BAB I RESEPTOR TIROSIN KINASE DAN TRANSFORMING GROWTH FACTOR β Transforming Growth Factor β (TGF-β). Transforming growth factor beta (TGF-β) adalah protein yang disekresikan untuk meregulasi proliferasi, diferensiasi dan kematian dari berbagai jenis sel. Semua jenis sel kekebalan, termasuk sel B, sel T dan sel dendritik serta makrofag, mensekresi TGF-β, yang mengatur proliferasi, diferensiasi dan aktivasi oleh sitokin lain. TGF-β adalah imunosuppressor utama yang berhubungan dengan autoimun, peradangan dan kanker. TGF-β merupakan protein sekresi yang terdiri dari tiga isoform yakni TGF-β1, TGF-β2 dan TGF-β3. TGFβ1, merupakan anggota utama dari golongan sinyal ini yang telah banyak diketahui perannya. TGF-β merupakan superfamili protein yang dikenal sebagai faktor pengatur transformasi beta superfamili, yang meliputi inhibins, aktivin, anti-mullerian hormon, tulang morphogenetic protein, dan decapentaplegik. Kelompok pertama dari superfamili TGF-β diidentifikasi berdasarkan kemampuan untuk mengekspresikan fenotif dan mengubah ekspresi sel-sel dalam kultur. Namun faktor-faktor pertumbuhan yang disekresi ini sekarang diketahui memiliki spektrum efek yang luar biasa pada pertumbuhan dan perkembangan sel normal. Faktor pertumbuhan ini juga merangsang produksi sel-molekul adhesi, faktor pertumbuhan lainnya, dan molekul matriks ekstraselular. Struktur peptida dari tiga anggota keluarga TGF-β sangat mirip. Ketiga-tiganya disandikan sebagai prekursor protein. TGF-β1 mengandung 390 asam amino, sedangkan TGF-β2 dan TGF-β3 masing-masing mengandung 412 asam amino. Semua TGF-β memiliki terminal N-peptida yang terdiri dari 20-30 asam amino. Asam-asam amino terminal berguna untuk mengatur sekresi sel pada sel target. TGF-β juga memiliki terminal C yang terdiri dari 112-114 asam amino yang berperan sebagai signal pembentukan TGF-β itu sendiri. TGF-β yang matang membentuk protein dimer untuk menghasilkan molekul 25 kDa aktif dengan struktur yang mempunyai banyak motif. TGF-β mempunyai sembilan residu sistein. Delapan residu sistein membentuk ikatan disulfida dalam molekul untuk membentuk karakteristik struktur simpul sistein dari TGF-β superfamili. Sistein kesembilan dimanfaatkan untuk membentuk sebuah ikatan dengan model dimer. Banyak residu pada TGF-β yang berfungsi untuk membentuk struktur sekunder melalui interaksi hidrofobik. Daerah sistein pada posisi antara kelima dan keenam merupakan daerah yang paling berbeda dari molekul TGF-β yang ditampilkan pada permukaan molekul dan terlibat dalam pengikatan reseptor. Anggota superfamili TGFβ berasal dari prekursor protein aktif disekresi melalui proses proteolitik. Prekursor mengandung Nterminal peptida, sebuah pusat prodomain yang mengandung 50-375 asam amino, dan C-terminal matang domain, yang membentuk faktor pertumbuhan aktif. Bentuk monomer faktor pertumbuhan ini mengandung 110-140 asam amino dan memiliki struktur kompak dengan empat antiparalel helai dan tiga β disulfida intramolekul yang membentuk struktur yang terikat kuat yang disebut simpul sistin. Simpul domain sistein relatif tahan terhadap denaturasi, sehingga memungkinkan perannya sebagai molekul ekstraselular. Sebagian besar di antara berbagai variasi urutan protein TGFβ diamati di daerah N-terminal, loop bergabung dengan β untai, dan α heliks. Tambahan N-terminal sistein pada masing-masing monomer TGFβ menyebabkan terjadinya homodimers dan heterodimers fungsional. Kombinasi heterodimer yang berbeda dapat meningkatkan keragaman fungsional protein ini di luar yang dihasilkan oleh perbedaan dalam urutan utama dari monomer. Urutan utama monomer TGF-β kurang dari 10 persen homologi dengan faktor pertumbuhan saraf dan trombosit yang diturunkan dari faktor pertumbuhan. Meskipun demikian, kesamaan yang luar biasa dalam tiga-dimensi struktur dari monomer dari faktor-faktor pertumbuhan protein ini menunjukkan asal-usul nenek moyang yang sama dengan banyak sekuens selama evolusi. Namun, organisasi dari subunit dalam protein dimer bervariasi di antara ketiga faktor pertumbuhan. Ikatan silang iodinated mplekul TGF-β terdapat pada permukaan sel dan telah diketahui tiga polipeptida dengan berat molekul jelas 55, 85, dan 280 kDa disebut sebagai reseptor TGF-β I, II, dan III. Reseptor TGF-β tipe I dan tipe II keduanya merupakan protein transmembran serin atau treonin kinase. Pengikatan TGFβ menginduksi pembentukan reseptor multimerik yang sebagian besar berupa heterotetramers, terdiri dari reseptor tipe I dan tipe II. Jenis reseptor reseptor III TGF-β berupa molekul permukaan sel, yaitu βproteoglycan disebut glikan, yang muncul untuk mengatur aksesibilitas TGF-β untuk sinyal-transduksi reseptor TGF-β dari tipe I dan tipe II heterotetramer. Fenomena ini mirip dengan pengikatan faktor pertumbuhan fibroblast (FGF) oleh proteoglikan dan presentasi FGF terikat pada reseptor. Pembentukan TGF- β. Sejumlah molekul pembawa sinyal ekstraseluler yang berperan dalam meregulasi perkembangan, baik pada vertebrata maupun invertebrata, merupakan superfamili transforming growth factor β (TGFβ). TGFβ manusia tersusun atas tiga isoform protein, yaitu TGFβ-1, TGFβ-2, dan TGFβ-3. Masing-masing isoform TGFβ disintesis sebagai bagian prekursor yang mengandung pro-domain. Domain tersebut dipotong, tetapi masih berasosiasi secara nonkovalen dengan domain mature setelah protein disekresikan. Kebanyakan TGFβ yang disekresikan disimpan dalam matriks ekstraseluler sebagai laten, yaitu kompleks inaktif yang mengandung prekursor TGFβ dan berikatan kovalen dengan TGFβ-binding protein yang disebut Latent- TGFβ Binding Protein (LTBP). Pengikatan LTBP oleh protein matriks thrombospondin atau cell-surface integrin memicu perubahan konformasi LTBP yang menyebabkan pelepasan TGFβ dimer yang aktif. Alternatif lainnya adalah pemutusan ikatan protein dengan matriks metaloprotease yang juga menghasilkan aktivasi TGFβ. Proses pembentukan TGFβ ditunjukkan dalam Gambar 1. Gambar 1. Proses pembentukan TGFβ Aktivasi TGF-β oleh Faktor Transkripsi Smads. Ada tiga jenis protein Smad yakni reseptor Smads (R-Smads), co-Smads, dan penghambatan atau antagonis Smads. Residu dekat terminal C-R-Smads terfosforilasi dan mengaktifkan reseptor tipe I TGFβ. R-Smads terfosforilasi dan membentuk dimer dengan Smads. Heterodimers melakukan translocate menuju nukleus dan bekerja sama dengan faktor-faktor transkripsi lain untuk mengaktifkan gengen transkripsi pada sel target tertentu. R-Smads dapat dibagi menjadi dua bagian yakni MH1 dan MH2 yang dipisahkan oleh daerah linker yang fleksibel. Dalam keadaan tidak aktif, N-terminal domain menekan aktivitas transkripsi C-terminal domain MH1 dan MH2. Ketika Smads telah aktif, bagian terfosforilasi dari domain MH1 mengikat DNA, dan domain MH2 mengatur interaksi dengan Smads, untuk mendorong interaksi dengan protein pengikat DNA sehingga dapat menyediakan fungsi aktivasi transkripsional. Faktor pertumbuhan reseptor spesifik superfamili TGF-β menimbulkan respons sellular yang berbeda. Kekhususan ini ditunjukkan oleh reseptor yang terkait. Ini merupakan fenomena umum pada sistem sinyal intersellular. Jalur signaling TGF-β memberikan satu contoh strategi yang sangat baik untuk mencapai respon yang spesifik. Sebagai contoh, pengikatan TGF-β ke reseptornya menyebabkan fosforilasi Smad2, dimerization dengan Smad4, translokasi dari Smad2 atau Smad4 ke nukleus, dan mengaktivasi transkripsi gen-gen target tertentu. Di sisi lain, pengikatan BMP2, anggota lain dari TGFβ superfamili, pada reseptor yang dapat memfosforilasi Smad1 menyebabkan dimerisasi dengan Smad4. Pada kasus ini aktivasi dan tanggapan transkripsional tertentu dapat berbeda dari yang disebabkan oleh Smad2 dan Smad4. Tanggapan spesifik dari reseptor TGF-β dan BMP2 ditentukan oleh tiga asam amino dalam tipe I subunit reseptor dan saling melengkapi dalam R-residu Smads. Spesifitas masing-masing reseptor dapat diubah hanya dengan penggantian asam amino pada posisi ketiga. Demikian juga, pertukaran sekuens yang komplementer antara Smad1 dapat membalikkan spesifitas aktivasi Smad2, sehingga sekarang Smad1 diaktifkan oleh reseptor TGF-β dan diaktifkan Smad2 oleh reseptor BMP2. Meskipun komplementer ini sesuai urutan reseptor spesifik dengan R-Smads tertentu, wilayah lain dalam C-terminal domain R-Smads sangat penting untuk menentukan spesifikasi target-gen induksi, kemungkinan melalui interaksi dengan faktor-faktor transkripsi spesifik. Gambar 2. Alur signal TGF-beta Fosforilasi dapat terjadi pada dua terminal-C residu serine pada motif SXS domain aktif MH2 pada reseptor Smad. Ligan akan mengikat, Smad 2 atau 3 yang difosforilasi oleh bentuk aktif reseptor tipe I dan juga berasosiasi dengan Smad4 untuk membentuk komplek hetero-oligodimer yang akan bertranslokasi menuju nukleus. Setelah melakukan translokasi komplek akan berikatan dengan skuen SNA spesifik pada daerah promoter gen yang meregulasi transkripsinya. Respon transkripsi dari TGF-beta tergantung dari aktivitas Smad. Jalur signaling dari Smad akan dihambat dengan regulasi oleh inhibitor Smad6 dan Smad7. Inhibitor Smad7 akan bekerja untuk menghambat sinyal yang dimediasi oleh Smads dengan membentuk ikatan stabil dengan receptor tipe 1 dan mencegah terjadinya fosforilasi reseptor Smads serta meregulasi feedback negative. Selain itu transkripsi juga diaktivasi oleh signal TGF-beta, dan Smad7 yang menginduksi terbentuknya ubiquitine dan mendegradasi reseptor melalui protein Smurf 1 atau 2. Smad 6 bersaing dengan Smad1 untuk berikatan dengan Smad4. Meskipun TGF-β penting dalam mengatur kegiatan seluler, hanya beberapa TGF-β yang mengaktifkan jalur yang saat ini dikenal, sedangkan mekanisme lengkap di belakang jalur aktivasi belum dapat dipahami dengan baik. Beberapa dikenal sebagai jalur pengaktifan sel atau jaringan yang spesifik, sementara beberapa yang lain terlihat dalam beberapa jenis sel dan jaringan. Protease, integrins, pH, dan oksigen spesies reaktif, adalah faktor-faktor yang dapat mengaktifkan TGF-β. Telah diketahui bahwa gangguan faktor pengaktifan ini dapat mengakibatkan TGF-β tidak teratur tingkat sinyalnya dan menyebabkan beberapa komplikasi termasuk peradangan, gangguan autoimun, fibrosis, kanker dan katarak. Dalam kebanyakan kasus, TGF-β diaktifkan oleh ligan dan memulai serangkaian signal TGF-β sepanjang reseptor TGF-β I dan II, hal ini karena afinitas tinggi antara TGF-β dan reseptor, yang menunjukkan mengapa sinyal TGF–β merekrut sistem latensi dengan cara memberi isyarat. Semua TGF-β disintesis sebagai prekursor molekul yang terdiri atas propeptide selain TGF-β homodimer. Setelah disintesis, TGF-β yang homodimer berinteraksi dengan Associated Latency Peptida (LAP) protein yang berasal dari daerah N-terminal dari produk gen TGF beta dan membentuk kompleksitas yang disebut Laten Small Complex (SLC). Kompleks ini tetap berada dalam sel sampai terikat dengan protein lain yang disebut Laten TGF-β-Binding Protein (LTBP), membentuk kompleks yang lebih besar yang disebut Laten Large Complex (LLC). Dalam hal ini LLC yang didapatkan disekresikan ke ECM. Pada sebagian besar kasus, sebelum LLC dikeluarkan, TGF-β terlebih dahulu dipotong dari propeptide tetapi tetap terikat dengan ikatan non-kovalen. Setelah sekresi, ia tetap berada dalam matriks ekstraselular kompleks dalam bentuk tidak aktif baik LTBP dan LAP yang perlu diproses lebih lanjut dalam rangka untuk membebaskan TGF-β aktif. Perubahan TGF-β ke LTBP dengan cara mengadakan ikatan disulfida yang memungkinkan untuk tetap aktif dengan cara mencegah ikatan ke reseptor. Karena mekanisme selular yang berbeda membutuhkan tingkat yang berbeda dari sinyal TGF-β kompleks yang tidak aktif. Sitokin ini memberikan kesempatan untuk mediasi yang tepat bagi sinyal TGF-β. Ada empat isoform LAP yang dikenal, LAP-1, LAP-2, LAP-3 dan LAP-4. Mutasi merupakan perubahan LAP atau hasil LTBP:TGF-β dari signaling yang tidak tepat. Tikus yang kekurangan LAP-3 atau LAP-4 menunjukkan fenotipe konsisten. Selanjutnya, LAP spesifik isoform memiliki kecenderungan untuk berikatan dengan TGF-β yang berupa isoform spesifik. Sebagai contoh, LAP-4 mengikat TGF-β1, dengan demikian, mutasi yang terjadi pada LAP-4 dapat mengakibatkan komplikasi TGF-β yang terkait pada jaringan yang melibatkan sebagian besar TGF-β1. TGF-β dapat di aktivasi oleh protease dan metalloprotease. Plasmin dan sejumlah matriks metalloproteinases (MMP) memainkan peran kunci dalam mempromosikan invasi tumor dan jaringan renovasi oleh proteolisis mengarah pada beberapa komponen ECM. Pada proses aktivasi TGF-β melibatkan pelepasan LLC dari matriks, diikuti oleh proteolisis, lebih lanjut LAP akan melepaskan TGF-β ke reseptor. MMP-9 dan MMP-2 yang dikenal laten TGF-β. LAP kompleks mengandung protease engsel sensitif yakni daerah yang menjadi sasaran potensial untuk pembebasan TGF-β. Terlepas dari kenyataan bahwa MMPs telah terbukti memainkan peran penting dalam mengaktifkan TGF-β, tikus dengan mutasi pada MMP-9 dan MMP-2 masih dapat mengaktifkan gen TGF-β dan tidak menunjukkan kekurangan TGF-β. Fenotipe ini mencerminkan redundansi antara mengaktifkan enzim dan menunjukkan bahwa protease lain yang tidak dikenal mungkin terlibat. Kondisi asam dapat mengubah sifat LAP. Perawatan medium ekstrem dengan pH (1,5 atau 12) mengakibatkan aktivasi signifikan TGF beta seperti yang ditunjukkan oleh pengujian reseptor, sedangkan perlakuan asam ringan (pH 4,5) hanya menghasilkan 20-30% dari kompetisi yang dicapai dengan pH 1,5. Struktur LAP penting untuk mempertahankan fungsinya. Struktur modifikasi dari LAP dapat mengarah pada gangguan interaksi antara LAP dan TGF-β. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan tersebut mungkin termasuk hidroksil radikal dari reaktif oksigen spesies (ROS). TGF-β dengan cepat teraktivasi setelah perlakuan radiasi in vivo. Thrombospondin-1 (TSP-1) adalah glikoprotein yang ditemukan pada plasma pasien. Dalam kondisi sehat TSP-1 dalam kisaran 50-250 ng/ml, dan tingkat TSP-1 diketahui mengalami peningkatan respon terhadap cedera dan selama perkembangan. TSP-1 mengaktifkan TGF-β dengan membentuk interaksi langsung dengan TGF-β kompleks dan menginduksi penataan ulang konformasional dengan mencegah pengikatan TGF-β. Pengetahuan pada kontek aktivasi TGF-β, muncul dari studi-studi yang meneliti mutasi (KO) integrin β6, integrin αV, dan integrin β8 LAP. Mutasi ini menghasilkan fenotipe yang sama dengan fenotipe yang terlihat pada TGF-β1 knockout tikus. Saat ini terdapat dua model yang diusulkan tentang bagaimana αV mengandung integrins laten dapat mengaktifkan TGF-β1. Model yang diajukan pertama adalah dengan mendorong perubahan konformasi ke TGF-β1 laten kompleks dan dengan demikian melepaskan TGF-β1 aktif dan model kedua adalah dengan protease yang tergantung pada mekanismenya. Mekanisme perubahan konformasi jalur (tanpa proteolisis) αVβ6 integrin adalah pertama integrin diidentifikasi sebagai penggerak TGF-β1. Laps mengandung motif RGD yang diketahui mengandung integrins, dan dapat mengaktifkan αVβ6 integrin TGF-β1 dengan cara mengikat motif dimana RGD hadir pada LAP-LAP-β1 dan β 3. Setelah mengikat itulah ditengarahi menginduksi kekuatan sel adhesi yang diterjemahkan ke dalam sinyal-sinyal biokimia yang dapat mengakibatkan pembebasan dan aktivasi TGF-β dari kompleks laten. Jalur ini telah dibuktikan untuk aktivasi TGF-β pada sel-sel epitel dan tidak mengaitkan MMPs. Karena MMP-2 dan MMP-9 dapat mengaktifkan TGF-β melalui degradasi proteolitik, TGF-β laten kompleks, akan mengaktifkan αV yang mengandung TGF-β1 dengan menciptakan hubungan yang erat antara TGF-β laten kompleks dan MMPs. Integrins αVβ6 dan αVβ3 diharapkan mengikat secara simultan TGF-β1 laten kompleks dan proteinases yang secara simultan menginduksi perubahan konformasi LAP dan protease. Terlepas dari terlibat maupun tidaknya MMPs, mekanisme ini masih memerlukan asosiasi intergrins dan membuat jalur non proteolitik. Peran TGF-β PadaTumor. Tumor secara aktif merupakan imunosupresif, dan fakta ini didukung oleh data adanya ekstensif efek pada sel-sel imun ditemukan baik di lingkungan mikro tumor dan di bagian tepi. Ada banyak mekanisme yang menyebabkan terjadinya imunosupresi pada tumor, termasuk ekspresi ligan FAS (FasL) dan sekresi berbagai faktor penekan. Banyak transforming growth factor yang terbentuk antara lain TGF-β1 dan -2 (TGF-β2), dan banyak data mendukung kesimpulan bahwa faktor-faktor imunosupresif ini berhubungan dengan berbagai respon sistem imun. Pada kenyataannya, efek TGF-β pada respon imun pleiotropic dapat terjadi dalam berbagai cara. Misalnya, ada bukti bahwa menghambat TGF-βs pada T-sel dan NKcell mempengaruhi respon sitokin, termasuk tanggapan proliferatif dan produksi sitokin. Dilain pihak ada bukti bahwa TGF-β berfungsi sebagai chemoattractant untuk IL -2 mengaktifkan sel-sel NK, yang tampaknya berfungsi mendorong potensi antitumor. Efek TGFs saling bertentangan juga telah diamati dalam percobaan lain. Oleh karena itu, yang terbaik adalah untuk mempertimbangkan efek TGFβ dalam konteks sistem model tertentu. Sebagai contoh bahwa secara umum IL-4 mendukung pengembangan TH2 pada sistem kekebalan, namun dengan kehadiran TGF-β, respon imun didorong untuk menghasilkan tipe respon TH1. Data ini dengan jelas mendukung gagasan bahwa yang terbaik adalah untuk mempertimbangkan efek TGF-β pada respon imun terhadap tumor dalam konteks lingkungan makro dan mikro. Laporan terbaru dengan menggunakan berbagai model tumor telah menunjukkan bahwa penghapusan TGF-β atau penghambatan fungsinya mempunyai pengaruh signifikansi untuk tumorigenicity dan imunogenisitas glioma. Gangguan sintesis atau fungsi TGF-β yang dihasilkan oleh glioma termasuk iradiasi dan penggunaan protease inhibitor akan menghambat pemrosesan terbentuknya TGF-β. Dalam kasus iradiasi diketahui bahwa produksi TGF-β tidak mengalami penurunan pada basis per sel bahkan terjadi peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa iradiasi dalam waktu pendek dapat diterapkan pada terapi glioma dan tidak akan menyebabkan hilangnya efek TGF-β pada individu yang menerima perlakuan itu. Sebuah pendekatan yang melibatkan transfeksi gen dengan decorin kecil, yang mana leusin proteoglycan mengikat dan menonaktifkan TGF-β akan mengganggu homeostasis. Dalam penelitian ini, dipastikan bahwa transfeksi decorin mengakibatkan penghapusan kegiatan TFG-β in vitro dan yang lebih penting, sel-sel yang mengekspresikan decorin pada level yang tinggi tidak memiliki sifat sebagai sel tumor pada sistem in vivo. Namun, ada beberapa kontroversi mengenai apakah efek terapeutik dimediasi dengan decorin menghilangkan efek TGF-β. Untuk menjawab hal tersebut diperlukan eksperimen lebih lanjut. Potensi penggunaan decorin dalam terapi gen mempunyai kemungkinan berpengaruh pada interaksi TGF-β yang terlibat dalam hilangnya tumorgenisitas. Fungsi TGF-β Pada Apoptosis. Sel bisa mati dalam dua cara. Pertama, melalui kematian sel terprogram (apoptosis dan autophagy), yang merupakan proses fisiologi normal dan melalui nekrosis, yang merupakan kematian dari penyebab lain, seperti kekurangan oksigen atau racun. TGF-β menginduksi apoptosis dalam berbagai jenis sel. TGF-β dapat menginduksi apoptosis dalam dua cara yaitu melalui SMAD pathway dan DAXX pathway. SMAD pathway adalah jalur sinyal kanonik dimana sinyal TGF-β dimer mengikat ke reseptor tipe II yang merekrut tipe I phosphorylates sebuah reseptor. Jenis reseptor ini kemudian merekrut dan reseptor phosphorylates diatur oleh SMAD (R-SMAD). SMAD3, R-SMAD, yang terlibat dalam menginduksi apoptosis. R-SMAD kemudian mengikat ke SMAD umum (coSMAD) SMAD4 dan membentuk sebuah heterodimeric kompleks. Kompleks ini kemudian memasuki inti sel di mana ia bertindak sebagai faktor transkripsi untuk berbagai gen, termasuk untuk mengaktifkan mitogen-activated protein kinase 8 jalur, yang memicu apoptosis. TGF-β mungkin juga memicu apoptosis melalui kematian, terkait protein 6 (DAXX adaptor protein). DAXX telah ditunjukkan untuk mengasosiasikan ikatan dengan tipe II reseptor TGF-β kinase. Siklus sel TGF-β memainkan peran penting dalam regulasi siklus sel. TGF-β menyebabkan sintesis protein p15 dan p21, yang menghalangi siklin: CDK kompleks bertanggung jawab atas Retinoblastoma protein (Rb) fosforilasi. Jadi TGF-β blok melalui fase siklus G1. TGF-β menekan ekspresi gen c-myc yang terlibat dalam siklus sel G1. Sistem kekebalan TGF-β diyakini penting dalam regulasi, sistem kekebalan Regulatory T CD25 + sel. TGF-β muncul untuk memblokir aktivasi limfosit dan monosit yang diturunkan phagocytes. Peran ganda TGF-β1 dalam apoptosis. Pemaparan sel untuk TGF-beta1 dapat memicu berbagai respon selular termasuk penghambatan pertumbuhan sel, migrasi, diferensiasi dan apoptosis. TGF-beta1-diatur adalah jenis sel apoptosis dan tergantung pada konteks, memang TGF-beta1 memberikan sinyal baik untuk kelangsungan hidup sel atau apoptosis. Mekanisme molekuler yang mendasari peran TGF-beta1 dalam apoptosis tetap tidak jelas. Protein yang terutama menengahi sinyal intraselular dari TGF-beta1 adalah anggota keluarga Smad. Namun demikian, TGF-beta1 signaling juga dapat bekerja sama dengan kematian reseptor apoptotic jalur (FAS, TNF), dengan modulator apoptosis intraselular JNK dan P38 MAP kinase, Akt, NF-kappaB, dan dengan jalur apoptotic mitokondria dimediasi oleh anggotaanggota Bcl-2 keluarga. Selain itu, keterlibatan TGF-beta1 dalam produksi stres oksidatif dan mencegah proses peradangan yang diperlukan untuk pembersihan tubuh apoptotic bukti lebih lanjut integrasinya ke jalur apoptotic. Interaksi dan keseimbangan antara rangsangan yang berbeda memberikan dasar bagi pro-atau anti-output apoptotic TGF-beta1 pensinyalan dalam suatu sel. Peran TGF-β pada Jantung. Sebuah studi di Saint Louis University School of Medicine telah menemukan bahwa kolesterol menekan responsivitas sel-sel kardiovaskular terhadap TGF-β dan menyebabkan terjadinya aterosklerosis. Saat itu juga ditemukan bahwa statin, obat penurun kadar kolesterol meningkatkan responsivitas sel-sel kardiovaskular terhadap protektif TGF-β, sehingga membantu mencegah perkembangan aterosklerosis dan penyakit jantung. Peran TGF-β pada Sindrom Marfan. TGF-β signaling juga mungkin memainkan peran utama dalam patogenesis sindrom Marfan, penyakit yang ditandai dengan tidak proporsional tinggi, arachnodactily, ectopia lentis dan komplikasi hati seperti prolaps katup mitral dan pembesaran aorta meningkatkan dan ada kemungkinan terjadinya diseksi aorta. Sementara cacat mendasar dalam sindrom Marfan ialah rusaknya sintesis glikoprotein fibrillin, biasanya merupakan komponen penting dari serat elastis, fenotipe sindrom Marfan dapat dihilangkan dengan penambahan dari TGF-β antagonis dalam tikus yang terkena dampak. Hal ini menunjukkan bahwa untuk sementara gejala sindrom Marfan mungkin tampak konsisten dengan gangguan jaringan ikat, mekanisme lebih mungkin berkaitan dengan pengurangan karantina dari TGF-β oleh fibrillin. Prekursor TGFβ4 ditemukan dengan peningkatan susunan gen selama fase pra-menstruasi dalam endometrail stroma (Kothapalli et al. 1997) dan disebut EBAF (endometrium pendarahan faktor terkait). Kemudian secara terpisah ditemukan embrio vertebrata asimetri kiri kanan dan diberi nama lefty2 (juga disebut Lefty A). Bentuk monomer TGFβ mengandung 110-140 residu asam amino dan memiliki struktur dengan empat β-strand antiparalel dan tiga ikatan disulfida. Bentuk struktur ini disebut cystine knot, yang cukup resisten mengalami denaturasi. Penambahan sistein Nterminus pada masing-masing monomer menghubungkan monomer TGFβ menjadi homodimer ataupun heterodimer yang fungsional (Lodish et al, 2005). TGFβ memiliki tiga tipe reseptor yang berbeda, yaitu RI (55 kDa), RII (85 kDa), dan RIII (280 kDa). Reseptor TGFβ yang paling melimpah adalah RIII, yang merupakan proteoglycan permukaan sel (β-glycan). β-glycan tersebut mampu mengikat dan menghimpun TGFβ yang berada di dekat permukaan sel. Reseptor tipe I (RI) dan RII merupakan protein transmembran dimer dengan serin/ treonin kinase sebagai domain sitosolik. RII adalah aktif kinase yang memfosforilasi dirinya sendiri jika tidak ada TGFβ. Pengikatan TGFβ menginduksi pembentukan kompleks yang mengandung RI dan RII. Subunit RII kemudian memfosforilasi residu serin dan treonin pada subunit RI, sehingga mengaktifkan aktivitas kinase RI (Lodish et al, 2005). Aktivasi Reseptor TGFβ-I. Faktor transkripsi downstream dari TGF-β disebut dengan Smad. Tiga jenis protein Smad yang berperan dalam jalur TGF-βsignaling adalah receptor-regulated Smads (R-Smads), co-Smads, dan inhibitory atau antagonistic Smads (I-Smads). Jalur aktivasi Smad ditunjukkan pada Gambar 2. R-Smad mengandung dua domain, yaitu MH1 dan MH2, yang dipisahkan oleh flexible linker region. N-terminus dari domain MH1 mengandung bagian yang mengikat DNA spesifik (specific DNA-binding segment) dan sebuah sekuens yang disebut nuclearlocalization signal (NLS) yang dibutuhkan untuk transpot protein menuju nukleus. Ketika R-Smad dalam keadaan inaktif (tidak terfosforilasi), NLS dalam keadaan menutup (masked), dan domain MH1 dan MH2 berasosiasi sehingga tidak dapat berikatan dengan DNA atau co-Smad. Fosforilasi pada tiga residu serine di dekat Cterminus dari R-Smad (Smad2 atau Smad3) oleh reseptor TGFβ tipe I yang teraktivasi akan memisahkan dua domain tersebut dan memberikan ikatan antara importinβ dengan NLS. Selanjutnya sebuah kompleks yang mengandung dua molekul Smad3 (atau Smad2) dan satu molekul co-Smad terbentuk dalam sitosol. Kompleks ini distabilkan oleh ikatan dua serine yang terfosforilasi pada masing-masing Smad3 dengan phosphoserine-binding site pada domain Smad3 dan MH2 Smad4. Pengikatan importinβ kemudian memediasi translokasi kompleks heterodimer R-Smad/co-Smad ke dalam nukleus. Importinβ kemudian terdisosiasi di dalam nukleus, dan kompleks Smad2/Smad4 atau Smad3/Smad4 bersama-sama dengan faktor transkripsi mengaktifkan transkripsi pada gn target yang spesifik. Di dalam nukleus, R-Smad kemudian mengalami defosforilasi menghasilkan disosiasi kompleks R-Smad/co-Smad dan kedua Smad keluar dari nukleus. Karena shuttling nucleocytoplasmic dari Smad, konsentrasi Smad aktif di dalam nukleus menggambarkan tingginya reseptor TGFβ yang teraktivasi pada permukaan sel. Gambar 3. Jalur aktivasi TGFβ-Smad Seluruh sel mamalia mensekresikan sekurang-kurangnya satu isoform TGFβ, dan umumnya memiliki reseptor TGFβ pada permukaannya. Karena jenis sel yang berbeda mengandung faktor transkripsi yang berbeda, respon seluler yang diinduksi oleh TGFβ juga bervariasi di antara jenis sel. Pada sel epitel dan fibroblas misalnya, TGFβ tidak hanya menginduksi ekspresi protein matriks ekstraseluler (misalnya kolagen), tetapi juga ekspresi protein yang menghambat serum protease. Hilangnya TG-β signaling berperan atas proliferasi sel. Kebanyakan tumor manusia mengandung mutasi baik pada reseptor TGFβ maupun protein Smad, sehingga terjadi resistensi terhadap penghambatan pertumbuhan oleh TGFβ. Kanker pankreas pada manusia, sebagai contoh, mengalami delesi pada gen yang mengkode Smad4 sehingga tidak mampu menginduksi p15 dan inhibitor siklus sel yang lain dalam merespon TGFβ. Mutasi gen seperti ini disebut DPC (deleted in pancreatic cancer). Retinoblastoma, kanker kolon dan lambung, hepatoma, dan beberapa kelainan pada sel T dan sel B juga merupakan tidak ada respon terhadap TGFβ. Kehilangan respon berhubungan dengan hilangnya reseptor TGFβ tipe I dan tipe II. Responsivitas terhadap TGFβ dapat dikembalikan melalui ekspresi rekombinan dari protein yang ‘hilang’ atau abnormal (“missing” protein). Selain kegagalan menginduksi p15, kegagalan mengekspresikan plasminogen activator inhibitor 1 (PAI-1) pada sel kanker juga dapat diakibatkan adanya mutasi pada protein-protein yang berperan dalam jalur TGFβ-Smad. PAI-1 mampu mereduksi degradasi matriks yang dikatalisis plasmin, sehingga ketika PAI-1 tidak terekspresi maka akan terjadi proliferasi sel. Hilangnya fungsi baik pada reseptor TGFβ maupun Smad akibat mutasi menginduksi proliferasi sel dan kemungkinan adanya invasi dan metastasis sel tumor (Gambar 4). Gambar 4. Efek mutasi pada protein-protein yang berperan dalam jalur TGFβSmad. Gangguan yang berhubungan dengan aktivasi TGF-β signaling. Upregulation dari TGF-β telah didokumentasikan di beberapa gangguan peradangan. Sebagian besar studi-studi mengusulkan bahwa dengan mengembalikan kontrol normal sinyal TGF-β atau dengan menghambat tanpa merusak efek yang menguntungkan pengobatan dapat menyebabkan gangguan peradangan kronis serta gangguan sinyal TGF-β lain. RI kompleks adalah residu protein 503 yang terdiri dari sistin yang kaya akan ekstraselular N-terminal domain yang terlibat dalam ligan yang mengikat TGF-beta, satu transmembran heliks dan sitoplasma C-terminal domain yang berpartisipasi dalam sinyal transduksi. The sitoplasma domain RI adalah residu monomer (Huse et. Al, 2001). Seperti yang disebutkan dalam sitoplasma domain crystalizes sebagai tetramer, in vivo setiap domain berfungsi sebagai satu unit. The sitoplasma domain memiliki dua wilayah kunci, inti katalitik domain, mirip struktur tergantung cAMP protein kinase PKA, dan daerah GS (heliks-loop-struktur spiral) yang berfungsi sebagai pengatur segmen. Ini adalah katalitik domain yang mengikat dan phosphorylates R-Smad protein yang akan pergi ke inti dan mengubah transkripsi gen. Meskipun tidak membentuk kontak langsung dengan RII atau Smad protein, alfa C heliks adalah bagian dari pergeseran konformasi yang penting antara GS loop dan urutan aktivasi yang memungkinkan pengaktifan RI dan selanjutnya Smad fosforilasi protein. R1 yang dikristalkan dapat menghambat FKBP12 kompleks. Dalam kristalisasi ini bentukan dimer tetramer dengan tiga molekul dimer lain. Sitoplasma FKBP12 adalah inhibitor fungsi phosphorylative RI, ketika phosphorylates RII GS domain RI tidak terlepas dari FKBP12 RI GS domain. FKBP12 mengikat ke wilayah GS RI melalui alfa heliks 2 dan menstabilkan, mencegah interaksi yang mengikat ATP dan aktivitas kinase RI. Interaksi ini secara efektif pin C alfa heliks dalam posisi yang menciptakan kaku, struktur menghambat seluruh reseptor kompleks. Leu-195 residu dan Leu-196 RI mengikat secara langsung dengan FKBP12; di samping kedua residu Leu-193 dan Pro-194. Meskipun mereka tidak secara langsung berinteraksi,mereka akan menstabilkan FKBP12, interaksi ini dibentuk oleh Leu-195 dan Leu-196. Semua residu ini berada di dekat alfa C heliks dan loop L45 RI, meskipun ada interaksi lain di tempat lain dalam dimer, keempat tersebut adalah yang paling signifikan. Dalam RI alfa heliks 2 terdapat beberapa fleksibilitas dalam gerakan. Ketika GS phosphorylates RII loop, FKBP12 dilepas dan menghambat konformasi adalah merupakan destabilisasi. Ini diaktifkan dan menyebabkan konformasi yang khas yang memungkinkan seluruh struktur RI untuk 'terbuka' dan mengikat ATP yang akan membantu mendorong Smad fosforilasi. Efek pada FKBP12 RI. Hambatan perubahan konformasi, disebabkan oleh adanya FKBP12 dan kestabilan orientasi. Struktural katalitik domain memungkinkan perlindungan komponen vital yang melaksanakan proses fosforilasi Smad. Seperti disebutkan, perlindungan FKBP12 loop GS menyebabkan perubahan konformasi reseptor di seluruh struktur. Pengikatan menggeser FKBP12 C alfa heliks dengan memaksa interaksi dengan GS loop, urutan aktivasi, dan alpha C heliks sendiri. Interaksi sekitar Fosfat mengikat ATP loop dan mencegah ikatanATP t. Tiga residu bertanggung jawab atas hal ini dengan mendekati lingkaran yang mengikat dan menciptakan interaksi mereka sendiri, Lys-232 blok alfa phopsphate, Phe-216 beta blok fosfat, dan Arg-372 dengan blok Phe-216 gamma fosfat . Dilihat dari model rantai yang berpadu sisi Arg-372 terlihat memperluas ke pusat katalitik RI dan membentuk pasangan ion dengan Asp-351, suatu asam amino esensial yang dibutuhkan untuk koordinasi ion Mg. Yang menghambat konformasi alfa heliks C akan distabilkan oleh sejumlah interaksi residu panjang dengan dua lembar beta struktural penting 9 dan 10. Kontak Van Der Walls dibuat antara C heliks alfa dan beta untai 10. Glu-247 residu akan menstabilkan interaksi antara Arg-244 dan Asp-366. H-ikatan terjadi antara alpha helix dan beta C untai 9. Residu Asp-366 dari 10 untai kelompok beta Arg-357 ke dalam konformasi di tempat yang terdapat H-ikatan dengan Thr-251. Urutan aktivasi tampaknya berefek pada kegiatan RI dalam menggeser konformasi. Hal itu sendiri tidak terfosforilasi oleh RII kinase. Seperti disebutkan, fosforilasi dari lingkaran GS mengganggu interaksi dengan C alfa heliks dan memungkinkan segmen aktivasi untuk pindah dari mengikat ATP loop Fosforilasi Smad. Karena RI masih harus mengkristal tanpa FKBP12, atau substrat lainnya dan bertindak sebagai inhibitor berikut adalah residu spesifik dalam konformasi yang menghambat RI. Bentangan kecil membentuk residu variabel loop L45 antara beta lembar 4 dan 5, segmen ini menentukan spesifisitas substrat Smad. Loop ini berinteraksi langsung dengan dua residu, 427 dan 428, dari L3 loop di Smad protein. Urutan yang katalitik mengkatalisis pemindahan fosfat dari ATP terikat ke substrat Smad. Meskipun urutan ini bervariasi antara RI dari spesies yang berbeda, lima residu sangat dilestarikan dan muncul untuk memfasilitasi fosforilasi Smads, lys-232, glutathione-245, asp-333, asn-338, asp-351. TGF-β dan Smad. Anggota kelompok Smad yang baru diidentifikasi oleh sinyal intraselular adalah komponen penting dari pertumbuhan faktor-beta (TGF-beta) superfamili. Smad2 dan Smad3 secara struktural sangat mirip dan TGF-beta memediasi sinyal. Smad4 berada jauh dari Smads 2 dan 3, dan membentuk sebuah kompleks dengan heteromeric setelah Smad2 TGF-beta atau aktivin stimulasi. Di sini kita menunjukkan bahwa Smad2 berinteraksi dengan Smad3 kinase-yang kekurangan TGF-beta reseptor tipe I (TbetaR), setelah itu akan terfosforilasi oleh TbetaR-II kinase. TGF-beta1 diinduksi oleh fosforilasi Smad2 dan Mv1Lu, Smad3 di sel epitel paru-paru. Smad4 itu ditemukan Mv1Lu konstitutif terfosforilasi dalam sel, tingkat fosforilasi yang tersisa tidak berubah pada stimulasi TGF-beta1. Hasil yang sama diperoleh dengan menggunakan sel HSC4, yang juga pertumbuhannya dihambat oleh TGF-beta. Smads 2 dan 3 berinteraksi dengan Smad4 setelah TbetaR beraktivasi dalam sel COS transfected. Selain itu, kami mengamati aktivasi TbetaR- tergantung pada interaksi antara Smad2 dan Smad3. Smads 2, 3 dan 4 terakumulasi dalam nukleus TGF-beta1 di Mv1Lu sel, dan menunjukkan efek sinergis dalam assay transkripsional dengan menggunakan TGF-beta- yang diinduksi plasminogen activator inhibitor-1 promotor. Dominan-Smad3 negatif menghambat respons sinergis transkripsional Smad2 dan Smad4. Data ini menunnjukkan bahwa Smads 2, 3 dan 4 menginduksi TGF-beta heteromeric kompleks, dan serentak mereka translokasi ke nukleus, yang dibutuhkan untuk efisien TGF-beta transduksi sinyal. Faktor growth peptida dan protein yang berfungsi extracellularly untuk mengatur pertumbuhan sel dan diferensiasi. Mereka memainkan peran penting dalam vertebrata seperti mereka mengkoordinasikan perana sel dalam jaringan yang sama, atau sel-sel dalam satu jaringan atau organ dengan mereka yang lain. Mereka mendorong kegiatan mereka dengan cara mengikat dan menyatukan permukaan sel reseptor, yang biasanya terdiri dari sebuah ekstraselular domain, satu membran-spanning domain, dan domain intraseluler. Domain ekstraselular bertanggung jawab untuk mengenali dan mengikat faktor pertumbuhan, sementara intraselular domain, ketika dibawa ke ruang dengan jarak yang berdekatan, bertanggung jawab untuk mengaktifkan mesin hilir yang membawa sekitar satu respon selular yang disetel tepat. Faktor pertumbuhan dari (TGF-b) superfamili telah sangat beragam selama evolusi, dengan enam faktor-faktor seperti nematoda, sembilan di lalat buah, dan empat puluh dua pada manusia. Mereka termasuk bone morphogenetic protein (BMP), yang memainkan peran mendasar dalam pola embrionik, yang berhubungan erat dengan faktor pertumbuhan dan diferensiasi (GDFS), yang mengatur kerangka tulang rawan dan pembangunan, activins, yang mengatur pelepasan hormon hipofisis, dan terlambatnya evolusioner, (TGF-bs), yang mengatur pertumbuhan sel dan morfogenesis. BMP, GDFS, activins, dan TGF-bs adalah homodimers, terdiri dari dua monomer yang diperpanjang dan dilakukan bersama di sebagian besar, tapi tidak semua kasus, dengan rantai antar-ikatan disulfida. Gambar 5. Berbagai mode kompleks dengan reseptor TGF-bs dan BMP. (A) gambar struktur dimer ligan, dengan dua monomer dari TGF-β3 digambarkan dengan warna biru dan merah, dan BMP-2 di oranye dan cokelat. (B) reseptor domain ekstraselular dari TGF-β superfamili mengadopsi beberapa dari tiga lipatan finger toksin, seperti yang ditunjukkan oleh lapisan dari BMP dan TGF b tipe I reseptor di sebelah kiri (masing-masing cyan, dan kuning,), BMP dan TGF – β tipe II reseptor di tengah (masing-masing magenta dan hijau,), dan TGF-b tipe I dan tipe II reseptor di sebelah kanan (kuning dan hijau, masingmasing). F1, F2, dan F3 menunjukkan tiga finger reseptor dari tiga lipatan finger toksin. (C) TGF-β (kiri) dan BMP (kanan) reseptor tipe I, tipe II struktur kompleks terner. TGF-b tipe I dan tipe II reseptor berarsir kuning dan hijau, masing-masing, dan ekstensif kontak satu sama lain. BMP tipe I dan tipe II reseptor berarsir cyan dan magenta masing-masing, tidak kontak satu sama lain. TGF-βs dan faktor-faktor yang terkait mendorong respons mereka dengan menggabungkan sebuah kompleks heterotetrameric terdiri dari dua pasang tipe I - tipe II reseptor. Tipe I dan tipe II reseptor yang sama struktur domain secara keseluruhan, termasuk kaya sistein ekstraselular domain yang mengadopsi tiga lipat finger toksin, satu transmembran heliks, dan domain serin-treonin intraseluler kinase. Encode genom manusia ada tujuh, lima reseptor tipe I dan tipe II. Melalui studi silang yang berbasis sel, BMP dan GDFS yang telah terbukti untuk mengikat beberapa reseptor tipe I dan tipe II di mixed order, sedangkan TGF-βs mengikat satu reseptor tipe I dan tipe II di sequential order, pertama dengan mengikat tipe II, TbR-II, diikuti oleh tipe I, TβR-II. Temuan biokimia ini menunjukkan bahwa kompleks reseptor faktor pertumbuhan dari family ini mungkin berbeda secara struktural. Perbedaan-perbedaan ini telah dibuktikan melalui analisis struktural langsung BMP dan TGF b: tipe I reseptor: tipe II reseptor kompleks terner. Struktur kompleks terner BMP disimpulkan pertama kali didasarkan pada struktur-struktur independen BMP BMP terikat pada tipe I dan tipe II reseptor (masing-masing Kirsch, et al. Dan Greenwald, et al.,), dan kemudian dikonfirmasi di analisis langsung oleh dua BMP kompleks terner (Allendorph, et al. dan Weber, et al.). Struktur terner TGF-β kompleks, baru-baru ini dilaporkan oleh Groppe, et al dan subjek ini menekankan, ditentukannya analisis struktural langsung dari TGF β3: TβR I: TβR II kompleks terner menggunakan kristal yang terdifraksi untuk sebuah resolusi 3,0 Å menggunakan SSRL beamline 11-1. Struktur kompleks terner menunjukkan bahwa meskipun ligan dan reseptor dari BMP dan TGF-β subfamilies keseluruhan yang sama lipatannya (masing-masing Gambar 5A dan 5B,), mereka tetap terikat dan reseptornya bergabung dengan cara yang sama sekali berbeda ( Gambar 5 C). BMP tipe I dan tipe II reseptor berikatan dengan ligan masing-masing "wrist" dan "knuckle" epitopes, , dan tidak kontak satu sama lain, sedangkan TGF-b tipe I dan tipe II reseptor mengikat ke bawah masing-masing "finger" dan ke "fingertips", , dan mempunyai kontak luas. Batasan tambahan dikenakan oleh reseptor-reseptor kontak dalam TGF-β, tapi bukan kompleks terner BMP, adalah signifikan sejak account yang sangat spesifik dan bertahap dinyatakan dengan cara mengikat reseptor oleh TGF-βs, tapi bukan BMP. Untuk menunjukkan makna fungsional ini, Groppe, et al. menggantikan sejumlah kontak kritis residu di TβR-II, termasuk F24 di TβR-II N-terminus dan D118 di dekat fingertip 3, dan menunjukkan bahwa ini merusak koperatif gabungan in vitro dan TGF-β signaling in vivo. BMP dan TGF-β kompleks terner terutama timbul dari perbedaan-perbedaan dalam cara baik tipe I dan tipe II reseptor yang mengikat, dan karenanya mewakili empat cara ikatan yang berbeda antara molekul yang lain secara keseluruhan yang sama lipatan (Gambar 5A dan 5B). Keragaman yang luar biasa ini muncul dari evolusi sederhana modifikasi baik dari ligan dan reseptor. Jadi, sebagai contoh, BMP termasuk pendek, terpapar pelarut-helix yang mengikat ke dalam reseptor tipe I BMP, BMPR-Ia. Segmen Heliks pendek ini absen dalam TGF-βs (Gambar 6A), sehingga perlu sebuah cara alternatif tipe I reseptor yang mengikat. Hal ini difasilitasi oleh satu lingkaran, diperpanjang pada TβRI relatif terhadap BMP reseptor tipe I, yang mengikat secara mendalam di sisi bawah jari-jari TGF-β (Gambar 6B). Posisi alternatif TβR-I lebih lanjut didukung oleh perpanjangan dari N-terminal daerah TβR-II, terhadap permukaan TbR-I dan yang memenuhi kantung hidrofobik pada permukaan TβR-I dengan Phe ( F22) dan residu Val (V22). Singkatnya, hasil yang baru-baru ini dilaporkan oleh Groppe, et al. memberikan contoh yang mencolok bagaimana modifikasi evolusioner sederhana dan reseptor ligan dari TGF-β superfamili telah memungkinkan cara-cara alternatif gabungan reseptor kompleks. Tampaknya, berdasarkan pengamatan, bahwa mekanisme alternatif co-reseptor yang bergabung berevolusi dengan TGF-β dan BMP specific class downstream efektor (Smads) untuk memperluas diversifikasi peran TGF-b superfamili signaling pada vertebrata. Gambar 6. Structural fitur dari tipe I dan ligan reseptor yang mempromosikan peralihan dari BMP ke TGF-b mode pengikatan. (A) Short ekstensi, dari D53 ke L55, di BMP-2 (coklat) pocket komplementer pada reseptor tipe I BMP, BMPR-Ia (cyan). Seperti sebuah ekstensi absen di TGF-b3 (merah), perlu sebuah cara alternatif tipe I reseptor yang mengikat. (B) TβR-I, termasuk sebuah loop ekstensi (merah) dibandingkan dengan reseptor BMP tipe I, Ia dan BMPR-BMPR-pon. This extension berisi dua prolines (P55 dan P59), serta fenilalanin (F60), yang mengikat pocket di bawah jari TGF-b yang dibentuk oleh W30, dengam W32, Y90, dan L101. (C) Daerah N-terminal TβR-II melibatkan TbR-I oleh packing pada permukaannya dan dengan memasukkan dua hidrofobik residu, F24 dan V22, ke dalam pocket hidrofobik pada permukaan TβR-I. TβR-II lebih melibatkan TβR-I oleh pasangan ion yang terbentuk antara karboksilat dari TβR-II D118 dan kelompok guanidinium TβRI-R58. Jalur Signaling TGF-β. Faktor pertumbuhan berupa jalur sinyal Transformasi beta (TGF-β) yang terlibat dalam banyak proses seluler baik dalam organisme dewasa dan embrio terus berkembang termasuk pertumbuhan sel, diferensiasi sel, apoptosis, selular homeostasis dan fungsi-fungsi sel-sel lainnya. Terlepas dari berbagai proses selular yang mengatur jalur sinyal TGF-β, prosesnya relatif sederhana. Superfamili TGFβ ligan mengikat ke reseptor tipe II dan tipe I phosphorylates reseptor. Tipe I reseptor-reseptor ini kemudian phosphorylates diatur SMADs (R-SMADs) yang sekaligus dapat mengikat coSMAD SMAD4. R-SMAD/coSMAD kompleks terakumulasi dalam inti di mana mereka bertindak sebagai faktor transkripsi dan berpartisipasi dalam regulasi expression gen target. The TGF Beta superfamili ligan meliputi: morphogenetic Bone protein (BMP), faktor Pertumbuhan dan diferensiasi (GDFS), AntiMullerian hormon (AMH), Aktivin, nodal dan TGFβ's. Pensinyalan dimulai dengan pengikatan dari TGF beta superfamili ligan ke TGF beta reseptor tipe II. Tipe II reseptor adalah serin / treonin reseptor kinase, yang mengcatalyses fosforilasi Tipe I reseptor. Setiap klas mengikat ligan tipe tertentu II reseptor. Pada mamalia diketahui ada tujuh tipe I reseptor dan lima tipe II reseptor. Ada tiga activins: Aktivin A, B dan Aktivin Aktivin AB. Activins yang terlibat dalam embriogenesis dan osteogenesis. Mereka juga mengatur banyak hormon termasuk hipofisis, hormon gonad dan hipotalamus serta insulin. Mereka juga faktor survival sel saraf. The BMP mengikat protein reseptor morphogenetic Bone tipe-2 (BMPR2). Mereka terlibat dalam banyak fungsi sel, termasuk osteogenesis, diferensiasi sel, anterior / posterior axis spesifikasi, pertumbuhan, dan homeostasis. Gambar 7. Signaling TGF-β Keluarga TGF beta meliputi: TGFβ1, TGFβ2, TGFβ3. Seperti BMPS, TGF beta yang terlibat dalam embriogenesis dan diferensiasi sel, mereka juga terlibat dalam apoptosis, serta fungsi lainnya. Mereka mengikat reseptor TGF-beta tipe-2 (TGFBR2). Nodal mengikat untuk aktivin A reseptor, ketik IIB ACVR2B. Ini dapat juga membentuk kompleks dengan reseptor aktivin A reseptor, ketik IB (ACVR1B) atau dengan aktivin A reseptor,tipe IC (ACVR1C) . Perekrutan dan fosforilasi reseptor. TGF beta ligan mengikat ke tipe II reseptor dimer, yang merekrut tipe I reseptor dimer membentuk hetero-tetrameric kompleks dengan ligan. Reseptor ini adalah serin / treonin reseptor kinase. Mereka domain yang kaya sistein ekstraselular, sebuah transmembran domain dan sebuah domain sitoplasma kaya serin / treonin. The GS domain dari tipe I reseptor terdiri dari serangkaian sekitar tiga puluh serin-glisin yang berulang. Pengikatan keluarga TGF beta ligan menyebabkan rotasi reseptor sehingga sitoplasma kinase domain tersebut diatur dalam orientasi catalytically yang baik. Reseptor tipe II memfosforilasi residu serin reseptor tipe I, yang akan mengaktifkan protein. Gambar 8. Fosforilasi reseptor tipe I Ada lima reseptor yang diregulasi SMADs: SMAD1, SMAD2, SMAD3, SMAD5, dan SMAD9 (kadang-kadang disebut sebagai SMAD8). Pada dasarnya ada dua jalur intraseluler yang melibatkan RSMADs ini. TGF beta's, Activins, Nodals dan beberapa GDFS dimediasi oleh SMAD2 dan SMAD3, sedangkan BMP, AMH dan beberapa GDFS dimediasi oleh SMAD1, SMAD5 dan SMAD9. Pengikatan R-SMAD ke reseptor tipe I ditengahi oleh zinc double finger FYVE domain yang mengandung protein. Dua protein seperti TGF beta yang menengahi jalur termasuk SARA (The SMAD anchor untuk aktivasi reseptor) dan HgS (Hepatocyte faktor pertumbuhan yang diatur substrat tirosin kinase). SARA hadir dalam endosome awal yang ditengahi oleh clathrin endositosis, menginternalisasi reseptor kompleks. SARA merekrut R-SMAD. SARA memungkinkan pengikatan R-SMAD ke daerah L45 Tipe I reseptor. Mengarahkan SARA R-SMAD sehingga residu serin pada permukaan C-terminal daerah katalitik Tipe I reseptor. Residu Tipe I reseptor phosphorylates serin R-SMAD. Fosforilasi menginduksi perubahan konformasi dalam domain MH2 R-SMAD dan selanjutnya disosiasi dari reseptor kompleks dan SARA. Fosforilasi RSMAD memiliki afinitas tinggi untuk coSMAD (misalnya SMAD4) dan membentuk suatu kesatuan kompleks. Gugus fosfat tidak bertindak sebagai situs docking coSMAD, bukan membuka fosforilasi asam amino yang memungkinkan peregangan interaksi. Gambar 9. Perekrutan SMADs Transkripsi. Fosforilasi RSMAD/coSMAD memasuki kompleks inti di mana ia mengikat promotor dan kofaktor transkripsi yang menyebabkan transkripsi DNA. Bone morphogenetic protein menyebabkan transkripsi mRNA yang terlibat dalam osteogenesis, neurogenesis, dan ventral mesoderm spesifikasi. TGF beta menyebabkan transkripsi mRNA yang terlibat dalam apoptosis, matriks ekstraselular neogenesis dan imunosupresi. Hal ini juga terlibat dalam penahanan G1 dalam siklus sel. Aktivin menyebabkan transkripsi mRNA gonad yang terlibat dalam pertumbuhan, diferensiasi dan pembentukan plasenta embrio. Nodal menyebabkan transkripsi mRNA yang terlibat dalam spesifikasi axis kiri dan kanan, dan induksi mesoderm dan endoderm. Gambar 10. Fosforilasi RSMAD menyebabkan transkripsi Mekanisme Regulasi. Jalur sinyal TGF beta yang terlibat dalam berbagai proses seluler diregulasi dengan sangat ketat. Ada berbagai jalur mekanisme yang dimodulasi baik secara positif maupun negatif: Ada agonis untuk ligan dan R-SMADs, ada umpan reseptor; dan R-SMADs dan reseptor ubiquitinated. Baik chordin dan noggin adalah antagonis dari BMP's. Mereka mengikat BMP yang mencegah pengikatan ligan terhadap reseptor. Ini menunjukkan bahwa Chordin dan noggin dorsalize mesoderm. Mereka berdua ditemukan di dorsal lip Xenopus dan sebaliknya mengubah jaringan epidermis spesifik ke jaringan saraf (lihat neurulation). Noggin memainkan peran kunci dalam pola tulang rawan dan tulang. Anggota keluarga DAN protein juga antagonize anggota keluarga TGF beta. Termasuk Cerberus, DAN, dan Gremlin. Protein ini mengandung sembilan cysteines yang dapat membentuk jembatan disulfida. Hal ini diyakini bahwa antagonizes tersebut adalah DAN GDF5, GDF6 dan GDF7. Follistatin menghambat Aktivin, mengikatnya. Secara langsung mempengaruhi sekresi folliclestimulating hormone (FSH). Follistatin juga terlibat dalam kanker prostat di mana mutasi dalam gen dapat mencegah bekerjanya aktivin yang memiliki sifat anti-proliferatif. Lefty adalah pengatur TGFβ dan terlibat dalam pola axis selama embriogenesis. Ini juga merupakan anggota superfamili TGF protein. Hal ini dinyatakan dalam asymmetrically sisi kiri murine embrio dan kemudian memainkan peran spesifikasi pada kiri-kanan. Lefty bertindak mencegah fosforilasi R-SMADs. Ia melakukannya melalui konstitutif tipe I TGFβ aktif reseptor dan melalui proses downstream dalam aktivasinya. Obat berbasis (drug-base) antagonis juga telah teridentifikasi, seperti SB431542, yang secara selektif menghambat ALK4, ALK5, dan ALK7. Reseptor Regulation. Transforming growth factor receptor 3 (TGFBR3) adalah kelompok TGF-β reseptor yang paling banyak namun , ia tidak memiliki tanda yang dikenali domain . Namun dapat menjalankan peningkatkan pengikatan ligan TGF beta pada reseptor tipe II TGF beta oleh ikatan TGFβ dan dinyatakan sebagai TGFBR2. Salah satu target downstream sinyal TGF β, GIPC, mengikat pada PDZ domainnya, yang mencegah para proteosomal degradasi, kemudian meningkatkan aktivitas TGFβ. Mungkin juga berfungsi sebagai coreceptor inhibin untuk ActivinRII. BMP dan Aktivin membran mengikat inhibitor (BAMBI), yang memiliki domain ekstraselular yang sama seperti tipe I reseptor. Ketiadaan domain intraselular akan serin / treonin protein kinase dikenal sebagai pseudoreceptor. Ia mengikat reseptor tipe I untuk mencegah pengaktifannya. Berfungsi sebagai pengatur sinyal negatif TGF beta dan mungkin membatasi ekspresi TGF-beta selama embryogeneis. Hal ini membutuhkan sinyal BMP untuk berekspresi. FKBP12 mengikat daerah GS tipe I mencegah fosforilasi reseptor reseptor oleh tipe II reseptor. Hal ini diyakini bahwa FKBP12 membantu untuk mencegah aktivasi homologs tipe I reseptor dalam ketiadaan ligan, karena mengikat ligan menyebabkan disosiasi. Peran inhibitory Smad. Ada dua SMADs lain yang melengkapi SMAD family, inhibitory SMADs (I - SMADS), SMAD6 dan SMAD7. Mereka memainkan peran penting dalam regulasi sinyal TGF beta dan terlibat dalam feeback negatif. Seperti SMADs, mereka memiliki MH1 dan MH2 domain. SMAD7 bersaing dengan R-SMADs lain dengan Tipe I reseptor dan mencegah fosforilasi. Ini terjadi dalam nukleus dan setelah aktivasi reseptor TGF beta translocates ke sitoplasma tempat tipe I mengikat reseptor,SMAD6 mengikat SMAD4 dan mencegah pengikatan R-SMADs lain dengan coSMAD. Level I-SMAD TGF beta meningkat dengan sinyal yang menunjukkan bahwa mereka adalah signaling downstream target TGF-beta. E3 ubiquitin-protein SMURF2 Ligase SMURF1 meregulasi level SMADs. Mereka menerima ubiquitin dari enzim konjugasi E2 di mana mereka mentransfer ubiquitin ke RSMADs yang menyebabkan ubiquitination dan selanjutnya proteosomal degradasi,. SMURF1 mengikat SMAD5 sementara SMAD1 dan SMURF2 mengikat SMAD1, SMAD2, SMAD3, SMAD6 dan SMAD7. Hal Ini akan meningkatkan penghambatan SMAD7 da untuk sementara mengurangi kegiatan transkripsional SMAD2. Kelompok transforming growth factor beta (TGF-beta) mengontrol faktor pertumbuhan dan jaringan homeostasis di sebagian besar metazoan organisme. Selama beberapa tahun terakhir penjelasan dari jaringan sinyal transduksi TGF-beta melibatkan reseptor serin / treonin kinase pada permukaan sel dan substrat, yang mana SMAD protein, bergerak ke dalam nukleus, di mana mereka akan mengaktifkan transkripsi gen target dalam hubungannya dengan mitra pengikat DNA. Repertoar yang berbeda dari reseptor, SMAD protein, dan pengikatan DNA-mitra tampaknya mendasari, dalam sel-melalui cara tertentu, yang multifungsi sifat TGF-beta dan faktor-faktornya yang terlibat. Mutasi pada jalur-jalur tersebut adalah penyebab dari berbagai bentuk kanker manusia dan gangguan perkembangan. Sinyal Transduce protein Smad dari growth akan mengubah faktor-beta (TGF-beta) superfamili ligan yang mengatur proliferasi sel, diferensiasi dan kematian melalui aktivasi reseptor serin / treonin kinase. Fosforilasi reseptor-akan diaktifkan oleh Smads (R-Smads) yang mengarah pada pembentukan kompleks dengan mediator Common Smad (Co-Smad), yang diimpor ke inti. Smad oligomers nuklir mengikat DNA dan bergabung dengan faktorfaktor transkripsi mengatur ekspresi gen target. Sebagai alternatif, nuklir Smads R-kaitkan dengan ubiquitin Ligase dan mempromosikan transkripsional represor degradasi, dengan demikian memfasilitasi regulasi gen target oleh TGF-beta. Smads sendiri dapat juga menjadi ubiquitinated dan terdegradasi oleh proteasomes. Akhirnya, penghambatan Smads (I-Smads) memfosforilasi blok R-Smads oleh reseptor dan mempromosikan ubiquitination dan degradasi reseptor kompleks, sehingga menghambat sinyal. Protein Kinase. Protein kinase adalah enzim kinase yang mengubah protein lain dengan menambahkan gugus fosfat kimia (fosforilasi). Fosforilasi biasanya menghasilkan perubahan fungsional protein target (substrat) dengan mengubah aktivitas enzim, lokasi selular, atau asosiasi dengan protein lain. Genom manusia mengandung sekitar 500 gen protein kinase dan sekitar 2% dari seluruh gen manusia. Protein kinase juga ditemukan pada bakteri dan tanaman. Hingga 30% dari semua protein manusia dapat dimodifikasi oleh aktivitas kinase, dan kinase dikenal untuk mengatur sebagian besar jalur selular, terutama yang terlibat dalam transduksi sinyal. Gambar 11. Fosforilasi oleh protein kinase Protein kinase terdapat baik di membrane plasma maupun di sitoplasma. Pengklasifikasian protein kinase biasanya dilakukan berdasar jenis asam amino yang difosforilasi seperti tirosin kinase atau serin treonin kinase. Protein kinase secara fungsional bertugas membantu fosforilasi beberapa protein agar dapat menjalankan tugasnya selaku sinyal transduktor. Sinyal transduksi yang memerlukan kehadiran protein kinase antara lain : cAMP perlu cAMP bergantung enzim kinase, DAG perlu DAG perlu enzim kinase, kalsium perlu kalsium perlu enzim kinase, kompleks kalsiumkalmodulin perlu kalsium-kalmodulin bergantung enzim kinase, begitu juga dengan enzim siklin perlu enzim siklin perlu enzim kinase. Tirosin kinase membrane dan serin treonin kinase sebagai protein kinase di tingkat hulu (membrane) untuk dapat teraktivasi memerlukan adanya rangsang kimia. Sementara protein kinase A (PKA) dan protein kinase G (PKG) yang merupakan protein serin treonin kinase yang terlarut dalam sitoplasma memerlukan akstifasi dari nukleotida dan penyeranta kedua seperti cAMP dan cGMP. Sedangkan PKC yang merupakan keluarga terbanyak dari protein kinase distimuli oleh aktifitas penyeranta kedua DAG dan ion kalsium. Pada tingkatan transduksi yang dikatalisa oleh komplek kalmodulin-kalsium akan teraktifasi suatu enzim kinase yang dikenal sebagai protein kinase yang bergantung pada kompleks kalsiumkalmodulin. Aktivitas Kimia. Aktivitas kimia dari suatu kinase melibatkan sebuah gugus fosfat dari ATP dan kovalen melekat kepada salah satu dari tiga asam amino yang memiliki gugus hidroksil bebas. Sebagian besar aksi pada kedua kinase serin dan treonin, aksi yang lain pada tirosin, dan sejumlah (dual-kekhususan kinase) yang beraksi atas ketiganya. Ada juga protein kinase yang memfosforilasi asam amino lainnya, termasuk histidin kinase yang memfosforilasi residu histidin. Karena protein kinase memiliki efek yang besar pada sebuah sel, aktivitas mereka diatur secara ketat. Kinase yang diaktifkan atau off oleh fosforilasi (kadang-kadang oleh kinase itu sendiri - cisphosphorylation/autophosphorylation), dengan pengikatan protein aktivator atau inhibitor protein, atau molekul kecil, dengan mengontrol lokasi mereka di sel terhadap substrat. Subunit katalitik dari beberapa protein kinase sangat stabil, dan beberapa struktur telah dipecahkan. Eukaryotic protein kinase adalah enzim-enzim yang berasal dari kelompok besar protein. Ada sejumlah daerah khusus di katalitik domain pada protein kinase. Di ujung N-terminal dari domain katalitik glisin ada bagian kaya residu di sekitar asam amino lisin, yang nyata terlibat dalam pengikatan ATP. Di bagian tengah dari domain katalitik ada asam aspartat yang penting bagi aktivitas katalitik enzim. Kalsium kalmodulin-dependent protein kinase II (CaMKII) adalah contoh dari serin treonin-kinase. Serin dan treonin protein kinase (EC 2.7.11.1) memfosforilasi kelompok OH serin atau treonin (yang memiliki rantai samping yang serupa). Aktivitas kinase protein ini dapat diatur dengan peristiwa tertentu (misalnya kerusakan DNA), serta sejumlah sinyal kimia, termasuk cAMP/cGMP, diasilgliserol, dan Ca2 + kalmodulin. Satu kelompok yang sangat penting protein kinase adalah MAP kinase (singkatan dari: mitogen mikrotubulaactivated protein kinase). Subkelompok penting adalah kinase dari subfamili ERK, biasanya diaktifkan dengan mitogenic sinyal, dan stres protein kinase JNK diaktifkan oleh P38. Sementara MAP kinase serin dan treonin-spesifik, mereka diaktifkan oleh kombinasi fosforilasi pada serin- treonin dan residu tirosin. Kegiatan MAP kinase dibatasi oleh jumlah protein fosfatase, yang menghapus gugus fosfat yang ditambahkan ke serin spesifik atau treonin residu dari kinase dan diperlukan untuk menjaga kinase dalam konformasi aktif. Dua faktor utama kegiatan tersebut mempengaruhi MAP kinase: a) sinyal yang mengaktifkan reseptor transmembran (baik ligan alam, atau agen silang) dan protein yang terkait dengan mereka (mutasi yang mensimulasikan keadaan aktif), b) sinyal bahwa menonaktifkan fosfatase yang membatasi suatu MAP kinase. Sinyal semacam itu termasuk stres oksidan. Spesifik tirosin protein kinase (EC EC 2.7.10.1 dan 2.7.10.2) memfosforilasi residu tirosin asam amino, seperti serin dan treonin-kinase spesifik yang digunakan dalam signal transduksi. Mereka berperan terutama sebagai reseptor faktor pertumbuhan dan sinyal dari faktor pertumbuhan. Beberapa contoh reseptor tersebut antara lain: Platelet Derived Growth Factor Receptor (PDGFR) Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) Insulin Growth Factor 1 Receptor (IGF1R) Colony Stimulating Factor Receprot (CSFR). Kinase ini terdiri dari sebuah transmembran reseptor dengan tirosin kinase domain menonjol ke dalam sitoplasma. Mereka memainkan peran penting dalam mengatur pembelahan sel, diferensiasi selular, dan morfogenesis. Lebih dari 50 reseptor tirosin kinase diketahui pada mamalia. Ekstraselular domain berfungsi sebagai ligan mengikat bagian dari molekul. Ini bisa menjadi sebuah unit terpisah yang melekat pada reseptor lain oleh ikatan disulfida. Mekanisme yang sama dapat digunakan untuk mengikat dua reseptor bersama untuk membentuk homo-atau heterodimer. Elemen transmembran satu α heliks bagian intraselular atau sitoplasma domain bertanggung jawab terhadap aktivitas kinase, serta beberapa fungsi regulasi. Apabila protein transmembran tersebut mengikat ligan menyebabkan dua reaksi: 1. Dimerization dari dua monomer reseptor kinase atau stabilisasi dimer yang longgar. Banyak ligan dari reseptor tirosin kinase multivalent. Beberapa reseptor tirosin kinase (misalnya, berasal dari platelet-reseptor faktor pertumbuhan) yang dapat terbentuk heterodimers tetapi tidak identik kinase subfamili yang sama, sehingga respon sangat bervariasi untuk sinyal ekstraselular 2. Trans-autophosphorylation (fosforilasi oleh kinase lain dalam dimer) dari kinase. Autophosphorylation menyebabkan dua subdomain dari kinase intrinsik bergeser, membuka kinase domain untuk mengikat ATP. Dalam bentuk tidak aktif, kinase subdomain diselaraskan sehingga ATP tidak dapat mencapai pusat katalitik kinase. Ketika beberapa asam amino sesuai untuk fosforilasi pada kinase domain (mis., insulin-seperti faktor pertumbuhan reseptor), aktivitas kinase dapat meningkat dengan jumlah terfosforilasi asam amino; dalam hal ini, yang pertama dikatakan fosforilasi menjadi cisautophosphorylation, beralih yang kinase dari "off" ke "on". Hormon berikut adalah terkait reseptor tirosin kinase dan terlibat dalam sejumlah sinyal kaskade, terutama mereka yang terlibat dalam sinyal sitokin (tapi juga orang lain, termasuk hormon pertumbuhan). Salah satu terkait reseptor tirosin kinase adalah Janus kinase (JAK), banyak efek yang dimediasi oleh STAT protein. Histidine kinase secara struktural berbeda dari kebanyakan protein kinase dan banyak ditemukan di prokariota sebagai bagian dari dua komponen mekanisme transduksi sinyal. Sebuah gugus fosfat dari ATP pertama yang ditambahkan ke dalam residu histidin kinase, dan kemudian dipindahkan ke residu aspartat pada "penerima domain 'pada protein yang berbeda, atau kadang-kadang pada kinase itu sendiri. Aspartyl residu fosfat yang kemudian aktif dalam pensinyalan. Histidine kinase ditemukan secara luas di prokariota, dan juga pada tanaman, jamur dan eukariota. Para keluarga dehidrogenase piruvat kinase pada hewan secara struktural terkait dengan histidin kinase, tapi serin memfosforilasi residu, dan mungkin tidak menggunakan fosfo- histidin. Diregulasi aktivitas kinase sering menjadi penyebab penyakit, terutama kanker, dimana kinase mengatur banyak aspek yang mengontrol pertumbuhan sel, gerakan dan kematian. Obat yang menghambat kinase tertentu sedang dikembangkan untuk mengobati beberapa penyakit, dan beberapa saat ini dalam penggunaan klinis, termasuk Gleevec (imatinib) dan Iressa (gefitinib). Perkembangan obat untuk kinase inhibitor dimulai dari tes, biasanya senyawa diprofilkan untuk kekhususan sebelum pindah ke tes lebih lanjut. Banyak layanan profil yang tersedia dari neon berbasis radioisotop tes untuk deteksi. Seperti halnya protein kinase, protein kinase A (juga dikenal sebagai cyclic AMP-dependent protein kinase atau A kinase) adalah enzim protein yang kovalen dengan gugus fosfat. Karakteristik yang unik dari protein kinase A adalah bahwa aktivitas diatur oleh tingkat fluktuasi siklik AMP dalam sel (maka nya alias sebagai cyclic AMP-dependent protein kinase). Sehingga enzim ini berfungsi sebagai efektor akhir untuk berbagai hormon yang bekerja melalui jalur sinyal AMP siklik. Dengan kata lain, protein kinase A pada akhirnya bertanggung jawab atas semua respon selular karena AMP merupakan siklik sistem pembawa pesan kedua. Genetika dan Struktur. Protein kinase A holoenzyme adalah heterotetramer yang terdiri dari dua jenis subunit: 1. Katalitik subunit: subunit ini berisi situs aktif enzim. Itu juga memuat sebuah domain yang mengikat ATP (sumber fosfat) dan domain yang mengikat subunit regulasi. 2. Regulatory Subunit: Dua molekul subunit ini mengikat satu sama lain dalam orientasi anti-paralel untuk membentuk sebuah homodimer; untuk tipe I subunit (lihat di bawah), ini adalah pengikatan kovalen melalui ikatan disulfida. Subunit ini juga telah memiliki dua domain yang mengikat AMP siklik, domain yang berinteraksi dengan subunit katalitik, dan "auto-inhibisi" domain yang berfungsi sebagai substrat atau pseudosubstrate untuk subunit katalitik. Regulatory subunit mungkin juga memiliki aktivitas biologis yang berbeda dari peran mereka dalam memodulasi aktivitas subunit katalitik. Gambar 12. Gen yang mengatur aktivasi protein kinase Regulatory subunit ada dalam dua bentuk utama, RI dan RII, dengan masing-masing bentuk memiliki dua subtipe ditunjuk alfa dan beta. Masing-masing dari empat isotypes dari subunit peraturan dikodekan oleh gen yang berbeda. Selain itu, tiga isotypes dari subunit katalitik telah diidentifikasi (alfa, beta dan gamma). Isotypes yang berbeda cenderung memiliki distribusi yang berbeda di dalam sel dan di antara jaringan. Tipe I enzim sitoplasma, yang larut dari sel, sedangkan tipe II enzim cenderung untuk bergabung dengan membran selular. Konsentrasi intraselular siklik AMP memberikan informasi paling mendasar yang mengontrol aktivitas protein kinase A: 1. Ketika AMP siklik tingkat rendah, catalytic subunit terikat pada subunit regulasi dimer dan tidak aktif. 2. Sebagai konsentrasi siklik AMP meningkat, ia mengikat ke subunit regulasi, yang mengarah ke perubahan alosterik konformasi yang menyebabkan melepaskan dari subunit katalitik. 3. Free subunit katalitik aktif dan mulai memfosforilasi target mereka. Gambar 13. Peranan cAMP pada pembentukan subunit bebas Protein kinase A sering bekerja pada domain yang sangat diskrit dalam sel. Seperti penargetan spasial hasil dari interaksi tipe I peraturan subunit dengan protein yang disebut A kinase anchoring protein (AKAPs). Sejumlah besar AKAPs berbeda telah diidentifikasi dan terbukti colocalize protein kinase A sampai sebagian dari substrat spesifik, termasuk saluran ion, unsur-unsur cytoskeletal dan centrosomes. Dalam beberapa kasus, AKAPs juga mengikat molekul lain yang terlibat dalam jalur sinyal AMP siklik, termasuk phosphodiesterases berbeda, yang menghancurkan siklik AMP. Oleh sequestering kedua protein kinase A dan enzim yang pada akhirnya berubah it off ke lokasi tertentu, peristiwa fosforilasi dapat dikendalikan dengan sangat hati-hati. Aktivitas protein kinase A juga dimodulasi oleh sekelompok protein yang disebut protein kinase inhibitor. Molekul-molekul ini sering bertindak sebagai katalis untuk pseudosubstrates subunit, "mengganggu" dari fosforilasi target. Subunit katalitik protein kinase A memfosforilasi protein pada residu serin dan treonin; yang biasa sekuens target adalah [Arg-Arg-XSer/Thr-X], dimana X adalah asam amino hidrofobik. Protein kinase A phosphorylates substrat baik dalam sitoplasma dan nukleus. Protein kinase A mengalami fosforilasi merubah aktivitas sejumlah molekul penting. Termasuk dalam daftar target adalah: 1. Enzim: Fosforilasi secara luas digunakan sebagai mekanisme switching molekuler untuk mengaktifkan atau menonaktifkan aktivitas enzim. Dalam banyak kasus, enzim yang terfosforilasi itu sendiri adalah suatu kinase. Contoh klasik adalah bahwa protein kinase A fosforilase phosphorylates enzim kinase, yang, pada gilirannya, phosphorylates glikogen phorphorylase, yang mengarah pada pemecahan glikogen di hati dan otot. 2. Ion saluran: saluran kalsium tertentu dalam sel-sel otot jantung diaktifkan oleh protein kinase A, pada akhirnya menyebabkan kontraksi otot. Medis lain contoh penting adalah bahwa protein kinase A phosphorylates dan dengan demikian mengaktifkan sebuah saluran klorida penting dalam sekresi air di usus kecil. 3. Kromosomal protein: Histone H1 adalah sasaran pertama diidentifikasi untuk protein kinase A. 4. Faktor-faktor Transkripsi: CREB’s (siklik AMP respon mengikat unsur protein) adalah faktor-faktor transkripsi yang, ketika terfosforilasi oleh protein kinase A, menjadi kompeten untuk mengikat daerah promotor gen responsif dan merangsang transkripsi. Protein kinase A terlibat dalam proses-proses penting seperti energi metabolisme, kontraksi otot, membran transportasi dan ekspresi gen. Protein Kinase C. Protein kinase C sinyal transduces selular yang mempromosikan hidrolisis lipid. Enzim 80kDa ini direkrut untuk plasma membran oleh diasilgliserol dan, dalam banyak kasus, dengan kalsium. Enzim diaktifkan oleh diasilgliserol dan fosfolipid (biasanya PS) dan diperkirakan mengalami perubahan konformasi terikat pada membran. Phosphorylates PKC berbagai sasaran protein yang mengendalikan pertumbuhan dan diferensiasi selular. Struktur PKC tidak diketahui, tetapi dari PKC isozymes homolog dengan cAMPdependent protein kinase (protein kinase A), dan Orr dan Newton memiliki domain katalitik model dari PKC beta-II isozyme, berdasarkan struktur PKA. Model struktur dari katalitik domain PKC meliputi beberapa besar heliks alfa, beta bengkok lembar, dan sejumlah kecil segmen alfa-heliks. PKC mampu autophosphorylation, Sasaran PKC peptida biasanya memiliki hidrofobik residu C-terminal ke situs phosphoacceptor, dan dalam kasus pseudosubstrate peptida residu ini adalah leusin . Tirosin Kinase. Tirosin kinase adalah subclas dari protein kinase. Prinsip dari protein adalah posporilasi. Gambar 14. Protein tirosin kinase Tyrosin kinase adalah enzim yang dapat mentransfer suatu kelompok pospat dari ATP ke suatu residu tyrosin dalam suatu protein. Tyrosin kinase adalah subgrup dari kelas besar protein kinase. Posporilasi protein oleh kinase adalah suatu mekanisme penting dalam sinyal transduksi untuk regulasi aktivitas enzim. Tyrosin kinase dikelompokkan pada proten tyrosin pospatase. Protein kinase adalah group enzim yang mempunyai subunit katalitik yang mentransfer pospat gamma dari nukleotida tripospat (ATP) ke satu atau lebih residu asam amino dalam sisi rantai protein substrat yang menghasilkan perubahan konformasi yang mempengaruhi fungsi protein. Enzim dikelompokkan dalam dua kelas besar, dikarakter dengan respeknya terhadap spesifik substrat: spesifik serin/treonin dan spesifik tyrosin (domain ini). Tirosin Fosfat Gambar 15. Struktur tirosin Struktur. Ada labih dari 100 3D struktur tyrosin kinase yang tersedia di Protein data Bank. Contoh adalah PDB 1IRK, struktur kristal tyrosin kinase domain human insulin receptor. Famili tyrosin kinase dibagi dalam dua famili utama : 1. Transmembran receptor-linked kinase dan protein cytoplasmic. Rata-rata terdapat 2000 kinase yang diketahui dan lebih dari 90 Protein Tyrosin Kinase (PTKs) yang terdapat di human genom. Mereka dibagi dalam dua kelas, receptor dan non receptor PTKs. Saat ini terdapat 58 receptor tyrosin kinase (RTKs) yang diketahui, dikelompokkan dalam 20 subfamili. Mereka berperan pivotal pada bermacam-macam aktivitas seluler termasuk growth, differensiasi, metabolism, adhesi, motility, dan kematian. RTKs disusun suatu extracelluler domain yang dapat mengikat spesifik ligan, suatu transmembran domain dan intracelluler catalitik domain yang dapat mengikat dan posporilasi seleksif substrat. Pengikatan ligan ke bagian extracelluler menyebabkan series struktural rearrangement dalam RTK yang mengarahkan aktivasi enzim. Kesesuaian pergerakan beberapa bagian kinase domain memberikan akses bebas ke adenosin tripospat (ATP) dan substrat ke activ site. Trigger ini suatu kaskade dari peristiwa melalui posporilasi intraselluler protein yang pada akhirnya akan membawa (transduksi) signal ekstraselluler ke nukleus, menyebabkan perubahan dalam ekspresi gen. Banyak RTK yang terlibat dalam oncogenesis, mutasi gen atau kromosom translocation atau ekspresi gen berlebih. Pada beberapa tempat, hasil dari hyper aktiv kinase, yang menyimpang dari kebiasaan, ligand-independent, non-regulated growth stimulus ke sel kanker. Pada manusia ada 32 cytoplasmic protein tyrosin kinase. Non- reseptor tyrosin kinase diidentifikasi v-src oncogenic protein. Sel hewan berisi satu atau lebih anggota Src famili tyrosin kinase. Virus Sarcoma ayam ditemukan membawa versi mutasi selluler normal Src gene. Mutasi Src gen menghilangkan inhibisi normal built aktivitas enzim yang berkarakter seluler SRC (c-src) gen. Anggota SRC family meregulasi banyak proses seluler. Sebagai contoh, sel T antigen receptor yang mengarahkan sinya intraseluler oleh aktivasi Lck dan Fyn, dua protein yang mempunyai struktur mirip Src. Tyrosin kinase merupakan fakta penting saat ini sebab implikasi mereka dalam treatment kanker. Mutasi yang menyebabkan tyrosin kinase menjadi konstitutif aktiv diasosiasikan dengan beberapa kanker. Imatinib (jenis nama Gleevec dan Glivec) obat yang dapat mengikat potongan katalitik tyrosin kinase yang menghambat aktivitasnya. Dalam sel-sel normal, TGF-β, bertindak melalui jalur signaling, menghentikan siklus sel pada tahap G1, menghentikan proliferasi, menginduksi diferensiasi, atau apoptosis. Ketika sebuah sel berubah menjadi sel kanker, bagian dari TGF-β jalur signaling bermutasi, dan TGF-β tidak lagi mengendalikan sel. Sel-sel kanker tersebut berkembang biak. Sel stroma di sekitarnya (fibroblas) juga berkembang biak. Kedua sel meningkatkan produksi TGF-β. TGF-β ini bekerja pada sel-sel stroma di sekitarnya, sel-sel kekebalan, endotel dan sel otot halus. Hal ini menyebabkan imunosupresi dan angiogenesis, yang membuat kanker lebih invasif. TGF-β juga mengkonversi T-sel efektor, yang biasanya menyerang kanker dengan peradangan (imun) reaksi, ke dalam regulasi T-sel, yang mematikan reaksi peradangan. Receptor TGF-β TGF-beta pada faktor pertumbuhan adalah sebagai hormon yang menjadi perantara ekstraselular pertumbuhan dan proliferasi selular. TGF-beta berfungsi sebagai hormon melalui ikatan dengan reseptor TGF-beta II (RII). RII merupakan protein transmembran dan mempunyai aktivitas phosphorylative khususnya terhadap serin dan treonin. Reseptor TGF tersebar luas pada permukaan sel pada organisme eukariotik. Ada lebih dari 30 anggota family TGF-beta, jadi respon bervariasi tergantung pada sel-sel yang merespon ligan. Setelah mengikat ligan TGF-beta, TGF-beta akan terikat pada RII dan berinteraksi dengan RI. RI bertanggung jawab untuk propagasi sinyal di dalam sel. Setelah diaktifkan oleh fosforilasi oleh RII melalui GS domain, khususnya loop GS (dinamakan untuk berbagai G dan S residu), RI dapat mengikat protein R-Smad dan memfosforilasi hydrolyzing ini dengan bantuan ATP. Smad terfosforilasi ini kemudian contiunes ke inti di mana kelompok dengan berbagai faktor transkripsi mempengaruhi transkripsi. Untuk menjaga RI dari fosforilasi Smad secara spontan, molekul inhibitor FKBP12 bertumpu pada domain GS dan membentuk tutup pelindung RII serta mengurangi afinitas untuk GS doman. FKBP12 menstabilkan konformasi yang terhambat dalam struktur RI. Ketika GS loop tidak terfosforilasi berinteraksi dengan segmen aktivasi melalui alpha helix. Interaksi aktivasi segmen bergerak ke posisi di tempat yang dapat menghambat ikatan ATP dan mencegah Smad fosforilasi. Ketika para GS phosphorylates RII loop, FKBP12 dilepas, loop GS interaksi dengan heliks spesifik adalah destryoed, dan pergeseran segmen aktivasi dari ikatan ATP yang memungkinkan ATP untuk mengikat dan menjadi Smad terfosforila. Dalam tutorial ini, lima RI protein mengkristal sebagai lima subunit pentamer, namun pada vivo RI hanya ada sebagai satu rantai protein, bukan agregasi lima ditampilkan. KUIS 1. Apakah pentingnya TGF-beta dalam homeostasis? 2. Apabila dilakukan knockout gen TGF-beta fenotip apakah yang anda prediksi 3. Menurut saudara untuk melibat kemampuan sintesis TGFbeta pada seseorang, sel apakah yang mudah diperiksa? Jelaskan langkah saudara! BAB II RESEPTOR TIROSIN KINASE DAN AKTIVASI RAS Reseptor Tirosin Kinase. Reseptor tirosin kinase (RTK) adalah reseptor yang terlibat dalam sinyal transduksi, dan proses berbagai lingkungan serta sinyal intersellular. Sebaliknya, protein tirosin kinase (PTK) adalah enzim yang mengkatalisis fosforilasi residu tirosin. Dari 91 protein tirosin kinase diidentifikasi, 59 adalah reseptor tirosin kinase dan 32 nonreseptor. Sebagai komponen sentral dari jaringan sinyal sel, RTK memainkan peran penting dalam proses fisiologis, seperti embriogenesis, perkembangan dan diferensiasi neuron, proliferasi sel, sinyal anti-apoptosis dan kematian sel (apoptosis). Beberapa signaling molekul bertindak sebagai reseptor adhesi. Bagian adhesi kaya dengan tirosin protein yang mengalami fosforilasi sehingga terjadi coupling adhesi sel ke jalur sinyal transduksi dalam sel. Berbagai reseptor adhesi, seperti integrins, berhubungan erat dengan protein kinase dan fosfatase. Reseptor Tirosin Kinase (RTKs) terdiri dari empat domain: 1. Domain ekstraselular ligan. 2. Domain tirosin kinase intraseluler, dengan sekuens asam amino dalam substrat ATP dan cAMP-dependent protein kinase (cAPK, PKA). 3. Domain intraselular. 4. Domain transmembran. RTKs yang terletak di membran plasma disebut domain transmembran, sementara domain ekstraselular biasanya mengikat faktor pertumbuhan. Biasanya, ekstraselular domain terdiri dari motif struktural termasuk daerah asam, seperti domain cadherin, daerah yang kaya sistein, seperti domain discoidin, domain EGF, domain Factor VIII, fibronectin III, daerah yang kaya glisin,seperti domain immunoglobulin, domain kringle, dan daerah yang kaya leusin. Aktivasi kinase ini dilakukan dengan pengikatan ligan ke domain ekstraselular, yang menginduksi reseptor dimerization. Mengaktifkan reseptor tirosin autophosphorylate residu katalitik di luar domain melalui jalur-fosforilasi. Ini secara otomatis menstabilkan konformasi fosforilasi reseptor aktif dan menciptakan area untuk phosphoTirosin docking protein yang mengirim sinyal tranduksi di dalam sel. Gambar 16. Protein module dan docking protein yang berperan dalam sinyak tranduksi Reseptor Tirosin Kinase (RTKs). (A) Modul Protein terlibat dalam control jalur sinyal intraselular. Tirosin terfosforilasi, membentuk RTKs diaktifkan kompleks domains dengan PTB dan domain dari sinyal protein SH2. Domain SH2 domain diaktifkan reseptor sementara oleh domain PTB untuk fosforilasi tirosin dan nonphosphorilasi di daerah RTKs. PH domain mengikat pada daerah berbeda menuju membran asosiasi. Domain SH3 dan WW memiliki target utama mengikat area dengan urutan protein prolin. Domain PDZ mengikat di area hidrofobik. Residu pada Termini C merupakan target protein.Domain FYVE mengikat secara khusus untuk PdtIns. Sementara protein adaptor seperti Grb2 atau NCK hanya mengandung domain SH2 dan SH3. Signaling protein lainnya mengandung tambahan protein enzimatis seperti protein kinase PTPase (Shp2) fosfolipase C (PLC ), Ras-GAP atau Rho-GRF (Vav). (B) Docking protein yang berfungsi sebagai bentuk untuk perekrutan sinyal protein. Semua docking protein mengandung sebuah membrane terminal. FRS2 adalah target ke membran oleh myristoylation, dan LAT adalah ditargetkan ke membran sel oleh domain transmembran (TM) dan oleh palmytoylation. Kebanyakan protein docking ditargetkan ke membran sel oleh domain PH. Docking protein mengandung banyak bagian pTyr phosphorylation yang berfungsi sebagai tempat pengikatan untuk area SH2 berbagai sinyal protein. Gambar 17. Paradigma aktivasi sinyal protein sebagai respon aktivitas RTKs Setidaknya ada dua peristiwa molekuler yang diperlukan untuk induksi aktivasi sinyal RTK, karena banyak protein target RTKs terletak di membran sel, translokasi ke membran sel sangat penting bagi aktivasi dari banyak protein efektor. (A) Aktivasi PKB (juga dikenal sebagai Akt) oleh translokasi membrane PtdIns (3,4,5) P3 dalam menanggapi rangsangan faktor pertumbuhan berfungsi sebagai tempat pengikatan untuk domain PH domain dari PDK1 dan PKB. Translokasi membran disertai dengan pelepasan sebuah autoinhibition PKB kinase yang menyebabkan aktivasi dari kinase PDK1 dan PKB. Aktivasi PKB memerlukan phosphorylasi oleh PDK1 (dan juga oleh PDK2). Berbagai sasaran mencegah kematian dan apoptotic serta mengatur berbagai proses metabolisme. (B) aktivasi oleh perubahan konformasi. Pengikatan SH2 area p85, PI-3 kinase untuk bagian pTyr diaktifkan reseptor sebuah autoinhibition yang merangsang katalitik domain (p110). PI-3 kinase mengkatalisis fosforilasi dari 3 posisi Inositol PtdIns (4) P dan PtdIns (4,5) P2 untuk menghasilkan masing-masing PtdIns (3,4) P 2 dan PtdIns (3,4,5) P3. (C) aktivasi oleh fosforilasi tirosin. Pengikatan wilayah SH2 PLC untuk pTyr dalam memfasilitasi baru diaktifkan oleh reseptor fosforilasi sinus PLC serta translokasi membran. Proses ini diperantarai sebagian oleh pengikatan domain PH ke PI-3. Tirosin. Fosforilasi tirosin adalah aktivasi penting untuk PLC menuju hydrolysis dari PtdIns (4,5) P2 dan pembentukan dua second messenger Ins (1,4,5) P 3 dan diacyglycosol. Reseptor Tirosin Kinase (RTK) merupakan protein reseptor Tirosin yang memiliki aktivitas kinase intrinsik di dalam domain sitosoliknya. Ligan untuk RTK merupakan peptida yang terikat di membran ataupun peptida soluble atau protein hormon termasuk nerve growth factor (NGF), platelet-derived growth factor (PDGF), fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor (EGF), dan insulin. Aktivasi RTK oleh ligan menstimulasi aktivitas Tirosin kinase, yang selanjutnya menstimulasi jalur Ras-MAP kinase dan beberapa jalur sinyal transduksi lainnya. Jalur RTK signaling memiliki spektrum luas termasuk regulasi proliferasi dan diferensiasi sel, menginduksi survival sel, dan modulasi metabolisme seluler. RTK memiliki domain ekstraseluler yang mengandung sisi pengikatan ligan (ligandbinding site), sebuah αheliks transmembran hidrofobik tunggal, dan domain sitosolik yang termasuk bagian dengan aktivitas kinase protein Tirosin. RTK pada umumnya merupakan monomer, dan pengikatan ligan pada domain ekstraseluler menginduksi pembentukan reseptor dimer, sebagaimana digambarkan pada Gambar 4 untuk reseptor FGF. Beberapa monomer ligan, termasuk FGF, berikatan kuat dengan heparan sulfat, yaitu sebuah komponen polisakarida bermuatan negatif pada matriks ekstraseluler. Asosiasi ini meningkatkan pengikatan ligan terhadap monomer reseptor dan pembentukan kompleks ligan-dimer reseptor. Ligan untuk beberapa RTK berbentuk dimer yang mengikat dua monomer bersama-sama secara langsung. RTK yang lain, misalnya reseptor insulin, membentuk dimer dengan ikatan disulfida ketika tidak terdapat hormon. Pengikatan ligan terhadap RTK jenis ini akan mengubah konformasinya sehingga reseptor menjadi teraktivasi. Dalam kondisi resting atau tidak terstimuli, aktivitas kinase intrinsik pada RTK sangat rendah. Dalam kondisi reseptor dimer, knase pada satu subunit mampu mmfosforilasi satu atau lebih residu Tirosin di dekat sisi katalisis pada subunit yang lain. Hal ini akan mengakibatkan perubahan konformasi yang memfasilitasi pengikatan ATP pada beberapa reseptor (misalnya reseptor insulin) dan pengikatan substrat protein pada reseptor lainnya (misalnya reseptor FGF) peningkatan aktivitas kinase ini kemudian memfosforilasi sisi lain dalam domain sitosolik reseptor. Aktivasi aktivitas RTK kinase yang diinduksi ligan ini mirip dengan aktivasi JAK kinase yang berasosiasi dengan reseptor kinase. Perbedaannya terletak pada lokasi sisi katalitik kinase, dimana sisi katalitik pada RTK terdapat pada domain sitosolik, sedangkan JAK kinase terpisah dari reseptor sitokin. Kebanyakan residu fosfoTirosin dalam RTK yang teraktivasi berinteraksi dengan protein adapter, protein kecil yang mengandung domain SH2, PTB, atau SH3, tetapi tidak memiliki aktivitas enzimatik intrinsik atau signaling. Protein-protein tersebut merangkai RTK ke komponen yang lain dari jalur sinyal transduksi, misalnya aktivasi Ras. Ras, GTPase Switch Protein. Ras merupakan monomer GTP-binding switch protein, seperti subunit Gα dalam protein G trimerik, yang meregulasi antara kondisi aktif dengan mengikat GTP dan kondisi inaktif dengan mengikat GDP. Protein G trimerik secara langsung terikat dengan reseptor permukaan sel, sedangkan Ras tidak secara langsung terikat dengan reseptor permukaan sel. Aktivasi Ras dipercepat oleh guanine nucleotide-exchange factor (GEF), yang berikatan dengan kompleks RasGDP. Karena konsentrasi GTP dalam sel lebih tinggi daripada GDP, GTP berikatan secara spontan dengan molekul Ras, dengan melepaskan GEF dan membentuk Ras-GTP aktif. Selanjutnya terjadi hidrolisis pada ikatan GTP menjadi GDP sehingga terjadi deaktivasi Ras. Tidak seperti deaktivasi Gα-GTP, deaktivasi Ras-GTP membutuhkan protein lain yang disebut GTPase-activating protein (GAP) yang berikatan dengan Ras-GTP dan mempercepat aktivitas GTPase intrinsik lebih dari seratus kali. GAP mengikat fosfoTirosin spesifik pada RTK yang teraktivasi, sehingga akan mendekatkan ke Ras-GTP yang terikat membran untuk menggunakan kecepatan hidrolisis GTP. Hidrolisis GTP dikatalisis baik oleh Ras maupun GAP. Protein adapter dan Guanine Nucleotide–Exchange menghubungkan Ras dengan RTK yang teraktivasi. Factor Pengikatan ligan (EGF) pada RTK mampu menginduksi aktivasi Ras karena terdapat protein sitosol, yaitu GRB2 dan Sos. Domain SH2 pada GRB2 berikatan dengan residu fosfoTirosin spesifik pada reseptor yang teraktivasi. GRB2 juga mengandung dua domain SH3, yang berikatan dan mengaktivasi Sos, sehingga GRB2 berfungsi sebagai protein adapter bagi reseptor EGF. Sos adalah guanine nucleotide–exchange protein, yang mengkatalisis konversi bentuk inaktif Ras-GDP menjadi bentuk aktif Ras-GTP. Beberapa anggota protein adapter ditunjukkan dalam Tabel 1. Jalur aktivasi Ras oleh RTK secara skematis ditunjukkan pada Gambar 9. Gambar 18. Jalur skematis aktivasi Ras oleh RTK Tabel 1. Protein adapter yang mengaktifkan (+) dan menghambat (-) respon sel. Beberapa kelompok reseptor yang termasuk dalam TRK menurut Zwick, 2001, di antaranya adalah: • Epidermal growthfactor receptor (EGFR) family Epidermal growthfactor receptor (EGFR) family terdiri atas empat anggota, yaitu EGFR/ErbB1, HER2/ErbB2, HER3/ErbB3 dan HER4/ErbB4. Keempat reseptor tersebut memiliki dua domain ekstraseluler yang kaya sistein dan bagian intraseluler dengan rantai Cterminus yang panjang yang berfungsi sebagai tempat autofosforilasi. Anggota EGFR family diaktifkan oeh sekelompok besar EGF-related growth, yang semuanya mengandung EGF-like domain dan disintesis sebagai protein prekursur transmembran, termasuk transforming growth factor-α (TGFα), epiregulin, betacellulin, heparin-binding EGF-like growth factor, dan amphiregulin. • Insulin growth factor receptor (IGFR) family IGFR family terdiri atas insulin receptor (IR) and the insulinlike growth factor (IGF) receptor (IGF-IR). Kedua resepto tersebut tersusun atas dua subunit α ektraseluler, yang berperan dalam mengikat ligan, dan dua membrane-spanning β subunits yang menunjang domain Tirosin kinase dan autophosphorylation site. Ligan untuk kedua reseptor ini adalah insulin, IGF-I dan IGF-II. Insulin merupakan hormon metabolik, sedangkan IGF-I dan IGF-II berperan penting dalam perkembangan secara normal dan karsinogenesis. • Vascular endothelial growth factor receptor (VEGFR) family Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan salah satu inducer utama pada proliferasi sel endotel dan permeabilitas pembuluh darah. Terdapat dua RTK yang mampu mengikat VEGF, yaitu VEGFR-1 dan VEGFR-2, yang diekspresikan pada sel endotel selama perkembangan embrio dan merupakan regulator utama untuk angiogenesis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sistem ligand– receptor VEGF–VEGFR berperan dalam vaskularisasi dan metastatis tumor. Sel tumor mensekresikan VEGF yang mengaktifkan VEGFR2 dan menginduksi proliferasi sel endotel stroma. • Fibroblast growth factors receptor (FGFR) family Fibroblast growth factors (FGF) merepresentasikankelompok terbesar dalam ligan growth factor, dan sampai saat ini telah diidentifikasi 20. FGF dan reseptornya (FGFR) memiliki peran tidak hanya dalam pertumbuhan sel normal, tetapi juga dalam pembentukan tumor. Dua kelompok FGFR yang ditemukan adalah FGFR dengan afinitas tinggi dan FGFR dengan afinitas rendah. Beberapa bukti menunjukkan bahwa sisi pengikatan dengan afinitas rendah merpresentasikan heparan sulphate proteoglycan molecules (HSPG) yang terdapat pada permukaan sel. FGFR dengan afinitas tinggi memiliki empat jenis, yaitu FGFR1 (flg), FGFR2 (bek), FGFR3 and FGFR4. Pengikatan ligan pada FGFR menginduksi dimerisasi dan fosforilasi pada residu tyrosin di sitolasma, tetapi aktivasi penuh hanya dapat dicapai jika terdapat heparin. Heparin mampu mengikat sejumlah monovalen FGF sehingga terbentuk oligomer reseptor yang mengikat sekelompok FGF. • Hepatocyte growth factor receptor (HGFR) Hepatocyte growthfactor receptor (HGFR), yang dikode oleh proto-oncogene met, diidentifikasi sebagai regulator berbagai proses, seperti migrasi sel, persebaran sel dan invasi matriks ekstraseluler. HGFR merupakan heterodimer yang diikat oleh ikatan disulfida dengan α-chain and a β-chain ekstraseluler yang mengalami glikosilasi. HGFR tersusun atas domain transmembran dan domain Tirosin kinase sitoplasmik. Hepatocyte growth factor (HGF) atau scatter factor (SF), ligan reseptor ini, diekspresikan pada mesenchymal-derived cells. • RET receptor Tirosin kinase RET receptor Tirosin kinase (RET RTK) merupakan gen yang bertanggung jawab atas Multiple endocrine neoplasia type 2 (MEN2). MEN2 merupakan syndrome cancer yang diturunkan dan dikarakterisiasi melalui pertumbuhan medullary thyroid carcinoma. RET proto-oncogene mengkode protein yang dikarakterisasi oleh cadherin-like domain dan cadherin-like. RET diekspresikan selama embrigenesis pada sistem saraf tepi dan sistem urogenital. Kanker MEN2 terjadi karena dominan mengaktifkan germline ke dalam RET proto-oncogene. • Platelet-derived growthfactor receptor (PDGFR) family Ada dua anggota PDGFR family, yaitu platelet-derived growth factor receptor (PDGFR) dan Kit. Protein tersebut dikarakterisasi melalui domain ekstraseluler dengan 5 Ig-like domain dan sebuah domain Tirosin kinase intraseluler. Dua gen yang mengkode PDGFR-α dan PDGFR-β telah diidentifikasi. Kedua reseptor diaktivasi oleh ligan dimer yang tersusun atas PDGF-A dan/atau PDGF-B. Hal ini akan menginduksi dimerisasi reseptor dengan tiga kemungkinan konfigurasi, yaitu αα, ββ, αβ. KUIS 1. Apabila terjadi mutasi gen yang menyandi reseptor tirosin kinase, apakah prediksi yang saudara bisa kemukakan. 2. Jelaskan manfaat Insulin growth factor receptor (IGFR) dan TGF-α. BAB III G-PROTEIN DAN SECOND MESSENGER Organism khususnya organism multiselular untuk dapat melakukan regulasi dan koordinasi untuk tetap berada dalam keadaan yang homeostatis adalah dengan melakukan koordinasi antar sel di dalam tubuhnya. Sel untuk mampu melakukan koordinasi dengan sel lain adalah dengan melakukan komunikasi. Komunikasi antar sel ini dapat dilakukan karena adanya signal transduksi. Sel mampu menerima sinyal dari luar berupa sinyal kimia, sinyal elektromagnetik maupun sinyal mekanik. Dalam 1 sel mampu menerima lebih dari 1 sinyal kimia untuk tetap berada dalam kondisi homeostatis.Sinyal dapat diterima oleh sel lain melalui 3 tahap yaitu reception (sinyal di terima oleh reseptor), transduction (sinyal yang diterima kemudian ditindak lanjuti untuk proses berikutnya),dan respon (sinyal mentriger aktivitas celuler yang spesifik). Setiap sel target memiliki reseptor yang akan mengenali spesifik sinyal. Proses binding antara ligan (sinyal) dan reseptornya akan memberikan perubahan bentuk pada reseptor sehingga sinyal dapat masuk ke dalam sel dan berinteraksi dengan molekul di dalamnya. Sebagian besar reseptor merupakan protein membrane plasma dan sebagian besar sinyal merupakan molekul hidrofilik (water-soluble) sehingga tidak mampu untuk menembus membrane plasma yang hidrofobik. Ada 3 macam tipe reseptor yaitu a) ion-chanel reseptor, b) G-protein reseptor dan c) Tirosin-kinase reseptor. G-Protein Reseptor. G-protein reseptor disebut demikian karena protein reseptor berasosiasi dengan G-protein pada sitoplasma. G-protein bekerja sebagai on-off switch dimana jika GDP binding maka G-protein menjadi inaktif dan bila GTP binding maka G-protein menjadi aktif. G protein juga bertindak sebagai enzim GTPase yang menghidrolisis GTP menjadi GDP sehingga G-protein menjadi inaktif. System akan berhenti saat molekul sinyal ekstraselular tidak lagi berikatan pada reseptor G-protein reseptor merupakan reseptor dari berbagai macam signal molekul antara lain hormone, neurotransmitter, dan local mediator yang mana G-protein reseptor memiliki variasi struktur berbeda sesuai dengan fungsinya. Ligan yang sama akan mengaktifkan berbagai macam family berbeda. Kurang lebih 9 G-protein linked reseptor di aktifkan oleh adrenalin, 5 reseptor yang lain diaktifkan oleh acetylcoline dan kurang lebih 15 oleh serotonin. G-protein reseptor bekerja secara tidak langsung untuk melakukan regulasi aktivitas separasi protein target ikatan membrane plasma yang dapat berupa enzyme atau ion chanel. Atau dengan kata lain, G-protein reseptor secara tidak langsung mengaktivkan atau menonaktifkanikan membrane plasma enzyme atau ion chanel. Interaksi antara reseptor dan protein target melalui 3 protein yang dikenal dengan nama trimeric GTP-binding regulatory protein (G-protein) (Gambar 10). Gambar 19. G-protein linked reseptor. Mekanisme reseptor G-protein (Gambar 10) memperlihatkan ligan menempel pada reseptor. Dengan menempelnya ligan dengan reseptor akan mengaktifkan G-protein dengan cara menempel pada reseptor. G-protein yang menempel pada reseptor akan melakukan phosporilasi dan G protein lepas dari reseptor kemudian menempel dan mengaktifkan enzim atau ion chanel. Dan enzim dan ion chanel yang telah aktif akan mengaktifkan proses downstream nya. Second Messenger. Dalam tahapan singnaling transduksi umumnya merupakan mekanisme multistep. Mekanisme tersbut tersebut mengamplifikasi sinyal. Sehingga sejumlah molekul sinyal tersebut mampu memberikan respon besar terhadap sel. Multistep pathway memberikan banyak kesempatan untuk melakukan koordinasi dan regulasi. Selain itu banyak mekanisme signaling melibatkan molekul- molekul kecil, non protein, molekul water soluble atau ion yang di sebut second messenger. Molekul-molekul ini secara cepat berdifusi masuk ke dalam sel. Second messenger ini berpartisipasi dalam inisiasi pathway melalui G protein linked reseptor, tyrosin kinase reseptor dan beberapa ion chanel. Secara umum terdapat 2 second messenger yang berperan penting yaitu cyclic AMP (cAMP), IP3, maupun Ca2+. Ada 3 tipe dasar molekul second messenger: • Molekul hydrofobik (tidak larut dalam air) seperti diacylglycerol dan phosphatidylinositol, yang mana membrane berasosiasi dan berdifusi dari membrane plasma menuju ke dalam intermembran yang dapat mencapai dan meregulasi asosiasi membrane protein effektor. • Molekul hydrofilik (larut dalam air) seperti cAMP, cGMP, IP3 dan Ca+ yang berada di dalam sitosol • Gas sepeti NO dab CO dimana mampu berdifusi melalui sitosol dan keluar membrane selular. Messenger intraselular secara umum memiliki kemampuan: • Bisa disintesis atau di lepaskan dan di pecahkan kembali pada reaksi yang spesifik melalui mekanisme enzyme atau ion chanel • Beberapa (seperti Ca+) dapat disimpan pada organela spesifik dan secara cepat dilepaskan ketika dibutuhkan • Hasil metabolisme dapat memungkinkan sel bekerja secara efisien baik terhadap jarak maupun waktu. Ada beberapa perbedaan dalam system secondary messenger, tetapi semua relative sama dalam keseluruhan mekanismenya, yaitu melalui peran suatu substansi dalam mekanisme tersebut dan memberikan efek yang berbeda. Dimana suatu neurotransmitter (sinyal) berikatan dengan membrane molekul protein reseptor. Berikatannya neurotransmitter dengan reseptor akan merubah reseptor yang menyebabkan tereksposnya sisi penempelan dari G-protein. G-protein memiliki 3 subunit yaitu alpha, beta dan gamma yang saling menempel. Ketika G-protein berikatan dengan reseptornya, hal tersebut menyebabkan perubahan molekul GDP pada subunit alpha menjadi molekul GTP. Saat terjadi perubahan, alpha subunit dari G-protein lepas dari ikatan subunit beta dan gamma. Kemudian G-protein akan memproduksi suatu molekul primary effektor yang aktifitasnya kemudian membuat sinyal baru yang mampu berdifusi masuk ke dalam sel.sinyal ini yang kemudian disebut sebagai secondary messenger (Neurotransmitter sebagai first messenger). Second messenger dapat mengaktifkan secondary effector yang pengaruhnya tergantung pada particular dari sistem second messenger. G-Protein Reseptor Activated Adenylate Cyclase. G-protein berfungsi sebagai intermediary antar reseptorreseptor hormone dan enzim-enzim effektor. G-protein berfungsi sebagai mekanisme regulasi metabolism molekul-molekul dalam merespon sinyal hormonal dan merubahnya. Komplek G-protein terdapat alpha (α), beta (β) dan gamma (λ) subunit dan diikuti dengan disosiasi komplek, porsi dari masing-masing bagian bertugas dalam mekanisme aktivitas adenylyl cyclase. Ketika hormone ekstraselular berikatan dengan sel reseptor, reseptor kemudian menginisiasi pelepasan GDP dari subunit G-alpha dan kemudian menginisiasi binding antara GTP dan G-alpha subunit. Sehingga terjadi disassosiasi antara G-alpha subunit dari komplek G-beta/gamma. Pada titik ini, aktifnya g-alpha subunit dan lepasnya kompleks Gbeta/gamma dapat menstimuli aktifitas adenylyl cyclase (Gambar 10). Pada umumnya, adenylyl cyclase bertindak sebagai enzyme yang mengkatalisi ikatan cyclisasi. Secara umum, adenylyl cyclase juga bertindak sebgai enzim effektor dimana mengkatalisis 5’Adenosis Triphosphat (ATP) menjadi cyclic Adenosine Monophosphat (cAMP). Supaya adenylyl cyclase mampu berubah menjadi cyclize ATP, G-alpha harus menempel pada sisi penempelan G-alpha. Ketika G-alpha subunit berikatan, adenylyl cyclase akan menkonformasi perubahan, katalitik C1 dan C2 mengorientasi untuk memulai mengambil energy dari ATP dan memulai proses cyclisasi. Adenylate cyclase mengkatalisi ATP dari plasma membrane menjadi cAMP + PPi. Umumnya ligan yang mengaktifkan adenylate cyclase adalah berupa hormone (ex: epinephrine). Hormon menempel pada reseptor kemudian mengakitfkan adenylate cyclase menjadi cAMP. cAMP ini merupakan second messenger. Kemudian setelah proses selesai, enzyme phosphodiester mengkatalisis cAMP + H2O → AMP. Phosphodiesterase diaktifkan oleh katalisasi phosphorylasi Protein Kinase A sehingga cAMP menstimuli proses degradasi sehingga sinyal cAMP berhenti. Ketika cAMP dikatalisis, GTP pada G-alpha berubah menjadi GDP dan G-alpha subunit lepas adari cyclase. Saat terlepas, g-alpha subunit berasosiasi kembali dengan komplek Gbeta/gamma. Produksi dari cAMP di mulai ketika hormone ekstraselular yang lain menempel pada protein reseptor dan memulai proses kembali. Gambar 20. Model Ligan-Induced Activation Protein Effektor Gambar 21. G Protein Coupled Reseptor – Activated Adenylate cyclase G-Protein Reseptor Activated Phospholipase C. Phospholipase C merupakan kelas dari enzyme yang membelah (cleave) phospholipid saat sebelum gugus phosphate. sama seperti enzyme-enzym lainnya dimana phospholipase C juga berperan penting dalam mekanisme fisiologi sel eukaryotic, particular dari sinyal transduksi pathway. Terdapat 13 macam phospholipase C dari mamalia yang diklasifikasikan berdasarkan bentuk strukturnya kedalam 6 model yaitu β, γ, δ, ε, ζ, η. Gambar 22. Aktivasi fosfolipase C. Sisi pembelahan dari fosfolipase. Enzim fosfolipase memotong tepat sesaat sebelum phosphat menempel pada sisi R3. Reseptor yang mengakitifkan jalur ini utamanya adalah Reseptor G-protein yang berpasangan dengan Gαq subunit, yang termasuk didalamnya antara lain: Reseptor 5-HT2 serotonergic Reseptor α1 (Alpha-1) adrenergic Reseptor calcitonin Reseptor H1 histamin Reseptor metabotropic glutamate Reseptor M1, M3, M5 musarinic Reseptor minor activator selain Gαq antara lain MAP kinase. Mengaktivasi jalur PDGF dan FGF Βγ-kompleks dari heterotrimeric G-protein sebagai jalur minor dilepasnya growth hormone oleh growth hormone releasing hormone PLC membelah phospholipid. Dalam prosesnya, phosphatidylinositol 4,5-bisphosphate (PIP2) membelah menjadi diacyl glycerol (DAG) dan inositol 1,4,5-triphosphate (IP3). DAG tetap berikatan dengan membrane dan IP3 dilepaskan sebagai struktur yang soluble ke dalam sitosol. IP3 kemudian berdifusi melalui sitosol untuk berikatan dengan repetor IP3, particular chanel calcium dan reticulum endoplasma. Hal ini menyebabkan konsentrasi calcium dalam sitosol meningkat yang menyebabkan perubahan cascade dari intraselular dan aktivitasnya. Selain itu, calcium dan DAG bekerja bersama untuk mengaktivkan protein kinase C dimana akan berfosforilasi menjadi molekul lain, yang menimbulkan adanya aktifitas selular. IP3 akan mentriger untuk melepaskan Ca2+ dari RE. Sebagian besar ion Ca2+ disimpan pada mitokondria dan di lumen RE dan vesikel yang lain. Sel memiliki mekanisme untuk meregulasi konsentrasi ion Ca2+ di sitosol dimana biasanya dibawah 0,2M. Ca2+ ATPase memompa ion Ca2+ melalui plasma membrane ke sel eksterior atau lumen intraselular Ca2+. Berikatnnya banyak hormone pada reseptor membrane di hati liver, fat, dan sel lain menginduksi adanya elevasi di dalam Ca2+ sitosolik meskipun ketika ion Ca2+ tidak tersedia dari sekitar ekstraselular. Pada situasi ini Ca2+ akan dilepas ke dalam sitosol dari RE melalui aktivasi dari IP3 yang membuka ion chanel di membrane RE. reseptor pada membrane RE berupa protein besar yang terdiri dari 4 subunit yang identik yang masing-masing memiliki IP3 binding site di sisi N-terminal. IP3 binding menginduksi membukanya ion chanel sehingga ion Ca2+ dapat keluar dari RE ke sitosol (Gambar 12). Satu dari bermacam respon selular yang diinduksi keluar dari ion chanel yaitu sitosolik Ca2+ merupakan rekrutmen protein kinase C (PKC) menuju membrane plasma dimana telah diaktifkan sebelumnya oleh DAG. Aktifnya PKC menstimuli phosphorilasi bermacam enzim selular dan reseptor. Sepeti halnya pada Ca2+ RE, chanel IP3-gated Ca2+ berikatan, sehingga membuka cahnel TRP Ca2+ di dalam plasma membrane sehingga ion Ca2+ masuk dari ekstraselular ke dalam sitosol. Gambar 23. G Protein Coupled – Activated Phospholipase C Konsentasi hormon dalam cairan ekstrasel sangat rendah -15 -9 berkisar 10 –10 . Sel target harus membedakan antara berbagai hormon dengan konsentrasi yang kecil, juga antar hormon dengan molekul lain. Derajad pembeda dilakukan oleh molekul pengenal yang terikat pada sel target disebut Reseptor →Reseptor. Hormon merupakan molekul pengenal spesifik dari sel tempat hormon berikatan sebelum memulai efek biologiknya. Umumnya pengikatan Hormon :Reseptor ini bersifat reversibel dan nonkovalen reseptor hormon bisa terdapat pada permukaan sel (membran plasma) atau pun intraselluler. Interaksi hormon dengan reseptor permukaan sel akan memberikan sinyal pembentukan senyawa yang disebut sebagai second messenger (hormon sendiri dianggap sebagai first messenger) Jika hormon sudah berinteraksi dengan reseptor spesifiknya pada selsel target, maka peristiwa-peristiwa komunikasi intraseluler dimulai.Hal ini dapat melibatkan reaksi modifikasi seperti fosforilasi dan dapat mempunyai pengaruh pada ekspresi gen dan kadar ion. Peristiwa-peristiwa ini hanya memerlukan dilepaskannya zat-zat pengatur. Hormon dapat diklasifikasikan melalui berbagai cara yaitu menurut komposisi kimia, sifat kelarutan, lokasi reseptor dan sifat sinyal yang memperantarai kerja hormon di dalam sel. Klasifikasi hormon berdasarkan senyawa kimia pembentuknya: 1. Golongan Steroid→turunan dari kolestrerol 2. Golongan Eikosanoid yaitu dari asam arachidonat 3. Golongan derivat Asam Amino dengan molekul yang kecil (Thyroid,Katekolamin) 4. Golongan Polipeptida/Protein (Insulin,Glukagon,GH,TSH ) Berdasarkan sifat kelarutan molekul hormon: 1. Lipofilik : kelompok hormon yang dapat larut dalam lemak 2. Hidrofilik : kelompok hormon yang dapat larut dalam air Berdasarkan lokasi reseptor hormon: 1. Hormon yang berikatan dengan hormon dengan reseptor intraseluler 2. Hormon yang berikatan dengan reseptor permukaan sel (plasma membran) Berdasarkan sifat sinyal yang mengantarai kerja hormon di dalam sel:kelompok Hormon yang menggunakan kelompok second messenger senyawa cAMP,cGMP,Ca2+, Fosfoinositol, Lintasan Kinase sebagai mediator intraseluler Aktivasi Protein G. Protein G adalah protein yang terdiri dari 3 sub unit yaitu α, β, γ, dimana sub unit α memiliki kemampuan untuk mengikat baik GDP maupun GTP. Pada keadaan tidak aktif sub unit α akan mengikat GDP, sedangkan pada saat aktif akan mengikat GTP. Dalam keadaan aktif akibat terstimulasi oleh aktifasi reseptor, sub unit α akan berjalan menyusuri permukaan dalam membrane sel sampai bertemu dengan protein enzim atau transmembran. Berikatannya sub unit α pada enzim atau saluran transmembran akan mengaktivasi proses pembukaan atau penutupan saluran transmembran. Inaktivasi sub unit α dilakukan dengan menghidrolisis gugus GTP menjadi GDP. Ketika tidak ada stimulus, reseptor dan G protein inaktif dan terpisah, ketika signal ekstraseluler terikat dgn reseptor, terjadi perubahan konformasi pada reseptor; G protein terikat reseptor, Perubahan pada α-subunit menyebabkan GDP digantikan oleh GTP, selanjutnya menyebabkan α-subunit terpisah dari βγ-subunit Reseptor yang mengikat GTP - binding Protein (G - protein) G-Protein linked reseptor Gambar 24. Target molekul Protein G 1. Kanal ion Asetilkolin menyebabkan disosiasi α dan ßγ 2. Enzim yang terikat pada membran plasma a. Adenil siklase merubah ATP → cAMP b. Fosfolipase C akan merubah inositolfosfolipid menjadi IP3 dan DAG. Inositol trifosfat (IP3), berfungsi membuka kanal Ca 2+ pada membran Retikulum Endoplasma (RE), sehingga terjadi peningkatan konsentrasi ion Ca 2+ di sitoplasma. Diacylglycerin (DAG), akan megaktifasi protein kinase C (PKC) untuk variasi respon Adenylate Cyclase. Transmembran reseptor dari berbagai hormon yang digabungkan untuk adenilat cyclase (AC) melalui heterotrimeric Gprotein. Ligan mengikat reseptor, mengubah konformasi reseptor, sehingga memungkinkannya untuk berasosiasi dengan G protein. Hal ini menyebabkan aktivasi G-protein spesifik melalui pertukaran GTP menjadi GDP dan terikat pada subunit α-G-protein. Yang diaktifkan G-protein pada gilirannya mengaktifkan AC menghasilkan konversi ATP untuk cAMP. cAMP lalu bertindak untuk mengatur berbagai proses selular. AC dapat berpasangan dengan baik dan menstimulasi inhibitor G-protein (Gs dan Gi, masing-masing). Gs merangsang interaksi aktivitas dan interaksi dengan Gi menghambat aktivitas enzimatik. Adenilate cyclase yang teraktifkan oleh sub unit dari protein G akan menghasilkan cAMP, dimana cAMP akan berperan sebagai penyeranta kedua yang mengaktifasi protein kinase A (PKA). PKA akan mengaktifasi beberapa protein factor transkripsi yang akan menstimulasi proses penyandian gen structural. Tiga subkelompok reseptor adrenergik berhubungan dengan sistem adenilat siklase. Hormon yang terikat pada reseptor β1 dan β2 akan mengaktifkan enzim adenilat siklase, sedangkan hormon yang terikat pada reseptor α2 akan menghambat enzim ini. Kerja hormon epineprin dapat meningkatkan kadar cAMP dalam sel otot melalui pengaktifan sistem β adrenergik ini yang melalui perangkaian reseptor pada Potein G. Protein G mengikat GTP dan GTP merangsang adenilat siklase untuk mensintesis cAMP. cAMP yang terbentuk akan mengaktifkan enzim fosforilase kinase dan menginaktifkan enzim glikogen sintase melalui aktifitas protein kinase. Enzim Adenilat Siklase berada pada permukaan internal membran plasma mengkatalisasi pembentukan cAMP dari ATP. Apabila aktifitas enzim Adenilat Siklase meniongkat maka jumlah cAMP juga meningkat. Pengaturan aktivasi dan inaktivasi enzim Adenilat siklase oleh hormon berlangsung dengan perantara: 1. Reseptor spesifik hormon pada permukaan luar membran plasma (Rs atau Ri) 2. Paling sedikit 2 protein pengatur nukleotida guanosin (protein G) yang tergantung GTP Protein pengatur ini diberi simbol Gs(stimulasi) dan Gi(inhibisi) yang masing-masing tersusun tiga subunit α,β,γ. Subunit β dan γ dalam Gs identik dengan dalam Gi, sedangkan subunit α dalam Gs berbeda dengan dalam Gi diberi tanda αs dan αi. Pengikatan sebuah hormon dengan reseptor meningkatkan interaksi reseptor dengan kompleks perangsang Gs .Dengan pengantaraan 2+ reseptor berlangsung pengikatan GTP yang tergantung pada Mg oleh α dan disosiasi sekaligus β dan γ dari α. Subunit α dapat juga merupakan ADP ter-ribosilasi sebagai respon terhadap toksin Kolera yang mengaktivasinya.Dalam menimbulkan proses tersebut akan membuat inaktif enzim GTPase,dengan demikian αs dibekukan dalam bentuk aktif.Toksin Pertusis dapat memblokir inaktivasi dari adenilat siklase melalui aktivitas ribosiltransferase-ADP pada subunit αi Phospolipase C. Jalur Phospolipase C, yang teraktifkan oleh sub unit dari protein G akan menghidrolisis Fosfatidilinositol 4’, 5’- bifosfat menjadi 2 molekul penyetara kedua, yaitu Inositol 4’, 5’, 6’ trifosfat (IP3) dan Diasil gliserol (DAG). Dimana IP3 akan memasuki sitosol dan DAG tetap berada di membrane sel. IP3 akan berikatan dengan saluran ion kalsium di membrane plasma dan di reticulum endoplasma, serta membuka saluran tersebut. Terbukanya saluran ion, akan mengakibatkan terjadinya pemasukan ion kalsium ke dalam sitoplasma secara konsentrasi gradient. Di sitosol ion kalsium akan berikatan dengan protein kalmodulin, dimana molekul kalsium kalmodulin (Ca-Kam) akan mengaktifasi protein Ca-Kam protein kinase yang akan mengaktifasi protein factor transkripsi yang akan menstimulasi terjadinya proses penyandian gen structural. Sementara DAG akan berikatan dengan protein kinase C, dimana protein kinase C yang berikatan dengan DAG akan menjadi aktif dan menstimulasi beberapa protein penghubung sintesa protein (factor transduksi sitosolik dan factor transkripsi). Protein Kinase dan Protein Fosfatase. Protein kinase terdapat baik di membrane plasma maupun di dalam sitoplasma. Pengklasifikasian protein kinase biasanya dilakukan berdasar jenis asam amino yang difosforilasinya seperti tirosin kinase atau serin treonin kinase. Protein kinase secara fungsional bertugas membantu fosforilasi beberapa protein agar dapat menjalankan tuganya selaku sinyal transduktor. Sinyal transduksi yang memerlukan kehadiran protein kinase antara lain cAMP yang bergantung pada enzim kinase. Tirosin kinase membran dan serin treonin kinase sebagai protein kinase di tingkat membran untuk dapat teraktifasi memerlukan adanya rangsang kimia. Sementara itu protein kinase A (PKA) dan protein kinase G (PKG) yang merupakan protein serin treonin kinase yang terlarut dalam sitoplasma memerlukan aktifasi dari nukleotida dan penyentara kedua seperti cAMP dan cGMP. Sedangkan Protein Kinaase C yang merupakan keluarga terbanyak dari protein kinase distimulasi oleh aktifitas penyentara kedua DAG dan ion kalsium. Pengaktifan Protein Kinase Oleh cAMP. Dalam sel eukariot, cAMP berikatan dengan Protein Kinase yaitu sebuah molekul heterotetramer terdiri atas 2 subunit regulasi dan 2 subunit katalitik. Pengikatan cAMP menghasilkan reaksi: 4 cAM + R2C2 ↔ 2 (R-2cAMP) + 2C Kompleks R2C2 tidak punya aktifitas enzim tetapi pengikatan cAMP dengan R memisahkan R dari C dengan demikian mengaktifkan unsur C ini. Subunit C yang aktif mengkatalisis pemindahan P dari ATP ke residu serin atau treonin dari protein ( efek fisiologik). Gambar 25. Pengaktifan G protein cGMP sebagai Second Messenger. cGMP merupakan senyawa second messenger yang dibentuk dari GTP oleh kerja enzim Guanilil Siklase, yang terdapat dalam bentuk larut dan terikat membran.Hormon Atriopeptin, suatu famili peptida dihasilkan dalam atrium jantung, menyebabkan natriuresis, diuresis,vasodilatasi otot dan inhibisi sekresi aldosteron. Hormon peptida ini akan mengaktifkan enzim guanilil siklase sehingga cGMP meningkat dan dapat menyebabkan hormone bekerja efisien. Senyawa nitroprusida,nitrogliserin, natrium nitrit, natrium azida, nitogen oksida (NO) meningkatkan cGMP dengan mengaktifkan guanilil siklase . Peningkatan cGMP akan berikatan dan mengaktifkan Protein Kinase Spesifik (Kinase G ) yang analog dengan Kinase A. Enzim ini akan melakukan fosforilasi terhadap sejumlah protein otot polos. Peristiwa ini agaknya terlibat dalam proses relaksasi otot polos dan vasodilatasi. Ca2+ Sebagai Second Messenger. Secara luas kalsium terionisasi merupakan unsur regulator proses seluler termasuk kontraksi otot, rangkaian proses pembekuan darah, aktifitas enzim dan eksitabilitas membran dan mediator dari kerja hormon.Peran kalsium ion dalam aksi hormon diusulkan karena banyak hormon: 1. Dihambat dalam media kalsium bebas atau bila kadar kalsium intrasel berkurang 2. Mempengaruhi aliran kalsium sel Diketahui konsentrasi Ca2+ sitosol lebih rendah dibandingkan konsentrasi Ca2+ dalam cairan ekstraseluler dan organela intraseluler.Keadaan ini dipertahankan oleh adanya pompa Ca2+ / Mg2+ ATPase dependent.Hormon dan zat efektor lain dapat merangsang pelepasan ion kalsium ke dalam sitosol. Jalan utama hormon meningkatkan penambahan Ca2+ adalahmelalui stimulasi dari produksi InsP3 yang dihasilkan oleh pemecahan dari PIP2 yang diperantarai fosfolipase C. PIP2 (Phosphatidil Inositida 4,5 Bisphosphat) merupakan senyawa phospholipid dari membran, memainkan peranan dalam aksi hormon yang tergantung Ca2+. Produk metabolisme PIP2 diduga menyediakan komunikasi antara reseptor hormon membran plasma dengan reservoir Ca2+ intrasel dan mempengaruhi Ca2+ channel. Dalam aksi hormon PIP2 akan dihidrolisis menjadi dua senyawa yaitu : 1. Inositol 1,4,5 Triphosphat (InsP3), merupakan senyawa yang efektif mempengaruhi mitokhondria dan RES mengeluarkan 2+ Ca k sitoplasma. 2. Diasil Gliserol, mampu mengaktifkan protein kinase sehingga terjadi fosforilasi sejumlah protein, sebahagian merupalan komponen pompa ion dan mendorong peningkatan ion kalsium sitoplasma KUIS 1. Apakah kaitan G-protein dengan pembentukan Energi level sel? 2. Apabila Ca2+ pada asupan makanan jumlahnya tidak mencukupi signal transduksi manakah yang akan terpengaruh? BAB IV PERTAHANAN TUBUH Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara. Secara umum mikroorganisme yang dapat menimbulkan penyakit disebut patogen. Patogen yang telah masuk akan menimbulkan penyakit dengan pelbagai mekanisme. Segala macam mikroorganisme yang menginvasi vertebrata akan berhadapan dengan imunitas innate sebagai pertahanan pertama yang terjadi beberapa menit setelah infeksi. Imunitas adaptif akan timbul apabila pertahanan pertama ini tidak mampu mengeliminasi patogen yang masuk. Imunitas innate (cepat: 0-4 jam) Infeksi Pengenalan oleh efektor nonspesifik Respon yang terinduksi (segera: 4-96 jam) Infeksi Perekrutansel efektor Respon imunitas adaptive (lambat: > 96 jam) Infeksi Transpor antigen menuju organ limfoid Pemusnahan agen penginfeksi Pengenalan, aktivasi sel efektor Pengenalan oleh sel T dan B naive Pemusnahan agen penginfeksi Ekspansi klon dan diferensiasi sel efektor Pemusnahan agen penginfeksi Gambar 26. Respon terhadap infeksi terdiri dari tiga fase. Mekanisme efektor yang membersihkan agen penginfeksi, contohnya makrofag dan komplemen. Dua fase pertama tidak memerlukan spesifikasi antigen, artinya semua antigen akan dikenali oleh sistem imun yang bekerja pada dua fase pertama ini. Fase ketiga adalah fase imunitas adaptif. Fase ini memerlukan reseptor yang spesifik yang terbentuk dari gene rearrangement. Imunitas adaptif bekerja pada fase akhir. Pertahanan pertama tidak dapat menuntaskan tugasnya antara lain karena besarnya jumlah invader yang masuk, cacat genetik, maupun lemahnya sistem pertahanan itu sendiri akibat kurang gizi. Sel-sel epitel pada permukaan tubuh mempunyai peran penting sebagai penghalang masuknya mikroorganisme dalam tubuh. Sekresi kelenjar minyak maupun keringat juga mempunyai peran dalam sistem pertahanan pertama. Makrofag dan neutrofil merupakan komponen selluler pertahanan pertama yang bersifat fagosit, sedangkan NK berperan sebagai sitotoksik pada pertahanan pertama. NK merupakan sel yang memiliki jalur sama dengan sel limfosit hanya saja tidak mempunyai antigen khusus yang dikenali pada targetnya. NK mengenali sel yang mengalami kanker dengan cara mendeteksi penurunan ekspresi molekul MHC. Mamalia rentan terhadap infeksi patogen. Patogen pada awalnya mengadakan kontak dengan host, selanjutnya menyebabkan infeksi dan sakit pada host. Satu patogen dengan yang lain mempunyai perbedaan struktur yang sangat besar pada molekul permukaan dan cara melakukan infeksi, sehingga diperlukan strategi yang berbeda dalam tubuh host untuk melakukan sistem pertahanan. Garis pertama pertahanan tubuh telah tersedia dan siap menghalangi dan menolak invader setiap saat. Permukaan sel-sel epitel menyebabkan patogen tetap berada di luar dan sulit mengadakan penetrasi. Kulit misalnya, menghalangi penempelan patogen dengan cara menghasilkan enzim antimikrobia dan peptida. Kulit juga menghasilkan minyak yang dapat membunuh beberapa patogen. Virus, bakteri, dan parasit yang berhasil menjebolkan pertahanan pertama akan segera berhadapan dengan makrofag pada jaringan. Makrofag mempunyai reseptor permukaan yang dapat mengikat dan memfagosit bermacam-macam patogen. Peristiwa ini pada gilirannya akan menyebabkan respon inflamasi yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi protein plasma, termasuk komponen komplemen yang menjadi bagian humoral imunitas innate , dan aktivitas fagosit oleh neutrofil pada daerah infeksi. Imunitas innate merupakan garis pertahanan pertama yang secara langsung dapat bekerja nonspesifik jika ada patogen yang masuk. Imunitas innate ini tidak berubah kemampuannya jika pada waktu yang lain terinfeksi baik patogen yang sama maupun berbeda, karena tidak mempunyai memori setelah terjadinya infeksi. Kerja imunitas innate ini pada umumnya berhasil menghalangi terjadinya infeksi. Apabila imunitas innate tidak berhasil mengeliminasi agen penginfeksi, makrofag dan sel lain yang telah teraktivasi pada respon innate akan segera membantu inisiasi respon imunitas adaptif. Pengenalan Antigen Oleh Sel B dan T. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa tubuh dipertahankan dengan imunitas innate, tetapi sistem tersebut hanya mengontrol patogen yang mempunyai susunan molekul tertentu atau patogen tersebut menginduksi tersintesisnya interferon atau molekul efektor lain. Imunitas innate tidak membentuk memori dan imunitas innate ini bekerja dengan reseptor yang dikode di dalam genom. Imunitas innate sangat penting untuk menjaga agar patogen tidak berkembang bebas di dalam tubuh, namun imunitas innate tidak memiliki sifat yang dimiliki inunitas adaptif. Imunitas adaptif memiliki memori yang bertahan dalam waktu sangat lama terhadap antigen spesifik. Untuk mengenali dan melawan patogen yang memiliki diversitas tinggi, limfosit sebagai komponen imunitas adaptif telah berkembang dan dapat mengenali diversitas yang tinggi dari antigen bakteri, virus, dan organisme penyebab penyakit lainnya. Molekul pengenalan sel B adalah imunoglobulin, Ig. Imunoglobulin diproduksi oleh sel B dalam keadaan yang sangat beragam sesuai dengan keragaman antigen. Setiap sel B memproduksi imunoglobulin tunggal. Imunoglobulin yang berada pada permukaan sel berfungsi sebagai reseptor sel untuk suatu antigen yang disebut B-cell receptor (BCR). Imunoglobulin disekresi dalam bentuk antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yaitu sel B yang teraktivasi. Sekresi antibodi yang mengikat patogen atau substansi beracun yang diproduksi patogen pada ekstraselluler, merupakan peranan utama sel B pada imunitas adaptif. Antibodi merupakan molekul pertama yang diketahui terlibat pada pengenalan antigen secara spesifik. Molekul antibodi mempunyai dua peranan yang terpisah: pertama mengikat molekul patogen untuk meningkatkan respon imun, kedua untuk merekrut selsel imunokompeten dan molekul efektor lainnya ketika antibodi tersebut telah berikatan dengan targetnya. Sebagai contoh, ikatan antibodi pada virus akan memberikan reaksi netralisasi di samping memberi penanda pada virus tersebut agar mudah dikenali oleh sel fagosit dan komplemen. Dua fungsi tersebut terpisah pada molekul antibodi, satu bagian terspesifikasi untuk mengenali dan mengikat patogen atau antigen, sedangkan bagian lain terlibat pada mekanisme efektor lain. Sisi ikatan pada molekul antigen mempunyai variasi yang sangat beragam yang selanjutnya dikenal sebagai daerah variabel. Keberagaman antibodi memungkinkan pengenalan antigen yang berbeda-beda, dan populasi keseluruhan (repertoire) antibodi yang terbuat pada setiap individu keragamannya demikian besar untuk memastikan bahwa setiap struktur antigen asing akan ada yang mengenali. Bagian antibodi yang terlibat untuk fungsi efektor pada sistem imun tidak mempunyai variasi sebagaimana bagian variabel sehingga bagian tersebut disebut bagian konstan. Bagian konstan ini memiliki lima bentuk utama, yang mana setiap bentuk berfungsi untuk mengaktifkan mekanisme efektor yang berbeda. Reseptor sel B yang berikatan dengan membran tidak mempunyai fungsi efektor, karena bagian konstan tetap berada di dalam membran sel B. Bagian konstan yang berada di dalam membran sel berfungsi mentransmisi signal yang menyebabkan sel B teraktivasi dan terjadinya ekspansi klon dan produksi antibodi spesifik, ketika variabel mengikat antigen yang spesifik. Molekul yang digunakan sel T untuk mengenal antigen merupakan protein yang terikat pada membran dan berfungsi sebagai pemberi signal pada sel T sehingga mengalami aktivasi. Molekul itu selanjutnya disebut reseptor sel T (T-cell receptor/TCR). TCR sangat dekat hubungannya dengan imunoglobulin baik pada struktur molekulnya yang mempunyai bagian variabel (V region) dan bagian konstan (C region) maupun pada mekanisme pembentukan diversitas molekul yang sangat tinggi. Namun demikian reseptor sel T mempunyai perbedaan penting dengan reseptor sel B, dimana reseptor sel T tidak dapat mengenali dan mengikat antigen secara langsung. Reseptor sel T hanya mengenali fragmen peptida pendek dari protein patogen yang terikat molekul MHC pada permukaan sel lain. Molekul MHC merupakan glikoprotein yang disandi oleh gen dalam klaster yang besar yang disebut major histocompatibility complex (MHC). Sifat khas molekul ini adalah adanya celah pada permukaan paling luar. Celah yang ada pada molekul MHC ini berfungsi untuk mengikat berbagai macam peptida. Pada suatu populasi molekul MHC mempunyai variasi genetik yang sangat tinggi. Pada setiap individu memiliki sampai 12 varian molekul MHC, sehingga memungkinkan presentasi berbagai macam peptida yang berasal dari patogen. Reseptor sel T mengenali peptida patogen maupun sifat dari molekul MHC yang mengikat peptida itu. Pengenalan dengan cara ini memberikan dimensi patogen yang lebih spesifik pada TCR yang dikenal dengan istilah restriksi MHC (MHC restriction). Istilah ini sangat tepat karena semua reseptor sel T bersifat spesifik tidak saja pada peptida antigen asing, namun juga terkait kombinasi antara peptida dengan molekul MHC. Meskipun sel B dan sel T mengenali molekul asing dengan cara yang berbeda, namun kedua reseptor sel tersebut mempunyai struktur yang sama. Struktur Molekul Antibodi. Antibodi merupakan reseptor sel B yang disekresi, sehingga identik dengan reseptor sel B itu sendiri kecuali pada C-terminal dari bagian konstan rantai berat. Pada reseptor sel B, C-terminal pada membran berupa squence yang bersifat hidrofobik, dan pada antibodi C-terminal berupa squence yang bersifat hidrofilik yang memungkinkan terjadinya sekresi molekul tersebut. Antibodi bersifat terlarut dan disekresi dalam jumlah yang besar sehingga mudah diperoleh dan mudah dipelajari. Molekul antibodi secara garis besar digambarkan sebagi huruf ”Y”. Tiga skema struktur antibodi yang diperoleh dari sinar-X kristalografi diperlihatkan pada Gambar 47. Semua antibodi disusun dengan cara yang sama dari pasangan polipeptida rantai berat dan ringan dan secara umum protein itu dinamakan imunoglobulin. Secara umum imunoglobulin dibagi menjadi lima kelas yang berbeda yakni: IgM, IgD, IgG, IgA, dan IgE yang dapat dibedakan pada bagian konstannya (C region). Antibodi IgG Terdiri Dari Empat Rantai Polipeptida. Antibodi IgG merupakan molekul besar dengan berat molekul sekitar 150 kDa, terdiri dari dua rantai polipeptida yang berbeda. Rantai berat (rantai H) berkisar 50 kDa, sedangkan rantai ringan (rantai L) berkisar 25 kDa. Setiap molekul IgG mempunyai dua rantai H dan dua rantai L. Dua rantai berat satu sama lain dihubungkan dengan ikatan disulfida, dan setiap rantai H dihubungkan dengan rantai L dengan ikatan disulfida. Pada setiap tipe molekul imunoglobulin, dua rantai H dan dua rantai L identik satu sama lain yang menjadikan molekul antibodi mempunyai dua sisi ikatan dengan antigen yang identik. Dua tipe rantai ringan yang dikenal dengan istilah rantai lamda (λ) dan kappa (ĸ) ditemukan pada antibodi. Imunoglobulin tertentu hanya memiliki salah satu rantai lamda (λ) atau kappa (ĸ), dan tidak pernah kedua-duanya ada bersama-sama.Tidak ditemukan perbedaan fungsi antara antibodi yang memiliki rantai lamda (λ) dan kappa (gen ĸ). Rasio rantai ringan lamda (λ) dan kappa (ĸ) berbeda-beda antara spesies satu dengan yang lain. Pada mencit rasio rantai lamda (λ) dan kappa (ĸ) 1 :20, sedangkan pada manusia 1 : 2 dan pada lembu 20:1. Rasio yang berbeda-beda ini sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Distorsi rasio rantai lamda (λ) dan kappa (ĸ) terkadang dijadikan untuk mendeteksi adanya kelainan proliferasi klon sel B. Rantai lamda (λ) dan kappa (ĸ) diekspresikan dengan rasio identik pada semua sel B, sehingga kelebihan lamda (λ) pada manusia misalnya, menjadi indikasi adanya tumor yang bersal dari sel B yang memproduksi rantai lamda (λ). Kelas antibodi didasarkan pada struktur rantai berat. Ada lima kelas utama (isotipe) rantai berat, beberapa di antaranya mempunyai subtype, dan hal ini menentukan fungsi aktivitas molekul antibodi. Lima kelas utama imunoglobulin adalah imunoglobulin M (IgM), imunoglobulin D (IgD), imunoglobulin G (IgG), imunoglobulin A (IgA), dan imunoglobulin E (IgE). Masing-masing rantai beratnya ditandai dengan simbul berturut-turut (µ, δ, γ, α, dan ε). IgG merupakan imunoglobulin yang jumlahnya berlimpah dan mempunyai beberapa subkelas (pada manusia IgG1, 2, 3, dan 4). Fungsi yang berbeda dari imunoglobulin ditentukan oleh bagian ujung karbon rantai berat, dan sama sekali tidak terkait dengan rantai ringan. Secara umum sifat struktur dari seluruh isotipe sama, dan pada buku ini kita akan membahas IgG yang merupakan isotipe imunoglobulin paling banyak pada plasma. Imunoglobulin Tersusun Atas Bagian Konstan dan Variabel. Urutan asam amino rantai berat dan ringan dari suatu imunoglobulin telah diketahui dan menunjukkan dua sifat penting molekul antibodi. Pertama, masing-masing rantai terdiri dari urutan yang sama, meskipun tidak identik. Masing-masing tersusun atas 110 asam amino. Setiap pengulangan urutan asam amino berhubungan dengan kepadatan struktur protein yang menyusun setiap bagian imunoglobulin yang selanjutnya disebut domain. Rantai ringan tersusun oleh dua domain, sedangkan rantai berat IgG tersusun atas empat domain. Diduga rantai imunoglobulin berevolusi dengan mengadakan duplikasi gen yang awalnya berupa domain tunggal. Sifat penting kedua yang ditunjukkan oleh urutan asam amino terminal pada rantai ringan dan rantai berat adalah adanya perbedaan urutan asam amino yang sangat menyolok pada setiap antibodi yang dihasilkan oleh klon sel B yang berbeda. Asam amino terminal pada daerah variabel baik dari rantai ringan maupun berat (VL dan VH) secara bersama-sama membentuk bagian V antibodi yang menentukan kemampuannya mengikat antigen spesifik. Domain konstan dari rantai ringan dan berat (CL dan CH) akan membentuk bagian konstan (C region) antibodi. Antibodi Dapat Dipecah Menjadi Fragmen Yang Tidak Kehilangan Fungsi. Domain protein yang digambarkan di atas berhubungan satu sama lain membentuk domain globular. Suatu antibodi terdiri atas tiga protein globular yang mempunyai ukuran yang sama yang digabungkan oleh polipeptida yang disebut hinge region. Setiap lengan dari bentuk ”Y” dibentuk dari gabungan rantai ringan dengan amino terminal yang separuhnya berasal dari rantai berat. Badan ”Y” dibentuk dari bagian yang sama dari dua rantai berat. Gabungan rantai ringan dan berat berupa pasangan, contohnya domain VL dan VH, demikian juga domain CH1 dan CL. Domain CH3 berpasangan dengan domain yang sama-sama berasal dari rantai berat, sedangkan domain CH2 tidak berinteraksi satu sama lain. Pada domain CH2 terdapat rantai karbohidrat namun didak terjadi interaksi satu sama lain. Dua sisi pengikat antigen terbentuk dari pasangan domain VL dan VH pada ujung lengan ”Y”. Enzim proteolitik (protease) yang dapat memecah urutan polipeptida digunakan untuk menganalisis molekul antibodi dan digunakan untuk menentukan fungsi bagianbagian molekul tersebut. Pemecahan molekul antibodi dengan menggunakan protease papain akan menghasilkan tiga fragmen. Dua fragmen mempunyai sifat identik yang berfungsi sebagai sisi ikatan untuk antigen. Fragmen ini selanjutnya disebut fragmen Fab, yang menyatakan kependekan dari Fragmen antigen binding. Fragmen Fab berupa dua lengan yang identik dari molekul antibodi. Fragmen Fab terdiri dari seluruh molekul rantai ringan berpasangan dengan domain VH dan CH1 dari rantai berat. Fragmen lain berupa molekul yang tidak mengandung sisi ikat terhadap antigen dan fragmen tersebut mudah menjadi kristal (crystallize readily) sehingga disebut fragmen Fc, yang menyatakan kependekan dari Fragmen crystallizable. Fragmen Fc merupakan pasangan domain CH2 dan CH3 dan merupakan bagian molekul antibodi yang berinteraksi dengan molekul efektor dan sel. Perbedaan fungsi di antara isotipe rantai berat terletak pada fragmen Fc. Fragmen protein yang diperoleh setelah proteolisis ditentukan oleh letak pemutusan molekul antibodi oleh enzim proteolitik itu yang berhubungan dengan ikatan disulfida pada dua rantai berat. Ikatan disulfida itu terletak pada bagian hinge antara domain CH1 dan CH2. Papain membelah molekul antibodi pada asam amino terminal pada ikatan disulfida. Pembelahan dengan menggunakan papain akan menghasilkan dua lengan identik yang berupa fragmen Fab, sedangkan fragmen Fc carboxy-terminal dari rantai berat tetap lengket. Enzim proteolitik yang lain pepsin misalnya, mempunyai sisi pembelahan yang berbeda dari yang dilakukan papain. Secara umum pepsin melakukan pembelahan pada daerah yang sama dengan yang dilakukan papain namun bekerja pada carboxy-terminal dari ikatan disulfida. Pembelahan dengan enzim pepsin ini akan menghasilkan satu fragmen F(ab’) dimana dua lengan pengikat antigen itu tetap bersatu. Pada pembelahan dengan enzim pepsin rantai berat terbelah menjadi beberapa fragmen kecil. Fragmen F(ab’) mempunyai sifat yang sama sekali tidak berubah dengan ketika berada pada molekul antibodi yang utuh, namun tidak dapat berinteraksi dengan molekul efektor. Rekayasa genetika sekarang memungkinkan membuat kontruksi bermacam-macam antibodi. Satu tipe yang penting adalah Fab yang hanya terdiri dari domain V dari rantai berat yang diikatkan dengan peptida sintetik pada domain V dari rantai ringan. Fragmen seperti itu selanjutnya dikenal dengan single-chain Fv, yang menyatakan Fragmen variabel. Molekul Fv berpotensi menjadi agen terapi karena ukurannya yang kecil sehingga memungkinkan menembus jaringan dengan mudah. Molekul semacam ini bisa digabungkan dengan protein toksin yang menghasilkan imunotoksin yang berpotensi untuk aplikasi klinik, misalnya pada terapi tumor jika molekul Fv spesifik untuk antigen tumor. Imunoglobulin Bersifat Fleksibel Utamanya Pada Daerah Hinge. Daerah hinge yang menghubungkan fragmen Fc dan Fab pada molekul antibodi merupakan pengikat yang fleksibel, yang memungkinkan pergerakan bebas dari dua lengan Fab. Hal ini telah diperlihatkan dengan pengamatan mikroskop elektron pada pengamatan antibodi yang mengikat hapten. Hapten merupakan molekul kecil berukuran sebesar bagian khusus tirosin, yaitu sebesar sisi ikat pada rantai tirosin. Hapten dapat dikenali antibodi dan dapat menstimuli produksi antibodi antihapten jika hapten terikat pada protein besar (carrier). Antigen yang dibuat dari dua molekul hapten yang identik yang dihubungkan dengan ikatan yang pendek dan fleksibel dapat menggabungkan antibodi antihapten membentuk dimer, trimer, tetramer, dan seterusnya yang dapat diamati gengan mikroskop elektron. Bentuk susunan antibodi komplek dengan hapten yang bermacam-macam ini menunjukkan bahwa sisi hinge antibodi sangat fleksibel. Fleksibelitas juga ditemukan pada penghubung antara domain V dan C, yang memungkinkan pembengkokan dan rotasi domain V terhadap domain C. Fleksibelitas pada kedua sisi hinge dan penghubung V-C memungkinkan terjadinya ikatan dua lengan molekul antibodi terhadap targetnya dengan jarak yang bervariasi. Fleksibelitas pada daerah hinge juga memungkinkan antibodi berinteraksi dengan protein yang memediasi mekanisme kerja efektor. Domain Molekul Imunoglobulin Mempunyai Struktur Yang Mirip. Rantai ringan dan berat suatu imunoglobulin tersusun atas domain protein yang dapat dibedakan satu sama lain. Domain protein itu semuanya mempunyai struktur yang mirip. Didasarkan pada bentuk tiga dimensi ada perbedaan yang menyolok antara domain V dan C. Setiap domain terdiri dari dua helai β, yang merupakan elemen struktur protein yang terbentuk dari rantai polipeptida. Helai itu dilekatkan dengan jembatan disulfida yang membentuk struktur silinder, yang disebut tabung β. Perbedaan lipatan-lipatan pada struktur yang terjadi pada domain imunoglobulin diistilahkan imunoglobulin fold. Domain yang berbentuk silinder terbuka berfungsi untuk menunjukkan bagaimana rantai polipeptida melipat untuk membentuk masing-masing helai β dan bagaimana rantai tersebut membentuk loops yang fleksibel dan dapat dengan mudah berganti arah. Perbedaan utama antara domain V dan C adalah bahwa domain V lebih besar dan mempunyai gulungan lebih banyak. Pada molekul imunoglobulin loop yang fleksibel dari domain V membentuk sisi ikatan dengan antigen. Banyak asam amino yang umumnya menyusun domain C dan V dari suatu rantai imunoglobulin menempati pusat pelipatan dan sangat penting untuk menjaga stabilitas imunoglobulin. Oleh karena itu, protein yang mempunyai urutan sama dengan yang ada pada imunoglobulin diduga membentuk domain yang sama dengan imunoglobulin. Dugaan tersebut selama ini telah dibuktikan dengan pengamatan menggunakan teknik crystallography. Domain yang mempunyai kemiripan dengan imunoglobulin itu banyak ditemukan pada protein yang terlibat pada sistem imun dan pada protein yang terlibat pada pengenalan pada sistem syaraf dan jaringan lain. Imunoglobulin dan reseptor sel T termasuk superfamili imunoglobulin. Molekul antibodi IgG tersusun atas empat macam rantai polipeptida, yang terdiri dari dari dua rantai ringan yang identik dan rantai berat yang identik pula. IgG membentuk struktur yang fleksibel menyerupai huruf “Y”. Setiap rantai dari keempat rantai yang ada mempunyai bagian variabel (V) pada ujung asam amino penyusunnya yang berfungsi sebagai sisi ikatan dengan antigen. Di samping bagian variabel pada setiap rantai ada bagian konstan (C) yang menentukan isotipe. Isotipe dari rantai berat menentukan fungsi dan sifat suatu antibodi. Rantai ringan berikatan dengan rantai berat dengan ikatan non-kovalen dan dengan ikatan disulfida. Bagian V dari rantai berat dan ringan membentuk pasangan yang menyusun kedua lengan antibodi sebagai sisi ikatan antigen yang terletak pada ujung lengan ”Y”. Dua lengan yang dimiliki molekul imunoglobulin memungkinkan terjadinya ikatan silang pada antigen (cross-link) dan dapat mengikat antigen lebih stabil. Bagian badan dari ”Y”, atau fragmen Fc tersusun atas domain carboxy-terminal dari rantai berat. Bagian lengan dan badan dari molekul imunoglobulin dihubungkan dengan bagian yang sangat fleksibel yang disebut bagian hinge. Fragmen Fc dan bagian hinge berbeda untuk setiap isotipe sehingga fungsinyapun berbeda. Namun demikian semua antibodi mempunyai kemiripan struktur, dimana setiap antibodi mempunyai bagian-bagian yang sama walaupun ada perbedaan pada beberapa urutan asam amino. Interaksi Antibodi Dengan Antigen. Sebelumnya telah dijelaskan struktur molekul antibodi dan bagaimana bagian V dari rantai ringan dan berat melipat dan berpasangan untuk membentuk sisi ikat antigen. Dalam bab ini akan dijelaskan berbagai macam cara antigen berikatan dengan molekul antibodi dan sekaligus menjawab pertanyaan bagaimana variasi urutan domain V dari antibodi dapat menentukan antigen spesifik. Bagian V dari molekul antibodi berbeda satu sama lain. Namun keragaman urutan asam amino dari bagian V molekul antibodi tidak terjadi pada seluruh segmen V, tetapi terfokus pada bagian tertentu dari domain itu. Distribusi asam amino pada daerah variabel dapat diamati pada variability plot yang diilustrasikan pada Gambar 52. Pada gambar tersebut urutan asam amino dari berbagai macam antibodi dibandingkan. Tiga segmen yang berbeda dari daerah variabel yang berasal dari domain VL dan VH dapat diidentifikasi. Segmen tersebut ditunjukkan dengan daerah hipervariabel dan dinotasikan dengan HV1, HV2, dan HV3. Pada rantai ringan hipervariabel itu berasal dari residu urutan asam amino berturut-turut: 28-35, 49-59, dan 92-103. Bagian domain yang paling banyak berubah-ubah adalah HV3. Bagian domain V yang terletak di antara hipervariabel yang bersifat lebih permanen dan tidak banyak berubah adalah bagian kerangka (framework region). Pada setiap domain V ada empat bagian kerangka yaitu FR1, FR2, FR3, dan FR4. Bagian kerangka membentuk helaian β yang menyebabkan terbentuknya struktur rangka pada domain, dimana urutan asam amino pada hipervariabel berhubungan dengan tiga gelung pada tepi luar silinder β, yang berdampingan pada domain yang melipat. Keragaman urutan asam amino tidak saja terfokus pada tempat tertentu pada domain V, tetapi juga terlokalisasi pada tempat tertentu pada permukaan molekul. Jika domain VL dan VH berpasangan pada molekul antibodi, gulungan hipervariabel dari masing-masing domain ikut bersama, membentuk hipervariabel tunggal pada ujung lengan molekul antibodi. Hipervariabel merupakan sisi ikat antigen (antigen-binding site/ ABS). Tiga gulungan hipervariabel menentukan spesifikasi suatu antigen pada molekul antibodi dengan cara membentuk komplementer permukaan antigen yang dikenal dengan istilah complementarity-determining region/CDR (CDR1, CDR2, dan CDR3). CDR dari domain VL dan VH berkontribusi membentuk ABS, sehingga kombinasi rantai berat dan ringan yang menentukan spesifikasi terhadap antigen bukan salah satu rantai. Jadi, satu cara sistem imun membentuk antibodi yang mempunyai spesifikasi yang berbeda dengan cara membuat kombinasi yang berbeda pada rantai ringan dan berat pada bagian V. Cara menghasilkan keragaman ini dikenal dengan istilah combinatorial diversity. Ikatan Antibodi:Antigen Pada penemuan awal adanya ikatan antigen dengan antibodi, satu-satunya sumber antibodi monoklonal adalah sel tumor yang mensekresi antibodi. Antigen yang menyebabkan sel tumor mensekresi monoklonal antibodi masih belum diketahui, sehingga banyak sekali senyawa yang harus disekrining untuk mengidentifikasi ligan yang dapat digunakan untuk mempelajari ikatan antigen. Secara umum substansi yang ditemukan berikatan dengan antibodi adalah hapten seperti fosforilkolin atau vitamin K1. Analisis struktur antara ikatan komplek antibodi dengan ligan hapten menjadi bukti langsung yang pertama bahwa hipervariabel membentuk antigen binding site (ABS), dan menunjukkan dasar struktural adanya spesifikasi antara antibodi dengan hapten-nya. Setelah penemuan pembuatan monoklonal antibodi, sekarang memungkinkan membuat monoklonal antibodi dengan berbagai macam spesifikasi untuk suatu antigen. Penemuan-penemuan itu dapat menjelaskan dengan detail bagaimana antibodi berinteraksi dengan antigen. Permukaan molekul antibodi yang terbentuk dari CDR rantai ringan dan berat yang berdampingan memunculkan terjadinya ABS. Urutan asam amino pada CDR berbeda pada antibodi yang berbeda, sehingga struktur ABS pun berbeda pada setiap antibodi yang berbeda. Secara umum diketahui bahwa antibodi akan mengikat ligan yang mempunyai permukaan komplementer dengan molekul antibodi itu, khususnya dengan ABS. Antigen kecil seperti hapten atau peptida pendek umumnya menempati celah antara domain V dari rantai ringan dan berat pada molekul antibodi. Antigen lain contohnya molekul protein yang ukurannya sama atau lebih besar dari antibodi itu sendiri tidak dapat menempati celah yang ada pada ABS. Dalam hal ini molekul pembentuk ABS yaitu VL dan VH memperluas permukaan melibatkan seluruh CDR dan dalam hal tertentu mengubah kerangka antibodi. Antibodi Mengikat Permukaan Antigen. Fungsi biologi antibodi adalah untuk mengikat patogen dan produk yang dihasilkan patogen itu, dan untuk memfasilitasi pembuangan material tersebut dari tubuh. Antibodi secara umum mengenali bagian kecil saja dari molekul besar misalnya protein maupun polisakarida. Struktur yang dikenali antibodi ini biasanya disebut epitop atau antigenic determinant (AD). Beberapa patogen mempunyai selubung polisakarida. Pengenalan antibodi terhadap epitop yang berasal dari subunit gula sangat penting untuk melindungi tubuh dari patogen itu. Banyak antigen yang berasal dari protein dapat membangkitkan sistem imun yang menghasilkan antibodi. Antibodi yang melawan virus mengenali protein selubung virus. Dalam hal ini, struktur yang dikenali antibodi itu terletak pada permukaan protein. Sisi yang dikenali antibodi itu tersusun dari asam amino dari bagian yang berbeda pada rantai polipeptida itu. AD seperti yang disebut di atas dikenal dengan istilah conformational atau epitop diskontinyu, sebab struktur yang dikenali tersusun atas segmen protein yang diskontinyu dalam urutan asam amino antigen namun berada bersama pada struktur tiga dimensi. Sebaliknya epitop yang tersusun oleh segmen tunggal rantai polipeptida disebut kontinyu atau epitop liniar. Meskipun kebanyakan antibodi bekerja mengenali antigen secara utuh, dan merupakan protein yang mengenali epitop diskontinyu, namun beberapa hanya mengenali fragmen peptida protein. Sebaliknya, antibodi yang bekerja pada peptida suatu protein atau peptida sintetik yang mempunyai hubungan komplementer dengan antibodi itu biasanya dapat berikatan dengan protein alami. Sekarang telah mampu dibuat antibodi yang dibangkitkan dari peptida sintetik dengan tujuan membuat vaksin untuk melawan patogen. Interaksi Antigen-Antibodi Melibatkan Banyak Energi. Interaksi antara antibodi dengan antigennya dapat diganggu dengan konsentrasi asam yang tinggi, pH ekstrim, detergen, dan juga oleh kompetisi epitopnya sendiri. Ikatan antibodi dengan antigen bersifat reversibel dan ikatannya berbentuk non-kovalen. Interaksi elektrostatik terjadi antara rantai asam amino bermuatan, sebagai bentuk jembatan garam. Interaksi juga terjadi antara muatan listrik yang mempunyai dua kutup berbeda, seperti pada ikatan hidrogen, atau dapat melibatkan ikatan van der Waals. Konsentrasi garam yang tinggi dan pH yang ekstrim dapat mengganggu ikatan antigenantibodi dengan cara melemahkan interaksi elektrostatik dan atau melemahkan ikatan hidrogen. Pengetahuan ini diperoleh pada pemurnian antigen menggunakan antibodi yang diikat pada kolom, atau sebaliknya pemurnian antibodi. Interaksi hidrofobik terjadi ketika dua permukaan hidrofobik ada secara bersama-sama untuk menghindari air. Kekuatan interaksi hidrofobik sebanding dengan daerah permukaan yang tersembunyi dari air. Untuk beberapa antigen, interaksi hidrofobik dapat menggambarkan besarnya energi ikatan. Dalam suatu hal, molekul air terperangkap pada kantungkantung pada bidang pemisah antara antigen dan antibodi. Molekul air yang terperangkap itu berkontribusi pada terjadinya ikatan antigenantibodi, terutama antara kutup residu asam amino. Kontribusi energi pada keseluruhan interaksi sangat tergantung dengan antibodi dan antigen yang terlibat. Perbedaan yang menyolok antara interaksi antibodi:antigen dan interaksi protein:protein yang lain adalah bahwa antibodi mempunyai banyak asam amino aromatik pada ABS-nya, sedangkan pada interaksi protein:protein yang lain tidak demikian. Asam amino aromatik ini terutama berperan pada interaksi van der Waals dan hidrofobik, dan terkadang berperan pada ikatan hidrogen. Secara umum, ikatan van der Waals dan hidrofobik bekerja pada kisaran yang sangat pendek dan berperan untuk menarik secara bersama dua permukaan molekul yang saling komplementer satu sama lain. Jika yang satu merupakan celah yang lain harus bentukan pengisi celah itu agar terjadi ikatan yang cocok. Sebaliknya, interaksi elektrostatik antara sisi rantai yang bermuatan, dan ikatan hidrogen yang menghubungkan atom oksigen dan atau nitrogen mengakomodasi sifat khusus atau menghasilkan gugus reaktif dan menguatkan interaksi antigen:antibodi. Ikatan kovalen Gaya non- Asal elektrostatik Ikatan hidrogen Gaya tarik antar muatan yang berbeda Hidrogen dipakai bersama di antara atom elektronegatif (N, O) Gaya van der Fluktuasi awan elektron di sekitar molekul Waals mempolarisasi atom-atom di dekatnya pada arah yang berlawanan Gaya hidrofobik Golongan hidrofobik berinteraksi sangat lemah dengan air dan cenderung untuk mengumpul dan menolak molekul air. Gaya tarik guga melibatkan gaya van der Waals. Gambar 27. Ikatan non-kovalen yang menggabungkan komplek antigen:antibodi. Sebagian besar ikatan antigen:antibodi menggunakan tenaga van der Waals. Ikatan kovalen tidak pernah terjadi antara antigen dengan antibodi alami. Ikatan kovalen antigen:antibodi hanya terbentuk setelah adanya modifikasi molekul antibodi. Pada peristiwa ikatan lisozim dari putih telur dengan antibodi D1.3, ikatan hidrogen yang kuat terbentuk antara antibodi dan glutamin yang menjulur antara domain VH dan VL. Lisozim dari ayam hutan dan burung kalkun mempunyai asam amino pada glutamin dengan tempat yang berbeda dan tidak dapat berikatan dengan antibodi D1.3. Pada komplek lisozim putih telur dengan antibodi HyHe15, dua jembatan garam antara dua basa arginin pada permukaan lisozim berinteraksi dengan asam glutamat, salah satu asam glutamat itu berasal dari gulungan VHCDR1 dan CDR2. Lisozim yang tidak mempunyai satu dari dua macam arginin menunjukkan afinitas 1000 kali lebih rendah dari lisozim yang mempunyai kedua-nya. Meskipun adanya komplementer memegang peranan sangat penting pada interaksi antigen:antibodi, interaksi elekstrostatik dan ikatan hidrogen nampaknya menjadi penentu afinitas antibodi. Pada antibodi yang telah dipelajari dengan seksama menunjukkan bahwa hanya sedikit residu yang dapat memberikan kontribusi utama pada energi ikatan. Analisis pada komplek antigen:antibodi menggunakan sinar X –kristalografi menunjukkan bahwa bagian hipervariabel (complementarity-determining regions) dari bagian V suatu imunoglobulin menentukan spesifikasi antibodi. Molekul antibodi melakukan kontak dengan antigen pada permukaan antigen yang membawa komplementer antibodi itu. Interaksi elektrostatik, ikatan hidrogen, gaya van der Waals, dan interaksi hidrofobik secara keseluruhan dapat mendukung terjadinya ikatan antigen dan antibodi. Rantai asam amino pada sebagian besar atau seluruh hipervariabel melakukan kontak dengan antigen dan menentukan baik spesifikasi maupun afinitas interaksi. Bagian lain dari V region memainkan peranan kecil pada kontak langsung dengan antigen namun memberi kontribusi atas stabilnya struktur kerangka hipervariabel di samping membantu penentuan posisi dan konformasi hipervariabel itu. Antibodi mengikat protein antigen pada permukaan protein melalui kontak dengan residu yang diskontinyu pada struktur molekul protein antigen itu. Antibodi juga dapat mengikat fragmen peptida yang berasal dari digesti protein, sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi asal-usul protein. Peptida yang berikatan dengan antibodi menempati celah di antara bagian V rantai ringan dan berat, dimana peptida itu melakukan kontak dengan sebagian hipervariabel dan tidak perlu seluruh hipervariabel terlibat. Model di atas juga berlaku untuk mengikat antigen yang berupa karbohidrat dan molekul kecil seperti hapten. Ikatan antibodi dengan antigen pada aspek biologi mahluk hidup ditujukan untuk membantu eliminasi patogen yang menginfeksi. Pengenalan Antigen oleh Sel T. Tidak seperti imunoglobulin yang dapat berinteraksi dengan patogen dan juga bahan toksik yang dihasilkannya pada daerah ekstraselluler, sel T hanya dapat mengenali antigen asing yang telah dipresentasikan pada permukaan sel. Antigen itu dapat berasal dari virus patogen atau bakteri intraselluler yang melakukan replikasi di dalam sel. Antigen juga dapat berasal dari patogen atau produk dari potogen yang telah diinternalisasi sel dengan mekanisme endositosis. Sel T dapat mendeteksi adanya patogen intraselluler setelah sel yang terinfeksi mempresentasikan fragmen peptida asing yang berasal dari protein patogen. Peptida asing ini diangkat ke permukaan sel oleh glikoprotein yang merupakan molekul khusus pada host yang fungsinya telah terspesialisasi. Glikoprotein ini disandi oleh gen yang sangat panjang yang pertama kali teridentifiaksi pada transplantasi organ. Glikoprotein ini mempunyai efek sangat kuat pada reaksi imunitas pada kasus transplantasi organ. Oleh karena itulah gen penyandi itu dinamakan major histocompatibility complex (MHC), dan glikoprotein yang mengikat peptida itu disebut molekul MHC. Pengenalan antigen dalam bentuk fragmen peptida kecil yang terikat oleh molekul MHC dan dipresentasikan pada permukaan sel merupakan ciri khusus yang dimiliki sel T dan tidak pada sel B. Sel T mempunyai reseptor (TCR~T cell receptor) yang sangat besar variasinya sehingga sel T dapat diandalkan perannya dalam membantu eliminasi berbagai macam patogen. Struktur gen yang menyandi TCR mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan gen yang menyandi molekul antibodi. Namun demikian ada perbedaan yang sangat penting antara TCR dan imunogobulin yang terefleksi pada cara pengenalan antigen oleh TCR, dan TCR tidak pernah menjadi molekul efektor sebagaimana yang terjadi pada molekul imunoglobulin. Reseptor Antigen Sel T Mirip Fragmen Fab Pada Imunoglobulin. Reseptor sel T pertama kali diidentifikasi dengan antibodi monoklonal yang mengikat satu macam klon sel T dan tidak mengikat klon yang lain. Antibodi itu dapat menghambat secara spesifik pengenalan antigen oleh klon itu, atau antibodi itu secara spesifik mengaktifkan klon tersebut. Antibodi dapat digunakan untuk menentukan fungsi protein tertentu yang telah dibentuk dari hasil ekspresi suatu gen. Dalam hal ini diketahui bahwa beberapa antibodi dapat bersifat sebagai agonist, artinya ketika antibodi berikatan dengan molekul targetnya akan terjadi perubahan konformasi pada ikatan itu sehingga terbentuk signal transduksi yang mengaktifkan gen sehingga terjadi transkripsi dan selanjutnya translasi. Contoh antibodi agonist ini adalah anti-CD3. Ikatan anti-CD3 terhadap molekul CD3 dapat digunakan untuk mengaktifkan sel T, yaitu berperan mengganti interaksi TCR dengan MHC:peptida, apabila peptida spesifik itu tidak diketahui. Sebaliknya, antibodi dapat bersifat sebagai antagonist, yaitu menghambat terjadinya ikatan reseptor dengan ligannya, karena reseptor yang pada keadaan normal akan berikatan dengan ligannya telah diblok oleh antibodi itu dengan ikatan yang spesifik. Ikatan antibodi pada reseptor ini dapat menghambat fungsi alami ligan:reseptor. Antibodi dengan berbagai macam sifat ini (clonotypic) akhirnya dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa setiap sel T mempunyai TCR kurang lebih sebanyak 30.000 molekul yang presis sama pada permukaan sel. Setiap reseptor terdiri dari dua rantai polipeptida yang berbeda yakni T-cell receptor α (TCRα) dan β (TCRβ) yang dihubungkan dengan ikatan disulfida. Heterodimer α:β mempunyai struktur yang sangat mirip dengan fragmen Fab molekul imunoglobulin dan berperanan sebagai molekul pengenalan antigen pada sebagian besar sel T. Ada grup kecil sel T yang memiliki reseptor dengan rantai yang berbeda dengan heterodimer α:β. Rantai tersebut berupa polipeptida yang ditandai dengan γ dan δ. Reseptor sel T yang berupa γ:δ mempunyai sifat pengenalan antigen yang berbeda dengan TCR α:β, dan fungsi sel T yang membawa reseptor γ:δ belum semuanya diketahui. Pada buku ini istilah TCR terkait dengan heterodimer α:β, kecuali secara khusus disebutkan γ:δ. TCR mempunyai perbedaan dengan imunoglobulin yang ada pada membran sel B. TCR hanya memiliki satu sisi ikat antigen, sedangkan reseptor sel B (BCR, B-cell receptor) mempunyai dua sisi ikat antigen. Perbedaan lain adalah bahwa TCR tidak pernah disekresikan sedangkan BCR disekresikan dalam bentuk antibodi. Pengkajian struktur dan fungsi TCR α:β berasal dari studi cDNA yang menyandi rantai TCR α:β. Urutan asam amino yang diprediksi dari cDNA yang menyandi TCR α:β menunjukkan dengan jelas bahwa kedua rantai α dan β mempunyai bagian variabel (V) yang homolog dengan domain V yang ada pada rantai imunoglobulin. Rantai α:β juga mempunyai daerah konstan (C) yang homolog dengan domain C yang ada pada rantai imunoglobulin di samping terdapat bagian hinge pendek yang terdiri dari residu sistein penyusun ikatan disulfida. Setiap rantai α:β menancap pada lipid bilayer dengan domain protein transmembran yang bersifat hidrofobik dan rantai (ekor) yang menembus sampai sitoplasma. TCR dalam bentuk tiga dimensi telah ditemukan. Struktur TCR pada dasarnya sama dengan fragmen Fab pada molekul antibodi. Lipatan rantai TCR mempunyai pola yang sama dengan fragmen Fab pada imunoglobulin meskipun pada akhirnya strukturnya nampak lebih pendek dan lebih luas. Namun ada perbedaan pada TCR dengan fragmen Fab. Perbedaan yang paling jelas antara keduanya bahwa pada TCR domain Cα tidak melipat sebagaimana yang terjadi pada rantai imunoglobulin. Separuh domain yang sejajar dengan domain Cβ membentuk alas β sama seperti yang terdapat pada imunoglobulin, namun separuh domain yang lain terbentuk dari gulungan yang renggang dan segmen α heliks yang pendek. Ikatan disulfida intramolekul yang pada imunoglobulin normalnya menggabungkan dua strand β, pada domain Cα menggabungkan strand β pada segmen α heliks. Infeksi. Penyakit infeksi hanya akan terjadi apabila pertahanan pertama (pertahanan innate) tidak dapat mengatasi patogen yang masuk. Tubuh kita selalu terpapar oleh mikroorganisme yang berada pada lingkungan kita di samping patogen yang telah ada di dalam tubuh akibat infeksi sebelumnya. Sel-sel epitel baik eksternal maupun internal merupakan tempat bertemunya agen penginfeksi pada tubuh kita. Mukosa sepanjang saluran pernafasan merupakan jalan masuk mikroorganisme akibat adanya kontaminasi udara yang kita hirup. Mukosa pada saluran pencernakan merupakan jalan masuk mikroorganisme yang berada pada makanan maupun air yang kita minum. Adanya luka dan gigitan serangga memungkinkan terjadinya penetrasi mikroorganisme melalui kulit. Demikian juga sentuhan langsung antar individu juga memberikan peluang terjadinya infeksi melalui kulit maupun alat reproduksi. Rute masuk Rute Infeksi Patogen Cara Ptogen penyebaran Penyakit Partikel Virus terhidup oleh Influenza Neisseria pernafasan Influenza Meningococca l meningitis Permukaan Mukosa Lintasan Udara miningitidis Sistem pencernakan Sistem reproduksi Epitel eksternal Permukaan luar Luka dan lecet Gigitan serangga Air atau makanan yang terkontaminasi Kontak fisik Salmonela typhi Rotavirus Treponema palium Tipus Diarrhea Kontak fisik Lecet kecil kulit Luka tertusuk Menangani hewan terinfeksi Gigitan nyamuk (Aedes aegypti) Gigitan serangga Gigitan nyamuk (Anopheles) Tinea pedis Bacillus anthracis Clostridium tetani Pasteurella tularensis Flavivirus Athlete’s foot Anthrax Tetanus Tularemia Borrelia burgdorferi Syphilis Demam kuning Penyakit lyme Malaria Plamodium spp Gambar 28. Patogen dapat menginfeksi melalui berbagai macam rute. Pada kenyataannya walaupun tubuh kita selalu terpapar oleh berbagai macam mikroorganisme kejadian infeksi sangat jarang. Hal ini menunjukkan bahwa sel-sel epitel tubuh merupakan penghalang yang efektif terhadap masuknya mikroorganisme. Apabila sel-sel epitel mengalami luka, sel-sel tersebut akan segera terganti dengan cepat. Faktor lain yang menyebabkan rendahnya terjadi penyakit infeksi adalah berjalannya imunitas innate jika invader berhasil menerobos masuk jaringan. Rendahnya terjadinya infeksi ini menunjukkan betapa besar jumlah patogen yang tereliminasi setiap saat pada tubuh kita. Apabila patogen yang berhasil masuk pada tubuh kita sangat kuat atau sangat banyak akan memungkinkan patahnya pertahanan innate dan akan terjadi infeksi yang bersifat lokal dan selanjutnya bisa menyebar ke tempat lain. Penyebaran patogen selalu menimbulkan respon inflamasi yang disertai perekrutan sel-sel imunokompeten di samping molekul-molekul efektor yang berguna untuk tujuan eliminasi patogen itu. Imunitas innate yang diinduksi oleh suatu patogen akan berlangsung selama beberapa hari dan dapat mulai bekerja beberapa menit setelah patogen masuk, sedangkan imunitas adaptif akan dimulai saat antigen dipresentasikan pada daerah limfoid periferal misalnya pada lymph node dan spleen. Imunitas adaptif bersifat spesifik, artinya setiap klone sel tertentu hanya bertanggung jawab pada satu macam antigen. Imunitas adaptif merupakan pertahanan yang sangat penting karena menyisakan sel-sel memori yang sangat berguna apabila pada waktu yang berbeda terjadi infeksi lagi oleh patogen yang sama. Sel-sel memori mempunyai respon yang sangat kuat dan cepat terhadap invader yang pernah datang sebelumnya, sehingga mampu mengatasi invader dalam jumlah yang besar. Garis Pertahan Pertama. Sel-sel epitel yang melapisi tubuh kita baik eksternal maupun internal merupakan bagian yang sangat penting sebagai garis pertahanan pertama. Sel-sel tersebut sebagai penghalang antara lingkungan yang banyak mengandung patogen dengan jaringan yang berada di bawah epitel itu. Sel-sel epitel satu dengan yang lain dihubungkan oleh pengikat ”tight junction’ yang sangat kuat dan rapat sehingga berfungsi sebagai penghalang yang kedap terhadap lingkungan di luarnya. Sel epitel menyusun kulit dan seluruh organ yang berongga (tubular), misalnya saluran pencernakan, saluran pernafasan, dan saluran reproduksi. Infeksi hanya akan terjadi apabila pertahanan pertama ini berhasil dipatahkan oleh agen patogen. Kulit kita berupa permukaan yang kering dan memiliki keratin yang kedap sehingga relatif kuat menghalangi masuknya agen-agen patogen. Pada umumnya agen-agen patogen masuk dan menginfeksi tubuh melewati epitel internal dan luka pada permukaan kulit. Pentingnya epitel sebagai sistem pertahanan dapat dilihat dari kejadian luka bakar dan luka operasi. Pada dua kejadian ini infeksi bahkan sepsis menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas (kematian dan penderitaan). Dalam keadaan normal tanpa luka, pada umumnya patogen menembus sel epitel dengan berikatan dengan molekul di permukaan sel epitel internal. Ikatan yang spesifik antara patogen dengan molekul yang ada di permukaan sel epitel internal memungkinkan patogen menginfeksi sel epitel itu bahkan merusaknya sehingga sel-sel epitel sebagai pertahanan pertama dapat dijebol. Pada patogen yang telah membuat koloni, ikatan patogen dengan molekul permukaan sel epitel mencegah tersapunya patogen baik oleh udara maupun cairan yang melewati permukaan epitel itu. Sel-sel epitel internal dikenal dengan dengan sebutan mucosal epitelia sebab sel-sel tersebut mensekresikan mucus yaitu suatu cairan yang kental dan lengket. Mucus mengandung bermacam-macam glikoprotein yang disebut mucin. Pada dasarnya kesempatan mikroorganisme untuk mengadakan penetrasi pada epitel internal ini sangat kecil karena mucus akan menyelubungi mikroorganisme itu, dan pada saluran pernafasan mikroorganisme dapat disapu oleh mucus yang digerakkan dengan kuat oleh silia sel epitel. Diri kita telah didesain sangat sempurna oleh Allah, Tuhan seluruh makhluk. Hanya orang yang paling celaka yang mengingkari desain yang teramat sempurna ini. Bersin merupakan satu contoh agar mikroorganisme yang berada di permukaan epitel internal tidak berhasil mengadakan penetrasi melalui ikatan molekul permukaan. Kontraksi mendadak pada proses bersin akan memukul keluar atau melepaskan mikroorganisme yang berusaha mengadakan ikatan dengan sel epitel internal. Pentingnya cairan mucus dalam membersihkan agen-agen penginfeksi dapat diketahui pada individu yang kehilangan kemampuan memproduksi mucus maupun lemahnya pergerakan silia. Individu semacam itu akan menunjukkan fakta mudahnya terjadi infeksi pada paru-paru oleh bakteri yang mengadakan koloni pada permukaan sel-sel epitel. Pada usus gerakan peristaltik tidak saja penting untuk menggerakkan makanan namun juga untuk menghindari ikatan mikroorganisme secara konstan dan bahkan menggiring agen-agen penginfeksi keluar. Apabila gerakan peristaltik ini sangat lemah bakteri pada daerah lumen akan mengalami perkembangan sangat pesat dan memperbesar peluang terjadinya infeksi pada saluran pencernakan. Permukaan sel epitel tidak saja merupakan penghalang fisik bagi agen-agen penginfeksi, namun selsel tersebut juga mensekresi substansi kimia yang bersifat antimikrobia atau mampu menghambat perkembangan bakteri. Enzim lisosom merupakan enzim antibakteri yang disekresi oleh kelenjar salifa dan kelenjar air mata. Lambung yang mempunyai kondisi keasaman dengan pH yang sangat rendah demikian juga alat pencernakan bagian atas dapat dijadikan penghalang terjadinya suatu infeksi. Sel Paneth yang terletak pada dasar crypt pada usus halus menghasilkan antibakteri dan anti jamur yaitu cryptidin atau αdefensin. Sel Paneth tepatnya berada di bawah epihlelial stem cells. Antimikrobia lain yang berupa peptida, β-defensins, dibuat pada epitel lain, terutama pada kulit dan sepanjang saluran pernafasan. Peptida antimikrobia mempunyai peranan pada sistem pertahanan, termasuk imunitas pada gigitan serangga. Peptida-peptida yang disebut di atas umumnya bersifat kation yang dapat membunuh bakteri dengan merusak membran sel. Tipe antimikrobia lain dapat berupa protein yang disekresi ke dalam cairan yang melapisi permukaan epitel pada paru-paru. Cairan tersebut berisi dua macam protein yakni protein A dan D yang mampu berikatan dan melingkupi patogen. Pengikatan dan pelingkupan patogen tersebut memudahkan kerja makrofag untuk memfagositnya. Makrofag umumnya meninggalkan jaringan subepitelial dan masuk alveoli paru-paru. Penyelubungan partikel dengan protein untuk memfasilitasi proses fagositosis disebut opsonisasi. Selain pertahanan yang telah disebutkan sebelumnya, kebanyakan permukaan epitelial bersentuhan dengan flora non-patogen yang berkompetisi dengan mikroorganisme patogen dalam perolehan nutrisi maupun domisili pada permukaan sel. Flora normal dapat menghasilkan zat antimikrobia seperti colicins berupa protein yang diproduksi oleh Escherichia coli. Colicins melindungi permukaan sel dari pembentukan koloni oleh bakteri lain. Apabila bakteri non-patogen mati akibat pengaruh antibiotika, maka bakteri patogen akan menggantikan posisinya dan menimbulkan penyakit. Fagositosis. Makrofag akan segera mengenali mikroorganisme yang berhasil menembus epitel. Makrofag umumnya menempati jaringanjaringan dan segera mengeliminasi mikroorganisme yang berusaha mengadakan penggandaan. Makrofag merupakan bentuk dewasa monosit yang meninggalkan sirkulasi darah dan menempati jaringanjaringan di seluruh tubuh. Makrofag ditemukan dalam jumlah yang banyak pada jaringan-jaringan pengikat, terutama pada alat pencernakan, interstitium dan alveoli paru-paru, sepanjang pembuluh darah tertentu pada hati yang dikenal dengan nama sel Kupffer, pada seluruh jaringan limpa yang berperan untuk menghancurkan sel darah yang sudah tua. Makrofag dikenal sebagai fagosit mononuklear. Fagosit kedua yang sangat penting adalah neutrofil. Neutrofil merupakan fagosit polimorfonuklear yang mempunyai umur pendek dan sangat besar jumlahnya pada darah namun tidak ditemukan pada jaringan individu normal. Baik makrofag maupun neutrofil keduaduanya sangat penting pada imunitas innate karena keduanya dapat melakukan pengenalan nonspesifik, menelan, dan menghancurkan patogen tanpa memerlukan bantuan sistem imunitas adaptif. Makrofag merupakan sel pertahanan yang pertama kali bertemu antigen pada suatu jaringan namun segera diperkuat dengan rekrutmen neutrofil dalam jumlah besar pada sisi infeksi. Makrofag dan neutrofil mengenali patogen dengan menggunakan reseptor pada permukaan sel yang dapat membedakan antara antigen asing dan self-antigen. Reseptor mannosa yang terdapat pada makrofag tidak terdapat pada monosit atau neutrofil. Reseptor scavenger yang mengikat ligan-ligan bermuatan dan CD14 yang merupakan reseptor lipopolysacharide (LPS) bakteri ditemukan baik pada makrofag maupun monosit. Patogen dapat berinteraksi dengan makrofag dan neutrofil melalui reseptor komplemen yang berada pada kedua sel tersebut. Sistem komplemen dapat teraktivasi dengan cepat oleh adanya infeksi dan membentuk protein komplemen yang berfungsi mengopsonisasi patogen yang masuk jaringan. Ligasi reseptor permukaan yang berada pada permukaan sel fogosit dengan patogen menyebabkan terjadinya proses fagositosis yang diikuti kematian patogen akibat reaksi enzim proteolitik. Fagositosis merupakan proses aktif, dimana patogen yang terikat segera dikelilingi oleh membran sel fagosit dengan penjuluran sitoplasma dan segera diinternalisasi ke dalam vesikel bermembran yang disebut fagosom. Di samping bersifat fagosit makrofag dan neutrofil mempunyai granula lisosom yang berisi enzim, protein, dan peptida yang memperantarai respon antimikrobia intraselluler. Fagosom dapat mengadakan fusi dengan beberapa lisosom membentuk fagolisosom. Pada fagolisosom ini kandungan lisosom dikeluarkan untuk menghancurkan patogen. Selama proses fagositosis, makrofag dan neutrofil menghasilkan molekul toksik untuk membantu pembunuhan mikroorganisme yang ditelan oleh selsel tersebut. Molekul toksik yang paling penting adalah hidrogen peroksida (H2O2), anion superoxide (O2-), dan nitric oxide (NO), yang langsung meracuni bakteri. Produk-produk toksik tersebut dihasilkan oleh oksidasi NADPH yang berada pada lisosom dan enzim lain melalui proses yang disebut respiratory burst. Peristiwa ini diikuti dengan melonjaknya konsumsi oksigen. Neutrofil merupakan sel yang mempunyai umur pendek, dan segera mati setelah melakukan fagositosis. Neutrofil yang mati ini merupakan bagian terbesar pada nanah yang terbentuk selama infeksi. Sebaliknya makrofag, merupakan sel yang mempunyai masa hidup panjang dan selalu membentuk lisosom baru setelah menyelesaikan fagositosis. Seseorang yang cacat genetik dimana tidak mempunyai kemampuan mengoksidasi NADPH maka sel fagosit orang tersebut tidak dapat membentuk zat toksik/racun yang berasal dari modifikasi oksigen. Sebagai konsekuensinya sel fagosit tidak mampu membunuh mikroorganisme yang ditelan dan tidak dapat mengeliminasi patogen. Seseorang dengan kondisi genetik tersebut sangat rentan pada infeksi baik bakteri maupun jamur, terutama pada bayi. Makrofag dapat merespon dengan cepat mikroorganisme yang masuk, dan hal ini sangat penting untuk menghindari menetapnya patogen. Sejak awal perkembangan imunologi para ilmuwan percaya bahwa makrofag berperan pada setiap sitem pertahanan. Saat ini lebih jelas bahwa invertebrata seperti bintang laut hanya menggunakan makrofag sebagai sistem pertahanan untuk melawan infeksi. Walaupun kejadian yang ada pada invertebrata bukan permasalahan pada manusia maupun vertebrata lain, namun membuktikan bahwa makrofag merupakan respon innate yang menjadi pertahanan paling depan untuk mengatasi invasi mikroorganisme pada suatu individu. Mekanisme Asidifikasi Produk spesifik pH= ~3.5 -4.0, bakteriostatik atau bakteriosida Produk toksik yang Superoksida O2-, hidrogen peroksida H2O2, berasal dari oksigen oksigen singlet 1 O •2 , radikal hidroksil OH • , OCl hipohalit Nitrogen oksida Oksida nitrit NO toksik Peptida antimikrobia Protein defensin dan kationik Enzimatis Lisozime yang melarutkan dinding sel beberapa bakteri gram positif. Asam hidrolase, menghancurkan bakteri Kompetitor Lactoferrin (mengikat Fe) dan protein yang mengikat vitamin B12 Gambar 29. Agen anti bakteri (bakteriosida) diproduksi atau dilepaskan oleh sel fagosit pada waktu mencerna mikroorganisme. Sebagian besar agen bakteriosida dihasilkan oleh makrofag dan neutrofil. Beberapa agen bakteriosida bersifat toksik, sedangkan yang lain contohnya lactoferrin, bekerja dengan cara mengikat nutrisi essensial dan mencegah nutrien itu dikonsumsi bakteri. Beberapa substansi dapat dilepaskan sel fagosit dan berinteraksi dengan larva cacing parasit yang telah diselubungi antibodi dan juga berinteraksi dengan jaringan host. Karena agen tersebut mampu berinteraksi dengan sel host dan juga memberi efek toksik pada jaringan host, aktivasi sel fagosit dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan host selama proses infeksi. Sifat utama yang membedakan mikroorganisme patogen dengan non-patogen adalah kemampuannya menghadapi pertahanan innate. Mikroorganisme patogen telah mengembangkan strategi untuk menghindari penghancuran oleh makrofag. Banyak bakteri patogen melindungi dirinya dengan kapsul tebal berupa polisakarida yang tidak dikenal oleh reseptor fagosit. Mycobacteria mempunyai strategi untuk hidup di dalam fagosom makrofag dengan cara menghalangi fusi fagosom-lisosom. Apabila strategi untuk menghindari imunitas inate tidak dimiliki oleh bakteri maka bakteri harus masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang banyak untuk terjadinya infeksi. Hal yang sangat penting jika terjadi interaksi makrofag dengan bakteri adalah terjadinya aktivasi makrofag untuk mensekresi sitokin dan mediator lain yang menginisiasi proses inflamasi. Patogen menjadi penyebab terjadinya sekresi sitokin dengan adanya signal yang merambat dari ikatan reseptor pada sel fagosit dengan antigen. Reseptor yang memberikan signal adanya antigen dan menyebabkan sekresi sitokin itu juga penting untuk membangkitkan ekspresi molekul kostimulator pada makrofag dan sel dendritik. Sel dendritik termasuk sel fagosit yang berada pada jaringan. Terekspresinya molekul kostimulator memudahkan inisiasi imunitas adaptif. Sitokin yang dihasilkan makrofag mempunyai kontribusi penting pada inflamasi lokal dan respon imun non-adaptif beberapa hari setelah terjadinya infeksi. Inflamasi. Inflamasi merupakan kejadian penting pada sistem pertahanan tubuh. Inflamasi mempunyai tiga peranan penting untuk melawan infeksi. Pertama, inflamasi membantu rekrutmen molekulmolekul efektor dan sel-sel imunokompeten pada daerah yang terinfeksi, sehingga memperbesar daya bunuh makrofag terhadap mikroorganisme invader. Molekul efektor dapat berupa sitokin, komplemen, maupun antibodi. Adanya molekul efektor terutama antibodi dan komplemen akan mengefektifkan kerja sel fagosit khususnya makrofag. Kedua, sebagai penghalang penyebaran infeksi, dan ketiga untuk memacu perbaikan jaringan yang luka. Inflamasi pada daerah infeksi dimulai dengan adanya respon makrofag terhadap patogen. Inflamasi mempunyai ciri-cri antara lain: rasa sakit, kemerahan, panas, dan membengkak pada daerah infeksi. Kejadian tersebut merupakan refleksi tiga perubahan pembuluh darah pada daerah yang terinfeksi itu. Pertama, bertambah besarnya diameter vascular, sehingga meningkatkan aliran darah di daerah itu. Berhubungan dengan membesarnya diameter vaskuler dan aliran darah yang cepat menyebabkan panas dan kemerahan. Kejadian ini akan menurunkan kecepatan aliran darah pada pembuluh darah kecil. Kedua meningkatnya ekspresi molekul adhesi pada sel endotel pembuluh darah. Peningkatan ekspresi molekul adhesi pada sel-sel endotel memudahkan melekatnya sel-sel leukosit menempel pada dinding-dinding endotel. Kombinasi antara ekspresi molekul adhesi dan lambatnya aliran darah pada pembuluh kecil memberi kesempatan leukosit menempel pada sel endotel dan bermigrasi masuk jaringan yang terinfeksi, proses ini dikenal dengan extravasation. Semua perubahan tersebut dimulai oleh sitokin yang diproduksi oleh makrofag yang mengalami aktivasi. Apabila inflamasi telah terjadi, sel yang pertama kali terekrut ke daerah inflamasi adalah neutrofil. Neutrofil diikuti oleh monosit, dan setelah berada di dalam jaringan, monosit akan segera berdiferensiasi menjadi makrofag. Pada tahap berikutnya sel darah putih yang lain seperti eosinofil dan sel-sel limfosit juga masuk ke daerah yang terinfeksi. Perubahan ketiga pada pembuluh darah di daerah infeksi adalah peningkatan permeabilitas vaskuler. Pada kejadian ini sel-sel endotel tidak lagi saling berikatan kuat satu sama lain, melainkan saling renggang satu sama lain sehingga cairan dan protein dalam darah akan keluar pembuluh dan terakumulasi pada jaringan. Hal ini menimbulkan bengkak (adema), rasa sakit, dan terjadi akumulasi protein plasma yang membantu sistem pertahanan. Perubahan di atas diinduksi oleh berbagai faktor inflamasi yang diproduksi akibat pengenalan suatu patogen. Di antara faktor inflamasi itu ada yang berupa lipid yang dibentuk oleh makrofag dengan cara degradasi membran fosfolipid. Degradasi membran lipid dilakukan dengan mekanisme enzimatis. Lipid tersebut meliputi leukotrienes, prostagladins, dan platelet activating factor (PAF). Kerja lipid yang memacu inflamsi segera diikuti oleh sitokin dan kemokin yang disintesis dan disekresi makrofag yang teraktivasi oleh patogen. Salah satu sitokin yang diproduksi makrofag adalah tumor-necosis factor-α (TNF- α) yang sangat penting peranannya sebagai aktivator sel endotel. Pengenalan patogen juga memicu terjadinya inflamasi melalui jalur komplemen. Salah satu substansi penting yang dihasilkan setelah reaksi komplemen adalah C5a. C5a merupakan peptida yang memperantarai terjadinya inflamasi dengan berbagai macam aktivitas. C5a selain meningkatkan permeabilitas vasculer dan ekspresi molekul adhesi juga berfungsi sebagai chemoattractant untuk menarik neutrofil dan monosit, serta mengaktifkan sel mast dan fagositosis. Pengaruh C5a terhadap sel-sel tersebut mengakibatkan terjadinya pelepasan granula yang berisi histamin dan TNF- α yang merupakan molekul penting pada proses inflamasi. Apabila terjadi luka, maka pembuluh darah yang terluka akan memicu dua sistem proteksi enzimatis. Pertama, sistem kinin, yaitu sistem enzimatis pada protein plasma yang dipicu oleh kerusakan jaringan sehingga terbentuk berapa mediator inflamasi termasuk bradykinin yang merupakan vasoaktif peptida. Bradykinin menyebabkan peningkatan permeabilitas membran vaskuler dan menyebabkan influx/aliran protein plasma pada daerah yang terluka. Kerja bradykinin juga menyebabkan rasa sakit, sehingga penderita merasa tidak nyaman, dan bahkan menyebabkan bagian tubuh sulit untuk digerakkan. Keadaan ini penting untuk menjaga agar penyebaran agen penginfeksi dapat dibatasi. Kedua, sistem koagulasi, yaitu sistem enzimatis pada enzim plasma yang dipicu oleh kerusakan pembuluh darah. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penggumpalan yang dapat menghalangi masuknya mikroorganisme ke dalam aliran darah. Dua sistem di atas sangat penting pada respon inflamasi terhadap patogen meskipun tidak terjadi luka pada jaringan, sebab keduanya juga terpicu oleh aktivasi sel endotel. Dalam hitungan menit setelah terjadinya penetrasi patogen pada jaringan, akan segera terjadi respon inflamasi yang menyebabkan terjadinya aliran protein dan sel yang berguna untuk mengontrol infeksi. Respon inflamasi itu juga merupakan penghalang langsung bagi penyebaran infeksi dan membuat host menyadari kejadian yang sedang berlangsung pada tubuh. KUIS 1. Apakah perbedaan imunotas adaptif dan imunitas innate? 2. Mengapa manusia maupun hewan bisa sakit padahal sistem imunitas sangat komplit? 3. Pada kasus tertentu bakteri yang ditelan makrofag tidak dapat dihancurkan. Jelaskan mengapa makrofag pada kasus ini tidak bekerja efektif dan mekanisme mana yang dilakukan tubuh untuk membantu aktivitas makrofag? DAFTAR BACAAN 1. Abbas, A.K dan A.H. Litchman. 2005. Cellular and Molecular Immunology. Elsevier Saunder. Philadelphia. 2. Clark, M. 2000. Antibody Humanisation for Therapeutic Application. http://www.path.cam.ac uk /~mrc7/humanisation/TAHHP.html. Tanggal akses 17 Juli 2009 3. E Zwick, J Bange and A Ullrich. 2001. Receptor Tirosin kinase signalling as a target for cancer intervention strategies. Endocrine-Related Cancer (2001) 8 161–173. 4. Janeway, C.A, Travers, P., Walport, M., Shlomchik, M. 2001. The immune system in health and disease., Garland Publishing. 5. Kontermann, R and S. Dubel. 2001. Antibody Engineering. Springer-Verlag Publisher. Singapore 6. Lodish, H. et al. 2004. Molecular Cell Biology Fifth Edition. W.H. Freeman and Company. New York. 7. Manes, G., P. Bello dan S. Roche. 1999. Negative regulation of cytoplasmic protein Tirosin kinase activity by adaptor proteins. Gene Ther Mol Biol Vol 4, 417-424. 8. Paul, W.E. 2003. Fundamental Immunology. Lippincot Williams and Wilkins Publisher. New york 9. Zola, H. 2000. Monoclonal Antibodies. Springer-Verlag Publisher. Singapore. Kata Pengantar Atas berkat rahmat Allah SWT, saya telah berhasil menyelesaikan buku ajar yang berjudul Siknal Transduksi dan Sistem Pertahanan Tubuh. Buku ajar ini merupakan bagian dari sub topik bahasan dalam ilmu Fisiologi yang disampaikan pada kuliah mahasiswa S1 di Jurusan Biologi Universitas Brawijaya. Buku ajar ini disusun untuk membantu mahasiswa memahami beberapa pokok bahasan fisiologi yang terkait dengan sistem transduksi sel dan sistem pertahanan. Khususnya topik hahasan tentang sistem pertahanan tubuh akan dibahas secara tuntas pada matakuliah imunologi. Untuk itu bagi mahasiswa yang tertarik dengan ilmu imunologi disarankan setelah mengambil matakuliah fisiologi ini untuk memperdalam kajian sistem pertahanan tubuh pada matakuliah imunologi. Buku ajar ini akan terus disempurnakan mengingat perkembangan ilmu pengetahuan sangat dinamis. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan materi di dalamnya. Malang, 2009 Penulis DAFTAR ISI 1. Kata Pengantar............................... ........................................................i 2. Daftar Isi.................................................................................................ii 3. BAB I. Reseptor Tirosin Kinase dan Transforming Growth Factor β...................................................................................................1 Transforming Growth Factor β (TGF-β)............... ..........................1 Pembentukan TGF-β ...........................................................................3 Aktivasi TGF-β oleh Faktor Transkripsi Smads…..........................4 Peran TGF-β pada Tumor……..........................................................9 Fungsi TGF-β Pada Apoptosis.........................................................10 Peran Ganda TGF-β1 Dalam Apoptosis.........................................11 Peran TGF-β pada Jantung................................................................11 Peran TGF-β pada Sindrom Marfan...............................................12 Aktivasi Reseptor TGF-β-1...............................................................13 Hilangnya TGF-β signaling berperan atas proliferasi sel..............15 Gangguan Yang Berhubungan Dengan Aktivasi TGF-β signal...16 Efek pada FKBP12 RI........................................................................18 Fosforilasi Smad…….........................................................................18 TGF-β dan Smad.................................................................................19 Jalur signaling TGF-β.........................................................................23 Perekrutan dan Fosforilasi Reseptor................................................24 Transkripsi…...…………………………………………….......26 Mekanisme Regulasi...........................................................................27 Reseptor Regulasi…….....………………………..………...….28 Peran Smad Inhibitor…………………………………………28 Protein Kinase……………………………………...……….....30 Aktivasi Kimia……………...………….......…………….…….31 Genetika dan Struktur………………………………...…...…...34 Protein Kinase C…………………………………………...….37 Tirosin Kinase………………....…………………………...….38 Struktur………………………………………...…………...…39 Reseptor TGF-β…………………………………………….....40 4. BAB II. Reseptor Tirosin Kinase dan Aktivasi RAS.....................42 Reseptor Tirosin Kinase.....................................................................42 Ras, GTPase Switch Protein…………………………..………46 Protein adapter dan Guanine Nucleutide-Exchange Factor menghubungkan Ras dengan RTK yang teraktivasi…........…….47 5. BAB III. G-Protein dan Second Messenger...................................52 Reseptor G-protein.............................................................................52 Second Messenger...............................................................................53 Reseptor G-protein Mengaktifkan Adenilat Siklase.......................55 G-protein Reseptor Mengaktifkan Fosfolipase C..........................57 Aktivasi Protein G...............................................................................61 Adenilat Siklase....................................................................................63 Fosfolipase............................................................................................64 Protein Kinase dan Protein Fosfatase..............................................65 Pengaktivan Protein Kinase Oleh cAMP........................................65 cGMP sebagai Second Messenger...................................................66 Ca2+ Sebagai Second Messenger.....................................................66 6. BAB IV. Pertahanan Tubuh..............................................................68 Pengenalan Antigen oleh Sel B dan T..............................................70 Struktur Molekul Antibodi.................................................................72 Antibodi IgG Terdiri Dari Empat Rantai Polipeptida...................72 Imunoglobulin Tersusun atas Bagian Konstan dan Variabel.......74 Antibodi Dapat Dipecah Menjadi Fragmen Yang Tidak Kehilangan Fungsi...............................................................................74 Imunoglobulin Bersifat Fleksibel Utamanya Pada Daerah Hinge.....................................................................................................76 Domain Molekul Imunoglobulin Mempunyai Struktur Yang Mirip................................................................................................................77 Interaksi Antibodi dengan Antigen..................................................78 Ikatan Antibodi:Antigen ...................................................................79 Antibodi Mengikat Permukaan Antigen..........................................80 Interaksi Antigen-antibodi Melibatkan Banyak Energi.................81 Pengenalan Antigen oleh Sel T.........................................................84 Reseptor Antigen Sel T Mirip Fragmen Fab Pada Imunoglobulin.................................................................................... 84 Infeksi....................................................................................................86 Garis Pertahanan Pertama.................................................................88 Fagositosis............................................................................................91 Inflamasi...............................................................................................94 Daftar Bacaan......................................................................................97 Buku Ajar Fisiologi MAB4232 SIGNAL TRANSDUKSI DAN SISTEM PERTAHANAN TUBUH oleh Muhaimin Rifa’i, PhD.Med.Sc JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2009 Fisiologi Hewan S ignal Transduksi & S istem Pertahanan Tubuh MUHAIMIN RIFA’I Fisiologi Hewan Untuk Mahasiswa Biologi S ignal Transduksi & S istem Pertahanan Tubuh Signal Transduksi dan Sistem Petahanan Tubuh Muhaimin Rifa’i Edisi Pertama Diterbitkan oleh: Galaxy Science Jl. Kamelia 21, Malang, 65145 Telp: 0341-3140691 Email: [email protected] ISBN: 978-602-97628-2-2 Editor : Widodo, PhD.Med.Sc dan Dr. M. Sasmito Djati Tata Isi : Dr. Eng. Agus Naba Desain Sampul: Kalvin Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertullis penerbit. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6). 1. 2. 3. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidanan penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5000.000.000 (lima miliar rupiah) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal 24 atau Pasal 55 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan / atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Fisiologi Hewan Untuk Mahasiswa Biologi Signal Transduksi & Sistem Pertahanan Tubuh ANIMAL PHYSIOLOGY-LECTURES (Undergraduate: Biology; MAB 4232) Even Semester 2010/2011 Day: Monday Room: MP2.3 Time:07.30-10.10 NO Date Topic Sub Topic Method Lecturer 1 22.02.2010 Introduction to the study of body function, chemical and genetic control in the cells. The Primary Tissues, organ and systems, chemical composition of the body, cell structure and genetic control, signal transduction Presentation and discussion MR 2 01.03. 2010 The Immune system Defense mechanisms. Quiz, MR Presentation Function of B and T and discussion cells. Active and passive immunity. Auto-immune diseases 3 08.03. 2010 Regulation of metabolism Presentation Nutritional and SR and discussion requirements. Regulation of energy metabolism. Energy regulation by the islets of langerhans. Diabetes mellitus and hypoglycemia. 4 15.03. 2010 Regulation of metabolism Metabolic regulation by adrenal hormones, thyroxine and growth hormone. Regulation of calcium and phosphate balance. Thermo regulation. Presentation SR and discussion 5 22.03. 2010 Reproduction Sexual reproduction. Endocrine regulation of reproduction. Male reproduction system. Female reproduction system. Menstrual Quiz, SR Presentation and discussion cycle. Fertilization, pregnancy and parturition. 6 29.03. 2010 Endocrine Gland (secretion and action of the hormones) Endocrine glands and Presentation MSD hormones. Mechanism and discussion of hormone action. Pituitary gland. Adrenal glands. Thyroid and parathyroid glands. Pancreas and other endocrine glands. Autocrine and paracrine regulation 7 05.04. 2010 The digestive system Quiz, Introduction to the MSD digestive system. From Presentation and discussion mouth to stomach. Small intestine. Large intestine. Liver, gallbladder and pancreas. Neural and endocrine regulation of digestive system. Digestion and absorption of carbohydrates, lipids and proteins. 8 12.04. 2010 Middle Examination Topics 1 to 7 9 19.04. 2010 Hearth, circulation and blood pressure Functions and components of the circulatory system. Composition of the blood. Acid-base balance of the blood. Cardiac cycle and hearth sounds. Electrical activity of the heart. Blood vessels. Atherosclerosis and cardiac arrhythmias. Cardiac output. Blood volume. Blood flow to the heart. Blood flow Presentation APWM and discussion to the brain and skin. Blood pressure. Hypertension, shock and heart failure. 10 26.04 .2010 Osmoregulation and Excretion system (in aquatic and terrestrial animals) 11 03.05. 2010 Cell Respiration, Control of enzyme metabolism and activity, glycolysis and bioenergetics lactic acid, Aerobic Respiration. Lipid and protein metabolism 12 10.05.2010 Respiratory physiology Presentation Physical aspects of SP ventilation. Mechanics and discussion of breathing. Gas exchange in the lungs. Regulation of breathing. Hemoglobin and oxygen transport. Carbon dioxide transport and acidbase balance. Effect of exercise and high altitude on respiratory function 13 17.05.2010 Muscle (mechanisms of contraction and neural control) Skeletal muscle. Mechanism of contraction. Contractions of skeletal muscles. Energy Requirements of skeletal muscles. Energy requirements of skeletal muscles. Neural control of skeletal muscles. Cardiac and smooth muscles Living in water. Adaption in high salt water. Glomerular filtration. Reabsorption of salt and water. Renal plasma clearance. Renal control of electrolyte and acidbase balance. Presentation APWM and discussion Presentation APWM and discussion Presentation SP and discussion 14 24.05. 2010 sensory physiology Characteristic of sensory receptors. Cutaneous sensation. Taste and smell. The ears and hearing. The eyes and vision. Neural processing of visual information 15 31.05. 2010 The Nervous system, peripheral and central nervous systems. Presentation Neuron and W and discussion supporting cells. Electrical activity in axon. The synapse. Neurotransmitter. Structure organization of the brain 16 07.06. 2010 The Autonomic Nervous system and sensory physiology Neural control of involuntary Effector, Division of the Autonomic Nervous system. Function of the autonomic nervous system. Faculty schedule Final Examination Topics 8 to 16 MR: Muhaimin Rifai, PhD.Med.Sc SP : Drs. H. Sofy Permana, M.Sc., D.Sc. W : Widodo, Ph.D Med. Sc. SR :Dr. Sri Rahayu, M. Kes. MSD: Dr.Ir. Mochamad Sasmito Djati, MS Koordinator Kuliah APWM: Dr. Agung Pramana Warih M Presentation W and discussion Quiz, W Presentation and discussion TEAM Koordinator Matakuliah Muhaimin Rifa’i, PhD.Med.Sc Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) Judul Mata Kuliah : Fisiologi Hewan Kode Mata Kuliah : MAB4232 Dosen : Muhaimin Rifa’i, SSi, PhD.Med.Sc, Dr. M. Samito Djati, Dr. Sri Rahayu, Dr. Agung Pramana W M, Sofy Permana, D.Sc, Widoo, SSi, PhD.Med.Sc Deskripsi Singkat :Pada matakuliah ini akan disampaikan pengertian tentang metabolisme, permeabilitas dan transport, proses pencernaan dan absorpsi, mekanisme pernafasan, transport oksigen dan karbon dioksida, komposisi dan fungsi darah, jantung dan kerja jantung, tekanan darah dan aliran darah, osmoregulasai dan ekskresi pada hewan akuatik dan terestrial, termoregulasi, sel saraf, impuls saraf, konsep sinapsis, neurotransmiter, otot dan gerak, struktur yang berperan dalam kontraksi otot, peran Ca dalam kontraksi, hormon dan fungsinya, arti fisiologi dalam kehidupan mamalia, jaringan skeletal dan otot dalam membangkitkan kontraktilitas dan pergerakan, nutrisi, food intake, digestif, absorbsi, sirkulasi, persyaratan makanan, respirasi, proses dan kebutuhan respirasi, mekanisme tercapainya regulasi dalam tubuh hewan, respek interaksi dengan lingkungan luar, dan saraf otak serta panca indera. Tujuan Instruksional Umum: Setelah menempuh mataluliah Fisiolagi Hewan, mahasiswa mampu menjelaskan dan menganalisis fenomena fisiologi yang terjadi dalam organisme hidup. Referensi: Fox,S.I. 2004. Human Physiology. 8 th. Ed. McGraw Hill Company. New York.; Heiser,J.b.,Janis,C., dan Pough,F.H. 1999. Vertebrate Life. 5 th ed. Prentice Hall International Inc. London; Kardong,K.V. 2002. Vertebrates. Comparative Anatomy. Function,Evolution. McGraw Hill Company. New York.; Kent,G.C & Carr, R.K. 2001. Comparative Anatomy of the Vertebrates.. 9th ed. McGraw Hill Company. New York; Schmidt-Nielsen,K.1997. Animal Physiology. Adaptation & environment. 5 th. Cambridge University Press. Cambridge. New York. Post Chester. Melbourne. Sydney; Seeley, R. R., Stephens,T.D, & Tate,P. 2003. Anatomy and Physiology. 6 th ed. McGraw Hill New York; Wheater,P.R., Burkitt,H.G. & Daniels,V.G. 1979. Functional Histology. Chuechill Livingstone Edinburgh. London .New York Koordinator Mata Kuliah Fisiologi Hewan: Muhaimin Rifa’i, SSi, PhD.Med.Sc ANIMAL PHYSIOLOGY-LECTURES (Undergraduate: Biology; MAB 4232) Even Semester 2010/2011 Class B Day: Monday Time:12.05-14.45 Topic Room: MP1.4 NO Date Sub Topic Method Lecturer 1 22.02.2 Introduction 010 to the study of body function, chemical and genetic control in the cells. The Primary Tissues, organ and systems, chemical composition of the body, cell structure and genetic control, signal transduction Presentation and discussion MR 2 01.03. 2010 The Immune Defense mechanisms. Quiz, Presentation MR system and discussion Function of B and T cells. Active and passive immunity. Auto-immune diseases 3 08.03. 2010 Regulation of metabolism Presentation and Nutritional and discussion requirements. Regulation of energy metabolism. Energy regulation by the islets of langerhans. Diabetes mellitus and hypoglycemia. SR 4 15.03. 2010 Regulation of metabolism Metabolic regulation by adrenal hormones, thyroxine and growth hormone. Regulation of calcium and phosphate balance. Thermo regulation. Presentation and discussion 5 22.03. 2010 Reproductio n Sexual reproduction. Endocrine regulation of reproduction. Male reproduction system. Female reproduction system. Menstrual cycle. Fertilization, pregnancy and parturition. Quiz, Presentation SR and discussion 6 29.03. 2010 Endocrine Gland (secretion and action of the hormones) Endocrine glands and Presentation and hormones. Mechanism discussion of hormone action. Pituitary gland. Adrenal glands. Thyroid and parathyroid glands. Pancreas and other endocrine glands. Autocrine and paracrine regulation 7 05.04. 2010 The digestive system Quiz, Presentation MSD Introduction to the digestive system. From and discussion mouth to stomach. Small intestine. Large intestine. Liver, gallbladder and pancreas. Neural and endocrine regulation of digestive system. Digestion and absorption of carbohydrates, lipids and proteins. 8 12.04. 2010 Middle Examinatio n Topics 1 to 7 9 19.04. 2010 Hearth, circulation Functions and components of the Presentation and discussion SR MSD APWM and blood pressure circulatory system. Composition of the blood. Acid-base balance of the blood. Cardiac cycle and hearth sounds. Electrical activity of the heart. Blood vessels. Atherosclerosis and cardiac arrhythmias. Cardiac output. Blood volume. Blood flow to the heart. Blood flow to the brain and skin. Blood pressure. Hypertension, shock and heart failure. Osmoregulat ion and Excretion system (in aquatic and terrestrial animals) Living in water. Adaption in high salt water. Glomerular filtration. Reabsorption of salt and water. Renal plasma clearance. Renal control of electrolyte and acidbase balance. Presentation and discussion APWM Presentation and discussion APWM 10 26.04. 2010 11 03.05.2 Cell 010 Respiration, metabolism and bioenergetics Control of enzyme activity, glycolysis and lactic acid, Aerobic Respiration. Lipid and protein metabolism 12 10.05.2 Respiratory 009 physiology Presentation and Physical aspects of ventilation. Mechanics discussion of breathing. Gas exchange in the lungs. Regulation of breathing. Hemoglobin and oxygen transport. Carbon dioxide transport and acidbase balance. Effect of exercise and high altitude on respiratory SP function 13 17.05.2 Muscle 009 (mechanisms of contraction and neural control) Skeletal muscle. Mechanism of contraction. Contractions of skeletal muscles. Energy Requirements of skeletal muscles. Energy requirements of skeletal muscles. Neural control of skeletal muscles. Cardiac and smooth muscles Presentation and discussion SP 14 24.05.2 sensory 009 physiology Characteristic of sensory receptors. Cutaneous sensation. Taste and smell. The ears and hearing. The eyes and vision. Neural processing of visual information Presentation and discussion W 15 31.05.2 The Nervous 009 system, peripheral and central nervous systems. Presentation and Neuron and discussion supporting cells. Electrical activity in axon. The synapse. Neurotransmitter. Structure organization of the brain W 16 07.06.2 The 009 Autonomic Nervous system and sensory physiology Neural control of involuntary Effector, Division of the Autonomic Nervous system. Function of the autonomic nervous system. Faculty Final Topics 8 to 16 schedul Examination e MR: Muhaimin Rifai, PhD.Med.Sc Malang, 19 Februari, 2010 SP : Drs. H. Sofy Permana, M.Sc., D.Sc. W : Widodo, Ph.D Med. Sc. Quiz, Presentation W and discussion TEAM SR :Dr. Sri Rahayu, M. Kes. MSD: Dr.Ir. Mochamad Sasmito Djati, MS Koordinator Kuliah APWM: Dr. Agung Pramana Warih M Muhaimin Rifa’i, PhD.Med.Sc