BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Lampung Dan Adat Istiadatnya Provinsi Lampung lahir pada tanggal 18 Maret 1964 dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3/1964 yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 14 tahun 1964. Sebelum itu Provinsi Lampung merupakan keresidenan yang tergabung dengan Provinsi Sumatra Selatan. Kendatipun Provinsi Lampung sebelum tanggal 18 Maret 1964 tersebut secara administratif masih merupakan bagian dari Provinsi Sumatra Selatan, namun daerah ini jauh sebelum Indonesia merdeka memang telah menunjukkan potensi yang sangat besar serta corak warna kebudayaan tersendiri yang dapat menambah khazanah adat budaya di Nusantara. Lampung (Aksara Lampung: ) adalah sebuah provinsi paling selatan di Pulau Sumatra, Indonesia, dengan ibu kota Bandar Lampung. Provinsi ini memiliki dua kota yaitu Kota Bandar Lampung dan Kota Metro serta 13 kabupaten. Posisi Lampung secara geografis berada di sebelah barat berbatasan dengan Samudra Hindia, di sebelah timur dengan Laut Jawa, di sebelah utara berbatasan dengan provinsi Sumatra Selatan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda. Provinsi Lampung memiliki luas 35.376,50 km² dan terletak di antara 105°45'103°48' Bujur Timur dan 3°45'-6°45' Lintang Selatan. Daerah ini berada di sebelah barat berbatasan dengan Samudra Hindia, di sebelah timur dengan Laut Jawa, di sebelah utara berbatasan dengan provinsi Sumatra Selatan, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Selat Sunda. Beberapa pulau termasuk dalam wilayah Provinsi Lampung, yang sebagian besar terletak di Teluk Lampung, di antaranya: Pulau Darot, Pulau Legundi, Pulau Tegal, Pulau Sebuku, Pulau Kelagian, Pulau Sebesi, Pulau Pahawang, Pulau Krakatau, Pulau Putus dan Pulau Tabuan. Ada juga Pulau Tampang dan Pulau Pisang di yang masuk ke wilayah Kabupaten Pesisir Barat. Berbicara tentang adat istiadat atau kebudayaan yang terdapat di Lampung sudah barang tentu banyak dan beragam jenisnya, 4.2 Sejarah Hukum Adat Lampung Dalam perjalanan peradabannya masayarakat Lampung sejak zaman dahulu sudah mengenal aturan yang dimana aturan itu sendiri tertulis dalam Kitab yang cukup populis dengan sebutan “Kuttara” atau “Kuntara” jika di masyarakat pubian “Kuttaro” atau “Kuntaro” jika di masyarakat abung. Berdasarkan catatan sejarah masyarakat adat Lampung mengenal tata hukum adat tertulis “Kuttara Raja Niti” itu sejak zaman majapahit berdasarkan catatan Kitab Negara Kertagama. Didalam catatan kitab Negara kertagama sendiri dengan tegas menjelaskan bahwa lampung merupakan daerah yang di kuasai oleh Kerajaan Majapahit. Pada Era Zaman kekuasaan raja ke empat kerajaan Majapahit yang di pimpin oleh Hayam Wuruk yang berkuasa sekitar tahun 1350-1389, dirinya mengumpulkan para resi melalui mahapatih gajah mada membuat sebuah kitab aturan para raja yang bernama “Kuttara Menawa” sebuah kitab yang berisikan tentang segala aturan hukum (pidana dan perdata). Kitab “Kutara Manawa” ini di ilhami dari dua kitab hukum yang lebih tua, yang sebelumnya pernah digunakan pada masa kerajaan Singosari yaitu “Kutarasastra” dan “Manawasastra”. Lalu, perlu diketahui pula bahwa kitab-kitab hukum yang digunakan di masa kerajaan Singosari itu pun adalah saduran dan atau pengembangan dari hukum yang pernah di terapkan pada masa kerajaan sebelumnya yaitu kerajaan Medang (Mataram kuno) dan Kalingga. Dimana hukum tersebut dikenal nama “Dharmasastra”. 4.2.1 Bukti Tentang Kebenaran Kitab Kuttara Menawa Dalam Kidung Sorandaka diuraikan bahwa Lembu Sora (seorang pembesar Majapahit) dikenakan tuntutan hukuman mati berdasarkan kitab undang-undang Kutara Manawa, akibat pembunuhannya terhadap Mahisa Anabrang ketika terjadi pemberontakan Rangga Lawe. Dari uraian Kidung Sorandaka tersebut, kita pun bisa mengetahui tentang adanya kitab undang-undang yang bernama Kuttara Manawa pada masa kerajaan Majapahit. Selanjutnya dalam penelitian prasastiprasasti di zaman Majapahit, setidaknya terdapat dua prasasti yang mencatat nama kitab undang-undang Kuttara Manawa ini, yaitu Prasasti Bendasari (sayang tidak bertarikh) dan Prasasti Trowulan yang berangka tahun 1358 Masehi. Pada prasasti Bendasari yang dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Dyah Hayam Wuruk/Brawijaya III) yang termuat dalam O.J.O LXXXV pada lempengan 6a, tersebut nama perundang-undangan tersebut dalam kalimat seperti berikut ini: “Makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda ka ring malama” Artinya: Dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kuttara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman dahulu. Pada Prasasti Trowulan yang juga dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, maka pada lempengan III baris 5 dan 6, kedapatan juga nama kitab perundang-undangan Kuttara Manawa ini, yang bunyinya seperti berikut: ” …. Ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wicecana tatpara kapwa sama-sama sakte kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ….” Artinya: Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kuttara Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap menafsirkan kitab-kitab undang-undang seperti Kuttara Manawa. Dari uraian kedua prasasti tersebut, dapatlah kita pastikan bahwa nama kitab perundang-undangan pada zaman kerajaan Majapahit adalah Kuttara Manawa. Terjemahan dari kitab ini memang pernah diterbitkan oleh Dr. J.C.G Jonker pada tahun 1885. Dan khusus pada pasal 23 dan 65 kitab undang-undang tersebut menyebut nama Kuttara Manawa. Oleh karenanya dalam hal ini semakin dapat dipastikan bahwa kitab perundang-undangan di zaman kerajaan Majapahit disebut dengan Kuttara Manawa. 4.2.2 Susunan Dan Isi Kitab Kutara Manawa Kitab hukum ini di tulis dalam bahasa Jawa kuno. Secara keseluruhan kitab Kuttara Manawa ini terdiri dari 275 pasal yang lebih menitik beratkan kepada perkaraperkara hukum pidana (jenayah) disamping ada juga yang berkaitan dengan hukum perdata semacam perkawinan, mahar, jual-beli, hutang-piutang dan lain-lain. Dari penelusuran yang dilakukan, maka semua pasal-pasal itu termaktub ke dalam 19 Bab sebagai berikut: 1. Bab I : Ketentuan umum mengenai denda. 2. Bab II : Asta Dusta atau Delapan macam pembunuhan. 3. Bab III : Perlakuan terhadap hamba, disebut kawula. 4. Bab IV : Asta Corah atau Delapan macam pencurian. 5. Bab V : Sahasa atau Paksaan. 6. Bab VI : Adol-atuku atau Jual-beli. 7. Bab VII : Sanda atau Gadai. 8. Bab VIII : Ahutang-apihutang atau Hutang-piutang. 9. Bab IX : Titipan. 10. Bab X : Tukon atau Mahar. 11. Bab XI : Kawarangan atau Perkawinan. 12. Bab XII : Paradara atau Mesum. 13. Bab XIII : Drewe kaliliran atau Warisan. 14. Bab XIV : Wakparusya atau Caci-maki. 15. Bab XV : Dandaparusya atau Menyakiti. 16. Bab XVI : Kagelehan atau Kelalaian. 17. Bab XVII : Atukaran atau Perkelahaian. 18. Bab XVIII : Bhumi atau Tanah. 19. Bab XIX : Duwilatek atau Fitnah. Dalam Bab umum dari kitab Kuttara Manawa ini dinyatakan secara tegas bahwa raja yang berkuasa (sang amawa bhumi) harus teguh hatinya dalam menerapkan besar kecilnya denda, jangan sampai salah dalam hal penetrapannya. Jangan sampai orang yang bertingkah salah luput dari tindakan (hukuman). Itulah kewajiban raja yang berkuasa jika sungguh-sungguh mengharapkan kerahayuan negaranya. 4.2.3 Penjelasan Hubungan Lampung Dan Majapahit Berdasarkan data prasasti pada sekitar abad ke-7 hingga ke-11, Lampung merupakan wilayah kekuasaan Sriwijaya. Selain Lampung, Jambi dan Bangka juga menjadi wilayah kekuasaan Sriwijaya. Penguasaan ini salah satunya dilandasi sumber daya emas yang ada di wilayah itu. Untuk melancarkan dan mengembangkan jalur distribusi emas, dilakukan penaklukan-penaklukan ke berbagai wilayah yang belum tunduk kepada Sriwijaya (Rangkuti, 1994: 165 – 166). Kekuasaan Sriwijaya terhadap Lampung tampaknya tidak meliputi seluruh wilayah tetapi hanya daerah-daerah yang dianggap penting bagi Sriwijaya, Prasasti Hujung Langit berdasarkan unsur penanggalan dan paleografisnya memberi arah dugaan pada adanya pengaruh kekuasaan Mpu Sindok dan Erlangga (Soekmono, 1985: 49). Ketika Sriwijaya mengalami kemunduran, daerah-daerah di Lampung bangkit sebagai daerah yang merdeka. Namun tampaknya daerah-daerah itu bukan merupakan institusi kerajaan yang besar. Menurut catatan Tomé Pires, yang ditulis pada abad ke-16, beberapa daerah di Lampung menjalin hubungan dagang dengan Sunda dan Jawa. Hubungan ini mungkin terjadi sejak Lampung di bawah kekuasaan Jawa (Majapahit). Pada tahun 1017, 1025, dan 1068 Sriwijaya diserang kerajaan Cola, India. Serangan-serangan ini melemahkan Sriwijaya, sehingga kerajaan Melayu (Jambi) melepaskan diri dari kekuasaan Sriwijaya. Kerajaan Melayu akhirnya dapat menguasai Sriwijaya dan semenanjung Malaka. Prasasti Grahi bertarikh 1183 yang ditemukan di semenanjung Malaka menyebut nama Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusanawarmadewa. Sebutan srimat menunjukkan pembesar Melayu sebagaimana yang terdapat pada prasasti Padang Roco. Hal ini menunjukkan semenanjung Melayu pada tahun 1183 berada di bawah kekuasaan Melayu. Kekuasaan Melayu hingga meliputi seluruh pantai timur Sumatera. Keadaan seperti ini tidak berlangsung lama. Pada tahun 1377 Melayu ditaklukkan oleh Majapahit (Sholihat, 1980: 5). Prapanca dalam Negara kertagama menyatakan bahwa Melayu berada di bawah kekuasaan Majapahit yang daerahdaerahnya antara lain meliputi Lampung (Muljana, 1979: 146). Dengan demikian mungkin hubungan perdagangan yang diberitakan Tomé Pires sudah terjadi setelah tahun 1377 ketika Melayu ditaklukkan Majapahit. Berkaitan dengan penaklukan Melayu oleh Majapahit, terjadi peristiwa penting yaitu peristiwa Bubat. Carita Parahyangan, Kidung Sundãyana, dan Pararaton mencatat peristiwa tersebut yaitu sebagai usaha penaklukan Sunda oleh Majapahit tetapi gagal. Nagarakrtagama tidak mencatat peristiwa ini karena Prapanca sebagai pujangga kraton tampaknya sengaja menyembunyikan peristiwa yang menjelekkan nama raja tersebut. Pada waktu peristiwa ini terjadi raja yang berkuasa di Sunda adalah Prebu Maharaja. Setelah peristiwa Bubat, Wastu Kañcana naik tahta. Karena masih kecil, maka pemerintahan dipe¬gang oleh Hyang Bunisora. Setelah Hyang Bunisora meninggal dunia pada tahun 1371, Wastu Kañcana memegang pemerintahan. Menurut Carita Parahyangan, Wastu Kañcana memerintah selama 104 tahun (1371 - 1475 M). Pada masa ini pusat pemerintahan kerajaan Sunda di bagian timur yaitu di Kawali. Sepeninggal Wastu Kañcana, digantikan oleh Tohaan di Galuh atau Ningrat Kañcana. Pusat pemerintahannya dipindahkan dari Kawali ke Pakwan Pajajaran. Pada masa pemerintahan Ningrat Kañcana ternyata tidak begitu banyak berita yang terdapat pada prasasti maupun Carita Parahyangan. Ningrat Kancana kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Sang Ratu Jayadewata. Pada prasasti Kebantenan, tokoh ini disebut Susuhunan ayeuna di Pakwan Pajajaran. Pada prasasti Batutulis, tokoh ini disebut Prabu Guru Dewataprana, Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Pada prasasti tersebut, tokoh ini juga diberitakan ya nu nyusukna pakwan (yang membangun parit di Pakwan). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan sudah berpindah dari Kawali ke Pakwan Pajajaran (Sumadio, 1990: 364 -369). Bila mengacu pada berita Tomé Pires, hubungan antara Sunda dengan Lampung intensif pada masa akhir kerajaan Sunda. Pada masa itu pusat kerajaan Sunda berada di Kawali dan Pakwan Pajajaran. Tomé Pires juga menyebutkan bahwa perdagangan dari kawasan Lampung melalui pelabuhan Cheguide. 4.2.3.1 Jejak-Jejak Arkeologis Mengacu pada berita Tome Pires, kawasan Lampung yang intensif berhubungan dengan Sunda adalah Sekampung dan Tulang bawang. Pelabuhan Sunda di pantai utara yang menjadi pintu gerbang adalah Cheguide. Di sepanjang DAS Way Sekampung terdapat sekitar sebelas situs pemukiman yang ditandai dengan benteng tanah. Situs-situs tersebut adalah Pejambon, Gelombang, Pugung Raharjo, Parigi, Gedig, Benteng Sari, Cicilik, Jabung, Negara Saka, Batu Badak, dan Meris (Triwuryani, 1998). Salah satu situs yang dinilai penting adalah Pugung Raharjo. Secara administratif situs ini termasuk di wilayah Desa Pugung Raharjo, Kecamatan Jabung. Lahan situs dikelilingi fetur benteng tanah dan parit. Dengan adanya benteng tanah tersebut, areal situs terbagi menjadi tiga bagian. Peninggalan-peninggalan arkeologis yang terdapat di situs Pugung Raharjo ini terdiri dari bermacam-macam bentuk, diantaranya berupa batu berlubang, batu bergores, lumpang batu, menhir, dan punden berundak. Pada salah satu punden ditemukan batu tufa berangka tahun 1247 Ś. Selain itu, di sebelah selatan dari punden terbesar terdapat punden arca. Pada punden ini pernah ditemukan sebuah arca yang sekarang tersimpan di rumah informasi situs Pugung Raharjo. Arca menggambarkan tokoh laki-laki duduk di atas padmasana ganda yang berbentuk bulat dengan sikap Vajrasana. Pada bagian belakang padmasana terdapat bingkai menonjol, berhias motif sulur. Pada arca tidak dilengkapi stela. Sikap tangan atau mudra digambarkan telunjuk kiri mengarah ke atas, telunjuk kanan dibengkokkan di atas telunjuk kiri, jari-jari tangan yang lain dilipat. Kedua telapak tangan berada di depan dada. Mudra seperti ini tidak lazim, tetapi mendekati naivedyamudra yaitu mudra yang diilhami sikap yang biasa digunakan oleh para penganut aliran tantrisme dalam memberikan persembahan. Dilihat dari cirinya, arca ini menggambarkan salah satu tokoh Tantrisme. Arca tersebut bergaya Jawa Timur, sebelum jaman Majapahit sekitar abad ke-12 atau ke-13 (Soekatno, 1985: 165 – 166; Widyastuti, 2000: 132 – 133). Keramik yang ditemukan kebanyakan keramik Cina dari abad ke-8 atau ke-9 sampai dengan abad ke-17 (keramik Tang hingga Qing). Tembikar yang ditemukan kebanyakan berupa wadah baik terbuka maupun tertutup. Fragmen kendi tipe lokal yang disebut kibu juga banyak ditemukan. Berdasarkan tinggalan arkeologik yang ditemukan, dapat disimpulkan bahwa situs Pugung Raharjo berkembang sejak zaman Majapahit hingga abad ke-17. Melimpahnya keramik asing menunjukkan aktivitas perdagangan berlangsung secara intensif. Mengenai Tulang bawang, hingga sekarang tercatat 18 situs pemukiman yang juga ditandai benteng tanah. Situs tersebut dijumpai di sepanjang Way Kiri, Way Kanan, dan Way Tulang bawang. Way Tulang bawang adalah sungai utama yang merupakan menyatunya antara Way Kiri dan Way Kanan. Kedua sungai ini menyatu di Pagar dewa. Pada sepanjang Way Kiri terdapat situs Bumi agung Tua, Karta Talang, Benteng Sabut atau Bujung Menggalou, Gedong Ratu Tua, Benteng Prajurit Puting Gelang, Keramat Gemol, Benteng Minak Temenggung, dan Pagardewa. Pada sepanjang Way Kanan terdapat situs Batu Putih, Gunung Terang, dan Benteng Aceh. Pada sepanjang Way Tulang Bawang terdapat situs Benteng Bakung, Gunung Tapa, Gedong Meneng, dan Dente. Selain pada sepanjang sungai besar, juga terdapat situs yang berada di tepi sungai kecil. Situs-situs itu adalah Jung Belabuh di tepi Tulung Kalutum, Bakung Nyelai di tepi Tulung Bakung Nyelai, dan Umbul Lekou di tepi Way Bawang Bakung. Penelitian intensif pernah dilakukan di situs Benteng Sabut dan Gunung Terang. Situs Benteng Sabut secara administratif termasuk wilayah Kampung Gunungkatun. Way Kiri mengalir di sebelah tenggara hingga timur situs. Fakta arkeologis yang terdapat di situs Benteng Sabut berupa fitur parit (cekungan), benteng dan tanggul (gundukan tanah), makam kuna, serta sebaran artefak. Parit pada bagian dekat Way Kiri berpola segi lima. Pada sisi dalam parit terdapat benteng. Benteng dan parit ini pada sisi barat bermula dari tepi Way Kiri ke arah barat laut kemudian belok ke arah utara agak ke timur, selanjutnya agak berbelok ke arah timur. Pada bagian luar sudut tenggara benteng, di tepi Way Kiri terdapat fitur makam kuna. Tokoh yang dimakamkan adalah Minak Sendang Belawan. Keadaan makam sedikit lebih tinggi dari lahan sekitar tetapi tidak menggunduk, tidak dilengkapi nisan (Saptono, 2002: 88 – 89). Fakta artefaktual yang pernah ditemukan di bagian ini berupa fragmen keramik, fragmen tembikar, serpih obsidian, kerak besi, paku, fragmen wadah perunggu, dan manik-manik. Fragmen tembikar ada yang berhias, di antaranya merupakan bagian dari kibu (kendi). Benda tembikar utuh berbentuk gacuk, tatap, dan cangkir. Benda tembikar ada yang berupa terakota berbentuk kubus berukuran sekitar 1,5 X 1,5 X 3 cm. Pada keempat sisi panjang berhias garis-garis. Selain itu terdapat beberapa benda arkeologis berupa gandik, fragmen pipisan. Analisis keramik pada aspek penanggalan secara relatif diperoleh gambaran dari berbagai jaman yaitu dari Cina masa dinasti Han (awal Masehi hingga abad ke-3), Sui (abad ke-6 hingga ke-7), T’ang (abad ke-7 -- 10), Song (abad ke-10 -- 13), Yuan (abad ke-13 -- 14), Ming (abad ke-14 -- 17), Qing (abad ke-17 -- 20), Thailand (abad ke-13 -- 14), 20) (Saptono, 2003: 42 --Annam (abad ke-15), dan Eropa (abad ke-19 43). Gunung Terang merupakan situs pemukiman yang berkembang hingga sekarang menjadi perkampungan. Menurut cerita masyarakat, sebelumnya kampung itu merupakan perkampungan orang Melayu yang kemudian diduduki orang Gunung Terang. Sebelumnya orang Gunung Terang bermukim di seberang sungai yang sekarang dikenal dengan nama Batu Putih (komplek arkeolog cagar budaya Kampung Kapur). Jejak-jejak pemukiman lama berupa fetur parit dan sebaran artefak. Pada bagian selatan pemukiman terdapat cekungan parit yang disebut pelantingan, membujur dari selatan ke utara hingga sungai kecil yang disebut Way Ngisen. Di bagian utara pemukiman juga terdapat parit/sungai buatan yang menghubungkan antara Way Kanan dengan Way Ngisen. Sungai ini disebut Sungai Pengaliran Darah. Kawasan di sebelah selatan dan timur perkampungan terdapat beberapa lebung antara lain Lebung Seroja yang terdapat di antara pelantingan dengan Way Kanan, Lebung Kibang, dan Lebung Tikak yang berada di sebelah timur kampung. Di sebelah tenggara terdapat gunung yang dikeramatkan disebut Gunung Sri Gandow. Bekas kampung lama terdiri bekas Kampung Melayu dan bekas Kampung Gunung Terang. Lokasi bekas Kampung Melayu berada di ujung tenggara pemukiman dekat Lebung Tikak. Jejak-jejak bekas pemukiman tidak terlihat dengan jelas, kecuali hanya sebaran artefak pada lahan yang berpola segi empat dengan luas sekitar 2 hektar. Di sebelah selatan lokasi ini merupakan lokasi kampung Gunung Terang lama. Pada bagian selatan lokasi ini terdapat bekas bangunan tempat musyawarah adat (sesat) jika di jaman majapahit di kenal dengan sebutan paseban. Masyarakat Gunung Terang yang disebut Sesat Watun. Pengamatan di sekitar lokasi terdapat sebaran fragmen keramik asing dan lokal (Saptono, 2004: 47 – 49). Analisis keramik temuan ekskavasi menunjukkan dari berbagai jaman yaitu dari Cina masa dinasti Han (awal Masehi hingga abad ke-3), Sui (abad ke-6 -- 7), T’ang (abad ke-7 -- 10), Yuan (abad ke-13 -- 14), Ming (abad ke-15 -- 17), Qing (abad ke-17 -20), Thailand (abad ke-13 -- 14), Annam (abad ke-15), dan Eropa (abad ke-19 -- 20). Keramik Cina masa dinasti Qing merupakan temuan terbanyak. Fragmen keramik dari Eropa merupakan temuan terbanyak kedua, selanjutnya fragmen keramik Cina masa dinasti Ming. Keramik T’ang hanya ditemukan sebanyak 2 keping. Keramik masa dinasti Sui dan Han masing-masing hanya ditemukan 1 keping. Tembikar yang ditemukan kebanyakan berasal dari tipe periuk, tempayan, kibu, dan tungku lokal yang disebut tumang (Saptono, 2004 a: 30). Di Sunda, menurut catatan Tomé Pires yang mempunyai peranan dalam hubungan dengan Lampung adalah Cheguide. C. Guillot berdasarkan kronik Barros, Couto, peta C. 1540, roteiro C. 1528, dan akta notaris 1527 menarik satu hipotesis bahwa Cheguide berada antara Pontang dan Tangerang, tepatnya antara Tanjung Kait dan Muara Cisadane yaitu di sekitar Kali Kramat (Guillot, 1992: 15 -- 16). Penelitian lapangan di situs Kramat menemukan indikator pemukiman di tepi pantai (pelabuhan). Situs Kramat terdapat di Desa Sukawali, Kecamatan Pakuhaji. Di kawasan situs ini terdapat beberapa objek arkeologis antara lain makam, fragmen komponen bangunan, kapal, serta fragmen keramik, gerabah, dan besi. Makam yang terdapat di situs ini berupa makam panjang. Tokoh yang dimakamkan bernama Syekh Daud bin Said pendatang dari Hadramaut. Berdasarkan pengamatan pada singkapan hasil penggalian masyarakat banyak ditemukan artefak berupa fragmen keramik baik lokal maupun asing, fragmen benda-benda kaca, dan fragmen besi. Artefak tersebut kebanyakan ditemukan pada kedalaman sekitar 0,5 m. Berdasarkan sebaran artefak yang terdapat di permukaan, luas situs diduga sekitar 10 hektar. Berdasarkan keterangan penduduk setempat juga pernah ditemukan beberapa keping mata uang. Fragmen komponen bangunan yang ditemukan berupa ubin terakota, struktur bekas sumur berbentuk lingkaran, fondasi bangunan yang juga dari bahan bata. Pada empang di sebelah utara perkampungan, berjarak sekitar 0,5 km atau 0,5 km dari pantai terdapat fragmen kapal dengan posisi membentang arah timur-barat (sejajar dengan garis pantai). Fragmen kapal yang terlihat merupakan bagian sisi lambung sepanjang sekitar 2 m. Bagian yang lain masih tertimbun tanah. Ujung kapal selanjutnya terlihat pada empang di sebelahnya. Secara keseluruhan dari ujung ke ujung yang masih ada panjangnya sekitar 6 m. Kapal ini terbuat dari bahan besi. Keseluruhan temuan fragmen keramik, yang tertua berasal dari masa dinasti T’ang (abad ke-7 -- 10) dan yang termuda keramik Eropa (abad ke-19 -- 20). Berdasarkan temuan keramik tergambar bahwa pemukiman di situs Kramat berlangsung paling lama sejak abad ke-7 -- 20. Namun karena tidak ditemukannya keramik dari masa dinasti Yuan (abad ke-13 -- 14) dapat diduga pada masa-masa tersebut mengalami pasang surut. Aktifitas meningkat secara pesat pada masa dinasti Ming (abad ke-14 -- 17) dan mencapai puncaknya pada masa dinasti Qing (abad ke17 -- 20) dan selanjutnya surut lagi (Saptono, 1998: 245 – 248). Surutnya aktivitas pada abad ke-13 hingga ke-13 mungkin juga disebabkan pada kurun waktu itu pusat pemerintahan kerajaan Sunda berada di wilayah timur yaitu di Kawali. 4.2.3.2 Berdasarkan Keterangan Tertulis Dalam Kitab Negara kertagama Pupuh 8: 1. Warnnan tinkah ikan puradbhuta kuthanya bata ban umider mmakandel aruhur, kulwan / di dwura waktra manharpakan lbuh agen i tnah way edran adalm, brahmasthana matungalan pathani buddi jajar inapi kapwa sök caracara, nka (95a) tongwan para tanda tan pgat aganti kumemit i karaksanin purasabha. 2. Lor ttan gopura cobhitabhinawça konten ika wsi rinupakaparimita, wetan / sandin ikarjja pangun aruhur / patigan ika binajralepa maputih, kannah lor kkidul i pken / raket ikaɳ yaça wkasin apanjan adbhuta dahat, anken / caitra pahomaniɳ bala samuha kidul ika catuspathahyan ahalp. 3. Slwagimbar ikan wanuntur an haturddiçi watanan ikawitana ri tnah, lor ttan weçma panankilan / para bhujanga khimuta para mantry alingih apupul, wetan / ngwan para çewa bodda mawiwada mucap aji sahopakara wki sök, prayaçcitta ri kalanin grahana phalguna makaphala haywanin sabhuwana. 4. Kannah wetan ikan pahoman ajajar ttiga tiga ri tnah kaçaiwan aruhur, ngwan san wipra kidul padottama susun / barat i natar ikabatur patawuran, ngwan san sogata lor susun tiga tikaɳ wanunan i pucak arjja mokirukiran, kapwanjrah racananya puspa pinaran / nrpati satata yan hanoma mapupul. 5. Nkaneɳ jro kidulin wanuntur ahlt / palawanan ika (95b) na paçewa atatha, wecmarjjajajar anhapit hawan anulwan i tnah ika tanjun anjran askar, ndah kulwan / mahlt muwah kidul i pangun ika balay aneka medran i tpi, arddalwa ri tnah natar nikana mandapa pasatan açankya lot mawurahan. 6. Ri jronyeki muwah paçewan akidul / dudug anusi wijil kapiɳrwa ri dalm, tinkahnyeki tinumpatumpa mahlt / palawanan ikanaɳ sapanta tininkah, kapwa wweçma subadda watwan ika len / saka balabag usuknya tanpacacadan, sök deni bala hajy anankil agilir / makmit an umapeksa wara matutur. Artinya: 1. Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura. Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit. Pohon brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam. Di situlah tempat tunggu para tanda terus-menerus meronda, jaga paseban. 2. Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir Di sebelah timur: panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat, Di bagian utara, di selatan pekan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah, Di selatan jalan perempat: balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra. 3. Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan Yang meluas ke empat arah; bagaian utara paseban pujangga dan menteri. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buddha, yang bertugas membahas upacara. Pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia. 4. Di sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa. Di sebelah tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat; di utara tempat Buddha bersusun tiga. Puncaknya penuh berukir; berhamburan bunga waktu raja turun berkorban. 5. Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat pintu, itulah pasukan. Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga Lebat. Agak jauh di sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira. Tepat di tengahtengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau. 6. Di dalam, di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua. Dibuat bertingkat-tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri. Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela, Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar Tutur. Pupuh 12: 1. Warnnan tinkah ikaɳ pikandel atathattut kantaniɳ nagara, wetan / saɳ dwija çaiwa mukya sira danhyaɳ brahmarajadika, nkaneɳ daksina bodda mukyan anawuɳ sanka karnkannadi, kulwan / ksatriya mantri pungawa sa gotra çri narendradipa. 2. Wetan dan mahlt / lbul pura narendreɳ wenker atyadbhuta, saksat indra lawan saci nrpati lawan saɳ narendreɳ daha, saɳ natheɳ matahun / narendra ri lasem / mungwiɳ dalm tan kasah, kannah daksina tan madoh kamgetan / saɳ natha çobhahalp. 3. Nkaneɳ uttara lor sakeɳ pken agoɳ kuww ahalp / çobhita, saɳ saksat ari de nareçwara ri wenker saɳ makuww apagoh, satyasih ri narendradira nipuneɳ nityapatih rin daha, kyatin rat / manaran / bhatara narapaty ande halp niɳ praja. 4. Wetan lor kuwu saɳ gajahmada patih riɳ tiktawilwadika, mantri wira wicaksaneɳ naya matangwan / satya bhaktyaprabhu, wagmi wak padu sarjjawopasama, dihotsaha tan lalana, raja dyaksa rumaksa ri sthiti narendran cakrawarttiɳ jagat. 5. Nda nkane kidul iɳ puri kuwu kadarmmadyaksan arddahalp, wetan rakwa kaçaiwan uttama kaboddakulwan naçryatatha, tan warnnan kuwu saɳ sumantry adika len / mwan saɳ para ksatriya, deniɳ kwehnira bheda ri sakuwukuww ande halp niɳ pura. 6. Lwir ccandraruna tekanaɳ pura ri tikta çri phalanopama, tejangeh nikanaɳ karaɳ sakuwukuww akweh madudwan halp,lwir ttaragraha tekanaɳ nagara çesannekha mukyaɳ daha,mwaɳ nusantara sarwwa mandalita rastra naçrayakweh mark. Artinya: 1. Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja, selatan Buddha-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka barat tempat arya, menteri dan sanak-kadang adiraja. 2. Di timur, tersekat lapangan, menjulang istana ajaib, Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci, berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem, tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta. 3. Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi, Di situ menetap patih Daha, adinda Baginda di wengker, Batara Narapati, termashur sebagai tulang punggung praja, cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak. 4. Di timur laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada, Menteri wira, bijaksana, setia bakti kepada negara, fasih bicara, teguh tangkas, tenang tegas, cerdik lagi jujur, Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara. 5. Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus, Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Buddha, Terlangkahi rumah para menteri, para arya dan satria, Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura. 6. Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang, menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama, Negara-negara di Nusantara, dengan Daha bagai pemuka, Tunduk menengadah, berlindung di bawah Wilwatika (Majapahit). Pupuh 13: 1. Lwir niɳ nusa pranusa pramukha sakahawat / ksoni ri malayu, naɳ jambi mwaɳ palembaɳ karitan i teba len / darmmaçraya tumut, kandis kahwas manankabwa ri siyak i rkan / kampar mwan i pane, kampe harw athawe mandahilin i tumihaɳ parllak / mwan i barat. 2. Hi lwas lawan samudra mwan i lamuri batan lampuɳ mwaɳ i barus, yekadinyaɳ watek / bhumi malayu satanah kapwamateh anut. len tekaɳ nusa tañjuɳ nagara ri kapuhas lawan ri katinan, sampit / mwaɳ kutalinga mwan i kutawarinin / sambas mwan i lawai. Artinya: 1. Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya pun ikut juga disebut daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang. 2. Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus, Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk, Negara-negara di pulau Tanjungnegara: Kapuas-Katingan Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut. Pupuh 18: 1. Yyankat / çri natha sakeɳ kapulunan ikanaɳ rajabhrtya niriɳ sök, salwaniɳ rajamarggäparimita hibkan / syandanomwat matambak, wwaɳ niɳ wwaɳ pekhaniɳ peka tka saha padati harp / mwaɳ ri wuntat, dudwaɳ wadwa darat / seh girimisen amedep / mwaɳ gajaçwadi kirnna. 2. Nistanyaçankya taɳ syandana mapawilanan deni cihnanya bheda, tekwan lampah nikapanta tulis ika dudu ri saɳ mantri samantri, rakryan saɳ mantri mukyapatih i majhapahit / saɳ pranalen kadatwan, pinten / mawan çata syandana pulupulutan teki cihnanya neka. 3. Saɳ çri natheɳ pajaɳ kwehni rathanira padacihnaniɳ diwaça çri, ndan / çri natheɳ lasem / sök / rathanira matulis / nandaka çweta çobha, saɳ çri natheɳ daha cihna sadahakusuma syandanabhratulis mas, mukyaɳ çri jiwanendrasakata samasama cihna lobheɳ lwih sök. 4. Ndan saɳ çri tiktawilwaprabhu sakataniraçankya cihnanya wilwa, gritisiɳ lobhe lwih laka pada tinulis iɳ mas kajaɳnyan rinenga, salwirniɳ pungawamwat / bini haji nuniweh .. çwari çri sudewi,(101a) sakwehniɳ pekabharyya sakata nika sinaɳ panharpniɳ sapanta. 5. Mungwiɳ wuntat / ratha çri nrpati rinacanaɳ swarnna ratna pradipta, anyat / lwirnyatawiɳ jampana sagala mawalwahulap / söɳnya lumra, kirnneɳ wadwa niriɳ jangala kadiri sdah paɳaraɳ sök marampak, astam tekaɳ bhayaɳkaryyamawamawa duduɳ bhrtya mungwiɳ gajaçwa. 6. Ndah prapteɳ pañjuran / munkur atiki lariniɳ syandaneñjiɳ mararyyan, lampalfniɳ khawy animpan sumeper i sawunan / matilawad / wanduwargga, linsirniɳ suryya mankat marni ri haliwat / çri narendran lumampah, tut marggamurwwa çighran datn i watukiken / ri matañjuɳ mararyyan. 7. Deçasimpar kkaboddan kapark i tpiniɳ marggakaywanya poryyaɳ, pratyekanye galangaɳ muwah ikan i baduɳ tan madoh mwaɳ baruɳbuɳ, tan karyyaner mmanik / towi kawiçaya ri yanatrayangehnya menöt, saɳ darmmadyaksa çighran / sinegehan ika riɳ bhojanapana tusta. 8. Sampun / prapte kulur mwaɳ batan i ganan asem / teki lampah narendra, tistis / hyaɳ suryya pinten / ghatita pitu sirm kamukhan sanhub awra, skandaware tnah niɳ harahara dinunuɳ çri narendre kamantyan, praptan wyapara (101 b) sampun / panadahira madum / sthana tekiɳ wwan akweh. Artinya: 1. Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan, berdesak abdi berarak, Sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impit, Pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki, berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda. 2. Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya, Meleret berkelompok-kelompok, karena tiap menteri lain lambangnya, Rakrian sang menteri Patih Amangkubumi penata kerajaan, Keretanya beberapa ratus berkelompok dengan aneka tanda. 3. Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari, Semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih, Kendaraan Sri Nata Daha bergambar Dahakusuma emas mengkilat, Kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian. 4. Kereta Sri Nata Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah maja, Beratap kain geringsing, berhias lukisan emas, bersinar merah indah, Semua pegawai, parameswari raja dan juga rani Sri Sudewi, Ringkasnya para wanita berkereta merah, berjalan paling muka. 5. Kereta Sri Nata berhias emas dan ratna manikam paling belakang, Jempanajempana lainnya bercadar beledu, meluap gemerlap, Rapat rampak prajurit pengiring Janggala Kediri, Panglarang, Sedah, Bhayangkari gemruduk berbondong-bondong naik gajah dan kuda. 6. Pagi-pagi telah tiba di Pancuran Mungkur; Sri Nata ingin rehat, Sang rakawi menyidat jalan, menuju Sawungan mengunjungi akrab, Larut matahari berangkat lagi tepat waktu Sri Baginda lalu, Ke arah timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di Matanjung. 7. Dukuh sepi ke-buddha-an dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang, Berbeda-beda namanya Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung, Tak terlupakan Ermanik, dukuh teguh-taat kepada Yanatraya, Puas sang Dharmadhyaksa mencicipi aneka jamuan makan dan minum. 8. Sampai di Kulur, Batang di Gangan Asem perjalanan Sri Baginda Nata, Hari mulai teduh, surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam, Baginda memberi perintah memasang tenda di tengah-tengah sawah, Sudah siap habis makan, cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat. Pupuh 63: 1. Enjiɳ çri natha warnnan/ mijil apupul aweh sewa riɳ bhrtya mantri, aryyadinyaɳ markh/ mwaɳ para patih atatha riɳ witanan palingih, nka saɳ ma(119a) ntryapatih wira gajamada mark sapranamyadarojar, an wanten/ rajakaryyalihulihn ikanaɳ daryya haywa pramada. Artinya: 1. Tersebut paginya Sri Naranata dihadap para menteri semua, Di muka para arya, lalu pepatih, duduk teratur di manguntur, Patih Amangkubumi Gajah Mada tampil ke muka sambil berkata: “Baginda akan melakukan kewajiban yang tak boleh diabaikan. Pupuh 79: 2. Cri natheɳ wenker otus manapaka rikanaɳ deça sakwehnya warnnan,çri natheɳ sinhasaryy otus anapaka ri göɳniɳ dapur saprakara, kapwagögwan/ patik/ gundala siran umiwö karyya tan lambalamba, hetunyaɳ yawabhumy atutur in ulah anut/ çaçana çri narendra. Artinya: 2. Segenap desa sudah diteliti menurut perintah Raja Wengker, Raja Singhasari bertitah mendaftar jiwa serta seluk-salurannya, Petugas giat menepati perintah, berpegang kepada aturan, Segenap penduduk Jawa patuh mengindahkan perintah Baginda raja. Pupuh 80: 1. Lwir nikanaɳ kasogatan i bali kadikaranan/ muwah kuti hañar, lawan i purwwanagara muwah wihara bahun adirajya kuturan, nöm tikanaɳ kabajradaran uttama nhin i wihara taɳ kawinayan, kirnna makadin aryya dadi rajasanmata kutinya tan wicaritan. 2. Milwa tikaɳ sudarmma ri bukhit/ sulaɳ lmah i lampun anyawasuda, kyatyanaran tathagatapura grhaswadara supraçastin amatöh, bhyoma rasakka çaka diwaçanya suk/ nrpati jiwaneçwara danu, wrdda sumantry upasakan abhumiçudda t-her apratistan inutus. 3. Salwir ikaɳ swatantra tuhu sapramana pagöh tkap narapati, kirtti san adi sajjana çakawakhanya ya rinaksa mogha tinnöt, manka junga swabhawa san inuttama prabhu wiçesa digjaya wibhuh, nyama muwah rinaksa sahanani kirttinira deni saɳ prabhu hlem. Artinya: 1. Perdikan kebudayaan Bali sebagai berikut; biara Baharu (hanyar), Kadikaranan, Purwanagara, Wiharabahu, Adiraja, Kuturan, Itulah enam kebudayaan Bajradara, biara kependetaan, Terlangkahi biara dengan bantuan negara seperti Arya-dadi. 2. Berikut candi makam di Bukit Sulang, Lemah Lampung, dan Anyawasuda, Tatagatapura, Grehastadara, sangat mashur, dibangun atas piagam, Pada tahun Saka angkasa rasa surya (1260) oleh Sri Baginda Jiwana, Yang memberkahi tanahnya, membangun candinya: upasaka wreda mentri. 3. Semua perdikan dengan bukti prasasti dibiarkan tetap berdiri, Terjaga dan terlindungi segala bangunan setiap orang budiman, Begitulah tabiat raja utama, berjaya, berkuasa, perkasa, Semoga Pupuh 81: 1. Göɳnyarambha nareçware pageha saɳ tripakse jawa, purwwacaranireɳ praçastyalama taɳ rinaksan iwö, kotsahan haji yatna donira wineh patik gundala, tan wismrtyanireɳ caradigama çiksa len/ çaçana. Artinya: 1. Besarlah minat Baginda untuk tegaknya tripaksa, Tentang piagam beliau bersikap agar tetap diindahkan, Begitu pula tentang pengeluaran undang-undang, supaya laku utama, tata sila dan adat-tutur diperhatikan. 4.3. Perubahan Kuntara Raja Niti Menjadi Jugul Muda Denys Lombard (1938-1998) dalam karyanya yang berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya mengatakan, karena minimnya catatan tentang kerajaan Demak kemudian ada sebagian sejarawan yang menganggap kesultanan Islam yang didirikan Raden Fatah bersama para dewan wali ini tidak memiliki prestasi besar dalam lemabaran sejarah Nusantara. Masa kesultanan Demak juga disimpulkan sebagai periode yang singkat. Vonis periode Demak sebagai masa transisi dari Majapahit menuju Mataram setidaknya dijatuhkan oleh ahli sejarah Indonesia kelahiran Rotterdam, Netherlands Hermanus Johannes de Graaf (1899-1984) dan ahli sastra Jawa kelahiran Leipzig, Jerman Theodoor Gautier Thomas Pigeaud (1899 1988). De Graaf dalam buku Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senopati (2001), misalnya, menuliskan sub judul yang berbunyi “Selingan Demak”. Selanjutnya de Graaf memberi porsi yang lebih banyak pada pembahasan periode Mataram Islam: mulai awal pendirian, intrik politik di dalamnya, hingga ambisi Senopati dan keturunannya dalam menaklukkan wilayah di sepanjang pesisir utara Jawa. Berbeda dengan de Graaf dan Pigeaud, Lombard melihat periode Demak sebagai masa yang sangat penting. Satu era yang pada masanya telah terjadi revolusi kelas sosial. Pada masanya kesultanan Demak telah memberikan dampak besar pada kehidupan sosial kebangsaan di wilayah Jawa-Nusantara. Jangan hanya melihat durasi kepemimpinan para sultan yang menobatkan dirinya sebagai keturunan (keluarga) Raden Fatah. Tetapi lihatlah pula jangkaun diplomasi politik dan pengaruh kekuasaan Demak kala itu. Kesultanan Demak mewarisi atau meneruskan kebesaran Majapahit. Ketika Demak berjaya, hampir seluruh wilayah Jawa tunduk. Di luar itu, penguasa di Pasai, Palembang, Banten, Pasir Luhur (kini sekitar Banyumas), Cirebon, Banjarmasin, hingga Maluku pernah merasakan kiriman bantuan bala tentara angkatan laut Demak yang kesohor itu. Hal lain yang juga harus diingat, kesultanan Demak tidak hanya disibukan mengurus wilayah internal di Nusantara. Pasca runtuhnya kerajaan Majapahit para penjarah dari asing mulai berdatangan. Ini adalah sisi lain atau tugas tambahan yang semakin menyibukkan para raja kesultanan Demak. Karena itu, periode Demak tidak layak diabaikan begitu saja. Berdirinya kesultanan Demak juga menandai lahirnya orang-orang (kelompok elit) baru dan tatanan yang juga baru. Periode Demak betul-betul telah membuat batas dengan periode sebelumnya, masa kejayaan Majapahit. Kaum elit Demak yang terdiri orang-orang baru (muslim; santri; pedagang) kemudian merumuskan model tatanan baru yang khas, berbeda dengan masa kerajaan Majapahit. Tatanan baru yang telah dirumuskan para penguasa kesultanan Demak adalah kitab undang-undang yang bernama Salokantara atau Jugul Muda (Pigeaud, Literature of Java, 1967; Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya II, 2000:55). Kitab Salokantara berisi tentang seluruh hal-ihwal yang mengatur pola relasi kehidupan masyarakat Nusantara di bawah kesultanan Demak. Di dalam kitab tersebut di jelaskan bahwa semua manusia mempunyai derajat yang sama, sebagai hamba Tuhan. Rakyat bukanlah sahaya yang berhadapan dengan sang tuan (Suadi dan Candra, Politik Hukum, 2016:346) Kitab Salokantara juga diceritakan berisi 1044 (seribu empat puluh empat) contoh kasus hukum. Keberadaannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kitab undang-undang kesultanan Demak lainnya, kitab Jugul Muda. Pesan universal yang terkandung dalam kitab undang-undang kesultanan Demak ini adalah semua manusia mempunyai derajat yang sama, sebagai hamba Tuhan. Rakyat bukanlah sahaya yang berhadapan dengan sang tuan (Suadi dan Candra, Politik Hukum, 2016:346). Kondisi sosio-kultural di Nusantara telah berubah, dari Majapahit ke Demak. Karena itu, tatanan sosial yang baru juga harus diterbitkan. Di sisi lain, kitab Salokantara ini juga menegaskan bahwa pada saat itu telah terjadi dialog dan saling mengakui antara produk hukum yang digali dari nilai-nilai ajaran Hindu-Jawa dan hukum Islam yang sedang berkembang (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya II, 2000:54). Lebih jauh lagi, hal ini akan menegaskan kesimpulan bahwa pada masa kesultanan Demak telah memiliki konsep hidup berdampaingan antar-elemen masyarakat yang beragam yang diterbitkan oleh negara (formal). Ini tentu menjadi fakta menarik. Raja Demak ketiga Sultan Trenggana adalah penyusun kitab undang-undang baru yang bernamanya Salokantara itu (Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya II, 2000:56). Informasi lain memberitakan, Salokantara sejatinya sudah ada dan berlaku sejak masa pemerintahan raja Demak yang pertama, Raden Fatah. Mencermati pemberitaan tentang kandungan kitab Salokantara kita menjadi mengerti, hingga kesultanan Demak berdiri kesadaran untuk merawat khazanah ilmu pengetahuan (babagan kaweruh) Jawa-Hindu oleh para elit muslim (bangsawan maupun santri) masih sangat kuat. Bukti yang memperkuat kesimpulan ini adalah kandungan dalam Serat Centhini. Serat yang ditulis tahun 1814 Masehi itu mengisahkan perjalanan seorang tokoh bernama Jayengresmi (Syeh Amongraga) dengan ditemani dua murid (santri) setianya, Gathak dan Gathuk. Kiai Amongraga yang tidak lain adalah keturunan Sunan Giri ini berjalan dari ujung Pulau Jawa di bagian timur hingga batas Jawa di bagian barat. Ia mengunjungi para resi, kaum bijak-bestari, makam keramat, dan bekas wilayah penting di sepanjang Pulau Jawa. Tujuan utama Jayengresmi adalah mengunjungi dan belajar (ngangsu kaweruh) kepada para waskita, orang-orang yang menguasai khazanah ilmu pengetahuan Jawa, Hindu, dan keislaman. Hal ini, menjadi bukti bahwa masyarakat Jawa (bangsawan dan juga kaum santri) masih menghargai, dan dalam batas tertentu juga merawat pengetahuan khas yang sejak awal sudah eksis Menyadari perkembangan di tengah masyarakat. Setelah kita membanggakan kebesaran Majapahit di masa lalu, kemudian mengetahui bahwa pada masa Demak ternyata telah memiliki konsep hidup berdampingan antar-elemen masyarakat yang beragam. Jauh sebelum Kesultanan Demak betul-betul siap didirikan, para ulama telah mempersiapkan masyarakat dengan dakwah. Tidak saja mumpuni dalam berdakwah, Walisanga menunjukkan keahlian politik, sosial dan budaya yang baik. Jika dikilas balik, berikut gambaran sepak terjang Walisanga yang terkait erat dengan dinamika Kerajaan Majapahit. Sekitar 1445 M, Raden Rahmatullah atau sunan Ampel dari Campa bersama dua saudaranya, Ali Murtadlo dan Abu Hurairah datang ke Jawa. Raja Majapahit, Sri Kertawijaya dan istrinya, Dwarawati yang juga bibi Rahmat menyambutnya selayaknya keluarga keraton. Lalu, Sang raja berkenan menghadiahkan tanah perdikan kepada Rahmat di Ampel Denta. Di sanalah, Rahmat mengembangkan pesantren dan pusat keilmuan untuk pembinaan budi bangsawan dan rakyat Majapahit yang sedang merosot. Konsep lembaga warisan Maulana Malik Ibrahim itupun kemudian menghasilkan kader-kader dakwah yang handal. Dalam waktu singkat, Rahmat bisa mengembangkan basis-basis Islam di beberapa kadipaten. Beberapa tahun kemudian, Sri Kertawijaya dikudeta oleh Rajasawardhana sebagai raja. Perkembangan Islam tak disukai raja baru itu. Rahmatpun menyusun strategi baru dengan menyebar para ulama ke delapan titik. Kala itu Majapahit tinggal tersisa sembilan kadipaten. Tim dakwah yang delapan itu dinamakannya “Bhayangkare Ishlah”. Mereka adalah Sunan Ampel sendiri, Raden Ali Murtadho, Abu Hurairah, Syekh Yakub, Maulana Abdullah, Kiai Bang Tong, Khalif Husayn dan Usman Haji. Kader santri pun giliran menggantikan beberapa posisi ulama. Di antara mereka adalah Raden Hasan yang kelak menjadi Sultan Demak. Dalam sebuah versi, dewan Walisanga dibentuk sekitar 1474 M oleh Raden Rahmat membawahi Raden Hasan, Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), Qosim (Sunan Drajad), Usman Haji (ayah Sunan Kudus), Raden Ainul Yaqin (Sunan Gresik), Syekh Suta Maharaja, Raden Hamzah dan Raden Mahmud. Beberapa tahun kemudian, Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di dalamnya. Sunan Kalijaga dipercaya para wali sebagai mubalig keliling. Di samping wali-wali tersebut, masih banyak ulama yang dakwahnya satu koordinasi dengan Sunan Ampel yang bertugas sebagai seorang mufti tanah Jawi. Hanya saja, sembilan tokoh Walisanga yang dikenal selama ini memang memiliki peran dan karya menonjol dalam dakwah maupun dalam proses ketatanegaraan Demak. Berikut lima wali di antaranya. Maulana Malik Ibrahim, Ia dianggap pelopor penyebaran Islam para wali di Jawa. Memulai dari desa Leran Gresik, ia bergumul dengan rakyat kecil sebagai petani. Keahlian bercocok tanam membuat rakyat sekitar tertarik untuk berguru tani. Ia juga dipercaya ahli tata negara yang dikagumi kalangan bangsawan Ibrahim pula yang dikenal sebagai perintis lembaga pendidikan pesantren. Raden Ali Rahmatullah, Alias Sunan Ampel Sang mufti dari negeri Campa ini mengajarkan Islam secara lurus. Dalam mengajarkan Islam, ia tak kenal kompromi dengan budaya lokal. Istilah pesantren dan santri diyakini pertama kali digunakan oleh Sunan Ampel. Wejangan terkenalnya mo limo yang intinya menolak mencuri, mabuk, main wanita, judi dan madat, yang marak di masa Majapahit. Raden Ainul Yaqin Atau Raden Paku atau Sunan Giri. Ia anak Syekh Yakub bin Maulana Ishak. Ia diyakini sebagai tokoh fakih dan menguasai ilmu falak (perbintangan). Di masa menjelang keruntuhan Majapahit, Paku dipercaya sebagai raja peralihan sebelum Raden Fatah naik menjadi Sultan Demak. Ia diberi gelar Prabu Satmata, Ratu Tunggul Kalifatullah Mukminin. Ketika Sunan Ampel wafat, Sunan Giri menggantikannya sebagai mufti tanah Jawa. Pesantren Giri hingga di masa Mataram menjadi Giri Kedaton yang selalu diminta untuk merestui raja-raja di sebagian wilayah Nusantara. Catatan Portugis dan Belanda di Ambon menyebut, Sunan Giri (dan pelanjutnya) sama dengan Paus di Roma yang memberkati para kepala negeri sebelum naik takhta. Termasuk di dalamnya para sultan Islam di Maluku, Hitu dan Ternate. Dengan demikian, Giri merupakan wujud lembaga kekuasaan tersendiri, meski lebih sebagai lembaga berwenang dalam soal keagamaan saja. Raden Makhdum Ibrahim Atau Sunan Bonang Ia putra sulung Sunan Ampel yang karya-karya tertulisnya terdokumentasikan hingga kini. Di antaranya Suluk Bonang, Primbon I dan Primbon II. Dari tulisan-tulisan Bonang, bisa dibaca watak dakwah para wali, sekaligus pedoman fikih umat Islam. Raden Syahid Atau Sunan Kalijaga. Ia tercatat paling banyak menghasilkan karya seni berfalsafah Islam seperti tembang-tembang macapat (wali lain juga turut mencipta), baju takwa, tata kota Islami, serta gong Sekaten (Syahadat ain) di Solo dan Yogya. Ia membuat wayang kulit dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan Giri sempat menentangnya. Karena, wayang beber kala itu menggambarkan gambar manusia utuh yang tak sesuai ajaran Islam. Kalijaga mengkreasi wayang kulit yang bentuknya jauh dari bentuk manusia utuh. Ini adalah sebuah usaha ijtihad di bidang fiqh yang dilakukan Sunan Kalijaga dalam upaya dakwahnya. Syarif Hidayatullah Atau Sunan Gunung Jati Nama ini acapkali dirancukan dengan Fatahillah, yang menantunya tetapi faktanya Sunan Gunung Jati lah yang memerintahkan Raden Fatah untuk membuat kitab aturan di masyarakat yang memiliki kekuatan islam berdasarkan tiga hal yakni Ilmu Fiqih, Ilmu Tauhid dan Ilmu Sarak. Sementara sunan Gunung Jati sendiri ia memiliki kesultanan sendiri di Cirebon yang wilayahnya sampai Banten. Selain itu Ia adalah salah satu pembuat soko guru Masjid Demak selain Sunan Ampel, Kalijaga dan Bonang. Keberadaan Syarif berikut kesultanannya membuktikan ada tiga kekuasaan Islam yang hidup bersamaan kala itu, Demak, Giri dan Cirebon hanya saja, Demak dijadikan pusat dakwah, pusat studi Islam sekaligus kontrol politik para wali sehingga Sunan Gunung Jati mendapatkan Gelar Syarif Hidaytullah Ing Ala Panatagama. Setelah itu Demak dideklarasikan sebagai kesultanan dengan Raden Patah sebagai pemimpinnya. Gelar beliau adalah Sultan Fattah Syeh Alam Akbar Panembahan Jimbun Abdul Rahman Sayyidin Sirullah Khalifatullah Amiril Mukminin Hajjuddin Khamid Khan Abdul Suryo Alam di Bintoro Demak. Langkah awal yang mereka lakukan adalah mengumumkan dasar negara dan konstitusi yang berlaku di Kesultanan Demak. Dalam hal ini, mereka menjadikan Al-Qur an dan As-Sunnah sebagai dasar negara. Mereka memberlakukan SYAMINA syariat Islam yang dikodifikasikan dalam Kitab Angger-Angger Surya Alam dan Salokantara. Dalam menjalankan politik luar negeri, Kesultanan Demak melakukan jihad melawan Portugis di Malaka dan Sunda Kelapa. Mereka juga melakukan jihad atas wilayah bekas Majapahit yang tidak mau tunduk pada Kesultanan Demak. Kapasitas mereka untuk melakukan kebijakan luar negeri semacam itu ditunjang oleh kemampuan ekonomi yang kuat. Demak pun berkembang menjadi kekuatan ekonomi dan militer baru di tanah Jawa. Dengan kekuatan tersebut, mereka mampu membuat sebuah tatanan baru (new order) di tanah Jawa yang berdasarkan syariat Islam menggantikan tatanan lama (old order) yang dipimpin oleh kerajaan Majapahit. Pada masa Kesultanan Demak, orang-orang Jawa menguasai setiap jengkal dari tanahnya Tak ada kekuatan asing yang bisa melecehkan kedaulatan tanah air mereka Demak bebas dari kekuasaan asing Semarang dan Jepara menjadi tempat galangan kapal yang memprodusir Kapal kapal besar dan kecil. Dalam produktivitas yang tinggi Ini semua karena mereka merasa punya jaminan kepastian hidup Dan kepastian hidup ada karena adanya daulat hukum yang tertera dalam kitab Salokantara dan Jugul Muda ialah kitab UU Demak yang punya landasan syari ah Agama Islam, yang mengakui bahwa semua manusia itu sama derajatnya, samasama khalifah Allah di dunia. Raja-raja Demak sadar dan ikhlas dikontrol oleh kekuasaan para wali. Raja-raja Demak berkuasa hanya selama 65 tahun. Tetapi mereka adalah pahlawan bangsa yang telah memperkenalkan daulat hukum kepada bangsanya. Secara de facto dan de jure, Kesultanan Demak adalah negara yang berdasar Syariat Islam pertama di tanah Jawa. 4.3 Hukum Adat Suku Lampung Masyarakat adalah suatu kesatuan yang tumbuh dan berkembang dalam suatu perkumpulan sekelompok orang yang membentuk suatu system semi tertutup (atau semi terbuka) dimana sebagian interaksi adalah antara individu-individu yang berada di dalam kelompok masyarakat tersebut. Sedangkan kata masyarakat sendiri adalah serapan dari akar kata di dalam bahasa Arab, yaitu “musyarak”. Penggambarannya adalah bahwa masyarakat merupakan suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat merupakan suatu komunitas yang interpenden (yang saling ketergantungan antara satu dan lainnya), yang pada umumnya istilah masyarakat digunakan untuk mengacu pada sekelompok yang hidup bersama dalam suatu komunitas yang teratur. Koentjaraningrat menjelaskan bahwa masyarakat di dalam bahasa inggris disebt society yang berasal dari bahasa latin yaitu socius yang memiliki arti “kawan”. Ikatan-ikatan yang terjadi di dalam masyarakat yang membentuk suatu kesatuan manusia yang menjadi satu pola tingkah laku yang khas. Pola tingkah laku yang terus menerus dilakukan dan bersifat tetap tersebut. lambat laun kemudian akan menjadi suatu ciri khas yang kemudian kebih dikenal dengan adat istiadat. Paul B. Hortondan C. Hunt menjelaskan definisi masyarakat adalah merupakan suatu kumpulan manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal disuatu wilayah tertentu, mempunyai kebudayaan yang sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok atau kumpulan manusia tersebut. Hukum di dalam masyarakat menjadi suatu peraturan hidup di dalam masyarakat yang memiliki sifat mengendalikan, mencegah, mengikat, memaksa. Hukum dinyatakan atau dianggap suatu peraturan yang mengikat bagi sebagian atau seluruh anggota masyarakat tertentu, dengan tujuan mengadakan suatu tatanan kehidupan yang dikehendaki oleh penguasa. Hukum adalah serangkaian aturan yang berisi perintah atau larangan yang sifatnya memaksa demi terciptanya suatu kondisi yang aman, tertib, damai, dan terdapat sanksi bagi siapapun yang melanggarnya kita dapat memastikan bahwa hukum yang diciptakan oleh masyarakat tersebut memiliki suatu sanksi yang diberikan kepada masyarakat itu sendiri jika ada yang melanggar aturanaturan hukum yang telah dibuat tersebut. Saat ini kita mengetahui bahwa Hukum Positif yang berlaku di Indonesia yakni : Hukum adat, hukum islam, hukum barat dan hukum positif Indonesia yang disusun setelah Proklamasi Kemerdekaan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena itu hukum positif di Indonesia belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945. Sebelum negara ini menyatakan kemerdekaan tahun 1945, bahkan jauh sebelum itu, tuyuk tukhing (nenek moyang) kita pun telah mempunyai perundang-undangan sebagai aturan bagi tatanan kemasyarakatan termasuk juga masyarakat Lampung. Setiap wilayah adat masyarakat Lampung yang mempunyai struktur kemasyarakatan selalu diatur dengan perundang-undangan adat baik Tersurat (tertulis) maupun tersirat (tidak Tertulis) berdasarkan kebiasaan serta kesepakatan masyarakat adatnya yang dikenal Marga yang kemudian memunculkan kebuayan. Dalam aturan adat yang masih berlaku hingga saat ini adalah Kuttara Braja Sako Atau Kuttaro Rajo Aso lebih cenderung mengatur tentang nilai-nilai kenormaan di tengah masyarakat hal ini terlihat dalam kitab tersebut terdapat aturan yang di kenal dengan istilah “Ceppalo” atau hal pelanggaran yang bersifat tercela. Selain itu masyarakat adat lampung mengenal kitab aturan para raja atau pemangku adat yang di kenal dengan Kuttara Raja Niti (Kunttara raja Niteiy). Dalam kitab ini mengatur persoalan silang sengketa di tengah masyarakat beserta masalah denda adat yang hingga saat ini masih berlaku di lingkungan urusan adat istiadat. Kitab Kuntara Raja Niti bukan semata mengatur acara adat sebagai seremonial, melainkan juga hubungan antara manusia satu dan lainnya, antar tetangga, antar masyarakat, juga hubungan antara rakyat dan rajanya. Dalam perundang-undangan Kuntara, masyarakat juga diatur untuk bersikap baik pada bumi dan alam sekitar. Contohnya seperti terdapat Pada ayat pertama kitab Kuntara Raja Niti berbunyi : “Kutogh/kamah di muka di bulakang” ayat ini berarti di dalam suatu negeri akan tercela apabila penduduknya tidak bisa menjaga kebersihan lingkungan serta halaman rumahnya masing-masing. Ayat ini mengatur tentang kebersihan suatu wilayah. Pada ayat 2, berbunyi “Mak bupakkalan ghagah”. Maksudnya di dalam negeri akan tercela apabila tidak ada tempat pemandian khusus, baik khusus pria maupun wanita, bila mandi bercampur baur di satu tempat. Pada ayat ketiga berbunyi Mak busesat. Arti ayat ini adalah di dalam negeri akan tercela apabila tidak memiliki balai adat tempat bermusyawarah sehingga permasalahan tidak pernah dimusyawarahkan bersama. Ayat ketiga ini mencakup lebih luas, mengatur tata kemasyarakatan dengan diwajibkannya adanya tempat berkumpul untuk menyelesaikan setiap permasalahan. Kita bisa melihat betapa nenek moyang kita menyelesaikan segala sesuatu dengan musyawarah. Sebagai esensi dari sistem kekeluargaan dan kegotongroyongan. Di ayat keempat berbunyi Mak bulanggah mak bumesjit. Maksud dari ayat ini di dalam negeri akan tercela apabila tidak memiliki masjid atau langgar tempat beribadah, menunjukkan masyarakat lampung di anjurkan untuk salat berjemaah sebagai bukti kerukunan beragama dalam beribadah. Perundang-undangan pendahulu kita tidak memisahkan antara kehidupan bermasyarakat dan beribadah. Sangat wajar jika masyarakat Lampung ini terkenal agamais karena pendahulunya telah mengukir peradaban untuk dekat dengan Sang Pencipta. Selanjutnya di ayat kelima berbunyi: Mak ngagantung kalekep. Artinya di dalam suatu negeri akan tercela apabila tidak menggantungkan kentongan sebagai pertanda keamanan lingkungan tidak dipedulikan dengan tidak adanya ronda malam. Setelah tempat ibadah, keamanan lingkungan tak luput dari bidikan perundang-undangan masyarakat Lampung. Dari sini bisa dipastikan adanya peradaban yang terstruktur dan cerdas dalam menjaga kemaslahatan kehidupan. Dalam Kuntara Raja Niti, semua telah tertata dengan sangat teliti Sehingga Dari perundang-undangan tersebut, kita bisa berkaca betapa beberapa generasi sebelum kita, di tanah Lampung ini telah ada peradaban agung yang bisa menjadi kebanggaan generasi selanjutnya, bahkan sampai pada kita dan anak cucu mendatang. Sayangnya, di generasi kita, sudah banyak yang tak mengenalnya, alihalih mempelajarinya. Tapi sayangnya tidak semua pemangku adat yang menjaga warisan leluhur tersebut sehingga kepada merekalah kita bisa bertanya, mengungkai kearifan nilai dari setiap aturan yang ada. Bahkan sebagian masyarakat juga masih menjaga nilai dari perundang-undangan tersebut. Salah satu bentuk perundang-undangan yang dimiliki masyarakat Lampung di masa lampau adalah Kuntara Raja Niti. Kitab Kuntara Raja Niti adalah nama kitab hukum adat Lampung yang berlaku dalam lingkungan masyarakat Lampung Pubiyan dan sebagian masyarakat Pesisir. Agaknya kitab hukum adat ini telah berlaku sejak masa kekuasaan Ratu di Balau pada abad 16, dan dimasa masuknya pengaruh kekuasaan Islam di Banten sejak abad 17. Hukum adat ini hingga sekarang walaupun disana sini sudah terjadi perubahan-perubahan, namun masih berlaku sebagai pegangan masyarakat adat bersangkutan(Hilman Hadikusuma, 1988:100).