BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah keramik terjalin erat dengan sejarah manusia. Masyarakat dan teknologi telah dipengaruhi oleh keramik dalam banyak hal, dari penggunaan pertama batu api dan obsidian selama Zaman Batu, hingga pembentukan bejana dari tanah liat, hingga penggunaan refraktori dalam industri besi dan baja, dan hingga pembuatan serat optik untuk keramik komunikasi kecepatan tinggi (Carter,2013). Salah satu bahan yang digunakan untuk pembuatan keramik adalah tanah liat. Tanah liat sebagai bahan baku keramik memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Karakteristik tanah liat berpengaruh pada kualitas sebuah karya keramik. Tanah liat atau lempung sudah digunakan oleh sebagian masyarakat Indonesia sebagai bahan baku pembuatan benda-benda keramik. Benda keramik tersebut adalah berupa bata, periuk, tungku, jambangan, gentong hingga genteng. Seiring dengan kemajuan teknologi, saat ini bahan keramik telah dikembangkan menjadi produk modern dengan keunggulan sifat yang sangat variatif. Karya tersebut berupa keramik hias baik berupa tembikar, maupun keramik bergelasir atau keramik konvensional (Akbar, 2018). Pada umumnya industri-industri keramik konvensional seperti tableware, sanitary, ubin dinding, ubin lantai dan keramik hias untuk pembuatan badan keramiknya menggunakan bahan galian non logam seperti lempung plastis (ball clay), kuarsa, feldspar dan kaolin. Bahan galian ini banyak terdapat atau tersebar hampir diseluruh wilayah Indonesia, misalnya endapan pasir kuarsa, lempung plastis dan kaolin terdapat di daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Subari, 2014). Itu adalah salah satu keuntungan besar dalam upaya peningkatan daya saing dalam produksi keramik. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Industri tahun 2016, di Kalimantan terdapat deposit pasir kuarsa yang tersebar di Provinsi Kalimantan Selatan khususnya di daerah Kabupaten Barito Utara, Barito Selatan, Kabupaten Kapuas, Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat. Deposit pasir kuarsa di Kabupaten Barito Selatan terdapat di daerah Gunung Bintang Awai dan Dusun Timur dengan jumlah cadangan diperkirakan ratusan juta ton serta kandungan kadar silika (SiO2) nya diatas 90%, namun belum diteliti secara rinci kualitas pasir kuarsa tersebut untuk industri keramik. Produksi keramik sendiri dalam setiap tahunnya mengalami peningkatan karena adanya peningkatan kontribusi yang tinggi serta mendukung tumbuh dan berkembangnya perekonomian yang ada di Indonesia. Dengan berkembangnya zaman, tantangan yang dihadapi perekonomian akan semakin besar. Oleh karena itu, perlu mengetahui peluang pemanfaatan dari sumber daya alam maupun manusia untuk pengembangan produk keramik konvensional serta mengetahui sifat-sifat yang dibutuhkan. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah pada tugas ini yaitu: 1. Bagaimana komposisi memengaruhi sifat optik material keramik dan gelas sehingga memiliki nilai jual yang berbeda di (minimal) ketiga jenis aplikasi keramik konvensional? 2. Bagaimana sifat mekanik keramik secara umum dan bagaimana menguji sifatnya? 3. Bagaimana proyeksi pemanfaatan potensi baik sumber daya alam maupun manusia untuk mengembangkan produk keramik konvensional terutama di Kalimantan dengan perhitungan ekonomi dan ketersediaan bahan baku? 1.3 Tujuan Adapun tujuan pada tugas ini yaitu sebagai berikut: 1. Mengetahui komposisi memengaruhi sifat optik material keramik dan gelas sehingga memiliki nilai jual yang berbeda di (minimal) ketiga jenis aplikasi keramik konvensional. 2. Mengetahui sifat mekanik keramik secara umum dan mengetahui pengujian sifatnya. 3. Mengetahui proyeksi pemanfaatan potensi baik sumber daya alam maupun manusia untuk mengembangkan produk keramik konvensional terutama di Kalimantan dengan perhitungan ekonomi dan ketersediaan bahan baku. 1.4 Batasan Masalah Adapun batasan masalah dalam tugas ini yaitu pembahasan perhitungan biaya dikhususkan pada perhitungan main production. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keramik Konvensional dan Potensi Secara Ekonomi Keramik yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “keramos” yang berarti suatu bentuk dari tanah liat yang telah mengalami atau melewati proses pembakaran. Sehingga jadilah sebuah karya (produk) atau yang kita kenal dengan keramik. Pada kamus dan ensiklopedia ditahun 1950-an telah mendefinisikan keramik sebagai suatu hasil seni dan teknologi untuk menghasilkan barang dari tanah liat yang dibakar, seperti gerabah, genteng, porselin, dan lain sebagainya. Tetapi saat ini tidak semua jenis keramik berasal dari tanah liat. Pengertian keramik terbaru mencakup semua bahan baku bukan logam dan anorganik yang berbentuk padat (Yusuf, 1998:2). Industri keramik di Indonesia termasuk industri gelas dan kaca serta semen, berkemb- ang dengan pesat sejak tahun 1980 terutama untuk industri ubin keramik. Saat ini Indonesia menjadi produsen ubin keramik ke 5 di dunia setelah Italia, China, Spanyol dan Brasil. Sedangkan pertumbuhan rata-rata industri keramik dari tahun 1990 sId 1995 adalah 10 % dan dari tahun 1995 sampai 1997 kurang lebih 15 %. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor pendukung yaitu, adanya iklim usaha yang mendukung pertumbuhan industry, Tersedianya sumber bahan baku yang melimpah seperti tanah liat, pasir kuarsa, batu kapur, industri keramik merupakan salah satu industri yang padat energi, Jumlah penduduk Indonesia yang besar merupakan potensi pasar dalam negeri yang sangat mendukung pengembangan inqustri keramik. Dari beberapa faktor tersebut Indonesia memimiliki potensi yang cukup besar namun untuk bersaing di pasar global suatu perusahaan harus berproduksi secara efisien (Meda Segala,1997). 2.2 Bahan Baku Keramik Konvensional Bahan baku pembuatan keramik konvensional terdiri dari bahan plastis dan bahan non-plastis. Berdasarkan fungsinya bahan-bahan itu dibagi dalam 4 kelompok, yaitu bahan plastis (plastic materials), bahan pelebur (flux materials), bahan pengisi (filler materials), dan bahan imbuh (additive materials). 2.2.1 Bahan plastis: Tanah liat /lempung (clay). Kelompok ini terdiri dari bahan-bahan yang memiliki sifat-sifat plastis, yakni kemudahan dibentuk tanpa menjadi pecah atau retak. Selain itu, dalam keadaan mentah bahan-bahan ini memiliki daya ikat terhadap bahan lain yang bersifat nonplastis. Keduanya merupakan sifat dasar yang sangat penting dalam pembuatan suatu keramik, yang memungkinkan campuran bahan dapat dibentuk atau diolah sesuai dengan yang diinginkan. Setelah pembentukan, bahan ini juga mengikat barang mentah (greenware) itu dengan kuat, sehingga pada proses pemindahan, pengeringan dan pembakaran tidak mengalami kerusakan atau perubahan bentuk (deformasi). Bahan-bahan ini mencakup tanah-tanah liat yang memiliki kandungan mineral lempung sebagai komponen utamanya. Keplastisan dan daya ikat dari tanah liat terutama diberikan oleh kandungan partikel-partikel koloid dan bentuk mineralmineral lempung yang pipih, sehingga jika basah mudah menggelincir (licin) dan jika kering menjadi lengket satu sama lain. Jenis tanah liat yang banyak digunakan dalam industri keramik yaitu ball clay, kaolin, marls, lempung gerabah merah, lempung stoneware, fire clay, shales, bentonit, dan lain-lain. 2.2.2 Bahan pelebur (flux): feldspar dan batuan lain Flux merupakan jenis bahan pelebur dalam komposisi bodi keramik yang memiliki titik leleh jauh lebih rendah dibandingkan dengan bahan yang lainnya. Bahan ini ditambahkan dalam campuran dengan tujuan untuk memudahkan peleburan atau pembentukan fasa gelas yang setelah didinginkan akan mengikat butiran-butiran kristal secara bersama-sama. Untuk bodi keramik triaksial (keramik tradisional), bahan pelebur yang digunakan adalah feldspar atau batuan felspatik. Sedangkan untuk bodi keramik triaksial plus atau non-triaksial digunakan bahan batuan lain dengan tujuan untuk memperoleh sifat-sifat tertentu dari bodi yang dihasilkan. 2.2.3 Bahan pengisi (filler): kuarsa dan bahan keras lainnya Bahan-bahan pengisi (filler) digunkaan untuk mengurangi sifat lempung yang terlalu plastis, bahan-bahan pengisi (filler), yakni bahan-bahan keras yang akan menurunkan keplastisannya. Bahan ini kadang-kadang disebut juga bahan pengurus (leaning materials). Bahan pengisi yang paling umum dan murah yang biasa dipakai adalah pasir kuarsa. Pada dalam keramik mentah (greenware), kuarsa dengan feldspar dan bahan non-plastis lainnya akan berperan sebagai pengisi atau agregat (untuk sementara) yang akan menurunkan susut dan menghindari retak dalam pengeringan. Dalam pembakaran pada suhu tinggi, sebagian besar kuarsa akan melarut dalam leburan feldspar bersama-sama oksida lainnya membentuk silikatsilikat. Dari leburan yang kental ini sebagian silikat akan tumbuh menjadi kristalkristal mineral baru dengan ukuran besar, seperti mullit sekunder misalnya, yang akan berperan sebagai agregat dalam badan keramik hasil bakaran (fired body). Sedangkan sebagian silikat lagi yang merupakan larutan padat encer akan mengisi ruang-ruang kosong antar kristal (pori-pori) sebagai fasa gelas. Setelah keramik selesai didinginkan, fasa gelas akan mengeras atau membeku dan berfungsi sebagai perekat antar butiran atau kristal yang memberi kekuatan kepada badan keramik itu. Tergantung pada suhu pembakaran dan lamanya proses pembakaran itu, kuarsa bebas mungkin masih ada yang tersisa dan berperan sebagai agregat bersama-sama kristal yang baru dalam badan keramik. Kelemahan kuarsa sebagai bahan pengisi adalah pada saat kenaikan suhu antara 500–600 ºC akan terjadi pengembangan volume kuarsa secara tiba-tiba pada suhu 573 ºC, yakni pada saat terjadi inversi dari α-kuarsa ke β-kuarsa. Jika kenaikan suhu pada daerah ini tidak terkendali dengan baik, maka barang keramik akan mengalami retak-retak. Keretakan ini disebut “preheating crack”. Kedua, sebaliknya pada saat pendinginan, pada daerah suhu antara 600–500 ºC sisa-sisa kuarsa akan mengalami penyusutan secara tiba-tiba pada suhu 573ºC, yakni pada saat terjadi inversi dari β-kuarsa ke α-kuarsa. Jika penurunan suhu pada daerah ini kurang terkendali, juga akan menimbulkan keretakan pada keramik itu. Keretakan seperti ini disebut “cooling crack”. Kedua jenis keretakan itu secara visual dapat dibedakan. Preheating crack memperlihatkan retakan yang melebar ke arah awal retakan dengan tepi retakan yang tumpul (curvature crack edge). Sedangkan cooling crack memperlihatkan retakan garis tipis dengan tepi retakan yang tajam (sharp crack edge). Ketiga, kalaupun kedua hal itu tidak terjadi, sisa-sisa kuarsa masih sering menimbulkan retak mikro pada fasa gelas yang disebut “Griffith cracks”, yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, melainkan harus di bawah mikroskop. Untuk bodi porselen isolator listrik, retak mikro ini harus dihindari. Karena kelemahan-kelemahan tersebut, maka peranan kuarsa sebagai bahan pengisi sering digantikan sebagian atau seluruhnya oleh bahan-bahan lain seperti: pirofilit, samot, alumina dan lainlain. 2.2.4 Bahan-bahan imbuh (additive materials) Yang dimaksud bahan imbuh adalah bahan-bahan lain di luar bahan triaksial, yang ditambahkan dalam jumlah relatif kecil pada campuran dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat khusus baik pada massa campuran, produk antara maupun produk akhir. Bahan-bahan ini mencakup: deflokulan, flokulan, pemutih (whiting agents), oksidan (bahan pengoksidasi), dan sintering aids (Yasmin, 2020). 2.3 Jenis Keramik Konvensional Dari jenis komposisi bahan keramik tradisional dibagai menjadi 5 jenis keramik yaitu clay, whiteware, cement, refaktori, dan glass. 2.3.1 Clay Clay seperti batu bata, ubin, dan pipa. Produk-produk ini terdiri dari berbagai kombinasi kebanyakan silika dan alumina, dengan sejumlah kecil oksida lain seperti oksida besi, magnesia, titania, kalium oksida, dan natrium oksida. 2.3.2 Whiteware Whiteware seperti periuk (peralatan makan, ubin, dan peralatan masak), cina (peralatan makan, artware, peralatan masak, toilet), porselen (peralatan makan, isolator listrik, gigi palsu), dan isolator listrik. Produk ini menggunakan senyawa yang sama yang ditemukan pada produk tanah liat struktural. 2.3.3 Cement Cement seperti beton dan mortar, merupakan campuran mineral sintetik yang digunakan dalam pembangunan jalan, jembatan, dan gedung. Semen membentuk massa terikat yang keras melalui reaksi hidrasi suhu lingkungan, yang tidak membutuhkan panas. Empat senyawa utama dalam semen adalah tricalcium silikat, dikalsium silikat, tricalcium aluminate, dan tetracalcium aluminoferrite. 2.3.4 Refaktori Refaktori digunakan sebagai insulasi termal dalam tungku bersuhu tinggi. Mereka menahan degradasi oleh gas korosif, cairan, atau padatan pada suhu tinggi. Contoh bahan tahan api adalah silika, aluminium silikat, dan magnesit. 2.3.5 Glass Glass termasuk cermin, jendela, wadah, perlengkapan penerangan, dan serat kaca untuk isolasi termal dan komposit. Hampir semua gelas terbuat dari silika dengan tambahan oksida lain seperti boria, kalsia, alumina, dan bahan lainnya (Hennicke, 1991). 2.4 Sifat Keramik Konvensional Keramik konvensional pada umumnya memiliki beberapa sifat yaitu sifat elektrik, sifat mekanik, sifat kimia, sifat termal dan sifat optik. 2.4.1 Sifat Elektrik Ada banyak aplikasi keramik yang mementingkan sifat konduktifitas elektriknya. Salah satu aplikasinya yaitu sebagai isolator listrik seperti porselen dan kaca yang digunakan untuk isolasi tegangan rendah dan tinggi. Pada keramik konvensional memiliki sifat elektrik yang buruk. Elektron valensi terikat dalam ikatan dan tidak bebas seperti pada logam (Barry, 2013). 2.4.2 Sifat Mekanik Keramik biasanya memiliki sifat yang kuat, keras dan tahan korosi. Tetapi keramik memiliki keterbatasan utama yaitu kerapuhannya. Penerapan bahan keramik konvensional agak terbatas karena sifatnya yang rapuh. Penyebab sebagian besar keramik rapuh adalah ikatan ionik-kovalen yang mengikat atom penyusunnya sehingga partikel-partikelnya tidak mudah bergeser (Barry, 2013). 2.4.3 Sifat Kimia Salah satu sifat khas dari keramik adalah kestabilan kimia. Sebagian besar keramik stabil di lingkungan kimia dan termal yang kuat. Salah satu aplikasinya yaitu kaca pyrex yang digunakan secara luas di laboratorium kimia karena tahan terhadap banyak bahan kimia korosif, stabil pada suhu tinggi (tidak melunak sampai 1.100 °K), dan tahan terhadap guncangan termal karena koefisien muai panasnya yang rendah. Hal ini juga banyak digunakan dalam bakeware (Barry, 2013). 2.4.4 Sifat Termal Sifat ini sangat penting untuk semua jenis keramik. Sifat termal penting bahan keramik adalah kapasitas panas, koefisien ekspansi termal, dan konduktivitas termal. Kapasitas panas dan konduktivitas termal menentukan laju perubahan temperatur dalam keramik selama perlakuan panas dalam fabrikasi dan penggunaan. Hal ini sangat penting dalam memperbaiki ketahanan terhadap tegangan termal. Konduktivitas termal yang rendah penting untuk bahan yang digunakan sebagai isolator termal. Keramik amorf atau keramik konvensional mengandung banyak cacat kristal menyebabkan fonon selalu terhambur sehingga keramik konvensional merupakan konduktor panas yang buruk (Kingery, 1976). 2.4.5 Sifat Optik Banyak sifat optik yang berbeda dari material keramik pada setiap aplikasinya. Biasanya yang paling banyak ditemukan adalah kacamata dan kristal optik yang digunakan sebagai jendela, lensa, prisma, filter, atau aplikasi lain yang membutuhkan sifat optik sebagai fungsi utama dari material. Namun pada keramik konvensional, banyak nilai dan kegunaan produk seperti ubin, peralatan makan dan artware keramik, porcelain enamels, dan sanitary ware bergantung pada sifat seperti warna, tembus cahaya, dan permukaan yang mengkilap. Akibatnya, sifat optik penting untuk sebagian besar keramik (Kingery, 1976). 2.5 Proses Manufaktur Keramik Konvensional Sebagian besar bahan keramik konvensional atau keramik whiteware adalah clay atau tanah liat. Keramik whiteware menjadi putih setelah pembakaran pada temperatur tinggi. Yang termasuk dalam kelompok whiteware atau keramik konvensional adalah porselen, gerabah, peralatan makan, china, dan perlengkapan perpipaan (sanitary ware). Selain tanah liat, banyak dari produk ini juga mengandung bahan nonplastik yang mempengaruhi perubahan yang terjadi selama proses pengeringan dan pembakaran serta karakteristik bahan jadi (Callister, 2014). Adapun proses manufaktur dan fabrikasi keramik konvensional atau keramik berbahan dasar clay sebagai berikut. Teknik fabrikasi raw material yang ditambang biasanya harus melalui operasi milling atau grinding di mana ukuran partikel dikurangi, prosesnya diikuti dengan screening atau sizing untuk menghasilkan produk bubuk yang memiliki kisaran ukuran partikel yang diinginkan. Untuk sistem multikomponen, serbuk material harus dicampur dengan air dan mungkin bahan tambahan lainnya untuk memberikan karakteristik yang sesuai dengan teknik pembentukan yang digunakan. Potongan bahan yang dibentuk harus memiliki kekuatan mekanik yang cukup untuk tetap utuh selama pengangkutan, pengeringan, dan operasi firing. Dua teknik pembentukan yang umum digunakan untuk membentuk komposisi berbasis tanah liat yaitu hydroplastic forming dan slip casting (Callister, 2014). 2.5.1 Teknik Fabrikasi 2.5.1.1 Hydroplastic Forming Mineral lempung bila dicampur dengan air akan menjadi sangat plastis dan lentur serta dapat dicetak tanpa retak, namun memiliki kekuatan luluh yang sangat rendah. Konsistensi (rasio air-tanah liat) dari massa hidroplastik harus memberikan kekuatan luluh yang cukup untuk memungkinkan produk yang dibentuk mempertahankan bentuknya selama handling dan pengeringan. Teknik pembentukan hidroplastik yang paling umum adalah ekstrusi, di mana massa keramik yang bersifat plastis didorong melalui lubang cetakan yang memiliki penampang geometri yang diinginkan, proses ini mirip dengan ekstrusi logam. Batu bata, pipa, balok keramik, dan ubin biasanya dibuat dengan menggunakan pembentuk hidroplastik. Biasanya keramik plastik didorong melalui cetakan dengan menggunakan auger yang digerakkan motor, dan udara dikeluarkan dalam ruang vakum untuk meningkatkan kepadatan (Callister, 2014). 2.5.1.2 Slip Casting Proses pembentukan lain yang digunakan untuk produk berbasis tanah liat adalah slip casting. Slip adalah suspensi tanah liat dan/atau bahan nonplastik lainnya di dalam air. Saat dituang ke dalam cetakan berpori (umumnya terbuat dari plester Paris), air dari slip diserap ke dalam cetakan sehingga meninggalkan lapisan padat pada dinding cetakan yang ketebalannya tergantung pada waktu. Proses ini dapat dilanjutkan sampai seluruh rongga cetakan menjadi padat (pengecoran padat). Sebagai alternatif bila dinding cetakan padat telah mencapai ketebalan yang diinginkan maka dapat diakhiri dengan membalik cetakan dan menuangkan kelebihan slip, ini disebut drain casting (Callister, 2014). Gambar 2.1 Langkah-langkah dalam pengecoran (a) padat dan (b) slip menggunakan plester dari cetakan Paris (Callister, 2014). Sifat slip sangat penting, slip harus memiliki berat jenis yang tinggi namun sangat cair dan dapat dituangkan. Karakteristik ini bergantung pada rasio padat-air dan bahan lain yang ditambahkan. Tingkat pengecoran yang memuaskan merupakan persyaratan penting. Selain itu, bagian pengecoran harus bebas dari gelembung, dan harus memiliki penyusutan pengeringan yang rendah dan kekuatan yang relatif tinggi. Bentuk keramik yang agak rumit dapat dihasilkan dengan cara slip casting antara lain sanitary lavatory ware, benda seni, dan perlengkapan laboratorium ilmiah khusus seperti tabung keramik (Callister, 2014). 2.5.2 Drying dan Firing 2.5.2.1 Drying Potongan keramik yang telah dibentuk secara hidroplastik atau dengan slip casting mempertahankan porositas yang signifikan dan memiliki kekuatan yang kurang baik untuk sebagian besar aplikasi keramik. Selain itu, mungkin masih mengandung beberapa cairan (misalnya air) yang ditambahkan untuk membantu operasi pembentukan. Cairan ini dihilangkan dalam proses pengeringan, Saat produk keramik berbahan dasar tanah liat mengering, produk juga mengalami penyusutan. Pada tahap awal pengeringan, partikel tanah liat dikelilingi oleh air dan dipisahkan satu sama lain oleh lapisan tipis air. Saat pengeringan berlangsung, pemisahan antar partikel menurun, yang dimanifestasikan sebagai penyusutan. Energi gelombang mikro juga dapat digunakan untuk mengeringkan produk keramik. Satu keuntungan dari teknik ini adalah untuk menghindari temperatur tinggi yang digunakan dalam metode konvensional; suhu pengeringan dapat dijaga di bawah 50°C (120°F). Hal ini penting karena temperatur pengeringan beberapa produk yang peka terhadap temperatur harus dijaga serendah mungkin (Callister, 2014). 2.5.2.2 Firing Setelah pengeringan, produk biasanya dibakar pada temperatur antara 900°C dan 1400°C (1650°F dan 2550°F), temperatur pembakaran tergantung pada komposisi dan sifat yang diinginkan dari produk jadi. Selama operasi firing, kepadatan ditingkatkan lebih lanjut dan kekuatan mekanik juga ditingkatkan. Ketika bahan berbasis tanah liat dipanaskan hingga temperatur tinggi, beberapa reaksi yang agak kompleks dan terlibat terjadi. Salah satunya adalah vitrifikasi, yaitu pembentukan gelas cair secara bertahap yang mengalir dan mengisi sebagian volume pori. Tingkat vitrifikasi tergantung pada temperatur dan waktu pembakaran, serta pada komposisi bahan produk. Setelah mendingin, fase gabungan ini membentuk matriks kaca yang menghasilkan benda padat dan kuat. Jadi, mikrostruktur akhir terdiri dari fase vitrifikasi, partikel kuarsa yang tidak bereaksi, dan beberapa porositas. Temperatur pembakaran menentukan sejauh mana vitrifikasi terjadi, yaitu vitrifikasi meningkat seiring temperatur pembakaran dinaikkan. Namun, pembakaran porselen yang sangat vitrifikasi, yang berbatasan dengan tembus optik, terjadi pada suhu yang jauh lebih tinggi. Vitrifikasi lengkap dihindari selama firing karena produk menjadi terlalu lunak dan akan hancur (Callister, 2014). 2.5.3 Powder Pressing Metode penting dan umum lainnya yang memerlukan perawatan singkat adalah powder pressing. Powder pressing yaitu analog keramik dengan metalurgi bubuk, digunakan untuk membuat komposisi tanah liat dan bukan tanah liat, termasuk keramik elektronik dan magnetis, serta beberapa produk batu bata tahan api. Intinya, massa bubuk biasanya mengandung sedikit air atau pengikat lainnya, dipadatkan menjadi bentuk yang diinginkan dengan tekanan. Ada tiga prosedur dasar powder pressing: uniaxial, isostatic (atau hydrostatic), dan hot pressing. Untuk pengepresan uniaksial, bubuk dipadatkan dalam cetakan logam dengan tekanan yang diterapkan dalam satu arah. Potongan yang terbentuk mengambil konfigurasi die dan platens tempat tekanan diterapkan. Metode ini terbatas pada bentuk yang relatif sederhana, namun tingkat produksi tinggi dan prosesnya tidak mahal. Pengepresan isostatik, bahan bubuk dimasukkan dalam selubung karet dan tekanan diterapkan secara isostatis oleh fluida (yaitu, memiliki besaran yang sama di semua arah). Bentuk yang lebih rumit dibandingkan dengan penekanan uniaksial, teknik isostatis lebih memakan waktu dan mahal. Prosedur uniaksial dan isostatis, operasi firing diperlukan setelah operasi penekanan. Selama firing, bagian bahan yang telah terbentuk menyusut dan mengalami pengurangan porositas dan peningkatan integritas mekanis. Perubahan ini terjadi oleh penggabungan partikel bubuk menjadi massa yang lebih padat dalam proses yang disebut sintering (Callister, 2014). Dengan hot pressing, powder pressing dan perlakuan panas dilakukan secara bersamaan, agregat bubuk dipadatkan pada temperatur yang ditingkatkan. Prosedur ini digunakan untuk bahan yang tidak membentuk fasa cair kecuali pada suhu yang sangat tinggi dan tidak praktis. Proses ini adalah teknik fabrikasi yang mahal dan memiliki beberapa keterbatasan. Keterbatasan dalam hal waktu, karena mold dan die harus dipanaskan dan didinginkan selama setiap siklus. Selain itu, cetakan biasanya mahal untuk dibuat dan biasanya berumur pendek (Callister, 2014). 2.5.4 Tape casting Tape casting adalah teknik fabrikasi keramik yang penting. Sesuai dengan namanya, dalam teknik ini lembaran tipis pita fleksibel diproduksi melalui proses pengecoran. Lembaran-lembaran ini dibuat dari slip dalam banyak hal serupa dengan yang digunakan untuk slip casting. Jenis slip ini terdiri dari suspensi partikel keramik dalam cairan organik yang juga mengandung bahan pengikat dan plasticizers, yang digabungkan untuk memberikan kekuatan dan fleksibilitas pada pita cor. Pita sebenarnya dibentuk dengan menuangkan slip ke atas permukaan datar (dari baja tahan karat, kaca, film polimer, atau kertas), doctor blade menyebarkan slip menjadi pita tipis dengan ketebalan yang seragam (Callister, 2014).