Di Balik Banjir Kota Samarinda Oleh: Iqbal Fathur Zain (Teknik Lingkungan 2019) Kota Samarinda ialah kota yang identik dengan Sungai Mahakamnya. Namun tidak hanya itu saja, Kota Samarinda pun sering tergenang oleh air yang tingginya bisa mencapai leher orang dewasa, karenanya ciri khas “banjir” sangat melekat bagi Kota Samarinda, sehingga dijuluki “kota langganan banjir”. Jika diasumsikan, banjir di Kota Samarinda ibarat kuis ataupun ujian akhir semester yang datangnya tidak diduga–duga dan selalu membuat gelisah. Berbagai hambatan telah dialami warga seperti tidak dapat berkendara dengan tenang karena khawatir kendaraan macet di tengah genangan banjir, lalu juga kerepotan warga ketika air telah masuk ke rumah karena harus memindahkan barang-barang ke tempat yang tinggi. Banjir hadir tentunya karena suatu alasan, banjir tidak dapat datang dengan sendirinya. Banjir hadir disebabkan faktor yang salah satunya ialah daerah resapan yang sedikit, kondisi drainase sempit, serta perilaku masyarakat yang gemar membuang sampah sembarangan. Saya yakin bahwa banjir di Samarinda disebabkan karena kegagalan pemerintah dalam mengatur pengelolaan lingkungan di Kota Samarinda. Banjir menggenangi Kota Samarinda menandakan bahwa tanah tidak mampu meresap air, karena Kota Samarinda hampir keseluruhan telah beralaskan beton. Ketersediaan ruang terbuka hijau (RTH) di Kota Samarinda sangat kurang hanya 5,13%, seharusnya sesuai parameter minimal yakni 20%. Kita dapat melihat sendiri, Kota Samarinda sangat langka akan lahan hijau. Sejak awal, penyebab banjir di Kota Samarinda ialah kesalahan dari pemerintah yang acuh dalam hal pengelolaan lingkungan. Jika sejak awal pengelolaan telah diperhitungkan dengan baik maka Kota Samarinda tidak akan kekurangan ruang terbuka hijau. Selain minimnya daerah resapan, banjir di Kota Samarinda juga disebabkan karena sempitnya saluran drainase. Banjir sukar surut karena drainase di pinggir jalan masih sempit, walaupun drainase telah ditinggikan namun faktanya sangat kurang efisien. Banjir masih saja betah berada di jalanan, seharusnya pemerintah selain meninggikan drainase juga harus melakukan pelebaran agar debit yang dialirkan dapat lebih banyak dari sebelumnya. Rancangan pengelolaan lingkungan tidak dapat terealisasikan apabila pemerintah lamban mengeksekusi. Sebagai contohnya pembebasan lahan di Gunung Lingai yang rencananya akan dibuat kolam retensi. Pemerintah tak kunjung membebaskan lahan tersebut sebab alasan masalah sosial menjadi kendala. Pihak swasta pun mengambil alih lahan tersebut dan sekarang menjadi perumahan. Seandainya kolam retensi terwujud maka akan menjadi senjata yang sangat efektif dalam menanggulangi banjir di Kota Samarinda karena air dari hulu dapat ditampung terlebih dahulu sehingga akan memperlambat waktu detensi banjir. Sebagai kesimpulannya, dalam hidup tentu kita akan menghadapi berbagai persoalan, hal ini selaras dengan perkembangan zaman. Terbukti dengan nyatanya Kota Samarinda penuh bangunan megah. Area yang dulunya beralaskan tanah saat ini beralaskan beton, ini adalah tuntutan perkembangan zaman yang semakin canggih dan tidak dapat dicegah. Oleh karena itu Kota Samarinda memerlukan orang yang paham terkait cara mencegah dan mengatasi permasalahan lingkungan, dan kita sebagai warga Samarinda membantu dengan minimal tidak membuang sampah sembarangan. Kita harus memahami betapa bahayanya sampah, banyak metode untuk mengedukasi warga Samarinda, seperti sosialisasi dari pemerintah, namun metode yang paling efektif adalah mengingatkan antar sesama warga. Hal ini hanya langkah kecil namun jika kita terapkan maka Kota Samarinda yang bebas banjir di masa mendatang akan terwujud.