR=p. Karena energi bebas Gibbs G=U-TS+pV maka
dAT , p, N  d (G)T , p,N
(1.40)
Jadi, pada keadaan sistem dengan suhu, tekanan dan jumlah partikel konstan,
keadaan availabitas minimum ekivalen dengan energi bebas Gibbs minimum.
Contoh 4. Kesetimbangan jika T,p,µ konstan.
dAT , V ,   dU  TR dS  p R dV   R dN T ,V , 
 d (U  TS  N )T ,V ,
dengan TR=T, dan pR=p dan µR=µ. Karena potensial besar =U-TS-µN maka
dAT , V ,   d ()T ,V ,
(1.41)
15
Jadi, pada keadaan sistem dengan suhu, tekanan dan potensial kimiawi konstan,
keadaan availabitas minimum ekivalen dengan potensial besar minimum.
1.6 Kesetimbangan Fasa
Tinjaulah suatu sistem dengan satu jenis partikel pada tekanan dan jumlah partikel
konstan. Jika suhu dinaikkan secara perlahan mulai dari suhu rendah ke suhu tinggi,
maka pada suatu suhu tertentu terjadi perubahan fasa dari fasa likuid ke fasa uap.
Misalkan Gc(T,p) adalah energi bebas Gibbs pada fasa likuid dan Gu(T,p) ) adalah
energi bebas Gibbs pada fasa uap.
Dalam Gambar 1.5 diperlihatkan kurva kedua energi-dalam diagram G-T.
Perpotongan kedua kurva menggambarkan transisi fasa. Di saat transisi fasa, kedua
fasa itu bercampur sehingga energi Gibbs adalah
G  Gc  Gu
G
Gu
Gl
Tb
T
Gambar 1.5 Diagram G-T suatu zat pada tekanan dan jumlah partikel konstan.
Dalam keadaan setimbang, dG=0 sehingga
dG  dGu
 S  dT  V dp    dN   Su dT  Vu dp  u dN u
Di saat transisi fasa, suhu dan tekanan konstan, sehingga
 dN   u dNu
Karena jumlah partikel konstan, maka d N   dN u sehingga pada T dan p konstan
16
   u
(1.42)
Jadi, syarat kesetimbangan fasa adalah potensial kimiawi kedua fasa adalah sama.
Gas van der Waals
Gas vd Waals memenuhi persamaan
p
k BT a

v  b v2
(1.43)
di mana v adalah volume satu molekul gas, a dan b konstanta. Kurva-kurva
isotermal dari gas van der Waals adalah seperti Gambar 1.6. Titik A dan titik E
adalah dua keadaan dengan fasa berbeda. Pada titik A, molekul-molekul berfasa
likuid dan di titik E berfasa gas (uap). Hubungan potensial kimia antara kedua titik
adalah
  
 dp

p

T
A
E
u ( E )   c ( A)   
(1.44a)
Berdasarkan persamaan Gibbs-Duhem (1.11c): d  s dT  vdp maka v 

.
p
E
u ( E )   c ( A)   v dp
(1.44b)
A
6
10
x 10
8
6
p(Pa)
100K
4
94K
80K
2
A
0
0
C
1
b
2
E
3
4
3
v(m )
5
6
7
-28
x 10
Gambar 1.6 Kurva-kurva isotermik gas van der Waals dengan a=2,210-49 dan
b=510-29 .
17
Karena titik A dan titik E pada tekanan yang sama, dan jika luas arsiran di sebelah
kiri dan sebelah kanan dari titik C sama, maka integral dalam persamaan (1.44b)
sama dengan nol sehingga berlaku
u ( E )  c ( A)
(1.45)
Persamaan Clausius-Clapeyron
Kalor laten adalah sama dengan perbedaan entalpi dari dua fasa pada suhu transisi.
Kalor laten dapat dihubungkan dengan kebergantungan suhu transisi terhadap
tekanan. Misalkan,
d1  s1dT  v1dp
untuk fasa 1. Pada transisi fasa seperti persamaan (1.40) 1   2 dan d1  d 2
sehingga
 s1dT  v1dp  s2 dT  v2 dp
atau
dp s1  s2

dT v1  v2
(1.46)
Dengan menyatakan s  s1  s2 dan v  v1  v2 sebagai perubahan entropi dan
volume per molekul, serta mendefenisikan kalor laten L  Ts maka diperoleh
dp
L

dT Tv
(1.47)
p
cair
padat
uap
T
Gambar 1.7 Garis-garis transisi yang memisahkan dua fasa dari suatu zat.
18
Inilah yang disebut persamaan Clausius-Clapeyron.
Persamaan
ini
dapat
diterapkan pada garis transisi yang memisah dua fasa dari suatu zat di dalam
diagram p-T seperti Gambar 1.7.
Campuran Gas Ideal
Dalam suatu gas ideal molekul-molekul tidak berinteraksi satu sama lain. Demikian
juga dalam campuran gas-gas ideal. Oleh sebab itu, tekanan gas adalah jumlah dari
tekanan-tekanan parsial dari gas-gas tersebut,
p   pi
(1.48)
i
Berbeda halnya dengan entropi; entropi campuran lebih besar dari pada jumlah
entropi-entropi murni,

 p 
S    Si ( pi , T )  N i k B ln  i 
 p 
i 
(1.49)
atau
S   Nk B  ci ln ci
(1.50)
i
di mana ci 
N i pi
adalah konsentrasi gas ke-i.

N
p
Variasi energi bebas Gibbs adalah dG=-SdT+Vdp sehingga untuk gas ideal
 G 
Nk BT

  V 
p
 p T
(1.51)
Tetapi potensial kimiawi µ=G/N, sehingga
  
k T
   B
p
 p T
(1.52)
Integrasi dari suatu tekanan p0 ke tekanan p menghasilkan
 p 

p
 0
 (T , p)   (T , p0 )  k BT ln 
(1.53)
Selanjutnya, dalam campuran beberapa gas ideal berlaku energi bebas Gibbs
adalah jumlah energi bebas Gibbs parsial,
19
G   Gi
(1.54)
i
 G
Sesuai dengan persamaan (1.46),  i
 pi


 V maka
T , N i
pi
Gi (T , pi )  Gi (T , p)   Vdp
p
p
 Gi (T , p)  N i k BT ln  i
 p
 Gi (T , p)  N i k BT ln ci



(1.55)
Dengan µi=Gi /Ni maka potensial kimiawi komponen ke-i
i (T , pi )  0i (T , p)  k BT ln ci
(1.56)
Artinya, potensial kimiawi gas ke-i di dalam campuran dengan konsentrasi ci
berbeda dengan potensial kimiawinya dalam keadaan murni dengan perbedaan
k BT ln ci .
Selanjutnya perubahan energi bebas Gibbs karena pencampuran adalah
dG  SdT  Vdp   i dN i
(1.57)
i
dan dengan itu, maka
 G 

i  
 N i T , p , N
(1.58)
j i
Untuk dua komponen i dan j berlak
 i

 N j


 
 2G


  i

T , p , Nl  j N j N i  N i


T , p , N l  i
(1.59)
1.7 Kesetimbangan Kimia
Tinjaulauh reaksi kimia
nA AnB B+nC C.
20
Dalam kesetimbangan kimia berlaku syarat minimum dari availabilitas. Pada
tekanan dan suhu konstan berlaku
dAT , p  dU  TdS  pdV
 d (U  TS  pV )
 dG  0
di mana G   Gi   i N i . Jadi, pada T dan p konstan variasi dG sekitar
i
i
kesetimbangan adalah
dG   i dN i  0
(1.60)
i
Artinya
 A dN A   B dN B  C dNC  0
Dalam reaksi di atas berlaku
(1.61a)
dN i
 konstan, sehingga
ni
dN
dN A
dN
 B  C .
nA
nB
nC
Jadi, persamaan (1.57a) menjadi
 A n A   B nB  C nC  0
(1.61b)
Secara umum dituliskan
 vi i  0
(1.62)
i
dengan v A  n A ; vB  nB ; vC  nC .
Gabungan persamaan (1.56) dan (1.62)
menghasilkan
v 
i
0i
i
 k BT  vi ln ci  0
(1.63)
i
atau
v 
i
i
0i


 k BT ln   civi   0
 i

(1.64)
21
Dari persamaan terakhir ini didefenisikan konstanta kesetimbangan untuk
konsentrasi c dan suhu T seperti
K c (T )   civi
(1.65a)
i
dengan
ln K c (T )  
1
 vi 0i (T , p)
k BT i
(1.65b)
Untuk reaksi nA AnB B+nC C, konstanta kesetimbangan adalah
K c (T ) 
c AnA
c BnB cCnc
(1.66)
1.8 Bahan Paramagnet dalam Medan Magnet
Bahan paramagnet mempunyai atom-atom yang terionisasi; misalkan satu ion

mempunyai momen dipol magnet  . Secara klasik, didalam medan medan magnet

B dipol itu adalah
 
(1.67)
E  . B   B cos 
Energi itu minimum jika vektor magnetisasi dan vektor medan magnet sejajar, dan
maksimum jika berlawanan arah.
Energi dari sistem yang mengandung N buah ion adalah,
N
U   B cos  i
(1.68)
 
U  M . B
(1.69)
i 1
Berdasarkan

di mana M adalah magnetisasi, maka
 
M 
N
 cos  i
(1.70)
i 1
22
Selanjutnya, sesuai dengan hukum termodinamika pertama dU  Q  dW maka
   
dU  dM . B  M .dB
(1.71)
 
di mana M . dB dapat dipandang sebagai kerja oleh bahan karena perubahan energi
 
yang berasal dari pengaruh medanl, sedangkan - dM . B dipandang sebagai
perubahan energi karena perubahan keadaan magnetisasi. Jadi
 
TdS  dM . B
(1.72)
 
dU  TdS  M .dB
(1.73)
sehingga
Soal-soal
1. Tunjukkan bahwa untuk gas van der Waals, panas jenis pada volume konstan CV
memenuhi
 CV 

  0.
 V T
2. Gunakan hubungan Maxwell dan aturan rantai untuk menunjukkan bahwa untuk
suatu zat, laju perubahan suhu T terhadap tekanan p dalam suatu proses kompressi adiabatik yang reversibel dirumuskan sebagai berikut
 T 
T  V 
  

 .
 p  S C p  T  p
3. Misalkan pada gas ideal berlaku kapasitas kalor CV=NkB dengan  adalah suatu
konstanta. Tunjukkan bahwa CP=NkB(+1) dan
V.
S  Nk B log   Nk B log T   konstanta
N
Tunjukkan pula bahwa dalam proses adiabatic (dS=0), berlaku VT=konstan dan
pV=konstan dengan =CP/CV.
23
4. Turunkanlah persamaan keadaan gas
 U 
 p 
p  
  T

 V T
 T V
dan
  p 

dU  T 
  p  dV  CV dT
  T V

5. Pada gas vd Waals, buktikan bahwa
C p  CV  ( p  a)(V  b).
6. Persamaan keadaan gas Dietrici adalah

k T
a 
 .
p  B exp  
vb
 k BTv 
di mana v=V/N. Tentukanlah titik kritis dan hitunglah pv/kBT pada titik itu.
7. Suatu gas memiliki sifat-sifat berikut:
(i) Pada suhu konstan T0, kerja yang dilakukannya dalam ekspansi volume dari
V0 ke V adalah
W  NRT0 ln
V
,
V0
(ii) Entropinya adalah
V
S  NR 0
V
T 
 
 T0 
a
di mana a adalah konstanta.
a. Tentukanlah energi bebas Helmholtz
b. Bagaimana persamaan gas itu?
c. Tentukanlah kerja yang dilakukan pada sebarang suhu konstant.
8. Dua buah balok logam dari bahan yang sama dan ukuran yang sama tetapi
berbeda suhu T1 dan T2. Kedua balok didekatkan satu sama lain dan dibiarkan
kontak sehingga suhu mencapai setimbang.
24
a. Tunjukkan bahwa perubahan entropi adalah
S  CV ln
(T1  T2 ) 2
4T1T2
b. Bagaimana persamaan di atas menunjukkan bahwa perubahan itu adalah
spontan?
9. Tinjaulah sebuah kotak dengan suatu partisi yang memisahkan dua jenis gas
berbeda. Andaikan ada perbedaan jumlah dari masing-masing gas, gas-1
bervolume V1 dan gas kedua V2, dan volume kotak V= V1 + V2. Kotak itu kontak
termal dengan suatu reservoir sehingga sesuatu transformasi akan berlangsung
dengan suhu konstan.
a. Mula-mula, andaikanlah suatu proses memungkinkan gas-gas itu bercampur
secara perlahan-lahan, sehingga selama proses percampuran itu sistem selalu
setimbang. Ingat bahwa lingkungan harus melakukan kerja agar proses itu
berlangsung. Tentukanlah perubahan energi dan perubahan entropi masingmasing gas antara sebelum bercampur dan setelah bercampur sepenuhnya.
b. Sekarang, andaikanlah partisi dicabut secara cepat sehingga gas-gas itu
bercampur secara cepat. Tentukanlah perubahan energi dan perubahan
entropi dari masing-masing gas.
c. Hitunglah total perubahan entropi yang meliputi gas-gas dan lingkungan baik
pada soal a maupun soal b.
10. Kapasitas panas logam dalam fasa superkonduktor dan fasa normal pada suhu
rendah dapat didekati dengan persamaan-persamaan berikut:
C s  VT 3 , superkonduktor
Cn  VT 3  VT , normal
di mana ,  dan  adal;ah konstanta. Pada suhu rendah di bawah Tc fasa
superkonduktor adalah stabil dan di atas suhu Tc fasa normal yang stabil.
Tentukanlah rumusan untuk Tc .
25
2
STATISTIK MAXWELL BOLTZMANN
2.1 Keadaan Mikro dan Makro
Dalam suatu sistem seperti gas, suatu keadaan mikro berkaitan dengan sekumpulan
posisi dan momentum dari partikel-partikel gas. Biasanya, suatu sistem mempunyai
konstrain, misalnya volume tetap, sehingga orang cukup memperhatikan keadaankeadaan mikro pada volume tetap itu saja. Dalam sistem kuantum, keadaan mikro
adalah solusi dari persamaan Schrodinger seperti Hˆ  i  Ei i .
Keadaan makro adalah sekumpulan keadaan-keadaan mikro dengan energi
tertentu, U, yang memenuhi konstrain tertentu, misalnya energi U, volume V dan
jumlah partikel N yang konstan. Jumlah keadaan mikro dalam suatu keadaan makro
tertentu dinyatakan sebagai bobot statistik dari keadaan makro tersebut dan
dinyatakan dengan simbol (U,V,N). Pada keadaan setimbang statistik, orang tak
memerlukan rincian dari keadaan-keadaan mikro; yang diperlukan hanyalah jumlah
keadaan mikro dalam keadaan makro bersangkutan.
Bobot statistik suatu keadaan makro dapat ditentukan sebagai berikut.
Misalkan tiga buah patikel sejenis yang dapat dibedakan satu sama lain (sebutlah A,
B, C) akan ditempatkan pada tingkat-tingkat energi E1=,
E2=2, dan E3=3.
Andaikan keadaan makro yang diinginkan mempunyai energi U=6. Artinya,
distribusi partikel adalah n1=1, n2=1 dan n3=1 sehingga U=n1E1+n2E2+n3E3=6. Jika
partikel-partikel itu identik yang dapat dibedakan maka susunan partikel pada
tingkat-tingkat energi adalah seperti berikut:
Keadaan-keadaan mikro
E3=3 C
B
C
A
A
B
E2=2 B
C
A
C
B
A
E1=
A
B
B
C
C
U
A
6 6 6 6 6 6
26
Terlihat, keadaan makro tersebut mempunyai enam buah keadaan mikro.
Selanjutnya, andaikan keadaan makro yang diinginkan mempunyai energi U=4.
Maka distribusi partikel adalah n1=2, n2=1 dan n3=0 sehingga U=n1E1+n2E2+
n3E3=4. Susunan partikel pada tingkat-tingkat energi adalah seperti berikut:
Keadaan-keadaan mikro
E3=3 -
-
-
E2=2
C
B
A
E1=
AB
AC
BC
U
4
4
4
Terlihat, keadaan makro tersebut mempunyai tiga buah keadaan mikro. Untuk dua
contoh di atas, jumlah keadaan mikro dalam keadaan makro dapat dinyatakan
sebagai berikut:
N=3, n1=1, n2=1, n3=1, U=6,:  
N=3, n1=2, n2=1, n3=0, U=4:  
3!
 6.
1!1!1!
3!
6
  3.
2!1!0! 2
Berdasarkan pengalaman di atas, maka untuk sistem N partikel identik yang
dapat dibedakan secara umum berlaku hal berikut. Andaikan suatu keadaan makro
mengandung m buah keadaan mikro dengan tingkat-tingkat energi E1, E2, ......,Em.
Jika distribusi partikel-partikel adalah n1, n2, ....,nm dengan keadaan makro yang
mempunyai konstrain
m
N   ni konstan
i 1
m
(2.1)
U   ni Ei konstan
i 1
maka jumlah keadaan mikro di dalam keadaan makro bersangkutan adalah
27
(U ) 
m
N!
1
 N!
n1!n2 !.......nm !
i 1 ni !
(2.2)
Jika sekiranya, tingkat-tingkat energi keadaan mikro mempunya degenerasi,
misalnya gi untuk tingkat energi ke-i, maka peluang penempatan ni buah partikel di
tingkat energi Ei adalah g ini . Dengan demikian maka persamaan (2.2) harus
disempurnakan menjadi
g ini
(U )  N!
i 1 ni !
m
(2.3)
Karena interaksi dan tumbukan, distribusi partikel-partikel pada tingkattingkat energi keadaan mikro bisa berubah. Dapat diasumsikan bahwa pada setiap
keadaan makro dari suatu sistem, ada suatu distribusi yang lebih baik daripada
distribusi-distribusi lainnya. Artinya, secara fisis pada suatu sistem yang memiliki
sejumlah partikel dengan total energi tertentu, terdapat suatu distribusi paling
mungkin. Jika distribusi itu tercapai, sistem itu disebut dalam keadaan setimbang
statistik, dan dalam keadaan itu  maksimum.
2.2 Entropi
Tinjaulah dua buah sistem partikel seperti dalam Gambar 2.1, yang kontak termal
satu sama lain sehingga mencapai kesetimbangan suhu. Kedua sistem terisolasi dari
lingkungannya. Misalkan energi masing-masing adalah U1 dan U2 sehingga energi
total kedua sistem adalah U= U1+ U2. Meskipun U konstan, tetapi masing-masing U1
dan U2 bisa berubah sampai tercapai keadaan setimbang suhu.
U1
U2
Gambar 2.1 Dua buah sistem yang kontak termal satu sama lain, terisolasi dengan
lingkungannya.
28
Misalkan 1(U1) dan 2(U2) adalah jumlah keadaan mikro masing-masing
dalam sistem pertama dan sistem kedua. Jumlah keadaan mikro gabungan adalah
(U, U1) =1(U1) 2(U2)
di mana U2=U-U1. Tentu ada suatu harga U1 di mana sistem gabungan dalam
keadaan setimbang sehingga (U, U1) mencapai harga maksimum. Misalkan Û 1
adalah harga U1 pada keadaan setimbang sehingga
  (U )  U 2
  1 (U 1 ) 
  2 (Uˆ 2 )  1 (Uˆ 1 ) 2 2 
 
0
U 1  U 1 Uˆ
U 2 Uˆ U1

1
2
Karena U konstan maka
(2.4)
U 2
= -1, sehingga
U1
 1 (U 1 ) 
  (U ) 

  2 (Uˆ 2 )  1 (Uˆ 1 ) 2 2 
 U 1 Uˆ1
 U 2 Uˆ 2
 ln 1 (U1 )
 ln  2 (U 2 )

U1
U 2
Uˆ
Uˆ
1
(2.5)
2
Kesamaan di atas, terkait dengan kesetimbangan suhu mengindikasikan masingmasing fihak dalam persamaan (2.5) sama dengan  sehingga diperoleh

 ln (U )
U
U Uˆ
(2.6)
Dalam termodinamika dikenal hubungan suhu dan entropi seperti
1  S 


T  U  N ,V
(2.7)
Dari kedua persamaan (2.6) dan (2.7) dapat dinyatakan bahwa

1
k BT
(2.8)
di mana kB=1,38110-23J/K adalah konstanta Boltzmann. Selanjunya entropi adalah
29
S  k B ln 
(2.9)
Secara statistik inilah yang disebut entropi Boltzmann dalam kaitannya dengan
jumlah keadaan mikro maksimum dari suatu sistem
Untuk kedua sistem di atas, berlaku
S  k B ln   k B ln(1 2 )  k B ln 1  k B ln  2 )
 S1  S 2
(2.10)
Jadi, entropi gabungan adalah jumlah dari entropi-entropi kedua sistem yang kontak
suhu satu sama lain. Ini adalah suatu tanda bahwa entropi adalah besaran yang
bersifat ekstensif, sedangkan suhu sebagai konjugasinya merupakan besaran yang
bersifat intensif.
Entropi Boltzmann sangat ideal bagi sistem dengan jumlah partikel yang
besar. Untuk sistem dengan jumlah partikel yang kecil diperkenalkan entropi Gibbs,
S  k B  pi ln pi
(2.11)
i
dengan pi adalah probabilitas menemukan sistem pada keadaan mikro ke-i. Untuk
itu berlaku
 pi  1
(2.12)
i
Meskipun demikian, untuk sistem dengan jumlah partikel yang besar rumusan di
atas tetap berlaku karena pi 
1
untuk semua keadaan yang mungkin sehingga

S  k B  pi ln pi  k B 
i
i
1 1
ln  k B ln 
 
Kembali ke persamaan (2.2), maka dengan jumlah keadaan mikro itu entropi
Boltzmann adalah


S  k B ln   k B  ln N! ln n!
i


Untuk jumlah partikel yang besar dapat digunakan aproksimasi Sterling
30
ln X ! X ln X  X
(2.13)
sehingga entropi dari N buah partikel yang dapat dibedakan menjadi


S  k B  N ln N  N   (ni ln ni  ni ) 
i




1
 k B N  ln N   ni ln ni 
N i


 k B N 
i
(2.14a)
ni ni
ln
N N
Untuk N buah partikel yang tak dapat dibedakan entropi adalah
S  k B ln   k B ln N !
(2.14b)
 Nk B ln N  1
Entropi per partikel dalam persamaan (2.14a) di atas jika dibandingkan dengan
persamaan (2.11) menegaskan bahwa probabilitas menemukan sistem pada keadaan
mikro ke-i dapat dikaitkan dengan jumlah partikel pada keadaan itu, yakni
pi 
ni
N
(2.15)
2.3 Ensembel Mikrokanonik
Ensembel adalah sistem partikel dengan lingkungannya. Dalam Gambar 2.2
diperlihatkan tiga buah sistem dan lingkungannya.
S
S
(a)
(b)
S
.
(c)
Gambar 2.2 Sistem dan lingkungannya.
31
Dalam Gambar 2.2(a) sistem partikel terisolasi dari dunia luar. Dengan
demikian maka U, V, N konstan. Secara statistik, sistem partikel ini dipandang
sebagai ensemble mikrokanonik. Dalam Gambar 2.2(b) sistem partikel
kontak
termal dengan reservoir suhu di sekitarnya. Sistem dan reservoir secara keseluruhan
terisolasi dari dunia luar. Dengan demikian maka T, V, N konstan, sedangkan energi
U berfluktuasi. Secara statistik, sistem partikel dan reservoir secara keseluruhan
dipandang sebagai ensemble kanonik. Dalam Gambar 2.2(c) sistem partikel kontak
termal dan kontak partikel dengan reservoir di sekitarnya. Sistem dan reservoir
secara keseluruhan terisolasi dari dunia luar. Dengan demikian maka
T, V, µ
konstan, sedangkan energi U dan jumlah partikel N berfluktuasi sekaligus. Secara
statistik, gabungan sistem partikel dan reservoir secara keseluruhan dipandang
sebagai ensemble kanonik besar.
Dalam ensembel mikrokanonik seperti dalam Gambar 2.2(a), sistem partikel
terisolasi dengan lingkungannya. Yang konstan dari sistem adalah energi dalam U,
volume V dan jumlah partikel N. Dengan keadaan seperti itu maka semua keadaan
mikro yang mungkin dari sistem memiliki probabilitas yang sama. Oleh sebab itu
berlaku
(U )  jumlah keadaan mikro berenergi U
sehingga probabilitas bahwa sistem ada pada keadaan mikro ke-i dengan energ U
adalah pi 
1
, dan probabilitas sistem pada keadaan dengan energi U’≠U sama
(U )
dengan nol. Entropi sesuai dengan persamaan (2.9) adalah
S  k B ln (U )
(2.16)
Dalam fisika kuantum, tingkat-tingkat energi itu diskrit. Tetapi, jika jumlah
partikel cukup besar maka tingkat-tingkat energi itu menjadi rapat dan secara efektif
kontinu. Dalam keadaan itu, (E ) adalah jumlah keadaan yang berenergi antara E
dan E+E dengan E adalah sangat kecil tetapi cukup besar dibandingkan dengan
spasi tingkat-tingkat energi.
32
Contoh 2.1 Sistem dua tingkat energi I
Tinjaulah suatu sistem terisolasi dengan N buah partikel identik yang dapat
dibedakan. Andaikan tidak ada interaksi antara partikel-partikel. Setiap partikel fix
pada posisinya dan bisa menempati salah satu tingkat energi E1=0 dan E2=.
Misalkan n2 adalah jumlah partikel yang menempati tingkat energi E2 dan n1=N-n2
menempati tingkat energi E1, maka energi total partikel adalah
U  n2 
(2.17)
Karena sistem memiliki energi dalam U dan jumlah partikel N yang tetap, maka
jumlah keadaan mikro adalah
(U ) 
N!
n1! n2 !
Dengan itu maka entropi adalah
S  k B ln (U )
 k B [ln N !(ln n1! ln n2 ! )]
Dengan menggunakan aproksimasi Sterling dalam persamaan (2.13) maka entropi di
atas menjadi
S  k B [ N ln N  N  (n1 ln n1  n1  n2 ln n2  n2 )]
 k B [ N ln N  (n1 ln n1  n2 ln n2 )]
n
n 

 k B  n1 ln 1  n2 ln 2 
N
N

Karena
n2
n
U
U

dan 1  1 
maka
N N
N
N

U  
U  U
U 
S  k B 1 
ln
 ln 1 


 N   N  N N 
(2.18)
Tampak bahwa, jika U=0 dan U=N maka entropi S=0, sedangkan jika U=N/2
entropi mencapai maksimum S=kB ln2.
33
Berdasarkan hubungan termodinamik:
1 S

, maka dapat diturunkan
T U
bahwa suhu sistem adalah
1 k B  N 
 ln 
 1
T  U

(2.19)
Dari hubungan di atas, selanjutnya diperoleh
n2
1
  / kBT
N e
1
(2.20)
Tampak bahwa, jika suhu T0 maka n2=0 atau n1=N; artinya seluruh partikel
menempati tingkat energi E1. Sebaliknya, jika T∞ maka n2=½N.
Dari persamaan (2.17) dan (2.20) energi sistem adalah
UN

e
 / k BT
Kapasitas kalor yang didefenisikan seperti C 
(2.21)
1
U
adalah
T
N 2
e / kBT
C
k BT 2 e / kBT  1 2


(2.22)
C sebagai fungsi suhu T diperlihatkan dalam Gambar 2.2.
C
T
Gambar 2.2 Kapasitas kalor C sebagai fungsi suhu T dalam persamaan (2.22).
34
2.4 Ensembel Kanonik; Distribusi Maxwell-Boltzmann
Dalam ensembel mikrokanonik telah dikemukakan bahwa karena sistem partikel
terisolasi dari lingkungannya, maka energi sistem partikel itu menjadi konstan.
Sekarang dengan membiarkan sistem partikel kontak termal dengan suatu reservoir
yang besar seperti diperlihatkan dalam Gambar 2.2(b), maka terjadi pertukaran
energi sehingga suhu sistem sama dengan suhu reservoir.
Ensembel kanonik merupakan gabungan dari suatu sistem partikel dan suatu
reservoir panas yang besar. Dalam ensembel ini, karena terjadi kontak termal antara
sistem dan reservoir maka suhu sistem partikel menjadi tetap. Yang konstan dari
sistem partikel adalah suhu T, volume V dan jumlah partikel N. Misalkanlah sistem
menempati suatu keadaan mikro ke-i yang berenergi Ei ; energi ini jauh lebih kecil
dari pada energi reservoir sehingga jumlah keadaan mikro gabungan sama dengan
jumlah keadaan mikro dalam sistem partikel,
(U gab )    res (U gab  Ei )
i
Dengan hubungan entropi Sres=kB ln , maka
 S R (U gab  Ei ) 
(U gab )   exp 

kB
i


Dengan uraian Taylor,
S R (U gab  Ei )
kB
dan mengingat

S R (U gab )
kB

S R (U gab ) Ei
U gab k B
1 S R (U gab )
maka

T
U gab
(U gab )  e
S R (U gab) / k B
e
 Ei / k BT
i
Dari persamaan terakhir ini terungkap bahwa probabilitas sistem pada keadaan
mikro ke-i adalah
pi  e  Ei / k BT
35
Secara lengkap probabilitas di atas harus dinormalisasi; untuk itu
e  Ei / k BT
pi 
Z1
(2.23)
Z1   e  Ei / kBT
(2.24)
dengan
i
disebut fungsi partisi untuk satu partikel.
Energi rata-rata satu partikel dirumuskan seperti
E   pi Ei
(2.24a)
i
Dengan menggunakan persamaan (2.23) dan (2.24) maka
E 
i
e  Ei
1 Z1
Ei  
Z1
Z1 
sehingga diperoleh
E 
 ln Z1

(2.24b)
di mana =1/kBT.
Dengan persamaan (2.15) dan (2.23) diperoleh apa yang disebut distribusi
Maxwell-Boltzmann, yakni jumlah partikel yang menempati keadaan mikro ke-i:
ni 
N Ei
e
Z1
(2.25a)
sedangkan
f ( Ei )  e  Ei
(2.25b)
disebut fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann.
Entropi Gibbs untuk satu partikel
36
 e   Ei
S  k B  pi ln pi  k B  pi ln 
i
i
 Z1
 k B   pi Ei  k B ln Z1  pi
i

E
T




(2.26)
i
 k B ln Z1
di mana telah digunakan sifat
 pi  1 .
Berdasarkan hubungan termodinamik,
i
energi bebas Helmholtz: F=U-TS, maka untuk satu partikel
F1  k BT ln Z1
(2.27)
Untuk N buah partikel identik, misalkan partikel-partikel itu dapat
dibedakandengan penomoran q=1, 2,……,N. Partikel-partikel ditempatkan pada
Tingkat-tingkat energi 1, 2,…… sehingga energi-energinya adalah
E1   1 (1)   1 (2)   1 (3)  ..............   1 ( N )
E 2   2 (1)   1 (2)   1 (3)  ..............   1 ( N )
E3   1 (1)   2 (2)   1 (3)  ..............   1 ( N )
....  ................................................................
Fungsi partisi untuk N partikel identik yang dapat dibedakan adalah
Z N  exp(  E1 )  exp(  E 2 )  exp(  E3 )  exp(  E 4 )  ......  exp(  E N )
 exp    1 (1)   1 (2)   1 (3)  ..............   1 ( N )
 exp    2 (1)   1 (2)   1 (3)  ..............   1 ( N )
 exp    1 (1)   2 (2)   1 (3)  ..............   1 ( N )  ..........
dengan =1/kBT. Persamaan di atas dapat dituliskan seperti
Z N  exp   1 (1) exp   1 (2) exp   1 (3) ..............  exp   1 ( N )
 exp   1 (1) exp   2 (2) exp   1 (3) ..............  exp   1 ( N )
 exp   1 (1) exp   1 (2) exp   2 (3) ..............  exp   1 ( N )
 ..........
yang selanjutnya dapat disusun sebagai berikut
37
Z N  exp   1 (1)  exp   2 (1)  exp   3 (1)  ..........  exp   N (1)
 exp   1 (2)  exp   2 (2)  exp   3 (2)  .........  exp   N (2)
...................................................................................................................
 exp   1 ( N )  exp   2 ( N )  exp   3 ( N )  .........  exp   N ( N )
atau


Z N    e   i ( q )    Z1 (q) ,
q  i

q
q=1, 2,….N
dengan q adalah nomor partikel. Karena Z1(1)=Z1(2)=….= Z1(N), maka fungsi partisi
untuk N buah partikel identik yang dapat dibedakan adalah
Z N  Z1N
(2.28)
Sesuai dengan persamaan (2.26), energi bebas Helmholtz dari N buah
partikel identik yang dapat dibedakan adalah
F  k BT ln Z N  k BT ln Z1N
  Nk BT ln Z1
(2.29)
Dibandingkan dengan persamaan (2.26), terlihat bahwa F=NF1.
Selanjutnya, berdasarkan hubungan termodinamik F=U-TS, maka dF=-SdTpdV sehingga entropi N buah partikel identik yang dapat dibedakan adalah
 ln Z 1
 F 
S  
  Nk B ln Z 1  Nk B T
T
 T V
 Nk B ln Z 1  Nk B T
Karena =1/kBT maka
1 Z 1
Z 1 T
Z1 Z1 
1 Z1
, maka


T
 T
k BT 2 
S  Nk B ln Z1 
Dengan E  
N  ln Z1
T 
 ln Z1
dalam persamaan (2.24b) maka

38
S  Nk B ln Z1 
N E
T
Karena energi total
U  N
 ln Z N
 ln Z1

N E


(2.30)
maka entropi di atas adalah
S  Nk B ln Z1 
U
T
(2.31)
Dibandingkan dengan persamaan (2.26) maka S  NS1 .
Sekarang tinjaulah N buah partikel identik yang tidak dapat dibedakan.
Misalkan fungsi partisi adalah
Z N  m Z1N
dengan m adalah factor yang masih harus ditentukan. Misalkanlah N=2, maka
Z 2  mZ1 (1) Z1 (2)

 
  ( 2 ) 
 m  e  i (1)    e j 
 i
  j

sehingga diperoleh

   (1) ( 2 )  
Z 2  m  e  [ i (1) i ( 2)]  e i j 
i j i
 i

Terlihat, pada suku kedua terjadi double counting, pada hal  i (1)   j (2) =
 i (2)   j (1) . Oleh sebab itu harus diberikan faktor ½, atau m=1/2. Jadi,
Z2 
1
1
Z1 (1) Z1 (2)  Z12
2
2
Dengan cara yang sama, dapat diturunkan bahwa untuk N=3, fungsi partisi itu
adalah
39
Z3 
1 3
Z1
6
Dengan demikian maka secara umum fungsi partisi dari N buah partikel identik yang
tidak dapat dibedakan adalah
ZN 
1 N
Z1
N!
(2.32)
Energi bebas Helmholtz dari N buah partikel identik yang tidak dapat
dibedakan adalah


 1

F  k BT ln Z N  k BT ln  Z1N   k BT ln Z1N  ln N !
 N! 
  Nk BT ln Z1  k BT ( N ln N  N )
(2.33)
  Nk BT ln Z1  Nk BT (ln N  1)
 Z

  Nk BT  ln 1  1
 N

Dibandingkan dengan persamaan (2.27), terlihat bahwa F NF1. Dengan
energi bebas di atas, entropi N buah partikel identik yang tidak dapat dibedakan
adalah
Z

 Z

 F 
S  
ln 1
  Nk B  ln 1  1  Nk B T
T N
 T V
 N

N   Z1 
 Z

 Nk B  ln 1  1  Nk B T
 
Z1 T  N 
 N

1 Z1
 Z

 Nk B  ln 1  1  Nk B T
Z1 T
 N

Karena =1/kBT maka
1 Z1
1 1 Z1
1


Z1 T
k BT 2 Z1 
k BT 2
 pi Ei  k
i
E
BT
2
maka
40
 Z
 N
S  Nk B  ln 1  1   pi Ei
 N
 T i
 Z
 N E
 Nk B  ln 1  1 
T
 N

Dengan energi total U  N E maka entropi di atas menjadi
 Z
 U
S  Nk B  ln 1  1 
 N
 T
(2.34)
Jadi, untuk partikel-partikel identik yang tidak dapat dibedakan S  NS1 . Ini
merupakan akibat dari F NF1.
Contoh 2.2 Sistem dua tingkat energi II
Dalam contoh 2.1 telah dikemukakan sistem N partikel yang memiliki dua tingkat
energi E1=0 dan E2=. Pembahasan di sana dilakukan dengan menggunakan sifatsifat ensmbel mikrokanonik. Sekarang, misalkan sistem partikel memiliki suhu
konstan karena kontak termal dengan suatu reservoir.
Fungsi partisi satu partikel adalah
Z1   e Ei  1  e 
i
Jika partikel-partikel identik tidak dapat dibedakan, maka fungsi partisi sistem
partikel adalah

1
1  e 
Z N  Z1N 
N!
N!

N
(2.35)
Energi bebas Helmholtz adalah

F  k BT ln Z N  k BT N ln(1  e   )  N ln N  N

(2.36)
  1  e  
  Nk BT ln 
  N
 
  1
 
sedangkan entropi adalah
41
  1  e  
 F 

S  

Nk

B ln 
 T V
  N
  1  e 
S  Nk B ln 
  N
 

  1  Nk BT
ln 1  e  
T
 

  N 
  1 

  T e 1

(2.37)
Energi dalam adalah U=F+TS,
UN

e

1
Dengan itu maka jumlah partikel pada tingkat energi E2= adalah
n2
1
 
N e 1
Terlihat bahwa baik U maupun n2 masing-masing sama dengan persamaan (2.20).
Contoh 2.3 Paramagnetisme
Dalam situasi yang paling sederhana, paramagnetisme dapat dipandang sebagai
sistem dua tingkat. Tinjaulah sistem dari N buah atom identik yang tak dapat
dibedakan, masing-masing dengan momen magnet m tidak berinteraksi satu sama
lain. Misalkan pula sistem itu kontak termal dengan suatu reservoir bersuhu T.
Dalam medan magnet B, setiap atom bisa menempati dua tingkat energi, E1= -mB
dan E2=mB.
Fungsi partisi satu atom adalah
Z1   e Ei  e mB  e mB  2 cosh( mB)
(2.38)
i
Fungsi partisi N buah atom adalah
ZN 
1 N
1
2 cosh  mBN
Z1 
N!
N!
(2.39)
Energi bebas Helmholtz dari N atom adalah
F  k BT ln Z N  k BT N ln 2 cosh  mB  N ln N  N 
(2.40)
42
Dari hubungan termodinamika F=U-TS+MB di mana M adalah total magnetisasi per
satuan volume, maka dF=-SdT-pdV+MdB sehingga
M 
F

  Nk BT
ln 2 cosh(  mB) 
B
B
  N m tanh( mB)
atau
 mB 

M   N m tanh
k
T
 B 
(2.41)
Contoh 2.4 Molekul polar
Suatu sistem molekul polar di tempatkan dalam medan listrik uniform, tetapi
terisolasi dari gangguan luar. Turunkanlah polarisasi sistem sebagai fungsi suhu.

Misalkan momen dipol listrik setiap molekul: p o . Energi suatu molekul yang
dipolnya berorientasi dengan sudut θ terhadap medan listrik E adalah
E(θ)= -po E cos.
Jika sudut itu bervariasi dari 0- maka energi bukannya diskrit tapi kontinu. Oleh
sebab itu, peluang penempatan di tingkat energi harus dinyatakan dengan sudut
ruang yang dibentuk antara θ dan θ +d θ, yakni dΩ=2π sin θ dθ. Maka fungsi partisi
satu molekul

Z1   e poE cos / kBT 2 sin  d  4
0
k BT
sinh( poE / k BT )
poE
(2.42)
Dipol rata-rata adalah

p ave
1

( p o cos  ) e p0E cos / k BT 2 sin  d

Z1 0

pE k T
 p 0  coth o  B
k B T poE




(2.43)
43
Hasil ini disebut rumus Langevin. Untuk medan E sangat besar atau T sangat
rendah,
coth (poE /kT)=1, kT/poE =0 sehingga pave=po; artinya semua molekul
terorientasi sejajar medan listrik. Untuk po E <<kT , pave=po2E /3kBT (Ingat: coth
x=1/x+x/3+…. sehingga jika x<<1, coth x=x/3); jika ada n buah molekul, polarisasi
zat adalah:
p02 E
3k BT
Pn
(2.44)
Sedangkan permittivitas medium yang mengandung molekul-molekul polar adalah
 n
p02
3k B T
(2.45)
2.5 Ensembel Kanonik Besar
Dalam ensembel kanonik, sistem partikel dibiarkan kontak termal dengan reservoir
panas sehingga terjadi pertukaran energi dan suhu sistem menjadi konstan. Jika
selain pertukaran energi, terjadi pula pertukaran partikel maka sistem dan reservoir
disebut membentuk ensembel kanonik besar. Besaran-besaran yang konstan dari
sistem adalah suhu T, volume V dan potensial kimia per partikel µ. Dalam situasi
seperti itu, probabilitas menemukan sistem partikel pada keadaan-i bergantung pada
tingkat energi Ei dan jumlah partikel ni yang menempati keadaan-i itu, seperti
pi  e   ( Ei   ) ni
Untuk normalisasi, maka
e   ( E i   ) ni
pi 

(2.46)
   e  ( Ei   ) ni
(2.47)
dengan
i
ni
44
 disebut fungsi partisi kanonik besar dari keseluruhan partikel. Dengan demikian
tetap berlaku
 pi  1 .
i
Berdasarkan entropi Gibbs S  k B  pi ln pi maka
i
e   ( E i   ) ni
S  k B  pi ln

i

1

pi ni Ei   pi ni  k B ln   pi

T i
T i
i
Hasil di atas dapat dinyatakan seperti
S
U
 N

 k B ln 
T
T
(2.48)
di mana
U   pi ni Ei
(2.49)
i
N   pi ni
(2.50)
i
Untuk merumuskan fungsi partisi besar dari keadaan-i misalkan tingkattingkat energi E1, E2, ...... secara serentak diduduki oleh jumlah partikel n1, n2, ......
maka fungsi partisi kanonik besar total adalah
   e   ( Ei   ) ni
i
ni
  e   ( E1   ) n1   e   ( E2   ) n2  ........
n1
(2.51a)
n2
atau
  1   2  .......    i
(2.51b)
i
dengan
45
 i   e   ( E i   ) ni
(2.52)
ni
Persamaan (2.51b) menunjukkan bahwa fungsi partisi besar suatu sistem partikel
merupakan hasil perkalian dari fungsi-fungsi partisi besar dari tingkat-tingkat energi
individual. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat-tingkat energi itu bebas dan tak
dapat dibedakan, masing-masing kontak dengan reservoir pada suhu T dan potensial
kimiawi µ.
Dengan fungsi partisi besar,
potensial kanonik besar dari keseluruhan
partikel adalah


  k B T ln   k B T ln    i 
 i

 k B T  ln  i
(2.53)
i
Itu menunjukkan bahwa
   i
(2.54)
i
dan potensial kanonik besar dari keadaan ke-i adalah
 i  k BT ln  i
(2.55)
dengan i seperti persamaan (2.52).
Selanjutnya, berdasarkan d   pdV  SdT  Nd
diturunkan dengan menggunakan hubungan: S  
maka entropi bisa

, yaitu
T
 ln 
T
1  ln 
 k B ln  
T 
S  k B ln   k B T
Untuk itu,
46

 ln 
1 
e   ( E i   ) ni

  ( Ei   )ni

 

i
  pi ( Ei   )ni
i
atau

 ln 
 U  N

(2.56)
Jadi, entropi adalah
S  k B ln  
U
 N

T
T
(2.57)
yang sama dengan persamaan (2.48). Jika persamaan (2.57) dibandingkan dengan
persamaan (2.34), jelas tampak perbedaan antara ensemble kanonik dan ensemble
kanonik besar dengan kehadiran potensial kimia sehubungan dengan terjadinya
pertukaran partikel.
Jumlah partikel dapat diperoleh dari hubungan termodinamik N  

;

dengan persamaan potensial kanonik besar dalam persamaan (2.53) maka
N 

 ln 
.
k B T


(2.58)
Dalam kuantum ada dua kelompak partikel, kelompok fermion dan
kelompok boson. Fermion adalah partikel-partikel yang memiliki spin parohan:
s=1/2, 3/2, …… dan boson yang memiliki spin s=0, 1, 2, ……Jumlah partikel yang
bisa ditempatkan pada suatu keadaan ke-i hanya bisa ni=0 dan 1 untuk fermion, dan
n=0 sampai ∞. Jadi, fungsi partisi besar keadaan ke-i adalah
 i   e   ( E i   ) ni
ni
1  e   ( Ei   )
fermion



  ( Ei   )
 e  2  ( Ei   )  ... boson
1  e
(2.59)
47
Soal-soal
1. Suatu sistem dari 4000 partikel memiliki tiga tingkat energi 0,  dan 2 .
(a) Bandingkanlah peluang-peluang relatif dari partisi di mana 2000 partikel
menempati tingkat energi paling rendah, 1700 pada tingkat energi sedang
dan yang 300 pada tingkat energi tertinggi, dengan partisi yang dihasilkan
oleh perpindahan satu partikel dari tingkat energi teratas dan satu partikel
dari tingkat energi terendah ke tingkat energi sedang.
(b) Tentukanlah partisi keadaan setimbang.
(c) Dalam keadaan setimbang, dengan =0,02 eV, hitunglah suhunya.
2. Tunjukkanlah bahwa energi bebas Gibbs G dalam kaitannya dengan fungsi patisi
adalah
G  k BTV 2
  ln Z 

.
V  V 
3. Tunjukkanlah bahwa entalpi H dalam kaitannya dengan fungsi patisi adalah
H
  ln Z 
1   ln Z
 .
  
V
  V
  
dengan =1/kBT.
4. Energi-energi yang mungkin dari suatu sistem partikel adalah ), 0, , 2,…..
(a) Tunjukkan bahwa fungsi partisi sistem itu adalah:
Z  [1  exp(  / kT )]1 .
(b) Hitunglah energi rata-rata.
(c) Tentukanlah harga batas energi rata-rata jika <<kT.
48
5. Energi bebas Hemholtz didefenisikan sebagai: F=U-TS. Tunjukkan bahwa:
F=-NkBT[ln(Z/N)+1]. Tentukanlah F untuk gas ideal. Tunjukkan bahwa
parameter  dalam hukum distribusi:
ni  exp(   Ei )
adalah:=-(F/kBNT)+1
6. Jika potensial besar adalah =-kBTln, turunkanlah rumusan entropi (S),
tekanan (p), dan jumlah partikel (N).
7. Tunjukkanlah bahwa
  ln  
  


  k B ln   k BT 
 T 
  
di mana =1/kBT.
8. Untuk keadaan ke-i dari N buah partikel, kerja adalah Wi=-E/x dan kerja
keseluruhan adalah
W  
 N  Ei  Ei
1
 ln 

exp 
dx  k BT
dx

 i
x
 k BT  x
Buktikanlah bahwa rata-rata jumlah partikel adalah
N 

k BT ln  

9. Suatu gas ideal tertutup dalam kontainer volume V dan bisa bertukar energi dan
molekul dengan reservoir bersuhu T dan potensial kimia µ. Buktikan bahwa
jumlah rata-rata molekul di dalam kontainer N berhubungan dengan potensial
besar  melalui persamaan N   / k BT .
49
3
GAS IDEAL
Energi suatu molekul adalah jumlah kinetik dan potensial: E=Ekin+Epot. Gas ideal
dipandang sebagai sekumpulan molekul dengan jarak antara molekul-molekul cukup
jauh sehingga tidak ada interaksi antar molekul, Epot=0. Oleh sebab itu, energi suatu
molekul gas ideal hanya berbentuk kinetik. Jika gas ideal itu dari molekul-molekul
monoatom, energi kinetiknya hanya dari gerak translasi saja: Ekin  p 2 / 2m . Tetapi
jika gas ideal itu adalah molekul-molekul diatomik, maka energi kinetiknya selain
berasal dari gerak translasi juga dari gerak rotasi dan vibrasi. Agar energi molekul
gas ideal hanya berbentuk kinetik, maka gas itu memerlukan volume yang cukup
besar sehingga tidak ada interaksi antara molekul-molekul. Karena volume cukup
besar maka energi menjadi kontinu.
3.1 Gas Ideal dalam Ensembel Kanonik
Tinjaulah suatu sistem gas ideal dari molekul-molekul monoatom dalam
volume tetap V yang mengalami kontak termal dengan suatu reservoir bersuhu tetap,
T. Dengan demikioan maka sistem gas ideal dan reservoir dapat dipandang sebagai
ensembel kanonik. Dalam Bab 2 persamaan (2.24) dikemukakan fungsi partisi satu
partikel adalah
Z1   e   Ei
i
Karena energi kontinu, maka fungsi partisi itu harus diungkapkan dalam bentuk integral
seperti
Z1   e   E d( E )
(3.1a)
di mana d(E) adalah jumlah tingkat energi antara E dan E+dE. Persamaan (3.1a)
bisa juga dituliskan seperti
50
Z1   e   E g ( E ) dE
(3.1b)
dengan g(E) adalah kerapatan tingkat energi antara E dan E+dE.
Untuk menentukan kerapatan tingkat energi, tinjaulah sebuah molekul gas
ideal didalam kubus bersisi a. Komponen-komponen momentum liniernya adalah
px  nx
h
h
h
, p y  ny
, p z  nz
2a
2a
2a
(3.2a)
di mana nx, ny, nz adalah bilangan-bilangan bulat positif. Dengan
 2  n x2  n 2y  n z2
(3.2b)
maka energi kinetik molekul itu adalah:
p2
h2
E

2
2
2m 8ma
(3.3)
Jelas terlihat bahwa untuk kubus yang besar (a>>), tingkat-tingkat energi sangat
dekat (rapat) yang secara praktis membentuk spektrum kontinu.
Untuk memahami kerapatan energi tinjaulah sebuah bola dengan jari-jari

8ma 2 E
h2
(3.4)
Jumlah keadaan energi (E) dalam rentang energi antara 0 dan E untuk suatu oktan
(1/8 bola) adalah:
14
   8mE 
( E )    3   V  2 
83
 6  h 
3/ 2
(3.5)

4V  2m 


3  h2 
3/ 2
E 3/ 2
dengan V =a3 adalah volume kubus. Selanjutnya, dengan g ( E)  d( E ) / dE
diperoleh kerapatan tingkat energi
51
 2m 
g ( E )  2 V  2 
h 
3/ 2
E1 / 2 .
(3.6)
Kembali ke fungsi partisi dalam persamaan (3.1b), maka
 2m 
Z1  2 V  2 
h 
3/ 2 
E
1 / 2  E / k BT
e
dE
0
(3.7)
 2mkBT 
V

2
 h

3/ 2
Inilah fungsi partisi satu molekul atom-tunggal dari gas ideal sebagai fungsi suhu
dan volume. Fungsi partisi di atas dapat dituliskan seperti
Z1 
V
(3.8)
3
dengan
1/ 2
 h2 

  

 2mk BT 
(3.9)
disebut panjang gelombang termal dari suatu atom-tunggal. Ini adalah analogi dari
panjang gelombang de Broglie dari suatu partikel.
Energi rata-rata satu partikel dihitung berdasarkan persamaan (2.24b)
E 
 ln Z1
1 Z1


Z1 
(3.10a)
 k BT 2
1 Z1
Z1 T
Dengan Z1 dalam persamaan (3.7) akan diperoleh
E 
3
k BT
2
(3.10b)
52
Sekarang andaikan suatu sistem gas ideal mengandung N buah molekul
atom-tunggal yang identik dan tidak dapat dibedakan. Dari persamaan (2.32), (3.7)
dan (3.8) maka fungsi partisi N molekul-tunggal adalah
ZN 
1 N
Z1
N!
(3.11)
3

1 V (2mkBT ) 3 / 2 
1 V 
  3


3
N! 
h
N!   

N
Energi dalam dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (2.30),
 ln Z N

N ln Z1  ln N!



 ln Z1
1 Z1
 N
 N

Z1 
U 
 Nk BT 2
Z1
T
Jadi, energi dalam adalah
U
3
Nk BT
2
(3.12)
Dengan persamaan (3.10) jelas bahwa U  N E .
Kapasitas kalor gas ideal adalah
3
 U 
CV  
  Nk B
 T V 2
(3.13)
Dari persamaan (2.31) energi bebas Helmholzt adalah
 Z

F  k B T ln Z N   Nk B T  ln 1  1
 N

(3.14)
V


  Nk B T  ln
 1
3
 N

Dari energi bebas tersebut, entropi gas ideal adalah
53
 Z
 U
 F 
S  
  Nk B  ln 1  1 
 T V
 N
 T
(3.15)
  V  5
 Nk B ln  3   
  N  2 
Persamaan entropi di atas disebut persamaan Sackur-Tetrode. Tampak bahwa
entropi itu tidak saja peka terhadap sifat tidak terbedakannya molekul-molekul, tapi
juga bergantung pada . Tekanan gas ideal adalah
 
V
 F 
 Nk BT
p  
 1 
  Nk BT
 ln
3
V  N
V
 V  T

(3.16)
Persamaan pV=NkBT dikenal sebagai persamaan keadaan gas ideal.
3.2 Gas Ideal dalam Ensembel Kanonik Besar
Misalkan partikel-partikel gas ideal selain bisa bertukar energi, bisa juga bertukar
partikel dengan reservoir diluarnya. Fungsi partisi besar dalam persamaan (2.47)
dapat dituliskan sebagai berikut

   e  ni  e Ei   e  Z1
ni
i

 exp e  Z1
di mana Ei  ni i dan

ni
ni
(3.17)

Z1   e  i . Dengan Z1 dalam persamaan (3.8) maka
i
fungsi partisi besar untuk gas ideal atom-tunggal adalah
V 

  exp  e  3 
 

(3.18)
Potensial kanonik besar dari gas ideal atom-tunggal adalah
  k BT ln   k BT e 
V
3
(3.19)
54
Jumlah partikel dapat ditentukan dengan menggunakan persamaan (2.58):
N 

,

N k BT

V
3
 ln 
   V 
 k BT
e


 
3 
e 
V e
(3.20)
 / k B T  2


mkBT 

h2

3/ 2
Berbeda dengan gas ideal dalam ensambel kanonik, maka dalam ensembel kanonik
besar jelas terlihat bahwa jumlah molekul dalam sistem gas idel bergantung pada
volume V, dan suhu T dari gas itu. Dengan persamaan (3.20) potensial kanonik besar
dalam persamaan (3.19) dapat dituliskan seperti

V

3
e  k BT   Nk BT
(3.21)
Potensial kimiawi yang diturunkan dari persamaan (3.20) adalah
 N3 


V


  k B T ln 
(3.22)
  
Entropi ditentukan dengan S  
 . Dari dari persamaan (3.21)
 T V , N
entropi itu adalah
N
  
S  
  Nk B  k BT
T
 T V ,
(3.23a)
Dari persamaan (3.20) maka
3  
5  
  Nk B  

S  Nk B  Nk B  
 2 kbT 
 2 kbT 
(3.23b)
Substitusi persamaan (3.22) ke dalam persamaan (3.23b) akan menghasilkan
rumusan entropi
55
  V  5
S  Nk B ln  3   
  N  2 
(3.24)
yang sesungguhnya adalah persamaan Sackur-Tetrode dalam persamaan (3.15),
sebagai hasil penurunan dalam ensamble kanonik.
Dalam kaitannya dengan potensial kanonik besar, tekanan gas adalah


  
Nk BT   k BT N  k BT e 3
p  


V

 V T , V
Karena e  / 3  N / V seperti dalam persamaan (3.20) maka persamaan tekanan
adalah
p
Nk BT
V
(3.25)
Jadi, kedua persamaan (3.16) dan (3.25) memperlihatkan bahwa kedua jenis
ensembel menghasilkan persamaan gas ideal yang sama sebagaimana seharusnya.
Dari persamaan-persamaan (3.23), (3.25) dengan U=TS-pV+Nµ jelas bahwa
energi dalam adalah
U
3
3
Nk BT  nRT
2
2
(3.26)
Hal ini diperoleh juga dari persamaan (2.56) di mana
U 
 ln 
 N

(3.27)
3.3 Batasan Klassik Gas ideal
Terlihat dari persamaan (3.22) bahwa jika 3<V/N maka potensial kimiawi itu
negatif. Seperti telah dikemukakan,  adalah panjang gelombang termal dari setiap
atom-tunggal dalam gas ideal, sementara V/N adalah volume rata-rata yang diisi oleh
setiap atom-tunggal tersebut. Jika panjang gelombang termal itu mendekati jarak
antar atom maka 3~V/N. Dalam kondisi seperti itu efek kuantum akan muncul dan
56
sifat gas ideal akan hilang. Dengan perkataan lain, syarat untuk molekul-molekul
atom-tunggal dapat memenuhi gas ideal adalah
V 
Gas ideal:  
N
1/ 3
 
(3.28)
Hal itu sesuai dengan yang telah dikemukakan pada awal bab ini, bahwa gas bersifat
ideal kalau molekul-molekulnya cukup berjauhan sehingga tidak terjadi interaksi,
atau energi potensialnya sama dengan nol. Artinya: V / N 
1/ 3
  .
Syarat untuk gas ideal kuantum adalah
V 
Kuantum:  
N
1/ 3

(3.29)
Tinjaulah suatu wadah tertutup bervolume 10 cm3 berisi gas dari 1020 atom.
Massa satu atom 510-26kg. Pada suhu 300K, panjang gelombang termal adalah
1/ 2


h2

  

 2 mkBT 
6,624  10  34

2  5  10
1/ 3
V 
 
N
Jadi V / N 
1/ 3
 26
 1,38  10
 23
 300
 1,84  10 11 m .
1/ 3
 10  10  6 

 
20

 10

 4,73  10  9 m
  , sehingga gas masih bersifat ideal.
Jika wadah tersebut diisi dengan 1028, maka
1/ 3
V 
 
N
sehingga V / N 
1/ 3
1/ 3
 10  10  6 

 
28

10


 1,03  10 11 m
  ; artinya gas bersifat kuantum.
Dalam table berikut ditampilkan beberapa jenis bahan beserta karakteristiknya.
57
m(kg)
T(K)
(m)
Udara
4,810-26
300
1,910-11
3,410-9
Klassik
N2 (likuid)
4,710-26
77
3,810-11
3,910-10
Klassik
4
6,610-27
4.2
4.410-10
3,710-10
Kuantum
Elektron dalam Cu 9,110-31
300
4.310-9
2,310-10
Kuantum
Bahan
He (likuid)
(V/N)1/3
Jenis Statistik
3.4 Distribusi Energi dan Kecepatan Gas Ideal
Dari persamaan (2.15) dan (2.23), untuk sistem pertikel dalam ensembel kanonik
diperoleh distribusi Maxwell-Boltzmann:
ni 
N  Ei / k BT
e
Z1
(3.30)
sebagai jumlah molekul di tingkat energi Ei. Untuk gas ideal, jumlah molekul
dengan energi
di antara E dan E+dE, adalah
dn 
N  E / kBT
e
g ( E )dE
Z1
Dengan fungsi partisi satu partikel gas ideal dalam persamaan (3.7) maka diperoleh
dn
2N

E1/ 2 e E / kBT
3
dE (k BT )
(3.31)
Ini merupakan rumus Maxwell untuk distribusi energi molekul dalam suatu gas
ideal. Untuk dua harga suhu, distribusi di atas digambarkan seperti Gambar 3.1.
Tampak lebih banyak molekul yang ada pada suhu lebih tinggi. Dengan perhitungan
yang baik, dapat diramalkan pengaruh dari tambahan molekul-molekul itu, dan
ramalan teoretis bisa dibandingkan dengan data eksperimen. Hasil eksperimen
sangat sesuai dengan rumusan dn/dE di atas; hal ini menunjukkan termanfaatkannya
statistik Maxwell-Boltzmann untuk gas.
58
5000
4500
dn
4000
dE
3500
100K
3000
2500
2000
1500
300K
1000
500
0
0
1
2
3
4
5
6
E
7
8
9
10
Gambar 3.1 Distribusi energi molekul gas ideal.
Berdasarkan rumusan Maxwell tentang distribusi energi molekul dalam gas
ideal, maka rumusan Maxwell tentang distribusi kecepatan molekul bersangkutan
(dn/dv) dapat diturunkan mengingat energi kinetik E=1/2mv2, sehinggai dengan
dn dn dE


dv dE dv
akan diperoleh
 m 
dn

 4 N 
dv
 2k BT 
3/ 2
v 2 e mv
2
/ 2 k BT
(3.32)
Gambaran dn/dv sebagai fungsi v diperlihatkan dalam Gambar 3.2.
5000
4500
100K
4000
dn
3500
dE
3000
2500
2000
800 K
1500
1000
500
0
0
1
2
3
4
5
v
6
7
8
9
10
Gambar 3.2 Distribusi kecepatan molekul gas ideal.
59
3.5 Gas Ideal Diatomik
Jika molekul-molekul gas ideal bukan atom-tunggal tapi poliatom, maka energi
internal molekul harus diperhitungkan. Energi internal itu berasal dari gerak rotasi
dan vibrasi. Oleh sebab itu, energi suatu molekul poliatom merupakan penjumlahan
dari energi-energi kinetik translasi, rotasi dan vibrasi:
Emolekul  Etr  Erot.  Evib.
di mana Etr 
( 3.33)
3
3
k BT adalah energy translasi satu molekul, dan U tr  Nk BT
2
2
adalah nenergi dalam dari translasi N molekul.
Untuk gas ideal dengan molekul diatomik, energi rotasi satu molekul secara
klassik adalah:
Erot 
L2
2I
(3.34a)
di mana L adalah momentum rotasi dan I adalah momen inersia molekul. Karena
alasan eksperimen, maka energi rotasi di atas diungkapkan secara kuantum, yakni
Erot
 2 (  1)
 E 
2I
(3.34b)
dimana L2 dinyatakan sebagai harga rata-rata: L2   2(  1) dan ℓ adalah bilangan
kuantum orbital.
Untuk menerapkan persamaan distribusi (3.30) harus diingat bahwa dengan
bilangan kuantum orbital ℓ ada 2ℓ+1 buah orientasi berbeda dengan energi yang
sama (berdegenerasi); ingat bilangan kuantum magnetik orbital, mℓ= - ℓ, ℓ+1,....,0,
...... ℓ-1, ℓ. Dengan demikian, maka probabilitas suatu molekul menempati tingkat
energi E adalah
e    ( 1) / 2 IkT
p  (2  1)
Z1rot
2
(3.35)
di mana
60
Z1rot   (2  1) e    (  1) / 2 IkT
2

(3.36)
  (2  1) e  (  1) r / kT

dengan
2

2 Ik B
 rot
(3.37)
 rot disebut suhu karakteristik rotasi. Suhu karakteristik untuk berbagai molekul
diperlihat-kan dalam table di bawah ini. Terlihat suhu-suhu itu jauh di bawah suhu
kamar (300 K).
Suhu karakteristik rotasi berbagai molekul.
Zat
 rot (K)
Hidrogen
85,5
Karbon monoksida
2,77
Oksigen
2,09
Klorin
0,347
Bromin
0,117
Sodium (natrium)
0,224
Potassium (kalium)
0,081
Jika rot/T dipilih sangat kecil maka banyak keadaan rotasi yang diduduki
dan spasi tingkat-tingkat rotasi menjadi kecil dibandingkan dengan energi termal,
sehingga boleh dipandang kontinu. Selain itu 2ℓ>>1. Oleh sebab itu, fungsi partisi
dalam persamaan (3.36) boleh diungkapkan dalam bentuk integral sebagai berikut.

Z
rot
1
  2e  r / T d 
2
0
T
r
(3.38)
Untuk N molekul identik yang tidak dapat dibedakan, fungsi partisi itu
adalah
61
 
1 rot
Z1
N!
Z Nrot 
N
(3.39)
Dengan itu maka energi dalam terkait rotasi dari gas ideal diatomik adalah
U rot  
 ln Z N
 ln Z1
  T
 ln
 Nk BT 2
 k B NT 2

T
T   r



(3.40)
 Nk BT
Sekarang akan ditinjau vibrasi molekul diatomik. Secara kuantum, vibrasi
pada satu molekul diatomik dapat dipandang sebagai gerak harmonik sederhana
dengan energi vibrasi:
Ev  (  1 2);   0,1, 2,....
(3.41)
Dengan demikian maka fungsi partisi satu molekul karena vibrasi adalah
Z1vib   e ( 1 / 2) v / T

e
  vib / 2T
e
  v / T
(3.42a)

di mana
vib 

kB
disebut suhu karakteristik vibrasi. Suhu karakteristik untuk berbagai
(3.42b)
molekul
diperlihatkan dalam tabel di bawah ini.
Suhu karakteristik vibrasi berbagai molekul.
Zat
vib (K)
Hidrogen
6140
Karbon monoksida
3120
Oksigen
2260
62
Klorin
810
Bromin
470
Sodium (natrium)
230
Potassium (kalium)
140
Secara umum tampak bahwa v cukup tinggi, sehingga jika dipilih v/T>>1
maka boleh dilakukan pendekatan:
 e 
vib
/T


1
  vib / T
(3.43)
e  vib / 2T

1  e   vib / T
(3.44)
1 e
sehingga
Z1vib
Fungsi partisi untuk N molekul diatomik adalah
Z Nvibrasi 
 
1 vib
Z1
N!
N
(3.45)
Dengan itu maka energi vibrasi N molekul diatomik adalah
U vib  k BT 2

 (ln Z Nvib )
 /T 2 

 Nk BT 2  v2  vv/ T
T
e
 1 
 2T
(3.46)

Mengingat
maka
1
2
1
2
1
2
Nk B v 
Nk B v
e v / T  1
 atau 1 2 k B vib adalah energi vibrasi keadaan dasar suatu molekul,
Nk B vib adalah total energi vibrasi keadaan dasar dari gas. Penyebut di
dalam suku kedua persamaan (3.46) dapat diuraikan sebagai berikut

 

e v / T  1  1  vib  .........  1  vib  .........
T
T


sehingga persamaan (3.46) menjadi
63
U vib 
1
2
  
k B Nv  k B NT  Nk BT 1  v 
 2T 
(3.47)
Jadi, pada suhu yang relatif tinggi,  v / 2T  1 ,
U vib  Nk BT
(3.48)
Energi total adalah
U  U tr  U rot  U vib
Dengan Utr=3/2 NkBT, Urot seperti persamaan (3.40) dan Uvib seperti persamaan
(3.48) maka energi dalam gas diatom pada suhu relatif tinggi adalah:
U  3 2 Nk BT  Nk BT  Nk BT
(3.49)
 7 2 Nk BT  7 2 nRT
Kapasitas panas pada volume tetap adalah
CV 
1  U 
7

  R
n  T V 2
(3.50)
64
Soal-soal
1. Rumuskanlah kecepatan rata-rata (vave) dan kecepatan rms (vrms) dari molekulmolekul gas ideal. Ingat, defenisi kecepatan rata-rata:
N
vave
1
  v dn
N0
dan, defenisi kecepatan rms:
N
vrms  (v 2 ) ave 
1 2
v dn
N 0
2. Tentukanlah energi dan kecepatan paling mungkin dari molekul-molekul gas
pada suatu suhu tertentu; harga-harga ini berkaitan dengan harga maksimum
dn/dE dan dn/dv.
3. Dua kontainer yang dibatasi pemisah masing-masing bervolume V1 dan V2.
Kontainer-1 berisi N1 molekul dan kontainer-2 berisi N2 molekul, masing-masing
bersuhu T. Jika pemisah dicabut, kedua jenis gas akan bercampur dan menempati
volume V1+V2. Tunjukkan bahwa (a) suhu gas tetap sama denga semula; (b)
perubahan entropi S=kBN1(1+V2/V1)+ kBN2(1+V1/V2) dan itu positip.
4. Suatu sistem mengandung partikel-partikel yang bisa menduduki dua keadaan
dengan energi masing-masing - dan  sebagai tambahan terhadap energi kinetik
partikel-partikel. Tentukanlah entropi dari sistem. Plot entropi itu sebagai fungsi
suhu absolut.
5. Suatu sistem mengandung N molekul memiliki dua keadaan dengan energi
masing-masing - dan . Partikel-partikel tidak memiliki energi kinetik. Misalkan
energi totalnya U, tunjukkan bahwa suhu absolutnya adalah:
65
1 kB N  U / 

ln
T 2 N  U / 
Buktikan bahwa suhu itu positif jika U negatif; keadaan ini berlaku bagi
sekumpulan elektron (spin ½) bila ditempatkan dalam medan magnet dan hanya
interaksi spin-magnet saja yang ditinjau. Mula-mula tunjukkan:
ln P  N ln 2  12 ( N  U / ε) ln 12 ( N  U / ε)  12 ( N  U / ε) ln 12 ( N  U / ε)
kemudian plot ln P sebagai fungsi U. Ingat harga -N<U< N.
6. Rapat energi E dari radiasi benda hitam adalah suatu fungsi suhu saja. Tekanan
yang disebabkan oleh radiasi isotropik pada permukaan penyerap sempurna
adalah ½ E . Dengan bantuan dU=TdS – pdV, tunjukkan bahwa E sebanding
dengan T4; ini disebut hukum Stefan-Boltzmann. Ingatlah: U= EV.
7. Dengan menggunakan gas ril: p  nRT / V  n 2 ( RTb  a) / V 2 hitunglah kerja
oleh gas bilamana gas itu mengembang dari volume V1 ke volume
V2.
Bandingkan dengan kerja oleh gas ideal.
8. Menurut van der Waals, persamaan gas ril adalah:
( p  n 2 a / V 2 )(V  nb)  nRT .
Tuliskanlah persamaan dalam bentuk virial dan bandingkan dengan
p  nRT / V  n 2 ( RTb  a) / V 2 .
9. Suhu Boyle suatu gas ril adalah suhu di mana koefisien virial kedua sama
dengan nol. Tunjukkan bahwa suhu Boyle sama dengan a/Rb.
10. Koefisien ekspansi kubik suatu zat pada tekanan tetap adalah  
modulus bulk pada suhu tetap adalah:  
1  V

V  p
1  V 

 dan
V  T  p

 .
T
66
Tentukanlah kedua parameter itu untuk (a0 gas ideal, dan (b) gas ril-nya van der
Waals.
11. Menurut Dieterici, persamaan keadaan gas ril secara empirik adalah:
p(V  nb)e Na / Vk BT  nRT .
Tuliskanlah persamaan dalam bentuk virial dan bandingkan dengan
p  nRT / V  n 2 ( RTb  a) / V 2 .
12. (a) Hitunglah persentase molekul-molekul gas diatom pada keadaan dasar rotasi
(ℓ=0) dan keadaan tereksitasi rotasi pertama (ℓ=1) jika T=r dan T=2r.
(b) Bandingkanlah jumlah molekul hidrogen/mole pada keadaan tereksitasi
rotasi (ℓ=2) dengan jumlah molekul klorin/mole untuk keadaan tereksitasi yang
sama jika suhu 300K.
(c) Bandingkanlah jumlah molekul hidrogen/mole pada keadaan tereksitasi
vibrasi (v=2) dengan jumlah molekul klorin/mole untuk keadaan tereksitasi yang
sama jika suhu 300K.
13. Tunjukkan bahwa kapasitas kalor vibrasi suatu gas pada volume tetap adalah
2
CV , vib
  
e / k BT

 R
2
 / k T
 k BT  e B  1


Hitunglah kapasitas tersebut untuk T<<v dan T>>v.
14. Tunjukkan bahwa entropi suatu gas diatom karena rotasi molekul adalah:
Srot  kB N[1  ln(T / r )]
dan, karena vibrasi molekul:
Svib  kB N[(v / T )(ev / T  1)  ln(1  ev / T )]
67
Tunjukkan bahwa untuk suhu rendah Svib menuju nol, dan pada suhu tinggi Svib
menuju kB N[1  ln(T / v )] .
Ingat:
U
ZN
; Urot=kB NT=nRT.
S   k B ln
T
N!
U vib 
1
2
  
k B Nv  k B NT  nRT 1  v 
 2T 
68
4
GAS NON-IDEAL
Dalam bab-bab sebelumnya dibicaran sistem partikel yang tidak berinteraksi satu
sama lain. Dalam bab ini akan dibahas gas tak-sempurna melalui interaksi dengan
potensial antar-atom yang sentral. Persamaan keadaan akan diungkapkan dengan
menggunakan statistik Maxwell-Boltzmann.
4.1 Sistem Partikel Berinteraksi

Tinjaulah suatu sistem dari N partikel masing-masing bermomentum pi dan

posisi ri . Partikel-partikel itu berinteraksi satu sama lain melalui potensial  (r ) ,
yang dalam hal ini diandaikan bergantung hanya pada jarak separasi partikelpartikel. Salah satu contoh dari potensial antara dua partikel adalah potensial
Lennard-Jones
 r 12  r  6 
0
  0  
 r  
 r 
 (r )  4 
(4.1)
Potensial ini terdiri dari potensial jangkauan dekat yang repulsif (1/r12) dan
jangkauan panjang dari van der Waals yang atraktif (1/r6). Potensial di atas
diperlihatkan dalam Gambar 4.1
 (r)
r
r0
Gambar 4.1 Potensial Lennard-Jones.
Hamiltonian sistem adalah
H   Ei   (rij )
i
p2
Ei  i
2m
i
j i
(4.2)
69
Dengan Hamiltonian tersebut fungsi partisi besar adalah
   e n Z n
(4.3a)
n
di mana
Zn 
1
  ( E  E )   ( rij )
e i j

n! i j  i
(4.3b)
Jika diuraikan dengan n=0,1,2,......, maka fungsi partisi di atas adalah
1
 E   ( rij )
  1  e   e Ei  e2    e Ei e j e
 .......
2
i
i j (i )
(4.3c)
Potensial besar adalah =-kBT ln . Ingat bahwa jika <<1 maka ln(1+) -1/22.
Jadi, jika eβµ<<1 maka potensial besar menjadi




1
 E
  ( rij )
  k BT e   e Ei  e2   e Ei e j e
 1  .....
2
i
i
j


Seperti dalam Bab 3, ungkapan kontinu dari
 e  E
i
(4.4)
adalah
i
e
E
g ( E ) dE 
V
3
,
dengan V adalah volume sistem dan
1/ 2
 h2


  

2

mk
T
B 

adalah panjang gelombang termal partikel. Potensial besar adalah

e   1 e 
  ( rij )
  kBTV 3 1 
dv
e

1

........

  2 3 



g(4.5)
Sekarang misalkan
B(T ) 

1
  ( rij )
dv 1  e

2

(4.6)
maka
70
  k BT

e V  e 
1  3 B(T )  ........
3 
  

(4.7)
Dari potensial besar, dengan N   /  diperoleh
N

e V 
e 
1

2
B(T )  ........
3 
3
 


(4.8)
dan tekanan p   / V
N
B(T )
 Nk BT
e  e
V
p  k BT 3 1  3 B(T )  ........ 
N
V
  

1  2 B(T )
V

1

(4.9a)
atau
p
Nk BT
V
 N

1  V B(T )  .....
(4.9b)
Dalam persamaan (4.9a) telah digunakan persamaan (4.8), dan pendekatan dapat
dilakukan karena NB(T)/V<<1.
Energi total partikel diturunkan sebagai berikut,
U 
 ln 

3
N2
 Nk BT 
k BT B(T )  ....
2
V
(4.10)
Dalam suatu sistem partikel identik yang rapat, partikel-partikel berinteraksi
melalui potensial pasangan (r). Fungsi partisi kanonik sistem merupakan produk
dari fungsi partisi yang berasal energi kinetik dan fungsi partisi yang berasal energi
potensial:
Z  Z K Z
(4.11a)
Fungsi partisi yang berasal energi kinetik adalah
71
N
N

1 N
1 
1 V 
ZK 
Z1    g ( E ) e E dE    3 

N!
N! 
N!   

(4.11b)
dan fungsi partisi yang berasal dari energi potensial adalah
Z   e

  ( rij )
i j
dv1dv2 ........dvN
(4.11c)
Probabilitas menemukan suatu partikel di r1
P(r1 ) 
 ( rij )
N  
i j
e
dv2 dv3 ......dvN
Z 
(4.12)
dan probabilitas menemukan suatu partikel di r1 dan yang lain di r2 secara serentak
adalah
 ( rij )
N ( N  1)  
i j
e
dv3 d 4 ......dv N .

Z
P(r1 , r2 ) 
(4.13)
Persamaan di atas disebut fungsi distribusi dua partikel atau fungsi korelasi
pasangan. Untuk likuid atau gas di mana tidak ada perusakan simetri seperti dalam
 
kisi kristalin, P(r1,r2) hanya bergantung pada jarak r12  r1  r2 . Untuk itu
didefenisikan fungsi distribusi radial
V2
g (r12 )  2 P(r1 , r2 )
N
(4.14)
Energi dalam ditentukan sebagai berikut;
 ln Z
 ln Z K  ln Z





 ln Z
3
 Nk BT 
2

U 
(4.15)
Dari persamaan (4.11c)

 ln Z 



    ( rij )
1 
j i
e
dv1dv 2 ........dv N
Z   
1
Z
   (rij ) e
j i
    ( rij )
j i
dv1dv 2 ........dv N
72
Tetapi dengan pendekatan
  (rij ) 
j i
1
N ( N  1)  (r12 )
2
maka

    ( rij )
 ln Z N ( N  1)
j i


(
r
)
e
dv1dv2 ........dvN
ij


2 Z
Dengan persamaan (4.13) selanjutnya diperoleh

 ln Z 1
   (r12 ) P(r1 , r2 )dv1dv2

2
dan dengan persamaan (4.14)

 ln Z

N2

 (r12 ) g (r12 )dv1dv2
2V 2 
Tetapi
  (r
12
) g (r12 )dv1dv2  V   (r ) g (r )4r 2 dr
sehingga

 ln Z N 2

 (r ) g (r )4r 2 dr

2V 
Jadi, energi dalam pada persamaan (4.15) adalah

U
Tekanan p  
3
N2
Nk BT 
 (r ) g (r )4r 2 dr

2
2V 0
(4.16)
F
; energi bebas F  k BT ln Z  k BT (ln Z K  ln Z ) sehingga
V
  ln Z K  ln Z 
p  k BT 

V
 V




Dapat diturunkan bahwa
 ln Z K N

V
V
73
 ln Z 
V
 

N2
d (r )
r
g (r )4r 2 dr
2 
dr
6V 0
sehingga

p
Nk BT N 2
d (r )
 2 r
g (r )4r 2 dr
V
6V 0 dr
(4.17)
4.2 Ekspansi Virial
Fungsi distribusi radial dapat dinyatakan sebagai berikut.
g (r )  g0 (r )  g1 (r )n  g2 (r )n2  .....
(4.18)
Seiring dengan itu maka persamaan (4.17) dapat pula dituliskan seperti
p
 n  B2 (T )n2  B3 (T )n3  .....
k BT
dengan n 
(4.19)
N
. Untuk menghitung B2(T) diperlukan fungsi distribusi radial yang
V
sesuai. Untuk itu persamaan (4.13) dituliskan sebagai berikut.
P(r1, r2 )  N ( N  1)e
  ( r12 )
e
   ' ( rij )
e
i j
    ( rij )
i j
dv3d 4 ......dvN
.
(4.20)
dv1d 2 ......dvN
di mana tanda  ' dalam pembilang menyatakan e   ( r12 ) telah dikeluarkan. Jika
kerapatan partikel sangat rendah seperti dalam gas, jarak partikel-partikel cukup
jauh, demikian juga terhadap partikel 1 dan 2, sehingga seluruh (rij)0 di dalam
integral. Demikian juga (rij) dalam pembilang. Jadi, integral dalam pembilang sama
dengan VN-2 dan dalam penyebut VN . Dengan demikian maka untuk gas, berlaku
P(r1, r2 ) 
N ( N  1)   ( r12 )
e
V2
(4.21)
74
Tampak bahwa untuk N>>1, berdasarkan persamaan (4.14) dan (4.21) diperoleh
g0 (r )  e  ( r )
(4.22)
Jika g0 disubstitusikan ke persamaan (4.17) diperoleh
p
n2
 n
k BT
6k BT

d (r )   ( r )
e
4r 3dr
dr
0

Dengan integral parsil, penyelesaian persamaan di atas adalah
p
n2 
 n   4r 3e  ( r )
k BT
6 



0

 12  e  ( r ) r 2 dr 
0


Karena suku pertama di dalam kurung sama dengan , maka persamaan itu tidak
salah kalau dituliskan sebagai berikut



p
n2 
 n  12  r 2 dr  12  e   ( r ) r 2 dr 
k BT
6 
0
0

 

 n  n 2 2  (1  e   ( r ) )r 2 dr 
 0

(4.23)
Berdasarkan persamaan (4.19), maka diperoleh

B2 (T )  2  (1  e  ( r ) )r 2 dr
(4.24)
0
Gambar 4.2 adalah hasil komputasi yang memperlihatkan B2(T) dengan
menggunakan potensial Lennard-Jones. Ternyata gas seperti Ar, N2, Ne dan CH4
memenuhi kurva tersebut sedangkan He bergeser sedikit ke kiri pada kBT/ <10.
Hal itu diperkirakan sebagai effek kuantum.
75
1
B2
r03
0
2
5
10
20
50
-1
kBT/
-2
Gambar 4.2 Hasil komputasi B2(T) dengan potensial Lennard-Jones.
Pada kurva di mana B2=0 berlaku hukum Boyle p/kBT=n. Artinya tidak ada
potensial antar molekul. Pada suhu di mana kBT/ >10 harga B2>0 dan konstan.
Artinya, B2 didominasi oleh potensial repulsif (1/r12). Pada suhu rendah di mana
harga B2<0, B2 didominasi oleh potensial atraktif (1/r6) dan sepertinya sebanding
dengan 1/T.
Energi potensial rata-rata sistem N partikel dengan menghitung interaksi
pasangan-pasangan dapat ditentukan sebagai berikut. Energi potenial rata-rata satu
partikel adalah
 
1
 (r ) dv
V
Jumlah pasangan berinteraksi adalah N 2 / 2 , sehingga energi potenial rata-rata N
partikel adalah
U pasangan    (r ij )
i j
(4.29)

1 N2
1
 (r ) dv  N 2

2 V
2
Jika  (r )  1, maka persamaan (4.24) dapat didekati sebagai berikut

B2 (T )  2  (1  e   ( r ) )r 2 dr 
0

1
 (r ) dv
2
1
 V
2
Untuk kondisi ini, maka energi potensial rata-rata N partikel dalam persamaan (4.29)
menjadi
N2
U pasangan 
k BTB2 (T )
V
(4.30)
76
Jika dinyatakan u  U / V sebagai energi potensial rata-rata pasangan dan n  N / V
sebagai kerapatan partikel maka u  n2 . Persamaan (4.30) di atas merupakan
pendekatan yang agak kasar terhadap suku kedua dalam persamaan (4.16).
4.3 Persamaan Keadaan van der Waals
Potensial antar molekul dapat dinyatakan sebagai perjumlahan komponen jangkauan
dekat yang repulsif, r (r ) , dan jangkauan jauh yang atraktif, a (r ) , seperti
 (r )  r (r )  a (r )
(4.31)
Fungsi partisi kanonik N molekul adalah
Z
1 1
 
N!  3 
N
e
   [ r ( rij )  a ( rij )]
j i
dv1dv2 .....dvN
(4.32)
Karena setiap molekul merasakan potensial jangkauan jauh yang attraktif dari
molekul-molekul lain maka
1
 a (rij )  2  a (rij )
j i
j i i
(4.33)

N ( N  1) 1
aN 2

(
r
)
dv


a
2
V
V
di mana
a
1
a (r )dv
2
(4.34)
Di fihak lain, pengaruh potensial jangkauan dekat yang repulsif adalah
mengecualikan molekul-molekul lain dari volume di sekitar suatu molekul, sehingga
e
    r ( rij )
j i
dv1dv2 .....dvN  (V  Nb) N
(4.35)
77
Jadi, fungsi partisi dalam persamaan (4.32) menjadi lebih sederhana seperti
N
Z
1  V  Nb  aN 2 / V

 e
N!  3 
(4.36)
Sekarang bisa ditentukan energy bebas Helmholtz: F  kBT ln Z ,
F   Nk BT  Nk BT ln
(V  Nb) aN 2

V
N3
(4.37)
 F 
Tekanan adalah p  
 , sehingga
 V T
p
Nk BT aN 2

V  Nb V 2
(4.38a)
p
k BT
a
 2
vb v
(4.38b)
atau
di mana v=V/N. Persamaan di atas adalah persamaan keadaan gas van der Waals.
Karena b/v<<1 maka persamaan di atas dapat didekati menjadi

p
an 2
a  2
n
 n(1  nb) 
 n   b 
k BT
k BT
k BT 

(4.39)
dengan n=N/V. Dibandingkan dengan persamaan (4.19) maka koefisien virial kedua
dari persamaan van der Waals adalah
B2 (T )  b 
a
k BT
(4.40)
Hukum Boyle p/kBT=n dipenuhi jika B2=0, atau
78
k BT 
a
b
(4.41)
Berdasarkan energi bebas dalam persamaan (4.37), entropi S  
F
,
T
1 5
S  Nk B ln  3   Nk B  Nk B ln N  Nk B ln(V  Nb)
  2
(4.42)

5
(V  Nb)
Nk B  Nk B ln
2
N3
Energi dalam adalah U   ln Z /  . Dari persamaan (4.36) diperoleh
1/ 2
 2m 
3
1
U N


3/ 2  2
2  2m   h  
 2 
h  
 2m  aN 2
 2 2  
h   V
(4.43)

3
aN 2
Nk BT 
2
V
Gambar 4.3 memperlihatkan kurva-kurva isothermal dari gas vander Waals
yang diperoleh dari persamaan (4.38b). Terlihat kurva-kurva itu memiliki bentuk
yang berbeda, bergantung pada suhunya. Yang paling atas adalah kurva isothermal
dengan suhu tinggi. Jelas bahwa pada suhu tinggi suku -a/v2 di abaikan. Harga v
tidak bisa lebih kecil dari b. Kurva itu merupakan fungsi yang monoton menurun
sama halnya gas ideal. Bilamana suhu diturunkan cukup jauh, terlihat dalam
persamaan (4.38) suku kedua berkompetisi dengan suku pertama. Pada suhu tersebut
kurva isothermal terlihat berosilasi. Pada suhu sedang, osilasi itu jadi mendatar; ini
terjadi karena bagian maksimum dan bagian minimum bertemu membentuk titik
belok. Di sana berlaku dp/dv=d2p/dv2=0. Suhu di mana itu terpenuhi disebut suhu
kritis TC. pada suhu itu dipenuhi hubungan
k BTC 
8a
27b
(4.44)
Pada suhu T<TC terlihat adanya tiga harga v untuk suatu tekanan p. Itu menandakan
bahwa di sana terjadi pencampuran fasa gas dan fasa likuid.
79
p
T>TC
T=TC
T<TC
b
v
Gambar 4.3 Beberapa kurva isotermal van der Waals dalam diagram p-v di mana
v=V/N.
4.4 Campuran dan pemisahan fasa
Transisi fasa adalah perubahan sifat-sifat fisis suatu sistem ketika variabel
termodinamika seperti suhu atau tekanan berubah sedikit. Sebagai contoh, zat murni
memiliki tiga fasa yakni gas, cair dan padat. Dalam keadaan campuran dua jenis zat,
entropi adalah
S camp  k B N  ci ln ci  k B N c1 ln c1  (1  c1 ) ln(1  c1 )
(4.45)
i
di mana konsentrasi adalah ci=Ni/N dan c1+c2=1. Harga maksimum entropi
campuran tercapai jika c1=c2=1/2. Jika partikel-partikel sistem itu berinteraksi, maka
energi rata-rata dalam suku-suku ekspansi virial dapat ditentukan. Seperti telah
dikemukakan dalam persamaan (4.30), kontribusi koefisien virial B2 ke harga rata
energi potensial campuran adalah
N12
U 11 
k B TB2(11) (T )
V
N N
U 12  2 1 2 k B TB2(12) (T )
V
2
N
U 22  2 k B TB2( 22) (T )
V
(4.46)
80
di mana indeks atas pada B2 menyatakan interaksi dalam zat yang sama atau antara
kedua zat.
Misalkan v0=V/N , dan
 ij 
k BT (ij )
B2 (T )
v0
(4.47)
maka jumlah energi potensial interaksi partikel-partikel campuran kedua zat adalah
(camp)
U intr
 U 11  U 22  U 12

 N  11c12   22 c 22  2 12 c1c2
atau


(camp)
U intr
 N 11c12   22 (1  c1 ) 2  212c1 (1  c1 )

(4.48)
Jika kedua zat tidak tercampur maka U12  0 dan
U11
Karena v0 
N12

k BTB2(11) ;
V1
U 22
N 22

k BTB2( 22)
V2
V1 V2 V
maka energi potensial interaksi dua zat yang tak


N1 N 2 N
tercampur adalah
(tak camp)
U intr
 U11  U 22
 N 11c1   22 (1  c2 )
(4.49)
Selisih persamaan (4.48)dan (4.49) adalah energi pencampuran
(camp)
(tak camp)
U camp  U intr
 U intr
 N 212c1  (11   22 )c1 (1  c1 )
(4.50)
 Nk BTc1 (1  c1 )
di mana
81

1
212c1  (11   22 )
k BT
(4.51)
Berdasarkan energi bebas Helmholtz, F=U-TS, energi bebas zat-1 dalam campuran
dapat dihitung dengan persamaan (4.45) dan (4.50), dan hasilnya
Fcamp  Nk BT c ln c  (1  c) ln(1  c)  c(1  c)
(4.52)
di mana c=c1.
Tekanan Osmosis
Tekanan osmosis zat-1 diungkapkan sebagai berikut.
p1  
Fcamp
V

Fcamp
v0 N
Karena c=c1=N1/N maka  / N  (c / N )  / c , sehingga dengan persamaan (4.52)
diperoleh
p1  

k BT
ln(1  c1 )   c12
v0

(4.53)
Pada konsentrasi rendah, c1<<1, ln[1/(1-c)]c+c2/2 maka p1 dapat didekati seperti
p1 
k BT
v0
 1
2
c  2 (1  2  ) c 


(4.54a)
Karena v0=V/N, c=N1/N atau c/v0=N1/V=n1 maka persamaan (4.54a) menjadi
p1
1
 n1  (1  2  ) n12
k BT
2
(4.54b)
Persamaan (4.54b) di atas mirip dengan persamaan (4.19):
82
p
 n  B2 (T )n2  B3 (T )n3  .....
k BT
Jadi, suku pertama dalam persamaan (4.54b) adalah persamaan gas ideal untuk zat1: p1V=N1kBT. Suku kedua adalah koefisien virial kedua sebagai koreksi terhadap
gas ideal. Jadi, (1-2)/2 adalah harga efektif koefisien virial kedua dari zat-1 di
dalam campuran. Jika koefisien itu positif, atau   212c1  (11   22 )/ kBT  1/ 2 ,
itu diartikan sebagai kontribusi potensial repulsif yang meningkatkan tekanan. Jika
=0, seperti dalam Gambar 4.4, campuran memiliki entropi maksimum dengan
c1=c2=1/2. Koefisien <1/2 diartikan sebagai kontribusi potensial attraktif.
=3.125
0.1
=2.90
0.05
Fcamp
=2.77
Nk BT
=2.60
0
-0.05
=2.31
-0.1
=2
-0.15
=1
-0.2
=0
-0.25
=-0.5
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
1
c=N1/N
Gambar 4.4 Energi bebas campuran Fcamp sebagai fungsi konsentrasi zat-1, untuk
berbagai harga parameter χ.
Gambar 4.4 memperlihatkan energi bebas Fcamp dalam persamaan (4.52)
sebagai fungsi konsentrasi zat-1. Harga minimum dari Fcamp
dicapai ketika
terpenuhi
Fcamp
c
1 c 
  (1  2c)  ln 
0
 c 
(4.55)
atau
b 
1
1 c 
ln 

1  2c  c 
(4.56)
83
mencapai harga minimum pada konsentrasi c=1/2 untuk b2
Artinya, Fcamp
termasuk b negatif. Untuk b>2 ada tiga harga c, satu di antaranya c=1/2 memberi
Fcamp harga yang maksimum dan dua lainnya minimum. Itu berarti, untuk b>2
peningkatan konsentrasi ke harga Fcamp yang sama harus melalui penghalang energi
(energy barrier). Garis yang menggambarkan b(c) seperti persamaan (4.56) dimana
Fcamp berharga minimum disebut garis binodal; lihat Gambar 4.5.
Pada suatu harga konsentrasi c, stabilitas terhadap suatu fluktuasi kecil
diperlihatkan oleh tanda dari turunan kedua dari Fcamp, yakni
 2 Fcamp
c
2

1
 2
c(1  c)
(4.57)
5
4.5
spinodal
4
χ
tidak stabil
3.5
binodal
3
TK
2.5
2
metastabil
1.5
1
stabil
0.5
0
0
0.2
0.4
c
0.6
0.8
1
Gambar 4.5 Garis binodal (persamaan (4.46)) dan garis spinodal (persamaan (4.58))
dari (c).
Jika  2 Fcamp / c 2  0 maka campuran tidak stabil dan jika  2 Fcamp / c 2  0
campuran stabil. Jadi, garis yang diperoleh dari hubungan
 sp 
1
2c(1  c)
(4.58)
di mana  2 Fcamp / c 2  0 merupakan batas antara keadaan stabil dan tak stabil; itu
84
disebut garis spinodal. Garis itu diperlihatkan dalam Gambar 4.5. Jadi, garis
spinodal yang diperoleh dari
 sp  1/[ 2c(1  c)] di mana  2 Fcamp / c 2  0
merupakan batas stabilitas. Untuk semua harga c, area di bawah garis binodal adalah
stabil, sedangkan area di atas garis spinodal adalah tidak stabil. Dalam campuran
yang tidak stabil zat-zat cepat akan terpisah.
Daerah di antara garis binodal dan spinodal adalah daerah metastabil; di sana
salah satu fasa, tercampur atau terpisah, memiliki energi bebas lebih tinggi. Jika
harga  di tingkatkan misalnya mulai dari 2 hingga 3,5 pada konsentrasi tetap
misalnya c=0,2 maka terjadi peralihan dari keadaan stabil ke metastabil di =2.31,
lalu peralihan metastabil ke tidak stabil di =3.125; lihat Gambar 4.5.
Titik TK adalah titik di mana daerah metastabil menghilang karena kedua
garis berimpit. Titik itu disebut titik kritis. Di titik itu berlaku  sp  1 /[ 2c(1  c)]
sehingga
 sp
c

2c  1
0
2c (1  c) 2
(4.59)
2
Dari persamaan ini diperoleh titik TK dengan cTK=1/2 dan χTK=2. Harga efektif
koefisien virial kedua dari zat-1 di titik itu adalah (1-2)/2 =-3/2. Berdasarkan
persamaan (4.47) maka tekanan osmosis p1 di titik kritis lebih rendah dari pada
tekanan gas ideal.
A
TK
binodal
T
A’
spinodal
c
Gambar 4.6 Diagram fasa T(c) dari campuran yang memperlihatkan garis binodal
dan garis spinodal.
85
Sebenarnya, jauh lebih fisis jika garis binodal dan garis spinodal
digambarkan dalam T(c). Untuk itu, sesuai dengan persamaan (4.51) di mana suhu
T~1/ maka Gambar 4.5 dapat diganti dengan dengan Gambar 4.6 yang biasa
disebut diagram fasa. Misalkanlah campuran disiapkan dengan konsentrasi cA pada
suhu TA. Melalui proses pendinginan, campuran itu bisa terpisah pada suhu TA’. Pada
suhu itu kedua zat terpisah, yang satu kaya dengan zat-1, dan yang kedua kaya
dengan zat-2.
4.5 Transisi Fasa Order Pertama
Misalkanlah cA adalah konsentrasi zat-1 dari suatu campuran setimbang dan
Fcamp(cA) adalah energi bebas campuran tersebut. Andaikan konsentrasi bergeser
sedikit
menjadi
c  cA   ,
maka
perubahan
energi
bebas
adalah
Fcamp ( )  Fcamp (c)  Fcamp (cA ) . Dengan menggunakan persamaan (4.52) dan
melakukan pendekatan untuk  sangat kecil, diperoleh
Fcamp ( )
Nk BT
1  2 c A (1  c A ) 2
1  2c A
1  3c A  3c A2 4
3

  2
 
  ..... (4.60)
2c A (1  c A )
6c A (1  c A )2
12c3A (1  c A )3
Persamaan ini dapat disederhanakan menjadi
Fcamp ( )  a(T  Tsp ) 2  b 3  c 4  .....
(4. 61)
Nk B
Tsp
(4.62a)
2
2
Nk BT sp
(1  2c A )
3
(4.62b)
dengan
a
b
c
2
3
Nk BT sp
(1  3c A  3c A2 )
3
(4. 62c)
Dalam persamaan-persamaan (4.62) di atas
86
 sp 
merupakan harga χsp
1
2c A (1  c A )
(4. 62d)
untuk konsentrasi cA, seperti telah dikemukakan dalam
persamaan (4.56). Berdasarkan persamaan (4.56) untuk garis binodal dan persamaan
(4.51) untuk garis spinodal, seperti terlihat dalam Gambar 4.5, pada konsentrasi
cA=0.2 diperoleh b=2,31 pada garis binodal dan sp=3,125 pada garis spinodal.
Untuk cA=0.2 itu, daerah ≤2,31 adalah stabil,
daerah 2,31<<3,125 adalah
metastabil dan daerah 3,125 tidak stabil.
Gambar 4.7 memperlihatkan kurva-kurva Fcamp ( ) untuk berbagai harga
2,31≤ ≤3,20; lihat Gambar 4.5. Mulai dari =2,76 terlihat munculnya harga
minimum min . Harga-harga itu berkaitan dengan pemotongan garis binodal. Pada
=2,76 perubahan energi itu minimum pada min =0,175. Tetapi, di sana ada energi
penghalang yang memisahkan keadaan baru dengan kenaikan konsentrasi dari cA ke
c. Penghalang itu malah bertahan ketika keadaan yang kaya zat-1 itu mempunyai
kecenderungan energi bebas yang signifikan untuk mencegah pemisahan. Hanya
pada suatu harga  yang besar akhirnya penghalang itu menghilang dan keadaan
dengan min =0 (c=cA) menjadi tidak stabil secara absolute; ini berkaitan dengan
pemotongan garis spinodal. Pada  yang besar (suhu rendah) campuran segera
terpisah menjadi keadaan yang kaya zat-1. Ketika itu terjadi, konsentrasi berubah
diskontinu, dengan suatu lompatan dari   0 ke   min . Penjelasan ini
merupakan hakikat dari transisi fasa order pertama.
Pada titik minimum min dipenuhi
Fcamp ( )

 


 2a T  Tsp  3b  4c 2   0
( 4.63)
0  0 dan dari 2aT  Tsp   3b  4c 2  0 didapat

3b 1

8c 8c
3b2  16c  2aT  Tsp  .
87
=2,31
2,6
2,76 2.9 3.0
3.125
3.2
Fcamp ( )
min
(a)
(a)

Fcamp (min )
spinodal
binodal
T
3,125
2,76
2,6

(b)
Gambar 4.7 (a) Perubahan energi bebas sebagai fungsi   c  c A dengan cA=0.2
untuk berbagai harga ; (b) Perubahan energi bebas pada min sebagai fungsi .
Jelas, solusi-solusi min adalah garis binodal. Solusi-solusi itu ada jika terpenuhi

9b2  32ac T  Tsp

sehingga untuk garis binodal berlaku
Tb  Tsp 
9b 2
32ac
(4.64)
0  0 adalah keadaan tercampur (biasa disebut disordered state); keadaan itu stabil
jika garis spinodal dilalui, yakni pada suhu T=Tsp. Secara termodinamik, transisi
88
terjadi di suhu T=Tsp dimana energi bebas dari keadaan terpisah (disebut ordered
state) menjadi lebih rendah atau F  0 .
Selanjutnya tinjau konsentrasi cA=0,5. Jika campuran didinginkan, artinya
parameter  ditingkatkan maka titik kritis TK akan dilalui. Persamaan (4.60)
menjadi sederhana seperti
Fcamp ( )
Nk BT
4
 (2   ) 2   4
3
(4.65)
Dengan Fcamp /   0 diperoleh
min 
3
(   2)
8
( 4.66)
Selain transisi fasa antara keadaan campuran homogen dua zat dan keadaan
terpisah, ada berbagai contoh transisi fasa lain seperti kondensasi Bose-Einstein,
feromagnet-paramagnet dalam material magnet, dan superkonduktor dalam logam.
Dalam hal transisi, fasa dibedakan dengan suatu parameter order; transisi fasa
ditandai dengan perubahan mendadak dari suatu besaran makroskopik.
Dalam campuran dua zat, energi bebas pada kesetimbangan fasa mempunyai
diskontinuitas pada turunan pertama. Hubungan termodinamik antara energi bebas
Gibbs dan entropi adalah
 G 

  S
 T  p
Artinya, pada transisi fasa entropi itu diskontinu sehingga didefenisikan kalor laten
sebagai perkalian antara perubahan entropi dan suhu di saat transisi fasa,
L  T S
(4.67)
Menurut klassifikasi Ehrenfest, transisi fasa ditandai dengan turunan energi bebas
paling rendah yang diskontinu pada saat transisi. Dengan klassifikasi itu maka
transisi disebut transisi order pertama seperti dalam Gambar 4.7.
4.7 Transisi Fasa Order Kedua
Transisi order kedua merupakan diskontinuitas pada turunan kedua dari energi
bebas, misalnya pemisahan fasa cair-uap pada titik kritis. Transisi fasa oder kedua
tersebut dikarakterisasi dengan
89
(G / T ) p  0
dan
( 2 G / T 2 ) p  0
pada suhu kritis Tc. Untuk itu dalam Gambar 4.8 diperlihatkan potensial Gibbs G0(T)
pada tekanan konstan untuk T>Tc yang secara kontinu berubah menjadi G(T) untuk
T<Tc.
G
 G 

  S
 T  p
G
G0
Tc
T
Gambar 4.8 Transisi fasa order kedua dalam diagram G-T; lingkaran besar
menyatakan kelengkungan dari G0(T) dan lingkaran kecil menyatakan kelengkungan
dari G(T).
Ketika suhu diturunkan, berlaku
G0(Tc)= G(Tc) di saat T=Tc.
Pada T< Tc berlaku hubungan
G(T )  G(Tc )  G(T )
Dengan penguraian Taylor di sekitar T=Tc diperoleh
1   2 G 

G (T )  G(T )  G(Tc )   
(T  Tc ) 2  ...........
2 
2  T T T
c
(4.68)
90
Dalam hal ini,
G
 S  0
T
sehingga suku order-1 dalam persamaan (4.68) tidak muncul. Lebih jauh, koefisien
  2 G 


 C p
 T 2 

T Tc
T Tc
(4.69)
merupakan perubahan kapasitas panas Cp yang diskontinu pada suhu Tc. Dalam
persamaan (4.68) diasumsikan bahwa suku order-kedua tidak sama dengan nol,
sedangkan suku-suku lebih tinggi hanya merupakan konsekuensi matematik saja.
Transisi fasa order-kedua biasa disebut sebagai fenomena order-disorder di
mana energi bebas Gibbs G dinyatakan sebagai fungsi dari variabel  yang dikenal
sebagai parameter order. Menurut Landau, masalah termodinamika dari transisi fasa
dapat dirumuskan dalam sistem-sistem biner di mana energi bebas G() adalah
invariant terhadap inversi parameter order  -,
G( )  G( )
(4.70)
Menurut Landau, energi bebas Gibbs dapat dirumuskan seperti
G( )  G0 
1
1
1
A 2  B 4  C 6  ....
2
4
6
(4.71)
di mana G0  G(0)  G(Tc ) . Koefisien-koefisien A, B, ….adalah fungsi-fungsi yang
bergantung secara mulus pada suhu. Persamaan (4.71) itu jelas merupakan ekspansi
dari G() dengan  pangkat genap, sehingga memenuhi persamaan (4.70).
Pada suhu yang dekat dengan Tc harga  sangat kecil sehingga persamaan
(4.71) bisa dipangkas menjadi
G( )  G0 
1
1
A 2  B 4
2
4
(4.72)
91
Dengan itu maka harga parameter order  pada kesetimbangan suhu bisa ditentukan
sebagai berikut,
G
 A  B 3   ( A  B 2 )  0

Jelas ada dua harga , yakni
 0
(4.73a)
dan
1/ 2
 A
    
 B
(4.73b)
Terlihat bahwa,
1. Jika A>0 dan B>0, maka persamaan (4.73b) menjadi imajiner sehingga
persamaan (4.73a) adalah satu-satunya solusi. Jadi, solusi   0 merupakan
keadaan disorder pada suhu T>Tc.
2. Jika A<0 dan B>0 maka selain   0 diperoleh dua harga yang lain dari
persamaan (4.73b). Ini merupakan fasa order pada suhu T<Tc. Dalam hal ini,
transisi fasa ditandai oleh perubahan tanda dari koefisien A. Menurut Landau
dapat dituliskan
A  A' (T  Tc ) dengan A' 0
(4.74)
Dengan persamaan (4.74) maka solusi dalam persamaan (4.73b) untuk suhu T<Tc
menjadi
 A'

    (Tc  T )
B

1/ 2
(4.75)
Dalam Gambar 4.9 diperlihatkan kurva G( ) dengan asumsi G0=0. Parabola
G( )  12 A 2 dengan A>0 pada suhu T>Tc mempunyai minimum di   0 .
G( )  12 A 2  14 B 4 dengan A<0 dan B>0 pada suhu T<Tc. mempunyai dua
minimum di  min  ( A / B)1/ 2 ; ini memperlihatkan sifat inversi. Kedua minimum
itu muncul pada saat suhu diturunkan melalui Tc , bergeser menjauh posisinya secara
92
simetrik dari   0 . Terlihat dalam persamaan (4.74) parameter order 
memperlihatkan kebergantungan pada suhu secara parabolik pada suhu yang dekat
dengan Tc..
G
1.4
T>Tc
1.2
1
0.8
Tc
0.6
0.4
T<Tc
0.2
0
-1
-0.5
-0.2
0
0.5
1

Gambar 4.9 Energi bebas Gibbs G( ) pada suhu dektak Tc. Terjadi peralihan G
dari bentuk parabol di atas suhu Tc ke bentuk sumur-rangkap pada suhu di bawah Tc.
Kesetimbangan di bawah suhu Tc ditunjukkan oleh fluktuasi antara -min dan +min.
Berdasarkan teori Landau tersebut di atas, perumusan entropi dan kapasitas panas
bisa diperoleh pada suhu TTc. Sesuai dengan
 G 
S  

 T  p
maka diperoleh
 A' 2 
 Tc  T ; T  Tc
S (T )  S (Tc )  

 2B 
(4.76)
Kapasitas panas dirumuskan dengan
 S 
C p  T 

 T  p
Sebutlah panas jenis adalah C0 jika Tc didekati dari atas, maka panas jenis jika Tc
didekati dari bawah adalah
93
Cp
T Tc
 C0 
A' 2
Tc
2B
(4.77)
Oleh sebab itu ada diskontinuitas
C p 
A' 2
Tc di T  Tc
2B
(4.78)
Itu konsistent dengan persamaan (4.68) dan (4.69). Menurut Landau, perbedaan
kapasitas panas itu mengindikasikan transisi fasa order kedua. Kurva Cp sebagai
fungsi suhu diperlihatkan dalam Gambar 4.10. Karena bentuknya, kurva itu disebut
sebagai kurva- dan suhu kritis dituliskan seperti T.
Cp
Tc
T
Gambar 4.10 Kapasitas panas sebagai fung suhu di sekitar suhu Tc.
94
Soal-soal
1. Perhatikan gambar potensial Lenard-Jones di bawah ini, di mana
  12    6 
 (r )  4       
 r  
 r 
Tunjukkan bahwa harga minimum potensial Lenard-Jones adalah r0  21 / 6  dan
 (r0 )   .


r

2. Untuk menentukan B2 perlu dilakukan integrasi anguler. Tunjukkan bahwa
karena (r) bergantung pada r, B2 dapat dituliskan seperti

B2  2  (1  e   ( r ) r 2 dr
0
di mana (r) seperti gambar dalam soal nomor 1. Tunjukkan bahwa
B2 
2 3
 .
3
3. Gambarlah fungsi f-Mayer: f  1  e   ( r ) untuk
a) Potensial interaksi bola padat di mana
 r  
0 r  
 (r )  
b) Potensial Lenard-Jones seperti gambar dalam soal nomor 1.
4. Untuk suhu rendah di mana kBT<<, kontribusi dominan terhadap integral
ditentukan oleh kontribusi-kontribusi dari integran untuk r>r0. Tunjukkan bahwa
a
untuk batasan ini, B2  
di mana
k BT
95

a  2   (r ) r 2 dr .
0
Dengan itu maka selanjutnya tunjukkanlah bahwa secara pendekatan berlaku
B2  b 
di mana b 
a
k BT
2 3
r0 .
3
5. Tinjaulah gas partikel 1-dimensi yang berada dalam boks sepanjang L. Andaikan
interaksi antar partikel memenuhi potensial
 r  a
0 r  a
 ( x)  
Sistem seperti ini disebut gas Tonk.
a) Evaluasi koefisien B2.
b) Bentuk interaksi di atas mencegah partikel untuk bertukar tempat. Berapakah
volume partikel yang mungkin agar partikel bisa bergerak?
c) Tentukanlah fungsi partisi dan persamaan keadaan dan tunjukkan bahwa
hasilnya konsisten dengan soal a).
96
5
STATISTIK FERMI-DIRAC
5.1 Pendahuluan
Secara kuantum, fungsi keadaan sistem dengan banyak partikel diungkapkan dalam bentuk simetrik atau antisimetri terhadap pertukaran partikel. Misalnya,
untuk sistem dua partikel yang diberi nomori 1 dan 2, dengan fungsi basis 1 dan 2
bisa diperoleh dua macam fungsi keadaan,
  1 (1) 2 (2)  1 (2) 2 (1)
(5.1a)
  1 (1) 2 (2)  1 (2) 2 (1)
(5.1b)
Pada fungsi keadaan pertama, pertukaran partikel tidak mengubah fungsi keadaan.
Artinya fungsi keadaan itu bersifat simetrik terhadap pertukaran partikel. Pada
fungsi keadaan kedua, pertukaran pertikel menyebabkan fungsi keadaan berubah
tanda. Artinya, fungsi keadaan itu bersifat antisimetrik terhadap pertukaran partikel.
Dalam statistik Maxwell-Boltzmann, masalah simetri ini tidak diperhitungkan. Dalam statistik kuantum masalah simetri menjadi penting karena terkait dengan
cara pendistribusian partikel di tingkat-tingkat energi. Ada dua jenis statistik
kuantum. Yang pertama membahas partikel-partikel yang mengikuti prinsip eksklusi
Pauli. Jumlah partikel yang bisa menempati suatu keadaan k (disebut keadaan
mikro) hanyalah 0 atau 1. Hal itu menyebabkan fungsi keadaan  bersifat
antisimetrik terhadap pertukaran partikel seperti persamaan (5.1b). Fisika statistik
untuk itu disebut statistik Fermi-Dirac dan partikel yang memenuhinya disebut
fermion. Suatu partikel fermion memiliki spin pecahan. Elektron misalnya,
mempunyai spin s=1/2, demikian juga proton dan inti-inti 13C dan 3He.
Jenis kedua memperhatikan partikel-partikel yang tidak mengikuti prinsip
eksklusi Pauli. Jumlah partikel yang bisa menempati suatu keadaan tidak terbatas: 0,
1, 2, 3,….. Oleh sebab itu fungsi keadaannya,  bersifat simetrik terhadap
pertukaran partikel. Statistik untuk itu disebut statistik Bose-Einstein, dan partikel
97
yang memenuhinya disebut boson. Suatu partikel boson memiliki spin bulat: 0, 1,
2,..... Contohnya fonon, foton dan inti 4He masing-masing berspin s=0..
Dalam sistem partikel kuantum dimungkinkan pertukaran energi dan partikel
sekaligus, sehingga sistem partikel kuantum dipandang sebagai ensembel kanonik
besar.
Fungsi partisi besar untuk sistem ini telah dikemukakan dalam Bab 2
paragraf 2.3.
5.2 Distribusi Fermi-Dirac
Dalam persamaan (2.47) dan (2.51), fungsi partisi besar sistem partikel adalah
   e   ( Ei  ) ni   i
ni
i
(5.2a)
i
dengan
 i   e   ( Ei  ) ni
(5.2b)
ni
adalah fungsi partisi besar keadaan mikro ke-i.
Karena ni=0 dan 1 untuk fermion, maka fungsi partisi besar untuk keadaan
mikro -i adalah
i   e
  ( Ei  ) ni
 1  e  ( Ei  )
(5.2c)
ni
Dengan menggunakan persamaan (2.58), potensial kanonik besar keadaan mikro kei adalah
 i  k BT ln  i

 k BT ln 1  e
 ( Ei  )

(5.3)
Jumlah partikel di keadaan mikro ke-i adalah
98
n( Ei )  

 i

  ( E  )
 k BT
ln 1  e i



Karena   1 / k BT maka akan diperoleh
n( E i ) 
1
e
 ( Ei   )
(5.4)
1
Inilah yang disebut fungsi distribusi Fermi, yang merupakan jumlah fermion
berenergi Ei pada suhu T. Fungsi di atas sering juga dituliskan seperti f(Ei). Fungsi
distribusi diperlihatkan dalam Gambar 5.1. Terlihat bahwa pada suhu T=0, semua
keadaan mikro diisi fermion hingga energi . Energi  pada T=0 disebut energi
Fermi,
(T=0) = EF.
(5.5)
Tampak dalam Gambar 5.1 bahwa jika suhu T→0: untuk energi dalam daerah E<EF,
e
e
( E EF ) / kBT
( E EF ) / kBT
 0 , sehingga n(E)=1, sedangkan untuk energi dalam daerah E>EF,
  , sehingga n(E)=0.
n
T=0
1
T=0.05 TF
T=0.2 TF
EF
E
T=0.5 TF
Gambar 5.1. Bilangan okupasi sebagai fungsi energi.
Keadaan itu sangat berbeda dengan distribusi Boltzmann dalam persamaan
(2.25): ni  exp( Ei / k BT ) di mana dengan T→0 semua partikel berada di tingkat
dasar. Dalam distribusi Fermi-Dirac, akumulasi pada tingkat dasar dicegah oleh
prinsip eksklusi Pauli, dan pada T→0 partikel-partikel menempati tingkat-tingkat
99
energi E ≤EF saja. Jadi, energi EF memberikan indikasi sebagai energi maksimum
dari sistem fermion pada T→0. Pada suhu tinggi sebagian partikel berpindah dan
mengisi keadaan-keadaan dengan energi yang lebih tinggi dari pada EF seperti
diperlihatkan dalam Gambar 5.1.
Sehubungan dengan energi Fermi EF, momentum partikel fermion tersebut
adalah k F  2mEF . Momentum ini disebut momentum Fermi. Partikel-partikel

fermion bisa mengisi keadaan-keadaan dengan bilangan gelombang k  k F
sehingga membentuk bola berjari-jari kF. Bola itu disebut bola Fermi dan keadaan
keadaan dengan k  k F terletak tepat dipermukaan bola. Permukaan bola itu
disebut permukaan Fermi. Konsep permukaan Fermi sangat penting dalam fisika zat
padat.
5.3 Gas elektron
Gas elektron adalah sekumpulan elektron-elektron yang tidak berinteraksi satu sama
lain mirip gas ideal sehingga energinya kontinu. Di dalam logam, elektron-elektron
mempunyai dua kelompok energi, yakni pita valensi dan pita konduksi seperti dalam
Gambar.5.2. Pada suhu T=0 seluruh elektron mengisi penuh pita valensi, yakni
energi EEF di mana energi Fermi EF adalah potensial kimia µ pada T=0. Pada suhu
T>0 pita konduksi terisi secara parsial dengan energi E>EF hingga tingkat energi
tertentu. Tetapi, meskipun demikian jumlah keseluruhan partikel adalah konstan.
E
Pita konduksi
EF
Pita valensi
n(E)
Gambar 5.2 Struktur pita energi logam pada T>0.
100
Jumlah partikel dalam pita valensi

N   n( Ek )   n( E ) g ( E ) dE
k
0

(5.6)
1

0 e
( E   ) / kBT
1
g ( E ) dE
Dalam persamaan (3.6) telah dikemukakan rapat keadaan perselang energi untuk

gas ideal: g ( E )  4 V 2m / h 2

3/ 2
E1/ 2 . Dalam kasus gas elektron, kerapatan itu
adalah
 2m 
g ( E )  4 V  2 
h 
3/ 2
E1/ 2
(5.7)
di mana faktor 2 diberikan untuk menyatakan adanya degenerasi 2s+1 dari spin s=½
dari elektron.
Gas elektron pada T=0
Pada suhu T=0 seluruh elektron mengisi tingkat-tingkat energi E  E F di mana
energi Fermi EF adalah potensial kimia µ pada T=0. dan exp[(E-EF)/kBT=0. Jumlah
elektron N dalam volume V adalah

 2m 
N   g ( E ) dE  4 V  2 
h 
0
8
 2m 
  V 2 
3
h 
3/ 2
3 / 2 EF
E
0
1/ 2
dE
(5.8)
E F3 / 2
Dengan itu maka energi Fermi adalah
h 2  3N 
EF 


8m  V 
2/3
(5.9a)
Dalam kaitannya dengan kesetaraan suhu, energi Fermi dapat disetarakan dengan
suhu
101
TF 
EF
kB
(5.9b)
yang disebut suhu Fermi.
Dalam tabel di bawah ini diperlihatkan jumlah elektron per satuan volume,
energi Fermi, dan suhu Fermi untuk berbagai jenis logam.
Suhu Fermi dari berbagai jenis logam
Logam
N/V (cm3)
EF (eV)
TF (K)=EF/kB
Li
4,71022
4,72
5,5 104
Na
2,541022
3,12
3,7 104
K
1,41022
2,14
2,4 104
Cu
8,41022
7,04
8,2 104
Ag
5,21022
5,51
6,4 104
Au
5,91022
5,54
6,4 104
Untuk memperoleh gambaran lebih ril, tinjaulah logam Na. Setiap atom Na
menyumbangkan satu elektron valensi. Jumlah elektron per satuan volume, N/V,
sama dengan jumlah atom Na per volume dalam logam itu. Lihat tabel di atas.
N N A 0,971gram/cm 3  6,02  10 23 atom/mol


 2,54  10 22 cm 3
V
M
23 gram/mol
Dengan persamaan (5.9), energi Fermi logam Na adalah
(6,63  1034 Js) 2  3
22
3 
EF 
  2,54  10 cm 
31
8  9,1 10 kg  

2/3
 3,12 eV
Energi total elektron-elektron pada T=0 adalah
102
 2m 
U 0   n( E ) E g ( E )dE 4 V  2 
h 
8
 2m 
  V 2 
5
h 
3
 NEF
5
3 / 2 EF
E
3/ 2
dE
0
3/ 2
EF5 / 2
(5.10)
Tekanan gas elektron adalah
8  2m 
 U 
p
   2 
 V  S , N 5  h 
3/ 2
EF5 / 2
(5.11)
Tampak bahwa meskipun suhu T=0 gas elektron masih mempunyai tekanan.
Gas elektron pada T>0
Jumlah elektron N dipandang konstan, atau dN/dT=0. Untuk memeriksa hal itu,
gunakan persamaan (5.6).

dN
d

n( E ) g ( E )dE 
dT dT 0

d 

1
 g ( E) dT  e( E ) / k T  1dE
B
0
Jika kBT<<EF maka perubahan distribusi Fermi hanya berarti di sekitar EF seperti
terlihat dalam Gambar 5.1. Oleh sebab itu persamaan di atas dapat didekati sebagai
berikut


dN
 
1
 g(EF ) 
 ( E  E ) / k BT
 dE
dT

T
F
e

1


0

(E E ) / k T
B
F
(E  EF )
e
 g(EF )
dE
2
( E  EF ) / k BT
k
T
B


0
 1
e



( E  EF )
1
dE  0
2
k BT 4 cosh ( E  EF ) / 2k BT
0
 g ( EF ) 
103
Di sekitar EF, fungsi cosh 2 ( E  EF ) / 2k BT ( E  EF ) adalah fungsi genap
sedangkan ( E  EF ) adalah fungsi ganjil. Oleh sebab itu dN/dT=0 atau N konstan.
Jumlah elektron yang tereksitasi di atas EF karena energi kBT, bisa didekati seperti
N eks  g ( EF )k BT 
3 N
3 T
k BT  N
2 EF
2 TF
(5.12)
Untuk tembaga (Cu) suhu TF=8,2104 K sehingga pada suhu 300 K elektron
tembaga yang tereksitasi sekitar 0,37 % saja.
Pada T>0 tapi T<<TF jumlah elektron ditentukan sebagi berikut:

 2m 
N   n( E ) g ( E )dE  4 V  2 
h 
0
3/ 2 
z
0
E1/ 2
1
e
E / k BT
1
dE
(5.13)
2
V
3
I 3 ( z)
2
di mana   h 2 /( 2mkBT ) adalah panjang gelombang termal dari elektron, dan
z  e / k BT . Dalam persamaan (5.13) I3/2(z) merupakan hasil ekspansi Sommerfeld ,
yakni

n


1
x n 1
ln z    2 n(n  1)
fn ( z) 

 .....
1 

1 x
2
(n) 0 z e  1 (n  1) 
6 ln z 

(5.14)
Untuk n=3/2, (5 / 2)  34  1 / 2 diperoleh
f3 / 2 ( z ) 
4  / k BT 
3
 1/ 2
3/ 2
 2

3/ 4
 .....
1 
2
6  / k BT 


sehingga persamaan (5.13) menjadi
8  2m 
N  V  2 
3 h 
3/ 2

 3 / 2 1 


 2  k BT 

  .....
8   

2
(5.15)

104
Tampak, pada suhu T=0 di mana µ=EF, jumlah elektron sesuai dengan persamaan
(5.8). Karena N konstan, maka potensial kimiawi harus bergantung suhu. Dengan
cara pendekatan diperoleh potensial kimiawi pada suhu terbatas sebagai berikut:
h 2  3N 



8m  V 
2/3
  2  k T 2

1 
 B   .....


8   


2 / 3
(5.16)
 2  T

 EF 1 
 12  TF



2



Tampak bahwa energi Fermi adalah potensial kimia maksimum, yakni pada suhu
T=0 seperti telah dikemukakan di atas. Potensial kimiawi lebih kecil untuk suhu
yang lebih tinggi.
Energi total elektron gas adalah
 2m 
U   n( E ) E g ( E )dE 4 V  2 
h 
3 / 2 EF
e
E 3/ 2
( E  EF ) / k BT
0
1
dE
(5.17)
3
V
3
k BT I 5 ( z )
2
di mana, dengan pendekatan seperti persamaan (5.14) diperoleh
f5 / 2 ( z ) 

 / k BT 5 / 2 1  5 2
1
 ....
1/ 2 
2
15 / 88   8  / k BT 

Dengan hasil itu maka
8
 2m 
U   V 2 
5
h 
3/ 2

5/ 2
 5 2
1 
8

2
 k BT  

 
   
(5.18)
Tampak bahwa pada T=0, energi total elektron sesuai dengan persamaan (5.10).
Dari energi di atas diperoleh tekanan gas elektron seperti
U 0  5 2
 U 
1 
p
 
8
 V  S , N V 
T

 TF



2



(5.19)
105
Kapasitas panas gas elektron adalah sebagai berikut
3 2
T
 U 
CV  

Nk B

4
TF
 T V
(5.20)
Persamaan (5.3) adalah potensial kanonik besar fermion di keadaan-i.
Potensial besar keseluruhan keadaan adalah
   i
i
(5.21)
 k B T  ln(1  e
( Ek   ) / k BT
)
k
Untuk gas elektron, potensial besar itu harus diintegral karena energinya kontinu.
Dengan   EF maka
EF
  k BT  ln(1  e
( E  EF ) / kBT
) g ( E ) dE
0
 2m 
 4 V  2 
h 
3/ 2
EF
k BT  ln(1  e
( E  EF ) / kBT
) E1 / 2 dE
0
Hasil integral parsil dalam persamaan di atas adalah
16
 2m 
    V  2 
h 
15
3/ 2
E F5 / 2 

2  3V (2m) 3 / 2
(k B T ) 2 E F1 / 2 
3
3
h

(5.22a)
2
k T  
2 
  U 0 1   2  B  
3 
 E F  

atau
T
2 
   U 0 1   2 
3 
 TF




2



(5.22a)
  
Selanjutnya entropi dapat ditentukan dengan menggunakan hubungan S  

 T V ,
dan hasilnya adalah
106
4
T
S   2U 0 2
3
TF
(5.23)
Dari persamaan (5.6), distribusi fermion dapat diturunkan seperti
dN
 2m 
 4 V  2 
dE
h 
3/ 2
E1 / 2
e
( E  E F ) / k BT
(5.24)
1
Ini merupakan distribusi energi gas elektron menurut statistik Fermi-Dirac. Kurva
dN/dE sebagai fungsi E diperlihatkan dalam Gambar 5.3.
dN
dE
T=0
T >0
E
EF
Gambar 5.3 dN/dE sebagai fungsi E.
Kecepatan rata-rata gas elektron adalah
v 
1
1 dN
vdN   v
dE

N
N dE
Karena elektron dipandang sebagai gas maka E=1/2mv2, v=(2E/m)1/2, sedangkan
dN/dE bisa dilihat pada persamaan (5.24). Maka kecepatan rata-rata adalah
v 
(2 / m)1 / 2 dN 1 / 2
16Vm
E dE 

N
dE
Nh3
EF
E
 e( E  E ) / kT  1dE
F
0
Dengan pendekatan seperti persamaan (5.14) diperoleh
EF
 e ( E E
0
k
E
F ) / k BT
1
dE 
1 2 2
EF 
(k B T ) 2
2
6
107
sehingga
 2
v  v 0 1 
6

T

 TF



2


(5.25)
di mana
v
0

8Vm
Nh
3
E F2
(5.26)
adalah kecepatan rata-rata partikel fermion pada suhu T=0. Jadi, meskipun suhu
T=0, partikel masih mempunyai kecepatan.
5.4 Emisi Termionik
Energi potensial sebuah elektron di dalam logam adalah seperti Gambar 5.4(a). Pada
suhu normal, pita konduksi diisi oleh elektron-elektron hingga batas energi Fermi EF
seperti kurva distribusi dalam Gambar 5.4(b). Energi e disebut fungsi kerja yakni
energi minimum yang diperlukan untuk melepaskan sebuah elektron dari logam.
Dalam kasus efek fotolistrik, elektron dilepaskan jika foton h>e. Besaran 
disebut fungsi kerja dari logam. Pada suhu tinggi, beberapa elektron menempati
keadaan di atas energi EF seperti terlihat dalam Gambar 5.3(b) di atas. Pada suhu
yang cukup tinggi beberapa elektron memperoleh energi sebesar E=EF+e sehingga
lepas dari logam.
E
e
T tinggi
EF
T=0
dn/dE
a)
b)
Gambar 5.4 (a) Energi potensial sebuah elektron di dalam logam dan di permukaan,
(b) distribusi elektron.
108
Proses ini disebut emisi termionik, dan merupakan dasar bagi tabung
elektron. Besarnya rapat arus termolistrik dihitung sebagai berikut:
1/ 2
evdN e  2 
j
  
V
V m
E
1/ 2
dN
dE
dE
(5.27)
1/ 2
 2E 
dimana e adalah muatan elektron, kecepatan v  

 m 
. Dengan menggunakan
dN/dE dalam persamaan (5.24) maka
j
16 me
h3
E F  e

EF
E
e
( E  E F ) / kT
1
dE
(5.28)

4me
(kT ) 2 ee
3
h
Persamaan rapat arus di atas disebut persamaan Richardson-Dushman. Fungsi kerja
e bergantung pada jenis logam seperti diperlihatkan dalam table di bawah ini.
Fungsi kerja berbagai jenis logam.
Elemen
e (eV)
Elemen
e (eV)
Aluminum
4.08
Besi
4.5
Berillium
5.0
Timah
4.14
Kadmium
4.07
Magnesium
3.68
Kalsium
2.9
Merkuri
4.5
Kobalt
5.0
Nikel
5.01
Tembaga
4.7
Perak
4.73
Emas
5.1
Natrium
2.28
109
5.5 Energi Fermi dalam Semikonduktor
Dalam teori pita, semikonduktor mempunyai pita valensi dan pita konduksi. Setiap
pita merupakan kumpulan dari energi-energi keadaan, dan masing-masing energi
keadaan itu merupakan solusi unik dari persamaan Schrödinger untuk fungsi
potensial yang periodik dari bahan semikonduktor. Setiap energi keadaan hanya bisa
diduduki maksimum oleh satu elektron. Rapat keadaan elektron di pita konduksi,
sebutlah Dc(E), dan rapat keadaan hole di pita valensi , sebutlah Dv(E), adalah
Dc ( E ) 
8
m n 2m n ( E  E c ) ; E  E c
h3
(5.29)
Dv ( E ) 
8
m p 2m p ( E v  E ) ; E  E v
h3
di mana mn dan mp adalah massa effektif elektron dan hole. Massa effektif elektron
dan hole dalam beberapa bahan semikonduktor diperlihatkan dalam table berikut, di
mana m0 adalah massa diam elektron.
Si
Ge
GaAs
InAs
AlAs
mn/m0
0,26
0,12
0,068
0,023
2,0
mp/m0
0,39
0,30
0,50
0,30
0,30
Persamaan (5.29) dapat dilukiskan seperti Gambar 5.5.
E
Ec
Pita
konduksi
Dc
Ec
D
Pita valensi
Ev
Dv
Ev
Gambar 5.5 Pita energi dan rapat keadaan dalam semikonduktor.
110
Probabilitas suatu keadaan berenergi E bisa diduduki oleh sebuah elektron
dinyatakan oleh fungsi distribusi Fermi-Dirac
f (E) 
1
e
(E  EF ) / k BT
1
(5.30)
Pada pita konduksi di mana energi E cukup tinggi atau (E-EF)>>kBT , probabilitas
penempatan sebuah elektron dapat didekati seperti
f ( E )  e(E  EF ) / kBT
(5.31)
yang merupakan fungsi distribusi Maxwell-Boltzmann.
Pada pita valensi di mana energi E cukup rendah atau (E-EF)<<-kBT
probabilitas penempatan sebuah elektron dapat didekati seperti
f ( E )  1  e(E F  E ) / kBT
(5.32)
Dengan demikian, probabilitas untuk hole di pita valensi itu tentulah 1-f(E), yakni
1  f ( E )  e(E F  E ) / kBT
(5.33)
Sekarang dapat ditentukan jumlah elektron di pita valensi dan jumlah hole di
pita valensi. Jumlah keadaan dalam pita konduksi dan pita valensi untuk selang
energi antara E dan E+dE masing-masing adalah Dc(E)dE dan Dv(E)dE. Dengan
menggunakan persamaan (5.31) dan Dc(E) dalam persamaan (5.29) jumlah elektron
di dalam pita konduksi adalah

n
 f ( E ) Dc ( E ) dE
Ec


8mn 2mn
h
3

E  EF e ( E  EF ) / k BT dE
(5.34)
Ec
8mn 2mn
h
s
3
e
( Ec  EF ) / k BT
s

E  EF e ( E  Ec ) / k BT d ( E  Ec )
0
Misalkan x=(E-Ec)/kBT, maka integral di atas merupakan fungsi Gamma, yakni
111
s
k BT 3 / 2 
x e  x dx 
0

2
k BT 3 / 2
sehingga persamaan (5.34) menjadi
n  Nc e( Ec  EF ) / kBT
(5.35)
dengan
 2 mn k BT 
Nc  2 

h2


3/ 2
(5.36)
Nc disebut rapat effektif elektron dalam pita konduksi.
Rumusan untuk hole dapat diturunkan dengan cara yang sama. Dengan
menggunakan persamaan (5.33) dan Dv(E) dalam persamaan (5.29) jumlah hole di
dalam pita valesi adalah
p  N v e ( EF  Ev ) / kBT
(5.37)
dengan
 2 m p k BT 

N v  2 
h2


3/ 2
(5.38)
Nv disebut rapat effektif hole dalam pita valensi.
Harga-harga Nc dan Nv untu Ge, Si dan GaAs adalah sebagai berikut.
Ge
Si
GaAs
Nc (cm-3)
1,041019
2,81019
4,71017
Nv( cm-3)
6,01018
1,041019
7,01018
Sebenarnya, elektron di dalam pita konduksi berasal dari atom-atom donor
yang di-dop pada semikonduktor, sedangkan hole dalam pita valensi berasal dari
atom-atom akseptor yang di-dop pada semikonduktor. Kehadiran atom donor dan
112
atom akseptor menggeser energi Fermi dari semikonduktor. Persamaan (5.35) dan
(5.37) bisa dipakai untuk menentukan energi Fermi sebagai fungsi dari banyaknya
elektron (n) yang diberikan oleh donor dan banyaknya hole (p) yang ditimbulkan
oleh akseptor. Hasilnya adalah
EF  Ec  k BT ln
Nc
; doping donor
n
E F  Ev  k BT ln
(5.39)
Nv
; doping akseptor
p
(5.40)
Terlihat bahwa semakin kecil konsentrasi donor semakin jauh energi Fermi di
bawah Ec. Tetapi, semakin kecil konsentrasi akseptor semakin jauh energi Fermi di
atas Ev. Kedua persamaan (5.39) dan (5.40) dilukiskan seperti Gambar 5.6.
Ec
k BT ln
EF
Nc
n
Ec
k BT ln
(a)
EF
Nv
p
(b)
Gambar 5.6
didop dengan (a) donor dan (b)
Ev Energi Fermi semikonduktor yang
Ev
akseptor.
Sebagai contoh, semikonduktor silicon (Si) di-dop dengan atom-atom donor
dengan n=1017cm-3 pada suhu 300 K. Untuk silikon Nc=2,81019 cm-3. Dengan
menggunakan persamaan (5.39) diperoleh
Ec  E F  k B T ln
Nc
n
 1,3805x10 -23 J/K  300K  ln
2,8  1019
1017
 0,146 eV
Artinya, energi Fermi 0,146 eV di bawah Ec.
113
Misalkan semikonduktor yang sama didop dengan atom-atom akseptor
dengan p=1014cm-3 pada suhu yang sama. Untuk silicon Nv=1,041019cm-3. Dengan
persamaan (5.40), maka diperoleh
E F  Ev  k B T ln
Nv
p
 1,3805x10 -23 J/K  300K  ln
1,04  1019
1014
 0,31 eV
Artinya, energi Fermi 0,31 eV di atas Ev.
Dari persamaan (5.39) dan (5.40), perkalian konsentrasi elektron dan
konsentrasi hole adalah
np  N c N p e  ( Ec  EF ) / k BT
(5.41)
 Nc N p e
 E g / k BT
di mana Eg=Ec-EF adalah energi gap. Sebutlah np  ni2 maka
ni  N c N p e
 Eg / 2 k BT
(5.42)
Terlihat bahwa di dalam semikonduktor selalu ada beberapa elektron dan hole,
apakah semikonduktor di-dop atau tidak. Jika di dalam semikonduktor tidak ada
dopan, semikonduktor dikatakan intrinsik. Di dalam semikonduktor intrinsik, n dan
p yang tak sama dengan nol merupakan akibat dari eksitasi termal. Dalam hal ini,
tentulah n=p adalah cirri dari semikonduktor intrinsik. Jadi, n  p  ni ; ni disebut
konsentrasi pembawa yang intrinsik dan itu adalah persamaan (5.42). Terlihat bahwa
konsentrasi pembawa yang intrinsik dari suatu bahan semikonduktor bergantung
pada energi gap dan suhu. Di bawah ini diperlihatkan energi gap dari beberapa
bahan semikonduktor.
Eg(eV)
InSb
Ge
Si
GaAs
GaP
ZnS
Intan
0,18
0,67
1,12
1,42
2,25
2,7
6
Untuk silikon pada suhu 300 K, konsentrasi pembawa intrinsik itu adalah
114

1,12eV  1,6  10 -19 J/eV 
  1010 cm 3 .
ni  1019 2,28  1,04 exp  
-23

 2  1,3805x10 J/K  300K 
Dengan itu maka untuk silikon, np  10 20 cm 6 . Ini adalah konstan pada suhu 300
K. Jika semikonduktor silikon tipe-n mempunyai konsentrasi elektron n=1015 cm-3,
maka konsentrasi hole adalah p=1020/1015=105cm-3. Sebaliknya, jika semikonduktor
silikon tipe-p mempunyai konsentrasi hole p=1017 cm-3, maka konsentrasi hole
adalah p=1020/1017=103cm-3.
Dari persamaan (5.42) dapat dikemukakan bahwa pada semikonduktor
intrinsik di mana n=p , energi Fermi adalah
E F(i )  EC  k B T ln ni  k B T ln N c
 Ec 
N
1
1
E g  k B T ln c
2
2
Nv
(5.43)
Jadi, energi Fermi dari semikonduktor intrinsik dekat sekali dengan pertengahan
gap.
115
Soal-soal
1 Tinjaulah suatu sistem elektron pada permukaan yang luasnya A. Tunjukkan
bahwa jumlah rata-rata elektron dapat dituliskan seperti

N 
mA
dE
2  ( E   ) / k BT
 0 e
1
Gunakan rumus integral
dx
1
e bx

ln
 1  ae bx b 1  ae bx  konstanta
2. Hitunglah suhu di mana potensial kimia suatu gas elektron menjadi nol.
3. Hitunglah tekanan gas elektron yang berdegenerasi, dan tentukanlah hubungan
antara tekanan dan rapat energi U/V. Hitunglah tekanan gas elektron dalam
aluminium.
4. Tunjukkan secara langsung dari fungsi partisi bahwa rata-rata energi gas
fermion bisa dituliskan dengan menggunakan harga rata-rata bilangan okupasi:
U   nk E k .
k
5. Energi Fermi sebagai fungsi suhu dapat diturunkan sebagai berikut:
 2
E F (T )  E F (0) 1 
 12
 T

 F
2


  ......


di mana EF(0) adalah energi Fermi pada T=0. Tunjukkan bahwa suku koreksi 1%
dari energi Fermi berkaitan dengan suhu
T
3
5
F .
6. Tunjukkan bahwa jumlah fermion dengan kecepatan di antara v dan v+dv pada
suhu T adalah
116
dN 
8Vm 3
v2
dv
2
h 3 e[(m v / 2) EF ] / kT  1
7. Berdasarkan statistik Fermi-Dirac,
n( E i ) 
1
e
( Ei  E F ) / kT
1
.
Tentukanlah energi Ei yang lebih besar dari EF agar
n( Ei )  e( Ei  E F ) / kT
ada dalam penyimpangan 10%.
8. Buktikan bahwa distribusi pembawa muatan di dalam pita konduksi dan pita
valensi memuncak pada energi-energi dekat dengan pinggir pita.
9.
Distribusi
pembawa
elektron
hole
Ev
Ec
E
Selanjutnya, dengan menggunakan aproksimasi Boltzmann, tunjukkan bahwa
energi di mana distribusi pembawa muatan itu memuncak masing-masing pada
Ec+kBT/2 dan Ev-kBT/2.
10. Pada semikonduktor tertentu, rapat keadaan di dalam pita konduksi dan pita
valensi adalah konstan, masing-masing adalah A dan B. Misalkan energi Fermi
EF tidak dekat dengan Ev dan Ec.
a) Rumuskanlah konsentrasi p dan n.
b) Jika A=2B, tentukanlah lokasi energi Fermi intrinsik relative terhadap
pertengahan gap pada suhu 300K.
117
11. Untuk semikonduktor tertentu, rapat keadaan dalam pita konduksi dan pita
valensi masing-masing adalah: Dc(E)=A(E-Ec).u(E-Ec) dan Dv(E)=B(Ev-E). u(EvE) di mana u(x)=0 jika x<0 dan u(x)=1 jika x>0. Misalkan doping tidak tinggi.
a) Rumuskan konsentrasi n dan p sebagai fungsi energi Fermi.
b) Jika A=2B, hitunglah energi Fermi intrinsic pada suhu 300K.

Gunakan sifat
 xe
x
dx  1 .
0
12. Fungsi distribusi Boltzmann
f ( E)  exp[( E  E F ) / k BT ] sering dipakai
sebagai pendekatan terhadap fungsi distribusi Fermi-Dirac. Gunakanlah
pendekatan itu dan misalkan Dc(E)=A(E-Ec)1/2 untuk menentukan
a) Energi di mana ditemukan paling banyak elektron.
b) Konsentrasi elektron pada pita konduksi (n).
c) Energi kinetik rata-rata elektron , E-Ec. Gunakan fungsi Gamma.
118
6
SISTEM SPIN DAN
KEMAGNETAN
6.1. Paramagnetisme
Bahan paramagnet mengandung atom-atom yang memiliki momen dipol magnet.
Tinjaulah sistem dengan momen-momen dipol yang tidak berinteraksi satu sama


lain. Energi sebuah momen dipol (sebutlah  ) di dalam medan magnet B adalah
 
E  . B   B cos  .
Energi dari N buah momen dipol adalah
N
U   B cos  i .
i 1

dengan  i adalah sudut antara B dan momen dipol ke-i.
Fungsi partisi sistem
adalah


 2
  2

Z    d1  d1 sin 1e  B cos1     d 2  d 2 sin  2 e  B cos 2   ......
0
0
0
 0

(6.1)

 2

   d N  d N sin  N e  B cos N
0
0




Karena setiap faktor dalam persamaan di atas adalah sama, maka persamaan itu
menjadi
N
 2 

Z    d  d sin  e  B cos   Z1N
0 0

(6.2)
Z1 adalah fungsi partisi sebuah dipol, yakni
119
Z1 
2

0
0
 B cos
 d  d sin  e
(6.3)
 2
e B  e  B
4

sinh B 
B
B
Dengan demikian maka fungsi partisi sistem adalah
 4

Z 
sinh( B)
 B

N
(6.4)
Dari fungsi partisi di atas, energi sistem adalah
U 
 ln Z


1 
  NB coth(B) 
B 

  NB L ( B)
(6.5)
di mana
L ( x)  coth( x) 
1
x
(6.6)
disebut fungsi Langevin. Dari hubungan antara energi U dan magnetisasi M : U=MB maka magnetisasi adalah
M
Entropi
sistem
1  ln Z
 N L ( B)
 B
diturunkan
dari
rumusan
(6.7)
energi
bebas
Helmholtz
F  k BT ln Z , adalah

 F 
k BT ln Z B.N
S  
 
 T  B , N T


T

 4

sinh( B) 
 Nk BT ln 
 B


(6.8)
  4


 Nk B ln 
sinh( B)  1  B coth(B)

  B

Jika suhu cukup tinggi atau B `1 bisa dilakukan pendekatan
120
coth(B) 
1
B

B
(6.9)
3
Dengan demikian fungsi Langevin menjadi
L ( B) 
B
3
.
(6.10)
Dengan itu maka energi sistem menjadi
N 2 B 2
;
U 
3k BT
B / k BT `1
(6.11)
sedangkan magnetisasi menjadi
M 
N 2
B;
3k BT
B / k BT `1
(6.12)
Berdasarkan MB di mana  adalah suseptibilitas magnet maka

N 2
;
3k B T
B / k BT `1
(6.13)
Persamaan (6.11), (6.12) dan (6.13) disebut hukum Curie. Dalam persamaan (6.12),
M=0 jika B=0 yang merupakan ciri dari bahan paramagnet.
Sesungguhnya sifat paramagnetik atom atau molekul ditimbulkan oleh spin
elektron yang tak berpasangan di dalamnya. Karena spin elektron adalah s=1/2,
maka di dalam medan magnet B spin itu memiliki dua tingkat energi, E1=-µBB
sehubungan dengan spin sejajar medan, dan E2=µBB sehubungan dengan spin
berlawanan arah medan; µB =9,273210-24 J/T adalah magneton Bohr elektron.
Fungsi partisi suatu sistem paramagnetik dari N buah spin elektron adalah
Z
e 

 


B B 1
e  B B 2 .......e  B B N
(6.14)
1 , 2 ,......., N
di mana i=+1 menyatakan spin mengarah ke atas dan i=-1 menyatakan spin
mengarah ke maka. Persamaan di atas dapat diubah menjadi
121

Z  e B B  e  B B

N
.
(6.15)
 2 cosh(  B B)
N
Energi sistem diturunkan dengan menggunakan fungsi parti si di atas,
U 
 ln Z
  N B B tanh( B B)

(6.16)
Magnetisasi diperoleh dengan menggunakan hubungan U=-MB,
M
1  ln Z
 N B tanh( B B)
 B
(6.17)
Magnetisasi sebagai fungsi  B B diperlihatkan dalam Gambar 6.1. Terlihat bahwa
pada medan magnet rendah ada hubungan linier antara magnetisasi dan medan
magnet. Ini juga merupakan ciri dari sifat paramagnetisme.
M
NµB
µBB
-NµB
Gambar 6.1 Magnetisasi M sebagai fungsi  B B .
Pada medan magnet yang rendah tanh( B B)   B B , sehingga diperoleh
M 
N B2 B
;  B B / k BT <<1
k BT
(6.18)
Karena M=B di mana  adalah suseptibilitas magnet, maka
N B2

;  B B / k BT <<1
k BT
(6.19)
Rumusan magnetisasi dan suseptiblitas magnet yang diturunkan secara klassik
122
seperti dalam persamaan (6.12) dan (6.13) hanya berbeda faktor 1/3 dengan
persamaan (6.18) dan (6.19) .
Hukum termodinamika pertama untuk kemagnetan adalah dU  Q  MdB ;
jika medan magnet konstan maka dU  Q sehingga panas jenis adalah
CB 
1  U 


N  T  B
Karena
d  U 
N 2 B 2
 U 
2  U 

  k B  
 

 
2
2
 T  B dT    B
   B k BT cosh  B B 
maka diperoleh
CB 
 B2 B 2
k B2T 2 cosh 2  B B / k BT 
(6.20)
Gambar 6.2 memperlihatkan panas jenis CB sebagai fungsi kBT/µB.
CB
kB
k BT
B B
Gambar 6.2 Panas jenis CB sebagai fungsi kBT/µB.
Terlihat bahwa harga maksimum CB tercapai pada kBT0.8 µB. Telah dikemukakan
pada awal paragraf ini bahwa sebuah dipol magnet yang searah medan magnet
memiliki energi: E1=-µB. Jadi, suhu rendah dengan energi termal kBT<<µB tidak
123
mampu untuk membalik arah dipol. Hanya dengan energi termal kBT=2µBB dipol itu
bisa membalik arah dan energinya menjadi E2=µB.
Ada bahan paramagnet dengan atom-atom berspin lebih besar daripada
setengah, J>1/2, misalnya 3/2, 5/2.... Spin yang demikian memiliki tingkat energi
lebih daripada dua buah. Misalnya, dengan spin J ada 2J+1 buah tingkat energi,
yakni
Ei   g B B i
(6.21)
dengan  i  2 J ,  2 J  1,........, 2 J  1, 2 J dan g adalah faktor Lande g=2,0023 untuk
spin elektron bebas, dan  B 
e
adalah magneton Bohr dari elektron. Fungsi
2mc
partisi mirip dengan persamaan (6.14) yakni
N
 2J

 e q ( J 1)  e qJ
Z    e q i / 2   
eq 1

  i 2 J




N
(6.22a)
di mana
q  g B B
(6.22b)
Tetapi
e q ( J 1)  e  qJ e q ( J 1 / 2)  e  gq( J 1 / 2) sinh[( J  1 / 2)q]


sinh(q / 2)
eq 1
e q / 2  e q / 2
sehingga persamaan (6.22a) menjadi
 sinh[( J  1 / 2)q] 
Z 

 sinh(q / 2) 
N
(6.23)
Magnetisasi adalah
M 
1  ln Z
 B


1
1  1
 1 
 Ng B  J   coth  J   q   coth q .
2
2  2
 2 


124
Mengingat fungsi Brillouin
B J (q) 

1 
1
1  1
 1 
 J   coth  J  q   coth q 
J 
2
2  2
 2 

(6.24)
maka rumusan magnetisasi menjadi
M  Ng B J BJ (q).
(6.25)
Fungsi Brillouin di atas adalah fungsi ganjil. Oleh sebab itu dalam
penggambarannya cukup ditinjau q 0. Untuk q , B J (q) 1. Ini memberikan
harga jenuh bagi magnetisasi, yakni
M  gN B J .
(6.26)
Untuk q 0, fungsi B J (q) harus diekspansi dengan cara sebagai berikut.
e x  ex
2  x 2  .....
coth x  x

e  e  x 2 x  x 3 / 3  ....
Jika x<<1 maka
coth x 
1 x2 / 2
1
 (1  x 2 / 2)(1  x 2 / 6)
2
x(1  x / 6) x
.

1 x

x 3
Jadi, untuk q 0,
B J (q) 

 1  2 1 
1
1
1
 ( J  1 / 2)q     q 
( J  1 / 2) 
J
 ( J  1 / 2)q 3
 2  q 6 

q 1
1
( J  1 / 2) 2  

J 3
12 
(6.27)
1
 ( J  1)q
3
Dari persamaan (6.25 ) dan (6.27) maka
125
M 
1
Ng B2 J ( J  1)  B
3
(6.28)
Untuk memperoleh pemahaman yang baik, perlu diperiksa harga B J (q) dalam
daerah 0<q<. Untuk itu diferensialnya B J dari persamaan (6.24) adalah,
dB J
dq

1
( J  1 / 2) 2

4 J sinh 2 q / 2 J sinh 2 [( J  1 / 2)q]
(6.29)
Ternyata diferensial di atas selalu positif, sehingga fungsi B J (q) adalah fungsi yang
monoton naik. Gambar 6.3 memperlihatkan M /  B sebagai fungsi g B B untuk
berbagai harga J.
M/µB
J=5/2
J=3/2
J=1/2
gµBB
Gambar 6.3 M /  B sebagai fungsi g B B untuk berbagai harga J.
6.2 Paramagnetik Pauli
Tinjaulah elektron-elektron dalam logam lengkap dengan spinnya. Karena spinnya
s=1/2 maka bilangan kuantum magnetiknya ms=±1/2. Dalam medan magnet B, suatu
spin elektron bisa menempati salah satu dari dua keadaan kuantum spin, masingmasing dengan energi
E 1 / 2    B B
searah medan B
(6.30)
E 1 / 2   B B
berlawanan arah medan B
126
Pada B=1 Tesla, E1/20,5 10-4eV<< EF (3,12 eV untuk logam Na). Meskipun
medan magnet cukup besar, beda energi antara kedua keadaan kuantum spin sangat
kecil. Inilah alasannya mengapa kedua keadaan kuantum spin itu dipandang
berdegenerasi dengan energi yang dekat dengan energi dasarnya.
Sekarang misalkan suhu T>0; sesuai dengan persamaan (5.13) maka jumlah
elektron dengan spin searah B adalah
N
()
EF
 2m 
(T )   n( E ) g ( E )dE 2 V  2 
h 
0

V

f 3 ze

3
2
 B / k BT
3 / 2 EF

0
E1 / 2
z 1e
 B B / k BT E / k BT
e
1
dE
(6.31)

Jumlah elektron dengan spin berlawanan arah B adalah
N (  ) (T ) 

EF
 2m 
 n( E ) g ( E )dE 2 V  h2 
0
V

3

f 3 ze
2
  B / k BT
3 / 2 EF

0
E1 / 2
 B / k T E / k T
z 1e B B e B
1
dE
(6.32)

Dengan demikian maka magnetisasi adalah

M   B N ( )  N ( )


 BV
f ze
3

3
2

B B / k BT
  f ze
  B B / k BT
3
2

(6.33)
Pada suhu tinggi dan medan magnet yang kecil,


f 3 ze B B / k BT  ze B B / k BT
2
dan


f 3 ze  B B / k BT  ze  B B / k BT
2
Jadi, magnetisasi pada suhu rendah adalah
127
M
2 BVz
3
sinh  B B / k BT 
(6.34)
Jumlah elektron adalah
N  N (  )  N ( ) 
V

3
ze
 B / k BT
 ze  B / kBT

atau
N2
Vz
3
cosh B / k BT 
(6.35)
Oleh sebab itu magnetisasi bisa dinyatakan seperti
M  B N tanhB B / kBT 
(6.36)
Hasil ini sama dengan persamaan (6.17). Pada medan magnet yang kecil
suseptibilitas magnet adalah
M N B


B
k BT
2
(6.37)
Hasil ini sama dengan persamaan (6.19).
Pada suhu rendah, dengan menggunakan pendekatan dalam persamaan (5.14)
maka magnetisasi dalam persamaan (6.33) menjadi
M
 BV  4
 (   B B)3 / 2  4  (   B B)3 / 2 
3 
1/ 2
  3
3

4
 2m 
  BV  2 
3
h 
3/ 2
( E
F
  B B) 3 / 2  ( EF   B B) 3 / 2

Karena EF   B B , bisa dilakukan pendekatan
 3 B B 

( EF   B B)3 / 2  EF3 / 2 1 
 2 EF 
sehingga diperoleh apa yang disebut magnetisasi Pauli,
128
 2m 
M p  4 B2V  2 
h 
3/ 2
E F1 / 2 B
(6.38)
  B2 g ( E F ) B
Rumusan magnetisasi di atas mengungkapkan bahwa pada suhu rendah, elektronelektron berada jauh di bawah permukaan Fermi dan prinsip Pauli mencegah mereka
untuk membalikkan arah spinnya ketika merespon medan magnet, kecuali elektronelektron yang berada pada permukaan Fermi. Di sekitar energi EF terjadi perubahan
arah spin-spin seperti diperlihatkan dalam Gambar 6.4(b).
EF
(a)
(b)
Gambar 6.4 Penempatan spin-spin pada keadaan-keadaan yang berdegenerasi-2; (a)
T=0, B=0; (b) T=0, B0.
Untuk setiap spin perubahan arah itu memerlukan energi E=2BB. Prinsip
larangan Pauli memaksa spin up harus naik ke atas energi Fermi EF karena di
bawahnya sudah penuh. Elektron-elektron itulah yang selanjutnya menjadi elektron
penghantar. Sebenarnya pergeseran energi itu sangat kecil dibandingkan dengan EF,
sehingga kerapatan spin-down hampir sama dengan kerapatan spin-up. Karena setiap
elektron yang tergeser memperoleh tambahan energi 2µBB, maka jumlah
magnetisasi dalam persamaan (6.38) bisa dituliskan seperti
M p  ns 2 B
(6.39)
dengan ns adalah jumlah elektron yang mengalami pergeseran. Inilah yang disebut
magnetisasi Pauli. Jadi, jumlah elektron yang tergeser oleh medan magnet adalah
ns 
1
2
g ( EF )  B B
(6.40)
129
Akhirnya, suseptibilitas magnet dapat diturunkan seperti
p 
M
  B2 g ( E F )
B
(6.41)
adalah konstan. Material dengan suseptibilitas magnet >0 disebut paramagnet dan
effek medan magnet pada suhu rendah itu disebut paramagnetik Pauli.
6.3 Fluktuasi magnetisasi
Nilai rata-rata momen magnet dari suatu bahan paramagnet pada keadaan setimbang
suhu dengan suatu reservoir bersuhu T adalah
M 
1
1  ln Z
1 Z
M i e  Ei 


Z i
 B
Z B
(6.42)
di mana Mi adalah magnetisasi pada keadaan mikro ke-i dengan energi Ei.
Magnetisasi itu berubah terhadap medan magnet B. Jadi, M itu berubah terhadap
B. Turunannya terhadap B adalah suseptibilitas, yakni

M
B
(6.43)
Sesungguhnya, suseptibilitas adalah respons dari bahan paramagnet terhadap medan
magtnet luar. Jika suseptibilitas bahan paramagnetik itu besar, maka perubahan kecil
dari medan magnet menyebabkan perubahan besar dari magnetisasi bahan tersebut.
Jadi, dapat dikatakan bahwa distribusi M di sekitar harga rata-ratanya tentulah agak
besar. Dengan kata lain, keadaan- keadaan dengan harga-harga M yang berbeda
memiliki probabilitas- probabilitas yang cukup signifikan. Oleh sebab itu, dapat
diharapkan bahwa deviasi-deviasi di sekitar harga rata-rata akan signifikan. Jadi, ada
suatu hubungan antara suseptibilitas dan lebar distribusi M di sekitar M . Untuk
mengungkapkan itu, misalkan energi keadaan mikroskopik ke-i adalah Ei.=-BMi ;
maka
130


 M

B

M
Z
 1

  M i e  BM i 
B  Z i

2   Ei
i
e

i

 M2  M
2
1 Z
M i e  Ei

2
Z B i
(6.44)

Inilah yang disebut suseptibilitas tanpa medan magnet luar. Dapat pula dituliskan,

2

M 
  M  
2
k BT
(6.45)
M disebut fluktuasi dari M; dalam matematik disebut deviasi standar dari
distribusi M, sedangkan M  disebut variansinya.
2
6.4 Diamagnetisme Landau

Fermion bermuatan listrik seperti elektron, di dalam medan magnet B mempunyai
hamiltonian seperti
2
1  e   
Hˆ 
 p  A(r ) 
2m 
c

(6.46)


 
di mana A(r ) vektor potensial yang ditimbulkan medan, yakni B    A . Misal
kan medan itu konstan dan pada sumbu-z: B  (0,0, B) , dan misalkan pula dengan

medan itu ditimbulkan vektror potensial A  ( By ,0,0) . Andaikan partikel berada
dalam kubus bersisi a. Dengan hamiltonian dan vektor potensial di atas, maka solusi
persamaan Schrödinger adalah

 (r )  e i ( k x  k z ) f ( y )
x
z
(6.47)
Fungsi f(y) memenuhi persamaan
 2 2
1
e
2
'

(

k

By
)

 f ( y)  E f ( y)
x
2
c
 2m  y 2m

(6.48)
131
Dengan menyatakan
c 
eB
mc
(6.49)
yang tak lain adalah frekuensi siklotron, maka persamaan (6.48) dapat dituliskan
seperti
 2 2

1
2

m

(
y

y
)

 f ( y )  Ef ( y )
c
0
2
 2m  y 2

(6.50)
di mana
y0 
k x c
eB
(6.51)
Jadi, persamaan (6.50) itu adalah persamaan osilator harmonis dengan c adalah
frekuensi sudut gerak osilasi di sekitar y0.
Solusi energi dari persamaan (6.50) adalah
E 
1
k z 2  (  1/ 2)c ;   0,1,2,.....
2m
(6.52)
Terlihat, bahwa fermion memiliki tingkat-tingkat energi. Ini yang disebut tingkattingkat Landau. Dengan demikian maka fungsi partisi besar untuk keadaan-v adalah
  1  e
 ( E  )
1 e

e
 1

2
  k z  ( 1/ 2) c 
 2m

(6.53)
di mana =1/kBT. Mengingat fungsi partisi besar sistem adalah
   

maka diperoleh
 1

k z 2 ( 1/ 2) c  
 


 2m

ln    g ( ) ln 1  e e






(6.54)
132
di mana g(v) adalah rapat keadaan dari tingkat ke-v. Kerapatan itu ditentukan
sebagai berikut. Misalkan kx dikuantisasi dengan kx=2/a sehingga osilator akan
terlokalisasi di setiap y0  hc /(eBa ) . Dengan begitu maka jumlah osilator yang
bisa masuk dalam kubus adalah a / y0 . Jumlah ini merupakan rapat keadaan
g  2
Ba 2
hc / e
(6.55)
di mana faktor 2 adalah degenerasi spin.
Dari persamaan (6.54) untuk elektron-elektron yang tidak berinteraksi di
dalam medan magnet berlaku
ln   2
 1
 
k z 2  ( 1 / 2 ) c  
Ba 2 

ln 1  e  e  2 m

hc / e 

(6.56)
2
Ba 2
 h(  c (  1 / 2))
hc / e 
Misalkanlah
 1

k z 2  x  
 
a


 2m

h( x ) 
dk z ln 1  e e


2




6.57)
dengan x  (  1 / 2)c . Selanjutnya, berlaku penjumlahan Euler sebagai berikut


 0
0
1
 h(  1 / 2)   h( x)dx  24 h' (0)
(6.58)
Dengan demikian maka persamaan (6.56) menjadi
ln  

VBe
VBe  c dh(  )
h
(




x
)
dx

 ......
c
hc 0
hc 24 d
(6.59)

mV
2 2  2

1  eB 

  h( y )dy  
24  mc 

2 
 dk e 


( k / 2m )
2 2

 .....
1

Dari persamaan (6.54), magnetisasi M ditentukan dengan
133
1  ln 
 B
M 
Terlihat dalam persamaan (6.59) bahwa yang mengan medan magnet B adalah suku
kedua dan seterusnya. Untuk medan magnet yang kecil, persamaan (6.59) cukup
sampai suku kedua saja. Pada suhu T=0, integran dalam suku itu adalah 1 untuk
k  kF
dan sama dengan nol untuk lainnya. Mengingat magneton Bohr
 B  eh / 2mc dan
 2m 
g ( EF )  4 V  2 
h 
3/ 2
E1F/ 2
maka magnetisasi adalah
1
M d    B2 g ( E F ) B
3
( 6.60)
1
3
(6.61)
dan suseptibilas magnet adalah
 d    B2 g ( E F )
Dibandingkan dengan paramagnetik Pauli dalam persamaan (6.38), jelas terlihat
bahwa magnetisasi di atas adalah negatif. Zat yang magnetisasinya berlawanan
tanda dengan medan magnet (suseptibilitasnya negatif) disebut diamagnetik dan
efek di atas disebut diamagnetik Landau.
6.5 Sistem Spin berinteraksi; Model Ising 1-dimensi
Ernst Ising memodelkan N buah spin yang tersusun dalam kisi 1-, 2 -, atau 3dimensi dengan masing-masing spin bisa mengarah ke atas atau ke bawah. Dalam
model ini diandaikan ada interaksi antara dua buah spin bertetangga terdekat.
Tinjaulah model Ising dalam kisi satu-dimensi seperti Gambar 6.5. Dengan
menggunakan syarat batas bebas, energi sistem spin dalam kisi 1-dimensi adalah
N 1
U   J  si si 1
(6.62)
i
134
di mana si  1 . Harga J <0 jika kedua spin sejajar dan J >0 jika kedua spin
berlawanan arah. Dalam persamaan (6.62) interaksi hanya antara dua spin
bertetangga terdekat saja. Selain itu belum disertakan energi interaksi dengan medan
magnet luar.
Gambar 6.5 Model Ising dalam kisi satu-dimensi.
Tinjaulah sistem dengan dua spin. Ada empat keadaan mikro yang mungkin,
yakni


-J
-J


J
J
Fungsi partisi untuk sistem dua spin itu adalah
Z 2  2e J  2e  J  4 cosh J
(6.63)
di mana   1 / k BT .
Tinjaulah sistem dengan
tiga spin. Ada delapan keadaan mikro yang
mungkin, yakni





-2J
-2J
0
2J
0

0

2J

0
Fungsi partisi untuk sistem tiga spin itu adalah

Z 3  2e 2 J  2e 2 J  4  2 e J  e  J
  e 
2
J

 e  J Z 2
(6.64)
 2 cosh J  Z 2  22 cosh J 
2
Secara umum dapat dinyatakan bahwa
Z N  2(2 cosh J ) N 1
(6.65)
Energi bebas Helmholtz sistem spin adalah F  k BT ln Z N
F  kBT ln 2  ( N  1) ln(2 cosh J )
135
sehingga untuk N>>,
F   Nk BT ln(2 cosh J )
(6.66)
Entropi sistem spin yang berasal dari interaksi spin-spin adalah,
 ln 2 cosh J 
 F 
S  
 Nk B ln 2 cosh J   Nk B T

T
 T V , N
N  ln( 2 cosh J )
T

NJ
 Nk B ln 2 cosh J  
tanh J
T
 Nk B ln 2 cosh J  
atau


2 J 

S  Nk B ln e 2 J  1 
1  e 2 J 

(6.67)
Energi sistem spin yang berasal dari interaksi spin-spin adalah
U 
 ln Z N
1 Z N

  NJ tanh J

Z N 
(6.68)
dan panas jenis
C
1  U 
2
2

  k B ( J ) (sechJ )
N  T 
(6.69)
Panas jenis sebagai fungsi suhu diperlihatkan oleh Gambar 6.6. Panas jenis
maksimum tercapai pada suhu J/kBT=1,2.
0.5
0.4
C
kB
0.3
0.2
0.1
0
0
1
2
3
J/kBT
4
5
6
Gambar 6.6 Panas jenis rantai Ising sebagai fungsi suhu, tanpa medan magnet.
136
Fungsi korelasi spin-spin
Sebuah spin pada suatu tempat dapat dinyatakan berkorelasi dengan sebuah spin di
tempat lain. Korelasi itu diungkapkan dengan fungsi korelasi spin-spin G(r) di mana
r adalah jarak antara kedua spin. Jika spin-spin tidak berkorelasi maka G(r)=0. Pada
suhu tinggi, interaksi spin-spin tidak penting sehingga tanpa medan magnet spinspin itu terorientasi secara acak. Jadi, pada kBT>>J maka G(r)0 untuk suatu jarak
r. Untuk T dan B yang tetap, jika spin ke-i mengarah ke atas maka kedua spin
tetangganya memiliki peluang besar mengarah ke bawah. Jika digeser sejauh r dari
spin ke-k, peluang spin ke- k+r mengarah ke atas semakin kecil. Jadi, G(r)0 jika
r∞.
Sekarang misalkan sk adalah spin ke-k, maka fungsi korelasi didefenisikan
seperti
G (r )  sk sk  r  sk sk  r
(6.70a)
Harga sk =m=M/N pada setiap tempat, sehingga
G(r )  sk sk  r  m 2
(6.70b)
Jika r=0, maka G(r )  m 2  m 2   seperti telah dikemukakan dalam persamaan
(6.45). Pada suhu T>0, m=0 sehingga
G(r )  sk sk  r
(6.70c)
Persamaan (6.62) dapat dituliskan secara umum seperti
N 1
U   J i si si 1
(6.71)
i
dengan Ji adalah energi interaksi antara spin ke-i dan spin ke-i+1. Berdasarkan
defenisi harga rata-rata maka secara umum
sk sk  r 
1
ZN
N 1


......
s
s
exp
J i si si 1 




k k r
s1 1
s N 1
i 1


(6.72)
dengan fungsi partisi (6.65)
137
N 1
Z N  2 2 cosh J i
(6.73)
i 1
Untuk r=1 persamaan (6.72) adalah
s k s k 1 

1
ZN

s1  1
N 1



s
s
exp
 k k 1   J i si si1 
s N  1
i 1


......
N 1


1 1  


......
exp

J
s
s



i
i
i

1

Z N  J k  s1 1
s N  1 
i 1

sehingga
s k s k 1  
1 1 Z N ( J 1 ,....., J N 1 )
ZN 
J k
 tanh J
Jk J
Untuk r=2, sk sk 2  sk sk 1sk 1sk 2 dengan sk21  1
sk sk  2 
sk sk 2 

1
ZN
N 1


sk s k 1s k 1sk  2  exp  J i si si 1 
s N  1
i 1


 ...... 
s1  1
1 1
2
Z N  J k J k 1
N 1



  ......   exp  J i si si 1 
s N  1 
i 1
 s1 1

1 1  2 Z N ( J 1 ,....., J N 1 )
ZN 
J k J k 1
J k  J k 1  J
 tanh J 
2
Jadi, pada suhu T>0, fungsi korelasi spin-spin untuk model Ising 1-dimensi secara
umum berlaku
G(r )  sk sk r  tanh J 
r
(6.74)
Dengan mendefeniskan  sebagai panjang korelasi, maka fungsi korelasi
boleh dinyatakan seperti
G(r )  e  r / 
(6.75)
138
Jika dibandingkan dengan persamaan (6.74), maka untuk model Ising 1-dimensi,
panjang korelasi itu adalah

1
ln(tanh J )
(6.76)
Panjang korelasi  sebagai fungsi J/kBT diperlihatkan dalam Gambar 6.7. Terlihat
bahwa
pada
suhu
tanh J  1  2 exp(2J )
rendah,
sehingga
ln(tanh J )  2 exp(2J ) . Jadi, pada suhu rendah berlaku

1 2 J
e ;
2
J  1
(6.77)
Persamaan di atas menunjukkan bahwa panjang korelasi menjadi besar pada suhu
rendah. Panjang korelasi memberikan skala panjang untuk peluruhan korelasi antara
spi-spin.
30
25
20

15
10
5
0
0
1
2
3
J/kBT
Gambar 6.7 Panjang korelasi  sebagai fungsi J/kBT.
Pengaruh Medan Magnet
Model Ising 1-dimensi yang telah dibicarakan tidak mengandung medan magnet
luar. Persamaan (6.71) hanya memperlihatkan energi interaksi spin-spin tanpa
medan magnet. Sekarang, misalkan sistem spin ditempatkan dalam medan magnet
luar B. Dengan menggunakan syarat batas toroida energi total interaksi adalah
139
N
N
1
U   J  si si 1   B B si  si 1 
2
i 1
i 1
(6.78)
di mana sN+1=s1; lihat Gambar 7.8.
Gambar 7.8 Susunan spin dalam model Ising 1-dimensi dengan syarat batas toroida.
Fungsi partisi spin-spin adalah
Z N   ....... Ts1 ,s2 Ts2 ,s3 .......TsN ,s1
s1
s2
(6.79)
sN
~
di mana Ts,s’ adalah elemen-elemen matriks transfer T . Elemen-elemen matriks ini
adalah sebagai berikut
Tss '  e
 [ Jss' 12 B B ( s  s ')]
(6.80)
dengan T  e  ( J B B) , T   e  ( J B B) , T  T   e J sehingga matriks transfer
adalah
 ( J  B B )
e J 
~  T T    e

T

 ( J B B ) 
 T  T    e J
e

 

(6.81)
Sifat-sifat matriks transfer adalah sebagai berikut.
T~ 
2
s1 ,s3
  Ts1 ,s2 Ts2 ,s3
(6.82)
s2
T~ 
N
s1 ,sN 1
  ....... Ts1 ,s2 Ts2 ,s3 ......TsN ,sN 1
s2
s3
(6.83)
sN
Dengan sN+1=s1, maka
 T N s ,s  .......Ts ,s Ts ,s ......Ts ,s
~
1
s1
1
1
s1
s2
s3
2
2
3
N
1
 ZN
sN
140
~
Jadi, ZN adalah trace (jumlah elemen diagonal) dari matriks T N :
 
~
Z N  trace T N
(6.84)
Karena trace suatu matriks invariant terhadap representasi matriks tersebut, maka
~
matriks T boleh dituliskan seperti
~   0 

T  
0



(6.85a)
~
di mana  adalah harga eigen dari matriks T dalam persamaan (6.76). Dengan
matriks di atas maka
N
~ N   0 
T 
 0 N 
 

(6.85b)
dan
 
~
Z N  trace T N  N  N
(6.86)
Harga-harga eigen  ditentukan seperti berikut. Dari persamaan (6.81) berlaku
e  ( J  B B )  
e J
e  ( J B B )  
e J
0
dengan mana diperoleh

  e  J cosh  B B  e 2 J  e 2 J sinh 2  B B

1/ 2
(6.87)
Jelas terlihat bahwa    untuk semua harga B dan  .
Energi bebas Helmholtz per spin adalah

    N 
1
1


F (T , B)   k BT ln Z N  k BT ln   ln 1      
N
N
     



Untuk N yang besar,  /    0 , sehingga
N
141
1
F (T , B)  k BT ln 
N
1/ 2
 k BT ln e  J cosh  B B  e 2 J  e 2 J sinh 2  B B 




(6.88)
Berdasarkan M 
F
maka magnetisasi sistem spin dengan model Ising 1-dimensi
B
adalah
M  N B
sinh  B B
sinh 
2
BB
 e

(6.89)
4 J 1 / 2
Perdefenisi: M  0 untuk B  0 adalah ciri paramagnet, dan M  0 untuk B  0
adalah ciri feromagnet. Dari persamaan (6.89) terlihat M  0 untuk B  0 . Ini
menunjukkan bahwa model Ising 1-dimensi adalah paramagnet. Tetapi, pada T0,
e 4 J  0 dan M  N B yang merupakan ciri dari feromagnet. Artinya, pada T=0
model Ising 1-dimensi mengalami transisi dari keadaan paramagnet ke keadaan
ferromagnet.
1
Pada suhu rendah, J >>1 dan B B >>1, sinh B B  2 e
B B
 e
2 B B
dan magnetisasi per spin m  M / N   B untuk B  0 . Jadi, pada suhu rendah
keadaan saturasi,
m   B , bisa tercapai hanya dengan medan magnet luar yang
kecil saja.
Dinding domain dalam model Ising 1-dimensi
Gambar 6.9 adalah model Ising 1-dimensi dengan N=7, tanpa medan luar, (a)
keadaan dasar, (b) keadaan dengan sebuah dinding domain dan (c) keadaan dengan
dua buah dinding domain. Sebuah dinding domain adalah batas antara dua kelompok
spin yang arahnya berlawanan. Seperti telah dikemukakan, dua spin searah
berinteraksi dengan energi –J dan yang berlawanan arah berinteraksi dengan energi
J. Dengan syarat batas bebas, maka keadaan dasar (a) berenergi U=-6J. Keadaan (b)
yang mengandung dinding domain memiliki energi U=-4J, dan keadaan (c) dengan
142
dua buah dinding domain memiliki energi U=-2J . Dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa pembentukan suatu dinding domain memerlukan energi 2J.
(a)
U=-6J
dinding domain
(b)
U=-4J
dinding domain
(c)
U=-2J
Gambar 6.9 Model Ising 1-dimensi, (a) keadaan dasar, (b) dan (c) keadaan dengan
dinding domain.
Berdasarkan syarat batas bebas seperti pada persamaan (6.67) dan (6.68),
pada T=0 entropi S=0 dan U=-(N-1)J. Andaikan pada T>0 terjadi eksitasi dengan
pembalikan semua spin di sebelah kanan suatu garis dinding domain seperti Gambar
6.9. Energi yang diperlukan untuk menciptakan sebuah dinding domain adalah 2J.
Karena ada (N-1) buah tempat di mana bisa ditempatkan dinding domain maka
entropi meningkat dengan
S  k B ln( N  1) .
(6.90)
Dengan demikian maka peningkatan energi bebas karena pembentukan sebuah
dinding domain adalah
F  2 J  k BT ln( N  1)
(6.91)
Jelas bahwa untuk T>0 dan N, penciptaan sebuah dinding domain akan
mengurangi energi bebas. Jadi, penciptaan lebih banyak dinding domain sampai
spin-spin menjadi acak secara bebas mengakibatkan magnetisasi menjadi nol.
Kesimpulannya adalah, M=0 untuk T>0 pada N.
143
6.6 Model Ising 2-Dimensi
Suatu contoh model Ising dua-dimensi diperlihatkan dalam Gambar 6.10.
Gambar 6.10 Contoh dinding domain dalam model Ising 2-dimensi.
Total magnetisasi sebanding dengan luas daerah dengan domain positif
dikurang daerah dengan domain negatif. Pada T=0 seluruh spin berarah sama,
misalnya potif, sehingga tidak ada garis-garis batas. Pada T>0, ada cukup energi
untuk menciptakan garis-garis batas dan memunculkan domain negatif. Jika panjang
garis batas suatu domain negatif adalah b maka energi untuk membentuknya adalah
2Jb. Oleh sebab itu, probabilitas adanya suatu domain negatif adalah exp(-2Jb).
Dengan demikian maka daerah-daerah negatif yang luasnya besar tidak terjadi pada
suhu rendah, sehingga kebanyakan spin tetap positif dan magnetisasi tetap positif.
Oleh sebab itu M>0 untuk T>0, sehingga sistem adalah ferromagnetik. Magnetisasi
M akan menjadi nol pada suatu suhu kritis Tc>0.
Lars Onsager (1944) melakukan perhitungan secara eksak untuk model Ising
2-dimensi dari kisi berbentuk persegi tanpa medan magnet luar (B=0). Dengan
menggunakan interaksi berjangkauan pendek, perhitungan itu memperlihatkan suatu
transisi fasa. Hasil-hasil perhitungan itu adalah sebagai berikut.
2J
1
k B Tc
(6.92)
k BTc
1

 2,269
J
ln(1  2 )
(6.93)
sinh
atau
144
Solusi eksak energy U adalah
sinh 2 2J  1  2

U  2 NJ tanh 2J  NJ
K1 ( )  1

sinh 2J cosh 2J  

(6.94)
dengan
K1 ( ) 
 /2

0
d
(6.95)
1   2 sin 2 
adalah integral elliptik lengkap jenis pertama di mana
 2
sinh 2J
(cosh 2J ) 2
(6.96)
1.2
1
0.8
 0.6
0.4
0.2
0
0
1
J
2
3
Gambar 6.11 Parameter  sebagai fungsi J; =1/kBT.
Gambar 6.11 memperlihatkan parameter  sebagai fungsi J. Terlihat bahwa
harga maksimum =1 adalah pada J =0,44 atau T=Tc=2,269J/kB seperti persamaan
(6.89). Harga =0 terjadi pada suhu rendah dan suhu tinggi
Suku pertama dari energi dalam persamaan (6.94) sama dengan dua kali
energi untuk model Ising 1-dimensi dalam persamaan (6.68). Suku kedua dalam
persamaan itu sama dengan nol pada suhu rendah dan suhu tinggi karena
K1 (0)   / 2 .
Pada T=Tc
atau
=1
suku
kedua
itu juga
nol
karena
sinh(2 J / k BTc )  1 . Tetapi, K1() mempunyai singularitas logaritmik di T=Tc di
mana =1, sehingga keseluruhan suku kedua itu berkelakuan sepeperti
145
(T  Tc ) ln T  Tc di dekat Tc. Jadi, energy U(T) adalah kontinu di T=Tc dan di semua
suhu lainnya.
Kapasitas panas yang diturunkan dengan C (T ) 
C (T )  Nk B
4

U
adalah
T
J coth 2J 2 K1 ( )  E1 ( )
 (1  tanh 2 2J )( 1 2   (2 tanh 2 2J  1) K1 ( ))
(6.97)
di mana
E1 ( ) 
 /2

d 1   2 sin 2 
(6.98)
0
adalah integral eliptik lengkap jenis kedua. Pada suhu dekat Tc, kapasitas panas itu
adalah
2
2  2J 
T
 ln 1   konstanta
C   Nk B 
  k BTc 
Tc
(6.99)
Terlihat bahwa kapasitas panas secara logaritma divergen pada pada T=Tc, yakni
 T
C ~ ln 1  
 Tc 
(6.100)
T=TC dikaitkan dengan transisi fasa. Untuk itu perlu diketahui apakah pada
suhu itu ada magnetisasi spontan, yakni pada T>0 apakah M0 untuk B=0. Tetapi
solusi Onsager terbatas pada medan magnet B=0. Untuk menentukan magnetisasi
spontan harus digunakan rumusan
F
untuk B terbatas, lalu dibuatlah B=0.
B
Sayangnya tidak diketahui solusi eksak dari model Ising 2-dimensi sebagai fungsi
medan magnet B.
Menurut Yang (1952) magnetisasi untuk T<TC dan suseptibilitas untuk B=0,
solusi eksak untuk magnetisasi per spin adalah
146


 1  [sinh 2J ]4
m(T )   B

0

1/ 8
T  TC
(6.101)
T  TC
Magnetisasi per spin sebagai fungsi suhu diperlihatkan dalam Gambar 6.12.
m
TC
T
Gambar 6.12 Magnetisasi per spin sebagai fungsi suhu.
Terlihat bahwa pada suhu dekat dengan TC magnetisasi m   B 1  T / TC 1 / 8 ; harga
ini dikaitkan dengan keadaan teratur (order). Pada suhu T>TC, m=0, dikaitkan dengan
keadaan disorder. Suseptibilitas pada B=0, ketika TTC adalah
T
 ~ 1
TC
7 / 4
(6.102)
6.7 Teori Mean-Field
Di atas telah dikemukakan bahwa solusi eksak model Ising 2-dimensi terbatas pada
medan magnet luar B=0. Untuk mengatasi hal tersebut berkembanglah teori meanfield atau teori medan molekuler dari Weiss. Dalam bentuknya yang paling
sederhana, diasumsikan bahwa setiap spin berinteraksi dengan medan magnet efektif
yang sama,
q
Bef  J  s j  B
(6.103)
j 1
147
Untuk suatu spin, sebutlah spin ke- i, somasi dijalankan pada q buah spin
tetangganya. Karena orientasi spin-spin tetangga itu bergantung pada orientasi spin
ke-i, maka Bef berfluktuasi dari harga rata-ratanya
q
Bef  J  s j  B  qJm  B
(6.104)
j 1
di mana s j  m untuk semua j. Tetapi, dalam aproksimasi mean-field, deviasi Bef
dari Bef
di abaikan sehingga setiap spin dipandang memperoleh medan Bef .
Dengan asumsi dan aproksimasi tersebut, maka fungsi partisi sebuah spin adalah
Z1 
e
 s1Bef
 2 cosh(qJm  B)
(6.105)
s1 1
Dengan fungsi partisi di atas, maka energy bebas Helmholtz sebuah spin adalah
F1  
1

ln Z1  k BT ln[ 2 cosh(qJm  B)]
(6.106)
sehingga magnetisasi per spin adalah
m
F1
 tanh [  (qJm  B)]
B
(6.107)
Persamaan di atas adalah self-consistent yang solusinya m.
Gambar 6.17 memperlihatkan harga m pada B=0 masing-masing dengan
qJ  0,5; 1; 1,5; dan 2. Perpotongan kurva magnetisasi dengan garis diagonal pada
qJ  1 di mana m0 adalah keadaan stabil, sedangkan m=0 untuk semua harga
qJ adalah keadaan yang tak-stabil. Dari Gambar 6.17 terlihat bahwa solusi
m  tanh (qJm)  0 hanya jika qJ  1 . Jadi, suhu kritis TC adalah pada qJ  1
atau
TC 
Jq
kB
(6.108)
Jelas bahwa untuk qJ  1 atau T<TC magnetisasi m0, tetapi dengan qJ  1 atau
T>TC magnetisasi m=0.
148
2
tanh(Jqm)
Jq=2
1.5
1.5
stabil
1
1
0.5
0.5
m
0
2
-1.5
-1
-0.5
0
-0.5
0.5
1
1.5
m
2
tak-stabil
-1
stabil
-1.5
-2
Gambar 6.17 Harga magnetisasi m pada medan magnet B=0 untuk qJ  0,5; 1; 1,5; 2.
Di dekat TC magnetisasi sangat kecil sehingga persamaan (6.107) dapat
diekspansi menjadi
m  Jqm 
1
Jqm 3  ..........
3
(6.109)
Persamaan ini mempunyai dua solusi, yakni
m0
(6.110a)
dan
m
3
( Jq  1)1 / 2
3/ 2
( Jq )
(6.110b)
Solusi pertama, m=0 berkaitan dengan suhu tinggi, di mana sistem spin berada pada
keadaan paramagnet tak teratur (disorder), sedangkan solusi kedua berkaitan dengan
suhu rendah di mana sistem spin berada pada keadaan ferromagnetik teratur (order).
Solusi mana yang benar ditentukan oleh energi bebas Helmholtz paling kecil.
149
Mengingat kBTC  Jq dalam persamaan (6.108) maka persamaan (6.110b)
dapat dituliskan seperti
1/ 2
m(T )  3
1/ 2
T  TC  T 


TC  TC 
(6.111)
Jelas terlihat bahwa jika suhu T digeser dari bawah menuju TC , magnetisasi m
menuju nol. Magnetisasi m disebut sebagai parameter order dari sistem spin, karena
m0 menunjukkan keadaan order sedangkan m=0 menunjukkan keadaan disorder
dari sistem spin.
Suseptibilitas per spin pada B=0 di sekitar suhu TC adalah
m
 (1  tanh 2 Jqm)
  lim

B  0 B
1  Jq (1  tanh 2 Jqm)
(6.112)
Terlihat, untuk suhu yang tinggi, J0, suseptibilitas per spin menuju hukum Curie (lihat
persamaan 6.13)) untuk spin-spin tak berinteraksi. Untuk T sedikit di atas TC berlaku
~
T
T  TC
(6.113)
Inilah yang disebut hukum Curie-Weiss.
Magnetisasi pada suhu TC sebagai fungsi medan magnet luar B bisa
ditentukan dengan mengekspansi persamaan (6.107) seperti
3
B
1
B 
  ......
m  m
  m 
k BT 3 
k BT 
(6.114)
Untuk m dan B sangat kecil, bisa diasumsikan B/kBT<<m sehingga diperoleh

B
m   3
 k BTC
1/ 3



; T  TC .
(6.115)
Energi per spin dalam aproksimasi mean-field merupakan nilai rata-rata
dibagi dua untuk menghindari penghitungan dua kali. Energi itu adalah
150
1
2
E   Jqtanh( ( Jqm  B))
2
(6.116)
1
  Jqm 2
2
Karena m=0 pada T>TC maka energi dan kapasitas panas sama dengan nol untuk
semua suhu T>TC. Pada suhu TTC kapasitas panas C3kB/2. Ini menunjukkan
adanya lompatan kapasitas panas pada T=TC.
6.8 Teori Landau Tentang Transisi Fasa
Telah dikemukakan bahwa ide teori mean-field adalah pengabaian korelasi antara
spin-spin. Untuk model Ising dapat dituliskan spin di titik kisi r sebagai


m(r )  m   (r ) dan interaksi bisa dinyatakan seperti




m(r )m(r ' )  m   (r )m   (r ' )


 
 m 2  m (r )   (r ' )   (r ) (r ' )
(6.117)

Jika disumsikan  (r )  m, suku terakhir bisa diabaikan sehingga




m(r )m(r ' )  m   (r )m   (r ' )


 m 2  m (r )   (r ' )


 m 2  mm(r )  m(r ' )  2m'


 mm(r )  m(r ' )  m 2
(6.118)
Dengan pendekatan itu, total energi adalah



U   J  m( r ) m( r ' )   B B  m( r )
 
r,r '

r




  J  m[m(r )  m(r ' )]  m 2   B B  m(r )
 
r,r'


r
(6.119)

1
NJm 2  Jm   B B  m(r )

2
r
Dengan itu maka fungsi partisi adalah
151
Z
1
 NJm2
e 2
2 cosh  ( Jm   B B)N
(6.120)
Dan energy bebas untuk suatu harga m tertentu adalah
F  k BT ln Z

1
NJm 2  N ln cosh  ( JM   B B)
2
(6.121)
Dalam keadaan setimbang energy bebas itu minimum untuk harga T dan B tertentu.
Dengan demikian maka harga m bisa diperoleh dengan meminimumkan F. Hasilnya
adalah
m   B tanh  ( Jm   B B)
(6.122)
Landau menyadari bahwa ungkapan kualitatif dari teori mean-field bisa
disederhana- kan melalui rumusan energi bebas. Karena m sangat kecil di suhu
kritis, beralasan untuk mengasumsikan kerapatan energi bebas f=F/V bisa dituliskan
seperti
1
1
f (m, T )  a  bm 2  cm 4  Bm
2
4
(6.123)
di mana a, b, c bergantung pada T. Asumsi untuk persamaan (6.123) di atas adalah
bahwa f bisa diekspansi dengan deret ukur dalam m di sekitar m=0 dekat dengan
suhu kritis. Seperti teori mean-field, meskipun asumsinya kurang tepat, namun teori
Landau ini secara umum sangat berguna. mUntuk model Ising, Landau
mengasumsikan bahwa f(m) simetris terhadap m=0, sehingga m3 dilupakan. Besaran
m disebut parameter order karena harganya nol jika T>TC tidak sama dengan nol
jika T<TC. Jadi, m itu mengkarakterisasikan sifat transisi.
Harga setimbang dari m adalah harga yang meminimumkan energi bebas.
Dalam Gambar 6.18 diperlihatkan dua buah kurva f sebagai fungsi m dengan a=1.
Kurva pertama dengan b=c=2, sedangkan yang kedua –b=c=2. Terlihat, jika b>0 dan
152
c>0, harga minimum f di m=0. Tetapi jika b<0 dan c>0, harga minimum f di m0.
Untuk B=0,
f
 bm  cm 3  0
m
(6.124)
Jika diasumsikan b  b0 (T  TC ) dan c>0, maka dari persamaan (6.122) diperoleh
m
b0
TC  T 
c
(6.125)
f
14
12
b=c=2
10
8
6
4
-b=c=2
2
0
0
0.5
1
1.5
2
2.5
m
Gambar 6.18 Kerapatan energy bebas f sebagai fungsi m.
Dari kerapatan energy bebas f entropi adalah
s
f
a 1 b 2 b (m 2 ) c (m 4 )


m 

T
T 2 T
2 T
4 T
(6.126)
Selanjutnya, panas jenis adalah
s
 2a
b (m 2 ) cT  2 (m 4 )
C T
 T
T

T
T T
4 T 2
T 2
(6.127)
153
di mana  2 b / T 2  0 , dan telah diasumsikan c tidak bergantung pada T. Karena
m=0 untuk T>TC maka C  T
 2a
untuk TTC dari atas. Untuk TTC dari
T 2
2
 2 (m 2 )
 (m 2 ) b0 b
b 
bawah, diperoleh
 2 0  . Jadi, diperoleh
 b0 dan
 ,
2
T
c T
T
 c 

 2a

T


T 2
C
2
2
T  a  T b0
 T 2
2c
T  TC dari atas
(6.128)
T  TC dari bawah
Terlihat bahwa parameter order m dan panas jenis C memi;liki ke;lakuan yang sama
didekat TC seperti yang telah diperoleh sebelumnya dengan teori mean-field dari
model Ising.
154
Soal-soal
1. Tentukanlah perbandingan jumlah elektron yang memiliki spin paralel dan
antiparalel terhadap medan magnet sebagai fungsi suhu. Lakukanlah pada T=10,
300 dan 1000 K. Ingat, momen magnet spin suatu elektron:


M S  2 B S ,
di mana B adalah magneton Bohr elektron
.
2. (a) Tunjukkan bahwa fungsi partisi suatu gas elektron dalam suatu medan
magnet B adalah
Z= 2 cosh(µBB/kBT),
di mana µB adalah magneton Bohr.
(b) Hitunglah energi magnetik suatu elektron gas dalam medan magnet, lalu
tunjukkan bahwa paramagnetisme elektron-elektron bebas berkaitan dengan
magnetisasi
M=nµB tanh(µBB/kBT),
n adalah jumlah elektron per satuan volume.
3. Momen magnetik atom-atom (juga molekul) yang memiliki momentum sudut J


adalah M J   B gJ .
(a) Temukanlah suatu rumusan yang memberikan jumlah atom-atom dengan
nilai Jz=mħ, jika atom-atom ditempatkan dalam medan magnet B yang sejajar
sumbu-z.
(b) Tunjukkan bahwa fungsi partisi sistem itu adalah:
Z
sinh[(j  12) μ B gB / kT ]
sinh(12 μ B gB / kT ) .
(c) Buktikan bahwa untuk j=1/2, fungsi partisi itu berubah menjadi fungsi partisi
untuk elektron.
4.
Tinjaulah sistem dengan empat spin dari suatu rantai Ising 1-dimensi.
Tentukanlah keadaan-keadaan mikronya, lalu buktikan bahwa fungsi partisinya
adalah
155
Z 4  2(2 cosh J ) 3
5. Tunjukkan bahwa untuk harga J terbatas, fungsi korelasi spin-spin G(r) akan
meluruh jika r membesar.
6. Tunjukkanlah bahwa energi konfigurasi suatu rantai Ising 1-dimensi dengan satu
domain tidak bergantung pada jumlah spin dalam domain.
7. Tentukanlah m(T) dari solusinumeriknya persamaan (6.107) untuk B=1, dan
abndingkanlah hasilnya dengan solusi eksak dari persamaan (6.89).
156
7
STATISTIK BOSE-EINSTEIN
Dalam Bab 5 telah dikemukakan bahwa partikel-partikel yang memiliki spin 0, 1,
2,..... tidak mengikuti prinsip eksklusi Pauli. Jumlah partikel yang bisa menempati
suatu fungsi keadaan tidak terbatas: 0, 1, 2, 3,….. Oleh sebab itu fungsi keadaannya,
bersifat simetrik terhadap pertukaran partikel. Statistik untuk itu disebut BoseEinstein, dan partikel disebut boson. Partikel-partikel yang termasuk boson memiliki
spin bulat: 0, 1, 2,..... Contohnya fonon dan foton, demikian juga inti 4He berspin 0.
Dalam Bab 5 sudah dikemukakan bahwa sistem partikel kuantum dapat dipandang
sebagai ensembel kanonik besar.
7.1 Distribusi Bose-Einstein
Dalam persamaan (2.47) dan (2.51), fungsi partisi besar sistem partikel adalah
   e   ( Ei  ) ni   i
i
(7.1)
i
dengan
 i   e   ( Ei  ) ni
(7.2)
ni
adalah fungsi partisi besar keadaan mikro ke-i dan =1/kBT.
Karena ni=0, 1, 2, ..... untuk boson, maka fungsi partisi besar untuk keadaan
mikro -i adalah
i   e
  ( Ei   ) ni
ni
 1  e  ( Ei  )  e 2  ( Ei  )  e 3 ( Ei  )  .......

(7.3)
1
1 e
  ( Ei   )
Dengan fungsi partisi besar di atas, potensial kanonik besar pada keadaan mikro ke-i
adalah
157


1
 i  k BT ln  i  k BT ln 
 ( E  ) 
i
1  e

(7.4)
dan potensial kanonik besar adalah
  k BT ln   k BT  ln  i
i


1
  k BT  ln 
 ( E  ) 
i
i
1  e

 k BT  ln 1  e

i
(7.5)
 ( E  ) 
i

Berdasarkan rumusan jumlah partikel
n( Ei )   i /  , maka dari
persamaan (7.4) jumlah partikel pada keadaan mikro ke-i adalah
n ( Ei )  k B T
1  i
 i 
1

e
 ( E  )
i
(7.6)
1
Persamaan (7.6) di atas disebut distribusi Bose-Einstein. Persamaan yang sama
dikenal sebagai bilangan okupasi Bose yang merupakan jumlah boson berenergi
Ei pada suhu T. Distribusi itu konvergen hanya jika (Ei-µ)>0 untuk semua keadaani. Andaikan E0=0 maka distribusi itu mempunyai makna jika potensial kimiawi
  0.
(7.7)
Dengan demikian maka nilai z=eµ adalah 0<z<1.
Dalam Gambar 7.1 diperlihatkan kurva bilangan okupasi n sebagai fungsi
(E-). Untuk E> maka exp[(E-)]=1, dan n→; artinya keadaan E> harus
selalu dipenuhi.
158
n(E)
FD
1
BE
(E-)
0
Gambar 7.1 Bilangan okupasi sebagai fungsi (E-) untuk Bose-Einstein (BE) dan
Fermi-Dirac (FD).
7.2 Radiasi Planck
Dalam fisika benda hitam dikemukakan bahwa atom-atom di dalam dinding benda
itu mampu menyerap radiasi dan mengemisikannya kembali secara sempurna.
Penyerapan dan pengemisian radiasi berlangsung secara kontinu hingga tercapai
keadaan setimbang. Dalam keadaan setimbang, laju penyerapan sama dengan laju
pengemisisan. Spektrum emisi itu diungkapkan dengan intensitas sebagai fungsi
panjang gelombang. Ternyata kebergantungan intensitas terhadap panjang
gelombang bergantung pada suhu dinding.
Dalam interaksinya dengan material, radiasi dipandang sebagai partikel yang
disebut foton; momentumnya dirumuskan seperti h/ dan energi hv, di mana  dan v
masing-masing adalah panjang gelombang dan frekuensi radiasi tersebut. Radiasi
benda hitam dapat diasumsikan sebagai gas foton. Antar foton tidak ada interaksi,
interaksi hanya dengan atom dinding saja.
Masalahnya adalah, jumlah foton tidak konstan, karena foton-foton itu bisa
diserap dan diemisikan oleh atom-atom dalam dinding. Oleh sebab itu syarat
 dn
i
 0 tidak terpakai; artinya parametr  tidaklah penting, sehingga untuk foton
i
=0 dan distribusi Bose-Einstein untuk kasus ini menjadi
n( E k ) 
1
e
hv / k BT
1
.
(7.8)
Selain itu, karena spektrumnya kontinu, maka benda hitam berukuran jauh
lebih besar dari pada panjang gelombang rata-rata radiasi, maka rumusan itu berubah
menjadi
159
dn 
g ( E )dE
e hv / kT  1
(7.9)
di mana,
g ( E )dE 
4V (2m 3 )1 / 2 1 / 2
E dE .
h3
Dari segi momentum, E=p2/2m, g(p)=g(E)dE/dp,
g ( p)  g ( E )
dE
dp
1/ 2
4V (2m 3 )1 / 2  p 2 



2
m
h3


p 4V 2
 3 p
m
h
(7.10a)
Selanjutnya, dengan p=h/=hv/c, maka g(v)=g(p)dp/dv. Jadi
4V  hv  h 4V 2
 3 v
 
h3  c  c
c
2
g ( ) 
(7.10b)
Dengan demikian maka
dn 
8V
v2
dv
c 3 e hv / kT  1
(7.11)
di mana faktor 2 telah dimasukkan mengingat foton sebagai gelombang menjalar
secara transversal.
Distribusi kerapatan energi foton dalam selang frekuensi dv, yakni energi
yang berkaitan dengan dn buah foton persatuan volume adalah
 (v)dv 
hv
dn
V
(7.12)
Jadi, kerapatan energi foton adalah
 (v ) 
8 hv 3 
1
1
 8 h 

 hv / kT
  3  hc / kT

3
c e
1    e
1 
(7.13)
160
Apa yang telah dilakukan di atas merupakan penurunan persamaan radiasi benda
hitam, yang telah dikemukakan Planck sebelumnya.
Dalam Gambar 7.2
diperlihatkan kurva  ( ) pada berbagai suhu.
T3

T2
T1

Gambar 7.2 Spektrum radiasi benda hitam pada suhu T1<T2<T3.
Energi total per satuan volume adalah


U
8 hv 3 
1

   (v)dv  
 hv / kBT
 dv
3
V 0
c
e

1


0
4
4
 3 3 k BT   T 4
ch
(7.14)
di mana

4 4
kB
c3h3
(7.15)
dikenal sebagai konstanta Stefan-Boltzmann.
7.3 Gas Ideal Boson
Suhu Rendah
Energi suatu partikel gas ideal boson adalah energi kinetik (translasi) saja, yakni
E   2 k 2 / 2m . Kerapatan keadaan gas boson adalah sama dengan gas ideal
161
 2m 
g ( E )  2V  2 
h 
3/ 2
E1/ 2
Jumlah partikel boson
N   ni ( Ei )  
i
i
1
e
 ( Ei  )
1
.
Karena tingkat-tingkat energinya kontinu maka
N   n( E ) g ( E )dE
(7.16)


0
g (E)
e
dE
1
 ( E  )
Jelas bahwa jumlah partikel boson dalam volume V bergantung pada potensial
kimiawi µ dan suhu T: N=N(µ,T). Dalam kebanyakan eksperimen, N itu tetap, dan
analisa dilakukan dengan menggunakan ensembel kanonik besar. Karena N tetap
maka potensial kimiawi harus bergantung pada suhu: µ=µ(T).
Jumlah partikel dalam persamaan (7.16),
 2m 
N  2V  2 
h 
3/ 2 
E1/ 2
 e  ( E  )  1dE
0
(7.17a)
 2m 
 2V  2 
h 
3/ 2 
x1 / 2
 z 1e x  1dx
0
Nyatakanlah
N
V
3
q 3 ( z)
(7.17b)
2
di mana

1
x n1
qn ( z ) 
dx
(n) 0 z 1e x  1
(7.18)
disebut fungsi polilogaritma.
162
Sekarang, jika T0, µ0 atau z1, q 3 ( z ) ditentukan sebagai berikut.
2


1
x n1
1
ze x x n1
qn ( z ) 
dx

dx
(n) 0 z 1e x  1
(n) 0 1  ze x
Nyatakanlah

1

z m e mx

x
1  ze
m
sehingga


z
 x n 1
qn ( z) 
dxe x  z m e mx

 ( n) 0
m 0


1  m
 z dx e mx x n1
(n) m1 0

1  zm

du e u u n 1

n 
(n) m1 m 0

di mana u=mx. Ingat bahwa defenisi fungsi gamma adalah  du e u u n1  (n) . Jadi,
0

zm
qn ( z )   n
m1 m
Untuk z=1
qn (1)   (n)
(7.19)
adalah fungsi zeta dari Riemann. Untuk n=3/2, q3 / 2 (1)   (3 / 2)  2,612 . Dengan
demikian maka persamaan (7.17b) menjadi
 2mkBTC 
N   (3 / 2) 3  2,612V 


h2


V
3/ 2
 N eks.max
(7.20)
di mana TC adalah suhu kritis di mana z=1 (maksimum) atau potensial kimiawi µ=0
163
(maksimum). Jumlah partikel N dalam persamaan (7.20) adalah sama dengan jumlah
maksimum partikel tereksitasi, N eks.max . Suhu kritis itu dapat dinyatakan seperti
h2  N

TC 
2mk B  2,612V
Sebagai gambaran tentang suhu TC,



2/3
(7.21)
misalkan volume 1cm3 berisi 1023 atom
hidrogen yang massanya 1,710-27 kg. Dengan persamaan (7.21) diperoleh TC=7K.
Untuk atom yang massanya dua kali lebih besar, suhu kritis itu 3,5K.
Untuk suhu 0TTC potensial kimiawi µ=0. Jika suhu dinaikkan, T>TC,
jumlah partikel tereksitasi tidak bertambah karena µ<0. Pada suhu T<TC jumlah
partikel tereksitasi adalah
N eks
T
 N 
 TC



3/ 2
; T  TC
(7.22)
Partikel-partikel boson yang tidak tereksitasi berada pada keadaan dasar E=0. Sesuai
dengan persamaan (7.5) jumlah partikel itu adalah
N 0  n(0) 
1
e
 
z
1 1  z

(7.23)
dengan z  e  . Jika T→0, µ=0, z→1 maka n(0)N. Artinya, pada suhu T<TC ,
jumlah partikel pada keadaan dasar adalah
 T
N 0  N  N eks  N 1  
  TC



3/ 2 
; T  TC

(7.24)
Persamaan (7.24) menunjukkan bahwa jika suhu diturunkan mulai dari TC, partikel
boson mulai terkondensasi di keadaan dasar, dan jumlah partikel di keadaan dasar
itu terus bertambah jika T0K. Ketika semua atau hampir semua partikel
bertumpuk di keadaan dasar, maka keseluruhan partikel itu berbagi fungsi keadaan
dasar dan oleh sebab itu berkelakuan sebagai suatu partikel tunggal. Inilah yang
disebut kondensasi Bose-Einstein. Peristiwa kondensasi itu merupakan gejala
kuantum makroskopik.
164
Suhu Tinggi
Tinjaulah gas boson pada suhu tinggi, z=eµ<<1. Dari persamaan (7.16) jumlah
partikel
 2m 
N  2V  2 
h 
3/ 2 
 2m 
 e  ( E  )  1dE  2V  h 2 
0
E 1/ 2
E 1/ 2 e   ( E  )
 1  e  ( E ) dE
0
3/ 2 
Misalkan x=E maka
 2m 
N  2V  2 
h 
3/ 2
z
 3/ 2

x1/ 2 e  x
 1  ze x dx
0
Karena z  e   1 , maka dapat dilakukan ekspansi
 2m 
N  2V  2 
h 
 2m 
 2V  2 
h 
3/ 2

z

3/ 2
3/ 2
1/ 2  x
e
(1  ze  x  .........) dx
2 u 2
(1  zeu  .........) du
0

z

x
 2u e
3/ 2
2
0
dengan x=u2. Tampak bahwa integral di atas adalah integral Gauss, di mana

u
2 n u 2 / a
e
0
(2n  1)!  a 
du  
 
n!  2 
2 n1
Akhirnya diperoleh
N V
z 
z

 .........
1 
3
  2 2

(7.25)
dengan
1/ 2
  h2 

  
2

m


1/ 2
 h2 

 
2

mk
T
B 

adalah panjang gelombang termal partikel boson.
165
Persamaan (7.25) merupakan ekspansi yang dapat dilakukan karena
N3 / V  1; artinya, jarak antar partikel jauh lebih kecil dari pada panjang
gelombang termal. Hal itu terpenuhi pada suhu tinggi atau z=eµ<<1. Ketika T
atau 0 apakah z1? Itu tidak terjadi, karena N konstan. Maka µ harus
bergantung suhu, seperti telah dikemukakan dalam penjelasan bagi persamaan
(7.16). Jadi, pada peningkatan suhu T, µ-∞ lebih cepat daripada 0.
Energi gas ideal boson adalah
U   n( E ) E g ( E )dE
(7.26)


0
Eg ( E )
dE
e  ( E  )  1
merupakan energi gas boson sebagai fungsi suhu dan potensial kimiawi. sedangkan
tekanan gas boson
1
pV 

ln 


g ( E ) ln 1  e

1
 ( E  )
 dE
0
 2m 
Mengingat g ( E )  2V  2 
h 
3/ 2
E1/ 2 , maka integral parsil akan menghasilkan

pV 
2
E g (E)
2
dE  U

 ( E  )
30e
3
1
(7.27)
Persamaan di atas secara implicit merupakan persamaan gas boson.
Sehubungan dengan energi, dari persamaan (7.26)

U
0
 2m 
dE  2V  2 
1
h 
Eg ( E )
e  ( E  )
 2m 
 2V  2 
h 
3/ 2
z
 5/ 2
3/ 2 
E 3/ 2
 e  ( E  )  1dE
0

x3/ 2ex
 1  ze  x dx
0
166
atau
 2m 
U  2V  2 
h 
3/ 2
z

5/ 2

x
3/ 2 x
e (1  ze  x  ......) dx
(7.28)
0
dengan x=βE. Ekspansi boleh dilakukan karena z  e   1 . Selanjutnya, dengan
menggunakan integral Gauss diperoleh
U
V 3z 
z

 ........
1 
3
 2  4 2

(7.29)
Mengingat z<<1 pada suhu tinggi dan N3 / V  1 , maka dapat dilakukan
pendekatan,
3 N 

1 3 N

z
1


...

V  2 2 V

Substitusi ke persamaan (7.29) akan menghasilkan
U


3
1 3 N
Nk BT 1 
 .......
2
 4 2 V

(7.30)
Tampak bahwa energi itu sama dengan energi gas ideal klassik pada suhu yang
tinggi, yakni U 
3
Nk BT . Berdasarkan persamaan (7.27), tekanan adalah
2


1 3 N
pV  Nk BT 1 
 .......
 4 2 V

(7.31)
Sudah disadari bahwa nilai potensial kimiawi untuk suhu 0TTC adalah
µ=0. Bagaimana jika suhu T>TC? Dalam persamaan (7.20) N eks,max adalah hasil
integral dalam persamaan (7.24a) di mana µ=0. Selisih antara N eks,max dan N adalah

1
 1

N eks,max  N    E
  ( E  )  g ( E )dE
1 e
 1
0 e
Persamaan di atas dapat dituliskan menjadi
167
 2m 
N eks ,max  N  2V  2 
h 
3/ 2
e
 

 e
1 
E
0
e E E 1 / 2
dE
 1 e  ( E  )  1


Karena µ cukup kecil maka integral itu didominasi oleh E yang kecil, sehingga
fungsi-fungsi eksponensial di atas dapat dilinierisasi. Dengan pendekatan itu maka
 2m 
N eks,max  N  2V  2 
h 
3/ 2

  
0
E
1/ 2
1
dE
(E   )
Misalkan E=x2 maka


 x
1
dx
2
1 
dE

2

tan
 E 1/ 2 ( E   )
 x2    
 

0
0


  


0
Jadi,
 2m 
N eks,max  N  2 V  2 
h 
3/ 2
k BT  
2
sehingga diperoleh
 N eks,max  N 



V
32 4 m 3 

h6
2
 1 


k
T
 B 
2
(7.32)
2
  T 3 / 2  
1 
C

2.6211      k BT ;
4 
T
    

T  TC
Dalam Gambar 7.3(a) diperlihatkan µ sebagai fungsi T dan dalam Gambar 7.3(b) N0
dan Neks sebagai fungsi T.
Jika jumlah partikel N lebih besar dari pada jumlah maksimum partikel
terseksitasi Neks,maks,
maka tidak ada tingkat eksitasi lebih yang bisa ditempati
partikel. Hal itu menyebabkan jumlah partikel tersisa (N-Neks,maks) akan menempati
keadaan dasar. Jumlah partikel tersisa yang menempati keadaan dasar merefleksikan
hilangnya potensial kimia, dan penambahan suatu partikel tidak akan menambah
energi sistem. Gas boson di keadaan seperti itu disebut gas Bose yang berdegenerasi.
168
0
(a)
1
T/TC

1
N eks
N
(b)
N0
N
0
1
T/TC
Gamar 7.3 (a) Kurva µ sebagai fungsi T, dan (b) jumlah partikel boson di keadaan
dasar dan keadaan tereksitasi sebagai fungsi T.
Energi total partikel boson untuk suhu tinggi T>TC diperoleh dari persamaan
(7.29). Energi total pada T<TC adalah
 2m 
U  2V  2 
h 
3/ 2 
 e
E1/ 2
( E  )
0
V 1
dE  3  (5 / 2)
1
 
Berdasarkan persamaan (7.19), V / 3  N eks / 2,612 , sedangkan  (5 / 2) =2,011,
maka
T
U  0,77 N eksk BT  077 Nk BT 
 TC
T
 0,77nRT 
 TC






3/ 2
3/ 2
(7.33)
; T  TC
Kalor jenis molar adalah
T
1  U 
CV  
  1,952 R
n  T V
 TC



3/ 2
; T  TC
(7.34)
169
Gambar 7.4 memperlihatkan kapasitas kalor molar sebagai fungsi suhu. Terlihat
bahwa sebagai akibat dari sifat potensial kimiawi µ, terjadi transisi kalor jenis molar
CV di T=TC. Pada T yang tinggi sekali CV menuju ke harga gas ideal klassik.
CV
Gas ideal klassik
3/2 R
0
1
T/TC
Gambar 7.4 Kalor jenis molar gas boson ideal.
Ramalan tentang kondensasi Bose-Einstein dikemukakan pada tahun 1924.
Tetapi ramalan itu baru menjadi kenyataan pada tahun 1955, ketika E. Cornell dan
C. Wieman berhasil mendemonstrasikan fenomena itu dengan gas atom 87Rb.
7.4 Kapasitas zat padat
Zat padat adalah sistem dari sejumlah besar atom atau molekul yang posisinya
masing-masing dalam keadaan setimbang karena gaya-gaya kohesi yang kuat hasil
dari interaksi listrik. Gerakan yang ada adalah gerak individu dalam bentuk vibrasi
kecil di sekitar kedudukan setimbangnya. Karena gaya kohesi yang kuat, vibrasi satu
atom berdampak terhadap atom tetangganya. Oleh sebab itu vibrasi berlangsung
secara kolektif. Vibrasi kolektif itu membentuk gelombang berdiri dalam zat padat;
frekuensinya membentuk spektrum diskrit dengan spasi yang sangat kecil sehingga
dapat dipandang kontinu. Karena vibrasi itu berkaitan dengan sifat elastik bahan,
maka
gelombangnya menjalar dengan kecepatan bunyi. Gelombang demikian
dinyatakan sebagai partikel yang disebut fonon.
Dua bentuk penjalaran gelombang elastik dalam zat padat adalah
longitudinal dan transversal. Misalkan kecepatannya masing-masing vl dan vt;
misalkan pula g(v)dv sebagai jumlah modus-modus berbagai vibrasi dalam daerah
170
frekuensi antara v dan v+dv. Untuk gelombang transversal berlaku rumusan untuk
fonon,
g t (v)dv 
8V 2
v dv
v 3t
(7.35a)
4V 2
v dv
v 3l
(7.35b)
dan untuk gelombang longitudinal:
g t (v)dv 
Jumlah keseluruhan modus dalam daerah frekuensi antara v dan v+dv adalah
 1
2
g (v)dv  4 V  3  3 v 2 dv
 vl vt 
(7.36)
Jika N adalah jumlah atom dalam zat padat, maka modus vibrasi harus digambarkan
dalam 3N buah posisi koordinat atom. Jadi, jumlah modus vibrasi adalah 3N,
sehingga

1
2 o
3N   g (v)dv  4V  3  3   v 2 dv
 vl vt  0
0
vo
atau
 1
2  v3
3N  4V  3  3  0
 vl vt  3
(7.37)
di mana v0 disebut frekuensi cut-off. Selanjutnya persamaan jumlah keseluruhan
modus dalam daerah frekuensi antara v dan v+dv dapat dituliskan seperti:
g (v)dv 
9N 2
v dv
vo3
(7.38)
Dalam pembahasan radiasi benda hitam modus-modus vibrasi elektromagnet
telah dipandang sebagai gas foton. Di sini juga, modus-modus vibrasi elastik dalam
zat padat dapat dipandang sebagai gas fonon. Energi sebuah fonon adalag hv di
mana v adalah frekuensi vibrasi elastik. Karena semua fonon identik, dan karena
jumlahnya dengan energi sama tidak terbatas, maka dalam keadaan setimbang suhu
fonon memenuhi statistik Bose-Einstein. Jadi jumlah fonon berenergi hv dalam
daerah frekuensi antara v dan v+dv dalam kesetimbangan suhu pada T adalah
dn 
g (v)dv
9 N v 2 dv

e hv / kT  1 vo3 e hv / kT  1
(7.39)
171
Total energi vibrasi dalam daerah frekuensi itu adalah
dU  hv dn 
9 Nh v 3 dv
vo3 e hv / kT  1
(7.40)
sehingga total energi vibrasi seluruh modus adalah
v
9 Nh o v 3 dv
U  3  hv / kT
vo 0 e
1
(7.41)
Selanjutnya dapat ditentukan kapasitas kalor zat padat pada volume tetap
adalah:
9N A h 2
1  U 



n  T V  o3 kT 2
CV 
o
 4 e h / kT
e 
h / kT
0
d
1
(7.42)
di mana n menyatakan jumlah mole dan n=N/NA,, NA adalah bilangan Avogadro.
Dengan menyatakan D=hvo/kB sebagai suhu Debey, kNA=R, dan x=hv/kBT maka
 T
CV  9 R
 D



3
D / T

0
x 4e x
dx
e x 1
(7.43)
Kurva CV sebagai fungsi T/D diperlihatkan dalam Gambar 7.6. Ternyata kurva di
atas dipenuhi oleh padatan-padatan Ag, Al, C(grafit), Al2O3 dan KCl. Suhu Debey
untuk padatan-padatan ini adalah seperti tabel di bawah ini.
CV/R
3
0
0.5
1.0
1.5
2.0
T/D
Gambar 7.6 CV sebagai fungsi suhu.
Tabel suhu Debey dari beberapa jenis padatan
172
Jenis padatan
D(K)
Jenis padatan
D(K)
Ag
225
Ge
366
Au
165
Na
159
C(grafit)
1860
Ni
456
Cu
339
Pt
229
Dari kurva di atas terlihat bahwa pada suhu D atau di atasnya, kapasitas kalor
semua zat adalah 3R ; hal ini sesuai denga hukum Dulong-Petit yang dikemukakan
pada abad 19. Hal ini juga sesuai dengan prinsip ekipartisi energi, karena
kBT>>hvo=kBD, maka energi vibrasi per derajat kebebasan adalah 2(½kBT)=kBT,
dan untuk 3 derajat kebebasan dari setiap atom adalah 3kBT. Oleh sebab itu, energi
dalam adalah
U  N (3k BT )  3nRT
(7.44)
yang berkaitan dengan CV=3R.
173
Soal-soal
1. Berdasarkan hubungan entropi S dan potensial kanonik besar :
  
S  

 T V ,
Turunkanlah rumusan untuk entropi.
13. Tunjukkan secara langsung dari fungsi partisi bahwa rata-rata energi gas boson
bias dituliskan dengan menggunakan harga rata-rata bilangan okupasi:
U   nk E k .
k
14. Hitunglah tekanan suatu gas boson dibawah suhu kondensasi TC , dan jelaskan
mengapa itu tidak bergantung pada volume.
15. Periksalah kalau fenomena kondensasi Bose-Einstein dalam gas boson terjadi
dua dimensi.
16. Andaikan foton-foton sebagai osilator klasik dengan energi rata-rata kBT.
Tentukanlah distribusi rapat energi; ini adalah rumus radiasi benda hitam dari
Rayleigh-Jeans. Mengapa asumsi ini memberikan distribusi yang sama untuk
frekuensi rendah pada rumus radiasi Planck?
17. Asumsikan
foton
mengikuti
statistik
Maxwell-Boltzmann.
Tentukanlah
distribusi kerapatan energi; ini adalah rumus radiasi benda hitam dari Wien.
Mengapa asumsi ini memberikan distribusi yang sama untuk frekuensi tinggi
pada rumus radiasi Planck?
174
8
KONDENSASI BOSE-EINSTEIN
Perlu diulangi apa yang telah dikemukakan dalam Bab7, yakni sifat gas ideal boson
pada suhu rendah. Jika suhu diturunkan ke suhu rendah, potensial kimia meningkat
dari nilai negatif menjadi nol tepat pada suhu kritis. Jika suhu terus diturunkan
potensial kimia itu bertahan nol dan partikel-partikel boson mulai terkondensasi di
keadaan dasar partikel-tunggal. Semakin rendah suhu, semakin banyak partikel
boson yang bertumpuk di keadaan dasar itu. Secara keseluruhan partikel-partikel
boson itu berbagi fungsi keadaan dasar sehingga berkelakuan sebagai suatu partikel
besar. Fenomena itulah yang disebut kondensasi Bose-Einstein.
8.1 Kondensasi Boson
Dalam persamaan (7.17a) jumlah partikel boson dalam sistem adalah
 2m 
N  2V  2 
h 
3/ 2 
E 1/ 2
 e  ( E  )  1dE  konstan
(8.1)
0
di mana jumlah partikel boson itu dipandang konstant.
12
2.5
x 10
2
T=5K, /kB=-0,001
1.5
E1 / 2
e  ( E  )  1
T=5K, /kB=-1
1
T=10K,/kB= -12
0.5
0
0
5
T=1K,/kB= -0.0001
10
15
20
25
30
E/kB
Gambar 8.1 Integran E1/ 2 / e  ( E  )  1 sebagai fungsi E/kB.
175
Dalam Gambar 8.1 diperlihatkan integran
E 1/ 2
e  ( E  )  1
sebagai fungsi E/kB
untuk berbagai harga T dan /kB. Integral dari fungsi merupakan luas dibawah
masing-masing kurva, dan itu sebanding dengan jumlah partikel. Terlihat dalam
gambar, Semakin rendah suhu
semakin rendah suhu
semakin kecil luas dibawah kurva. Itu berarti,
semakin kecil jumlah partikel. Tetapi dari semula telah
diandaikan jumlah partikel adalah konstan. Jika demikian maka pertanyaannya
adalah: dimana partikel-partikel itu pada suhu rendah ???
Menurut Einstein, partikel-partikel bukannya menghilang, tetapi bertumpuk
di keadaan dasar partikel tunggal. Maka, pada suhu rendah keadaan dasar partikel
boson diduduki oleh sejumlah boson, seperti Gambar 8.2. Dikatakan bahwa keadaan
kuantum seperti itu adalah kuantum yang makroskopik. Inilah yang disebut
kondensasi Bose-Einstein.
0
Gambar 8.2 Keadaan dasar 0 dengan sejumlah boson.
Pertanyaannya adalah pda kondisi fisis seperti apakah sifat seperti itu bisa
dicapai? Besaran pertama yang perlu ditinjau adalah suhu kritis Tc seperti telah
diperlihatkan pada persamaan (7.21).
h2  N

TC 
2mk B  2,612V



2/3
(8.2)
Untuk memperoleh perkiraan suhu kritis misalkan jumlah atom 1022 dalam volume 1
cm3. Untuk atom hidrogen, massa atom adalah 1.710-24 gram diperoleh Tc=7 K.
Untuk atom yang lebih berat akan diperoleh suhu kritis yang lebih rendah.
176
Pengetahuan sebelumnya menunjukkan bahwa pada tekanan atmosfer, semua
zat pada suhu rendah seperti itu berfasa padat atau likuid. Titik beku paling rendah
dimiliki oleh: nitrogen pada 63 K, neon pada 25 K, hidrogen 14 K. 4He adalah
pengecualian, yang mencair pada 4,2 K dan tidak bisa membeku walau suhu terus
diturunkan. Itu menunjukkan bahwa gaya-gaya antar-atom sangat lemah.
Kerapatannya hanya 0,14 gram/cm3 dan viskositasnya 40 P; ini berarti bahwa sifatsifatnya lebih dekat pada gas kental daripada likuid. Pada suhu kamar, viskositas air
0.01 P, dan nitrogen dan helium mempunyai viskositas 210-4 P. Karena viskositas
sebanding dengan T1/2, viskositas gas-gas itu pada 4 K akan berorder 10-5 P.
8.2 Fenomena Okupasi Makroskopik
Apakah artinya jika keadaan dasar diduduki oleh sejumlah partikel. Untuk itu
misalkan keadaan dasar itu adalah
   0ei
(8.3)
dengan  0 sebagai amplitudo dan  fasa. Fungsi di atas dinormalisasi sebagai
berikut
 dV  N
*
(8.4)
di mana N adalah jumlah partikel boson yang menduduki keadaan dasar.
Pengertian dari  *V bergantung jumlah partikel. Gambar memperlihatlan
suatu boks bervolume V dengan sejumlah tertentu partikel. Periksalah dari waktu
ke waktu berapa banyak partikel di dalam boks.
V
Gambar 8.3. Tiga keadaan partikel dalam boks bervolume V
.
Dapat dibedakan tiga kasus berikut:
177
1. Di sana hanya ada satu partikel. Dalam banyak waktu boks itu kosong. Tetapi,
ada peluang untuk menemukan partikel di dalam boks seperti  *V . Jadi
peluang itu sebanding dengan V . Faktor  * disebut rapat peluang.
2. Jika jumlah partikel sedikit lebih banyak maka beberapa partikel ada di dalam
boks. Suatu harga rata-rata bisa didefenisikan, tapi jumlah partikel yang
sebenarnya di dalam boks mempunyai fluktuasi yang relatif besar di sekitar ratarata itu.
3. Dalam kasus sangat banyak partikel, selalu terdapat banyak partikel dalam boks.
Jumlah itu berfluktuasi tetapi fluktuasi di sekitar harga rata-rata relatif kecil.
Harga rata-rata itu sebanding dengan V dan  * sekarang disebut kerapatan
partikel.
Kerapatan aliran probabilitas partikel Jp (jumlah partikel/s/m2) adalah




1
Jp 
 (i  qA) *  cc
2m

(8.5)

di mana q adalah muatan partikel dan A potensial vektor. Dengan persamaan (8.3)

 2 
J p  0 (  qA)
2m
(8.6)
Jika fungsi gelombang diduduki secara makroskopi, kerapatan aliran probabilitas
partikel menjadi suatu kerapatan aliran partikel.Misalkan kecepatan partikel vs maka


mJ p   s vs
(8.7)
m 02   s
(8.8)
Kerapatan (massa/m3) adalah
sehingga diperoleh kecepatan



 1 
vs    qA
m
(8.9)
178
Persamaan (8.9) penting sekali, karena memperlihatkan hubungan antara kecepatan
kondensat, yakni konsep klassik, dengan fasa fungsi gelombang, suatu konsep
kuantum.
8.3 Persamaan Gross–Pitaevskii
Misalkan  adalah fungsi gelombang keadaan dasar dari sistem N boson.
Berdasarkan aproksimasi Hartree-Fock fungsi itu dapat diungkapkan sebagai
perkalian fungsi-fungsi partikel tunggal ,
(r1 , r2 ,......., rN )   (r1 ) (r2 )......... (rN )
(8.10)
di mana ri adalah koordinat boson ke-i. Hamiltonian sistem boson itu adalah
N
 2 2

4 2 as

H    

V
(
r
)

 (ri  rj )

i 
2m ri 2
i 1 
 i j m
(8.11)
di mana V adalah potensial luar. Suku kedua merupakan interaksi antara partikelpartikel dengan as adalah panjang hamburan boson-boson. Fungsi gelombang
partikel tunggal memenuhi persamaan Schrödinger
 2 2
4 2 as
2
 

V
(
r
)

 (r )  (r )   (r )
2
m
 2m r

(8.12)
Persamaan ini disebut persamaan Gross–Pitaevskii; persamaan ini bersifat nonlinier
dan mirip dengan persamaan Ginzburg–Landau. Fungsi partikel-tunggal itu
memenuhi syarat normalisasi
  (r )
2
dV  N
(8.13)
Suatu kondensat Bose-Einstein (BEC) adalah gas boson yang atom-atomnya berada
pada suatu keadaan kuantum yaitu persamaan Schrodinger partikel-tunggal. Sebuah
partikel kuantum bebas digambarkan oleh persamaan Schrodinger partikel-tunggal.
Interaksi antara partikel-partikel dalam suatu gas ril harus diperhitungkan dengan
suatu persamaan Schrodinger yang berkaitan dengan banyak-benda. Jika rata-rata
spasi antara partikel-partikel di dalam gas lebih besar daripada panjang hamburan
179
(disebut batas encer), maka orang dapat mengaproksimasikan potensial interaksi
yang sesungguhnya dalam persamaan itu dengan suatu pseudopotensial.
Nonlinieritas dari persamaan Gross-Pitaevskii berawal dari interaksi antara partikelpartikel, di mana persamaan Schrodinger partikel tunggal menggambarkan satu
partikel di dalam potensial perangkap.
8.4 Helium 4He
Teori kondensasi di atas diturunkan untuk gas boson ideal. Dalam keadaan normal
tidak ada gas yang dapat didinginkan hingga mencapai sihu TC. Pada umumnya
bahan-bahan ada dalam keadaan padat, tidak mengalami kondensasi Bose-Einstein.
Pengecualian adalah atom 4He; atom ini termasuk boson karena spinnya 0.
Pada tekanan normal, bahan ini tidak berbentuk padat meskipun suhunya rendah.
Tetapi bahan ini bukan gas, melainkan berupa cairan pada suhu 4,2 K dengan
kerapatan 0,178 gram/cm3. Meskipun demikian interaksi antar atom cukup lemah.
Jika dinyatakan sebagai gas maka suhu kritisnya TC=3.2 K. Dalam eksperimen
ditemukan transisi fasa pada suhu T=2.17 K di mana gas 4HeI berubah menjadi
cairan 4HeII seperti Gambar 8.3.
CV
0
2 T
T(K)
Gambar 8.3 Kalor jenis molar likuid 4He yang besama-sama dengan uapnya.
Karena bentuk kurva mirip huruf , maka kurva itu disebut kurva lamda dan suhu
transisi disebut T.
Bentuk kurva dalam Gambar 8.5 itu mirip dengan Gambar 7.4 untuk gas
boson ideal. Artinya, telah terjadi kondensasi Bose-Einstein. Pergeseran TC bisa
dijelaskan karena 4He adalah likuid bukan gas. Pada suhu suhu di bawah 2.172 K
180
helium dinamakan
4
HeII dan di atas suhu 2.172K dinamakan
4
HeI.
4
HeI
memperlihatkan kelakuan yang aneh, tidak mempunyai kalor jenis. Hal itu diperlihat
oleh penurunan CV pada suhu sedikit di atas 2,172 K. Sifat menonjol dari 4HeII
adalah tidak memiliki viskositas. Bahan likuid tanpa viskositas disebut superfluid.
Karena tidak memiliki viskositas, aliran bahan superfluid tidak mengalami gesekan.
Superfluiditas untuk pertama kalinya ditemukan dalam likuid 4He pada tahun 1938
oleh Pyotr Kapitsa, John Allen dan Don Misener.
8.5 Superfluid Helium
Di bawah suhu kritis (T) helium memperlihatkan sifat yang unik yakni superfluid.
Sebagian liquid yang membentuk komponen superfluid adalah suatu fluida kuantum
makroskopik. Atom helium adalah netral, q=0. Massa partikel m=m4 sehingga
persamaan (8.9) menjadi

1 
vs 

m4
(8.14)
Untuk sembarang loop di dalam liquid persamaan di atas memberikan
 
  
v
.
d
s

. ds
s

m4 
(8.15)
Karena sifat single-valued fungsi gelombang berlaku


 . ds  2 n
(8.16)
dengan n adalah bilangan bulat. Jadi persamaan (8.15) menjadi
 

v
 s . ds  2 n m4
(8.17)
Untuk helium, besaran
  2

=1,010-7 m2/s
m4
(8.18)
adalah kuantum sirkulasi. Untuk gerak melingkar dengan jari-jari r,
181
 
 v . ds  2 v r
s
s
(8.19)
Dalam kasus single kuantum, n=1,
vs 
1
2 r

(8.20)
Bilaman superfluid helium dibuat bergerak rotasi, persamaan (8.19) tidak
akan terpenuhi untuk semua loop di dalam likuid kecuali jika rotasi terorganisasi di
sekitar garis vortex seperti dalam Gambar 8.4.
Gambar 8.4 Bagian bawah: sayatan vertikal dari suatu kolom superfluid helium yang
berotasi sekitar suatu sumbu vertikal. Bagian atas: pandang atas permukaan yang
memperlihatkan pola ters-teras vortex. Dari kiri ke kanan laju rotasi ditingkatkan
untuk menghasilkan kerapatan garis-vortex.
Garis-garis ini mempunyai teras hampa dengan suatu diameter sekitar 1 Å
(yang lebih kecil daripada jarak rata-rata partikel. Superfluid helium berotasi sekitar
teras dengan kecepatan sangat tinggi. Persis di luar teras kecepatan itu sebesar 160
m/s. Teras-teras dari garis-garis vortex dan kontainer berotasi layaknya suatu benda
padat di sekitar sumbu-sumbu rotasi dengan kecepatan sudut yang sama. Jumlah
garis-garis vortex meningkat dengan kecepatan sudut seperti diperlihatkan dalam
Gambar 8.4 bagian atas. Baca: E.J. Yarmchuk and R.E. Packard, J. Low Temp.
Phys. Vol. 46 (1982) p. 479
182
8.6 Penjebakan dan pendinginan atom-atom
Kondensat Bose-Einstein memerlukan kondisi yang sangat khusus. Boson-boson
yang telah dimurnikan dari elemen-elemen lain ditempatkan dalam ruang vakum.
Pilihan yang populer adalah boson dari atom-atom helium, natrium, rubidium dan
hidrogen.
Perkembangan laser membuka jalan untuk pengembangan metoda baru
untuk memanipulasi dan pendinginan atom-atom yang diekploitasi untuk
merealisasikan kondensasi Bose-Einstein dalam uap atom-atom alkali. Untuk itu
perhatikan Gambar 8.5.
Oven
Pelambat Zeeman
Penjebak magneto-optiks
Gambar 8.5 Penjebakan dan pendinginan atom-atom.
Suatu berkas natrium keluar dari suatu oven bersuhu 600 K, sesuai dengan
kecepatan 800 m/s. Berkas itu dilewatkan melalui apa yang disebut pelambat
Zeeman, di mana kecepatan atom-atom diturunkan hingga sekitar 30 m/s yang setara
dengan suhu 1 K.
Di dalam pelambat Zeeman, suatu berkas laser menjalar dalam arah
berlawanan dengan berkas atom, sehingga gaya radiasi yang dihasilkan melalui
absorpsi foton memperlambat atom-atom. Karena effek Doppler, frekuensi transisi
atom dalam kerangka laboratorium pada umunya tidak konstan. Tetapi, dengan
menggunakan suatu medan magnet tak-homogen yang dirancang sedemikian maka
effek Doppler dan effek Zeeman saling meniadakan dan frekuensi transisi atom bisa
dibuat fix. Keluar dari pelambat Zeeman atom-atom itu cukup lambat untuk siap
ditangkap oleh penjebak magneto-optiks, di mana atom-atom itu selanjutnya
didinginkan melalui interaksi dengan sinar laser ke suhu 100 µK. Cara lain
pengkompensasian untuk mengubah geseran Doppler adalah dengan meningkatkan
frekuensi laser (disebut chirping).
183
Dalam eksperimen lain, penjebak magneto-optiks diisi dengan mentransfer atomatom dari penjebak magneto-optiks kedua di mana atom-atom ditangkap langsung
dari uapnya. Setelah jumlah atom-atom terakumulasi cukup banyak (~1010) di dalam
penjebak magneto-optiks, suatu perangkap magnet dinyalakan dan berkas laser
dipadamkan sehingga atom-atom terkurung oleh perangkap magnet murni. Pada
tingkat ini, kerapatan atom-atom relatif rendah, dan gas masih sangat takberdegenerasi dengan kerapatan ruang-fasa beroder 10-6.
Langkah terakhir untuk mencapai kondensasi Bose-Einstein adalah
pendinginan evaporatif, di mana atom-atom berenergi lebih tinggi akan
meninggalkan sistem. Sederhananya, pendinginan evaporatif memungkinkan atomatom yang lebih berenergi (lebih cepat) melepaskan diri dari perangkap
meninggalkan atom-atom lain yang lebih lambat, lebih dingin, kurang berenergi.
Dari semuah jenis atom, rubidium adalah yang termudah untuk dikondensasi-BECkan karena atomnya paling besar; atom ini mencapai kecepatan rendah pada suhu
lebih tinggi karena hubungan massa energi; lihat persamaan (8.18)-(8.20). Ketika
atom-atom mencapai suhu di mana hanya atom-atom pada keadaan dasar yang
tersisa, mereke bergabung menjadi kondensat Bose-Einstein, yang bersifat layaknya
suatu super-atom.
8.7 Laser Atom
Laser atom analog dengan laser optik. Laser atom mengemisikan gelombang materi
sebagaimana laser optik mengemisikan gelombang elektromagnet. Outputnya adalah
gelombang materi yang koheren, suatu berkas atom-atom yang bisa difokuskan pada
suatu titik atau dikolimasi untuk bergerak jarak jauh tanpa menyebar. Berkas itu
koheren, artinya berkas atom itu luar biasa terang.
Laser atom memerlukan resonator (kavitas) yang dalam hal ini berupa bahan
aktif, dan kopler output. Resonator itu adalah suatu jebakan magnet di mana atomatom itu dikurung oleh “cermin-cermin magnet”. Bahan aktif adalah suatu awan
termal dari atom-atom ultra-dingin, dan kopler output adalah suatu pulsa rf yang
mengkontrol “reflektifits” cermin-cermin magnet.
Analogi dari emisi spontan dalam laser optik adalah hamburan spontan atomatom yakni tumbukan-tumbukan yang mirip dengan tumbkan antara bola-bola
billiard. Di dalam laser optik, emisi stimulat foton-foton menyebabkan medan
184
radiasi terbentuk di dalam modus tunggal. Di dalam laser atom, adanya kondensat
Bose-Einstein (atom-atom yang menempati suatu “modus tunggal” sistem yakni
keadaan dasar) menyebabkan hamburan terstimulasi oleh atom-atom ke dalam
modus itu. Tepatnya, adanya suatu kondensat dengan N atom meningkatkan
probabilitas suatu atom akan terhambur ke dalam kondensat dengan N+1 atom.
Dalam suatu gas normal, atom-atom terhambur di antara banyak modus dari
sistem. Tetapi ketika suhu kritis untuk kondensasi Bose-Einstein tercapai, mereka
terhambur terutama ke dalam energi keadaan terendah dari sistem, satu dari ribuan
keadaan kuantum yang mungkin. Proses yang mendadak ini merupakan analogi
yang sangat dekat dengan ambang pengoperasian suatu laser, ketika laser mendadak
hidup saat suplai atom-atom radiasi ditingkatkan.
Dalam laser atom, eksitasi medium aktif dilakukan dengan pendinginan
evaporasi- proses evaporasi menciptakan suatu awan yang tidak setimbang termal
dan relaks menuju suhu lebih dingin. Ini menghasilkan pertumbuhan kondensat.
Setelah setimbang, gain bersih dari laser atom adalah nol, artinya, fraksi kondensat
jadi konstant hingga pendinginan lebih jauh dilakukan.
Tak sama dengan laser optik yang kadang-kadang meradiasikan beberapa
modus, laser gelombang materi selalu beroperasi dalam modus tunggal.
Pembentukan kondensat Bose-Einstein sebenarnya melibatkan kompetisi modus:
keadaan eksitasi pertama tidak bisa terpopulasi secara makroskopik karena semua
boson lebih mudah menempati keadaan dasar. Output laser optik adalah berkas
cahaya terkolimasi. Untuk laser atom, output adalah suatu berkas atom. Laser optik
dan laser atom bisa berbentuk kontinu dan pulsa, tetapi sejauh ini laser atom yang
telah direalisasi baru dalam bentuk pulsa. Baca: Wolfgang Ketterle (2002), Nobel
lecture: When atoms behave as waves: Bose-Einstein condensation and the atom
laser, Rev. Mod. Phys, 74,1131-1151
8.8 Helium 3He
Pada tahun 1972 fenomena yang sama dalam 3He ditemukan oleh Douglas
D. Osheroff, David M. Lee, and Robert C. Richardson. Sebenarnya atom 3He
termasuk fermion. Pada tekanan atmosfer, gas 3He mencair pada suhu 3,2K
sedangkan 4He mencair pada 4,2K. Kedua isotop tidak membeku pada suhu 0K
185
sekalipun. Kerapatan
3
He adalah 0,07 gram/cm3 sedangkan
4
He adalah 0,14
gram/cm3. Viskositas 3He adalah 25 µP sedangkan 4He adalah 50 µP. Berdasarkan
persamaan (4.9), suhu Fermi 3He adalah 4,5 K.
Maka agar 3He berdegenerasi, suhunya harus jauh di bawah 4.5 K. Pada suhu
di bawah 1mK, dua atom 3He yang berpasangan membentuk molekul diatomik yang
dapat dipandang sebagai sebuah boson, sehingga bersifat superfluid. Elektronelektron adalah juga fermion, sehingga sifat superfluid dalam 3He merupakan
analogi dengan elektron. Analogi elektronik dari superfluid 3He dikenal sebagai
superkonduktivitas yang ditemukan oleh Komerlingh-Onnes pada tahun 1911.
Teori superkonduktivitas baru muncul pada tahun 1957 oleh Bardeen,
Cooper dan Schrieffer (BCS). Superkonduktivitas diartikan sebagai superfluiditas
fermion dari elektron. Persis sama dengan 3He, di bawah suhu transisi ada suatu
mekanisme yang menciptakan gaya tarik netto antara pasangan-pasangan elektron
dengan energi sekitar energi Fermi. Muatan listrik suatu elektron menginduksikan
suatu kerapatan muatan di sekitarnya, dan kerapatan muatan itu akan menarik
elektron lain sehingga terbentuk pasangan elektron yang disebut pasangan Cooper.
Elektron-elektron dalam pasangan itu bergerak dengan cara terkorelasi,
bahkan jika jarak antara keduanya cukup besar sekalipun dan diantaranya ada
elektron-elektron lain. Karena gerakan yang terkorelasi itu, maka pada keadaan
dasar elektron-elektron itu sulit untuk bisa tereksitasi sehingga pasangan-pasangan
elektron bergerak tanpa gesekan sebagaimana superfluid boson. Karena muatan satu
pasangan Cooper adalah 2e, maka gerakan pasangan itu merupakan arus listrik, dan
aliran superfluidnya adalah suatu arus listrik tanpa resistivitas (superkonduktor).
186
Apendiks 1
KONSTANTA FUNDAMENTAL
Besaran
Konstanta Boltzmann
Konstanta Stefan-
Simbol
Nilai numerik
Unit
1,3806503  10-23
JK-1
8,617342  10-23
eVK-1
σ
5,6703 x 10-8
W/m2K4
NA
6,022 x 1023
1/mole
8,314
J/mole K
kB
Boltzmann
Bilangan Avogadro
Konstanta gas universal
R= NA kB
Kecapatan cahaya
c
2,99792458  108
ms-1
Permeabiltas ruang hampa
µ0
4  107
NA-2
Permittivitas ruang hampa
0=1/ µ0c2
8,854187817  10-12
Fm-1
h
6,62606876  10-34
Js
  h / 2
1,054571596  10-34
Js
Konstanta Planck
Konstanta Planck/2
Muatan elementer
e
1,602176462
C
Massa diam elektron
me
9,10938188
kg
mec2
0,510998902
MeV
mp
1,67262158
Kg
mpc2
938,271998
MeV
mn
1,675 x 10-27
kg
939,57
MeV
mu=m( C)/12
1,66053873
kg
muc2
931,494013
MeV
8,617342  10-23
eVK-1
Massa diam proton
Massa diam neutron
mnc2
Satuan massa atom
12
Inversi struktur halus
 -1
137,03599976
Jari-jari Bohr
a0
0,5291770282  10-10
m
0,529
Å
27,2113834
eV
Unit energi atom
e2/40a0
187
Magneton Bohr
µB
9,27400899  10-24
JT-1
Magneton inti
µN
5,05078317  10-27
JT-1
Nilai-g elektron
ge
2,002319
Nilai-g proton
gN
5,585695
Elektron volt
eV
1,6022 x 10-19
J
Angstrom
Å
10-10
m
188
Apendiks 2
TURUNAN DARI PERSAMAAN KEADAAN
Tinjaulah tiga besaran X, Y, Z dalam suatu persamaan keadaan F(X, Y, Z)=konstan.
Misalkan X, Y sebagai variabel- variabel bebas sementara Z=Z(X, Y). Maka
 Z 
 Z 
dZ  
 dX    dY
 X Y
 Y  X
(A2.1)
Jika Y, Z dinyatakan sebagai variabel- variabel bebas, maka
 X 
 X 
dX  
 dY  
 dZ
 Y  Z
 Z Y
 X 
Jika persamaan (A2.1) dikali 
 dan persamaan (A2.2) dikali
 Y  Z
diperkurangkan, hasilnya adalah
(A2.2)
 Z 
  lalu
 Y  X
 Z   X   Z  
 X   X   Z  
 X   Y    Y   dX   Y    Z   Y   dZ
Y 
Z   X 
Z 
Y   X 


`Karena dX dan dY bebas satu sama lain, persamaan di atas kompatibel jika
 Z   X   Z 

 
   0
 X Y  Y  Z  Y  X
 X   X   Z 

 
   0
 Y  Z  Z Y  Y  X
atau
 X   Z   Y   Z 
 X   Y 

 
     
 
 1
 Z Y  X Y  Z  X  Y  X  Y  Z  X  Z
 X   Y   Z 

   
  1
 Y  Z  Z  X  X Y
(A2.3)
(A2.4)
Sekarang tinjau besaran R(X, Y); diferensialnya adalah
 R 
 R 
dR  
 dX    dY
 X Y
 Y  X
Jika Y=konstan, dY=0, maka
189
 R   R   X 
  
 

 Z Y  X Y  Z Y
(A2.5)
Selain itu diperoleh juga hubungan
 R 
 R   R   Y 

 
   

 X  Z  X Y  Y  X  X  Z
(A2.6)
Persamaan (A2.5), (A2.6) bersama dengan (A2.3) dan (A2.4) dan hbungan Maxwell
biasa digunakan untuk transformasi dan komputasi turunan-turunan dari persamaan
keadaan.
190
Apendiks 3
BEBERAPA INTEGRAL
1
x
sin bx  cos bx
b
1.
 x sin bx dx  b
2.
 sin
3.
2
 x sin bx dx 
4.
2
2
 x sin bx dx 
5.
 xe
6.
2
2x 2 
2 bx
bx  x

x
e
dx

e

 b  b 2  b 3 



7.
e
2
bx
ax
bx dx 
dx 


x n dx 
2
0
ax
 e dx 
2
9.
0
x2
x
1
 sin(2bx)  2 cos(2bx)
4 4b
8b
1

2
1 
2 a

10.
2 n1 ax
 x e dx 
2
0

11.
x
0
2 n ax2
e
x3  x
1 
x
   3  sin(2bx)  2 cos(2bx)
6  4b 8b 
4b
n!
; a0
a n1
x e  x dx 

x 1
 sin(2bx)
2 4b
1 bx
e (bx  1)
b2
0
8.
2

n 2 n1 ax2
n!
x e dx  n1 ; a  0, n  0,1, 2, 3,...

a0
2a

2n  1 2( n1) ax2
(2n)!
dx 
x
e dx 

2a 0
n! 22 n1

a 2 n1
; a  0, n  0,1 2, 3...

12.
x
2
dx

0 e x  1
6
191

13.
x2
0 e x  1 dx  2 (3)  2,40
14.  (n) 

1
 (k  1) n
disebut fungsi zeta Riemann
k 0

15.
x3
4
dx

0 e x  1 15

16.
x
z 1 ax2
e
dx  ( z ); fungsi Gamma
0
192
Apendiks 4
RUMUS STIRLING
Karena N!=1  2  3 ......... N, maka
ln N! ln 1  ln 2  ln 3  ........  ln N
N
  ln x dx  x ln x  x 1
N
1
 N ln N  N  1
(A4.1)
Jika N>>1, maka
ln N! N ln N  N
(A4.2)
Pendekatan yang lebih teliti untuk N! Bisa dperoleh dari ungkapan integral

N!  dx x N e  x
(A4.3)
0
Dalam integran f ( x)  x N e x , xN adalah fungsi yang cepat bertambah untuk N besar,
dan e-x adalah fungsi yang menurun terhadap x. Maka f(x) memperlihatkan suatu
maksimum yang tajam untuk beberapa nilai x. Untuk itu misalkan z=x/N, zN=eNlnz
sehingga
f  x N e x  N N z N e Nz  N N e( zln z )
(A4.4)
Karena maksimu z-ln z adalah di z=1, maka tuliskan z=1+t dan
f  N N e N (t 1ln(t 1))  N N e N e N (t ln(t 1))
(A4.5)
Karena ln(t+1)t-t2/2 maka
f  N N e N e Nt
2
/2
(A4.6)
Jadi untuk N besar fungsi f mempunyai harga maksimum di t=0, sehingga
193


N !  fdx  N N e  N  Ndt e  Nt
2
/2
1
0

 N N 1e  N  dt e  Nt
2
/2
(A4.7)

 N N e  N 2N 
1/ 2
dan akhirnya,
1
ln N! N ln N  N  ln( 2N ) .
2
(A4.8)
Ini adalah bentuk lebih kuat dari aproksimasi Stirling.
194
Apendiks 5
FUNGSI GAMMA
Fungsi Gamma didefenisikan seperti

(n)   e  x x n1dx
(A5.1)
0
dan berlaku
(n  1)  n(n)  n! ; n bulat positif
(A5.2)
 1 ! 0! 1 dan (1)  (2)  1 .
(A5.3)
Untuk pecahan
(n / 2) 
(n  2)!! 
(A5.4)
2 ( n1) / 2
di mana
n !! n  (n  2)  .....  4  2 ; jika n genap
(A5.5)
n !! n  (n  2)  .....  3  1 ; jika n ganjil
(A5.6)
dan berlaku
 1!! 0!! 1 dan (1 / 2)  (3 / 2) 

2
.
(A5.7)
195
Apendiks 6
INTEGRAL FERMI
Integral yang sering terjadi dalam kaitannya dengan gas ideal Fermi mempunyai
bentuk

In  
0
e
ex
x

1
2
x n dx  n !(1  21n )  (n)
(A6.1)
di mana fungsi zeta Riemann didefenisikan sepert

 ( n)  
1
k 0 (k
(A6.2)
 1) n
Harga-harga beberapa fungsi itu adalah
 (3 / 2)  2,612
 (2) 
2
6
 1,645
 (5 / 2)  1,341
 (3)  1,202
 (4) 
 (6) 
4
90
6
945
 1,082
 1,014
196
Apendiks 7
INTEGRAL BOSE
Dalam gas ideal boson ditemukan integral sebagai berikut.

I B ( n)  
0

1
e 1
x
x n dx  
ex
0 1
e
x
x n dx
 
   e ( k 1) x x n dx
0 k 0


(A7.1)
   e ( k 1) x x n dx
k 0 0


k 0

1
(k  1)
n 1
e
y
y n dy
0
Jika digunakan defenisi fungsi zeta Riemann

 ( n)  
k 0 (k
1
 1) n
(A7.2)
dan defenisi funghsi gamma

(n)   e  x x n 1 dx
(A7.3)
0
maka diperoleh
I B (n)   (n  1) (n  1)
(A7.4)
Jika n adalah suatu bilangan bulat maka berlaku
I B (n)  n ! (n  1)
(A7.5)
197
Apendiks 8
TABEL PERIODIK
198
Daftar Bacaan
1. R. Feynman, R. Leighton, and M. Sands, The Feynman Lectures on Physics, Volume I,
Addison Wesley 1963
2. C. Kittel, Elementary Statistical Physics, John Wiley & Son 1967
3. M. Alonso and E. J. Finn, Fundamental Unversity Physics, Volume III, Quantum and
Statistical Physics, Addison Wesley 1968
4. L. D. Landau and E. M. Lifshitz, Statistical Physics, Pergamon Press, 1971
5. K. Huang, Statistical Mechanics, John Wiley & Son 1987
6. D. J. Amit and Y. Verbin, Statistical Physics, World Scientific 2006
199
INDEKS
aproksimasi Hartree-Fock, 180
aproksimasi mean-field, 149, 151
aproksimasi Sterling, 31, 34
4
energi dalam, 2, 3, 4, 13, 16, 33, 34,
54, 57, 63, 65, 74, 100, 146, 174
energi Fermi, 100, 101, 102, 103, 106,
atom He, 181
109, 114, 115, 116, 117, 118, 119,
availabilitas, 12, 13, 21
130, 187
bahan paramagnet, 122, 125, 131
energi internal molekul, 61
benda hitam, 67, 160, 162, 172, 175
ensembel kanonik besar, 45, 56, 99,
Bobot statistik, 27
boson, 48, 99, 158, 159, 162, 163,
158, 163
ensemble kanonik, 33, 48
165, 166, 167, 169, 170, 171, 175,
ensemble mikrokanonik, 33
176, 177, 178, 180, 181, 184, 186,
entalpi, 4, 14, 18, 49
187, 198
entropi, 1, 2, 3, 4, 8, 9, 10, 11, 12, 13,
Diamagnetisme Landau, 132
14, 18, 19, 25, 30, 31, 32, 34, 36,
dinding domain, 143, 144, 145
39, 40, 41, 42, 46, 47, 48, 50, 54,
distribusi Bose-Einstein, 159, 160
55, 56, 66, 68, 80, 81, 84, 90, 94,
distribusi energi molekul, 59, 60
107, 144, 154, 175
distribusi Fermi, 100, 104
distribusi Maxwell-Boltzmann, 37, 59,
112
fermion, 48, 98, 99, 100, 101, 107,
108, 109, 117, 133, 186, 187
feromagnet, 90, 143
doping akseptor, 114
frekuensi siklotron, 133
doping donor, 114
fungsi distribusi dua partikel, 73
efek kuantum, 57
fungsi distribusi Fermi, 112, 119
effek Doppler, 184
fungsi distribusi radial, 73, 75
effek Zeeman, 184
fungsi gamma, 164
Ekspansi Virial, 75
fungsi korelasi, 73, 138, 139, 157
emisi termionik, 110
fungsi korelasi pasangan, 73
energi bebas Gibbs, 4, 15, 16, 19, 20,
fungsi Langevin, 121, 122
49, 90, 92
energi bebas Helmholtz, 4, 14, 24, 38,
39, 83, 121, 150
fungsi partisi, 37, 39, 40, 41, 42, 44,
46, 47, 48, 49, 51, 53, 54, 55, 59,
62, 63, 71, 72, 73, 79, 99, 117, 120,
200
121, 133, 138, 149, 152, 156, 158,
175
model Ising dalam kisi satu-dimensi,
135
fungsi zeta dari Riemann, 164
model Ising dua-dimensi, 145
garis binodal, 85, 86, 87, 88, 89
momen dipol magnet, 22, 120
garis spinodal, 85, 86, 87, 88, 89
momentum Fermi, 101
garis-garis vortex, 183
panjang gelombang de Broglie, 53
gas 3He, 186
panjang gelombang termal, 53, 57, 58,
gas ideal, 2, 6, 19, 20, 50, 51, 52, 53,
71, 105, 166, 167
54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 63,
panjang korelasi, 139, 140
66, 67, 68, 80, 84, 86, 101, 102,
Paramagnetik Pauli, 127
162, 167, 168, 171, 176, 197, 198
parameter order, 90, 92, 93, 94, 151,
gas van der Waals, 17, 24, 79
153, 155
harga efektif koefisien virial kedua, 84
pelambat Zeeman, 184
hubungan Maxwell, 7, 24
pendinginan atom-atom, 184
Hukum Boyle, 79
penjebak magneto-optiks, 184, 185
hukum Curie
, 122, 151
integral eliptik lengkap jenis kedua,
147
Keadaan makro, 27
keadaan mikro, 27, 28, 29, 30, 31, 32,
33, 34, 36, 37, 98, 99, 100, 131,
136, 158, 159
kondensasi Bose-Einstein, 90, 165,
171, 175, 176, 177, 181, 184, 185,
186
kondensat Bose-Einstein, 180, 185,
186
laser atom, 185, 186
magnetisasi, 22, 23, 44, 121, 122, 123,
126, 128, 129, 130, 131, 134, 135,
143, 144, 145, 147, 148, 149, 150,
151, 156
penjumlahan Euler sebagai, 134
permukaan Fermi, 101, 130
persamaan Clausius-Clapeyron, 19
persamaan Gibbs-Duhem, 4, 17
persamaan Ginzburg–Landau, 180
persamaan Gross–Pitaevskii, 180
persamaan Richardson-Dushman, 110
persamaan Sackur-Tetrode, 55, 57
Potensial besar, 5, 71, 107
potensial kimia, 3, 5, 17, 45, 48, 50,
101, 102, 106, 117, 169, 176
potensial kimiawi, 2, 16, 17, 19, 20,
47, 57, 106, 159, 163, 164, 165,
167, 168, 171
potensial Lennard-Jones, 70
potensial pasangan, 72
potensial termodinamika, 4
prinsip eksklusi Pauli, 98
rapat effektif elektron, 113
201
rapat effektif hole, 113
semikonduktor, 111, 113, 114, 115,
116, 118, 119
suhu kritis, 80, 91, 95, 145, 149, 153,
164, 165, 176, 177, 182, 186
superfluid, 182, 183, 187
semikonduktor intrinsik, 115
superkonduktivitas, 187
silikon tipe-n, 116
suseptibilitas magnet, 122, 123, 129,
Sistem Partikel Berinteraksi, 70
131
statistik Bose-Einstein, 98, 172
Tekanan osmosis, 83
statistik Fermi-Dirac, 98, 108, 118
teori Landau, 94, 153
Suhu Debey, 173
Transisi Fasa Order Kedua, 90
suhu Fermi, 103, 187
Transisi Fasa Order Pertama, 87
suhu karakteristik rotasi, 62
vibrasi pada satu molekul diatomik,
suhu karakteristik vibrasi, 63
63
202
Download