PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS DALAM RANGKA PROGRAM PENUGASAN DOSEN DI SEKOLAH (PDS) PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA TENTANG PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN PRAKTIK INSTALASI PENERANGAN LISTRIK DENGAN LESSON STUDY, PROBLEM SOLVING DAN THINK PARE SHARE Tim Pengusul 1. Dr. Noor Hudallah, M.T. 2. Dr. Ing. Dhidik Prasetyanto, M.T. 3. Qoni’ah, S.Pd., M.T. NIDN 0016106408 NIDN 0031057804 NIP 196505192002122001 Dibiayai Oleh: DIPA Kemenristek-Dikti, Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan No. SP DIPA-042.04.1.400170/2018 tanggal 5 Desember 2017 Sesuai dengan Surat Perjanjian Kontrak Kerja Nomor: 13.13.7/UN37/PPK.2.1/2018 FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2018 HALAMAN PENGESAHAN PROPOSAL Judul Penelitian Bidang Penelitian Ketua Peneliti a. Nama Lengkap dan Gelar c. Pangkat/Gol/NIDN d. Jabatan Fungsional e. Disiplin ilmu f. Nomor HP g. Surel (e-mail) h. Pusat Penelitian Alamat Ketua Peneliti a. Alamat Kantor/Tlp b. Alamat Rumah/Tlp Anggota Peneliti (1) a. Nama Lengkap b. NIDN c. Perguruan Tinggi Anggota Peneliti (2) a. Nama Lengkap b. NIP c. Asal Sekolah Lama Penelitian Keseluruhan Lokasi Penelitian Kerjasama dg institusi lain Biaya yang diperlukan a. Sumber dari DIPA Unnes b. Sumber dari DIPA Belmawa Jumlah : PENINGKATAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA TENTANG PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN PRAKTIK INSTALASI PENERANGAN LISTRIK DENGAN LESSON STUDY, PROBLEM SOLVING DAN THINK PARE SHARE : Pendidikan Teknik Elektro : : : : : : : Dr. Noor Hudallah, M.T. Pembina Tk.I/IV-b/0016106408 Lektor Kepala Pendidikan Teknik Elektro 08156553255 [email protected] Universitas Negeri Semarang : Gedung E11, Kampus Sekaran Gunungpati/024-8508101 : Perumahan Taman Kradenan Asri E-20 Semarang Gunungpati 50221 : Dr. Ing, Dhidik Prasetyanto, M.T. : 0031057804 : Universitas Negeri Semarang : : : : : : Qoni’ah, S.Pd., M.T. 196505192002122001 SMKN-1 Semarang 4 Bulan SMKN-1 Semarang - : Rp 0,00 : Rp 5.000.000,00 : Rp 5.000.000,00 (Lima Juta Rupiah) Semarang, Agustus 2018 Mengetahui, Dekan FT UNNES Ketua Peneliti Dr. Nur Qudus, M.T. NIP 196911301994031001 Dr. Noor Hudallah, M.T. NIP 196410161989011001 Menyetujui, Ketua LP2M Dr. Suwito Eko Pramono, M.Pd NIP 195809201985031003 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan Menengah Kejuruan (SMK) merupakan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu. Pendidikan di SMK mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja dengan mengembangkan sikap profesional dalam bekerja. Sesuai dengan bentuknya, Sekolah Menengah Kejuruan menyelenggarakan program-program pendidikan yang disesuaikan dengan jenis-jenis lapangan kerja yang ada di masyarakat (Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990). Sekolah Menengah Kejuruan adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau bentuk penyelenggaraan pendidikan lain yang sederajat. Persekolahan pada jenjang pendidikan dan jenis kejuruan dapat bernama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat (Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003). SMK memiliki banyak program keahlian yang disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja yang ada dan mempersiapkan peserta didik terutama agar siap bekerja dalam bidang tertentu. Peserta didik dapat memilih bidang keahlian yang diminati di SMK. Kurikulum SMK dibuat sedemikian rupa agar peserta didik siap untuk langsung bekerja di dunia kerja ketika sudah lulus. Muatan kurikulum yang ada di SMK disusun sesuai dengan kebutuhan dunia kerja yang ada. Hal ini dilakukan agar peserta didik tidak mengalami kesulitan yang berarti untuk adaptasi ketika masuk di dunia kerja. Dengan masa studi tiga atau empat tahun, lulusan SMK diharapkan mampu untuk bekerja sesuai dengan keahlian yang telah ditekuni. Tujuan pendidikan menengah kejuruan menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terbagi menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum pendidikan menengah kejuruan adalah: (a) meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi warga Negara yang berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, demokratis dan bertanggung jawab; (c) mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki wawasan kebangsaan, memahami dan menghargai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia; dan (d) mengembangkan potensi peserta didik agar memiliki kepedulian terhadap lingkungan hidup dengan secara aktif turut memelihara dan melestarikan lingkungan hidup, serta memanfaatkan sumber daya alam dengan efektif dan efisien. Tujuan khusus pendidikan menengah kejuruan adalah sebagai berikut: (a) menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada sebagai tenaga kerja tingkat menengah sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya; (b) menyiapkan peserta didik agar mampu memilih karir, ulet dan gigih dalam berkompetensi, beradaptasi di lingkungan kerja dan mengembangkan sikap profesional dalam bidang keahlian yang diminatinya; (c) membekali peserta didik dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni agar mampu mengembangkan diri di kemudian hari baik secara mandiri maupun melalui jenjang pendidikan yang lebih tinggi; dan (d) membekali peserta didik dengan kompetensi kompetensi yang sesuai dengan program keahlian yang dipilih. Sekolah Menengah Kejuruan merupakan bentuk satuan pendidikan menengah yang mempersiapkan siswanya agar dapat bekerja baik secara mandiri dalam dunia usaha dan industri sesuai dengan program keahlian yang dimiliki. Oleh karena itu pada mata pelajaran kompetensi keahlian (C3), memiliki fungsi membekali siswa agar memiliki kompetensi atau kemampuan pada suatu pekerjaan atau keahlian tertentu yang relevan dengan tuntutan dan permintaan pasar kerja. Mata pelajaran program produktif berbasis pada kompetensi yang menekankan pada pembekalan penguasaan kompetensi tertentu kepada siswa yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan tata nilai secara tuntas dan utuh. Salah satu program produktif pada bidang keahlian Teknik Elektro/Teknik Instalasi Tenaga Listrik yaitu mata pelajaran Praktik Instalasi Penerangan Listrik, yang menekankan pada pemahaman dan penguasaan praktik instalasi penerangan listrik sesuai tuntutan dunia usaha dan dunia industri. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan yaitu di SMKN-1 Semarang serta komunikasi dengan gurunya, diperoleh informasi bahwa dalam pembelajaran praktik banyak guru yang mengeluhkan siswa kurang bergairah mengikuti pelajaran, sering mengantuk (terutama jika proses pembelajarannya siang hari), dan malas membuat tugas. Siswa kurang aktif dan bila ditanya hanya sedikit yang berani menjawabnya. Akibatnya siswa kurang termotivasi mengeluarkan pendapatnya di kelas saat ditanya oleh guru. Dalam proses pembelajaran yang terjadi selama ini, siswa lebih banyak mencatat dan menyalin materi dibanding memahami materi yang diajarkan. Dalam mengerjakan tugas Praktik Instalasi Penerangan Listrik kebanyakan siswa kurang memahami dalam perencanaan gambar diagram garis tunggal maupun pada gambar pengawatan atau gambar pelaksanaan, sehingga pada saat pelaksanaan praktik instalasi dan pemasangan komponen instalasi listrik siswa membutuhkan waktu yang lebih lama akibat belum benarnya gambar perencanaan instalasinya. Pada mata pelajaran instalasi penerangan listrik yang diajar oleh 2 orang guru dibutuhkan adanya koordinasi yang maksimal antar kedua orang guru agar hasilnya bisa masimal karena adanya kesepahaman antara 2 orang guru yang menjadi penanggung jawab proses pembelajaran di kelas tersebut. Jika antar 2 orang guru yang terlibat bisa dimaksimalnya koordinasinya lewat pemilihan model pembelajaran yang sesuai maka diharapkan hasil pembelajarannya juga bisa maksimal. Melihat hal demikian peneliti memfokuskan penelitian ini bagaimana meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa dengan pendekatan saintifik (5 M) dan model pembelajaran Problem Solving (PS) serta Think Pare Share (TPS). Sementara untuk menyiapkan tim guru mata pelajarannya (Mapel) agar memiliki persiapan dan perencanaan proses yang baik maka model pembelajaran yang digunakan adalah Lesson Study. Model pembelajaran Problem Solving dan Think Pare Share merupakan model pembelajaran yang lebih menekankan perhatian terpusat pada siswa (student centered). Model ini menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek belajar, dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan sehingga menjadikan situasi belajar yang tidak monoton dan memupuk siswa untuk termotivasi dan semakin aktif belajar bersama. Sementara dengan pendekatan model Lesson Study maka perencanaan dan persiapan pembelajaran yang diampu oleh tim guru mata pelajaran bisa disiapkan lebih maksimal. Berdasarkan permasalahan di atas peneliti melakukan penelitian dengan judul “Peningkatan Pemahaman Konsep Siswa tentang Perencanaan dan Pelaksanaan Praktik Instalasi Penerangan Listrik dengan Lesson Study, Problem Solving dan Think Pare Share”. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan penelitian dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Kurangnya motivasi belajar siswa pada praktik instalasi yang didalamnya berisi studi kasus. 2. Rendahnya aktivitas siswa untuk berpendapat pada saat PBM. 3. Rendahnya aktivitas siswa dalam bekerjasama menyelesaikan permasalahan praktik. 4. Lemahnya koordinasi diantara tim guru mata pelajaran praktik pada saat mempersiapkan RPP yang digunakan pada saat PBM. 1.3. Pembatasan Masalah Mempertimbangkan permasalahan peningkatan proses dan hasil pembelajaran yang ada dilapangan sebenarnya banyak berhubungnan berbagai macam variabel yang begitu luasnya, maka pada penelitian ini hanya difokuskan pada: 1. Upaya peningkatan pemahaman konsep siswa tentang mata pelajaran Instalasi Penerangan Listrik. 2. Upaya peningkatan kerjasama antar siswa pada mata pelajaran Instalasi Penerangan Listrik. 3. Upaya peningkatan perencanaan dan persiapan mata pelajaran Instalasi Penerangan Listrik. 4. Penelitian dilakukan pada Kelas XI TITL-2 SMKN-1 Semarang. 1.4. Perumusan Masalah Rumusan masalah yang ada pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana meningkatkan pemahaman konsep siswa tentang mata pelajaran Instalasi Penerangan Listrik. 2. Bagaimana meningkatkan kerjasama antar siswa pada mata pelajaran Instalasi Penerangan Listrik. 3. Bagaimana meningkatkan perencanaan dan persiapan mata pelajaran Instalasi Penerangan Listrik. 1.5. Tujuan Penelitian Tujuan dilaksakannya penelitian ini adalah: 1. Meningkatkan pemahaman konsep siswa tentang mata pelajaran Instalasi Penerangan Listrik. 2. Meningkatkan kerjasama antar siswa pada mata pelajaran Instalasi Penerangan Listrik. 3. Meningkatkan perencanaan dan persiapan mata pelajaran Instalasi Penerangan Listrik. 1.6. Manfaat Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian tindakan kelas (PTK) ini, diharapkan dapat memberikan manfaat: 1. Bagi Siswa 1. Meningkatnya motivasi belajar siswa pada praktik instalasi yang didalamnya berisi studi kasus. 2. Meningkatnya aktivitas siswa untuk mengemukakan pendapat pada saat PBM. 3. Meningkatnya aktivitas siswa dalam bekerjasama menyelesaikan permasalahan praktik. 2. Bagi Guru a. Meningkatknya profesionalisme guru. b. Meningkatknya kemampuan guru dalam pengelolaan kelas utamanya kemampuan memberdayakan siswa di kelas c. Meningkatnya koordinasi diantara tim guru mata pelajaran praktik pada saat mempersiapkan RPP dan saat PBM di kelas. 3. Bagi Sekolah a. Hasil penelitian bisa menjadi umpan balik bagi peningkatan efektifitas dan efisiensi pembelajaran. b. Meningkatnya kualitas atau mutu sekolah melalui peningkatan kinerja guru pada pengelolaan pembelajaran di kelas. c. Meingkatnya pemahaman dan kemampuan guru dalam melaksanakan Penelitian Tindakan Kelas. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Motivasi Belajar A. Motivasi Motivasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan apa yang memberikan energi bagi seseorang dan apa yang memberikan arah bagi aktivitasnya. Motivasi kadang-kadang dibandingkan dengan mesin dan kemudi pada mobil. Energi dan arah inilah yang menjadi inti dari konsep tentang motivasi. Suciati dalam Wlodkowski (1985) menjelaskan motivasi sebagai suatu kondisi yang menyebabkan atau menimbulkan perilaku tertentu, memberi arah dan ketahanan pada tingkah laku tersebut. Motivasi merupakan sebuah konsep yang luas (diffuse), dan seringkali dikaitkan dengan faktor-faktor lain yang mempengaruhi energi dan arah aktivitas manusia, misalnya minat (interest), kebutuhan (need), nilai (value), sikap (attitude), aspirasi, dan insentif (Gage & Berliner, 1984). Dengan pengertian istilah motivasi seperti tersebut di atas, kita dapat mendefinisikan motivasi belajar siswa, yaitu apa yang memberikan energi untuk belajar bagi siswa dan apa yang memberikan arah bagi aktivitas belajar siswa. Dalam proses belajar motivasi siswa tercermin melalui ketekunan yang tidak mudah patah untuk mencapai sukses, meskipun dihadang banyak kesulitan. Motivasi juga ditunjukkan melalaui intensitas unjuk kerja dalam melakukan suatu tugas. Dari berbagai motivasi yang berkembang Suciati dalam Keller (1983) telah menyususn seperangkat prinsip-prinsip motivasi yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar yang disebut sebagai model ARCS (Attention, Relevance, Confidence and Satisfaction). 1. Perhatian (Attention). Perhatian siswa muncul didorong oleh rasa ingin tahu. Oleh sebab itu rasa ingin tahu ini perlu mendapat rangsangan. Sehingga siswa akan memberikan perhatian, dan perhatian tersebut terpelihara selama proses pemelajaran bahkan lebih lama lagi. Rasa ingin tahu ini dapat dirangsang atau dipancing melalui halhal yang baru, aneh, lain dari yang sudah ada, kontradiktif atau kompleks. Apabila hal ini dapat diterapkan dalam proses pemelajaran akan dapat menstimulir rasa ingin tahu siswa. Namun perlu diingatkan agar stimulus tersebut digunakan tidak berlebihan., sebab akan menjadikan stimulus hal biasa dan kehilangan keefektifannya. 2. Relevansi (Relevance) Relevansi menunjukkan adanya hubungan materi pelajaran dengan kebutuhan, kondisi dan kehidupan siswa. Motivasi akan terpelihara apabila mereka menganggap apa yang dipelajari memenuhi kebutuhan pribadi atau bermanfaat dan sesuai dengan nilai yang dipegang. 3. Kepercayaan Diri (Confidence) Apabila merasa diri kompeten atau mampu, merupakan potensi untuk berinteraksi secara positif dengan lingkungan. Percaya diri merupakan konsep yang berhubungan dengan keyakinan pribadi bahwa dirinya memiliki kemampuan melakukan suatu tugas yang menjadi syarat keberhasilan. Prinsip yang berlaku dalam hal ini adalah bahwa motivasi akan meningkat sejalan dengan meningkatnya harapan untuk berhasil. Harapan ini seringkali dipengaruhi oleh pengalaman sukses dimasa yang lampau. Dengan demikian ada hubungan antara pengalaman sukses dengan motivasi. Motivasi ini dapat menghasilkan ketekunan yang membawa keberhasilan (prestasi) dan selanjutnya pengalaman sukses tersebut akan memotivasi siswa untuk mengerjakan tugas berikutnya. 4. Kepuasan (Satisfaction) Keberhasilan dalam mencapai suatu tujuan akan menghasilkan kepuasan dan siswa akan termotivasi untuk terus berusaha mencapai tujuan. Ini akan dipengaruhi oleh konsekuensi yang diterima baik yang berasal dari dalam maupun dari luar siswa. Untuk meningkatkan dan memelihara motivasi siswa, guru dapat menggunakan pemberian penguatan (reinforcement) berupa pujian, pemberian ketepatan, dsb. B. Belajar Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang belajar maka responya menjadi lebih baik dan sebaliknya bila tidak belajar responya menjadi menurun sedangkan menurut Gagne belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi limgkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapasitas baru (Dimyati, 2002-10). Sedangkan menurut kamus umum bahasa Indonesia belajar diartikan berusaha (berlatih, dsb) supaya mendapat suatu kepandaian ( Purwadarminta: 109 ) Belajar lebih dari sekedar mengingat, tapi belajar adalah suatu proses yang kompleks dengan bermacam-macam kegiatan. Menurut Dymiati dan Mudjiono (1999) belajar merupakan tindakan dan prilaku siswa yang kompleks. Sedangkan menurut Dewi Rahmad H (1998) belajar merupakan susatu proses perubahan tingkah laku yang diperoleh melalui pengalaman untuk mendapatkan pengetahuan baru. Belajar tidak lagi ditekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan saja, namun diartikan sebagai perubahan dalam diri seseorang berupa adanya pola baru yang dapat dilihat pada perubahan aspek kognitif, efektif dan psikomotor. Ciri-ciri penting belajar adalah perubahan bersifat fungsional, perbuatan yang di sadari malalui pengalaman yang bersifat individual, menyeluru dan terintegrasi kearah yang lebih kompleks. 2.1. Hakikat Belajar a. Pengertian Belajar Belajar adalah suatu bentuk kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Untuk memenuhi kebutuhan dan sekaligus mengembangkan dirinya, manusia telah melakukan kegiatan belajar sejak ia dilahirkan. Belajar pada dasarnya merupakan peristiwa yang bersifat individual, yakni peristiwa terjadinya perubahan tingkah laku sebagai dampak dari pengalaman individu. Pengertian belajar menurut Soedijarto (1989: 49) adalah suatu proses secara langsung dan aktif pada saat pelajar itu mengikuti suatu kegiatan belajar mengajar yang direncanakan dan disajikan di sekolah, proses belajar mengajar tersebut dapat terjadi di dalam kelas maupun di luar kelas. Dengan demikian seorang pelajar dikatakan sedang belajar apabila pelajar tersebut terlibat secara langsung dan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Belajar diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu dan individu dengan lingkungannya (W.H. Burton, dalam Moh. Uzer Usman, 1995: 2). Dari pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa seseorang dikatakan telah belajar apabila telah terjadi suatu perubahan pada dirinya. Perubahan tersebut terjadi berkat adanya interaksi dengan orang lain atau lingkungannya. Sehingga untuk dapat belajar seorang pelajar tidak dapat terlepas dari orang lain, dalam hal ini dosen dan teman belajar. Dengan demikian dapat dikatakan seorang pelajar tidak dapat belajar dengan baik bila hanya sendirian saja, dia juga perlu dosen untuk membimbing dan teman untuk berdiskusi. Bertolak dari berbagai definisi yang telah diuraikan tadi, secara umum belajar dapat dipahami sebagai tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif. Menurut Bruner (S. Nasution, 2005: 9) dalam proses belajar dapat dibedakan tiga fase atau episode, yakni: informasi, transformasi, dan evaluasi. 1. Informasi Setiap belajar kita peroleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah kita miliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya. 2. Transformasi Informasi yang diperoleh harus dianalisis dan ditransformasikan ke dalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini peran dari dosen sangat diperlukan agar tidak terjadi kesalahan secara konseptual. 3. Evaluasi Pengetahuan yang kita peroleh dan ditransformasikan itu kemudian dievaluasi sehingga dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain. Dalam proses belajar ketiga episiode itu selalu ada, hanya saja berapa banyak informasi yang diperlukan agar dapat ditransformasikan, berapa lama waktu tiap episiode, untuk tiap orang mungkin tidak sama. Hal ini bargantung pada tujuan yang diharapkan, motivasi belajar, minat, keinginan untuk mengetahui dan dorongan untuk menemukan sendiri. b. Pembelajaran Konvensional Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran tradisional yang biasa dilakukan oleh guru seperti metode ceramah, tanya jawab dan latihan soal (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1997: 15). Metode konvensional adalah cara menyampaikan pembelajaran dari seorang guru kepada siswa didalam kelas dengan cara berbicara diawal pembelajaran, menerangkan materi dan contoh soal (Suyitno, 2004 : 3). Metode konvensional hampir sama dengan metode ceramah dalam hal terputusnya kegiatan pada guru sebagai informasi (bahan pelajaran). Seorang guru dalam menerapkan metode konvensional telah menyusun bahan pelajaran secara hierarkis dan sistematis, sehingga dalam pembelajaran yang terjadi adalah guru menerangkan dan siswa menerima. Perbedaan antara konvensional dan metode ceramah adalah berkurangnya dominasi guru karena tidak terus-menerus bicara. Guru berbicara pada awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal, dan pada waktu-waktu yang diperlukan saja. Guru dapat memerikasa pekerjaan siswa secara individual, menerangkan lagi pada siswa apabila dirasakan banyak siswa yang belum paham mengenai materi. Kegiatan siswa ini tidak hanya mendengar dan mencatat. Siswa dalam metode konvensional menyelesaikan soal latihan dan bertanya bila belum mengerti. Selain itu dalam pembelajaran guru sering membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menggantungkan diri pada kelompok. 2.3. Kemampuan Guru Mengapa masalah dalam kegiatan belajar mengajar seperti uraian pendahuluan dapat terjadi, kalau kita introspeksi pada diri kita boleh jadi kita (guru) yang bermasalah. Salah satu persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang guru yang baik adalah memiliki kemampuan dasar dan sikap serta terampil (Dikmenum, 2003 : 12) antara lain: menguasai kurikulum yang berlaku, menguasai materi pelajaran, menguasai metode, menguasai teknik evaluasi, memiliki komitmen terhadap tugas, disiplin dalam pengertian luas. Mana metode yang tepat untuk mengajar. Paradigma pendidikan masa depan menyatakan: ”Guru tidak harus didikte dan diberi berbagai arahan serta instruksi, yang penting adalah perlu disusun standar profesionalisme guru yang dijadikan acuan pengembangan mutu guru ” (Zamroni, 2003 : 34). Dari paparan tersebut metode atau strategi yang dipikirkan guru, berpijak pada atmosfir kelas dan kondisi siswa, tidak lagi atas dasar petunjuk dari atasan atau atas dasar kesukaan kita dalam pembelajaran. Banyak metode atau strategi mengajar seperti: Ceramah, diskusi informasi, cerita, tanya jawab, debat, sosiodrama, demonstrasi dan eksperimen serta metode belajar lainnya. Sifat pelajaran Biologi yang mengutamakan proses ilmiah dan menyadari bahwa kita belajar menurut Sheal, Pater (1989) dalam Depdiknas, (2004 : 23) mengatakan: 1. 10 % dari apa yang kita baca 2. 20 % dari apa yang kita dengar 3. 30 % dari apa yang kita lihat 4. 50 % dari apa yang kita lihat dan dengar 5. 70 % dari apa yang kita katakan 6. 90 % dari apa yang kita katakan dan lakukan. 2.4. Team Teaching Pada penyelenggaraan pendidikan di sekolah, sangat penting peran serta guru dalam melaksanakan proses pembelajaran siswa, yang diwujudkan dalam bentuk interaksi belajar mengajar, baik antara pendidik dengan pendidik lainnya, pendidik dengan peserta didik, maupun peserta didik dengan peserta didik dan lingkungannya. Dalam menyelenggarakan pembelajaran formal, pendidik berpedoman pada rencana dan pengaturan tentang pendidikan, yang keseluruhannya dikemas dalam bentuk kurikulum. Dalam konteks Kurikulum 2013 yang saat ini sedang diberlakukan di Indonesia, peran guru untuk dapat mengimplementasikan dan mengembangkan kurikulum tampaknya bukan hal yang sederhana. Guru dituntut untuk dapat memenuhi sejumlah prinsip pembelajaran tertentu, diantaranya guru harus memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual, mengembangkan strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif, kreatif dan menyenangkan, serta menilai proses dan hasil pembelajaran siswa secara akurat dan komperhensif. Untuk dapat mengimplementasikan kurikulum dengan baik masih ditemukan berbagai kendala, diantaranya persoalan rendahnya motivasi dan kemampuan guru, motivasi belajar siswa yang rendah, dan keterbatasan sarana. Semua itu menuntut guru untuk dapat mengelola pembelajaran dan mengembangkan bentuk-bentuk strategi pembelajaran dan model pembelajaran yang lebih tepat dan sesuai. Selama ini pada umumnya strategi pembelajaran dan model pembelajaran yang dikembangkan di sekolah cenderung dilakukan secara soliter. Dalam arti, pengelolaan pembelajaran menjadi tanggung jawab guru yang bersangkutan secara individual, baik dalam merencanakan, melaksanakan, maupun menilai pembelajaran siswa. Ketika dihadapkan dengan tuntutan kurikulum yang sangat kompleks dan kondisi nyata yang kurang kondusif, guru seringkali menjadi tidak berdaya dan memiliki keterbatasan untuk dapat mengimplementasikan kurikulum sesuai dengan apa yang diharapkan dan digariskan dalam ketentuan yang ada. Terkait dengan permasalahan tersebut, strategi Team Teaching bisa menjadi alternatif untuk mengatasi permasalahan yang ada. Team Teaching merupakan salah satu bentuk strategi pembelajaran yang melibatkan dua orang guru atau lebih dalam proses pembelajaran siswa, dengan pembagian peran dan tanggung jawab secara jelas dan seimbang. Melalui strategi Team Teaching, diharapkan antar mitra dapat bekerja sama dan saling melengkapi dalam mengelola proses pembelajaran. Setiap permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran dapat diatasi secara bersama-sama. Berdasar pada banyaknya masalah yang terjadi dalam dunia pendidikan, pihak sekolah dan guru-guru dituntut daya kreatifitasnya dalam memilih strategi dan model pembelajaran yang tepat agar segala tuntutan yang ditujukan terhadap guru terkait hasil pembelajaran dapat terpenuhi dengan maksimal, dan strategi Team Teaching merupakan cara tepat. Team Teaching merupakan strategi pembelajaran yang kegiatan proses pembelajarannya dilakukan oleh lebih dari satu orang guru dengan pembagian peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Definisi ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Martiningsih (2007) bahwa “Metode pembelajaran team teaching adalah suatu metode mengajar dimana pendidiknya lebih dari satu orang yang masing-masing mempunyai tugas. Lebih lanjut Ahmadi dan Prasetya (2005) menyatakan bahwa Team teaching (pengajaran beregu) adalah suatu pengajaran yang dilaksanakan bersama oleh beberapa orang. Tim pengajar atau guru yang menyajikan bahan pelajaran dengan metode mengajar beregu ini menyajikan bahan pengajaran yang sama dalam waktu dan tujuan yang sama pula. Para guru tersebut bersama-sama mempersiapkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil belajar siswa. Pelaksanaan belajarnya dapat dilakukan secara bergilir dengan metode ceramah atau bersama-sama dengan metode diskusi panel. 2.5. Model Pembelajaran Lesson Study Lesson Study adalah salah satu metode dalam pembelajaran untuk meningkatkan proses pembelajaran yang dilakukan oleh sekelompok guru/dosen secara kolaboratif dan berkesinambungan, dalam merencanakan, melaksanakan, mengobservasi dan melaporkan hasil pembelajaran. Lesson Study bukan sebuah proyek sesaat, tetapi merupakan kegiatan terus menerus yang tiada henti dan merupakan sebuah upaya untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip dalam Total Quality Management, yakni memperbaiki proses dan hasil pembelajaran mahasiswa secara terus-menerus, berdasarkan data. Lesson Study merupakan kegiatan yang dapat mendorong terbentuknya sebuah komunitas belajar (learning society) yang secara konsisten dan sistematis melakukan perbaikan diri, baik pada tataran individual maupun manajerial. Slamet Mulyana (2007) memberikan rumusan tentang Lesson Study sebagai salah satu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan pada prinsip-psrinsip kolegalitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar. Bill Cerbin & Bryan Kopp mengemukakan bahwa Lesson Study memiliki 4 (empat) tujuan utama, yaitu untuk: 1. memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana mahasiswa belajar dan dosen mengajar; 2. memperoleh hasil-hasil tertentu yang dapat dimanfaatkan oleh para dosen lainnya, di luar peserta Lesson Study; 3. meningkatkan pembelajaran secara sistematis melalui inkuiri kolaboratif. 4. membangun sebuah pengetahuan pedagogis, dimana seorang dosen dapat menimba pengetahuan dari dosen lainnya. Menurut Catherine Lewis (2004), ciri-ciri esensial dari Lesson Study, yaitu: (1) Tujuan bersama untuk jangka panjang. Lesson study didahului adanya kesepakatan dari para dosen tentang tujuan bersama yang ingin ditingkatkan dalam kurun waktu jangka panjang dengan cakupan tujuan yang lebih luas, misalnya tentang: pengembangan kemampuan akademik mahasiswa, pengembangan kemampuan individual mahasiswa, pemenuhan kebutuhan belajar mahasiswa, pengembangan pembelajaran yang menyenangkan, mengembangkan kerajinan mahasiswa dalam belajar, dan sebagainya. (2) Materi pelajaran yang penting. Lesson Study memfokuskan pada materi atau bahan pelajaran yang dianggap penting dan menjadi titik lemah dalam pembelajaran mahasiswa serta sangat sulit untuk dipelajari mahasiswa. (3) Studi tentang mahasiswa secara cermat. Fokus yang paling utama dari Lesson Study adalah pengembangan dan pembelajaran yang dilakukan mahasiswa, misalnya, apakah mahasiswa menunjukkan minat dan motivasinya dalam belajar, bagaimana mahasiswa bekerja dalam kelompok kecil, bagaimana mahasiswa melakukan tugas-tugas yang diberikan dosen, serta hal-hal lainya yang berkaitan dengan aktivitas, partisipasi, serta kondisi dari setiap mahasiswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Dengan demikian, pusat perhatian tidak lagi hanya tertuju pada bagaimana cara dosen dalam mengajar sebagaimana lazimnya dalam sebuah supervisi kelas yang dilaksanakan oleh kepala sekolah atau pengawas sekolah. (4) Observasi pembelajaran secara langsung. Observasi langsung boleh dikatakan merupakan jantungnya Lesson Study. Untuk menilai kegiatan pengembangan dan pembelajaran yang dilaksanakan mahasiswa tidak cukup dilakukan hanya dengan cara melihat dari Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (Lesson Plan) atau hanya melihat dari tayangan video, namun juga harus mengamati proses pembelajaran secara langsung. Dengan melakukan pengamatan langsung, data yang diperoleh tentang proses pembelajaran akan jauh lebih akurat dan utuh, bahkan sampai halhal yang detail sekali pun dapat digali. Penggunaan videotape atau rekaman bisa saja digunakan hanya sebatas pelengkap, dan bukan sebagai pengganti. Caterine Lewis mengemukakan keuntungan dari Lesson Study yaitu: (1) memikirkan secara lebih teliti lagi tentang tujuan, materi tertentu yang akan dibelajarkan kepada mahasiswa, (2) memikirkan secara mendalam tentang tujuantujuan pembelajaran untuk kepentingan masa depan mahasiswa, misalnya tentang arti penting sebuah persahabatan, pengembangan perspektif dan cara berfikir mahasiswa, serta kegandrungan mahasiswa terhadap ilmu pengetahuan, (3) mengkaji tentang hal-hal terbaik yang dapat digunakan dalam pembelajaran melalui belajar dari para dosen lain (peserta atau partisipan Lesson Study), (4) belajar tentang isi atau materi pelajaran dari dosen lain sehingga dapat menambah pengetahuan tentang apa yang harus diberikan kepada mahasiswa, (5) mengembangkan keahlian dalam mengajar, baik pada saat merencanakan pembelajaran maupun selama berlangsungnya kegiatan pembelajaran, (6) membangun kemampuan melalui pembelajaran kolegial, dalam arti para dosen bisa saling belajar tentang apa-apa yang dirasakan masih kurang, baik tentang pengetahuan maupun keterampilannya dalam membelajarkan mahasiswa, dan (7) mengembangkan “The Eyes to See Students” (kodomo wo miru me), dalam arti dengan dihadirkannya para pengamat (obeserver), pengamatan tentang perilaku belajar mahasiswa bisa semakin detail dan jelas. Manfaat lain dari Lesson Study, diantaranya: (1) dosen dapat mendokumentasikan kemajuan kerjanya, (2) dosen dapat memperoleh umpan balik dari anggota/komunitas lainnya, dan (3) dosen dapat mempublikasikan dan mendiseminasikan hasil akhir dari Lesson Study. Slamet Mulyana (2007) mengemukakan dua tipe penyelenggaraan Lesson Study, yaitu Lesson Study berbasis sekolah dan Lesson Study berbasis MGMP. Lesson Study berbasis sekolah dilaksanakan oleh semua dosen dari berbagai bidang studi dengan kepala sekolah yang bersangkutan. dengan tujuan agar kualitas proses dan hasil pembelajaran dari semua mata pelajaran di sekolah yang bersangkutan dapat lebih ditingkatkan. Sedangkan Lesson Study berbasis MGMP merupakan pengkajian tentang proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh kelompok dosen mata pelajaran tertentu, dengan pendalaman kajian tentang proses pembelajaran pada mata pelajaran tertentu, yang dapat dilaksanakan pada tingkat wilayah, kabupaten atau mungkin bisa lebih diperluas lagi. Menurut Wikipedia (2007) bahwa Lesson Study dilakukan melalui empat tahapan dengan menggunakan konsep Plan-Do-Check-Act (PDCA). Sementara itu, Slamet Mulyana (2007) mengemukakan tiga tahapan dalam Lesson Study, yaitu : (1) Perencanaan (Plan); (2) Pelaksanaan (Do) dan (3) Refleksi (Check). Sedangkan Bill Cerbin dan Bryan Kopp dari University of Wisconsin mengetengahkan enam tahapan dalam Lesson Study, yaitu: (1) Form a Team: membentuk tim sebanyak 3-6 orang yang terdiri dosen yang bersangkutan dan pihak-pihak lain yang kompeten serta memilki kepentingan dengan Lesson Study. (2) Develop Student Learning Goals: anggota tim memdiskusikan apa yang akan dibelajarkan kepada mahasiswa sebagai hasil dari Lesson Study. (3) Plan the Research Lesson: dosen-dosen mendesain pembelajaran guna mencapai tujuan belajar dan mengantisipasi bagaimana para mahasiswa akan merespons. (4) Gather Evidence of Student Learning: salah seorang dosen tim melaksanakan pembelajaran, sementara yang lainnya melakukan pengamatan, mengumpulkan bukti-bukti dari pembelajaran mahasiswa. (5) Analyze Evidence of Learning: tim mendiskusikan hasil dan menilai kemajuan dalam pencapaian tujuan belajar mahasiswa (6) Repeat the Process: kelompok merevisi pembelajaran, mengulang tahapan-tahapan mulai dari tahapan ke-2 sampai dengan tahapan ke-5 sebagaimana dikemukakan di atas, dan tim melakukan sharing atas temuantemuan yang ada. 2.6. Model Pembelajaran Problem Solving Model pembelajaran problem solving adalah cara mengajar yang dilakukan dengan cara melatih para murid menghadapi berbagai masalah untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama (Alipandie, 1984: 105). Menurut N.Sudirman (1987: 146) model pembelajaran problem solving adalah cara penyajian bahan pelajaran dengan menjadikan masalah sebagai titik tolak pembahasan untuk dianalisis dan disintesis dalam usaha untuk mencari pemecahan atau jawabannya oleh siswa. Gambar 1. Sirkulasi Model Pembelajaran Problem Solving Menurut Purwanto (1999: 17) problem solving adalah suatu proses dengan menggunakan strategi, cara, atau teknik tertentu untuk menghadapi situasi baru, agar keadaan tersebut dapat dilalui sesuai keinginan yang ditetapkan.Selain itu Zoler (Sutaji, 2002: 17) menyatakan bahwa pengajaran dimulai dengan pertanyaan – pertanyaan yang mengarahkan kepada konsep, prinsip, dan hukum, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan memecahkan masalah disebut sebagai pengajaran yang menerapkan model pemecahan masalah. Sedangkan menurut Gulo (2002: 111) menyatakan bahwa problem solving adalah metode yang mengajarkan penyelesaian masalah dengan memberikan penekanan pada terselesaikannya suatu masalah secara menalar. Menurut Syaiful Bahri Djamara (2006: 103) bahwa, Model pembelajaran problem solving (metode pemecahan masalah) bukan hanya sekedar metode mengajar tetapi juga merupakan suatu metode berfikir, sebab dalam problem solving dapat menggunakan metode lain yang dimulai dari mencari data sampai kepada menarik kesimpulan. Hidayati (2008), berpendapat bahwa model pembelajaran Problem Solving (metode pemecahan masalah) didasarkan pada kesadaran terhadap kenyataan, bahwa mengajar bukanlah sekedar berpidato dan mengkomunikasikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Tetapi, mengajar adalah untuk meneliti dengan seksama, mencari, menyelidiki, memikirkan, menganalisis, dan sampai menemukan. Senada dengan pendapat diatas Sanjaya (2006: 214) menyatakan pada metode pemecahan masalah, materi pelajaran tidak terbatas pada buku saja tetapi juga bersumber dari peristiwa – peristiwa tertentu sesuai dengan kurikulum yang berlaku. Model Pembelajaran Problem Solving merupakan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan melatih siswa menghadapi berbagai masalah, baik masalah pribadi maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama.sama. Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah. (Hamdani, 2011: 84). Crow dan Crow (Hamdani, 2011: 84) menyatakan model pembelajaran pemecahan masalah/Problem Solving adalah suatu cara menyajikan pelajaran dengan mendorong siswa untuk mencari dan memecahkan suatu masalah atau persoalan dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran. Metode Problem Solving menurut Suprijono (2012: 46) ialah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas maupun tutorial. Sedangkan, Arends (Suprijono, 2012: 46) menyatakan model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Dengan demikian model pembelajaran problem solving merupakan metode pembelajaran yang mengaktifkan dan melatih siswa untuk menghadapi berbagai masalah dan dapat mencari pemecahan masalah atau solusi dari permasalahan itu. Menurut Wankat dan Oreovocz (1995) tahap-tahap strategi operasional dalam pemecahan masalah sebagai berikut: 1. I can (Saya mampu/ bisa): tahap membangkitkan motivasi dan membangun/menumbuhkan keyakinan diri siswa. 2. Define (Mendefinisikan): membuat daftar hal yang diketahui dan tidak diketahui, menggunakan gambar grafis untuk memperjelas permasalahan. 3. Explore (Mengeksplorasi): merangsang siswa untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan dan membimbing untuk menganalisis dimensidimensi permasalahan yang dihadapi. 4. Plan (Merencanakan): mengembangkan cara berpikir logis siswa untuk menganalisis masalah dan menggunakan flochart untuk mengambarkan permasalahan yang dihadapi. 5. Do it (Mengerjakan): membimbing siswa secara sistematis untuk memperkiraan jawaban yang mungkin untuk memecahkan masalah. 6. Check (Mengoreksi kembali): membimbing siswa untuk mengecek kembali jawaban yang dibuat, mungkin ada beberapa kesalahan yang dilakukan. 7. Generalize (Generalisasi): membimbing siswa untuk mengajukan pertanyaan. Langkah-langkah/Sintak Model Pembelajaran Problem Solving ( Dewey dalam W.Gulo, 2002: 115) terfiri atas 6 tahap, yaitu sebagai berikut: 1. Merumuskan masalah Kemampuan yang diperlukan adalah : mengetahui dan merumuskan masalah secara jelas. 2. Menelaah masalah Kemampuan yang diperlukan adalah : menggunakan pengetahuan untuk memperinci, menganalisis masalah dari berbagai sudut. 3. Merumuskan hipotesis Kemampuan yang diperlukan adalah : berimajinasi dan menghayati ruang lingkup, sebab akibat dan alternatif penyelesaian. 4. Mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai bahan pembuktian hipotesis Kemampuan yang diperlukan adalah : kecakapan mencari dan menyusun data. Menyajikan data dalam bentuk diagram, gambar atau tabel. 5. Pembuktian hipotesis Kemampuan yang diperlukan adalah : kecakapan menelaah dan membahas data, kecakapan menghubung-hubungkan dan menghitung, serta keterampilan mengambil keputusan dan kesimpulan. 6. Menentukan Pilihan Penyelesaian. Kemampuan yang diperlukan adalah : kecakapan membuat alternatif penyelesaian, kecakapan menilai pilihan dengan memperhitungkan akibat yang akan terjadi pada setiap pilihan. Penyelesaian masalah Menurut David Johnson dan Johnson dapat dilakukan melalui kelompok dengan prosedur penyelesaiannya dilakukan sebagai berikut (W.Gulo 2002 : 117): 1. Mendifinisikan Masalah 2. Mendiagnosis masalah 3. Merumuskan Altenatif Strategi 4. Menentukan dan menerapkan Strategi 5. Mengevaluasi Keberhasilan Strategi Kelebihan model pembelajaran problem solving antara lain sebagai berikut: 1. Mendidik siswa untuk berpikir secara sistematis. 2. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan. 3. Berpikir dan bertindak kreatif. 4. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis 5. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan. 6. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan. 7. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat. 8. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan,khususnya dunia kerja 9. Mampu mencari berbagai jalan keluar dari suatu kesulitan yang dihadapi. 10. Belajar menganalisis suatu masalah dari berbagai aspek. 11. Mendidik siswa percaya diri sendiri. Kelemahan model pembelajaran problem solving antara lain sebagai berikut: 1. Memerlukan cukup banyak waktu. 2. Melibatkan lebih banyak orang. 3. Tidak semua materi pelajaran mengandung masalah. 4. Memerlukan perencanaan yang teratur dan matang. 5. Tidak efektif jika terdapat beberapa siswa yang pasif. Manfaat dari penggunaan model pembelajaran problem solving pada proses belajar mengajar untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik. Menurut Djahiri (1983:133) model pembelajaran problem solving memberikan beberapa manfaat antara lain: 1. Mengembangkan sikap keterampilan siswa dalam memecahkan permasalahan, serta dalam mengambil kepuutusan secara objektif dan mandiri 2. Mengembangkan kemampuan berpikir para siswa, anggapan yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir akan lahir bila pengetahuan makin bertambah 3. Melalui inkuiri atau problem solving kemampuan berpikir tadi diproses dalam situasi atau keadaan yang bener – bener dihayati, diminati siswa serta dalam berbagai macam ragam altenatif 4. Membina pengembangan sikap perasaan (ingin tahu lebih jauh) dan cara berpikir objektif – mandiri, krisis – analisis baik secara individual maupun kelompok Tujuan model pembelajaran problem solving adalah sebagai berikut. 1. Siswa menjadi terampil menyeleksi informasi yang relevan kemudian menganalisisnya dan akhirnya meneliti kembali hasilnya. 2. Kepuasan intelektual akan timbul dari dalam sebagai hadiah intrinsik bagi siswa. 3. Potensi intelektual siswa meningkat. 4. Siswa belajar bagaimana melakukan penemuan dengan melalui proses melakukan penemuan. 2.7. Model Pembelajaran Think- Pair- Share Model pembelajaran Think-Pair-Share (TPS) dikembangkan oleh Frank Lyman dkk dari Universitas Maryland pada tahun 1985. Model pembelajaran Think-Pair-Share merupakan salah satu model pembelajaran kooperatif sederhana. Teknik ini memberi kesempatan pada siswa untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa (Lie, 2004: 57). Model pembelajaran Think-Pair-Share merupakan salah satu model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada setiap siswa untuk menunjukkan partisipasi kepada orang lain. Adapun langkah-langkah dalam pembelajaran Think-Pair-Share adalah: 1. Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan memberikan tugas kepada semua kelompok. 2. Setiap siswa memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut sendiri. 3. Siswa berpasangan dengan salah satu rekan dalam kelompok dan berdiskusi dengan pasangannya. 4. Kedua pasangan bertemu kembali dalam kelompok berempat. Siswa mempunyai kesempatan untuk membagikan hasil kerjanya kepada kelompok berempat (Lie, 2004: 58). Think-Pair-Share memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain (Nurhadi dkk, 2003 : 66). Sebagai contoh, guru baru saja menyajikan suatu topik atau siswa baru saja selesai membaca suatu tugas, selanjutnya guru meminta siswa untuk memikirkan permasalahan yang ada dalam topik/bacaan tersebut. Langkah-langkah dalam pembelajaran Think-Pair-Share sederhana, namun penting terutama dalam menghindari kesalahan-kesalahan kerja kelompok (http://home.att-net/_clnetwork/think_ps.htm). Dalam model ini, guru meminta siswa untuk memikirkan suatu topik, berpasangan dengan siswa lain dan mendiskusikannya, kemudian berbagi ide dengan seluruh kelas. Tahap utama dalam pembelajaran Think-Pair-Share menurut Ibrahim (2000: 26-27) adalah sebagai berikut: Tahap 1: Thinking (berpikir) Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan dengan pelajaran. Kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau isu tersebut secara mandiri untuk beberapa saat. Tahap 2: Pairing Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa lain untuk mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Dalam tahap ini, setiap anggota pada kelompok membandingkan jawaban atau hasil pemikiran mereka dengan mendefinisikan jawaban yang dianggap paling benar, paling meyakinkan, atau paling unik. Biasanya guru memberi waktu 4-5 menit untuk berpasangan. Tahap 3: Sharing (berbagi) Pada tahap akhir, guru meminta kepada pasangan untuk berbagi dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Keterampilan berbagi dalam seluruh kelas dapat dilakukan dengan menunjuk pasangan yang secara sukarela bersedia melaporkan hasil kerja kelompoknya. Langkah-langkah atau alur pembelajaran dalam model Think-Pair-Share adalah: Langkah ke 1: Guru menyampaikan pertanyaan Aktifitas: Guru melakukan apersepsi, menjelaskan tujuan pembelajaran, dan menyampaikan pertanyaan yang berhubungan dengan materi yang akan disampaikan. Langkah ke 2: Siswa berpikir secara individual Aktifitas: Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk memikirkan jawaban dari permasalahan yang disampaikan dosen. Langkah ini dapat dikembangkan dengan meminta siswa untuk menuliskan hasil pemikiranyya masing-masing. Langkah ke 3: Setiap siswa mendiskusikan hasil pemikiran masing-masing dengan pasangan Aktifitas: Guru mengorganisasikan siswa untuk berpasangan dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mendiskusikan jawaban yang menurut mereka paling benar atau paling meyakinkan. Guru memotivasi siswa untuk aktif dalam kerja kelompoknya. Pelaksanaan model ini dapat dilengkapi dengan LKS sehingga kumpulan soal latihan atau pertanyaan yang dikerjakan secara kelompok. Langkah ke 4: Siswa berbagi jawaban dengan seluruh kelas Aktifitas: Siswa mempresentasikan jawaban atau pemecahan masalah secara individual atau kelompok didepan kelas. Langkah ke 5: Menganalisis dan mengevaluasi hasil pemecahan masalah Aktifitas: Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap hasil pemecahan masalah yang telah mereka diskusikan. Kegiatan “berpikir-berpasaangan-berbagi” dalam model Think-PairShare memberikan keuntungan. Siswa secara individu dapat mengembangkan pemikirannya masing-masing karena adanya waktu berpikir (think time), Sehingga kualitas jawaban juga dapat meningkat. Menurut Jones (2002), akuntabilitas berkembang karena siswa harus saling melaporkan hasil pemikiran masingmasing dan berbagi (berdiskusi) dengan pasangannya, kemudian pasanganpasangan tersebut harus berbagi dengan seluruh kelas. Jumlah anggota kelompok yang kecil mendorong setiap anggota untuk terlibat secara aktif, sehingga siswa jarang atau bahkan tidak pernah berbicara didepan kelas paling tidak memberikan ide atau jawaban karena pasangannya. Menurut Spencer Kagan (dalam Maesuri, 2002: 37) manfaat Think-PairShare adalah: (1) para siswa menggunakan waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan tugasnya dan untuk mendengarkan satu sama lain ketika mereka terlibat dalam kegiatan Think-Pair-Share lebih banyak siswa yang mengangkat tangan mereka untuk menjawab setelah berlatih dalam pasangannya. Para siswa mungkin mengingat secara lebih, seiring penambahan waktu tunggu dan kualitas jawaban mungkin menjadi lebih baik, dan (2) para guru juga mungkin mempunyai waktu yang lebih banyak untuk berpikir ketika menggunakan Think-Pair-Share. Mereka dapat berkonsentrasi mendengarkan jawaban siswa, mengamati reaksi siswa, dan mengajukan pertanyaaan tingkat tinggi. 2.8. Penelitian Tindakan Kelas Penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas. Penelitian tindakan ini didefinisikan oleh Kemmis dan Mc. Taggart, (1988:35) adalah: ”Penelitian tindakan adalah suatu bentuk penyelidikan melalui cara mawas diri secara kolektif, yang dilakukan oleh para peserta dalam suatu situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan/memperbaiki rasionalitas dan keselarasan benar dan adilnya dari praktek-praktek pendidikan sosial sendiri, juga dengan tujuan meningkatkan pemahaman atas praktek-praktek itu, serta situasi-situasi tempat dilaksanakannya praktik itu” Penelitian ini adalah penelitian tindakan, dimana siswa dalam proses belajar mengajar disuguhkan materi pelajaran dan cara pengajaran yang menarik sehingga nantinya akan memotivasi siswa dalam belajar dan akhirnya dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam materi RAB. Sudarsono (1982: 24) memberikan batasan tentang PTK yaitu suatu bentuk penelitian yang bersifat refleksif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu, agar dapat memperbaiki dan atau meningkatkan praktek pembelajaran di kelas secara lebih profesional. Secara umum setiap siklus perbaikan mutu dengan PTK terdiri dari: a. Perencanaan: membuat rencana tindakan untuk melakukan perbaikan mutu atau pemecahan masalah. b. Tindakan: mengimplementasikan tindakan tersebut sesuai dengan rencana c. Observasi: melakukan pengamatan terhadap efek dari tindakan yang diberikan. d. Refleksi: mereflesikan hasil tindakan tersebut, sebagai dasar perencanaan berikutnya. Setelah pembelajaran atau tindakan pada siklus I berakhir, guru, kolaborator dan siswa mengadakan diskusi dan refleksi untuk menemukan berbagai kelemahan ataupun kelebihan. Temuan pada siklus I dijadikan pertimbangan untuk memperbaiki rancangan pembelajaran Siklus II. Untuk lebih memahami dengan penelitian tindakan kelas dapat digambarkan sebagai berikut: a. Tahapan Perencanaan (Plan) Dalam tahap perencanaan, para guru yang tergabung dalam Lesson Study berkolaborasi untuk menyusun RPP yang mencerminkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Perencanaan diawali dengan kegiatan menganalisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi dalam pembelajaran, seperti tentang: kompetensi dasar, cara membelajarkan siswa, mensiasati kekurangan fasilitas dan sarana belajar, dan sebagainya, sehingga dapat ketahui berbagai kondisi nyata yang akan digunakan untuk kepentingan pembelajaran. Selanjutnya, secara bersama-sama pula dicarikan solusi untuk memecahkan segala permasalahan ditemukan. Kesimpulan dari hasil analisis kebutuhan dan permasalahan menjadi bagian yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan RPP, sehingga RPP menjadi sebuah perencanaan yang benar-benar sangat matang, yang didalamnya sanggup mengantisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi selama pelaksanaan pembelajaran berlangsung, baik pada tahap awal, tahap inti sampai dengan tahap akhir pembelajaran. b. Tahapan Pelaksanaan (Do) Pada tahapan yang kedua, terdapat dua kegiatan utama yaitu: (1) kegiatan pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan oleh salah seorang guru yang disepakati atau atas permintaan sendiri untuk mempraktikkan RPP yang telah disusun bersama, dan (2) kegiatan pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh anggota atau komunitas Lesson Study yang lainnya (baca: guru, kepala sekolah, atau pengawas sekolah, atau undangan lainnya yang bertindak sebagai pengamat/observer) . Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam tahapan pelaksanaan, diantaranya: gurumelaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah disusun bersama. Siswa diupayakan dapat menjalani proses pembelajaran dalam setting yang wajar dan natural, tidak dalam keadaan under pressure yang disebabkan adanya model Lesson Study, Problem Solving dan Think Pare Share. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, pengamat tidak diperbolehkan mengganggu jalannya kegiatan pembelajaran dan mengganggu konsentrasi gurumaupun mahasiswa. Pengamat melakukan pengamatan secara teliti terhadap interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru, siswa-lingkungan lainnya, dengan menggunakan instrumen pengamatan yang telah disiapkan sebelumnya dan disusun bersama-sama. Pengamat harus dapat belajar dari pembelajaran yang berlangsung dan bukan untuk mengevalusi guru. Pengamat dapat melakukan perekaman melalui video camera atau photo digital untuk keperluan dokumentasi dan bahan analisis lebih lanjut dan kegiatan perekaman tidak mengganggu jalannya proses pembelajaran. Pengamat melakukan pencatatan tentang perilaku belajar siswa selama pembelajaran berlangsung, misalnya tentang komentar atau diskusi siswa dan diusahakan dapat mencantumkan nama siswa yang bersangkutan, terjadinya proses konstruksi pemahaman siswa melalui aktivitas belajar mahasiswa. Catatan dibuat berdasarkan pedoman dan urutan pengalaman belajar siswa yang tercantum dalam RPP. c. Tahapan Refleksi (Check) Tahapan ketiga merupakan tahapan yang sangat penting karena upaya perbaikan proses pembelajaran selanjutnya akan bergantung dari ketajaman analisis para perserta berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan refleksi dilakukan dalam bentuk diskusi yang diikuti seluruh peserta Lesson Study, Problem Solving dan Think Pare Share yang dipandu oleh kepala sekolah atau peserta lainnya yang ditunjuk. Diskusi dimulai dari penyampaian kesan-kesan guruyang telah mempraktikkan pembelajaran, dengan menyampaikan komentar atau kesan umum maupun kesan khusus atas proses pembelajaran yang dilakukannya, misalnya mengenai kesulitan dan permasalahan yang dirasakan dalam menjalankan RPP yang telah disusun. Selanjutnya, semua pengamat menyampaikan tanggapan atau saran secara bijak terhadap proses pembelajaran yang telah dilaksanakan (bukan terhadap guruyang bersangkutan). Dalam menyampaikan saran-saranya, pengamat harus didukung oleh bukti-bukti yang diperoleh dari hasil pengamatan, tidak berdasarkan opininya. Berbagai pembicaraan yang berkembang dalam diskusi dapat dijadikan umpan balik bagi seluruh peserta untuk kepentingan perbaikan atau peningkatan proses pembelajaran. Oleh karena itu, sebaiknya seluruh peserta pun memiliki catatan-catatan pembicaraan yang berlangsung dalam diskusi. d. Tahapan Tindak Lanjut (Act) Dari hasil refleksi dapat diperoleh sejumlah pengetahuan baru atau keputusan-keputusan penting guna perbaikan dan peningkatan proses pembelajaran, baik pada tataran indiividual, maupun menajerial.Pada tataran individual, berbagai temuan dan masukan berharga yang disampaikan pada saat diskusi dalam tahapan refleksi (check) tentunya menjadi modal bagi para dosen, baik yang bertindak sebagai pengajar maupun observer untuk mengembangkan proses pembelajaran ke arah lebih baik. Pada tataran manajerial, dengan pelibatan langsung kepala sekolah sebagai peserta Lesson Study, tentunya kepala sekolah akan memperoleh sejumlah masukan yang berharga bagi kepentingan pengembangan manajemen pendidikan di sekolahnya secara keseluruhan. Kalau selama ini kepala sekolah banyak disibukkan dengan hal-hal di luar pendidikan, dengan keterlibatannya secara langsung dalam Lesson Study, maka dia akan lebih dapat memahami apa yang sesungguhnya dialami oleh gurudan mahasiswanya dalam proses pembelajaran, sehingga diharapkan kepala sekolah dapat semakin lebih fokus lagi untuk mewujudkan dirinya sebagai pemimpin pendidikan di sekolah. 2.9. Hipotesis Penelitian Berdasar atas kerangka teoritik maka dirumuskan hipotesis penelitian ini, yaitu: "Model Pembelajaran Lesson Study, Problem Solving dan Think Pare Share dapat meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan praktik siswa pada mata pelajaran Praktik Instalasi Penerangan Listrik". Hasil belajar siswa dapat diketahui jika pengajar melakukan pengukuran, penilaian dan evaluasi, sedangkan alat yang digunakan untuk pengukuran berupa alat tes dan bisa dengan alat non tes. Alat tes digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif, sedangkan non tes digunakan untuk mengukur kemampuan psikomotor dan afektif. Karena mata pelajaran Praktik Instalasi Penerangan Listrik adalah mata pelajran praktik maka instrumen untuk mengukur hasil belajarnya adalah menggunakan tes dan lembar observasi. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Subjek Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di SMK Negeri 1 Semarang yang berlokasi di Jalan Dokter Cipto No.93 Telp. (024) 3545601. Kegiatan penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XI-TPITL-2 dengan jumlah siswa sebanyak 35 siswa SMK Negeri 1 Semarang pada semester gasal Tahun Pelajaran 2018/2019. 3.1. Perencanaan Penelitian Perencanaan penelitian ditujukan untuk meningkatkan kemampuan konsep dan praktik siswa dan strategi pembelajarannya dibuat semenarik mungkin yaitu dengan menggunakan model pembelajaran Lesson Study, Problem Solving dan Think Pare Share pada mata pelajaran Praktik Instalasi Penerangan Listrik agar nantinya siswa dapat meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan praktiknya. 3.3. Rencana Tindakan Persiapan penelitian ini dilakukan berkaitan dengan program Penugasan Dosen di Sekolah (PDS) di SMK Negeri 1 Semarang pada semester gasal 2018/2019 mulai bulan Juli 2018 hingga bulan Oktober 2018. Penelitian ini dilaksanakan dengan banyak siklus menyesuaikan capaian tujuan pembelajarannya. Siklus pertama dilakukan pada tanggal Selasa 4-September2018, sementara siklus berikutnya dilakukan sesuai hasil refleksi yang didapatkan. Setiap siklus dilaksanakan sesuai dengan apa yang telah didesain terhadap faktor yang diteliti. Untuk melihat tingkat "pemahaman awal" siswa terhadap materi pelajaran praktik instalasi penerangan listrik, dilakukan tes diagnosis yang berfungsi sebagai evaluasi awal (pra siklus). Sedangkan observasi awal dilakukan untuk mengetahui apakah tindakan yang akan diberikan tepat dalam rangka meningkatkan pemahaman dan keterampilan siswa terhadap materi praktik instalasi penerangan listrik. Prosedur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : P R Siklus 1 P T R Siklus 2 O T O Gambar 2. Siklus Penelitian Tindakan Kelas Keterangan : P = Perencanaan O = Observasi T = Tindakan R = Refleksi Berdasar evaluasi dan observasi awal maka dalam proses refleksi, ditetapkan bentuk tindakan untuk penguatan pemahaman siswa terhadap materi praktik instalasi penerangan listrik dengan menggunakan model pembelajaran Problem Solving dan Think Pare Share untuk meningkatkan pemahaman konsep dan kemampuan praktik siswa pada mata pelajaran Praktik Instalasi Penerangan Listri. Pemilihan model pembelajaran Problem Solving dan Think Pare Share dengan pertimbangan model tersebut mampu mempercepat proses pemahaman dan dapat diterapkan dalam pembuatan skripsi. Berpedoman pada refleksi awal maka dilaksanakanlah penelitian tindakan kelas ini dengan prosedur : (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan tindakan (action), (3) observasi (observation) dan (4) refleksi (reflection) dalam setiap siklus. Adapun batas–batas tindakan yang akan diambil dalam penelitian ini adalah: 1. Strategi pembelajaran yang direncanakan berintikan pada upaya mengoptimalkan aktivitas dan partisipasi siswa dalam segala aspek pembelajaran yang dipersiapkan oleh 2 orang guru dan 2 orang dosen (Lessson Study) dilaksanakan di kelas di bawah bimbingan guru dengan model pembelajaran Problem solving dan Think Pare Share. 2. Seperangkat tindakan yang disiapkan adalah: Persiapan: a. Kurikulum atau silabus b. RPP c. Instrumen penilaian d. Persiapan buku pegangan siswa- Jobsheet e. Persiapan buku pegangan guru f. Persiapan problem/persoalan g. Merencanakan waktu untuk pelaksanaan tindakan h. Menyusun serangkaian tindakan kegiatan secara menyeluruh i. Menyiapkan teknik pemantauan pada setiap tahapan penelitian Pelaksanaan Siklus I a. Menjelaskan uraian pekerjaan perencanaan dan pemasangan instalasi penerangan listrik b. Pelaksanaan di kelas praktik dengan cara memberikan tugas membuat gambar garis tunggal dan gambar pengawatan/pelaksanaan instalasi penerangan listrik, siswa diharapkan memahami cara menggambar garis tunggal dan garis ganda/pelaksanaan pada praktik mata pelajaran instalasi penerangan listrik. c. Siswa mengetahui kegunaan dari gambar garis tunggal dan gambar pengawatan/pelaksanaan instalasi penerangan listrik. d. Untuk mempertajam konsep, guru memberikan problem berupa rancangan instalasi penerangan listrik yang harus dibuat gambar garis tunggal dan gambar pengawatan/pelaksanaannya. e. Siswa melakukan diskusi untuk menyelesaikan problem yang diberikan guru bersama teman pasangannya dalam kelompok (Think) f. Siswa melakukan presentasi di depan kelas untuk menyelesaikan problem yang diberikan guru dan dibahas bersama teman-temannya dalam satu kelas. g. Guru berperan sebagai fasilitator h. Penarikan kesimpulan, ringkasan atau rangkuman. i. Refleksi I, kegiatan ini peneliti lakukan untuk mendapatkan tingkat pemahaman siswa rata–rata dimana sebagai dasar untuk tindakan yang akan dilaksanakan pada siklus II (dua). Pelaksanaan Siklus II a. Melanjutkan materi pada tugas membuat gambar garis tunggal dan gambar pengawatan/pelaksanaan instalasi penerangan listrik sebagai lanjutan dari siklus I b. Pada siklus II ini seluruh siswa melakukan diskusi bersama dalam 1 kelas untuk menyamakan persepsi pada gambar garis tunggal dan gambar pengawatan/pelaksanaan instalasi penerangan listrik yang benar. Kegiatan yang dilakukan adalah mempersentasekan, mendiskusikan, dan membuat kesimpulan bersama mengenai gambar garis tunggal dan gambar pengawatan/pelaksanaan instalasi penerangan listrik yang akan dipraktikkan. c. Guru dalam siklus dua ini berperan sebagai fasilitator sekaligus moderator. d. Memberikan arahan pemahaman konsep secara individu dan memantau tugas yang dikerjakan siswa. e. Melakukan evaluasi berdasarkan format pemantauan. Tujuannya untuk mengetahui efektifitas keberhasilan dan hambatan terhadap tindakan yang dilakukan. f. Refleksi II, dilakukan peneliti untuk mendapatkan nilai capaian kemampuan praktik siswa setelah sejumlah tindakan dilakukan apakah tindakan ini bisa meningkatkan penguasaan konsep dan praktik pada materi pelajaran pembelajaran yang diberikan. 3.4. Teknik Pemantauan Ada beberapa teknik pemantauan yang diterapkan pada PTK ini, yaitu: 1. Pengamatan partisipatif, yaitu dilakukan oleh guru yang bersangkutan dan satu orang kolaborator, pengamatan ini dilakukan untuk merekam perilaku, aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. 2. Teknik wawancara secara bebas, dilakukan untuk mengungkap data yang diungkapkan dengan kata-kata secara lisan tentang sikap, pendapat, wawasan maupun kolaborator mengenai baik buruknya proses pembelajaran yang telah berlangsung. 3. Teknik pemanfaatan data dokumen meliputi: silabus dan sistem penilaian, catatan guru, hasil nilai unjuk kerja dan hasil tugas siswa 3.5. Kriteria Keberhasilan Tindakan Untuk memudahkan pemantauan, analisis dan pengambilan kesimpulan terhadap keberhasilan tindakan yang dilakukan, perlu ditetapkan kriteria keberhasilan tindakan. Untuk itu peneliti menentukan kriteria sebagai berikut: 1. Peningkatan motivasi belajar siswa dengan indikator: a. Adanya peningkatan aktivitas dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. b. Adanya peningkatan kerjasama antarsiswa dalam melaksanakan tugastugas pembelajaran 2. Peningkatan hasil belajar siswa dengan indikator: a. adanya peningkatan perasaan puas pada siswa b. adanya peningkatan kompetensi psikomotor, afektif dan kognitif siswa dalam pembelajaran ini. 3.6. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar berupa analisis deskriptis kualitatif. Teknik ini digunakan untuk mengolah data yang bersifat kualitatif, baik yang berhubungan dengan keberhasilan proses maupun hasil pembelajaran. Adapun data yang bersifat kuantitatif seperti nilai unjuk kerja (hasil diskusi dan tugas) akan dianalisis dengan teknik deskriptif kuantitatif sederhana, yakni dengan membandingkan nilai rerata. Analisis data yang akan dilakukan meliputi empat tahap. Tahap pertama, data yang terkumpul dari berbagai instrumen seperti lembar pengamatan, catatan guru, catatan hasil kegiatan wawancara, dan hasil tes unjuk kerja dikelompokkan menurut pokok permasalahan yang sejenis. Tahap kedua, data tersebut disajikan secara deskriptif kualitatif. Tahap ketiga adalah inferensi, yaitu menyajikan data dalam bentuk tabel atau diagram. Tahap keempat adalah penarikan kesimpulan secara induktif, yaitu menafsirkan data yang sudah dikelompokkan. Dari hasil analisis data diatas, akan ditarik kesimpulan secara keseluruhan dengan menyatakan kebenaran hipotesis tindakan yang telah ditetapkan. (instrumen pengumpulan data terlampir) Data yang diperoleh dianalisis dengan teknik analisis deskriptif. Sebelum dianalisis data di tabulasi dan diinterpretasikan. Ada dua rumus analisis yang digunakan untuk mengetahui efektifitas pembelajarannya dan untuk mengetahui besarnya perubahan capaian pembelajarannya. a. t-test Analisis t-test digunakan untuk mengetahui peningkatan efektifitas kelompok dalam mengikuti pembelajaran Praktik Instalasi Penerangan pada: 1. pra siklus ke siklus-1 2. siklus-1 ke siklus-2 3. pra siklus ke silkus-2 ... 4. siklus sebelumnya ke siklus terakhir apakah perubahannya siginifikan atau tidak. Rumus t-test yang digunakan adalah: Dimana: b. NGain Berdasar tabel di atas diketahui bahwa ada peningkatan hasil belajar mulai dari pra siklus, siklus-I dan siklus-II dimana jika dicari peningkatan capaian nilainya dihitung berdasar rumus NGain: ππΊπππ = (ππππ πππππ’π Perlakuan) − (ππππ πππππ’π π πππππ’πππ¦π) (ππππ ππππ ) − (ππππ πππππ’π π πππππ’πππ¦π) Kriteria perolehan skor NGain dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1 Kategori Skor NGain Batasan Kategori g > 0,7 Tinggi 0,3 < g ≤ 0,7 Sedang g ≤ 0,3 Rendah BAB IV BIAYA DAN JADWAL PENEITIAN 4.1 Biaya Penelitian Estimasi biaya yang akan dikeluarkan dalam Penelitian Tindakan Kelas ini sebagai berikut. Tabel 4.1 Ringkasan Anggaran Biaya No 1 2 3 4 Jenis Pengeluaran Honorarium Bahan Habis Pakai dan Peralatan Perjalanan Lain-lain Jumlah Jumlah (Rp) 1.400.000 1.650.000 1.200.000 750.000 5.000.000 4.2 Jadwal Penelitian Jadwal penelitian merupakan acuan bagi peneliti untuk melakukan penelitian supaya tepat sasaran. Jadwal penelitian ini adalah sebagai berikut. Tabel 4.2 Jadwal Penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 Jenis Kegiatan Diskusi awal tim peneliti Penyusunan proposal Penyusunan Insrumen Penelitian Pelaksanaan Penelitian Tabulasi Data Olah Data Penyusunan Laporan Penyusunan Artikel Juli Bulan Agust Sept Okt Lampiran 1: Anggaran Penelitian No I Uraian Vol Harga Satuan 10 Jam 25.000 SUB TOTAL (Rp) 15.000 250.000 15.000 235.000 235.000 Kertas HVS A4 2 rim 35.000 70.000 0 70.000 Kertas F4 3 rim 38.000 114.000 0 114.000 Fotokopi 1 paket 500.000 500.000 0 500.000 Stabilo 6 buah 20.000 120.000 0 120.000 CD dan tempat 5 buah 36.000 180.000 0 180.000 15 dozin 42.000 630.000 0 630.000 4 dozin 54.000 216.000 0 216.000 Bolpen Konsumsi snack (koordinasi tim, pelaksanaan, penyusunan laporan & administrasi) 15 doz 13.000 195.000 0 195.000 Konsumsi makan (koordinasi tim, pelaksanaan, penyusunan laporan & administrasi) 15 doz 35.000 525.000 0 525.000 SUB TOTAL (Rp) 2.550.000 - 2.550.000 Perjalanan Transport Pelaksanaan 8 OH 150.000 SUB TOTAL (Rp) IV 250.000 Bahan Habis Pakai & Peralatan Penunjang Map plastik III Jml Setelah Pajak Pajak Honorarium Honor Pembantu peneliti (1 org x 40 jam) II Jumlah 1.200.000 1.200.000 0 - 1.200.000 1.200.000 Lain-lain Pembuatan artikel publikasi Penggandaan proposal & Laporan 1 10 buku 500.000 500.000 0 500.000 50.000 500.000 0 500.000 SUB TOTAL (Rp) 1.000.000 - 1.000.000 TOTAL (Rp) 5.000.000 15.000 4.985.000 DAFTAR PUSTAKA Anastasi, Anne. (1976). Psychological Testing, 4th ed. New York : Macmillan Publishing Co., Inc. Anita Lie. 2002. Cooperative learning, Mempraktikkan Cooperative learning di Ruang kelas. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Ananom. 2001. Mengenal Model Pembelajaran Kooperatif. Semarang: DEPDIKNAS. Dimyati dan Mudjiono.1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Depdikbud. Djamarah, Bahri Syaiful, 2002. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta. Erman, Suherman dkk, 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer (Common Teks Books). Bandung : JICA Universitas Pendidikan Indonesia. Hamalik, Oemar.2003. Kurikulum dan Pembelajaran.Jakarta: Bumi Aksara. Ibrahim, Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : University Press. Indrawati, 2008. Penilaian Berbasis Kelas. Bandung: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Ilmu Pengetahuan Alam Depdiknas Jones, Raymond. 2002. Strategis For Reading Comprehensin, TPS. http: curry. Edschool. Virginia. Edu/go/readquest/start/tps.html.(12 Mei 2007) Madya, Suwarsih. 1994. Panduan Penelitian Tindakan. Yogyakarta: Lemlit IKIP Yogyakarta. Munib, Achmad dkk.2004.Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang : UNNES Press. Nasution. 1992. Berbagai pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta; Bumi Aksara. Purwanto, Ngalim. 2004. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sariadi. 1999. Jaringan Distribusi Listrik. Bandung: Angkasa. Saripudin Winataputra. 1994. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta : PAU-PPAI-UT. Suciati. 1995. Teori Motivasi dan Penerapannya dalam Proses Belajar Mengajar (ARCS- Model). Jakarta: Depdikbud Suharsimi Arikunto. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.