PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH MACAM-MACAM SUMBER HUKUM TATA NEGARA BERDASARKAN SUMBER HUKUM FORMIL DAN MATERIL Muhammad Agung Email: [email protected] No BP: 1910003600099 Universitas Ekasakti A. Pendahuluan Hukum Tata Negara adalah sekumpulan peraturan yang mengatur organisasi dari negara, hubungan antara alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal serta kedudukan warga negara dan hak-hak asasinya. Gelombang pasang Era Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 telah mendorong berlangsungnya perubahan besar sistem dan praktik ketatanegaraan Indonesia. Sejak Era Reformasi kehidupan ketatanegaraan Indonesia menjadi dinamis. Fondasi penting dinamisasi ketatanegaraan tersebut adalah reformasi konstitusi yang memungkinkan perubahan atau amandemen Undang-undang Dasar 1945. Pada sisi lain, dibentuknya Mahkamag Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) sejak tahun 2003, yang merupakan produk perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, berperan penting mendinamisasi kehidupan ketatnegaraan Indonesia. Atas dasar itulah Hukum Tata Negara Indonesia berkembang pesat dari waktu ke waktu. Perkembangan kehidupan ketatanegaraan Indonesia dewasa ini mulai menggeser praktik hukum Tata Negara dari arah orientasi terlalu politis ke arah orientasi yang lebih praktis. Berdasarkan peristiwa-peristiwa tersebut tentu Hukum Tata Negara mempunyai sumber-sumber hukum nya dalam mengikuti perkembangannya yang begitu pesat dari waktu ke waktu. Sumber hukum tersebut menjadi acuan bagi Indonesia dalam menghadapi perkembangan kehidupan PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH ketatanegaraannya yang selalu berkembang dari waktu ke waktu. Acuan tersebut membuat sumber hukum itu sendiri menjadi sumber hukum yang bisa menjadi acuan di berbagai masa yang akan datang, sebab perkembangan zaman yang begitu pesat sehingga juga mempengaruhi perkembangan kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Negara Indonesia memang harus mempersiapkan mental-mental masyarakatnya dalam menghadapi perkembangan kehidupan ketatanegaraan tadi. Indonesia sendiri haruslah melakukan pemerataan kepada masyarakatnya mengenai ilmu pengetahuan tentang garis besar ruang lingkup ilmu pengetahuan Hukum Tata Negara, dan senantiasa mengakrabkan masyarakatnya dengan pengetahuan Hukum Tata Negara. Sehingga masyarakatnya bisa siap dalam menghadapi berbagai hal-hal tak terduga nantinya yang bersangkutan dengan kehidupan ketata negaraan. Pemerintah Indonesia sekarang harus lebih memperhatikan lagi mengenai kelanjutan studi Hukum Tata Negara, bagaimana mengembangkan pengetahuan masyarakatnya walaupun diluar minat mereka, mereka harus paham secara garis besar tentang Hukum Tata Negara tersebut. Pada kelanjutan studi Hukum Tata Negara di perguruan tinggi, ada disalah satu perguruan tinggi di daerah kota Padang, dari 10 orang hanya 2 orang yang berminat dalam mempelajari Hukum Tata Negara. Para Pemerintah harus lebih memperhatikan lagi hal ini karena hal itu juga mempengaruhi pola pikir suatu daerah tersebut, makin banyak peminat Hukum Tata Negara, maka akan terlahir pelopor-pelopor yang akan menjadikan negrinya paham akan Hukum Tata Negara di Indonesia. Jadi pada makalah kali ini akan membahas tentang macam-macam sumber hukum Tata Negara berdasarkan sumber hukum formil dan sumber hukum materil. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Judul kali ini diangkat untuk dapat mengungkap dasar-dasar dari Hukum Tata Negara hukum tata negara dan macam-macam sumber hukum. Sumber hukum yang akan diuraikan adalah sumber hukumnya yang berdasarkan kepada sumber hukum formil dan sumber hukum materil. Sumber hukum tersebut akan diuraikan dengan detail pada makalah ini, jelasnya akan dibahas secara detail beberapa sumber hukum tata negara dari sumber hukum formil dan sumber hukum materil. Fokus dalam makalah ini adalah membahas mengenai yurisprudensi pengadilan, konvensi ketatanegaraan, doktrin ilmu hukum (communis opinio doctorum), dan penerapan ilmu hukun tata negara kepada masyarakat Indonesia. B. Pembahasan 1. Sumber Hukum Tata Negara Berdasarkan Sumber Hukum Formil dan Sumber Hukum Materil Sumber hukum tata negara tidak dapat dipisahkan dari pengertian sumber hukum menurut pandangan ilmu hukum pada umumnya. Sumber hukum tata negara mencakup sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formil. Sumber hukum materil tata negara adalah sumber yang menentukan isi kaidah hukum tata negara. Misalnya : Dasar dan pandangan hidup bernegara, dan kekuatan-kekuatan politik yang berpengaruh pada saat merumuskan kaidah-kaidah hukum tata negara. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH • Sumber Hukum Formil Sumber hukum formil merupakan sumber hukum yang menentukan bentuk dan sebab terjadinya suatu peraturan atau kaidah hukum. Jimly menyebutkan 7 macam sumber hukum tata negara sebagai berikut : 1.) Nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis 2.) Undang-undang dasar, baik pembukaannya maupun asalnya 3.) Perturan perundang-undangan tertulis 4.) Yurisprudensi pengadilan 5.) Konvensi ketatanegaraan 6.) Doktrin ilmu hukum yang telah menjadi IUS COMMUNIS OPINIO DOCTORUM 7.) Hukum Internasional yang telah diratifikasi. • Sumber Hukum Materil Sumber hukum materil adalah sumber hukum yang menentukan isi atau suatu peraturan atau kaidah yang mengikat setiap orang. • Sumber Hukum Tata Negara 1.) Konstitusi (undang-undang) Undang-undang dasar negara GRONDWET dalam bahasa belanda CONSTITUER dalam bahasa perancis merupakan peraturan perundang-undangan yang tertinggi pada suatu negara dan merupakan hukum dasar negara tertulis yang mengikat dan berisi aturan yang harus ditaati. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Tata urutan perundang-undangan menurut undang-undang nomor 10 tahun 2004 addalah sebagai berikut : a. UUD 1945 (UUD NKRI 1945) b. UU / peraturan pemerintah pengganti uu (perpu) c. Peraturan Pemerintah (pp) d. Keputusan Presiden (Keppres) e. Peraturan Menteri/Instuksi Menteri 2.) Peraturan Ketatanegaraan Kebiasaan merupakan sumber hukum yang ada dalam kehidupan sosial masyarakat dan dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif. Selain istilah kebiasaan (custom) dikenal pula dengan istilah “adat istiadat” yang mengatur tata pergaulan masyarakat. Adat istiadat diartikan sebagai himpunan kaidah sosial yang sudah sejak lama ada dan merupakan tradisi yang umumnya bersifat sakral, mengatur tata kehidupan sosial masyarakat tertentu. Suatu adat istiadat dan kebiasaan dapat menjadi hukum kebiasaan atau hukum tidak tertulis, apa telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Syarat materiil, yaitu kebiasaan tersebut berlangsung secara terus menerus dan dilakukan dengan tetap b. Syarat psikologis, yaitu ada keyakinan warga masyarakat, bahwa perbuatan atau kebiasaaan itu masuk akal sebagai suatu kewajiban. c. Syarat sanksi, yaitu ada sanksi apabila kebiasaan itu dilanggar atau tidak ditaati oleh masyarakat. 3.) Yurisprudensi PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Yurisprudensi adalah putusan hakim yang mamuat peraturan tersendiri dan telah berkekuatan hukum tetap, kemudian diikuti oleh hakim lain dalam peristiwa yang sama. Pengertian yurisprudensi di negara-negara Anglo Saxon yang menganut tradisi hukum common law (inggris dan amerika) memiliki arti yang luas, dimana yurisprudensi dapat diartikan sebagai ilmu hukum. Yurisprudensi dalam arti luas sebagai putusan hakim atau hukum yang dibuat oleh pengadilan, terdiri atas empat jenis, yaitu sebagai berikut : a. Yurisprudensi tetap, yaitu semua putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan sifatnya yuridis murni. b. Yurisprudensi tidal tetap yaitu semua putusan hakim terdahulu yang tidak didasarkan pada standard arrest, atau putusan hakim yang tidak didasarkan pada putusan hakim yang telah berkekuatan tetap. c. Yurisprudensi semi yuridis, yaitu semua penetapan pengadilan berdasarkan permohonan seseorang yang hanya berlaku khusus pada pemohon. d. Yurisprudensi administratif, yaitu surat edaran mahkamah agung (SEMA) yang hanya berlaku secara administratif dan mengikat intern dalam lingkup peradilan. 4.) Traktat Traktat disebut juga dengan istilah konvensi atau perjanjian internasional. Traktat atau perjanjian antar negara adalah suatu perjanjian internasional setara dua negara atau lebih. Traktat dapat dijadikan sebagai sumber hukum formal jika memenuhi syarat formal tertentu. Misalnya perjanjian antar negara yang biasa dilakukan oleh pemerintah Indonesia, harus disahkan oleh kedua belah pihak agar mengikat negara peserta traktat. Perjanjian ini dapat dilakukan antara dua negara atau lebih. Jika dilihat berdasarkan jumlah negara yang melakukan perjanjian tersebut, traktat terdiri dari : PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH a. Traktat bilateral, yakni bila traktat dilakukan oleh dua negara. Misalnya perjanjian internasional yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Filipina tentang pembatasan penyelundupan dan bajak laut. b. Traktat multirateral, yakni jika menjadi pihak dalam perjanjian tersebut dilakukan oleh lebih dari dua negara. c. Traktat korektif, yakni traktat yang memberikan keterbukaan kepada negara-negara untuk turut serta dalam perjanjian tersebut. Misalnya piagam PBB, konvensi-konvensi Genewa 1949 tentang perlindungan korban perang dan protokol-protokol tambahan. 5.) Doktrin Doktrin merupakan pendapat atau bajaran ahli hukum yang terkemuka dan mendapat pengakuan dari masyarakat. Misalnya pemeriksa perkara atau dalam pertimbangan putusannya menyebutkan ahli hukum tertentu. Dengan demikian, hakim dianggap telah menemukannya dalam doktrin, sehingga doktrin yang demikian telah menjadi sumber hukum formal. 2. Yurisprudensi pengadilan Yurisprudensi tidak dapat dipisahkan dari perkembangan ilmu hukum di Indonesia. Yurisprudensi sudah sangat akrab dalam dunia peradilan. Peranan yurisprudensi di Indonesia sudah sedemikian pentingnya, selain sebagai sumber hukum yurisprudensi menjadi guidelines bagi para hakim dalam memutus perkara. Yurisprudensi merupakan produk hukum dari lembaga yudikatif. Fungsi yurisprudensi sendiri dalam hal hakim membuat putusan adalah mengisi kekosongan hukum karena menurut AB, hakim tidak boleh menolak perkara karena tidak ada hukum yang mengatur. Kekosongan hukum hanya bisa teratasi dan ditutupi melalui “judge made law” yang PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH akan dijadikan pedoman sebagai yurisprudensi sampai terciptanya kodifikasi hukum yang lengkap dan baku. Yurisprudensi, selain terkait dengan pembentukan hukum, terkait juga dengan akuntabilitas dan pengawasan hakim. Yurisprudensi dapat menunjang pembaharuan dan pembinaan hukum. Semakin konsisten para hakim dalam memutus perkara yang sama maka akan semakin baik sistem peradilan secara keseluruhan, dimana dengan yurisprudensi dalam fungsinya sebagai guidelines tadi, hakim dapat menekan angka disparitas. Dengan kekonsistenan dalam memandang suatu fakta hukum, maka akan mudah melihat adanya “ketidakberesan” para hakim dalam mengadili suatu perkara. Hal ini terkait fungsi Mahkamah Agung (MA) salah satunya adalah pengawasan terhadap hakim-hakim. Dalam sebuah penelitian, Yurisprudensi diterima sebagai suatu sumber hukum dikarenakan hal-hal berikut: a. Adanya kewajiban hakim untuk menetapkan dan memutus perkara yang diajukan kepadanya meskipun belum ada peraturan yang mengaturnya; b. Salah satu fungsi Pengadilan dalam pembaharuan dan pembangunan hukum ialah menciptakan sumber hukum baru; Hal yang baik dalam mencari dan menegakkan keadilan. Dari segi teori dan praktek, yurisprudensi telah diterima sebagai salah satu sumber hukum, baik dalam sistem hukum civil law maupun common law. Tetapi daya kekuatan mengikatnya yurisprudensi bagi para hakim dalam sistem hukum civil law, memang berbeda dengan sistem hukum common law. Walaupun harus diakui bahwa dalam kenyataan dan perkembangan hukum sekarang, perbedaan tersebut tidak lagi terlalu mutlak untuk secara ketat harus dipertentangkan satu sama lain, melainkan sudah saling memasuki dan mempengaruhi sehingga batasnya menjadi tipis. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Perbedaan preseden dalam common law (stare decicis) dan yurisprudensi telah kehilangan ketajamannya selama abad kedua puluh. Jika putusan pengadilan Anglo-Amerika mempunyai “kekuatan mengikat”, putusan pengadilan civil law memperoleh “kekuatan persuasif” yang sebetulnya tidak kalah kuat. Memang dalam sistem civil law yang beragam dan hierarkis, kekuatan mengikat ini lebih melekat pada putusan Mahkamah Agung ketimbang putusan pengadilan tingkat bawah. Otoritas putusan civil law nyaris mendekati kekuatan preseden yang mengikat dalam sistem Anglo-Amerika. Hal ini terlihat pada saat Mahkamah Agung memberikan putusan yang identik dalam serangkaian perkara. Demikianlah, apabila dalam sistem civil law sebuah putusan yang dianggap sebagai yurisprudensi dapat mempunyai otoritas persuasif yang besar, maka serangkaian putusan yang konsisten mengenai suatu permasalahan hukum tertentu dapat dipandang mengikat. Konsistensi ini ditopang oleh fakta bahwa pengadilan tertinggi di berbagai negara yang menganut sistem civil law telah mengacu pada putusan mereka sendiri dan demikian telah menciptakan “yurisprudensi tetap”. Hal mana dapat dikatakan bertentangan dengan doktrin dan praktik awal civil law. Akibatnya, putusan-putusan pengadilan di kebanyakan negara civil law mempunyai dampak pembuatan hukum yang menjangkau di luar pihak yang berperkara. Dengan demikian perbedaan antara stare decicis Anglo-Amerika dan yurisprudensi civil law harus dilihat, dengan memperhatikan nuansa-nuansa yang subtil, sebagai area abu-abu dan bukan sekedar hitam dan putih. Yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap menyangkut suatu perkara yang baru dan menarik dari sudut ilmu hukum, atau suatu penafsiran atau penalaran hukum baru terhadap suatu norma hukum yang diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Badan Pembinaan Hukum Nasonal (BPHN) berdasarkan penelitian pada tahun 1994/1995 merumuskan bahwa sebuah putusan dapat dikatakan sebagai yurisprudensi apabila sekurangkurangnya memiliki 5 (lima) unsur pokok yaitu: a. Keputusan atas sesuatu peristiwa yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya; b. Keputusan itu merupakan keputusan tetap; c. Telah berulang kali diputus dengan keputusan yang sama dan dalam kasus yang sama; d. Memiliki rasa keadilan; e. Keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Namun terkait dengan unsur pokok putusan untuk dapat dikatakan sebagai yurisprudensi tetap, Paulus Effendi Lotulung tidak sepakat terkait masalah putusan tersebut harus berulang kali. Lotulung mengatakan: “Ukuran yang dipakai untuk menentukan apakah yurisprudensi itu merupakan yurisprudensi tetap ataukah tidak tetap, tidaklah didasarkan pada hitungan matematis yaitu berapa kali sudah diputuskan yang sama mengenai kasus yang sama, tetapi ukurannya lebih ditekankan pada muatannya yang secara prinsipiil berbeda.” Namun mengenai pemisahan yurisprudensi tetap dan tidak tetap ini, sejauh penelusuran penulis tidak menemukan adanya hal yang sama di negara-negara lain, baik itu negara yang menganut civil law maupun negara yang menganut common law. a. Yurisprudensi dan Kemerdekaan Hakim Hakim tidak hanya merdeka secara institusional namun hakim juga merdeka secara personal, sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 24 Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Undang-Undang Dasar 1945) yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dijalankan secara merdeka dalam menyelenggarakan peradilan yang adil. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Artinya, hakim bebas dan merdeka serta tidak dapat dipengaruhi oleh kekuasaan lainnya dalam mengadili suatu perkara, bahkan termasuk oleh sesama hakim yang tidak memutus perkara tersebut atau hakim yang pernah menangani kasus serupa terdahulu. Konsep ini lah yang menjadikan adanya perdebatan dalam kedudukan yurisprudensi, karena yurisprudensi tetap dianggap sebagai pencederaan terhadap kemerdekaan seorang hakim dari intervensi hakim lainnya. Banyak ahli hukum menegaskan bahwa putusan pengadilan telah menyempurnakan undangundang, tetapi tidak punya kapasitas membuat undang-undang. Bahkan doktrin civil law kadangkadang mampu mengakomodasi peningkatan otoritas yurisprudensi dalam praktik, kalau bukan dalam teori, sekalipun jika diperlukan harus dengan upaya khusus. Dengan demikian, walaupun doktrin civil law tidak akan mengakui kekuatan ”yurisprudensi tetap” sebagai sumber hukum tersendiri, namun doktrin ini memberikan otoritas mengikat lewat pintu kebiasaan. Misalnya, walaupun menganggap bahwa tidak ada rangkaian putusan pengadilan yang bisa dikatakan mengikat, tetapi pada kenyataannya terdapat garis konsisten yang memunculkan “kebiasaan”, yang oleh sistem ini diakui sebagai sumber hukum. Dalam beberapa perkara, kesenjangan antara doktrin dan realitas memang tidak bisa dijembatani. Hal ini terlihat jelas ketika berusaha mempertemukan pembuatan hukum oleh preseden dengan pengertian yang berlaku tentang kebebasan yudisial. Dalam sistem AngloAmerika, doktrin tentang preseden yang mengikat tidak dipandang sebagai sesuatu mempengaruhi kebebasan yudisial. Namun tidak menyangkal realitas bahwa preseden mengikat, seperti halnya undang-undang, adalah sebuah instrumen untuk memastikan kepatuhan para hakim. Bagaimanapun juga kualitas doktrinalnya, telah menghalangi perdebatan tentang apa yang sesungguhnya merupakan pembatas bagi kebebasan para hakim untuk memutus menurut PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH nurani mereka, meskipun kebebasan tersebut dibenarkan. Civil law tidak memiliki doktrin demikian, yuris civil law sudah terbiasa dengan pandangan bahwa para hakim bisa dibatasi dan diarahkan oleh undang-undang dan kebiasaan. Konsep civil law tentang kebebasan yudisial jelas menutup kemungkinan para hakim di bawah dibimbing oleh hakim senior. Akibatnya profesi hukum dan para hakim harus melakukan lompatan mental untuk mengakomodasi ide tentang preseden mengikat, dan ini mengundang banyak penolakan, sistem civil law tidak benar-benar membutuhkan preseden mengikat untuk mewujudkan kepatuhan di tubuh pengadilan. Memang benar bahwa hakim tidak dapat di intervensi oleh hakim yang lebih tinggi dalam memutus sebuah perkara, dalam perkara mengenai yurisprudensi ini harusnya tidak diartikan sebagai sebuah intervensi dari hakim lebih tinggi kepada hakim dalam tingkatan yang lebih rendah. Shetreet, dalam pembahasan mengenai sentencing guidelines yang diberikan oleh chief judge memberikan sebuah analogi bagaimana ketika para hakim berkumpul dalam sebuah ruangan dan saling bercerita dan saling berkonsultasi mengenai kasus masing-masing, apakah dapat dikatakan melanggar individual judicial independence? orang dapat berpendapat bahwa dengan kondisi demikian maka para pihak kehilangan haknya untuk mengajukan argumentasi. Akan tetapi, disini sama saja dengan hakim pergi ke perpustakaan dan berkonsultasi dengan orang lain terkait perkaranya. Apakah berpengaruh terhadap individual judicial independence? Menurut Shetreet hal ini tidak dapat dengan mudah dijawab. Terkait dengan hakim yang menerima putusan hakim lain melanggar prinsip kemerdekaan hakim, Utrech menyatakan pendapat bahwa tentang seorang hakim membuat peraturan umum apabila memberi suatu keputusan yang kemudian diturut oleh seorang hakim lain adalah suatu kesalahpahaman. Seorang hakim yang menuruti suatu keputusan seorang hakim lain, tidak berarti bahwa hakim yang disebut pertama secara tegas mendapat suatu perintah dari hakim yang PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH lain itu supaya menurut keputusannya. Karena menurut Utrecht, sesuai Pasal 1917 KUHPerdata keputusan hakim hanya berlaku terhadap kedua belah fihak yang perkaranya diselesaikan oleh keputusan itu. Menurut ketentuan ini, maka keputusan hakim tidak berlaku umum, namun tidak menutup untuk diikuti. Sepanjang yurisprudensi tidak dimaksudkan untuk mempengaruhi putusan hakim dan hakim menjadi berat sebelah, dalam arti hakim memihak, baru dapat dikatakan ada pelanggaran terhadap kemerdekaan hakim, seperti didalam kasus perkara yurisprudensi tancho yang digunakan dalam perkara nike II yang menekankan perlunya unsur “itikad baik” dalam pendaftaran merek. Putusan tancho oleh Presiden Soeharto saat itu sengaja dipaksa dijadikan yurisprudensi agar hakim tidak merdeka dalam memberi putusan. Hakim terikat dengan yurisprudensi sepanjang memang sejalan dengan rasio hukum dari sebuah yurisprudensi, dengan maksud yaitu wajib dipertimbangkan. Ketika tidak sesuai hakim tetap dapat menolak menerapkan norma dalam yurisprudensi tersebut, namun wajib memberikan alasannya, demi tercapainya keadilan. Jadi tetap konsep keterikatannya adalah persuasive, namun wajib dipertimbangkan. b. Yurisprudensi dan Konsistensi Putusan Persamaan persepsi di dalam penerapan hukum akan mewujudkan kepastian hukum. Terwujudnya kepastian hukum akan mencegah atau menghindarkan disparitas dan inkonsistensi putusan disebabkan hakim telah menerapkan standar hukum yang sama terhadap kasus atau perkara yang sama atau serupa dengan perkara yang telah putus atau diadili oleh hakim sebelumnya, sehingga putusan terhadap perkaranya dapat diprediksikan oleh pencari keadilan.[20] Dengan adanya putusan yang konsisten tersebut maka rasa keadilan dan kepastian hukum dapat terwujud.[21] PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Kepastian hukum akan memudahkan proses penegakan hukum, disebabkan dengan telah terwujud konsistensi penerapan hukum maka putusan akan mudah dilaksanakan tugasnya. Konsistensi penerapan hukum juga dapat menumbuh kembangkan yurisprudensi sebagai sumber hukum dan pengembangan hukum, sebab undang-undang tidak selalu lengkap dan tuntas mengatur segalanya. Peranan hakim dalam hal ini menjadi pengisi kekosongan hukum ketika undang-undang tidak mengatur dengan cara menciptakan hukum baik hukum formil maupun hukum materiil. Pada hakekatnya yurisprudensi mempunyai berbagai fungsi yaitu: a. Dengan adanya putusan-putusan yang sama dalam kasus yang serupa, maka dapat ditegakkan adanya standar hukum yang sama b. Dengan adanya standar hukum yang sama, maka dapat diciptakan rasa kepastian hukum di masyarakat c. Dengan diciptakannya rasa kepastian hukum dan kesamaan hukum terhadap kasus yang sama, maka putusan hakim akan bersifat dapat diperkirakan dan ada transparansi d. Dengan adanya standar hukum, maka dapat dicegah kemungkinan-kemungkinan timbulnya disparitas dalam berbagai putusan hakim yang berbeda dalam perkara yang sama. Andai kata timbul perbedaan putusan antara hakim yang satu dengan yang lainnya dalam kasus yang sama, maka hal itu jangan sampai menimbulkan disparitas tetapi hanya bercorak sebagai variabel secara kasuistik (kasus demi kasus). e. Dengan adanya pedoman atau pegangan yang ada dalam yurisprudensi tersebut, maka akan timbul konsistensi dalam sikap peradilan dan menghindari putusan-putusan yang kontroversial, hal mana pada gilirannya akan memberikan jaminan kepastian hukum serta PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH kepercayaan terhadap peradilan dan penegakan hukumnya, baik di forum nasional dan terutama tingkat internasional. Selain memberikan jaminan hukum dan kepercayaan terhadap peradilan, dengan adanya konsistensi putusan dapat mengakibatkan berkurangnya arus perkara yang masuk ke Mahkamah Agung. Dimana berdasarkan salah satu penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian dan Advokasi Untuk Independensi Peradilan (LeIP), 93,16% perkara di tingkat banding masuk ke Mahkamah Agung dan salah satu faktor dominan tingginya arus perkara tersebut adalah inkonsistensi putusan atau ketidakjelasan sikap Mahkamah Agung atas suatu permasalahan hukum. Perlu diketahui bahwa untuk mengatasi masalah tersebut, Mahkamah Agung saat ini sudah melakukan tahap awal untuk membentuk suatu kesatuan hukum demi konsistensi putusan dengan diterapkannya sistem kamar sejak September tahun 2011. 3. Konvensi Ketatanegaraan Conventon atau lebih dikenal dengan istlah consttutonal conventon, yang diteliti lebih dalam oleh Dicey seorang sarjana Inggris sebagaimana dikutp oleh Dahlan Thaib berarti rules for determining the mode in which the discretonary powers of the crown (or of the ministers as servants of the crown) ought to be exercise. Suatu konvensi ketatanegaraan harus memenuhi ciriciri sebagai berikut; Konvensi ketatanegaraan itu berkenaan dengan hal-hal dalam bidang ketatanegaraan; Kemudian konvensi ketatanegaraan tumbuh, berlaku, diikut dan dihormat dalam praktk penyelenggaraan negara; serta Konvensi sebagai bagian dari konsttusi, apabila ada pelanggaraan terhadapnya tak dapat diadili oleh badan pengadilan. Sejak era kemerdekaan Indonesia, konvensi menjadi hal lumrah yang terjadi dalam sistem ketatatanegaraan Indonesia. Hal itu disebabkan belum adanya tradisi untuk mencantumkan segala sesuatu dalam peraturan perundangundangan. Menurut Ismail Sunny hal ini disebabkan PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH adanya Express agreement (persetujuan yang dinyatakan) antara sejumlah elit, bak itu eksekutif maupun legislatf sehingga konvensi tersebut merasa tdak perlu dinormakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Untuk dianggap sebagai konvensi, suatu norma tidak tertulis harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang jelas. Apabila syarat terciptanya kebiasaan itu diberlakukan pada kebiasaan ketatanegaraan, maka konvensi ketatanegaraan sebagai kebiasaan akan terbentuk melalui proses yang relatif lama. Sebagai kebiasaan, konvensi ketatanegaraan harus memenuhi beberapa persyaratan antara lain, (1) harus ada preseden yang tmbul berkalikali; (2) preseden yang tmbul karena adanya sebab secara umum dapat dimengerti atau dapat diterima; dan (3) preseden itu karena adanya kondisi politk yang ada. Syarat pertama, merupakan hakikat kebiasaan itu sendiri, sebab tdak ada kebiasaan yang tdak dilakukan secara berulang-ulang. Syarat kedua, sama dengan “opinion necessitats” atau keyakinan akan kewajiban (hukum) yang berlaku di Eropa Kontnental. Keyakinan sebagai kewajiban hukum ini idealnya tdak hanya dirasakan oleh seseorang atau golongan tertentu, tetapi oleh sebagian terbesar warga negara. Syarat ketga, dibutuhkan karena tuntutan kondisi politk dalam skala yang luas. Karena kehidupan politk menuntut dibentuknya tndakan baru sebagai awal terciptanya konvensi ketatanegaraan atau tetap mempertahankan tradisi ketatanegaraan lama yang dianggap selama ini sudah menjadi konvensi ketatanegaraan. Konvensi di Indonesia Berkenaan dengan pengertian konvensi ketatanegaraan menurut sistem di Indonesia, Bagir Manan menjelaskan Konvensi atau (hukum) kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) yang tumbuh dalam praktik penyelenggaraan negara, melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan (mendinamisasi), kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan. Hal ini disepakati pula oleh Donald A. Rumokoy, yang dalam pendapatnya mengatakan bahwa konvensi PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH ketatanegaraan adalah segenap kebiasaan atau tindakan ketatanegaraan yang bersifat mendasar, yang dilakukan dalam menyelenggarakan aktvitas bernegara oleh alat-alat kelengkapan negara, dan belum diatur dalam konsttusi serta peraturan ketatanegaraan lainnya, dengan maksud untuk melengkapi ketentuan-ketentuan ketatanegaraan atau sebagai faktor pendinamisasi pelaksanaan konstitusi. Sebelum dan sesudah era reformasi, terdapat beberapa konvensi ketatanegaraan di Indonesia yang dapat diinventarisasi oleh penulis: a. Upacara Bendera Setap Tanggal 17 Agustus; b. Pidato Presiden Tanggal 16 Agustus; c. Pemilihan Menteri dan Jabatan tertentu oleh Presiden; d. Foto Presiden dan Wakil Presiden di Kantor Pemerintahan; e. Pemberian Grasi, Amnest, Abolisi, atau Rehabilitasi; f. Program 100 Hari Kerja; g. Menteri Non Departemen; h. Presiden RI Menjelaskan tentang RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara) Kepada DPR; i. Pengambilan Keputusan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Semua praktek ketatanegaraan di atas tdak diatur dalam peraturan perundang-undangan, dan mengacu pada asas legalitas apabila tndakan tersebut dilanggar maka tdak akan ada juga konsekuensi hukum yang terjadi. Dalam negara yang menganut asas common law, praktek yang didasarkan pada tradisi adalah sesuatu yang lumrah dalam kehidupan bernegara. Hal ini berbeda dengan negara yang menganut asas civil law, tradisi ketatanegaraan masih ada meskipun sebagian besar sudah dinormakan PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Berdasarkan inventarisasi konvensi ketatanegaraan yang sudah ada sejak era reformasi, dapat dilihat bahwa tradisi yang sebelumnya berbentuk hukum tidak tertulis perlahan-lahan mulai diformalkan dalam norma tertulis. Pelaksanaan Upacara Bendera setiap tanggal 17 Agustus merupakan agenda rutin ketatanegaraan di seluruh wilayah Indonesia. Pada awalnya tradisi ini dilandasi oleh konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan di seluruh Indonesia. Namun, sejalan dengan waktu, tradisi ini diformalkan dalam sejumlah peraturan perundangundangan. Formalisasi itu dimulai dari munculnya pasal terkait kewajiban pengibaran bendera merah puth dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Padahal apabila kita melihat ke belakang, di era orde baru tdak ada undangundang yang mengatur praktek tersebut, akan tetapi hanya mendasarkan pada instruksi semata. Praktek pengibaran bendera merah-puth pada tanggal 17 Agustus berjalan serentak dan sangat sedikit ada pihak yang tdak tunduk dan taat pada instruksi tersebut. Bandingkan dengan kondisi saat ini, meskipun dinarasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, masih banyak pihak yang tdak tunduk serta taat pada ketentuan tersebut. Selain kewajiban pengibaran bendera merah puth, terdapat pula undang-undang yang mengatur terkait upacara kemerdekaan, yaitu Pasal 16 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan yang berbunyi: Upacara bendera hanya dapat dilaksanakan untuk Acara Kenegaraan atau Acara Resmi: a. Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia; b. hari besar nasional; c. hari ulang tahun lahirnya lembaga negara; d. hari ulang tahun lahirnya instansi pemerintah; dan e. hari ulang tahun lahirnya provinsi dan kabupaten/kota. Ketentuan di atas, memberikan legitmasi yang kuat bagi pemerintah untuk menyelenggarakan upacara setap tanggal 17 Agustus. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Undang-Undang Nomor 9 tahun 2010 tentang Keprotokolan bersifat komplementer dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera. Oleh karena itulah meskipun sejak era orde baru sudah ada pelaksanaan upacara bendera setap tanggal 17 Agustus, saat ini hal ini menjadi tradisi rutn yang dinormakan serta dilaksanakan disetap kantor atau instansi pemerintahan diseluruh wilayah Indonesia. Tidak cukup hanya di instansi pemerintahan, penormaan kebiasaan ketatanegaraan ini di lembaga pendidikan juga diatur dalam peraturan perundangan-undangan, yaitu Permendiknas Nomor 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan kesiswaan. Dengan tujuan untuk pembinaan kesiswaaan yang sasarannya meliput siswa TK/TKLB, SD/SDLB dan SMA/ SMK/SMALB yang dilaksanakan melalui kegiatan ekstrakurikuler dan kokurikuler, maka dibentuk 10 materi pembinaan yang butr nomor 3 adalah membentuk kepribadian unggul, wawasan kebangsaan dan bela negara (pasal 3 butir 2c). Pada lampiran yang menjelaskan jenis kegiatan pembinaan kesiswaan butr nomor 3 dijelaskan Pembinaan kepribadian unggul, wawasan kebangsaan dan bela negara antara lain dilakukan dengan melaksakan upacara bendera pada hari senin dan/atau sabtu, serta hari-hari besar nasional. Pidato Presiden Tanggal 16 Agustus Sejak era orde baru, Presiden Soeharto merupakan pelopor tradisi kenegaraan dimana Presiden menyampaikan pidatonya di depan seluruh anggota MPR setap tanggal 16 Agustus. Pidato kenegaraan ini pada dasarnya tdak relevan dengan sistem pemerintahan Indonesia yang menganut sistem pemerintahan presidensiil, yaitu Presiden bertanggung jawab langsung kepada rakyat bukan kepada parlemen. Akan tetapi tradisi itu berjalan secara rutn meskipun tdak ada dasar hukumnya. Akan tetapi sejak tahun 2010, tradisi ketatanegaraan ini diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yaitu terdapat pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH (MD3).17 Merujuk pada Undang-Undang tersebut, Presiden melakukan 2 (dua) kali pidato dalam satu hari tanggal 16 Agustus. Pidato pertama adalah Pidato Kenegaraan menyambut Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI dan pidato kedua adalah Pidato Penyampaian RUU tentang APBN. Pidato Penyampaian RUU APBN dilakukan di hadapan DPR, sedangkan Pidato Kenegaraan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI dilakukan dalam Sidang Bersama (joint session) antara DPR dengan DPD. Sidang bersama DPR-DPD diatur dalam Peraturan Bersama DPR dan DPD yang disahkan pada tanggal 3 Agustus 2010, dan penyelenggaranya bergantan antara DPR dan DPD. Di Pasal 228 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, praktek diatur lebih tegas dan mendetail. Adanya Undang-Undang MD3 yang meformalkan ketentuan terkait tradisi ketatanegaran yang dilakukan oleh Presiden setap tanggal 16 Agustus, secara otomats mengubah konvensi ketatanegaraan sejak era orde baru ini menjadi hukum tertulis. Pemilihan Menteri dan Jabatan tertentu oleh Presiden dalam sistem pemerintahan presidensiil kewenangan Presiden untuk mengangkat Menteri dan jabatan lain setngkat Menteri mutlak menjadi kewenangan Presiden. Meskipun mempunyai kewenangan mutlak dalam hal pengangkatan, namun dalam prakteknya Presiden kerap kali melibatkan lembaga lain sepert KPK atau Kejaksaan atau membentuk Tim Seleksi yang dibentuk untuk melakukan seleksi dalam memilih pejabat tertentu yang mempunyai kelayakan dan kecakapan sebagai contoh pengangkatan hakim Mahkamah Konsttusi. Preseden itu sempat tidak diikuti oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai Hakim Mahkamah Konsttusi. Presiden SBY pada waktu itu mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai Hakim Mahkamah Konsttusi (MK) tanpa melalui proses uji kompetsi dan kelayakan (ft and proper test).19 Pada akhirnya Kepres itu digugat ke PTUN, dan sempat PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH dicabut oleh Putusan PTUN. Akan tetapi, Mahkamah Agung memutuskan bahwa Keputusan Presiden SBY yang mengangkat Patrialis Akbar dan Maria Farida tanpa melalui uji kompetsi dan kompetensi tdak melanggar undang-undang. Meskipun sudah menjadi tradisi pengangkatan Hakim MK melalui tm ahli, ketka Presiden SBY melanggar tradisi itu, Pembuat undang-undang kemudian menormakan itu di dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 18 A UndangUndang Nomor 4 Tahun 2014 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Penggant UndangUndang Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konsttusi Menjadi Undang-Undang. Sejak adanya ketentuan ini, tradisi ketatanegaraan yang mana pengangkatan Hakim MK melalui Tim Seleksi yang sempat dilanggar di era Pemerintahan SBY menjadi norma terikat yang harus ditaat oleh setap Presiden RI. Begitu pula dalam hal pengangkatan Menteri, tradisi yang muncul saat ini adalah ketka Presiden hendak mengangkat Menteri maka dia akan melibatkan KPK dan PPATK untuk melihat bagaimana profl calon menteri tersebut. Akan tetapi tradisi ini baru berjalan beberapa waktu, sehingga saat ini tradisi ini masih berjalan sebagai salah satu konvensi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. d. Foto Presiden dan Wakil Presiden di Kantor Pemerintahan Apabila mengacu pada Pasal 51 jo. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan yang wajib dipasang di Gedung dan/atau Kantor Lembaga Negara atau Instansi Pemerintah adalah Lambang Negara yaitu Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Namun apabila kita melihat pasal 55 undang-undang tersebut, secara implisit terdapat perintah untuk pemasangan gambar wakil Presiden di antara lambang negara. Undang-undang ini tdak mengatur secara tegas terkait kewajiban pemasangan foto presiden dan wakil presiden di setap instansi pemerintahan. Hanya saja sebagai sebuah konvensi, praktk ini sudah dilakukan PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH sejak lama sehingga saat tdak ada dasar hukum yang mengaturnya, tdak ada seorangpun yang mempermasalahkanya. Apalagi saat ini ada aturan yang mengatur hal tersebut secara implisit, oleh karena itu sebagai sebuah praktek hal ini sudah dinormakan dalam aturan perundangundangan. Pemberian Grasi, Amnest, Abolisi, atau Rehabilitasi Pemberian grasi, amnest, abolisi atau rehabilitasi sejak era orde baru merupakan kewenangan mutlak Presiden sebagai kepala negara meskipun dalam prakteknya Presiden selalu meminta pertimbangan kepada DPR atau Mahkamah Agung. Sebelum era amandemen UUD 1945, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 14 UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan absolut terhadap pemberian grasi, rehabilitasi, amnest dan abolisi. Selain keberadaan konsttusi sebagai dasar hukum, pada era sebelum amandemen konsttusi juga terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1947, Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1948 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Ketga peraturan perundang-undangan tersebut hanya mengatur terkait tata cara mengajukan permohonan grasi serta siapa saja yang berhak mengajukan grasi, begitupula dengan rehabilitasi, amnest dan abolisi ketgatganya pada era sebelum amandemen UUD 1945 mutlak menjadi kewenangan Presiden dan tdak ada kewajiban untuk mendapatkan pertmbangan ataukah persetujuan dari Mahkamah Agung ataupun DPR. Pada tahun 1973, berdasarkan TAP MPR No.VI/MPR/1973 pasal 11 ayat 3, MPR kemudian menormalkan kewenangan Mahkamah Agung terkait dengan pemberian nasehat hukum kepada Presiden untuk pemberian/penolakan grasi, meskipun sebelum ada norma tersebut pada prakteknya Presiden selalu meminta pertmbangan kepada Mahkamah Agung. Tradisi itu kemudian di normalkan lebih tegas dalam Pasal 14 UUD NRI 1945 setelah amandemen, apabila Presiden ingin memberikan grasi, rehabilitasi, amnest ataupun abolisi, maka Presiden wajib meminta pertmbangan DPR atau Mahkamah Agung. Program 100 Hari Kerja PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Program 100 hari kerja merupakan tradisi ketatanegaraan yang kita bangun sejak era reformasi. Sebenarnya hal ini pada awalnya adalah upaya masyarakat untuk mengukur indikator keberhasilan Presiden baru, yaitu Presiden BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid dan Megawat Soekarnoputri. Namun sejak Pilpres 2004, Presiden SBY pertama kali memperkenalkan program 100 hari kerja yaitu Pemberantasan mafia hukum, Revitalisasi industri pertanian, Penangggulangan terorisme, Kesediaan listrik, Peningkatan produksi dan ketahanan pangan, Revitalisasi pabrik pupuk dan gula, Penataan tanah dan tata ruang, Peningkatan infrastruktur, Peningkatan pinjaman usaha mikro usaha kecil dan usaha menengah, Pendanaan, Penanggulangan perubahan iklim dan lingkungan, Reformasi kesehatan, Reformasi pendidikan, Kesiagaan dalam penanggulangan bencana, dan Koordinasi erat pemerintah pusat dan daerah. Setelah tahun 2004, Setap calon presiden pasti punya tradisi untuk melakukan pencapaian tertentu selama 100 hari kerja. Hingga saat ini, kebiasaan ini masih berjalan dan belum dinormakan dalam peraturan perundang-undangan. Menteri Non Departemen Pengangkatan Menteri non departemen bersamaan dengan pengangkatan Menteri merupakan tradisi ketatanegaraan yang sudah berlangsung sejak era orde baru. Biasanya jabatan yang diangkat secara bersamaan dengan Menteri adalah Jaksa Agung dan Gubernur BI. Pelaksanaan tradisi ketatanegaraan ini berhenti di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Presiden SBY pada waktu itu memutuskan untuk tdak mengangkat lagi Jaksa Agung pada periode II kepemimpinannya sebagai Presiden. Presiden SBY tetap membiarkan Jaksa Agung Hendarman Supandji menduduki jabatannya sebagai Hakim Agung tanpa melantiknya kembali. Pada pasal 19 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia, mengatakan bahwa Jaksa Agung adalah pejabat negara sehingga diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sehingga Jaksa Agung merupakan bagian PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH dari Kabinet yang usia jabatannya sama dengan usia jabatan Presiden yang memilihnya, yaitu lima tahun. Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan bahwa pasal terkait ketentuan ini adalah konstitusional bersyarat (Conditonally Consttutonal). Akan tetapi sebagai sebuah tradisi ketatanegaraan sejak era orde baru, tindakan Presiden SBY yang memutuskan untuk tidak melantik lagi Jaksa Agung untuk periode kedua karena tidak ada ketentuannya merupakan kesalahan politk. Saat ini tradisi ini masih tetap berjalan namun sudah dinormalkan secara tertulis dalam peraturan perundang-undangan, jabatan Jaksa Agung selalu diangkat dan dilantik setap 5 tahun sekali pada pergantian pemerintahan. Presiden RI Menjelaskan tentang RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara) Kepada DPR Salah satu tradisi ketatanegaraan di Indonesia adalah setap tanggal 16 Agustus Presiden menyampaikan tentang RUU APBN, baik perubahannya atau untuk ke depannya. Penyampaian penjelasan itu dilakukan di depan anggota DPR dalam bentuk sidang paripurna bersamaan dengan pidato kenegaraan. Pada awalnya hal ini tdak diatur secara formal dalam peraturan perundang-undangan. Hingga saat ini pun yang diatur terkait pidato tangal 16 Agustus adalah pidato kenegaraan, dan tdak mengatur terkait detail hal yang dibicarakan dalam pidato kenegaraan tersebut. Akan tetapi penjelasan Presiden terkait UU APBN dan APBN-Perubahan selalu dilakukan pada tanggal 16 Agustus dan menjadi tradisi ketatanegaraan Indonesia hingga saat ini. Pengambilan Keputusan oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) Proses pengambilan keputusan MPR yang dilakukan secara musyawarah merupakan tradisi kenegaraan Indonesia sejak era orde baru. Padahal apabila mengacu pada UUD NRI 1945 sebelum amandemen, di dalamnya tidak ada satupun kata pengambilan keputusan secara musyawarah mufakat. Akan tetapi karena pada PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH waktu itu sudah menjadi tradisi ketatanegaraan yang sudah ada sejak era orde baru, tradisi ini masih berjalan. Satu-satunya dasar hukum yang pernah mengatur terkait konsep musyawarah mufakat adalah. TAP MPR No. II/MPR/1999 yang pada pasal 83 mengatur terkait syarat sahnya pengambilan keputusan melalui musyawarah, yaitu apabila diambil dalam suatu rapat yang daftar hadirnya telah ditandatangani lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang mencerminkan setap fraksi kecuali dalam penetapan GBHN. Konvensi dalam Sistem Hukum Nasional Dari paparan sebelumnya, dapat terlihat bahwa konvensi sebagai salah satu sumber hukum ketatanegaraan jumlahnya semakin berkurang. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan mengformalkan semua tradisi ketatanegaraan dalam bentuk hukum tertulis. Keberadaan UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang didalamnya terdapat hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menciptakan kompleksitas persoalan terkait posisi konvensi, karena dalam penjelasannya terdapat semangat untuk memformalkan semua peraturan perundang-undangan menjadi norma tertulis agar sesuai dengan sistem hukum nasional. Adanya Undang-Undang inilah yang menjadi salah satu dasar formalisasi konvensi dalam bentuk hukum tertulis. Sebagai sebuah sumber hukum, keberadaan konvensi yang tidak jelas pengaturannya menjadi persoalan dalam ketatanegaraan Indonesia. Konvensi. Sebagai salah satu sumber hukum yang mempunyai karakteristk tdak tertulis, konvensi yang sudah diformalkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan secara otomats tdak termasuk dalam konvensi ketatanegaraan. Padahal sebagai salah satu sumber hukum, konvensi merupakan tradisi ketatanegaraan yang sudah ada dan disepakat bersama sehingga tdak perlu lagi dinormakan dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi ini bisa menciptakan perspektf bahwa hukum PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH tidak akan berlaku kalau tidak ada norma tertulis yang mengaturnya, dan secara tidak langsung serta perlahan demi perlahan akan menegasikan konvensi sebagai salah satu sumber hukum bangsa Indonesia. Perkembangan konvensi di negara lain misalnya Amerika Serikat (AS), sebagai salah satu negara yang menganut sistem hukum common law menunjukkan perbedaan yang menarik. Negara AS merupakan salah satu negara demokrasi yang mana justru dalam tradisi ketatanegaraannya dipenuhi oleh konvensikonvensi (kebiasaan). Secara sederhana, hampir semua proses ketatanegaraan di Amerika Serikat tdak ada norma kongkret yang mengaturnya. Mulai dari proses pemilu pendahuluan (primary electon), lalu ajang debat kandidat calon presiden, pidato kemenangan (victory speech), pidato pengakuan kekalahan (concession speech), hingga Presiden berbicara di depan seluruh kekuasaan legislatif dan yudikatif yang dikenal dengan state of the union. Semua tradisi itu tidak terdapat aturan yang tertulis, akan tetapi sampai saat ini praktek itu masih berjalan dan tidak tmbul persoalan. Hal ini pun terjadi di negara lainnya yang mana menempatkan sistem common law sebagai sistem hukumnya, seperti Inggris ataupun Australia. Begitupula di negara dengan sistem hukum civil law sepert Belanda, masih terdapat banyak tradisi ketatanegaraan yang sampai sekarang masih dipertahankan keberadaannya dan tdak diatur dalam norma tertulis, seperti jabatan Perdana Menteri yang secara otomatis akan dijabat oleh Pimpinan tertnggi dari Partai yang memperoleh suara terbesar dalam pemilihan umum. Melihat pelaksanaan konvensi di Amerika Serikat dan Belanda terlihat bahwa eksistensi konvensi sejatinya tidak dibatasi oleh sistem hukum. Di negara yang terbangun dengan tradisi common law sepert Amerika Serikat, hampir semua praktk ketatanegaraan tidak dinormalkan dalam peraturan yang tertulis dan dibiarkan tetap ada sebagai bagian dari tradisi ketatanegaraan, PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH namun ketika ada pelanggaran terhadap tradisi tersebut memang ada kecenderungan untuk menormakan tradisi tersebut dalam peraturan yang tertulis. Hal itu pernah terjadi dalam kasus terpilihnya Presiden Franklin D.Rosevelt untuk ketga kalinya pada tahun 1940. Padahal tradisi ketatanegaraan di Amerika Serikat Presiden hanya menjabat sekali dan dapat dipilih kembali untuk satu masa jabatan. Pada tahun 1947, Kongres kemudian melakukan amandemen dan menormakan tradisi ketatanegaraan tersebut dalam konstitusi. Sementara itu Belanda yang menganut sistem civil law, tradisi ketatanegaraan yang sudah ada juga tidak pernah dipersoalkan, dan hingga saat ini praktik itu tdak dinormakan dalam aturan tertulis. Saat ini ada beberapa konvensi ketatanegaraan Indonesia yang masih bertahan salah satunya adalah pengangkatan pejabat setngkat Menteri setap 5 tahun sekali. Khusus untuk pengangkatan pejabat setingkat Menteri bahkan sudah diuji konstitusionalitasnya di Mahkamah Konstitusi dengan putusan MK adalah Konsttusional bersyarat. Hal ini mengindikasikan bahwa MK sejatinya juga melihat bahwa posisi konvensi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih simpang siur, apakah konstitusional ataukah inkonstitusional. Oleh karena itulah tindakan pemerintah untuk menormakan segala tradisi ketatanegaraan dalam norma tertulis sejatnya merupakan upaya untuk menghapus konvensi sebagai salah satu sumber hukum tata negara Indonesia. Dengan merujuk praktik konvensi yang ada di Amerika Serikat dan Belanda, sejatnya konvensi tidak mengenal batas terkait negara dengan sistem hukum civil law ataukah common law. Keberadaan konvensi yang disepakati bersama sebagai tradisi ketatanegaraan akan membuat Indonesia tdak terjebak dalam problematka banjirnya aturan di masyarakat (Over regulated society). Ketika segala sesuatu harus diatur dengan norma tertulis, maka ketka ada dinamika masyarakat yang berubah, Pemerintah terlihat dalam posisi yang dilemats. Sebagai contoh aturan yang sangat mendetail PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH dalam Pasal 344 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur jumlah kertas suara yang dicetak sama dengan jumlah DPT ditambah 2% dari jumlah DPT sebagai cadangan. Ketentuan ini sangat detail, yang akhirnya ketika ada potensi penumpukan suara di beberapa TPS, KPU tdak berani menambah kertas suara karena takut melanggar UU. Oleh karena itulah keberadaan konvensi masih diperlukan di Indonesia, agar tdak semua hal harus diatur dengan norma tertulis. Untuk memberikan kepastan hukum terkait dengan posisi konvensi, Pembuat undang-undang harus menempatkan konvensi sebagai salah satu sumber hukum yang diakui dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Dengan memberikan kepastan hukum bagi keberadaan konvensi sebagai norma tidak tertulis, maka untuk kedepannya tidak semua praktik ketatanegaraan harus diatur dengan norma tertulis. 4. Doktrin Ilmu Hukum (communis opinio docturum) Communis opinio doctorum adalah istilah latin yang menurut Mr. Mahadi dalam bukunya Sumber-Sumber Hukum (1958) berarti pendapat umum para guru. Dahulu di zaman Romawi, doktrin para guru disebut juga dengan Jus prodentibus constitutum yang berarti hukum yang diciptakan orang-orang cerdik pandai. Prudentes di zaman Romawi adalah golongan ahli hukum yang: membuat komentar tentang hukum yang berlaku dimasanya, berusaha mencari hakekathakekat hukum (les raisons profondes), dan berusaha memberi jawaban atas masalah-masalah yang hangat. Di dalam komentar dan fatwa-fatwa mereka sering melampau batas-batas khusus dan menginjak masalah-masalah umum dengan membawakan soal-soal khusus kepada dasar-dasar umum. Lama kelamaan terciptalah dasar-dasar umum (un reseau de principes). Kalau terdapat PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH kata sepakat diantara prudentes itu tentang sesuatu masalah, maka menurut Mahadi orang memakai istilah communis opinio doctorum. Tentang doktrin ilmu hukum yang diakui sebagai communis opinio doctorum apakah sebagai sumber hukum terdapat beda pendapat. Namun, dalam ilmu hukum tata negara umumnya menganggap doktrin ilmu hukum yang telah diakui sebagai communis opinio doctorum dikalangan para ahli yang memiliki otoritas yang diakui oleh umum menurut Jimly Asshiddiqie (2006) diakui sebagai salah satu sumber hukum yang dapat dijadikan referensi dalam membuat keputusan hukum. Namun, sumber hukum yang dianggap penting dalam ilmu hukum tata negara pada umumnya adalah: UUD dan peraturan perundangan tertulis, Jurisprudensi peradilan, kebiasaan ketatanegaraan (konvensi) dan Hukum Internasional tertentu. Tidak dapat dipungkiri seorang hakim termasuk hakim konstitusi dalam memutus perkara seringkali mendasarkan pendapatnya pada ahli yang sudah umum diakui memiliki otoritas ilmiah dan netral. Dalam menilai konstitusionalitas norma hukum kadangkala rujukannya tidak dapat ditemukan dalam hukum yang tertulis dan disitulah peran doktrin dalam ilmu pengetahuan hukum sangat membantu dalam mengambil putusan dan nilai-nilai konstitusi yang tidak tertulis dapat digunakan sebagai sandaran dengan tetap tergantung dengan keyakinan hakim. Sebagai perbandingan, dalam hukum Internasional pendapat ahli sangat berpengaruh besar. Bahkan Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (Statute of The International Criminal Court of Justice) Pasal 38 Ayat (1) mengakui bahwa dalam menimbang dan memutus suatu perselisihan dapat mempergunakan pedoman yang salah satunya adalah pemdapat-pendapat sarjana hukum. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH D. Penutup Sumber hukum tata negara tidak dapat dipisahkan dari pengertian sumber hukum menurut pandangan ilmu hukum pada umumnya. Sumber hukum tata negara mencakup sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formil. Beberapa sumber hukum tata negara berdasarkan sumber hukum formil adalah yurisprudensi, konvensi ketatanegaraan,doktrin ilmu hukum, peranan yurisprudensi di Indonesia sudah sedemikian pentingnya, selain sebagai sumber hukum yurisprudensi menjadi guidelines bagi para hakim dalam memutus perkara. Yurisprudensi merupakan produk hukum dari lembaga yudikatif, hal yang baik dalam mencari dan menegakkan keadilan. Dari segi teori dan praktek, yurisprudensi telah diterima sebagai salah satu sumber hukum, baik dalam sistem hukum civil law maupun common law. Sebagai tradisi ketatanegaraan di Indonesia, konvensi selayaknya tetap dipertahankan keberadaannya. Selain masih dipertanyakan terkait dengan konstitusionalitasnya, praktik ini juga mencegah Indonesia terjebak ke dalam kondisi overregulated society, dimana segala sesuatu harus diatur dengan hukum tertulis secara mendetail. Dalam ilmu hukum tata negara umumnya menganggap doktrin ilmu hukum yang telah diakui sebagai communis opinio doctorum dikalangan para ahli yang memiliki otoritas yang diakui oleh umum menurut Jimly Asshiddiqie (2006) diakui sebagai salah satu sumber hukum yang dapat dijadikan referensi dalam membuat keputusan hukum. Namun, sumber hukum yang dianggap penting dalam ilmu hukum tata negara pada umumnya adalah: UUD dan peraturan perundangan tertulis, Jurisprudensi peradilan, kebiasaan ketatanegaraan (konvensi) dan Hukum Internasional tertentu. UNTUK DAFTAR PUSTAKA TIDAK USAH DIRUBAH, BIARKAN SAJA Daftar Pustaka PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Andrew Shandy Utama, Independensi Pengawasan Terhadap Bank Badan Usaha Milik Negara (Bumn) Dalam Sistem Hukum Nasional Di Indonesia, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3312. Annisa Arifka, Sanksi Administrasi Bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan Orang Pribadi Di Kota Padang, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3745. Ade Sarmini, Kualitas Pelayanan Surat Izin Mengemudi (SIM) Pada Kantor Satuan Lalu Lintas Polres Karimun, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.4231. Bram Mohammad Yasser, Pengujian Unsur Penyalahgunaan Wewenang Pada Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Kaitannya Dengan Tindak Pidana Korupsi, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3558. Danel Aditia Situngkir, Asas Legalitas Dalam Hukum Pidana Nasional Dan Hukum Pidana Internasional, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3398. Darmini Roza, Laurensius Arliman S, Peran Pemerintah Daerah Di Dalam Melindungi Hak Anak Di Indonesia, Masalah-Masalah Hukum, Volume 47, Nomor 1, 2018. https://doi.org/10.14710/mmh.47.1.2018.10-21. Darmini Roza, Laurensius Arliman S, Peran Pemerintah Daerah untuk Mewujudkan Kota Layak Anak di Indonesia, Ius Quia Iustum Law Journal, Volume 25, Nomor 1, 2018, https://doi.org/10.20885/iustum.vol25.iss1.art10. Darmini Roza, Laurensius Arliman S, Peran Badan Permusyawaratan Desa di Dalam Pembangunan Desa dan Pengawasan Keuangan Desa, Padjadjaran Journal of Law, Volume 4, Nomor 3, 2017. https://doi.org/10.15408/jch.v4i2.3433. Debora Angelia Pardosi, Peran Jabatan Fungsional Auditor Terhadap Peningkatan Kinerja Birokrat Di Lingkungan Inspektorat Provinsi Jawa Tengah, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3718. Dewi Fiska Simbolon, Kurangnya Pendidikan Reproduksi Dini Menjadi Faktor Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual Antar Anak, Soumatera Law Review, Voume 1, Nomor 1, 2017, http://doi.org/10.22216/soumlaw.v1i1.3310. Dian Bakti Setiawan, Keberadaan Dan Penerapan Peraturan Daerah Syari’ah Sebagai Perundang-Undangan Pada Tingkat Daerah, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3327. Dila Andika Azhar, Analisis Yuridis Terhadap Penyimpanan Sertifikat Hak Atas Tanah Oleh Notaris Pada Proses Pengikatan Jual Beli (Pjb) (Analisis Putusan Nomor 53/Pid.B/2017/Pn.Bkt), Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3557. Dola Riza, Hakikat KTUN Menurut Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara Vs Undangundang Admnistrasi Pemerintahan, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.3566. Fadlan, Perkembangan Kebijakan Daerah Sebagai Paradigma Dasar Untuk Penentuan Kebijakan Mengelola Potensi Keberagaman, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3347. Ferdian, Lelang Terhadap Objek Jaminan Fidusia Yang Dirampas Oleh Negara Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Di Kantor Pelayanan Kekayaan Negara Dan Lelang PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Padang, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3564. Hasnati, Tanggung Jawab Direksi Terhadap Terjadinya Kredit Macet Pada Perbankan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3319. Hendra Sudrajat, Beggy Tamara, Peran Naskah Akademik Dan Daftar Inventarisasi Masalah Dalam Mewujudkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Anak Yang Aspiratif Di Kota Tangerang, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3713. Idham, Pendaftaran Tanah Dan Penerbitan Sertipikat Dalam Perspektif Free Trade Zone (FTZ) Di Kampung Tua, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3908. Jasmir, Pengembalian Status Hukum Tanah Ulayat Atas Hak Guna Usaha, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3384. Laurensius Arliman S, Lembaga-Lembaga Negara (Di Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), Deepublish, Yogyakarta, 2016. Laurensius Arliman S, Perlindungan Anak (Dari Undang-Undang Perlindungan Anak, UndangUndang Sistem Peradilan Pidana Anak, Wacana Kebiri Dan Bahaya LGBT Bagi Regenarasi Bangsa), Deepublish, Yogyakarta, 2016. Laurensius Arliman S, Gokma Toni Parlindunga S, Politik Hukum Perlindungan Anak, Deepublish, Yogyakarta, 2017. Laurensius Arliman S, Kedudukan KPAI dalam Struktur Ketatanegaraan Republik Indonesia, Deepublish, Yogyakarta, 2019. Laurensius Arliman S, Pendidikan Kewarganegaraan - Tantangan Warga Negara Milineal Menghadapi Revolusi Industri 4.0, Yogyakarta, 2019. Laurensius Arliman S, Protection of Girls from the Dangers of Sexual Violence in Indonesia to Design Suistanable Child Protection, Proceedings 1st Bicoshs (Prophetic Role of Sharia Knowledge in Developing Social Justice), 2017. Laurensius Arliman S, Debora Angelina Carissa Pardosi, Peran Badan Pengawas Pemilu untuk Mengisi Kekosongan Hukum Eksploitasi Anak dalam Pelaksanaan Kampanye, Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Volume 4, Nomor 2, 2018, https://doi.org/10.15294/snh.v4i02.25600. Laurensius Arliman S, Danel Situngkir, Rianda Putri, Rahmat Fauzi, Hariyadi, Gokma Toni Parlindungan S, Cyber Bullying Against Children In Indonesia, International Conference on Social Sciences, Humanities, Economics and Law; Padang, 2018. DOI:10.4108/eai.59-2018.2281372. Laurensius Arliman S, Penelantaran Perlindungan Anak Oleh Orangtua Akibat Gaya Hidup Modernisasi Yang Salah Arah, Konferensi Nasional Sosiologi V, Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia, Volume 5, Padang 18-19 Mei 2017. Laurensius Arliman S, Penegakan Hukum Bisnis Ditinjau Dari Undang-Undang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Lex Jurnalica, Volume 16, Nomor 3, 2019. Laurensius Arliman S, Analisis Dari Perspektif Politik Hukum Terhadap Pasal 56 UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana, Lex Jurnalica, Volume 15, Nomor 3, 2018. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum Terhadap Karya Desain Industri Di Indonesia, Lex Jurnalica, Volume 15, Nomor 2, 2018. Laurensius Arliman S, Perlindungan Hak Anak Di Dalam Memperoleh Pelayanan Kesehatan Di Indonesia, Lex Jurnalica, Volume 15, Nomor 1, 2018. Laurensius Arliman S, Perlindungan Hak Anak Yang Berhadap Dengan Hukum Di Wilayah Hukum Polisi Resort Kota Sawahlunto, Lex Jurnalica, Volume 14, Nomor 2, 2018. Laurensius Arliman S, Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Terhadap Perlindungan Hak Anak Yang Bekelanjutan Di Indonesia, Lex Jurnalica, Volume 14, Nomor 1, 2018. Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum UMKM Dari Eksploitasi Ekonomi Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Jurnal RechtsVinding, Volume 6, Nomor 3, 2017. Laurensius Arliman S, Partisipasi Masyarakat Di Dalam Perlindungan Anak Yang Berkelanjutan Sebagai Bentuk Kesadaran Hukum, Padjadjaran Journal of Law, Volume 3, Nomor 2, 2016. https://doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a5. Laurensius Arliman S, Penanaman Modal Asing Di Sumatera Barat Berdasarkan UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Supremasi Hukum, Volume 1, Nomor 1, 2018. http://dx.doi.org/10.36441/hukum.v1i01.102. Laurensius Arliman S, Kodifikasi RUU KUHP Melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, UIR Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2018 https://doi.org/10.25299/uirlrev.2018.2.01.1437. Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Tereksploitasi Secara Ekonomi Di Kota Padang, Jurnal Arena Hukum, Volume 9, Nomor 1, 2016, https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2016.00901.5 Laurensius Arliman S dan Hariyadi, Peran Orangtua Dalam Mengawasi Anak Dalam Mengakses Media Internet Untuk Mewujudkan Perlindungan Hak Anak, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, http://doi.org/10.22216/soumlaw.v1i2.3716. Laurensius Arliman S, Peran Investasi dalam Kebijakan Pembangunan Ekonomi Bidang Pariwisata di Provinsi Sumatera Barat, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Volume 20, Nomor 2, 2018, https://doi.org/10.24815/kanun.v20i2.10081. Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum Bagi Anak Dalam Perspektif Pancasila Dan Bela Negara, Jurnal Ilmu Hukum Unifikasi, Volume 5, Nomor 1, 2018, https://doi.org/10.25134/unifikasi.v5i1.754. Laurensius Arliman S, Hukum Adat Di Indonesia Dalam Pandangan Para Ahli Dan Konsep Pemberlakuannya di Indonesia, Jurnal Selat, Volume 5, Nomor 2, 2018, https://doi.org/10.31629/selat.v5i2.320. Laurensius Arliman S, Perkembangan Dan Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia, Jurnal Selat, Volume 5, Nomor 1, 2017. Laurensius Arliman S, Peran Pemerintah Daerah Dalam Perlindungan Hak Anak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, Jurnal Yustisia, Volume 22, Nomor 1, 2015. Laurensius Arliman S, Eksistensi Hukum Lingkungan dalam Membangun Lingkungan Sehat Di Indonesia, Jurnal Lex Librum, Volume 5, Nomor 1, 2018, http://doi.org/10.5281/zenodo.1683714. Laurensius Arliman S, Perlindungan Anak Oleh Masyarakat Ditinjau Dari Mazhab Sejarah Di Dalam Penerapan Prinsip The Best Interest Of The Child Pada Kehidupan Anak Di PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Indonesia, Era Hukum-Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum, Volume 15, Nomor 1, 2017, http://dx.doi.org/10.24912/era%20hukum.v15i1.668. Laurensius Arliman S, Reformasi Penegakan Hukum Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sebagai Bentuk Perlindungan Anak Berkelanjutan, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Volume 19, Nomor 2, 2017. Laurensius Arliman S, Tinjauan Kedudukan Pengguna Anggaran Dan Kuasa Pengguna Anggaran, Volume 8, Nomor 2, 2015, https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2015.00802.1 Laurensius Arliman S, Penyelesaian Konflik Antar Umat Beragama (Studi Pada Komnas HAM Perwakilan Sumatera Barat), Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, 2015, Laurensius Arliman S, Imelda Tamba, Maria Florida Bunga Makin, Kualitas Pelayanan Sdm Mempengaruhi Kepuasan Anggota Koperasi Simpan Pinjam Credit Union Jembatan Kasih Kp Tanjung Uncang Di Kota Batam, Jurnal Marketing, Volume 1, Nomor 1, 2018. Laurensius Arliman S, Fungsi Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Padang, Jurnal Ilmiah Hukum De’Jure, Volume 1, Nomor 2, 2017. Laurensius Arliman S, Urgensi Notaris Syari’ah Dalam Bisnis Syari’ah Di Indonesia, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Volume 24, Nomor 1, Mei 2016, DOI: http://dx.doi.org/10.21580/ws.2016.24.1.676. Laurensius Arliman S, Pendidikan Paralegal Kepada Masyarakat Sebagai Bentuk Perlindungan Anak Yang Berkelanjutan, UIR Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2017, https://doi.org/10.25299/ulr.2017.1.01.153 Laurensius Arliman S, Peran Lembaga Catatan Sipil Terhadap Perkawinan Campuran Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, Cendekia Hukum, Volume 4, Nomor 2, 2019, http://doi.org/10.33760/jch.v4i2.40. Laurensius Arliman S, Partisipasi Masyarakat di Daerah Perbatasan NKRI untuk Mencegah Anak Sebagai Objek Human Trafficking, Wawasan Yuridika, Volume 2, Nomor 1, 2018, http://dx.doi.org/10.25072/jwy.v2i1.162. Laurensius Arliman S, Memperkuat Kearifan Lokal Untuk Menangkal Intoleransi Umat Beragama Di Indonesia, Ensiklopedia of Journal, Volume 1, Nomor 1, 2018, https://doi.org/10.33559/eoj.v1i1.18. Laurensius Arliman S, Perkawinan Antar Negara Di Indonesia Berdasarkan Hukum Perdata Internasional, Kertha Patrika, Volume 39, Nomor 3, 2017, https://doi.org/10.24843/KP.2017.v39.i03.p03. Laurensius Arliman S, Komisi Penyiaran Indonesia Sebagai State Auxialiary Bodies Yang Menjamin Siaran Yang Layak Bagi Anak, Veritas et Justitia, Volume 3, Nomor 1, 2017, https://doi.org/10.25123/vej.2528. Laurensius Arliman S, Partispasi Pemerintah Daerah Di Dalam Perlindungan Anak Yang Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 7, Nomor 2, 2016. Laurensius Arliman S, Sumbangsih Werda Notaris Dalam Organisasi Ikatan Notaris Indonesia, Jurnal Yuridika, Volume 30, Nomor 3, 2015, https://doi.org/10.20473/ydk.v30i3.1770. Laurensius Arliman S, Peran Dewan Pers Sebagai Lembaga Negara Independen Yang Menjamin Berita Yang Layak Bagi Perlindungan Anak, Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam, Volume 4, Nomor 2, 2019, https://doi.org/10.24235/mahkamah.v4i2.4972. Laurensius Arliman S, Menjerat Pelaku Penyuruh Pengrusakan Barang Milik Orang Lain Dengan Mempertimbangkan Asas Fungsi Sosial Kajian Putusan Nomor 267/Pid. B/2015/PN. Blg, Jurnal Gagasan Hukum, Volume 01, Nomor 1, 2019, PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Laurensius Arliman S, Partisipasi Masyarakat Di Dalam Pengelolaan Uang Desa Pasca Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, Jurnal Arena Hukum, Volume 12, Nomor 2, 2019, https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2019.01202.5. Laurensius Arliman S, Pelaksanaan Penyidikian Tindak Pidana Penghinaan Terhadap Agama Melalui Konten Video Melalui Media Sosial, Ensiklopedia Sosial Review, Volume 01, Nomor 1, 2019. Laurensius Arliman S, Perlindungan Anak dalam Proses Penyidikan di Polresta Padang, Jurnal Ijtihad, Volume 31, Nomor 2, 2015, http://dx.doi.org/10.15548/ijt.v31i2.63, Laurensius Arliman S, Yulfasni, Tanggung Jawab Perseroan Terbatas Dihubungkan dengan Good Corporate Governance dalam Rangka Mencegah Penyalahgunaan Kekuasaan Pemegang Saham, Pagaruyuang Law Journal, Volume 3, Nomor 1, 2019. Laurensius Arliman S, Surat Dakwaan dalam Hukum Acara Pidana Sebagai Bentuk Mendukung Penegakan Hukum di Indonesia, Kosmik Hukum, Volume 19, Nomor 1, 2019, https://doi.org//10.30595/kosmikhukum.v19i1.4081. Laurensius Arliman S, Mewujudkan Penegakan Hukum Yang Baik Di Negara Hukum Indonesia, Dialogica Jurnalica, Volume 11, Nomor 1, 2019, https://doi.org/10.28932/di.v11i1.1831. Laurensius Arliman S, Politik Hukum Kenotariatan Pasca Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris Bagi Notaris Dalam Menjalankan Jabatannya, Dialogica Jurnalica, Volume 9, Nomor 2, 2018, https://doi.org/10.28932/di.v9i2.976. Laurensius Arliman S, Mediasi Melalui Pendekatan Mufakat Sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Untuk Mendukung Pembangunan Ekonomi Nasional, UIR Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2018, https://doi.org/10.25299/uirlrev.2018.vol2(02).1587. Laurensius Arliman S, Jaksa Sebagai Pengacara Negara Menurut Undang-undang Kejaksaaan, Jendela Hukum dan Keadilan, Volume 5, Nomor 1, 2018. Laurensius Arliman S, Pemakzulan Presiden Dan Wakil Presiden Di Indonesia, Justicia et Pax, Volume 34, Nomor 1, 2018, https://doi.org/10.24002/jep.v34i1.1652. Laurensius Arliman S, Implementasi Keterbukaan Informasi Pubik Untuk Mendukung Kinerja Aparatur Sipil Negara Yang Profesional, Cendikia Hukum, Volume 3, Nomor 2, 2018, http://doi.org/10.33760/jch.v3i2.18. Laurensius Arliman S, Peranan Pers Untuk Mewujudkan Perlindungan Anak Berkelanjutan Di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai, Volume 2, Nomor 2, 2017. Laurensius Arliman S, Kedudukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Sebagai State Auxiliary Bodies Dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Justitia et Pax, Volume 32, Nomor 2, 2016, https://doi.org/10.24002/jep.v32i2.1151. Laurensius Arliman S, Pelaksanaan Penanganan Tindak Pidana Narkotika Oleh Sudbit Keamanan Dengan Subdit Narkotika Kepolisian Daerah Sumatera Barat, Journal of Islamic and Law Studies, Volume 3, Nomor 2, 2019, https://doi.org/10.18592/jils.v3i2.3237. Laurensius Arliman S, Konsep dan Gagasan Pengenalan Pendidikan Antikorupsi Bagi Anak dalam Rangka Mewujudkan Generasi yang Bebas Korupsi, Nurani: Jurnal Kajian Syari’ah dan Masyarakat, Volume 17, Nomor 1, 2017, https://doi.org/10.19109/nurani.v17i1.1348. Laurensius Arliman S, Dinamika Dan Gagasan Mencegah Eksploitasi Anak Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah, Jurnal Jentera, Volume 1, Nomor 1, 2017. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Laurensius Arliman S, Perlindungan Terhadap Anak Sebagai Salah Satu Wujud Tujuan Bela Negara, Respublica, Volume 17, Nomor 1, 2017, https://doi.org/10.31849/respublica.v17i1.1453. Laurensius Arliman S, Komnas Perempuan Sebagai State Auxialiary Bodies Dalam Penegakan Ham Perempuan Indonesia, Justicia Islamica, Volume 14, Nomor 2, 2017, https://doi.org/10.21154/justicia.v14i2.1228. Laurensius Arliman S, Hukum Pidana Sebagai Landasan Penegakan Hukum Oleh Penegak Hukum Di Indonesia, Jurnal Jendela Hukum dan Keadilan, Volume 4, Nomor 2, 2017. Laurensius Arliman S, Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Perlindungan Anak Untuk Mewujudkan Perlindungan Anak Yang Berkelanjutan, Syiar Hukum, Volume 15, Nomor 2, 2017, https://doi.org/10.29313/sh.v15i2.2857. Laurensius Arliman S, Undang-undang 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Perppu 1 Tahun 2016 Sebagai Wujud Perlindungan Anak Ditinjau Dari Perspektif Hukum Tata Negara, Jurnal Hukum Positum, Volume 1, Nomor 2, 2017, http://dx.doi.org/10.35706/positum.v1i2.846. Laurensius Arliman S, Hak Atas Pengadaan Dan Standar Rumah Bagi Mantan Presiden Dan/Atau Wakil Presiden Republik Indonesia, Jurnal Yuridis, Volume 4, Nomor 1, 2017, http://dx.doi.org/10.35586/.v4i1.131. Laurensius Arliman S, Pengadilan Hak Asasi Manusia Dari Sudut Pandang Penyelesaian Kasus Dan Kelemahannya, Jurnal Ilmu Hukum Tambun Bungai, Volume 2, Nomor 1, 2017. Laurensius Arliman S, Pemanggilan Notaris Dalam Rangka Penegakan Hukum Paska Perubahan Undang-Undang Jabatan Notaris, Justicia et Pax, Volume 32, Nomor 1, 2016, https://doi.org/10.24002/jep.v32i1.758. Laurensius Arliman S, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang Tereksploitasi Secara Ekonomi Di Kota Padang, Arena Hukum, Volume 9, Nomor 1, 2016, https://doi.org/10.25123/vej.2076. Laurensius Arliman S, Tinjauan Kedudukan Pengguna Anggaran dan Kuasa Pengguna Anggaran, Volume 8, Nomor 2, 2015, https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2015.00802.1. Laurensius Arliman S, Bolehkan Notaris Melakukan Penyuluhan Hukum Pasar Modal Melalui Media Internet? Jurnal Hukum dan Bisnis (Selisik), Volume 2, Nomor 1, 2016, https://doi.org/10.35814/selisik.v2i1.638. Laurensius Arliman S, Hak Ingkar (Verschoningsplicht) Atau Kewajiban Ingkar (Verschoning Splicht) Notaris Didalam Undang-Undang Jabatan Notaris, Doctrinal, Volume 1, Nomor 1, 2016. Laurensius Arliman S, Peranan Filsafat Hukum Dalam Perlindungan Hak Anak Yang Berkelanjutan Sebagai Bagian Dari Hak Asasi Manusia, Doctrinal, Volume 1, Nomor 2, 2016. Laurensius Arliman S, Partisipasi Aktif dan Pasif Publik dalam Pembentukan Peraturan Daerah di Kota Payakumbuh, Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2, Nomor 1, 2015. Laurensius Arliman S, Wakil Menteri dalam Sistem Pemerintahan Indonesia, Jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia, Volume 2, Nomor 2, 2015. Laurensius Arliman S, Dispensasi Perkawinan Bagi Anak Di Bawah Umur Di Pengadilan Agama Padang Sidempuan, Jurnal Al Adalah, Volume 12, Nomor 4, 2015. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Laurensius Arliman S, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Dan Perubahan Undang Undang Jabatan Notaris Terhadap Pengawasan Notaris, Jurnal Respublica, Volume 16, Nomor 1, 2016, https://doi.org/10.31849/respublica.v16i1.1427. Laurensius Arliman S, Wacana Program Pembangunan Nasional Semesta Berencana atau GBHN sebagai Landasan Pembangunan Negara Berkelanjutan, Jurnal Manajemen Pembangunan, Volume 3, Nomor 3, 2016. Laurensius Arliman S, Gagalnya Perlindungan Anak Sebagai Salah Satu Bagian Dari Hak Asasi Manusia Oleh Orang Tua Ditinjau Dari Mazhab Utilitarianisme, Jurnal Yuridis, Volume 3, Nomor 2, 2016, http://dx.doi.org/10.35586/.v3i2.180. Laurensius Arliman S, Mewujudukan Harmonisasi Lembaga Negara Independen Terhadap Konsep Perlindungan Hak Anak Yang Berkelanjutan, Jendela Hukum dan Keadilan, Volume 3, Nomor 2, 2016. Laurensius Arliman S, Prostitusi Anak Laki-Laki Sebagai Kegagalan Perlindungan Anak, Istinbath, Volume 3, Nomor 2, 2016. Laurensius Arliman S, Penyelenggaraan Sistem Presidensil Berdasarkan Konstitusi Yang Pernah Berlaku Di Indonesia, Jurnal Muhakamah, Volume 4, Nomor 2, 2019. Melki, Hubungan DPRD dan Pemerintah Daerah Dalam Penetapan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3385. Muhammad Afif, Penemuan Hukum Oleh Hakim Terhadap Kasus Carok Akibat Sengketa Tanah Dalam Masyarakat Madura, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3714. Miszuarty Putri, Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana Sebagai Bentuk Pembaruan Hukum Pidana Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3567. Muhamad Rasyad, Pembuatan Akta Perdamaian Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat Melalui Notaris Di Kabupaten Agam, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3569. Muhammad Taufiqurrahman, Peran Perancang Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Pengawasan Produk Hukum Daerah Melalui Executive Preview, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.4341. Mardalena Hanifah, Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 10.22216/soumlaw.v2i2.4420. Oky Nasrul, Pemanfaatan Tanah Aset PT Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional II Sumatera Barat Oleh Pihak Ketiga, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3554. Rahmat Fauzi, Perkawinan Campuran Dan Dampak Terhadap Kewarganegaraan Dan Status Anak Menurut Undang-Undang Di Indonesia, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3395. Rahmat Fauzi, Faisal, Efektifitas Mediasi Dalam Menyelesaikan Sengketa Perceraian (Study Di Pengadilan Agama Bukittinggi Dan Pengadilan Agama Payakumbuh Tahun 2015-2017), Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3722. PETUNJUK MEMBUAT MAKALAH Rahmat Riardo, Konversi Hak Atas Tanah Ulayat Kaum Menjadi Hak Milik Melalui Program Pendaftaran Tanah Sistimatis Lengkap di Kota Solok, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.3566. Rianda Prima Putri, Pemeriksaan Penggabungan Gugatan Ganti Kerugian Dalam Perkara Pidana Di Pengadilan Negeri Kelas 1B Bukittinggi, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3348. Ridwan Putra, Prospek Pembentukan Daerah Istimewa Sumatera Barat Dalam Koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3529. Rustan Sinaga, Peran Pengadilan Hubungan Industrial Pada Pengadilan Negeri Padang Kelas IA Dalam Memberikan Kepastian Hukum Terhadap Perkara Pemutusan Hubungan Kerja, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3528. Ratih Agustin Wulandari, Tata Kelola Perusahaan Oleh Direksi PT BPR Dharma Nagari Menerapakan Prinsip Good Corporate Governance, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.3568. Rusmilawati Windari, Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) Berdasarkan Global - Local Based Approach (Glocalization), Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.4369. Sayid Anshar, Konsep Negara Hukum dalam Perspektif Hukum Islam, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.4136. Sandra Dewi, Mengenal Doktrin Dan Prinsip Piercing The Corporate Veil Dalam Hukum Perusahaan, Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 2, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i2.3744. Tommy Busnarma, Penerapan Sanksi Pidana Denda Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkotika Di Pengadilan Negeri Padang, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 1, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i1.3559. Wahyudi, Tanggungjawab Hukum Apoteker dalam Pemusnahan Obat Narkotika di Rumah Sakit, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 10.22216/soumlaw.v2i2.4484. Yasmirah Mandasari, Sanksi Pidana Terhadap Kandungan Non Halal Terhadap Produk Makanan Bersertifikat Halal Yang Dilakukan Korporasi, Soumatera Law Review, Volume 2, Nomor 2, 2019, 10.22216/soumlaw.v2i2.4339. Yohanis, Perkawinan Poligami Di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Kota Padang (Mekanisime Pemberian Izin, Dasar Hukum, Syarat-Syarat Poligami Dan Pelaksanaanya), Soumatera Law Review, Volume 1, Nomor 1, 2018, 10.22216/soumlaw.v1i1.3403.