Uploaded by adityaata00

BAB IV BISMILLAH

advertisement
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Lampung Dan Adat Istiadatnya
Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun
1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan keresidenan yang tergabung dengan
Provinsi Sumatra Selatan. Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 Maret
1964 tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatra
Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah
menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri
yang dapat menambah khazanah adat budaya di Nusantara.
Lampung (Aksara Lampung:
) adalah sebuah provinsi paling selatan di Pulau
Sumatra, Indonesia, dengan ibu kota Bandar Lampung. Provinsi ini memiliki dua
kota yaitu Kota Bandar Lampung dan Kota Metro serta 13 kabupaten. Posisi
Lampung secara geografis berada di sebelah barat berbatasan dengan Samudra
Hindia, di sebelah timur dengan Laut Jawa, di sebelah utara berbatasan dengan
provinsi Sumatra Selatan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda.
Provinsi Lampung memiliki luas 35.376,50 km² dan terletak di antara 105°45'103°48' Bujur Timur dan 3°45'-6°45' Lintang Selatan. Daerah ini berada di sebelah
barat berbatasan dengan Samudra Hindia, di sebelah timur dengan Laut Jawa, di
sebelah utara berbatasan dengan provinsi Sumatra Selatan, dan di sebelah selatan
berbatasan dengan Selat Sunda. Beberapa pulau termasuk dalam wilayah Provinsi
Lampung, yang sebagian besar terletak di Teluk Lampung, di antaranya: Pulau Darot,
Pulau Legundi, Pulau Tegal, Pulau Sebuku, Pulau Kelagian, Pulau Sebesi, Pulau
Pahawang, Pulau Krakatau, Pulau Putus dan Pulau Tabuan. Ada juga Pulau Tampang
dan Pulau Pisang di yang masuk ke wilayah Kabupaten Pesisir Barat.
Berbicara tentang adat istiadat atau kebudayaan yang terdapat di Lampung sudah
barang tentu banyak dan beragam jenisnya,
4.2 Sejarah Hukum Adat Lampung
Dalam perjalanan peradabannya masayarakat Lampung sejak zaman dahulu sudah
mengenal aturan yang dimana aturan itu sendiri tertulis dalam Kitab yang cukup
populis dengan sebutan “Kuttara” atau “Kuntara” jika di masyarakat pubian
“Kuttaro” atau “Kuntaro” jika di masyarakat abung. Berdasarkan catatan sejarah
masyarakat adat Lampung mengenal tata hukum adat tertulis “Kuttara Raja Niti” itu
sejak zaman majapahit berdasarkan catatan Kitab Negara Kertagama. Didalam
catatan kitab Negara kertagama sendiri dengan tegas menjelaskan bahwa lampung
merupakan daerah yang di kuasai oleh Kerajaan Majapahit.
Pada Era Zaman kekuasaan raja ke empat kerajaan Majapahit yang di pimpin oleh
Hayam Wuruk yang berkuasa sekitar tahun 1350-1389, dirinya mengumpulkan para
resi melalui mahapatih gajah mada membuat sebuah kitab aturan para raja yang
bernama “Kuttara Menawa” sebuah kitab yang berisikan tentang segala aturan
hukum (pidana dan perdata). Kitab “Kutara Manawa” ini di ilhami dari dua kitab
hukum yang lebih tua, yang sebelumnya pernah digunakan pada masa kerajaan
Singosari yaitu “Kutarasastra” dan “Manawasastra”.
Lalu, perlu diketahui pula bahwa kitab-kitab hukum yang digunakan di masa kerajaan
Singosari itu pun adalah saduran dan atau pengembangan dari hukum yang pernah di
terapkan pada masa kerajaan sebelumnya yaitu kerajaan Medang (Mataram kuno) dan
Kalingga. Dimana hukum tersebut dikenal nama “Dharmasastra”.
4.2.1 Bukti Tentang Kebenaran Kitab Kuttara Menawa
Dalam Kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora (seorang pembesar
Majapahit) dikenakan tuntutan hukuman mati berdasarkan kitab undang-undang
Kutara Manawa, akibat pembunuhannya terhadap Mahisa Anabrang ketika terjadi
pemberontakan Rangga Lawe. Dari uraian Kidung Sorandaka tersebut, kita pun bisa
mengetahui
tentang
adanya
kitab
undang-undang
yang
bernama
Kuttara
Manawa pada masa kerajaan Majapahit. Selanjutnya dalam penelitian prasastiprasasti di zaman Majapahit, setidaknya terdapat dua prasasti yang mencatat nama
kitab undang-undang Kuttara Manawa ini, yaitu Prasasti Bendasari (sayang tidak
bertarikh) dan Prasasti Trowulan yang berangka tahun 1358 Masehi.
Pada prasasti Bendasari yang dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Dyah Hayam
Wuruk/Brawijaya III) yang termuat dalam O.J.O LXXXV pada lempengan 6a,
tersebut nama perundang-undangan tersebut dalam kalimat seperti berikut ini:
“Makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara
prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda ka ring malama” Artinya: Dengan
berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kuttara Manawa dan lainnya, menurut
teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman dahulu.
Pada Prasasti Trowulan yang juga dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, maka pada
lempengan III baris 5 dan 6, kedapatan juga nama kitab perundang-undangan Kuttara
Manawa ini, yang bunyinya seperti berikut: ” …. Ika ta kabeh Kutara Manawa
adisastra wicecana tatpara kapwa sama-sama sakte kawiwek saning sastra makadi
Kutara Manawa ….” Artinya: Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan
kitab undang-undang Kuttara Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap
menafsirkan kitab-kitab undang-undang seperti Kuttara Manawa.
Dari uraian kedua prasasti tersebut, dapatlah kita pastikan bahwa nama kitab
perundang-undangan pada zaman kerajaan Majapahit adalah Kuttara Manawa.
Terjemahan dari kitab ini memang pernah diterbitkan oleh Dr. J.C.G Jonker pada
tahun 1885. Dan khusus pada pasal 23 dan 65 kitab undang-undang tersebut
menyebut nama Kuttara Manawa. Oleh karenanya dalam hal ini semakin dapat
dipastikan bahwa kitab perundang-undangan di zaman kerajaan Majapahit disebut
dengan Kuttara Manawa.
4.2.2 Susunan Dan Isi Kitab Kutara Manawa
Kitab hukum ini di tulis dalam bahasa Jawa kuno. Secara keseluruhan kitab Kuttara
Manawa ini terdiri dari 275 pasal yang lebih menitik beratkan kepada perkaraperkara hukum pidana (jenayah) disamping ada juga yang berkaitan dengan hukum
perdata semacam perkawinan, mahar, jual-beli, hutang-piutang dan lain-lain. Dari
penelusuran yang dilakukan, maka semua pasal-pasal itu termaktub ke dalam 19 Bab
sebagai berikut:
1. Bab I : Ketentuan umum mengenai denda.
2. Bab II : Asta Dusta atau Delapan macam pembunuhan.
3. Bab III : Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula.
4. Bab IV : Asta Corah atau Delapan macam pencurian.
5. Bab V : Sahasa atau Paksaan.
6. Bab VI : Adol-atuku atau Jual-beli.
7. Bab VII : Sanda atau Gadai.
8. Bab VIII : Ahutang-apihutang atau Hutang-piutang.
9. Bab IX : Titipan.
10. Bab X : Tukon atau Mahar.
11. Bab XI : Kawarangan atau Perkawinan.
12. Bab XII : Paradara atau Mesum.
13. Bab XIII : Drewe kaliliran atau Warisan.
14. Bab XIV : Wakparusya atau Caci-maki.
15. Bab XV : Dandaparusya atau Menyakiti.
16. Bab XVI : Kagelehan atau Kelalaian.
17. Bab XVII : Atukaran atau Perkelahaian.
18. Bab XVIII : Bhumi atau Tanah.
19. Bab XIX : Duwilatek atau Fitnah.
Dalam Bab umum dari kitab Kuttara Manawa ini dinyatakan secara tegas bahwa raja
yang berkuasa (sang amawa bhumi) harus teguh hatinya dalam menerapkan besar
kecilnya denda, jangan sampai salah dalam hal penetrapannya. Jangan sampai orang
yang bertingkah salah luput dari tindakan (hukuman). Itulah kewajiban raja yang
berkuasa jika sungguh-sungguh mengharapkan kerahayuan negaranya.
4.2.3 Penjelasan Hubungan Lampung Dan Majapahit
Berdasarkan data prasasti pada sekitar abad ke-7 hingga ke-11, Lampung merupakan
wilayah kekuasaan Sriwijaya. Selain Lampung, Jambi dan Bangka juga menjadi
wilayah kekuasaan Sriwijaya. Penguasaan ini salah satunya dilandasi sumber daya
emas yang ada di wilayah itu. Untuk melancarkan dan mengembangkan jalur
distribusi emas, dilakukan penaklukan-penaklukan ke berbagai wilayah yang belum
tunduk kepada Sriwijaya (Rangkuti, 1994: 165 – 166).
Kekuasaan Sriwijaya terhadap Lampung tampaknya tidak meliputi seluruh wilayah
tetapi hanya daerah-daerah yang dianggap penting bagi Sriwijaya, Prasasti Hujung
Langit berdasarkan unsur penanggalan dan paleografisnya memberi arah dugaan
pada adanya pengaruh kekuasaan Mpu Sindok dan Erlangga (Soekmono, 1985: 49).
Ketika Sriwijaya mengalami kemunduran, daerah-daerah di Lampung bangkit
sebagai daerah yang merdeka. Namun tampaknya daerah-daerah itu bukan
merupakan institusi kerajaan yang besar.
Menurut catatan Tomé Pires, yang ditulis pada abad ke-16, beberapa daerah di
Lampung menjalin hubungan dagang dengan Sunda dan Jawa. Hubungan ini
mungkin terjadi sejak Lampung di bawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Pada tahun
1017, 1025, dan 1068 Sriwijaya diserang kerajaan Cola, India. Serangan-serangan ini
melemahkan Sriwijaya, sehingga kerajaan Melayu (Jambi) melepaskan diri dari
kekuasaan Sriwijaya.
Kerajaan Melayu akhirnya dapat menguasai Sriwijaya dan semenanjung Malaka.
Prasasti Grahi bertarikh 1183 yang ditemukan di semenanjung Malaka menyebut
nama Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusanawarmadewa. Sebutan srimat
menunjukkan pembesar Melayu sebagaimana yang terdapat pada prasasti Padang
Roco. Hal ini menunjukkan semenanjung Melayu pada tahun 1183 berada di bawah
kekuasaan Melayu. Kekuasaan Melayu hingga meliputi seluruh pantai timur
Sumatera. Keadaan seperti ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1377 Melayu
ditaklukkan oleh Majapahit (Sholihat, 1980: 5). Prapanca dalam Negara kertagama
menyatakan bahwa Melayu berada di bawah kekuasaan Majapahit yang daerahdaerahnya antara lain meliputi Lampung (Muljana, 1979: 146). Dengan demikian
mungkin hubungan perdagangan yang diberitakan Tomé Pires sudah terjadi setelah
tahun
1377
ketika
Melayu
ditaklukkan
Majapahit.
Berkaitan dengan penaklukan Melayu oleh Majapahit, terjadi peristiwa penting yaitu
peristiwa Bubat. Carita Parahyangan, Kidung Sundãyana, dan Pararaton mencatat
peristiwa tersebut yaitu sebagai usaha penaklukan Sunda oleh Majapahit tetapi gagal.
Nagarakrtagama tidak mencatat peristiwa ini karena Prapanca sebagai pujangga
kraton tampaknya sengaja menyembunyikan peristiwa yang menjelekkan nama raja
tersebut. Pada waktu peristiwa ini terjadi raja yang berkuasa di Sunda adalah Prebu
Maharaja.
Setelah peristiwa Bubat, Wastu Kañcana naik tahta. Karena masih kecil, maka
pemerintahan dipe¬gang oleh Hyang Bunisora. Setelah Hyang Bunisora meninggal
dunia pada tahun 1371, Wastu Kañcana memegang pemerintahan. Menurut Carita
Parahyangan, Wastu Kañcana memerintah selama 104 tahun (1371 - 1475 M).
Pada masa ini pusat pemerintahan kerajaan Sunda di bagian timur yaitu di Kawali.
Sepeninggal Wastu Kañcana, digantikan oleh Tohaan di Galuh atau Ningrat Kañcana.
Pusat pemerintahannya dipindahkan dari Kawali ke Pakwan Pajajaran. Pada masa
pemerintahan Ningrat Kañcana ternyata tidak begitu banyak berita yang terdapat pada
prasasti maupun Carita Parahyangan.
Ningrat Kancana kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Sang Ratu
Jayadewata. Pada prasasti Kebantenan, tokoh ini disebut Susuhunan ayeuna di
Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis, tokoh ini disebut Prabu Guru
Dewataprana, Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu
Dewata. Pada prasasti tersebut, tokoh ini juga diberitakan ya nu nyusukna pakwan
(yang membangun parit di Pakwan).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahannya, pusat
kerajaan sudah berpindah dari Kawali ke Pakwan Pajajaran (Sumadio, 1990: 364 -369). Bila mengacu pada berita Tomé Pires, hubungan antara Sunda dengan
Lampung intensif pada masa akhir kerajaan Sunda. Pada masa itu pusat kerajaan
Sunda berada di Kawali dan Pakwan Pajajaran. Tomé Pires juga menyebutkan bahwa
perdagangan dari kawasan Lampung melalui pelabuhan Cheguide.
4.2.3.1 Jejak-Jejak Arkeologis
Mengacu pada berita Tome Pires, kawasan Lampung yang intensif berhubungan
dengan Sunda adalah Sekampung dan Tulang bawang. Pelabuhan Sunda di pantai
utara yang menjadi pintu gerbang adalah Cheguide. Di sepanjang DAS Way
Sekampung terdapat sekitar sebelas situs pemukiman yang ditandai dengan benteng
tanah. Situs-situs tersebut adalah Pejambon, Gelombang, Pugung Raharjo, Parigi,
Gedig, Benteng Sari, Cicilik, Jabung, Negara Saka, Batu Badak, dan Meris
(Triwuryani, 1998). Salah satu situs yang dinilai penting adalah Pugung Raharjo.
Secara administratif situs ini termasuk di wilayah Desa Pugung Raharjo, Kecamatan
Jabung. Lahan situs dikelilingi fetur benteng tanah dan parit. Dengan adanya benteng
tanah tersebut, areal situs terbagi menjadi tiga bagian. Peninggalan-peninggalan
arkeologis yang terdapat di situs Pugung Raharjo ini terdiri dari bermacam-macam
bentuk, diantaranya berupa batu berlubang, batu bergores, lumpang batu, menhir, dan
punden berundak. Pada salah satu punden ditemukan batu tufa berangka tahun 1247
Ś. Selain itu, di sebelah selatan dari punden terbesar terdapat punden arca. Pada
punden ini pernah ditemukan sebuah arca yang sekarang tersimpan di rumah
informasi situs Pugung Raharjo.
Arca menggambarkan tokoh laki-laki duduk di atas padmasana ganda yang berbentuk
bulat dengan sikap Vajrasana. Pada bagian belakang padmasana terdapat bingkai
menonjol, berhias motif sulur. Pada arca tidak dilengkapi stela.
Sikap tangan atau mudra digambarkan telunjuk kiri mengarah ke atas, telunjuk kanan
dibengkokkan di atas telunjuk kiri, jari-jari tangan yang lain dilipat. Kedua telapak
tangan berada di depan dada. Mudra seperti ini tidak lazim, tetapi mendekati
naivedyamudra yaitu mudra yang diilhami sikap yang biasa digunakan oleh para
penganut aliran tantrisme dalam memberikan persembahan. Dilihat dari cirinya, arca
ini menggambarkan salah satu tokoh Tantrisme.
Arca tersebut bergaya Jawa Timur, sebelum jaman Majapahit sekitar abad ke-12 atau
ke-13 (Soekatno, 1985: 165 – 166; Widyastuti, 2000: 132 – 133). Keramik yang
ditemukan kebanyakan keramik Cina dari abad ke-8 atau ke-9 sampai dengan abad
ke-17 (keramik Tang hingga Qing). Tembikar yang ditemukan kebanyakan berupa
wadah baik terbuka maupun tertutup. Fragmen kendi tipe lokal yang disebut kibu
juga banyak ditemukan. Berdasarkan tinggalan arkeologik yang ditemukan, dapat
disimpulkan bahwa situs Pugung Raharjo berkembang sejak zaman Majapahit hingga
abad ke-17.
Melimpahnya keramik asing menunjukkan aktivitas perdagangan berlangsung secara
intensif. Mengenai Tulang bawang, hingga sekarang tercatat 18 situs pemukiman
yang juga ditandai benteng tanah. Situs tersebut dijumpai di sepanjang Way Kiri,
Way Kanan, dan Way Tulang bawang.
Way Tulang bawang adalah sungai utama yang merupakan menyatunya antara Way
Kiri dan Way Kanan. Kedua sungai ini menyatu di Pagar dewa. Pada sepanjang Way
Kiri terdapat situs Bumi agung Tua, Karta Talang, Benteng Sabut atau Bujung
Menggalou, Gedong Ratu Tua, Benteng Prajurit Puting Gelang, Keramat Gemol,
Benteng Minak Temenggung, dan Pagardewa.
Pada sepanjang Way Kanan terdapat situs Batu Putih, Gunung Terang, dan Benteng
Aceh. Pada sepanjang Way Tulang Bawang terdapat situs Benteng Bakung, Gunung
Tapa, Gedong Meneng, dan Dente. Selain pada sepanjang sungai besar, juga terdapat
situs yang berada di tepi sungai kecil. Situs-situs itu adalah Jung Belabuh di tepi
Tulung Kalutum, Bakung Nyelai di tepi Tulung Bakung Nyelai, dan Umbul Lekou di
tepi Way Bawang Bakung. Penelitian intensif pernah dilakukan di situs Benteng
Sabut dan Gunung Terang. Situs Benteng Sabut secara administratif termasuk
wilayah Kampung Gunungkatun. Way Kiri mengalir di sebelah tenggara hingga
timur situs. Fakta arkeologis yang terdapat di situs Benteng Sabut berupa fitur parit
(cekungan), benteng dan tanggul (gundukan tanah), makam kuna, serta sebaran
artefak.
Parit pada bagian dekat Way Kiri berpola segi lima. Pada sisi dalam parit terdapat
benteng. Benteng dan parit ini pada sisi barat bermula dari tepi Way Kiri ke arah
barat laut kemudian belok ke arah utara agak ke timur, selanjutnya agak berbelok ke
arah timur. Pada bagian luar sudut tenggara benteng, di tepi Way Kiri terdapat fitur
makam kuna. Tokoh yang dimakamkan adalah Minak Sendang Belawan. Keadaan
makam sedikit lebih tinggi dari lahan sekitar tetapi tidak menggunduk, tidak
dilengkapi nisan (Saptono, 2002: 88 – 89).
Fakta artefaktual yang pernah ditemukan di bagian ini berupa fragmen keramik,
fragmen tembikar, serpih obsidian, kerak besi, paku, fragmen wadah perunggu, dan
manik-manik. Fragmen tembikar ada yang berhias, di antaranya merupakan bagian
dari kibu (kendi). Benda tembikar utuh berbentuk gacuk, tatap, dan cangkir.
Benda tembikar ada yang berupa terakota berbentuk kubus berukuran sekitar 1,5 X
1,5 X 3 cm. Pada keempat sisi panjang berhias garis-garis. Selain itu terdapat
beberapa benda arkeologis berupa gandik, fragmen pipisan. Analisis keramik pada
aspek penanggalan secara relatif diperoleh gambaran dari berbagai jaman yaitu dari
Cina masa dinasti Han (awal Masehi hingga abad ke-3), Sui (abad ke-6 hingga ke-7),
T’ang (abad ke-7 -- 10), Song (abad ke-10 -- 13), Yuan (abad ke-13 -- 14), Ming
(abad ke-14 -- 17), Qing (abad ke-17 -- 20), Thailand (abad ke-13 -- 14), 20)
(Saptono, 2003: 42 --Annam (abad ke-15), dan Eropa (abad ke-19
43).
Gunung Terang merupakan situs pemukiman yang berkembang hingga sekarang
menjadi perkampungan. Menurut cerita masyarakat, sebelumnya kampung itu
merupakan perkampungan orang Melayu yang kemudian diduduki orang Gunung
Terang. Sebelumnya orang Gunung Terang bermukim di seberang sungai yang
sekarang dikenal dengan nama Batu Putih (komplek arkeolog cagar budaya
Kampung Kapur).
Jejak-jejak pemukiman lama berupa fetur parit dan sebaran artefak. Pada bagian
selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur dari
selatan ke utara hingga sungai kecil yang disebut Way Ngisen. Di bagian utara
pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara Way
Kanan dengan Way Ngisen.
Sungai ini disebut Sungai Pengaliran Darah. Kawasan di sebelah selatan dan timur
perkampungan terdapat beberapa lebung antara lain Lebung Seroja yang terdapat di
antara pelantingan dengan Way Kanan, Lebung Kibang, dan Lebung Tikak yang
berada di sebelah timur kampung. Di sebelah tenggara terdapat gunung yang
dikeramatkan disebut Gunung Sri Gandow.
Bekas kampung lama terdiri bekas Kampung Melayu dan bekas Kampung Gunung
Terang. Lokasi bekas Kampung Melayu berada di ujung tenggara pemukiman dekat
Lebung Tikak. Jejak-jejak bekas pemukiman tidak terlihat dengan jelas, kecuali
hanya sebaran artefak pada lahan yang berpola segi empat dengan luas sekitar 2
hektar. Di sebelah selatan lokasi ini merupakan lokasi kampung Gunung Terang
lama. Pada bagian selatan lokasi ini terdapat bekas bangunan tempat musyawarah
adat (sesat) jika di jaman majapahit di kenal dengan sebutan paseban.
Masyarakat Gunung Terang yang disebut Sesat Watun. Pengamatan di sekitar lokasi
terdapat sebaran fragmen keramik asing dan lokal (Saptono, 2004: 47 – 49).
Analisis keramik temuan ekskavasi menunjukkan dari berbagai jaman yaitu dari Cina
masa dinasti Han (awal Masehi hingga abad ke-3), Sui (abad ke-6 -- 7), T’ang (abad
ke-7 -- 10), Yuan (abad ke-13 -- 14), Ming (abad ke-15 -- 17), Qing (abad ke-17 -20), Thailand (abad ke-13 -- 14), Annam (abad ke-15), dan Eropa (abad ke-19 -- 20).
Keramik Cina masa dinasti Qing merupakan temuan terbanyak. Fragmen keramik
dari Eropa merupakan temuan terbanyak kedua, selanjutnya fragmen keramik Cina
masa dinasti Ming. Keramik T’ang hanya ditemukan sebanyak 2 keping. Keramik
masa dinasti Sui dan Han masing-masing hanya ditemukan 1 keping. Tembikar yang
ditemukan kebanyakan berasal dari tipe periuk, tempayan, kibu, dan tungku lokal
yang
disebut
tumang
(Saptono,
2004
a:
30).
Di Sunda, menurut catatan Tomé Pires yang mempunyai peranan dalam hubungan
dengan Lampung adalah Cheguide. C. Guillot berdasarkan kronik Barros, Couto, peta
C. 1540, roteiro C. 1528, dan akta notaris 1527 menarik satu hipotesis bahwa
Cheguide berada antara Pontang dan Tangerang, tepatnya antara Tanjung Kait dan
Muara Cisadane yaitu di sekitar Kali Kramat (Guillot, 1992: 15 -- 16).
Penelitian lapangan di situs Kramat menemukan indikator pemukiman di tepi pantai
(pelabuhan). Situs Kramat terdapat di Desa Sukawali, Kecamatan Pakuhaji. Di
kawasan situs ini terdapat beberapa objek arkeologis antara lain makam, fragmen
komponen
bangunan,
kapal,
serta
fragmen
keramik,
gerabah,
dan
besi.
Makam yang terdapat di situs ini berupa makam panjang. Tokoh yang dimakamkan
bernama Syekh Daud bin Said pendatang dari Hadramaut. Berdasarkan pengamatan
pada singkapan hasil penggalian masyarakat banyak ditemukan artefak berupa
fragmen keramik baik lokal maupun asing, fragmen benda-benda kaca, dan fragmen
besi.
Artefak tersebut kebanyakan ditemukan pada kedalaman sekitar 0,5 m. Berdasarkan
sebaran artefak yang terdapat di permukaan, luas situs diduga sekitar 10 hektar.
Berdasarkan keterangan penduduk setempat juga pernah ditemukan beberapa keping
mata uang. Fragmen komponen bangunan yang ditemukan berupa ubin terakota,
struktur bekas sumur berbentuk lingkaran, fondasi bangunan yang juga dari bahan
bata.
Pada empang di sebelah utara perkampungan, berjarak sekitar 0,5 km atau 0,5 km
dari pantai terdapat fragmen kapal dengan posisi membentang arah timur-barat
(sejajar dengan garis pantai). Fragmen kapal yang terlihat merupakan bagian sisi
lambung sepanjang sekitar 2 m. Bagian yang lain masih tertimbun tanah. Ujung kapal
selanjutnya terlihat pada empang di sebelahnya. Secara keseluruhan dari ujung ke
ujung yang masih ada panjangnya sekitar 6 m. Kapal ini terbuat dari bahan besi.
Keseluruhan temuan fragmen keramik, yang tertua berasal dari masa dinasti T’ang
(abad ke-7 -- 10) dan yang termuda keramik Eropa (abad ke-19 -- 20).
Berdasarkan temuan keramik tergambar bahwa pemukiman di situs Kramat
berlangsung paling lama sejak abad ke-7 -- 20. Namun karena tidak ditemukannya
keramik dari masa dinasti Yuan (abad ke-13 -- 14) dapat diduga pada masa-masa
tersebut mengalami pasang surut. Aktifitas meningkat secara pesat pada masa dinasti
Ming (abad ke-14 -- 17) dan mencapai puncaknya pada masa dinasti Qing (abad ke17 -- 20) dan selanjutnya surut lagi (Saptono, 1998: 245 – 248). Surutnya aktivitas
pada abad ke-13 hingga ke-13 mungkin juga disebabkan pada kurun waktu itu pusat
pemerintahan kerajaan Sunda berada di wilayah timur yaitu di Kawali.
4.2.3.2
Berdasarkan Keterangan Tertulis Dalam Kitab Negara kertagama
Pupuh 8:
1. Warnnan tinkah ikan puradbhuta kuthanya bata ban umider mmakandel
aruhur, kulwan / di dwura waktra manharpakan lbuh agen i tnah way edran
adalm, brahmasthana matungalan pathani buddi jajar inapi kapwa sök
caracara, nka (95a) tongwan para tanda tan pgat aganti kumemit i karaksanin
purasabha.
2. Lor ttan gopura cobhitabhinawça konten ika wsi rinupakaparimita, wetan /
sandin ikarjja pangun aruhur / patigan ika binajralepa maputih, kannah lor
kkidul i pken / raket ikaɳ yaça wkasin apanjan adbhuta dahat, anken / caitra
pahomaniɳ bala samuha kidul ika catuspathahyan ahalp.
3. Slwagimbar ikan wanuntur an haturddiçi watanan ikawitana ri tnah, lor ttan
weçma panankilan / para bhujanga khimuta para mantry alingih apupul, wetan
/ ngwan para çewa bodda mawiwada mucap aji sahopakara wki sök,
prayaçcitta ri kalanin grahana phalguna makaphala haywanin sabhuwana.
4. Kannah wetan ikan pahoman ajajar ttiga tiga ri tnah kaçaiwan aruhur, ngwan
san wipra kidul padottama susun / barat i natar ikabatur patawuran, ngwan san
sogata lor susun tiga tikaɳ wanunan i pucak arjja mokirukiran, kapwanjrah
racananya puspa pinaran / nrpati satata yan hanoma mapupul.
5. Nkaneɳ jro kidulin wanuntur ahlt / palawanan ika (95b) na paçewa atatha,
wecmarjjajajar anhapit hawan anulwan i tnah ika tanjun anjran askar, ndah
kulwan / mahlt muwah kidul i pangun ika balay aneka medran i tpi, arddalwa
ri tnah natar nikana mandapa pasatan açankya lot mawurahan.
6. Ri jronyeki muwah paçewan akidul / dudug anusi wijil kapiɳrwa ri dalm,
tinkahnyeki tinumpatumpa mahlt / palawanan ikanaɳ sapanta tininkah, kapwa
wweçma subadda watwan ika len / saka balabag usuknya tanpacacadan, sök
deni bala hajy anankil agilir / makmit an umapeksa wara matutur.
Artinya:
1. Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu
barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon
brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di
situlah tempat tunggu para tanda terus-menerus meronda, jaga paseban.
2. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir Di
sebelah timur: panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat, Di
bagian utara, di selatan pekan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah, Di
selatan jalan perempat: balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.
3. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang
watangan Yang meluas ke empat arah; bagaian utara paseban pujangga dan
menteri. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buddha, yang bertugas membahas
upacara. Pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia.
4. Di sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di sebelah
tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban.
Bertegak di halaman sebelah barat; di utara tempat Buddha bersusun tiga.
Puncaknya penuh berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.
5. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat pintu, itulah pasukan. Rumah bagus
berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga Lebat. Agak jauh di
sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengahtengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.
6. Di dalam, di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang
kedua. Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri.
Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela, Para
prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar Tutur.
Pupuh 12:
1. Warnnan tinkah ikaɳ pikandel atathattut kantaniɳ nagara, wetan / saɳ dwija
çaiwa mukya sira danhyaɳ brahmarajadika, nkaneɳ daksina bodda mukyan
anawuɳ sanka karnkannadi, kulwan / ksatriya mantri pungawa sa gotra çri
narendradipa.
2. Wetan dan mahlt / lbul pura narendreɳ wenker atyadbhuta, saksat indra lawan
saci nrpati lawan saɳ narendreɳ daha, saɳ natheɳ matahun / narendra ri lasem /
mungwiɳ dalm tan kasah, kannah daksina tan madoh kamgetan / saɳ natha
çobhahalp.
3. Nkaneɳ uttara lor sakeɳ pken agoɳ kuww ahalp / çobhita, saɳ saksat ari de
nareçwara ri wenker saɳ makuww apagoh, satyasih ri narendradira nipuneɳ
nityapatih rin daha, kyatin rat / manaran / bhatara narapaty ande halp niɳ
praja.
4. Wetan lor kuwu saɳ gajahmada patih riɳ tiktawilwadika, mantri wira
wicaksaneɳ naya matangwan / satya bhaktyaprabhu, wagmi wak padu
sarjjawopasama, dihotsaha tan lalana, raja dyaksa rumaksa ri sthiti narendran
cakrawarttiɳ jagat.
5. Nda nkane kidul iɳ puri kuwu kadarmmadyaksan arddahalp, wetan rakwa
kaçaiwan uttama kaboddakulwan naçryatatha, tan warnnan kuwu saɳ
sumantry adika len / mwan saɳ para ksatriya, deniɳ kwehnira bheda ri
sakuwukuww ande halp niɳ pura.
6. Lwir ccandraruna tekanaɳ pura ri tikta çri phalanopama, tejangeh nikanaɳ
karaɳ sakuwukuww akweh madudwan halp,lwir ttaragraha tekanaɳ nagara
çesannekha mukyaɳ daha,mwaɳ nusantara
sarwwa mandalita
rastra
naçrayakweh mark.
Artinya:
1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng timur tempat tinggal
pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja, selatan Buddha-sangga dengan
Rangkanadi sebagai pemuka barat tempat arya, menteri dan sanak-kadang
adiraja.
2. Di timur, tersekat lapangan, menjulang istana ajaib, Raja Wengker dan rani
Daha penaka Indra dan Dewi Saci, berdekatan dengan istana raja Matahun
dan rani Lasem, tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.
3. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi, Di situ menetap patih
Daha, adinda Baginda di wengker, Batara Narapati, termashur sebagai tulang
punggung praja, cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
4. Di timur laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada, Menteri wira,
bijaksana, setia bakti kepada negara, fasih bicara, teguh tangkas, tenang
tegas, cerdik lagi jujur, Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda
negara.
5. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus, Sebelah timur
perumahan Siwa, sebelah barat Buddha, Terlangkahi rumah para menteri,
para arya dan satria, Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya
pura.
6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang, menandingi
bulan dan matahari, indah tanpa upama, Negara-negara di Nusantara, dengan
Daha bagai pemuka, Tunduk menengadah, berlindung di bawah Wilwatika
(Majapahit).
Pupuh 13:
1. Lwir niɳ nusa pranusa pramukha sakahawat / ksoni ri malayu, naɳ jambi
mwaɳ palembaɳ karitan i teba len / darmmaçraya tumut, kandis kahwas
manankabwa ri siyak i rkan / kampar mwan i pane, kampe harw athawe
mandahilin i tumihaɳ parllak / mwan i barat.
2. Hi lwas lawan samudra mwan i lamuri batan lampuɳ mwaɳ i barus,
yekadinyaɳ watek / bhumi malayu satanah kapwamateh anut. len tekaɳ nusa
tañjuɳ nagara ri kapuhas lawan ri katinan, sampit / mwaɳ kutalinga mwan i
kutawarinin / sambas mwan i lawai.
Artinya:
1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi,
Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut juga disebut daerah Kandis,
Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta
Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang.
2. Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus, Itulah
terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk, Negara-negara di pulau
Tanjungnegara: Kapuas-Katingan Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin,
Sambas, Lawai ikut tersebut.
Pupuh 18:
1. Yyankat / çri natha sakeɳ kapulunan ikanaɳ rajabhrtya niriɳ sök, salwaniɳ
rajamarggäparimita hibkan / syandanomwat matambak, wwaɳ niɳ wwaɳ
pekhaniɳ peka tka saha padati harp / mwaɳ ri wuntat, dudwaɳ wadwa darat /
seh girimisen amedep / mwaɳ gajaçwadi kirnna.
2. Nistanyaçankya taɳ syandana mapawilanan deni cihnanya bheda, tekwan
lampah nikapanta tulis ika dudu ri saɳ mantri samantri, rakryan saɳ mantri
mukyapatih i majhapahit / saɳ pranalen kadatwan, pinten / mawan çata
syandana pulupulutan teki cihnanya neka.
3. Saɳ çri natheɳ pajaɳ kwehni rathanira padacihnaniɳ diwaça çri, ndan / çri
natheɳ lasem / sök / rathanira matulis / nandaka çweta çobha, saɳ çri natheɳ
daha
cihna
sadahakusuma
syandanabhratulis
mas,
mukyaɳ
çri
jiwanendrasakata samasama cihna lobheɳ lwih sök.
4. Ndan saɳ çri tiktawilwaprabhu sakataniraçankya cihnanya wilwa, gritisiɳ
lobhe lwih laka pada tinulis iɳ mas kajaɳnyan rinenga, salwirniɳ
pungawamwat / bini haji nuniweh .. çwari çri sudewi,(101a) sakwehniɳ
pekabharyya sakata nika sinaɳ panharpniɳ sapanta.
5. Mungwiɳ wuntat / ratha çri nrpati rinacanaɳ swarnna ratna pradipta, anyat /
lwirnyatawiɳ jampana sagala mawalwahulap / söɳnya lumra, kirnneɳ wadwa
niriɳ
jangala
kadiri
sdah
paɳaraɳ
sök
marampak,
astam
tekaɳ
bhayaɳkaryyamawamawa duduɳ bhrtya mungwiɳ gajaçwa.
6. Ndah prapteɳ pañjuran / munkur atiki lariniɳ syandaneñjiɳ mararyyan,
lampalfniɳ khawy animpan sumeper i sawunan / matilawad / wanduwargga,
linsirniɳ suryya mankat marni ri haliwat / çri narendran lumampah, tut
marggamurwwa çighran datn i watukiken / ri matañjuɳ mararyyan.
7. Deçasimpar
kkaboddan
kapark
i
tpiniɳ
marggakaywanya
poryyaɳ,
pratyekanye galangaɳ muwah ikan i baduɳ tan madoh mwaɳ baruɳbuɳ, tan
karyyaner mmanik / towi kawiçaya ri yanatrayangehnya menöt, saɳ
darmmadyaksa çighran / sinegehan ika riɳ bhojanapana tusta.
8. Sampun / prapte kulur mwaɳ batan i ganan asem / teki lampah narendra, tistis
/ hyaɳ suryya pinten / ghatita pitu sirm kamukhan sanhub awra, skandaware
tnah niɳ harahara dinunuɳ çri narendre kamantyan, praptan wyapara (101 b)
sampun / panadahira madum / sthana tekiɳ wwan akweh.
Artinya:
1. Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak, Sepanjang jalan
penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impit, Pedati di muka dan di
belakang, di tengah prajurit berjalan kaki, berdesak-desakan, berebut jalan dengan
binatang gajah dan kuda.
2. Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya, Meleret
berkelompok-kelompok, karena tiap menteri lain lambangnya, Rakrian sang
menteri Patih Amangkubumi penata kerajaan, Keretanya beberapa ratus
berkelompok dengan aneka tanda.
3. Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari, Semua kereta Sri Nata
Lasem bergambar cemerlang banteng putih, Kendaraan Sri Nata Daha bergambar
Dahakusuma emas mengkilat, Kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik
perhatian.
4. Kereta Sri Nata Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah maja, Beratap kain
geringsing, berhias lukisan emas, bersinar merah indah, Semua pegawai,
parameswari raja dan juga rani Sri Sudewi, Ringkasnya para wanita berkereta
merah, berjalan paling muka.
5. Kereta Sri Nata berhias emas dan ratna manikam paling belakang, Jempanajempana lainnya bercadar beledu, meluap gemerlap, Rapat rampak prajurit
pengiring
Janggala
Kediri,
Panglarang,
Sedah,
Bhayangkari
gemruduk
berbondong-bondong naik gajah dan kuda.
6. Pagi-pagi telah tiba di Pancuran Mungkur; Sri Nata ingin rehat, Sang rakawi
menyidat jalan, menuju Sawungan mengunjungi akrab, Larut matahari berangkat
lagi tepat waktu Sri Baginda lalu, Ke arah timur menuju Watu Kiken, lalu
berhenti di Matanjung.
7. Dukuh sepi ke-buddha-an dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang, Berbeda-beda
namanya Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung, Tak terlupakan
Ermanik, dukuh teguh-taat kepada Yanatraya, Puas sang Dharmadhyaksa
mencicipi aneka jamuan makan dan minum.
8. Sampai di Kulur, Batang di Gangan Asem perjalanan Sri Baginda Nata, Hari
mulai teduh, surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam, Baginda memberi
perintah memasang tenda di tengah-tengah sawah, Sudah siap habis makan,
cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat.
Pupuh 63:
1. Enjiɳ çri natha warnnan/ mijil apupul aweh sewa riɳ bhrtya mantri,
aryyadinyaɳ markh/ mwaɳ para patih atatha riɳ witanan palingih, nka saɳ ma(119a) ntryapatih wira gajamada mark sapranamyadarojar, an wanten/
rajakaryyalihulihn ikanaɳ daryya haywa pramada.
Artinya:
1. Tersebut paginya Sri Naranata dihadap para menteri semua, Di muka para
arya, lalu pepatih, duduk teratur di manguntur, Patih Amangkubumi Gajah
Mada tampil ke muka sambil berkata: “Baginda akan melakukan kewajiban
yang tak boleh diabaikan.
Pupuh 79:
2. Cri natheɳ wenker otus manapaka rikanaɳ deça sakwehnya warnnan,çri
natheɳ sinhasaryy otus anapaka ri göɳniɳ dapur saprakara, kapwagögwan/
patik/ gundala siran umiwö karyya tan lambalamba, hetunyaɳ yawabhumy
atutur in ulah anut/ çaçana çri narendra.
Artinya:
2. Segenap desa sudah diteliti menurut perintah Raja Wengker, Raja Singhasari
bertitah mendaftar jiwa serta seluk-salurannya, Petugas giat menepati perintah,
berpegang kepada aturan, Segenap penduduk Jawa patuh mengindahkan perintah
Baginda raja.
Pupuh 80:
1. Lwir nikanaɳ kasogatan i bali kadikaranan/ muwah kuti hañar, lawan i
purwwanagara muwah wihara bahun adirajya kuturan, nöm tikanaɳ
kabajradaran uttama nhin i wihara taɳ kawinayan, kirnna makadin aryya
dadi rajasanmata kutinya tan wicaritan.
2. Milwa tikaɳ sudarmma ri bukhit/ sulaɳ lmah i lampun anyawasuda,
kyatyanaran tathagatapura grhaswadara supraçastin amatöh, bhyoma
rasakka çaka diwaçanya suk/ nrpati jiwaneçwara danu, wrdda sumantry
upasakan abhumiçudda t-her apratistan inutus.
3. Salwir ikaɳ swatantra tuhu sapramana pagöh tkap narapati, kirtti san adi
sajjana çakawakhanya ya rinaksa mogha tinnöt, manka junga swabhawa san
inuttama prabhu wiçesa digjaya wibhuh, nyama muwah rinaksa sahanani
kirttinira deni saɳ prabhu hlem.
Artinya:
1. Perdikan kebudayaan Bali sebagai berikut; biara Baharu (hanyar),
Kadikaranan, Purwanagara, Wiharabahu, Adiraja, Kuturan, Itulah enam
kebudayaan Bajradara, biara kependetaan, Terlangkahi biara dengan bantuan
negara seperti Arya-dadi.
2. Berikut candi makam di Bukit Sulang, Lemah Lampung, dan Anyawasuda,
Tatagatapura, Grehastadara, sangat mashur, dibangun atas piagam, Pada tahun
Saka angkasa rasa surya (1260) oleh Sri Baginda Jiwana, Yang memberkahi
tanahnya, membangun candinya: upasaka wreda mentri.
3. Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri, Terjaga dan
terlindungi segala bangunan setiap orang budiman, Begitulah tabiat raja
utama, berjaya, berkuasa, perkasa, Semoga
Pupuh 81:
1. Göɳnyarambha nareçware pageha
saɳ
tripakse jawa, purwwacaranireɳ
praçastyalama taɳ rinaksan iwö, kotsahan haji yatna donira wineh patik gundala, tan
wismrtyanireɳ caradigama çiksa len/ çaçana.
Artinya:
1. Besarlah minat Baginda untuk tegaknya tripaksa, Tentang piagam beliau bersikap
agar tetap diindahkan, Begitu pula tentang pengeluaran undang-undang, supaya laku
utama, tata sila dan adat-tutur diperhatikan.
4.3. Perubahan Kuntara Raja Niti Menjadi Jugul Muda
Denys Lombard (1938-1998) dalam karyanya yang berjudul Nusa Jawa: Silang
Budaya mengatakan, karena minimnya catatan tentang kerajaan Demak kemudian
ada sebagian sejarawan yang menganggap kesultanan Islam yang didirikan Raden
Fatah bersama para dewan wali ini tidak memiliki prestasi besar dalam lemabaran
sejarah Nusantara. Masa kesultanan Demak juga disimpulkan sebagai periode yang
singkat.
Vonis periode Demak sebagai masa transisi dari Majapahit menuju Mataram
setidaknya dijatuhkan oleh ahli sejarah Indonesia kelahiran Rotterdam, Netherlands
Hermanus Johannes de Graaf (1899-1984) dan ahli sastra Jawa kelahiran Leipzig,
Jerman Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1899 1988). De Graaf dalam buku Awal
Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati (2001), misalnya, menuliskan
sub judul yang berbunyi “Selingan Demak”.
Selanjutnya de Graaf memberi porsi yang lebih banyak pada pembahasan periode
Mataram Islam: mulai awal pendirian, intrik politik di dalamnya, hingga ambisi
Senopati dan keturunannya dalam menaklukkan wilayah di sepanjang pesisir utara
Jawa. Berbeda dengan de Graaf dan Pigeaud, Lombard melihat periode Demak
sebagai masa yang sangat penting. Satu era yang pada masanya telah terjadi revolusi
kelas sosial.
Pada masanya kesultanan Demak telah memberikan dampak besar pada kehidupan
sosial kebangsaan di wilayah Jawa-Nusantara. Jangan hanya melihat durasi
kepemimpinan para sultan yang menobatkan dirinya sebagai keturunan (keluarga)
Raden Fatah. Tetapi lihatlah pula jangkaun diplomasi politik dan pengaruh kekuasaan
Demak kala itu. Kesultanan Demak mewarisi atau meneruskan kebesaran Majapahit.
Ketika Demak berjaya, hampir seluruh wilayah Jawa tunduk. Di luar itu, penguasa di
Pasai, Palembang, Banten, Pasir Luhur (kini sekitar Banyumas), Cirebon,
Banjarmasin, hingga Maluku pernah merasakan kiriman bantuan bala tentara
angkatan laut Demak yang kesohor itu.
Hal lain yang juga harus diingat, kesultanan Demak tidak hanya disibukan mengurus
wilayah internal di Nusantara. Pasca runtuhnya kerajaan Majapahit para penjarah
dari asing mulai berdatangan. Ini adalah sisi lain atau tugas tambahan yang semakin
menyibukkan para raja kesultanan Demak. Karena itu, periode Demak tidak layak
diabaikan begitu saja.
Berdirinya kesultanan Demak juga menandai lahirnya orang-orang (kelompok elit)
baru dan tatanan yang juga baru. Periode Demak betul-betul telah membuat batas
dengan periode sebelumnya, masa kejayaan Majapahit. Kaum elit Demak yang terdiri
orang-orang baru (muslim; santri; pedagang) kemudian merumuskan model tatanan
baru yang khas, berbeda dengan masa kerajaan Majapahit.
Tatanan baru yang telah dirumuskan para penguasa kesultanan Demak adalah kitab
undang-undang yang bernama Salokantara atau Jugul Muda (Pigeaud, Literature of
Java, 1967; Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya II, 2000:55). Kitab Salokantara
berisi tentang seluruh hal-ihwal yang mengatur pola relasi kehidupan masyarakat
Nusantara di bawah kesultanan Demak.
Di dalam kitab tersebut di jelaskan bahwa semua manusia mempunyai derajat yang
sama, sebagai hamba Tuhan. Rakyat bukanlah sahaya yang berhadapan dengan sang
tuan (Suadi dan Candra, Politik Hukum, 2016:346) Kitab Salokantara juga
diceritakan berisi 1044 (seribu empat puluh empat) contoh kasus hukum.
Keberadaannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kitab undang-undang
kesultanan Demak lainnya, kitab Jugul Muda. Pesan universal yang terkandung
dalam
kitab undang-undang kesultanan Demak ini adalah semua manusia
mempunyai derajat yang sama, sebagai hamba Tuhan.
Rakyat bukanlah sahaya yang berhadapan dengan sang tuan (Suadi dan Candra,
Politik Hukum, 2016:346).
Kondisi sosio-kultural di Nusantara telah berubah, dari Majapahit ke Demak. Karena
itu, tatanan sosial yang baru juga harus diterbitkan. Di sisi lain, kitab Salokantara ini
juga menegaskan bahwa pada saat itu telah terjadi dialog dan saling mengakui antara
produk hukum yang digali dari nilai-nilai ajaran Hindu-Jawa dan hukum Islam yang
sedang berkembang (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya II, 2000:54). Lebih jauh
lagi, hal ini akan menegaskan kesimpulan bahwa pada masa kesultanan Demak telah
memiliki konsep hidup berdampaingan antar-elemen masyarakat yang beragam yang
diterbitkan oleh negara (formal). Ini tentu menjadi fakta menarik.
Raja Demak ketiga Sultan Trenggana adalah penyusun kitab undang-undang baru
yang bernamanya
Salokantara itu (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya II,
2000:56). Informasi lain memberitakan, Salokantara sejatinya sudah ada dan berlaku
sejak masa pemerintahan raja Demak yang pertama, Raden Fatah. Mencermati
pemberitaan tentang kandungan kitab Salokantara kita menjadi mengerti, hingga
kesultanan Demak berdiri kesadaran untuk merawat khazanah ilmu pengetahuan
(babagan kaweruh) Jawa-Hindu oleh para elit muslim (bangsawan maupun santri)
masih sangat kuat.
Bukti yang memperkuat kesimpulan ini adalah kandungan dalam Serat Centhini.
Serat yang ditulis tahun 1814 Masehi itu mengisahkan perjalanan seorang tokoh
bernama Jayengresmi (Syeh Amongraga) dengan ditemani dua murid (santri)
setianya, Gathak dan Gathuk. Kiai Amongraga yang tidak lain adalah keturunan
Sunan Giri ini berjalan dari ujung Pulau Jawa di bagian timur hingga batas Jawa di
bagian barat. Ia mengunjungi para resi, kaum bijak-bestari, makam keramat, dan
bekas wilayah penting di sepanjang Pulau Jawa.
Tujuan utama Jayengresmi adalah mengunjungi dan belajar (ngangsu kaweruh)
kepada para waskita, orang-orang yang menguasai khazanah ilmu pengetahuan Jawa,
Hindu, dan keislaman. Hal ini, menjadi bukti bahwa masyarakat Jawa (bangsawan
dan juga kaum santri) masih menghargai, dan dalam batas tertentu juga merawat
pengetahuan khas yang sejak awal sudah eksis Menyadari perkembangan di tengah
masyarakat.
Setelah kita membanggakan kebesaran Majapahit di masa lalu,
kemudian mengetahui bahwa pada masa Demak ternyata telah memiliki konsep
hidup berdampingan antar-elemen masyarakat yang beragam.
Jauh sebelum Kesultanan Demak betul-betul siap didirikan, para ulama telah
mempersiapkan masyarakat dengan dakwah. Tidak saja mumpuni dalam berdakwah,
Walisanga menunjukkan keahlian politik, sosial dan budaya yang baik. Jika dikilas
balik, berikut gambaran sepak terjang Walisanga yang terkait erat dengan dinamika
Kerajaan Majapahit.
Sekitar 1445 M, Raden Rahmatullah atau sunan Ampel dari Campa bersama dua
saudaranya, Ali Murtadlo dan Abu Hurairah datang ke Jawa. Raja Majapahit, Sri
Kertawijaya dan istrinya, Dwarawati yang juga bibi Rahmat menyambutnya
selayaknya keluarga keraton. Lalu, Sang raja berkenan menghadiahkan tanah
perdikan kepada Rahmat di Ampel Denta. Di sanalah, Rahmat mengembangkan
pesantren dan pusat keilmuan untuk pembinaan budi bangsawan dan rakyat
Majapahit yang sedang merosot. Konsep lembaga warisan Maulana Malik Ibrahim
itupun kemudian menghasilkan kader-kader dakwah yang handal. Dalam waktu
singkat, Rahmat bisa mengembangkan basis-basis Islam di beberapa kadipaten.
Beberapa tahun kemudian, Sri Kertawijaya dikudeta oleh Rajasawardhana sebagai
raja. Perkembangan Islam tak disukai raja baru itu. Rahmatpun menyusun strategi
baru dengan menyebar para ulama ke delapan titik. Kala itu Majapahit tinggal tersisa
sembilan kadipaten. Tim dakwah yang delapan itu dinamakannya “Bhayangkare
Ishlah”. Mereka adalah Sunan Ampel sendiri, Raden Ali Murtadho, Abu Hurairah,
Syekh Yakub, Maulana Abdullah, Kiai Bang Tong, Khalif Husayn dan Usman Haji.
Kader santri pun giliran menggantikan beberapa posisi ulama. Di antara mereka
adalah Raden Hasan yang kelak menjadi Sultan Demak.
Dalam sebuah versi, dewan Walisanga dibentuk sekitar 1474 M oleh Raden Rahmat
membawahi Raden Hasan, Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Qosim (Sunan
Drajad), Usman Haji (ayah Sunan Kudus), Raden Ainul Yaqin (Sunan Gresik), Syekh
Suta Maharaja, Raden Hamzah dan Raden Mahmud. Beberapa tahun kemudian,
Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di dalamnya. Sunan Kalijaga dipercaya
para wali sebagai mubalig keliling.
Di samping wali-wali tersebut, masih banyak ulama yang dakwahnya satu koordinasi
dengan Sunan Ampel yang bertugas sebagai seorang mufti tanah Jawi. Hanya saja,
sembilan tokoh Walisanga yang dikenal selama ini memang memiliki peran dan
karya menonjol dalam dakwah maupun dalam proses ketatanegaraan Demak. Berikut
lima wali di antaranya.
Maulana Malik Ibrahim, Ia dianggap pelopor penyebaran Islam para wali di Jawa.
Memulai dari desa Leran Gresik, ia bergumul dengan rakyat kecil sebagai petani.
Keahlian bercocok tanam membuat rakyat sekitar tertarik untuk berguru tani. Ia juga
dipercaya ahli tata negara yang dikagumi kalangan bangsawan Ibrahim pula yang
dikenal sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren.
Raden Ali Rahmatullah, Alias Sunan Ampel Sang mufti dari negeri Campa ini
mengajarkan Islam secara lurus. Dalam mengajarkan Islam, ia tak kenal kompromi
dengan budaya lokal. Istilah pesantren dan santri diyakini pertama kali digunakan
oleh Sunan Ampel. Wejangan terkenalnya mo limo yang intinya menolak mencuri,
mabuk, main wanita, judi dan madat, yang marak di masa Majapahit.
Raden Ainul Yaqin Atau Raden Paku atau Sunan Giri. Ia anak Syekh Yakub bin
Maulana Ishak. Ia diyakini sebagai tokoh fakih dan menguasai ilmu falak
(perbintangan). Di masa menjelang keruntuhan Majapahit, Paku dipercaya sebagai
raja peralihan sebelum Raden Fatah naik menjadi Sultan Demak. Ia diberi gelar
Prabu Satmata, Ratu Tunggul Kalifatullah Mukminin. Ketika Sunan Ampel wafat,
Sunan Giri menggantikannya sebagai mufti tanah Jawa. Pesantren Giri hingga di
masa Mataram menjadi Giri Kedaton yang selalu diminta untuk merestui raja-raja di
sebagian wilayah Nusantara. Catatan Portugis dan Belanda di Ambon menyebut,
Sunan Giri (dan pelanjutnya) sama dengan Paus di Roma yang memberkati para
kepala negeri sebelum naik takhta. Termasuk di dalamnya para sultan Islam di
Maluku, Hitu dan Ternate. Dengan demikian, Giri merupakan wujud lembaga
kekuasaan tersendiri, meski lebih sebagai lembaga berwenang dalam soal keagamaan
saja.
Raden Makhdum Ibrahim Atau Sunan Bonang Ia putra sulung Sunan Ampel yang
karya-karya tertulisnya terdokumentasikan hingga kini. Di antaranya Suluk Bonang,
Primbon I dan Primbon II. Dari tulisan-tulisan Bonang, bisa dibaca watak dakwah
para wali, sekaligus pedoman fikih umat Islam.
Raden Syahid Atau Sunan Kalijaga. Ia tercatat paling banyak menghasilkan karya
seni berfalsafah Islam seperti tembang-tembang macapat (wali lain juga turut
mencipta), baju takwa, tata kota Islami, serta gong Sekaten (Syahadat ain) di Solo dan
Yogya. Ia membuat wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan
Giri sempat menentangnya. Karena, wayang beber kala itu menggambarkan gambar
manusia utuh yang tak sesuai ajaran Islam. Kalijaga mengkreasi wayang kulit yang
bentuknya jauh dari bentuk manusia utuh. Ini adalah sebuah usaha ijtihad di bidang
fiqh yang dilakukan Sunan Kalijaga dalam upaya dakwahnya.
Syarif Hidayatullah Atau Sunan Gunung Jati Nama ini acapkali dirancukan dengan
Fatahillah, yang menantunya tetapi faktanya Sunan Gunung Jati lah yang
memerintahkan Raden Fatah untuk membuat kitab aturan di masyarakat yang
memiliki kekuatan islam berdasarkan tiga hal yakni Ilmu Fiqih, Ilmu Tauhid dan
Ilmu Sarak. Sementara sunan Gunung Jati sendiri ia memiliki kesultanan sendiri di
Cirebon yang wilayahnya sampai Banten. Selain itu Ia adalah salah satu pembuat
soko guru Masjid Demak selain Sunan Ampel, Kalijaga dan Bonang. Keberadaan
Syarif berikut kesultanannya membuktikan ada tiga kekuasaan Islam yang hidup
bersamaan kala itu, Demak, Giri dan Cirebon hanya saja, Demak dijadikan pusat
dakwah, pusat studi Islam sekaligus kontrol politik para wali sehingga Sunan Gunung
Jati mendapatkan Gelar Syarif Hidaytullah Ing Ala Panatagama.
Setelah itu Demak dideklarasikan sebagai kesultanan dengan Raden Patah sebagai
pemimpinnya. Gelar beliau adalah Sultan Fattah Syeh Alam Akbar Panembahan
Jimbun Abdul Rahman Sayyidin Sirullah Khalifatullah Amiril Mukminin Hajjuddin
Khamid Khan Abdul Suryo Alam di Bintoro Demak. Langkah awal yang mereka
lakukan adalah mengumumkan dasar negara dan konstitusi yang berlaku di
Kesultanan Demak. Dalam hal ini, mereka menjadikan Al-Qur an dan As-Sunnah
sebagai dasar negara.
Mereka memberlakukan SYAMINA syariat Islam yang dikodifikasikan dalam Kitab
Angger-Angger Surya Alam dan Salokantara. Dalam menjalankan politik luar negeri,
Kesultanan Demak melakukan jihad melawan Portugis di Malaka dan Sunda Kelapa.
Mereka juga melakukan jihad atas wilayah bekas Majapahit yang tidak mau tunduk
pada Kesultanan Demak. Kapasitas mereka untuk melakukan kebijakan luar negeri
semacam itu ditunjang oleh kemampuan ekonomi yang kuat. Demak pun berkembang
menjadi kekuatan ekonomi dan militer baru di tanah Jawa.
Dengan kekuatan tersebut, mereka mampu membuat sebuah tatanan baru (new order)
di tanah Jawa yang berdasarkan syariat Islam menggantikan tatanan lama (old order)
yang dipimpin oleh kerajaan Majapahit. Pada masa Kesultanan Demak, orang-orang
Jawa menguasai setiap jengkal dari tanahnya Tak ada kekuatan asing yang bisa
melecehkan kedaulatan tanah air mereka Demak bebas dari kekuasaan asing
Semarang dan Jepara menjadi tempat galangan kapal yang memprodusir Kapal kapal
besar dan kecil.
Dalam produktivitas yang tinggi Ini semua karena mereka merasa punya jaminan
kepastian hidup Dan kepastian hidup ada karena adanya daulat hukum yang tertera
dalam kitab Salokantara dan Jugul Muda ialah kitab UU Demak yang punya landasan
syari ah Agama Islam, yang mengakui bahwa semua manusia itu sama derajatnya,
samasama khalifah Allah di dunia. Raja-raja Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh
kekuasaan para wali. Raja-raja Demak berkuasa hanya selama 65 tahun. Tetapi
mereka adalah pahlawan bangsa yang telah memperkenalkan daulat hukum kepada
bangsanya. Secara de facto dan de jure, Kesultanan Demak adalah negara yang
berdasar Syariat Islam pertama di tanah Jawa.
4.3 Hukum Adat Suku Lampung
Masyarakat adalah suatu kesatuan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu
perkumpulan sekelompok orang yang membentuk suatu system semi tertutup (atau
semi terbuka) dimana sebagian interaksi adalah antara individu-individu yang berada
di dalam kelompok masyarakat tersebut. Sedangkan kata masyarakat sendiri adalah
serapan dari akar kata di dalam bahasa Arab, yaitu “musyarak”. Penggambarannya
adalah bahwa masyarakat merupakan suatu jaringan hubungan-hubungan antar
entitas-entitas.
Masyarakat
merupakan
suatu
komunitas
yang
interpenden
(yang
saling
ketergantungan antara satu dan lainnya), yang pada umumnya istilah masyarakat
digunakan untuk mengacu pada sekelompok yang hidup bersama dalam suatu
komunitas yang teratur. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa masyarakat di dalam
bahasa inggris disebt society yang berasal dari bahasa latin yaitu socius yang
memiliki arti “kawan”.
Ikatan-ikatan yang terjadi di dalam masyarakat yang membentuk suatu kesatuan
manusia yang menjadi satu pola tingkah laku yang khas. Pola tingkah laku yang terus
menerus dilakukan dan bersifat tetap tersebut.
lambat laun kemudian akan menjadi suatu ciri khas yang kemudian kebih dikenal
dengan adat istiadat. Paul B. Hortondan C. Hunt menjelaskan definisi masyarakat
adalah merupakan suatu kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama
dalam waktu yang cukup lama, tinggal disuatu wilayah tertentu, mempunyai
kebudayaan yang sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok
atau kumpulan manusia tersebut.
Hukum di dalam masyarakat menjadi suatu peraturan hidup di dalam masyarakat
yang memiliki sifat mengendalikan, mencegah, mengikat, memaksa. Hukum
dinyatakan atau dianggap suatu peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh
anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan mengadakan suatu tatanan kehidupan
yang dikehendaki oleh penguasa. Hukum adalah serangkaian aturan yang berisi
perintah atau larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu kondisi yang
aman, tertib, damai, dan terdapat sanksi bagi siapapun yang melanggarnya kita dapat
memastikan bahwa hukum yang diciptakan oleh masyarakat tersebut memiliki suatu
sanksi yang diberikan kepada masyarakat itu sendiri jika ada yang melanggar aturanaturan hukum yang telah dibuat tersebut. Saat ini kita mengetahui bahwa Hukum
Positif yang berlaku di Indonesia yakni : Hukum adat, hukum islam, hukum barat dan
hukum positif Indonesia yang disusun setelah Proklamasi Kemerdekaan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu hukum positif di Indonesia
belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.
Sebelum negara ini menyatakan kemerdekaan tahun 1945, bahkan jauh sebelum itu,
tuyuk tukhing (nenek moyang) kita pun telah mempunyai perundang-undangan
sebagai aturan bagi tatanan kemasyarakatan termasuk juga masyarakat Lampung.
Setiap wilayah adat masyarakat Lampung yang mempunyai struktur kemasyarakatan
selalu diatur dengan perundang-undangan adat
baik Tersurat (tertulis) maupun
tersirat (tidak Tertulis) berdasarkan kebiasaan serta kesepakatan masyarakat adatnya
yang dikenal Marga yang kemudian memunculkan kebuayan.
Dalam aturan adat yang masih berlaku hingga saat ini adalah Kuttara Braja Sako
Atau Kuttaro Rajo Aso lebih cenderung mengatur tentang nilai-nilai kenormaan di
tengah masyarakat hal ini terlihat dalam kitab tersebut terdapat aturan yang di kenal
dengan istilah “Ceppalo” atau hal pelanggaran yang bersifat tercela. Selain itu
masyarakat adat lampung mengenal kitab aturan para raja atau pemangku adat yang
di kenal dengan Kuttara Raja Niti (Kunttara raja Niteiy).
Dalam kitab ini mengatur persoalan silang sengketa di tengah masyarakat beserta
masalah denda adat yang hingga saat ini masih berlaku di lingkungan urusan adat
istiadat.
Kitab Kuntara Raja Niti bukan semata mengatur acara adat sebagai seremonial,
melainkan juga hubungan antara manusia satu dan lainnya, antar tetangga, antar
masyarakat, juga hubungan antara rakyat dan rajanya. Dalam perundang-undangan
Kuntara, masyarakat juga diatur untuk bersikap baik pada bumi dan alam sekitar.
Contohnya seperti terdapat Pada ayat pertama kitab Kuntara Raja Niti berbunyi :
“Kutogh/kamah di muka di bulakang” ayat ini berarti di dalam suatu negeri akan
tercela apabila penduduknya tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan serta halaman
rumahnya masing-masing. Ayat ini mengatur tentang kebersihan suatu wilayah.
Pada ayat 2, berbunyi
“Mak bupakkalan ghagah”.
Maksudnya di dalam negeri akan tercela apabila tidak ada tempat pemandian khusus,
baik khusus pria maupun wanita, bila mandi bercampur baur di satu tempat.
Pada ayat ketiga berbunyi
Mak busesat.
Arti ayat ini adalah di dalam negeri akan tercela apabila tidak memiliki balai adat
tempat bermusyawarah sehingga permasalahan tidak pernah dimusyawarahkan
bersama. Ayat ketiga ini mencakup lebih luas, mengatur tata kemasyarakatan dengan
diwajibkannya adanya tempat berkumpul untuk menyelesaikan setiap permasalahan.
Kita bisa melihat betapa nenek moyang kita menyelesaikan segala sesuatu dengan
musyawarah. Sebagai esensi dari sistem kekeluargaan dan kegotongroyongan.
Di ayat keempat berbunyi
Mak bulanggah mak bumesjit.
Maksud dari ayat ini di dalam negeri akan tercela apabila tidak memiliki masjid atau
langgar tempat beribadah, menunjukkan masyarakat lampung di anjurkan untuk salat
berjemaah sebagai bukti kerukunan beragama dalam beribadah.
Perundang-undangan
pendahulu
kita
tidak
memisahkan
antara
kehidupan
bermasyarakat dan beribadah. Sangat wajar jika masyarakat Lampung ini terkenal
agamais karena pendahulunya telah mengukir peradaban untuk dekat dengan Sang
Pencipta.
Selanjutnya di ayat kelima berbunyi:
Mak ngagantung kalekep.
Artinya di dalam suatu negeri akan tercela apabila tidak menggantungkan kentongan
sebagai pertanda keamanan lingkungan tidak dipedulikan dengan tidak adanya ronda
malam. Setelah tempat ibadah, keamanan lingkungan tak luput dari bidikan
perundang-undangan masyarakat Lampung.
Dari sini bisa dipastikan adanya peradaban yang terstruktur dan cerdas dalam
menjaga kemaslahatan kehidupan. Dalam Kuntara Raja Niti, semua telah tertata
dengan sangat teliti
Sehingga Dari perundang-undangan tersebut, kita bisa berkaca betapa beberapa
generasi sebelum kita, di tanah Lampung ini telah ada peradaban agung yang bisa
menjadi kebanggaan generasi selanjutnya, bahkan sampai pada kita dan anak cucu
mendatang. Sayangnya, di generasi kita, sudah banyak yang tak mengenalnya, alihalih mempelajarinya.
Tapi sayangnya tidak semua pemangku adat yang menjaga warisan leluhur tersebut
sehingga kepada merekalah kita bisa bertanya, mengungkai kearifan nilai dari setiap
aturan yang ada. Bahkan sebagian masyarakat juga masih menjaga nilai dari
perundang-undangan tersebut. Salah satu bentuk perundang-undangan yang dimiliki
masyarakat Lampung di masa lampau adalah Kuntara Raja Niti.
Kitab Kuntara Raja Niti adalah nama kitab hukum adat Lampung yang berlaku dalam
lingkungan masyarakat Lampung Pubiyan dan sebagian masyarakat Pesisir. Agaknya
kitab hukum adat ini telah berlaku sejak masa kekuasaan Ratu di Balau pada abad 16,
dan dimasa masuknya pengaruh kekuasaan Islam di Banten sejak abad 17. Hukum
adat ini hingga sekarang
walaupun disana sini sudah terjadi perubahan-perubahan,
namun masih berlaku sebagai pegangan masyarakat adat bersangkutan(Hilman
Hadikusuma, 1988:100).
Download