Buku Ajar Fisiologi-Templet2

advertisement
BAB I
RESEPTOR TIROSIN KINASE
DAN TRANSFORMING GROWTH FACTOR β
Transforming Growth Factor β (TGF-β).
Transforming growth factor beta (TGF-β) adalah protein
yang disekresikan untuk meregulasi proliferasi, diferensiasi dan
kematian dari berbagai jenis sel. Semua jenis sel kekebalan, termasuk
sel B, sel T dan sel dendritik serta makrofag, mensekresi TGF-β, yang
mengatur proliferasi, diferensiasi dan aktivasi oleh sitokin lain. TGF-β
adalah imunosuppressor utama yang berhubungan dengan autoimun,
peradangan dan kanker. TGF-β merupakan protein sekresi yang
terdiri dari tiga isoform yakni TGF-β1, TGF-β2 dan TGF-β3. TGFβ1, merupakan anggota utama dari golongan sinyal ini yang telah
banyak diketahui perannya. TGF-β merupakan superfamili protein
yang dikenal sebagai faktor pengatur transformasi beta superfamili,
yang meliputi inhibins, aktivin, anti-mullerian hormon, tulang
morphogenetic protein, dan decapentaplegik. Kelompok pertama dari
superfamili TGF-β diidentifikasi berdasarkan kemampuan untuk
mengekspresikan fenotif dan mengubah ekspresi sel-sel dalam kultur.
Namun faktor-faktor pertumbuhan yang disekresi ini sekarang
diketahui memiliki spektrum efek yang luar biasa pada pertumbuhan
dan perkembangan sel normal. Faktor pertumbuhan ini juga
merangsang produksi sel-molekul adhesi, faktor pertumbuhan
lainnya, dan molekul matriks ekstraselular.
Struktur peptida dari tiga anggota keluarga TGF-β sangat
mirip. Ketiga-tiganya disandikan sebagai prekursor protein. TGF-β1
mengandung 390 asam amino, sedangkan TGF-β2 dan TGF-β3
masing-masing mengandung 412 asam amino. Semua TGF-β
memiliki terminal N-peptida yang terdiri dari 20-30 asam amino.
Asam-asam amino terminal berguna untuk mengatur sekresi sel pada
sel target. TGF-β juga memiliki terminal C yang terdiri dari 112-114
asam amino yang berperan sebagai signal pembentukan TGF-β itu
sendiri. TGF-β yang matang membentuk protein dimer untuk
menghasilkan molekul 25 kDa aktif dengan struktur yang mempunyai
banyak motif. TGF-β mempunyai sembilan residu sistein. Delapan
residu sistein membentuk ikatan disulfida dalam molekul untuk
membentuk karakteristik struktur simpul sistein dari TGF-β
superfamili. Sistein kesembilan dimanfaatkan untuk membentuk
sebuah ikatan dengan model dimer. Banyak residu pada TGF-β yang
berfungsi untuk membentuk struktur sekunder melalui interaksi
hidrofobik. Daerah sistein pada posisi antara kelima dan keenam
merupakan daerah yang paling berbeda dari molekul TGF-β yang
ditampilkan pada permukaan molekul dan terlibat dalam pengikatan
reseptor.
Anggota superfamili TGFβ berasal dari prekursor protein
aktif disekresi melalui proses proteolitik. Prekursor mengandung Nterminal peptida, sebuah pusat prodomain yang mengandung 50-375
asam amino, dan C-terminal matang domain, yang membentuk faktor
pertumbuhan aktif. Bentuk monomer faktor pertumbuhan ini
mengandung 110-140 asam amino dan memiliki struktur kompak
dengan empat antiparalel helai dan tiga β disulfida intramolekul yang
membentuk struktur yang terikat kuat yang disebut simpul sistin.
Simpul domain sistein relatif tahan terhadap denaturasi, sehingga
memungkinkan perannya sebagai molekul ekstraselular. Sebagian
besar di antara berbagai variasi urutan protein TGFβ diamati di
daerah N-terminal, loop bergabung dengan β untai, dan α heliks.
Tambahan N-terminal sistein pada masing-masing monomer TGFβ
menyebabkan terjadinya homodimers dan heterodimers fungsional.
Kombinasi heterodimer yang berbeda dapat meningkatkan
keragaman fungsional protein ini di luar yang dihasilkan oleh
perbedaan dalam urutan utama dari monomer. Urutan utama
monomer TGF-β kurang dari 10 persen homologi dengan faktor
pertumbuhan saraf dan trombosit yang diturunkan dari faktor
pertumbuhan. Meskipun demikian, kesamaan yang luar biasa dalam
tiga-dimensi struktur dari monomer dari faktor-faktor pertumbuhan
protein ini menunjukkan asal-usul nenek moyang yang sama dengan
banyak sekuens selama evolusi. Namun, organisasi dari subunit
dalam protein dimer bervariasi di antara ketiga faktor pertumbuhan.
Ikatan silang iodinated mplekul TGF-β terdapat pada
permukaan sel dan telah diketahui tiga polipeptida dengan berat
molekul jelas 55, 85, dan 280 kDa disebut sebagai reseptor TGF-β I,
II, dan III. Reseptor TGF-β tipe I dan tipe II keduanya merupakan
protein transmembran serin atau treonin kinase. Pengikatan TGFβ
menginduksi pembentukan reseptor multimerik yang sebagian besar
berupa heterotetramers, terdiri dari reseptor tipe I dan tipe II. Jenis
reseptor reseptor III TGF-β berupa molekul permukaan sel, yaitu βproteoglycan disebut glikan, yang muncul untuk mengatur
aksesibilitas TGF-β untuk sinyal-transduksi reseptor TGF-β dari tipe
I dan tipe II heterotetramer. Fenomena ini mirip dengan pengikatan
faktor pertumbuhan fibroblast (FGF) oleh proteoglikan dan
presentasi FGF terikat pada reseptor.
Pembentukan TGF- β.
Sejumlah molekul pembawa sinyal ekstraseluler yang berperan
dalam meregulasi perkembangan, baik pada vertebrata maupun
invertebrata, merupakan superfamili transforming growth factor β (TGFβ).
TGFβ manusia tersusun atas tiga isoform protein, yaitu TGFβ-1,
TGFβ-2, dan TGFβ-3. Masing-masing isoform TGFβ disintesis
sebagai bagian prekursor yang mengandung pro-domain. Domain
tersebut dipotong, tetapi masih berasosiasi secara nonkovalen dengan
domain mature setelah protein disekresikan. Kebanyakan TGFβ yang
disekresikan disimpan dalam matriks ekstraseluler sebagai laten, yaitu
kompleks inaktif yang mengandung prekursor TGFβ dan berikatan
kovalen dengan TGFβ-binding protein yang disebut Latent- TGFβ
Binding Protein (LTBP). Pengikatan LTBP oleh protein matriks
thrombospondin atau cell-surface integrin memicu perubahan
konformasi LTBP yang menyebabkan pelepasan TGFβ dimer yang
aktif. Alternatif lainnya adalah pemutusan ikatan protein dengan
matriks metaloprotease yang juga menghasilkan aktivasi TGFβ.
Proses pembentukan TGFβ ditunjukkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Proses pembentukan TGFβ
Aktivasi TGF-β oleh Faktor Transkripsi Smads.
Ada tiga jenis protein Smad yakni reseptor Smads (R-Smads),
co-Smads, dan penghambatan atau antagonis Smads. Residu dekat
terminal C-R-Smads terfosforilasi dan mengaktifkan reseptor tipe I
TGFβ. R-Smads terfosforilasi dan membentuk dimer dengan Smads.
Heterodimers melakukan translocate menuju nukleus dan bekerja
sama dengan faktor-faktor transkripsi lain untuk mengaktifkan gengen transkripsi pada sel target tertentu. R-Smads dapat dibagi menjadi
dua bagian yakni MH1 dan MH2 yang dipisahkan oleh daerah linker
yang fleksibel. Dalam keadaan tidak aktif, N-terminal domain
menekan aktivitas transkripsi C-terminal domain MH1 dan MH2.
Ketika Smads telah aktif, bagian terfosforilasi dari domain MH1
mengikat DNA, dan domain MH2 mengatur interaksi dengan Smads,
untuk mendorong interaksi dengan protein pengikat DNA sehingga
dapat menyediakan fungsi aktivasi transkripsional. Faktor
pertumbuhan reseptor spesifik superfamili TGF-β menimbulkan
respons sellular yang berbeda. Kekhususan ini ditunjukkan oleh
reseptor yang terkait. Ini merupakan fenomena umum pada sistem
sinyal intersellular. Jalur signaling TGF-β memberikan satu contoh
strategi yang sangat baik untuk mencapai respon yang spesifik.
Sebagai contoh, pengikatan TGF-β ke reseptornya menyebabkan
fosforilasi Smad2, dimerization dengan Smad4, translokasi dari
Smad2 atau Smad4 ke nukleus, dan mengaktivasi transkripsi gen-gen
target tertentu. Di sisi lain, pengikatan BMP2, anggota lain dari TGFβ superfamili, pada reseptor yang dapat memfosforilasi Smad1
menyebabkan dimerisasi dengan Smad4. Pada kasus ini aktivasi dan
tanggapan transkripsional tertentu dapat berbeda dari yang
disebabkan oleh Smad2 dan Smad4.
Tanggapan spesifik dari reseptor TGF-β dan BMP2
ditentukan oleh tiga asam amino dalam tipe I subunit reseptor dan
saling melengkapi dalam R-residu Smads. Spesifitas masing-masing
reseptor dapat diubah hanya dengan penggantian asam amino pada
posisi ketiga. Demikian juga, pertukaran sekuens yang komplementer
antara Smad1 dapat membalikkan spesifitas aktivasi Smad2, sehingga
sekarang Smad1 diaktifkan oleh reseptor TGF-β dan diaktifkan
Smad2 oleh reseptor BMP2. Meskipun komplementer ini sesuai
urutan reseptor spesifik dengan R-Smads tertentu, wilayah lain dalam
C-terminal domain R-Smads sangat penting untuk menentukan
spesifikasi target-gen induksi, kemungkinan melalui interaksi dengan
faktor-faktor transkripsi spesifik.
Gambar 2. Alur signal TGF-beta
Fosforilasi dapat terjadi pada dua terminal-C residu serine
pada motif SXS domain aktif MH2 pada reseptor Smad. Ligan akan
mengikat, Smad 2 atau 3 yang difosforilasi oleh bentuk aktif reseptor
tipe I dan juga berasosiasi dengan Smad4 untuk membentuk komplek
hetero-oligodimer yang akan bertranslokasi menuju nukleus. Setelah
melakukan translokasi komplek akan berikatan dengan skuen SNA
spesifik pada daerah promoter gen yang meregulasi transkripsinya.
Respon transkripsi dari TGF-beta tergantung dari aktivitas Smad.
Jalur signaling dari Smad akan dihambat dengan regulasi oleh
inhibitor Smad6 dan Smad7. Inhibitor Smad7 akan bekerja untuk
menghambat sinyal yang dimediasi oleh Smads dengan membentuk
ikatan stabil dengan receptor tipe 1 dan mencegah terjadinya
fosforilasi reseptor Smads serta meregulasi feedback negative. Selain itu
transkripsi juga diaktivasi oleh signal TGF-beta, dan Smad7 yang
menginduksi terbentuknya ubiquitine dan mendegradasi reseptor
melalui protein Smurf 1 atau 2. Smad 6 bersaing dengan Smad1 untuk
berikatan dengan Smad4.
Meskipun TGF-β penting dalam mengatur kegiatan seluler,
hanya beberapa TGF-β yang mengaktifkan jalur yang saat ini dikenal,
sedangkan mekanisme lengkap di belakang jalur aktivasi belum dapat
dipahami dengan baik. Beberapa dikenal sebagai jalur pengaktifan sel
atau jaringan yang spesifik, sementara beberapa yang lain terlihat
dalam beberapa jenis sel dan jaringan. Protease, integrins, pH, dan
oksigen spesies reaktif, adalah faktor-faktor yang dapat mengaktifkan
TGF-β. Telah diketahui bahwa gangguan faktor pengaktifan ini dapat
mengakibatkan TGF-β tidak teratur tingkat sinyalnya dan
menyebabkan beberapa komplikasi termasuk peradangan, gangguan
autoimun, fibrosis, kanker dan katarak. Dalam kebanyakan kasus,
TGF-β diaktifkan oleh ligan dan memulai serangkaian signal TGF-β
sepanjang reseptor TGF-β I dan II, hal ini karena afinitas tinggi
antara TGF-β dan reseptor, yang menunjukkan mengapa sinyal
TGF–β merekrut sistem latensi dengan cara memberi isyarat. Semua
TGF-β disintesis sebagai prekursor molekul yang terdiri atas
propeptide selain TGF-β homodimer. Setelah disintesis, TGF-β yang
homodimer berinteraksi dengan Associated Latency Peptida (LAP)
protein yang berasal dari daerah N-terminal dari produk gen TGF
beta dan membentuk kompleksitas yang disebut Laten Small
Complex (SLC). Kompleks ini tetap berada dalam sel sampai terikat
dengan protein lain yang disebut Laten TGF-β-Binding Protein
(LTBP), membentuk kompleks yang lebih besar yang disebut Laten
Large Complex (LLC). Dalam hal ini LLC yang didapatkan
disekresikan ke ECM.
Pada sebagian besar kasus, sebelum LLC dikeluarkan, TGF-β
terlebih dahulu dipotong dari propeptide tetapi tetap terikat dengan
ikatan non-kovalen. Setelah sekresi, ia tetap berada dalam matriks
ekstraselular kompleks dalam bentuk tidak aktif baik LTBP dan LAP
yang perlu diproses lebih lanjut dalam rangka untuk membebaskan
TGF-β aktif. Perubahan TGF-β ke LTBP dengan cara mengadakan
ikatan disulfida yang memungkinkan untuk tetap aktif dengan cara
mencegah ikatan ke reseptor. Karena mekanisme selular yang berbeda
membutuhkan tingkat yang berbeda dari sinyal TGF-β kompleks
yang tidak aktif. Sitokin ini memberikan kesempatan untuk mediasi
yang tepat bagi sinyal TGF-β. Ada empat isoform LAP yang dikenal,
LAP-1, LAP-2, LAP-3 dan LAP-4. Mutasi merupakan perubahan
LAP atau hasil LTBP:TGF-β dari signaling yang tidak tepat. Tikus
yang kekurangan LAP-3 atau LAP-4 menunjukkan fenotipe
konsisten. Selanjutnya, LAP spesifik isoform memiliki kecenderungan
untuk berikatan dengan TGF-β yang berupa isoform spesifik. Sebagai
contoh, LAP-4 mengikat TGF-β1, dengan demikian, mutasi yang
terjadi pada LAP-4 dapat mengakibatkan komplikasi TGF-β yang
terkait pada jaringan yang melibatkan sebagian besar TGF-β1. TGF-β
dapat di aktivasi oleh protease dan metalloprotease. Plasmin dan
sejumlah matriks metalloproteinases (MMP) memainkan peran kunci
dalam mempromosikan invasi tumor dan jaringan renovasi oleh
proteolisis mengarah pada beberapa komponen ECM. Pada proses
aktivasi TGF-β melibatkan pelepasan LLC dari matriks, diikuti oleh
proteolisis, lebih lanjut LAP akan melepaskan TGF-β ke reseptor.
MMP-9 dan MMP-2 yang dikenal laten TGF-β. LAP kompleks
mengandung protease engsel sensitif yakni daerah yang menjadi
sasaran potensial untuk pembebasan TGF-β. Terlepas dari kenyataan
bahwa MMPs telah terbukti memainkan peran penting dalam
mengaktifkan TGF-β, tikus dengan mutasi pada MMP-9 dan MMP-2
masih dapat mengaktifkan gen TGF-β dan tidak menunjukkan
kekurangan TGF-β. Fenotipe ini mencerminkan redundansi antara
mengaktifkan enzim dan menunjukkan bahwa protease lain yang
tidak dikenal mungkin terlibat. Kondisi asam dapat mengubah sifat
LAP. Perawatan medium ekstrem dengan pH (1,5 atau 12)
mengakibatkan aktivasi signifikan TGF beta seperti yang ditunjukkan
oleh pengujian reseptor, sedangkan perlakuan asam ringan (pH 4,5)
hanya menghasilkan 20-30% dari kompetisi yang dicapai dengan pH
1,5. Struktur LAP penting untuk mempertahankan fungsinya.
Struktur modifikasi dari LAP dapat mengarah pada gangguan
interaksi antara LAP dan TGF-β. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan perubahan tersebut mungkin termasuk hidroksil radikal
dari reaktif oksigen spesies (ROS). TGF-β dengan cepat teraktivasi
setelah perlakuan radiasi in vivo. Thrombospondin-1 (TSP-1) adalah
glikoprotein yang ditemukan pada plasma pasien. Dalam kondisi
sehat TSP-1 dalam kisaran 50-250 ng/ml, dan tingkat TSP-1
diketahui mengalami peningkatan respon terhadap cedera dan selama
perkembangan. TSP-1 mengaktifkan TGF-β dengan membentuk
interaksi langsung dengan TGF-β kompleks dan menginduksi
penataan ulang konformasional dengan mencegah pengikatan TGF-β.
Pengetahuan pada kontek aktivasi TGF-β, muncul dari studi-studi
yang meneliti mutasi (KO) integrin β6, integrin αV, dan integrin β8
LAP. Mutasi ini menghasilkan fenotipe yang sama dengan fenotipe
yang terlihat pada TGF-β1 knockout tikus. Saat ini terdapat dua
model yang diusulkan tentang bagaimana αV mengandung integrins
laten dapat mengaktifkan TGF-β1. Model yang diajukan pertama
adalah dengan mendorong perubahan konformasi ke TGF-β1 laten
kompleks dan dengan demikian melepaskan TGF-β1 aktif dan model
kedua adalah dengan protease yang tergantung pada mekanismenya.
Mekanisme perubahan konformasi jalur (tanpa proteolisis) αVβ6
integrin adalah pertama integrin diidentifikasi sebagai penggerak
TGF-β1. Laps mengandung motif RGD yang diketahui mengandung
integrins, dan dapat mengaktifkan αVβ6 integrin TGF-β1 dengan cara
mengikat motif dimana RGD hadir pada LAP-LAP-β1 dan β 3.
Setelah mengikat itulah ditengarahi menginduksi kekuatan sel adhesi
yang diterjemahkan ke dalam sinyal-sinyal biokimia yang dapat
mengakibatkan pembebasan dan aktivasi TGF-β dari kompleks laten.
Jalur ini telah dibuktikan untuk aktivasi TGF-β pada sel-sel epitel dan
tidak mengaitkan MMPs. Karena MMP-2 dan MMP-9 dapat
mengaktifkan TGF-β melalui degradasi proteolitik, TGF-β laten
kompleks, akan mengaktifkan αV yang mengandung TGF-β1 dengan
menciptakan hubungan yang erat antara TGF-β laten kompleks dan
MMPs. Integrins αVβ6 dan αVβ3 diharapkan mengikat secara
simultan TGF-β1 laten kompleks dan proteinases yang secara
simultan menginduksi perubahan konformasi LAP dan protease.
Terlepas dari terlibat maupun tidaknya MMPs, mekanisme ini masih
memerlukan asosiasi intergrins dan membuat jalur non proteolitik.
Peran TGF-β PadaTumor.
Tumor secara aktif merupakan imunosupresif, dan fakta ini
didukung oleh data adanya ekstensif efek pada sel-sel imun
ditemukan baik di lingkungan mikro tumor dan di bagian tepi. Ada
banyak mekanisme yang menyebabkan terjadinya imunosupresi pada
tumor, termasuk ekspresi ligan FAS (FasL) dan sekresi berbagai
faktor penekan. Banyak transforming growth factor yang terbentuk
antara lain TGF-β1 dan -2 (TGF-β2), dan banyak data mendukung
kesimpulan bahwa faktor-faktor imunosupresif ini berhubungan
dengan berbagai respon sistem imun. Pada kenyataannya, efek TGF-β
pada respon imun pleiotropic dapat terjadi dalam berbagai cara.
Misalnya, ada bukti bahwa menghambat TGF-βs pada T-sel dan NKcell mempengaruhi respon sitokin, termasuk tanggapan proliferatif
dan produksi sitokin. Dilain pihak ada bukti bahwa TGF-β berfungsi
sebagai chemoattractant untuk IL -2 mengaktifkan sel-sel NK, yang
tampaknya berfungsi mendorong potensi antitumor. Efek TGFs
saling bertentangan juga telah diamati dalam percobaan lain. Oleh
karena itu, yang terbaik adalah untuk mempertimbangkan efek TGFβ dalam konteks sistem model tertentu. Sebagai contoh bahwa secara
umum IL-4 mendukung pengembangan TH2 pada sistem kekebalan,
namun dengan kehadiran TGF-β, respon imun didorong untuk
menghasilkan tipe respon TH1. Data ini dengan jelas mendukung
gagasan bahwa yang terbaik adalah untuk mempertimbangkan efek
TGF-β pada respon imun terhadap tumor dalam konteks lingkungan
makro dan mikro. Laporan terbaru dengan menggunakan berbagai
model tumor telah menunjukkan bahwa penghapusan TGF-β atau
penghambatan fungsinya mempunyai pengaruh signifikansi untuk
tumorigenicity dan imunogenisitas glioma. Gangguan sintesis atau
fungsi TGF-β yang dihasilkan oleh glioma termasuk iradiasi dan
penggunaan protease inhibitor akan menghambat pemrosesan
terbentuknya TGF-β. Dalam kasus iradiasi diketahui bahwa produksi
TGF-β tidak mengalami penurunan pada basis per sel bahkan terjadi
peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi dalam waktu
pendek dapat diterapkan pada terapi glioma dan tidak akan
menyebabkan hilangnya efek TGF-β pada individu yang menerima
perlakuan itu.
Sebuah pendekatan yang melibatkan transfeksi gen dengan
decorin kecil, yang mana leusin proteoglycan mengikat dan
menonaktifkan TGF-β akan mengganggu homeostasis. Dalam
penelitian ini, dipastikan bahwa transfeksi decorin mengakibatkan
penghapusan kegiatan TFG-β in vitro dan yang lebih penting, sel-sel
yang mengekspresikan decorin pada level yang tinggi tidak memiliki
sifat sebagai sel tumor pada sistem in vivo. Namun, ada beberapa
kontroversi mengenai apakah efek terapeutik dimediasi dengan
decorin menghilangkan efek TGF-β. Untuk menjawab hal tersebut
diperlukan eksperimen lebih lanjut. Potensi penggunaan decorin
dalam terapi gen mempunyai kemungkinan berpengaruh pada
interaksi TGF-β yang terlibat dalam hilangnya tumorgenisitas.
Fungsi TGF-β Pada Apoptosis.
Sel bisa mati dalam dua cara. Pertama, melalui kematian sel
terprogram (apoptosis dan autophagy), yang merupakan proses
fisiologi normal dan melalui nekrosis, yang merupakan kematian dari
penyebab lain, seperti kekurangan oksigen atau racun. TGF-β
menginduksi apoptosis dalam berbagai jenis sel. TGF-β dapat
menginduksi apoptosis dalam dua cara yaitu melalui SMAD pathway
dan DAXX pathway. SMAD pathway adalah jalur sinyal kanonik
dimana sinyal TGF-β dimer mengikat ke reseptor tipe II yang
merekrut tipe I phosphorylates sebuah reseptor. Jenis reseptor ini
kemudian merekrut dan reseptor phosphorylates diatur oleh SMAD
(R-SMAD). SMAD3, R-SMAD, yang terlibat dalam menginduksi
apoptosis. R-SMAD kemudian mengikat ke SMAD umum
(coSMAD) SMAD4 dan membentuk sebuah heterodimeric
kompleks. Kompleks ini kemudian memasuki inti sel di mana ia
bertindak sebagai faktor transkripsi untuk berbagai gen, termasuk
untuk mengaktifkan mitogen-activated protein kinase 8 jalur, yang
memicu apoptosis.
TGF-β mungkin juga memicu apoptosis melalui kematian,
terkait protein 6 (DAXX adaptor protein). DAXX telah ditunjukkan
untuk mengasosiasikan ikatan dengan tipe II reseptor TGF-β kinase.
Siklus sel TGF-β memainkan peran penting dalam regulasi siklus sel.
TGF-β menyebabkan sintesis protein p15 dan p21, yang menghalangi
siklin: CDK kompleks bertanggung jawab atas Retinoblastoma
protein (Rb) fosforilasi. Jadi TGF-β blok melalui fase siklus G1.
TGF-β menekan ekspresi gen c-myc yang terlibat dalam siklus sel G1.
Sistem kekebalan TGF-β diyakini penting dalam regulasi, sistem
kekebalan Regulatory T CD25 + sel. TGF-β muncul untuk
memblokir aktivasi limfosit dan monosit yang diturunkan phagocytes.
Peran ganda TGF-β1 dalam apoptosis.
Pemaparan sel untuk TGF-beta1 dapat memicu berbagai
respon selular termasuk penghambatan pertumbuhan sel, migrasi,
diferensiasi dan apoptosis. TGF-beta1-diatur adalah jenis sel
apoptosis dan tergantung pada konteks, memang TGF-beta1
memberikan sinyal baik untuk kelangsungan hidup sel atau apoptosis.
Mekanisme molekuler yang mendasari peran TGF-beta1 dalam
apoptosis tetap tidak jelas. Protein yang terutama menengahi sinyal
intraselular dari TGF-beta1 adalah anggota keluarga Smad. Namun
demikian, TGF-beta1 signaling juga dapat bekerja sama dengan
kematian reseptor apoptotic jalur (FAS, TNF), dengan modulator
apoptosis intraselular JNK dan P38 MAP kinase, Akt, NF-kappaB,
dan dengan jalur apoptotic mitokondria dimediasi oleh anggotaanggota Bcl-2 keluarga. Selain itu, keterlibatan TGF-beta1 dalam
produksi stres oksidatif dan mencegah proses peradangan yang
diperlukan untuk pembersihan tubuh apoptotic bukti lebih lanjut
integrasinya ke jalur apoptotic. Interaksi dan keseimbangan antara
rangsangan yang berbeda memberikan dasar bagi pro-atau anti-output
apoptotic TGF-beta1 pensinyalan dalam suatu sel.
Peran TGF-β pada Jantung.
Sebuah studi di Saint Louis University School of Medicine
telah menemukan bahwa kolesterol menekan responsivitas sel-sel
kardiovaskular terhadap TGF-β dan menyebabkan terjadinya
aterosklerosis. Saat itu juga ditemukan bahwa statin, obat penurun
kadar kolesterol meningkatkan responsivitas sel-sel kardiovaskular
terhadap protektif TGF-β, sehingga membantu mencegah
perkembangan aterosklerosis dan penyakit jantung.
Peran TGF-β pada Sindrom Marfan.
TGF-β signaling juga mungkin memainkan peran utama
dalam patogenesis sindrom Marfan, penyakit yang ditandai dengan
tidak proporsional tinggi, arachnodactily, ectopia lentis dan
komplikasi hati seperti prolaps katup mitral dan pembesaran aorta
meningkatkan dan ada kemungkinan terjadinya diseksi aorta.
Sementara cacat mendasar dalam sindrom Marfan ialah rusaknya
sintesis glikoprotein fibrillin, biasanya merupakan komponen penting
dari serat elastis, fenotipe sindrom Marfan dapat dihilangkan dengan
penambahan dari TGF-β antagonis dalam tikus yang terkena dampak.
Hal ini menunjukkan bahwa untuk sementara gejala sindrom Marfan
mungkin tampak konsisten dengan gangguan jaringan ikat,
mekanisme lebih mungkin berkaitan dengan pengurangan karantina
dari TGF-β oleh fibrillin. Prekursor TGFβ4 ditemukan dengan
peningkatan susunan gen selama fase pra-menstruasi dalam
endometrail stroma (Kothapalli et al. 1997) dan disebut EBAF
(endometrium pendarahan faktor terkait). Kemudian secara terpisah
ditemukan embrio vertebrata asimetri kiri kanan dan diberi nama
lefty2 (juga disebut Lefty A).
Bentuk monomer TGFβ mengandung 110-140 residu asam
amino dan memiliki struktur dengan empat β-strand antiparalel dan
tiga ikatan disulfida. Bentuk struktur ini disebut cystine knot, yang
cukup resisten mengalami denaturasi. Penambahan sistein Nterminus pada masing-masing monomer menghubungkan monomer
TGFβ menjadi homodimer ataupun heterodimer yang fungsional
(Lodish et al, 2005). TGFβ memiliki tiga tipe reseptor yang berbeda,
yaitu RI (55 kDa), RII (85 kDa), dan RIII (280 kDa). Reseptor TGFβ
yang paling melimpah adalah RIII, yang merupakan proteoglycan
permukaan sel (β-glycan). β-glycan tersebut mampu mengikat dan
menghimpun TGFβ yang berada di dekat permukaan sel. Reseptor
tipe I (RI) dan RII merupakan protein transmembran dimer dengan
serin/ treonin kinase sebagai domain sitosolik. RII adalah aktif kinase
yang memfosforilasi dirinya sendiri jika tidak ada TGFβ. Pengikatan
TGFβ menginduksi pembentukan kompleks yang mengandung RI
dan RII. Subunit RII kemudian memfosforilasi residu serin dan
treonin pada subunit RI, sehingga mengaktifkan aktivitas kinase RI
(Lodish et al, 2005).
Aktivasi Reseptor TGFβ-I.
Faktor transkripsi downstream dari TGF-β disebut dengan
Smad. Tiga jenis protein Smad yang berperan dalam jalur TGF-βsignaling adalah receptor-regulated Smads (R-Smads), co-Smads, dan
inhibitory atau antagonistic Smads (I-Smads). Jalur aktivasi Smad
ditunjukkan pada Gambar 2. R-Smad mengandung dua domain, yaitu
MH1 dan MH2, yang dipisahkan oleh flexible linker region. N-terminus
dari domain MH1 mengandung bagian yang mengikat DNA spesifik
(specific DNA-binding segment) dan sebuah sekuens yang disebut
nuclearlocalization signal (NLS) yang dibutuhkan untuk transpot
protein menuju nukleus. Ketika R-Smad dalam keadaan inaktif (tidak
terfosforilasi), NLS dalam keadaan menutup (masked), dan domain
MH1 dan MH2 berasosiasi sehingga tidak dapat berikatan dengan
DNA atau co-Smad. Fosforilasi pada tiga residu serine di dekat Cterminus dari R-Smad (Smad2 atau Smad3) oleh reseptor TGFβ tipe I
yang teraktivasi akan memisahkan dua domain tersebut dan
memberikan ikatan antara importinβ dengan NLS. Selanjutnya
sebuah kompleks yang mengandung dua molekul Smad3 (atau
Smad2) dan satu molekul co-Smad terbentuk dalam sitosol.
Kompleks ini distabilkan oleh ikatan dua serine yang terfosforilasi
pada masing-masing Smad3 dengan phosphoserine-binding site pada
domain Smad3 dan MH2 Smad4. Pengikatan importinβ kemudian
memediasi translokasi kompleks heterodimer R-Smad/co-Smad ke
dalam nukleus. Importinβ kemudian terdisosiasi di dalam nukleus,
dan kompleks Smad2/Smad4 atau Smad3/Smad4 bersama-sama
dengan faktor transkripsi mengaktifkan transkripsi pada gn target
yang spesifik. Di dalam nukleus, R-Smad kemudian mengalami
defosforilasi menghasilkan disosiasi kompleks R-Smad/co-Smad dan
kedua Smad keluar dari nukleus. Karena shuttling nucleocytoplasmic dari
Smad, konsentrasi Smad aktif di dalam nukleus menggambarkan
tingginya reseptor TGFβ yang teraktivasi pada permukaan sel.
Gambar 3. Jalur aktivasi TGFβ-Smad
Seluruh sel mamalia mensekresikan sekurang-kurangnya satu
isoform TGFβ, dan umumnya memiliki reseptor TGFβ pada
permukaannya. Karena jenis sel yang berbeda mengandung faktor
transkripsi yang berbeda, respon seluler yang diinduksi oleh TGFβ
juga bervariasi di antara jenis sel. Pada sel epitel dan fibroblas
misalnya, TGFβ tidak hanya menginduksi ekspresi protein matriks
ekstraseluler (misalnya kolagen), tetapi juga ekspresi protein yang
menghambat serum protease.
Hilangnya TG-β signaling berperan atas proliferasi sel.
Kebanyakan tumor manusia mengandung mutasi baik pada
reseptor TGFβ maupun protein Smad, sehingga terjadi resistensi
terhadap penghambatan pertumbuhan oleh TGFβ. Kanker pankreas
pada manusia, sebagai contoh, mengalami delesi pada gen yang
mengkode Smad4 sehingga tidak mampu menginduksi p15 dan
inhibitor siklus sel yang lain dalam merespon TGFβ. Mutasi gen
seperti ini disebut DPC (deleted in pancreatic cancer). Retinoblastoma,
kanker kolon dan lambung, hepatoma, dan beberapa kelainan pada
sel T dan sel B juga merupakan tidak ada respon terhadap TGFβ.
Kehilangan respon berhubungan dengan hilangnya reseptor TGFβ
tipe I dan tipe II. Responsivitas terhadap TGFβ dapat dikembalikan
melalui ekspresi rekombinan dari protein yang ‘hilang’ atau abnormal
(“missing” protein). Selain kegagalan menginduksi p15, kegagalan
mengekspresikan plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) pada sel
kanker juga dapat diakibatkan adanya mutasi pada protein-protein
yang berperan dalam jalur TGFβ-Smad. PAI-1 mampu mereduksi
degradasi matriks yang dikatalisis plasmin, sehingga ketika PAI-1
tidak terekspresi maka akan terjadi proliferasi sel. Hilangnya fungsi
baik pada reseptor TGFβ maupun Smad akibat mutasi menginduksi
proliferasi sel dan kemungkinan adanya invasi dan metastasis sel
tumor (Gambar 4).
Gambar 4. Efek mutasi pada protein-protein yang berperan dalam jalur TGFβSmad.
Gangguan yang berhubungan dengan aktivasi TGF-β signaling.
Upregulation dari TGF-β telah didokumentasikan di beberapa
gangguan peradangan. Sebagian besar studi-studi mengusulkan bahwa
dengan mengembalikan kontrol normal sinyal TGF-β atau dengan
menghambat tanpa merusak efek yang menguntungkan pengobatan
dapat menyebabkan gangguan peradangan kronis serta gangguan
sinyal TGF-β lain. RI kompleks adalah residu protein 503 yang terdiri
dari sistin yang kaya akan ekstraselular N-terminal domain yang
terlibat dalam ligan yang mengikat TGF-beta, satu transmembran
heliks dan sitoplasma C-terminal domain yang berpartisipasi dalam
sinyal transduksi. The sitoplasma domain RI adalah residu monomer
(Huse et. Al, 2001). Seperti yang disebutkan dalam sitoplasma domain
crystalizes sebagai tetramer, in vivo setiap domain berfungsi sebagai
satu unit. The sitoplasma domain memiliki dua wilayah kunci, inti
katalitik domain, mirip struktur tergantung cAMP protein kinase
PKA, dan daerah GS (heliks-loop-struktur spiral) yang berfungsi
sebagai pengatur segmen. Ini adalah katalitik domain yang mengikat
dan phosphorylates R-Smad protein yang akan pergi ke inti dan
mengubah transkripsi gen. Meskipun tidak membentuk kontak
langsung dengan RII atau Smad protein, alfa C heliks adalah bagian
dari pergeseran konformasi yang penting antara GS loop dan urutan
aktivasi yang memungkinkan pengaktifan RI dan selanjutnya Smad
fosforilasi protein. R1 yang dikristalkan dapat menghambat FKBP12
kompleks. Dalam kristalisasi ini bentukan dimer tetramer dengan tiga
molekul dimer lain. Sitoplasma FKBP12 adalah inhibitor fungsi
phosphorylative RI, ketika phosphorylates RII GS domain RI tidak
terlepas dari FKBP12 RI GS domain. FKBP12 mengikat ke wilayah
GS RI melalui alfa heliks 2 dan menstabilkan, mencegah interaksi
yang mengikat ATP dan aktivitas kinase RI. Interaksi ini secara efektif
pin C alfa heliks dalam posisi yang menciptakan kaku, struktur
menghambat seluruh reseptor kompleks. Leu-195 residu dan Leu-196
RI mengikat secara langsung dengan FKBP12; di samping kedua
residu Leu-193 dan Pro-194. Meskipun mereka tidak secara langsung
berinteraksi,mereka akan menstabilkan FKBP12, interaksi ini
dibentuk oleh Leu-195 dan Leu-196. Semua residu ini berada di dekat
alfa C heliks dan loop L45 RI, meskipun ada interaksi lain di tempat
lain dalam dimer, keempat tersebut adalah yang paling signifikan.
Dalam RI alfa heliks 2 terdapat beberapa fleksibilitas dalam gerakan.
Ketika GS phosphorylates RII loop, FKBP12 dilepas dan
menghambat konformasi adalah merupakan destabilisasi. Ini
diaktifkan dan menyebabkan konformasi yang khas yang
memungkinkan seluruh struktur RI untuk 'terbuka' dan mengikat
ATP yang akan membantu mendorong Smad fosforilasi.
Efek pada FKBP12 RI.
Hambatan perubahan konformasi, disebabkan oleh adanya
FKBP12 dan kestabilan orientasi. Struktural katalitik domain
memungkinkan perlindungan komponen vital yang melaksanakan
proses fosforilasi Smad. Seperti disebutkan, perlindungan FKBP12
loop GS menyebabkan perubahan konformasi reseptor di seluruh
struktur. Pengikatan menggeser FKBP12 C alfa heliks dengan
memaksa interaksi dengan GS loop, urutan aktivasi, dan alpha C
heliks sendiri. Interaksi sekitar Fosfat mengikat ATP loop dan
mencegah ikatanATP t. Tiga residu bertanggung jawab atas hal ini
dengan mendekati lingkaran yang mengikat dan menciptakan interaksi
mereka sendiri, Lys-232 blok alfa phopsphate, Phe-216 beta blok
fosfat, dan Arg-372 dengan blok Phe-216 gamma fosfat . Dilihat dari
model rantai yang berpadu sisi Arg-372 terlihat memperluas ke pusat
katalitik RI dan membentuk pasangan ion dengan Asp-351, suatu
asam amino esensial yang dibutuhkan untuk koordinasi ion Mg. Yang
menghambat konformasi alfa heliks C akan distabilkan oleh sejumlah
interaksi residu panjang dengan dua lembar beta struktural penting 9
dan 10. Kontak Van Der Walls dibuat antara C heliks alfa dan beta
untai 10. Glu-247 residu akan menstabilkan interaksi antara Arg-244
dan Asp-366. H-ikatan terjadi antara alpha helix dan beta C untai 9.
Residu Asp-366 dari 10 untai kelompok beta Arg-357 ke dalam
konformasi di tempat yang terdapat H-ikatan dengan Thr-251.
Urutan aktivasi tampaknya berefek pada kegiatan RI dalam
menggeser konformasi. Hal itu sendiri tidak terfosforilasi oleh RII
kinase. Seperti disebutkan, fosforilasi dari lingkaran GS mengganggu
interaksi dengan C alfa heliks dan memungkinkan segmen aktivasi
untuk pindah dari mengikat ATP loop
Fosforilasi Smad.
Karena RI masih harus mengkristal tanpa FKBP12, atau
substrat lainnya dan bertindak sebagai inhibitor berikut adalah residu
spesifik dalam konformasi yang menghambat RI. Bentangan kecil
membentuk residu variabel loop L45 antara beta lembar 4 dan 5,
segmen ini menentukan spesifisitas substrat Smad. Loop ini
berinteraksi langsung dengan dua residu, 427 dan 428, dari L3 loop di
Smad protein. Urutan yang katalitik mengkatalisis pemindahan fosfat
dari ATP terikat ke substrat Smad. Meskipun urutan ini bervariasi
antara RI dari spesies yang berbeda, lima residu sangat dilestarikan
dan muncul untuk memfasilitasi fosforilasi Smads, lys-232,
glutathione-245, asp-333, asn-338, asp-351.
TGF-β dan Smad.
Anggota kelompok Smad yang baru diidentifikasi oleh sinyal
intraselular adalah komponen penting dari pertumbuhan faktor-beta
(TGF-beta) superfamili. Smad2 dan Smad3 secara struktural sangat
mirip dan TGF-beta memediasi sinyal. Smad4 berada jauh dari Smads
2 dan 3, dan membentuk sebuah kompleks dengan heteromeric
setelah Smad2 TGF-beta atau aktivin stimulasi. Di sini kita
menunjukkan bahwa Smad2 berinteraksi dengan Smad3 kinase-yang
kekurangan TGF-beta reseptor tipe I (TbetaR), setelah itu akan
terfosforilasi oleh TbetaR-II kinase. TGF-beta1 diinduksi oleh
fosforilasi Smad2 dan Mv1Lu, Smad3 di sel epitel paru-paru. Smad4
itu ditemukan Mv1Lu konstitutif terfosforilasi dalam sel, tingkat
fosforilasi yang tersisa tidak berubah pada stimulasi TGF-beta1. Hasil
yang sama diperoleh dengan menggunakan sel HSC4, yang juga
pertumbuhannya dihambat oleh TGF-beta. Smads 2 dan 3
berinteraksi dengan Smad4 setelah TbetaR beraktivasi dalam sel COS
transfected. Selain itu, kami mengamati aktivasi TbetaR- tergantung
pada interaksi antara Smad2 dan Smad3. Smads 2, 3 dan 4
terakumulasi dalam nukleus TGF-beta1 di Mv1Lu sel, dan
menunjukkan efek sinergis dalam assay transkripsional dengan
menggunakan TGF-beta- yang diinduksi plasminogen activator
inhibitor-1 promotor. Dominan-Smad3 negatif menghambat respons
sinergis transkripsional Smad2 dan Smad4. Data ini menunnjukkan
bahwa Smads 2, 3 dan 4 menginduksi TGF-beta heteromeric
kompleks, dan serentak mereka translokasi ke nukleus, yang
dibutuhkan untuk efisien TGF-beta transduksi sinyal. Faktor growth
peptida dan protein yang berfungsi extracellularly untuk mengatur
pertumbuhan sel dan diferensiasi. Mereka memainkan peran penting
dalam vertebrata seperti mereka mengkoordinasikan perana sel dalam
jaringan yang sama, atau sel-sel dalam satu jaringan atau organ dengan
mereka yang lain. Mereka mendorong kegiatan mereka dengan cara
mengikat dan menyatukan permukaan sel reseptor, yang biasanya
terdiri dari sebuah ekstraselular domain, satu membran-spanning
domain, dan domain intraseluler. Domain ekstraselular bertanggung
jawab untuk mengenali dan mengikat faktor pertumbuhan, sementara
intraselular domain, ketika dibawa ke ruang dengan jarak yang
berdekatan, bertanggung jawab untuk mengaktifkan mesin hilir yang
membawa sekitar satu respon selular yang disetel tepat. Faktor
pertumbuhan dari (TGF-b) superfamili telah sangat beragam selama
evolusi, dengan enam faktor-faktor seperti nematoda, sembilan di
lalat buah, dan empat puluh dua pada manusia. Mereka termasuk
bone morphogenetic protein (BMP), yang memainkan peran
mendasar dalam pola embrionik, yang berhubungan erat dengan
faktor pertumbuhan dan diferensiasi (GDFS), yang mengatur
kerangka tulang rawan dan pembangunan, activins, yang mengatur
pelepasan hormon hipofisis, dan terlambatnya evolusioner, (TGF-bs),
yang mengatur pertumbuhan sel dan morfogenesis. BMP, GDFS,
activins, dan TGF-bs adalah homodimers, terdiri dari dua monomer
yang diperpanjang dan dilakukan bersama di sebagian besar, tapi tidak
semua kasus, dengan rantai antar-ikatan disulfida.
Gambar 5. Berbagai mode kompleks dengan reseptor TGF-bs dan BMP. (A)
gambar struktur dimer ligan, dengan dua monomer dari TGF-β3 digambarkan
dengan warna biru dan merah, dan BMP-2 di oranye dan cokelat. (B) reseptor
domain ekstraselular dari TGF-β superfamili mengadopsi beberapa dari tiga
lipatan finger toksin, seperti yang ditunjukkan oleh lapisan dari BMP dan TGF
b tipe I reseptor di sebelah kiri (masing-masing cyan, dan kuning,), BMP dan
TGF – β tipe II reseptor di tengah (masing-masing magenta dan hijau,), dan
TGF-b tipe I dan tipe II reseptor di sebelah kanan (kuning dan hijau, masingmasing). F1, F2, dan F3 menunjukkan tiga finger reseptor dari tiga lipatan
finger toksin. (C) TGF-β (kiri) dan BMP (kanan) reseptor tipe I, tipe II struktur
kompleks terner. TGF-b tipe I dan tipe II reseptor berarsir kuning dan hijau,
masing-masing, dan ekstensif kontak satu sama lain. BMP tipe I dan tipe II
reseptor berarsir cyan dan magenta masing-masing, tidak kontak satu sama lain.
TGF-βs dan faktor-faktor yang terkait mendorong respons
mereka dengan menggabungkan sebuah kompleks heterotetrameric
terdiri dari dua pasang tipe I - tipe II reseptor. Tipe I dan tipe II
reseptor yang sama struktur domain secara keseluruhan, termasuk
kaya sistein ekstraselular domain yang mengadopsi tiga lipat finger
toksin, satu transmembran heliks, dan domain serin-treonin
intraseluler kinase. Encode genom manusia ada tujuh, lima reseptor
tipe I dan tipe II. Melalui studi silang yang berbasis sel, BMP dan
GDFS yang telah terbukti untuk mengikat beberapa reseptor tipe I
dan tipe II di mixed order, sedangkan TGF-βs mengikat satu reseptor
tipe I dan tipe II di sequential order, pertama dengan mengikat tipe
II, TbR-II, diikuti oleh tipe I, TβR-II. Temuan biokimia ini
menunjukkan bahwa kompleks reseptor faktor pertumbuhan dari
family ini mungkin berbeda secara struktural. Perbedaan-perbedaan
ini telah dibuktikan melalui analisis struktural langsung BMP dan
TGF b: tipe I reseptor: tipe II reseptor kompleks terner. Struktur
kompleks terner BMP disimpulkan pertama kali didasarkan pada
struktur-struktur independen BMP BMP terikat pada tipe I dan tipe
II reseptor (masing-masing Kirsch, et al. Dan Greenwald, et al.,), dan
kemudian dikonfirmasi di analisis langsung oleh dua BMP kompleks
terner (Allendorph, et al. dan Weber, et al.). Struktur terner TGF-β
kompleks, baru-baru ini dilaporkan oleh Groppe, et al dan subjek ini
menekankan, ditentukannya analisis struktural langsung dari TGF β3:
TβR I: TβR II kompleks terner menggunakan kristal yang terdifraksi
untuk sebuah resolusi 3,0 Å menggunakan SSRL beamline 11-1.
Struktur kompleks terner menunjukkan bahwa meskipun
ligan dan reseptor dari BMP dan TGF-β subfamilies keseluruhan
yang sama lipatannya (masing-masing Gambar 5A dan 5B,), mereka
tetap terikat dan reseptornya bergabung dengan cara yang sama sekali
berbeda ( Gambar 5 C). BMP tipe I dan tipe II reseptor berikatan
dengan ligan masing-masing "wrist" dan "knuckle" epitopes, , dan
tidak kontak satu sama lain, sedangkan TGF-b tipe I dan tipe II
reseptor mengikat ke bawah masing-masing "finger" dan ke
"fingertips", , dan mempunyai kontak luas. Batasan tambahan
dikenakan oleh reseptor-reseptor kontak dalam TGF-β, tapi bukan
kompleks terner BMP, adalah signifikan sejak account yang sangat
spesifik dan bertahap dinyatakan dengan cara mengikat reseptor oleh
TGF-βs, tapi bukan BMP. Untuk menunjukkan makna fungsional ini,
Groppe, et al. menggantikan sejumlah kontak kritis residu di TβR-II,
termasuk F24 di TβR-II N-terminus dan D118 di dekat fingertip 3,
dan menunjukkan bahwa ini merusak koperatif gabungan in vitro dan
TGF-β signaling in vivo. BMP dan TGF-β kompleks terner terutama
timbul dari perbedaan-perbedaan dalam cara baik tipe I dan tipe II
reseptor yang mengikat, dan karenanya mewakili empat cara ikatan
yang berbeda antara molekul yang lain secara keseluruhan yang sama
lipatan (Gambar 5A dan 5B). Keragaman yang luar biasa ini muncul
dari evolusi sederhana modifikasi baik dari ligan dan reseptor. Jadi,
sebagai contoh, BMP termasuk pendek, terpapar pelarut-helix yang
mengikat ke dalam reseptor tipe I BMP, BMPR-Ia. Segmen Heliks
pendek ini absen dalam TGF-βs (Gambar 6A), sehingga perlu sebuah
cara alternatif tipe I reseptor yang mengikat. Hal ini difasilitasi oleh
satu lingkaran, diperpanjang pada TβRI relatif terhadap BMP reseptor
tipe I, yang mengikat secara mendalam di sisi bawah jari-jari TGF-β
(Gambar 6B). Posisi alternatif TβR-I lebih lanjut didukung oleh
perpanjangan dari N-terminal daerah TβR-II, terhadap permukaan
TbR-I dan yang memenuhi kantung hidrofobik pada permukaan
TβR-I dengan Phe ( F22) dan residu Val (V22). Singkatnya, hasil yang
baru-baru ini dilaporkan oleh Groppe, et al. memberikan contoh yang
mencolok bagaimana modifikasi evolusioner sederhana dan reseptor
ligan dari TGF-β superfamili telah memungkinkan cara-cara alternatif
gabungan reseptor kompleks. Tampaknya, berdasarkan pengamatan,
bahwa mekanisme alternatif co-reseptor yang bergabung berevolusi
dengan TGF-β dan BMP specific class downstream efektor (Smads)
untuk memperluas diversifikasi peran TGF-b superfamili signaling
pada vertebrata.
Gambar 6. Structural fitur dari tipe I dan ligan reseptor yang mempromosikan
peralihan dari BMP ke TGF-b mode pengikatan. (A) Short ekstensi, dari D53
ke L55, di BMP-2 (coklat) pocket komplementer pada reseptor tipe I BMP,
BMPR-Ia (cyan). Seperti sebuah ekstensi absen di TGF-b3 (merah), perlu
sebuah cara alternatif tipe I reseptor yang mengikat. (B) TβR-I, termasuk
sebuah loop ekstensi (merah) dibandingkan dengan reseptor BMP tipe I, Ia dan
BMPR-BMPR-pon. This extension berisi dua prolines (P55 dan P59), serta
fenilalanin (F60), yang mengikat pocket di bawah jari TGF-b yang dibentuk
oleh W30, dengam W32, Y90, dan L101. (C) Daerah N-terminal TβR-II
melibatkan TbR-I oleh packing pada permukaannya dan dengan memasukkan
dua hidrofobik residu, F24 dan V22, ke dalam pocket hidrofobik pada
permukaan TβR-I. TβR-II lebih melibatkan TβR-I oleh pasangan ion yang
terbentuk antara karboksilat dari TβR-II D118 dan kelompok guanidinium
TβRI-R58.
Jalur Signaling TGF-β.
Faktor pertumbuhan berupa jalur sinyal Transformasi beta
(TGF-β) yang terlibat dalam banyak proses seluler baik dalam
organisme dewasa dan embrio terus berkembang termasuk
pertumbuhan sel, diferensiasi sel, apoptosis, selular homeostasis dan
fungsi-fungsi sel-sel lainnya. Terlepas dari berbagai proses selular
yang mengatur jalur sinyal TGF-β, prosesnya relatif sederhana.
Superfamili TGFβ ligan mengikat ke reseptor tipe II dan tipe I
phosphorylates reseptor. Tipe I reseptor-reseptor ini kemudian
phosphorylates diatur SMADs (R-SMADs) yang sekaligus dapat
mengikat coSMAD SMAD4. R-SMAD/coSMAD kompleks
terakumulasi dalam inti di mana mereka bertindak sebagai faktor
transkripsi dan berpartisipasi dalam regulasi expression gen target.
The TGF Beta superfamili ligan meliputi: morphogenetic Bone
protein (BMP), faktor Pertumbuhan dan diferensiasi (GDFS), AntiMullerian hormon (AMH), Aktivin, nodal dan TGFβ's. Pensinyalan
dimulai dengan pengikatan dari TGF beta superfamili ligan ke TGF
beta reseptor tipe II. Tipe II reseptor adalah serin / treonin reseptor
kinase, yang mengcatalyses fosforilasi Tipe I reseptor. Setiap klas
mengikat ligan tipe tertentu II reseptor. Pada mamalia diketahui ada
tujuh tipe I reseptor dan lima tipe II reseptor. Ada tiga activins:
Aktivin A, B dan Aktivin Aktivin AB. Activins yang terlibat dalam
embriogenesis dan osteogenesis. Mereka juga mengatur banyak
hormon termasuk hipofisis, hormon gonad dan hipotalamus serta
insulin. Mereka juga faktor survival sel saraf. The BMP mengikat
protein reseptor morphogenetic Bone tipe-2 (BMPR2). Mereka
terlibat dalam banyak fungsi sel, termasuk osteogenesis, diferensiasi
sel, anterior / posterior axis spesifikasi, pertumbuhan, dan
homeostasis.
Gambar 7. Signaling TGF-β
Keluarga TGF beta meliputi: TGFβ1, TGFβ2, TGFβ3.
Seperti BMPS, TGF beta yang terlibat dalam embriogenesis dan
diferensiasi sel, mereka juga terlibat dalam apoptosis, serta fungsi
lainnya. Mereka mengikat reseptor TGF-beta tipe-2 (TGFBR2).
Nodal mengikat untuk aktivin A reseptor, ketik IIB ACVR2B. Ini
dapat juga membentuk kompleks dengan reseptor aktivin A reseptor,
ketik IB (ACVR1B) atau dengan aktivin A reseptor,tipe IC
(ACVR1C) .
Perekrutan dan fosforilasi reseptor.
TGF beta ligan mengikat ke tipe II reseptor dimer, yang
merekrut tipe I reseptor dimer membentuk hetero-tetrameric
kompleks dengan ligan. Reseptor ini adalah serin / treonin reseptor
kinase. Mereka domain yang kaya sistein ekstraselular, sebuah
transmembran domain dan sebuah domain sitoplasma kaya serin /
treonin. The GS domain dari tipe I reseptor terdiri dari serangkaian
sekitar tiga puluh serin-glisin yang berulang. Pengikatan keluarga
TGF beta ligan menyebabkan rotasi reseptor sehingga sitoplasma
kinase domain tersebut diatur dalam orientasi catalytically yang baik.
Reseptor tipe II memfosforilasi residu serin reseptor tipe I, yang akan
mengaktifkan protein.
Gambar 8. Fosforilasi reseptor tipe I
Ada lima reseptor yang diregulasi SMADs: SMAD1, SMAD2,
SMAD3, SMAD5, dan SMAD9 (kadang-kadang disebut sebagai
SMAD8). Pada dasarnya ada dua jalur intraseluler yang melibatkan RSMADs ini. TGF beta's, Activins, Nodals dan beberapa GDFS
dimediasi oleh SMAD2 dan SMAD3, sedangkan BMP, AMH dan
beberapa GDFS dimediasi oleh SMAD1, SMAD5 dan SMAD9.
Pengikatan R-SMAD ke reseptor tipe I ditengahi oleh zinc double
finger FYVE domain yang mengandung protein. Dua protein seperti
TGF beta yang menengahi jalur termasuk SARA (The SMAD anchor
untuk aktivasi reseptor) dan HgS (Hepatocyte faktor pertumbuhan
yang diatur substrat tirosin kinase). SARA hadir dalam endosome
awal yang ditengahi oleh clathrin endositosis, menginternalisasi
reseptor kompleks. SARA merekrut R-SMAD. SARA memungkinkan
pengikatan R-SMAD ke daerah L45 Tipe I reseptor. Mengarahkan
SARA R-SMAD sehingga residu serin pada permukaan C-terminal
daerah katalitik Tipe I reseptor. Residu Tipe I reseptor
phosphorylates serin R-SMAD. Fosforilasi menginduksi perubahan
konformasi dalam domain MH2 R-SMAD dan selanjutnya disosiasi
dari reseptor kompleks dan SARA.
Fosforilasi RSMAD memiliki afinitas tinggi untuk coSMAD
(misalnya SMAD4) dan membentuk suatu kesatuan kompleks. Gugus
fosfat tidak bertindak sebagai situs docking coSMAD, bukan
membuka fosforilasi asam amino yang memungkinkan peregangan
interaksi.
Gambar 9. Perekrutan SMADs
Transkripsi.
Fosforilasi RSMAD/coSMAD memasuki kompleks inti di
mana ia mengikat promotor dan kofaktor transkripsi yang
menyebabkan transkripsi DNA. Bone morphogenetic protein
menyebabkan transkripsi mRNA yang terlibat dalam osteogenesis,
neurogenesis, dan ventral mesoderm spesifikasi. TGF beta
menyebabkan transkripsi mRNA yang terlibat dalam apoptosis,
matriks ekstraselular neogenesis dan imunosupresi. Hal ini juga
terlibat dalam penahanan G1 dalam siklus sel. Aktivin menyebabkan
transkripsi mRNA gonad yang terlibat dalam pertumbuhan,
diferensiasi dan pembentukan plasenta embrio. Nodal menyebabkan
transkripsi mRNA yang terlibat dalam spesifikasi axis kiri dan kanan,
dan induksi mesoderm dan endoderm.
Gambar 10. Fosforilasi RSMAD menyebabkan transkripsi
Mekanisme Regulasi.
Jalur sinyal TGF beta yang terlibat dalam berbagai proses
seluler diregulasi dengan sangat ketat. Ada berbagai jalur mekanisme
yang dimodulasi baik secara positif maupun negatif: Ada agonis untuk
ligan dan R-SMADs, ada umpan reseptor; dan R-SMADs dan
reseptor ubiquitinated. Baik chordin dan noggin adalah antagonis dari
BMP's. Mereka mengikat BMP yang mencegah pengikatan ligan
terhadap reseptor. Ini menunjukkan bahwa Chordin dan noggin
dorsalize mesoderm. Mereka berdua ditemukan di dorsal lip Xenopus
dan sebaliknya mengubah jaringan epidermis spesifik ke jaringan saraf
(lihat neurulation). Noggin memainkan peran kunci dalam pola tulang
rawan dan tulang. Anggota keluarga DAN protein juga antagonize
anggota keluarga TGF beta. Termasuk Cerberus, DAN, dan Gremlin.
Protein ini mengandung sembilan cysteines yang dapat membentuk
jembatan disulfida. Hal ini diyakini bahwa antagonizes tersebut adalah
DAN GDF5, GDF6 dan GDF7. Follistatin menghambat Aktivin,
mengikatnya. Secara langsung mempengaruhi sekresi folliclestimulating hormone (FSH). Follistatin juga terlibat dalam kanker
prostat di mana mutasi dalam gen dapat mencegah bekerjanya aktivin
yang memiliki sifat anti-proliferatif. Lefty adalah pengatur TGFβ dan
terlibat dalam pola axis selama embriogenesis. Ini juga merupakan
anggota superfamili TGF protein. Hal ini dinyatakan dalam
asymmetrically sisi kiri murine embrio dan kemudian memainkan
peran spesifikasi pada kiri-kanan. Lefty bertindak mencegah
fosforilasi R-SMADs. Ia melakukannya melalui konstitutif tipe I
TGFβ aktif reseptor dan melalui proses downstream dalam
aktivasinya. Obat berbasis (drug-base) antagonis juga telah
teridentifikasi, seperti SB431542, yang secara selektif menghambat
ALK4, ALK5, dan ALK7.
Reseptor Regulation.
Transforming growth factor receptor 3 (TGFBR3) adalah
kelompok TGF-β reseptor yang paling banyak namun , ia tidak
memiliki tanda yang dikenali domain . Namun dapat menjalankan
peningkatkan pengikatan ligan TGF beta pada reseptor tipe II TGF
beta oleh ikatan TGFβ dan dinyatakan sebagai TGFBR2. Salah satu
target downstream sinyal TGF β, GIPC, mengikat pada PDZ
domainnya, yang mencegah para proteosomal degradasi, kemudian
meningkatkan aktivitas TGFβ. Mungkin juga berfungsi sebagai
coreceptor inhibin untuk ActivinRII. BMP dan Aktivin membran
mengikat inhibitor (BAMBI), yang memiliki domain ekstraselular
yang sama seperti tipe I reseptor. Ketiadaan domain intraselular akan
serin / treonin protein kinase dikenal sebagai pseudoreceptor. Ia
mengikat reseptor tipe I untuk mencegah pengaktifannya. Berfungsi
sebagai pengatur sinyal negatif TGF beta dan mungkin membatasi
ekspresi TGF-beta selama embryogeneis. Hal ini membutuhkan
sinyal BMP untuk berekspresi. FKBP12 mengikat daerah GS tipe I
mencegah fosforilasi reseptor reseptor oleh tipe II reseptor. Hal ini
diyakini bahwa FKBP12 membantu untuk mencegah aktivasi
homologs tipe I reseptor dalam ketiadaan ligan, karena mengikat ligan
menyebabkan disosiasi.
Peran inhibitory Smad.
Ada dua SMADs lain yang melengkapi SMAD family,
inhibitory SMADs (I - SMADS), SMAD6 dan SMAD7. Mereka
memainkan peran penting dalam regulasi sinyal TGF beta dan terlibat
dalam feeback negatif. Seperti SMADs, mereka memiliki MH1 dan
MH2 domain. SMAD7 bersaing dengan R-SMADs lain dengan Tipe
I reseptor dan mencegah fosforilasi. Ini terjadi dalam nukleus dan
setelah aktivasi reseptor TGF beta translocates ke sitoplasma tempat
tipe I mengikat reseptor,SMAD6 mengikat SMAD4 dan mencegah
pengikatan R-SMADs lain dengan coSMAD. Level I-SMAD TGF
beta meningkat dengan sinyal yang menunjukkan bahwa mereka
adalah signaling downstream target TGF-beta. E3 ubiquitin-protein
SMURF2 Ligase SMURF1 meregulasi level SMADs. Mereka
menerima ubiquitin dari enzim konjugasi E2 di mana mereka
mentransfer ubiquitin ke RSMADs yang menyebabkan ubiquitination
dan selanjutnya proteosomal degradasi,. SMURF1 mengikat SMAD5
sementara SMAD1 dan SMURF2 mengikat SMAD1, SMAD2,
SMAD3, SMAD6 dan SMAD7. Hal Ini akan meningkatkan
penghambatan SMAD7 da untuk sementara mengurangi kegiatan
transkripsional SMAD2. Kelompok transforming growth factor beta
(TGF-beta) mengontrol faktor pertumbuhan dan jaringan
homeostasis di sebagian besar metazoan organisme. Selama beberapa
tahun terakhir penjelasan dari jaringan sinyal transduksi TGF-beta
melibatkan reseptor serin / treonin kinase pada permukaan sel dan
substrat, yang mana SMAD protein, bergerak ke dalam nukleus, di
mana mereka akan mengaktifkan transkripsi gen target dalam
hubungannya dengan mitra pengikat DNA. Repertoar yang berbeda
dari reseptor, SMAD protein, dan pengikatan DNA-mitra tampaknya
mendasari, dalam sel-melalui cara tertentu, yang multifungsi sifat
TGF-beta dan faktor-faktornya yang terlibat. Mutasi pada jalur-jalur
tersebut adalah penyebab dari berbagai bentuk kanker manusia dan
gangguan perkembangan. Sinyal Transduce protein Smad dari growth
akan mengubah faktor-beta (TGF-beta) superfamili ligan yang
mengatur proliferasi sel, diferensiasi dan kematian melalui aktivasi
reseptor serin / treonin kinase. Fosforilasi reseptor-akan diaktifkan
oleh Smads (R-Smads) yang mengarah pada pembentukan kompleks
dengan mediator Common Smad (Co-Smad), yang diimpor ke inti.
Smad oligomers nuklir mengikat DNA dan bergabung dengan faktorfaktor transkripsi mengatur ekspresi gen target. Sebagai alternatif,
nuklir Smads R-kaitkan dengan ubiquitin Ligase dan mempromosikan
transkripsional represor degradasi, dengan demikian memfasilitasi
regulasi gen target oleh TGF-beta. Smads sendiri dapat juga menjadi
ubiquitinated dan terdegradasi oleh proteasomes. Akhirnya,
penghambatan Smads (I-Smads) memfosforilasi blok R-Smads oleh
reseptor dan mempromosikan ubiquitination dan degradasi reseptor
kompleks, sehingga menghambat sinyal.
Protein Kinase.
Protein kinase adalah enzim kinase yang mengubah protein
lain dengan menambahkan gugus fosfat kimia (fosforilasi). Fosforilasi
biasanya menghasilkan perubahan fungsional protein target (substrat)
dengan mengubah aktivitas enzim, lokasi selular, atau asosiasi dengan
protein lain. Genom manusia mengandung sekitar 500 gen protein
kinase dan sekitar 2% dari seluruh gen manusia. Protein kinase juga
ditemukan pada bakteri dan tanaman. Hingga 30% dari semua
protein manusia dapat dimodifikasi oleh aktivitas kinase, dan kinase
dikenal untuk mengatur sebagian besar jalur selular, terutama yang
terlibat dalam transduksi sinyal.
Gambar 11. Fosforilasi oleh protein kinase
Protein kinase terdapat baik di membrane plasma maupun di
sitoplasma. Pengklasifikasian protein kinase biasanya dilakukan
berdasar jenis asam amino yang difosforilasi seperti tirosin kinase atau
serin treonin kinase. Protein kinase secara fungsional bertugas
membantu fosforilasi beberapa protein agar dapat menjalankan
tugasnya selaku sinyal transduktor. Sinyal transduksi yang
memerlukan kehadiran protein kinase antara lain : cAMP perlu cAMP
bergantung enzim kinase, DAG perlu DAG perlu enzim kinase,
kalsium perlu kalsium perlu enzim kinase, kompleks kalsiumkalmodulin perlu kalsium-kalmodulin bergantung enzim kinase,
begitu juga dengan enzim siklin perlu enzim siklin perlu enzim kinase.
Tirosin kinase membrane dan serin treonin kinase sebagai protein
kinase di tingkat hulu (membrane) untuk dapat teraktivasi
memerlukan adanya rangsang kimia. Sementara protein kinase A
(PKA) dan protein kinase G (PKG) yang merupakan protein serin
treonin kinase yang terlarut dalam sitoplasma memerlukan akstifasi
dari nukleotida dan penyeranta kedua seperti cAMP dan cGMP.
Sedangkan PKC yang merupakan keluarga terbanyak dari protein
kinase distimuli oleh aktifitas penyeranta kedua DAG dan ion
kalsium. Pada tingkatan transduksi yang dikatalisa oleh komplek
kalmodulin-kalsium akan teraktifasi suatu enzim kinase yang dikenal
sebagai protein kinase yang bergantung pada kompleks kalsiumkalmodulin.
Aktivitas Kimia.
Aktivitas kimia dari suatu kinase melibatkan sebuah gugus
fosfat dari ATP dan kovalen melekat kepada salah satu dari tiga asam
amino yang memiliki gugus hidroksil bebas. Sebagian besar aksi pada
kedua kinase serin dan treonin, aksi yang lain pada tirosin, dan
sejumlah (dual-kekhususan kinase) yang beraksi atas ketiganya. Ada
juga protein kinase yang memfosforilasi asam amino lainnya,
termasuk histidin kinase yang memfosforilasi residu histidin. Karena
protein kinase memiliki efek yang besar pada sebuah sel, aktivitas
mereka diatur secara ketat. Kinase yang diaktifkan atau off oleh
fosforilasi (kadang-kadang oleh kinase itu sendiri - cisphosphorylation/autophosphorylation), dengan pengikatan protein
aktivator atau inhibitor protein, atau molekul kecil, dengan
mengontrol lokasi mereka di sel terhadap substrat. Subunit katalitik
dari beberapa protein kinase sangat stabil, dan beberapa struktur
telah dipecahkan. Eukaryotic protein kinase adalah enzim-enzim yang
berasal dari kelompok besar protein. Ada sejumlah daerah khusus di
katalitik domain pada protein kinase. Di ujung N-terminal dari
domain katalitik glisin ada bagian kaya residu di sekitar asam amino
lisin, yang nyata terlibat dalam pengikatan ATP. Di bagian tengah dari
domain katalitik ada asam aspartat yang penting bagi aktivitas katalitik
enzim. Kalsium kalmodulin-dependent protein kinase II (CaMKII)
adalah contoh dari serin treonin-kinase. Serin dan treonin protein
kinase (EC 2.7.11.1) memfosforilasi kelompok OH serin atau treonin
(yang memiliki rantai samping yang serupa). Aktivitas kinase protein
ini dapat diatur dengan peristiwa tertentu (misalnya kerusakan DNA),
serta sejumlah sinyal kimia, termasuk cAMP/cGMP, diasilgliserol,
dan Ca2 + kalmodulin. Satu kelompok yang sangat penting protein
kinase adalah MAP kinase (singkatan dari: mitogen mikrotubulaactivated protein kinase). Subkelompok penting adalah kinase dari
subfamili ERK, biasanya diaktifkan dengan mitogenic sinyal, dan
stres protein kinase JNK diaktifkan oleh P38. Sementara MAP kinase
serin dan treonin-spesifik, mereka diaktifkan oleh kombinasi
fosforilasi pada serin- treonin dan residu tirosin. Kegiatan MAP
kinase dibatasi oleh jumlah protein fosfatase, yang menghapus gugus
fosfat yang ditambahkan ke serin spesifik atau treonin residu dari
kinase dan diperlukan untuk menjaga kinase dalam konformasi aktif.
Dua faktor utama kegiatan tersebut mempengaruhi MAP kinase: a)
sinyal yang mengaktifkan reseptor transmembran (baik ligan alam,
atau agen silang) dan protein yang terkait dengan mereka (mutasi yang
mensimulasikan keadaan aktif), b) sinyal bahwa menonaktifkan
fosfatase yang membatasi suatu MAP kinase. Sinyal semacam itu
termasuk stres oksidan. Spesifik tirosin protein kinase (EC EC
2.7.10.1 dan 2.7.10.2) memfosforilasi residu tirosin asam amino,
seperti serin dan treonin-kinase spesifik yang digunakan dalam signal
transduksi. Mereka berperan terutama sebagai reseptor faktor
pertumbuhan dan sinyal dari faktor pertumbuhan. Beberapa contoh
reseptor tersebut antara lain:
Platelet Derived Growth Factor Receptor (PDGFR)
Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)
Insulin Growth Factor 1 Receptor (IGF1R)
Colony Stimulating Factor Receprot (CSFR).
Kinase ini terdiri dari sebuah transmembran reseptor dengan
tirosin kinase domain menonjol ke dalam sitoplasma. Mereka
memainkan peran penting dalam mengatur pembelahan sel,
diferensiasi selular, dan morfogenesis. Lebih dari 50 reseptor tirosin
kinase diketahui pada mamalia. Ekstraselular domain berfungsi
sebagai ligan mengikat bagian dari molekul. Ini bisa menjadi sebuah
unit terpisah yang melekat pada reseptor lain oleh ikatan disulfida.
Mekanisme yang sama dapat digunakan untuk mengikat dua reseptor
bersama untuk membentuk homo-atau heterodimer. Elemen
transmembran satu α heliks bagian intraselular atau sitoplasma
domain bertanggung jawab terhadap aktivitas kinase, serta beberapa
fungsi regulasi. Apabila protein transmembran tersebut mengikat
ligan menyebabkan dua reaksi:
1. Dimerization dari dua monomer reseptor kinase atau stabilisasi
dimer yang longgar. Banyak ligan dari reseptor tirosin kinase
multivalent. Beberapa reseptor tirosin kinase (misalnya, berasal
dari platelet-reseptor faktor pertumbuhan) yang dapat terbentuk
heterodimers tetapi tidak identik kinase subfamili yang sama,
sehingga respon sangat bervariasi untuk sinyal ekstraselular
2. Trans-autophosphorylation (fosforilasi oleh kinase lain dalam
dimer) dari kinase.
Autophosphorylation menyebabkan dua subdomain dari
kinase intrinsik bergeser, membuka kinase domain untuk mengikat
ATP. Dalam bentuk tidak aktif, kinase subdomain diselaraskan
sehingga ATP tidak dapat mencapai pusat katalitik kinase. Ketika
beberapa asam amino sesuai untuk fosforilasi pada kinase domain
(mis., insulin-seperti faktor pertumbuhan reseptor), aktivitas kinase
dapat meningkat dengan jumlah terfosforilasi asam amino; dalam hal
ini,
yang
pertama dikatakan
fosforilasi
menjadi
cisautophosphorylation, beralih yang kinase dari "off" ke "on". Hormon
berikut adalah terkait reseptor tirosin kinase dan terlibat dalam
sejumlah sinyal kaskade, terutama mereka yang terlibat dalam sinyal
sitokin (tapi juga orang lain, termasuk hormon pertumbuhan). Salah
satu terkait reseptor tirosin kinase adalah Janus kinase (JAK), banyak
efek yang dimediasi oleh STAT protein. Histidine kinase secara
struktural berbeda dari kebanyakan protein kinase dan banyak
ditemukan di prokariota sebagai bagian dari dua komponen
mekanisme transduksi sinyal. Sebuah gugus fosfat dari ATP pertama
yang ditambahkan ke dalam residu histidin kinase, dan kemudian
dipindahkan ke residu aspartat pada "penerima domain 'pada protein
yang berbeda, atau kadang-kadang pada kinase itu sendiri. Aspartyl
residu fosfat yang kemudian aktif dalam pensinyalan. Histidine kinase
ditemukan secara luas di prokariota, dan juga pada tanaman, jamur
dan eukariota. Para keluarga dehidrogenase piruvat kinase pada
hewan secara struktural terkait dengan histidin kinase, tapi serin
memfosforilasi residu, dan mungkin tidak menggunakan fosfo-
histidin. Diregulasi aktivitas kinase sering menjadi penyebab penyakit,
terutama kanker, dimana kinase mengatur banyak aspek yang
mengontrol pertumbuhan sel, gerakan dan kematian. Obat yang
menghambat kinase tertentu sedang dikembangkan untuk mengobati
beberapa penyakit, dan beberapa saat ini dalam penggunaan klinis,
termasuk Gleevec (imatinib) dan Iressa (gefitinib). Perkembangan
obat untuk kinase inhibitor dimulai dari tes, biasanya senyawa
diprofilkan untuk kekhususan sebelum pindah ke tes lebih lanjut.
Banyak layanan profil yang tersedia dari neon berbasis radioisotop tes
untuk deteksi. Seperti halnya protein kinase, protein kinase A (juga
dikenal sebagai cyclic AMP-dependent protein kinase atau A kinase)
adalah enzim protein yang kovalen dengan gugus fosfat. Karakteristik
yang unik dari protein kinase A adalah bahwa aktivitas diatur oleh
tingkat fluktuasi siklik AMP dalam sel (maka nya alias sebagai cyclic
AMP-dependent protein kinase). Sehingga enzim ini berfungsi
sebagai efektor akhir untuk berbagai hormon yang bekerja melalui
jalur sinyal AMP siklik. Dengan kata lain, protein kinase A pada
akhirnya bertanggung jawab atas semua respon selular karena AMP
merupakan siklik sistem pembawa pesan kedua.
Genetika dan Struktur.
Protein kinase A holoenzyme adalah heterotetramer yang
terdiri dari dua jenis subunit:
1. Katalitik subunit: subunit ini berisi situs aktif enzim. Itu juga
memuat sebuah domain yang mengikat ATP (sumber fosfat) dan
domain yang mengikat subunit regulasi.
2. Regulatory Subunit: Dua molekul subunit ini mengikat satu sama
lain dalam orientasi anti-paralel untuk membentuk sebuah
homodimer; untuk tipe I subunit (lihat di bawah), ini adalah
pengikatan kovalen melalui ikatan disulfida. Subunit ini juga telah
memiliki dua domain yang mengikat AMP siklik, domain yang
berinteraksi dengan subunit katalitik, dan "auto-inhibisi" domain
yang berfungsi sebagai substrat atau pseudosubstrate untuk
subunit katalitik. Regulatory subunit mungkin juga memiliki
aktivitas biologis yang berbeda dari peran mereka dalam
memodulasi aktivitas subunit katalitik.
Gambar 12. Gen yang mengatur aktivasi protein kinase
Regulatory subunit ada dalam dua bentuk utama, RI dan RII,
dengan masing-masing bentuk memiliki dua subtipe ditunjuk alfa dan
beta. Masing-masing dari empat isotypes dari subunit peraturan
dikodekan oleh gen yang berbeda. Selain itu, tiga isotypes dari subunit
katalitik telah diidentifikasi (alfa, beta dan gamma). Isotypes yang
berbeda cenderung memiliki distribusi yang berbeda di dalam sel dan
di antara jaringan. Tipe I enzim sitoplasma, yang larut dari sel,
sedangkan tipe II enzim cenderung untuk bergabung dengan
membran selular. Konsentrasi intraselular siklik AMP memberikan
informasi paling mendasar yang mengontrol aktivitas protein kinase
A:
1. Ketika AMP siklik tingkat rendah, catalytic subunit terikat pada
subunit regulasi dimer dan tidak aktif.
2. Sebagai konsentrasi siklik AMP meningkat, ia mengikat ke
subunit regulasi, yang mengarah ke perubahan alosterik
konformasi yang menyebabkan melepaskan dari subunit katalitik.
3. Free subunit katalitik aktif dan mulai memfosforilasi target
mereka.
Gambar 13. Peranan cAMP pada pembentukan subunit bebas
Protein kinase A sering bekerja pada domain yang sangat
diskrit dalam sel. Seperti penargetan spasial hasil dari interaksi tipe I
peraturan subunit dengan protein yang disebut A kinase anchoring
protein (AKAPs). Sejumlah besar AKAPs berbeda telah diidentifikasi
dan terbukti colocalize protein kinase A sampai sebagian dari substrat
spesifik, termasuk saluran ion, unsur-unsur cytoskeletal dan
centrosomes. Dalam beberapa kasus, AKAPs juga mengikat molekul
lain yang terlibat dalam jalur sinyal AMP siklik, termasuk
phosphodiesterases berbeda, yang menghancurkan siklik AMP. Oleh
sequestering kedua protein kinase A dan enzim yang pada akhirnya
berubah it off ke lokasi tertentu, peristiwa fosforilasi dapat
dikendalikan dengan sangat hati-hati. Aktivitas protein kinase A juga
dimodulasi oleh sekelompok protein yang disebut protein kinase
inhibitor. Molekul-molekul ini sering bertindak sebagai katalis untuk
pseudosubstrates subunit, "mengganggu" dari fosforilasi target.
Subunit katalitik protein kinase A memfosforilasi protein pada residu
serin dan treonin; yang biasa sekuens target adalah [Arg-Arg-XSer/Thr-X], dimana X adalah asam amino hidrofobik. Protein kinase
A phosphorylates substrat baik dalam sitoplasma dan nukleus.
Protein kinase A mengalami fosforilasi merubah aktivitas sejumlah
molekul penting. Termasuk dalam daftar target adalah:
1. Enzim: Fosforilasi secara luas digunakan sebagai mekanisme
switching molekuler untuk mengaktifkan atau menonaktifkan
aktivitas enzim. Dalam banyak kasus, enzim yang terfosforilasi itu
sendiri adalah suatu kinase. Contoh klasik adalah bahwa protein
kinase A fosforilase phosphorylates enzim kinase, yang, pada
gilirannya, phosphorylates glikogen phorphorylase, yang
mengarah pada pemecahan glikogen di hati dan otot.
2. Ion saluran: saluran kalsium tertentu dalam sel-sel otot jantung
diaktifkan oleh protein kinase A, pada akhirnya menyebabkan
kontraksi otot. Medis lain contoh penting adalah bahwa protein
kinase A phosphorylates dan dengan demikian mengaktifkan
sebuah saluran klorida penting dalam sekresi air di usus kecil.
3. Kromosomal protein: Histone H1 adalah sasaran pertama
diidentifikasi untuk protein kinase A.
4. Faktor-faktor Transkripsi: CREB’s (siklik AMP respon mengikat
unsur protein) adalah faktor-faktor transkripsi yang, ketika
terfosforilasi oleh protein kinase A, menjadi kompeten untuk
mengikat daerah promotor gen responsif dan merangsang
transkripsi. Protein kinase A terlibat dalam proses-proses penting
seperti energi metabolisme, kontraksi otot, membran transportasi
dan ekspresi gen.
Protein Kinase C.
Protein kinase C sinyal transduces selular yang
mempromosikan hidrolisis lipid. Enzim 80kDa ini direkrut untuk
plasma membran oleh diasilgliserol dan, dalam banyak kasus, dengan
kalsium. Enzim diaktifkan oleh diasilgliserol dan fosfolipid (biasanya
PS) dan diperkirakan mengalami perubahan konformasi terikat pada
membran. Phosphorylates PKC berbagai sasaran protein yang
mengendalikan pertumbuhan dan diferensiasi selular. Struktur PKC
tidak diketahui, tetapi dari PKC isozymes homolog dengan cAMPdependent protein kinase (protein kinase A), dan Orr dan Newton
memiliki domain katalitik model dari PKC beta-II isozyme,
berdasarkan struktur PKA. Model struktur dari katalitik domain PKC
meliputi beberapa besar heliks alfa, beta bengkok lembar, dan
sejumlah kecil segmen alfa-heliks. PKC mampu autophosphorylation,
Sasaran PKC peptida biasanya memiliki hidrofobik residu C-terminal
ke situs phosphoacceptor, dan dalam kasus pseudosubstrate peptida
residu ini adalah leusin .
Tirosin Kinase.
Tirosin kinase adalah subclas dari protein kinase. Prinsip dari
protein adalah posporilasi.
Gambar 14. Protein tirosin kinase
Tyrosin kinase adalah enzim yang dapat mentransfer suatu
kelompok pospat dari ATP ke suatu residu tyrosin dalam suatu
protein. Tyrosin kinase adalah subgrup dari kelas besar protein
kinase. Posporilasi protein oleh kinase adalah suatu mekanisme
penting dalam sinyal transduksi untuk regulasi aktivitas enzim.
Tyrosin kinase dikelompokkan pada proten tyrosin pospatase.
Protein kinase adalah group enzim yang mempunyai subunit katalitik
yang mentransfer pospat gamma dari nukleotida tripospat (ATP) ke
satu atau lebih residu asam amino dalam sisi rantai protein substrat
yang menghasilkan perubahan konformasi yang mempengaruhi
fungsi protein. Enzim dikelompokkan dalam dua kelas besar,
dikarakter dengan respeknya terhadap spesifik substrat: spesifik
serin/treonin dan spesifik tyrosin (domain ini).
Tirosin
Fosfat
Gambar 15. Struktur tirosin
Struktur.
Ada labih dari 100 3D struktur tyrosin kinase yang tersedia di
Protein data Bank. Contoh adalah PDB 1IRK, struktur kristal tyrosin
kinase domain human insulin receptor. Famili tyrosin kinase dibagi
dalam dua famili utama : 1. Transmembran receptor-linked kinase
dan protein cytoplasmic. Rata-rata terdapat 2000 kinase yang
diketahui dan lebih dari 90 Protein Tyrosin Kinase (PTKs) yang
terdapat di human genom. Mereka dibagi dalam dua kelas, receptor
dan non receptor PTKs. Saat ini terdapat 58 receptor tyrosin kinase
(RTKs) yang diketahui, dikelompokkan dalam 20 subfamili. Mereka
berperan pivotal pada bermacam-macam aktivitas seluler termasuk
growth, differensiasi, metabolism, adhesi, motility, dan kematian.
RTKs disusun suatu extracelluler domain yang dapat mengikat
spesifik ligan, suatu transmembran domain dan intracelluler catalitik
domain yang dapat mengikat dan posporilasi seleksif substrat.
Pengikatan ligan ke bagian extracelluler menyebabkan series
struktural rearrangement dalam RTK yang mengarahkan aktivasi
enzim. Kesesuaian pergerakan beberapa bagian kinase domain
memberikan akses bebas ke adenosin tripospat (ATP) dan substrat ke
activ site. Trigger ini suatu kaskade dari peristiwa melalui posporilasi
intraselluler protein yang pada akhirnya akan membawa (transduksi)
signal ekstraselluler ke nukleus, menyebabkan perubahan dalam
ekspresi gen. Banyak RTK yang terlibat dalam oncogenesis, mutasi
gen atau kromosom translocation atau ekspresi gen berlebih. Pada
beberapa tempat, hasil dari hyper aktiv kinase, yang menyimpang dari
kebiasaan, ligand-independent, non-regulated growth stimulus ke sel
kanker. Pada manusia ada 32 cytoplasmic protein tyrosin kinase.
Non- reseptor tyrosin kinase diidentifikasi v-src oncogenic protein.
Sel hewan berisi satu atau lebih anggota Src famili tyrosin kinase.
Virus Sarcoma ayam ditemukan membawa versi mutasi selluler
normal Src gene. Mutasi Src gen menghilangkan inhibisi normal built
aktivitas enzim yang berkarakter seluler SRC (c-src) gen. Anggota
SRC family meregulasi banyak proses seluler. Sebagai contoh, sel T
antigen receptor yang mengarahkan sinya intraseluler oleh aktivasi
Lck dan Fyn, dua protein yang mempunyai struktur mirip Src.
Tyrosin kinase merupakan fakta penting saat ini sebab implikasi
mereka dalam treatment kanker. Mutasi yang menyebabkan tyrosin
kinase menjadi konstitutif aktiv diasosiasikan dengan beberapa
kanker. Imatinib (jenis nama Gleevec dan Glivec) obat yang dapat
mengikat potongan katalitik tyrosin kinase yang menghambat
aktivitasnya. Dalam sel-sel normal, TGF-β, bertindak melalui jalur
signaling, menghentikan siklus sel pada tahap G1, menghentikan
proliferasi, menginduksi diferensiasi, atau apoptosis. Ketika sebuah
sel berubah menjadi sel kanker, bagian dari TGF-β jalur signaling
bermutasi, dan TGF-β tidak lagi mengendalikan sel. Sel-sel kanker
tersebut berkembang biak. Sel stroma di sekitarnya (fibroblas) juga
berkembang biak. Kedua sel meningkatkan produksi TGF-β. TGF-β
ini bekerja pada sel-sel stroma di sekitarnya, sel-sel kekebalan, endotel
dan sel otot halus. Hal ini menyebabkan imunosupresi dan
angiogenesis, yang membuat kanker lebih invasif. TGF-β juga
mengkonversi T-sel efektor, yang biasanya menyerang kanker dengan
peradangan (imun) reaksi, ke dalam regulasi T-sel, yang mematikan
reaksi peradangan.
Receptor TGF-β
TGF-beta pada faktor pertumbuhan adalah sebagai hormon
yang menjadi perantara ekstraselular pertumbuhan dan proliferasi
selular. TGF-beta berfungsi sebagai hormon melalui ikatan dengan
reseptor TGF-beta II (RII). RII merupakan protein transmembran
dan mempunyai aktivitas phosphorylative khususnya terhadap serin
dan treonin. Reseptor TGF tersebar luas pada permukaan sel pada
organisme eukariotik. Ada lebih dari 30 anggota family TGF-beta,
jadi respon bervariasi tergantung pada sel-sel yang merespon ligan.
Setelah mengikat ligan TGF-beta, TGF-beta akan terikat pada RII
dan berinteraksi dengan RI. RI bertanggung jawab untuk propagasi
sinyal di dalam sel. Setelah diaktifkan oleh fosforilasi oleh RII melalui
GS domain, khususnya loop GS (dinamakan untuk berbagai G dan S
residu), RI dapat mengikat protein R-Smad dan memfosforilasi
hydrolyzing ini dengan bantuan ATP. Smad terfosforilasi ini
kemudian contiunes ke inti di mana kelompok dengan berbagai faktor
transkripsi mempengaruhi transkripsi. Untuk menjaga RI dari
fosforilasi Smad secara spontan, molekul inhibitor FKBP12
bertumpu pada domain GS dan membentuk tutup pelindung RII
serta mengurangi afinitas untuk GS doman. FKBP12 menstabilkan
konformasi yang terhambat dalam struktur RI. Ketika GS loop tidak
terfosforilasi berinteraksi dengan segmen aktivasi melalui alpha helix.
Interaksi aktivasi segmen bergerak ke posisi di tempat yang dapat
menghambat ikatan ATP dan mencegah Smad fosforilasi. Ketika para
GS phosphorylates RII loop, FKBP12 dilepas, loop GS interaksi
dengan heliks spesifik adalah destryoed, dan pergeseran segmen
aktivasi dari ikatan ATP yang memungkinkan ATP untuk mengikat
dan menjadi Smad terfosforila. Dalam tutorial ini, lima RI protein
mengkristal sebagai lima subunit pentamer, namun pada vivo RI
hanya ada sebagai satu rantai protein, bukan agregasi lima
ditampilkan.
KUIS
1. Apakah pentingnya TGF-beta dalam homeostasis?
2. Apabila dilakukan knockout gen TGF-beta fenotip apakah
yang anda prediksi
3. Menurut saudara untuk melibat kemampuan sintesis TGFbeta pada seseorang, sel apakah yang mudah diperiksa?
Jelaskan langkah saudara!
BAB II
RESEPTOR TIROSIN KINASE DAN
AKTIVASI RAS
Reseptor Tirosin Kinase.
Reseptor tirosin kinase (RTK) adalah reseptor yang terlibat
dalam sinyal transduksi, dan proses berbagai lingkungan serta sinyal
intersellular. Sebaliknya, protein tirosin kinase (PTK) adalah enzim
yang mengkatalisis fosforilasi residu tirosin. Dari 91 protein tirosin
kinase diidentifikasi, 59 adalah reseptor tirosin kinase dan 32 nonreseptor. Sebagai komponen sentral dari jaringan sinyal sel, RTK
memainkan peran penting dalam proses fisiologis, seperti
embriogenesis, perkembangan dan diferensiasi neuron, proliferasi sel,
sinyal anti-apoptosis dan kematian sel (apoptosis). Beberapa signaling
molekul bertindak sebagai reseptor adhesi. Bagian adhesi kaya dengan
tirosin protein yang mengalami fosforilasi sehingga terjadi coupling
adhesi sel ke jalur sinyal transduksi dalam sel. Berbagai reseptor
adhesi, seperti integrins, berhubungan erat dengan protein kinase dan
fosfatase.
Reseptor Tirosin Kinase (RTKs) terdiri dari empat domain:
1. Domain ekstraselular ligan.
2. Domain tirosin kinase intraseluler, dengan sekuens asam amino
dalam substrat ATP dan cAMP-dependent protein kinase
(cAPK, PKA).
3. Domain intraselular.
4. Domain transmembran.
RTKs yang terletak di membran plasma disebut domain
transmembran, sementara domain ekstraselular biasanya mengikat
faktor pertumbuhan. Biasanya, ekstraselular domain terdiri dari motif
struktural termasuk daerah asam, seperti domain cadherin, daerah
yang kaya sistein, seperti domain discoidin, domain EGF, domain
Factor VIII, fibronectin III, daerah yang kaya glisin,seperti domain
immunoglobulin, domain kringle, dan daerah yang kaya leusin.
Aktivasi kinase ini dilakukan dengan pengikatan ligan ke domain
ekstraselular, yang menginduksi reseptor dimerization. Mengaktifkan
reseptor tirosin autophosphorylate residu katalitik di luar domain
melalui jalur-fosforilasi. Ini secara otomatis menstabilkan konformasi
fosforilasi reseptor aktif dan menciptakan area untuk phosphoTirosin
docking protein yang mengirim sinyal tranduksi di dalam sel.
Gambar 16. Protein module dan docking protein yang berperan dalam sinyak
tranduksi Reseptor Tirosin Kinase (RTKs). (A) Modul Protein terlibat dalam
control jalur sinyal intraselular. Tirosin terfosforilasi, membentuk RTKs
diaktifkan kompleks domains dengan PTB dan domain dari sinyal protein SH2.
Domain SH2 domain diaktifkan reseptor sementara oleh domain PTB untuk
fosforilasi tirosin dan nonphosphorilasi di daerah RTKs. PH domain mengikat
pada daerah berbeda menuju membran asosiasi. Domain SH3 dan WW
memiliki target utama mengikat area dengan urutan protein prolin. Domain
PDZ mengikat di area hidrofobik. Residu pada Termini C merupakan target
protein.Domain FYVE mengikat secara khusus untuk PdtIns. Sementara
protein adaptor seperti Grb2 atau NCK hanya mengandung domain SH2 dan
SH3. Signaling protein lainnya mengandung tambahan protein enzimatis seperti
protein kinase PTPase (Shp2) fosfolipase C (PLC ), Ras-GAP atau Rho-GRF
(Vav). (B) Docking protein yang berfungsi sebagai bentuk untuk perekrutan
sinyal protein. Semua docking protein mengandung sebuah membrane terminal.
FRS2 adalah target ke membran oleh myristoylation, dan LAT adalah
ditargetkan ke membran sel oleh domain transmembran (TM) dan oleh
palmytoylation. Kebanyakan protein docking ditargetkan ke membran sel oleh
domain PH. Docking protein mengandung banyak bagian pTyr
phosphorylation yang berfungsi sebagai tempat pengikatan untuk area SH2
berbagai sinyal protein.
Gambar 17. Paradigma aktivasi sinyal protein sebagai respon aktivitas
RTKs Setidaknya ada dua peristiwa molekuler yang diperlukan untuk
induksi aktivasi sinyal RTK, karena banyak protein target RTKs terletak di
membran sel, translokasi ke membran sel sangat penting bagi aktivasi dari
banyak protein efektor. (A) Aktivasi PKB (juga dikenal sebagai Akt) oleh
translokasi membrane PtdIns (3,4,5) P3 dalam menanggapi rangsangan
faktor pertumbuhan berfungsi sebagai tempat pengikatan untuk domain PH
domain dari PDK1 dan PKB. Translokasi membran disertai dengan
pelepasan sebuah autoinhibition PKB kinase yang menyebabkan aktivasi
dari kinase PDK1 dan PKB. Aktivasi PKB memerlukan phosphorylasi oleh
PDK1 (dan juga oleh PDK2). Berbagai sasaran mencegah kematian dan
apoptotic serta mengatur berbagai proses metabolisme. (B) aktivasi oleh
perubahan konformasi. Pengikatan SH2 area p85, PI-3 kinase untuk bagian
pTyr diaktifkan reseptor sebuah autoinhibition yang merangsang katalitik
domain (p110). PI-3 kinase mengkatalisis fosforilasi dari 3 posisi Inositol
PtdIns (4) P dan PtdIns (4,5) P2 untuk menghasilkan masing-masing PtdIns
(3,4) P 2 dan PtdIns (3,4,5) P3. (C) aktivasi oleh fosforilasi tirosin.
Pengikatan wilayah SH2 PLC untuk pTyr dalam memfasilitasi baru
diaktifkan oleh reseptor fosforilasi sinus PLC serta translokasi membran.
Proses ini diperantarai sebagian oleh pengikatan domain PH ke PI-3.
Tirosin. Fosforilasi tirosin adalah aktivasi penting untuk PLC menuju
hydrolysis dari PtdIns (4,5) P2 dan pembentukan dua second messenger Ins
(1,4,5) P 3 dan diacyglycosol.
Reseptor Tirosin Kinase (RTK) merupakan protein reseptor
Tirosin yang memiliki aktivitas kinase intrinsik di dalam domain
sitosoliknya. Ligan untuk RTK merupakan peptida yang terikat di
membran ataupun peptida soluble atau protein hormon termasuk
nerve growth factor (NGF), platelet-derived growth factor (PDGF),
fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor (EGF), dan
insulin. Aktivasi RTK oleh ligan menstimulasi aktivitas Tirosin kinase,
yang selanjutnya menstimulasi jalur Ras-MAP kinase dan beberapa
jalur sinyal transduksi lainnya. Jalur RTK signaling memiliki spektrum
luas termasuk regulasi proliferasi dan diferensiasi sel, menginduksi
survival sel, dan modulasi metabolisme seluler. RTK memiliki
domain ekstraseluler yang mengandung sisi pengikatan ligan (ligandbinding site), sebuah αheliks transmembran hidrofobik tunggal, dan
domain sitosolik yang termasuk bagian dengan aktivitas kinase
protein Tirosin. RTK pada umumnya merupakan monomer, dan
pengikatan ligan pada domain ekstraseluler menginduksi
pembentukan reseptor dimer, sebagaimana digambarkan pada
Gambar 4 untuk reseptor FGF. Beberapa monomer ligan, termasuk
FGF, berikatan kuat dengan heparan sulfat, yaitu sebuah komponen
polisakarida bermuatan negatif pada matriks ekstraseluler. Asosiasi ini
meningkatkan pengikatan ligan terhadap monomer reseptor dan
pembentukan kompleks ligan-dimer reseptor. Ligan untuk beberapa
RTK berbentuk dimer yang mengikat dua monomer bersama-sama
secara langsung. RTK yang lain, misalnya reseptor insulin,
membentuk dimer dengan ikatan disulfida ketika tidak terdapat
hormon. Pengikatan ligan terhadap RTK jenis ini akan mengubah
konformasinya sehingga reseptor menjadi teraktivasi.
Dalam kondisi resting atau tidak terstimuli, aktivitas kinase
intrinsik pada RTK sangat rendah. Dalam kondisi reseptor dimer,
knase pada satu subunit mampu mmfosforilasi satu atau lebih residu
Tirosin di dekat sisi katalisis pada subunit yang lain. Hal ini akan
mengakibatkan perubahan konformasi yang memfasilitasi pengikatan
ATP pada beberapa reseptor (misalnya reseptor insulin) dan
pengikatan substrat protein pada reseptor lainnya (misalnya reseptor
FGF) peningkatan aktivitas kinase ini kemudian memfosforilasi sisi
lain dalam domain sitosolik reseptor. Aktivasi aktivitas RTK kinase
yang diinduksi ligan ini mirip dengan aktivasi JAK kinase yang
berasosiasi dengan reseptor kinase. Perbedaannya terletak pada lokasi
sisi katalitik kinase, dimana sisi katalitik pada RTK terdapat pada
domain sitosolik, sedangkan JAK kinase terpisah dari reseptor
sitokin. Kebanyakan residu fosfoTirosin dalam RTK yang teraktivasi
berinteraksi dengan protein adapter, protein kecil yang mengandung
domain SH2, PTB, atau SH3, tetapi tidak memiliki aktivitas enzimatik
intrinsik atau signaling. Protein-protein tersebut merangkai RTK ke
komponen yang lain dari jalur sinyal transduksi, misalnya aktivasi Ras.
Ras, GTPase Switch Protein.
Ras merupakan monomer GTP-binding switch protein,
seperti subunit Gα dalam protein G trimerik, yang meregulasi antara
kondisi aktif dengan mengikat GTP dan kondisi inaktif dengan
mengikat GDP. Protein G trimerik secara langsung terikat dengan
reseptor permukaan sel, sedangkan Ras tidak secara langsung terikat
dengan reseptor permukaan sel. Aktivasi Ras dipercepat oleh guanine
nucleotide-exchange factor (GEF), yang berikatan dengan kompleks RasGDP. Karena konsentrasi GTP dalam sel lebih tinggi daripada GDP,
GTP berikatan secara spontan dengan molekul Ras, dengan
melepaskan GEF dan membentuk Ras-GTP aktif. Selanjutnya terjadi
hidrolisis pada ikatan GTP menjadi GDP sehingga terjadi deaktivasi
Ras. Tidak seperti deaktivasi Gα-GTP, deaktivasi Ras-GTP
membutuhkan protein lain yang disebut GTPase-activating protein
(GAP) yang berikatan dengan Ras-GTP dan mempercepat aktivitas
GTPase intrinsik lebih dari seratus kali. GAP mengikat fosfoTirosin
spesifik pada RTK yang teraktivasi, sehingga akan mendekatkan ke
Ras-GTP yang terikat membran untuk menggunakan kecepatan
hidrolisis GTP. Hidrolisis GTP dikatalisis baik oleh Ras maupun
GAP.
Protein adapter dan Guanine Nucleotide–Exchange
menghubungkan Ras dengan RTK yang teraktivasi.
Factor
Pengikatan ligan (EGF) pada RTK mampu menginduksi
aktivasi Ras karena terdapat protein sitosol, yaitu GRB2 dan Sos.
Domain SH2 pada GRB2 berikatan dengan residu fosfoTirosin
spesifik pada reseptor yang teraktivasi. GRB2 juga mengandung dua
domain SH3, yang berikatan dan mengaktivasi Sos, sehingga GRB2
berfungsi sebagai protein adapter bagi reseptor EGF. Sos adalah
guanine nucleotide–exchange protein, yang mengkatalisis konversi
bentuk inaktif Ras-GDP menjadi bentuk aktif Ras-GTP. Beberapa
anggota protein adapter ditunjukkan dalam Tabel 1. Jalur aktivasi Ras
oleh RTK secara skematis ditunjukkan pada Gambar 9.
Gambar 18. Jalur skematis aktivasi Ras oleh RTK
Tabel 1. Protein adapter yang mengaktifkan (+) dan menghambat (-)
respon sel.
Beberapa kelompok reseptor yang termasuk dalam TRK menurut
Zwick, 2001, di antaranya adalah:
•
Epidermal growthfactor receptor (EGFR) family
Epidermal growthfactor receptor (EGFR) family terdiri atas
empat anggota, yaitu EGFR/ErbB1, HER2/ErbB2, HER3/ErbB3
dan HER4/ErbB4. Keempat reseptor tersebut memiliki dua domain
ekstraseluler yang kaya sistein dan bagian intraseluler dengan rantai Cterminus yang panjang yang berfungsi sebagai tempat autofosforilasi.
Anggota EGFR family diaktifkan oeh sekelompok besar EGF-related
growth, yang semuanya mengandung EGF-like domain dan disintesis
sebagai protein prekursur transmembran, termasuk transforming
growth factor-α (TGFα), epiregulin, betacellulin, heparin-binding
EGF-like growth factor, dan amphiregulin.
•
Insulin growth factor receptor (IGFR) family
IGFR family terdiri atas insulin receptor (IR) and the insulinlike growth factor (IGF) receptor (IGF-IR). Kedua resepto tersebut
tersusun atas dua subunit α ektraseluler, yang berperan dalam
mengikat ligan, dan dua membrane-spanning β subunits yang
menunjang domain Tirosin kinase dan autophosphorylation site.
Ligan untuk kedua reseptor ini adalah insulin, IGF-I dan IGF-II.
Insulin merupakan hormon metabolik, sedangkan IGF-I dan IGF-II
berperan penting dalam perkembangan secara normal dan
karsinogenesis.
•
Vascular endothelial growth factor receptor (VEGFR) family
Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan salah
satu inducer utama pada proliferasi sel endotel dan permeabilitas
pembuluh darah. Terdapat dua RTK yang mampu mengikat VEGF,
yaitu VEGFR-1 dan VEGFR-2, yang diekspresikan pada sel endotel
selama perkembangan embrio dan merupakan regulator utama untuk
angiogenesis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem ligand–
receptor VEGF–VEGFR berperan dalam vaskularisasi dan metastatis
tumor. Sel tumor mensekresikan VEGF yang mengaktifkan VEGFR2 dan menginduksi proliferasi sel endotel stroma.
• Fibroblast growth factors receptor (FGFR) family
Fibroblast growth factors (FGF) merepresentasikankelompok
terbesar dalam ligan growth factor, dan sampai saat ini telah
diidentifikasi 20. FGF dan reseptornya (FGFR) memiliki peran tidak
hanya dalam pertumbuhan sel normal, tetapi juga dalam
pembentukan tumor. Dua kelompok FGFR yang ditemukan adalah
FGFR dengan afinitas tinggi dan FGFR dengan afinitas rendah.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa sisi pengikatan dengan afinitas
rendah merpresentasikan heparan sulphate proteoglycan molecules
(HSPG) yang terdapat pada permukaan sel. FGFR dengan afinitas
tinggi memiliki empat jenis, yaitu FGFR1 (flg), FGFR2 (bek), FGFR3
and FGFR4. Pengikatan ligan pada FGFR menginduksi dimerisasi
dan fosforilasi pada residu tyrosin di sitolasma, tetapi aktivasi penuh
hanya dapat dicapai jika terdapat heparin. Heparin mampu mengikat
sejumlah monovalen FGF sehingga terbentuk oligomer reseptor yang
mengikat sekelompok FGF.
•
Hepatocyte growth factor receptor (HGFR)
Hepatocyte growthfactor receptor (HGFR), yang dikode oleh
proto-oncogene met, diidentifikasi sebagai regulator berbagai proses,
seperti migrasi sel, persebaran sel dan invasi matriks ekstraseluler.
HGFR merupakan heterodimer yang diikat oleh ikatan disulfida
dengan α-chain and a β-chain ekstraseluler yang mengalami glikosilasi.
HGFR tersusun atas domain transmembran dan domain Tirosin
kinase sitoplasmik. Hepatocyte growth factor (HGF) atau scatter
factor (SF), ligan reseptor ini, diekspresikan pada mesenchymal-derived
cells.
•
RET receptor Tirosin kinase
RET receptor Tirosin kinase (RET RTK) merupakan gen
yang bertanggung jawab atas Multiple endocrine neoplasia type 2
(MEN2). MEN2 merupakan syndrome cancer yang diturunkan dan
dikarakterisiasi melalui pertumbuhan medullary thyroid carcinoma.
RET proto-oncogene mengkode protein yang dikarakterisasi oleh
cadherin-like domain dan cadherin-like. RET diekspresikan selama
embrigenesis pada sistem saraf tepi dan sistem urogenital. Kanker
MEN2 terjadi karena dominan mengaktifkan germline ke dalam RET
proto-oncogene.
•
Platelet-derived growthfactor receptor (PDGFR) family
Ada dua anggota PDGFR family, yaitu platelet-derived
growth factor receptor (PDGFR) dan Kit. Protein tersebut
dikarakterisasi melalui domain ekstraseluler dengan 5 Ig-like domain
dan sebuah domain Tirosin kinase intraseluler. Dua gen yang
mengkode PDGFR-α dan PDGFR-β telah diidentifikasi. Kedua
reseptor diaktivasi oleh ligan dimer yang tersusun atas PDGF-A
dan/atau PDGF-B. Hal ini akan menginduksi dimerisasi reseptor
dengan tiga kemungkinan konfigurasi, yaitu αα, ββ, αβ.
KUIS
1. Apabila terjadi mutasi gen yang menyandi reseptor tirosin
kinase, apakah prediksi yang saudara bisa kemukakan.
2. Jelaskan manfaat Insulin growth factor receptor (IGFR) dan
TGF-α.
BAB III
G-PROTEIN DAN SECOND
MESSENGER
Organism khususnya organism multiselular untuk dapat
melakukan regulasi dan koordinasi untuk tetap berada dalam keadaan
yang homeostatis adalah dengan melakukan koordinasi antar sel di
dalam tubuhnya. Sel untuk mampu melakukan koordinasi dengan sel
lain adalah dengan melakukan komunikasi. Komunikasi antar sel ini
dapat dilakukan karena adanya signal transduksi. Sel mampu
menerima sinyal dari luar berupa sinyal kimia, sinyal elektromagnetik
maupun sinyal mekanik. Dalam 1 sel mampu menerima lebih dari 1
sinyal kimia untuk tetap berada dalam kondisi homeostatis.Sinyal
dapat diterima oleh sel lain melalui 3 tahap yaitu reception (sinyal di
terima oleh reseptor), transduction (sinyal yang diterima kemudian
ditindak lanjuti untuk proses berikutnya),dan respon (sinyal mentriger
aktivitas celuler yang spesifik). Setiap sel target memiliki reseptor yang
akan mengenali spesifik sinyal. Proses binding antara ligan (sinyal) dan
reseptornya akan memberikan perubahan bentuk pada reseptor
sehingga sinyal dapat masuk ke dalam sel dan berinteraksi dengan
molekul di dalamnya. Sebagian besar reseptor merupakan protein
membrane plasma dan sebagian besar sinyal merupakan molekul
hidrofilik (water-soluble) sehingga tidak mampu untuk menembus
membrane plasma yang hidrofobik. Ada 3 macam tipe reseptor yaitu
a) ion-chanel reseptor, b) G-protein reseptor dan c) Tirosin-kinase
reseptor.
G-Protein Reseptor.
G-protein reseptor disebut demikian karena protein reseptor
berasosiasi dengan G-protein pada sitoplasma. G-protein bekerja
sebagai on-off switch dimana jika GDP binding maka G-protein menjadi
inaktif dan bila GTP binding maka G-protein menjadi aktif. G protein
juga bertindak sebagai enzim GTPase yang menghidrolisis GTP
menjadi GDP sehingga G-protein menjadi inaktif. System akan
berhenti saat molekul sinyal ekstraselular tidak lagi berikatan pada
reseptor G-protein reseptor merupakan reseptor dari berbagai macam
signal molekul antara lain hormone, neurotransmitter, dan local
mediator yang mana G-protein reseptor memiliki variasi struktur
berbeda sesuai dengan fungsinya. Ligan yang sama akan mengaktifkan
berbagai macam family berbeda. Kurang lebih 9 G-protein linked
reseptor di aktifkan oleh adrenalin, 5 reseptor yang lain diaktifkan
oleh acetylcoline dan kurang lebih 15 oleh serotonin. G-protein
reseptor bekerja secara tidak langsung untuk melakukan regulasi
aktivitas separasi protein target ikatan membrane plasma yang dapat
berupa enzyme atau ion chanel. Atau dengan kata lain, G-protein
reseptor secara tidak langsung mengaktivkan atau menonaktifkanikan membrane plasma enzyme atau ion chanel. Interaksi
antara reseptor dan protein target melalui 3 protein yang dikenal
dengan nama trimeric GTP-binding regulatory protein (G-protein)
(Gambar 10).
Gambar 19. G-protein linked reseptor. Mekanisme reseptor G-protein
(Gambar 10) memperlihatkan ligan menempel pada reseptor. Dengan
menempelnya ligan dengan reseptor akan mengaktifkan G-protein dengan cara
menempel pada reseptor. G-protein yang menempel pada reseptor akan
melakukan phosporilasi dan G protein lepas dari reseptor kemudian menempel
dan mengaktifkan enzim atau ion chanel. Dan enzim dan ion chanel yang telah
aktif akan mengaktifkan proses downstream nya.
Second Messenger.
Dalam tahapan singnaling transduksi umumnya merupakan
mekanisme multistep. Mekanisme tersbut tersebut mengamplifikasi
sinyal. Sehingga sejumlah molekul sinyal tersebut mampu
memberikan respon besar terhadap sel. Multistep pathway
memberikan banyak kesempatan untuk melakukan koordinasi dan
regulasi. Selain itu banyak mekanisme signaling melibatkan molekul-
molekul kecil, non protein, molekul water soluble atau ion yang di
sebut second messenger. Molekul-molekul ini secara cepat berdifusi
masuk ke dalam sel. Second messenger ini berpartisipasi dalam
inisiasi pathway melalui G protein linked reseptor, tyrosin kinase
reseptor dan beberapa ion chanel. Secara umum terdapat 2 second
messenger yang berperan penting yaitu cyclic AMP (cAMP), IP3,
maupun Ca2+.
Ada 3 tipe dasar molekul second messenger:
• Molekul hydrofobik (tidak larut dalam air) seperti
diacylglycerol dan phosphatidylinositol, yang mana membrane
berasosiasi dan berdifusi dari membrane plasma menuju ke
dalam intermembran yang dapat mencapai dan meregulasi
asosiasi membrane protein effektor.
• Molekul hydrofilik (larut dalam air) seperti cAMP, cGMP, IP3
dan Ca+ yang berada di dalam sitosol
• Gas sepeti NO dab CO dimana mampu berdifusi melalui
sitosol dan keluar membrane selular.
Messenger intraselular secara umum memiliki kemampuan:
• Bisa disintesis atau di lepaskan dan di pecahkan kembali pada
reaksi yang spesifik melalui mekanisme enzyme atau ion
chanel
• Beberapa (seperti Ca+) dapat disimpan pada organela spesifik
dan secara cepat dilepaskan ketika dibutuhkan
• Hasil metabolisme dapat memungkinkan sel bekerja secara
efisien baik terhadap jarak maupun waktu. Ada beberapa
perbedaan dalam system secondary messenger, tetapi semua
relative sama dalam keseluruhan mekanismenya, yaitu melalui
peran suatu substansi dalam mekanisme tersebut dan
memberikan efek yang berbeda. Dimana suatu
neurotransmitter (sinyal) berikatan dengan membrane
molekul protein reseptor. Berikatannya neurotransmitter
dengan reseptor akan merubah reseptor yang menyebabkan
tereksposnya sisi penempelan dari G-protein. G-protein
memiliki 3 subunit yaitu alpha, beta dan gamma yang saling
menempel. Ketika G-protein berikatan dengan reseptornya,
hal tersebut menyebabkan perubahan molekul GDP pada
subunit alpha menjadi molekul GTP. Saat terjadi perubahan,
alpha subunit dari G-protein lepas dari ikatan subunit beta
dan gamma. Kemudian G-protein akan memproduksi suatu
molekul primary effektor yang aktifitasnya kemudian
membuat sinyal baru yang mampu berdifusi masuk ke dalam
sel.sinyal ini yang kemudian disebut sebagai secondary messenger
(Neurotransmitter sebagai first messenger). Second messenger
dapat mengaktifkan secondary effector yang pengaruhnya
tergantung pada particular dari sistem second messenger.
G-Protein Reseptor Activated Adenylate Cyclase.
G-protein berfungsi sebagai intermediary antar reseptorreseptor hormone dan enzim-enzim effektor. G-protein berfungsi
sebagai mekanisme regulasi metabolism molekul-molekul dalam
merespon sinyal hormonal dan merubahnya. Komplek G-protein
terdapat alpha (α), beta (β) dan gamma (λ) subunit dan diikuti dengan
disosiasi komplek, porsi dari masing-masing bagian bertugas dalam
mekanisme aktivitas adenylyl cyclase. Ketika hormone ekstraselular
berikatan dengan sel reseptor, reseptor kemudian menginisiasi
pelepasan GDP dari subunit G-alpha dan kemudian menginisiasi
binding antara GTP dan G-alpha subunit. Sehingga terjadi
disassosiasi antara G-alpha subunit dari komplek G-beta/gamma.
Pada titik ini, aktifnya g-alpha subunit dan lepasnya kompleks Gbeta/gamma dapat menstimuli aktifitas adenylyl cyclase (Gambar 10).
Pada umumnya, adenylyl cyclase bertindak sebagai enzyme yang
mengkatalisi ikatan cyclisasi. Secara umum, adenylyl cyclase juga
bertindak sebgai enzim effektor dimana mengkatalisis 5’Adenosis
Triphosphat (ATP) menjadi cyclic Adenosine Monophosphat
(cAMP). Supaya adenylyl cyclase mampu berubah menjadi cyclize
ATP, G-alpha harus menempel pada sisi penempelan G-alpha. Ketika
G-alpha subunit berikatan, adenylyl cyclase akan menkonformasi
perubahan, katalitik C1 dan C2 mengorientasi untuk memulai
mengambil energy dari ATP dan memulai proses cyclisasi. Adenylate
cyclase mengkatalisi ATP dari plasma membrane menjadi cAMP +
PPi. Umumnya ligan yang mengaktifkan adenylate cyclase adalah
berupa hormone (ex: epinephrine). Hormon menempel pada reseptor
kemudian mengakitfkan adenylate cyclase menjadi cAMP. cAMP ini
merupakan second messenger. Kemudian setelah proses selesai,
enzyme phosphodiester mengkatalisis cAMP + H2O → AMP.
Phosphodiesterase diaktifkan oleh katalisasi phosphorylasi Protein
Kinase A sehingga cAMP menstimuli proses degradasi sehingga
sinyal cAMP berhenti. Ketika cAMP dikatalisis, GTP pada G-alpha
berubah menjadi GDP dan G-alpha subunit lepas adari cyclase. Saat
terlepas, g-alpha subunit berasosiasi kembali dengan komplek Gbeta/gamma. Produksi dari cAMP di mulai ketika hormone
ekstraselular yang lain menempel pada protein reseptor dan memulai
proses kembali.
Gambar 20. Model Ligan-Induced Activation Protein Effektor
Gambar 21.
G Protein Coupled Reseptor – Activated Adenylate cyclase
G-Protein Reseptor Activated Phospholipase C.
Phospholipase C merupakan kelas dari enzyme yang
membelah (cleave) phospholipid saat sebelum gugus phosphate. sama
seperti enzyme-enzym lainnya dimana phospholipase C juga berperan
penting dalam mekanisme fisiologi sel eukaryotic, particular dari
sinyal transduksi pathway. Terdapat 13 macam phospholipase C dari
mamalia yang diklasifikasikan berdasarkan bentuk strukturnya
kedalam 6 model yaitu β, γ, δ, ε, ζ, η.
Gambar 22. Aktivasi fosfolipase C. Sisi pembelahan dari fosfolipase. Enzim
fosfolipase memotong tepat sesaat sebelum phosphat menempel pada sisi R3.
Reseptor yang mengakitifkan jalur ini utamanya adalah
Reseptor G-protein yang berpasangan dengan Gαq subunit, yang
termasuk didalamnya antara lain:
Reseptor 5-HT2 serotonergic
Reseptor α1 (Alpha-1) adrenergic
Reseptor calcitonin
Reseptor H1 histamin
Reseptor metabotropic glutamate
Reseptor M1, M3, M5 musarinic
Reseptor minor activator selain Gαq antara lain
MAP kinase. Mengaktivasi jalur PDGF dan FGF
Βγ-kompleks dari heterotrimeric G-protein sebagai jalur
minor dilepasnya growth hormone oleh growth hormone
releasing hormone
PLC
membelah
phospholipid.
Dalam
prosesnya,
phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate (PIP2) membelah menjadi
diacyl glycerol (DAG) dan inositol 1,4,5-triphosphate (IP3). DAG
tetap berikatan dengan membrane dan IP3 dilepaskan sebagai struktur
yang soluble ke dalam sitosol. IP3 kemudian berdifusi melalui sitosol
untuk berikatan dengan repetor IP3, particular chanel calcium dan
reticulum endoplasma. Hal ini menyebabkan konsentrasi calcium
dalam sitosol meningkat yang menyebabkan perubahan cascade dari
intraselular dan aktivitasnya. Selain itu, calcium dan DAG bekerja
bersama untuk mengaktivkan protein kinase C dimana akan
berfosforilasi menjadi molekul lain, yang menimbulkan adanya
aktifitas selular. IP3 akan mentriger untuk melepaskan Ca2+ dari RE.
Sebagian besar ion Ca2+ disimpan pada mitokondria dan di lumen RE
dan vesikel yang lain. Sel memiliki mekanisme untuk meregulasi
konsentrasi ion Ca2+ di sitosol dimana biasanya dibawah 0,2M. Ca2+
ATPase memompa ion Ca2+ melalui plasma membrane ke sel
eksterior atau lumen intraselular Ca2+. Berikatnnya banyak hormone
pada reseptor membrane di hati liver, fat, dan sel lain menginduksi
adanya elevasi di dalam Ca2+ sitosolik meskipun ketika ion Ca2+ tidak
tersedia dari sekitar ekstraselular. Pada situasi ini Ca2+ akan dilepas ke
dalam sitosol dari RE melalui aktivasi dari IP3 yang membuka ion
chanel di membrane RE. reseptor pada membrane RE berupa protein
besar yang terdiri dari 4 subunit yang identik yang masing-masing
memiliki IP3 binding site di sisi N-terminal. IP3 binding menginduksi
membukanya ion chanel sehingga ion Ca2+ dapat keluar dari RE ke
sitosol (Gambar 12). Satu dari bermacam respon selular yang
diinduksi keluar dari ion chanel yaitu sitosolik Ca2+ merupakan
rekrutmen protein kinase C (PKC) menuju membrane plasma dimana
telah diaktifkan sebelumnya oleh DAG. Aktifnya PKC menstimuli
phosphorilasi bermacam enzim selular dan reseptor. Sepeti halnya
pada Ca2+ RE, chanel IP3-gated Ca2+ berikatan, sehingga membuka
cahnel TRP Ca2+ di dalam plasma membrane sehingga ion Ca2+
masuk dari ekstraselular ke dalam sitosol.
Gambar 23. G Protein Coupled – Activated Phospholipase C
Konsentasi hormon dalam cairan ekstrasel sangat rendah
-15
-9
berkisar 10 –10 . Sel target harus membedakan antara berbagai
hormon dengan konsentrasi yang kecil, juga antar hormon dengan
molekul lain. Derajad pembeda dilakukan oleh molekul pengenal yang
terikat pada sel target disebut Reseptor →Reseptor. Hormon
merupakan molekul pengenal spesifik dari sel tempat hormon
berikatan sebelum memulai efek biologiknya. Umumnya pengikatan
Hormon :Reseptor ini bersifat reversibel dan nonkovalen reseptor
hormon bisa terdapat pada permukaan sel (membran plasma) atau
pun intraselluler. Interaksi hormon dengan reseptor permukaan sel
akan memberikan sinyal pembentukan senyawa yang disebut sebagai
second messenger (hormon sendiri dianggap sebagai first messenger)
Jika hormon sudah berinteraksi dengan reseptor spesifiknya pada selsel target, maka peristiwa-peristiwa komunikasi intraseluler
dimulai.Hal ini dapat melibatkan reaksi modifikasi seperti fosforilasi
dan dapat mempunyai pengaruh pada ekspresi gen dan kadar ion.
Peristiwa-peristiwa ini hanya memerlukan dilepaskannya zat-zat
pengatur. Hormon dapat diklasifikasikan melalui berbagai cara yaitu
menurut komposisi kimia, sifat kelarutan, lokasi reseptor dan sifat
sinyal yang memperantarai kerja hormon di dalam sel.
Klasifikasi hormon berdasarkan senyawa kimia pembentuknya:
1. Golongan Steroid→turunan dari kolestrerol
2. Golongan Eikosanoid yaitu dari asam arachidonat
3. Golongan derivat Asam Amino dengan molekul yang kecil
(Thyroid,Katekolamin)
4. Golongan Polipeptida/Protein (Insulin,Glukagon,GH,TSH )
Berdasarkan sifat kelarutan molekul hormon:
1. Lipofilik : kelompok hormon yang dapat larut dalam lemak
2. Hidrofilik : kelompok hormon yang dapat larut dalam air
Berdasarkan lokasi reseptor hormon:
1. Hormon yang berikatan dengan hormon dengan reseptor
intraseluler
2. Hormon yang berikatan dengan reseptor permukaan sel (plasma
membran)
Berdasarkan sifat sinyal yang mengantarai kerja hormon di dalam
sel:kelompok
Hormon yang menggunakan kelompok second messenger senyawa
cAMP,cGMP,Ca2+, Fosfoinositol, Lintasan Kinase sebagai mediator
intraseluler
Aktivasi Protein G.
Protein G adalah protein yang terdiri dari 3 sub unit yaitu α,
β, γ, dimana sub unit α memiliki kemampuan untuk mengikat baik
GDP maupun GTP. Pada keadaan tidak aktif sub unit α akan
mengikat GDP, sedangkan pada saat aktif akan mengikat GTP.
Dalam keadaan aktif akibat terstimulasi oleh aktifasi reseptor, sub
unit α akan berjalan menyusuri permukaan dalam membrane sel
sampai bertemu dengan protein enzim atau transmembran.
Berikatannya sub unit α pada enzim atau saluran transmembran akan
mengaktivasi proses pembukaan atau penutupan saluran
transmembran. Inaktivasi sub unit α dilakukan dengan menghidrolisis
gugus GTP menjadi GDP. Ketika tidak ada stimulus, reseptor dan G
protein inaktif dan terpisah, ketika signal ekstraseluler terikat dgn
reseptor, terjadi perubahan konformasi pada reseptor; G protein
terikat reseptor, Perubahan pada α-subunit menyebabkan GDP
digantikan oleh GTP, selanjutnya menyebabkan α-subunit terpisah
dari βγ-subunit
Reseptor yang mengikat GTP - binding Protein (G - protein)
G-Protein linked reseptor
Gambar 24. Target molekul Protein G
1. Kanal ion Asetilkolin menyebabkan disosiasi α dan ßγ
2. Enzim yang terikat pada membran plasma
a. Adenil siklase merubah ATP → cAMP
b. Fosfolipase C akan merubah inositolfosfolipid menjadi
IP3 dan
DAG. Inositol trifosfat (IP3), berfungsi membuka kanal Ca
2+ pada membran Retikulum Endoplasma (RE), sehingga terjadi
peningkatan konsentrasi ion Ca 2+ di sitoplasma. Diacylglycerin
(DAG), akan megaktifasi protein kinase C (PKC) untuk variasi
respon
Adenylate Cyclase.
Transmembran reseptor dari berbagai hormon yang
digabungkan untuk adenilat cyclase (AC) melalui heterotrimeric Gprotein. Ligan mengikat reseptor, mengubah konformasi reseptor,
sehingga memungkinkannya untuk berasosiasi dengan G protein. Hal
ini menyebabkan aktivasi G-protein spesifik melalui pertukaran GTP
menjadi GDP dan terikat pada subunit α-G-protein. Yang diaktifkan
G-protein pada gilirannya mengaktifkan AC menghasilkan konversi
ATP untuk cAMP. cAMP lalu bertindak untuk mengatur berbagai
proses selular. AC dapat berpasangan dengan baik dan menstimulasi
inhibitor G-protein (Gs dan Gi, masing-masing). Gs merangsang
interaksi aktivitas dan interaksi dengan Gi menghambat aktivitas
enzimatik. Adenilate cyclase yang teraktifkan oleh sub unit dari
protein G akan menghasilkan cAMP, dimana cAMP akan berperan
sebagai penyeranta kedua yang mengaktifasi protein kinase A (PKA).
PKA akan mengaktifasi beberapa protein factor transkripsi yang akan
menstimulasi proses penyandian gen structural. Tiga subkelompok
reseptor adrenergik berhubungan dengan sistem adenilat siklase.
Hormon yang terikat pada reseptor β1 dan β2 akan mengaktifkan
enzim adenilat siklase, sedangkan hormon yang terikat pada reseptor
α2 akan menghambat enzim ini. Kerja hormon epineprin dapat
meningkatkan kadar cAMP dalam sel otot melalui pengaktifan sistem
β adrenergik ini yang melalui perangkaian reseptor pada Potein G.
Protein G mengikat GTP dan GTP merangsang adenilat siklase
untuk mensintesis cAMP. cAMP yang terbentuk akan mengaktifkan
enzim fosforilase kinase dan menginaktifkan enzim glikogen sintase
melalui aktifitas protein kinase. Enzim Adenilat Siklase berada pada
permukaan internal membran plasma mengkatalisasi pembentukan
cAMP dari ATP. Apabila aktifitas enzim Adenilat Siklase meniongkat
maka jumlah cAMP juga meningkat. Pengaturan aktivasi dan
inaktivasi enzim Adenilat siklase oleh hormon berlangsung dengan
perantara:
1. Reseptor spesifik hormon pada permukaan luar membran plasma
(Rs atau Ri)
2. Paling sedikit 2 protein pengatur nukleotida guanosin (protein G)
yang tergantung GTP
Protein pengatur ini diberi simbol Gs(stimulasi) dan
Gi(inhibisi) yang masing-masing tersusun tiga subunit α,β,γ. Subunit
β dan γ dalam Gs identik dengan dalam Gi, sedangkan subunit α
dalam Gs berbeda dengan dalam Gi diberi tanda αs dan αi.
Pengikatan sebuah hormon dengan reseptor meningkatkan interaksi
reseptor dengan kompleks perangsang Gs .Dengan pengantaraan
2+
reseptor berlangsung pengikatan GTP yang tergantung pada Mg
oleh α dan disosiasi sekaligus β dan γ dari α. Subunit α dapat juga
merupakan ADP ter-ribosilasi sebagai respon terhadap toksin Kolera
yang mengaktivasinya.Dalam menimbulkan proses tersebut akan
membuat inaktif enzim GTPase,dengan demikian αs dibekukan
dalam bentuk aktif.Toksin Pertusis dapat memblokir inaktivasi dari
adenilat siklase melalui aktivitas ribosiltransferase-ADP pada subunit
αi
Phospolipase C.
Jalur Phospolipase C, yang teraktifkan oleh sub unit dari
protein G akan menghidrolisis Fosfatidilinositol 4’, 5’- bifosfat
menjadi 2 molekul penyetara kedua, yaitu Inositol 4’, 5’, 6’ trifosfat
(IP3) dan Diasil gliserol (DAG). Dimana IP3 akan memasuki sitosol
dan DAG tetap berada di membrane sel. IP3 akan berikatan dengan
saluran ion kalsium di membrane plasma dan di reticulum
endoplasma, serta membuka saluran tersebut. Terbukanya saluran
ion, akan mengakibatkan terjadinya pemasukan ion kalsium ke dalam
sitoplasma secara konsentrasi gradient. Di sitosol ion kalsium akan
berikatan dengan protein kalmodulin, dimana molekul kalsium
kalmodulin (Ca-Kam) akan mengaktifasi protein Ca-Kam protein
kinase yang akan mengaktifasi protein factor transkripsi yang akan
menstimulasi terjadinya proses penyandian gen structural. Sementara
DAG akan berikatan dengan protein kinase C, dimana protein kinase
C yang berikatan dengan DAG akan menjadi aktif dan menstimulasi
beberapa protein penghubung sintesa protein (factor transduksi
sitosolik dan factor transkripsi).
Protein Kinase dan Protein Fosfatase.
Protein kinase terdapat baik di membrane plasma maupun di
dalam sitoplasma. Pengklasifikasian protein kinase biasanya dilakukan
berdasar jenis asam amino yang difosforilasinya seperti tirosin kinase
atau serin treonin kinase. Protein kinase secara fungsional bertugas
membantu fosforilasi beberapa protein agar dapat menjalankan
tuganya selaku sinyal transduktor. Sinyal transduksi yang memerlukan
kehadiran protein kinase antara lain cAMP yang bergantung pada
enzim kinase. Tirosin kinase membran dan serin treonin kinase
sebagai protein kinase di tingkat membran untuk dapat teraktifasi
memerlukan adanya rangsang kimia. Sementara itu protein kinase A
(PKA) dan protein kinase G (PKG) yang merupakan protein serin
treonin kinase yang terlarut dalam sitoplasma memerlukan aktifasi
dari nukleotida dan penyentara kedua seperti cAMP dan cGMP.
Sedangkan Protein Kinaase C yang merupakan keluarga terbanyak
dari protein kinase distimulasi oleh aktifitas penyentara kedua DAG
dan ion kalsium.
Pengaktifan Protein Kinase Oleh cAMP.
Dalam sel eukariot, cAMP berikatan dengan Protein Kinase
yaitu sebuah molekul heterotetramer terdiri atas 2 subunit regulasi
dan 2 subunit katalitik. Pengikatan cAMP menghasilkan reaksi: 4
cAM + R2C2 ↔ 2 (R-2cAMP) + 2C
Kompleks R2C2 tidak punya aktifitas enzim tetapi pengikatan
cAMP dengan R memisahkan R dari C dengan demikian
mengaktifkan unsur C ini. Subunit C yang aktif mengkatalisis
pemindahan P dari ATP ke residu serin atau treonin dari protein (
efek fisiologik).
Gambar 25. Pengaktifan G protein
cGMP sebagai Second Messenger.
cGMP merupakan senyawa second messenger yang dibentuk
dari GTP oleh kerja enzim Guanilil Siklase, yang terdapat dalam
bentuk larut dan terikat membran.Hormon Atriopeptin, suatu famili
peptida dihasilkan dalam atrium jantung, menyebabkan natriuresis,
diuresis,vasodilatasi otot dan inhibisi sekresi aldosteron. Hormon
peptida ini akan mengaktifkan enzim guanilil siklase sehingga cGMP
meningkat dan dapat menyebabkan hormone bekerja efisien.
Senyawa nitroprusida,nitrogliserin, natrium nitrit, natrium azida,
nitogen oksida (NO) meningkatkan cGMP dengan mengaktifkan
guanilil siklase . Peningkatan cGMP akan berikatan dan mengaktifkan
Protein Kinase Spesifik (Kinase G ) yang analog dengan Kinase A.
Enzim ini akan melakukan fosforilasi terhadap sejumlah protein otot
polos. Peristiwa ini agaknya terlibat dalam proses relaksasi otot polos
dan vasodilatasi.
Ca2+ Sebagai Second Messenger.
Secara luas kalsium terionisasi merupakan unsur regulator
proses seluler termasuk kontraksi otot, rangkaian proses pembekuan
darah, aktifitas enzim dan eksitabilitas membran dan mediator dari
kerja hormon.Peran kalsium ion dalam aksi hormon diusulkan karena
banyak hormon:
1. Dihambat dalam media kalsium bebas atau bila kadar kalsium
intrasel berkurang
2. Mempengaruhi aliran kalsium sel
Diketahui konsentrasi Ca2+ sitosol lebih rendah
dibandingkan konsentrasi Ca2+ dalam cairan ekstraseluler dan
organela intraseluler.Keadaan ini dipertahankan oleh adanya pompa
Ca2+ / Mg2+ ATPase dependent.Hormon dan zat efektor lain dapat
merangsang pelepasan ion kalsium ke dalam sitosol. Jalan utama
hormon meningkatkan penambahan Ca2+ adalahmelalui stimulasi
dari produksi InsP3 yang dihasilkan oleh pemecahan dari PIP2 yang
diperantarai fosfolipase C. PIP2 (Phosphatidil Inositida 4,5
Bisphosphat) merupakan senyawa phospholipid dari membran,
memainkan peranan dalam aksi hormon yang tergantung Ca2+.
Produk metabolisme PIP2 diduga menyediakan komunikasi antara
reseptor hormon membran plasma dengan reservoir Ca2+ intrasel
dan mempengaruhi Ca2+ channel. Dalam aksi hormon PIP2 akan
dihidrolisis menjadi dua senyawa yaitu :
1. Inositol 1,4,5 Triphosphat (InsP3), merupakan senyawa yang
efektif mempengaruhi mitokhondria dan RES mengeluarkan
2+
Ca k sitoplasma.
2. Diasil Gliserol, mampu mengaktifkan protein kinase sehingga
terjadi fosforilasi sejumlah protein, sebahagian merupalan
komponen pompa ion dan mendorong peningkatan ion kalsium
sitoplasma
KUIS
1. Apakah kaitan G-protein dengan pembentukan
Energi level sel?
2. Apabila Ca2+ pada asupan makanan jumlahnya
tidak mencukupi signal transduksi manakah yang
akan terpengaruh?
BAB IV
PERTAHANAN TUBUH
Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada manusia
dan hewan masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara. Secara
umum mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit disebut
patogen. Patogen yang telah masuk akan menimbulkan penyakit
dengan pelbagai mekanisme. Segala macam mikroorganisme yang
menginvasi vertebrata akan berhadapan dengan imunitas innate
sebagai pertahanan pertama yang terjadi beberapa menit setelah
infeksi. Imunitas adaptif akan timbul apabila pertahanan pertama ini
tidak mampu mengeliminasi patogen yang masuk.
Imunitas innate
(cepat: 0-4 jam)
Infeksi
Pengenalan oleh
efektor nonspesifik
Respon yang
terinduksi
(segera: 4-96 jam)
Infeksi
Perekrutansel
efektor
Respon imunitas
adaptive
(lambat: > 96 jam)
Infeksi
Transpor antigen
menuju organ limfoid
Pemusnahan agen
penginfeksi
Pengenalan, aktivasi
sel efektor
Pengenalan oleh sel
T dan B naive
Pemusnahan agen
penginfeksi
Ekspansi klon dan
diferensiasi sel
efektor
Pemusnahan agen
penginfeksi
Gambar 26. Respon terhadap infeksi terdiri dari tiga fase. Mekanisme
efektor yang membersihkan agen penginfeksi, contohnya makrofag dan
komplemen. Dua fase pertama tidak memerlukan spesifikasi antigen, artinya
semua antigen akan dikenali oleh sistem imun yang bekerja pada dua fase
pertama ini. Fase ketiga adalah fase imunitas adaptif. Fase ini memerlukan
reseptor yang spesifik yang terbentuk dari gene rearrangement. Imunitas adaptif
bekerja pada fase akhir.
Pertahanan pertama tidak dapat menuntaskan tugasnya antara
lain karena besarnya jumlah invader yang masuk, cacat genetik,
maupun lemahnya sistem pertahanan itu sendiri akibat kurang gizi.
Sel-sel epitel pada permukaan tubuh mempunyai peran penting
sebagai penghalang masuknya mikroorganisme dalam tubuh. Sekresi
kelenjar minyak maupun keringat juga mempunyai peran dalam
sistem pertahanan pertama. Makrofag dan neutrofil merupakan
komponen selluler pertahanan pertama yang bersifat fagosit,
sedangkan NK berperan sebagai sitotoksik pada pertahanan pertama.
NK merupakan sel yang memiliki jalur sama dengan sel limfosit
hanya saja tidak mempunyai antigen khusus yang dikenali pada
targetnya. NK mengenali sel yang mengalami kanker dengan cara
mendeteksi penurunan ekspresi molekul MHC.
Mamalia rentan terhadap infeksi patogen. Patogen pada
awalnya mengadakan kontak dengan host, selanjutnya menyebabkan
infeksi dan sakit pada host. Satu patogen dengan yang lain
mempunyai perbedaan struktur yang sangat besar pada molekul
permukaan dan cara melakukan infeksi, sehingga diperlukan strategi
yang berbeda dalam tubuh host untuk melakukan sistem pertahanan.
Garis pertama pertahanan tubuh telah tersedia dan siap menghalangi
dan menolak invader setiap saat. Permukaan sel-sel epitel
menyebabkan patogen tetap berada di luar dan sulit mengadakan
penetrasi. Kulit misalnya, menghalangi penempelan patogen dengan
cara menghasilkan enzim antimikrobia dan peptida. Kulit juga
menghasilkan minyak yang dapat membunuh beberapa patogen.
Virus, bakteri, dan parasit yang berhasil menjebolkan pertahanan
pertama akan segera berhadapan dengan makrofag pada jaringan.
Makrofag mempunyai reseptor permukaan yang dapat mengikat dan
memfagosit bermacam-macam patogen. Peristiwa ini pada gilirannya
akan menyebabkan respon inflamasi yang dapat menyebabkan
terjadinya akumulasi protein plasma, termasuk komponen
komplemen yang menjadi bagian humoral imunitas innate , dan aktivitas
fagosit oleh neutrofil pada daerah infeksi. Imunitas innate merupakan
garis pertahanan pertama yang secara langsung dapat bekerja
nonspesifik jika ada patogen yang masuk. Imunitas innate ini tidak
berubah kemampuannya jika pada waktu yang lain terinfeksi baik
patogen yang sama maupun berbeda, karena tidak mempunyai
memori setelah terjadinya infeksi. Kerja imunitas innate ini pada
umumnya berhasil menghalangi terjadinya infeksi. Apabila imunitas
innate tidak berhasil mengeliminasi agen penginfeksi, makrofag dan
sel lain yang telah teraktivasi pada respon innate akan segera
membantu inisiasi respon imunitas adaptif.
Pengenalan Antigen Oleh Sel B dan T.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tubuh dipertahankan
dengan imunitas innate, tetapi sistem tersebut hanya mengontrol
patogen yang mempunyai susunan molekul tertentu atau patogen
tersebut menginduksi tersintesisnya interferon atau molekul efektor
lain. Imunitas innate tidak membentuk memori dan imunitas innate
ini bekerja dengan reseptor yang dikode di dalam genom. Imunitas
innate sangat penting untuk menjaga agar patogen tidak berkembang
bebas di dalam tubuh, namun imunitas innate tidak memiliki sifat
yang dimiliki inunitas adaptif. Imunitas adaptif memiliki memori yang
bertahan dalam waktu sangat lama terhadap antigen spesifik. Untuk
mengenali dan melawan patogen yang memiliki diversitas tinggi,
limfosit sebagai komponen imunitas adaptif telah berkembang dan
dapat mengenali diversitas yang tinggi dari antigen bakteri, virus, dan
organisme penyebab penyakit lainnya. Molekul pengenalan sel B
adalah imunoglobulin, Ig. Imunoglobulin diproduksi oleh sel B dalam
keadaan yang sangat beragam sesuai dengan keragaman antigen.
Setiap sel B memproduksi imunoglobulin tunggal. Imunoglobulin
yang berada pada permukaan sel berfungsi sebagai reseptor sel untuk
suatu antigen yang disebut B-cell receptor (BCR). Imunoglobulin
disekresi dalam bentuk antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yaitu
sel B yang teraktivasi. Sekresi antibodi yang mengikat patogen atau
substansi beracun yang diproduksi patogen pada ekstraselluler,
merupakan peranan utama sel B pada imunitas adaptif.
Antibodi merupakan molekul pertama yang diketahui terlibat
pada pengenalan antigen secara spesifik. Molekul antibodi
mempunyai dua peranan yang terpisah: pertama mengikat molekul
patogen untuk meningkatkan respon imun, kedua untuk merekrut selsel imunokompeten dan molekul efektor lainnya ketika antibodi
tersebut telah berikatan dengan targetnya. Sebagai contoh, ikatan
antibodi pada virus akan memberikan reaksi netralisasi di samping
memberi penanda pada virus tersebut agar mudah dikenali oleh sel
fagosit dan komplemen. Dua fungsi tersebut terpisah pada molekul
antibodi, satu bagian terspesifikasi untuk mengenali dan mengikat
patogen atau antigen, sedangkan bagian lain terlibat pada mekanisme
efektor lain. Sisi ikatan pada molekul antigen mempunyai variasi yang
sangat beragam yang selanjutnya dikenal sebagai daerah variabel.
Keberagaman antibodi memungkinkan pengenalan antigen yang
berbeda-beda, dan populasi keseluruhan (repertoire) antibodi yang
terbuat pada setiap individu keragamannya demikian besar untuk
memastikan bahwa setiap struktur antigen asing akan ada yang
mengenali. Bagian antibodi yang terlibat untuk fungsi efektor pada
sistem imun tidak mempunyai variasi sebagaimana bagian variabel
sehingga bagian tersebut disebut bagian konstan. Bagian konstan ini
memiliki lima bentuk utama, yang mana setiap bentuk berfungsi
untuk mengaktifkan mekanisme efektor yang berbeda. Reseptor sel B
yang berikatan dengan membran tidak mempunyai fungsi efektor,
karena bagian konstan tetap berada di dalam membran sel B. Bagian
konstan yang berada di dalam membran sel berfungsi mentransmisi
signal yang menyebabkan sel B teraktivasi dan terjadinya ekspansi
klon dan produksi antibodi spesifik, ketika variabel mengikat antigen
yang spesifik. Molekul yang digunakan sel T untuk mengenal antigen
merupakan protein yang terikat pada membran dan berfungsi sebagai
pemberi signal pada sel T sehingga mengalami aktivasi. Molekul itu
selanjutnya disebut reseptor sel T (T-cell receptor/TCR). TCR sangat
dekat hubungannya dengan imunoglobulin baik pada struktur
molekulnya yang mempunyai bagian variabel (V region) dan bagian
konstan (C region) maupun pada mekanisme pembentukan diversitas
molekul yang sangat tinggi. Namun demikian reseptor sel T
mempunyai perbedaan penting dengan reseptor sel B, dimana
reseptor sel T tidak dapat mengenali dan mengikat antigen secara
langsung. Reseptor sel T hanya mengenali fragmen peptida pendek
dari protein patogen yang terikat molekul MHC pada permukaan sel
lain. Molekul MHC merupakan glikoprotein yang disandi oleh gen
dalam klaster yang besar yang disebut major histocompatibility complex
(MHC). Sifat khas molekul ini adalah adanya celah pada permukaan
paling luar. Celah yang ada pada molekul MHC ini berfungsi untuk
mengikat berbagai macam peptida. Pada suatu populasi molekul
MHC mempunyai variasi genetik yang sangat tinggi. Pada setiap
individu memiliki sampai 12 varian molekul MHC, sehingga
memungkinkan presentasi berbagai macam peptida yang berasal dari
patogen. Reseptor sel T mengenali peptida patogen maupun sifat dari
molekul MHC yang mengikat peptida itu. Pengenalan dengan cara ini
memberikan dimensi patogen yang lebih spesifik pada TCR yang
dikenal dengan istilah restriksi MHC (MHC restriction). Istilah ini
sangat tepat karena semua reseptor sel T bersifat spesifik tidak saja
pada peptida antigen asing, namun juga terkait kombinasi antara
peptida dengan molekul MHC. Meskipun sel B dan sel T mengenali
molekul asing dengan cara yang berbeda, namun kedua reseptor sel
tersebut mempunyai struktur yang sama.
Struktur Molekul Antibodi.
Antibodi merupakan reseptor sel B yang disekresi, sehingga
identik dengan reseptor sel B itu sendiri kecuali pada C-terminal dari
bagian konstan rantai berat. Pada reseptor sel B, C-terminal pada
membran berupa squence yang bersifat hidrofobik, dan pada antibodi
C-terminal berupa squence yang bersifat hidrofilik yang
memungkinkan terjadinya sekresi molekul tersebut. Antibodi bersifat
terlarut dan disekresi dalam jumlah yang besar sehingga mudah
diperoleh dan mudah dipelajari. Molekul antibodi secara garis besar
digambarkan sebagi huruf ”Y”. Tiga skema struktur antibodi yang
diperoleh dari sinar-X kristalografi diperlihatkan pada Gambar 47.
Semua antibodi disusun dengan cara yang sama dari pasangan
polipeptida rantai berat dan ringan dan secara umum protein itu
dinamakan imunoglobulin. Secara umum imunoglobulin dibagi
menjadi lima kelas yang berbeda yakni: IgM, IgD, IgG, IgA, dan IgE
yang dapat dibedakan pada bagian konstannya (C region).
Antibodi IgG Terdiri Dari Empat Rantai Polipeptida.
Antibodi IgG merupakan molekul besar dengan berat
molekul sekitar 150 kDa, terdiri dari dua rantai polipeptida yang
berbeda. Rantai berat (rantai H) berkisar 50 kDa, sedangkan rantai
ringan (rantai L) berkisar 25 kDa. Setiap molekul IgG mempunyai
dua rantai H dan dua rantai L. Dua rantai berat satu sama lain
dihubungkan dengan ikatan disulfida, dan setiap rantai H
dihubungkan dengan rantai L dengan ikatan disulfida. Pada setiap tipe
molekul imunoglobulin, dua rantai H dan dua rantai L identik satu
sama lain yang menjadikan molekul antibodi mempunyai dua sisi
ikatan dengan antigen yang identik. Dua tipe rantai ringan yang
dikenal dengan istilah rantai lamda (λ) dan kappa (ĸ) ditemukan pada
antibodi. Imunoglobulin tertentu hanya memiliki salah satu rantai
lamda (λ) atau kappa (ĸ), dan tidak pernah kedua-duanya ada
bersama-sama.Tidak ditemukan perbedaan fungsi antara antibodi
yang memiliki rantai lamda (λ) dan kappa (gen ĸ). Rasio rantai ringan
lamda (λ) dan kappa (ĸ) berbeda-beda antara spesies satu dengan yang
lain. Pada mencit rasio rantai lamda (λ) dan kappa (ĸ) 1 :20,
sedangkan pada manusia 1 : 2 dan pada lembu 20:1. Rasio yang
berbeda-beda ini sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Distorsi
rasio rantai lamda (λ) dan kappa (ĸ) terkadang dijadikan untuk
mendeteksi adanya kelainan proliferasi klon sel B. Rantai lamda (λ)
dan kappa (ĸ) diekspresikan dengan rasio identik pada semua sel B,
sehingga kelebihan lamda (λ) pada manusia misalnya, menjadi indikasi
adanya tumor yang bersal dari sel B yang memproduksi rantai lamda
(λ). Kelas antibodi didasarkan pada struktur rantai berat. Ada lima
kelas utama (isotipe) rantai berat, beberapa di antaranya mempunyai
subtype, dan hal ini menentukan fungsi aktivitas molekul antibodi.
Lima kelas utama imunoglobulin adalah imunoglobulin M (IgM),
imunoglobulin D (IgD), imunoglobulin G (IgG), imunoglobulin A
(IgA), dan imunoglobulin E (IgE). Masing-masing rantai beratnya
ditandai dengan simbul berturut-turut (µ, δ, γ, α, dan ε). IgG
merupakan imunoglobulin yang jumlahnya berlimpah dan
mempunyai beberapa subkelas (pada manusia IgG1, 2, 3, dan 4).
Fungsi yang berbeda dari imunoglobulin ditentukan oleh bagian
ujung karbon rantai berat, dan sama sekali tidak terkait dengan rantai
ringan. Secara umum sifat struktur dari seluruh isotipe sama, dan
pada buku ini kita akan membahas IgG yang merupakan isotipe
imunoglobulin paling banyak pada plasma.
Imunoglobulin Tersusun Atas Bagian Konstan dan Variabel.
Urutan asam amino rantai berat dan ringan dari suatu
imunoglobulin telah diketahui dan menunjukkan dua sifat penting
molekul antibodi. Pertama, masing-masing rantai terdiri dari urutan
yang sama, meskipun tidak identik. Masing-masing tersusun atas 110
asam amino. Setiap pengulangan urutan asam amino berhubungan
dengan kepadatan struktur protein yang menyusun setiap bagian
imunoglobulin yang selanjutnya disebut domain. Rantai ringan
tersusun oleh dua domain, sedangkan rantai berat IgG tersusun atas
empat domain. Diduga rantai imunoglobulin berevolusi dengan
mengadakan duplikasi gen yang awalnya berupa domain tunggal. Sifat
penting kedua yang ditunjukkan oleh urutan asam amino terminal
pada rantai ringan dan rantai berat adalah adanya perbedaan urutan
asam amino yang sangat menyolok pada setiap antibodi yang
dihasilkan oleh klon sel B yang berbeda. Asam amino terminal pada
daerah variabel baik dari rantai ringan maupun berat (VL dan VH)
secara bersama-sama membentuk bagian V antibodi yang
menentukan kemampuannya mengikat antigen spesifik. Domain
konstan dari rantai ringan dan berat (CL dan CH) akan membentuk
bagian konstan (C region) antibodi.
Antibodi Dapat Dipecah Menjadi Fragmen Yang Tidak Kehilangan
Fungsi.
Domain protein yang digambarkan di atas berhubungan satu
sama lain membentuk domain globular. Suatu antibodi terdiri atas
tiga protein globular yang mempunyai ukuran yang sama yang
digabungkan oleh polipeptida yang disebut hinge region. Setiap lengan
dari bentuk ”Y” dibentuk dari gabungan rantai ringan dengan amino
terminal yang separuhnya berasal dari rantai berat. Badan ”Y”
dibentuk dari bagian yang sama dari dua rantai berat. Gabungan
rantai ringan dan berat berupa pasangan, contohnya domain VL dan
VH, demikian juga domain CH1 dan CL. Domain CH3 berpasangan
dengan domain yang sama-sama berasal dari rantai berat, sedangkan
domain CH2 tidak berinteraksi satu sama lain. Pada domain CH2
terdapat rantai karbohidrat namun didak terjadi interaksi satu sama
lain. Dua sisi pengikat antigen terbentuk dari pasangan domain VL
dan VH pada ujung lengan ”Y”. Enzim proteolitik (protease) yang
dapat memecah urutan polipeptida digunakan untuk menganalisis
molekul antibodi dan digunakan untuk menentukan fungsi bagianbagian molekul tersebut. Pemecahan molekul antibodi dengan
menggunakan protease papain akan menghasilkan tiga fragmen. Dua
fragmen mempunyai sifat identik yang berfungsi sebagai sisi ikatan
untuk antigen. Fragmen ini selanjutnya disebut fragmen Fab, yang
menyatakan kependekan dari Fragmen antigen binding. Fragmen Fab
berupa dua lengan yang identik dari molekul antibodi. Fragmen Fab
terdiri dari seluruh molekul rantai ringan berpasangan dengan domain
VH dan CH1 dari rantai berat. Fragmen lain berupa molekul yang tidak
mengandung sisi ikat terhadap antigen dan fragmen tersebut mudah
menjadi kristal (crystallize readily) sehingga disebut fragmen Fc, yang
menyatakan kependekan dari Fragmen crystallizable. Fragmen Fc
merupakan pasangan domain CH2 dan CH3 dan merupakan bagian
molekul antibodi yang berinteraksi dengan molekul efektor dan sel.
Perbedaan fungsi di antara isotipe rantai berat terletak pada fragmen
Fc. Fragmen protein yang diperoleh setelah proteolisis ditentukan
oleh letak pemutusan molekul antibodi oleh enzim proteolitik itu
yang berhubungan dengan ikatan disulfida pada dua rantai berat.
Ikatan disulfida itu terletak pada bagian hinge antara domain CH1 dan
CH2. Papain membelah molekul antibodi pada asam amino terminal
pada ikatan disulfida. Pembelahan dengan menggunakan papain akan
menghasilkan dua lengan identik yang berupa fragmen Fab,
sedangkan fragmen Fc carboxy-terminal dari rantai berat tetap
lengket. Enzim proteolitik yang lain pepsin misalnya, mempunyai sisi
pembelahan yang berbeda dari yang dilakukan papain. Secara umum
pepsin melakukan pembelahan pada daerah yang sama dengan yang
dilakukan papain namun bekerja pada carboxy-terminal dari ikatan
disulfida. Pembelahan dengan enzim pepsin ini akan menghasilkan
satu fragmen F(ab’) dimana dua lengan pengikat antigen itu tetap
bersatu. Pada pembelahan dengan enzim pepsin rantai berat terbelah
menjadi beberapa fragmen kecil. Fragmen F(ab’) mempunyai sifat
yang sama sekali tidak berubah dengan ketika berada pada molekul
antibodi yang utuh, namun tidak dapat berinteraksi dengan molekul
efektor.
Rekayasa genetika sekarang memungkinkan membuat
kontruksi bermacam-macam antibodi. Satu tipe yang penting adalah
Fab yang hanya terdiri dari domain V dari rantai berat yang diikatkan
dengan peptida sintetik pada domain V dari rantai ringan. Fragmen
seperti itu selanjutnya dikenal dengan single-chain Fv, yang menyatakan
Fragmen variabel. Molekul Fv berpotensi menjadi agen terapi karena
ukurannya yang kecil sehingga memungkinkan menembus jaringan
dengan mudah. Molekul semacam ini bisa digabungkan dengan
protein toksin yang menghasilkan imunotoksin yang berpotensi untuk
aplikasi klinik, misalnya pada terapi tumor jika molekul Fv spesifik
untuk antigen tumor.
Imunoglobulin Bersifat Fleksibel Utamanya Pada Daerah Hinge.
Daerah hinge yang menghubungkan fragmen Fc dan Fab
pada molekul antibodi merupakan pengikat yang fleksibel, yang
memungkinkan pergerakan bebas dari dua lengan Fab. Hal ini telah
diperlihatkan dengan pengamatan mikroskop elektron pada
pengamatan antibodi yang mengikat hapten. Hapten merupakan
molekul kecil berukuran sebesar bagian khusus tirosin, yaitu sebesar
sisi ikat pada rantai tirosin. Hapten dapat dikenali antibodi dan dapat
menstimuli produksi antibodi antihapten jika hapten terikat pada
protein besar (carrier). Antigen yang dibuat dari dua molekul hapten
yang identik yang dihubungkan dengan ikatan yang pendek dan
fleksibel dapat menggabungkan antibodi antihapten membentuk
dimer, trimer, tetramer, dan seterusnya yang dapat diamati gengan
mikroskop elektron. Bentuk susunan antibodi komplek dengan
hapten yang bermacam-macam ini menunjukkan bahwa sisi hinge
antibodi sangat fleksibel. Fleksibelitas juga ditemukan pada
penghubung antara domain V dan C, yang memungkinkan
pembengkokan dan rotasi domain V terhadap domain C. Fleksibelitas
pada kedua sisi hinge dan penghubung V-C memungkinkan
terjadinya ikatan dua lengan molekul antibodi terhadap targetnya
dengan jarak yang bervariasi. Fleksibelitas pada daerah hinge juga
memungkinkan antibodi berinteraksi dengan protein yang memediasi
mekanisme kerja efektor.
Domain Molekul Imunoglobulin Mempunyai Struktur Yang Mirip.
Rantai ringan dan berat suatu imunoglobulin tersusun atas
domain protein yang dapat dibedakan satu sama lain. Domain protein
itu semuanya mempunyai struktur yang mirip. Didasarkan pada
bentuk tiga dimensi ada perbedaan yang menyolok antara domain V
dan C. Setiap domain terdiri dari dua helai β, yang merupakan elemen
struktur protein yang terbentuk dari rantai polipeptida. Helai itu
dilekatkan dengan jembatan disulfida yang membentuk struktur
silinder, yang disebut tabung β. Perbedaan lipatan-lipatan pada
struktur yang terjadi pada domain imunoglobulin diistilahkan
imunoglobulin fold. Domain yang berbentuk silinder terbuka
berfungsi untuk menunjukkan bagaimana rantai polipeptida melipat
untuk membentuk masing-masing helai β dan bagaimana rantai
tersebut membentuk loops yang fleksibel dan dapat dengan mudah
berganti arah. Perbedaan utama antara domain V dan C adalah
bahwa domain V lebih besar dan mempunyai gulungan lebih banyak.
Pada molekul imunoglobulin loop yang fleksibel dari domain V
membentuk sisi ikatan dengan antigen. Banyak asam amino yang
umumnya menyusun domain C dan V dari suatu rantai
imunoglobulin menempati pusat pelipatan dan sangat penting untuk
menjaga stabilitas imunoglobulin. Oleh karena itu, protein yang
mempunyai urutan sama dengan yang ada pada imunoglobulin diduga
membentuk domain yang sama dengan imunoglobulin. Dugaan
tersebut selama ini telah dibuktikan dengan pengamatan
menggunakan teknik crystallography. Domain yang mempunyai
kemiripan dengan imunoglobulin itu banyak ditemukan pada protein
yang terlibat pada sistem imun dan pada protein yang terlibat pada
pengenalan pada sistem syaraf dan jaringan lain. Imunoglobulin dan
reseptor sel T termasuk superfamili imunoglobulin. Molekul antibodi
IgG tersusun atas empat macam rantai polipeptida, yang terdiri dari
dari dua rantai ringan yang identik dan rantai berat yang identik pula.
IgG membentuk struktur yang fleksibel menyerupai huruf “Y”. Setiap
rantai dari keempat rantai yang ada mempunyai bagian variabel (V)
pada ujung asam amino penyusunnya yang berfungsi sebagai sisi
ikatan dengan antigen. Di samping bagian variabel pada setiap rantai
ada bagian konstan (C) yang menentukan isotipe. Isotipe dari rantai
berat menentukan fungsi dan sifat suatu antibodi. Rantai ringan
berikatan dengan rantai berat dengan ikatan non-kovalen dan dengan
ikatan disulfida. Bagian V dari rantai berat dan ringan membentuk
pasangan yang menyusun kedua lengan antibodi sebagai sisi ikatan
antigen yang terletak pada ujung lengan ”Y”. Dua lengan yang
dimiliki molekul imunoglobulin memungkinkan terjadinya ikatan
silang pada antigen (cross-link) dan dapat mengikat antigen lebih
stabil. Bagian badan dari ”Y”, atau fragmen Fc tersusun atas domain
carboxy-terminal dari rantai berat. Bagian lengan dan badan dari
molekul imunoglobulin dihubungkan dengan bagian yang sangat
fleksibel yang disebut bagian hinge. Fragmen Fc dan bagian hinge
berbeda untuk setiap isotipe sehingga fungsinyapun berbeda. Namun
demikian semua antibodi mempunyai kemiripan struktur, dimana
setiap antibodi mempunyai bagian-bagian yang sama walaupun ada
perbedaan pada beberapa urutan asam amino.
Interaksi Antibodi Dengan Antigen.
Sebelumnya telah dijelaskan struktur molekul antibodi dan
bagaimana bagian V dari rantai ringan dan berat melipat dan
berpasangan untuk membentuk sisi ikat antigen. Dalam bab ini akan
dijelaskan berbagai macam cara antigen berikatan dengan molekul
antibodi dan sekaligus menjawab pertanyaan bagaimana variasi urutan
domain V dari antibodi dapat menentukan antigen spesifik. Bagian V
dari molekul antibodi berbeda satu sama lain. Namun keragaman
urutan asam amino dari bagian V molekul antibodi tidak terjadi pada
seluruh segmen V, tetapi terfokus pada bagian tertentu dari domain
itu. Distribusi asam amino pada daerah variabel dapat diamati pada
variability plot yang diilustrasikan pada Gambar 52. Pada gambar
tersebut urutan asam amino dari berbagai macam antibodi
dibandingkan. Tiga segmen yang berbeda dari daerah variabel yang
berasal dari domain VL dan VH dapat diidentifikasi. Segmen tersebut
ditunjukkan dengan daerah hipervariabel dan dinotasikan dengan
HV1, HV2, dan HV3. Pada rantai ringan hipervariabel itu berasal dari
residu urutan asam amino berturut-turut: 28-35, 49-59, dan 92-103.
Bagian domain yang paling banyak berubah-ubah adalah HV3. Bagian
domain V yang terletak di antara hipervariabel yang bersifat lebih
permanen dan tidak banyak berubah adalah bagian kerangka
(framework region). Pada setiap domain V ada empat bagian
kerangka yaitu FR1, FR2, FR3, dan FR4. Bagian kerangka
membentuk helaian β yang menyebabkan terbentuknya struktur
rangka pada domain, dimana urutan asam amino pada hipervariabel
berhubungan dengan tiga gelung pada tepi luar silinder β, yang
berdampingan pada domain yang melipat. Keragaman urutan asam
amino tidak saja terfokus pada tempat tertentu pada domain V, tetapi
juga terlokalisasi pada tempat tertentu pada permukaan molekul. Jika
domain VL dan VH berpasangan pada molekul antibodi, gulungan
hipervariabel dari masing-masing domain ikut bersama, membentuk
hipervariabel tunggal pada ujung lengan molekul antibodi.
Hipervariabel merupakan sisi ikat antigen (antigen-binding site/
ABS). Tiga gulungan hipervariabel menentukan spesifikasi suatu
antigen pada molekul antibodi dengan cara membentuk
komplementer permukaan antigen yang dikenal dengan istilah
complementarity-determining region/CDR (CDR1, CDR2, dan
CDR3). CDR dari domain VL dan VH berkontribusi membentuk
ABS, sehingga kombinasi rantai berat dan ringan yang menentukan
spesifikasi terhadap antigen bukan salah satu rantai. Jadi, satu cara
sistem imun membentuk antibodi yang mempunyai spesifikasi yang
berbeda dengan cara membuat kombinasi yang berbeda pada rantai
ringan dan berat pada bagian V. Cara menghasilkan keragaman ini
dikenal dengan istilah combinatorial diversity.
Ikatan Antibodi:Antigen
Pada penemuan awal adanya ikatan antigen dengan antibodi,
satu-satunya sumber antibodi monoklonal adalah sel tumor yang
mensekresi antibodi. Antigen yang menyebabkan sel tumor
mensekresi monoklonal antibodi masih belum diketahui, sehingga
banyak sekali senyawa yang harus disekrining untuk mengidentifikasi
ligan yang dapat digunakan untuk mempelajari ikatan antigen. Secara
umum substansi yang ditemukan berikatan dengan antibodi adalah
hapten seperti fosforilkolin atau vitamin K1. Analisis struktur antara
ikatan komplek antibodi dengan ligan hapten menjadi bukti langsung
yang pertama bahwa hipervariabel membentuk antigen binding site
(ABS), dan menunjukkan dasar struktural adanya spesifikasi antara
antibodi dengan hapten-nya. Setelah penemuan pembuatan
monoklonal antibodi, sekarang memungkinkan membuat monoklonal
antibodi dengan berbagai macam spesifikasi untuk suatu antigen.
Penemuan-penemuan itu dapat menjelaskan dengan detail bagaimana
antibodi berinteraksi dengan antigen. Permukaan molekul antibodi
yang terbentuk dari CDR rantai ringan dan berat yang berdampingan
memunculkan terjadinya ABS. Urutan asam amino pada CDR
berbeda pada antibodi yang berbeda, sehingga struktur ABS pun
berbeda pada setiap antibodi yang berbeda. Secara umum diketahui
bahwa antibodi akan mengikat ligan yang mempunyai permukaan
komplementer dengan molekul antibodi itu, khususnya dengan ABS.
Antigen kecil seperti hapten atau peptida pendek umumnya
menempati celah antara domain V dari rantai ringan dan berat pada
molekul antibodi. Antigen lain contohnya molekul protein yang
ukurannya sama atau lebih besar dari antibodi itu sendiri tidak dapat
menempati celah yang ada pada ABS. Dalam hal ini molekul
pembentuk ABS yaitu VL dan VH memperluas permukaan melibatkan
seluruh CDR dan dalam hal tertentu mengubah kerangka antibodi.
Antibodi Mengikat Permukaan Antigen.
Fungsi biologi antibodi adalah untuk mengikat patogen dan
produk yang dihasilkan patogen itu, dan untuk memfasilitasi
pembuangan material tersebut dari tubuh. Antibodi secara umum
mengenali bagian kecil saja dari molekul besar misalnya protein
maupun polisakarida. Struktur yang dikenali antibodi ini biasanya
disebut epitop atau antigenic determinant (AD). Beberapa patogen
mempunyai selubung polisakarida. Pengenalan antibodi terhadap
epitop yang berasal dari subunit gula sangat penting untuk melindungi
tubuh dari patogen itu. Banyak antigen yang berasal dari protein
dapat membangkitkan sistem imun yang menghasilkan antibodi.
Antibodi yang melawan virus mengenali protein selubung virus.
Dalam hal ini, struktur yang dikenali antibodi itu terletak pada
permukaan protein. Sisi yang dikenali antibodi itu tersusun dari asam
amino dari bagian yang berbeda pada rantai polipeptida itu. AD
seperti yang disebut di atas dikenal dengan istilah conformational atau
epitop diskontinyu, sebab struktur yang dikenali tersusun atas segmen
protein yang diskontinyu dalam urutan asam amino antigen namun
berada bersama pada struktur tiga dimensi. Sebaliknya epitop yang
tersusun oleh segmen tunggal rantai polipeptida disebut kontinyu atau
epitop liniar. Meskipun kebanyakan antibodi bekerja mengenali
antigen secara utuh, dan merupakan protein yang mengenali epitop
diskontinyu, namun beberapa hanya mengenali fragmen peptida
protein. Sebaliknya, antibodi yang bekerja pada peptida suatu protein
atau peptida sintetik yang mempunyai hubungan komplementer
dengan antibodi itu biasanya dapat berikatan dengan protein alami.
Sekarang telah mampu dibuat antibodi yang dibangkitkan dari peptida
sintetik dengan tujuan membuat vaksin untuk melawan patogen.
Interaksi Antigen-Antibodi Melibatkan Banyak Energi.
Interaksi antara antibodi dengan antigennya dapat diganggu
dengan konsentrasi asam yang tinggi, pH ekstrim, detergen, dan juga
oleh kompetisi epitopnya sendiri. Ikatan antibodi dengan antigen
bersifat reversibel dan ikatannya berbentuk non-kovalen. Interaksi
elektrostatik terjadi antara rantai asam amino bermuatan, sebagai
bentuk jembatan garam. Interaksi juga terjadi antara muatan listrik
yang mempunyai dua kutup berbeda, seperti pada ikatan hidrogen,
atau dapat melibatkan ikatan van der Waals. Konsentrasi garam yang
tinggi dan pH yang ekstrim dapat mengganggu ikatan antigenantibodi dengan cara melemahkan interaksi elektrostatik dan atau
melemahkan ikatan hidrogen. Pengetahuan ini diperoleh pada
pemurnian antigen menggunakan antibodi yang diikat pada kolom,
atau sebaliknya pemurnian antibodi. Interaksi hidrofobik terjadi
ketika dua permukaan hidrofobik ada secara bersama-sama untuk
menghindari air. Kekuatan interaksi hidrofobik sebanding dengan
daerah permukaan yang tersembunyi dari air. Untuk beberapa
antigen, interaksi hidrofobik dapat menggambarkan besarnya energi
ikatan. Dalam suatu hal, molekul air terperangkap pada kantungkantung pada bidang pemisah antara antigen dan antibodi. Molekul
air yang terperangkap itu berkontribusi pada terjadinya ikatan antigenantibodi, terutama antara kutup residu asam amino. Kontribusi energi
pada keseluruhan interaksi sangat tergantung dengan antibodi dan
antigen yang terlibat. Perbedaan yang menyolok antara interaksi
antibodi:antigen dan interaksi protein:protein yang lain adalah bahwa
antibodi mempunyai banyak asam amino aromatik pada ABS-nya,
sedangkan pada interaksi protein:protein yang lain tidak demikian.
Asam amino aromatik ini terutama berperan pada interaksi van der
Waals dan hidrofobik, dan terkadang berperan pada ikatan hidrogen.
Secara umum, ikatan van der Waals dan hidrofobik bekerja pada
kisaran yang sangat pendek dan berperan untuk menarik secara
bersama dua permukaan molekul yang saling komplementer satu
sama lain. Jika yang satu merupakan celah yang lain harus bentukan
pengisi celah itu agar terjadi ikatan yang cocok. Sebaliknya, interaksi
elektrostatik antara sisi rantai yang bermuatan, dan ikatan hidrogen
yang menghubungkan atom oksigen dan atau nitrogen
mengakomodasi sifat khusus atau menghasilkan gugus reaktif dan
menguatkan interaksi antigen:antibodi.
Ikatan
kovalen
Gaya
non- Asal
elektrostatik
Ikatan hidrogen
Gaya tarik antar muatan
yang berbeda
Hidrogen dipakai bersama
di
antara
atom
elektronegatif (N, O)
Gaya van der Fluktuasi awan elektron di
sekitar
molekul
Waals
mempolarisasi atom-atom
di dekatnya pada arah yang
berlawanan
Gaya hidrofobik Golongan
hidrofobik
berinteraksi sangat lemah
dengan air dan cenderung
untuk mengumpul dan
menolak molekul air. Gaya
tarik guga melibatkan gaya
van der Waals.
Gambar 27. Ikatan non-kovalen yang menggabungkan komplek
antigen:antibodi. Sebagian besar ikatan antigen:antibodi menggunakan tenaga
van der Waals. Ikatan kovalen tidak pernah terjadi antara antigen dengan
antibodi alami. Ikatan kovalen antigen:antibodi hanya terbentuk setelah adanya
modifikasi molekul antibodi.
Pada peristiwa ikatan lisozim dari putih telur dengan antibodi
D1.3, ikatan hidrogen yang kuat terbentuk antara antibodi dan
glutamin yang menjulur antara domain VH dan VL. Lisozim dari ayam
hutan dan burung kalkun mempunyai asam amino pada glutamin
dengan tempat yang berbeda dan tidak dapat berikatan dengan
antibodi D1.3. Pada komplek lisozim putih telur dengan antibodi
HyHe15, dua jembatan garam antara dua basa arginin pada
permukaan lisozim berinteraksi dengan asam glutamat, salah satu
asam glutamat itu berasal dari gulungan VHCDR1 dan CDR2.
Lisozim yang tidak mempunyai satu dari dua macam arginin
menunjukkan afinitas 1000 kali lebih rendah dari lisozim yang
mempunyai kedua-nya. Meskipun adanya komplementer memegang
peranan sangat penting pada interaksi antigen:antibodi, interaksi
elekstrostatik dan ikatan hidrogen nampaknya menjadi penentu
afinitas antibodi. Pada antibodi yang telah dipelajari dengan seksama
menunjukkan bahwa hanya sedikit residu yang dapat memberikan
kontribusi utama pada energi ikatan.
Analisis pada komplek antigen:antibodi menggunakan sinar X
–kristalografi
menunjukkan
bahwa
bagian
hipervariabel
(complementarity-determining regions) dari bagian V suatu imunoglobulin
menentukan spesifikasi antibodi. Molekul antibodi melakukan kontak
dengan antigen pada permukaan antigen yang membawa
komplementer antibodi itu. Interaksi elektrostatik, ikatan hidrogen,
gaya van der Waals, dan interaksi hidrofobik secara keseluruhan dapat
mendukung terjadinya ikatan antigen dan antibodi. Rantai asam
amino pada sebagian besar atau seluruh hipervariabel melakukan
kontak dengan antigen dan menentukan baik spesifikasi maupun
afinitas interaksi. Bagian lain dari V region memainkan peranan kecil
pada kontak langsung dengan antigen namun memberi kontribusi
atas stabilnya struktur kerangka hipervariabel di samping membantu
penentuan posisi dan konformasi hipervariabel itu. Antibodi
mengikat protein antigen pada permukaan protein melalui kontak
dengan residu yang diskontinyu pada struktur molekul protein
antigen itu. Antibodi juga dapat mengikat fragmen peptida yang
berasal dari digesti protein, sehingga dapat digunakan untuk
mendeteksi asal-usul protein. Peptida yang berikatan dengan antibodi
menempati celah di antara bagian V rantai ringan dan berat, dimana
peptida itu melakukan kontak dengan sebagian hipervariabel dan
tidak perlu seluruh hipervariabel terlibat. Model di atas juga berlaku
untuk mengikat antigen yang berupa karbohidrat dan molekul kecil
seperti hapten. Ikatan antibodi dengan antigen pada aspek biologi
mahluk hidup ditujukan untuk membantu eliminasi patogen yang
menginfeksi.
Pengenalan Antigen oleh Sel T.
Tidak seperti imunoglobulin yang dapat berinteraksi dengan
patogen dan juga bahan toksik yang dihasilkannya pada daerah
ekstraselluler, sel T hanya dapat mengenali antigen asing yang telah
dipresentasikan pada permukaan sel. Antigen itu dapat berasal dari
virus patogen atau bakteri intraselluler yang melakukan replikasi di
dalam sel. Antigen juga dapat berasal dari patogen atau produk dari
potogen yang telah diinternalisasi sel dengan mekanisme endositosis.
Sel T dapat mendeteksi adanya patogen intraselluler setelah sel yang
terinfeksi mempresentasikan fragmen peptida asing yang berasal dari
protein patogen. Peptida asing ini diangkat ke permukaan sel oleh
glikoprotein yang merupakan molekul khusus pada host yang
fungsinya telah terspesialisasi. Glikoprotein ini disandi oleh gen yang
sangat panjang yang pertama kali teridentifiaksi pada transplantasi
organ. Glikoprotein ini mempunyai efek sangat kuat pada reaksi
imunitas pada kasus transplantasi organ. Oleh karena itulah gen
penyandi itu dinamakan major histocompatibility complex (MHC),
dan glikoprotein yang mengikat peptida itu disebut molekul MHC.
Pengenalan antigen dalam bentuk fragmen peptida kecil yang terikat
oleh molekul MHC dan dipresentasikan pada permukaan sel
merupakan ciri khusus yang dimiliki sel T dan tidak pada sel B. Sel T
mempunyai reseptor (TCR~T cell receptor) yang sangat besar
variasinya sehingga sel T dapat diandalkan perannya dalam membantu
eliminasi berbagai macam patogen. Struktur gen yang menyandi TCR
mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan gen yang menyandi
molekul antibodi. Namun demikian ada perbedaan yang sangat
penting antara TCR dan imunogobulin yang terefleksi pada cara
pengenalan antigen oleh TCR, dan TCR tidak pernah menjadi
molekul efektor sebagaimana yang terjadi pada molekul
imunoglobulin.
Reseptor Antigen Sel T Mirip Fragmen Fab Pada Imunoglobulin.
Reseptor sel T pertama kali diidentifikasi dengan antibodi
monoklonal yang mengikat satu macam klon sel T dan tidak mengikat
klon yang lain. Antibodi itu dapat menghambat secara spesifik
pengenalan antigen oleh klon itu, atau antibodi itu secara spesifik
mengaktifkan klon tersebut. Antibodi dapat digunakan untuk
menentukan fungsi protein tertentu yang telah dibentuk dari hasil
ekspresi suatu gen. Dalam hal ini diketahui bahwa beberapa antibodi
dapat bersifat sebagai agonist, artinya ketika antibodi berikatan
dengan molekul targetnya akan terjadi perubahan konformasi pada
ikatan itu sehingga terbentuk signal transduksi yang mengaktifkan gen
sehingga terjadi transkripsi dan selanjutnya translasi. Contoh antibodi
agonist ini adalah anti-CD3. Ikatan anti-CD3 terhadap molekul CD3
dapat digunakan untuk mengaktifkan sel T, yaitu berperan mengganti
interaksi TCR dengan MHC:peptida, apabila peptida spesifik itu tidak
diketahui. Sebaliknya, antibodi dapat bersifat sebagai antagonist, yaitu
menghambat terjadinya ikatan reseptor dengan ligannya, karena
reseptor yang pada keadaan normal akan berikatan dengan ligannya
telah diblok oleh antibodi itu dengan ikatan yang spesifik. Ikatan
antibodi pada reseptor ini dapat menghambat fungsi alami
ligan:reseptor. Antibodi dengan berbagai macam sifat ini (clonotypic)
akhirnya dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa setiap sel T
mempunyai TCR kurang lebih sebanyak 30.000 molekul yang presis
sama pada permukaan sel. Setiap reseptor terdiri dari dua rantai
polipeptida yang berbeda yakni T-cell receptor α (TCRα) dan β (TCRβ)
yang dihubungkan dengan ikatan disulfida. Heterodimer α:β
mempunyai struktur yang sangat mirip dengan fragmen Fab molekul
imunoglobulin dan berperanan sebagai molekul pengenalan antigen
pada sebagian besar sel T. Ada grup kecil sel T yang memiliki
reseptor dengan rantai yang berbeda dengan heterodimer α:β. Rantai
tersebut berupa polipeptida yang ditandai dengan γ dan δ. Reseptor
sel T yang berupa γ:δ mempunyai sifat pengenalan antigen yang
berbeda dengan TCR α:β, dan fungsi sel T yang membawa reseptor
γ:δ belum semuanya diketahui. Pada buku ini istilah TCR terkait
dengan heterodimer α:β, kecuali secara khusus disebutkan γ:δ. TCR
mempunyai perbedaan dengan imunoglobulin yang ada pada
membran sel B. TCR hanya memiliki satu sisi ikat antigen, sedangkan
reseptor sel B (BCR, B-cell receptor) mempunyai dua sisi ikat antigen.
Perbedaan lain adalah bahwa TCR tidak pernah disekresikan
sedangkan BCR disekresikan dalam bentuk antibodi. Pengkajian
struktur dan fungsi TCR α:β berasal dari studi cDNA yang menyandi
rantai TCR α:β. Urutan asam amino yang diprediksi dari cDNA yang
menyandi TCR α:β menunjukkan dengan jelas bahwa kedua rantai α
dan β mempunyai bagian variabel (V) yang homolog dengan domain
V yang ada pada rantai imunoglobulin. Rantai α:β juga mempunyai
daerah konstan (C) yang homolog dengan domain C yang ada pada
rantai imunoglobulin di samping terdapat bagian hinge pendek yang
terdiri dari residu sistein penyusun ikatan disulfida. Setiap rantai α:β
menancap pada lipid bilayer dengan domain protein transmembran
yang bersifat hidrofobik dan rantai (ekor) yang menembus sampai
sitoplasma. TCR dalam bentuk tiga dimensi telah ditemukan. Struktur
TCR pada dasarnya sama dengan fragmen Fab pada molekul
antibodi. Lipatan rantai TCR mempunyai pola yang sama dengan
fragmen Fab pada imunoglobulin meskipun pada akhirnya
strukturnya nampak lebih pendek dan lebih luas. Namun ada
perbedaan pada TCR dengan fragmen Fab. Perbedaan yang paling
jelas antara keduanya bahwa pada TCR domain Cα tidak melipat
sebagaimana yang terjadi pada rantai imunoglobulin. Separuh domain
yang sejajar dengan domain Cβ membentuk alas β sama seperti yang
terdapat pada imunoglobulin, namun separuh domain yang lain
terbentuk dari gulungan yang renggang dan segmen α heliks yang
pendek. Ikatan disulfida intramolekul yang pada imunoglobulin
normalnya menggabungkan dua strand β, pada domain Cα
menggabungkan strand β pada segmen α heliks.
Infeksi.
Penyakit infeksi hanya akan terjadi apabila pertahanan
pertama (pertahanan innate) tidak dapat mengatasi patogen yang
masuk. Tubuh kita selalu terpapar oleh mikroorganisme yang berada
pada lingkungan kita di samping patogen yang telah ada di dalam
tubuh akibat infeksi sebelumnya. Sel-sel epitel baik eksternal maupun
internal merupakan tempat bertemunya agen penginfeksi pada tubuh
kita. Mukosa sepanjang saluran pernafasan merupakan jalan masuk
mikroorganisme akibat adanya kontaminasi udara yang kita hirup.
Mukosa pada saluran pencernakan merupakan jalan masuk
mikroorganisme yang berada pada makanan maupun air yang kita
minum. Adanya luka dan gigitan serangga memungkinkan terjadinya
penetrasi mikroorganisme melalui kulit. Demikian juga sentuhan
langsung antar individu juga memberikan peluang terjadinya infeksi
melalui kulit maupun alat reproduksi.
Rute masuk
Rute Infeksi Patogen
Cara
Ptogen
penyebaran
Penyakit
Partikel
Virus
terhidup oleh Influenza
Neisseria
pernafasan
Influenza
Meningococca
l meningitis
Permukaan Mukosa
Lintasan Udara
miningitidis
Sistem
pencernakan
Sistem reproduksi
Epitel eksternal
Permukaan luar
Luka dan lecet
Gigitan serangga
Air atau makanan
yang
terkontaminasi
Kontak fisik
Salmonela
typhi
Rotavirus
Treponema
palium
Tipus
Diarrhea
Kontak fisik
Lecet
kecil
kulit
Luka tertusuk
Menangani
hewan
terinfeksi
Gigitan
nyamuk (Aedes
aegypti)
Gigitan
serangga
Gigitan
nyamuk
(Anopheles)
Tinea pedis
Bacillus
anthracis
Clostridium
tetani
Pasteurella
tularensis
Flavivirus
Athlete’s foot
Anthrax
Tetanus
Tularemia
Borrelia
burgdorferi
Syphilis
Demam
kuning
Penyakit lyme
Malaria
Plamodium
spp
Gambar 28. Patogen dapat menginfeksi melalui berbagai macam rute.
Pada kenyataannya walaupun tubuh kita selalu terpapar oleh
berbagai macam mikroorganisme kejadian infeksi sangat jarang. Hal
ini menunjukkan bahwa sel-sel epitel tubuh merupakan penghalang
yang efektif terhadap masuknya mikroorganisme. Apabila sel-sel
epitel mengalami luka, sel-sel tersebut akan segera terganti dengan
cepat. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya terjadi penyakit
infeksi adalah berjalannya imunitas innate jika invader berhasil
menerobos masuk jaringan. Rendahnya terjadinya infeksi ini
menunjukkan betapa besar jumlah patogen yang tereliminasi setiap
saat pada tubuh kita. Apabila patogen yang berhasil masuk pada
tubuh kita sangat kuat atau sangat banyak akan memungkinkan
patahnya pertahanan innate dan akan terjadi infeksi yang bersifat
lokal dan selanjutnya bisa menyebar ke tempat lain. Penyebaran
patogen selalu menimbulkan respon inflamasi yang disertai
perekrutan sel-sel imunokompeten di samping molekul-molekul
efektor yang berguna untuk tujuan eliminasi patogen itu. Imunitas
innate yang diinduksi oleh suatu patogen akan berlangsung selama
beberapa hari dan dapat mulai bekerja beberapa menit setelah
patogen masuk, sedangkan imunitas adaptif akan dimulai saat antigen
dipresentasikan pada daerah limfoid periferal misalnya pada lymph
node dan spleen. Imunitas adaptif bersifat spesifik, artinya setiap
klone sel tertentu hanya bertanggung jawab pada satu macam antigen.
Imunitas adaptif merupakan pertahanan yang sangat penting karena
menyisakan sel-sel memori yang sangat berguna apabila pada waktu
yang berbeda terjadi infeksi lagi oleh patogen yang sama. Sel-sel
memori mempunyai respon yang sangat kuat dan cepat terhadap
invader yang pernah datang sebelumnya, sehingga mampu mengatasi
invader dalam jumlah yang besar.
Garis Pertahan Pertama.
Sel-sel epitel yang melapisi tubuh kita baik eksternal maupun
internal merupakan bagian yang sangat penting sebagai garis
pertahanan pertama. Sel-sel tersebut sebagai penghalang antara
lingkungan yang banyak mengandung patogen dengan jaringan yang
berada di bawah epitel itu. Sel-sel epitel satu dengan yang lain
dihubungkan oleh pengikat ”tight junction’ yang sangat kuat dan
rapat sehingga berfungsi sebagai penghalang yang kedap terhadap
lingkungan di luarnya. Sel epitel menyusun kulit dan seluruh organ
yang berongga (tubular), misalnya saluran pencernakan, saluran
pernafasan, dan saluran reproduksi. Infeksi hanya akan terjadi apabila
pertahanan pertama ini berhasil dipatahkan oleh agen patogen. Kulit
kita berupa permukaan yang kering dan memiliki keratin yang kedap
sehingga relatif kuat menghalangi masuknya agen-agen patogen. Pada
umumnya agen-agen patogen masuk dan menginfeksi tubuh melewati
epitel internal dan luka pada permukaan kulit. Pentingnya epitel
sebagai sistem pertahanan dapat dilihat dari kejadian luka bakar dan
luka operasi. Pada dua kejadian ini infeksi bahkan sepsis menjadi
penyebab utama mortalitas dan morbiditas (kematian dan
penderitaan). Dalam keadaan normal tanpa luka, pada umumnya
patogen menembus sel epitel dengan berikatan dengan molekul di
permukaan sel epitel internal. Ikatan yang spesifik antara patogen
dengan molekul yang ada di permukaan sel epitel internal
memungkinkan patogen menginfeksi sel epitel itu bahkan
merusaknya sehingga sel-sel epitel sebagai pertahanan pertama dapat
dijebol. Pada patogen yang telah membuat koloni, ikatan patogen
dengan molekul permukaan sel epitel mencegah tersapunya patogen
baik oleh udara maupun cairan yang melewati permukaan epitel itu.
Sel-sel epitel internal dikenal dengan dengan sebutan mucosal epitelia
sebab sel-sel tersebut mensekresikan mucus yaitu suatu cairan yang
kental dan lengket. Mucus mengandung bermacam-macam
glikoprotein yang disebut mucin. Pada dasarnya kesempatan
mikroorganisme untuk mengadakan penetrasi pada epitel internal ini
sangat kecil karena mucus akan menyelubungi mikroorganisme itu,
dan pada saluran pernafasan mikroorganisme dapat disapu oleh
mucus yang digerakkan dengan kuat oleh silia sel epitel. Diri kita telah
didesain sangat sempurna oleh Allah, Tuhan seluruh makhluk. Hanya
orang yang paling celaka yang mengingkari desain yang teramat
sempurna ini. Bersin merupakan satu contoh agar mikroorganisme
yang berada di permukaan epitel internal tidak berhasil mengadakan
penetrasi melalui ikatan molekul permukaan. Kontraksi mendadak
pada proses bersin akan memukul keluar atau melepaskan
mikroorganisme yang berusaha mengadakan ikatan dengan sel epitel
internal. Pentingnya cairan mucus dalam membersihkan agen-agen
penginfeksi dapat diketahui pada individu yang kehilangan
kemampuan memproduksi mucus maupun lemahnya pergerakan silia.
Individu semacam itu akan menunjukkan fakta mudahnya terjadi
infeksi pada paru-paru oleh bakteri yang mengadakan koloni pada
permukaan sel-sel epitel. Pada usus gerakan peristaltik tidak saja
penting untuk menggerakkan makanan namun juga untuk
menghindari ikatan mikroorganisme secara konstan dan bahkan
menggiring agen-agen penginfeksi keluar. Apabila gerakan peristaltik
ini sangat lemah bakteri pada daerah lumen akan mengalami
perkembangan sangat pesat dan memperbesar peluang terjadinya
infeksi pada saluran pencernakan. Permukaan sel epitel tidak saja
merupakan penghalang fisik bagi agen-agen penginfeksi, namun selsel tersebut juga mensekresi substansi kimia yang bersifat
antimikrobia atau mampu menghambat perkembangan bakteri.
Enzim lisosom merupakan enzim antibakteri yang disekresi oleh
kelenjar salifa dan kelenjar air mata. Lambung yang mempunyai
kondisi keasaman dengan pH yang sangat rendah demikian juga alat
pencernakan bagian atas dapat dijadikan penghalang terjadinya suatu
infeksi. Sel Paneth yang terletak pada dasar crypt pada usus halus
menghasilkan antibakteri dan anti jamur yaitu cryptidin atau αdefensin. Sel Paneth tepatnya berada di bawah epihlelial stem cells.
Antimikrobia lain yang berupa peptida, β-defensins, dibuat pada
epitel lain, terutama pada kulit dan sepanjang saluran pernafasan.
Peptida antimikrobia mempunyai peranan pada sistem pertahanan,
termasuk imunitas pada gigitan serangga. Peptida-peptida yang
disebut di atas umumnya bersifat kation yang dapat membunuh
bakteri dengan merusak membran sel. Tipe antimikrobia lain dapat
berupa protein yang disekresi ke dalam cairan yang melapisi
permukaan epitel pada paru-paru. Cairan tersebut berisi dua macam
protein yakni protein A dan D yang mampu berikatan dan melingkupi
patogen. Pengikatan dan pelingkupan patogen tersebut memudahkan
kerja makrofag untuk memfagositnya. Makrofag umumnya
meninggalkan jaringan subepitelial dan masuk alveoli paru-paru.
Penyelubungan partikel dengan protein untuk memfasilitasi proses
fagositosis disebut opsonisasi. Selain pertahanan yang telah disebutkan
sebelumnya, kebanyakan permukaan epitelial bersentuhan dengan
flora non-patogen yang berkompetisi dengan mikroorganisme
patogen dalam perolehan nutrisi maupun domisili pada permukaan
sel. Flora normal dapat menghasilkan zat antimikrobia seperti
colicins berupa protein yang diproduksi oleh Escherichia coli. Colicins
melindungi permukaan sel dari pembentukan koloni oleh bakteri lain.
Apabila bakteri non-patogen mati akibat pengaruh antibiotika, maka
bakteri patogen akan menggantikan posisinya dan menimbulkan
penyakit.
Fagositosis.
Makrofag akan segera mengenali mikroorganisme yang
berhasil menembus epitel. Makrofag umumnya menempati jaringanjaringan dan segera mengeliminasi mikroorganisme yang berusaha
mengadakan penggandaan. Makrofag merupakan bentuk dewasa
monosit yang meninggalkan sirkulasi darah dan menempati jaringanjaringan di seluruh tubuh. Makrofag ditemukan dalam jumlah yang
banyak pada jaringan-jaringan pengikat, terutama pada alat
pencernakan, interstitium dan alveoli paru-paru, sepanjang pembuluh
darah tertentu pada hati yang dikenal dengan nama sel Kupffer, pada
seluruh jaringan limpa yang berperan untuk menghancurkan sel darah
yang sudah tua. Makrofag dikenal sebagai fagosit mononuklear.
Fagosit kedua yang sangat penting adalah neutrofil. Neutrofil
merupakan fagosit polimorfonuklear yang mempunyai umur pendek
dan sangat besar jumlahnya pada darah namun tidak ditemukan pada
jaringan individu normal. Baik makrofag maupun neutrofil keduaduanya sangat penting pada imunitas innate karena keduanya dapat
melakukan pengenalan nonspesifik, menelan, dan menghancurkan
patogen tanpa memerlukan bantuan sistem imunitas adaptif.
Makrofag merupakan sel pertahanan yang pertama kali bertemu
antigen pada suatu jaringan namun segera diperkuat dengan
rekrutmen neutrofil dalam jumlah besar pada sisi infeksi.
Makrofag dan neutrofil mengenali patogen dengan
menggunakan reseptor pada permukaan sel yang dapat membedakan
antara antigen asing dan self-antigen. Reseptor mannosa yang
terdapat pada makrofag tidak terdapat pada monosit atau neutrofil.
Reseptor scavenger yang mengikat ligan-ligan bermuatan dan CD14
yang merupakan reseptor lipopolysacharide (LPS) bakteri ditemukan
baik pada makrofag maupun monosit. Patogen dapat berinteraksi
dengan makrofag dan neutrofil melalui reseptor komplemen yang
berada pada kedua sel tersebut. Sistem komplemen dapat teraktivasi
dengan cepat oleh adanya infeksi dan membentuk protein
komplemen yang berfungsi mengopsonisasi patogen yang masuk
jaringan. Ligasi reseptor permukaan yang berada pada permukaan sel
fogosit dengan patogen menyebabkan terjadinya proses fagositosis
yang diikuti kematian patogen akibat reaksi enzim proteolitik.
Fagositosis merupakan proses aktif, dimana patogen yang terikat
segera dikelilingi oleh membran sel fagosit dengan penjuluran
sitoplasma dan segera diinternalisasi ke dalam vesikel bermembran
yang disebut fagosom. Di samping bersifat fagosit makrofag dan
neutrofil mempunyai granula lisosom yang berisi enzim, protein, dan
peptida yang memperantarai respon antimikrobia intraselluler.
Fagosom dapat mengadakan fusi dengan beberapa lisosom
membentuk fagolisosom. Pada fagolisosom ini kandungan lisosom
dikeluarkan untuk menghancurkan patogen. Selama proses
fagositosis, makrofag dan neutrofil menghasilkan molekul toksik
untuk membantu pembunuhan mikroorganisme yang ditelan oleh selsel tersebut. Molekul toksik yang paling penting adalah hidrogen
peroksida (H2O2), anion superoxide (O2-), dan nitric oxide (NO), yang
langsung meracuni bakteri. Produk-produk toksik tersebut dihasilkan
oleh oksidasi NADPH yang berada pada lisosom dan enzim lain
melalui proses yang disebut respiratory burst. Peristiwa ini diikuti
dengan melonjaknya konsumsi oksigen. Neutrofil merupakan sel yang
mempunyai umur pendek, dan segera mati setelah melakukan
fagositosis. Neutrofil yang mati ini merupakan bagian terbesar pada
nanah yang terbentuk selama infeksi. Sebaliknya makrofag,
merupakan sel yang mempunyai masa hidup panjang dan selalu
membentuk lisosom baru setelah menyelesaikan fagositosis.
Seseorang yang cacat genetik dimana tidak mempunyai kemampuan
mengoksidasi NADPH maka sel fagosit orang tersebut tidak dapat
membentuk zat toksik/racun yang berasal dari modifikasi oksigen.
Sebagai konsekuensinya sel fagosit tidak mampu membunuh
mikroorganisme yang ditelan dan tidak dapat mengeliminasi patogen.
Seseorang dengan kondisi genetik tersebut sangat rentan pada infeksi
baik bakteri maupun jamur, terutama pada bayi. Makrofag dapat
merespon dengan cepat mikroorganisme yang masuk, dan hal ini
sangat penting untuk menghindari menetapnya patogen. Sejak awal
perkembangan imunologi para ilmuwan percaya bahwa makrofag
berperan pada setiap sitem pertahanan. Saat ini lebih jelas bahwa
invertebrata seperti bintang laut hanya menggunakan makrofag
sebagai sistem pertahanan untuk melawan infeksi. Walaupun kejadian
yang ada pada invertebrata bukan permasalahan pada manusia
maupun vertebrata lain, namun membuktikan bahwa makrofag
merupakan respon innate yang menjadi pertahanan paling depan
untuk mengatasi invasi mikroorganisme pada suatu individu.
Mekanisme
Asidifikasi
Produk spesifik
pH= ~3.5 -4.0, bakteriostatik atau
bakteriosida
Produk toksik yang Superoksida O2-, hidrogen peroksida H2O2,
berasal dari oksigen
oksigen singlet 1 O •2 , radikal hidroksil OH • ,
OCl hipohalit
Nitrogen
oksida Oksida nitrit NO
toksik
Peptida antimikrobia Protein defensin dan kationik
Enzimatis
Lisozime yang melarutkan dinding sel
beberapa bakteri gram positif. Asam
hidrolase, menghancurkan bakteri
Kompetitor
Lactoferrin (mengikat Fe) dan protein yang
mengikat vitamin B12
Gambar 29. Agen anti bakteri (bakteriosida) diproduksi atau dilepaskan
oleh sel fagosit pada waktu mencerna mikroorganisme. Sebagian besar
agen bakteriosida dihasilkan oleh makrofag dan neutrofil. Beberapa agen
bakteriosida bersifat toksik, sedangkan yang lain contohnya lactoferrin, bekerja
dengan cara mengikat nutrisi essensial dan mencegah nutrien itu dikonsumsi
bakteri. Beberapa substansi dapat dilepaskan sel fagosit dan berinteraksi dengan
larva cacing parasit yang telah diselubungi antibodi dan juga berinteraksi dengan
jaringan host. Karena agen tersebut mampu berinteraksi dengan sel host dan
juga memberi efek toksik pada jaringan host, aktivasi sel fagosit dapat
menimbulkan kerusakan pada jaringan host selama proses infeksi.
Sifat utama yang membedakan mikroorganisme patogen
dengan non-patogen adalah kemampuannya menghadapi pertahanan
innate. Mikroorganisme patogen telah mengembangkan strategi untuk
menghindari penghancuran oleh makrofag. Banyak bakteri patogen
melindungi dirinya dengan kapsul tebal berupa polisakarida yang tidak
dikenal oleh reseptor fagosit. Mycobacteria mempunyai strategi untuk
hidup di dalam fagosom makrofag dengan cara menghalangi fusi
fagosom-lisosom. Apabila strategi untuk menghindari imunitas inate
tidak dimiliki oleh bakteri maka bakteri harus masuk ke dalam tubuh
dalam jumlah yang banyak untuk terjadinya infeksi. Hal yang sangat
penting jika terjadi interaksi makrofag dengan bakteri adalah
terjadinya aktivasi makrofag untuk mensekresi sitokin dan mediator
lain yang menginisiasi proses inflamasi. Patogen menjadi penyebab
terjadinya sekresi sitokin dengan adanya signal yang merambat dari
ikatan reseptor pada sel fagosit dengan antigen. Reseptor yang
memberikan signal adanya antigen dan menyebabkan sekresi sitokin
itu juga penting untuk membangkitkan ekspresi molekul kostimulator
pada makrofag dan sel dendritik. Sel dendritik termasuk sel fagosit
yang berada pada jaringan. Terekspresinya molekul kostimulator
memudahkan inisiasi imunitas adaptif. Sitokin yang dihasilkan
makrofag mempunyai kontribusi penting pada inflamasi lokal dan
respon imun non-adaptif beberapa hari setelah terjadinya infeksi.
Inflamasi.
Inflamasi merupakan kejadian penting pada sistem
pertahanan tubuh. Inflamasi mempunyai tiga peranan penting untuk
melawan infeksi. Pertama, inflamasi membantu rekrutmen molekulmolekul efektor dan sel-sel imunokompeten pada daerah yang
terinfeksi, sehingga memperbesar daya bunuh makrofag terhadap
mikroorganisme invader. Molekul efektor dapat berupa sitokin,
komplemen, maupun antibodi. Adanya molekul efektor terutama
antibodi dan komplemen akan mengefektifkan kerja sel fagosit
khususnya makrofag. Kedua, sebagai penghalang penyebaran infeksi,
dan ketiga untuk memacu perbaikan jaringan yang luka. Inflamasi
pada daerah infeksi dimulai dengan adanya respon makrofag terhadap
patogen. Inflamasi mempunyai ciri-cri antara lain: rasa sakit,
kemerahan, panas, dan membengkak pada daerah infeksi. Kejadian
tersebut merupakan refleksi tiga perubahan pembuluh darah pada
daerah yang terinfeksi itu. Pertama, bertambah besarnya diameter
vascular, sehingga meningkatkan aliran darah di daerah itu.
Berhubungan dengan membesarnya diameter vaskuler dan aliran
darah yang cepat menyebabkan panas dan kemerahan. Kejadian ini
akan menurunkan kecepatan aliran darah pada pembuluh darah kecil.
Kedua meningkatnya ekspresi molekul adhesi pada sel endotel
pembuluh darah. Peningkatan ekspresi molekul adhesi pada sel-sel
endotel memudahkan melekatnya sel-sel leukosit menempel pada
dinding-dinding endotel. Kombinasi antara ekspresi molekul adhesi
dan lambatnya aliran darah pada pembuluh kecil memberi
kesempatan leukosit menempel pada sel endotel dan bermigrasi
masuk jaringan yang terinfeksi, proses ini dikenal dengan extravasation.
Semua perubahan tersebut dimulai oleh sitokin yang diproduksi oleh
makrofag yang mengalami aktivasi. Apabila inflamasi telah terjadi, sel
yang pertama kali terekrut ke daerah inflamasi adalah neutrofil.
Neutrofil diikuti oleh monosit, dan setelah berada di dalam jaringan,
monosit akan segera berdiferensiasi menjadi makrofag. Pada tahap
berikutnya sel darah putih yang lain seperti eosinofil dan sel-sel
limfosit juga masuk ke daerah yang terinfeksi. Perubahan ketiga pada
pembuluh darah di daerah infeksi adalah peningkatan permeabilitas
vaskuler. Pada kejadian ini sel-sel endotel tidak lagi saling berikatan
kuat satu sama lain, melainkan saling renggang satu sama lain
sehingga cairan dan protein dalam darah akan keluar pembuluh dan
terakumulasi pada jaringan. Hal ini menimbulkan bengkak (adema),
rasa sakit, dan terjadi akumulasi protein plasma yang membantu
sistem pertahanan. Perubahan di atas diinduksi oleh berbagai faktor
inflamasi yang diproduksi akibat pengenalan suatu patogen. Di antara
faktor inflamasi itu ada yang berupa lipid yang dibentuk oleh
makrofag dengan cara degradasi membran fosfolipid. Degradasi
membran lipid dilakukan dengan mekanisme enzimatis. Lipid
tersebut meliputi leukotrienes, prostagladins, dan platelet activating factor
(PAF). Kerja lipid yang memacu inflamsi segera diikuti oleh sitokin
dan kemokin yang disintesis dan disekresi makrofag yang teraktivasi
oleh patogen. Salah satu sitokin yang diproduksi makrofag adalah
tumor-necosis factor-α (TNF- α) yang sangat penting peranannya
sebagai aktivator sel endotel. Pengenalan patogen juga memicu
terjadinya inflamasi melalui jalur komplemen. Salah satu substansi
penting yang dihasilkan setelah reaksi komplemen adalah C5a. C5a
merupakan peptida yang memperantarai terjadinya inflamasi dengan
berbagai macam aktivitas. C5a selain meningkatkan permeabilitas
vasculer dan ekspresi molekul adhesi juga berfungsi sebagai
chemoattractant untuk menarik neutrofil dan monosit, serta
mengaktifkan sel mast dan fagositosis. Pengaruh C5a terhadap sel-sel
tersebut mengakibatkan terjadinya pelepasan granula yang berisi
histamin dan TNF- α yang merupakan molekul penting pada proses
inflamasi. Apabila terjadi luka, maka pembuluh darah yang terluka
akan memicu dua sistem proteksi enzimatis. Pertama, sistem kinin,
yaitu sistem enzimatis pada protein plasma yang dipicu oleh
kerusakan jaringan sehingga terbentuk berapa mediator inflamasi
termasuk bradykinin yang merupakan vasoaktif peptida. Bradykinin
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran vaskuler dan
menyebabkan influx/aliran protein plasma pada daerah yang terluka.
Kerja bradykinin juga menyebabkan rasa sakit, sehingga penderita
merasa tidak nyaman, dan bahkan menyebabkan bagian tubuh sulit
untuk digerakkan. Keadaan ini penting untuk menjaga agar
penyebaran agen penginfeksi dapat dibatasi. Kedua, sistem koagulasi,
yaitu sistem enzimatis pada enzim plasma yang dipicu oleh kerusakan
pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penggumpalan
yang dapat menghalangi masuknya mikroorganisme ke dalam aliran
darah. Dua sistem di atas sangat penting pada respon inflamasi
terhadap patogen meskipun tidak terjadi luka pada jaringan, sebab
keduanya juga terpicu oleh aktivasi sel endotel. Dalam hitungan menit
setelah terjadinya penetrasi patogen pada jaringan, akan segera terjadi
respon inflamasi yang menyebabkan terjadinya aliran protein dan sel
yang berguna untuk mengontrol infeksi. Respon inflamasi itu juga
merupakan penghalang langsung bagi penyebaran infeksi dan
membuat host menyadari kejadian yang sedang berlangsung pada
tubuh.
KUIS
1. Apakah perbedaan imunotas adaptif dan imunitas innate?
2. Mengapa manusia maupun hewan bisa sakit padahal sistem
imunitas sangat komplit?
3. Pada kasus tertentu bakteri yang ditelan makrofag tidak dapat
dihancurkan. Jelaskan mengapa makrofag pada kasus ini tidak
bekerja efektif dan mekanisme mana yang dilakukan tubuh
untuk membantu aktivitas makrofag?
DAFTAR BACAAN
1. Abbas, A.K dan A.H. Litchman. 2005. Cellular and Molecular
Immunology. Elsevier Saunder. Philadelphia.
2. Clark, M. 2000. Antibody Humanisation for Therapeutic
Application. http://www.path.cam.ac uk
/~mrc7/humanisation/TAHHP.html. Tanggal akses 17 Juli
2009
3. E Zwick, J Bange and A Ullrich. 2001. Receptor Tirosin
kinase signalling as a target for cancer intervention strategies.
Endocrine-Related Cancer (2001) 8 161–173.
4. Janeway, C.A, Travers, P., Walport, M., Shlomchik, M. 2001.
The immune system in health and disease., Garland
Publishing.
5. Kontermann, R and S. Dubel. 2001. Antibody Engineering.
Springer-Verlag Publisher. Singapore
6. Lodish, H. et al. 2004. Molecular Cell Biology Fifth Edition.
W.H. Freeman and Company. New York.
7. Manes, G., P. Bello dan S. Roche. 1999. Negative regulation
of cytoplasmic protein Tirosin kinase activity by adaptor
proteins. Gene Ther Mol Biol Vol 4, 417-424.
8. Paul, W.E. 2003. Fundamental Immunology. Lippincot
Williams and Wilkins Publisher. New york
9. Zola, H. 2000. Monoclonal Antibodies. Springer-Verlag
Publisher. Singapore.
Kata Pengantar
Atas berkat rahmat Allah SWT, saya telah berhasil
menyelesaikan buku ajar yang berjudul Siknal Transduksi dan Sistem
Pertahanan Tubuh. Buku ajar ini merupakan bagian dari sub topik
bahasan dalam ilmu Fisiologi yang disampaikan pada kuliah
mahasiswa S1 di Jurusan Biologi Universitas Brawijaya.
Buku ajar ini disusun untuk membantu mahasiswa memahami
beberapa pokok bahasan fisiologi yang terkait dengan sistem
transduksi sel dan sistem pertahanan. Khususnya topik hahasan
tentang sistem pertahanan tubuh akan dibahas secara tuntas pada
matakuliah imunologi. Untuk itu bagi mahasiswa yang tertarik dengan
ilmu imunologi disarankan setelah mengambil matakuliah fisiologi ini
untuk memperdalam kajian sistem pertahanan tubuh pada matakuliah
imunologi.
Buku ajar
ini akan terus disempurnakan mengingat
perkembangan ilmu pengetahuan sangat dinamis. Kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan
materi di dalamnya.
Malang, 2009
Penulis
DAFTAR ISI
1. Kata Pengantar............................... ........................................................i
2. Daftar Isi.................................................................................................ii
3. BAB I. Reseptor Tirosin Kinase dan Transforming Growth
Factor β...................................................................................................1
Transforming Growth Factor β (TGF-β)............... ..........................1
Pembentukan TGF-β ...........................................................................3
Aktivasi TGF-β oleh Faktor Transkripsi Smads…..........................4
Peran TGF-β pada Tumor……..........................................................9
Fungsi TGF-β Pada Apoptosis.........................................................10
Peran Ganda TGF-β1 Dalam Apoptosis.........................................11
Peran TGF-β pada Jantung................................................................11
Peran TGF-β pada Sindrom Marfan...............................................12
Aktivasi Reseptor TGF-β-1...............................................................13
Hilangnya TGF-β signaling berperan atas proliferasi sel..............15
Gangguan Yang Berhubungan Dengan Aktivasi TGF-β signal...16
Efek pada FKBP12 RI........................................................................18
Fosforilasi Smad…….........................................................................18
TGF-β dan Smad.................................................................................19
Jalur signaling TGF-β.........................................................................23
Perekrutan dan Fosforilasi Reseptor................................................24
Transkripsi…...…………………………………………….......26
Mekanisme Regulasi...........................................................................27
Reseptor Regulasi…….....………………………..………...….28
Peran Smad Inhibitor…………………………………………28
Protein Kinase……………………………………...……….....30
Aktivasi Kimia……………...………….......…………….…….31
Genetika dan Struktur………………………………...…...…...34
Protein Kinase C…………………………………………...….37
Tirosin Kinase………………....…………………………...….38
Struktur………………………………………...…………...…39
Reseptor TGF-β…………………………………………….....40
4. BAB II. Reseptor Tirosin Kinase dan Aktivasi RAS.....................42
Reseptor Tirosin Kinase.....................................................................42
Ras, GTPase Switch Protein…………………………..………46
Protein adapter dan Guanine Nucleutide-Exchange Factor
menghubungkan Ras dengan RTK yang teraktivasi…........…….47
5. BAB III. G-Protein dan Second Messenger...................................52
Reseptor G-protein.............................................................................52
Second Messenger...............................................................................53
Reseptor G-protein Mengaktifkan Adenilat Siklase.......................55
G-protein Reseptor Mengaktifkan Fosfolipase C..........................57
Aktivasi Protein G...............................................................................61
Adenilat Siklase....................................................................................63
Fosfolipase............................................................................................64
Protein Kinase dan Protein Fosfatase..............................................65
Pengaktivan Protein Kinase Oleh cAMP........................................65
cGMP sebagai Second Messenger...................................................66
Ca2+ Sebagai Second Messenger.....................................................66
6. BAB IV. Pertahanan Tubuh..............................................................68
Pengenalan Antigen oleh Sel B dan T..............................................70
Struktur Molekul Antibodi.................................................................72
Antibodi IgG Terdiri Dari Empat Rantai Polipeptida...................72
Imunoglobulin Tersusun atas Bagian Konstan dan Variabel.......74
Antibodi Dapat Dipecah Menjadi Fragmen Yang Tidak
Kehilangan Fungsi...............................................................................74
Imunoglobulin Bersifat Fleksibel Utamanya Pada Daerah
Hinge.....................................................................................................76
Domain Molekul Imunoglobulin Mempunyai Struktur Yang
Mirip................................................................................................................77
Interaksi Antibodi dengan Antigen..................................................78
Ikatan Antibodi:Antigen ...................................................................79
Antibodi Mengikat Permukaan Antigen..........................................80
Interaksi Antigen-antibodi Melibatkan Banyak Energi.................81
Pengenalan Antigen oleh Sel T.........................................................84
Reseptor Antigen Sel T Mirip Fragmen Fab Pada
Imunoglobulin.................................................................................... 84
Infeksi....................................................................................................86
Garis Pertahanan Pertama.................................................................88
Fagositosis............................................................................................91
Inflamasi...............................................................................................94
Daftar Bacaan......................................................................................97
Buku Ajar Fisiologi MAB4232
SIGNAL TRANSDUKSI DAN SISTEM
PERTAHANAN TUBUH
oleh
Muhaimin Rifa’i, PhD.Med.Sc
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2009
Fisiologi Hewan
S
ignal Transduksi &
S
istem Pertahanan Tubuh
MUHAIMIN RIFA’I
Fisiologi Hewan
Untuk Mahasiswa Biologi
S
ignal Transduksi &
S
istem Pertahanan Tubuh
Signal Transduksi dan Sistem Petahanan Tubuh
Muhaimin Rifa’i
Edisi Pertama
Diterbitkan oleh:
Galaxy Science
Jl. Kamelia 21, Malang, 65145
Telp: 0341-3140691
Email: [email protected]
ISBN: 978-602-97628-2-2
Editor : Widodo, PhD.Med.Sc dan Dr. M. Sasmito Djati
Tata Isi : Dr. Eng. Agus Naba
Desain Sampul: Kalvin
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau
memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun,
secara elektronis maupun mekanis, termasuk fotokopi, merekam, atau dengan
teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertullis penerbit.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII
Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6).
1.
2.
3.
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp. 1000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidanan penjara paling lama
7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5000.000.000 (lima miliar
rupiah)
Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak
Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal
55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau
denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Fisiologi Hewan
Untuk Mahasiswa Biologi
Signal Transduksi & Sistem
Pertahanan Tubuh
ANIMAL PHYSIOLOGY-LECTURES
(Undergraduate: Biology; MAB 4232)
Even Semester 2010/2011
Day: Monday
Room: MP2.3
Time:07.30-10.10
NO
Date
Topic
Sub Topic
Method
Lecturer
1
22.02.2010
Introduction to
the study of
body function,
chemical and
genetic control
in the cells.
The Primary Tissues,
organ and systems,
chemical composition
of the body, cell
structure and genetic
control, signal
transduction
Presentation
and
discussion
MR
2
01.03. 2010
The Immune
system
Defense mechanisms. Quiz,
MR
Presentation
Function of B and T
and discussion
cells. Active and
passive immunity.
Auto-immune diseases
3
08.03. 2010
Regulation of
metabolism
Presentation
Nutritional and
SR
and discussion
requirements.
Regulation of energy
metabolism. Energy
regulation by the islets
of langerhans.
Diabetes mellitus and
hypoglycemia.
4
15.03. 2010
Regulation of
metabolism
Metabolic regulation
by adrenal hormones,
thyroxine and growth
hormone. Regulation
of calcium and
phosphate balance.
Thermo regulation.
Presentation
SR
and discussion
5
22.03. 2010
Reproduction
Sexual reproduction.
Endocrine regulation
of reproduction. Male
reproduction system.
Female reproduction
system. Menstrual
Quiz,
SR
Presentation
and discussion
cycle. Fertilization,
pregnancy and
parturition.
6
29.03. 2010
Endocrine Gland
(secretion and
action of the
hormones)
Endocrine glands and Presentation
MSD
hormones. Mechanism and discussion
of hormone action.
Pituitary gland.
Adrenal glands.
Thyroid and
parathyroid glands.
Pancreas and other
endocrine glands.
Autocrine and
paracrine regulation
7
05.04. 2010
The digestive
system
Quiz,
Introduction to the
MSD
digestive system. From Presentation
and discussion
mouth to stomach.
Small intestine. Large
intestine. Liver,
gallbladder and
pancreas. Neural and
endocrine regulation
of digestive system.
Digestion and
absorption of
carbohydrates, lipids
and proteins.
8
12.04. 2010
Middle
Examination
Topics 1 to 7
9
19.04. 2010
Hearth,
circulation and
blood pressure
Functions and
components of the
circulatory system.
Composition of the
blood. Acid-base
balance of the blood.
Cardiac cycle and
hearth sounds.
Electrical activity of
the heart. Blood
vessels.
Atherosclerosis and
cardiac arrhythmias.
Cardiac output. Blood
volume. Blood flow to
the heart. Blood flow
Presentation
APWM
and discussion
to the brain and skin.
Blood pressure.
Hypertension, shock
and heart failure.
10
26.04 .2010
Osmoregulation
and Excretion
system (in
aquatic and
terrestrial
animals)
11
03.05. 2010
Cell Respiration, Control of enzyme
metabolism and activity, glycolysis and
bioenergetics
lactic acid, Aerobic
Respiration. Lipid and
protein metabolism
12
10.05.2010
Respiratory
physiology
Presentation
Physical aspects of
SP
ventilation. Mechanics and discussion
of breathing. Gas
exchange in the lungs.
Regulation of
breathing. Hemoglobin
and oxygen transport.
Carbon dioxide
transport and acidbase balance. Effect of
exercise and high
altitude on respiratory
function
13
17.05.2010
Muscle
(mechanisms of
contraction and
neural control)
Skeletal muscle.
Mechanism of
contraction.
Contractions of
skeletal muscles.
Energy Requirements
of skeletal muscles.
Energy requirements
of skeletal muscles.
Neural control of
skeletal muscles.
Cardiac and smooth
muscles
Living in water.
Adaption in high salt
water.
Glomerular filtration.
Reabsorption of salt
and water. Renal
plasma clearance.
Renal control of
electrolyte and acidbase balance.
Presentation
APWM
and discussion
Presentation
APWM
and discussion
Presentation
SP
and discussion
14
24.05. 2010
sensory
physiology
Characteristic of
sensory receptors.
Cutaneous sensation.
Taste and smell. The
ears and hearing. The
eyes and vision.
Neural processing of
visual information
15
31.05. 2010
The Nervous
system,
peripheral and
central nervous
systems.
Presentation
Neuron and
W
and discussion
supporting cells.
Electrical activity in
axon. The synapse.
Neurotransmitter.
Structure organization
of the brain
16
07.06. 2010
The Autonomic
Nervous system
and sensory
physiology
Neural control of
involuntary Effector,
Division of the
Autonomic Nervous
system. Function of
the autonomic
nervous system.
Faculty
schedule
Final
Examination
Topics 8 to 16
MR: Muhaimin Rifai, PhD.Med.Sc
SP : Drs. H. Sofy Permana, M.Sc., D.Sc.
W : Widodo, Ph.D Med. Sc.
SR :Dr. Sri Rahayu, M. Kes.
MSD: Dr.Ir. Mochamad Sasmito Djati, MS
Koordinator Kuliah
APWM: Dr. Agung Pramana Warih M
Presentation
W
and discussion
Quiz,
W
Presentation
and discussion
TEAM
Koordinator Matakuliah
Muhaimin Rifa’i, PhD.Med.Sc
Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP)
Judul Mata Kuliah : Fisiologi Hewan
Kode Mata Kuliah : MAB4232
Dosen
: Muhaimin Rifa’i, SSi, PhD.Med.Sc, Dr. M. Samito
Djati, Dr. Sri Rahayu, Dr. Agung Pramana W M, Sofy
Permana, D.Sc, Widoo, SSi, PhD.Med.Sc
Deskripsi Singkat :Pada matakuliah ini akan disampaikan pengertian
tentang metabolisme, permeabilitas dan transport,
proses pencernaan dan absorpsi, mekanisme
pernafasan, transport oksigen dan karbon dioksida,
komposisi dan fungsi darah, jantung dan kerja
jantung, tekanan darah dan aliran darah,
osmoregulasai dan ekskresi pada hewan akuatik dan
terestrial, termoregulasi, sel saraf, impuls saraf,
konsep sinapsis, neurotransmiter, otot dan gerak,
struktur yang berperan dalam kontraksi otot, peran
Ca dalam kontraksi, hormon dan fungsinya, arti
fisiologi dalam kehidupan mamalia, jaringan skeletal
dan otot dalam membangkitkan kontraktilitas dan
pergerakan, nutrisi, food intake, digestif, absorbsi,
sirkulasi, persyaratan makanan, respirasi, proses dan
kebutuhan respirasi, mekanisme tercapainya regulasi
dalam tubuh hewan, respek interaksi dengan
lingkungan luar, dan saraf otak serta panca indera.
Tujuan Instruksional Umum: Setelah menempuh mataluliah Fisiolagi Hewan,
mahasiswa mampu menjelaskan dan menganalisis
fenomena fisiologi yang terjadi dalam organisme hidup.
Referensi:
Fox,S.I. 2004. Human Physiology. 8 th. Ed. McGraw Hill Company. New York.;
Heiser,J.b.,Janis,C., dan Pough,F.H. 1999. Vertebrate Life. 5 th ed. Prentice Hall
International Inc. London; Kardong,K.V. 2002. Vertebrates. Comparative Anatomy.
Function,Evolution. McGraw Hill Company. New York.; Kent,G.C & Carr, R.K.
2001. Comparative Anatomy of the Vertebrates.. 9th ed. McGraw Hill Company. New
York; Schmidt-Nielsen,K.1997. Animal Physiology. Adaptation & environment. 5 th.
Cambridge University Press. Cambridge. New York. Post Chester. Melbourne.
Sydney; Seeley, R. R., Stephens,T.D, & Tate,P. 2003. Anatomy and Physiology. 6 th ed.
McGraw Hill New York; Wheater,P.R., Burkitt,H.G. & Daniels,V.G. 1979.
Functional Histology. Chuechill Livingstone Edinburgh. London .New York
Koordinator Mata Kuliah Fisiologi Hewan: Muhaimin Rifa’i, SSi, PhD.Med.Sc
ANIMAL PHYSIOLOGY-LECTURES
(Undergraduate: Biology; MAB 4232)
Even Semester 2010/2011
Class B
Day: Monday
Time:12.05-14.45
Topic
Room: MP1.4
NO
Date
Sub Topic
Method
Lecturer
1
22.02.2 Introduction
010
to the study
of body
function,
chemical and
genetic
control in the
cells.
The Primary Tissues,
organ and systems,
chemical composition
of the body, cell
structure and genetic
control, signal
transduction
Presentation and
discussion
MR
2
01.03.
2010
The Immune Defense mechanisms. Quiz, Presentation MR
system
and discussion
Function of B and T
cells. Active and
passive immunity.
Auto-immune diseases
3
08.03.
2010
Regulation
of
metabolism
Presentation and
Nutritional and
discussion
requirements.
Regulation of energy
metabolism. Energy
regulation by the islets
of langerhans.
Diabetes mellitus and
hypoglycemia.
SR
4
15.03.
2010
Regulation
of
metabolism
Metabolic regulation
by adrenal hormones,
thyroxine and growth
hormone. Regulation
of calcium and
phosphate balance.
Thermo regulation.
Presentation and
discussion
5
22.03.
2010
Reproductio
n
Sexual reproduction.
Endocrine regulation
of reproduction. Male
reproduction system.
Female reproduction
system. Menstrual
cycle. Fertilization,
pregnancy and
parturition.
Quiz, Presentation SR
and discussion
6
29.03.
2010
Endocrine
Gland
(secretion
and action of
the
hormones)
Endocrine glands and Presentation and
hormones. Mechanism discussion
of hormone action.
Pituitary gland.
Adrenal glands.
Thyroid and
parathyroid glands.
Pancreas and other
endocrine glands.
Autocrine and
paracrine regulation
7
05.04.
2010
The
digestive
system
Quiz, Presentation MSD
Introduction to the
digestive system. From and discussion
mouth to stomach.
Small intestine. Large
intestine. Liver,
gallbladder and
pancreas. Neural and
endocrine regulation
of digestive system.
Digestion and
absorption of
carbohydrates, lipids
and proteins.
8
12.04.
2010
Middle
Examinatio
n
Topics 1 to 7
9
19.04.
2010
Hearth,
circulation
Functions and
components of the
Presentation and
discussion
SR
MSD
APWM
and blood
pressure
circulatory system.
Composition of the
blood. Acid-base
balance of the blood.
Cardiac cycle and
hearth sounds.
Electrical activity of
the heart. Blood
vessels.
Atherosclerosis and
cardiac arrhythmias.
Cardiac output. Blood
volume. Blood flow to
the heart. Blood flow
to the brain and skin.
Blood pressure.
Hypertension, shock
and heart failure.
Osmoregulat
ion and
Excretion
system (in
aquatic and
terrestrial
animals)
Living in water.
Adaption in high salt
water.
Glomerular filtration.
Reabsorption of salt
and water. Renal
plasma clearance.
Renal control of
electrolyte and acidbase balance.
Presentation and
discussion
APWM
Presentation and
discussion
APWM
10
26.04.
2010
11
03.05.2 Cell
010
Respiration,
metabolism
and
bioenergetics
Control of enzyme
activity, glycolysis and
lactic acid, Aerobic
Respiration. Lipid and
protein metabolism
12
10.05.2 Respiratory
009
physiology
Presentation and
Physical aspects of
ventilation. Mechanics discussion
of breathing. Gas
exchange in the lungs.
Regulation of
breathing. Hemoglobin
and oxygen transport.
Carbon dioxide
transport and acidbase balance. Effect of
exercise and high
altitude on respiratory
SP
function
13
17.05.2 Muscle
009
(mechanisms
of
contraction
and neural
control)
Skeletal muscle.
Mechanism of
contraction.
Contractions of
skeletal muscles.
Energy Requirements
of skeletal muscles.
Energy requirements
of skeletal muscles.
Neural control of
skeletal muscles.
Cardiac and smooth
muscles
Presentation and
discussion
SP
14
24.05.2 sensory
009
physiology
Characteristic of
sensory receptors.
Cutaneous sensation.
Taste and smell. The
ears and hearing. The
eyes and vision.
Neural processing of
visual information
Presentation and
discussion
W
15
31.05.2 The Nervous
009
system,
peripheral
and central
nervous
systems.
Presentation and
Neuron and
discussion
supporting cells.
Electrical activity in
axon. The synapse.
Neurotransmitter.
Structure organization
of the brain
W
16
07.06.2 The
009
Autonomic
Nervous
system and
sensory
physiology
Neural control of
involuntary Effector,
Division of the
Autonomic Nervous
system. Function of
the autonomic
nervous system.
Faculty Final
Topics 8 to 16
schedul Examination
e
MR: Muhaimin Rifai, PhD.Med.Sc
Malang, 19 Februari, 2010
SP : Drs. H. Sofy Permana, M.Sc., D.Sc.
W : Widodo, Ph.D Med. Sc.
Quiz, Presentation W
and discussion
TEAM
SR :Dr. Sri Rahayu, M. Kes.
MSD: Dr.Ir. Mochamad Sasmito Djati, MS
Koordinator Kuliah
APWM: Dr. Agung Pramana Warih M
Muhaimin Rifa’i, PhD.Med.Sc
Download